268

Keriba-Keribo FREE Compress

Embed Size (px)

DESCRIPTION

book

Citation preview

Page 1: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 2: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 3: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 4: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 5: Keriba-Keribo FREE Compress

KERIBA-KERIBO

PERSONAL LITERATURE

Page 6: Keriba-Keribo FREE Compress

Keriba-Keribo©

Kresnoadi DH - 2014

Desain cover

Kresnoadi DH

Doodles

Rian Nofitri

Ilustrasi

Febryan Prasetyo

Penata letak

Abdusa Alam

Page 7: Keriba-Keribo FREE Compress

PRAKATA

Ehem. Sebelumnya, kenalan dulu, deh. Gue Kresnoadi. Biasa dipanggil Mas Adi sama tukang batagor, Dek Adi kalau di rumah, dan Si Kampret yang Jarang Bayar Utang kalo kata temen-temen. Gue sering banget diledekin dengan sebutan ‘kribo’, ‘keriting’, ‘kibo’, ‘brekele’. Padahal, itu semua tidak benar. ITU SEMUA TIDAK BENAR! Gue itu tidak keribo dan gue juga nggak tahu kenapa temen-temen manggil dengan sebutan itu.

Gue masih ingat betul, ketika itu gue lagi duduk-duduk lucu sambil ngemilin makanan lebaran di rumah sodara. Pas lagi nyomot nastar dari dalem toples, Om gue tiba-tiba nanya, ‘Lho, Di, kamu kok rambutnya tiba-tiba jadi keriting?’ Gue cuman mesem-mesem malu sampe dia lanjutin, ‘…pasti sering make celana dalem di kepala, ya?’

Gue diem. Terus lari keluar nyeburin diri ke kolam ikan.

Gue masih gak ngerti kenapa orang-orang sering mengasosiasikan rambut keriting/kribo/sejenisnya dengan make kancut di pala. Gue mikir, emang semua yang dipakein kancut bakal jadi keriting? Tapi kalo gitu, gue gak pernah tuh nemu orang yang pas ditanya dokter, ’Apa keluhan kamu?’ jawabnya, ‘Ini, Dok. Titit saya kusut lagi.’

Page 8: Keriba-Keribo FREE Compress

Kalo udah ngomongin keriting, pasti gak jauh-jauh sama mie instan. ‘Lo tuh jangan kebanyakan makan mie, nanti makin keriting,’ kata seorang temen. Lha? Emang apa hubungannya makanan sama kondisi fisik seseorang? Emangnya kalo makan kue tete, tete gue bakal nambah jadi enam kayak sapi di peternakan?

Yah, tapi biarlah orang ngomong apa.

Seperti kata peribahasa, “Anjing menggonggong, tandanya laper.” Eh, bener gak sih? Pokonya gitu deh.

Astaghfirullah. Nulis apa gue barusan.

Sekarang lanjut bahas buku ini. Jadi, buku ini berisi kumpulan kisah hidup Kresnoadi. Sebagian besar diambil dari blognya www.keriba-keribo.blogspot.com. Di buku ini tidak ada cerita tentang rambut yang keriting, jari yang keriting, atau titit yang keriting.

Sebagaimana hidup, buku ini gue tulis dengan random abis. Buku ini punya banyak rasa. Mulai dari yang bikin ketawa puas, bikin sedih, sampe ke yang bikin mesam-mesem unyu. Dari yang komedinya sadis-ekstremis sampai ke yang samar. Yang mengapung.

Dan, sebagaimana hidup, ngebikin buku ini juga ngebuat gue berpikir. Ngingetin gue kalo kita, manusia, harus terus maju. Bergerak dari satu titik ke titik di depannya. Sampai kita mencapai batas, titik terluar masing-masing individu.

Page 9: Keriba-Keribo FREE Compress

UCAPAN TERIMA KASIH

Gue sengaja bikin bab ini biar gaya kayak buku beneran. Tadinya gue udah nge-list siapa-siapa aja yang bakal gue kasih ucapan terima kasih. Tapi kertas list-nya keburu diminta sama tukang gorengan buat bungkus cabe-cabean. Jadi kalo ada yang kurang, mohon maaf ya.

Terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan hidup yang sangat tragis kepada gue. Kegoblokan gue, terkadang membawa hikmah bagi orang lain. Mereka jadi sadar kalo di dunia ini… ada orang yang IQ-nya sama kayak pohon mangga.

Terima kasih kepada temen-temen seperbegoan. Radit. Nurul. Agung. Dan teman-teman lain yang udah bikin hidup gue makin ancur. Kalianlah yang berkontribusi merusak otak gue. Karena kalian gue jadi sadar… kalo ada yang lebih bego dari pohon mangga.

Terima kasih kepada para penerbit. Karena kalian gue jadi lebih giat lagi nulis. Terima kasih kepada temen-temen blogger. Baik yang kenal secara langsung maupun yang cuman kenal lewat dunia maya.

Terima kasih kepada bapak ketua PLN (apa pula itu ketua PLN?) yang sering matiin listrik tiba-tiba sehingga laptop gue sering mati pas nyusun buku ini. Makasih loh, Pak.

Page 10: Keriba-Keribo FREE Compress

Terima kasih kepada Rian Nofitri. Febryan Prasetyo. Abdusa Alam. Dan teman-teman lain yang membantu mewujudkan buku digital ini.

Dan yang terpenting, terima kasih buat yang udah sering mampir dan main ke web blog gue, www.keriba-keribo.blogspot.com. Kalian yang sering ngasih komen maupun yang enggak. Pokoknya, kalian the best. Macho. Asik. Gaul. Keren. Mantap.

Salam macho,

Kresnoadi

Page 11: Keriba-Keribo FREE Compress

DAFTAR ISI (klik judul untuk melompat ke halaman yang diinginkan)

BO..BO.. BOBO _________________________________________ 14

ANAK WONOSOBO ITU ______________________________________ 33

CATATAN AKHIR PEKAN _______________________________ 56

LEMAH _______________________________________________ 70

TERNODA KARENA TORNADO _________________________ 92 ANTARA YANG SEJATI DAN YANG SEENAK JIDAT ________________________________________ 122 HILANG BUKAN BERARTI KOSONG, NAK ________________________________________ 129

PERTAMA BUKAN YANG TERAKHIR ____________________ 152 PERJUMPAAN (KEMBALI) DENGAN VE AMALIA __________________________________ 180

KERIBA-KERIBO ______________________________________ 198

CURHATAN PENULIS __________________________________ 198

EXTRAS-

DAPUR RAHASIA ______________________________________ 357

Page 12: Keriba-Keribo FREE Compress

- PENGGALIAN IDE _________________________________________ 340 - INSPIRASI _____________________________________________ 343 - MEMBUAT JOKE _______________________________________ 354 - TEKNIS PEMBUATAN EBOOK __________________________ 367

PERIHAL KERIBA-KERIBO _____________________________ 433

30 HARI BERSAMA HUJAN _____________________________ 433

Page 13: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 14: Keriba-Keribo FREE Compress

BO..BO.. BOBO

KATA temen-temen di kampus, gue adalah orang yang punya dua

sifat. Gue semacam punya alter ego di dalam diri. Kalau pas lagi

biasa-biasa aja, gue gampang banget molor. Tidur di mana pun

dan kapan pun. Kalau ngeliat kasur, hati gue kayak meronta-ronta,

‘Adi hampiri dia! Tiduri dia! Tiduri!’

Meski kedengerannya malah kayak orang mesum, tapi

beneran. Gue gampang banget tidur. Nempel bantal dikit, molor.

Senderan di tembok, tidur. Udah jam 12 malem, bawaannya

pengen tidur. Nah, di sisi yang berbeda, gue kalo lagi keasikan

main/ngerjain sesuatu malah jadi males tidur. Gue kayak ngerasa

tidur adalah kegiatan yang membuang-buang waktu.

Pas lagi ngerjain buku ini, misalnya. Gue pernah begadang

semaleman. Mungkin, karena ngeliat lampu kamar yang masih

menyala, pagi-pagi buta Bokap masuk ke kamar. Dengan kaus

Page 15: Keriba-Keribo FREE Compress

oblong putih yang sedikit kebesaran, dia nyamperin gue yang lagi

asik ngetik. Dia lalu mengelus-ngelus punggung gue, kemudian,

layaknya seorang Bapak, dia bilang, ‘Nak, tidurlah…’

Gue cuman nanggepin sambil santai dan tetep ngetik di

laptop. Sampai kemudian dia meneruskan kalimatnya yang

terpotong,

‘…nanti kamu mati.’

ANJIR! Sebuah wejangan di pagi buta yang sangat horor.

Gak kebayang Bokap pas pacaran dulu. Apa dia sering menyuruh

Nyokap tidur dengan kalimat seperti ini?

‘Sayang, udah malem nih. Kok belum tidur? …nanti mati,

loh.’ Bukannya ngerasa romantis, yang ada Nyokap mengira kalo

Bokap seorang psikopat.

Dan betul aja lho. Besoknya, setelah kejadian Bokap yang

nyuruh gue tidur (karena dia takut gue mati), dia langsung ngasih

tunjuk berita tentang orang yang mati gara-gara kurang tidur.

Berita itu sukses ngebuat gue tidur seharian.

Namun, di sisi satunya, kita tetap tidak boleh kebanyakan

tidur. Sekali-kali, kita juga butuh keluar, menyadari kalau dunia ini

seru. Gue punya dua pengalaman simpel tentang itu:

Page 16: Keriba-Keribo FREE Compress

Satu.

Kamis, Agustus 23 2012

'THE Expendables 2 mau gak?’ tanya Ega di seberang telepon.

Gue, yang memang menunggu-nunggu film itu, menjawab

lantang, ‘Yok!’ kata gue. ‘Siapa aja?’

‘Gue udah ajak Agung ama Nurul.’

‘Sip.’

Sebelumnya, biar gue perkenalkan mereka. Ega: jawara

menaklukan wanita. Rambutnya lurus dan lemas, dengan tinggi

badan yang sedikit di bawah gue dan kulit yang terlalu matang.

Nurul: cowok berambut pendek dan agak keriting. Seperti ada

tanaman rambat yang menjalar di kepalanya. Kulitnya putih.

Badannya gemuk berisi, serta memakai kacamata. Agung: cowok

dengan gaya rambut belah tengah. Bahunya tegap. Kekar, tetapi

tidak bisa goyang-goyangin tetek sambil bersenandung ‘Tegangan

cinta tak dapat dihindar lageee! Astutii!!’

‘Rul, bawa motornya santai aja, ya.’ Gue duduk di jok

belakang sambil mengenakan masker.

‘Siap, Di. Santai!’ jawab Nurul.

Page 17: Keriba-Keribo FREE Compress

Meski begitu, Nurul tetap tak terkontrol. Melihat jalanan

yang lengang, Nurul menjadi kesetanan. Ia layaknya orang yang

mau balapan melawan Valentino Rossi: ngebut abis.

‘Jarang-jarang Jakarta lengang kayak gini, ‘ katanya penuh

semangat. ‘Cuman pas lebaran nih bisa gini.’

Betul, Nurul bukanlah Nurul kalau tidak mengebut.

Bayangkan, tiap belokan dengkul harus menyentuh aspal. Hal ini

amat berbeda dengan gue yang kalau bawa motor kayak siput.

Kalo pengen terasa ngebut, kepala tinggal gue nunduk-nundukin.

Sampai kejedot stang.

Pernah sambil menengok ke belakang, Nurul berkata, ‘Hari

gini nggak usah takut sama polisi. Kalau ditilang, polisinya yang

bayar. Bukan kita!’ Sungguh suatu pernyataan yang sombong

sekali. Mendengar kata-katanya yang sok itu, gue hanya merespon

dengan menepuk bahu Nurul sambil berkata datar, ‘O, gitu ya,

Rul.’ Kemudian bertanya di dalam hati: Nurul ini anak siapa ya

Allah?!

Sebagai anak motor sejati, gue sudah sangat hafal akan

karakter orang-orang dalam mengendarai motor. Dari yang

duduknya terlalu ke depan, menungging ke belakang, sampai yang

Page 18: Keriba-Keribo FREE Compress

miring-miring (yang ini biasanya nahan boker, jadi pantatnya

disumbat dengan pinggiran jok).

Tapi, dari begitu banyak orang yang naik motor, ada orang

yang paling bikin geli sekaligus bikin iri: yang pacaran di motor.

Sungguh, manusia-manusia jenis ini harus kita musnahkan

dari muka bumi. Lempar ke laut lepas. Lalu kita tebar pelet

makanan ikan di atas mayatnya.

Entah kenapa, semakin ke sini, gue perhatiin orang yang

pelukan di motor semakin meresahkan (oke, gue memang suka

merhatiin hal yang tidak penting). Mereka semakin berani

mengumbar kemesraan di motor. Mereka tidak punya tenggang

rasa!! Gaya pelukannya juga aneh-aneh. Dari yang masukin tangan

ke dalam kantung jaket si cowok, sampai yang meluk bahu tapi

dillit-lilitin dulu ke lengan cowoknya. Mungkin, tidak lama lagi,

bakal ada cewek yang boncengannya naik ke pundak si cowok,

lalu ngibarin bendera slank.

04:45 PM:

Begitu sampe di mal, kita langsung ngebagi tugas. Gue dan Agung

jalan di depan, berperan sebagai perintis. Membuka jalan menuju

XXI. Di belakang kita ada Ega mengendap-endap. Sebagai

Page 19: Keriba-Keribo FREE Compress

bluetoother, tugasnya adalah searching for devices. Mencari mana

perempuan yang pantas dipandangi, dan mana yang jadi-jadian.

Sementara di paling belakang, ada Nurul, kita iket di parkiran

kuda.

‘Mbak, pesen tiket The Expendables 2, ya. Jam lima.’ Nurul

mengacungkan empat jarinya ke udara. ‘Empat orang.’

‘Wah, untuk jam lima sudah habis, Mas.’

Nurul meletakkan satu sikutnya ke atas meja, ‘…tapi kalo

nomer hape, ada kan?’

‘kalau yang jam tujuh masih banyak, kok, kursinya.’

FAIL.

Kita yang akhirnya membeli tiket untuk jam 7, harus

lontang-lantung di Cilandak. Karena gak ada kerjaan, kita

memutuskan buat naik ke lantai dua. Senderan di pinggir kaca,

ngeliatin orang lalu-lalang. 15 menit pertama kita ngerasa keren.

Gaul. Nongkrong rame-rame ngeliatin orang-orang di bawah.

Sampai 3 detik berikutnya kita pada mau kena asam urat, si Ega

mengusulkan supaya pindah ke j.co.

‘Jangan di sini, deh,’ kata gue, sesampainya di depan j.co.

Page 20: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Kenapa?’ Ega menyahut. ‘Kan mantep. Liat tuh, meja

sebelah sana.’ Ega menunjuk meja paling ujung yang kosong, yang

di depannya terdapat beberapa cewek lagi nongkrong. Instingnya

mungkin mengatakan kalau kita ke meja sana, kita bisa kenalan

sama cewek seberang. Sementara insting gue mengatakan kalau

kita duduk di meja sana, kita bisa bikin mata cewek-cewek itu

numbuh bisul dalam lima detik pertama.

‘Gue belum pernah nongkrong di tempat beginian.’ Gue

akhirnya jujur.

‘Udah, tenang aja.’

Ega masuk, ninggalin gue.

Entah kenapa, ada perasaan grogi tiap gue pergi ke

tempat-tempat nongkrong yang gaul. Gue merasa sedang berada

di habitat yang salah. Gue melangkah ke tempat duduk.

Mengangguk pelan ke kasir. Mbak kasir lalu membalas senyum,

yang malah di pikiran gue seperti mengatakan, ‘Kemarilah anak

muda. Habiskan seluruh harta yang kamu miliki. Hihihi!

IHIHIHIHIK!’

Kita udah di meja, duduk saling tatap-tatapan. Gue

menyelipkan tangan ke paha, mencoba menyesuaikan diri dengan

Page 21: Keriba-Keribo FREE Compress

habitat baru ini. Di antara kita cuman Ega yang terlihat paling

tenang dan santai.

‘Lo mau minum apa?’ tanya Ega, kalem.

‘Eng… gue? Gak usah deh.’

‘Elo, Gung?’

‘Sama, deh. Gue nggak usah.’

‘Elo, Rul?’

‘Emm…,’ Nurul berpikir sebentar, ‘Es teh manis, dah.’

‘Goblok. Ini coffee shop!’ kata Ega, heran kenapa IQ

temennya bisa setara kadal. ‘Udah, gue yang pilihin, deh.’

Ega menatap mata Nurul tajam. Mungkin Ega memikirkan

minuman yang cocok dari bentuk kepala seseorang. Lama

berpikir, Ega terlihat masih bingung menentukan minuman yang

cocok buat Nurul. Mungkin dari bentuk kepalanya, Nurul paling

pas minum… hot traditional drinking water. Atau dalam bahasa

sehari-hari: aer putih anget.

‘Udah deh, standar aja. Hot cappuccino. Pesen gih.’ Ega

menyurul Nurul.

Page 22: Keriba-Keribo FREE Compress

Nurul pun dengan jumawa pergi ke kasir. Tidak berapa

lama, si mbak-mbaknya menaruh segelas minuman di atas meja

dan berteriak, ‘MBAK RITA!’

Nurul puter balik. Cemen.

Selanjutnya, biar Ega sang Leboy yang melakukan

semuanya. Kita pun berhasil memesan enam potong donat

cokelat… dan segelas hot cappuccino milik Nurul. Tidak sampai di

situ saja tingkah Nurul, dia juga meledek Agung yang makan donat

belepotan sambil berteriak-teriak.

‘Ah elu, Gung, gitu aja belepotan. Gimana, sih, malu-maluin

aja! HAHAHAHA!’ cela Nurul sambil menyeruput kopi panasnya.

Lalu kopinya tumpah ke selangkangan.

Suara tawa Nurul berlanjut, ‘HAHAHAHAARRRGGHH…

PANASSSHH.. PANAASS!! TIDAAAAAAAAAAAAAAAAKK!!’

Dan Agung pun membalas dengan elegan, ‘Ah elu, Rul, gitu

aja tumpah. Malu-maluin.’

Karma does exist.

Page 23: Keriba-Keribo FREE Compress

Sebelum dimutilasi oleh pengunjung j.co (saking

rusuhnya), kita memutuskan pergi ke foodmart untuk membeli air

mineral.

05.30 PM

Sampai sekarang, kulit item si Ega belum juga kelihatan. Kita

emang pada males masuk ke dalem, jadi cuman nungguin di

seberang kasir. Di stand motor yang ada SPG cakepnya. Ehehe.

Ehehehehe.

Tak disangka tak diduga, di stand sebelah kami. Ada.

Cewek. Yang. Cihui. Banget. Rambutnya hitam panjang terurai

seperti perempuan di iklan shampo. Matanya bulat, mirip telur

rebus mini yang mengilap dan minta disantap. Dari gelagatnya, dia

seperti sedang menunggu seseorang. Bertemu cewek cantik yang

asing membuat gue inget perkataan Ega. Katanya, ‘Hati-hati sama

cewek ADH.’ ADH sendiri adalah kategori cewek yang dibuat oleh

Ega. Menurutnya, ADH adalah cewek yang kalo dari belakang

keliatan “Aduhai” sementara pas diliat mukanya jadi pengen

bilang, ‘Aduuuuuh… solat tobat… solat tobat.’

Page 24: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Di,’ Agung menyenggol tangan gue. ‘Tuh, si Leboy1 udah di

kasir.’

‘Akhirnyaaaaaa,’ jawab gue, mengelus batang leher, haus.

Di depan Ega berdiri seorang cewek gendut, berkacamata kotak

hitam besar, dengan tas hitam kinclong penuh manik-manik

sedang menunggu belanjaannya dihitung kasir.

‘Gung,’ gue balik menyenggol balik Agung. Mengarahkan

bibir ke cewek di depan Ega. ‘Dia.. gemuk juga ya…’

Gue tidak sadar telah mengeluarkan kata-kata jahat.

‘Ah, paling satu genus sama manusia. Tapi beda spesies!’

Agung terkutuk.

Agung melanjutkan, ‘iya, Di. Dia homo.. tapi bukan

sapiens. Dia hommooooo.’

Si homo tiba-tiba melambaikan tangannya. Kita yang lagi

ngatain dia langsung panik. Sampai kita semua sadar kalau orang

yang dia sapa adalah si. Cewek. Iklan. Shampo. Omaigat. Suatu

keajaiban bagaimana dua manusia yang berbeda spesies bisa

hidup berdampingan.

1 playboy

Page 25: Keriba-Keribo FREE Compress

Masih dalam keterkejutan tingkat tinggi, si homo berjalan

menuju stand samping kami, tempat si iklan shampo berdiri.

Tetapi, setelah gue perhatiin lebih jauh, kayaknya ada yang aneh

sama si cewek gendut ini. Jalannya lemas dan tidak teratur. Miring

ke kanan, miring ke kiri. Lalu…

GEDUBRAK!

Si homo jatoh. Tanah pun bergetar. Bumi terbelah. Muncul

hewan yang bisa bicara. Keluar darah dari pantat kita semua

(horor).

Lalu, gue, dengan memadu-padankan jiwa penolong yang

tinggi serta otot yang kecil, langsung nyamperin dan berusaha

mengangkat si paus homo itu. Tapi kesusahan. Melihat hal

tersebut, para penjaga stand ikut membantu gue dalam

mengangkat perempuan bongsor ini. Setelah dia sadar, barulah

gue kembali ke Agung dan Nurul.

‘Elu gimana, sih, kok malah bantuin ngangkat dia?’ tanya

Agung, setengah ngomel.

‘Hah? Emang kenapa?’

Page 26: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Harusnya kan… yang lo angkat cewek rambut panjang itu,’

kata Agung, menunjuk si cewek iklan shampo. ‘Cakep, Di. Hehehe,’

Agung cengengesan. Sialan juga si otot ini.

KARENA udah mau jam 7, kita bergegas menuju bioskop. Kita

sangat antusias untuk menyaksikan film yang memang sudah

lama dinanti ini. The Expendables 2. Gila. Seru abis. Filmnya

selesai pukul sembilan malam. Menonton film ini ngebuat tingkat

kemachoan pria bertambah. Kita keluar bioskop langsung

ngikutin gaya Chuck Norris dengan membusungkan dada,

mengangkat dagu, serta jalan dengan kaki yang mengangkang.

Kayaknya kita lupa kalo macho beda sama abis sunat.

Hari di mana tulisan ini dibuat: Kamis, 23 Agustus 2012, gue tidak menyangka kalo pergi main dengan seseorang yang sejiwa, yang otaknya sama-sama miring, bakal ngebuat kita menemukan keseruan-keseruan baru. Keseruan yang tidak akan kita dapatkan ketika cuman tidur di rumah. Bahkan, hanya dengan sebuah perjalanan kecil seperti keluar rumah, lalu pergi menonton.

Page 27: Keriba-Keribo FREE Compress

Dua.

Minggu, September 30 2012

SETELAH sekian lama kerja di Purwodadi, hari ini Bokap pulang.

Selama dia di rumah gue akan bersikap baik. Itulah tekad gue.

Namun tekad itu kandas karena:

06.30 AM:

TING TONG!

Gue melongok dari jendela kamar. Bokap udah berdiri di

depan pager. Rambut putihnya sedikit keluar dari kupluk. Selama

ini gue belom pernah potong rambut. Jadi kehadiran Bokap

sekaligus buat mamerin rambut gue yang udah panjang. Gue lalu

keluar ngebuka gerbang dan meminta tasnya untuk gue bawa

masuk. Diapun dengan kumis abu-abu yang melekat dan senyum

khas seorang Bapak, memberikan tasnya ke gue. Dengan suaranya

yang berat, sambil meremas rambut gue, dia berkata, ‘Nak, muka

kamu mana? Potong rambut sana.’

Niat gue yang semula ingin mengambil tas Bokap, kini

berubah menjadi niat ingin mengambil celurit dan

membacokkannya ke leher sendiri.

Page 28: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 29: Keriba-Keribo FREE Compress

12.05 PM

‘Tok, Tok, Tok!’

‘Masuk.’

Nyokap membuka pintu kamar, berdiri di muka pintu,

kemudian memerlihatkan sebuah celana jeans.

‘Ini punya kamu?’

‘Iya.’ Gue menegakkan badan. ‘Kenapa?’

Nyokap menunjuk bagian lutut celana tersebut, ‘Udah

bolong, nih,’ katanya. ‘Kayak gembel aja. Beli yang baru, gih.’

Nyokap ngelempar celana tersebut ke pinggir kasur, lalu

keluar kamar. Menyisakan gue yang kebingungan.

Tidak berapa lama, Nyokap masuk lagi.

‘Tiga ratus ribu cukup, kan?’ Nyokap kemudian menaruh

uang tersebut di atas meja, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia

pergi keluar.

Gue menatap uang tersebut. Heran.

Page 30: Keriba-Keribo FREE Compress

Bukan. Gue heran bukan karena dibilang gembel, itu sudah

biasa. Tetapi gue heran dengan perilaku Nyokap yang ganjil ini.

Biasanya kalau gue minta sesuatu, Nyokap bakal ngeles, nyari

alesan supaya enggak ngebeliin barang yang gue minta. Pada

umumnya, ia akan mengaitkan barang tersebut dengan barang

lain yang pernah dia beliin. Gue pernah minta beli sepatu, Nyokap

langsung nyamber, ‘Lho, kemaren, kan, baru beli sweater. Masa

beli-beli lagi?’ Sungguh alasan yang tidak nyambung. Nyokap

mungkin berpikir bahwa sweater bisa digunakan sebagai alas kaki

sehingga gue tidak membutuhkan sepatu. Jangan-jangan, kalo gue

minta beli makan, Nyokap bakal bilang, ‘Lha, kemaren kan baru

beli celana dalem. Gigit aja sampe kenyang.’

Karena sekarang mood Nyokap lagi bagus, gue tidak akan

menyia-nyiakan kesempatan ini. Gue lalu menelepon Nurul, salah

seorang teman SMA:

‘Halo, Rul. Temenin gue beli celana, yuk.’

‘Hah?! Mau beli daleman di mana emang, Di?’

‘Serius, Rul.’ Gue menghela napas. ’Celana jeans. Bukan

kancut.’

‘Lah, emangnya kancut ada yang bahan jeans, Di?’

Page 31: Keriba-Keribo FREE Compress

‘BUKAN KANCUT!’ Gue menegaskan. ‘Celana JEANNSS!’

‘Ooo… celana jiin.’

‘Iya.’

‘…jin dan jun?’

Klik. Gue menutup telepon.

Selang beberapa detik, setelah membaca doa-doa penolak

bala, gue telepon lagi.

‘Gimana Rul, bisa temenin gak?’

‘Kayaknya enggak, deh. Gue demam nih…’

’Oh gitu. Ya ud-’

‘… tadi pagi gue mandinya kelamaan.’

‘BODO AMAT!!’

Klik. Gue menutup telpon.

Daripada IQ gue turun, gue memutuskan untuk pergi

sendiri. Pilihan pun jatuh kepada ITC di daerah BSD. Tempat-

tempat seperti ITC sangat cocok untuk orang bermental anak kos

seperti gue. Gak apa-apa celana murah, yang penting sisa uangnya

Page 32: Keriba-Keribo FREE Compress

bisa dipake hura-hura. Toh beli jeans ini. Nggak kelihatan bedanya

antara yang murah dan mahal. Makanya, gue bingung dengan

orang yang rela beli celana jeans sampe ngabisin uang ratusan

ribu bahkan jutaan. Malah ada temen gue yang niat banget bikin

ke tukang jahit. Katanya lebih enak dipake di pantat. Helo? make

celana kan emang di pantat. Emangnya kalo yang harganya murah,

make celananya ditusukin ke ubun-ubun?

02:00 PM:

‘Buset. Ini mal liar banget. Kayak pasar di AC-in,’ gue

membatin.

Seperti di ITC mana pun, di sini jualannya dempet-dempet

banget. Untuk jalan aja ribet, nyenggol sana-sini. Dibanding

mencari celana jeans, gue malah terlihat seperti sedang

melakukan perjalanan umroh.

Karena bingung, gue kembali keluar, nyamperin satpam di

pintu masuk.

‘Mas, kalo yang jual celana jeans di mana, ya?’

‘Di toko baju, Dek.’

Page 33: Keriba-Keribo FREE Compress

Gue diem.

Hampir ngejepit leher si satpam di pintu masuk, gue lalu

sadar kalo pintunya pake pintu otomatis. Akhirnya gue tanya lagi,

‘Maksudnya, toko bajunya di mana?’

‘Ooh..,’ si satpam nyengir. ‘Ada Ramayana di lantai dua.

Silakan Mas ke sana.’

‘Oke. Makasih, Mas.’

Gue langsung melengos. Tidak lama, gue ngedenger si

satpam memanggil di belakang.

‘Eh Mas, Mas!! Tunggu!’

Biar dramatis, gue menoleh dengan slow motion. Si satpam

juga ikut-ikutan slow motion. Dia berlari-lari di udara dan

mencoba berbicara, ‘Tungguuu! guu… gu.. gu..’

Gue berbalik arah. Tangan gue menggapai-gapai angin.

Menjawab: ‘Kenapaa.. pa.. paa..’

‘Ramayana emang ada di lantai dua, TAPI KALO MASUK

MALL HELMNYA DILEPAS DULU?!’ teriak satpam sambil

menunjuk kepala gue. Kalimat menohok ini seakan menggema di

kuping gue: ‘Lepas duluu.. lu.. lu.. begok. gok.. gook..’

Page 34: Keriba-Keribo FREE Compress

Gue malu abis.

SETELAH menaruh helm di parkiran, gue kembali mengumpulkan

rasa percaya diri. Gue menarik napas dalam-dalam, berkaca di

spion sambil mengecek ada tidaknya hal yang dapat

mempermalukan hidup gue lagi. Setelah merasa cukup, gue masuk

lagi. Untuk kedua kalinya. Lewat pintu yang sama. Dengan satpam

yang biadab sama pula.

Si satpam di depan pintu tolak pinggang ngeliatin gue,

‘Nah gitu dong, Mas. Dilepas dulu helmnya.’ Si satpam nyengir, lalu

mengacungkan jempol. ‘Seeep!’

Pengen gue cekek dia.

Tidak mau cari perkara, gue lalu pergi ke Ramayana, membeli celana yang paling murah

1) Turutilah kemauan Ibu Anda, sekalipun hanya membeli celana jeans

2) Lepaskan helm Anda sebelum memasuki mal

3) Kita harus menghargai para pria yang mengantarkan pacarnya belanja. Maka, ketika kita melihat ada cowok teriak-teriak sendirian di belakang pacarnya, hampirilah, lalu tepuk-tepuk pundaknya.

Page 35: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 36: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 37: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 38: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 39: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 40: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 41: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 42: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 43: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 44: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 45: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 46: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 47: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 48: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 49: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 50: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 51: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 52: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 53: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 54: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 55: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 56: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 57: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 58: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 59: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 60: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 61: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 62: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 63: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 64: Keriba-Keribo FREE Compress

CATATAN AKHIR PEKAN

Sabtu, Maret 23 2013

GUE lagi sebel. Banget. Sama tukang parkir.

Pernah gak kalian kesel sama tukang parkir? Baru parkir

bentar, eh motor udah ditandain sama tukang parkir pake kerdus.

Kalo gue belanjanya banyak, mah, nggapapa. Tapi kalau cuma beli

air mineral dua ribuan di Alfamart, terus dipaksa bayar parkir

seribu kan nyebelin. Itu setengah harga sendiri. Kancut.

Gue juga ngerasain kalo semakin lama keagresifan tukang

parkir semakin tinggi. Temen gue pernah ninggalin motornya buat

nyari temen, eh balik-balik motor udah dikardusin. Keagresifan

tukang parkir juga melanda teman gue yang lain. Motornya

Page 65: Keriba-Keribo FREE Compress

dikardusin pas dia BEDIRI di samping motornya sendiri.

Bayangkan betapa agresifnya tukang parkir zaman sekarang.

Kalau begini terus, ada kemungkinan di masa depan nanti, saking

agresifnya, tukang parkir bakal dateng ke rumah-rumah sambil

nawarin, ‘Pak, kardusnya, Pak... Boleh, Pak…’

Keriba-keribo,

Siang tadi nyokap menyuruh gue untuk beli alat tes gula

darah buat bokap. Karena cuman ke apotek deket rumah, maka

gue mendedikasikan diri make celana pendek dan singlet

seadanya. Dan berangkatlah gue ke apotek menggunakan avanza

terbang motor tercinta.

Ternyata di sana alat tes gula darah yang gue cari nggak

ada. Naasnya, sewaktu ke parkiran, motor gue udah dihadang

sama dua tukang parkir. Karena ngggak beli apa-apa, gue jadi

males buat bayar parkir. Melihat si tukang parkir yang

tampangnya kayak anak SMP, gue pun memutuskan untuk

melakukan aksi macho: memelototi mereka dalam-dalam.

Berharap mereka takut, minta ampun, kemudian jalan ngesot ke

arah gue sambil sambil salim bolak-balik (emangnya eyang

subur?).

Page 66: Keriba-Keribo FREE Compress

Sayang, seribu sayang. Bukannya takut, mereka malah

melototin gue balik. Gue, setelah menyadari bahwa

berpenampilan seperti mamang-mamang tukang jaga toko

material, daripada dianiaya, akhirnya menyerahkan seribuan.

Mereka SMP. Gue kuliah. Mamah, aku lemah.

Selanjutnya gue pergi dari dua tukang parkir jahanam tadi

dan menuju apotek lainnya. Berbekal pengalaman di apotek

sebelumnya, gue memilih untuk parkir tepat di depan pintu

masuk. Alasannya: kalau obatnya ngga ada, gue bisa langsung ke

motor dan kabur dari tukang parkir. Gue tidak mau seribuan gue

kembali hilang cuma-cuma. Akhirnya, setelah bersiap dengan

menarik sedikit napas, gue lari masuk ke apotek, nanya obat,

ternyata ngga ada, buru-buru keluar, ngeliat ke motor, kemudian

jerit kayak orang sedeng, ‘DAUS MINI KOLONG WEWE, KARDUS

SAPA NI DI MOTOR GUE!!!’

Saking stresnya, teriaknya malah jadi pantun.

Huhuhu. Pokoknya gitu, deh. Gue benci sama tukang

parkir. Aku benci benci benci.

Tapi satu hal yang gue tahu. Dan, pengetahuan gue ini

merupakan fakta yang akurat dan tak terbantahkan bagi kalangan

Page 67: Keriba-Keribo FREE Compress

pertukangparkiran. Faktanya adalah, tukang parkir itu mirip

jelangkung: datang tak dijemput, pulang minta cenggo.

Tapi emang bener, deh. Tukang parkir tuh kayak siluman.

Dia bisa tiba-tiba dateng entah dari mana asalnya. Mungkin di

suatu keluarga tukang parkir, pas ada anak tukang parkir bingung

nyari bapaknya, dia bakal datengin ibunya bilang, ‘Bu, bapak di

mana?’ lalu si ibu menatap anaknya dalam-dalam. ‘Tenanglah

anakku. Sebentar lagi dia akan datang.’ Si Ibu kemudian ngeluarin

motor… lalu muncul si bapak dari rumah tetangga bawa-bawa

kerdus sambil teriak, ‘Rous! Rous! Ooooop!!’

Oh, tapi biarlah. Setelah melewati peristiwa-peristiwa

mengenaskan tersebut, gue menyerah. Biarlah tukang parkir

dengan segala kelakuannya yang keparat itu berada di lingkungan

kita. Belakangan gue malah menyadari bahwa terdapat sebuah

fenomena fantastis mengenai perilaku tukang parkir. Tukang

parkir, secara naluriah, akan memberikan pelayanan yang

berbeda tergantung besaran duit yang mereka terima.

Kurang lebih hasil dari riset gue begini: kalau kita ngasih

gopek, si tukang parkir bakal langsung nyomot duit itu dari

tangan kita, lalu pergi sambil menggerutu. Kalo kita ngasih seribu,

si tukang parkir akan tersenyum, kemudian bantu narikin motor

Page 68: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 69: Keriba-Keribo FREE Compress

kita. Kalo kita ngasih lima puluh ribu, dia bakal naik ke motor kita,

lalu mengantarkan kita sampai ke rumah.

Keriba-keribo,

Karena lagi giat-giatnya belajar nulis dan buka-buka

tesaurus, gue jadi sadar kalau ternyata banyak kata-kata yang

dipakai tidak pada tempatnya. Kalian pernah denger ngga, pas

orang lagi main Playstation, atau apalah. Ada orang yang bilang,

‘Itu, kalau ngoper bola, ‘pijit’ x.’ Berhubung gue lagi belajar kata-

kata, kalimat tersebut malah ngebuat otak gue benar-benar

membayangkan si orang tersebut sedang memijit joystick. Pake

minyak arab. Dikasih kemben, dioles-oles, diraba-raba. Hoeek.

Sama halnya ketika tawuran. Banyak anak sekolah yang

pas tawuran tereak, ‘Woi, seraaaangg. Ayoo sikaat, sikkaaaaat!?’

Gue kan bingung, itu tawuran atau kerja bakti? Pakai bawa-bawa

sikat segala. Sekalian aja nanti bilang, ‘Woi seraaang. Sikaat!

Gosook, gosook! Ayo, kita jemur mereka!’

Jadi, untuk kalian wahai para pencinta kedamaian. Apabila

kalian disuruh berantem sama orang yang ngomong, ‘Abisiin aja

orang kayak dia! Abisiiin!!’ Tolaklah dengan berkata, ‘Wah, sorry,

Men. Gue bukan kanibal.’

Page 70: Keriba-Keribo FREE Compress

Minggu, April 14 2013

HALO keriba-keribo,

Hari minggu ini gue udah mendingan. Alhasil bisa nulis

lagi.

Selama bed rest seminggu kemarin, gue jadi lebih dekat

dengan Nyokap (di rumah memang cuma ada dia, Bokap kerja di

luar kota). Gue yang sering punya pikiran untuk “tidak mau

pulang ke rumah” dengan alasan capek, males, atau di rumah ngga

ada temen, mau ngapain kalau gue sama nyokap doang

beduaan? Mending di kosan banyak temennya.

Sekarang, gue mengubah pola pikir tersebut.

Ironis, pikir gue. Ketika gue punya dua hari lengang di

setiap minggunya, gue memilih untuk istirahat di Bogor. Kalaupun

pulang, biasanya gue akan mencari aktivitas yang gue suka,

full selama sabtu dan minggu. Gue jadi kurang menghargai waktu,

badan gue, dan yang terpenting: Nyokap.

Page 71: Keriba-Keribo FREE Compress

Dan tapi, selama bed rest, gue jadi memahami betapa

sepinya hidup sendirian. Gue beranggapan bahwa ada baiknya,

satu dari dua hari kosong itu kita serahkan untuk kedua orangtua

kita. Sepi yang gue hindari, secara tidak sadar, justru dilahap

Nyokap setiap hari.

Nyokap, setiap hari berangkat kerja mulai pukul lima pagi

dan pulang pukul tujuh malam. Mana di rumah ngga ada orang.

Sebelum ngantor, sendiri. Pulang ngantor juga sendiri. Selain itu,

nyokap masih harus mengerjakan pekerjaan rumah. Gue jadi

benar-benar mengerti, betapa Nyokap itu kuat. Dan gue, juga jadi

ingat, bahwa tiap kali gue sibuk menjadi dewasa, orangtua gue

juga sibuk bertambah tua.

Yah, jadi ada hikmahnya juga gue tepar di rumah: gue

lebih dekat dengan Nyokap.

Karena bed rest ini juga, gue jadi lebih banyak ketemu

nyokap. Dan itu artinya: quality time. Nyokap jadi lebih banyak

cerita. Tentang kegiatannya. Tentang perkerjaan kantornya. Juga

tentang gosip-gosip yang ada di kantor dia—ternyata kantor

nyokap banyak cerita anehnya. Mungkin kalau difilmkan, bakal

menelurkan sebuah film yang bombastis. Sebut saja Jabatan Yang

Tertukar, Cinta ku Tersapu Office Boy, sampai Bosku Yang Minta

Digampar.

Page 72: Keriba-Keribo FREE Compress

Jadi, buat kalian wahai makhluk yang sok-sokan nggak

mau dibilang anak mami—lantaran kepengin dianggap dewasa—

sehingga jarang ketemu orangtua. Insyaflah.

Keriba-keribo,

Selama empat hari kemarin, selain berkelumit dengan Nyokap,

kerjaan gue cuman nontonin tivi sambil baringan. Setelah nyokap

berangkat kerja, gue biasanya bakal tiduran di kursi panjang

depan tivi. Mainin remote. Gonta-ganti channel… sampai gue

ketemu acara musik itu.

Astaga. Kenapa sih sekarang sebagian besar acara musik

di televisi lagi hobi bikin kuis berhadiah yang sengaja dipersulit

untuk mendapatkan hadiahnya, dengan cara yang menurut gue

sangat aneh.

Contohnya di salah satu acara televisi. Acara ini membuat

games menebak orang di dalam bilik dengan memberikan tiga

petunjuk. Nah, petunjuknya ini yang menurut gue sangatlah

maksa. Tadi gue menonton, kira-kira seperti ini: (setel musik

serem supaya tegang)

MC: klu yang pertama… orang ini… suka makan teri.

Page 73: Keriba-Keribo FREE Compress

MC: klu yang kedua… dia.. suka lagu pop.

MC: klu yang ketiga… dia senang jalan-jalan ke Bali.

MC: Apakah kamu (si MC menunjuk peserta) sudah tahu,

siapakah orang tersebut?

Peserta: Jokowi!

MC: Oke, jawaban kami kunci.

Si MC masuk ke dalam bilik, lalu keluar membawa

seseorang berjubah hitam.

‘Dan, kita lihat… apakah Jokowi? Yaaaaak…’ (suara musik

semakin menggelegar) ‘Ternyata, Siti Badriah! Maaf, Anda salah.

Dengan begitu, besok uangnya akan kami lipat-gandakan tetap

ikuti kuis blablabla.”

‘Njir! Apa-apaan nih!’ Gue mengambil remot, ‘Ngga niat

amat sih bagi-bagi duit!’ Gue tetap memegang remot, berkedip

sebentar hingga menyadari suatu hal: ‘SITI BADRIAH ITU SIAPE

KAMFRET! GUE KAGA KENAL!!’

Gue tidak abis pikir. Semakin semakin saja acara

pertelevisian kita. Kalau seperti itu caranya, gue akan membuat

acara sendiri. Hadiahnya 10 Miliar. Adapun petunjuk yang gue

Page 74: Keriba-Keribo FREE Compress

berikan: dia pemakan nasi, pencinta gratisan, dan udah jarang ikut

arisan. Jeng jeng jeng jeng… lalu Nyokap gue keluar dari bilik.

Pasti ngga ada yang bisa nebak. Rasakan.

Lain halnya dengan acara satunya. Dengan konten “Mister

Tajir” yang (katanya) memberikan soal seputar musik. Salah satu

soalnya begini: ‘Saat Gisel dan Gading pre-wedding ke Milan, apa

nama danau yang mereka kunjungi?’

Itu mah bukan soal musik. Itu soal gosip. Sekalian aja

pertanyaannya: ‘Dalam lagu buka dikit joss, berapa kali

penyanyinya nge-joss?’

Njir.

Keriba-keribo,

Beberapa hari yang lalu sodara gue pada ke rumah. Dan dari

kumpul-kumpul keluarga tersebut, gue mendapat pelajaran

tentang perempuan. Perempuan, yang selama ini kita kenal

sebagai makhluk paling suci, paling manis, paling unyu, ternyata

merupakan mahluk yang penuh fatamorgana.

Pada kasus kumpul keluarga, fatamorgana pada

perempuan dapat dilihat dari sifatnya yang malu-malu najong.

Page 75: Keriba-Keribo FREE Compress

Pada jam-jam makan siang, formasi yang terbentuk dalam

sebuah kumpul keluarga ialah begini: bapak-bapak bersama para

pemuda mengobrol di pojokan sambil nungguin makanan.

Sementara cewek-cewek, selapar apapun mereka, se-pengen-mati

apapun, mereka akan sibuk saling menyuguhkan makanan,

‘Udah, ibu aja yang makan duluan…’

‘Ah engga, ibu aja yang duluan.’

‘Udah, ibu aja...’

‘Udah, duluan aja…’

‘Lo lah yang duluan!

‘Woi, makan duluan gak lo!’

‘Bangsat! Buruan duluan lo makan!’

‘Lo duluan lah, Njing!’

Untuk menghadapi situasi seperti ini, solusi yang

sebaiknya dilakukan adalah: Hiraukan ibu-ibu tersebut. Datangi

meja makan. Ambil makanan. Makan.

Page 76: Keriba-Keribo FREE Compress

Solusi yang tidak sebaiknya dilakukan: Hadapi ibu-ibu

tersebut. Datangi meja makan, gebrak sambil teriak, ‘DEMI

TUHAAAN!!’ ‘DEMI TUHAN GUE LAPEEERRR!?’

Setelah gue telisik secara mendalam, fatamorgana malu

pada wanita ini tidak hanya terjadi sewaktu kumpul keluarga.

Fatamorgana wanita dapat dilakukan kapanpun, kepada siapapun,

dan pada umur berapapun. Kejam sangat memang.

Sewaktu gue menonton acara mamah dedeh, misalnya. Di

sana, sering sekali ibu-ibu pengajian melakukan fatamorgana

malu. Tiap pertanyaan yang diajukan kepada si mamah selalu

diawali dengan kata ‘tetangga’. Mereka malu mengakui bahwa

merekalah yang melakukan hal tersebut. Contoh percakapannya

sebagai berikut:

Pelaku: Mah, tetangga saya anaknya belum bayar SPP. Terus gimana mah menurut kaidah islam?

Mamah: Gimana apanye, ya bayar lah! Pelaku: Tap-tapi, Mah. Mamah: Tapi apanye? Pelaku: Iya. Jadi, suaminya pengangguran. Masa harus istrinya yang

bayar? Itukan kewajiban suami ya, Mah? Mamah: Ya kalau gitu, mah, bayar aje. Kan istrinya kerja! Pelaku: Tap-tap-tapi, Mah. Mamah: Udah kaga ade tapi-tapian lagi. Tinggal bayar doang,

repot! Pelaku: Yah, tau gitu mah mending istrinya kaga usah kerja deh.

Page 77: Keriba-Keribo FREE Compress

Contoh lain:

Pelaku: Mah, tetangga saya kan punya 4 anak, Mah. Nah, temen dari tetangga saya itu punya peliharaan. Peliharaannya dikasih sama om dari keponakannya tetangga saya. Itu gimana, Mah?

Mamah: Maksud pertanyaannya gimana? Mamah bingung nih. Pelaku: Saya juga bingung, Mah. Mamah: Lho, yang benar dong. Pelaku: Jadi begini, Mah. Salah satu anak teman saya pengen masuk TK.

Itu hukumnya apa, Mah? Mamah: Hukum, hukum, jidat lu sobek. Ya tinggal masukin aje. Susah

amat! Pelaku: Tap-tapi, Mah. Mamah: Kenape? Ngga ada duit? Udeh, sini mamah yang bayarin. Pelaku: Tapi si Badrun udah empat puluh enam tahun, Mah.

Adapun efek samping dari penggunaan fatamorgana malu sambil

curhat ke Mamah Dedeh ialah: terlihat kepo dengan tetangga.

Baiklah, sampai jumpa di akhir pekan selanjutnya,

keriba-keribo.

Page 78: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 79: Keriba-Keribo FREE Compress

LEMAH

SEHARUSNYA semua orang suka liburan. Tapi tidak dengan

Fakultas gue. Pada masa liburan kenaikan tingkat ini, gue dan

seluruh mahasiswa dari Fakultas Kehutanan akan pergi ke

berbagai jenis hutan.

Betul, gue adalah anak kehutanan.

Di kampus gue, sesuatu yang berbau kehutanan itu sangar.

Keren. Laki-laki. Bengal. Hampir tiap mahasiswa takut kalo denger

kata kehutanan.

Sayangnya, itu cuman berlaku di kampus.

Page 80: Keriba-Keribo FREE Compress

Begitu keluar kampus, ketika reunian sama temen-temen

lama, pas gue bilang tentang kehutanan. Mereka pada bingung.

‘Emang ada ya, kuliah kehutanan?’

‘Ada dong!’ jawab gue, mantap. Merasa keren karena di

kampus Fakultas kami begitu disegani.

‘Terus kerjanya jadi apa? Tarzan?’ salah satu temen yang

lain nyeletuk.

‘HAHAHAHA!! IYA TARZAN! TARZAN!!’ Yang lain langsung

ketawa heboh.

Gue ketawa garing.

Begitu pada beres ketawa, gue baru ngomong lagi, ‘Kagak.

Jadi pohon penunggu dunia lain. PUAS LO?!’

Bagi gue dan temen-temen kelas, masuk kehutanan itu

seperti pilihan Illahi. Ada yang sebenernya pengin masuk Ilmu

Gizi, eh malah keterima di Kehutanan. Gue sendiri salah satu yang

kelempar jauh. Penginnya dapet Ilmu Komputer di UI. Malah

keterima di Kehutanan IPB.

Dari komputer ke hutan. Jauh mampus.

Page 81: Keriba-Keribo FREE Compress

Jauhnya itu kayak lo mesen American bourbon whiskey di

sebuah bar. Dan begitu pelayannya beres bikin dan naroh gelas ke

atas meja… ternyata wedang jahe.

Tapi gue bersyukur soalnya anak Kehutanan di kampus

lumayan ditakuti oleh kalangan mahasiswa lain. Hal ini bukan

tanpa alasan. Kita, anak Kehutanan, mengalami masa orientasi

(ospek) yang cukup lama. Yaitu setahun. IYA SETAHUN!

BAJINGAN!!

Desas-desus ini sudah tercium ketika gue masih di asrama.

Ketika itu di kantin asrama. Gue lagi ribet misahin duri ikan di

piring tiba-tiba temen gue duduk dan bilang, ‘Di, lo gak takut

masuk kehutanan? Ospeknya kan setahun?’

‘Ah, nggak mungkin,’ jawab gue tidak percaya.

Pas udah beres ospek dan gue itung-itung… eh beneran

setahun. LOBANG PANTAT!

Hal yang paling gue inget tentang ospek adalah sebuah

kata mistis nan menggemaskan yang sering diucapkan senior-di

kehutanan. Kata tersebut adalah: lemah.

Betul, lemah.

Page 82: Keriba-Keribo FREE Compress

Lemah, pada mulanya digunakan senior untuk ngatain kita

yang emang kondisi fisiknya cemen. Kalo pas lagi lari ngelilingin

kampus ada yang ketahuan jalan, senior bakal nyamperin dan

tereak kenceng di samping kuping si mahasiswa, ‘LEMAH!’ kalo

kita lagi disuruh push-up dan ada yang ngeluh, senior langsung

datengin maba (mahasiswa baru) dan lagi-lagi tereak di kuping:

‘LEMAH!’

Saking seringnya diucapkan senior, kata-kata lemah ini

jadi kebawa-bawa sama gue. Kalo ada temen yang nggak kuat

mandi pagi gara-gara airnya dingin, gue langsung nyamperin dan

ngomong di kupingnya, ‘LEMAH!’ Kalo ada yang pagi-pagi udah

ngeluh laper, langsung gue samber, ‘LEMAH!’ Kalo ada temen gue

yang nonton Maria Ozawa tapi biasa aja, gue tereakin, ‘LEMAH

SYAHWAT!’

Pokoknya, lemah sudah berubah. Konteks lemah tidak lagi

menandakan kondisi fisik seseorang. Apa-apa jadi lemah. Gue

takut, di masa yang akan datang, sewaktu adek kelas gue nanti

jadi senior, kata lemah sudah jauh mengalami pergeseran makna.

Mereka bisa aja make kata ini dengan lebih absurd seperti:

Apa!! kamu gak bisa makan lewat lubang idung? Dasar

LEMAH!

Page 83: Keriba-Keribo FREE Compress

Apa!! kamu gak bisa masukin tuyul ke dalem botol? Dasar

LEMAH!!

Apa!! kamu bapak saya? Minal aidzin ya, Pak.

Senin, Juni 04 2012

PAGI ini seluruh mahasiswa kehutanan udah ngumpul bareng di

lapangan gede depan ATM. Kita dibagi jadi beberapa kelompok. Di

belakang kita udah banyak bus jejer-jejer. Tas carrier banyak

numpuk di pintu bus. Kami bentar lagi akan pergi praktik ke

hutan. Masing-masing kelompok akan ditempatkan di tempat

yang berbeda. Gue sendiri mendapatkan tempat di kawasan cagar

alam Leuweng Sancang, Garut. Di sana kelompok gue bakal

mendatangi hutan pantai, mangrove, dan hutan dataran rendah.

Perjalanan ke Garut rencananya akan memakan waktu

enam jam. Hmm, gue ngangguk-ngangguk. Berarti gue nggak usah

mikirin pantat. Enam jam nggak terlalu jauh, pikir gue. Setelah doa

bersama, salah satu dosen menutup dengan memberikan

wejangan-wejangan.

Dan berangkatlah kami.

Page 84: Keriba-Keribo FREE Compress

Yosh.

Dari awal perjalanan, anak-anak langsung rusuh. Kayak

hewan-hewan di kebon binatang yang dilepas dari kandangnya.

Gila. Pokoknya gila. Ada yang langsung nyanyi-nyanyi heboh. Ada

yang heboh maen games. Ada yang make baju dari spanduk

Telkomsel diiket di kursi belakang. Oh sorry, itu orang gila

beneran. Pokoknya, semua heboh, tapi tidak dengan gue. Nggak

ada hal seru yang gue lakukan selama perjalanan. Sebagian besar

hanya gue habiskan dengan tidur. Bukannya nggak mau ikut

ngerusuh dan gila-gilaan bareng. Gue mabok darat. Lemah.

‘Halo Haloo. Tess.. tes… satu dua….’ Suara dosen lewat

megaphone ngebangunin gue.

‘Yak, anak-anak. Kita makan siang dulu! Perjalanan

selanjutnya dilanjutkan menggunakan elf!’ Suara dari toa

menggema ke dalam kepala. Gue sedikit pusing. Gue menengok

sekeliling, hmm tempat yang asing. Gue ngambil hape, ngecek jam:

pukul dua siang. Pantes aja gue laper.

Gue lalu turun dari mobil, menghirup oksigen sebanyak-

banyaknya. Huah. Bau AC mobil bikin gue eneg. Gue lalu

nyamperin temen-temen lain yang udah pada kumpul di pelataran

masjid.

Page 85: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Lo udah mindahin barang?’ tanya Yusuf, temen

bertampang Arab.

‘Hah? Mindahin? Ke mana?’ Gue belom konek.

‘Ke elf.’

‘Oooh.’ jawab gue asal, masih belom konek.

Gue lalu balik ke bus mengambil tas carrier dan sebuah

ransel biru. Tidak lupa sebelumnya gue ke warung bentar buat

beli obat anti mabok. Gue mengelus perut. Sudah cukup setengah

perjalanan ini perut gue berasa ada yang ngaduk-ngaduk.

Sambil jalan ke lapangan yang ditunjuk Yusuf, gue mereka-

reka, elf itu apa ya? Gue tidak punya bayangan sama sekali. “Elf”

yang gue tahu dari permainan game online adalah sejenis peri

yang mampu terbang dengan kencang.

Pasir di jalan mulai masuk ke dalem sepatu. Gue mulai

bingung. ‘Kayaknya tadi si Ucup (Semua orang bernama Yusuf,

entah kenapa dipanggilnya Ucup) nunjuk ke arah sini, deh.’

Gue lalu nyopot tas carrier. Bagian bawahnya jadi cokelat

kena pasir. Gue keliling dan tetep gak nemu kendaraan elf seperti

yang ada di pikiran gue: sebuah kendaraan… berbentuk peri

(Agak menghayal memang gue). Di depan gue hanya ada banyak

Page 86: Keriba-Keribo FREE Compress

angkot biasa. Ooh, atau jangan-jangan… nanti gue dan yang lain

memejamkan mata dulu, kemudian akan muncul seorang ibu-ibu

paruh baya bersayap. Dia lalu bilang, ‘Lala, kamu tidak perlu takut

lagi, di sini ada ibu peri.’ Kemudian Tring, sampailah gue di

Sancang. Gue bangga sekaligus bingung.

Tanpa pikir panjang, gue kembali ke masjid tempat yang

lain berkumpul.

‘Di situ, Di!’

‘Ah, tadi gue liat cuman angkot?’

‘Ya emang itu.’

Masih dalam keadaan bingung, gue balik ke tempat

angkot-angkot tadi. Ternyata pas gue cek ke dalem, udah banyak

tumpukan tas temen gue. Dari luar gak keliatan karena jendelanya

cukup tinggi. Setelah masukin barang, gue mengitari angkot,

masih heran kenapa namanya elf. Dengan penuh penghayatan, gue

hempaskan kedua lutut ke tanah. Gue bersimpuh. Gue menghadap

langit, ‘KENAPA ANGKOT DINAMAIN ELF YA ALLAH. APA YANG

TERJADI DENGAN DUNIA INI?!!’

Page 87: Keriba-Keribo FREE Compress

02.15 PM:

Perjalanan dilanjutkan dengan angkot… yang diberi nama elf. Dan

kali ini gue sudah meminum pil antimabok. Jadi, gue tidak akan

tidur-tidur loyo-loyo lagi. Huh, gue sudah macho sekarang. Lihat

aku teman-teman. Aku adalah Adi, si antimabok darat—kalau

sudah minum antimo.

Lima belas menit berlalu dan gue akhirnya sadar mengapa

si angkot sok keren ini diberi julukan elf. Ternyata, hal tersebut

tidak lain tidak bukan karena si sopir mengendarai mobil seperti

kesetanan. Beringas abis. Saking ngebutnya, angkotnya berasa

terbang. Kecepatannya gue taksir sekitar seratus kilometer per

jam.

Bentuk jalanan makin nyeremin. Dengan jalan yang muat

cuman satu setengah mobil (kalo ada mobil dari depan, salah satu

mobil harus minggir keluar dari aspal). Dan penuh belokan tajem

serta jurang di kiri-kanan, si sopir tetap santai. Dia malah

menyetel musik dangdut koplo dari tape mobil lalu menghadap

belakang,

‘Joget dulu anak-anaaak?!’

Page 88: Keriba-Keribo FREE Compress

Gak tau kenapa si sopir keliatan santai banget. Satu

sikutnya dikeluarin ke jendela. Dia kayak udah terbiasa dengan

trek yang biadab ini. Sementara kita di belakang pada pucet. Gue

sempet kepikiran kalo si sopir emang berniat ngebunuh kita

semua dengan cara yang hipster: mati di dalem mobil sambil

dengerin Jenita Janet.

Baru mau goyangin jempol, si sopir tiba-tiba mengerem.

Kami langsung pada kelempar ke depan. Selang beberapa detik,

dia langsung menginjak pedal gas dengan kuat. Kami semua

terpental ke belakang. Keributan terjadi di dalam mobil. Bukannya

joget, kami malah pada jerit ‘helep, helep!’ Persis yang orang Sunda

katakan tentang kendaraan ini.

04.00 PM:

Sancang Barat, Garut. Lewat celah jendela, aroma angin laut

menerobos masuk. Badan gue seakan melayang. Tanah cokelat

mulai berganti jadi pasir putih.

‘Di! Buruan dong keluar!’

Gue menoleh ke belakang. Teman-teman sewot. Nggak

bisa keluar karena kehalangan gue.

Page 89: Keriba-Keribo FREE Compress

Gue melirik ke kanan-kiri: kosong.

*Seketika angin mengembuskan daun-daun kering*

‘Woi lama! Cepatan turun!’ protes teman-teman.

Gue menggaruk kepala, ‘Iya, iya, gue turun.’

Gue pun keluar mobil dengan penuh wibawa.

Di Sancang, kita udah ditunggu oleh Pak Aris1. Dia adalah

salah satu dosen di kampus. Penampilannya macho. Necis. Jantan.

Sepatu bot serta jaket pelindung dengan banyak kantung

membuatnya tampak lebih muda. Rambutnya cepak tipis dan

sudah berwarna putih.

Setelah berkenalan dengan sang dosen yang tampak

jantan nan rupawan ini, kami dibagi-bagi lagi ke dalam kelompok

yang lebih kecil. Selanjutnya, kami diajak berkeliling. Terdapat

sebuah rumah mungil berwarna krem dengan cat yang memudar

di beberapa bagian. ‘Hmm.. Walaupun ngga bisa dibilang bagus-

bagus amat, tapi ini bangunan terbaik di sini. Pasti nanti kita tidur

di sini,’ pikir gue. Tepat di belakangnya, ada jalan menurun

menuju sumur. Gue yakin sekaligus ngeri, kalau-kalau gue

terpaksa mandi di tempat ini. Terakhir kali gue mandi di tempat

1 Nama disamarkan. Demi kelangsungan hidup penulis di kampus.

Page 90: Keriba-Keribo FREE Compress

terbuka adalah sewaktu gue kelas 4 SD di garasi rumah. Mandinya

sepuluh menit, masuk anginnya dua hari. Lemah tingkat tinggi.

Lanjut. Di samping rumah yang paling bagus tadi, terdapat

satu bangunan yang dibentuk dari papan-papan kayu. Lantainya

masih tanah. Terdapat kubangan dengan bekas nasi di deket

rumah itu. ‘Hmm… ini pasti semacam dapur.’ Terakhir, kita

dibawa ke sebuah bangunan yang udah ancur. Nggak ada pintu,

apalagi lantai. Cuman ada dinding di bagian belakang dan tersisa

empat pilar berjajar pertanda bahwa sebelumnya bangunan ini

terdiri dari ruangan-ruangan kecil. Gue mengangguk sotoy,

‘Hmm… pasti tempat ini dulunya kos-kosan yang rusak diterjang

tsunami.’

‘Yak. Yang cowok tinggal di sini,’ kata Pak Aris. Suaranya

keras dan kuat.

Pak Aris menunjuk ke arah seberang, ‘Untuk yang

perempuan, kalian bisa tidur di sana.’

Rada mendingan, tapi lebih kecil dari milik cowok. Masih

berdinding. Pintunya tidak bisa dibuka sehingga orang-orang

masuk lewat jendela yang ditutupi koran.

Page 91: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Sampai di sini, ada pertanyaan? Tidak benar-benar

bertanya, Pak Aris melanjutkan. ‘Bapak tinggal di sana, ya.

Bangunan yang paing bagus itu. Ehehehe.’

Kami semua diam.

07.00 PM:

Kita baru selesai ngebersihin bangungan yang bakal jadi mes

kami. Lantai dari cor-an sudah ditutupi spanduk dan berbagai

terpal. Tas-tas besar ditumpuk di pojok. Sementara ransel-ransel

kecil sudah berjejer di atas sleeping bag masing-masing.

Sekarang waktunya makan. Kita kumpul di depan mes Pak

Aris. Sebagian duduk di tikar, sebagian di kursi kayu panjang yang

ujungnya menempel ke pohon. Tampang gue kumel. Karena

belom mandi dari pagi, bau badan gue udah kayak bau di

peternakan sapi. Hari ini, atau bahkan selama empat hari di sini,

gue nggak tahu apa gue bakalan mandi. Gue masih menimang-

nimang untuk mandi di sumur. Biliknya cuman muat menutupi

perut ke bawah. Lebih lagi karena posisinya yang di bawah, orang

yang lewat bisa ngeliat gue dengan sentosa. Gue belum mau

orang-orang terkesima dengan badan gue. Yang. Masya Allah.

Tulang. Semua. Ini.

Page 92: Keriba-Keribo FREE Compress

Satu-satunya harapan gue supaya bisa mandi hanyalah di

kamar mandi perempuan. Letaknya persis di kiri mes cowok.

Namun, bisa dipastikan segerombolan cewek sudah mengantri

dengan liar. Gue tidak mau jadi satu-satunya cowok yang ikut

mengantri, dan masuk ambulans karena dislepetin pake anduk.

Cewek-cewek ini, mengijinkan cowok make kamar

mandinya hanya ketika kami terdesak. Atau dalam bahasa

lainnya: pengen boker. Gue pernah sekali waktu nyoba mandi

dengan alasan kebelet boker, tetapi ketauan. Ketika itu, gue keluar

dari kamar mandi. Cewek-cewek buas itu langsung mengendus

penuh curiga. Mana ada orang boker badannya wangi, katanya.

Saat itu gue cuma bisa garuk kepala sambil ngeles-ngeles kecil,

‘Eng-engga kok. Tadi… di dalem. Gue benaran boker. Tapi, ngga

tahu kenapa, tiba-tiba, sabunnya, nempel sendiri ke badan gue.

Daripada mubazir, gue gosok-gosokin aja ke badan sekalian.

Ehehe. Ehehehehe. Ehehehehe.’ Kontan mereka menyoraki gue,

‘Woooooooo!!!!’

Untung gue gak mati saat itu.

Page 93: Keriba-Keribo FREE Compress

Selasa, Juni 05 2012

HARI ini kita bakal menjelajah hutan pantai.

Mantab.

Untuk mencapai pantai, kita harus terlebih dahulu

mencuci kaki menyeberang semacam genangan air laut yang

surut. Begitu sampai ke seberang, baru deh keliatan keindahan

laut Sancang. Nggak ada awan sama sekali. Dari atas ke bawah,

kanan ke kiri, semuanya biru. Semakin ke ujung, birunya semakin

gelap. Bunyi derum ombak seakan menentramkan jiwa. Tarik

napaas. Embuuus. Aaah. Lama banget gue nggak setenang ini.

Biasanya, pagi-pagi gue udah ngampus, di jalan berisik banyak

kendaraan klakson sana-sini. Polusi juga bikin paru-paru gue

mencret.

Di sini gue ngerasa beda banget. Tiap jalan, pasir berasa

ngisep kaki. Anginnya kenceng, bikin rambut gue terbang. Tiap

ada angin, gue merasa jadi pemeran iklan shampo. Pergerakan

gue seakan melambat. Gue meremas rambut. Terus jari gue nggak

bisa ditarik keluar. Terus gue ngejerit dramatis, ‘AAAHHH JARI

GUEE NYANGKUT DI RAMBUUT… TOLOONNGG?! TOLOONNGG?!!’

Page 94: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 95: Keriba-Keribo FREE Compress

Satu setengah jam berlalu dan gue udah pengin mampus. Gue

pikir kita bakal hepi-hepi aja tapi ternyata itu semua dugaan yang

salah. Baru setengah perjalanan dan dengkul gue udah pengen

copot! Tenggorokan gue mulai kering. Berusaha menghilangkan

capek, cewek-cewek mulai sibuk foto-foto.

Salah satu tanda sudah sampai yaitu adanya pohon

pedada. Sejenis pohon yang buahnya menyerupai matahari

berhidung pinokio. Ada juga pohon si api-api yang akarnya

menjulang. Mirip tombak yang menancap keluar dari tanah.

Kerjaan kita di sana mengukur diameter, tinggi, dan

ngedata jenis pohon apa aja dalam areal dua puluh kali enam

puluh meter. Selain itu kita juga ngejelajah, ngecek satwa yang

ada, serta menguji keadaan tanah sekitar. Capeknya sih lumayan.

Lumayan bikin ginjal bedarah.

Menjelang malam, kami kumpul di mes. Di sini listrik tidak

masuk sampe malem. Gue juga gak gitu ngerti kenapa, yang jelas,

begitu lewat jam lima sore, genset dinyalain. Karena kalo enggak…

kita bakal demo rame-rame. Hehehe.

Page 96: Keriba-Keribo FREE Compress

Pas lagi ngumpul-ngumpul, temen gue sering banget

ngebahas soal kehutanan. Karena banyak dari mereka yang suka

ngedaki gunung, mereka cerita soal gunung (ya iyalah!). Banyak di

antara mereka yang cerita pernah ngedaki gunung a, ketemu

setan di gunung b, ngeliat sunset di gunung c. Gue, yang waktu itu

lebih suka ngumpulin daki di leher, cuman bisa dengerin sambil

nyengir mesum.

Satu hal yang gue tangkap dari pembicaraan temen-temen

adalah, ketika seseorang ngedaki atau naik gunung, kita bakal

nggak jaim (kebukti dari temen gue yang baru nyampe langsung

jemur kancut). Kita, kata temen gue, bakal ngeluarin sifat aslinya.

Nggak bakal sok malu-malu. Paling malu-maluin.

‘Gitu ya, Yan?’

‘Hooh. Keren kan!’ kata Adrian, ngacungin jempol.

Keren juga ya gunung. Gue berpikir. Pantesan selama ini

gue pas ngeliat gunungnya Jupe bawaannya pengin langsung

ngedaki (lho?).

‘Tapi emang bener, sih’, gue ngelanjutin mikir. Kemaren,

begitu nyampe sini anak-anak langsung ngebaur. Kayak nggak ada

rasa canggung. Gue jadi berpikir, orang yang lagi PDKT, biar nggak

sok jaim harusnya dibawa ke gunung aja. Nanti si cowok tinggal

Page 97: Keriba-Keribo FREE Compress

ngomong, ‘Wahai wanita, aku ingin mengenalmu lebih dekat. Mari

kita ke gunung.’

Rabu, Juni 06 2012

HARI ini, menurut perintah Mister Aris, gue dan anak-anak akan

dibawa ngeliat bunga Rafflesia sekaligus pergi ke hutan mangrove.

Gue langsung semangat. Gimana enggak, hutan mangrove itu

identik dengan sesuatu yang macho. Gue pernah liat di salah satu

Page 98: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 99: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 100: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 101: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 102: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 103: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 104: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 105: Keriba-Keribo FREE Compress

TERNODA KARENA TORNADO

Minggu, Desember 09 2012

GUE cuma punya lima belas jam kurang sedikit sebelum malaikat

maut ikut dalam perjalanan gue bersama pacar. Sejak pukul lima

pagi tadi, gue udah mulai ngehafal jalan menuju Ancol. Kamar gue

penuh dengan barang-barang bekas begadang: gelas isi kopi,

serak-serakan biskuit, kertas, pulpen, anaconda (horor abis). Gue

memungut handphone dari balik selimut kembang-kembang.

Mencatat nama jalan yang tertera di laptop ke note hape.

Hari ini, gue dan si pacar bakal main ke Dufan.

Sebuah perjalanan yang bakal keren nan asik sekali

sebenernya. Masalahnya adalah, gue belum pernah ke sana. Oh,

durjana, ternyata hamba lemah.

Ponsel gue berdering. Si pacar SMS. Gue menghela napas

sebentar sebelum akhirnya membuka pesan.

Page 106: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Nanti jadi kan ke dufan?’

Gue membalas, ‘Jadi.’

Kita janjian untuk ketemuan di Permata Hijau, Jakarta

Barat, pukul sembilan.

Gue gugup. Gue takut, karena nggak hafal jalan gue bakal

nyasar dan dianggap sebagai lelaki yang tidak macho. Gue tidak

mau seperti itu.

Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas. Bak

ayam jago yang ditusuk bokongnya (atau yang versi manusia: Bak

laki-laki yang pantatnya disodok Sumanto), gue berjalan ke kamar

mandi dengan lemas. Jarang banget gue mandi jam segini.

Ngomong-ngomong soal mandi, gue suka risih kalau pas

lagi di kamar mandi, tau-tau ada yang gedor-gedor dari luar.

Nyuruh buru-buru. Buat gue, mandi adalah sesuatu yang sakral,

yang harus dilakukan dengan khidmat. Adapun orang yang

biasanya rusuh ngegedor-gedor pintu kamar mandi, tidak lain

tidak bukan, adalah Tiyo, Abang gue. Biasanya, sambil memukul-

mukul pintu, dia akan memberikan pertanyaan-pertanyaan aneh

yang tidak penting untuk dijawab. Contohnya, ‘Buruan dong!

Ngapain sih lo di kamar mandi?’

Page 107: Keriba-Keribo FREE Compress

Ya menurut lo? Kalo di kamar mandi gue ngapain?

manasin motor?

JAM dinding bergambar Spongebob menunjukkan pukul tujuh

lewat tiga puluh. Gue menarik napas, bangkit dari kursi, lalu

menggelayutkan tas selempang cokelat pupus.

Gue melihat ke arah pintu kayu di depan yang sedikit

terbuka. Layaknya di film-film, dari celah pintu merambat masuk

cahaya terang. Seperti orang yang memiliki penyakit traumatis

tertentu, semakin lama cahayanya makin terang. Lalu gue inget

kenangan buruk bersama pacar.

Bogor, malam hari:

Waktu itu kita baru aja nonton Skyfall. Motor yang waktu

itu jarang diservis, tetap gue pakai. Hasilnya bisa ditebak:

suaranya sember dan tarikannya payah. Ketika gue tarik tuas

gasnya, motor gue meraung-raung. Suaranya kayak orang kena

ashma. Rantainya udah karatan dan sering copot. Kalo motor gue

manusia, mungkin udah dalam kondisi di mana ada dokter yang

ngomong, ‘Mohon maaf, kami sudah bekerja semampu kami.

Namun apa daya, dua kali kentut lagi dia akan mati. Itulah

takdirnya…’

Page 108: Keriba-Keribo FREE Compress

Filmnya asik, tapi perjalanan pulangnya enggak asik.

Beberapa lampu jalan yang mati membuat remang jalanan.

Sepanjang perjalanan badan gue geter-geter kedinginan.

Tiga ratus meter di depan adalah pertigaan menuju

stasiun Bogor. Betapa beruntungnya gue karena begitu mendekat

lampu hijau tiba-tiba menyala. Dengan terampil gue longgarkan

tarikan gas, lalu gue tarik rem dengan penuh perasaan. Dan dalam

sepersekian detik saja, gue ubah transmisinya menjadi netral.

Laksana Chrisopher Colombus, gue membelokkan kemudi dengan

cekatan. Beberapa detik dan jemari gue menggenggam kuat-kuat

tuas gasnya. Lantas gue tarik-lepas dengan gagahnya hingga

menimbulkan suara yang macho abis, ‘Rong!! Rong..! Rong..!’

persis bunyi sepeda yang roda belakangnya disangkut akua gelas.

Belum lama beraksi, seorang bapak-bapak pengendara

motor di sebelah kiri tereak, ‘PAK, ITU RANTENYA PUTUS, PAK?!’

Dia menunjuk sekitar roda bagian belakang.

Suara orang itu diikuti oleh bunyi besi yang beradu.

Berdentingan lagi kusut. Berbenturan tak keruan, lalu mendadak

hilang. Lenyap bagai disulap.

Seketika saja, laju motor tidak terkendali. Tuas gas nggak

bisa gue kontrol. Gue panik. SANGAT. Di satu sisi, gue harus

Page 109: Keriba-Keribo FREE Compress

mengantarkan si pacar pulang. Di sisi lain, ini udah malem banget.

Kalau rantainya benaran putus, gue gak yakin masih ada bengkel

yang buka. Andaikata ada, gue rasa pemiliknya siluman kus-kus.

Sembari menyeimbangkan motor, gue menengok ke ban

belakang. Berusaha mengecek rantai motor.

‘Hei,’ si pacar mencolek pundak gue, ‘lihat ke depan.’

‘Ha?’ kata gue, masih ngeliat ke bagian rantai motor.

‘Kamu harus lihat depan, buruan!’

‘Ha-?’

‘ITU DI DEPAN ADA GOT! AAAAAAHHHH!!’

Gue menggelengkan kepala, membuyarkan memori kelam nan

gembel yang barusan muncul.

Gue melihat jam: tujuh lewat empat puluh lima menit.

Berarti, sudah waktunya.

Page 110: Keriba-Keribo FREE Compress

09.00 AM:

Permata Hijau, Jakarta Selatan. Gue duduk di pinggir jalan,

menunggu si pacar.

‘Bentar ya, satu halte lagi.’ Si pacar sms.

‘Sip.’

Tidak berapa lama, si pacar muncul dari halte busway. Dia

jalan (iyalah, masa koprol) melalui jembatan penyebrangan

menuju tempat gue menunggu.

‘Maaf ya, lama,’ katanya, berdiri di samping gue. Aroma

tubuhnya seperti bedak bayi. Sebuah bau yang sudah cocok di

hidung gue.

Kita berangkat. Dan, salah satu kebiasaan yang gue dan

pacar lakukan ketika pergi naik motor adalah, kami melakukan

permainan yang bernama ‘Membuat Kalimat Dari Plat Nomor’. Di

mana dalam permainan ini, yang kalah akan mendapat hinaan.

Sementara yang menang akan mendapat kepuasan karena

menghina yang kalah. Lebih sederhananya, permainan ini dapat

disebut sebagai: kurang kerjaan.

Terkadang, singkatan yang kita buat sangat garing:

Page 111: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Itu ada motor B 1872 NCS.’ Si pacar diam sejenak. ‘Hmm..

Nohkan, Capek Sayanyaa. Kamu bisa buat apa, hayo?’

‘Njir! Cucah Sekali.’

Terkadang pula, gue memanfaatkan situasi:

Si pacar menunjuk sebuah angkot. ‘Tuh, B 6659 SKS,’

katanya. ‘Sukanya.. Ku… Ah susah. Nyerah deh. Kamu?’

‘Sayang Kamu Selalu, dong. Ihihiihi.’

Tapi yang paling mengenaskan,

‘Itu truk ayam, platnya AGS, AGS!’ seru gue antusias. ‘Adi

Ganteng Sekali!’

‘Kayaknya bensin kamu mau abis deh,’ kata si pacar, datar.

Datar sekali.

MASUK ke Dufan ternyata tidak semudah yang gue bayangkan.

Sebelumnya gue berpikir bahwa: Ancol = Dufan. Ternyata, oh

Page 112: Keriba-Keribo FREE Compress

ternyata, itu semua salah besar saudara-saudara! Ancol itu bukan

Dufan. Dan Ancol itu luas. Banget! Tapi bukan Adi namanya kalau

masalah cemen gini bikin gelagapan. Gue segera mengedar

pandangan ke seluruh penjuru, mencari papan penunjuk jalan

sembari mengalihkan perhatian si pacar dengan mengajak

ngobrol.

‘Wah, jadi Ancol kayak gini, ya,’ kata gue, mengaku kalo

belum pernah ke sini. ‘Keren banget! Aku jadi biasa aja nih.’

‘Wooooooooo, belaguuuu!’ Si pacar memukul-mukul unyu

pundak gue.

Gue melihat papan penunjuk jalan, lalu berteriak gembira,

‘Itu diaaaa! Dufaaann! Dufaaaaannn! Tinggal belok kiri, sampe

dehh!’

‘Eh, nanti dulu,’ kepala si pacar tiba-tiba nongol di sebelah

kanan. ‘Kita kan belum ambil uang. Ke atm dulu aja, yuk.’

‘Uh. Ada aja masalah di dunia ini ya...’

‘Kamu bilang apa?’

‘NJIR! KEREN BANGET DUFAAN! LAGUNYA JUGA

MANTEP! NEEENG NENG NENG NEENG NENG NENG NENG..

NEEENG..’

Page 113: Keriba-Keribo FREE Compress

Satu hal yang gue pelajari dari kencan ini: jadi cowok

harus jago ngeles.

Wahana pertama yang akan dikunjungi semua orang begitu

sampai Dufan adalah mengantri. Yak, NGANTRI! Karena lagi

diskon, loket penuh banget. Satu hal yang gue pahami dari adat

orang Indonesia: kalo ngantri barisnya trapesium! Barisannya

ngasal abis. Gue. Kagak. Bisa. Napas. ASU! Tidak ingin mati

kegencet, gue berpikir bagaimana caranya supaya bisa masuk

dengan cepat. Aha, gue punya ide. Seperti di film action, gue bakal

menyandera salah seorang pengunjung. Gue tinggal cari

pengunjung cewek yang paling cantik, lalu gue bekep pake ketek

dan bilang, ‘Serahkan saya dua tiket Dufan dan biarkan saya

masuk!’

Sebuah gagasan yang sangat brilian… dan idiot.

Setelah mendapat tiket dan nyaris osteoporosis karena

kelamaan berdiri, kita memasuki pelataran Dufan. Di area ini ada

badut bekantan lagi joget-joget innocent diiringi soundtrack

Dufan. Di belakangnya ada barisan pengunjung yang hendak

distempel.

Page 114: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Mau distempel di mana, Mas?’ kata mbak-mbak tukang

stempel.

Karena waktu itu gue anak yang biasa aja, maka gue

menyodorkan punggung tangan sebelah kiri. PLOK! Dan punggung

tangan gue distempel. Coba kalo saat itu gue tergolong anak yang

gahul. Begitu mbaknya bilang, ‘Mau distempel di mana, Mas?’ Gue

langsung ngejawab sambil nyengir, ‘Di hatimuuu dooonnggg…’

Selesai adegan ngecap-ngecap itu, gue tiba-tiba deg-degan.

Entah semangat entah gelisah. Gue mulai panik sendiri karena

belom pernah ke Dufan. Gue bertanya-tanya di dalam hati. Gimana

ya di dalem? Serem nggak ya? Ada alay ngga ya? Eh taunya ada.

Sialan.

Begitu sampai di dalem, si pacar menantang gue untuk

menaiki sebuah wahana yang katanya serem abis. Namanya Kora-

kora. Katanya juga, setelah naik wahana ini, banyak pengunjung

yang muntah-muntah.

Gue diam.

Gue bingung.

‘Itu yang namanya Kora Kora.’ Si pacar menunjuk sebuah

perahu besar yang mengayun. ‘Takut muntah, ya?’

Page 115: Keriba-Keribo FREE Compress

Gue mikir bentar. Satu-satunya hal yang bikin gue muntah

adalah ketika lupa make deodoran dan ngga sengaja nyium ketek

sendiri.

‘Siapa takut. Ayo!’ jawab gue, macho.

Kita pun masuk ke dalam barisan. Barisannya panjang dan

berputar-putar. Mulai banyak pengunjung yang keringetan.

Panasnya emang lagi bikin mampus. Sesekali terdengar teriakan

dari Kora-Kora. Gue, si macho ini, mulai tegang.

Waktunya naik. Si pacar meminta untuk duduk di kursi

paling belakang. Kursi yang katanya paling serem. Gue, si macho

ini, tentu mengiyakan. Sampai safety belt terpasang, kursi paling

belakang, yang katanya paling serem itu, hanya terdiri dari empat

orang. Oh, lemah sekali para pengunjung Dufan ini.

‘Hei.’ Si pacar mencolek pundak gue. ‘Kalau takut, teriak

aja yang kenceng.’

Gue mengangguk.

Si Kora-kora mulai bergerak. Satu goyangan, dua

goyangan, tiga goyangan, dugaan gue tidak salah. Si Kora-kora ini

nggak beda jauh sama ayunan. Goyangan keempat, lima, enam,

Page 116: Keriba-Keribo FREE Compress

semakin lama benda berbentuk perahu ini mengayun semakin

tinggi. Orang di depan gue mulai histeris.

‘Kyaaaaaa!’

‘Haaaaaaa!!! Kyaaaaa!’

Semakin curam, curam, dan semakin curam saja si perahu

rongsok ini bergoyang. Mulai ada sensasi aneh di perut. Gue yang

naik odong-odong aja mual, mendadak pengen muntah. Demi

menghilangkan rasa mual, gue mengalihkan perhatian dengan

melihat pemandangan sekitar.

‘Kyaaaaaa!!!’ Tangan si pacar erat mencengkerami gue.

Gue—berpura-pura—tidak peduli. Tetap stay cool,

mengontrol pikiran sambil memandangi sekitar supaya gak

kerasa mual… sampai gue sadar kalo di depan gue ada sesosok

manusia yang tidak lazim. Manusia itu. Rambutnya abu-abu.

Tangannya keriput. Dia. Kembang Tahu! Oh, bukan. Sorry. Maksud

gue, nenek-nenek! Oh yes oh no, tidak mungkin. Bagaimana bisa

ada nenek-nenek naik Kora-kora? Gue yang macho aja berasa

pengin brojol lewat mulut. Gue sempat berpikir bahwa si nenek

emang sudah stres dan memilih untuk mengakhiri hidupnya

dengan mati sambil mangap di atas Kora-Kora.

Page 117: Keriba-Keribo FREE Compress

Namun, tak disangka tak diduga, dengan rambut yang

hampir seluruhnya abu-abu, berkibar-kibar kena angin, si nenek

malah tersenyum lebar ke gue. Rongga mulutnya terlihat luas

karena giginya tinggal segelintir.

‘Heeee,’ katanya.

Di antara semua pengunjung yang teriak kencang, lantang,

brutal, penuh energi dan kepanikan, si nenek ini cuman bilang,

‘Heeee’.

Jagoan.

Semakin tinggi ayunan si perahu Kora-Kora ini. Ke atas, ke

bawah. Naik-turun dengan penuh tenaga. Sewaktu tertarik ke

belakang, semua orang terdiam. Lantas si Kora-Kora terjun bebas

ke bawah, membuat orang-orang berteriak dengan keras.

‘Kyyyaaaaaa… Kyyaaaaaa!!’

‘Heee,’ si nenek tetap cengar-cengir.

Entah goyangan ke berapa, si Kora-Kora mengayun

dengan sangat ekstrem. Gue taksir posisinya hampir sembilan

puluh derajat dengan permukaan bumi. Curam mampus. Saat

tertarik ke belakang, mendadak. Di hadapan. Gue. Adalah. Tanah.

Emak. Tolonglah. Anakmu.

Page 118: Keriba-Keribo FREE Compress

Pengunjung histeris, ‘Kyyyaaaa..! Aaaaaa… Kyyaaaa!!’

Gue, yang macho ini, menjerit sambil panik, ‘ANJIIRRRR

ANJJJIIIRRR AAAAAA TIDAAKKK TOLOONG TOLOONNG!!’

‘Heeee.’

Beberapa saat kemudian, setelah goyangan mahadahsyat

itu, permainan berakhir. Si nenek keluar dengan santainya.

Seolah-olah naik Kora-Kora sama dengan duduk-duduk santai di

kursi goyang.

Gue kebalikannya, turun dengan terhuyung-huyung.

Kondisi gue menyedihkan. Tangan gemetaran. Kulit sedingin es. Di

dalem perut berasa ada kodok lompat-lompat. Pokoknya mual

semual-mualnya. Gue mirip TKI yang dibius oleh majikan,

dicincang kecil-kecil, lalu dimasukkan ke dalam freezer selama

empat belas hari.

Si pacar menatap dari dekat, ‘Kamu enggak kenapa-

kenapa, kan?’ dengan penekanan pada kata ‘kenapa-kenapa’nya.

Gue, yang tidak mau terlihat cemen di depan pacar sendiri,

bilang, ‘Iya nggakpapa. Gitu doang, mah, cemeeeen!’ Dia gak tahu

aja, kalau ngga ada dia, pasti gue udah tergeletak di aspal, kejang-

kejang dengan mulut mengeluarkan busa.

Page 119: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Ooo gitu,’ kata si pacar, yang dari nadanya, tidak percaya

dengan jawaban gue. ‘Ya udah, sekarang kita ke mana lagi nih?’

‘Istana Boneka,’ jawab gue, cepat.

Gue, yang macho ini.

WAHANA selanjutnya—setelah Istana Boneka, gue tentu tidak

akan bercerita bagaimana gue di dalam Istana Boneka menjerit

sepanjang jalan dan kemudian kehilangan jati diri sebagai lelaki

sejati—adalah Niagara-Gara. Sesuai dengan namanya, permainan

yang namanya diambil dari air terjun di perbatasan Amerika dan

Kanada ini tidak lepas dari basah-basahan. Sepertinya cukup

menyegarkan mengingat matahari sudah mendekati titik puncak.

Anggapan gue bahwa permainan ini menyegarkan pupus

setelah 5 menit mengantri. Belum apa-apa gue udah mandi

keringet. Ge. Rah. Barangkali nama Niagara-Gara harus diganti,

pikir gue. Gue pun coba mencari nama yang cocok untuk wahana

yang lebih mirip tempat sauna ini. Ah, sauna. Nama yang oke. Dan,

supaya tidak terlalu banyak mengubah, gue akan tetap

menggunakan kaidah kata ulang dalam “Niagara-Gara”. Sepertinya

nama ‘Sauna-Sauna’ cocok untuk wahana ini.

Page 120: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Ehem. Maju bisa kali, Mas.’

Njir. Karena terlalu asik berimajinasi, gue jadi tidak sadar

kalau barisan di depan sudah jauh. Cewek-cewek di belakang

langsung demo dengan rusuh. Dasar wanita. Baiklah. Demi

menghargai aspirasi mereka, gue tambahkan saja kata ‘girls’ di

belakang Sauna-sauna tadi. Sekarang, si maderfaker Niagara-Gara

ini gue resmikan menjadi Sauna-Sauna Girls.

Balok kayu datang. Lebih tepatnya, perahu yang

berbentuk balok kayu. Perahu-perahu ini hanya mampu

menampung empat orang. Setelah bercucuran keringat, gue, si

pacar, beserta dua orang ibu-ibu berbadan setengah bola akhirnya

mendapat sebuah perahu. Perahu di depan gue dinaiki oleh tiga

pemuda alay yang bertingkah kayak simpanse kekurangan gizi

Page 121: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 122: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 123: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 124: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 125: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 126: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 127: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 128: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 129: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 130: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 131: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 132: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 133: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 134: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 135: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 136: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 137: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 138: Keriba-Keribo FREE Compress

ANTARA YANG SEJATI DAN YANG SEENAK JIDAT

PERKENALKAN. Saya Beler alias Si tampan alias A’ong. Nama terakhir dipanggil oleh mereka yang mengaku anak geng motor. A’ong, kependekan dari Adi bodong. Bukan berarti karena bodong, terus saya suka mamerin udel ke orang-orang di pinggir jalan. Melainkan karena motor yang saya pakai saat nongkrong bareng rekan-rekan sejawat adalah motor bodong. Saya ketua geng motor paling bengis di Indonesia. Nama geng motor saya adalah Geng Buntu. Geng Buntu bukanlah geng motor sembarang geng motor. Kami adalah anak geng motor baik-baik. Visi dan Misi Geng Buntu sangat jelas: menumpas kaum-kaum yang hobinya pacaran di motor (maksudnya yang duduk-duduk di atas motor, ya, kalau di bawah motor namanya kelindes). Aktivitas yang kami lakukan demi mewujudkan visi dan misi tersebut ialah:

Page 139: Keriba-Keribo FREE Compress

menggiring orang-orang yang pacaran di motor ke dalam gang buntu lalu mengklakson mereka keras-keras sampai kuping mereka keluar nanah. Oh, betapa mulianya pekerjaan kami.

Ehem. Uhuk. Uhuk. Duh, saya jadi grogi kalau bicara serius kayak gini. Mungkin ini efek kebanyakan ngisep knalpot.

Baiklah, mari kita kembali ke pembahasan. Jadi, pada kesempatan kali ini, saya diminta oleh Kresnoadi, empunya buku ini, untuk menunjukkan perbedaan antara anak motor sejati dan anak motor seenak jidat. Tapi, sebelumnya saya akan sedikit menjelaskan tentang motor beserta komponennya terlebih dahulu.

Siapa sangka bahwa mahluk beroda dua, alias motor, merupakan sebuah benda multifungsi? Motor dapat dijadikan ojek. Motor bisa dimodifikasi menjadi bajaj. Motor juga bisa digunakan sebagai tunggangan tukang loper koran. Sekarang, tukang-tukang sudah banyak yang memanfaatkan motor. Tukang bubur naik motor. Tukang bakso naik motor. Tukang somay mulai ada yang naik motor. Tinggal tukang minta-minta aja yang belum naik motor.

Komponen dari motor itu sendiri juga memiliki manfaat yang beragam. Joknya bisa buat

Page 140: Keriba-Keribo FREE Compress

pacaran di motor. Spionnya bisa digunakan untuk ngaca sebelum pacaran di motor. Gir-nya pun dapat dimanfaatkan jomblo buat ngebacok orang yang pacaran di motor.

Nah, makanya, supaya tidak ada kesalahpahaman dalam penggunaannya, saya akan memberi tahu perbedaan antara motor yang dipakai oleh anak motor sejati dan anak motor seenak jidat. Berikut sepuluh perbedaan mendasar antara anak motor sejati dan yang seenak jidat sendiri versi on the ngepot:

Anak motor sejati Tiap hari motor dipanasin, sering dicuci, supaya kelihatan kinclong.

Anak motor seenak jidat Kadang dipanasin, kadang tidak. Sewaktu hujan, motor diparkir di jalan supaya kecuci.

Anak motor sejati Di gang sempit pelan-pelan. Di jalan raya okelah gigi empat.

Anak motor seenak jidat Bawa motor ugal-ugalan. Gigi satu 80km/jam. Gigi empat motor meledug.

Page 141: Keriba-Keribo FREE Compress

Anak motor sejati Perlengkapan komplit. Dari jaket, sarung tangan sampai sepatu semua lengkap.

Anak motor seenak jidat Makin bugil semakin asoy.

Biar semriwing.

Anak motor sejati Sewaktu ngebut posisi badan tegak, tenang. Agak bungkuk dikit tak masalah. Ada belokan ngerem perlahan-lahan.

Anak motor seenak jidat Sewaktu ngebut kepala harus nunduk. Muka dijedotin ke stang. Ada belokan dengkul seretin ke aspal.

Anak motor sejati Jauh dekat pakai helm SNI. Keselamatan is number one.

Anak motor seenak jidat Mau naik motor pakai peci. Yang penting inget Tuhan.

Page 142: Keriba-Keribo FREE Compress

Anak motor sejati Stangnya dan spion bawaan pabrik.

Anak motor seenak jidat Spion dikecilin. Supaya gaul,

stangnya pake stang gerobak.

Anak motor sejati Motor ngga usah dianeh-anehin. Ketemu polisi tidur ngeremnya santai.

Anak motor seenak jidat Motor diceperin. Ketemu polisi tidur, motor diangkat. Kalo masih mentok juga, motornya dipikul.

Anak motor sejati Ketika belok lampu sein dinyalakan.

Anak motor seenak jidat Ketika belok tangan

mengepak riang. Kalo belom pada minggir juga tendang pakai kaki

Anak motor sejati Sedia bensin. Premium atau pertamax. Knalpot bawaan pabrik.

Anak motor seenak jidat Bensinnya aftur. Knalpotnya

knalpot bajaj.

Page 143: Keriba-Keribo FREE Compress

Itulah tadi 10 perbedaan anak motor sejati dan seenak jidat. Kalau kalian tidak masuk di antara keduanya, bisa jadi kalian adalah anak mobil… atau anak otoped. Sekian dari saya.

Salam brum brum hoek hoek,

A’ong

Ketua geng buntu yang tampan dan penuh codet.

Anak motor sejati Sewaktu touring pakai perlengkapan lengkap. Tidak lupa membawa bekal untuk disantap bersama rekan-rekan yang lain.

Anak motor seenak jidat Sewaktu touring, naik ojek.

Page 144: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 145: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 146: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 147: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 148: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 149: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 150: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 151: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 152: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 153: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 154: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 155: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 156: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 157: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 158: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 159: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 160: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 161: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 162: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 163: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 164: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 165: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 166: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 167: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 168: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 169: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 170: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 171: Keriba-Keribo FREE Compress

PERTAMA BUKAN YANG TERAKHIR

BAGI banyak orang, SMA adalah zaman yang keren. Zaman yang

tidak mungkin dilupakan karena lagi macho-machonya.

Buat gue, SMA merupakan zaman culun-culunnya.

Sebuah masa di mana gue belajar menjadi manusia.

Saat di mana anak lain mulai mendengarkan musik keras

seperti metal atau rock, gue malah lagi seneng dengerin lagu

reggae. Which is setiap kali sekolah gue ngadain pensi1, anak-anak

pada pake baju item-item, lari ke tengah lapangan buat moshing.

Sementara gue di pinggir lapangan. Make gelang merah-kuning-ijo

sambil sesekali menjerit, ‘Yomaaaann…!’

Namun, sama seperti SMA kebanyakan, masa SMA gue

juga memberikan beragam kesan yang menarik. Mulai dari

1 Pentas seni.

Page 172: Keriba-Keribo FREE Compress

ngelobi satpam biar dibolehin masuk pas telat. Ngumpet-ngumpet

ngelewatin meja piket. Main kucing-kucingan sama guru yang

hobi motongin rambut. Sampe nongkrong di kantin bareng anak

sekelas.

Buat gue, SMA adalah tempat memulai semuanya. Tempat

gue pertama kali make celana panjang ke sekolah. Tempat gue

pertama kali bolos kelas. Gue pertama kali coba manjangin

rambut pas SMA. Jerawat pertama gue pun tumbuh saat SMA. Dan

SMA, adalah tempat gue pertama kali merasakan yang namanya

jatuh.

Namun gue bukanlah seseorang yang mengerti dunia

percintaan. Gue menyebut diri gue seorang pemula. Gue adalah

orang yang cemen. Gue bahkan tidak tahu caranya ngedeketin

cewek. Gimana mau PDKT, tatapan sama cewek aja gue langsung

pipis lewat pori-pori.

Jadi, sebagaimana yang seorang pemula biasa lakukan, gue

mengagumi dia dari kejauhan.

Gue tidak mengetahui namanya dan tidak berani mencari

tahu namanya. Gue juga tidak berharap. Karena seorang pemula,

dengan kebodohan dan kecemenannya, tidak akan berani

bertindak. Seorang pemula justru akan pergi, cenderung

Page 173: Keriba-Keribo FREE Compress

menghindari orang yang dicintainya. Karena seorang pemula,

pada dasarnya adalah penakut. Ia takut, membuat orang yang

dicintai pergi karenanya. Dalam kasus ini, gue tidak mau si cewek

basket itu pergi karena gue.

Waktu berputar terus hingga soak. Dan seperti magic, semesta

berkehendak lain. Gue dipertemukan dengan si cewek basket itu

saat kelas tiga.

Benar, kita sekelas.

Gue belom tahu namanya sampai salah seorang dari kelas

lain masuk dan mencari seseorang bernama Ve.

Ve. Namanya Ve.

‘Lu harus add facebook-nya!’ perintah Radit di kamarnya,

sesaat setelah gue menceritakan bahwa gue sekelas dengan Ve.

‘Ha-harus kayak gitu emang, Dit?’

‘Iya. Elu harus mengambil tindakan. Enggak boleh diem

aja!’ Radit mendorong gue ke kursi. ‘Dunia maya adalah cara

paling gampang buat kenalan… buat pemula kayak elu.’

‘Tap-tapi Dit.’

Page 174: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Udah, buruan!’

‘Engga ah!’ kilah gue yang langsung berdiri. ‘Gue takut!’

Gue lalu duduk di kasur setelah mengambil sebuah bantal mickey

mouse. Gue meremas bantal tersebut dengan keras, berusaha

menenggelamkan telapak tangan yang mulai basah karena

keringat.

‘Ya udah, sini. Gue buka pake akun gue.’ Radit duduk dan

mengetik di laptopnya. ‘Siapa tadi namanya?’

‘Ve-Ve Amalia.’

‘Udah gue add, tuh. Tinggal tunggu confirm.’

‘Eeeeeeehhh!!’ pekik gue, kayak orang mau ketabrak

Kopaja. ‘Elu ngapain nge-add diaaa?!’ Gue panik. Gue lemparkan

bantal mickey mouse tepat ke muka Radit.

Bahkan, untuk seorang pemula, nge-add facebook

merupakan hal yang sulit.

‘Ya abis, gue minder kalo deket dia.’

‘Minder gimana?’

‘Ya gitu, dia siapa-gue siapa.’

Page 175: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Maksudnya?’

‘Ya dia tenar, cakep, anak basket pula. Elu kan tahu, basket

itu olahraga dengan kasta kekerenan tertinggi di sekolah gue. Lha,

gue, baru sekali nyoba ekskul bola juga batok dengkul langsung

pindah ke pala.’ Gue melanjutkan, ‘Dia juga orangnya supel. Dia

malah deket sama salah satu guru sekolah. Gue? satu-satunya

orangtua yang ngedeketin gue di sekolah paling ibu-ibu depan

gerbang. Ngemis minta gopean.’

‘Duh. Jomplang abis, ya.’

‘Iya kan. Jomplang abis.’

‘Hmmmm,’ Radit manggut-manggut, menganalisa perihal

perbedaan derajat gue dan Ve. Setelah beberapa detik, bak

seorang dukun yang memberikan saran kepada pasiennya, dia

berucap, ‘Dia anak basket, kan? Kalo gitu, main basketlah kau.’

SEMENJAK disuruh Radit, gue jadi rajin latihan basket. Gue juga

jadi sering ngaca sendiri. Sewaktu ngaca, gue sering ngebayangin

Ve memuji permainan basket gue. Namun, setelah berlatih agak

lama, gue tampaknya ragu dengan bayangan tersebut. Tepukan

gue payah. Manuver gue mudah ditebak. Gerakan gue patah-patah.

Page 176: Keriba-Keribo FREE Compress

Persis robot gedek. Gue cuman jago main basket di game play

station. Lawan easy. Itu juga musuhnya gue gebok-gebokin semua.

Pernah sekali waktu, gue dan Arif, teman satu kelas,

beradu main three point shoot. Kita secara bergantian melakukan

tembakan dari jarak tiga poin. Apabila salah satu dari kita ada

yang memasukkan bola, maka lawannya harus menggendong

orang tersebut dari ujung ke ujung lapangan. Ini kesempatan yang

bagus untuk menarik perhatian Ve, batin gue. Namun, jangankan

menarik perhatian, gue malah berhasil menurunkan tinggi badan

sebanyak tiga inci karena kebanyakan menggendong Arif.

Latihan basket pun gue coret dalam daftar rencana

deketin Ve.

Waktu terus berjalan sampai gue sadar bahwa ujian

sebentar lagi, gue kembali berkonsultasi ke Radit. ‘Maka dari itu,

belajarlah. Belajarlah sampai ke negeri China,’ katanya. Gue yang

waktu itu masih culun membalas dengan jawaban standar, ‘Oh

gitu ya, Dit.’ Gue diem bentar, lalu kepikiran sesuatu, ‘Tapi… China

kan jauh?’ Radit, mendengar jawaban gue yang kayak anak imbisil

itu, menggelengkan kepala. ‘Adi, Adi, Adi,’ katanya. ‘Kalo gitu, beli

aja buku made in China. Beda-beda dikit lah.’

Page 177: Keriba-Keribo FREE Compress

Gue, sebagaimana seorang sahabat sejati, kembali

mengikuti petuah Radit. Besoknya gue keliling tukang fotokopian

demi mendapatkan Buku made in China. Tapi susah. Sampai di

tukang fotokopian kedua (betul, gue memang ngga niat), gue

capek dan akhirnya berpikir untuk membeli buku tulis biasa.

Setelah menyerahkan uang kepada mas-mas tukang fotokopian,

gue melihat sebentar cover buku ini: gambar bebek kuning yang

besar.

Pelajaran ya? hmmm gue senyum sendiri. Gue rasa ini

adalah cara yang cocok untuk ngedeketin Ve.

Setelahnya, gue belajar dan belajar dan belajar dan

sebagaimana orang yang penuh usaha, pengorbanan gue tidak sia-

sia. Ketika itu ujian kimia, Ve pernah sekali waktu nanya ke gue,

dan di ujian itu dia dapet nilai 80. Dia ngerasa dapet nilai bagus

karena bantuan gue.

Momen itu ngebuat kepala gue pengen meledak.

Pada saat itu, gue mulai merasa, kalau seorang pemula

juga punya harapan.

Ya.

Harapan.

Page 178: Keriba-Keribo FREE Compress

Ve: ga belajar bareng lg? gatau gw juga ga ikut kayaknya, jauh betul rumahnya

Gue dan Ve jadi dekat. Gue mulai berani mengirim SMS. Gue juga

sudah menjadi temen facebook-nya. Kita mulai suka chat

walaupun isi chat kita banyak haha-hihi-nya. Haha-hihi di sini,

benar-benar haha-hihi. Hampir di setiap chat kita ketawa, penting

atau tidak, lucu ataupun tidak. Berikut salah satu potongan chat

gue dengan Ve:

Ve: oh haha mandi lu mandi aheahe Rumahnya di xxx kalo ga salah. Lagi tiduran doang pegel saya

Gue: haha udah dong.. ehehe wew, xxx itu apa yaah?? Hehe haha kebanyakan joget pegel2

Gue: haha ngga lah capek ini aja baru balik. Haha emang dimana dah rumahnya?

Page 179: Keriba-Keribo FREE Compress

haha… aheahe… ehehe.. hehe…

Dari potongan percakapan yang tidak jelas apa

maksudnya tersebut, terlihat jelas bahwai Ve adalah sosok

seorang the beauty, sedangkan gue dapat diibaratkan sebagai…

the alay.

Tetapi, pada kenyataannya, memang cinta—yang pertama,

(yang paling banyak) membuat kita tersenyum bukan?

Seiring kedekatan ini, gue mulai mencari tahu lebih

banyak tentang dia. Gue harus kenal Ve lebih dalam.

Maka, gue mengajak Nurul (temen satu kelas saat itu)

untuk mencari rumah Ve yang alamatnya gue telah dapatkan

dengan mencuri database kelas.

HARI ini tiba. Hari di mana kita bakal nyari rumah si Ve. Gue dan

Nurul udah janjian buat ketemu di parkiran sekolah. Waktu itu,

rasanya pengin banget cepet-cepet denger bel sekolah. Hati udah

dag-dig-dug abis. Perjalanan gue ke parkiran, yang sebenarnya

tidak jauh itu, seakan melambat. Gue seperti bergerak dengan

slow motion. Panasnya matahari, entah kenapa, terasa

Page 180: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 181: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 182: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 183: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 184: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 185: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 186: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 187: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 188: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 189: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 190: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 191: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 192: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 193: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 194: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 195: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 196: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 197: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 198: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 199: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 200: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 201: Keriba-Keribo FREE Compress

PERJUMPAAN(KEMBALI)DENGANVEAMALIA

KALIAN percayadenganjatuhcintapadapandanganpertama?

Kalau di dalam sinetron, jatuh cinta pada pandangan

pertamadiawalidenganadegantabrakanantarasicowokdansi

cewek, kemudian si cewek menjatuhkan saputangan dan

dilanjutkandenganadegantatap-tatapanslowmotion.Merekalalu

jatuhcintadanmenikah.Assimpleasthat.

Di kehidupan nyata, bagi perempuan, jatuh cinta tidak

semudah ketemu cowok ganteng berotot di gym atau naksir

karena tatapan pertama. Bagi cewek, jatuh cinta timbul karena

adanya rasa nyaman danseringnya komunikasi . Maka buat

cewek-cewekjombloyang lagibaca ini,kalian tidakperlukuatir,

Page 202: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 203: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 204: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 205: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 206: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 207: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 208: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 209: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 210: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 211: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 212: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 213: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 214: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 215: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 216: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 217: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 218: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 219: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 220: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 221: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 222: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 223: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 224: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 225: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 226: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 227: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 228: Keriba-Keribo FREE Compress

Profil-

Kresnoadi DH (lahir pada 22 Januari 1993) merupakan mahasiswa kehutanan yang berkuliah di IPB. Ia sering diledeki teman-temannya dengan sebutan ‘kribo, keriting, kibo, brekele’ meski rambutnya lurus. Benar, LURUS. Keriba-keribo merupakan blog pribadinya selain Said It Sad. Kresnoadi memiliki hobi card flourish, belakangan keranjingan menulis, dan kini sedang mencoba berlatih beatbox (meski mulutnya kelibet sendiri).

Page 229: Keriba-Keribo FREE Compress

Extras-

2

Page 230: Keriba-Keribo FREE Compress

Perihal keriba-keribo-

Panggil aku Merah.

Ya, ya, ya, aku bohong. Merah hanyalah nama tengahku. Terserah

Tuanku mau menambahkan apa pada depan dan belakang namaku.

Si Merah Butut, Mesin Merah Biadab, Benda Merah Sialan. Betul,

apapun. Tuanku memberiku nama tengah Merah karena warnaku.

Bukan merah setara malu-malunya wanita, tapi merah pijar api.

Merah redam. Sayangnya, Tuanku tidak suka warna merah. Ia lebih

menyukai warna susu, atau hitam, atau biru. Ia hampir menempeli

punggungku dengan lembaran kertas warna susu supaya sesuai

dengan kesukaannya. Namun untungnya, hal itu belum terlaksana

sampai sekarang. Tuanku memang penunda yang ulung. Hih.

Aku sebenarnya bukan benda mati. Aku benda hidup. Sama

seperti manusia, sapi, kuda, mangga, hiu, ilalang, meranti. Aku hanya

berpura-pura mati ketika Tuanku menekan-nekan tubuhku. Aku

tersenyum meskipun Tuanku tidak tahu. Ia terlalu serius menatap

kalimat-kalimat di layarku. Menggonta-ganti kata, membuat unsur-

unsur komedi, memanipulasi alphabet, memukul-mukul spasi,

membenamkan backspace. Lihat saja, sekarang aku juga bisa

menulis. Benar, menulis, seperti yang dilakukan Tuanku pada

halaman-halaman sebelum ini.

Page 231: Keriba-Keribo FREE Compress

Awalnya aku jengah karena harus memelototi rambut yang

dianggapnya lurus itu. Huh, lurus apanya. Mencong sana-sini gitu

mengaku lurus. Tak ada malunya dia. Tetapi, lama-kelamaan aku

menikmati juga tekanan jemarinya pada tombol-tombolku. Aku

mulai mengenalnya—Tuanku yang berbadan ceking itu—saat ia

rajin menulis. Ia jadi tidak terlalu memperbabu aku. Ia mulai rajin

merawat dan mengelus-elus badanku. Mengusap dan meniupi

muka—atau dalam bahasa manusia adalah monitor—ketika

diserang semut dan debu. Tentu saja kemesraan kami tidak dalam

konteks homoseksual. Walaupun aku jantan dan ia lelaki, tetapi

penyamaranku akan menghilangkan status homo antara aku dan

tuanku.

Baiklah, mungkin sekarang saat yang tepat untuk aku

membeberkan kepada kalian tentang Tuanku dan tentang apa yang

kalian pegang ini—keriba-keribo.

Nama Tuanku adalah Adi. Kresnoadi tepatnya. Kesan pertama

begitu kalian melihatnya adalah badannya yang kerempeng, tulang-

belulangnya yang padat, keras, seakan hanya dililiti urat dan

ditempeli kulit. Wajahnya datar serupa pelamun. Tuanku—sejauh

yang aku kenal—adalah seorang pemalas. Pemalas bukan sembarang

pemalas. Ia pemalas yang bekerja keras. Pola pikirnya sedikit edan.

Mungkin itu yang membuat rambutnya belingsatan ke sana-sini. Di

antara warna susu, hitam, dan biru, Tuanku adalah si maniak biru.

Jangan heran kalau kau melihatnya berwarna biru dari kepala

sampai tumit. Biru, biru, dan biru. Maka pesanku satu: jangan sekali-

kali kau ceburkan Tuanku ini ke laut. Selain perenang yang buruk, ia

juga sulit dibedakan dengan warna air.

Page 232: Keriba-Keribo FREE Compress

Tuanku, tuanku. Dialah seorang cuek. Ia cuek kepadaku, kepada

perempuan-perempuan, kepada lelaki, kepada kuda, kepada tanah,

kepada rerumputan, dan ia cuek kepada dia. Engselku telah menjadi

saksi atas kepayahannya menjadi seorang pemerhati. Seenaknya saja

ia meletakkanku ke ransel, lalu dibawanya ugal-ugalan dengan

motor bututnya itu. Sekarang, mengangalah ini engsel kananku. Baru

tahu rasa si bedebah itu—untuk kasus yang satu ini, sepertinya

Tuanku layak dijuluki bedebah.

Kamis, Agustus 21 2013

Olala. Sesaat setelah wajahku ditegakkan, aku melihat tulisan

‘free wifi’. Duduk di depanku adalah orang yang tidak aku kenal.

Tampangnya sangar. Di mana Tuanku?

‘Nih.’ Tuanku mendekat, menyerahkan segelas susu kepada pria

belah tengah di hadapanku, lalu menaruh gelas warna hijau di

sampingku. ‘Itu kayaknya di belakang kursi ada colokan, deh. Charger

ada di tas gue. Hape lo batrenya abis, kan?’

Huh. Enak banget mereka. Duduk di sofa hijau yang empuk.

Dapat menenggelamkan setengah pantatnya begitu. Sementara aku

digeletakkan di atas meja kayu. Keras, dan… cokelat muda. Huh, aku

tidak suka warna cokelat. Terkesan kotor dan bau.

‘Gimana, enak nggak?’ tuanku bertanya ke orang di hadapanku.

Kenapa wajah Tuanku gelisah begitu? Apa itu minuman

rekomendasi Tuanku, sehingga ia takut kalau orang di hadapanku ini

tidak suka?

Page 233: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Hoek… Elu cobain deh. Mantab, Di!’

Mantab? Sepertinya pria di hadapanku membual. Ekspresinya

menjelaskan semua itu.

Tuanku tertawa geli, ‘Hahaha Elu, sih. Gaya banget pesen Chai

Thai Tea.’ Ia kemudian bangkit meninggalkanku dan si pria belah

tengah, ‘Gue ambil gula deh,’ kata Tuanku.

Apa itu? Chai Thai tea? Aku baru mendengar nama susu seasing

itu.

Tuanku kembali ke meja dengan menggenggam dua bungkus gula

putih dan sebungkus gula cokelat. Ia merenggut gelas berwarna susu

itu. Ditimang-timangnya itu minuman, ‘Emang rasanya kayak apa

sih?’ Alisnya mengerut, pertanda ia sedang serius.

‘Hoeeeeeekk. Njir. Mahal-mahal rasanya kayak jamu buyung upik!’

Jamu? Susu rasa jamu? seperti apa rasanya. Hik, aku ingin

muntah membayangkannya.

‘Nih, kalo mau. Minum aja green tea gue. Makanya Gung, lain kali

kalo mesen jangan ngasal.’

O, jadi gelas hijau ini green tea. Yeah, pilihan Tuanku memang

selalu tepat.

‘Jadi gimana Di. Mengenai tulisan lo? Apa... kibal-kibul?’

‘Keriba-keribo.’

‘Nah, iya itu.’

Page 234: Keriba-Keribo FREE Compress

Tuanku bertukar posisi dengan orang di hadapanku, aku sebut

saja dia Gung, sesuai dengan yang Tuanku panggil terhadapnya.

Tuanku lantas menyentuhkan jemarinya ke mini touchpad-ku. Ia

menggoyang-goyangkan telunjuknya di sana. Beberapa klak-klik, lalu

kupampangkan sebuah lembar kerja Microsoft word.

‘Ya sejauh ini sih masih lancar. Elu doain aja nanti ada penerbit

sarap yang mau realisasiin ini.’

Gung meremas Chai Thai Tea, menempelkan bibirnya ke sedotan,

Sebelum ia menyedot itu cairan ke dalam mulut, ia bicara, ‘Hahaha.

Amin dah. Kalau elu sukses kan gue juga seneng.’ Gung menyeruput

sedikit cairan susu itu sebelum melanjutkan, ‘Emang, ide lu pertama

kali bikin kibal-kibul ini apa sih?’

‘Keriba-keribo.’

‘Nah, iya itu.’

‘Jujur, awalnya sih mainstream banget, Gung. Blog. Keriba-keribo

ini asalnya dari blog gue dengan nama serupa. Yah, sama lah kayak

orang lain. Lama-lama jadi kepikiran untuk punya buku sendiri.’

‘Blog? Berarti non-fiksi, dong?’

‘Ho’oh.’

Tuanku menaruh tangannya di belakang kepala, sementara Gung

mulai menyesap green tea milik Tuanku. Aku sendiri sebenarnya tak

peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Aku lebih tertarik kepada

wanita di balik etalase sana. Ia memakai celemek hijau, lagipula

senyumnya lucu.

Page 235: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Kalau gitu sama dong kayak Raditya Dika? Terus apa bedanya

sama buku lawak yang lain?’

‘Ya, secara nggak langsung pasti sama. Tapi kalo udah dibaca,

beda. Mudah-mudahan sih. Soalnya gue gabungin beberapa “gaya”

orang di dalem sini. Dari bukunya David Sedaris, Jeff Kinney, film-film

komedi yang liar sampe ke yang komedi romantis. Tulisan gue juga

banyak di-influence sama tulisan-tulisan bergaya jadul. Malah ada

yang dipengaruhin sama puisinya Joko Pinurbo. Nggak nyambung

sama sekali sama komedi.’

Siapa pula itu Raditya Dika, David Sedaris, Jeff? Aku sih lebih suka

menonton lawak dibanding harus membacanya. Wendy Cagur dan

Andre Stingky menurutku lebih oke.

Tuanku kini menegakkan posisi duduknya—tidak lagi bersandar

di sofa—lantas ia berbicara dengan nada serius, ‘Dengan keriba-

keribo, gue mau menerangkan kalau sebenarnya seorang penulis juga

mampu ‘tumbuh’ di dalam sebuah buku. Dari bab-bab awal di depan

yang cem-’

‘Jo!’ Wanita bercelemek itu berteriak dan menaruh setangkup

gelas di atas etalase. Pikiranku bercabang, tak lagi ku dengar kata-

kata Tuanku.

‘Dari bab ke bab, dari halaman ke halaman, dari kalimat ke

kalimat.’

‘Untuk sesuatu yang berbau komedi, elu serius juga ya, Di.’

Page 236: Keriba-Keribo FREE Compress

Tuanku terkekeh. Tapi senyumnya tidak selucu wanita

bercelemek itu. Malah, kupikir, anak kecil akan kabur dan memilih

untuk memasukkan dirinya ke dalam mesin pengaduk semen

daripada harus melihat taring Tuanku yang mirip stalaktit itu.

Bunyi bising mendadak muncul. Aku tidak tahu apa itu, mungkin

semacam bunyi benturan besi dengan benda keras.

Tangan Tuanku mulai menggelitiki perutku (bahasa kalian

mungkin menggunakan istilah “tombol”). Ia mengetik dan lebih

sering menekan backspace. Ini lucu, aku kegelian.

‘Terus, isi ceritanya tentang apa, Di?’

Satu hal yang aku tahu dari Tuanku ialah, ia selalu gagal untuk

melakukan dua kegiatan sekaligus. Setiap membuka mulutnya, ia

pasti menjauhkan jemarinya dari tombolku. Tangannya berganti

fungsi, berkelak-kelok di udara, seperti menegaskan kalimat yang ia

ucapkan.

‘Isinya sih banyak, Gung. Dari mulai tukang parkir, celana jeans,

Radit, cerita kuliah, sampai asmara. Benang merahnya adalah gimana

kita, sebagai manusia, harus berani mengejar mimpi, atau hal-hal

apapun yang mau kita lakukan. Karena pada dasarnya, manusia

nggak boleh berdiam diri. Kita, sebagai manusia harus keluar, melaju

dari titik nol, semakin keluar ke titik satu, dua, tiga, hingga pada

akhirnya, kita akan bertemu dengan titik terluar itu sendiri,

kematian.’

‘Emangnya di keriba-keribo ini... Bener kan gue nyebutnya? elu

bercerita tentang ‘keluar’ apaan? Pengeluaran bulanan? Hahaha.’

Page 237: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Ya itu tadi. Sepele sih. Dari keluar Friendster, keluar dari Bogor,

keluar dari pilihan gue sendiri untuk kuliah di ilmu komputer. Soal

Mbah gue dan Bobby, yang sekarang udah bener-bener “keluar”. Dari

sana gue mulai paham kalau ‘keluar’ tidak selamanya buruk. Juga soal

asmara, soal yang paling susah gue mengerti. Dan, semenjak nulis

keriba-keribo, gue mulai sadar kalo cinta pertama, atau kedua, atau

ketiga, belum tentu merupakan cinta yang terakhir. Masih ada

kesempatan bagi mereka, orang-orang yang kita simpan rapat-rapat

di hati kita, memilih untuk keluar dari sana. Karena sejatinya, di

dalam hati kita, terdapat hati orang lain juga yang sepatutnya

diperlakukan dengan hati-hati.’

Beep-beep.

Sinyal biru berkedap-kedip di ujung kanan badanku. Aku mulai

kelelahan. Kelopak mataku menutup sedikit demi sedikit. Buram.

Kini aku hanya bisa mendengar, penglihatanku lamat-lamat jadi

hitam.

‘Dzinggg!’

Suara bising itu kembali muncul. Suaranya sama, lama waktunya

juga sama. Aku penasaran, tapi tak dapat kubuka mataku.

‘Mbak Erika, vanilla latte-nya, grande! Terima kasih!’

‘Udah jam delapan nih, Gung. Cabut yuk. Cari makan.’

Aku terlelap. Di dalam hitam ini, aku baru sadar bahwa Tuanku,

selain manusia cengengesan seperti orang yang kebanyakan

menghisap ganja, adalah orang yang cukup serius.

Page 238: Keriba-Keribo FREE Compress

‘Ayok, Di.’

Leherku dilipat. Kemudian aku merasa seperti diikat, ditekan dari

segala sisi. Aku pasti sudah di ransel denim milik Tuanku. Tidak salah

lagi.

Aku pun tertidur dengan sangat pulas. Di dalam tidurku—tentu

masih di dalam ransel yang membuat semuanya bertambah gelap—

aku bermimpi didatangi malaikat. Perempuan. Rambutnya mengilap,

layaknya rambut yang baru dikeramas. Matanya bening seperti di

dalamnya berenang-renang sembilan ikan koi dengan penuh cakap.

Celananya cokelat pupus, setinggi lutut. Kausnya ketat. Hitam.

Terbalik dengan kulit putihnya.

Dan, tepat di depan kausnya itu, melekat sebuah celemek

berwarna hijau. Seperti yang pernah kulihat, namun entah di mana.

Ia berjalan ke arahku dan mulai mendekatkan bibirnya ke telingaku.

Napasnya lembut. Berbeda dengan suara dan parasnya yang setara

kapas, kalimat yang ia sampaikan keras sekeras batu granit. Kuat

sekuat pukulan Chris John. Katanya, ia akan menyampaikan pesan

penting. Pesan kepada seluruh umat manusia. Pesan bagi mereka

yang ingin maju.

Tunggu. Aku tidak ingin tulisan ini menjadi eksplisit dan jadi

tidak sekeren milik Tuanku.

Jadi, silakan tutup matamu lima detik,

dan dengarkan suara wanita itu.

Page 239: Keriba-Keribo FREE Compress

BELAKANGLAYAR

Page 240: Keriba-Keribo FREE Compress

Kamutidakkenalsaya,lalukenapabukuiniadadikamu?

Page 241: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 242: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 243: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 244: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 245: Keriba-Keribo FREE Compress

Dapur rahasia-

DapurrahasiaKresnoadi

MULAI halaman ini, saya akan membocorkan beberapa resep dal am membuat

buku digital Keriba-Keribo. Dimulai dari penggalian ide, pemilihan cerita-cerita,

inspirasi, beberapa cara saya dalam membuat joke, sampai teknis pembuatan

membuat ebook.

Penggalianide

BAGI sebagian orang, ide bisa didapatkan di mana saja. Bisa sec ara �dak

sengaja sewaktu duduk di angkot ke�ka perjalanan ke kampus, ke�ka

menonton acara favorit, bahkan, yang paling sering saya baca, orang-orang

paling banyak menemukan ide di kamar mandi.

Untuk saya, itu bisa iya, bisa juga �dak. Kenapa?

Kebanyakan orang diam menunggu ide datang. Bagi saya, ide seharusnya

dicari. Digali. Bukan ditunggu keberadaannya seper� menunggu pilihan

jawaban yang menyala paling terang sewaktu mengerjakan ulangan. Buat saya,

ide yang ditemukan secara �dak sengaja adalah keberuntungan yang

mahadahsyat (karenanya harus cepat-cepat dicatat supaya �dak keburu lupa).

Sebelum saya menceritakan tentang penggalian ide untuk buku ini, biarkan

saya bercerita sesuatu dulu.

Waktu itu sekitar tahun 2012, saya sedang jalan-jalan santai di Gramedia

daerah Bintaro. Dari berbagai banyak pilihan rak, saya sok-sokan menuju ke

rak ‘sastra’. Rasanya macho sekali waktu itu. Dalam memilih buku di gramedia,

Page 246: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 247: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 248: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 249: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 250: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 251: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 252: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 253: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 254: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 255: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 256: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 257: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 258: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 259: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 260: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 261: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 262: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 263: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 264: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 265: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 266: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 267: Keriba-Keribo FREE Compress
Page 268: Keriba-Keribo FREE Compress