Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Volume 15 Nomor 5, Oktober 2020
Volume 14 Nomor 1, Februari 2019KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR
Tradisi gotong royong yang dikenal sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan cikal bakal munculnya bentuk-bentuk kelembagaan skala lokal. Kelembagaan tradisonal yang ada salah satunya dalam pengelolaan sumber daya air terutama yang berhubungan dengan irigasi. Dalam perkembangannya, Sebagian Lembaga tersebut ada yang hilang dari kehidupan masyarakat dan ada yang bertahan hingga saat ini serta berkembang sesuai tuntutan zaman. Salah satu contoh lembaga lokal yang terkenal dan masih dilestarikan hingga saat ini adalah tradisi Subak di Bali dan di sebagian daerah Lombok. Sedangkan Lembaga-lembaga di daerah lain yang masih bisa dilacak keberadaannya diantaranya Panriahan Pamokkahan di Sumatera Utara serta Pani�a Siring di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Hingga akhir Pelita V, kelembagaan Pani�a Siring-siring dimana saluran masih dapat ditemui di beberapa daerah irigasi pedesaan. Lembaga-lembaga tradisional ini lebih dikenal oleh warganya lewat is�lah yang menunjukkan kedudukan atau jabatan petugas, pimpinan atau ketuanya, seper� misalnya Ulu-ulu Desa dan Ulu-ulu Pembagian (Ulu-ulu Vak) di Jawa Tengah, Ili-Ili di Jawa Timur, Tuo Banda atau Siak Bandar di Sumatera Barat, Raksabumi di Jawa Barat, Malar atau Ponggawa di Sumbawa, Tudung Sipulung di Sulawesi Selatan dan Kejruen Blang di Aceh.
Kesadaran akan pen�ngnya keberadaan dan peran kelembagaan lokal tersebut, pemerintah memberikan dukungan dan
mengarahkan kepada lembaga-lembaga tersebut untuk dibina menjadi suatu organisasi yang disebut Perkumpulan Petani
Pemakai Air (P3A). Seiring dengan munculnya kesadaran baru tentang pen�ngnya peran masyarakat lokal, pemerintah
menetapkan kebijakan dalam pengelolaan irigasi yang mengutamakan kepen�ngan masyarakat petani dengan
menempatkan perkumpulan petani pemakai air sebagai pengambil keputuan dan pelaku utama dalam pegelolaan irigasi.
a. Subak
Subak di Pulai Bali merupakan cara pengelolaan air irigasi tradisonal. Subak mempunyai ciri khas tersendiri karena
merupakan gabungan dari nilai-nilai sosio agraris religius yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat Bali. Kegotong-
royongan masyarakat Bali yang sangat �nggi serta tradisi yang telah turun-temurun membuat Subak masih dilakukan hingga
saat ini.
Kegiatan yang dilakukan subak melipu� operasi dan pemeliharaan, serta pengelolaan air irigasi yang dipadukan dengan budi
daya pertanian, seper� menentukan jadwal tanam dan jadwal pemberian air, jenis tanaman, rotasi tanaman, usaha
pemberantasan hama, dan sebagainya. Subak melayani anggotanya dengan mengusahakan pembuatan jaringan irigasi yang
diperlukan secara lengkap, mulai dari bendung (empelan), saluran (telabah), bangunan sadap (tembuku), bangunan
pembagi air (pemaron) dan sebagainya.
Pada jaman kolonial, jumlah Subak mencapai 2.484 kemudian menurun hingga menjadi 1.230 pada tahun 1951 dengan
cakupan areal seluas 96.243 hektar. Penurunan jumlah Subak disebabkan adanya kegiatan pemerintah berupa perbaikan dan
peningkatan jaringan irigasi dengan menggabungkan jaringan subak menjadi jaringan irigasi yang lebih besar.
Berkembangnya sis�m sewa lahan pertanian dan degradasi prasarana irigasi mengakibatkan semakin beratnya beban Subak
dalam mengoperasikan dan membagi air sehingga jumlah Subak semakin lama semakin berkurang. Sejalan dengan
fenomena tersebut, juga terjadi peningkatan penyadapan air pada satu sungai oleh beberapa Subak. Hal ini mendorong
campur tangan pemerintah untuk mengatur alokasi air melalui berbagai cara agar air yang terbatas dapat dibagi secara adil
dan merata.
b. Ulu-Ulu Desa
Nama Lembaga ulu-ulu desa ini berasal dari nama jabatan seorang pamong desa yang diserahi tugas mengurus masalah
pengairan di desa yang bersangkutan termasuk mengatur pembagian air ke sawah petani, mengorganisir gotong royong
memelihara saluran dan bangunan pengairan, serta melakukan komunikasi dan melaporkan kepada Kepala Desa dan
petugas pengairan.
Ulu-ulu desa ini terdapat hampir di seluruh pulau Jawa meskipun dengan nama yang berbeda-beda, kecuali di daerah irigasi
Pemali Comal dengan sis�m ulu-ulu pembagiannya. Kadangkala dijumpai beberapa variasi tata cara kerja ulu-ulu desa.
Terdapat kesamaan bahwa ulu-ulu desa dipilih oleh rakyat di desa yang bersangkutan sebagai pengejawantahan otonomi
desa dan wilayah kerjanya mengiku� batas wilayah administrasi desa.
Gambar 1. Pemilihan Ulu Ulu (sumber : h�ps://jagalempeni.desa.id/)
c. Raksabumi
Pada masa lalu di beberapa wilayah Jawa Barat seper�: Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Majalengka dikenal adanya
pamong desa yang disebut raksabumi. Raksabumi adalah pamong desa yang mempunyai tugas menangani segala sesuatu
yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, termasuk irigasi. Diperkirakan raksabumi telah muncul sebelum penjajahan
Belanda seper� yang terjadi pada ulu-ulu desa di daerah lain. Raksabumi merupakan perangkat desa sehingga pada
umumnya mereka mendapatkan tanah bengkok di tambah kesempatan menyewa tanah desa seluas setengah hektar. Oleh
karena keterbatasan lahan yang tersedia, beberapa di antara mereka �dak mendapatkan tanah bengkok tetapi memperoleh
upah.
Di dalam mengurus masalah pengairan, raksabumi ke�ka itu umumnya mempunyai hubungan yang erat dengan juru
pengairan dan para raksabumi dari desa di sekitarnya, terutama desa-desa yang menggunakan air dari sumber-sumber air
yang sama. Pada masa krisis air, raksabumi harus mampu membagi air secara adil dan merata serta mengamankan
penyalurannya. Seringkali raksabumi harus mencari sumber-sumber air alterna�f seper� sungai atau saluran pembuang
yang mungkin disadap untuk menambah debit air bagi kepen�ngan warganya.
d. Tuo Banda atau Datuak Ampek
Wilayah Sumatera Barat sebagian besar merupakan daerah pegunungan. Oleh karena itu, persawahan yang dibangun
pemerintah maupun masyarakat pada umumnya kecil-kecil. Tradisi membangun daerah irigasi sudah lama dimiliki oleh
masyarakat di daerah tersebut.
Bagi masyarakat Minang, khususnya para tetua nagari-sekarang desa-dan para petaninya, sosok tuo banda sebagai pengelola
air irigasi di daerah perdesaan sudah �dak asing lagi. Menurut mereka, untuk mengelola saluran, para pemuka adat dan
penghulu menunjuk seseorang yang dipercaya sebagai tuo (kepala). Orang tersebut diberi kepercayaan untuk mengatur air di
daerah persawahan, serta menyelesaikan seluruh permasalahan yang �mbul akibat air. Dia inilah yang akhirnya disebut
sebagai tuo banda, yang akhirnya menjadi lembaga tradisional pengelola irigasi di Sumatera Barat. Lembaga sejenis terdapat
pula di Sumatera Utara dengan nama raja bondar.
Lembaga ini telah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda. Pada waktu itu tradisi dan adat is�adat masih dijalankan dengan
ketat oleh ninik-mamak dan penghulu di se�ap nagari. Keberadaan dan peran tuo banda dalam mengelola irigasi di �ngkat
desa diakui oleh pemerintah jajahan. Meskipun tugas tuo banda �dak dituangkan dalam suatu ketentuan tertulis namun
tugas-tugas yang dilakukan mencakup perbaikan jaringan yang rusak, pengaturan air, pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang
terkait dengan penggunaan air.
e. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
Cikal bakal berdirinya P3A diyakini bermula dari berdirinya Lembaga dengan nama Persatuan Air Surakarta (PAS) di Sragen, Jawa Tengah tahun 1950. Lembaga ini kemudian menyebar ke beberapa daerah dengan nama Dharma Tirta. Berdirinya PAS �dak terlepas dari kondisi prasarana irigasi ke�ka itu yang mengalami kerusakan parah sehingga ketersediaan air kurang terjamin dan sering terjadi pencurian air. Keadaan ini sering mengakibatkan perselisihan di antara petani. Kondisi ini yang menyebabkan beberapa pengurus desa membentuk PAS dengan susunan organisasi dan ketentuan yang jelas termasuk sanksi yang diberlakukan. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1967 PAS telah berhasil memperbaiki hampir seluruh jaringan irigasi. Tahun 1968 PAS diubah oleh Gubernur Jawa Tengah menjadi Dharma Tirta. P3A seper� Dharma Tirta terus bermunculan dan berkembang pada beberapa daerah dengan menunjukan kinerja yang baik.
dalam mengoperasikan dan membagi air sehingga jumlah Subak semakin lama semakin berkurang. Sejalan dengan
fenomena tersebut, juga terjadi peningkatan penyadapan air pada satu sungai oleh beberapa Subak. Hal ini mendorong
campur tangan pemerintah untuk mengatur alokasi air melalui berbagai cara agar air yang terbatas dapat dibagi secara adil
dan merata.
b. Ulu-Ulu Desa
Nama Lembaga ulu-ulu desa ini berasal dari nama jabatan seorang pamong desa yang diserahi tugas mengurus masalah
pengairan di desa yang bersangkutan termasuk mengatur pembagian air ke sawah petani, mengorganisir gotong royong
memelihara saluran dan bangunan pengairan, serta melakukan komunikasi dan melaporkan kepada Kepala Desa dan
petugas pengairan.
Ulu-ulu desa ini terdapat hampir di seluruh pulau Jawa meskipun dengan nama yang berbeda-beda, kecuali di daerah irigasi
Pemali Comal dengan sis�m ulu-ulu pembagiannya. Kadangkala dijumpai beberapa variasi tata cara kerja ulu-ulu desa.
Terdapat kesamaan bahwa ulu-ulu desa dipilih oleh rakyat di desa yang bersangkutan sebagai pengejawantahan otonomi
desa dan wilayah kerjanya mengiku� batas wilayah administrasi desa.
Gambar 1. Pemilihan Ulu Ulu (sumber : h�ps://jagalempeni.desa.id/)
c. Raksabumi
Pada masa lalu di beberapa wilayah Jawa Barat seper�: Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Majalengka dikenal adanya
pamong desa yang disebut raksabumi. Raksabumi adalah pamong desa yang mempunyai tugas menangani segala sesuatu
yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, termasuk irigasi. Diperkirakan raksabumi telah muncul sebelum penjajahan
Belanda seper� yang terjadi pada ulu-ulu desa di daerah lain. Raksabumi merupakan perangkat desa sehingga pada
umumnya mereka mendapatkan tanah bengkok di tambah kesempatan menyewa tanah desa seluas setengah hektar. Oleh
karena keterbatasan lahan yang tersedia, beberapa di antara mereka �dak mendapatkan tanah bengkok tetapi memperoleh
upah.
Di dalam mengurus masalah pengairan, raksabumi ke�ka itu umumnya mempunyai hubungan yang erat dengan juru
pengairan dan para raksabumi dari desa di sekitarnya, terutama desa-desa yang menggunakan air dari sumber-sumber air
yang sama. Pada masa krisis air, raksabumi harus mampu membagi air secara adil dan merata serta mengamankan
penyalurannya. Seringkali raksabumi harus mencari sumber-sumber air alterna�f seper� sungai atau saluran pembuang
yang mungkin disadap untuk menambah debit air bagi kepen�ngan warganya.
d. Tuo Banda atau Datuak Ampek
Wilayah Sumatera Barat sebagian besar merupakan daerah pegunungan. Oleh karena itu, persawahan yang dibangun
pemerintah maupun masyarakat pada umumnya kecil-kecil. Tradisi membangun daerah irigasi sudah lama dimiliki oleh
masyarakat di daerah tersebut.
Bagi masyarakat Minang, khususnya para tetua nagari-sekarang desa-dan para petaninya, sosok tuo banda sebagai pengelola
air irigasi di daerah perdesaan sudah �dak asing lagi. Menurut mereka, untuk mengelola saluran, para pemuka adat dan
penghulu menunjuk seseorang yang dipercaya sebagai tuo (kepala). Orang tersebut diberi kepercayaan untuk mengatur air di
daerah persawahan, serta menyelesaikan seluruh permasalahan yang �mbul akibat air. Dia inilah yang akhirnya disebut
sebagai tuo banda, yang akhirnya menjadi lembaga tradisional pengelola irigasi di Sumatera Barat. Lembaga sejenis terdapat
pula di Sumatera Utara dengan nama raja bondar.
Lembaga ini telah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda. Pada waktu itu tradisi dan adat is�adat masih dijalankan dengan
ketat oleh ninik-mamak dan penghulu di se�ap nagari. Keberadaan dan peran tuo banda dalam mengelola irigasi di �ngkat
desa diakui oleh pemerintah jajahan. Meskipun tugas tuo banda �dak dituangkan dalam suatu ketentuan tertulis namun
tugas-tugas yang dilakukan mencakup perbaikan jaringan yang rusak, pengaturan air, pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang
terkait dengan penggunaan air.
e. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
Cikal bakal berdirinya P3A diyakini bermula dari berdirinya Lembaga dengan nama Persatuan Air Surakarta (PAS) di Sragen, Jawa Tengah tahun 1950. Lembaga ini kemudian menyebar ke beberapa daerah dengan nama Dharma Tirta. Berdirinya PAS �dak terlepas dari kondisi prasarana irigasi ke�ka itu yang mengalami kerusakan parah sehingga ketersediaan air kurang terjamin dan sering terjadi pencurian air. Keadaan ini sering mengakibatkan perselisihan di antara petani. Kondisi ini yang menyebabkan beberapa pengurus desa membentuk PAS dengan susunan organisasi dan ketentuan yang jelas termasuk sanksi yang diberlakukan. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1967 PAS telah berhasil memperbaiki hampir seluruh jaringan irigasi. Tahun 1968 PAS diubah oleh Gubernur Jawa Tengah menjadi Dharma Tirta. P3A seper� Dharma Tirta terus bermunculan dan berkembang pada beberapa daerah dengan menunjukan kinerja yang baik.
Gambar 2. Info P3A
Keberadaan kelembagaan lokal seper�: subak, ulu-ulu desa, raksabumi, tuwo banda, raja bondar semakin mantap dengan keluarnya PP No. 23 Tahun 1982 tentang irigasi yang disusul dengan diterbitkannya Inpres No. 2 Tahun 1984 tanggal 26 Januari 1984 serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1992 yang semuanya mengatur mengenai pembinaan dan pembentukan P3A. Dengan ditetapkannya PP No. 77 Tahun 2001, keberadaan kelembagaan pengelola irigasi seper� subak menjadi lebih diakui karena peraturan tersebut menyatakan secara tegas bahwa perkumpulan petani pemakai air yang dikenal luas dengan P3A hanya merupakan sebutan umum untuk organisasi/lembaga pengelola irigasi termasuk juga subak. Peraturan tersebut bahkan menegaskan bahwa perkumpulan merupakan wadah bagi petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani secara demokra�s, termasuk kelembagaan lokal pengelola irigasi.
(Sumber: Handbook Air dalam Pertanian Indonesia)
Info Agroklimat dan Hidrologi memuat informasi aktual dan inovasi teknologi
hasil-hasil penelitian bidang agroklimat, hidrologi, dan pengelolaan air
Balai Penelitian Agroklimat dan hidrologi
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Alamat Penyunting :
Jl. Tentara Pelajar No. 1 , Bogor 16111
Telp : 0251-8312760
Email : [email protected]
http://balitklimat.litbang.pertanian.go.id
Penanggung Jawab : Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
Redaktur : Anggri Hervani, Yayan Apriyana, Nani Heryani
Penyunting : Yulius Argo Baroto, Husna Alfiani
Redaktur Pelaksana : Eko Prasetyo dan Hari Kurniawan
Yulius Argo Baroto