Upload
novi-pipin-sadikin
View
816
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kerentanan dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Global pada area Pemukiman dan Pesisir
Citation preview
Perubahan Lingkungan Global
di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Indonesia
CITRA PERSADA PIPIN NOVIATI SADIKIN
1/6/2012
DAFTAR ISI Bab I.......................................................................................................................................................................................... 2
Pendahuluan..........................................................................................................................................................................2
Bab II......................................................................................................................................................................................... 3
Tinjauan Konseptual..........................................................................................................................................................3
A. Pengertian Umum Pulau Kecil dan Wilayah Pesisir..............................................................................3
B. Perubahan Iklim dan Pemanasan Global...................................................................................................4
Bab III....................................................................................................................................................................................... 7
Dampak dan Resiko Bencana Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil..............7
A. Dampak dan Resiko Bencana Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil 7
B. Kerentanan di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil....................................................................11
Bab IV..................................................................................................................................................................................... 15
Strategi dan Langkah-langkah Adaptasi Terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil..........15
A. Strategi Adaptasi Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil...............................................................17
B. Langkah-Langkah Adaptasi di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.......................................17
B1. Konsep Penataan Ruang Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil…………………………..17
B2. Adaptasi Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil…………………………………………………20
Bab V...................................................................................................................................................................................... 23
Kebijakan dan Kelembagaan Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir dan Pulau Kecil.........................23
A. Respon pemerintah terhadap Perubahan Iklim Secara Umum.....................................................23
B. Kebijakan Program Adaptasi Perubahan Iklim Untuk Kawasan Pesisir dan Pulau pulau Kecil................................................................................................................................................................................... 24
C. Kerjasama Tingkat Regional dan Internasional........................................................................................27
C. 1. Kelembagaan...................................................................................................................................................27
C.2 Forum Internasional......................................................................................................................................27
Bab VI..................................................................................................................................................................................... 28
Kasus Studi………………………………………………………………………………………………………………………….28
Bab VII………………………………………………………………………………………………………………………………...33
Penutup................................................................................................................................................................................. 33
Daftar Pustaka....................................................................................................................................................................35
pg. 1
BAB IPENDAHULUAN
Perubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global, yang disebabkan
oleh kenaikan gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) dan metana
(CH4), meng- akibatkan dua hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer paling
bawah, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. Sebagai
negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap kenaikan muka laut. Telah
dilakukan proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia, hingga tahun
2100, diperkirakan adanya kenaikan muka laut hingga 1.1 m yang yang
berdampak pada hilangnya daerah pantai dan pulau-pulau kecil seluas 90.260
km2 (Boer, et al., 2009).
Pemanasan global juga diperkirakan akan meningkatkan intensitas dan
frekuensi kejadian iklim ekstrim seperti kemarau panjang dan hujan ekstrim
tinggi yang dapat menimbulkan masalah banjir (Boer et al., 2007). Terkait
dengan hal tersebut, dimana perubahan iklim dan degradasi lingkungan serta
dampaknya bukan merupakan suatu isu lagi bahkan di masa yang akan datang
eskalasinya akan berjalan lebih cepat, sehingga akan berdampak buruk pada
semua sector, seperti: permukiman dan prsarana (Boer, et al., 2009).
Indonesia adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki
17.504 pulau besar dan kecil, dan sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni,
yang menyebar disekitar khatulistiwa yang memberikan cuaca tropis. Cuaca
tropis Indonesia ini terkait dengan posisinya yang terletak pada koordinat 6° LU -
11° LS dan 95° BT - 141° BT, serta terletak di antara dua benua yaitu benua Asia
dan benua Australia/Oseania. Selain itu, wilayah Indonesia terbentang sepanjang
3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia
adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km². Indonesia terdiri dari
5 pulau besar, yaitu: Jawa dengan luas 132.107 km², Sumatera dengan luas
473.606 km², Kalimantan dengan luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas
189.216 km², dan Papua dengan luas 421.981 km². Pulau terpadat penduduknya
adalah pulau Jawa, dimana setengah populasi Indonesia bermukim. (Wikipedia,
free encyclopaedia).
Menurut uraian di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk mengulas
pengaruh perubahan iklim global terhadap pemukiman dan infrastruktur di
pg. 2
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, serta bagaimana dampak
dan penanggulangannya yang berupa upaya adaptasi.
pg. 3
BAB IITINJAUAN KONSEPTUAL
A. PENGERTIAN UMUM PULAU KECIL DAN WILAYAH PESISIR
Pulau-pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu
luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Definisi pulau-pulau kecil
yang dianut secara nasional sesuai dengan Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan
No. 41/2000 dan Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 adalah pulau
yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 , dengan jumlah
penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa.
Di samping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau
kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island),
memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga
bersifat insular; mempunyai sejumlah besar flora fauna jenis endemik serta
keanekaragaman hayati yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu
mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air (catchment area)
relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk
ke laut; serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil
bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.
(http://www.bappenas.go.id/node/108/972/ kebijakan-dan-strategi-nasional-
pengelolaan-pulau-pulau-kecil/)
Berdasarkan tipenya, pulau-pulau kecil dibedakan menjadi pulau benua,
pulau vulkanik dan pulau karang. Masing-masing tipe pulau tersebut memiliki
kondisi lingkungan biofisik yang khas, yang perlu menjadi pertimbangan dalam
kajian-kajian dan penentuan pengelolaannya agar berkelanjutan. Hal ini akan
berpengaruh pula terhadap pola permukiman yang berkembang di pulau-pulau
kecil berdasarkan aktivitas yang sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik
tersebut. Misalnya tipologi pulau kecil lebih dominan ke arah pengembangan
budidaya perikanan, maka kemungkinan besar pola permukiman yang
berkembang adalah masyarakat nelayan.
http://www.bappenas.go.id/node/108/972/ kebijakan-dan-strategi-nasional-
pengelolaan-pulau-pulau-kecil/)
pg. 4
Pulau kecil juga memiliki karakteristik yang unik dari aspek sosial, budaya,
ekonomi dan keanekaragaman hayati. Namun di sisi lain memiliki banyak
keterbatasan terhadap sumberdaya alam, sensitive atau rentan terhadap
terjadinya kerusakan lingkungan, juga rentan terhadap bencana alam, serta
memiliki toleransi yang kecil terhadap pemulihan perubahan. Gambaran lain
tentang pulau kecil adalah pesatnya pertumbuhan penduduk, sementara
sumberdaya dan aktivitas ekonomi terbatas, sehingga rentan terhadap konflik.
Area yang dimiliki pulau kecil sangat terbatas untuk mewadahi pesatnya
pertumbuhan populasi, sementara dinamika hubungan antar komponen relatif
lebih besar, memiliki jarak relative lebih pendek antara daratan dan lautan, serta
labil terhadap aktivitas geologi, seperti gunung berapi, gempa dan gelombang
laut. (Markum, Sutedjo, & Hakim, 2004)
Secara konseptual wilayah pesisir meliputi wilayah daratan dan perairan.
Wilayah daratan yang termasuk wilayah pesisir adalah daratan yang secara
langsung masih dipengaruhi oleh iklim dan kehidupan laut. Sedangkan pesisir
perairan adalah wilayah perairan pantai yang secara langsung masih mendapat
pengaruh dari wilayah daratan. Secara operasional, wilayah pesisir daratan
adalah desa pesisir, sedangkan pesisir perairan adalah jangkauan 4 s/d 12 mil
laut. Sebagai catatan penting, bahwa dalam kajian wilayah pesisir, kajian bisa
saja meliputi wilayah atas (misalnya DAS) sampai ke perairan laut lepas.
Pesatnya pertumbuhan kota-kota di pesisir Indonesia selain memberikan
dampak positif bagi masyarakat juga berpotensi meningkatkan resiko bencana.
Karena tingginya harga lahan banyak masyarakat khususnya masyarakat kelas
bawah yang terpaksa tinggal di kawasan-kawasan rawan bencana. Misalnya
tinggal di area berbahaya seperti bantaran sungai atau di bibir pantai tanpa
pelayanan dasar yang memadai. Selain itu, ekspansi lahan atau konversi lahan
yang memanfaatkan lahan-lahan di sepanjang pantai yang seharusnya
merupakan kawasan lindung setempat juga memperparah kerusakan lingkungan
kota dan pemukiman di kawasan pesisir dan pulau-pulau. Tidak sedikit alih
fungsi hutan bakau yang bisa berfungsi sebagai pemecah gelombang banjir dan
tsunami, menjadi kawasan pemukiman dan perdagangan mewah kemudian
berdampak pada munculnya banjir dan genangan air di kawasan-kawasan
sekitarnya.Pola pemukiman penduduk di kota-kota kawasan pesisir di Indonesia
pun cenderung berada di garis pantai atau di sempadan pantai. Hal ini tidak
terlepas dari mata pencaharian sebagian besar penduduk sebagai nelayan.
Kehidupan mereka sangat bergantung pada sumberdaya laut baik secara
pg. 5
langsung maupun tidak langsung. Pemukiman yang mereka tinggali tentunya
rawan terhadap terjangan gelombang pasang, bahkan tsunami. (Buchori, 2009).
B. PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM
Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah
mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat
dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya
gas-gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh industri-industri. Gas-gas
rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek pemantulan dan penyerapan
terhadap gelombang panjang yang bersifat panas (inframerah) yang diemisikan
oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi. Pengamatan temperatur
global sejak abad 19 menunjukkan adanya perubahan rata-rata temperatur yang
menjadi indikator adanya perubahan iklim. Perubahan temperatur global ini
ditunjukkan dengan naiknya rata-rata temperatur hingga 0.74oC antara tahun
1906 hingga tahun 2005. Temperatur rata-rata global ini diproyeksikan akan
terus meningkat sekitar 1.8o-4.0oC di abad sekarang ini, dan bahkan menurut
kajian lain dalam IPCC diproyeksikan berkisar antara 1.1-6.4oC. (Susandi,
Herlianti, Tamamadin, & Nurlela, 2008).
Perubahan iklim atau Climate Change berupa meningkatnya kejadian iklim
ekstrim, berubahnya pola hujan, berubahnya awal musim dan lainnya di
berbagai belahan dunia. Perubahan iklim ini merupakan implikasi dari
pemanasan global atau Global Warming yang berupa meningkatnya suhu rata-
rata atmosfer bumi sebagai akibat dari meningkatnya laju emisi gas rumah kaca
(GRK) ke atmosfer. Meningkatnya laju emisi GRK ke atmosfer merupakan akibat
dari meningkatnya aktivitas manusia, terutama yang berhubungan dengan
penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta kegiatan lain
yang berhubungan dengan hutan, pertanian, dan peternakan. Aktivitas manusia
tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan perubahan
komposisi alami atmosfer, yaitu peningkatan jumlah gas rumah kaca secara
global. (Boer, et al., 2009)
Kenaikan permukaan air laut juga berdampak kepada bumi (geosfer)
karena air pasang laut bisa menggenangi daratan dan pada akhirnya
menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi umat manusia. Seperti halnya
“daratan” pada Kutub Utara dan Selatan yang berkurang luasnya akibat
pg. 6
pencairan es dari pemanasan global, maka daratan sesungguhnya yang terletak
di daerah pantai juga akan berkurang karena kenaikan permukaan air laut.
Kenaikan permukaan air laut juga menimbulkan ancaman bagi geosfer antara
lain hilangnya beberapa daratan pulau di daerah Samudera Pasifik. Bahkan telah
muncul ancaman tenggelamnya suatu Negara, yaitu Tuvalu yang merupakan
pulau-pulau kecil di Samudera Pasifik.(Wardhana, 2010)
Pemanasan global disamping menimbulkan perubahan iklim juga
mengakibatkan kenaikan permukaan air laut. Penyebab utama kenaikan
permukaan air laut adalah efek rumah kaca yang menyebabkan glasier dan
lapisan es di Antartika meleleh dan ekspansi termal lapisan permukaan laut. Ini
ditandai dengan indikasi kenaikan suhu sebesar 0,5⁰ Celsius dan suhu
permukaan laut sebesar 0,06⁰Celcius (IPCC, 1996). IPCC memperkirakan akan
terjadi kenaikan permukaan air laut berkisar antara 0,09 meter sampai 0,88
meter bergantung kepada derajat pemanasan global yang akan terjadi.
(Numbery, 2009)
Dalam (Boer, et al., 2009) dikatakan bahwa fenomena perubahan iklim
saat ini telah menjadi suatu keniscayaan yang perlu diantisipasi dan dimitigasi
oleh seluruh pihak. Dari jumlah total emisi global, 83% (delapan puluh tiga
persen)-nya (sebagai salah satu penyebab terjadinya fenomena perubahan iklim)
yang dihasilkan Indonesia berasal dari perubahan tata guna lahan dan
kehutanan, khususnya emisi dari kebakaran gambut (The World Bank, 2007).
Secara global, bahkan diindikasikan bahwa posisi Indonesia berada pada tiga
besar Negara atau wilayah penghasil emisi dunia, bila emisi dari tata guna lahan,
perubahan guna lahan, dan kehutanan (LULUCF) juga masuk dalam perhitungan
dengan total emisi lebih dari 3.068 Mt CO2e (million tons of CO3 equivalent)
setiap tahun (World Resources Institute’s CAIT diakses pada bulan Maret 2007).
Kecenderungan kenaikan muka air laut disajikan pada Table berikut.
Tabel 1.1 Kecenderungan Kenaikan Muka Air LautSkenario Optimis Skenario
PesimisKenaikan Suhu Global sampai tahun 2030
0.5⁰C 1.5⁰C
Kenaikan Muka Air Laut sampai tahun 2030
5 cm 15 cm
Kenaikan Suhu Global sampai tahun 2100
1.5⁰C 4.5⁰C
Kenaikan Muka Air Laut sampai tahun 2100
45 cm 100 cm
pg. 7
Sumber: IPCC tahun 1990
pg. 8
BAB IIIDAMPAK, RESIKO BENCANA & KERENTANAN KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL INDONESIA
A. DAMPAK DAN RESIKO BENCANA
Menurut (Numbery, 2009), meskipun pemanasan global juga
menyebabkan kenaikan permukaan air laut, akan tetapi ada juga penyebab lain
yaitu faktor regional berupa aktivitas tektonik dalam suatu wilayah atau area,
dan juga factor lokal berupa proses subsidensi sebagai akibat perubahan massa
tanah dan perubahan fluida bawah tanah, misalnya oleh pengambilan air tanah
yang berlebihan. Secara umum dampak kenaikan permukaan air laut
terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:
1. Pantai di Wilayah Pesisir Tersingkap (Exposure of Coastal Areas)
2. Erosi Pantai
3. Banjir dan Instrusi Air Laut
4. Rusaknya Infrastruktur di Wilayah Pesisir
5. Rusaknya Terumbu Karang dan Matinya Biota Laut
6. Lenyapnya Pulau-pulau kecil
Menurut Numberi (2009), ancaman atau resiko yang terutama
terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:
konversi lahan, degradasi lingkungan, kekurangan air bersih, modifikasi
sungai, spesies Invasif, penangkapan Ikan berlebih, perubahan Iklim
regional/lokal, penipisan ozon, dan polusi.
Menurut Tompkins (2004), beberapa bagian dunia merupakan daerah
yang mengalami variabilitas antar tahun dan cuaca musiman. Variabilitas ini
mengakibatkan banjir, kekeringan, gelombang panas, serangan dingin dan
peristiwa alam lainnya yang berdampak kepada kesehatan, pemukiman dan
harta benda, serta kesejahteraan. Perubahan cuaca diduga membawa
peningkatan variabilitas antar tahun dan cuaca musiman, juga secara perlahan-
lahan menyebabkan perubahan rata-rata seperti tingkat air laut, suhu udara dan
tingkat pengendapan; meningkatnya frekuensi kejadian ekstrem; dan mungkin
pg. 9
perubahan system yang mendadak. Nicholls et al. (1999) mengestimasi bahwa
ketika terjadi kenaikan tingkat muka air laut setinggi 38 cm air laut dari tahun
1990 sampai 2080, jumlah orang yang cenderung akan kena banjir oleh badai
gelombang dalam satu tahun tertentu akan meningkat lima kali lipat (hal. S69),
dan orang-orang tersebut berada di daerah dataran rendah yang paling rentan.
Lebih lanjut Nicholls menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di zona pesisir
diduga memperburuk masalah ini (Nicholls, 2002).
Di daerah pulau-pulau yang sering terkena badai, Knutson dan Tuleya
(2004) melaporkan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan badai yang lebih
intens, dan akan berdampak terhadap pulau-pulau yang paling sering terkena
aktivitas badai. Meskipun kemungkinannya rendah, manifestasi dampak
perubahan iklim yang tinggi bisa terjadi tiba-tiba atau perubahan iklim yang
cepat bisa membawa dampak yang tak terduga lebih jauh lagi, termasuk
terjadinya pendinginan global. (sebagai contoh, Alley et al, 2003;. Hulme, 2003)
(Tompkins, 2004).
Menurut WWF Indonesia, secara umum dampak perubahan iklim yang
sudah terpantau dan diperkirakan akan terjadi di Indonesia diantaranya adalah
meningkatnya tingkat kekeringan, banjir, kebakaran, pemutihan karang, naiknya
muka air laut secara perlahan, dan meningkatnya cuaca ekstrim, termasuk badai
yang dapat merusak sistem alami dan buatan di wilayah tersebut. Meningkatnya
curah hujan selama musim hujan dapat mengakibatkan banjir bandang yang
dapat menyapu populasi masyarakat dan merusak rumah, gedung, dan
infrstruktur. Perubahan iklim akan secara mendasar berdampak terhadap
keanekaragamanhayati, sumber air, dan perekonomian dari sebuah negara,
yang pada gilirannya akan berdampak terhadap ratusan masyarakat yang
bergantung terhadap sumber daya barang dan jasa untuk mata pencahariannya.
Dampak dari perubahan iklim juga akan menambah tekanan terhadap hutan
Indonesia, ekosistem pesisir dan laut yang saat ini sudah mengalami tekanan
oleh pembalakan liar dan merusak, penangkapan ikan yang berlebihan serta
eksplotasisumber daya alam yang berlebihan (wwf_id_adaptasilombok_id.pdf)
Secara lebih rinci dampak dan resiko perubahan iklim terhadap kawasan
di pesisir dapat dilihat pada Tabel 3.1.
pg. 10
pg. 11
Tabel 3.1
Kemungkinan dampak perubahan iklim ekstrem yang terkait dengan perkotaan/permukiman di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
Proyeksi perubahan dalam fenomena iklim ekstrem dan
kemungkinannya
Akibat-akibat dari perubahan iklim
Siang dan malam yang hangat dengan sedikit hari yang dingin, lebih sering malam dan siang yang panas
(lebih mungkin terjadi)
- Efek pemanasan pulau- Kebutuhan suhu dingin yang meningkat- Kualitas udara kota/permukiman yang menurun- Pengaruh terhadap pariwisata musim dingin- Permintaan energi untuk pemanasan yang
berkurang- Gangguan transportasi karena ada banjir,
tanah longsor, dllMusim panas/gelombang panas. Frekuensi meningkat hampir di seluruh area
(sangat mungkin terjadi)
- Permintaan air meningkat- Masalah kualitas air- Kematian akibat panas yang meningkat,
khususnya kaum manula, penyakit kronis, kaum muda dan kaum yang terisolasi sosial.
- Pengurangan kualitas hidup penduduk di daerah panas tanpa biaya perumahan yang memadai.
Hujan Deras. Frekuensi meningkat hampir di seluruh area
(kemungkinan terjadi)
- Pengaruh yang merugikan pada kualitas air tanah dan air permuklaan.
- Pencemaran pasokan air- Resiko kematian luka, serta infeksi penyakit
pernafasan dan penyakit kulit yang meningkat.- Gangguan pada tempat tinggal, perniagaan,
transportasi, dan masyarakat karena adanya banjir,
- Perpindahan penduduk secara besar-besaran- Tekanan pada infrastruktur perkotaan dan
pedesaan- Kehilangan harta benda- Kebutuhan air berkurang (keuntungan jangka
pendek)Intensitas aktivitas badai tropis siklon meningkat
(kemungkinan terjadi)
- Aliran listrik terputus- Migrasi menuju daerah perkotaan lebih tinggi- Gangguan terhadap pasokan air untuk umum- Resiko kematian, luka, penyakit yang
disebabkan krisis pangan dan air, penyakit stress pasca trauma
- Gangguan karena banjir dan angin kencang- Potensi terjadi perpindahan penduduk (migrasi)- Kehilangan harta benda
Meningkatnya kejadian naiknya permukaan air laut (tidak termasuk tsunami)
(kemungkinan terjadi)
- Ketersediaan air tawar kerena intrusi air asin (laut) yang berkurang
- Resiko kematian yang meningkat dan luka akibat tenggelam dalam banjir dan pengaruh kesehatan yang terkait migrasi
- Kehilangan harta benda dan mata pencaharian- Erosi permanen dan terendamnya lahan- Biaya perlindungan pesisir vs biaya relokasi
lahan darat- Potensi perpindahan populasi dan infrastruktur
pg. 12
Sumber: Penyesuaian dari IPCC, Synthesis Report Summary for Policy Makers (IPCC: Cambridge University Press, 2007).
Berdasarkan beberapa penelitian, sebagian besar pantai utara Pulau Jawa
berada dalam resiko terkena dampak kenaikan permukaan air laut. Jakarta dan
Semarang contohnya. Dari hasil proyeksi model, dapat dikatakan bahwa Jakarta
Utara dalam waktu sepuluh tahun ke depan akan tenggelam, begitu pula
Semarang. Hal ini tentu akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
masyarakat, terutama daerah pesisir. Masalah lain yang akan timbul dan saat ini
juga sudah mulai terasa di Jakarta adalah intrusi air laut yang menyebabkan
langkanya ketersediaan air bersih. Lebih rinci dalam Tabel 3.2 berikut ini adalah
resiko bencana akibat perubahan iklim di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tabel 3.2
Resiko Bencana Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil
SEKTOR DAMPAK RESIKO BENCANAPermukiman Banjir karena kenaikan
muka air laut, dan kekeringan
Kematian, terluka, sakit, kehilangan mata pencaharian, kerusakan pada bangunan dan prasarana permukiman dan barang milik masyarakat
Transportasi Banjir, tanah longsor, pohon tumbang, mengganggu sistem transportasi
Kemacetan, Kerusakan failitas transportasi
Sanitasi Lingkungan Saluran air kotor dan air hujan tidak mampu menampung penambahan jumlah air yang ekstrem
Kerusakan saluran air
Ketersediaan Air dan Pengairan
Kendala supply air minum, krn air berkurang,peningkatan suhu,penurunan kualitas air, karena intrusi air laut
Tidak tersedia air bersih atau sulit memperoleh air bersih
Pariwisata dan Rekreasi
Banjir, suhu tidak menentu, kunjungan wisata menurun
Kerusakan pada fasilitas rekreasi
Fasilitas Umum (kesehatan, pendidikan dll)
Failitas rusak, Fasilitas rusak,
Pertanian Salinisasi lahan sawah di wilayah pantai; Peningkatan serangan hama dan penyakit
Pengairan rusak
Perikanan Perubahan areal tangkapan di laut
Tangkapan berkurang atau tidak ada
Ekosistem darat/pesisir pantai
Peningkatan salinitas di lahan pertanianKepunahan
Hasil panen gagal atau berkurangBeberapa jenis tanaman rusak
pg. 13
keanekaragaman hayati dan matiEkosistem pantai Perusakan terumbu karang
Limbah beracunRusaknya hutan mangrove/bakau
Pemutihan KarangMangrove berkurang atau hilangnya hutan mangrove
Ekosistem sungai Perubahan ekosistem di muara sungai
Peran muara sungai tempat berkembang biak ikan tertentu jadi menurun
Sumber : Prasad, N. et all, 2010.
B. KERENTANAN
Dalam Tompkins (2004) dikatakan bahwa dampak perubahan iklim yang
terjadi pada pulau-pulau kecil bisa berupa meningkatnya tingkat erosi pantai,
hilangnya tanah dan properti atau pemukiman, meningkatnya orang-orang yang
mengalami cedera atau terserang penyakit, meningkatnya resiko badai,
berkurangnya ketahanan ekosistem pesisir, tercemarnya sumber daya air tawar
akibat intrusi air asin, dan biaya yang tinggi untuk merespon dan beradaptasi
terhadap perubahan ini (Nurse etal, 2001.). Pulau dengan persediaan air yang
sangat terbatas akan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim yaitu
pada keseimbangan ketersediaan air. Terbatasnya tanah subur, unsur hara dan
garam tanah membuat pertanian di negara-negara berpulau kecil, yang sangat
baik untuk produksi pangan domestik dan tanaman keras untuk kepentingan
ekspor, sangat rentan terhadap perubahan iklim. Pariwisata, sebagai salah satu
sumber pendapatan dan devisa yang penting untuk banyak pulau, juga bisa
menghadapi gangguan parah dari perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut
(IPCC), 2001, hal 17). Singkatnya, ketidakpastian risiko cuaca cenderung
meningkat. Jika rata-rata intensitas badai utama cenderung meningkat, seperti
yang dilaporkan oleh Knutson dan Tuleya (2004), maka kemungkinan pulau-
pulau tersebut mengalami musim dengan intensitas badai yang lebih banyak
dan kehancurannya seperti di Musim Badai Atlantik bagian Utara tahun 2004
yang membawa empat badai besar (Charley, Frances, Ivan dan Jeanne), juga
cenderung meningkat.
Bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim berdampak di daratan
dan merusak bagian pesisir dari sebagian besar pulau-pulau ini. Kurangnya lahan
untuk memasok kebutuhan dasar mereka membuat mereka yang ada di pulau-
pulau kecil ini bergantung kepada impor barang-barang dari pulau-pulau yang
pg. 14
lebih besar. Dengan demikian, kenaikan permukaan laut dan kejadian cuaca
ekstrim yang dipicu oleh perubahan iklim akan meningkatkan kerentanan
mereka. (wwf_id_adaptasilombok_id.pdf)
Secara garis besar, kerentanan dapat dilihat dari 5 tipe yaitu kerentanan
sosial, kelembagaan, sistem, ekonomi, dan lingkungan. ACCCRN (2011)
melakukan pendekatan kajian kerentanan dalam 3 aspek yaitu: 1) kerentanan
klimatologi, 2) kerentanan dan kapasitas adaptasi berbasis komunitas dan 3)
kajian kerentanan dan kapasitas adapatsi pemerintahan dan institusi. Davidson
dalam Suganda, 2000, menjelaskan bahwa kerentanan terbagi 3 sub faktor
yaitu:
1. Kerentanan fisik binaan/infrastruktur menggambarkan perkiraan tingkat
kerusakan terhadap fisik bangunan bila ada faktor bahaya alam tertentu.
Indikator dari kerentanan fisik adalah kepadatan bangunan.
2. Kerentanan sosial dan kependudukan menunjukkan perkiraan tingkat
kerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk apabila terjadi bahaya
alam. Indikator dari kerentanan sosial dan kependudukan adalah kepadatan
penduduk.
3. Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya
kegiatan ekonomi (proses-proses ekonomi) apabila terjadi bahaya alam.
Kerentanan terhadap bencana akibat iklim terus meningkat tidak hanya
dari banjir karena curah hujan yang tinggi dan gelombang badai, tanah longsor,
kekeringan, instrusi air laut, dan angin topan, tetapi juga disebabkan oleh
gempa bumi dan potensi bahaya serupa, khususnya pada tempat dengan
infrastruktur yang pengelolaan dan kualitasnya buruk, rendahnya kualitas
bangunan, dan rendahnya ketahanan masyarakat yang juga turut berpengaruh.
Contohnya, dari 10 kota terpadat di dunia, Tokyo/Yokohama, Seoul/Inchen,
Osaka/Kobe/Kyoto, Metro Manila, dan Jakarta yang seluruhnya berlokasi di Asia
Timur, mempunyai potensi bahaya gempa dari tingkat sedang sampai tinggi.
Kemiripan kota-kota tersebut adalah sebagaian besar terletak di daerah pesisir
dan mudah tertimpa serangan gelombang badai dan tsunami.
Kawasan pesisir yang padat dengan permukiman atau perkotaan pesisir
maupun pulau-pulau kecil perlu mengembangkan kerangka perencanaan
ketahanan kota yang terintegrasi dengan perubahan ikllim. Pengembangan
rencana tersebut dapat dilihat pada kerangka pikir ketahanan iklim
permukiman/perkotaan pada Gambar 2.
pg. 15
Bagian atas kerangka menunjukkan hubungan antara sistem perkotaan/
permukiman, agen internal dan perubahan iklim yang mengakibatkan
kerentanan. Perubahan iklim sebagai masalah global dan penyebab utama
adaptasi (mengapa), tetapi kerentanan juga ditentukan oleh faktor-faktor yang
berdampak terhadap iklim. Kerentanan merupakan konsekuensi dari rapuhnya
sistem perkotaan, kapasitas agen internal dan kemiskinan, marginalisasi sosial
dan faktor lainnya yang berdampak terhadap perubahan iklim.
Gambar 2: Kerangka Perencanaan Ketahanan Kawasan Permukiman Terintegrasi dengan Perubahan Iklim
Siklus (proses yang berjalan terus tanpa henti) menunjukkan hubungan
yang menggabungkan investigasi, pengumpulan data dan analisis yang
digunakan untuk mendiagnosa kompleksitas sistem perkotaan (apa /dimana),
banyaknya agen (siapa) dan bagaimana keduanya dipengaruhi oleh perubahan
iklim (mengapa) serta apa yang menentukan atau membatasi kemampuannya
pg. 16
untuk bertindak. Kerangka tersebut merupakan dasar analitis untuk memahami
kerentanan terhadap perubahan iklim yang ditunjukkan pada bagian bawah
kerangka yaitu identifikasi dan pelaksanaan tindakan yang bertujuan untuk
membangun ketahanan.
Bagian bawah kerangka pikir menunjukkan bahwa kegiatan individu untuk
membangun ketahanan perlu diidentifikasi untuk menentukan strategi untuk
kerentanan terhadap perubahan iklim yang diidentifikasi pada proses bagian
atas. Kegiatan khusus, misalnya, fokus pada peningkatan kapasitas agen,
mengurangi kerapuhan dari sistem perkotaan, atau perubahan cara dimana
agen dan sistem berinteraksi sehingga dapat mengurangi paparan terhadap
dampak perubahan iklim. Program aksi mungkin melibatkan agen untuk
meningkatkan sistem atau mengurangi tekanan. Pada tingkat praktis
pendekatan tersebut digunakan dalam konteks perubahan iklim yang
memungkinkan perencana atau pihak eksternal lain untuk:
1. Mengidentifikasi siapa (agen mana) atau apa (sistem apa) yang akan
dipengaruhi oleh aspek perubahan iklim
2. Mengidentifikasi sumber-sumber spesifik dari kerentanan dan kapasitas
spesifik yang terkait dengan kelompok agen tertentu dan sitem khusus dalam
kaitannya dengan proses perubahan tertentu
3. Mengidentifikasi siapa (agen mana) yang melakukan apa (sistem apa) untuk
mengatasi dampak perubahan iklim
4. Melibatkan peran pihak eksternal untuk memberikan tanggapan, bekerja
dengan dan melalui agen (internal), dan mempengaruhi dimana investasi
dalam perubahan sistem perkotaan yang diperlukan. Pihak eksternal
tersebut meliputi pemerintah, lembaga donor internasional atau departemen
perencanaan kota/wilayah pesisir.
Secara keseluruhan kerangka menunjukkan bahwa membangun
ketahanan terhadap perubahan iklim perkotaan/pemukiman tidak dapat dicapai
melalui aktivitas 'satu waktu' atau proyek 'satu kali'. Integrasi pertimbangan
perubahan iklim dan berbagai intervensi pada skala yang berbeda dan di
berbagai sektor dibutuhkan dari waktu ke waktu. Demikian juga, proses adaptif
untuk membangun pemahaman, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
diperlukan yang dapat menggabungkan informasi baru, respon terhadap kondisi
yang berubah dan membangun pengalaman intervensi sebelumnya.
Pertimbangan perubahan iklim harus dimasukkan ke dalam semua mandat,
pg. 17
program dan intervensi yang relevan, seharusnya tidak diperlakukan terpisah
dan intervensi seharusnya dirancang secara murni untuk tujuan adaptasi
perubahan iklim. Pilihan terbaik adaptasi perubahan iklim memiliki manfaat saat
ini serta di masa depan.
pg. 18
BAB IV
STRATEGI DAN LANGKAH-LANGKAH ADAPTASI TERHADAP KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa
sebagian besar kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil rentan terhadap
perubahan iklim dan masyarakatnya memiliki ketahanan yang rendah
dikarenakan kurangnya sumber daya. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
dihuni oleh penduduk yang umumnya miskin (petani, nelayan dan buruh).
Permasalahan yang paling mendesak adalah kurangnya pasokan air untuk
kebutuhan domestik, pertanian, dan industri pariwisata.
Dalam (Tompkins, 2004) dikatakan bahwa adanya keterkaitan yang erat
antara pertumbuhan ekonomi dan kesehatan ekosistem di pulau-pulau kecil,
artinya bahwa tingginya tingkat ketidakpastian tentang arah gelombang dan
tingkat permukaan air laut, tingkat pengendapan, dan kerawanan badai bisa
menyebabkan konsekuensi yang signifikan bagi perekonomian dan lingkungan
(Pelling dan Uitto, 2001). Di pulau-pulau tertentu yang sudah menjalankan
batasan-batasan keberlanjutan karena ukurannya pulau yang kecil dan
keterpencilannya ada justifikasi atau pembenaran yang jelas untuk mulai
berpikir tentang tanggapan yang adaptif terhadap perubahan iklim (Changnon
et al, 2000.; Barnett, 2001).
Adaptasi didefinisikan oleh IPCC sebagai bentuk penyesuaian dalam
sistem alam atau manusia sebagai respon terhadap rangsangan iklim aktual
atau yang akan terjadi atau efeknya untuk mengurangi bahayanya atau
mengeksploitasi kemungkinan manfaatnya. Adaptasi dapat mengurangi biaya
perubahan iklim dengan cara mengurangi kerusakan karena kejadian perubahan iklim
meskipun tidak mempengaruhi peningkatan suhu global. Program adaptasi dapat membuat
masyarakat semakin berketahanan terhadap bencana-bencana lain.
A. STRATEGI ADAPTASI
pg. 19
Strategi adaptasi untuk pulau-pulau kecil menurut Tompkins (2005) ada 8, dapat
dilihat pada bagan atau Gambar 3.
pg. 20
Kedelapan strategi tersebut adalah : 1) tanggung jawab untuk pembangunan, 2)
perencanaan pengelolaan resiko, 3) keterkaitan dengan proses perencanaan
yang lain, 4) pendidikan dan komunikasi, 5) informasi dan pengetahuan yang
baik, 6) adaptasi keuangan, 7) dukungan jaringan, dan 8) peraturan serta
penegakan hukum. Setidaknya ada 12 strategi adaptasi terhadap perubahan
iklim yang sudah dilakukan (June, 2010), jika dikelompokkan adalah sebagai
berikut:
1. Perencanaan (proses perencanaan adaptasi)
2. Pemberdayaan sosial dan ekonomi (pendidikan, gender dan pendapatan)
3. Kebijakan dan Kelembagaan
4. Perubahan perilaku : merubah cara pengelolaan lingkungan dan merubah
cara bertani.
5. Peningkatan kesadaran
6. Teknologi (irigasi, komunikasi, dll)
7. Perbaikan infrastruktur (jalan, tanggul, sistem irigasi dll)
8. Peringatan dini dan monitoring
pg. 21
9. Lain-lain (mekanisme asuransi, pemberantasan penyakit, dll)
B. LANGKAH-LANGKAH ADAPTASI
B1. KONSEP PENATAAN RUANG KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Tindakan adaptasi yang direkomendasikan oleh UNFCCC untuk kawasan
pesisir dan laut adalah yang berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah bidang
biofisik dan prasarana, terutama kebijakan pemerintah daerah dimana kawasan
tersebut berada, tindakan tersebut yaitu :
1. Proteksi terhadap prasarana yang bersifat ekonomi (jalan, pelabuhan,
jembatan, dan lain-lain)
2. Manajemen terpadu kawasan pesisir
3. Kampanye publik untuk meningkatkan perlindungan terhadap ekosistem
pesisir dan bahari
4. Perencanaan dan zonasi yang lebih baik untuk kawasan pesisir
5. Membangun penahan gelombang dan pengaman pantai
6. Pembuatan undang-undang untuk perlindungan kawasan pesisir.
7. Perlindungan dan konservasi terumbu karang, bakau, rumput laut dan
tanaman sepanjang pantai.
8. Penelitian dan monitoring ekosistem pantai dan pesisir.
Sedangkan Bilsma dkk (1996), mengidentifikasi tiga hal teknis yang
mungkin dilakukan dalam kerangka adaptasi pada wilayah pantai yaitu:
1. Perlindungan, yang bertujuan untuk melindungi daerah daerah pantai dari
laut, sehingga tata guna lahan yang sudah ada dapat dipertahankan,
antara lain dengan membangun konstruksi pelindung pantai seperti:
tembok laut (see wall) atau dengan cara suplai pasir pada pantai (beach
nourishment).
2. Penyesuaian, yang berarti bahwa masyarakat tetap melangsungkan
kehidupannya di wilayah tersebut akan tetapi masyarakat disarankan
untuk membuat beberapa penyesuaian seperti: meninggikan elevasi
rumah (semacam rumah panggung), melakukan penanaman tanaman
yang lebih tahan terhadap banjir dan air laut.
3. Mundur, yaitu meninggalkan daerah pantai. Dalam hal ini tidak ada usaha
yang perlu dilakukan untuk melindungi kawasan pantai dari lautan.
pg. 22
Morfologi dan tipe pantai, merupakan faktor fisik geomorfologis yang
mempunyai pengaruh terhadap tingkat kerawanan bahaya terhadap bencana
yang berupa limpasan gelombang ke daratan pesisir. Secara ekstrim morfologi
pantai dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk pantai, yaitu pantai terjal
terbuka atau tertutup dan pantai datar/landai terbuka dan tertutup.
Prinsip Dasar Zonasi Pesisir dan Buffer Zone:
1. Kenali bentuk dan tipe pantai di wilayah pesisir
2. Kenali kawasan pesisir rawan limpasan gelombang tsunami
3. Identifikasi kebutuhan kawasan konservasi dan perlindungan bahaya
4. Kenali karakter/fungsi sarana dan prasarana wilayah yang ditempatkan
pada zona rawan bahaya
5. Kenali karakter sosio-budaya, sosio-ekonomi masyarakat wilayah pesisir
6. Kembangkan konsep penataan ruang dengan keindahan, keselamatan dan
keberaturan
Arahan Zonasi Pesisir dan Buffer Zone, serta pola pemanfaatannya adalah sbb:
Pada Zona Bahaya Sangat Tinggi, diperuntukan bagi kegiatan yang
berkaitan secara langsung dengan Sumberdaya kelautan dan perikanan,
seperti pemukiman nelayan, prasarana dan sarana pendukung kelautan
dan perikanan, vegetasi yang merupakan komponen ekosistem
pesisir/buffer zone. Pola pemanfaatannya:
- Buffer Zone: Terumbu karang, yang mencapai beberapa kilometer,
sebagai penahan ombak dan gelombang sehingga dapat melindungi
wilayah pantai dari berbagai bencana.
- Buffer Zone: Hutan Bakau, banyak ditemui di pantai, teluk yang
dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung, berfungsi
sebagai pelindung pantai atau peredam gelombang.
Pada Zona Bahaya Menengah – Rendah, diperuntukan bagi kegiatan yang
berkaitan bagi kombinasi kegiatan yang berkaitan dengan pemukiman,
prasarana social ekonomi, industry pengolahan hasil perikanan dan
pertanian/perkebunan. Pola pemanfaatannya: perumahan, fasilitas local
lingkungan, fasilitas perekonomian lingkungan, terminal angkutan darat
pedesaan, utilitas pendukung lingkungan. Kesemuanya selain perumahan,
bisa berupa: sekolah, pelayanan kesehatan, tempat hiburan, rekreasi
alami, peribadatan, dan olah raga. Sedangkan fasilitas perekonomian
pg. 23
lingkungan bisa berupa: warung, toko, pasar ikan, pasar sayuran, dan
buah-buahan.
Pada Zona Aman, diperuntukan bagi pengembangan pusat-pusat wilayah
perkotaan/pedesaan. Pola pemanfaatannya: Perumahan masyarakat
umum, Fasilitas pemerintahan, pendidikan menengah s/d tinggi, rumah
sakit, perkantoran pemerintah local dan pusat, museum budaya dan
pengetahuan, fasilitas perdagangan dan jasa local/regional, perindustrian,
pergudangan, terminal angkutan darat antar kota antar provinsi.
Langkah-langkah adaptasi untuk mengurangi resiko bencana akibat
perubahan iklim di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah:
1. Perumusan masalah dan penetapan sektor-sektor yang kemungkinan
terkena dampak perubahan iklim di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Langkah ini adalah langkah awal, dapat dilakukan dengan cara curah
pendapat, konsultasi publik dan diskusi kelompok terarah dengan
melibatkan partisipasi aktif masyarakat luas.
2. Identifikasi bahaya iklim. Langkah ini mengidentifikasi potensi bahaya
iklim di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu kenaikan temperatur,
perubahan pola hujan, kenaikan frekuensi dan intensitas kejadian iklim
ekstrim dan kenaikan muka laut.
3. Identifikasi kerentanan dari sector utama yang terkena dampak, dengan
cara mengenali berbagai komponen kerentanan, yaitu paparan,
sensitivitas, dan kapasitas adaptasi. Tiga pertimbangan penting di sini
adalah (1) implikasi lebih lanjut dari bahaya yang telah diidentifikasi (2)
alat analisis yang digunakan (3) ketersediaan data.
4. Analisis dan evaluasi resiko. Resiko dianalisis berdasarkan rumusan resiko,
bahaya dan kerentanan. Masing-masing diberi bobot untuk mengetahui
resiko dari bencana yang sewaktu-waktu muncul. Hasil pembobotan dan
analisis terhadap resiko kemudian dievaluasi.
5. Penemuan strategi adaptasi yang memadai berdasarkan resiko yang
diperoleh. Langkah ini untuk merumuskan strategi dalam rangka
merespon potensi dampak perubahan iklim dan bahaya yang
ditimbulkannya.
6. Pengarusutamaan (mainstreaming) dalam kebijakan pembangunan yang
menyeluruh, tidak hanya di sektor kelautan atau pesisir. Sasarannya agar
pertimbangan berdasarkan apa yang terbaik yang diketahui dari hasil-
pg. 24
hasil kajian tentang perubahan iklim ini dapat diintegrasikan ke dalam
kebijakan pembangunan pemerintah. Targetnya adalah membuat
perencanaan pembangunan menjadi “tangguh terhadap iklim”. Dampak
perubahan iklim terhadap ekonomi dan pembangunan manusia di
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil harus dievaluasi secara seksama
dan dipetakan. Apalagi sebagian besar masyarakat yang hidup di kawasan
ini adalah nelayan dan masyarakat miskin. Kemudian strategi adaptasi
harus diintegrasikan ke dalam berbagai rencana dan anggaran, baik pada
tingkat pusat maupun daerah. Upaya-upaya pengentasan kemiskinan
harus ditingkatkan di bidang-bidang yang khususnya rentan terhadap
perubahan iklim dan dibutuhkan berbagai investasi tambahan untuk
menggiatkan pengurangan resiko bencana. Semua upaya ini juga harus
dipadukan ke dalam berbagai upaya di tingkat masyarakat dan rumah
tangga.
Mengingat kompleksitas wilayah pesisir, maka upaya adaptasi harus
dilakukan dengan pendekatan pengelolaan pesisir terpadu. Adaptasi terhadap
dampak perubahan iklim di kawasan pesisir secara umum diantaranya adalah :
1. Relokasi permukiman atau mundur dengan bermukim atau melakukan
aktivitas jauh dari pantai
2. Membangun tanggul laut dan penghalang gelombang badai;
3. Perluasan lahan dan pembangunan lahan basah sebagai penyangga
melawan kenaikan permukaan air laut dan banjir,
4. Perlindungan terhadap penghalang alam yang sudah ada (penguatan
bukit pasir di pantai, mempertahankan hutan mangrove, dan membuat
perlindungan baru jika belum ada.
B2. ADAPTASI PERMUKIMAN DAN INFRASTRUKTUR DI KAWASAN PESISIR
Langkah adaptasi terhadap perubahan iklim di permukiman dan
prasarana/infrastruktur kawasan pesisir dan pulau=pulau kecil dapat dilakukan
seperti yang diuraikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1.
Adaptasi Permukiman, Prasarana dan Ekosistem Terhadap Perubahan Iklim
pg. 25
Pada Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
SEKTOR DAMPAK ADAPTASIPermukiman/Perumahan
Banjir karena kenaikan muka air laut,
- Relokasi, Mundur dari pantai atau Membangun rumah panggung
- Perencanaan perwilayahan/ zonasi dan jalur evakuasi,
- Peringatan dini dan sepakati tempat pertemuan jika bencana
Transportasi Banjir, tanah longsor, pohon tumbang, mengganggu sistem transportasi
- Membangun jalan di atas (jalan layang, jalur rek kerta api dll)
- Membuat jalur sepedaSanitasi Lingkungan Saluran air kotor dan air
hujan tidak mampu menampung penambahan jumlah air yang ekstrem
- Perencanaan dan pengelolaan
- Pembangunan saluran air hijau tanpa perkerasan utk penyerapan air lebih banyak
Ketersediaan Air dan Pengairan
Kendala supply air minum, krn air berkurang,peningkatan suhu,penurunan kualitas air, karena intrusi air laut
- Perencanaan dan pengelolaan sumber air alternatif, seperti: panen air hujan, lobang biopori
- Komersialisasi/swastanisasi- Pembagian air yang adil
Pariwisata dan Rekreasi
Fasilitas rusak, suhu tidak menentu, kunjungan wisata menurun
- Perencanaan ulang kawasan wisata
- Penyediaan lebih banyak ruang terbuka
Fasilitas Umum (kesehatan, pendidikan, persampahan, pelabuhan nelayan, dll)
Fasilitas rusak, pegawai tidak ada, supply obat-obatan terbatas karena cuaca, pelayanan pada masyarakat terhambat
- Perencanaan ulang fasilitas kesehatan, persampahan dan pendidikan di kawasan yang aman
- Membangun alat pemecah ombak, seperti : dari ban bekas
Pertanian Pengairan rusakSalinisasi lahan sawah di wilayah pantaiPeningkatan serangan hama dan penyakit
- Perubahan pengelolaan dan kebijakan
- Perlindungan terhadap kawasan pertanian yang dapat berfungsi juga sebagai penampungan air jika banjir
Perikanan Perubahan areal tangkapan - Pengelolaan, monitoring, pelatihan kerja
- Modernisasi industri perikanan
Ekosistem darat/pesisir pantai
Peningkatan salinitas di lahan pertanianKepunahan keanekaragaman hayati
- Perubahan praktek penggunaan lahan
- Pengelolaan lahan dan pertamanan
Ekosistem pantai Perusakan terumbu karang, seperti: pemutihan terumbu karangLimbah beracunRusaknya hutan mangrove
- Penyemaian terumbu karang- Pelestarian hutan mangrove
Ekosistem sungai Perubahan ekosistem di - Revitalisasi fungsi muara
pg. 26
muara sungai sungai sebagai pengendali banjir dengan pengerukan, pelebaran dan penataan DAS.
Sumber: Analisis penulis dari berbagai sumber, 2011
Selanjutnya, sistem perencanaan dan perancangan kawasan
permukiman/perkotaan melalui desain perkotaan yang mempertimbangkan
sistem iklim perlu mengamati beberapa unsur permukiman/perkotaan antara lain
(Susanti, 2006):
1. Desain dan konstruksi bangunan; Adanya kemungkinan terdapat masalah
bangunan dan geoteknik. Desain untuk ventilasi dan pendinginan dengan
cara alami, mungkin akan sangat diperlukan.
2. Ruang terbuka dan ekologi permukiman/perkotaan; Desain
permukiman/perkotaan sebaiknya menggabungkan koridor-koridor
habitat, badan air dan anak sungai, dan pohon-pohon peneduh.
Penggunaan lahan multifungsi mungkin menjadi kunci adaptasi ekologi
perkotaan, dengan fokus pada kelompok permukiman baru untuk
perencanaan dan pemeliharaan karakter ekologis.
3. Utilitas; Area yang jauh dari pelayanan fasilitas dan utilitas, serta area-
area pantai akan menjadi area yang rentan. Pengaruh yang paling besar
akan terjadi pada perubahan geoteknik dalam hidrologi dan air tanah,
yang akan mempengaruhi drainase serta jaringan suplai air bersih.
Infrastruktur utama lainnya seringkali berada pada lintas otoritas
kewenangan dan membutuhkan pendekatan yang kolaboratif.
4. Transportasi; Berbagai prasarana transportasi seperti jalan, kereta api,
kanal-kanal, pelabuhan laut, dan udara harus diadaptasikan terhadap
kejadian-kejadian cuaca ekstrim.
5. Pengembangan sistem drainase dan pembuangan air kotor. Area
perkotaan akan membutuhkan desain engineering yang memasukkan
unsur area permeable dan soft engineering. Misal: paving block, saluran
air hujan tanpa perkerasan, dan sebagainya.
6. Perencanaan dan zoning sensitive terhadap iklim dan menuntut
konsistensi pembuatan keputusan-keputusan yang didasarkan pada
pengetahuan mengenai keterhubungan unsur- unsur iklim dan elemen
kota serta berbagai konsekuensi terhadap berbagai perubahan.
pg. 27
BAB V KEBIJAKAN & KELEMBAGAAN PERUBAHAN IKLIM DI KAWASAN PESISIR & PULAU KECIL
A. RESPON PEMERINTAH TERHADAP PERUBAHAN IKLIM SECARA UMUM
Sebagai salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim,
Indonesia sangat berkepentingan dalam usaha penanggulangan pemanasan
global dan perubahan iklim yang menyertainya. Selain berperan aktif dalam
pertemuan global dan negosiasi penanggulangan iklim tingkat dunia, Pemerintah
Indoensia telah mengeluarkan berbagai dokumen kebijakan, strategi dan
program serta pembentukan kelembagaan yang mendukung penanganan
perubahan iklim. Beberapa upaya yang telah dilakukan Pemerintah dalam
rangka penanganan perubahan iklim antara lain:
1. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2005-2025
yang memuat 6 misi tentang pembangunan berkelanjutan, dimana salah
satu sasarannya adalah: pembangunan yang berkelanjutan untuk
menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global.
2. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2010 – 2014 yang menekankan 11 prioritas, dimana 3 diantaranya adalah
ketahanan pangan, energy, lingkungan dan manajemen bencana..
3. Pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Melalui Peraturan
Presiden (Perpres) Nomopr 46 Tahun 2008 telah dibentuk Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI)
4. Penyusunan Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI).
Kementrian lingkungan hiodup menyuisun RAN-PI pada tahun 2007
dengan tujuan agar dijadiokan sebagai pedoman oleh berbagai instansi
dalam melaksanakan upaya-upaya terkoordionasi dan terintegrasi untuk
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
5. Penyusunan Indonesia Climate Change Sectoral Road map (ICCSR) tahun
2010, sebagai petunjuk detail kebijakan untuk pengarustamaan kebijakan
perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan nasional.
pg. 28
6. Pembentukan Indonesia Climate Change Trust Fund ( ICCTF). Lembaga ini
mengelola secara nasional bantuan pendanaan agar lebih efektif dan
efisisen.
7. Rencana Aksi Nasional- Gas Rumah Kaca (RAN_GRK), 2011. Indonesia
secara nasional juga telah melakukan usaha-usaha adaptasi dan mitigasi
bencana. Usaha mitigasi adalah pada tanggal 20 September 2011
Presiden mengeluarkan PP Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca sebesar 26 %. Hal ini menunjukkan komitmen
Indonesia untuk berada di garda depan dalam upaya mengatasi isu
perubahan iklim. PP ini ditindaklanjuti dengan berbagai aksi nasional
seperti kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi,
industri dan pengelolaan limbah.
B. KEBIJAKAN PROGRAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM UNTUK KAWASAN PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL
Kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia terhadap wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil diantaranya Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-3-K). Undang-Undang tersebut
menyiratkan memberikan tanggung jawab dan kewenangan yang besar kepada
institusi lokal dan masyarakat mengatur sumber daya laut, pesisir dan pulau-
pulau kecil secara lebih efektif dan bijaksana. Pasal 4 menyatakan bahwa
pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan
melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi dan memperkaya sumberdaya
pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologinya. Dalam Bab X, Pasal 56
telah diatur masalah mitigasi bencana.
Saat ini program pengelolaan pesisir terpadu telah dimulai di 15 provinsi
dan empat kabupaten/kota. Program ini dipayungi oleh konsep pengelolaan
pesisir terpadu, dimana melalui keterpaduan ini dapat diharmonisasikan
kepentingan berbagai pihak, kepentingan ekonomi dan ekosistem, perlindungan
terhadap bencana, dan menghindarkan konflik akibat perbedaan kepentingan.
Pada November tahun 2007, Pemerintah Indonesia sudah memiliki
Rencana Aksi Nasional – Perubahan Iklim (RAN-PI) yang merupakan acuan bagi
koordinasi seluruh sector pembangunan dalam upaya mitigasi dan adaptasi
menghadapi perubahan iklim. Respon Indonesia terhadap perubahan iklim juga
pg. 29
dituangkan dalam RPJMN (Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional )
tahun 2010-2014. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan tersebut, BAPPENAS juga
menyiapkan Indonesia Climater Change Sectorl Roadmap (ICCSR) atau
Roadmap Sektoral Perubahan Iklim Indonesia.
Kebijakan pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan dalam
adaptasi terhadap perubahan iklim menyangkut 2 hal yaitu 1. Program mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim, 2. Kerjasama tingkat regional dan internasional.
Secara terperinci adalah sebagai berikut:
1. Secara struktural: membuat bangunan pantai yang secara langsung dapat
melindungi infrastruktur pesisir dan pulau-pulau kecil dari kenaikan air muka
laut. Kegiatannya adalah pembuatan seawall (hard structure) dan menanam
mangrove dan vegetasi pantai (soft structure). Implementasi yang sudah
dilakukan adalah (a) pembangunan rumah nelayan ramah bencana (banjir,
rob, tsunami) dan penanaman vegetasi pantai di kawasan-kawasan budidaya
dan permukiman nelayan.
2. Secara non struktural : upaya yang dilakukan bersifat perencanaan,
pendidikan, penyadaran, dan penataan ruang.
a. Penataan Ruang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Perencanaan diatur
dalam Pasal 7, undang-undang UU No. 27/2007 mengamanatkan
Pemerintah Daerah wajib membuat empat perencanaan PWK-3-K, yaitu:
1. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Keci(RSWP-3-K)
2. Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RZWP-3-K)
3. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K)
4. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RAPWP-3-K)
Keempat perencanaan tersebut, disamping sebagai bentuk intervensi agar
interaksi antara manusia dengan lingkungan ekosistem dapat berjalan
selaras dan berkelanjutan, juga sebagai pedoman untuk tindakan-tindakan
di masa depan sesuai dengan Pasal 9 UU No. 27 tahun 2007 tentang PWP-
3-K yang menyatakan bahwa rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil harus diserasikan, diselaraskan dan diseimbangkan dengan
Rencana Tata ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten/Kota.
pg. 30
b. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Hampir 70 % penduduk
Indonesia tinggal di kawasan pesisir, dan menggantungkan hidupnya pada
sumber daya yang ada di tempat tersebut. Umumnya tingkat
kesejahteraan mereka rendah atau miskin, sehingga tingkat
kepeduliannya pada adaptasi perubahan iklim juga rendah. Kegiatan
adaptasi sosial-ekonomi yang penting dilakukan adalah melalui:
reinventarisasi potensi dan karakteristik sumber daya, penyesuaian
infrastruktur sosial ekonomi masyarakat dan penyesuaian pola budidaya
dan penangkapan ikan.
c. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan pulau-pulau kecil tidak semata
untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga diarahkan untuk adaptasi
perubahan iklim. Perlu kerjasama antar kabupaten/provinsi bahkan antar
negara.
d. Pengendalian Pencemaran Laut. Pengendalian pencemaran laut dimulai
dari darat dengan konsep 4 R (reduce, reuse, recycle, dan replant).
e. Program Mitra Bahari: merupakan program pengembangan kemitraan
pemerintah dengan perguruan tinggi dalam mendorong akselerasi
pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam mengatasi
kelemahan kapasitas kelembagaan kelautan di daerah, mengalihkan
pengetahuan atau mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
penyuluhan ke masyarakat.
f. Gerakan Nasional Bersih Pantai dan Laut. Melalui Gerakan Nasional Bersih
Pantai dan Laut (GNBPL) mewujudkan “Laut Biru dan Pantai Bersih
Lestari”.
g. Penguatan sistem Alam melalui upaya-upaya:
1. Rehabilitasi habitat pesisir (rehabilitasi ekosistem mangrove,
rehabilitasi terumbu karang melalui transplantasi dan terumbu buatan
serta penyediaan artificial wetland untuk kawasan pesisir yang
memiliki limbah organic tinggi.
2. Penanaman vegetasi pantai dalam rangka stabilitas pantai dan
perlindungan pantai dari badai, angin dan puting beliung.
pg. 31
3. Konservasi kawasan dan konservasi jenis untuk menjaga kelestarian
fungsi habitat pesisir dan pulau-pulau kecil. Kawasan konservasi
menyediakan tempat bagi biota laut untuk berkembang biak, menjaga
keanekaragaman hayati dan keberlanjutan funmgsi ekosistem.
Kawasan yang dikelola secara khusus dan tidak diganggu (no take
zone).
pg. 32
C. KERJASAMA TINGKAT REGIONAL DAN INTERNASIONAL
C. 1. KELEMBAGAAN
BAPPENAS sudah membentuk Forum Koordinasi Kebijakan Perubahan Iklim
atau Climate Change Policy Coordination Forum (CCPCF) yang terdiri dari
berbagai pemangku kepentingan seperti: pemerintah, masyarakat dan
akademisi. Forum ini daharapkan dapat menjadi wadah dialog bagi stakeholder
kunci untuk mendiskusikan dan berbagai isu tentang informasi perubahan iklim
yang mutakhir. Sedangkan untuk penggalangan dana internasional, juga sudah
dibentuk ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund).
Beberapa pusat kajian tentang perubahan iklim, dimana Indonesia terlibat
dalamnya adalah Center for Climate Risk and Opportunity Management in South
East Asia and Pacific (CCROM-SEAP), Indonesia juga anggota dari Asian Cities
Climate Change Resilience Network (ACCCRN), serta UNFCCC.
Kelembagaan seperti ACCCRN bekerjasama dengan Mercy Corps telah
melakukan pilot project di dua kota pesisir di Indonesia yaitu Bandar Lampung
dan Semarang untuk melakukan kegiatan peningkatan ketahanan kota dan
adaptasi terhadap perubahan iklim.
C.2 FORUM INTERNASIONAL
Indonesia selalu aktif dalam forum perubahan iklim internasional,
misalnya: Indonesia berhasil menggalang komitmen pengelolaan terumbu
karang melalui Coral Triangle Initiative (CTI) yang melibatkan berbagai Negara di
Asia dan Pasifik. CTI merupakan suatu inisatif kerjasama 6 negara yaitu :
Indonesia, Malaysia, Kepulauan Solomon, Papua Nugini, Filipina, dan Timor Leste,
di pusat keanekaragaman hyati dunia untuk pengelolaan dan konservasi sumber
daya ikan, pesisir, pulau-pulau kecil dan laut bagi generasi kini dan mendatang.
Inisiatif ini sekaligus akan menggalang upaya penguatan sistem kemanusiaan
dalam pengelolaan terumbu karang dan sistem alam untuk menjaga kelestarian
ekosistem terumbu karang dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim.
pg. 33
BAB VIKASUS STUDI
Kasus studi ini melihat integrasi perubahan iklim dalam rencana
pembangunan kota di kawasan pesisir di Bandarlampung dan Semarang.
Dalam kasus ini peran lembaga internasional dalam mendukung
pengembangan kota berketahanan iklim cukup penting, walaupun dalam
beberapa hal skala proyeknya masih kecil, tetapi paling tidak sudah dimulai.
Beberapa kota di Indonesia sudah menjadi pilot project program ACCCRN (Asian
Cities Climate Change Resilience Network) untuk menyusun strategi adaptasi
terhadap perubahan iklim, seperti yang dilakukan di Bandarlampung, dan
Semarang. Proyek percontohan ini didukung Rockefeller Foundation dan
pelaksanaannya di bawah koordinasi Mercy Corps selama 4 tahun (2009 – 2013).
Tujuan kegiatan ini adalah menggabungkan faktor-faktor yang berkaitan
dengan ketahanan terhadap perubahan iklim ke dalam kegiatan perencanaan
kota. Berbagai organisasi lokal terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan
program, dimana mereka telah memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai
dampak perubahan iklim pada skala lokal, serta melakukan kegiatan adaptasi.
Program ini disusun sebagai proses pembelajaran sekaligus untuk membangun
ketahanan kota terhadap perubahan iklim, melalui aktivitas yang melibatkan
tidak hanya organisasi lokal, tetapi juga masyarakat kurang mampu, dan melalui
transfer ilmu dan proses perencanaan yang menekankan partisipasi masyarakat.
Metodologi atau pendekatan yang digunakan adalah melalui:
1. Dialog pembelajaran bersama (Shared Learning Dialog/SLD).
Pembelajaran bersama, analisa dan pengambilan keputusan yang melibatkan
berbagai pihak dalam hal kerentanan dan ketahanan terhadap perubahan
iklim melalui beberapa diskusi. Proses ini dipengaruhi dan mempengaruhi
proses lainnya.
2. Vulnerability Assessment/AS (penilaian kerentanan). Identifikasi
dampak perubahan iklim dan kerentanan masyarakat secara langsung dan
tidak langsung melalui analisa kualitatif dan kuantitatif, serta melihat
kapasitas mereka saat ini. Termasuk di dalamnya analisa lebih lanjut
terhadap sektor-sektor yang rentan terhadap perubahan iklim.
pg. 34
3. Pilot Project. Bertujuan untuk menguji metode yang berpotensi untuk
meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Metode
yang dipilih disesuaikan dengan kondisi masyarakat di kota tersebut.
4. Perencanaan Ketahanan. Berdasarkan hasil analisa, dilakukan penyusunan
strategi meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim, agar dapat
dimasukkan ke dalam kebijakan pemerintah (seperti: RPJM, RTRW dan
sebagainya). Tahap ini juga meliputi pembuatan proposal rencana adaptasi
sebagai bahan pertimbangan untuk donor (nasional dan internasional).
5. Dialog Skala Nasional. Bertujuan untuk mengkomunikasikan kerentanan
kota terhadap dampak perubahan iklim dan inisiatif yang diperlukan untuk
beradaptasi dan meningkatkan ketahanan masyarakat. Dengan adanya
dialog skala nasional ini diharapkan isu adaptasi terhadap perubahan iklim di
tingkat kota dapat menjadi bagian dari kebijakan pemerintah nasional.
Dari metodologi di atas, maka dihasilkan program percontohan adaptasi
terhadap perubahan iklim untuk masing-masing kota.
1. Melalui pembelajaran bersama, maka dapat diidentifikasi isu perubahan
iklim di kota Semarang adalah:
a. Kenaikan muka air laut yang menyebabkan Kota Semarang
mengalami abrasi, rob dan banjir
b. Kemarau panjang, sehingga menyebabkan kekeringan
c. Hujan yang sangat deras di musim hujan, sehingga menyebabkan
longsor dan angin kencang.
Sedangkan dampak perubahan iklim untuk Bandarlampung adalah: banjir,
rob, abrasi, angin kencang dan tanah longsor.
2. Penilaian kerentanan terhadap perubahan iklim adalah untuk: 1). mengerti
dampak yang berbeda-beda dari perubahan iklim; 2) mengidentifikasi
kelompok, daerah/wilayah, dan sektor yang rentan 3). mengidentifikasi
faktor yang menyebabkan kerentanan dan bagaimana kelompok rentan
akan terkena dampak; 4). mengkaji bagaimana fungsi ekosistem akan
merespon tekanan karena kegiatan manusia dan perubahan iklim. 5).
Mengkaji kebutuhan dan kapasitas untuk beradaptasi 6). Mengidentifikasi
kelembagaan dan isu-isu pemerintahan yang dapat mempengaruhi
ketahan kota terhadap resiko bencana dan resiko iklim saat ini dan masa
pg. 35
yang akan datang. 7) menyusun rekomendasi awal dalam penyususnan
startegi ketahanan terhadap resiko bencana.
Tabel 6.2 menunjukkan berbagai ancaman, dampak langsung dan tidak
langsung terhadap permukiman di kawasan pesisir di Kota Semarang dan
Kerentanan di Kota Bandarlampung.
Tabel 6.2
Ancaman, Dampak Langsung dan Tidak Langsung Akibat Perubahan Iklim
di Kota Semarang
Ancaman(Dampak)
Dampak Langsung dari Ancaman(Resiko)
Dampak Tidak Langsung
BANJIR Kerusakan dan kehilangan harta Gagal panen pertanian erganggunya sektor transportasi Korban Jiwa
Pengangguran Kenaikan Harga Epdemi penyakit Migrasi Penduduk Peningkatan Kriminalitas Menurunkan investasi Kota Perubahan Mata Pencaharian
ROB Naiknya salinitas Tercemarnya sumur air Terganggunya sector bisnis Kerusakan bangunan
Sda
KEKERINGAN Gagal panen Menurunnya ketersediaan air Kekurangan air baik domestik maupun sektor
lain
Sda
EROSI DAN ABRASI
Kerusakan rumah atau bangunan Kerusakan infrastruktur kota Korban Jiwa
Sda
Sumber: ACCCRN News Letter, Edisi2, 2011.
Tabel 6.3
Identifikasi Kerentanan di Kota Bandarlampung
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM
SEKTOR YANG TERKENADAMPAK
DAMPAK LANJUTAN KELOMPOK YANG PALING RENTAN
BANJIR PERIKANANPERUMAHANPERTANIANINFRASTRUKTUR
PENYAKITINDUSTRI KECIL
MASY. MISKINANAK2,LANSIA , WNT, NELAYAN, PETANI, PEDAGANG, CACAT
ANGIN RIBUT
PERUMAHANFASILITAS UMUM
RUMAH & FAS. UMUM RUSAKKERUGIAN EKONOMI
SDA
TANAH LONGSOR
INFRASTRUKTUR KERUGIAN EKONOMI SDA
pg. 36
KEKERINGAN
AIR BERSIHPERTANIANSANITASI
KEKEURANGAN AIR BERSIH DAN ENERGI
SDA
EROSI PANTAI
NELAYANPARIWISATA
MIGRASI SDA + PENGUSAHA PARIWISATA
3. Pilot Project Semarang
a. Upaya adaptasi yang dilakukan masyarakat bersama LSM Bintari di
kawasan Pesisir Tapak Tugurejo adalah : pembangunan Alat Pemecah
Ombak sepanjang 180 m dari ban bekas untuk menyelamatkan
tambajk masyarakat; menanam 20.000 batang mangrove,
memperkuat masyarakat, membentuk Kelompok Kerja Mangrove Kota
Semarang
b. Proyek Rintisan Kredit Sanitasi Berbasis Komunitas bersama LSM
Perdikan di Tingkat Perkotaan, Kelurahan Kemijen. Berupa pemberian
kredit renovasi jamban dan instalasi PDAM kepada 26 perempuan
kepala rumah tangga (janda) dengan angsuran pengembalian 20 bulan
c. Adaptasi terhadap bencana angin puting beliung dan longsor di
kelurahan Tandang (P5 UNDIP): hasilnya dokumen Rencana Aksi
Adaptasi Lokal dan penanaman rumput akar wangi sebagai pengendali
longsor.
d. Model penataan lahan untuk meminimalisasi bencana di kelurahan
Sukorejo, gunung Pati (LP2M UNNES): dalam bentuk penghijauan,
sumur resapan dan biopori.
e. Sedang disiapkan: kegiatan panen air hujan (rainwater harvesting)
4. Pilot project Bandarlampung
a. Kampanye dampak perubahan iklim (LSM Lampung Ikhlas) di
Kelurahan Kangkung dan K ota Karang.
b. Capacity Building di Kelurahan Panjang (membangun kapasitas
masyarakat) melalui manajemen persampahan, penyediaan air
minum dan rehabilitasi oleh LSM Mitra Bentala
c. Sedang disiapkan kegiatan biopori dan pengeuatan kapasitas guru
melalui pendidikan lingkungan hidup dan perubahan iklim.
5. Perencanaan ketahanan/adaptasi. Hasilnya adalah dokumen strategi
ketahanan kota yang berisi pedoman dan arahan untuk sistem kota
(prasarana dan sarana fisik, lingkungan, sosial, ekonomi dan
kelembagaan) dalam rangka menghadapi perubahan iklim. Disini
pg. 37
integrasi perubahan iklim dalam kegiatan atau program pemerintah kota
Bandarlampung dan Semarang.
Strategi adaptasi di Kota Bandarlampung adalag sebagai berikut:
a) Reklamasi lahan
b) Perbaikan infrastruktur
c) Membangun rumah di atas air atau terapung
d) Konsolidasi kampung
e) Membangun rumah panggung
f) Menampung air hujan
g) Proyek kolaborasi warga/gotong royong
Beberapa point penting yang dapat ditarik dari Bandarlampung dan Semarang
ini adalah:
1. Tiap wilayah atau daerah mempunyai karakteristik yang berbeda dalam
hal kerentanan, sangat tergantung pada sejarah iklim kota, kondisi sosial,
ekonomi dan lingkungan kota. Juga yang berpengaruh adalah kebijakan
dan kelembagaan kota tersebut. Semarang
2. Ada proses pembelajaran perencanaan penyusunan strategi adaptasi yang
melibatkan masyarakat secara luas (penduduk, toko masyarakat, LSM,
birokrasi, akademisi, dan swasta).
3. Integrasi perubahan iklim dalam rencana pembangunan kota dapat
dilakukan karena:
a. Waktu kegiatan bersamaan dengan kota menyusun RPJMD dan RTRW
b. Ada dukungan walikota, karena bertepatan dengan walikota baru
ketika kegiatan dimulai
c. Tim Kota yang solid dan terpilih adalah orang-orang mempunyai
komitmen besar terhadap lingkungan (perubahan iklim) yang teridir
dari birokrat, LSM, akademisi, praktisi dan swasta.
4. Ada hambatan pengembangan strategi adaptasi yaitu:
a. Minimnya informasi
b. Akses masyarakat ke ekonomi, politik dan fisik rendah
c. Kurangnya sumber daya modal
d. Kurangnya kolaborasi masyarakat
e. Akses ke sumber daya yang rendah
f. Ketergantungan pada faktor eksternal yang tidak bisa dikontrol
(ekonomi).
pg. 38
BAB VII
PENUTUP
Secara umum dampak perubahan iklim terhadap kawasan pesisir adalah:
pantai wilayah pesisir tersingkap (exposure of coastal areas), erosi pantai,
banjir, intrusi air laut, rusaknya permukiman dan infrastruktur di wilayah
pesisir, rusaknya terumbu karang, matinya biota laut dan lenyapnya pulau-
pulau kecil. Sedangkan resiko terhadap manusia dan lingkungan meliputi
sektor: permukiman, fasilitas transportasi, sanitasi lingkungan, air bersih,
sistem irigasi, pariwisata, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, pertanian,
perikanan, ekosistem darat, pesisir, pantai dan sungai.
Evaluasi atau kajian kerentanan dan adaptasi perubahan iklim di kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil sangat diperlukan bagi pemerintah sebagai
input utama dalam melakukan perencanaan ketahanan pembangunan di
kawasan tersebut. Pendekatan evaluasi perubahan iklim untuk perencanaan
adaptasi tersebut meliputi: evaluasi dampak, evaluasi resiko, evaluasi
kerentanan, evaluasi kebijakan, evaluasi terintegrasi dan evaluasi adaptasi
(June, 2012).
Strategi adaptasi yang dibutuhkan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
meliputi diantaranya adalah: 1) perencanaan yang terpadu 2) kebijakan dan
kelembagaan 3) perubahan cara mengolah alam 4) dukungan keuangan 5)
pemberdayaan sosial dan ekonomi 6) teknologi 7) dukungan jaringan 8)
peraturan dan penegakan hukum. Dari seluruh strastegi tersebut menjadi
tanggung jawab pemerintah, dan dilaksanakan bersama masyarakat.
Tindakan adaptasi yang direkomendasikan UNFCC berkaitan dengan
kebijakan pemerintah untuk kawasan pesisir dan puilau-pulau kecil adalah:
1). Proteksi terhadap prasarana yang bersifat ekonomi (jalan, pelabuhan,
jembatan, saluran irigasi, jaringan listrik, dan lain-lain); 2). Manajemen
terpadu kawasan pesisir; 3). Kampanye publik; 4). Perencanaan zonasi; 5).
Membangun penahan gelombang dan pengaman pantai 6). Pembuatan
Undang-undang perlindungan kawasan pesisir,; 7). Konservasi terumbu
karang, bakau, rumput laut, danm tanaman sepanjang pantai dan 8).
Penelitian dan monitoring.
Dari aspek kelembagaan dan kebijakan terhadap perubahan iklim di kawasan
Pesisir dan Pulau-pulau kecil, pemerintah Indonesia, melalui BAPPENAS,
Kementrian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan
pg. 39
Bencana, sudah melakukan beberapa hal diantaranya: pembuatan peraturan
dan perundangan (Undang-Undang no 27 tentang Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil), kelembagaan, program jangka panjang dan gerakan aksi
nasional (Gerakan Nasional Bersih Pantai dan Laut (GNBPL) dan juga sudah
melakukan kerjasama dengan kelembagaan internasional (Coral Triangle
Iniciative/CTI). Tetapi ini tentunya belum cukup, mengingat strategi dan
tindakan adaptasi untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil harus
dilakukan secara terpadu dengan sektor lainnya diantaranya: pekerjaan
umum, permukiman, pertanian, kehutanan, pemberdayaan perempuan,
kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Semenjak konferensi Coral Triangel Initiative dan World Ocean Conference di
Menado tahun 2009, pemerintah Indonesia termasuk salah satu Negara yang
giat memasukkan isu kelautan sebagai bagian dari mitigasi. Hal ini diperkuat
bahwa pemerintah Indonesia memasukkan isu ini pada konferensi United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Bagi kelompok
negara Alliance of Small Island States ( AOSIS), kelautan dimasukkan dalam
isu adaptasi. Alasan Indonesia memasukkan isu kelautan ke dalam mitigasi
adalah banyaknya dana bantuan dari negara maju untuk mitigasi dibanding
adaptasi. Dana-dana tersebut diarahkan untuk kegiatan mitigasi di sektor
kehutanan (REDD). Hal ini juga yang kemudian menjadi salah satu dasar PP
Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca sebesar
26 %.
Peningkatan ketahanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap
perubahan iklim adalah proses yang tidak akan pernah berhenti. Oleh sebab
itu dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat melibatkan semua stakeholders
secara aktif, baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan
evaluasi. Kelembagaan yang kuat didukung dengan kepemimpinan yang kuat
menjadi syarat utama proses ini. Kelembagaan yang ada saat ini dirasa
belum cukup, sehingga perlu diperkuat dengan kelembagaan baru yang
khusus menangani wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
pg. 40
DAFTAR PUSTAKA
Asean Disaster Preparedness Center, 2011, The International Training Course on Climate Change and Climate Risk Management in a Changing Urban Environment, (Reference Reading), Bangkok.
ACCCRN, 2010. The Rockefeller Foundation, Mercycorps, URDI, ACCRN Newsletter, Edisi 1, Jakarta, . http://indonesia.mercycorps.org.
ACCCRN, 2011., Roadmap ACCCRN di Kota Semarang, ACCCRN News Letter, Edisi2, The Rockefeller Foundation, Mercycorps, URDI, Jakarta.
Boer, R., Heriansyah, A., Impron, Dasanto, B. D., Suciantini, Hartati, F., et al. 2009. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Daerah Rawa yang Sudah Dikembangkan. Bogor: CCROM SEAP - Pusat Kajian Peluang dan Resiko Iklim Kawasan Asia Tenggara.
Buchori, I. 2009. Konsep Mitigasi Bencana Bagi Kota-kota yang Rawan Gempa dan Tsunami. Seminar Nasional 2009 Implikasi undang-undang Penataan Ruang no 26 tahun 2007 Terhadap Konsep Pengembangan Kota dan Wilayah Berwawasan Lingkungan, (pp. II-8).
June, Tania. 2010. Identifikasi Dampak dan Adaptasi terhada Perubahan Iklim, Bahan Kuliah Perubahan Lingkungan Global, Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
Markum, Sutedjo, E. B., & Hakim, M. R. 2004. Dinamika Hubungan Kemiskinan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pulau Kecil: Kasus Pulau Lombok. Mataram: WWF.
Numbery, F. 2009. Perubahan Iklim: Implikasinya Terhadap Kehidupan di Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta: Fortuna.
Prasad, N. et all, 2010, Kota Berketahanan Iklim, Pedoman Dasar Pengurangan Kerentanan Terhadap Bencana, Terjemahan, Salemba Empat, Jakarta.
Susandi, A., Herlianti, I., Tamamadin, M., & Nurlela, I. (2008). Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008, Bandung.
Susanti, Indah, 2006, Aspek Iklim dalam Perencanaan Perkotaan, Jurnal PPI Edisi 8/XVIII/ November 2006, LAPAN, Bandung.
Tanner, T., et.all, 2009, Urban Governance for Adaption: Assessing Climate Change Resilience in Ten Asian Cities, IDS Working Paper, Volume 2009, number 315.
Tompkins, E. L. 2004. Planning for Climate Change in Small Islands: Insight from National Hurricane Preparedness in the Cayman Islands. Global Environmental Change 15 (2005) 139-149.
United Nations Center for Human Settlement (Habitat), 1996, An Urbanizing World: Global Report on Human Settlements, Oxford University Press, Oxford.
United Nation Centre for Human Settlement . Global Report on Human Settlements, 2011 .
pg. 41
Wardhana, W. A.(2010. Dampak Pemanasan Global. Yogyakarta: Penerbit Andi.
pg. 42