Upload
igakantus
View
916
Download
16
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kelapa Sawit
Citation preview
ASPEK-ASPEK PERPAJAKAN
DALAM PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Oleh
Ignatius Adisurya Kantus (120620120001)
Carry Viayunya (120620120010)
Asep Nurdin (120620120007)
Abstrak
CPO merupakan komoditas unggulan ekspor nasional dan penghasil devisa terbesar di luar migas. Sebagai gambaran, ekspor CPO (crude palm oil) dari Indonesia untuk tahun 2011 sekitar 180 trilyun rupiah. Menurut Kementrian Pertanian, pertumbuhan permintaan CPO dunia selama lima tahun sekitar 9,92%. Artinya, ditahun-tahun mendatang bisa jadi ekspor CPO dari Indonesia mencapai 200 trilyun rupiah. Dan akan terus tumbuh sebagai komoditas unggulan nasional. Tidak heran jika ada perhatian lebih besar pemerintah, termasuk dari DJP sebagai regulator dan administrator perpajakan terhadap fenomena ini. Oleh karena itu, dalam bahasan ini kami mencoba meninjau aspek-aspek perpajakan mana saja yang dapat meningkatkan potensi penerimaan Negara.
Kata kunci: Pajak, Kelapa Sawit
1. Pendahuluan
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO - crude palm oil) dan
inti kelapa sawit (CPK - crude palm kernel) merupakan salah satu primadona tanaman
perkebunan yang menjadi salah satu komoditi penting dalam mendorong peningkatan
pertumbuhan perekonomian dan sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia.
Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati
dunia maka sejak tahun 1970 telah mendorong pemerintah untuk memacu pengembangan areal
perkebunan kelapa sawit. Pertumbuhan areal kelapa sawit pun terus mengalami peningkatan
dimana pada periode 1980-an luas areal kelapa sawit sebesar 294.000 ha dan pada tahun 2009
mencapai 7,32 juta ha. Di Indonesia, produsen CPO dapat dibedakan atas 3 kelompok yaitu:
perkebunan besar negara (PBN) dengan luas lahan 8,43%, perkebunan besar swasta (PBS)
dengan luas lahan 47,81% dan perkebunan rakyat (PR) dengan luas lahan 43,76%. Dengan luas
areal tersebut Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 1
Perkebunan negara terdiri dari 10 unit perkebunan dengan satu Kantor Pemasaran
Bersama. Perkebunan swasta didominasi oleh 10 konglomerat dan tidak mempunyai satu Kantor
Pemasaran Bersama. Namun demikian, mereka semua terdaftar sebagai anggota Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Secara umum, luas satu perkebunan negara atau swasta
berkisar antara 10.000–25.000 ha dan kebanyakan merupakan bagian dari kelompok perkebunan
dengan luas berkisar antara 100.000–600.000 ha (Casson 2000). Umumnya, baik perkebunan
negara maupun swasta mempunyai integrasi vertikal, dengan industri hulu dan hilir, mulai dari
pembibitan sampai pengolahan minyak goreng. Berbeda dengan perkebunan rakyat, yang
umumnya hanya mempunyai luas lahan kurang dari 20 ha dan tidak memiliki fasilitas
pembibitan atau pengolahan. Sehingga kelompok petani perkebunan rakyat belum dapat
dikategorikan sebagai salah satu kelompok strategis dalam industri kelapa sawit Indonesia.
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera dan
Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di
Indonesia dengan produksi mencapai 24% dari produksi nasional pada tahun 2009, sementara
Jambi menyumbang minyak sawit sebesar 7,70% dari produksi nasional dengan luas lahan
mencapai 8,82% dari luas lahan nasional (Efendi, 2009).
Sama halnya dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam sektor apapun di
Indonesia, perusahaan perkebunan kelapa sawit tentunya memiliki kewajiban perpajakan yang
harus ditanggung dan dilunasi, baik pajak itu yang berkaitan dengan penghasilan yang diperoleh
perusahaan (PPh), terhadap proses produksi atau produk yang dihasilkan perusahaan yang
dibebani pajak (PPN) oleh negara, ataupun aspek-aspek pajak lainnya. Oleh karena itu makalah
ini akan mencoba mengidentifikasi aspek-aspek perpajakan yang melekat dalam perusahaan
kelapa sawit.
Adapun rumusan masalah yang diajukan: (1) Apa saja standar akuntansi keuangan yang
digunakan oleh PT. SMART Tbk. ? dan (2) Apa saja beban pajak yang ditanggung oleh PT.
SMART Tbk. ?
2. Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak
industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar
sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Di Indonesia penyebarannya
di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa dan Sulawesi.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 2
Kelapa sawit berbentuk pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut
tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar
napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi.
Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau
tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak,
hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas
pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas
sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa.
Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan
memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga
jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan
mekar.
Tanaman sawit dengan tipe cangkang pisifera bersifat female steril sehingga sangat
jarang menghasilkan tandan buah dan dalam produksi benih unggul digunakan sebagai tetua
jantan.
Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit
yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak
dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati
fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA - free fatty acid) akan meningkat dan buah akan
rontok dengan sendirinya. Buah terdiri dari tiga lapisan, yaitu:
Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin
Mesoskarp, serabut buah
Endoskarp, cangkang pelindung inti
Inti sawit (kernel, yang sebetulnya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan
kandungan minyak inti berkualitas tinggi.
Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi
tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula).
Hasil tanaman
Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetika,
industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk
begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi
dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut
MAKSI Unpad XXIV © 2012 3
lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam
bidang kosmetik.
Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging
buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng
dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah,
rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi
bahan baku margarin.
Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Bunga dan
buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah
kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya
itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk
makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil inti sawit itu digunakan sebagai salah satu bahan
pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.
Buah diproses dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90 °C.
Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan
pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan
dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke
bagian bawah lumpur.
Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak
dan difermentasikan menjadi kompos.
3. Kajian Perusahaan PT. Smart Tbk
3.1. Profil Perusahaan
Didirikan tahun 1962 dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia sejak tahun 1992, PT Sinar
Mas Agro Resources and Technology Tbk (“SMART” atau “Perseroan”) adalah salah satu
perusahaan publik produk konsumen berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dan terbesar di
Indonesia, dengan nilai penjualan bersih sebesar Rp 31,7 triliun dan laba yang dapat
diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 1,8 triliun pada tahun 2011. Aktivitas
utama Perseroan dimulai dari penanaman dan pemanenan pohon kelapa sawit, pengolahan
tandan buah segar (“TBS”) menjadi minyak sawit (“CPO”) dan inti minyak sawit (“CPK”), serta
pemrosesan CPO menjadi produk industri dan konsumen seperti minyak goreng, margarin dan
shortening.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 4
Perseroan menanam kebun kelapa sawit di Indonesia seluas sekitar 139.000 hektar,
termasuk plasma. Lima belas pabrik pengolahan kami memproses TBS menjadi CPO dan CPK,
dengan total kapasitas sebesar 3,9 juta ton per tahun.
CPO diproses lebih lanjut menjadi produk bernilai tambah, baik curah, industri maupun
bermerek, melalui pabrik hilir kami dengan kapasitas 1,4 juta ton per tahun. PK juga diproses
lebih lanjut di pabrik pengolahan inti sawit dengan kapasitas 444 ribu ton per tahun,
menghasilkan minyak inti sawit dan palm kernel meal yang memiliki nilai lebih tinggi.
SMART juga mendistribusikan, memasarkan dan mengekspor produk konsumen berbasis
kelapa sawit. Selain minyak curah dan minyak industri, produk turunan SMART juga dipasarkan
dengan berbagai merek, seperti Filma dan Kunci Mas. Saat ini, merek-merek tersebut diakui
kualitasnya dan memiliki pangsa pasar yang signifikan di segmennya masing-masing di
Indonesia.
3.2. Visi dan Misi Perusahaan
Visi / Vision“We aim to be the best To become the largest integrated and most profitable
palm-based consumer company”
Misi / Mission Surpassing the highest standard of quality
Maintaining the highest level of sustainability and integrity
Empowering society and community
Trend setting innovation and technology
Achieving maximum value for shareholders
MAKSI Unpad XXIV © 2012 5
3.3. Laporan Keuangan
MAKSI Unpad XXIV © 2012 6
MAKSI Unpad XXIV © 2012 7
MAKSI Unpad XXIV © 2012 8
4. Tinjauan Perlakuan Standar Akuntansi Keuangan
Ikatan Akuntan Indonesia telah menerbitkan revisi Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) dan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK). Standar-standar
akuntansi keuangan tersebut akan berlaku efektif untuk laporan keuangan pada periode yang
dimulai pada atau setelah 1 Januari 2012.
Adapun PSAK dan ISAK yang dipakai oleh group PT. Sinar Mas Agro Resources and
Technology Tbk (“SMART” atau “Perseroan”) untuk menyusun laporan keuangannya sebagai
berikut:
a. PSAK
1) PSAK No. 10 (Revisi 2010), Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing
2) PSAK No. 13 (Revisi 2011), Properti Investasi
3) PSAK No. 16 (Revisi 2011), Aset Tetap 3
4) PSAK No. 18 (Revisi 2010), Akuntansi dan Pelaporan Program Manfaat Purnakarya
5) PSAK No. 24 (Revisi 2010), Imbalan Kerja
6) PSAK No. 26 (Revisi 2011), Biaya Pinjaman
7) PSAK No. 28 (Revisi 2011), Akuntansi Kontrak Asuransi Kerugian
8) PSAK No. 30 (Revisi 2011), Sewa
9) PSAK No. 33 (Revisi 2011), Aktivitas Pengupasan Lapisan Tanah dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup pada Pertambangan Umum
10) PSAK No. 34 (Revisi 2010), Kontrak Konstruksi
11) PSAK No. 36 (Revisi 2011), Asuransi Kontrak Asuransi Jiwa
12) PSAK No. 45 (Revisi 2011), Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba
13) PSAK No. 46 (Revisi 2010), Pajak Penghasilan
14) PSAK No. 50 (Revisi 2010), Instrumen Keuangan: Penyajian
15) PSAK No. 53 (Revisi 2010), Pembayaran Berbasis Saham
16) PSAK No. 55 (Revisi 2011), Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran
17) PSAK No. 56 (Revisi 2011), Laba Per Saham
18) PSAK No. 60, Instrumen Keuangan: Pengungkapan
19) PSAK No. 61, Akuntansi Hibah Pemerintah dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah
20) PSAK No. 62, Kontrak Asuransi
21) PSAK No. 63, Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi
22) PSAK No. 64, Aktivitas Eksplorasi dan Evaluasi pada Pertambangan Sumber Daya
Mineral
MAKSI Unpad XXIV © 2012 9
b. ISAK
1) ISAK No. 13, Lindung Nilai Investasi Neto dalam Kegiatan Usaha Luar Negeri
2) ISAK No. 15, PSAK 24 - Batas Aset Imbalan Pasti, Persyaratan Pendanaan
Minimum, dan Interaksinya
3) ISAK No. 16, Perjanjian Konsesi Jasa
4) ISAK No. 18, Bantuan Pemerintah - Tidak Berelasi Spesifik dengan Aktivitas
Operasi
5) ISAK No. 19, Penerapan Pendekatan Penyajian Kembali dalam PSAK 63: Pelaporan
Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi
6) ISAK No. 20, Pajak Penghasilan - Perubahan dalam Status Pajak Entitas atau Para
Pemegang Sahamnya
7) ISAK No. 22, Perjanjian Konsesi Jasa: Pengungkapan
8) ISAK No. 23, Sewa Operasi - Insentif
9) ISAK No. 24, Evaluasi Substansi Beberapa Transaksi yang Melibatkan Suatu Bentuk
Legal Sewa
10) ISAK No. 25, Hak atas Tanah
11) ISAK No. 26, Penilaian Ulang Derivatif Melekat
c. PPSAK (Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan)
1) PPSAK No. 7, Pencabutan PSAK 44: Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat
2) PPSAK No. 8, Pencabutan PSAK 27: Akuntansi Perkoperasian
3) PPSAK No. 9, Pencabutan ISAK 5: Interprestasi atas Par.14 PSAK No. 50 (1998)
tentang Pelaporan Perubahan Nilai Wajar Investasi Efek dalam Kelompok Tersedia
untuk Dijual
4) PPSAK No. 11, Pencabutan PSAK 39: Akuntansi Kerja Sama Operasi
5. Tinjauan Perpajakan
5.1. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan (PPh) adalah salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap subjek
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Sementara itu,
penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima, baik berasal dari
Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan. PPh dipungut oleh pemerintah pusat dan secara teori perpajakan PPh adalah jenis
pajak yang paling adil.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 10
Dasar hukum yang digunakan saat ini terhadap pengenaan PPh berdasarkan kepada UU
No. 7 Tahun 1983 tentang “Pajak Penghasilan” sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU
No. 36 Tahun 2008 tentang “Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan”. Berdasarkan pasal 2 UU No. 7 Tahun 1983, Indonesia membangun
yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan
objektif.
5.1.1. PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui
pemotongan oleh pihak ketiga (yaitu pemberi kerja / bendaharawan pemerintah / dana pensiun /
badan lain / penyelenggara pemerintah) yang merupakan anjuran pajak yang boleh dikreditkan
terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final.
5.1.2. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui
pemungutan pihak ketiga, yang merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh
yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final.
5.1.3. PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pihak ketiga, yang merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh
yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final (terhadap PPh
Pasal 21).
5.1.4. PPh Pasal 25
PPh Pasal 23 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan yang
pembayarannya oleh WP sendiri yang dilakukan setiap bulan/masa lain, yang merupakan
angsuran PPh dalam tahun berjalan yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang bersangkutan,
kecuali pembayaran PPh yang bersifat final.
5.1.5. PPh Pasal 26
Pajak Penghasilan yang dikenakan Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh
Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia. Wajib Pajak Luar Negeri bertempat tinggal di Indonesia
atau di luar Indonesia. Pengenaan PPh Pasal 26 menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu:
MAKSI Unpad XXIV © 2012 11
Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap (BUT)
di Indonesia.
PPh Pasal 26 dikenakan terhadap laba BUT setelah dikurangi pajak penghasilan yang
tidak ditanamkan kembali di Indonesia dan PPh Pasal 26 dilunasi melalui penyetoran
sendiri serta dilaporkan sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Badan.
Pemenuhan kewajiban perpajakan melalui pemotongan oleh pihak yang wajib
membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya selain bentuk usaha tetap.
Pemotongan PPh Pasal 26 wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
5.2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Salah satu kegiatan baik itu transaksi ataupun peristiwa yang oleh UU No. 42 Tahun 2009
tentang “Perubahan Ketiga Atas UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah” ditetapkan sebagai objek
pengenaan PPN adalah transaksi, kegiatan atau peristiwa penyerahan Barang Kena Pajak (BKP).
Ada dua terminologi penyerahan BKP yang menjadi objek pengenaan PPN yaitu penyerahan
BKP yang disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) huruf a yang berbunyi: “Pajak Pertambahan Nilai
dikenakan atas: (a) penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;” dan pasal 16D yang berbunyi: “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c”.
5.2.1. Pengertian Penyerahan BKP
Kata penyerahan BKP tersebut dalam UU No. 42 Tahun 2009 ternyata tidak selalu berarti
penjualan BKP. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1A dimana dalam pasal ini ditegaskan bahwa
pengertian kata “penyerahan BKP” mencakup segala bentuk transaksi, kegiatan atau peristiwa
yang berujung pada perpindahan hak atau penguasaan atas BKP tesebut.
Dalam konteks UU No. 42 Tahun 2009, lahan perkebunan maupun pabrik termasuk
dalam pengertian cabang yang secara administratif harus dikukuhkan sebagai PKP. Terutama
MAKSI Unpad XXIV © 2012 12
jika kedua cabang itu masing-masing berada di wilayah KPP yang berbeda. Dan manakala
keduanya sudah menjadi PKP, maka pada saat kebun menyerahkan hasil perkebunannya (Tandan
Buah Segar/TBS) ke pabrik untuk diolah, terjadilah apa yang disebut dengan penyerahan BKP
antar cabang. Hal ini diatur dalam pasal 1A ayat (1) huruf f yang berbunyi: “Yang termasuk
dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: (f) penyerahan Barang Kena Pajak dari
pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;” adalah
terutang PPN.
Oleh karena TBS merupakan produk hasil perkebunan yang mendapat fasilitas
pembebasan PPN maka pihak pabrik tidak perlu membayar PPN atas penyerahan TBS dari
kebun sawit tersebut. Namun, sebagai konsekuensinya sesuai dengan ketentuan pasal 16B ayat
(3) yang berbunyi: “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.” maka pihak kebun pun tidak boleh mengkreditkan
seluruh Pajak Masukan (PM) mereka seperti misalnya PM atas pembelian pupuk, PM atas
pembelian peralatan perkebunan dan seluruh PM lainnya.
5.2.2. Kategori Pemakaian Sendiri BKP
Pada tanggal 3 Januari 2012 terbit PP No. 1 Tahun 2012 tentang “Pelaksanaan UU No. 8
Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan UU No. 42 Tahun
2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah”. Salah satu klausul dalam PP No.
1 Tahun 2012 adalah klausul mengenai pemakaian sendiri BKP (berlaku juga untuk Jasa Kena
Pajak atau JKP) untuk kegiatan yang bersifat produktif. Yang dimaksud dengan pemakaian
sendiri BKP untuk tujuan produktif adalah:
a. Pemakaian sendiri BKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi
selanjutnya. Contohnya: pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya
berupa kulit dari inti kelapa sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses
pabrikasi.
b. Pemakaian sendiri BKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi
selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi,
distribusi, pemasaran, dan manajemen. Contohnya: pabrikan minyak kelapa sawit
MAKSI Unpad XXIV © 2012 13
menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di
lingkungan pabrik.
Dalam pasal 5 PP No. 1 Tahun 2012, pemakaian sendiri BKP untuk tujuan produktif
dikategorikan sebagai bentuk penyerahan BKP yang dikenakan PPN berdasarkan pasal 4 ayat (1)
huruf a UU No. 42 Tahun 2009.
5.2.3. Pengkreditan PM Pemakaian Sendiri yang Bersifat Produktif
Pada dasarnya menurut PP No. 1 Tahun 2012, pemakaian sendiri BKP yang bersifat
produktif juga terutang PPN. Berdasarkan memori penjelasan pasal 5 ayat (4) PP No. 1 Tahun
2012 mengatakan bahwa apabila BKP yang dipakai sendiri tersebut merupakan BKP yang tidak
mendapat fasilitas pembebasan PPN, maka PM yang dibayar untuk perolehan BKP yang
digunakan dalam proses menghasilkan BKP tersebut tetap dapat dikreditkan. Tetapi apabila BKP
yang dipakai sendiri itu merupakan barang atau jasa yang tidak terutang PPN atau merupakan
BKP yang mendapat fasilitas pembebasan PPN, maka PM atas perolehan BKP yang digunakan
dalam proses produksi BKP yang dipakai sendiri tersebut tidak dapat dikreditkan.
Misalnya PT ABC merupakan pabrikan mobil dan dalam rangka memproduksi mobil
Esemka tentunya PT ABC akan banyak membayar PM misalnya PM atas pembelian mesin
pabrik, PM atas pembelian aktiva pabrik, aktiva kantor, PM atas perolehan JKP dan PM yang
lainnya. Dalam hal ini karena mobil Esemka yang dihasilkan PT ABC tidak memperoleh
pembebasan PPN, maka seluruh PM atas pembelian mesin pabrik, PM atas pembelian aktiva
pabrik, aktiva kantor, PM atas perolehan JKP dan PM yang lainnya tersebut tetap dapat
dikreditkan di SPT Masa PPN.
Tetapi jika ketentuan ini diterapkan terhadap industri lain, maka akan menjadi berbeda.
Sebagai contoh, PT ABC merupakan pabrikan CPO yang memiliki perkebunan kelapa sawit
sendiri. Untuk memproduksi CPO, PT ABC menggunakan kelapa sawit hasil kebunnya sendiri.
Dalam hal ini atas penggunaan hasil kebun tersebut tergolong pemakaian sendiri BKP untuk
tujuan produktif. Akan tetapi, karena hasil kebun kelapa sawit (TBS) merupakan BKP yang
mendapat fasilitas pembebasan PPN (sesuai dengan PP No. 31 Tahun 2007 tentang “Perubahan
Keempat Atas PP No. 12 Tahun 2001 Tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Penganaan Pajak Pertambahan Nilai”),
maka seluruh PM yang dikeluarkan oleh PT ABC untuk lini kebun dalam menghasilkan kelapa
sawit tersebut (seperti pupuk, peralatan perkebunan dan semua pajak masukan yang digunakan
oleh kebun kelapa sawit) tidak boleh dikreditkan.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 14
Meskipun PM atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan
menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN
(TBS) sehingga tidak dapat dikreditkan, tidak demikian dengan perusahaan kelapa sawit yang
terpadu (integrated) sebagaimana diatur dalam Surat Edaran DJP No. SE-90/PJ/2011 tentang
“Pengkreditan Pajak Masukan Pada Perusahaan Terpadu (Integreted) Kelapa Sawit” bahwa:
PM atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan
BKP (CPO/CPK) dapat dikreditkan. Artinya, CPO akan dipungut PPN.
PM atas perolehan BKP atau JKP yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan BKP
sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding
dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya. Artinya, TBS yang
dihasilkan dibebaskan PPN-nya sedangkan CPO akan dipungut PPN.
Hal ini memberikan ruang kepada perusahaan kelapa sawit (khususnya yang terpadu)
untuk mengkreditkan seluruh pengeluarannya yang terkait dengan penyerahan yang terutang
PPN tanpa harus memperhatikan apakah termasuk dalam kategori barang modal. Berdasarkan
PMK No. 81/PMK.03/2010 tentang “Saat Penghitungan Dan Tata Cara Pembayaran Kembali
Pajak Masukan Yang Telah Dikreditkan Dan Diberikan Pengembalian Bagi Pengusaha Kena
Pajak Yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi” barang modal adalah harta berwujud yang
memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan. Sedangkan tatacara perhitungan PM yang dapat dikreditkan yang berasal dari
semua pengeluaran terkait dengan penyerahan yang terutang PPN mengacu pada pasal 3 PMK
No. 78/PMK.03/2010 tentang “Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi
Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan
Yang Tidak Terutang Pajak” yaitu:
P = PM x Z
dengan ketentuan:
P adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkanPM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
PajakZ adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak
terhadap penyerahan seluruhnya
5.3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Tanah dan bangunan merupakan barang komoditi atau merupakan barang ekonomi yang
berpengaruh sangat kuat terhadap kehidupan bangsa, negara dan penduduknya. Negara sebagai
organisasi yang mengatur dan memerintah rakyat serta kehidupan bernegara demi mencapai
MAKSI Unpad XXIV © 2012 15
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya berkewajiban untuk mengatur tata hidup dan
pendayagunaan tanah baik sebagai barang ekonomi maupun tempat tinggal. Untuk itu sudah
sejak zaman kerajaan sampai dengan berdirinya Negara, pendayagunaan tanah ini diatur oleh
para penguasa atau Negara. Salah satu pengaturan pendayagunaan tanah disamping melalui
Undang-undang Pokok Peraturan Agraria, Land Use dan Land Reform adalah melalui Perpajakan
Atas Tanah.
Dasar hukum yang digunakan saat ini terhadap pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) berdasarkan kepada UU No. 12 Tahun 1985 tentang “Pajak Bumi dan Bangunan” yang
telah disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang “Perubahan Atas Undang-Undang
No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan”. PBB merupakan Pajak Pusat bersifat
kebendaan, dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan yang hasilnya sebagaian besar
diserahkan ke Pemerintah Daerah.
Menurut UU No. 12 Tahun 1994, objek dari PBB adalah Bumi dan/atau Bangunan. Bumi
dapat diartikan sebagai permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan
permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan
adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Sedangkan subjek dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak
atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Apabila subjek pajak tersebut dikenakan kewajiban
membayar pajak maka subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak.
5.4. Realisasi Pajak
Beban (penghasilan) pajak group terdiri dari:
MAKSI Unpad XXIV © 2012 16
Pajak Kini
Rekonsiliasi antara laba sebelum pajak penghasilan menurut laporan laba rugi komprehensif
konsolidasian dengan laba kena pajak Perusahaan adalah sebagai berikut:
Beban dan utang pajak kini adalah sebagai berikut:
MAKSI Unpad XXIV © 2012 17
Laba kena pajak dan beban pajak Group tahun 2010 sesuai dengan Pemberitahuan (SPT)
Tahunan yang disampaikan Perusahaan kepada Kantor Pelayanan Pajak. Rekonsiliasi antara
beban pajak yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak yang berlaku atas laba sebelum
pajak dalam laporan laba rugi komprehensif konsolidasian adalah sebagai berikut:
6. Tinjauan Instrumen Fiskal
Pada hakekatnya kebijakan bea keluar (BK) ekspor CPO bukan bagian dari instrumen
fiskal untuk menggenjot penerimaan Negara, melainkan merupakan suatu instrumen untuk
menjaga agar kebutuhan dan pasokan CPO di dalam negeri tidak terganggu. Sistem BK yang
saat ini berlaku secara progresif - mengikuti pergerakan harga komoditas itu di pasar
internasional - sesuai dengan PMK No. 67/PMK.011/2010 tahun 2010 tentang “Penetapan
Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar”. Dalam PMK tersebut diatur
ekspor minyak kelapa sawit akan dikenakan bea keluar 0% jika rata-rata harga komoditas
tersebut selama sebulan sebelumnya di CIF Rotterdam berada di bawah US$ 700 per ton, dan
akan dikenakan tarif 1,5% saat harga rata-ratanya US$ 701 - 750 per ton. Tarif bea keluar akan
dinaikan jadi 3% jika harga rata-rata CPO di CIF Rotterdam meningkat menjadi sekitar US$ 751
- 800 per ton.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 18
Instrumen ini dapat menjadi insentif bagi industri hilir kelapa sawit sekaligus menjadi
disinsentif bagi petani dan pengusaha perkebunan kelapa sawit.
Instrumen ini dapat menjadi insentif dimana dengan adanya tarif fiskal tertinggi terhadap
fluktuasi harga CPO internasional menjadikan harga CPO Indonesia terdiskon cukup besar.
Bahkan, setiap kenaikan 1 persen tarif BK akan menekan harga TBS kelapa sawit petani hingga
Rp. 250 per kilogram. Dampak lain dari adanya kebijakan tersebut telah memberikan hasil yang
signifikan dengan adanya peningkatan investasi industri hilir minyak kelapa sawit terutama di
Sumatera dan Jawa. Adanya aksi korporasi investor asing dan domestik tersebut diperkirakan
bisa menembus pendapatan sekitar Rp. 20 triliun pada tahun 2015. Dampak BK CPO juga secara
langsung dapat dirasakan oleh petani dimana semakin tinggi tarif BK semakin besar diskon
harga TBS petani. Karena kebanyakan petani biasanya menunda pemupukan saat harga TBS
murah sehingga hal ini membuat produktivitas kebun enam bulan ke depan turun.
Namun, disisi lain dapat menjadi disinsentif sehingga merugikan petani terutama dengan
adanya kebijakan BK CPO diberlakukan dengan tarif progresif. Seharusnya pemerintah lebih
membuat kebijakan yang lebih memihak petani seperti menambah anggaran peremajaan kelapa
sawit rakyat dan sertifikasi kebun rakyat. Tanpa perbaikan infrastruktur jalan, pelabuhan, dan
pelayanan publik, tujuan penerapan BK sebenarnya sulit tercapai. Instrumen BK CPO ini pun
lebih tepat disebut sarana pemerintah mengeruk keuntungan dari perkebunan kelapa sawit seperti
petani. Pemerintah menerima sekitar Rp. 14 triliun per tahun dari BK CPO. Sudah sepatutnya
pemerintah mengalokasikan minimal Rp. 1 triliun khusus untuk pengembangan industri kelapa
sawit.
Pemerintah perlu membiayai riset jangka panjang untuk menemukan, misalnya, benih
kelapa sawit unggul yang pendek dengan produktivitas tinggi dan membantu petani
meremajakan pohon kelapa sawit. Intensifikasi perkebunan kelapa sawit rakyat tentu sangat
berarti dalam upaya Indonesia mencapai 40 juta ton CPO pada 2020 tanpa mengandalkan
perluasan lahan.
7. Simpulan
Perusahaan perkebunan kelapa sawit merupakan suatu bentuk badan usaha, seperti halnya
badan usaha yang bergerak dalam sektor usaha lainnya, perusahaan perkebunan kelapa sawit
memiliki kewajiban perpajakan yang harus ditanggung. Kewajiban perpajakan yang harus
ditanggung perusahaan perkebunan kelapa sawit diantaranya adalah Pajak Penghasilan Badan
(PPh Badan).
MAKSI Unpad XXIV © 2012 19
Subjek pajak PPh Badan adalah Badan Dalam Negeri dan Badan Luar Negeri yang
memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia. Objek Pajak PPh Badan adalah
Penghasilan Badan Dalam Negeri dan Penghasilan Badan Luar Negeri. Sedangkan klasifikasi
penghasilan dalam PPh Badan ada tiga:
Penghasilan yang merupakan objek pajak PPh Final,
Penghasilan yang merupakan objek pajak PPh tidak Final dan,
Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
PPh Badan merupakan kewajiban perpajakan yang harus ditanggung perusahaan atas
penghasilan yang diperoleh.
Untuk pajak atas bumi dan bangunan yang dimiliki oleh perusahaan dikenakan dengan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Atas produk yang dihasilkan, salah satunya adalah CPO tidak
boleh dikreditkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas BKP strategis. PM atas perolehan BKP
atau JKP yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan BKP (CPO/CPK) atau untuk kegiatan
menghasilkan BKP sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis dapat dikreditkan.
Terhadap isu instrumen fiscal, upaya peningkatan produktivitas sekaligus penciptaan nilai
tambah lewat industri hilir di dalam negeri harus menjadi isu sentral yang terintegrasi dalam peta
jalan bisnis kelapa sawit nasional. Misalnya dengan adanya kualitas benih tanaman yang tinggi
dan frekuensi pemupukan bisa diperbaiki, rata-rata produktivitas perkebunan kelapa sawit
nasional saat ini sekitar 3,9 ton CPO per ha per tahun dapat melebihi apa yang dicapai oleh
Malaysia yang bisa mencapai 6 ton CPO per ha per tahun.
Satu catatan penting lainnya adalah pada pengembangan kelapa sawit dalam bentuk riset
jangka panjang untuk menemukan, misalnya, benih kelapa sawit unggul yang pendek dengan
produktivitas tinggi dan membantu petani meremajakan pohon kelapa sawit. Intensifikasi
perkebunan kelapa sawit rakyat tentu sangat berarti dalam upaya Indonesia mencapai 40 juta ton
CPO pada 2020 tanpa mengandalkan perluasan lahan. Riset tersebut harus tetap menjadikan
prioritas pada kelestarian lingkungan.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 20