Upload
ines-syadza
View
256
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 1
TUGAS MAKALAH BLOK INDERA
TAJAM PENGLIHATAN, SISTEM OPTIK,
DAN KELAINAN REFRAKSI
1) Lanira Zarima N. H1A 008 038
2) Evert Yanri Imanuel S. H1A 008 039
3) Ika Rahmawati C. H1A 008 040
4) Dini Suryani H1A 008 041
5) Baiq Trisna Satriana H1A 008 042
6) Dini Fadilla H1A 008 043
7) Siti Humairah H1A 008 044
8) Sanggitha Yuningtyas H1A 008 045
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2011Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 2
FISIOLOGI TAJAM PENGLIHATAN
Ketajaman penglihatan adalah derajat persepsi detail dan kontur benda. Ketajaman
penglihatan biasanya didefinisikan berkaitan dengan jarak pemisah minimum (minimum
separable) , jarak terpendek ketika dua garis masih terlihat terpisah dan tetap terlihat sebagai
dua garis (Ganong, 2005).
Secara klinis, diagram untuk memeriksa mata yang biasanya terdiri dari huruf-huruf
dengan berbagai ukuran diletakkan 20 kaki jauhnya dari orang yang diuji. Bila dapat melihat
dengan baik huruf-huruf dengan ukuran yang memang seharusnya dapat dilihat pada jarak 20
kaki, orang tersebut dikatakan memiliki penglihatan 20/20 yang merupakan penglihatan
normal. Bila hanya dapat melihat huruf-huruf yang seharusnya mampu dilihat pada jarak 200
kaki, dikatakan orang itu mempunyai penglihatan sebesar 20/200. Dengan kata lain, metode
klinis yang dipakai untuk menyatakan besarnya tajam penglihatan adalah menggunakan
angka pecahan matematis yang menyatakan rasio antara kedua jarak, yang juga merupakan
rasio tajam penglihatan seseorang dibandingkan dengan tajam penglihatan pada orang normal
(Guyton, 2006).
Ketajaman PenglihatanMenurut Ganong (2005), ketajaman penglihatan adalah fenomena yang kompleks dan
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain :
Faktor optik (keadaan mekanisme pembentukan bayangan)
Faktor retina (keadaan sel kerucut)
Faktor rangsang (penerangan, kontras antara rangsang dan latar belakang, serta lama
waktu rangsang).
Cahaya datang dari sebuah fiksasi objek menuju fovea melalui sebuah bidang
imajiner yang disebut visual aksis. Jaringan-jaringan mata dan struktur-struktur yang berada
dalam visual aksis (serta jaringan yang terkait di dalamnya) mempengaruhi kualitas bayangan
yang dibentuk. Struktur-struktur ini adalah lapisan air mata, kornea, COA (camera occuli
anterior), pupil, lensa, vitreus, kemudian ke retina. Bagian posterior dari retina disebut
sebagai lapisan epitel retina berpigmen (RPE) yang berfungsi untuk menyerap cahaya yang
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 3
masuk ke dalam retina sehingga tidak akan terpantul ke bagian lain dalam retina. RPE juga
memiliki fungsi vital untuk mendaur-ulang bahan-bahan kimia yang digunakan oleh sel-sel
batang dan kerucut dalam mendeteksi photon.
1. FAKTOR OPTIK
Ketika sebuah benda berada dalam jarak kurang dari 20 meter dari seseorang, maka
ada 3 mekanisme yang terjadi pada mata untuk memfokuskan bayangan pada retina, yaitu
akomodasi oleh lensa, kontriksi pupil, dan konvergensi oleh mata (Seeley, 2004).
a. Akomodasi Lensa
Daya akomodasi mata merupakan
suatu proses pengubahan bentuk
lensa mata, dari yang awalnya
konveks-sedang menjadi lebih
konveks lagi, ataupun sebaliknya.
Daya akomodasi ini bertujuan
untuk memfokuskan pembayangan
suatu benda di retina, sehingga
seseorang bisa melihat dengan
jelas. Pada usia muda, elastisitas
mata memungkinkan lensa
dianggap berbentuk hampir sferis,
akibat retraksi elastis dari kapsul
lensa (Guyton, 2006).
Di sekeliling lensa terdapat kurang lebih 70 ligamentum suspensorium, yang
menarik tepi lensa ke arah lingkar luar bola mata. Peregangan konstan ligament ini
karena perlekatannya di tepi anterior koroid dan retina, memungkinkan lensa berada
pada kondisi yang relatif datar dalam keadaan mata istirahat (Guyton, 2006).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 4
Selain itu, di sekitar mata juga terdapat musculus siliaris yang berhubungan dengan
ligamen suspensorium. Otot ini terdiri dari 2 jenis otot polos, yaitu otot meridional
dan otot sirkuler. Berikut ini adalah mekanisme akomodasi, yang diperankan oleh
kedua set otot tersebut (Guyton, 2006) :
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 5
Refleks akomodasi mata melibatkan suatu mekanisme parasimpatis, yang dapat
digambarkan melalui skema di bawah ini (Guyton, 2006) :
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 6
b. Konstriksi Pupil
Faktor lain yang sangat berpengaruh dalam ketajaman penglihatan adalah
kedalaman fokus, yang merupakan jarak terbesar di mana objek dapat dipindahkan
dan masih tetap fokus pada jarak tersebut (Seeley, 2004). Fungsi utama iris ialah
untuk meningkatkan jumlah cahaya yang masuk ke dalam mata pada waktu gelap,
dan untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke dalam mata pada waktu
terang. Jumlah cahaya yang memasuki mata melalui pupil sebanding dengan luas
pupil atau kuadrat diameter pupil. Diameter pupil manusia dapat mengecil sampai
1,5 mm dan membesar sampai 8 mm. Jumlah cahaya yang memasuki mata dapat
berubah 30 kali lipat sebagai akibat dari perubahan diameter pupil (Guyton, 2006).
Kelompok E
Cahaya terang
Rangsangan parasimpatis
Otot sirkuler memendek (kontraksi)
Konstriksi pupil
Cahaya suram
Rangsangan simpatis
Otot radial memendek (kontraksi)
Dilatasipupil
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 7
Ukuran pupil merupakan merupakan akibat variasi kontraksi otot-otot iris untuk
memungkinkan lebih banyak atau sedikit cahaya yang masuk sesuai kebutuhan. Iris
mengandung dua kelompok otot polos, yaitu :
a. Sirkuler : serat-serat otot yang berjalan melingkar di dalam iris.
b. Radial : serat-serat yang berjalan ke luar dari batas pupil seperti roda sepeda
(Sheerwood, 2002) .
Mekanisme konstriksi dan dilatasi pupil (Sheerwood, 2002) :
Kedalaman fokus lensa mata
tergantung dari peningkatan
serta penurunan diameter pupil.
Makin kecil apertura atau
diameter pupil itu, maka
kedalaman fokus akan menjadi
jauh lebih besar. Hal ini
dikarenakan hampir seluruh
berkas cahaya akan melalui
bagian tengah lensa dan cahaya
bagian tengah akan selalu
terfokus dengan baik.
Dengan kedalaman fokus yang besar, perpindahan retina dari bidang fokusnya
ataupun kekuatan lensa sangat berubah dari normal, maka bayangan benda akan
tetap tegas. Sebaliknya pada kedalaman lensa yang dangkal, perubahan sedikit saja
dapat membuat bayangan benda menjadi kabur (Guyton, 2006).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 8
c. Konvergensi Mata
Apabila sebuah objek bergerak lebih mendekati mata, mata harus diputar medial
sehingga objek disimpan difokuskan pada bidang yang sesuai dari retina masing-
masing. Rotasi medial mata ini dicapai dengan refleks yang merangsang rektus
medial otot setiap mata. Gerakan mata ini disebut konvergensi (Seeley, 2004).
2. FAKTOR RETINA
Untuk menghasilkan detail penglihatan, sistem optik mata harus memproyeksikan
gambaran yang fokus pada fovea, sebuah daerah di dalam makula yang memiliki densitas
tertinggi akan fotoreseptor konus/kerucut sehingga memiliki resolusi tertinggi dan
penglihatan warna terbaik.
Fovea merupakan bagian
tengah retina yang menjadi tempat
terbentuknya penglihatan yang
paling tajam. Fovea ini sendiri
memiliki diameter sekitar 1,5
mikrometer, atau sepertujuh
diameter titik cahaya. Kita dapat
membedakan dua titik yang
terpisah bila bagian tengah dari
kedua titik itu mempunyai jarak
pada retina sebesar kira-kira 2
mikrometer. Hal ini dikarenakan titik cahaya yang ukurannya lebih besar daripada fovea
itu sendiri memiliki bagian yang terang di bagian tengah, dan lebih gelap di bagian tepi
(Guyton, 2006).
Pada mata manusia dengan tajam penglihatan normal, sudut yang digunakan untuk
membedakan dua titik cahaya adalah 25 detik busur derajat. Jadi jika berkas cahaya
terpisah pada sudut sedikitnya di antara 25 detik, maka biasanya kedua titik tersebut dapat
dibedakan sebagai titik yang berbeda. Tajam penglihatan yang dapat dihasilkan fovea
adalah maksimal 2 derajat lapangan pandangan. Di luar area fovea, ketajaman
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 9
penglihatan akan menurun secara progresif hingga sepuluh kali lipat, dan terus berkurang
sampai ke perifer (Guyton, 2006).
3. FAKTOR RANGSANG
Cahaya yang masuk ke dalam retina akan diserap oleh bagian posterior dari retina
yang disebut sebagai lapisan epitel retina berpigmen (RPE). Cahaya harus melewati
beberapa lapisan retina sebelum mencapai fotoreseptor. Sepuluh lapisan retina dapat
dilihat dalam gambar di bawah ini (Sheerwood, 2002) :
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 10
Foto-transduksi oleh sel retina mengubah rangsangan cahaya menjadi sinyal saraf.
Ketika menyerap cahaya, molekul fotopigmen berdisosiasi menjadi komponen retinen
dan opsin, dan bagian retinennya mengalami perubahan bentuk yang mencetuskan
aktivitas enzimatik opsin. Melalui serangkaian reaksi, perubahan biokimiawi pada
fotopigmen yang diinduksi oleh cahaya ini menimbulkan hiperpolarisasi potensial
reseptor yang mempengaruhi pengeluaran zat perantara dari terminal sinaps fotoreseptor
(Sheerwood, 2002).
Kepekaan dan Ketajaman WarnaKemampuan sel batang dan sel kerucut berbeda dalam aspek kepekaan dan ketajaman
warna karena perbedaan “pola perkabelan” antara kedua jenis fotoreseptor dengan lapisan-
lapisan neuron retina lainnya (Sheerwood, 2002).
a. Sel Kerucut (Ketajaman Tinggi, Kepekaan Rendah)
Sel kerucut memiliki sensitivitas rendah terhadap cahaya, yaitu menyala hanya
apabila terdapat cahaya terang, tetapi ketajamannya tinggi (acuity; kemampuan
untuk membedakan dua titik yang terletak berdekatan). Dengan demikian , sel
kerucut menghasilkan penglihatan tajam dengan resolusi tinggi untuk detail-
detail halus. Sehingga sel kerucut digunakan untuk penglihatan warna dan
terang (Sheerwood, 2002).
Sel kerucut memiliki ketajaman tinggi karena sel-sel kerucut memiliki saluran
pribadi ke saraf optikus, setiap sel kerucut menyalurkan informasi mengenai
lapangan reseptif yang sangat kecil di permukaan kornea. Dengan demikian, sel
kerucut mampu menghasilkan penglihatan yang sangat tajam dengan
mengorbankan kepekaan (Sheerwood, 2002).
Kepekaan sel kerucut kurang karena sebuah sel ganglion kerucut seringkali
hanya dipengaruhi oleh sebuah sel kerucut, sehingga sel ganglion berada di
bawah ambang potensial (Sheerwood, 2002).
b. Sel Batang (Ketajaman Rendah, Kepekaan Tinggi)
Sel batang memiliki ketajaman yang rendah tetapi kepekaan tinggi, sehingga sel
mampu berespon terhadap cahaya temaram di malam hari (Sheerwood, 2002).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 11
Sel batang sangat peka karena banyaknya konvergensi di jalur sel batang
sehingga potensial reseptor setara yang diinduksi oleh cahaya serupa di
beberapa sel batang berkonvergensi ke sel ganglion akan menimbulkan efek
aditif, sehingga sel ganglion mencapai ambang (Sheerwood, 2002).
Sel batang kurang tajam karena banyak sel batang yang berkonvergensi ke sel
ganglion yang sama, sekali timbul potensial aksi, tidak mungkin membedakan
dari berbagai sel batang, mana yang teraktivasi dan membawa sel ganglion
mencapai ambang. Benda tampak kabur jika penglihatan sel batang yang
digunakan karena kemampuannya untuk membedakan dua titik berdekatan
rendah (Sheerwood, 2002).
Tabel Sifat Penglihatan Batang dan Kerucut (Sheerwood, 2002)
Sel Batang Sel Kerucut
Jumlah 100 juta per retina
Banyak konvergensi di jalur sel
batang di mana > 100 sel batang
berkonvergensi ke sebuah sel
ganglion melalui sel bipolar dan
memberikan efek aditif.
Penglihatan dalam rona abu-abu
Kepekaan tinggi
Ketajaman rendah
Banyak konvergensi di jalur retina
Lebih banyak di perifer
Jumlah juta per retina
Sedikit konvergensi di jalur sel
kerucut di mana setiap sel kerucut
memiliki saluran khusus untuk
sebuah sel ganglion.
Penglihatan warna
Kepekaan rendah
Ketajaman tinggi
Sedikit konvergensi di jalur retina
Terkonsentrasi di fovea
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 12
Fotokimiawi PenglihatanRodopsin atau visual purple merupakan bahan kimia peka cahaya yang ada pada sel
batang, yang memenuhi hampi 40% dari segmen luar sel batang (Guyton, 2006).
Ketika rodopsin terpapar oleh cahaya, maka fotoaktivasi electron pada bagian retinal
dari rodopsin akan dengan cepat menyebabkan terurainya rodopsin dalam waktu sepersekian
detik. Karena penguraian tersebut, skotopsin tidak lagi memiliki pegangan yang tepat,
sehingga all-trans retinal sebagai hasil penguraian tersebut akan terlepas dari skotopsin
(Guyton, 2006).
Salah satu substansi yang terbentuk adalah metarodopsin II, yang dikenal juga sebagai
rodopsin teraktivasi. Karena substansi inilah yang akan merangsang perubahan elektrik dalam
sel batang untuk menghantarkan bayangan penglihatan ke sistem saraf pusat dalam bentuk
potensial aksi di nervus opticus (Guyton, 2006).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 13
1. ADAPTASI GELAP DAN TERANG
Ketika seseorang berada di tempat terang dalam waktu yang lama, maka
fotokimiawi yang ada di sel batang maupun sel kerucutnya akan berkurang akibat diubah
menjadi retinal dan opsin, dan retinal sendiri akan diubah menjadi vitamin A. Hal ini
menyebabkan penurunan sensitifitas mata di tempat yang terang, atau disebut adaptasi
terang (Guyton, 2006).
Sebaliknya, ketika seseorang berada di tempat gelap dalam waktu yang lama, maka
retinal dan opsin yang ada akan diubah lagi menjadi pigmen peka cahaya, dan vitamin A
yang tersimpan diubah menjadi retinal untuk makin meningkatkan jumlah pigmen
tersebut. Batas akhirnya ditentukan oleh jumlah opsin yang ada di dalam sel batang dan
kerucut untuk bergabung dengan retinal. Proses ini akan kembali meningkatkan
sensitivitas mata akan cahaya, bahkan hingga 60.000 kali lipat, dalam kurun waktu
tertentu (Guyton, 2006).
Untuk sensitivitas mata di tempat gelap, awalnya dapat diperankan oleh sel kerucut.
Namun karena sifat alamiahnya yang lebih peka pada cahaya terang, maka lambat laun
sensitivitasnya akan melemah dan menjadi tidak berespon terhadap jumlah cahaya yang
sedikit. Saat itulah sel batang akan mengambil peranan, untuk jangka waktu yang lebih
lama, dari hitungan menit hingga berjam-jam, seperti yang digambarkan pada kurva di
bawah ini (Guyton, 2006).
Selain peranan konsentrasi rodopsin tersebut, mekanisme lainnya untuk kondisi
terang dan gelap adalah dengan perubahan pada ukuran pupil serta adaptasi saraf.
Perubahan ukuran pupil dapat memberi pengaruh hingga 30 kali lipat dalam sepersekian
detik karena akan berefek pada jumlah cahaya yang diterima mata. Sedangkan untuk
adaptasi saraf, diperankan oleh jalinan-jalinan sel yang berperan dalam jaras penglihatan,
yang menurunkan besar rangsangan visual dari sel-sel yang berada di lapisan retina.
Meski pengaruhnya kecil, namun mekanisme ini berjalan lebih cepat, yaitu dalam
sepersekian detik (Guyton, 2006).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 14
2. PENGLIHATAN WARNA
Pada dasarnya, mata manusia dapat mendeteksi hampir semua gradasi warna bila
cahaya monokromatik dari warna merah, hijau, dan biru dipersatukan dalam bermacam-
macam kombinasi. Berdasarkan uji penglihatan warna, sensitivitas spectrum ketiga tipe
sel kerucut sifatnya adalah sama seperti kurva absorpsi cahaya untuk ketiga pigmen yang
ditemukan di dalam sel kerucut.
Untuk menginterpretasikan warna yang dilihat, maka otak akan menggabungkan
spektrum-spektrum yang sampai di retina, dalam kombinasi yang berbeda-beda pada tiap
tipe sel kerucut. Terkadang ada yang membutuhkan kombinasi dari ketiganya, atau hanya
dua tipe sel yang teraktivasi ataupun hanya satu tipe. Untuk warna putih, persepsi sensasi
warnanya dapat timbul jika ketiga tipe sel kerucut mendapat rangsangan yang kurang
lebih sama besar, atau merupakan kombinasi dari semua panjang gelombang spectrum
cahaya (Guyton, 2006).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 15
Hasil Pengolahan Retina Pada Sel GanglionInformasi yang disampaikan dari retina ke otak bukan sekedar catatan titik ke titik
pengaktivan reseptor. Sebelum infomasi mencapai otak, lapisan neuron retina di luar sel
batang dan kerucut memperkuat informasi yang dipilih dan menekan informasi lain untuk
meningkatkan kontras. Salah satu mekanisme pengolahan retina adalah inhibisi lateral, yakni
jalur sel kerucut yang sangat tereksitasi menekan jalur sel kerucut sekitar yang kurang
terangsang. Hal ini memperbesar kontras gelap-terang untuk meningkatkan ketajaman batas-
batas (Sheerwood, 2002)
Mekanisme lain pada pengolahan retina adalah pengaktivan 2 jenis sel ganglion, sel
ganglion on-center dan off-center. Lapang reseptif sebuah sel ganglion kerucut ditentukan
oleh lapangan deteksi cahaya sel kerucut yang terkait. Sel ganglion on-center dan off-center
berespon dengan cara yang bertentangan, bergantung pada perbandingan relatif iluminasi
antara lapangan reseptif pusat dan perifer. Sel ganglion on-center meningkatkan kecepatan
pembentukan potensial aksinya ketika cahaya paling kuat di bagian tengah lapanagan
reseptif. Sebaliknya sel ganglion off-center meningkatkan kecepatan pembentukan potensial
aksinya saat bagian perifer lapangan reseptif mendapat penerangan paling kuat. Hal ini
bermanfaat untuk meningkatkan perbedaan cahaya antara suatu daerah kecil di bagian tengah
lapangan reseptif dan dan iluminasi daerah sekitar. Dengan menekan perbedaan terang relatif,
mekanisme ini membantu memperjelas bentuk (kontur) bayangan (Sheerwood, 2002).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 16
Penentuan Jarak Objek dari Mata (Persepsi Kedalaman)Secara normal, seseorang dapat merasakan jarak melalui tiga cara :
1. Ukuran Bayangan dari Objek yang Telah Dikenali Pada Retina
Bila seseorang sudah mengetahui bahwa seseorang yang dilihatnya mempunyai tinggi
6 kaki, ia dapat menentukkan jaraknya melalui besar bayangan orang tersebut pada
retina. Ia tidak secara sadar memikirkan ukuran orang itu, namun otaknya telah
belajar menghitung secara otomatis jarak objek melalui ukuran bayangan bila dimensi
telah diketahui.
2. Fenomena Pergerakan Paralaks
Cara penting lain yang dipakai mata untuk menentukan jarak adalah pergerakan
paralaks. Bila melihat dari kejauhan dengan kedua matanya dalam keadaan benar-
benar diam, seseorang tidak merasakan pergerakan paralaks, namun bila orang itu
menggerakan kepalanya ke salah satu sisi, bayangan objek yang dekat dengannya
akan cepat bergerak menyilang retina, sedangkan bayangan objek yang jauh
cenderung menetap.
3. Fenomena Stereopsis
Cara lain yang dapat dipakai untuk merasakan paralaks adalah dengan “penglihatan
binokuler”. Karena mata yang satu berjarak kurang lebih 2 inci dari mata yang lain,
maka bayangan di kedua retina berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, sebuah objek
yang letaknya 1 inci di depan hidung akan membentuk suatu bayangan di sisi kiri dari
retina mata kiri tetapi di sisi kanan dari retina mata kanan, sedangkan suatu objek
kecil yang berjarak 20 kaki di depan hidung akan membentuk bayangan pada titik
korespondensi di bagian tengah kedua retina. Paralaks macam ini memperlihatkan
adanya bayangan suatu bulatan merah dan bujur sangkar kuning yang sebenarnya
terbalik di kedua retina karena jarak kedua bentuk tersebut berbeda di depan mata.
Keadaan ini akan menghasilkan suatu macam paralaks yang akan muncul pada setiap
kali kedua mata digunakan. Paralaks binokuler (atau stereopsis) inilah yang
merupakan sebab utama kedua mata seseorang itu lebih mampu menentukan jarak
relative objek yang dekat daripada orang yang hanya mempunyai satu mata. Namun,
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 17
stereopsis ini sebenarnya tak berguna pada persepsi kedalaman yang berjarak lebih
dari 50 hingga 200 kaki.
Kemampuan menentukan jarak ini disebut persepsi kedalaman. Alat yang dipakai
pemeriksa untuk melihat mata pasien dan melihat retina dengan jelas adalah oftalmoskop.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 18
GANGGUAN TAJAM PENGLIHATAN(PENGLIHATAN KURANG)
DefinisiIstilah “penglihatan berkurang” mencakup suatu kisaran yang luas. Seseorang dengan
tahap dini suatu penyakit mata mungkin mengalami penurunan penglihatan mendekati
normal, sisanya mungkin mengalami penurunan penglihatan sedang hingga berat. Semua
pasien berpenglihatan kurang memiliki penglihatan yang berfungsi hingga derajat tertentu
walaupun penurunan penglihatannya mungkin bermakna. Mereka hendaknya tidak dianggap
“buta”, kecuali jika mereka tak lagi mempunyai penglihatan yang berfungsi. Pasien dengan
penglihatan kurang umumnya kinerja penglihatannya terganggu, yaitu ketajaman
penglihatannya tidak dapat diperbaiki dengan kacamata konvensional atau lensa kontak.
Kinerja penglihatan bervariasi pada setiap individu (Faye, 2010).
Definisi low vision berdasarkan kuantitas pengukuran tajam penglihatan dan lapang
pandangan. WHO mendefinisikan low vision pada tahun 1992 sebagai berikut : “Seseorang
dengan low vision merupakan orang yang mengalami kerusakan fungsi penglilhatan setelah
pelaksanaaan dan/atau koreksi refraksi standar, dan mempunyai tajam penglihatan kurang
dari 6/18 (20/60) terhadap persepsi cahaya atau lapang pandangan kurang dari 10o dari titik
fiksasi” (Siregar, 2009).
Definisi terbaru low vision meliputi pengukuran/pemeriksaan sensitivitas kontras,
skotoma sentral dan parasentral, serta keluhan peningkatan kepekaan terhadap cahaya,
kelainan persepsi warna, adaptasi gelap, motilitas mata, dan fusi (Siregar, 2009).
EpidemiologiDi Amerika Serikat, lebih dari 6 juta orang mengalami gangguan penglihatan, tetapi
secara legal tidak diklasifikasikan buta. Buta legal didefinisikan sebagai ketajaman
penglihatan setelah dikoreksi maksimal 20/200 atau kurang di mata yang lebih sehat, atau
suatu lapang pandang 20 derajat atau kurang. Buta legal di AS mengenai 1 juta orang. Dan
lebih dari 75% pasien yang berobat berusia 65 tahun atau lebih (Faye, 2010).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 19
EtiologiDegenerasi makula terkait usia, semakin banyak menjadi penyebab kasus penurunan
penglihatan. Penyebab yang juga sering ditemukan adalah katarak berpenyulit, distrofi
kornea, glaukoma, retinopati diabetik, atrofi optik, stroke yang menimbulkan hemianopsia,
myopia degeneratif, dan retinitis pigmentosa. Sekitar 9% dari populasi penglihatan berkurang
pada anak-anak disebabkan oleh kelainan mata kongenital atau trauma (Faye, 2010).
Penyakit-penyakit yang menyebabkan penglihatan kurang dapat digolongkan dalam 3
kelompok, yaitu :
1. Penglihatan kabur atau berkabut di semua lapang pandang, yang khas pada kekeruhan
media (kornea, lensa, kapsul lensa, vitreous).
2. Skotoma sentral, yang khas pada kelainan-kelainan makula (degeneratif, kongenital,
atau peradangan) dan skotoma sekosentral pada penyakit nervus opticus.
3. Skotoma perifer, yang khas pada retinitis pigmentosa, glaukoma lanjut, stroke, dan
kelainan retina perifer apapun, termasuk retinopati diabetik (Faye, 2010).
Klasifikasi The International Classification of Disease, 9th Revision, Clinical Modification (ICD-
9-CM) membagi low vision atas 5 kategori, sebagai berikut :
1. Moderate visual impairment. Tajam penglihatan yang paling baik dapat dikoreksi
kurang dari 20/60 samapi 20/160.
2. Severe visual impairment. Tajam penglihatan yang paling baik dapat dikoreksi kurang
dari 20/16 sampai 20/400 atau diameter lapang pandangan adalah 20o atau kurang
(diameter terbesar dari isopter Goldmann adalah III4e, 3/100, objek putih).
3. Profound visual impairment. Tajam penglihatan yang paling baik dapat dikoreksi
kurang dari 20/400 sampai 20/1000, atau diameter lapang pandangan adalah 10o atau
kurang.
4. Near-total vision loss. Tajam penglihatan yang paling baik dapat dikoreksi 20/1250
atau kurang.
5. Total blindness. No light perception (Siregar, 2009).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 20
Patofisiologi1. Penglihatan Kabur atau Berkabut di Semua Lapang Pandang
Penglihatan kabur atau berkabut yang menyeluruh dapat ditimbulkan oleh kelainan
di media optik. Silau dan fotofobia dapat juga menjadi penyebab. Setiap penyakit kornea,
katarak, pengeruhan kapsul lensa, atau kekeruhan vitreus mempengaruhi refraksi berkas
cahaya yang masuk ke mata. Refraksi yang serampangan tersebut menyebabkan
berkurangnya ketajaman penglihatan, silau, dan penurunan kontras. Miosis pupil semakin
membatasi banyaknya cahaya yang mencapai retina. Pasien akan mengalami kesulitan
melihat anak tangga dan benda-benda berkontras kurang lainnya. Ketajaman penglihatan
bervariasi sesuai pencahayaan sekitar (Faye, 2010).
2. Skotoma Sentral
Penglihatan sentral penting untuk detail, penglihatan warna, dan penglihatan siang
hari. Makula terutama tersusun oleh sel kerucut. Dua penyebab tersering penyakit makula
adalah degenerasi macula terkait usia yang atrofik (kering) dan eksudatif (basah),
keduanya semakin sering dijumpai pada kaum usia lanjut saat ini. Penyebab lainnya
adalah lubang macula, degenerasi macula miopik, penyakit nervus opticus (skotoma
sekosentral), dan kelainan macula kongenital. Terapi fotodinamik menghindari terjadinya
skotoma padat yang ditimbulkan oleh terapi laser konvensional (Faye, 2010).
Pada stadium-stadium awal degenerasi macula terkait usia atrofik, pasien sering
mengeluhkan penglihatan sentral yang kabur atau terdistorsi. Penglihatan perifer tidak
terpengaruh, kecuali bila terdapat katarak yang memperburuk gambaran. Kehilangan
penglihatan sentral menumbulkan kesulitan membaca, mengenali wajah, dan detail-detail
lain. Skotoma padat tidak ada pada degenerasi macula atrofik dan biasanya tidak ada pada
penyakit eksudatif, kecuali bila terjadi fibrosis retina yang mengikuti perdarahan
subretina atau koroid (penyakit disiformis). Sensitivitas kontras semakin menurun dengan
meluasnya penyakit keluar fovea. Degenerasi macula umumnya tidak menghalangi pasien
berpergian dengan aman karena penglihatan perifer efektif untuk melakukan orientasi
(Faye, 2010).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 21
3. Skotoma Perifer
Skotoma di lapang pandang perifer khas untuk glaukoma stadium-akhir, retinitis
pigmentosa, retinopati diabetik yang diterapi dengan fotokoagulasi, serta kelainan dan
penyakit system saraf pusat, seperti tumor, stroke, atau trauma. Lapang pandang perifer
penting untuk menentukan lokasi diri dalam ruang, mendeteksi pergerakan, dan untuk
kewaspadaan akan adanya potensi bahaya di lingkungan sekitar. Penglihatan yang
mengutamakan penggunaan sel batang paling peka pada malam hari atau saat temaram.
Pasien dengan penyempitan lapang pandang mungkin mampu membaca huruf berukuran
kecil, tetapi memerlukan tongkat atau anjing penuntun untuk berkeliling (Faye, 2010).
Penegakan Diagnosis1. Anamnesis mengenai onset keadaan mata yang dialami dan efek penurunan penglihatan
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Pasien harus ditanyakan mengenai gambaran spesifik onset, terapi yang diberikan, dan
pengobatan saat ini. Respon pasien menunjukkan pemahaman tentang kondisi mereka
sendiri. Catat adanya sikap yang tidak realistis dan tidak masuk akal. Anamnesis perlu
merujuk pada daftar aktivitas sehari-hari pasien yang tidak dapat dikerjakannya secara
efisien. Dari daftar ini, dapat ditentukan tujuan terapi yang realistis bagi individu tersebut.
Aktivitas Alat Bantu Optis Alat Bantu Non-Optis
Berbelanja Kaca pembesar genggam Cahaya, petunjuk warna
Menyiapkan cemilan Kacamata bifokus Petunjuk warna, rencana
penyimpanan yang konsisten.
Makan di luar Kaca pembesar genggam Senter, lampu meja
Membedakan uang Kacamata bifokus, kaca
pembesar genggam.
Menyusun dompet dalam
kompartemen-kompartemen.
Membaca tulisan/teks Kacamata berkekuatan
tinggi, kacamata bifokus,
kaca pembesar genggam,
Cahaya, teks berkontras tinggi,
teks berukuran besar, lubang
baca (reading slit).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 22
kaca pembesar berdiri,
closed circuit television.
Menulis Kaca pembesar genggam Cahaya, pena berujung besar,
tinta hitam.
Menekan tombol
telepon
Teleskop Angka telepon berukuran
besar, catatan dengan tulisan
tangan.
Menyeberang jalan Teleskop Tongkat, menanyakan arah.
Mencari tanda taksi
dan bus
Kaca pembesar genggam
Membaca label obat Kaca pembesar genggam Kode warna, huruf berukuran
besar.
Membaa huruf di
kompor
Kaca pembesar genggam Kode warna
Menyesuaikan
termostat
Kaca pembesar genggam Model dengan huruf berukuran
besar.
Menggunakan
komputer
Kacamata tambahan
erkekuatan sedang
Warna kontras tinggi, program
dengan huruf berukuran besar.
Membaca petunjuk Kacamata Mendekati penunjuk
Menonton
pertandingan olahraga
Teleskop Duduk di baris depan
2. Pemeriksaan ketajaman penglihatan terbaik setelah koreksi, lapang pandang, sensitivitas
kontras, persepsi warna (dan kepekaan terhadap silau bila hal itu berkenaan dengan
keluhan pasien).
3. Evaluasi penglihatan dekat dan kemampuan membaca (Faye, 2010).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 23
Pemeriksaan Tajam Penglihatan1. Uji Lubang Kecil (Pin Hole)
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui apakah tajam penglihatan yang
kurang terjadi akibat kelainan refraksi atau kelainan organik media penglihatan.
Pemeriksa duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6 meter. Penderia disuruh
melihat huruf terkecil yang masih terlihat dengan jelas. Kemudian pada mata tersebut
ditaruh lempeng berlubang kecil (pin hole atau ubang sebesar 0,75 mm). Bila terdapat
perbaikan tajam penglihatan dengan melihat melalui lubang kecil berarti terdapat kelainan
refraksi. Bila terjadi kemunduran tajam penglihatan berarti terdapat gangguan pada media
penglihatan. Mungkin saja ini diakibatkan oleh kekeruhan kornea, katarak, kekeruhan
badan kaca, dan kelainan makula lutea.
2. Uji Pengkabutan
Uji pemeriksaan astigmatisma dengan memakai prinsip mengistirahatkan
akomodasi dengan memakai lensa positif. Dengan mata istirahat, pasien disuruh untuk
melihat astigmatisma dial (juling astigmat). Bila garis verikal yang terlihat jelas berarti
garis ini telah terproyeksi dengan baik pada retina sehingga diperlukan koreksi bidang
vertikal dengan memakai lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat. Penambahan
kekuatan silinder diberikan sampai garis pada juling astigmatisma terlihat sama jelasnya.
3. Uji Celah Stenopik
Celah selebar 1 mm lurus yang terdapat pada lempeng dan dipergunakan untuk :
a. Mengetahui adanya astigmat, di mana penglihatan akan bertambah bila letak sumbu
celah sesuai dengan sumbu astigmat yang terdapat.
b. Melihat sumbu koreksi astigmat, penglihatan akan bertambah bila sumbunya
mendekati sumbu silinder yang benar, untuk memperbaiki sumbu astigmat
dilakukan dengan menggeser sumbu celah stenopik berbeda dengan sumbu silinder
yang dipasang, bila terdapat perbaikan penglihatan maka ini menunjukkan sumbu
astigmatisma belum tepat.
c. Untuk mengetahui besarnya astigmat, dilakukan hal yang sama dengan sumbu celah
berhenti pada ketajaman maksimal. Pada sumbu ini ditaruh lensa positif atau negatif
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 24
yang memberikan ketajaman maksimal. Perbedaan antara kedua kekuatan lensa
sferis yang dipasangkan merupakan besarnya astigmatisma kornea tersebut.
d. Menentukan rencana pembedahan iridektomi, dengan pupil dilebarkan maka celah
stenopik diputar-putar letaknya di depan mata. Kemudian dilihat kedudukan
stenopik yang memberikan tajam penglihatan maksimum, pada sumbu ini dilakukan
iridektomi optik.
4. Uji Silinder Silang
Dua lensa silinder yang sama akan tetapi dengan kekuatan yang berlawanan dan
diletakkan dengan sumbu saling tegak lurus (silinder silang jackson). Ekuivalen sferisnya
adalah nihil.
Lensa silinder silang terdiri atas 2 lensa silinder yang menjadi satu yang dapat
terdiri atas silinder -0.25 (-0.50) dan silinder + 0.25 (+ 0.50) yang sumbunya saling tegak
lurus.
Lensa ini dipergunakan untuk :
a. Melihat koreksi silinder yang telah dilakukan pada kelainan astigmat pasien sudah
cukup atau telah penuh.
Pada mata ini dipasang silinder silang yang sumbunya sejajar dengan sumbu
koreksi. Bila sumbu lensa silinder silang diputar 90o ditanyakan apakah penglihatan
membaik atau mengurang. Bila membaik berarti pada kedudukan kedua lensa
silinder mengakibatkan perbaikan penglihatan. Bila silinder itu dalam kedudukan
silinder positif maka untuk koreksi pasien diperlukan pemasangan tambahan lensa
silinder positif. Keadaan ini dapat saja sebaliknya.
b. Untuk melihat apakah sumbu lensa silinder pada koreksi yang telah diberikan telah
sesuai.
Pada keadaan ini dipasang lensa silinder silang dengan sumbu 45o terhadap sumbu
silinder koreksi yang telah dipasang. Kemudian lensa silinder silang ini sumbunya
diputar cepat 90o. Bila pasien tidak melihat adanya perbedaan perubahan tajam
penglihatannya pada kedua kedudukan ini berarti sumbu lensa koreksi yang dipakai
sudah sesuai. Bila pada satu kedudukan lensa silinder silang ini terlihat lebih jelas
maka silinder positif dari lensa koreksi diputar mendekati smbu lensa silinder positif
lensa silinder silang (dan sebaliknya). Kemudian dilakukan pemeriksaan ulang. Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 25
Pemeriksaan ini dilakukan samapai tercapai titik netral atau tidak sama terdapat
perbedaan. Untuk memperbaiki kelainan astigmat diberikan lensa silinder dengan
cara coba-coba, cara oengabur, ataupun cara silinder bersilang. Pada astigmat
ireguler dimana terjadi pemnatulan dan pembiasan sinar yang tidak teratur pada
dataran permukaan depan kornea maka koreksi dilakukan dengan memakai lensa
kontak. Dengan memakai lensa kontak ini, maka permukaan depan kornea tertutup
rata dan diisi oleh film air mata.
5. Uji Duokrom
Pada mata emetropia, sinar merah dibiaskan di belakang retina sedangkan sinar
hijau di depan, demikian pula pada mata yang telah dikoreksi dengan tepat. Pada
penderita duduk dengan satu mata ditutup dan melihat pada kartu merah hijau ada huruf
di atasnya. Pada pasien diminta untuk memberitahu huruf di atas warna yang tampak
lebih jelas.
Bila terlihat huruf di atas warna hijau lebih jelas berarti mata hipermetropia,
sedangkan pada miopia akan lebih jelas huruf pada warna merah. Pada keadaan di atas
dilakukan koreksi sehingga huruf di atas warna hijau sama jelas dibanding huruf di atas
warna merah.
6. Uji Dominan Mata
Uji dominan mata adalah tes untuk mengetahui mata dominan pada anak. Anak
diminta melihat pada satu titik atau benda jauh. Satu mata ditutup. Bila mata dominan
yang tertutup maka anak tersebut akan menggerakkan kepalanya untuk melihat benda
yang matanya dominan.
7. Uji Crowding Phenomena
Penderita diminta membaca kartu Snellen sampai huruf terkecil yang dibuka satu
per satu atau yang diisolasi, kemudian isolasi huruf dibuka dan pasien disuruh melihat
sebaris huruf yang sama. Bila terjadi penurunan tajam penglihatan dari huruf isolasi ke
huruf dalam baris maka ini disebut adanya crowding phenomena pada mata tersebut.
Mata ini menderita ambliopia (Ilyas, 2008).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 26
PenatalaksanaanTerdapat lima jenis alat bantu penglihatan kurang, yaitu :
1. Alat bantu lensa konveks, seperti kacamata, kaca pembesar genggam, dan kaca pembesar
berdiri. Alat-alat ini masing-masing memiliki keuntungan dan kerugian. Apabila
mengunakan kacamata, bahan bacaan harus dipegang dalam jarak fokus kacamata,
misalnya 10 cm untuk lensa 10 dioptri. Keuntungan menggunakan kacamata adalah kedua
tangan tetap bebas. Kaca pembesar genggam nyaman digunakan untuk berbelanja,
membaca tombol dan label, mengenali uang, dll. Keuntungan lensa genggam adanya
jarak kerja yang lebih besar antara mata dan lensa. Namun, kerugiannya lensa ini tidak
cocok bagi pasien yang mengalami kaku sendi atau tangan gemetar.
2. Sistem teleskop, dapat dipasang di kacamata atau digenggam. Sistem teleskop adalah
satu-satunya alat yang dapat difokuskan dari jarak tak hingga ke jarak dekat. Bagi
individu yang berpenglihatan kurang, alat yang paling sederhana adalah teleskop
monokular-genggam untuk melihat dalam waktu singkat.
3. Alat-alat non-optik (adaptif), seperti huruf berukuran besar, perbaikan pencahayaan,
penyangga baca, alat penanda, alat yang dapat berbicara (jam, pengatur waktu, dan
timbangan).
4. Pewarnaan dan filter, termasuk lensa antipantul.
5. Sistem membaca elektronik yang mencakup mesin pembaca closed-circuit television,
optical print scanner, komputer yang mampu mencetak tulisan dalam ukuran besar, dan
komputer yang dilengkapi dengan perintah suara untuk mengakses program (Faye, 2010).
Penatalaksanaan berdasarkan penyakit penyebab, yaitu :
1. Penglihatan Kabur Atau Berkabut Di Semua Lapang Pandang
Yang terpenting dalam tatalaksana adalah modifikasi pencahayaan dan perhatian
terhadap detail-detail ruangan dan penerangan yang sesuai dengan aktivitas. Pelapisan
dengan lensa antipantul dan lensa abu-abu netral mengurangi intensitas cahaya (sehingga
mengurangi silau). Lensa-lensa berwarna kuning dan kuning kecoklatan meningkatkan
kontras. Filter ultraviolet sebaiknya digunakan terutama pada pasien-pasien pseudofakia.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 27
Teks dengan huruf yang besar dan tebal menghasilkan kontras yang lebih tinggi, sesuai
kebutuhan pasien (Faye, 2010).
Pembesaran bisa efektif bisa juga tidak, tergantung pada tingkat kepekaan pasien
terhadap kontras. Gambar yang diperbesar itu sendiri memiliki kontras yang rendah. Silau
yang ditimbulkan oleh cahaya dari kaca pembesar berdiri bahkan bisa mengurangi
ketajaman membaca karena bayangan yang diperbesar mungkin tetap tidak jelas. Huruf
yang tebal dan besar mungkin merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan sebuah
kaca pembesar – atau pada kasus silau yang ditimbulkan oleh permukaan kertas, suatu
lubang baca dari plastik hitam untuk mengurangi silau dan memperjelas teksnya. Lensa
kontak, keratoplasti, bedah refraksi laser kornea, kapsulotomi posterior, dan lensa
intraocular tanam dapat juga digunakan untuk kasus-kasus tertentu. Dokter bedah katarak
mungkin perlu mempertimbangkan penggunaan lensa tanam yang kekuatan koreksinya
lebih beberapa dioptri. Myopia yang ditimbulkannya memungkinkan visus pasien
berpenglihatan kurang yang tak dikoreksi tersebut berada dalam kisaran menengah (Faye,
2010).
2. Skotoma Sentral
Pasien dengan stadium penyakit macula yang cukup lanjut seringkali secara spontan
menggunakan posisi kepala yang eksentrik atau melirik untuk memindahkan bayangan
dari daerah retina yang tidak dapat melihat ke daerah parafovea yang viable. Kemampuan
memindahkan skotoma mungkin diperlihatkan pasien saat dilakukan pemeriksaan kisi-
kisi Amsler. Beberapa pasien merespon prisma bilateral di kacamata untuk memindahkan
bayangan tersebut (Faye, 2010).
Lensa pembesar memperbesar bayangan retina supaya terletak di luar daerah retina
yang rusak. Kekuatan lensa berkaitan dengan sensitivitas kontras, serta posisi dan
kepadatan skotoma. Pasien dapat menggunakan beberapa jenis alat untuk berbagai
aktivitas, seperti kacamata untuk membaca, kaca pembesar genggam untuk berbelanja,
CCTV untuk menulis dan mengetik. Sebagian besar pasien sukses mempelajari cara
menggunakan alat bantu penglihatan kurang, terutama setelah sesi instruksi untuk
menggalakkan pemakaian yang benar. Pasien berusia lanjut mungkin memerlukan
pengulangan dan waktu tambahan. Semua pasien perlu terus-menerus diyakinkan
mengenai kemungkinan timbulnya kebutaan walaupun kecil (Faye, 2010).Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 28
3. Skotoma Perifer
Pencahayaan yang adekuat dan aktivitas yang sesuai penting bagi penglihatan
pasien, terutama bergantung pada makula. Pasien sering mengalami fotofobia akibat
penggunaan cahaya berintensitas tinggi, yang dapat diatasi dengan filter kuning hingga
kuning kecoklatan yang menahan sinar ultraviolet dan sinar tampak biru kurang dari 527
nm (Faye, 2010).
Bila suatu katarak tampak mengganggu fungsi penglihatan optimal, kombinasi uji
sensitivitas kontras dan silau mungkin dapat menunjukkan waktu yang paling tepat untuk
bedah katarak. Lensa intraokular yang ditanam sebaiknya mengandung bahan penahan
sinar ultraviolet. Dokter bedah mungkin mempertimbangkan untuk menggunakan lensa
tanam yang membuat pasien myopia sekian dioptri sehingga penglihatan jarak sedang
menjadi jelas tanpa koreksi. Hal ini dilakukan karena bagi seseorang yang penglihatannya
terganggu, penglihatan jarak sedang lebih penting daripada penglihatan jauh yang jelas
(Faye, 2010).
Bila diameter lapang pandang sentral kurang dari 7 derajat, pembesaran bayangan
mungkin tidak akan menguntungkan. Teleskop dan kaca pembesar di kacamata
memperbesar bayangan melebihi lapang pandang yang berfungsi. Kaca pembesar
genggam dan closed circuit television or computer mungkin merupakan peralatan yang
terpilih, di mana ukuran pembesaran bayangan dapat diubah-ubah dan disesuaikan
dengan ukuran lapang pandang pasien (Faye, 2010).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 29
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM OPTIK
Sensasi somatik dideteksi oleh reseptor yang tersebar luas yang memberikan
informasi mengenai interaksi tubuh dengan lingkungan secara umum. Sebaliknya, setiap
indera khusus (special senses) memiliki reseptor-reseptor yang sangat terlokalisasi dan
memiliki kekhususan, yang berespon terhadap rangsangan lingkungan tertentu (Sherwood,
2001)
Internal Structure of The Eye
Mata mengungkap pola iluminasi dalam lingkungan sebagai suatu gambaran optik
pada sebuah lapisan sel-sel peka cahaya, yaitu retina. Seperti sebuah kamera menangkap
bayangan pada film. Seperti film yang dapat dicuci cetak untuk menghasilkan gambar yang
mirip dengan bayangan asli, demikian juga citra pengolahan retina disalurkan melalui
serangkaian pengolahan yang semakin kompleks setiap langkahnya sampai akhirnya secara
sadar dipersepsikan sebagai gambar yang mirip dengan gambar aslinya (Sherwood, 2001).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 30
Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh 3 lapisan. Dari
lapisan paling luar ke dalam, yaitu (1) sclera, (2) koroid/badan siliaris/iris, (3) retina.
Sebagian besar bola mata dilapisi oleh sebuah lapisan jaringan ikat protektif yang kuat di
sebelah luar, sclera, yang membentuk bagian putih mata. Di anterior (ke arah depan), lapisan
luar terdiri dari kornea transparan tempat lewatnya berkas cahaya ke inferior mata. Lapisan
tengah di bawah sclera adalah koroid yang sangat berpigmen mengandung pembuluh darah
untuk memberi makan retina (Sherwood, 2001).
Lapisan koroid di sebelah anterior mengalami spesialisasi untuk membentuk badan
(korpus) siliaris dan iris. Lapisan paling dalam di bawah koroid adalah retina, yang terdiri
dari sebuah lapisan berpigmen di sebelah luar dan sebuah lapisan jaringan saraf di sebelah
dalam. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor yang mengubah energi
cahaya menjadi impuls saraf. Seperti dinding hitam di studio foto, pigmen di koroid dan
retina menyerap cahaya setelah mengenai retina untuk mencegah pemantulan atau
penghamburan cahaya di dalam mata (Sherwood, 2001).
Bagian dalam mata terdiri dari dua rongga lensa berisi cairan jernih untuk
memungkinkan cahaya lewat menembus mata dari kornea ke retina. Ronga anterior (depan)
antara kornea dan lensa mengandung cairan encer jernih, aqueous humor, dan rongga
posterior (belakang) yang lebih besar antara lensa dan retina mengandung zat semi cair mirip
gel yang disebut vitreous humor (Sherwood, 2001).
Vitreous humor penting untuk mempertahankan bentuk bola mata yang sferis.
Aqueous humor mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa, keduanya tidak memiliki
pasokan darah. Adanya pembuluh darah di kedua struktur ini akan menganggu lewatnya
cahaya ke fotoreseptor. Aqueous humor dibentuk dengan kecepatan sekitar 5 ml/hari oleh
jaringan kapiler di dalam korpus siliaris, turunan khusus lapisan koroid di sebelah anterior.
Cairan ini mengalir ke suatu saluran di tepi kornea dan akhirnya masuk ke darah. Jika
aqueous humor tidak dikeluarkan sama cepatnya dengan pembentukannya (sebagai contoh
karena sumbatan pada saluran keluar), kelebihan cairan akan tertimbun di rongga anterior dan
menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler (Sherwood, 2001).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 31
KorneaKornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui oleh berkas
cahaya saat menuju retina. Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskular, dan deturgesens. Deturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan
kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel
dan endotel. Endotel lebih sering daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi, dan kerusakan
pada endotel jauh lebih serius dibandingkan dengan kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan yang cenderung bertahan
lama karena terbatasnya potensi perbaikan fungsi endotel. Kerusakan pada epitel biasanya
hanya menyebabkan edema lokal sesaat pada stoma kornea yang akan menghilang dengan
regenerasi sel-sel epitel yang cepat. Penguapan air dari film air mata prakornea
menyebabkan aliran air mata menjadi hipertonik, proses tersebut dan penguapan langsung
adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma kornea superficial untuk mempertahankan
keadaan dehidrasi (Riordan, 2010).
Penetrasi obat melalui kornea yang utuh terjadi secara bifasik. Substansi larut lemak
dapat melalui epitel utuh, dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh. Jadi agar
dapat melalui kornea, obat harus larut lemak sekaligus larut air (Riordan, 2010).
Tebal kornea (0,6-1) mm terdiri atas beberapa lapisan :
1. Epitel
Epitel kornea merupakan lapisan paling luar kornea dan berbentuk seperti epitel
gepeng berlapis tanpa tanduk. Bagian terbesar ujung saraf kornea berakhir pada epitel
ini. Setiap gangguan epitel akan memberikan gangguan pada sensibilitas korena
berupa rasa sakit atau mengganjal. Daya regenerasi epitel cukup besar sehingga
apabila terjadi kerusakan, akan diperbaiki dalam beberapa hari tanpa membentuk
jaringan parut (Ilyas, 2002).
2. Membran Bowman
Membran Bowman yang terletak di bawah epitel merupakan suatu membran tipis
yang homogen terdiri atas susunan serat kolagen kuat yang mempertahankan bentuk
kornea. Bila terjadi kerusakan pada membran Bowman maka akan berakhir dengan
terbentuknya jaringan parut (Ilyas, 2002).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 32
3. Stroma
Merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea dan terdiri atas jaringan kolagen
yang tersusun dalam lamela-lamela dan berjalan sejajar dengan permukaan kornea. Di
antara serat-serat kolagen ini terdapat matriks. Stroma bersifat higroskopis yang
menarik air dari bilik mata depan. Kadar air di dalam stroma kurang lebih 70%. Kadar
air di dalam stroma relatif tetap yang diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan
penguapan oleh epitel. Apabila fungsi sel endotel kurang baik maka akan terjadi
kelebihan kadar air sehingga timbul edema kornea. Serat di dalam stroma yang
demikian teratur sehingga memberikan gambaran kornea yang transparan atau jernih
(Ilyas, 2002).
4. Membran Descemet
Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak berstruktur dan bening.
Terletak di bawah stroma dan merupakan pelindung atau barier infeksi dan masuknya
pembuluh darah (Ilyas, 2002).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 33
5. Endotel
Terdiri atas lapisan sel yang merupakan jaringan terpenting untuk mempertahankan
kejernihan kornea. Sel endotel adalah sel yang mengatur cairan di dalam stroma
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi sehingga apabila terjadi kerusakan
endotel tidak dapat kembali normal. Endotel dapat rusak atau terganggu fungsinya
akibat trauma bedah, penyakit intraokular (Ilyas, 2002).
LensaMerupakan badan yang bening, bikonveks dengan ketebalan sekitar 5 mm dan
berdiameter 9 mm orang dewasa. Permukaan lensa bagian posterior lebih melengkung
dibandingkan dengan bagian anterior. Kedua permukaan tersebut bertemu pada tepi lensa
yang dinamakan ekuator. Lensa mempunyai kapsul bening dan pada ekuator difiksasi oleh
zonula Zinn pada badan siliar. Lensa pada orang dewasa terdiri atas bagian inti (nukleus) dan
bagian tepi (korteks). Nukleus lebih keras dibandingkan korteks. Dengan bertambahnya
umur, nucleus makin membesar sedangkan korteks makin menipis, sehingga akhirnya seluruh
lensa mempunyai konsistensi nukelus. Fungsi lensa adalah untuk membiaskan cahaya,
sehingga difokuskan pada retina. Peningkatan kekuatan pembiasan lensa disebut akomodasi
(Ilyas, 2002).
UveaSebenarnya uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola mata setelah sclera dan
tenon. Uvea merupakan jaringan lunak yang terdiri atas 3 bagian, yaitu iris, badan siliar, dan
koroid. Iris merupakan membran warna, berbentuk sirkular, yang ditengahnya terdapat
lubang yang dinamakan pupil. Berfungsi mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk ke
dalam mata. Iris berpangkal pada badan siliar, yang merupakan pemisah antara bilik mata
depan dengan bilik mata belakang. Permukaan iris warnanya sangat bervariasi dan
mempunyai lekukan-lekukan kecil, terutama di sekitar pupil disebut kripti (Ilyas, 2002).
Jaringan otot iris tersusun longgar dengan otot polos yang berjalan melingkari pupil
(sfingter pupil) dan radial tegak lurus pupil (dilatator pupil). Iris menipis di dekat
perlekatannya di badan siliar dan menebal di dekat pupil. Pembuluh darah di sekeliling pupil
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 34
disebut sirkulus minor dan yang berada dekat badan siliar disebut sirkulus mayor. Iris
dipersarafi oleh nervus nasosiliar cabang dari saraf kranial III yang bersifat simpatik untuk
midriasis dan parasimpatik untuk miosis (Ilyas, 2002).
Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai koroid terdiri atas otot-otot
siliar dan prosesus siliaris. Otot-otot siliar berfungsi untuk akomodasi; jika otot-otot ini
berkontraksi ia menarik prosesus siliar dan koroid ke depan dan ke dalam, mengendalikan
zonula Zinn sehingga lensa menjadi lebih cembung. Fungsi proses siliar adalah memproduksi
cairan mata (humor aquos). Koroid adalah suatu membran yang berwarna coklat tua, yang
terletak di antara sclera dan retina, yang terbentang dari ora serata sampai ke papil saraf
optikus. Koroid kaya pembuluh darah dan berfungsi terutama memberi nutirisi kepada retina
bagian luar (Ilyas, 2002).
Badan KacaMengisi sebagian besar bola mata di belakang lensa, tidak berwarna bening, dan
konsistensinya lunak. Bagian luar merupakan lapisan tipis (membran hialoid). Badan kaca di
tengah-tengah ditembus oleh suatu saluran yang berjalan dari papil saraf optik ke arah kapsul
belakang lensa yang disebut saluran hialoid yang dalam kehidupan fetal berisi arteri hialoid.
Struktur badan kaca tidak mempunyai pembuluh darah dan menerima nutrisi dari jaringan
sekitarnya, seperti koroid, badan siliar, dan retina (Ilyas, 2002).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 35
RetinaAdalah suatu membran yang tipis dan bening, terdiri atas penyebaran serabut-serabut
saraf optik, yang letaknya antara badan kaca dan koroid. Bagian anterior berakhir pada ora
serata. Di bagian retina yang letaknya sesuai dengan sumbu penglihatan terdapat makula
lutea (berbintik kuning) kira-kira berdiameter 1-2 mm yang berperan penting untuk tajam
penglihatan. Di tengah makula lutea terdapat bercak mengkilat yang merupakan refleks fovea
(Ilyas, 2002).
Kira-kira 3 mm ke arah nasal kutub belakang bola mata terdapat daerah bulat putih
kemerah-merahan, disebut papil saraf optikus, yang tengahnya agak melekuk dinamakan
ekskavasi faali. Arteri retina sentral bersama venanya masuk ke dalam bola mata di tengah
papil saraf optik. Arteri retina merupakan pembuluh darah terminal. Retina mempunyai
ketebalan sekitar 1 mm terdiri atas 10 lapisan :
1. Membran limitan dalam, merupakan lapisan paling dalam
2. Lapisan serabut saraf, dalam lapisan ini terdapat cabang-cabang utama pembuluh
darah retina.
3. Lapisan sel ganglion, merupakan suatu lapisan sel saraf bercabang
4. Lapisan fleksiform dalam
5. Lapisan nucleus dalam, terbentuk dari badan dan nukelus sel-sel bipolar
6. Lapisan pleksiform luar
7. Lapisan nukelus luar, terutama terdiri atas nuclei sel-sel visual atau sel kerucut dan sel
batang.
8. Membran limitan luar
9. Lapisan batang dan kerucut, merupakan lapisan penangkap sinar
10. Lapisan epitel pigmen (Ilyas, 2002).
Sel batang lebih banyak dibanding sel kerucut, kecuali di daerah makula, dimana sel
kerucut lebih banyak. Daerah papil saraf optik terdiri atas serabut saraf optik dan tidak
mempunyai daya penglihatan (bintik buta) (Ilyas, 2002).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 36
Kelompok E
GELAP CAHAYA
Fotopigmen (retinen : opsin)
Membuka saluran Ca++ di terminal sinaps
Depolarisasi membran
Saluran NA di segmen luar terbuka
Penutupan saluran Na+
Konsentrasi GMP siklik tinggi
Penurunan GMP siklik
Disosiasi retinen dan opsin
Peningkatan pengeluaran zat perantara inhibitorik
Inhibisi neuron bipolar
Tidak terjadi potensial aksi di sel ganglion
Tidak terjadi perambatan potensial aksi ke korteks penglihatan
Hiperpolarisasi membran
Neuron bipolar tidak mengalami inhibisi (atau dengan kata lain mengalami eksitasi)
Penurunan pengeluaran zat perantara inhibitorik
Menutup saluran Ca++ di saluran sinap
Perubahan potensial berjenjang di sel bipolar
Potensial aksi di sel ganglion
Perambatan potensial aksi ke korteks penglihatan di lobus oksipitalis otak
untuk dipersepsikan
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 37
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 38
Persarafan OptikTiap-tiap saraf optikus keluar dari retina membawa informasi dari kedua belahan
retina yang dipersarafi. Informasi ini dipisahkan sewaktu kedua saraf opticus tersebut
bertemu di kiasma optikus yang terletak di bawah hipotalamus. Di dalam kiasma optikus,
serat-serat dari separuh medial kedua retina bersilangan ke sisi yang berlawanan, tetapi serat-
serat yang dari separuh lateral tetap di sisi yang sama berkas-berkas serat yang telah
direorganisasi dan meninggalkan kiasma optikus dikenal sebagai traktus optikus. Tiap-tiap
traktus optikus membawa informasi dari separuh lateral salah satu retina dan separuh medial
retina yang lain. Dengan demikian, persilangan parsial ini menyatukan serat-serat dari kedua
mata yang membawa informasi dari separuh lapangan pandang yang sama. Tiap-tiap traktus
optikus pada gilirannya menyampaikan ke belahan otak di sisi yang sama informasi mengenai
separuh lapangan pandang sisi berlawanan. Pengetahuan mengenai jalur-jalur ini dapat
mempermudah diagnosis defek penglihatan yang disebabkan oleh gangguan jalur penglihatan
di berbagai titik (Sherwood, 2001).
Talamus dan KorteksPerhentian pertama di otak untuk informasi dalam jalur penglihatan adalah nucleus
genikulatum lateralis di thalamus. Nukelus ini memisahkan informasi yang diterima dari mata
dan memancarkannya melalui radiasi optikus ke bagian-bagian korteks yang berlainan, yang
masing-masing mengolah aspek rangsangan penglihatan berbeda-beda (misalnya, warna,
bentuk, kedalaman, pergerakan). Proses penilaian ini bukan merupakan tugas yang sederhana,
karena setiap saraf optikus mengandung lebih dari satu juta serat yang membawa informasi
dari fotoreseptor di satu retina. Jumlah ini lebih banyak daripada semua serat aferen yang
membawa masukan somatosensorik dari seluruh bagian tubuh. Nucleus genikulatum lateralis
dan tiap-tiap zona korteks yang mengolah informasi penglihatan memiliki peta topografi
yang mencerminkan retina titik demi titik (Sherwood, 2001).
Seperti pada korteks somatosensorik, peta saraf retina mengalami distorsi. Fovea,
daerah retina yang memiliki ketajaman penglihatan tertinggi memiliki representasi yang jauh
lebih luas di peta saraf daripada daerah perifer retina. Walapun tiap-tiap belahan korteks
penglihatan menerima informasi secara simultan dari bagian lapangan pandang yang sama
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 39
seperti yang diterima kedua mata, pesan-pesan dari kedua mata tersebut tidak indentik. Tiap
mata melihat suatu benda dari titik pandang sedikit berbeda, walapun terdapat daerah
tumpang tindih yang luas. Daerah tumpang tindih yang dilihat oleh kedua mata pada saat
yang sama dikenal dengan lapang pandang binokuler yang penting untuk persepsi kedalaman
(Sherwood, 2001).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 40
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem optik :
1. Usia, semakin tua dapat mengakibatkan resiko presbiopi meningkat
2. Kekurangan asupan gizi
3. Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan xeropthalmia
4. Penyakit sistemik dapat berhubungan dengan beberapa penyakit ambliopia, glaucoma,
retinopati.
5. Lingkungan berhubungan dengan infeksi mata seperti uveitis, iritis, konjungtivitis.
6. Pekerjaan berhubungan dengan infeksi mata seperti uveitis, iritis, konjungtivitis
maupun trauma baik mekanik dan kimiawi.
7. Genetik dapat berhubungan sebagai faktor predisposisi seperti myopia ataupun
gangguan genetic terkait seks seperti pada buta warna.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 41
GANGGUAN SISTEM OPTIK
Gangguan Pada Kornea
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 42
1. KERATITIS
Keratitis adalah peradangan pada kornea, diklasifikasikan berdasarkan lapisan
kornea yang terkena, seperti keratitis superficial, interstisial, atau profunda. Keratitis
dapat disebabkan oleh infeksi dan berbagai hal lain seperti kurangnya air mata, keracunan
obat, reaksi alergi terhadap bahan-bahan topical, dan reaksi terhadap konjungtivitis
menahun (Ilyas, 2008; Vaughan, 2005).
Keratitis akan memberikan gejala mata merah, rasa silau, dan merasa kelilipan,
penurunan penglihatan, dan secret. Sedangkan tanda yang dapat dilihat, yaitu penurunan
visus, injeksi sirkumkorneal, mata merah dan inflamasi, infiltrat pada kornea dengan atau
tanpa hipopion dan blefarospasme. Pengobatan yang dapat diberikan, yaitu antibiotika, air
mata buatan, dan sikloplegik (Ilyas, 2008).
2. ULKUS KORNEA
Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian
jaringan kornea. Terbentuknya ulkus pada kornea terjadi karena adanya kolagenase yang
dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Dikenal 2 bentuk ulkus pada kornea, yaitu
sentral dan marginal atau perifer. Ulkus kornea perifer dapat disebabkan oleh reaksi
toksik, alergi, autoimun dan infeksi. Infeksi pada kornea perifer biasanya oleh kuman
Staphylococcus aureus, H. influenza, dan M. lacunata (Ilyas, 2008).
Beratnya penyakit juga ditentukan oleh keadaan fisik pasien, serta besar dan
virulensi inokulum. Selain radang dan infeksi, penyebab lain ulkus kornea adalah
defisiensi vitamin A, lagoftalmos akibat paresis nervus VIII, lesi pada nervus III, ataupun
neurotrofik dan ulkus Mooren (Ilyas, 2008).
Penyebab ulkus kornea adalah bakteri, jamur, amoeba, dan herpes simpleks. Bakteri
yang sering menyebabkan ulkus kornea adalah Streptococcus alfa hemolyticus,
Staphylococcus aureus, Moraxella liquefaciens, Pseudomonas aeroginosa, Nocardia
asteroids, Alcaligenes sp, Streptococcus anaerobic, Streptococcus beta hemolyticus,
Enterobacter hafniae, Proteus sp, Staphylococcus epidermidis (Ilyas, 2008).
Ulkus kornea akan memberikan gejala mata merah, mata sakit ringan hingga berat,
fotofobia, penglihatan menurun, dan kadang kotor. Selain itu terdapat kekeruhan pada
kornea yang berwarna putih dengan defek epitel yang bila diberi pewarnaan fluoresein
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 43
akan berwarna hijau di bagian tengahnya. Iris sukar dilihat karena keruhnya kornea akibat
edema dan infiltrasi sel radang pada kornea (Ilyas, 2008).
Gejala yang dapat menyertai adalah terdapat penipisan kornea, lipatan Descemet,
reaksi jaringan uvea (akibat gangguan vaskularisasi iris), berupa suar, hipopion, hifema,
dan sinekia posterior (Ilyas, 2008; Vaughan, 2005).
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis ulkus
kornea, diantaranya :
Ketajaman penglihatan
Tes refraksi
Tes air mata
Pemeriksaan slit-lamp
Keratometri (pengukuran kornea)
Respon reflek pupil
Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.
Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan Gram, Giemsa, atau KOH)
(Vaughan, 2005; Ilyas, 2008).
Pengobatan umumnya adalah dengan sikloplegik, antibiotik yang sesuai topical dan
subkonjungtival. Pasien dirawat bila terjadi perforasi, pasien tidak dapat mengkonsumsi
obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat, dan perlunya obat sistemik.
Pengobatan pada ulkus kornea bertujuan untuk menghalagi hidupnya bakteri dengan
antibiotika, dan mengurangi reaksi radang dengan steroid. Secara umum ulkus diobati
sebagai berikut :
Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan berfungsi sebagai
inkubator.
Secret yang terbentuk dibersihkan 4 kali dalam sehari
Diperhatikan kemungkinan terjadinya glaucoma sekunder
Debridement sangat membantu penyembuhan
Diberi antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi lokal, kecuali dalam
keadaan berat.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 44
Pengobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat tenang, kecuali
bila penyebabnya Pseudomonas yang memerlukan pengobatan 1-2 minggu. Keratoplasti
dilakukan jika pengobatan tidak sembuh atau terjadi jaringan parut yang mengganggu
penglihatan (Ilyas, 2008).
3. KERATOKONUS
Penyakit degeneratif bilateral jarang yang
diturunkan sebagai ciri autosom resesif atau dominan,
yang memiliki karakteristik penebalan, bentuk
kerucut, dan astigmatisma myopia irregular. Secara
patologik terdapat perubahan-perubahan disruptif
pada lapisan Bowman dengan degenerasi keratosit,
ruptur membran Descemet, dan parut linier
superficial yang tidak teratur pada apeks konus yang
terbentuk (Olver, 2005; Vaughan, 2008).
Dapat terjadi hidrops akut dari kornea yang membuat penglihatan mendadak
menurun karena edema kornea sentral. Ini terjadi akibat ruptur membrae Descemet dan
dapat dipicu oleh tindakan menggosok mata oleh pasien (Olver, 2005; Vaughan, 2008).
Gejala satu-satunya adalah penglihatan kabur. Tanda-tandanya meliputi kornea
berbentuk konus, indentansi palpebra inferior oleh kornea bila pasien melihat ke bawah
(tanda Munson), refleksi tidak teratur pada retinoscopy, dan gangguan refleksi kornea
dengan diskus Placido atau keratoscopy. Fundus tidak bisa terlihat jelas karena
astigmatisma kornea (Olver, 2005; Vaughan, 2008).
4. NEOPLASIA KORNEA
Conjunctival–corneal intraepithelial neoplasia (CCIN) and Squamous carcinoma
adalah kondisi yang sangat penting pada penyakit kornea, walaupun kejadiannya sangat
jarang. Kejadiannya lebih sering terjadi pada orang-orang yang tinggal di daerah
berikilim lebih panas, dan pada pasien imunokompromais seperti HIV. Penanganannya,
yaitu dengan eksisi atau prosedur lokal destruktif (Olver, 2005).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 45
Gangguan Pada Pupil
Ukuran pupil tergantung beberapa faktor, antara lain umur, tingkat kesadaran, kuatnya
penyinaran, dan tingkat akomodasi. Perubahan diameter pupil dipengaruhi oleh aktivitas jaras
efferen serabut simpatis dan parasimpatis (Japardi, 2002).
Gangguan pada N.opticus dapat mengakibatkan gangguan relatif jaras efferen pupil
(pupil Marcus Gunn). Hal-hal yang dapat menyebabkan gangguan relatif jaras efferen pupil,
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 46
diantaranya penyakit N.optikus unilateral atau bilateral dimana terkenanya kedua saraf tidak
sama beratnya, penyakit retina, ambliopia, gangguan traktus optikus bila menyebabkan
gangguan lapang pandang yang satu lebih berat dari yang lain (Japardi, 2002).
1. EPILEPSI PADA OTAK TENGAH
Nervus III dapat terkena, demikian juga jaras pupilomotor (jaras dimana nervus
okulomotor keluar dari batang otak). Pupil menjadi kurang bereaksi terhadap cahaya dan
akomodasi, terdapat gangguan bola mata, ptosis, dan ukuran pupil cenderung mid-dilatasi
(Japardi, 2002).
2. GANGGUAN PADA JARAS EFFEREN PUPILOMOTOR
Jaras efferen yang terkena adalah antara traktus optikus dan nukleus Edinger
Westphal. Ada 3 sindrom yang penting, yaitu :
a. Pupil Argyll Robertson
Terjadi pada pasien dengan sifilis tersier yang mengenai susunan saraf pusat.
Gejalanya :
Pupil besar, sering irreguler
Tidak bereaksi terhadap cahaya tetapi bereaksi terhadap akomodasi
Sering disertai iris atrofi
Pemeriksaan tambahan Fluorescent Treponemal Antibody Absorbtion Test
(FTA-ABS).
b. Sindroma Parinaud’s Dorsal Midbrain
Kelainan terletak pada jaras efferen pupilomotor di pretektal setelah meninggalkan
traktus optikus. Etiologi bisa dikarenakan tumor pineal, stroke, multiple sklerosis,
hidrosefalus. Gejalanya :
Diameter pupil besar
Reaksi cahaya kurang baik tetapi respon akomodasi baik
Hipgaze paralisis, convergence retraction nystagmus, skew deviation had
retraction.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 47
c. Gangguan Jaras Efferen Pupil Pretektal
Lesi pretektal sering unilateral atau bilateral tetapi satu sisi lebih terkena dari yang
lain. Kelainan respon pupil seperti lesi pada traktus optikus (Japardi, 2002).
3. LESI PADA SARAF PARASIMPATETIK
a. Kelumpuhan N. Okulomotor Bersamaan dengan Saraf Parasimpatik
Gejala gangguan pupil (pupil midriasis, reflek cahaya terganggu) disertai ptosis dan
terbatasnya gerakan bola mata. Bila kelumpuhan sempurna, ukuran pupil tergantung
sepenuhnya stimulan simpatik. Etiologi : hernia unkus, meningitis basalis (Japardi,
2002).
b. Midriasis Karena Trauma
Trauma dapat merusak m.sfingter pupillae dan midriasis, pada awalnya dapat terjadi
miosis. Sering terjadi bersamaan dengan trauma kapitis, sehingga sering salah
diagnosa sebagai herniasi otak (Japardi, 2002).
c. Midriasis Farmakologik
Gejala pupil dilatasi dan gangguan reaksi terhadap cahaya dan akomodasi. Dengan
pemberian Pilocarpine 0,5-1%, konstriksi pupil minimal, sedangkan pada paresis
N.III dengan pemberian pilocarpine terjadi konstriksi pupil (Japardi, 2002).
d. Pupil Tonik (Adle’s Syndrome)
Terjadi respon cahaya yang terganggu, respon akomodasi yang normal dan dilatasi
yang lambat setelah akomodasi. Terjadi 70% pada wanita, unilateral pada 80%
kasus, 4% kasus dapat menjadi bilateral. Etiologi tidak diketahui. Beberapa kondisi
yang menyebabkan pupil tonik, antara lain herpes zooster, varicella arteri, sifilis.
Pada stadium awal pupil dilatasi dan sangat reaktif. Pada slit lamp dapat terlihat
beberapa segmen sfingter berkonstriksi, dengan refiksasi pada penglihatan jauh dan
redilatasi pupil yang lambat. Anisokor dapat terlihat pada respon akomodasi,
dimana pupil yang tonik, setelah upaya akomodasi, fokus ulang terhadap
penglihatan jauh dapat terhambat. Dapat terjadi fotofobia, reflek KPR/APR yang
menurun, reflek tendon dalam terganggu.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 48
Pupil tonik sangat sensitif terhadap parasimpatomimetik topical (methacholie 2,5%,
pilocarpine). Konstriksi pupil lebih hebat pada pupil tonik dibandingkan mata
normal dan dapat mengakibatkan nyeri karena spasme musculus siliaris. Pada
pemeriksaan ganglion siliaris terdapat pengurangan jumlah sel ganglion (Japardi,
2002).
4. LESI PADA SISTEM SIMPATETIK
Lesi sepanjang jaras simpatetik dapat menyebabkan Horner’s syndrome (ptosis,
miosis, anhidrosis wajah ipsilateral, enophthalmus). Etiologi :
Pre Ganglioner Horner’s Syndrome disebabkan lesi susunan saraf pusat (disertai
dengan anhidrosis tubuh sesisi), tumor apeks paru (Pancoast tumor), aneurisma
arteri thorakalis, trauma pleksus brakhialis.
Post Ganglioner Horner’s Syndrome terjadi pada susunan saraf pusat (anhidrosis
tidak ada atau terbatas di dahi), cluster headache, diseksi spontan arteri karotis,
Reader’s paratrigeminal syndrome (biasa pada pria setengah baya dengan Horner’s
syndrome, nyeri kepala bukan tipe cluster dan tidak ditemukan kelainan patologi).
Letak lesi penyebab sindroma Horner perlu ditentukan, sebab lesi distal terhadap
ganglion servikal superior biasanya 98% jinak, sedangkan lesi proksimal terhadapnya
50% ganas. Pada anak yang sering terjadi adalah Congenital Horner’s Syndrome yang
sering disebabkan karena trauma lahir, atau adanya neuroblastoma yang tumbuh pada
jaras simpatetik. Pada lesi yang kongenital dapat terjadi dengan heterochromia iris
(Japardi, 2002).
Diagnosa :
Dengan topikal cocaine 4-10%, pada mata normal terjadi dilatasi sedangkan pada
Herner’s syndrome dilatasi sangat berkurang. Cocaine memblokir reuptake
norepineparine yang dilepaskan oleh neuron simpatik ketiga. Lesi jaras simpatik
menyebabkan berkurangnya epinephrine yang dilepaskan oleh neuron sehingga
pupil sisi tersebut tidak akan berdilatasi.
Paredrin 1% (Hidoksi amfetamin) untuk menentukan loaksi lesi. Efek paredrine
melepaskan norepinephrine dari terminal pre-sinaptik. Pada lesi post ganglioner,
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 49
saraf terminal mengalami degenerasi sehingga terjadi gangguan dilatasi papil pada
pemberian paredrin, sedangkan pada lesi preganglion, jaras post ganglion masih
intak sehingga paredrin mengakibatkan dilatasi pupil (Japardi, 2002).
Pemeriksaan :
Anisokor terutama dengan pencahayaan yang redup dan yang terkena agak
berdilatasi (dilatation lag). Anisokor biasanya maksimal setelah 5 detik
pencahayaan.
Reaksi cahaya dan akomodasi normal (Japardi, 2002).
Gangguan Pada LensaGangguan lensa adalah kekeruhan, distorsi, dislokasi, dan anomali geometrik. Pasien
mengalami kekaburan penglihatan tanpa nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan pada penyakit
lensa adalah pemeriksaan ketajaman penglihatan dan dengan melihat lensa melalui slit lamp,
oftalmoskop, senter tangan, atau kaca pembesar, sebaiknya dalam keadaan pupil dilatasi
(Vaughan, 2005).
1. KATARAK
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan yang terjadi pada lensa, yang dapat terjadi
akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi akibat
kedua-duanya. Jadi katarak adalah suatu keadaan dimana lensa mata yang biasanya jernih
dan bening menjadi keruh (Ilyas, 2008).
Gejala yang muncul berupa penglihatan yang berangsur-angsur memburuk atau
berkurang dalam beberapa bulan atau tahun merupakan gejala utama dari katarak.
Beberapa orang hanya merasakan penglihatan redup pada satu mata. Dapat saja keluhan
ini berupa seakan-akan melihat melalui film (tabir) yang menutup mata, silau di tempat
terang, atau penglihatan kurang bila mengendarai kendaraan mengahadapi sinar yang
datang di malam hari. Mata tidak merasa sakit, gatal, atau merah (Ilyas, 2008).
Pathogenesis katarak belum sepenuhnya dimengerti. Kekeruhan lensa mungkin
disebabkan karena agregasi atau penumpukan protein di lensa sehingga mengurangi
transparansi lensa. Selain itu, juga bisa disebabkan adanya penambahan cairan pada lensa.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 50
Seiring bertambahnya usia, terjadi degenerasi lensa, dimana lensa mata dapat mengalami
perubahan warna menjadi kuning keruh atau coklat keruh, akibatnya terjadi gangguan
penglihatan seperti pandangan buram atau kabur, tetapi tidak menghambat penghantaran
cahaya ke retina (Ilyas, 2008).
Pengobatan katarak adalah dengan pembedahan. Pembedahan dilakukan apabila
tajam penglihatan sudah sangat menurun sehingga menggangu pekerjaan sehari-hari atau
mengganggu kehidupan sosial atau bila katarak telah menimbulkan penyulit, seperti
glaucoma dan uveitis (atas indikasi medis lainnya) (Vaughan, 2005).
2. DISLOKASI LENSA
a. Dislokasi Lensa Herediter
Dislokasi lensa herediter biasanya bilateral dan dapat menyertai koloboma lensa,
hosistinuria, sindrom Marfan, dan sindroma Marchesani. Gejalanya penglihatan
kabur, khususnya jika lensa mengalami dislokasi keluar dari garis pandangan. Pada
pemeriksaan, jika dislokasinya parsial, tepi lensa dan serat zonula yang memegang
di tempatnya dapat dilihat di pupil. Kalau lensanya mengalami dislokasi total ke
vitreus, lensa dapat dilihat dengan oftalmoskof (Vaughan, 2005).
b. Dislokasi Lensa Traumatik
Dislokasi traumatik parsial atau total dapat terjadi setelah terjadi cedera benturan
seperti pukulan tinju ke mata. Kalau dislokasinya parsial, mungkin tidak ada gejala;
tetapi kalau lensanya mengambang di vitreus, pasien mengalami kabur penglihatan
dan biasanya matanya merah.
Pada pemeriksaan, terdapat iridodonesis, getaran iris kalau pasien menggerakkan
matanya, adalah tanda umum dislokasi lensa dan ini disebabkan oleh hilangnya
penopang lensa. Tanda ini terdapat pada dislokasi lensa parsial maupun total tetapi
lebih jelas pada dislokasi total.
Terapi untuk kasus dislokasi lensa, yaitu dengan pembedahan untuk mengeluarkan
lensa (Vaughan, 2005).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 51
Gangguan Pada Badan Vitreous
1. KILATAN SINAR (FLASHING LIGHT)
Kilatan sinar atau flashing light merupakan gejala yang sering terjadi pada kelainan
hubungannya antara retina dan corpus vitreum. Para pasien menyadari bahwa mereka
melihat “cahaya”, “pijaran”, “lintasan cahaya” atau “kelap-kelip” (seperti lampu neon)
lokal dalam lapang pandang tanpa ada sumber cahaya dari sekitar. Pasien biasanya dapat
menunjukkan letak daerah gangguan dan sering menggambarkannya sebagai suatu
“kelap-kelip” berbentuk busur di bagian perifer satu atau dua kuadran. Sinar yang terlihat
tersebut jarang menetap lebih dari sepersekian detik. Keluhan ini sering kambuh dalam
interval yang singkat selama beberapa menit lalu menghilang selama beberapa jam, hari,
atau bahkan minggu. Keluhan ini paling jelas tampak sewaktu menggerakkan mata dan
saat pencahayaan suram atau tidak ada. Episode bilateral dapat terjadi secara bersamaan
tetapi lebih sering terpisah oleh interval beberapa hari sampai tahun.
Sinar yang tampak tersebut mencerminkan kesadaran otak akan adanya traksi fisik
dan eksitasi sensorik retina oleh corpus vitreum yang abnormal. Kelainan ini paling
sering berkaitan dengan kolaps dan terlepasnya corpus vitreum akibat sineresis disertai
traksi corpus vitreum lokal pada lesi-lesi vitreo-retina, misalnya degenerasi latice, lipatan
meridional, rosette kongenital, dan berbagai adhesi vitroretinal yang secara visula
subklinis.
Traksi vitroretina mungkin tidak memerlukan pengobatan. Namun, karena hal ini
dapat mencetuskan robekan retina, ablasioo retina, atau perdarahan corpus vitreum, pada
setiap kasus perlu dilakukan pemeriksaan mengenai hubungan vitroretina, terutama di
bagian perifer (Vaughan, 2005).
2. FLOATERS
Floaters corpus vitreum (terlihatnya benda-benda yang melayang/mengapung)
adalah gejala yang sering pada kelainan corpus vitreum. Suatu floaters mencerminkan
kesadaran pasien akan adanya bayangan opak dalam corpus vitreum yang dapat bergerak
dan jatuh di retina. Pikiran memproyeksikan bayangan gelap tersebut ke daerah lapang
pandang yang sesuai.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 52
Floaters sering disebabkan oleh perdarahan kecil yang masuk ke dalam corpus
vitreum akibat robekan retina atau penyakit perdarahan misalnya retinopati diabetes,
hipertensi, leukimia, sumbatan vena retina cabang lama, penyakit Eales, penyakit Coats,
dan endokarditis infektif subakut.
Diindikasikan pemeriksaan teliti terhadap corpus vitreum dan retina untuk
mengetahui sifat dan asal floaters serta menentukan penatalaksanaannya (Vaughan,
2005).
3. HIALOSIS ASTEROID
Hialosis asteroid adalah suatu kelainan tidak lazim yang terjadi pada mata sehat
orang lanjut usia. Di corpus vitreum terlihat ratusan butir kecil berwarna kuning yang
terdiri dari sabun kalsium. Butir-butir ini bergerak saat mata bergerak, tetapi selalu
kembali ke posisi semula karena melekat ke serat-serat saling menjalin. Butir-butir ini
tidak berkaitan dengan penyakit mata atau sistemik. Kekeruhan tersebut sedikit atau tidak
berpengaruh pada penglihatan, tetapi memantulkan secara kuat sinar dari pemeriksa.
Apabila benda-benda asteroid tersebut cukup banyak jumlahnya, maka fundus tidak dapat
terlihat dengan oftalmoskop (Vaughan, 2005).
4. KOLAPS AKUT CORPUS VITREUM
Seiring dengan waktu, semua gel baik vitreosa maupun gelatin semakin rentan
terhadap proses degeneratif yang dikenal sebagai sineresis, berupa penggumpalan
partikel-partikel medium dispersi, pemisahan medium, dan penciutan gel. Seiring usia,
bagian tengah vitreous dapat mengalami sineresis dan terisi produk-produk penguraian
gel yang mengalami degenerasi. Isi cairan rongga dapat bermigrasi ke dalam ruang
praretina. Gel vitreosa yang lebih berat kolaps ke arah bawah dan depan untuk
membentuk suatu daerah pelepasan corpus vitreous posterior. Gaya-gaya dinamik yang
menyertai proses kolaps ini dapat merobek sisa adhesi yang semula menghubungkan
corpus vitreoum dengan diskus, pembuluh darah, dan retina sensorik pada masa anak-
anak.
Gerakan-gerakan mirip pecut corpus vitreous dapat menimbulkan fotopsia dengan
merangsang taut vitreoretina dan dapat menyebabkan timbulnya gerakan mengapung khas
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 53
kekeruhan corpus vitreum posterior atau floaters. Floaters bergerak mengikuti mata dan
mengapung ke posisi istirahat setelah mata diam.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu oftalmoskop, harus diperhatikan adanya
robekan retina yang asimptomatik (Vaughan, 2005).
5. PERDARAHAN CORPUS VITREUM
Perdarahan corpus vitreum dapat terjadi apabila retina sensorik robek. Retinitis
proliferans, sumbatan vena sentralis, sumbatan vena cabang, dan hipertensi juga sering
menyebabkan perdarahan corpus vitreum. Pasien sering mengeluh adanya floaters yang
mengisyaratkan sel darah merah, taburan mendadak bintik-bintik kecil hitam, atau bahkan
bentuk-bentuk seperti cincin kecil dengan bagian tengah yang jernih. Penurunan
penglihatan berkisar dari ringan sampai sedang.
Darah segar tampak merah dan cenderung berlokasi di belakang gel vitreosa atau di
dalam rongga sineritik. Dalam beberapa minggu atau bulan, darah cenderung terurai
menjadi pucat dan bermigrasi menuju ke gel.
Untuk mempermudah perlekatan kembali retina secara bedah diindikasikan
tindakan virektomi. Virektomi tidak diindikasikan selama 3-6 bulan jika pengobatan
terhadap penyebab dasar dapat menunggu, karena corpus vitreous dapat menjadi jernih
tanpa pembedahan (Vaughan, 2005).
Gangguan Pada Retina
1. DEGENERASI MACULA TERKAIT USIA
Merupakan penyebab utama kebutaan permanen pada orang lanjut usia. Penyebab
pasti belum diketahui, tetapi insidennya meningkat pada setiap dekade setelah usia 50
tahun. Penyakit ini diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu non-eksudatif dan
eksudatif. Bentuk eksudatif yang lebih berat merupakan penyebab 90% dari semua kasus
kebutaan akibat degenerasi macula terkait usia (Vaughan, 2005).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 54
a. Degenerasi Macula Non-Eksudatif
Ditandai oleh atrofi dan degenerasi retina, membran Bruch, dan koriokapilaris
dengan derajat bervariasi. Terdapat gambaran drusen pada pemeriksaaan
oftalmoskop. Drusen adalah endapan putih kuning, bulat, diskret, dengan ukuran
bervariasi di belakang epitel pigmen dan tersebar di seluruh macula dan kutub
posterior. Seiring dengan waktu drusen dapat membesar, menyatu, mengalami
kalsifikasi, dan meningkat jumlahnya.
Angiografi fluoresens memperlihatkan pola hyperplasia dan atrofi epitel pigmen
retina yang irreguler. Pada sebagian besar pasien, pemeriksaan elektrofisiologik
memperlihatkan hasil normal. Pasien selain diperiksa oftalmologik secara teratur,
juga diberikan Amsler grid untuk membantu memantau dan melaporkan setiap
perubahan fisiologik yang terjadi.
Belum terdapat pengobatan yang diterima secara umum dan cara-cara pencegahan
degenerasi macula jenis ini. Masih diteliti antioksidan untuk menurunkan resiko
gangguan penglihatan (Vaughan, 2005).
b. Degenerasi Macula Eksudatif
Sebagian besar pasien yang menderita gangguan penglihatan berat akibat penyakit
ini mengalami bentuk eksudat akibat terbentuknya neovaskularisasi subretina dan
makulopati eksudatif terkait. Cairan serosa dari koroid di bawahnya dapat bocor
melalui defek-defek kecil di membrane Bruch, sehingga menimbulkan pelepasan-
pelepasan local epitel pigmen. Peningkatan cairan tersebut dapat semakin
menyebabkan pemisahan retina sensorik di bawahnya, dan penglihatan biasanya
menurun apabila fovea terkena.pelepasan epitel pigmen retina dapat secara spontan
menjadi datar, dengan bermacam-macam akibat pada penglihatan, dan
meninggalkan daerah gegrafik depigmentasi di bagian yang terkena (Ilyas, 2008;
Vaughan, 2005).
Dapat terjadi pertumbuhan pembuluh-pembuluh darah baru ke arah dalam yang
meluas dari koroid sampai ruang subretina dan merupakan perubahan histopatologik
terpenting yang memudahkan timbulnya pelepasan macula dan gangguan
penglihatan sentral irreversibel pada pasien dengan drusen.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 55
Ahli oftalmologi harus selalu curiga bahwa terdapat neovaskularisasi subretina
apabila memeriksa pasien dengan tanda-tanda degenerasi macula terkait usia yang
mendadak atau baru mengalami gangguan penglihatan sentral, penglihatan kabur,
distorsi, atau suatu skotoma baru. Apabila pemeriksaan fundus memperlihatkan
darah subretina, eksudat, atau lesi koroid hijau abu-abu di macula, kemungkinan
besar terdapat neovaskularisasi dan harus segera dilakukan angiogram fluoresen
atau hijau indosianin untuk menentukan apakah dapat diidentifikasi ada lesi yang
dapat diterapi.
Pengobatan untuk degenerasi macular eksudatif jika tidak ada neovaskularisasi
retina sampai sekarang belum ditemukan tindakan medis yang terbukti bermanfaat.
Pemakaian interferon alfa parenteral pada penyait ini juga tidak terbukti efektif.
Namun, apabila terdapat membrane neovaskuler subretina ekstrafovea yang
berbatas tegas (≥ 200 μm dari bagian tengah zona avaskuler fovea) diindikasikan
fotokoagulasi laser. Fotokoagulasi juga menghancurkan retina di atasnya tetapi
bermanfaat apabila membran subretina dapat dihentikan tanpa mengenai fovea
(Vaughan, 2005).
2. DISTROFI MACULA
Distrofi bersifat herediter, tidak selalu tampak sejak lahir, dan tidak berkaitan
dengan penyakit sistemik. Umumnya gangguan terbatas pada macula, dapat simetrik atau
asimetrik, tetapi akhirnya kedua mata akan terkena.
Pada stadium-stadium awal beberapa dari gangguan ini, ketajaman penglihatan
dapat berkurang sementara kelainan makulanya ringan atau tidak tampak pada
pemeriksaan dengan oftalmoskop, dan keluhan pasien sering dianggap mengada-ada.
Sebaliknya, pada distrofi macula jenis lainnya, kelainan oftalmoskopik mungkin tampak
sangat mencolok pada saat dimana pasien merasa tidak mengalami keluhan penglihatan
(Vaughan, 2005).
Klasifikasi anatomi distrofi macula :
a. Lapisan Serat Saraf
Retinoskisis juvenile terkait X
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 56
b. Sel Fotoreseptor
Distrofi kerucut-batang
c. Epitel Pigmen Retina
Fundus albipungtus
Fundus flavimakulatus
Distrofi vetiliformis (penyakit Best)
3. ABLASIO RETINA
Menandakan pemisahan retina sensorik, yaitu fotoreseptor dan lapisan jaringan
bagian dalam, dari epitel pigmen retina di bawahnya. Terdapat 3 jenis utama, yaitu
ablasio regmatogenosa, ablasio traksi, dan ablasio serosa atau hemoragik (Vaughan,
2005; Ilyas, 2008).
a. Ablasio Retina Regmatogenosa
Ablasio terjadi akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke
belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh
badan kaca cair (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina
ke rongga subretina dan terlepas dari lapisan epitel pigmen koroid.
Ablasio akan memberikan gejala terdapatnya gangguan penglihatan yang kadang-
kadang terlihat sebagai tabir yang menutup. Terdapat riwayat adanya pijaran api
(fotopsia) pada lapangan penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat
retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat
robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang
lepas bergoyang. Kadang-kadang terdapat pigmen pada badan kaca (Ilyas, 2008).
b. Ablasio Retina Eksudatif
Terjadi akibat tertimbunnya eksudat di bawah retina dan mengangkat retina.
Penimbunan cairan subretina sebagai akibat keluarnya cairan dari pembuluh darah
retina dan koroid (ekstravasasi). Hal ini disebabkan oleh penyakit koroid.
Penglihatan dapat berkurang dari ringan sampai berat (Ilyas, 2008).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 57
c. Ablasio Retina Tarikan Atau Traksi
Terjadi akibat tarikan jaringan parut pada badan kaca yang akan mengakibatkan
ablasio retina dan penglihatan turun tanpa rasa sakit (Ilyas, 2008).
Pengobatan pada ablasio retina, yaitu dengan pembedahan, dilakukan secepatnya
sebaiknya antara 1-2 hari. Pengobatan ablasio retina akibat tarikan badan kaca dilakukan
dengan melepaskan tarikan jaringan parut di dalam badan kaca dengan tindakan yang
disebut vitrektomi (Ilyas, 2008).
4. DEGENERASI RETINA
Kelompok gangguan ini terdiri dari sejumlah penyakit dengan berbagai manifestasi
mata dan kadang-kadang sistemik.
a. Retinitis Pigmentosa
Adalah sekelompok degenerasi retina herediter yang ditandai oleh disfungsi
progresif fotoreseptor dan disertai hilangnya sel secara progresif dan akhirnya atrofi
beberapa lapisan retina.
Bentuk khas penyakit ini mungkin diturunkan sebagai sifat resesif autosom,
dominan autosom, atau resesif terkait-X. Gejala utamanya adalah buta senja
(niktalopia) dan penurunan lapang pandang perifer secara progresif perlahan.
Temuan oftalmoskopik yang paling khas adalah penyempitan arteriol-arteriol retina,
timbulnya bercak-bercak di epitel pigmen retina, dan penggumpalan pigmen retina
perifer, yang disebut sebagai “bone-spicule formation”. Elektroretinogram biasanya
memperlihatkan penurunan hebat atau menghilangnya fungsi retina;
elektrookulogram tidak memperlihatkan peningkatan sinar yang lazim.
Pasien dengan penyakit ini perlu diberi konsultasi genetik dan rujukan ke badan-
badan yang sesuai yang memberi pelayanan pada mereka yang mengalami
gangguan penglihatan. Penggunaan suplemen vitamin A masih perlu penelitian
lebih lanjut (Vaughan, 2005).
b. Amaurosis Congenital Leber
Adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh gangguan penglihatan berat atau
kebutaan sejak masih bayi tanpa penyebab yang jelas. Penyakit ini biasanya
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 58
diwariskan secara resesif autosom dan mungkin disertai oleh retardasi mental,
kejang, dan kelainan ginjal atau otot. Temuan-temuan oftalmoskopik bervariasi,
sebagian besar memperlihatkan gambaran fundus normal atau hanya granularitas
epitel pigmen retina yang samar dan sedikit penipisan pembuluh-pembuluh.
Elektroretinogram yang sangat menurun atau menghilang mengisyaratkan disfungsi
fotoreseptor generalisata, dan pada bayi pemeriksaan ini adalah satu-satunya metode
untuk menegakkan diagnosis secara pasti (Vaughan, 2005).
c. Atrofi Girata
Adalah suatu gangguan resesif otosom yang disebabkan oleh penurunan aktivitas
ornitin aminotransferase, yaitu suatu enzim matriks mitokondria yang mengkatalisis
beberapa jalur asam amino.
Pasien biasanya mengalami niktalopia dalam dekade pertama kehidupan yang
kemudian diikuti oleh penurunan progresif lapang pandang perifer. Di bagian
midperifer fundus, selama masa remaja, terbentuk daerah-daerah atrofi korioretina
sirkular yang khas dan berbatas tegas, yang menyatu dengan kelainan macula pada
tahap lanjut perjalanan penyakit. Elektroretinogram menurun atau menghilang, dan
elektrookulogram menurun.
Pengobatan adalah dengan suplementasi piridoksin, pembatasan arginin dalam
makanan, dan pemberian lisin dalam makanan (Vaughan, 2005).
d. Atrofi Korioretina Perifer
Adalah degenerasi korioretina yang sering dijumpai dan ditemukan hampir sepertiga
mata orang dewasa. Secara oftalmoskopis, lesi tampak sebagai daerah-daerah
kuning-putih, diskret, kecil, tersendiri atau berkelompok dengan pembuluh-
pembuluh koroid di bawahnya yang menonjol dan batas berpigmen. Insufisiensi
pembuluh koroid diperkirakan merupakan penyebab gangguan jinak ini karena
kelainan-kelainan patologik terbatas di bagian retina yang diperdarahi oleh
koriokapiler (Vaughan, 2005).
e. Degenerasi Lattice
Adalah degenerasi vitroretina herediter yang paling sering dijumpai, dengan
perkiraan insiden sebesar 7% dari populasi umum. Degenerasi Lattice lebih sering
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 59
dijumpai pada mata miopik dan sering disertai ablasio retina. Gambaran
oftalmoskopik mungkin berupa penipisan retina berbentuk bundar, oval, atau linier,
disertai pigmentasi, garis putih bercabang-cabang, dan bintik-bintik kuning
keputihan; tanda utama penyakit adalah retina yang tipis yang ditandai oleh batas
tegas dengan perlekatan erat vitreoretina di tepinya (Vaughan, 2005).
5. RETINOPATI DIABETIC
Retinopati merupakan kelainan retina yang tidak disebabkan radang. Retinopati
dapat disebabkan anemia, diabetes mellitus, hipotensi, hipertensi, leukemia, penyakit
Hodgkin, keracunan monooksida, dll. Keadaan-keadaan tersebut dapat menyebabkan
anoksia pada retina yang selanjutnya menyebabkan infark retina (Ilyas, 2008).
Retinopati diabetic adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus, meliputi arteriol pre-papiler retina,
kapiler-kapiler, dan vena (Vaughan, 2005).
Pembagian retinopati diabetic berdasarkan prognosis dan pengobatannya, yaitu :
a. Retinopati Diabetic Non Proliferatif
b. Retinopati Diabteik Proliferatif
Belum diketahui penyebab pasti retinopati diabetic. Tetapi lamanya terpapar pada
hiperglikemia (kronis) menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhirnya
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah, diyakini merupakan penyebab dari
penyakit ini (Ilyas, 2008).
Beberapa perubahan abnormalitas sebagian besar berupa hematologi dan biokimia
yang dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya penyakit, antara lain :
Adhesif platelet yang meningkat
Agregasi eritrosit yang meningkat
Abnormalitas lipid serum
Fibrinolisis yang tidak sempurna
Abnormalitas dari sekresi growth hormon
Abnormalitas serum dan viskositas darah (Ilyas, 2008).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 60
Gejala Subjektif :
Sulit membaca
Penglihatan kabur
Penuruna penglihatan secara tiba-tiba
Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap dan cahaya kelap kelip (Ilyas, 2008).
Gejala Objektif :
Mikroneurisma
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma di polus posterior.
Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok.
Hard exudates
Soft exudates (cotton wool) patches
Pembuluh darah baru (neovaskularisasi) pada retina yang biasanya terletak di
permukaan jaringan.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina, terutama di daerah makula
sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan (Ilyas, 2008; Vaughan, 2005).
Streostopic biomicroscopic dengan lensa +90 D merupakan salah satu alat yang
dapat membantu pendeteksian awal adanya edema makular pada retinopati diabetik non-
proliferatif. Selain itu Angiografi Fluoresenses juga sangat bermanfaat dalam mendeteksi
kelainan mikrovaskularisasi pada retinopati diabetik (Vaughan, 2005).
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mencegah
perkembangan retinopati diabetik.
Pengendalian gula darah, tekanan darah, masalah jantung, dan obesitas.
Pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik lainnya
Terapi laser Argon fokal terhadap titik-titik kebocoran retina
Fotokoagulasi panretina laser Argon
Bedah vitreoretina (Vaughan, 2005).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 61
GANGGUAN KORNEA
Keratitis K.pungtata, k.marginal, k.interstisial, k.bakterial, k.jamur, k.virus,
keratokonjungtivitis epidemi, k.Dimmer, k.filamentosa, k.alergi,
k.lagoftalmos, k.neuroparalitik, keratokonjungtivitis sika, k.sklerotikan.
Ulkus Kornea U.marginal, u.Mooren, u.sentral, u.neuroparalitik, u.serpens akut,
u.kornea p.aeroginosa, u.ateromatosis
Kondisi Degeneratif
Kornea
Penyakit Terrien, keratopati pita, keratopati tetes musiman, degenerasi
nodular Salzmann, arcus senilis, distrofi Meesman, Distrofi membran
anterior, erosi kornea rekuren, distrofi granular, distrofi makular, distrofi
“Lattice”, distrofi Fuch, Distrofi polimorf posterior
Pigmentasi Kornea Spindel krukenberg, pencemaran oleh darah, cincin Kayser-Fleischer,
garis-garis besi (garis Hudson-Stahli, Cincin Fleischer, garis Stocker,
Garis Ferry)
Anomali
Kecembungan
Keratokonus, keratoglobus, kornea plana
Anomali Ukuran Mikrokornea, megalokornea
GANGGUAN LENSA
Katarak K.senilis, k. kongenital, k.juvenilis, k.traumatik, k.komplikata, k.toksik,
k.akibat penyakit sistemik, k.sekunder
Dislokasi Lensa Dislokasi lensa herediter, dislokasi lensa traumatik
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 62
GANGGUAN PUPIL
Isokoria dengan
ukuran pupil normal
Relative Afferent Pupillary Defect, Bilateral Afferent Pupillary Defect
Anisokoria dengan
dilatasi pupil pada
mata yang terganggu
Complete Oculomotor Palsy, Tonic Pupil, Iris Defects,
Anisokoria dengan
konstriksi pupil pada
mata yang terganggu
Horner Syndrome
Isokoria dengan pupil
berkonstriksi
Argyll Robertson Pupil, Toxic Bilateral Pupillary Constriction, Bilateral
Pupillary Constriction due to Pharmacologic Agents, Inflammatory
Bilateral Pupillary Constriction
Isokoria dengan pupil
berdilatasi
Parinaud Oculoglandular Syndrome, Intoxication, Disorders (Migraine,
coma, Schizophrenia, Hyperthyreosis, Hysteria, Bumke’s anxiety
pupils, agony)
GANGGUAN KORPUS VITREUM
Kilatan sinar, floaters korpus vitreum, hialosis asteroid, kolaps akut korpus vitreum, robekan
retina, perdarahan korpus vitreum, cederae korpus vitreum (kontusio, ruptur bola mata, penetrasi
bbola mata, kehilangan korpus vitreum), abses korpus vitreum
GANGGUAN RETINA
Penyakit Pada
Makula
Degenerasi makula terkait usia, (non-eksudatif dan eksudatif),
korioretinopati serosa sentralis, edema makula, dugaan sindrom
histoplasmosis okular, Epiteliopati Pigmen Plakoid Posterior Multifokal
Akut (EPPPMA), koroidopati prepapiler helikoid geografik,
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 63
koreoretinitis vitiliginosa, neuroretinopati makula akut, sindrom bintik
putih multipel evanesen, angioid streaks, degenerasi makula miopik,
membran makula epiretina, makulopati traumatik, distrofi makula
Penyakit Retina
Perifer
Ablasio retina regmatogenosa, ablasio retina akibat traksi, ablasio retina
serosa dan hemoragik, retinopati prematuritas, retinitis pigmentosa,
amaurosis kongenital leber, atrofi girata, atrofi korioretina perifer,
degenerasi Lattice, retinoskisis
Penyakit Pembuluh
Retina
Retinopati diabetes, sumbatan arteri retina sentralis, sumbatan arteri
retina cabang, sumbatan vena retina sentralis, sumbatan vena retina
cabang, makroaneurisme arteriol retina
Defek Penglihatan
Warna
Tumor Intraokular Jinak: angioma retina, hamartoma astrositik
Ganas: retinoblastoma
KELAINAN REFRAKSI
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 64
Refraksi adalah pembiasaan cahaya jika kecepatan suatu berkas cahaya berubah
akibat perubahan medium optik. Efek suatu bahan optik terhadap kecepatan cahaya
dinyatakan oleh indeks refraksinya (indeks bias, n). Semakin tinggi indeks bias, semakin
lambat kecepatan, dan semakin besar efek pembiasannya (Asbury, 2007).
Dalam hampa udara, n memiliki nilai 1,000000. Indeks refraksi absolut suatu bahan
adalah rasio kecepatan cahaya dalam hampa udara terhadap kecepatan udara dalam bahan.
Indeks refraksi relatif dihitung dengan mengacu pada kecepatan cahaya di udara. Indeks
refraksi absolut udara bervariasi, tergantung pada suhu, tekanan dan kelembapan udara, serta
frekuensi cahaya, tetapi nilainya adalah sekitar 1,00032. Pada optik, n dianggap sebagai
indeks relatif terhadap udara, kecuali dinyatakan sebagai absolut (Asbury, 2007)
Fisiologi RefraksiCahaya adalah suatu bentuk radiasi elektromagnetik yang terdiri dari paket-paket
individual energi yang disebut foton dan berjalan menurut cara gelombang. Fotoreseptor
dimata hanya peka terhadap panjang gelombang antara 400 dan 700 nm. Gelombang cahaya
mengalami divergensi ke semua arah dari setiap titik sumber cahaya. Pada proses penglihatan
berkas cahaya yang bersifat divergen harus dibelokkan untuk difokuskan ke sebuah titik di
retina untuk menghasilkan suatu bayangan akurat mengenai sumber cahaya (Sherwood,
2002).
Pembelokan berkas cahaya (refraksi) terjadi ketika berkas berpindah dari satu medium
ke medium lainnya dengan kepadatan yang berbeda. Berkas cahaya akan mengalami
pembelokan jika mengenai permukan medium lainnya, kecuali dalam keadaan tegak lurus
(Guyton, 2006). Dua faktor penting dalam refraksi, yaitu densitas komparatif antara 2 media (semakin
besar perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan), dan sudut jatuhnya berkas
cahaya di medium kedua (semakin besar sudut, semakin besar pembiasan). Dua struktur yang
paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea,
struktur pertama yang dilalui cahaya sewaktu masuk mata, yang melengkung berperan besar
dalam reftraktif total karena perbedaan densitas pertemuan udara/kornea jauh lebih besar dari
pada perbedaan densitas antara lensa dan cairan yang mengelilinginya. Kemampuan refraksi
kornea seseorang tetap konstan karena kelengkungan kornea tidak pernah berubah. Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 65
Sebaliknya kemampuan refraksi lensa dapat disesuaikan dengan mengubah kelengkungannya
sesuai keperluan untuk melihat dekat/jauh (Olver, 2005).
Suatu lensa dengan permukaan konveks (cembung) menyebabkan konvergensi berkas
cahaya, sehingga permukaan refraktif mata bersifat konveks. Lensa dengan permukaan
konkaf (cekung) menyebabkan divergensi, sehingga lensa konkaf berguna untuk
memperbaiki kesalahan refraktif mata tertentu, misalnya penglihatan dekat (Sherwood,
2002).
Permukaan kornea yang melengkung berperan paling besar dalam kemampuan
refraktif total mata. Kemampuan refraksi kornea seseorang tetap konstan karena
kelengkungan kornea tidak pernah berubah, sebaliknya kemampuan refraksi lensa dapat
disesuaikan dengan mengubah kelengkungannya sesuai untuk melihat dekat atau jauh
(Sherwood, 2002; Ganong, 2005).
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas
kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal
susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang
sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula
lutea. Mata normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda
tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh
(Ilyas, 2008).
Emetropia
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 66
Emetropia adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar atau jauh dibiaskan atau
difokuskan oleh sistem optik mata tepat pada daerah makula lutea tanpa mata melakukan
akomodasi. Pada mata emetropia terdapat keseimbangan antara kekuatan pembiasan sinar
dengan panjangnya bola mata. Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan
oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai
daya pembiasan sinar terkuat dibanding media penglihatan mata lainnya. Lensa memegang
peranan terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat.
Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan perubahan kecembungan
lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan
akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat keadaan
yang disebut presbiopia (Ilyas, 2008).
Presbiopi
Gangguan akomodasi pada usia lanjut, yaitu lensa akan mengalami kemunduran
kemampuan untuk mencembung (Ilyas, 2008).
Patofisiologi :
1. Kelemahan otot akomodasi
2. Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa
Manifestasi Klinis :
1. Kesukaran melihat dekat, sedangkan untuk melihat jauh akan tetap normal.
2. Keluhannya akan bertambah sesuai umur
3. Setelah membaca, penderita mengeluhkan mata lelah, berair, dan sering terasa pedas
(Ilyas, 2008).
Pada pasien presbiopia diperlukan lensa kacamata tambahan atau lensa adisi untuk
membaca dekat dengan kekuatan tertentu, biasanya :
+ 1.0 D untuk usia 40 tahun
+ 1.5 D untuk usia 45 tahun
+ 2.0 D untuk usia 50 tahun
+ 2.5 D untuk usia 55 tahun
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 67
+ 3.0 D untuk usia 60 tahun
Penderita presbiopa memerlukan kacamata baca atau kacamata bifokus dimana bagian
atas lensa kacamata untuk melihat jauh sedangkan lensa bagian bawah untuk melihat dekat
(Ilyas, 2008).
Ametropia
Sinar yang masuk ke dalam mata mengalami pembiasan oleh media penglihatan yang
pada keadaan normal atau seimbang akan memfokuskan sinar tersebut ke daerah makula
lutea (fovea sentral). Bila keadaan demikian maka disebut emetropia. Pada emetropia tidak
terdapat keseimbangan antara kekuatan pembiasan media penglihatan dengan panjangnya
bola mata. Pada keadaan ini akan terlihat kelainan refraksi atau ametropia refraktif dan aksial.
Amteropia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk kelainan :
- Miopia
- Hipermetropia
- Astigmatisme (Ilyas, 2008).
Miopia
Miopia disebut sebagai rabun jauh, akibat ketidakmampuan untuk melihat jauh, akan
tetapi dapat melihat dekat dengan lebih baik. Miopia adalah kelainan refraksi dimana sinar
sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan dibiaskan
membentuk bayangan di depan retina (Yani, 2008).
Miopia disebabkan karena pembiasan sinar di dalam mata yang terlalu kuat untuk
panjangnya bola mata akibat :
1. Sumbu aksial mata lebih panjang dari normal (diameter antero-posterior yang lebih
panjang, bola mata yang lebih panjang) disebut sebagai miopia aksial.
2. Kurvatura kornea atau lensa lebih kuat dari normal (kornea terlalu cembung atau lensa
mempunyai kecembungan yang lebih kuat) disebut miopia kurvatura/refraktif.
3. Indeks bias mata lebih tinggi dari normal, misalnya pada diabetes mellitus. Kondisi
ini disebut miopia indeks.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 68
4. Miopia karena perubahan posisi lensa, misalnya posisi lensa lebih ke anterior pada
pasien pasca operasi glaukoma (Yani, 2008).
Menurut derajat beratnya, mipoia dibagi dalam :
1. Miopia ringan : dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri (-0,25 D s/d -3,00 D)
2. Miopia sedang : dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri (-3,25 D s/d -6,00 D)
3. Miopia berat : dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri (-6,25 D atau lebih)
Berdasarkan perjalanan klinis, miopia dibagi sebagai berikut :
1. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa.
2. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah
panjangnya bola mata.
3. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasio
retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa = miopia maligna = miopia
degeneratif (Ilyas, 2008).
Gejala Klinis :
1. Pasien miopia akan menyatakan meilhat jelas bila dekat terkadang pada penglihatan
yang sangat dekat, sedangkan melihat kabur atau disebut oleh pasien sebagai rabun
jauh.
2. Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai juling
dan celah kelopak yang sempit.
3. Cenderung memicingkan mata bila melihat jauh untuk mencegah abrasi sferis dan
mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 69
4. Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam
atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia
konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke
dalam atau esotropia (Ilyas, 2008).
Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif
terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien
dikorekasi dengan - 3.0 memberikan tajam penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi S -
3,25, maka sebaiknya diberikan lensa koreksi - 3.0 untuk memberikan istirahat mata dengan
baik sesudah dikoreksi (Ilyas, 2008).
Hipermetropia
Hipermetropia (Hiperopia, farsightedness) adalah keadaan mata tak berakomodasi
yang memfokuskan bayangan dibelakang retina (Riordan & Whitcher, 2009). Pada
hipermetrofi sinar sejajar difokuskan dibelakang makula lutea (Ilyas, 2008).
Patofisiologi :
1. Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan kelainan refraksi akibat
bola mata pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek.
2. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga
bayangan difokuskan di belakang retina.
3. Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada system optik
mata (Ilyas, 2008).
Hipermetropia dikenal dalam bentuk :
1. Hipermetropia manifest ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata
positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini
terdiri atas hipermetropia absolute ditambah dengan hiperemetropia fakultatif.
Hipermetropia manifest didapatkan tanpa sikloplegik dan hipermetropia yang dapat
dilihat dengan koreksi kacamata maksimal.
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 70
2. Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi
dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten
yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifest yang
tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai hipermetropia absolute,
sehingga jumlah hipermetropia fakultatif dengan hipermetropia absolute adalah
hipermetropia manifest
3. Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi dengan
akomodasi ataupun kacamata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia
fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata, yang bila diberikan kaca mata positif
akan memberikan penglihatan normal dan otot akomodasinya akan mendapatkan
istirahat. Hipermetropia manifest yang masih memakai tenaga akomodasi disebut
hipermetropia fakultatif.
4. Hipermetropia laten, di mana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia (atau dengan
obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia. Makin muda makin
besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi
kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif
dan kemudian akan menjadi hipermetropia absolute. Hipermetropia laten sehari-hari
diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus, terutama bila pasien masih muda dan
daya akomodasinya masih kuat.
5. Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan
siklopegia (Ilyas, 2008).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 71
Contoh pasien hipermetropia :
Pasien usia 25 tahun, dengan tajam penglihatan 6/20
Dikoreksi dengan sferis + 2.00 6/6
Dikoreksi dengan sferis + 2.50 6/6
Dikoreksi dengan sikloplegia, sferis + 5.00 6/6
Maka pasien ini mempunyai :
Hipermetropia absolute sferis + 2.00
Hipermetropia manifest sferis + 2.500
Hipermetropia fakultatif sferis (+ 2.50)-(+2.00) = + 0.50
Hipermetropia laten sferis + 5.00 – (+ 2.50) = + 2.50
(Ilyas, 2008)
Gejala Klinis :
1. Penderita mengeluhkan penglihatan dekat dan jauh kabur, sakit kepala, dan kadang
rasa juling atau melihat ganda.
2. Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluhkan matanya lelah
dan sakit karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan
bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea.
Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus menerus berakomodasi, maka
bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat
mempunyai kedudukan esotropia atau juling ke dalam.
3. Mata dengan hipermetropia sering akan memperlihatkan ambliopia akibat mata tanpa
akomodasi tidak pernah melihat obyek dengan baik dan jelas. Bila terdapat perbedaan
kekuatan hipermetropia antara kedua mata, maka akan terjadi ambliopia pada salah
satu mata. Mata ambliopia sering menggulir ke arah temporal (Ilyas, 2008).
4. Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada
usia yang telah lanjut, akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca, keluhan
tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan.
5. Mata sensitif terhadap sinar
6. Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 72
7. Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif = eye strain) terutama bila melihat
pada jarak yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas dalam waktu yang lama,
misalnya menonton TV, dll (Yani, 2008).
Pasien diberikan koreksi hipermetropia manifest dimana tanpa sikloplegia didapatkan
ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajaman penglihatan normal (6/6). Bila
terdapat juling ke dalam atau esotropia, diberikan kacamata koreksi hipermetropia total. Bila
terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksoforia) maka diberikan kacamata koreksi positif
kurang.
Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif terkuat
atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal. Bila pasien
dengan + 3.0 ataupun dengan + 3.25 memberikan tajam penglhatan 6/6, maka diberikan
kacamata + 3.25. Hal ini untuk memberika istirahat pada mata. Pada pasien dimana
akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak, maka sebaiknya pemeriksaan dilakukan
dengan memberikan sikloplegik ataupun melumpuhkan otot akomodasi. Dengan
melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien akan mendapatkan koreksi kacamatanya dengan
mata yang istirahat.
Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena matanya
masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien
yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia yang telah lanjut,
akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca, keluhan tersebut berupa sakit kepala,
mata terasa pedas dan tertekan. Pada pasien ini diberikan kacamata sferis postif terkuat yang
memberikan penglihatan maksimal (Ilyas, 2008).
Astigmatisma
Merupakaan kelainan refraksi dimana berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik
dengan tajam penglihatan pada retina, akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak
lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea (Ilyas, 2008).
Patofisiologi :
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 73
1. Adanya kelainan kornea di mana permukaan luar kornea tidak teratur atau
mempunyai kornea yang bulat atau sferis.
2. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa
3. Intoleransi lensa atau lensa kontak pada post-keratoplasty
4. Trauma pada kornea
5. Tumor (Yani, 2008).
Gejala Klinis :
1. Penglihatan kabur atau terjadi distorsi
2. Penglihatan mendua atau berbayang - bayang
3. Nyeri kepala
4. Nyeri pada mata (Yani, 2008)
Kelainan astigmatisma dapat dikoreksi dengan lensa silindris, seringkali dengan
kombinasi lensa sferis (Riordan & Whitcher, 2009).
AnisometropiaAnisometropia adalah perbedaan kelainan refraksi di antara kedua mata. Kelainan ini
merupakan penyebab utama ambliopia karena mata tidak dapat berakomodasi secara
independen dan mata tidak dapat berakomodasi secara independen dan mata yang lebih
hiperopia terus menerus kabur.
Koreksi refraktif terhadap anisometropia dipersulit oleh perbedaan ukuran bayangan
retina (aniseikonia) dan ketidakseimbangan okulomotor akibat perbedaan derajat kekuatan
prismatik bagian perifer kedua lensa korektif tersebut. Aniseikonia umumnya merupakan
masalah pada afakia monokular. Koreksi dengan kacamata menghasilkan perbedaan ukuran
bayangan di retina sekitar 25%, yang jarang dapat ditoleransi. Koreksi dengan lensa kontak
menurunkan perbedaan ukuran bayangan menjadi sekitar 6%, yang dapat ditoleransi. Lensa
intraokuler menghasilkan perbedaan kurang dari 1% (Riordan, 2009).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 74
AmbliopiaMerupakan kondisi mata yang mengalami penurunan tajam penglihatan, tak
terkoreksi dengan kacamata atau lensa kontak. Sebagai akibat dari gangguan proses
perkembangan visus sentral. Gangguan perkembangan tersebut dapat terjadi karena faktor
optikal/refraksi, kekeruhan media refrakta, strabismus dan ptosis, sewaktu awal masa anak-
anak (dibawah 6 tahun). Dalam kondisi ini, sususan saraf pusat tidak mampu, menangkap
secara sempurna kesan benda yang terlihat oleh mata ambliopik, tanpa diketahui apa
sebabnya. Hampir seluruh kasus ambliopia hanya mengenai satu mata tetai dapat
menyebakan penurunan visual pada kedua mata. Insidensinya pada populasi umum sekitar
2% sampai 2,5%. Pada ambliopia terjadi penurunan tajan penglihatan unilateral ataupun
bilateral disebabkan karena abnormal, atau keduanya, yang tidak ditemukan kausa organik
pada pemeriksaan fisik. Salah satu faktor resiko terjadi ambliopia pada penelitian yang
dilakukan oleh Brown et al adalah anisometropua astigamatisma. Berdasarkan kemampuan
didalam menimbulkan ambliopia dari berbagai jenis kelainan refraksi : hipermetropia sebagai
penyebab yang paling menonjol pada proses terjadi ambliopia. Astigmatisme merupakan
penyebab kedua terjadinya ambliopia terutama astigmatisme yang tinggi sedangkan miopia
jarang menjadi penyebab utama ambliopia (Gunawan, 2006).
Kelompok E
Tajam Penglihatan – Sistem Optik – Refraksi 75
DAFTAR PUSTAKA
Asbury, Vaughan. 2007. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Penerbit EGC : Jakarta.
Faye, Eleanor. 2010. Penglihatan Kurang. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury. Edisi 17.
EGC : Jakarta.
Ganong, William F. 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 21. EGC : Jakarta.
Gunawan W. 2006. Astigmatisma Miopi Simplek yang Mengalami Ambliopia Pada Anak
Sekolah Dasar di Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat Vol. 22, No.3.
Available at : http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=7982
Guyton AC, Hall CE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th Edition. Elsevier Saunders
: Philadelphia.
Ilyas, Sidharta. 2005. Ilmu Penyakit Mata. Penerbit FKUI : Jakarta.
Ilyas S, Mailangkay, Taim H, Saman, SR. 2002. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum
Dan Mahasiswa Kedokteran PERDAMI. Sagung Seto : Jakarta.
Japardi, I. 2002. Pupil dan Kelainannya. Available at :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/../1967/1/bedah-iskandar%20japardi42.pdf
Marieb EN. 2006. Human Anatomy & Physiology. 7th Edition. Pearson Education : New
York.
Olver J, Cassidy L. 2005. Ophtalmology at a Glance. New York : Blackwell Science.
Seeley, Stephens, Tate. 2004. Anatomy and Physiology. Sixth Edition. McGraw-Hill : New
York
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC : Jakarta.
Siregar, Nurchaliza H, 2009. Low Vision. Available at : www.repository.usu.ac.id
Yani, DA. 2008. Kelainan Refraksi dan Kacamata. Surabaya Eye Clinic : Surabaya.
Kelompok E