12
Perspektif Vol. 12 No. 1/Juni 2013. Hlm 11-22 ISSN: 1412-8004 Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 11 PROSPEK PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA Prospect of Peatland Utilization For Oil Palm Plantation In Indonesia WAHYUNTO 1) , AI DARIAH 2) , DJOKO PITONO 3) dan MUHRIZAL SARWANI 1) 1) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No.12 Bogor 2) Balai Penelitian Tanah Indonesian Research Institute of Soil Jalan Tentara Pelajar No.12 Bogor 3) Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Indonesian Center for Estate Crops Research and Development Jalan Tentara Pelajar No 1. Bogor. Diterima: 10 Desember 2012; Disetujui: 27 Mei 2013 ABSTRAK Pengembangan perkebunan kelapa sawit (Elaeis guenensis L.), terbukti mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah di sentra-sentra pengembangan kelapa sawit. Pemanfaatan lahan rawa gambut untuk perkebunan akan menyebabkan tingginya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama emisi CO2. Reklamasi lahan rawa gambut untuk tanaman perkebunan kelapa sawit agar emisi GRK dapat dikurangi, memerlukan jaringan drainase makro yang dapat mengendalikan tata air di tingkat lahan. Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan gambut. Dengan demikian prinsip pengelolaan lahan secara berkelanjutan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sangat diperlukan, agar tidak berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan. Diperlukan strategi pengaturan tinggi muka air tanah agar tidak terlalu dangkal untuk mendukung pertumbuhan optimal tanaman kelapa sawit, dan juga tidak terlalu dalam agar permukaan tanah gambut tetap lembab, sehingga tidak mudah terjadi kebakaran dan penurunan tanah gambut secara cepat sehingga emisi Gas Rumah Kaca dapat dikurangi. Kata kunci: Perkebunan, Elaeis guenensis L., penge- lolaan, tata air, lahan gambut, berkelanjutan ABSTRACT Development of oil palm (Elaeis guenensis L.) plantations, has been proven to be able to increase people's income, and has driven the region's of economic growth in the centers of oil palm development. Utilization of peatlands for plantations will lead to high emissions of Greenhouse Gases (GHG) emissions, especially CO2 emissions. Reclamation of peatlands for palm oil plantation in order to GHG emissions can be reduced, requiring macro level of drainage network that can control water flow at the landscape level. In appropriate drainage system will accelerate the destruction of peatlands. Thus the principle of sustainable land management of oil palm plantations on peatland is needed, to minimize the impact on environmental degradation. Strategy on ground water level arrangements is necessary ie: not too shallow ground water table to support optimal growth of oil palm plantations, and also not too deep ground water level in order to the ground surface remains moist peat soil, so fire and rapid subsident in peat soil can be prevented and greenhouse gas emissions can be reduced. Key words: Estate plantation, Elaeis guenensis L., sustainable, management, peatland, water manage-ment PENDAHULUAN Sejak tahun 2006, Indonesia telah tercatat sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia. Total produksi sawit Indonesia menyumbang sekitar 45% dari produksi sawit dunia (Badrun, 2010). Meningkatnya permintaan minyak sawit

Kelapa Sawit 3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kelapa Sawit 3

Perspektif Vol. 12 No. 1/Juni 2013. Hlm 11-22

ISSN: 1412-8004

Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 11

PROSPEK PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT

UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA

Prospect of Peatland Utilization For Oil Palm Plantation In Indonesia

WAHYUNTO1), AI DARIAH2), DJOKO PITONO3) dan MUHRIZAL SARWANI1)

1)Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian,

Jalan Tentara Pelajar No.12 Bogor 2)Balai Penelitian Tanah

Indonesian Research Institute of Soil

Jalan Tentara Pelajar No.12 Bogor 3)Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan,

Indonesian Center for Estate Crops Research and Development

Jalan Tentara Pelajar No 1. Bogor.

Diterima: 10 Desember 2012; Disetujui: 27 Mei 2013

ABSTRAK

Pengembangan perkebunan kelapa sawit (Elaeis

guenensis L.), terbukti mampu meningkatkan

pendapatan masyarakat, dan mendorong

pertumbuhan ekonomi wilayah di sentra-sentra

pengembangan kelapa sawit. Pemanfaatan lahan rawa

gambut untuk perkebunan akan menyebabkan

tingginya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama

emisi CO2. Reklamasi lahan rawa gambut untuk

tanaman perkebunan kelapa sawit agar emisi GRK

dapat dikurangi, memerlukan jaringan drainase makro

yang dapat mengendalikan tata air di tingkat lahan.

Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat

kerusakan lahan gambut. Dengan demikian prinsip

pengelolaan lahan secara berkelanjutan perkebunan

kelapa sawit di lahan gambut sangat diperlukan, agar

tidak berdampak terhadap penurunan kualitas

lingkungan. Diperlukan strategi pengaturan tinggi

muka air tanah agar tidak terlalu dangkal untuk

mendukung pertumbuhan optimal tanaman kelapa

sawit, dan juga tidak terlalu dalam agar permukaan

tanah gambut tetap lembab, sehingga tidak mudah

terjadi kebakaran dan penurunan tanah gambut secara

cepat sehingga emisi Gas Rumah Kaca dapat

dikurangi.

Kata kunci: Perkebunan, Elaeis guenensis L., penge-

lolaan, tata air, lahan gambut,

berkelanjutan

ABSTRACT

Development of oil palm (Elaeis guenensis L.)

plantations, has been proven to be able to increase

people's income, and has driven the region's of

economic growth in the centers of oil palm

development. Utilization of peatlands for plantations

will lead to high emissions of Greenhouse Gases

(GHG) emissions, especially CO2 emissions.

Reclamation of peatlands for palm oil plantation in

order to GHG emissions can be reduced, requiring

macro level of drainage network that can control water

flow at the landscape level. In appropriate drainage

system will accelerate the destruction of peatlands.

Thus the principle of sustainable land management of

oil palm plantations on peatland is needed, to

minimize the impact on environmental degradation.

Strategy on ground water level arrangements is

necessary ie: not too shallow ground water table to

support optimal growth of oil palm plantations, and

also not too deep ground water level in order to the

ground surface remains moist peat soil, so fire and

rapid subsident in peat soil can be prevented and

greenhouse gas emissions can be reduced.

Key words: Estate plantation, Elaeis guenensis L.,

sustainable, management, peatland,

water manage-ment

PENDAHULUAN

Sejak tahun 2006, Indonesia telah tercatat

sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia.

Total produksi sawit Indonesia menyumbang

sekitar 45% dari produksi sawit dunia (Badrun,

2010). Meningkatnya permintaan minyak sawit

Page 2: Kelapa Sawit 3

12 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22

dunia mendorong peningkatan produksi

terutama dalam bentuk minyak sawit mentah

(Crude Palm Oil-CPO). Indonesia saat ini

memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 8,9 juta

ha dan 1,25 juta ha berada di lahan gambut

(Ditjen Perkebunan 2013 dan ICCTF, 2013). Saat

ini, tanaman kelapa sawit 41,4% dimiliki oleh

perkebunan rakyat (PR), 48,6% dimiliki oleh

perkebunan besar swasta (PBS), dan 10%

dimiliki oleh perkebunan besar milik Negara

(PTPN). Kementerian Pertanian mencatat 19,3

juta ton CPO diekspor, yang menghasilkan

devisa 17,4 miliar dolar AS. Pengembangan

kelapa sawit melibatkan 3,2 juta kepala keluarga

yang bekerja di sektor on farm (Herman et al.,

2009). Disamping itu pengembangan kelapa

sawit terbukti telah mampu meningkatkan

pendapatan masyarakat dan mengurangi

kemiskinan serta telah mendorong pertumbuhan

ekonomi wilayah di sentra-sentra pengembangan

kelapa sawit. Sebagai tanaman yang berbentuk

pohon, kelapa sawit juga mampu memfiksasi

CO2 menjadi O2 yang diperlukan makhluk hidup.

Produk kelapa sawit dapat digunakan

sebagai minyak makan, oleokimia dengan

berbagai produknya dan sebagai sumber energi.

Limbah kelapa sawit baik berupa limbah padat

maupun limbah cair, juga dimanfaatkan untuk

pakan ternak, pupuk maupun sumber energi.

Disamping itu dengan pola tanam yang tepat,

pengembangan kelapa sawit dapat diintegrasikan

dengan pengembangan tanaman palawija

(khususnya pada saat kanopi belum menutup),

maupun diintegrasikan dengan ternak sapi

(ICALRD, 2010).

Kelapa sawit hanya dapat tumbuh di daerah

tropis dan mampu menghasilkan minyak nabati

10 kali lipat lebih besar dibanding minyak

kedelai, rape seed maupun bunga matahari (World

Bank, 2009 dalam Bappenas, 2009). Pengembangan

perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ditujukan

untuk meningkatkan pendapatan masyarakat,

meningkatkan penerimaan dan devisa negara,

menyediakan lapangan kerja, meningkatkan

produktivitas, nilai tambah dan daya saing,

memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku

dalam negeri, mendorong pengembangan

wilayah serta mengoptimalkan pengelolaan

sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Pengembangan kelapa sawit di Indonesia

dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip

pembangunan perkebunan berkelanjutan sesuai

dengan berbagai peraturan yang berlaku di

antaranya Indonesian Sustainable Palm Oil-ISPO

(Agus et al., 2010 dan Ditjen Perkebunan, 2013 ).

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa

sebagian lahan gambut yang dimanfaatkan untuk

pertanian dan perkebunan, saat ini menjadi lahan

terlantar tidak produktif, akan tetapi sebagian

lainnya dengan pengelolaan yang baik ternyata

mampu berproduksi dan telah berkontribusi

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di

sekitarnya (Wahyunto et al., 2010). Gambaran ini

memperlihatkan bahwa ada bagian dari lahan

gambut yang memang perlu dikonservasi untuk

dipertahankan sebagai kawasan lindung dan

peresapan air di kawasannya, tetapi juga ada

gambut potensial yang bisa dimanfaatkan untuk

pembangunan pertanian secara bijaksana.

Semakin terbatasnya lahan mineral dalam

luasan yang ekonomis untuk perkebunan kelapa

sawit, lahan gambut merupakan salah satu

alternatif perluasan lahan, yang berpotensi

memberikan tambahan devisa dan kesempatan

kerja bagi masyarakat. Apalagi pada daerah-

daerah yang lahannya didominasi oleh lahan

gambut seperti Provinsi Riau, Kalimantan Barat

dan Kalimantan Tengah, pemanfaatan lahan

gambut merupakan suatu keharusan karena

tidak ada pilihan lain. Tulisan ini membahas

dinamika perkebunan kelapa sawit dan alternatif

pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan

kelapa sawit secara berkelanjutan dengan

mempertimbangkan potensi lahan dan

dampaknya terhadap penurunan kualitas

ekosistem lahan gambut.

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI

LAHAN GAMBUT

Kelapa sawit adalah unggulan utama

komoditas perkebunan Indonesia. Saat ini

Indonesia adalah pemilik terluas kebun kelapa

Page 3: Kelapa Sawit 3

Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 13

sawit dan penghasil Crude Palm Oil (CPO)

terbesar di dunia yang sebagian besar harus

diekspor karena konsumsi dalam negeri jauh

lebih rendah ketimbang produksi. Sumbangan

Sub-sektor perkebunan bagi perekonomian

Indonesia selama periode 2000-2004 sebesar

15,63% dari Produk Domestik Bruto (PDB)

Pertanian atau 2,46% dari PDB nasional. Selain

itu subsektor ini juga sebagai salah satu sumber

devisa non migas, sebagai sumber kesempatan

kerja bagi jutaan penduduk, lapangan investasi

bagi investor nasional maupun internasional,

mendorong pertumbuhan berbagai sektor

perekonomian lainnya (Wahyono et al., 2005).

Berdasarkan asumsi bahwa setiap 2 ha

kebun kelapa sawit memerlukan tenaga kerja

sekitar 35 orang; 1 unit pabrik kelapa sawit (PKS)

memerlukan 136 tenaga kerja, maka sampai

dengan tahun 2005 penyerapan tenaga kerja oleh

sub sektor perkebunan kelapa sawit sekitar 2,1

juta ha (Wahyono et al., 2005 dan Wiratmoko et

al., 2008). Pada tahun 2006 sub sektor perkebunan

mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,3 juta

juta jiwa (Ditjen Perkebunan, 2007). Luas area

perkebunan kelapa sawit di tanah mineral seluas

7, 7 juta ha dan 1,5 juta ha (20%) berada di lahan

gambut (Tabel 1). Perkebunan kelapa sawit

paling luas berada di Sumatera (69,1% dari luas

kebun kelapa sawit di Indonesia) terutama di

provinsi Riau, Sumatera Utara dan Sumatera

Selatan. Produktivitas tanaman kelapa sawit

masih bervariasi antara 0,8 – 4,1 ton tandan buah

segar (TBS) per ha. Produktivitas tertinggi

dicapai di daerah Provinsi Riau (4,1 ton TBS/ha)

dan produktivitas terendah berada di daerah

provinsi Kepulauan Riau (0,8 ton TBS per ha).

Sejak tahun 2006 Indonesia sudah menjadi

penghasil CPO terbesar di dunia. Pada tahun

2009, dengan produksi CPO sebesar 20,4 ton dan

volume ekspor sebesar 14,3 juta ton, Indonesia

merupakan produsen dan ekportir minyak sawit

terbesar di dunia. Perolehan devisa dari CPO

pada tahun 2010 diperkirakan mencapai USD 14

millard (Kadin, 2009, dalam BPS, 2010). Menurut

proyeksi Kadin (2009), penerimaan devisa tahun

2010-2014 dari komditas CPO mencapai USD 80,9

Tabel 1. Luas areal perkebunan kelapa sawit dan produktivitasnya di Indonesia

Provinsi/Pulau

Perkebunan Kelapa Sawit (ha) Produktivitas

rata-rata TBS (ton/ha) di tanah mineral di tanah gambut Luas total perkebunan

N.A.Darussalam 252.496 29.836 282.332 2,6

Sumatera Utara 831.387 217.305 1.048.692 3,7

Sumatera Barat 290.755 48.920 339.675 2,6

Riau 1.105.098 788.491 1.893.589 4,1

Kep. Riau 8.130 - 8.130 0,8

Jambi 397.491 88.645 486.136 3,4

Sumatera Selatan 643.938 64.118 708.056 3,8

Keb Babel 182.116 245 182.361 3,8

Bengkulu 226.072 963 227.035 4

Lampung 142.336 10.882 153.218 3,1

Sumatra 4.079.819 1.249.405 5.329.224 2,6 - 4,0

Jawa barat 9.837 0 9.837 1,9

Banten 14.894 0 14.894 2,8

Kalimantan 1.796.730 288.136 2.084.866 2,4 - 3,7

Sulawesi 209.379 0 209.379 1,8 - 3,9

Papua &Papua Barat 59.887 2.038 61.925 2,5 - 2,8

Indonesia 6.170.546 1.539.579 7.710.125 1,9 - 4,1

Sumber: Dirjen Perkebunan, 2011 dan ICCTF, 2012

Page 4: Kelapa Sawit 3

14 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22

millard (80% dari keseluruhan komoditas pangan

andalan ekspor), yaitu CPO, teh, kopi, kakao,

tuna dan udang. Pengembangan industri hilir

kelapa sawit memegang peranan penting dalam

perekonomian nasional, khususnya penghasil

devisa, penciptaan lapangan kerja, penyedia

kebutuhan pokok masayarakat dan bahan baku

industri, dan peningkatan ketahanan pangan dan

energi nasional.

LAHAN GAMBUT DAN POTENSINYA

UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Ekosistem Lahan Gambut

Luas lahan gambut di dunia diperkirakan

sekitar 400 juta ha. Indonesia merupakan negara

ke empat dengan lahan rawa gambut terluas di

dunia, yaitu sekitar 14,9 juta ha setelah Kanada

seluas 170 juta ha, Uni Soviet seluas 150 juta ha,

dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Istomo,

2005 dan BBSDLP, 2011). Namun pada

kenyataannya, Indonesia merupakan negara

dengan kawasan gambut tropika terluas di dunia.

Jika luas gambut di Indonesia seluas 14,9 juta ha,

maka sekitar 40% gambut tropika dunia yang

luasnya sekitar 40 juta ha berada di Indonesia.

Gambut dinilai sebagai habitat lahan basah yang

mampu menyerap (sequester) dan menyimpan

(sink) karbon dalam jumlah besar sehingga dapat

mencegah larinya Gas Rumah Kaca (GRK)

terutama CO2 ke atmosfer bumi yang berdampak

terhadap perubahan iklim.

Ada tiga jenis ekosistem lahan gambut

Indonesia terletak di daerah rawa dataran

rendah, marin/pesisir dan sub-marin (Sabiham,

1988). Gambut yang diendapkan di tiga

ekosistem rawa umumnya terakumulasi selama

periode Holocene. Komposisi bahan gambut

umumnya terdiri dari bahan yang sangat kaya

akan kayu, mengandung lignin yang sangat

tinggi yang bervariasi antara 65,0-80,0%,

sedangkan kandungan bahan selulosa dan hemi-

selulosa umumnya kurang dari 10% (Polak, 1950

dan Sabiham, 1997).

Sifat fisik dan Kimia (Kesuburan) Lahan

Gambut

Tingkat kesuburan tanah gambut dikenal

dengan istilah: Eutrofik, Oligotropik dan

Mezotropik (Hardjowigeno, 1987 dan 1989),

dengan mempertimbangan kandungan abu, dan

unsur hara terutama phospor (P2O5), Kalsium

(CaCO2), dan Potasium (K2O).

Terkait dengan penggunaan pertanian, lahan

gambut air tawar dikategorikan sebagai gambut

ombrogen (Oligotrofik) dengan karakteristik

sangat asam, miskin hara. Lahan gambut yang

berkembang pada lingkungan air payau atau laut

dapat diklasifikasikan ke dalam gambut Topogen

(Eutrofik) dengan ketebalan gambut kurang dari

3,0 m, lebih subur bila dibanding dengan gambut

ombrogen, cukup masam sampai masam, dan

memiliki dukungan pertumbuhan tanaman yang

lebih baik dibandingkan dengan gambut

ombrogen (Sabiham, 2000). Kandungan unsur

hara N, P, K, Na, Ca, Mg, dan Fe pada tanah

gambut baik ombrogen dan topogen berturut-

turut adalah seperti berikut 0,4-0,9%, 0,1-0,8%,

0,01-0,05%, 0.04-0,01%, 0.01- 0,61%, 0,02-0,06%

dan 0,03-0,6% (Saragih, 1996 dan Dohong, 1999).

Tingginya unsur hara N dan P dengan diikuti

dengan tingginya kandungan C (> 51%) berarti

C/N dan C/P memiliki rasio yang tinggi, sehingga

menyebabkan ketersediaan unsur N dan P

rendah. Kandungan total unsur Cu, Zn dan Mn

juga rendah (<0,01%).

Sifat lain dari gambut yang penting adalah

tingkat porositas yang tinggi dan berat jenis (BD)

yang sangat rendah. Total volume porositas

berkisar 88-90%, sedangkan BD gambut di

lapisan permukaan berkisar 0,14-0,17 g/cc

(Andriese, 1994). Andriesse (1974) dan

Fahmuddin et al., (2009a dan 2009c) menyatakan

bahwa secara umum, BD telah terkait erat

dengan tingkat dekomposisi gambut. Gambut

Fibric mempunyai BD sangat rendah

(kebanyakan kurang dari 0,1 g/cc), sedangkan

gambut saprik memiliki BD sekitar 0,2 g/cc dan

gambut hemik di antara 0,1 sampai 0,2 g/cc.

Ketika lahan gambut mengering, maka fungsi

hidrologi akan terganggu karena menurunnya

konsentrasi COOH dan fungsi OH gambut,

Page 5: Kelapa Sawit 3

Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 15

Kelompok-kelompok fungsional bersifat polar

dan hidrofilik, yang dapat membantu dalam

proses menyerap air (Silvoa et al., 1985 dan

Sabiham, 2000).

Gambut Sebagai Penyimpan Karbon dan

Pengaruhnya terhadap Emisi GRK

Lahan gambut menyimpan karbon yang

jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah

mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan

tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa 10

kali karbon yang disimpan oleh tanah dan

tanaman pada tanah mineral (Agus dan Subiksa,

2008). Lahan gambut hanya meliputi 3% dari

total luas daratan dunia, namun menyimpan 550

Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah,

setara dengan seluruh C yang dikandung

biomasa (masa total mahluk hidup) daratan dan

setara dengan 2 kali simpanan C semua hutan di

seluruh dunia (Joosten, 2007).

Besarnya cadangan C pada lahan gambut

sangat ditentukan oleh tingkat ketebalan gambut,

vegetasi yang tumbuh di atasnya, dan tingkat

kematangan gambut. Di Indonesia proporsi luas

lahan gambut mencapai 10% dari luas

permukaan, sebagian besar terdapat di Pulau

Sumatera, Kalimantan, Papua dan Papua Barat

(Wahyunto et al., 2005; Agus et al., 2009b). Lahan

gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau besar

(Sumatera, Kalimantan dan Papua) seluas 14,9

juta ha (BBSDLP, 2011). Variabilitas besarnya

cadangan karbon dalam lahan gambut

ditunjukkan hasil penelitian Page et al. (2011)

yang menyatakan rata-rata besarnya cadangan

karbon sebesar 600 t C/m3, sedangkan hasil

penelitian Wahyunto et al. di Sumatera dan

Kalimantan (2003,2004) menunjukkan kandungan

C dalam lahan gambut berkisar antara 2000-3000

t/ha. Penelitian terbaru dari Agus et al. (2011)

menyatakan cadangan karbon pada gambut di

Indonesia sekitar 27 Gt.

Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di lahan

gambut khususnya CO2 di antaranya berasal dari

pembakaran cadangan karbon atas permukaan

tanah yang berupa pohon dan serasah tanaman.

Emisi juga terjadi karena pembakaran atau

terbakarnya lahan gambut dan proses

dekomposisi sebagai akibat perubahan kondisi

anaerob (tergenang-basah) menjadi aerob

(kering). Penelitian Hooijer et al.., (2010)

menunjukkan bahwa emisi CO2 lahan gambut

berkisar antara 16,2–776,7 mg CO2/m2/jam

tergantung pada kedalaman permukaan air

tanah. Emisi paling kecil terjadi pada permukaan

air tanah tertinggi (dangkal) dan emisi meningkat

bila permukaan air tanah semakin dalam. Emisi

CO2 hampir 2 kali lipat yaitu sekitar 231,3

mg/m2/jam pada permukaan air 0-5 cm di atas

permukaan tanah menjadi 453,7 mg/m2/jam pada

permukaan air tanah 1-5 cm dibawah permukaan

tanah.

Menurut Hooijer et al. (2006), kedalaman

saluran drainase sangat mempengaruhi tingkat

emisi CO2 pada lahan gambut. Pada kedalaman

drainase 30-120 cm, emisi CO2 meningkat 9,10

t/ha/tahun setiap penambahan kedalaman

drainase 10 cm. Agus et al., (2007) mengoreksi

nilai tersebut dengan faktor 0,70 karena

diperkirakan 30% dari emisi CO2 berasal dari

respirasi akar yang dikompensasi oleh

penyerapan CO2 dari atmosfer melalui

fotosintesis. Dengan demikian, emisi dari

respirsasi akar tersebut tidak berpengaruh

terhadap pemanasan global. Jauhiainen et al.

(2010) menemukan bahwa emisi tertinggi terjadi

bila kedalaman muka air tanah sekitar 60 cm.

Pada kedalaman muka air tanah lebih dangkal

tanahnya terlalu jenuh dan pada kedalaman air

tanah lebih dalam, tanahnya terlalu kering

sehingga tidak ideal untuk aktivitas mikroba,

artinya pada kondisi ini proses dekomposisi

terhambat, hal ini berdampak pada penurunan

emisi.

Potensi Lahan Gambut Untuk Perkebunan

Kelapa Sawit dan Kendala Pengembangannya

Areal berpotensi untuk perluasan

perkebunan kelapa sawit tidak saja lahan

mineral, tetapi juga lahan gambut. Namun

pemanfaatan hutan rawa gambut akan

menyebabkan tingginya emisi gas rumah kaca

(GRK) terutama CO2 (Ambak and Melling, 2000;

Andriese, 1994 and Agus et al., 2010b). Emisi GRK

dapat dikurangi dengan cara konservasi hutan.

Page 6: Kelapa Sawit 3

16 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22

Tidak seluruh lahan rawa gambut di

Indonesia sesuai dan layak dimanfaatkan untuk

pertanian dan perkebunan karena adanya

berbagai kendala seperti ketebalan gambut,

kesuburan rendah, kemasaman tinggi, adanya

lapisan pirit, tanah di bawah gambut (sub-

stratum) berupa pasir kwarsa. Diperkirakan

hanya 9 juta ha yang dapat dimanfaatkan untuk

pertanian, dan sampai tahun 2002 diperkirakan

baru 5,39 juta ha yang telah dibuka untuk

pertanian (Agus et al., 2010a). Dengan demikian

bila dilihat dari segi kuantitas, pertanian di lahan

gambut masih memiliki prospek untuk dikem-

bangkan (Norr M, 2010). Namun pengembangan-

nya harus dilakukan secara sangat hati-hati dan

sesuai dengan peruntukannya mengingat

kendalanya cukup banyak.

Kesesuaian lahan gambut untuk perkebunan

tergantung pada tanaman yang akan

dibudidayakan. Pengaturan kedalaman drainase

(kedalaman muka air tanah) sesuai dengan

kebutuhan tanaman untuk mencapai

pertumbuhan yang optimal, sangat penting bagi

keberhasilan pemanfaatan lahan gambut. Ada

tiga tingkat kesesuaian lahan yang dapat

digunakan untuk pertanian, yaitu: Sesuai, sesuai

bersyarat, dan tidak sesuai (Djaenuddin et al.,

2007). Lahan gambut dangkal umumnya

tergolong sesuai bersyarat untuk perkebunan

kelapa sawit, dan memerlukan pengelolaan tata

air yang khusus agar tanaman dapat tumbuh dan

berproduksi secara optimal.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres)

No.32 Tahun 1990, tidak semua lahan gambut

dapat diarahkan untuk lahan pertanian dan

perkebunan. Lahan gambut dengan ketebalan

lebih dari 3 meter diarahkan untuk dikonservasi/

dilindungi demi menjaga kelestarian lingkungan

(Pasal 10 Keppres No.10/1990). Artinya, dengan

Keppres No. 32/1990 tersebut, lahan gambut yang

dapat digunakan untuk perkebunan kelapa sawit

hanya gambut dengan ketebalan kurang dari 3 m.

Kementerian Pertanian kemudian mengem-

bangkan kriteria, lahan gambut dengan ketebalan

gambut 0,5 - 1 m diprioritaskan untuk tanaman

pangan/semusim, sedangkan lahan gambut

dengan ketebalan 1,0 - 3 m diarahkan untuk

tanaman tahunan (perkebunan dan hortikultura).

Namun demikian, kriteria tersebut perlu

dipertimbangkan kembali karena tidak hanya

ketebalan gambut yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan tanaman, tetapi juga faktor lain

seperti: (i) tingkat kematangan gambut, (ii) bahan

mineral di bawah lapisan gambut/ substratum,

dan (iii) status kesuburan lahan gambut.

Berdasarkan peraturan Menteri Pertanian

(Permentan) No.14/2009, lahan gambut yang

termasuk dalam kawasan hutan lindung, taman

nasional, cagar alam dan hutan konservasi tidak

direkomendasikan untuk pengembangan

pertanian termasuk perkebunan. Demikian juga,

lahan gambut fibrik (masih mentah/belum

terdekomposisi), dan atau lahan gambut yang

bahan mineral di bawah gambut berupa pasir

kuarsa harus dilestarikan sebagai hutan rawa

gambut.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa

gambut saprik memiliki potensi pertanian yang

relatif lebih baik bila dibanding dengan gambut

yang terdiri dari bahan hemik dan fibrik.

Keberadaan bahan mineral di antara lapisan

gambut membantu meningkatkan kesuburan

tanah gambut. Bagian pinggiran kubah sebagian

besar merupakan gambut mesotropik, dan

eutrofik dapat dijumpai pada lahan gambut

dengan ketebalan <3 m, memiliki kesuburan lebih

baik daripada gambut dalam (>3 m) atau

merupakan bagian tengah kubah gambut.

Yang perlu diperhatikan dalam mengelola

lahan gambut. Jika di bawah gambut terdapat

lapisan pasir apalagi pasir kwarsa, sebaiknya

tidak usah digunakan untuk pertanian/

perkebunan, karena disamping tidak subur,

kalau gambutnya habis akan menjadi padang

pasir. Apabila di bawah gambut terdapat lapisan

pirit, pengelolaan harus hati-hati dan tanahnya

harus dijaga agar selalu dalam keadaan berair

(agar piritnya tidak teroksidasi) atau dibuat

sistem drainase yang memungkinkan tercucinya

bahan berpirit.

Dari sifat fisik tanah, kendala tanah gambut

untuk budidaya tanaman, antara lain: (i) tanah

tidak cukup kuat untuk mendukung tegak dan

tumbuhnya tanaman, sehingga tanaman tidak

Page 7: Kelapa Sawit 3

Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 17

dapat berdiri tegak menjadi condong, (ii) daya

dukung yang rendah, menciptakan kesulitan

dalam pengolahan tanah bila menggunakan

mesin/alat mekanisasi pertanian seperti traktor

atau hewan kerja.

PENGALAMAN DAN KEBERHASILAN

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT

Indonesia sebagai negara agraris harus

mengedepankan kelestarian lingkungan dalam

mengeskploitasi sumberdaya alam. Eksploitasi

yang berlebihan pasti mengganggu kelestarian

lingkungan. Pengalaman menunjukkan bahwa

tidak semua pengembangan pertanian di lahan

gambut bisa sukses, namun tidak semuanya juga

mengalami kegagalan. Sebetulnya, sudah sejak

lama lahan gambut digunakan untuk budidaya

pertanian. Di Indonesia budidaya pertanian di

lahan gambut secara tradisional sudah dimulai

sejak ratusan tahun lalu oleh suku Dayak, Bugis,

Banjar dan Melayu dalam skala kecil. Mereka

memilih lokasi dengan cara cermat, memilih

komoditas yang teruji, dan dalam skala yang

masih dapat terjangkau oleh daya dukung/

layanan alam.

Indonesia telah mempunyai pengalaman

membuka dan mengelola lahan rawa pasang

surut termasuk lahan gambut sejak puluhan

tahun lalu, yaitu untuk perluasan lahan pertanian

berupa lahan sawah pasang Surut (di Sumatera

Selatan, Jambi, dan Kalimantan Selatan,

Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah)

dengan luas persawahan pasang surut sekitar

954.000 ha (Driessen and Suhardjo, 1975) terdiri

lahan gambut sekitar 20-40%, dan diperkirakan

lebih dari 1 juta ha lahan gambut telah

dimanfaatkan untuk areal perkebunan, terutama

kelapa sawit yang sangat produktif. Pertanaman

kelapa sawit pada lahan gambut mampu

menghasilkan tandan buah segar (TBS) 20,25 -

23,74 t/ha/tahun (Barchia, 2006). Lebih spesifik

lagi, menurut Wiratmoko et al. (2008), kelapa

sawit yang ditanam di lahan gambut topogen

dapat menghasilkan Tandan buah segar (TBS)

19,64-25,53 t/ha/tahun. Sebagai pembanding,

menurut Lubis dan Wahyono (2008), pengusaha-

an kelapa sawit pada lahan mineral dapat

menghasilkan TBS rata-rata 22,26 t/ha/tahun

dengan puncak produksi sekitar 27,32 t/ha/tahun.

Keberhasilan usaha pertanian di lahan gambut

dapat dilihat di beberapa daerah terutama di

kawasan permukiman transmigrasi di

Kalimantan Barat (Rasau Jaya, Pinang luar,

Jangkang) Kalimantan Tengah (Kalampangan,

Berengbengkel), Riau, Sumatera Selatan, Jambi

untuk pengembangan sayuran, tanaman buah-

buahan hortikultura dan tanaman perkebunan

(kopi, coklat, kelapa, dan kelapa sawit). Saat ini

budidaya keberhasilan tanaman di tanah gambut

dapat ditemukan dalam situs lokal dan

transmigrasi di Kalimantan.

Akhir-akhir ini pemanfaatan lahan gambut

telah menimbulkan perdebatan hangat, karena di

satu sisi merupakan suatu kebutuhan dan

mampu memberikan keuntungan ekonomi, tetapi

di sisi lain telah menimbulkan kerusakan

lingkungan berupa penyusutan keaneka ragaman

hayati, kerusakan tata air, dan peningkatan emisi

CO2 yang ikut berperan menimbulkan

pemanasan global. Agar tidak mengulang

kegagalan yang sama dan meminimalkan

dampak negatif, maka dalam upaya pemanfaatan

lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan,

selain mempertimbangkan aspek teknis, aspek

sosial, ekonomi, dan lingkungan juga perlu perlu

mendapat perhatian, agar usaha tani yang

dikembangkan dapat berkelanjutan dan ramah

lingkungan. Keberhasilan dan keberlanjutan

pemanfaatan lahan gambut sangat dipengaruhi

oleh banyak aspek terutama aspek teknis

kesesuaian lahan, ketersediaan pasar, dukungan

infrastruktur yang memadai terutama jalan dan

saluran air di lokasi pertanian, teknologi dan

kearifan lokal, kelembagaan tani, dan

ketersediaan dana kredit untuk modal usaha tani.

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

BERKELANJUTAN UNTUK PERKEBUNAN

KELAPA SAWIT

Gambut merupakan ekosistem yang

marginal dan rapuh sehingga mudah rusak.

Kondisi semacam ini menuntut kesadaran semua

pihak untuk bersikap bijak dan harus melihat

Page 8: Kelapa Sawit 3

18 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22

gambut dari berbagai sudut pandang. Kesadaran

terhadap pentingnya keseimbangan antar

berbagai fungsi gambut, akan lebih menjamin

keberlanjutan pemenuhan fungsi sosial, ekonomi

dan kelestarian lingkungan.

Konsep pertanian berkelanjutan pada lahan

gambut sebenarnya bukan merupakan istilah

tepat, karena lahan gambut bersifat labil

terutama karena adanya penurunan permukaan

tanah (subsident) yang disebabkan oleh

pemadatan (consolidation) dan emisi CO2 selama

digunakan untuk usaha pertanian dan

perkebunan. Subsiden tersebut bisa dikurangi

dengan cara mengadopsi beberapa strategi

pengelolaan lahan yang benar mengenai air,

tanah, dan tanaman. Namun pada akhirnya lahan

gambut terutama lahan gambut tipis akan

berubah menjadi lahan mineral setelah

gambutnya habis terdekomposisi, dan pertanian

di atas lahan tersebut menjadi terbengkalai.

Menurut Munasinghe (1993), dalam Herman

et al. (2009), pembangunan pertanian akan

berkelanjutan apabila layak secara ekonomi,

tidak menimbulkan kesenjangan sosial budaya

(layak secara sosial budaya), dan tidak

menyebabkan penurunan kualitas lingkungan

(layak secara ekologi). Berkaitan dengan

pertanian di lahan gambut (Maas, 2002)

menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan

diartikan sebagai suatu pertanian yang produktif

dan menguntungkan, tetap melaksanakan

konservasi terhadap sumber daya alam,

mengupayakan seminimal mungkin dampak

negatifnya terhadap lingkungan hidup.

Pengembangan lahan rawa (gambut) secara

lestari dan berwawasan lingkungan dapat

terwujud apabila pemanfaatannya dilakukan

secara bijaksana dan dikelola serasi dengan

karakteristik, dan sifat lahan rawa (gambut)

didukung oleh pembangunan prasarana fisik

(terutama tata air), sarana, pembinaan

sumberdaya manusia dan penerapan teknologi

spesifik lokasi (Mario, 2002). Gambut tipis <1m

diarahkan untuk tanaman pangan/semusim,

gambut sedang (1-3 m) untuk tanaman tahunan

(hortikultura dan perkebunan) dan gambut tebal

(>3 meter) harus dijadikan kawasan konservasi

untuk menjaga kestabilan ekosistem Daerah

Aliran Sungai. Selain dari pertimbangan teknis,

pertimbangan dalam pemanfaatan lahan gambut

sebagai lahan sub-optimal, terutama untuk

perkebunan besar, adalah: lahan gambut tersedia

dalam hamparan yang luas dan relatif jarang

penduduknya, sehingga secara ekonomi sangat

layak dan konflik tata guna lahan relatif kecil.

Dalam kondisi alami, lahan gambut selalu

dalam keadaan jenuh air (anaerob), sementara itu

sebagian besar tanaman memerlukan kondisi

yang aerob. Oleh karenanya, langkah pertama

dalam reklamasi lahan gambut untuk pertanian/

perkebunan adalah pembuatan saluran drainase

untuk menurunkan permukaan air tanah,

menciptakan kondisi aerob di zona perakaran

tanaman, dan mengurangi konsentrasi asam-

asam organik. Namun demikian, gambut tidak

boleh terlalu kering, karena gambut akan

mengalami kerusakan dan menimbulkan emisi

GRK yang tinggi. Berbeda dengan tanah mineral,

bagian aktif gambut adalah fase cairnya,

sehingga apabila gambut kering akan kehilangan

fungsinya sebagai tanah dan menjadi bersifat

hidrofobik.

Pengembangan kawasan lahan gambut

dalam skala luas memerlukan jaringan saluran

drainase yang dilengkapi dengan pintu air untuk

mengendalikan muka air tanah di seluruh

kawasan. Dimensi saluran primer, sekunder, dan

tersier disesuaikan dengan luas kawasan dan

jenis komoditas yang dikembangkan. Tanaman

kelapa sawit dan kelapa memerlukan saluran

drainase sehingga kedalaman air tanah menjadi

sekitar 50-70 cm dan tanaman karet sedalam 20-

40 cm. (Agus et al., 2010a).

Pembuatan saluran drainase di lahan

gambut akan diikuti oleh peristiwa penurunan

permukaan lahan (subsiden). Proses ini terjadi

karena pemadatan, dekomposisi, dan erosi

gambut di permukaan yang kering. Semakin

dalam saluran drainase, maka penurunan

permukaan lahan semakin besar dan semakin

cepat. Penurunan permukaan gambut dengan

mudah dapat diamati dengan munculnya akar

tanaman tahunan di permukaan tanah. Untuk

mengurangi dampak penurunan tanah terhadap

Page 9: Kelapa Sawit 3

Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 19

perkembangan tanaman, sebaiknya penanaman

tanaman tahunan ditunda sampai satu tahun

setelah pembukaan saluran. Hal ini dilakukan

untuk menghindari tanaman roboh karena daya

sangga gambut yang rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengelolaan perkebunan di lahan gambut

harus dilakukan secara lebih bijaksana (wise used)

dan direncanakan secara matang, baik dari aspek

teknis maupun aspek sosial ekonomi dan

lingkungan. Pengaturan tata air, pemberian

bahan amelioran dan pemupukan yang

berimbang merupakan kunci utama dalam

pengelolaan lahan berkelanjutan untuk mencapai

produksi yang optimal dan kontinyu.

Pengaturan tinggi muka air tanah

diusahakan supaya tidak terlalu dangkal dan

tidak terlalu dalam, sehingga kelestarian gambut

dapat terjaga. Pengaturan tinggi muka air tanah

berkisar 60-70 cm diperlukan untuk mendukung

pertumbuhan optimal tanaman kelapa sawit,

dalam kondisi demikian permukaan tanah tetap

lembab, sehingga tidak mudah terjadi kebakaran

dan penurunan tanah gambut secara cepat

sehingga emisi Gas Rumah Kaca terutama emisi

Karbon dapat dikurangi.

Perencanaan dan pelaksanaan pemanfaatan

lahan gambut seyogianya dilakukan melalui

pendekatan partisipatif dengan melibatkan

semua pihak terkait, sehingga dapat terjalin

kerjasama dan rasa kebersamaan untuk mencapai

tujuan yang sama. Sehingga dalam suatu area

pengembangan perkebunan diharapkan upaya

pembinaan, pengawasan kegiatan dan

pengendalian dampak negatif relatif lebih mudah

ditangani, sehingga pengembangan usaha tani

lahan gambut secara berkelanjutan dan ramah

lingkungan dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Agus. F., Suyanto, Wahyunto, and M.van

Noordwijk. 2007. Reducing Emission

from Peatland Deforestration and

Degradation: carbon emission and

opportunity coast. Paper presented in

International Sysmposium and Work-

shop on tropical peatland: Carbon

Climate-Human Interaction-Carbon Polls,

Fire, Mitigation, restoration, and Wise

use. Yogyakarta, Indonesia, 27-29 August

2007.

Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan gambut:

Potensi untuk Pertanian dan Aspek

Lingkungan. Balai Penelitian Tanah.

Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Agus, F. 2009a. Cadangan karbon, emisi gas

rumah kaca dan konservasi lahan

gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis

Universitas Brawidjaya ke 46, 31 Januari

2009. Malang.

Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H.

Komara. H. Syahbudin, I. Las, and M.

Van Noordwijk. 2009b. Carbon budget in

land use transitions to plantation. J.

Penel. Pengemb. Pert. 29(4):119-126.

Agus, F. Wahyunto, E. Runtunuwu, A. Dariah, E.

Susanti, dan E. Surmaini. 2009c.

Identifikasi iptek terhadap dampak

perubahan iklim di sektor pertanian

(mitigasi perubahan iklim pada berbagai

sistem pertanian di lahan gambut

Kabupaten Kubu Raya dan Pontianak,

Kalimantan Barat). 2009. Laporan

Kerjasama BBSDLP dengan Kementerian

Riset dan Teknologi.

Agus, F., A. Dariah, E. Susanti, dan Jubaedah.

2010a. Penggunaan lahan gambut: Trade

offs antara emisi CO2 dan keuntungan

ekonomi. Kerjasama antara Asisten

Deputy Iptek Pemerintahan dengan Balai

Besar Litbang Sumberdaya Lahan

Pertanian, Badan Litbang Pertanian.

Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, P. Setyanto,

I.G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, E. Susanti,

and W. Supriatna. 2010b. Carbon budget

and management strategies for conserving

carbon in peat land: Case study in Kubu

Raya and Pontianak Districts, West

Kalimantan, Indonesia. pp. 217-233. In,

Chen, Z.S. and F. Agus (eds.), Proceedings

Page 10: Kelapa Sawit 3

20 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22

of Int’l Workshop on Evaluation and

Sustainable Management of Soil Carbon

Sequestration on Asian Countries.

Agus, F., Gunarso, P., Sahardjo, B.H., Joseph,

K.T., Rashid, A., Hamzah, K., Harris, N.,

and van Noordwijk, M. 2011. Strategies

for CO2 emission reduction from land use

changes to oil palm plantations in

Indonesia, Malaysia and Papua New

Guinea. RSPO, Kuala Lumpur. Presented

at the Rountable 9 of the Roundtable on

Sustainabe Palm Oil, Kota Kinabalu,

Malaysia.

Ambak, K. and Melling, L. 2000. Management

practices for sustainable cultivation of

crop plantation on tropical peatlands.

Proc. of The Internatonal Symposium on

Tropical Peatlands, 22-23 Nopember

1999. Bogor, Indonesia, p. 119.

Andriesse, J.P. 1974. Tropical Lowland peats in

South East Asia. Comm. No. 63. Royal

Tropical Istitute. Amsterdam.

Andriesse, J.P. 1994. Constraints and oppor-

tunities for alternatives uses options of

tropical peatland. In B.Y Aminiddin (Ed.).

Tropical Peat: Proceedings of Intern

Symp. On Trop. Peatland, 6-10 may 1991,

Kucing Sarawak, Malaysia.

Badrun, M. 2010. Lintasan 30 tahun pengem-

bangan kelapa sawit. Direktorat Jenderal

Perkebunan, Kementerian Pertanian dan

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit

Indonesia (The 30 year oil palm

development. Directorate General of

Plantations, Ministry of Agriculture,

Indonesia and the Indonesian Company

Society for Oil Palm Plantation).

BBSDLP (Balai Besar Litbang Sumber Daya

Lahan Pertanian). 2011. Peta Lahan

Gambut Indonesia. Bogor.

BAPPENAS, Indonesian National Development

Planning Agency. 2009. Reducing carbon

emissions from Indonesia’s peatlands.

Interim report of multi-disciplinary

study. BAPPENAS, the Republic

Indonesia.

Barchia. M.F. 2006. Gambut. Agroekosistem dan

Transformasi Karbon. Gadjahmada

University Press. Yogyakarta.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2010. Statistik

Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagjo, dan A.

Hidayat. 2000. Petunjuk Teknis Evaluasi

Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai

Penelitian Tanah. Bogor.

Ditjen Perkebunan. 2011. Kebijakan Pengem-

bangan Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Makalah disampaikan pada Seminar

Implementasi RSPO di Indonesia. Jakarta,

10 Februari 2011

Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan).

2007. Road Map Kelapa sawit. Ditjenbun.

Jakarta.

Dohong S. 1999. Peningkatan Produktivitas

Tanah gambut yang disawahkan dengan

pemberian bahan Alemlioran Tanah

Mineral berkadar Besi Tinggi. Disertasi

Program Pasca Sarjana. Institute

Pertanian Bogor.

Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1975.

Reclamation and Use of Indonesian

Lowland peats and Their effects on soil

conditions. 3rd Asean Soil Conference,

Kuala Lumpur.

Hardjowigeno, S. 1987. Suitability of Peat Soil of

Sumatra for Agricuture Development.

International Peat Society Sysposium on

Tropical Peat and Peatland for Develop-

ment. Yogyakarta 9-14 Febreuari 1987.

Hardjowigeno S. 1989. Sifat-sifat dan Potensi

Tanah Gambut Sumatra untuk Pengem-

bangan Pertanian. Prosiding Seminar

Tanah Gambut untuk perluasan Pertani-

an. Medan 27 Nopember 1989, halaman

43-79. Fakultas pertanian Universitas

Islam Sumatera Utara, Medan

Herman, Fahmuddin Agus dan Irsal las. 2009.

Analisis finansial dan keuntungan yang

hilang dari pengurangan Emisi Karbon

Dioksida pada Perkebunan Kelapa Sawit.

Jurnal Litbang Pertanian, Volume 28 No.4

tahun 2009 halaman: 127-133. Badan

Page 11: Kelapa Sawit 3

Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.) 21

Litbang Pertanian. Departemen Pertani-

an. Jakarta.

Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S.

2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2

emissions from drained peatlands in SE

Asia. Delft Hydraulics report Q3943

(2006).

Hooijer, A., S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J.

Kwadijk, H. Wösten, and J. Jauhiainen.

2010. Current and future CO2 emission

from drained peat lands in Southest Asia.

Biogeosci. 7:1505-1514.

ICALRD Team. 2010. Policy brief: Kajian

pemanfaatan lahan gambut untuk

pengembangan perkebunan ICALRD,

Ministry of Agriculture, Indonesia.

Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF).

2012. Sustainable Management of

Degraded Peatland to mitigate GHG

Emissionand Optimzed Crop production.

Laporan kerjasama Penelitian ICCTF

Bapennas – BBSDLP. Bogor.

Istomo.2005. Keseimbangan Hara dan Karbon

dalam Pemanfaatan Lahan Gambut

Berkelanjutan.halaman: 133-147. Prosi-

ding lokaraya Pemanfaatan Lahan

gambut secara Bijaksana untuk manfaat

Berkelanjutan. Pekanbarau, 31 Mei – 1

Juni 2005. Wetland International

Indonesia Program. Bogor

Jauhiainen, J, J. Heikkinen, P.J. Martikainen, and

H. Vasander. 2010. CO2 fluxes in

pristine peat swamp forest and peat land

converted to agriculture in Central

Kalimantan, Indonesia. Int. Peat J. 11:

43-49.

Joosten, H.2007. Peatland and carbon. Pp99-117 in

Parish, F. Siri, A., Chapman, Joosten and

Silvius M. (Eds.) Assessment on Peatland,

Biodiversity and Climate Change. Global

environmental Centre, Kuala Lumpur

and Wetland International, Wageningen.

Maas, A. 2002. Lahan rawa sebagai lahan

pertanian masa kini dan masa depan.

Prosiding Seminar Nasional Pertanian

Lahan kering dan Lahan rawa. Balai

Pertanian Lahan rawa Banjar baru, 18-19

Desember 2002.

Mario, M.D. 2002. Peningkatan Produktivitas

dan Stabilitas Tanah Gambut dengan

Pemberian Tanah Mineral yang

diperkaya bahan berkadar besi tinggi .

Disertasi Program Pasca Sarjana. Institut

Pertanian Bogor.

Noor M. 2010. Lahan Gambut: Pengembangan,

konservasi dan perubahan iklim. Gadjah-

mada University Press. Yogyakarta.

Page, S., Morrison, E., R., Malins, C., Hooijer, A.,

Rieley, J.O. and Jauhiainen, J. 2011.

Review of peat surface greenhouse gas

emissions from oil palm plantations in

Southeast Asia. International Council on

Clean Transportation, Washington, DC.

Polak, B. 1950. Occurance and Fertility of Tropical

peatsoils in Indonesia. 4th Int. Conggres

of Soil Science, Vol2, 183-185,

Amsterdam. The Netherlands.

Sabiham, S. 1988. Studies on peat in the coastal

plains of Sumatra and Borneo. PhD

Dissertation. Kyoto University, Kyoto,

Japan.

Sabiham S., T.B. Prasetyo and S. Dohong.1997.

Phenolic acid in Indonesian Peat. In

Reiley and page (Eds). Pp.289-292.

Biodeversity and Sustainability of

Tropical Peat and Peatland. Samara

Publishing Ltd. Cardigan, U.K.

Sabiham, S. 2000. Kadar air kritis gambut

Kalimnantan Tengah dalam kaitannya

dengan kejadian kering tidak balik

(Critical water content of the Central

Kalimantan peats in relation to the

process of irreversible drying). J. Tanah

Trop. 11:21-30

Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-asam

Organik meracun dengan Penambatan Fe

(III) pada Tanah gambut Jambi, Sumatra.

Tesis S2. Program pasca sarjana, Institute

Pertanian. Bogor.

Silvola, J., Valijoki, J. And Aaltonen, H. 1985.

Effect of draining and fertilization on soil

respiration at three ameliorated peatland

site. Acta For. Fem. 191:1-32.

Page 12: Kelapa Sawit 3

22 Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22

Lubis dan Wahyono, T. 2008. Keragaan Konflik

pengusahaan lahan pada perkebunan

kelapa sawit di Sumatra. Jurnal

Penelitian Kelapa sawit 16(1): 47-59

Wahyono, T., L. Buana, Dja’far dan D. Siahaan.

2004. Ekonomi investasi pabrik kelapa

sawit. Dalam Tinjauan Ekonomi Industri

Kelapa sawit. Pusat Penelitian Kelapa

sawit. Medan.

Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo.

2005. Peatland distribution and its C

content in Sumatra and Kalimantan.

Wetland Int’l – Indonesia Programme

and Wildlife Habitat Canada. Bogor,

Indonesia.

Wahyunto, Wahyu Supriatna, and Fahmuddin

Agus. 2010. Landuse change and

Recommendation for Sustainable

development of Peat for agriculture: Case

study at Kubu raya and pontianak

Districts, West Kalimantan. Indonesian

Journal of Agricultiural Science. Vol.11,

No.1, April 2010. Page. 32-40.

Wiratmoko, D., Winarno, S., Rahutomo, dan

H.Santoso. 2008. Karakteristik gambut

topogen dan ombrogen di Kabupaten

Labuhan batu Sumatera Utara untuk

Budidaya tanaman kelapa sawit. Jurnal

Penelitian Kelapa sawit 16 (3):119-126.