Upload
nursepuspita
View
59
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
GAGAL GINJAL
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep CKD (Chronic Kidney Disease)
2.1.1. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik adalah suatu
proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Gagal ginjal kronis (chronic kidney disease [CKD]) merupakan
Penyakit ginjal kronis yang tidak dapat dikembalikan atau dipulihkan karena
terjadi penurunan yang progresif dan irevesibel dimana tubuh gagal untuk
mempertahankan fungsi ginjal untuk metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)
didalam darah (Muttaqin, Sari , 2011 ; Black dan Hawks, 2014 ).
2.1.2. Etiologi
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal
ginjal ginjal kronis. The National Kidney Foundation (NKF) kidney Disease
Outcome Quality Initiative (K/DOQI) menjelaskan CKD sebagai kerusakan
ginjal dengan kadar filtrasi glomerulus (GFR) < 60 ml/menit/1,73 m2 selama
14
15
lebih dari 3 bulan. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan
CKD bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan di luar ginjal.
2.1.2.1. Klasifikasi penyebab penyakit ginjal Kronik :
1. Derajat (stage) yaitu berdasarkan GFR menurut National
Kidney Disease (NKF)
Tabel 2.1Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan National Kidney Disease
(NKF)
Stadium Deskripsi Istilah Lain yang
Digunakan
GFR (ml/menit/1,73m2)
1. Kerusakan ginjal dengan tingkat filtrasi glomerulus (GFR) normal
Berada pada resiko
>90
2. Keruskan ginjal dengan penurunan GFR ringan
Kelainan ginjal kronis (chronic
renal insufficiency-
CRI)
60-89
3. Penurunan GFR sedang CRI,gagal ginjal kronis (chronic renal failure-
CRF)
30-59
4. Penurunan GFR parah CFR 15-295. Gagal ginjal penyakit ginjal
stadium akhir (End-stage renal disease-ESRD)
<15
Sumber : Black dan Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah ; manajemen klinis untuk hasil yang diharapkan. Edisi 8. St Louis Missouri : Elsevier Saunders
16
2. Penyebab CKD yang menjalani hemodialisa di Indonesia
menurut PERNEFRI
Tabel 2.2Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan diagnosa etiologi /
komorbid di Indonesia tahun 2011
Penyebab Insiden
Penyakit Ginjal Hipertensi 34 %Nefropati Diabetika 27 %Glomerulopati Primer (GNC) 14 %Nefrologi Obstruksi 8 %Pielonefritis Chronic (PNC) 6 %Nefropati Asam Urat 2 %Ginjal Polikistik 1 %Nefropati Lupus 1 %Tidak Diketahui 1 %
Sumber : 4th Report Of Indonesian Renal Registry. 2011
2.1.3. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis CKD stadium 5 muncul diseluruh tubuh,diantaranya yaitu :
1. Gangguan pada sistem Gastrointestinal
1) Anoreksia, nausea dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan
metbolisme protein didalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat
metabolisme bakteri usus seperti ammonia dan metal guanidine,
serta sembabnya mukosa usus.
2) Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri di mulut menjadi amonia sehingga napas
berbau amonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan
parotitis.
17
3) Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui.
4) Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik.
2. Sistem Integumen
1) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan
akibat penimbunan urokrom, gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat
toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
2) Ekimosis akibat gangguan hematologis.
3) Urea frost, akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat,
(jarang dijumpai)
4) Bekas-bekas garukan karena gatal.
3. Hematologi
1) Anemia dapat disebabkan berbagai faktor antara lain:
Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan
eritropoesis pada sumsum tulang menurun.
Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik.
Defisisensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan
yang berkurang.
Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit.
Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatirodisme sekunder.
18
2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia Mengakibatkan
perdarahan
3) Gangguan fungsi leukosit.
Fagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit menurun
sehingga imunitas juga menurun.
4. Sistem saraf dan otot
1) Restless leg syndrome
Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan.
2) Burning feat syndrome
Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama di telapak kaki.
3) Ensefalopati metabolik
Klien tampak lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor,
asteriksis, mioklonus, kejang.
4) Miopati
Tampak mengalami kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama
ekstremitas proksimal.
5. Sistem kardiovaskular
1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron.
19
2) Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi perikardial,
penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan
gagal jantung akibat penimbunan cairan hipertensi.
3) Gangguan irama jantung akibat elektrolit dan klasifikasi metafisik.
4) Edema akibat penimbunan cairan.
6. Sistem endokrin
1) Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin
2) Gangguan metabolisme lemak
3) Gangguan metabolisme vitamin D
4) Gangguan seksual
7. Gangguan sistem lainnya
1) Tulang : osteodistrofi renal,yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa,
osteoklerosis, dan klasifikasi metastatik.
2) Asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai
hasil metabolisme.
3) Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia
2.1.4. Patofisiologi
Patogenesis CKD melibatkan deteriorasi dan kerusakan nefron dengan
kehilangan bertahap fungsi ginjal. Oleh karena GFR total menurun dan klirens
menurun, maka kadar serum ureum nitrogen dan kreatinin meningkat.
20
Menyisakan nefron hipertrofi yang berfungsi karena harus menyaring larutan
yang lebih besar. Konsekuensinya adalah ginjal kehilangan kemampuannya
untuk mengonsentrasikan urine dengan memadai. Untuk terus mengekresikan
larutan, sejumlah besar urine encer dapat keluar, yang membuat klien rentan
terhadap deplesi cairan. Tubulus perlahan-lahan kehilangan kemampuannya
untuk menyerap kembali elektrolit. Kadang kala, akibatnya adalah
pengeluaran garam, dimana urine berisi sejumlah besar natrium, yang
mengakibatkan poliuri berlebih.
Oleh karena gagal ginjal berkembang dan jumlah nefron yang berfungsi
menurun, GFR total menurun lebih jauh. Dengan demikian tubuh menjadi
tidak mampu membebaskan diri dari kelebihan air, garam, dan produksi sisa
lainnya melalui ginjal. Ketika GFR kurang dari 10 sampai 20 ml/menit, efek
toksisn uremia pada tubuh menjadi bukti. Jika penyakit ini tidak diobati
dengan dialisis atau transplantasi hasil ESRD adalah uremia dan kematian.
2.1.5. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya
batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk
keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
2. Intarvena pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan
ureter. Pemeriksaan ini mempunyai risiko penurunan faal ginjal pada
21
keadaan tertentu, misalnya usia lanjut, diabetes melitus, dan nefropati
asam urat.
3. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih dan prostat.
4. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskular, parenkim,ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
5. EKG untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
2.1.6. Penatalaksaan Medis
Tujuan penatalaksaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit
dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut :
a) Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Dialisis
memperbaiki abnormalitas biokimia menyebabkan cairan, protein dan
natrium dapat dikonsumsi secara bebas menghilangkan kecenderungan
perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
b) Koreksi Hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemia
dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus
22
diingat adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan
pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosa dengan EEG
dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah
dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat dan
pemberian infus glukosa.
c) Koreksi Anemia
Usaha pertama harus ditunjukan untuk mengatasi faktor defisiensi,
kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi.
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan
Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat.
d) Koreksi Asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari.
Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada
permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-
perlahan, jika diperlukan dapat diulang. Hemodialisis dan dialisis
peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
e) Pengendalian Hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan vasodilator dilakukan.
Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-
hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
23
f) Transplantasi Ginjal
Dengan pencangkokkan ginjal yang sehat ke pasien CKD, maka
seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.
2.2. Konsep Hemodialisis
2.2.1. Definisi Hemodialisis
Hemodialisis berasal dari kata hemo=darah, dan dialisis=pemisahan atau
filtrasi. Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui
dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali
lagi kedalam tubuh pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah
pasien, suatu mekanisme untuk membawa darah pasien ke dan dari dializer
(tempat pertukaran cairan, elektrolit, dan zat tubuh), serta dializer (Mary, dkk,
2009).
Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut
ataupun secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut.
Terapi ini dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi
dengan membran penyaring semipermiabel (ginjal buatan). Hemodialisis
dapat dilakukan pada saat toksin pada saat toksin atau zat racun harus segera
dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen atau menyebabkan
kematian. Tujuan dari hemodialisis adalah untuk memindahkan produk-
24
produk limbah yang terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikelurkan
kedalam mesin dialisis (Muttaqin dan Sari, 2011).
2.2.2. Prinsip Kerja Hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke suatu tabung
ginjal buatan (dializer) yang terdiri dari dua kompartemen terpisah. Darah
pasien dipompa dan di alirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh
selaput semipermiabel buatan (artifisial) dengan kompartmen (artifisial)
dengan kompartmen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi
larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisat dan darah yang
terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi yaang tinggi kearah
konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama dikedua
kompartmen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari
kompartmen darah ke kompartmen cairan dialisat dengan cara menaikan
tekanan hidrostatik negatif pada kompartmen dialisat. Perpindahan ini disebut
ultrafiltrasi (Sudoyo, 2009).
Difusi merupakan proses perpindahan molekul dari larutan dengan
konsentrasi tinggi ke daerah dengan larutan berkonsentrasi rendah sampai
tercapai kondisi seimbang. Proses terjadinya difusi dipengaruhi oleh suhu,
visikositas dan ukuran dari molekul. Saat darah dipompa melalui dialyser
maka membran akan mengeluarkan tekanan positifnya, sehingga tekanan
25
diruangan yang berlawanan dengan membran menjadi rendah. Hal ini
mengakibatkan cairan dan larutan dengan ukuran kecil bergerak dari daerah
yang bertekanan tinggi menuju daerah yang bertekanan rendah (tekanan
hidrostatik). Karena adanya tekanan hidrostatik tersebut maka cairan dapat
bergerak menuju membran semipermeabel. Proses ini disebut dengan
ultrafiltrasi.
2.2.3. Penatalaksanaan Pasien Yang Menjalani Hemodialisa
1. Diet dan masalah cairan
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani
hemodialisis mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak
tidak mampu mengeksresikan produk akhir metabolisme, substansi yang
bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai
racun atau toksin. Gejala uremik tersebut akan mengganggu setiap sistem
tubuh. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah
nitrogen dengan demikian meminimalkan gejala.
Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makan pasien
akan diperbaiki meskipun biasanya memerlukan penyesuaian atau
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium, dan cairan.
Dalam Atmatsier (2006) syarat pemberian diet pada CKD adalah
sebagai berikut:
26
1) Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB.
2) Protein rendah, yaitu 0,6-0,75 gr/kg BB. Sebagian harus bernilai
biologik tinggi.
3) Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan total energi. Diutamakan
lemak tidak jenuh ganda.
4) Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi yang
berasal dari protein dan lemak.
5) Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites, oliguria, atau
anuria, natrium yang diberikan antara 1-3 gram.
6) Kalium dibatasi (60-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah
> 5,5 mEq), oliguria, atau anuria.
7) Cairan dibatasi yaitu sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan melalui keringan dan pernafasan (kurang lebih
500ml).
8) Vitamin cukup, bila perlu berikan vitamin piridoksin, asam folat,
vitamin C dan D.
Pasien hemodialisis harus mendapatkan asupan makanan yang cukup agar
tetap sehat dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang
penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisa. Adapun asupan
diet yang dianjurkan adalah:
27
1) Asupan protein diharapkan 1-1,2 g/kgBB/hari dengan 50% terdiri
atas protein dengan nilai biologis tinggi.
2) kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat
diperlukan. Karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-
buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan konsumsi.
3) Asupan natrium dibatasi 40-120 meq/hari guna mengendalikan
tekanan dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa
haus yang selanjutnya akan mendorong pasien untuk minum. Bila
asupan cairan berlebihan maka selama periode diantara dialisis
akan terjadi kenaikan berat badan yang besar.
2. Pertimbangan Medikasi
Apabila seorang pasien menjalani dialisis, semua jenis obat dan
dosisnya harus di evaluasi dengan cermat. Terapi antihipertensi, yang
sering merupakan bagian dari susunan terapi dialisis, merupakan salah
satu contoh dimana komunikasi, pendidikan dan evaluasi dapat
memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus mengetahui kapan harus
minum obat dan kapan menundanya.
28
2.3. Konsep Kepatuhan
2.3.1. Kepatuhan Pasien CKD dengan Hemodialisis
Kepatuhan merupakan suatu permasalahan bagi semua disiplin
perawatan kesehatan. Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan
sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan,
mengikuti diet, dan atau melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi
pemberi pelayanan kesehatan (WHO, 2003 dalam Syamsiah, 2011).
Kepatuhan pasien terhadap rekomendasi dan perawatan dari pemberi
pelayanan kesehatan adalah penting untuk kesuksesan suatu intervensi. akan
tetapi, ketidakpatuhan menjadi masalah yang besar terutama pada pasien yang
menjalani hemodialisis, sehingga berdampak pada berbagai aspek perawatan
pasien, termasuk konsistensi kunjungan, regimen pengobatan serta
pembatasan makanan dan cairan (Syamsiah, 2011).
Menurut Eraker (1984) dan Levanthal dan Cameron (1987) dalam
(Nurse of educator; Susan B.Bactable, 2002) kepatuhan pasien program
kesehatan dapat ditinjau dari berbagai segi perspektif teoritis yaitu biomedis
yang mencakup demografi pasien, keseriusan penyakit dan kompleksitas
program pengobatan. Teori perilaku atau pembelajaran sosial yang
menggunakan pendekatan perilaku pasien dalam petunjuk, kontrak dan
dukungan sosial karena perputaran umpan balik komunikasi dalam hal
mengirim, menerima, memahami, menyimpan dan penerimaan. Kepatuhan
29
merupakan suatu permasalahan bagi semua disiplin perawatan kesehatan
(Bactable, 2002 dalam Nurjanah, 2013).
2.3.2. Perilaku Kepatuhan Menurut Teori Green
Kepatuhan merupakan suatu perilaku dalam bentuk respon atau reaksi
terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme. Dalam
memberikan respon sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-
faktor lain. Green (1980, dalam Notoatmojo, 2010) menjabarkan bahwa
perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi, faktor
pemungkin, dan faktor penguat. Ketika faktor tersebut akan diuraikan
sebagai berikut:
a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors)
Faktor predisposisi merupakan faktor anteseden terhadap
perilaku yang menjadi dasar atau motivasi perilaku. Faktor
predisposisi dalam arti umum juga dapat dimaksud sebagai
prefelensi pribadi yang dibawa seseorang atau kelompok kedalam
suatu pengalaman belajar. Prefelensi ini mungkin mendukung atau
menghambat perilaku sehat. Faktor predisposisi melingkupi sikap,
keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi yang berhubungan dengan
motivasi individu atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan.
Selain itu status sosial-ekonomi, umur, dan jenis kelamin juga
30
merupakan faktor predisposisi. Demikian juga tingkat pendidikan dan
tingkat pengetahuan, termasuk kedalam faktor ini.
b. Faktor Pemungkin (enabling factors)
Faktor ini merupakan faktor antedesenden terhadap perilaku
yang memungkinkan motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk
didalamnya adalah kemampuan dan sumber daya yang dibutuhkan
untuk melakukan suatu perilaku. Faktor-faktor pemungkin ini
melingkupi pelayanan kesehatan (termasuk didalamnya biaya, jarak,
ketersediaan transportasi, waktu pelayanan dan keterampilan petugas).
c. Faktor-faktor Penguat (Reinforcing factors)
Faktor penguat merupakan faktor yang datang sesudah
perilaku dalam memberikan ganjaran atau hukuman atas perilaku dan
berperan dalam menetapkan dan atau lenyapnya perilaku tersebut.
Termasuk dalam faktor ini adalah manfaat sosial dan manfaat
fisik serta ganjaran nyata atau tidak nyata yang pernah diterima
oleh pihak lain. Sumber dari faktor penguat dapat berasal dari tenaga
kesehatan, kawan, keluarga, atau pimpinan. Faktor penguat bisa positif
dan negatif tergantung pada sikap dan perilaku orang lain yang
berkaitan
31
2.3.3 Kepatuhan Hemodialisis dalam Model Kamerrer
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien hemodialisis
digambarkan dalam sebuah interaksi kompleks (Kamerrer, 2007) dengan
model interaksi pada gambar berikut.
Patient Provider
Health Care
System
Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhaan Hemodialisis
Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien hemodialisis
menurut Kamerer adalah :
a. Faktor Pasien
Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien meliputi sumber daya,
pengetahuan, sikap, keyakinan, persepsi dan harapan pasien. Faktor-faktor
ini sama dengan faktor predisposisi (Predisposing faktors) dari Green.
Pengetahuan pasien dan keyakinan tentang penyakit, motivasi untuk
mengelolanya, kepercayaan (self effecacy) tentang kemampuan untuk
32
terlibat dalam perilaku manajemen penyakit, dan harapan mengenai hasil
pengobatan serta konsekuensinya dari ketidakpatuhan berinteraksi untuk
mempengaruhi kepatuhan dengan cara yang sepenuhnya dipahami
(Sabate, 2001 dalam Syamsiah, 2011).
b. Sistem Pelayanan Kesehatan
Komunikasi dengan pasien adalah komponen penting dari perawatan,
sehingga pemberi pelayanan kesehatan harus mempunyai waktu yang
cukup untuk berbagi dengan pasien dalam diskusi tentang perilaku mereka
dan motivasi untuk perawatan diri. Perilaku pada penelitian pendidikan
menunjukan kepatuhan terbaik mengenai pasien yang menerima perhatian
individu. Pada model perilaku Green, faktor-faktor ini sama dengan
faktor-faktor pemungkin (enabling faktors).
c. Petugas Hemodialisis
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan adalah
hubungan yang dijalin oleh anggota staf hemodialisis dengan pasien
(Krueger dkk, 2005 dalam Syamsiah, 2011). Waktu yang didedikasikan
perawat untuk konseling pasien meningkatkan kepatuhan pasien. Selain
itu, kehadiran ahli diet terlatih (terintegrasi) tampaknya juga menurunkan
kemungkinan kelebihan IDWG. Pada model perilaku Green faktor-faktor
tersebut sama dengan faktor-faktor penguat (reinforcing factors).
33
2.3.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien hemodialisa
Berdasarkan uraian diatas, Beberapa faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan pasien Gagal Ginjal Kronik dengan hemodialisis menggunakan
model perilaku Greeen (1980 dalam Notoatmodjo, 2007) dan model
kepatuhan Kamerrer, 2007 akan diuraikan sebagiannya yaitu :
1. Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku
seseorang, sedangkan dalam kepatuhan usia termasuk dalam salah satu
komponen dari faktor pasien yang mampu mempengaruhi kepatuhan
seseorang. Menurut Hurlock (1998) semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan
bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa
lebih dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya.
Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati
(Depkes RI,2009). Dalam hal ini Depkes membagi kategori usia sebagai
berikut :
1) Masa Balita : 0 - 5 tahun
2) Masa Kanak-kanak : 5 - 11 tahun
3) Masa Remaja Awal : 12 – 16 tahun
4) Masa Remaja Akhir : 17 – 25 tahun
34
5) Masa Dewasa Awal : 26 - 35 tahun
6) Masa Dewasa Akhir : 36 – 45 tahun
7) Masa Lansia Awal : 46 – 55 tahun
8) Masa Lansia Akhir : 56 – 65 tahun
9) Masa Manula : 65 – sampai atas
Usia berkaitan erat dengan kedewasaan atau maturitas, yang berarti
bahwa semakin meningkatnya umur seseorang akan semakin meningkat pula
kedewasaan atau kematangan baik secara teknis, maupun psikologis, serta
akan semakin mampu melaksanakan tugasnya. Usia yang semakin meningkat
akan meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan,
berfikir rasional, mengendalikan emosi, toleran dan semakin terbuka terhadap
pandangan orang lain termasuk pula keputusannya untuk mengikuti program-
program terapi yang berdampak pada kesehatannya (Rohman, 2007).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin berkaitan dengan peran kehidupan dan perilaku yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Berbeda dalam
berespon, bertindak dan bekerja didalam situasi yang mempengaruhi
setiap segi kehidupan. Berdasarkan penelitian Geledis, dkk (2014)
didapatkan bahwa jenis kelamin laki-laki merupakan jumlah tertinggi
responden penyakit gagal ginjal kronik yang dirawat yaitu 34 orang
(65,4%). Hasil penelitian lain yang dilakukan Desitasari (2014) didapat
35
jenis kelamin laki-laki lebih banyak dengan jumlah 22 orang (61,1%) dan
perempuan 14 orang (38,9%).
Dalam menjaga kesehatan biasanya perempuan yang lebih menjaga
kesehatan dibandingkan dengan laki-laki, pola makan yang tidak teratur
dan sebagian besar laki-laki suka mengkonsumsi minuman beralkohol
serta pada laki-laki juga memiliki kadar kreatinin yang lebih tinggi dari
pada perempuan.
3. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi untuk mengemban
pengetahuan dan kualitas pribadi seseorang, dimana semakin tinggi
tingkat pendidikan semakin besar kemampuannya untuk memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilannya (Rohman, 2007). Pendiidkan dibagi
menjadi dua, yaitu pendidikan informal dan formal. Pendidikan informal
ialah pendidikan yang diperoleh seseorang dirumah. Pendidikan formal
ialah pendidikan yang mempunyai bentuk organisasi tertentu, seperti yang
diketahui bahwa di Indonesia pendidikan formal adalah tingkat Sekolah
Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA) dan tingkat akademik Perguruan Tinggi (PT).
Tingkat pendidikan sangat menentukan daya nalar seseorang yang lebih
baik, sehingga memungkinkan menyerap informasi-informasi juga dapat
36
berfikir secara rasional dalam menanggapi informasi atas setiap masalah
yang dihadapi (Azwar, 2007).
Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur yang sering dilihat
hubungannya dengan angka kesakitan dan kematian, karena hal tersebut
dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan
kesehatan (Notoadmodjo, 1997). Pendidikan merupakan suatu hal yang
penting, semakin tinggi pendidikan seseorang diharapkan mampu
membuat seseorang untuk selalu melaksanakan sesuatu yang sifatnya
penting untuk dirinya sendiri maupun orang lain (Herma, 2010).
4. Lama HD
Periode sakit dapat mempengaruhi kepatuhan. Beberapa penyakit
yang tergolong penyakit kronik, banyak mengalami masalah kepatuhan.
Pengaruh sakit yang lama, belum lagi perubahan pola hidup yang
kompleks serta komplikasi-komplikasi yang sering muncul sebagai
dampak sakit yang lama mempengaruhi bukan hanya pada fisik pasien,
namun lebih jauh emosional, psikologis dan social pasien.
Individu dengan hemodialisis jangka panjang sering merasa
khawatir akan kondisi sakitnya dan gangguan dalam kehidupannya.
Gaya hidup terencana dalam jangka waktu lama, yang berhubungan
dengan terapi hemodialisis sering menghilangkan semngat hidup klien
sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan (Brunner & Suddart, 2002 ).
37
Pada pasien hemodialisis didapatkan hasil riset yang memperlihatkan
perbedaan kepatuhan pada pasien hemodialisis. Semakin lama sakit
yang diderita maka resiko terjadi penurunan tingkat kepatuhan semakin
tinggi (Kamerrer, 2007).
5. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting, Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu
tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng
daripada yang tidak didasari pengetahuan (Notoadmodjo, 2003).
Menurut Kamaludin, dkk (2007) Pada penderita yang memiliki
pengetahuan lebih luas memungkinkan pasien itu dapat mengontrol
dirinya dalam mengatasi masalah yang dihadapi, mempunyai rasa percaya
diri yang tinggi, berpengalaman dan mempunyai perkiraan yang tepat
bagaimana mengatasi kejadian serta mudah mengerti tentang apa yang
dianjurkan oleh petugas kesehatan, akan dapat mengurangi kecemasan
sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat keputusan.
6. Motivasi
Motivasi seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau
tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat.
Jadi motivasi merupakan suatu driving force yang menggerakkan
38
manusia untuk bertingkahlaku. Motivasi adalah suatu proses dalam diri
manusia yang menyebabkan seseorang bergerak menuju tujuan yang
dimiliki atau bergerak menjauh dari situasi yang tidak menyenangkan
(Wade dan Travis, 2008). Menurut Kamerrer, 2007 motivasi yang kuat
memiliki hubungan yang kuat dengan kepatuhan. Sikap prilaku dalam
kesehatan individu juga dipengaruhi oleh motivasi diri individu untuk
berprilaku yang sehat dan menjaga kesehatan. Tanpa motivasi dalam
menjalani terapi hemodialisis akan mengalami ketidakpatuhan pasien
dalam pengaturan cairan, nutrisi dan konsumsi obat. Kepatuhan pasien
CKD dalam menjalani terapi hemdodialisis merupakan hal yang
terpenting dalam menjaga kondisi kesehatannya selama menjalani cuci
darah atau hemodialisis.
7. Keterlibatan Tenaga Kesehatan (perawat)
Perawat merupakan salah satu petugas kesehatan yang berinteraksi
paling lama dengan pasien hemodialisis, mulai dari persiapan, Pre
Hemodialisis, Intra Hemodialisis sampai post dialysis. Riset
membuktikan bahwa keberadaan tenaga-tenaga perawat yang terlatih
dan professional dan kualitas interaksi perawat dengan pasien memiliki
hubungan yang bermakna dengan tingkat kepatuhan pasien hemodialisis.
39
8. Dukungan Keluarga
Keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya.
Anggota keluarga juga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika
diperlukan. Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap penderita yang sakit. Dukungan keluarga merupakan
suatu bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan individu dari orang lain
melalui hubungan interpersonal yang meliputi dukungan infomasional,
emosional, instrumental dan penilaian.
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dan
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu dan dapat juga
menentukan tentang program pengobatan yang diterima. Menurut Niven
(2002) menyatakan bahwa dukungan keluarga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan. Keluarga dapat membantu
menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan keluarga seringkali dapat
menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan. Dukungan
yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah
akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi
akan lebih berhasil menghadapi masalahnya dibandingkan dengan yang
tidak memiliki dukungan (Handayani, 2014).
40
2.4 Kerangka Konsep
Dari teori yang telah dijelaskan sebelumnya, adapun gambar kerangka
teorinya sebagai berikut :
Bagan 2.1 Kerangka Konsep
3.
4.
Konsep CKD (chronic kidney disease)
1. Definisi2. Etiologi3. Manifestasi klinis4. Patofisiologi5. Pemeriksaan penunjang6. Penatalaksanaan medis
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan :
Usia Jenis Kelamin Pendidikan Lamanya HD Pengetahuan Motivasi Keterlibatan
tenaga kesehatan
Dukungan Keluarga
(Syamsiah, 2011 ; Mia,dkk, 2012)
Kepatuhan pasien CKD yang menjalani terapi
hemodialis
(Rini,dkk, 2012 ; Syamsiah, 2011 )
Konsep Hemodialisis
1. Definisi HD2. Prinsip kerja HD3. Penatalaksanaan HD
CKD (chronic kidney Disease)
(Black dan Hawks, 2014)
Konsep Kepatuhan
1. Menurut Teori Green (1980 dalam Notoadmodjo 2010)
2. Menurut Teori Kamerrer (2007)