30
ASPEK-ASPEK PERPAJAKAN DALAM PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Oleh Ignatius Adisurya Kantus (120620120001) Carry Viayunya (120620120010) Asep Nurdin (120620120007) Abstrak CPO merupakan komoditas unggulan ekspor nasional dan penghasil devisa terbesar di luar migas. Sebagai gambaran, ekspor CPO (crude palm oil) dari Indonesia untuk tahun 2011 sekitar 180 trilyun rupiah. Menurut Kementrian Pertanian, pertumbuhan permintaan CPO dunia selama lima tahun sekitar 9,92%. Artinya, ditahun-tahun mendatang bisa jadi ekspor CPO dari Indonesia mencapai 200 trilyun rupiah. Dan akan terus tumbuh sebagai komoditas unggulan nasional. Tidak heran jika ada perhatian lebih besar pemerintah, termasuk dari DJP sebagai regulator dan administrator perpajakan terhadap fenomena ini. Oleh karena itu, dalam bahasan ini kami mencoba meninjau aspek-aspek perpajakan mana saja yang dapat meningkatkan potensi penerimaan Negara. Kata kunci: Pajak, Kelapa Sawit 1. Pendahuluan Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO - crude palm oil ) dan inti kelapa sawit (CPK - crude palm kernel ) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi salah satu komoditi penting dalam mendorong peningkatan pertumbuhan perekonomian dan sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. MAKSI Unpad XXIV © 2012 1

Kelapa Sawit

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kelapa Sawit

Citation preview

Page 1: Kelapa Sawit

ASPEK-ASPEK PERPAJAKAN

DALAM PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Oleh

Ignatius Adisurya Kantus (120620120001)

Carry Viayunya (120620120010)

Asep Nurdin (120620120007)

Abstrak

CPO merupakan komoditas unggulan ekspor nasional dan penghasil devisa terbesar di luar migas. Sebagai gambaran, ekspor CPO (crude palm oil) dari Indonesia untuk tahun 2011 sekitar 180 trilyun rupiah. Menurut Kementrian Pertanian, pertumbuhan permintaan CPO dunia selama lima tahun sekitar 9,92%. Artinya, ditahun-tahun mendatang bisa jadi ekspor CPO dari Indonesia mencapai 200 trilyun rupiah. Dan akan terus tumbuh sebagai komoditas unggulan nasional. Tidak heran jika ada perhatian lebih besar pemerintah, termasuk dari DJP sebagai regulator dan administrator perpajakan terhadap fenomena ini. Oleh karena itu, dalam bahasan ini kami mencoba meninjau aspek-aspek perpajakan mana saja yang dapat meningkatkan potensi penerimaan Negara.

Kata kunci: Pajak, Kelapa Sawit

1. Pendahuluan

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO - crude palm oil) dan

inti kelapa sawit (CPK - crude palm kernel) merupakan salah satu primadona tanaman

perkebunan yang menjadi salah satu komoditi penting dalam mendorong peningkatan

pertumbuhan perekonomian dan sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia.

Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati

dunia maka sejak tahun 1970 telah mendorong pemerintah untuk memacu pengembangan areal

perkebunan kelapa sawit. Pertumbuhan areal kelapa sawit pun terus mengalami peningkatan

dimana pada periode 1980-an luas areal kelapa sawit sebesar 294.000 ha dan pada tahun 2009

mencapai 7,32 juta ha. Di Indonesia, produsen CPO dapat dibedakan atas 3 kelompok yaitu:

perkebunan besar negara (PBN) dengan luas lahan 8,43%, perkebunan besar swasta (PBS)

dengan luas lahan 47,81% dan perkebunan rakyat (PR) dengan luas lahan 43,76%. Dengan luas

areal tersebut Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 1

Page 2: Kelapa Sawit

Perkebunan negara terdiri dari 10 unit perkebunan dengan satu Kantor Pemasaran

Bersama. Perkebunan swasta didominasi oleh 10 konglomerat dan tidak mempunyai satu Kantor

Pemasaran Bersama. Namun demikian, mereka semua terdaftar sebagai anggota Gabungan

Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Secara umum, luas satu perkebunan negara atau swasta

berkisar antara 10.000–25.000 ha dan kebanyakan merupakan bagian dari kelompok perkebunan

dengan luas berkisar antara 100.000–600.000 ha (Casson 2000). Umumnya, baik perkebunan

negara maupun swasta mempunyai integrasi vertikal, dengan industri hulu dan hilir, mulai dari

pembibitan sampai pengolahan minyak goreng. Berbeda dengan perkebunan rakyat, yang

umumnya hanya mempunyai luas lahan kurang dari 20 ha dan tidak memiliki fasilitas

pembibitan atau pengolahan. Sehingga kelompok petani perkebunan rakyat belum dapat

dikategorikan sebagai salah satu kelompok strategis dalam industri kelapa sawit Indonesia.

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera dan

Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di

Indonesia dengan produksi mencapai 24% dari produksi nasional pada tahun 2009, sementara

Jambi menyumbang minyak sawit sebesar 7,70% dari produksi nasional dengan luas lahan

mencapai 8,82% dari luas lahan nasional (Efendi, 2009).

Sama halnya dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam sektor apapun di

Indonesia, perusahaan perkebunan kelapa sawit tentunya memiliki kewajiban perpajakan yang

harus ditanggung dan dilunasi, baik pajak itu yang berkaitan dengan penghasilan yang diperoleh

perusahaan (PPh), terhadap proses produksi atau produk yang dihasilkan perusahaan yang

dibebani pajak (PPN) oleh negara, ataupun aspek-aspek pajak lainnya. Oleh karena itu makalah

ini akan mencoba mengidentifikasi aspek-aspek perpajakan yang melekat dalam perusahaan

kelapa sawit.

Adapun rumusan masalah yang diajukan: (1) Apa saja standar akuntansi keuangan yang

digunakan oleh PT. SMART Tbk. ? dan (2) Apa saja beban pajak yang ditanggung oleh PT.

SMART Tbk. ?

2. Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak

industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar

sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Di Indonesia penyebarannya

di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa dan Sulawesi.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 2

Page 3: Kelapa Sawit

Kelapa sawit berbentuk pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut

tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar

napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi.

Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau

tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak,

hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas

pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas

sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa.

Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan

memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga

jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan

mekar.

Tanaman sawit dengan tipe cangkang pisifera bersifat female steril sehingga sangat

jarang menghasilkan tandan buah dan dalam produksi benih unggul digunakan sebagai tetua

jantan.

Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit

yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak

dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati

fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA - free fatty acid) akan meningkat dan buah akan

rontok dengan sendirinya. Buah terdiri dari tiga lapisan, yaitu:

Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin

Mesoskarp, serabut buah

Endoskarp, cangkang pelindung inti

Inti sawit (kernel, yang sebetulnya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan

kandungan minyak inti berkualitas tinggi.

Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi

tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula).

Hasil tanaman

Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetika,

industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk

begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi

dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut

MAKSI Unpad XXIV © 2012 3

Page 4: Kelapa Sawit

lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam

bidang kosmetik.

Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging

buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng

dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah,

rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi

bahan baku margarin.

Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Bunga dan

buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah

kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya

itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk

makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil inti sawit itu digunakan sebagai salah satu bahan

pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.

Buah diproses dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90 °C.

Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan

pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan

dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke

bagian bawah lumpur.

Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak

dan difermentasikan menjadi kompos.

3. Kajian Perusahaan PT. Smart Tbk

3.1. Profil Perusahaan

Didirikan tahun 1962 dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia sejak tahun 1992, PT Sinar

Mas Agro Resources and Technology Tbk (“SMART” atau “Perseroan”) adalah salah satu

perusahaan publik produk konsumen berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dan terbesar di

Indonesia, dengan nilai penjualan bersih sebesar Rp 31,7 triliun dan laba yang dapat

diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 1,8 triliun pada tahun 2011. Aktivitas

utama Perseroan dimulai dari penanaman dan pemanenan pohon kelapa sawit, pengolahan

tandan buah segar (“TBS”) menjadi minyak sawit (“CPO”) dan inti minyak sawit (“CPK”), serta

pemrosesan CPO menjadi produk industri dan konsumen seperti minyak goreng, margarin dan

shortening.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 4

Page 5: Kelapa Sawit

Perseroan menanam kebun kelapa sawit di Indonesia seluas sekitar 139.000 hektar,

termasuk plasma. Lima belas pabrik pengolahan kami memproses TBS menjadi CPO dan CPK,

dengan total kapasitas sebesar 3,9 juta ton per tahun.

CPO diproses lebih lanjut menjadi produk bernilai tambah, baik curah, industri maupun

bermerek, melalui pabrik hilir kami dengan kapasitas 1,4 juta ton per tahun. PK juga diproses

lebih lanjut di pabrik pengolahan inti sawit dengan kapasitas 444 ribu ton per tahun,

menghasilkan minyak inti sawit dan palm kernel meal yang memiliki nilai lebih tinggi.

SMART juga mendistribusikan, memasarkan dan mengekspor produk konsumen berbasis

kelapa sawit. Selain minyak curah dan minyak industri, produk turunan SMART juga dipasarkan

dengan berbagai merek, seperti Filma dan Kunci Mas. Saat ini, merek-merek tersebut diakui

kualitasnya dan memiliki pangsa pasar yang signifikan di segmennya masing-masing di

Indonesia.

3.2. Visi dan Misi Perusahaan

Visi / Vision“We aim to be the best To become the largest integrated and most profitable

palm-based consumer company”

Misi / Mission Surpassing the highest standard of quality

Maintaining the highest level of sustainability and integrity

Empowering society and community

Trend setting innovation and technology

Achieving maximum value for shareholders

MAKSI Unpad XXIV © 2012 5

Page 6: Kelapa Sawit

3.3. Laporan Keuangan

MAKSI Unpad XXIV © 2012 6

Page 7: Kelapa Sawit

MAKSI Unpad XXIV © 2012 7

Page 8: Kelapa Sawit

MAKSI Unpad XXIV © 2012 8

Page 9: Kelapa Sawit

4. Tinjauan Perlakuan Standar Akuntansi Keuangan

Ikatan Akuntan Indonesia telah menerbitkan revisi Pernyataan Standar Akuntansi

Keuangan (PSAK) dan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK). Standar-standar

akuntansi keuangan tersebut akan berlaku efektif untuk laporan keuangan pada periode yang

dimulai pada atau setelah 1 Januari 2012.

Adapun PSAK dan ISAK yang dipakai oleh group PT. Sinar Mas Agro Resources and

Technology Tbk (“SMART” atau “Perseroan”) untuk menyusun laporan keuangannya sebagai

berikut:

a. PSAK

1) PSAK No. 10 (Revisi 2010), Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing

2) PSAK No. 13 (Revisi 2011), Properti Investasi

3) PSAK No. 16 (Revisi 2011), Aset Tetap 3

4) PSAK No. 18 (Revisi 2010), Akuntansi dan Pelaporan Program Manfaat Purnakarya

5) PSAK No. 24 (Revisi 2010), Imbalan Kerja

6) PSAK No. 26 (Revisi 2011), Biaya Pinjaman

7) PSAK No. 28 (Revisi 2011), Akuntansi Kontrak Asuransi Kerugian

8) PSAK No. 30 (Revisi 2011), Sewa

9) PSAK No. 33 (Revisi 2011), Aktivitas Pengupasan Lapisan Tanah dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup pada Pertambangan Umum

10) PSAK No. 34 (Revisi 2010), Kontrak Konstruksi

11) PSAK No. 36 (Revisi 2011), Asuransi Kontrak Asuransi Jiwa

12) PSAK No. 45 (Revisi 2011), Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba

13) PSAK No. 46 (Revisi 2010), Pajak Penghasilan

14) PSAK No. 50 (Revisi 2010), Instrumen Keuangan: Penyajian

15) PSAK No. 53 (Revisi 2010), Pembayaran Berbasis Saham

16) PSAK No. 55 (Revisi 2011), Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran

17) PSAK No. 56 (Revisi 2011), Laba Per Saham

18) PSAK No. 60, Instrumen Keuangan: Pengungkapan

19) PSAK No. 61, Akuntansi Hibah Pemerintah dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah

20) PSAK No. 62, Kontrak Asuransi

21) PSAK No. 63, Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi

22) PSAK No. 64, Aktivitas Eksplorasi dan Evaluasi pada Pertambangan Sumber Daya

Mineral

MAKSI Unpad XXIV © 2012 9

Page 10: Kelapa Sawit

b. ISAK

1) ISAK No. 13, Lindung Nilai Investasi Neto dalam Kegiatan Usaha Luar Negeri

2) ISAK No. 15, PSAK 24 - Batas Aset Imbalan Pasti, Persyaratan Pendanaan

Minimum, dan Interaksinya

3) ISAK No. 16, Perjanjian Konsesi Jasa

4) ISAK No. 18, Bantuan Pemerintah - Tidak Berelasi Spesifik dengan Aktivitas

Operasi

5) ISAK No. 19, Penerapan Pendekatan Penyajian Kembali dalam PSAK 63: Pelaporan

Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi

6) ISAK No. 20, Pajak Penghasilan - Perubahan dalam Status Pajak Entitas atau Para

Pemegang Sahamnya

7) ISAK No. 22, Perjanjian Konsesi Jasa: Pengungkapan

8) ISAK No. 23, Sewa Operasi - Insentif

9) ISAK No. 24, Evaluasi Substansi Beberapa Transaksi yang Melibatkan Suatu Bentuk

Legal Sewa

10) ISAK No. 25, Hak atas Tanah

11) ISAK No. 26, Penilaian Ulang Derivatif Melekat

c. PPSAK (Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan)

1) PPSAK No. 7, Pencabutan PSAK 44: Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat

2) PPSAK No. 8, Pencabutan PSAK 27: Akuntansi Perkoperasian

3) PPSAK No. 9, Pencabutan ISAK 5: Interprestasi atas Par.14 PSAK No. 50 (1998)

tentang Pelaporan Perubahan Nilai Wajar Investasi Efek dalam Kelompok Tersedia

untuk Dijual

4) PPSAK No. 11, Pencabutan PSAK 39: Akuntansi Kerja Sama Operasi

5. Tinjauan Perpajakan

5.1. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan (PPh) adalah salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap subjek

pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Sementara itu,

penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima, baik berasal dari

Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat menambah kekayaan wajib pajak yang

bersangkutan. PPh dipungut oleh pemerintah pusat dan secara teori perpajakan PPh adalah jenis

pajak yang paling adil.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 10

Page 11: Kelapa Sawit

Dasar hukum yang digunakan saat ini terhadap pengenaan PPh berdasarkan kepada UU

No. 7 Tahun 1983 tentang “Pajak Penghasilan” sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU

No. 36 Tahun 2008 tentang “Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983

tentang Pajak Penghasilan”. Berdasarkan pasal 2 UU No. 7 Tahun 1983, Indonesia membangun

yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan

objektif.

5.1.1. PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui

pemotongan oleh pihak ketiga (yaitu pemberi kerja / bendaharawan pemerintah / dana pensiun /

badan lain / penyelenggara pemerintah) yang merupakan anjuran pajak yang boleh dikreditkan

terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final.

5.1.2. PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui

pemungutan pihak ketiga, yang merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh

yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final.

5.1.3. PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui

pemotongan pihak ketiga, yang merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh

yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final (terhadap PPh

Pasal 21).

5.1.4. PPh Pasal 25

PPh Pasal 23 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan yang

pembayarannya oleh WP sendiri yang dilakukan setiap bulan/masa lain, yang merupakan

angsuran PPh dalam tahun berjalan yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang bersangkutan,

kecuali pembayaran PPh yang bersifat final.

5.1.5. PPh Pasal 26

Pajak Penghasilan yang dikenakan Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh

Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia. Wajib Pajak Luar Negeri bertempat tinggal di Indonesia

atau di luar Indonesia. Pengenaan PPh Pasal 26 menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu:

MAKSI Unpad XXIV © 2012 11

Page 12: Kelapa Sawit

Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap (BUT)

di Indonesia.

PPh Pasal 26 dikenakan terhadap laba BUT setelah dikurangi pajak penghasilan yang

tidak ditanamkan kembali di Indonesia dan PPh Pasal 26 dilunasi melalui penyetoran

sendiri serta dilaporkan sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Badan.

Pemenuhan kewajiban perpajakan melalui pemotongan oleh pihak yang wajib

membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya selain bentuk usaha tetap.

Pemotongan PPh Pasal 26 wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak

dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan

perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar

negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

5.2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Salah satu kegiatan baik itu transaksi ataupun peristiwa yang oleh UU No. 42 Tahun 2009

tentang “Perubahan Ketiga Atas UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai

Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah” ditetapkan sebagai objek

pengenaan PPN adalah transaksi, kegiatan atau peristiwa penyerahan Barang Kena Pajak (BKP).

Ada dua terminologi penyerahan BKP yang menjadi objek pengenaan PPN yaitu penyerahan

BKP yang disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) huruf a yang berbunyi: “Pajak Pertambahan Nilai

dikenakan atas: (a) penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

pengusaha;” dan pasal 16D yang berbunyi: “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan

Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh

Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat

dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c”.

5.2.1. Pengertian Penyerahan BKP

Kata penyerahan BKP tersebut dalam UU No. 42 Tahun 2009 ternyata tidak selalu berarti

penjualan BKP. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1A dimana dalam pasal ini ditegaskan bahwa

pengertian kata “penyerahan BKP” mencakup segala bentuk transaksi, kegiatan atau peristiwa

yang berujung pada perpindahan hak atau penguasaan atas BKP tesebut.

Dalam konteks UU No. 42 Tahun 2009, lahan perkebunan maupun pabrik termasuk

dalam pengertian cabang yang secara administratif harus dikukuhkan sebagai PKP. Terutama

MAKSI Unpad XXIV © 2012 12

Page 13: Kelapa Sawit

jika kedua cabang itu masing-masing berada di wilayah KPP yang berbeda. Dan manakala

keduanya sudah menjadi PKP, maka pada saat kebun menyerahkan hasil perkebunannya (Tandan

Buah Segar/TBS) ke pabrik untuk diolah, terjadilah apa yang disebut dengan penyerahan BKP

antar cabang. Hal ini diatur dalam pasal 1A ayat (1) huruf f yang berbunyi: “Yang termasuk

dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: (f) penyerahan Barang Kena Pajak dari

pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;” adalah

terutang PPN.

Oleh karena TBS merupakan produk hasil perkebunan yang mendapat fasilitas

pembebasan PPN maka pihak pabrik tidak perlu membayar PPN atas penyerahan TBS dari

kebun sawit tersebut.  Namun, sebagai konsekuensinya sesuai dengan ketentuan pasal 16B ayat

(3) yang berbunyi: “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau

perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.” maka pihak kebun pun tidak boleh mengkreditkan

seluruh Pajak Masukan (PM) mereka seperti misalnya PM atas pembelian pupuk, PM atas

pembelian peralatan perkebunan dan seluruh PM lainnya.

5.2.2. Kategori Pemakaian Sendiri BKP

Pada tanggal 3 Januari 2012 terbit PP No. 1 Tahun 2012 tentang “Pelaksanaan UU No. 8

Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan UU No. 42 Tahun

2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai

Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah”. Salah satu klausul dalam PP No.

1 Tahun 2012 adalah klausul mengenai pemakaian sendiri BKP (berlaku juga untuk Jasa Kena

Pajak atau JKP) untuk kegiatan yang bersifat produktif. Yang dimaksud dengan pemakaian

sendiri BKP untuk tujuan produktif adalah:

a. Pemakaian sendiri BKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi

selanjutnya. Contohnya: pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya

berupa kulit dari inti kelapa sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses

pabrikasi.

b. Pemakaian sendiri BKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi

selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan

kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi,

distribusi, pemasaran, dan manajemen. Contohnya: pabrikan minyak kelapa sawit

MAKSI Unpad XXIV © 2012 13

Page 14: Kelapa Sawit

menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di

lingkungan pabrik.

Dalam pasal 5 PP No. 1 Tahun 2012, pemakaian sendiri BKP untuk tujuan produktif

dikategorikan sebagai bentuk penyerahan BKP yang dikenakan PPN berdasarkan pasal 4 ayat (1)

huruf a UU No. 42 Tahun 2009.

5.2.3. Pengkreditan PM Pemakaian Sendiri yang Bersifat Produktif

Pada dasarnya menurut PP No. 1 Tahun 2012, pemakaian sendiri BKP yang bersifat

produktif juga terutang PPN. Berdasarkan memori penjelasan pasal 5 ayat (4) PP No. 1 Tahun

2012 mengatakan bahwa apabila BKP yang dipakai sendiri tersebut merupakan BKP yang tidak

mendapat fasilitas pembebasan PPN, maka PM yang dibayar untuk perolehan BKP yang

digunakan dalam proses menghasilkan BKP tersebut tetap dapat dikreditkan. Tetapi apabila BKP

yang dipakai sendiri itu merupakan barang atau jasa yang tidak terutang PPN atau merupakan

BKP yang mendapat fasilitas pembebasan PPN, maka PM atas perolehan BKP yang digunakan

dalam proses produksi BKP yang dipakai sendiri tersebut tidak dapat dikreditkan.

Misalnya PT ABC merupakan pabrikan mobil dan dalam rangka memproduksi mobil

Esemka tentunya PT ABC akan banyak membayar PM misalnya PM atas pembelian mesin

pabrik, PM atas pembelian aktiva pabrik, aktiva kantor, PM atas perolehan JKP dan PM yang

lainnya. Dalam hal ini karena mobil Esemka yang dihasilkan PT ABC tidak memperoleh

pembebasan PPN, maka seluruh PM atas pembelian mesin pabrik, PM atas pembelian aktiva

pabrik, aktiva kantor, PM atas perolehan JKP dan PM yang lainnya tersebut tetap dapat

dikreditkan di SPT Masa PPN.

Tetapi jika ketentuan ini diterapkan terhadap industri lain, maka akan menjadi berbeda.

Sebagai contoh, PT ABC merupakan pabrikan CPO yang memiliki perkebunan kelapa sawit

sendiri. Untuk memproduksi CPO, PT ABC menggunakan kelapa sawit hasil kebunnya sendiri.

Dalam hal ini atas penggunaan hasil kebun tersebut tergolong pemakaian sendiri BKP untuk

tujuan produktif. Akan tetapi, karena hasil kebun kelapa sawit (TBS) merupakan BKP  yang

mendapat fasilitas pembebasan PPN (sesuai dengan PP No. 31 Tahun 2007 tentang “Perubahan

Keempat Atas PP No. 12 Tahun 2001 Tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak

Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Penganaan Pajak Pertambahan Nilai”),

maka seluruh PM yang dikeluarkan oleh PT ABC untuk lini kebun dalam menghasilkan kelapa

sawit tersebut (seperti pupuk, peralatan perkebunan dan semua pajak masukan yang digunakan

oleh kebun kelapa sawit) tidak boleh dikreditkan.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 14

Page 15: Kelapa Sawit

Meskipun PM atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan

menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN

(TBS) sehingga tidak dapat dikreditkan, tidak demikian dengan perusahaan kelapa sawit yang

terpadu (integrated) sebagaimana diatur dalam Surat Edaran DJP No. SE-90/PJ/2011 tentang

“Pengkreditan Pajak Masukan Pada Perusahaan Terpadu (Integreted) Kelapa Sawit” bahwa:

PM atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan

BKP (CPO/CPK) dapat dikreditkan. Artinya, CPO akan dipungut PPN.

PM atas perolehan BKP atau JKP yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan BKP

sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding

dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya. Artinya, TBS yang

dihasilkan dibebaskan PPN-nya sedangkan CPO akan dipungut PPN.

Hal ini memberikan ruang kepada perusahaan kelapa sawit (khususnya yang terpadu)

untuk mengkreditkan seluruh pengeluarannya yang terkait dengan penyerahan yang terutang

PPN tanpa harus memperhatikan apakah termasuk dalam kategori barang modal. Berdasarkan

PMK No. 81/PMK.03/2010 tentang “Saat Penghitungan Dan Tata Cara Pembayaran Kembali

Pajak Masukan Yang Telah Dikreditkan Dan Diberikan Pengembalian Bagi Pengusaha Kena

Pajak Yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi” barang modal adalah harta berwujud yang

memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk

diperjualbelikan. Sedangkan tatacara perhitungan PM yang dapat dikreditkan yang berasal dari

semua pengeluaran terkait dengan penyerahan yang terutang PPN mengacu pada pasal 3 PMK

No. 78/PMK.03/2010 tentang “Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi

Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan

Yang Tidak Terutang Pajak” yaitu:

P = PM x Z

dengan ketentuan:

P adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkanPM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena

PajakZ adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak

terhadap penyerahan seluruhnya

5.3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Tanah dan bangunan merupakan barang komoditi atau merupakan barang ekonomi yang

berpengaruh sangat kuat terhadap kehidupan bangsa, negara dan penduduknya. Negara sebagai

organisasi yang mengatur dan memerintah rakyat serta kehidupan bernegara demi mencapai

MAKSI Unpad XXIV © 2012 15

Page 16: Kelapa Sawit

kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya berkewajiban untuk mengatur tata hidup dan

pendayagunaan tanah baik sebagai barang ekonomi maupun tempat tinggal. Untuk itu sudah

sejak zaman kerajaan sampai dengan berdirinya Negara, pendayagunaan tanah ini diatur oleh

para penguasa atau Negara. Salah satu pengaturan pendayagunaan tanah disamping melalui

Undang-undang Pokok Peraturan Agraria, Land Use dan Land Reform adalah melalui Perpajakan

Atas Tanah.

Dasar hukum yang digunakan saat ini terhadap pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) berdasarkan kepada UU No. 12 Tahun 1985 tentang “Pajak Bumi dan Bangunan” yang

telah disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang “Perubahan Atas Undang-Undang

No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan”. PBB merupakan Pajak Pusat bersifat

kebendaan, dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan yang hasilnya sebagaian besar

diserahkan ke Pemerintah Daerah.

Menurut UU No. 12 Tahun 1994, objek dari PBB adalah Bumi dan/atau Bangunan. Bumi

dapat diartikan sebagai permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan

permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan

adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.

Sedangkan subjek dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak

atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau

memperoleh manfaat atas bangunan. Apabila subjek pajak tersebut dikenakan kewajiban

membayar pajak maka subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak.

5.4. Realisasi Pajak

Beban (penghasilan) pajak group terdiri dari:

MAKSI Unpad XXIV © 2012 16

Page 17: Kelapa Sawit

Pajak Kini

Rekonsiliasi antara laba sebelum pajak penghasilan menurut laporan laba rugi komprehensif

konsolidasian dengan laba kena pajak Perusahaan adalah sebagai berikut:

Beban dan utang pajak kini adalah sebagai berikut:

MAKSI Unpad XXIV © 2012 17

Page 18: Kelapa Sawit

Laba kena pajak dan beban pajak Group tahun 2010 sesuai dengan Pemberitahuan (SPT)

Tahunan yang disampaikan Perusahaan kepada Kantor Pelayanan Pajak. Rekonsiliasi antara

beban pajak yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak yang berlaku atas laba sebelum

pajak dalam laporan laba rugi komprehensif konsolidasian adalah sebagai berikut:

6. Tinjauan Instrumen Fiskal

Pada hakekatnya kebijakan bea keluar (BK) ekspor CPO bukan bagian dari instrumen

fiskal untuk menggenjot penerimaan Negara, melainkan merupakan suatu instrumen untuk

menjaga agar kebutuhan dan pasokan CPO di dalam negeri tidak terganggu. Sistem BK yang

saat ini berlaku secara progresif - mengikuti pergerakan harga komoditas itu di pasar

internasional - sesuai dengan PMK No. 67/PMK.011/2010 tahun 2010 tentang “Penetapan

Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar”. Dalam PMK tersebut diatur

ekspor minyak kelapa sawit akan dikenakan bea keluar 0% jika rata-rata harga komoditas

tersebut selama sebulan sebelumnya di CIF Rotterdam berada di bawah US$ 700 per ton, dan

akan dikenakan tarif 1,5% saat harga rata-ratanya US$ 701 - 750 per ton. Tarif bea keluar akan

dinaikan jadi 3% jika harga rata-rata CPO di CIF Rotterdam meningkat menjadi sekitar US$ 751

- 800 per ton.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 18

Page 19: Kelapa Sawit

Instrumen ini dapat menjadi insentif bagi industri hilir kelapa sawit sekaligus menjadi

disinsentif bagi petani dan pengusaha perkebunan kelapa sawit.

Instrumen ini dapat menjadi insentif dimana dengan adanya tarif fiskal tertinggi terhadap

fluktuasi harga CPO internasional menjadikan harga CPO Indonesia terdiskon cukup besar.

Bahkan, setiap kenaikan 1 persen tarif BK akan menekan harga TBS kelapa sawit petani hingga

Rp. 250 per kilogram. Dampak lain dari adanya kebijakan tersebut telah memberikan hasil yang

signifikan dengan adanya peningkatan investasi industri hilir minyak kelapa sawit terutama di

Sumatera dan Jawa. Adanya aksi korporasi investor asing dan domestik tersebut diperkirakan

bisa menembus pendapatan sekitar Rp. 20 triliun pada tahun 2015. Dampak BK CPO juga secara

langsung dapat dirasakan oleh petani dimana semakin tinggi tarif BK semakin besar diskon

harga TBS petani. Karena kebanyakan petani biasanya menunda pemupukan saat harga TBS

murah sehingga hal ini membuat produktivitas kebun enam bulan ke depan turun.

Namun, disisi lain dapat menjadi disinsentif sehingga merugikan petani terutama dengan

adanya kebijakan BK CPO diberlakukan dengan tarif progresif. Seharusnya pemerintah lebih

membuat kebijakan yang lebih memihak petani seperti menambah anggaran peremajaan kelapa

sawit rakyat dan sertifikasi kebun rakyat. Tanpa perbaikan infrastruktur jalan, pelabuhan, dan

pelayanan publik, tujuan penerapan BK sebenarnya sulit tercapai. Instrumen BK CPO ini pun

lebih tepat disebut sarana pemerintah mengeruk keuntungan dari perkebunan kelapa sawit seperti

petani. Pemerintah menerima sekitar Rp. 14 triliun per tahun dari BK CPO. Sudah sepatutnya

pemerintah mengalokasikan minimal Rp. 1 triliun khusus untuk pengembangan industri kelapa

sawit.

Pemerintah perlu membiayai riset jangka panjang untuk menemukan, misalnya, benih

kelapa sawit unggul yang pendek dengan produktivitas tinggi dan membantu petani

meremajakan pohon kelapa sawit. Intensifikasi perkebunan kelapa sawit rakyat tentu sangat

berarti dalam upaya Indonesia mencapai 40 juta ton CPO pada 2020 tanpa mengandalkan

perluasan lahan.

7. Simpulan

Perusahaan perkebunan kelapa sawit merupakan suatu bentuk badan usaha, seperti halnya

badan usaha yang bergerak dalam sektor usaha lainnya, perusahaan perkebunan kelapa sawit

memiliki kewajiban perpajakan yang harus ditanggung. Kewajiban perpajakan yang harus

ditanggung perusahaan perkebunan kelapa sawit diantaranya adalah Pajak Penghasilan Badan

(PPh Badan).

MAKSI Unpad XXIV © 2012 19

Page 20: Kelapa Sawit

Subjek pajak PPh Badan adalah Badan Dalam Negeri dan Badan Luar Negeri yang

memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia. Objek Pajak PPh Badan adalah

Penghasilan Badan Dalam Negeri dan Penghasilan Badan Luar Negeri. Sedangkan klasifikasi

penghasilan dalam PPh Badan ada tiga:

Penghasilan yang merupakan objek pajak PPh Final,

Penghasilan yang merupakan objek pajak PPh tidak Final dan,

Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.

PPh Badan merupakan kewajiban perpajakan yang harus ditanggung perusahaan atas

penghasilan yang diperoleh.

Untuk pajak atas bumi dan bangunan yang dimiliki oleh perusahaan dikenakan dengan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Atas produk yang dihasilkan, salah satunya adalah CPO tidak

boleh dikreditkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas BKP strategis. PM atas perolehan BKP

atau JKP yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan BKP (CPO/CPK) atau untuk kegiatan

menghasilkan BKP sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis dapat dikreditkan.

Terhadap isu instrumen fiscal, upaya peningkatan produktivitas sekaligus penciptaan nilai

tambah lewat industri hilir di dalam negeri harus menjadi isu sentral yang terintegrasi dalam peta

jalan bisnis kelapa sawit nasional. Misalnya dengan adanya kualitas benih tanaman yang tinggi

dan frekuensi pemupukan bisa diperbaiki, rata-rata produktivitas perkebunan kelapa sawit

nasional saat ini sekitar 3,9 ton CPO per ha per tahun dapat melebihi apa yang dicapai oleh

Malaysia yang bisa mencapai 6 ton CPO per ha per tahun.

Satu catatan penting lainnya adalah pada pengembangan kelapa sawit dalam bentuk riset

jangka panjang untuk menemukan, misalnya, benih kelapa sawit unggul yang pendek dengan

produktivitas tinggi dan membantu petani meremajakan pohon kelapa sawit. Intensifikasi

perkebunan kelapa sawit rakyat tentu sangat berarti dalam upaya Indonesia mencapai 40 juta ton

CPO pada 2020 tanpa mengandalkan perluasan lahan. Riset tersebut harus tetap menjadikan

prioritas pada kelestarian lingkungan.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 20