Upload
trinhthu
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KERJASAMA BADAN KEBANGPOL PEMERINTAH PROVINSI BALI DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
Surat Perintah Kerja Nomor: [07421230/BID III/BKBP/2015:2415A/UN14.1.11/KS/2015
KESBANGPOL PEMPROV BALI 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR NAMA TIM PENYUSUN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1 A. URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM
PERANCANGAN PRODUK HUKUM DAERAH B. LATAR BELAKANG MASALAH C. RUMUSAN MASALAH D. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK E. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH
AKADEMIK
1
12 17 18
19
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PARKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
B. KAJIAN EMPIRIS TERHADAP KARAKTERSITIK NARKOTIKA, PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, DAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
C. KARAKTERISTIK OBYEK PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
D. KARAKTERSITIK KONSEP PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA
35
48
69
70 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT A. KARAKTERSITIK DASAR, RUANG LINGKUP, DAN
MATERI KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM MENGATUR PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
B. KARAKTERSITIK MATERI PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
72
73
85
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. LANDASAN FILOSOFIS B. LANDASAN SOSIOLOGIS C. LANDASAN YURIDIS
91 92 96 97
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN
99 BAB VI PENUTUP
A. KESIMPULAN B. SARAN
103 103 105
DAFTAR PUSTAKA 74
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur ditujukan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang
Maha Esa) atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan
Narkotika dapat diselesaikan.
Penyelesaian Naskah Akademik ini merupakan tanggung jawab dari tim Peneliti
kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Badan Kesbangpol) Provinsi Bali. Hal
tersebut sebagaimana tertuang dalam perjanjian Kerjasama antara Badan Kesbangpol
Provinsi Bali dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan Surat Perintah
Kerja Nomor : 2415A/UN14.1.11/KS/2015 : 074/21230/BID III/BKBP/2015. Demikian
Naskah Akademik ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Denpasar, Desember 2015
Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM PERANCANGAN PRODUK HUKUM DAERAH
Naskah Akademik (NA) dalam perancangan produk legislasi daerah diperlukan
untuk dua alasan: pertama, untuk memenuhi persyaratan epistemelogi1 dalam
perancangan norma; dan kedua, untuk mencegah berbagai masalah fungsi dan
pewujudan tujuan norma yang timbul akibat kekosongan landasan tersebut.
Syarat epistemelogi perancangan norma mencakup: (a) syarat obyektivitas;2 (b)
syarat rasionalitas;3 dan (c) syarat kontekstualitas.4 Pemenuhan ketiga syarat ini
bertujuan untuk mencegah problem obyektivitas norma, problem rasionalitas norma,
dan problem kontekstual norma. Problem obyektivitas norma adalah problem obyektif-
tidaknya atau sesuai/tidak konstruksi (struktur dan rumusan) norma dengan karakter
obyek pengaturan yang diatur dalam norma. Problem obyektivitas norma muncul dari
akibat kelemahan kapasitas epistemelogis perancang produk legislasi dan intervensi
kepentingan legislator atau pihak lainnya terhadap produk legislasi yang dirancang.
1 Syarat epistemelogis adalah syarat metodologi perancangan. Ida Bagus Wyasa Putra, 2015,
Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu Hukum, Udayana University Press, h. 144-146. 2 Syarat obyektifitas adalah syarat kesesuaian norma dengan karakteristik obyek yang diaturnya.
Pengkonstruksian norma hendaknya didasarkan pada karakteristik obyek norma. Ida Bagus Wyasa Putra, 2015, Analisis Konteks Dalam Epistemelogi Ilmu Hukum, Universitas Udayana, h. 16.
3 Syarat rasionalitas adalah syarat validitas norma atau konsistensi norma dari produk hukum yang lebih rendah dengan norma produk hukum yang lebih tinggi, yang menjadi dasar pembentukan norma dan sumber norma. Ibid.,h. 6.
4 Syarat kontekstualitas adalah syarat kesesuaian norma dengan ekspektasi masyarakat tempat di mana norma itu akan diberlakukan. Ibid., h. 18.
Problem rasionalitas norma adalah problem valid-tidaknya norma berdasarkan uji
keberdasaran, uji kebersumberan, dan uji konsistensi antara norma produk legilasi
yang dibentuk dengan norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang
menjadi dasar atau sumber dari norma produk yang dibentuk. Problem rasionalitas
norma juga menyangkut wajar/tidaknya dan adil/tidaknya norma suatu produk
legislasi diukur dari persyaratan moral, nilai sosial budaya, kemanusiaan, dan nilai-
nilai historis politik, sosial, dan ekonomi yang dianut Negara (ideologi) dan
masyarakat. Problem kontekstual norma adalah problem sesuai/tidaknya norma dengan
ekspektasi masyarakat. Ekspektasi masyarakat adalah harapan masyarakat yang
merupakan hasil dari proses komunitas atau interaksi komunitas. Hakekat naskah
akademik dalam perancangan produk legislasi adalah landasan teoritik perancangan
produk tersebut.
Dalam perancangan produk legislasi daerah, landasan demikian itu
dipersyaratkan dalam bentuk persyaratan pengadaan naskah akademik, yaitu suatu
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum yang diselenggarakan dalam rangka
perancangan u produk legislasi. Lampiran I angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya: UUP3)
menentukan bahwa naskah akademik adalah hasil penelitian atau pengkajian hukum
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, terhadap suatu masalah tertentu
dalam rangka pengaturan masalah tersebut melalui Undang-Undang atau Peraturan
Daerah sebagai solusi terhadap masalah tersebut dan bentuk upaya untuk memenuhi
kebutuhan hukum masyarakat.
Pengertian demikian itu melahirkan konsep tentang naskah akademik. Naskah
akademik merupakan:
a. naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum;
b. penelitian terhadap masalah tertentu dan solusinya;
c. hasil penelitian dan pengkonstruksian masalah dan pemecahannya merupakan
bahan untuk mengkonstruksikan norma hukum untuk mengatur pemecahan
masalah tersebut; dan
d. naskah hasil penelitian demikian itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Definisi tersebut mengandung konsep bahwa suatu penelitian hukum dalam
penyusunan naskah akademik merupakan penelitian yang diselenggarakan karena ada
suatu masalah yang memerlukan pemecahan dan pemecahan masalah itu hanya dapat
dilakukan melalui pengaturan (hukum). Karena itu, suatu penelitian hukum yang
diselenggarakan dalam rangka penyusunan naskah akademik haruslah dimulai dengan
eksplorasi dan pendeskripsian masalah yang sedang dihadapi masyarakat, untuk
kemudian diidentifikasi dan didefinisikan, selanjutnya dicarikan konstruksi teoritik
pemecahannya. Hasil pemecahan masalah ini digunakan sebagai bahan dan dasar
pengkonstruksian norma untuk mengendalikan potensi dan mengatur
penyelenggaraan pemecahan masalah tersebut.
Berdasarkan ketentuan dan konsep tersebut, materi penelitian ini disusun
berdasarkan model konstruksi penelitian untuk pemecahan masalah (problem solving
based) sesuai dengan epistemelogi perancangan produk legislasi yang berkembang
sangat pesat belakangan ini. Dengan demikian, maka penelitian hukum dalam
penyusunan naskah ini difokuskan pada obyek-obyek berikut:
a. karakteristik narkotika, peredaran, dan penyalahgunaan narkotika;
b. karakteristik dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika;
c. karakteristik kebutuhan pemecahan masalah yang timbul dari karakteristik dampak
peredaran dan penyalahgunaan narkotika;
d. karaktersitik konsep pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan
narkotika;
e. karakteristik konsep pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika; dan
f. karaktersitik konstruksi (struktur, lingkup materi, dan rumusan materi) norma
pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.
Hasil penelitian terhadap karakteristik dampak peredaran dan penyalahgunaan
narkotika merupakan dasar untuk merumuskan kebutuhan pemecahan masalah
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Peta kebutuhan pemecahan
masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika merupakan dasar untuk
merumuskan konsep pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika. Konsep pengaturan pemecahan masalah dampak
peredaran dan penyelahgunaan narkotika merupakan dasar untuk merumuskan
struktur norma pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika.
Konstruksi korelasi obyek penelitian dengan hasil dan kegunaan hasil penelitian
dalam penyusunan naskah akademik ini dapat digambarkan sebagai berikut:
KONSTRUKSI KORELASI OBYEK PENELITIAN DENGAN HASIL DAN KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
NO
OBYEK PENELITIAN
HASIL YANG
DIHARAPKAN
KEGUNAAN HASIL
PENELITIAN
1 KARAKTERISTIK NARKOTIKA, PEREDARAN, DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
Deskripsi tentang karakteristik narkotika, peredaran dan penyalahgunaan narkotika
Dasar identifikasi masalah peredaran dan penyalahgunaan narkotika, serta dampak peredaran dan penyelahgunaan narkotika
KARAKTERISTIK DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA
Deskripsi tentang karakteristik dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika
Dasar pemetaan kebutuhan pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika
2 KARAKTERISTIK KEBUTUHAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
Deskripsi tentang karakteristik kebutuhan pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika
Dasar perumusan KONSEP PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
3 KONSEP PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA
Deskripsi tentang konsep pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika
Dasar perumusan KONSEP PENGATURAN pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika
4 KONSEP PENGATURAN
Deskripsi tentang konsep pengaturan
Dasar penyusunan RANPERDA (STRUKTUR,
PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika
RUANG LINGKUP MATERI, DAN RUMUSAN MATERI NORMA) Pengaturan Pemecahan Masalah Dampak Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika
Korelasi peredaran dan penyalahgunaan narkotika, dampak, kebutuhan
pemecahan masalah, konsep pemecahan masalah, konsep pengaturan, dan struktur
materi pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan
narkotika juga dapat digambarkan sebagai berikut:
KORELASI PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, DAMPAK, KEBUTUHAN PEMECAHAN MASALAH, KONSEP PEMECAHAN MASALAH,
KONSEP PENGATURAN, DAN STRUKTUR MATERI PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
KEBUTUHAN PEMECAHAN MASALAH
KONSEP PEMECAHAN MASALAH
KONSEP PENGATURAN
KONSTRUKSI NORMA PENGATURAN
5
4 3
2
KETERANGAN:
(1) gambaran KARAKTERISTIK NARKOTIKA, karakteristik peredaran dan
penyalahgunaan narkotika serta dampak kesehatan, sosial, ekonomi, dan politiknya
terhadap individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara;
(2) gambaran karakteristik narkotika, karkteristik peredaran dan penyalahgunaan, dan
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika merupakan DASAR
PERUMUSAN KARAKTERISTIK MASALAH DAN KEBUTUHAN PEMECAHAN
MASALAH;
(3) peta kebutuhan pemecahan masalah merupakan DASAR PERUMUSAN KONSEP
PEMECAHAN MASALAH;
(4) konsep pemecahan masalah merupakan dasar perumusan KONSEP
PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika;
PERDA
PETA MASALAH
KARAKTERISTIK MASALAH
6
1
(5) konsep pengaturan merupakan DASAR PENGKONSTRUKSIAN NORMA
PENGATURAN; dan
(6) konstruksi norma pengaturan merupakan dasar PERUMUSAN PERDA. Perda
merupakan instrumen hukum untuk memecahkan masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika.
Untuk keperluan pertanggungjawaban ilmiah, penelitian hukum dalam rangka
penyusunan naskah ini menggunakan 3 (tiga) pendekatan hukum, yaitu:
(a) pendekatan hukum normatif (structural normative approach);5
(b) pendekatan hukum fungsional (functional approach);6 dan
(c) pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan atau pendekatan hukum
kontekstual dan konstruktif (policy-oriented approach, contextual approach, or
constructive approach).7
Penggunaan pendekatan ini mencakup penggunaan teori, konsep, metode penelitian,
dan model analisis yang dibangun berdasarkan ketiga pendekatan itu.
Lampiran I angka 2.1 UUP3 menentukan bahwa bagian Pendahuluan suatu
naskah akademik memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi
5 Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law and State, Transaction Publishers, New Brunswick, h.
29. 6 George Whitecross Paton,1951, A Text-Book of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, h. 20. 7 Lihat: lung-chu Chen, 1989, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented
Perspective, Yale University Press, New York, h. ix. Lihat Juga: Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St. Johnston and J. Macdonald Douglas, 1983, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, h. 103.
masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian. Berdasarkan ketentuan
tersebut, bagian Pendahuluan dari naskah ini secara berturut-turut menyajikan:
a. latar belakang masalah dan sasaran yang akan diwujudkan;
b. identifikasi masalah;
c. tujuan dan kegunaan penelitian; serta
d. metode penelitian.
Lampiran I angka 2.1.A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan
bahwa latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan
naskah akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tertentu.
Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Peraturan Daerah memerlukan
suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah
yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan
dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi
filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah.
Lampiran I angka 1.B. menentukan bahwa identifikasi masalah memuat
rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam naskah
akademik. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu naskah akademik
mencakup 4 (empat) elemen pokok masalah, yaitu:
a. Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi, dalam konteks
penelitian ini adalah masalah apa yang dihadapi masyarakat dan Pemerintah
Provinsi Bali dalam upaya pemecahan masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika.
b. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah
tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah
tersebut, dalam penelitian ini pelibatan Pemerintah Provinsi dalam penyelesaian
masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.
c. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah,
dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi
Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.
d. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan
arah pengaturan dari pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika melalui produk legislasi daerah itu.
Lampiran I angka 1.C. menentukan bahwa tujuan dan kegunaan penyusunan
naskah akademik sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dirumuskan
sebagai berikut:
a. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara,
dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut, dalam hal ini
adalah masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan Pemerintah provinsi Bali dalam
upaya pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.
b. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar
hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat, dalam hal ini permasalahan hukum yang dihadapi
sebagai alasan pembentuk Rancangan Peraturan Daerah pemecahan masalah
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika sebagai dasar hukum dalam
pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.
c. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah,
dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi
Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.
d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini sasaran yang akan diwujudkan, ruang
lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi Bali tentang Pemecahan Maslah Dampak Peredaran dan
Penyalahgunaan Narkotika.
Kegunaan penyusunan naskah akademik adalah sebagai acuan atau referensi
penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan
Narkotika.
Lampiran I angka 1.D. menentukan bahwa penyusunan naskah akademik pada
dasarnya merupakan kegiatan penelitian yang harus diselenggarakan berdasarkan
metode penyusunan naskah akademik yang berbasis pada metode penelitian hukum.
Penelitian hukum dapat dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dan
metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian
sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah
(terutama) data sekunder berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil
pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan
wawancara, diskusi (focus group discussion, FGD), dan rapat dengar pendapat. Metode
yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian
normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang
dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk
mendapatkan data faktor non hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap
Peraturan Perundang-undangan yang diteliti. Berdasarkan dua model metode itu,
metode penelitian yang digunakan di dalam penyusunan naskah ini adalah penelitian
hukum normatif dengan menggunakan pendekatan hukum normatif struktural,
pendekatan hukum normatif fungsional, dan pendekatan hukum dengan orientasi
kebijakan.
Berdasarkan standar normatif itu, bagian Pendahuluan dari naskah ini
menyajikan:
a. latar belakang masalah;
b. identifikasi masalah;
c. tujuan dan kegunaan penyusunan landasan teoritik; dan
d. metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan landasan teoritik.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Narkotika merupakan merupakan zat yang digunakan untuk pengobatan.
Narkotik dapat digunakan sebagai media pengobatan seperti penahan atau penghilang
rasa sakit dalam melakukan operasi, maupun sebagai obat untuk mempengaruhi fungsi
kelenjar, produksi dan sirkulasi hormon, metabolism tubuh dan mental. Opium poppy
misalnya, telah digunakan secara luas sejak zaman Yunani dan Romawi sebagai obat
untuk mengurangi rasa sakit pada masa persalinan.8 Karena itu, narkotik merupakan
istilah yang digunakan untuk menunjuk pada suatu jenis zat, baik yang bersumber dari
bahan-bahan alami (heroin, morphine and opium) maupun sistetis (Percodan, Demerol and
Darvon), atau semi sintetis (Oxycodone and Hydrocodone), yang bersifat menghilangkan
rasa sakit (analgesic) karena menumpulkan kepekaan syaraf perasa atau sebaliknya
meningkatkan kepekaan syaraf perasa manusia.9 Narkotika juga merupakan zat yang
bekerja pada tataran syaraf yang mengendalikan fungsi kelenjar, hormon, fungsi organ,
dan metabolisme tubuh manusia yang menghasilkan berbagai sensasi pada diri dan
pikiran manusia. Sensasi yang dihasilkan oleh narkotika mengakibatkan fungsi
narkotik berubah dari sekadar fungsi sebagai bahan untuk keperluan pengobatan
menjadi bahan konsumsi untuk berbagai tujuan lain, seperti obat penyemangat,
8 http://www.narcotics.com/history, diakses terakhir 29/10/2015. 9 Ibid.
pemelihara stamina, sumber kesenangan, pelarian dari tekanan mental, pembangun
kepercayaan diri, dan kegunaan-kegunaan lainnya.
Sensasi yang dihasilkan narkotika sesungguhnya merupakan sensasi semu atau
sifatnya sementara, sehingga dalam mempertahankan kondisi yang setara dengan
kondisi sementara itu seorang pengguna harus menggunakan kembali bahan yang
dikonsumsi. Sifat sensasi dan pola penggunaan itu melahirkan sifat baru, yang bila
digunakan secara terus-menerus, dalam jangka waktu alam atau dosis berlebihan, akan
menimbulkan akibat yang sangat buruk bagi kesehatan, terutama kerja syaraf, kelenjar,
sirkulasi dan keseimbangan hormon, daya kerja pikiran, dan akhirnya kesehatan dan
daya tahan fisik. Namun demikian, sifat narkotika sebagai sumber sensasi fisik dan
mental pada manusia mengakibatkan narkotik cenderung disalahgunakan, mulai dari
media untuk sekadar iseng dan bersenang-senang, sampai pada konsumsi rutin dan
ketergantungan untuk berbagai alasan dan tujuan tertentu yang umumnya
berhubungan dengan cara kerja fisik dan mental manusia. Masyarakat Cina misalnya,
telah selama ratusan tahun menghisap opium secara terbuka di dalam suatu model
bersantai yang bersifat komunitas untuk tujuan mendapatkan kesenangan atau mencari
rasa nyaman yang menyenangkan. Demikian juga para penguasa pada zaman
kekuasaan abad ke -10-an telah menggunakan narkotika untuk mengendalikan mood
dalam menjalankan kekuasaan. Sekalipun istilah “penyalahgunaan” narkotika telah
ditemukan dan digunakan sejak awal permulaan abad ke-18, namun jutaan manusia
pada seratus tahun terakhir masih menyalahgunakan narkotika untuk berbagai tujuan,
seperti: rileksasi, mencari rasa nyaman dan melayang (get high), atau sekedar untuk
menstimulasi “mood” untuk berbagai alasan.10
Penyalahgunaan narkotika dalam kehidupan manusia semakin meluas sejak
Edinburgh menemukan jarum suntik pada tahun 1800-an dan sejak itu cara
penggunaan narkotik yang semula menggunakan cara menelan melalui mulut
berubahan menjadi cara injeksi atau semprot, sehingga sejak tahun itu penyalahgunaan
narkotika juga semakin meluas. Penemuan berbagai jenis narkotika sistentis dan semi-
sintetis11 juga menjadi berkah baru dalam pelayanan kesehatan, tetapi pada sisi lainnya
juga menjadi masalah baru yang semakin serius dan mengancam keberlangsungan
kehidupan manusia.
Kandungan adiktif di dalam narkotika yang menimbulkan ketergantungan bagi
pemakainya, mengakibatkan penyalahgunaan narkotika menjadi problem besar abgi
masyarakat bangsa-bangsa. Sifat adiktif dari narkotika yang semula diusahakan untuk
ditekan sekecil-kecilnya dalam proses pelayanan kesehatan, dalam kehidupan
komersial justru dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk mengubah nilai pasokan
narkotik yang semula bersifat humanistik menjadi pasokan yang bersifat dan bernilai
komersial. Sejak tahun 1950 penyalahgunaan itu menjadi semakin meluas dan
menimbulkan ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup manusia, karena
volume dan sifat penyebarannya, dan untuk alasan itu PBB pada tahun 1961 untuk
10 Ibid. 11 Pethidine merupakan jenis morfin sintetik pertama yang diproduksi di Jerman pada tahun
1939, yang kemudian digunakan secara luas dalam pelayanan kesehatan karena daya reduksi rasa sakitnya lebih cepat, lebih baik, dan lebih lama, demikian juga sifat ketergantungannya yang sangat kecil. Ibid.
pertama kalinya menerbitkan suatu instrumen hukum internasional yang dibentuk
untuk tujuan memberantas penyebaran narkotika yang bersifat melawan hukum dan
yang bersifat lintas batas negara.12 Indonesia meratifikasi Konvensi itu dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961
beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya. Pada Tahun 1977 Indonesia juga
meratifikasi United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) yang diratifikasi
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1977 tentang Pengesahan terhadap Konvensi
dimaksud.
Reaksi cepat Indonesia dalam meratifikasi Konvensi itu merupakan cermin
kesadaran Pemerintah Indonesia terhadap dampak berbahaya dari peredaran dan
penyalahgunaan narkotika. Benny Mamoto, Deputi Pemberantasan BNN, mengatakan
sedikitnya 50 warga negara Indonesia meninggal dunia per hari akibat mengkonsumsi
narkotika. Jumlah itu lebih mengerikan dibandingkan dengan korban kejahatan lain,
misalnya kejahatan terror. Jumlah korban tewas dalam teror bom di Bali sebanyak 220
jiwa atau setara dengan korban tewas akibat konsumsi narkotika selama 5 hari.13 Pada
tahun 2008, diperkirakan jumlah penyalahguna narkotika setahun terakhir di Indonesia
sekitar 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1,9% dari populasi penduduk
12 Single Convention on Narcotic Drug 1961, sebagaimana kemudian diamademen dengan
Protocol Majelis Umum PBB 1972. 13 Metrotvnews.com, 28 September 2013, BNN: 50 orang Tewas Tiap Hari Akibat Narkotika,
http://news.metrotvnews.com/read/2013/09/28/184807/bnn-50-orang-tewas-tiap-hari-di-indonesia-akibat-narkotika
berusia 10-59 tahun.14 Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) Hasil proyeksi angka
penyalahguna narkotika akan meningkat, dengan adanya kecenderungan peningkatan
angka sitaan dan pengungkapan kasus narkotika.
Tindak kebijakan lanjutan dari Rativikasi Konvensi itu, dengan
mempertimbangkan karakteristik bahaya dampak peredaran dan penyalahgunaan
narkotika adalah tindakan Pemerintah Indonesia secara progresif menerbitkan berbagai
instrumen hukum dalam rangka mencegah, mengendalikan, dan memberantas
peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Pada tahun 1997 Indonesia menerbitkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang
Narkotika 2009 diikuti dengan penerbitan berbagai peraturan pelaksanaan, seperti:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika; Peraturan Presiden Nomor
23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional; dan akhirnya Peraturan menteri
Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan
Narkotika, yang membangun sistem peraturan perundang-undangan, kelembagaan,
dan proses hukum dalam pencegahan, penanggulangan, dan penanganan masalah
peredaran dan dampak peredaran narkotika.
Peraturan Menteri Dalam Negeri itu memberi kewenangan kepada Gubernur
dan Bupati/Walikota untuk mengatur melalui peraturan daerah fasilitasi pencegahan
14 Badan Narkotika Nasional, 2015, Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkotika
Tahun Anggaran 2014, Jakarta, h. 1
penyalahgunaan narkotika. Untuk keperluan pelaksanaan kewenangan itulah
Pemerintah Provinsi Bali bermaksud membentuk Peraturan Daerah yang mengatur
tentang pelaksanaan kewenangan tersebut dalam kerangka kebijakan nasional
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.
C. RUMUSAN MASALAH
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan itu dan dengan berpijak pada standar
penyusunan naskah akademik dalam perancangan peraturan daerah, maka masalah
yang akan diteliti dalam penyusunan naskah akademik ini mencakup:
(1) Bagaimanakah kajian teoritis dan praktik empiris karakteristik narkotika, peredaran
dan penyalahgunaan narkotika, serta bagaimanakah karakteristik dampak
peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia?
(2) Bagaimanakah kondisi peraturan perundangan-undangan yang mengatur
peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia dan bagimanakah kondisi
itu berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam
berperan mencegah, mengendalikan, dan mengatasi dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika?
(3) Apakah Pemerintah Provinsi Bali memiliki landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
untuk membentuk peraturan daerah dalam mengatur kedudukan dan
kewenangannya dalam berperan mencegah, mengendalikan, dan mengatasi
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika?
(4) Bagaimanakah jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan
peraturan daerah provinsi dalam pencegahan, pengendalian, dan penanganan
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika?
D. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK
Penelitian dalam rangka penyusunan naskah akademik ini bertujuan untuk:
(1) Merumuskan landasan teoritis pengaturan pencegahan dan penanganan dampak
peredaran dan penyalahgunaan narkotika melalui pembentukan Peraturan Daerah
provinsi Bali berkenaan dengan hal itu; dan merumuskan karakteristik empiris dari
narkotika, peredaran dan penyalahgunaan narkotika, karakteristik dampak,
karakteristik kebutuhan pemecahan masalah, konsep pemecahan masalah, dan
konsep pengaturan pencegahan dan penanganan dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika;
(2) Merumuskan masalah norma peraturan perundang-undangan yang dalam rangka
pengaturan pencegahan dan penanganan masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika dalam rangka pemecahan masalah norma penagturan
melalui peraturan daerah yang akan dibentuk;
(3) Merumuskan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan peraturan
daerah dalam rangka mengatur pencegahan dan penanganan dampak peredaran
dan penyalahgunaan narkotika di Bali; dan
(4) Merumuskan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan
peraturan daerah provinsi dalam pencegahan, pengendalian, dan penanganan
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.
E. METODE
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan tipe penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian
yang memfokuskan penelitian terhadap masalah hukum dalam sifat tektualnya.
Penelitian ini mencakup penelitian terhadap masalah norma hukum, baik asal-usul,
konstruksi normanya, validitas, keberadaannya dalam korelasi dengan norma
lainnya, maupun penerapan dan penegakannya. Penelitian ini memfokuskan
penelusuran terhadap beberapa aspek norma, yaitu:
a. dasar pengkonstruksian norma, konsep pengkonstruksian norma;
b. aspek dasar kewenangan; dan
c. aspek pengkonstruksian norma.
Aspek yang pertama mencakup: penelitian terhadap karakteristik peredaran dan
penyalahgunaan narkotika; karakteristik masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika; karakteristik kebutuhan pemecahan masalah dampak
peredaran dan penyalahgunaan narkotika; karakteristk konsep pemecahan masalah
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika; karaktersitik konsep
pengaturan, sampai pada model konstruksi norma pengaturan pemecahan masalah
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.
Aspek yang kedua mencakup penelitian terhadap peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang dasar, ruang lingkup, dan substansi kewenangan
Pemerintah Provinsi Bali dalam mengatur pemecahan masalah dampak peredaran
dan penyalahgunaan narkotika di Bali. Aspek yang ketiga mencakup penelitian
terhadap struktur elemen pengaturan dan konstruksi substansi norma.
Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif dalam cakupan
meliputi ketiga variannya, yaitu: penelitian hukum normatif struktural, penelitian
hukum normatif fungsional, dan penelitian hukum normatif kontekstual. Obyek
penelitian ini adalah karakteristik obyek pengaturan dan masalah dampak
peredaran dan penyalahgunaan narkotika sebagai dasar pengkonstruksian konsep
pengaturan dan pengkonstruksian norma pengaturan yang diasumsikan sebagai
faktor penentu fungsi dan keberhasilan fungsi dalam mewujudkan tujuan hukum.
Dengan demikian, kendatipun memusatkan penelitian dan pembahasan pada
norma, penelitian ini bukanlah penelitian hukum normatif sebagaimana
diperkenalkan oleh Kelsen (normative structural), melainkan kombinasi antara
penelitian hukum normatif dalam pengertian hukum normatif struktural, hukum
normatif fungsional sebagaimana diperkenalkan oleh Pound (normative functional),
dan hukum normatif kontekstual sebagaimana diperkenalkan oleh McDougal.
Model penelitian McDougal dipergunakan sebagai instrument untuk meneliti
karakteristik obyek penelitian, termasuk karakteristik masalah pengelolaan,
karakteristik kebutuhan pemecahan masalah pengelolaan, dan kebutuhan konsep
pengaturannya. Model penelitian Kelsen digunakan dalam mengidentifikasi
kewenangan, dan model penelitian Pound digunakan dalam mengidentifikasi
karakteristik konstruksi struktur dan substansi norma pengaturan.
Penelitian ini berinduk pada penelitian hukum fungsional (functional research of
law) atau penelitian hukum normatif fungsional (normative functional)-nya Roscoe
Pound15 dan McDougal dalam kombinasi dengan model penelitian hukum normatif
strukturalnya Kelsen. Esensi model penelitian Pound dan McDougal adalah korelasi
antara obyek pengaturan dengan konsep dan konstruksi norma pengaturan sebagai
aspek-aspek norma yang satu sama lain saling mempengaruhi dan menentukan
fungsi dan capaian tujuan hukum. Konsistensi antara keseluruhan aspek itu
merupakan dasar untuk menghasilkan produk hukum yang berkualitas dan
mengemban fungsi–fungsinya, dan fungsi hukum yang berkualitas merupakan
dasar pewujudan tujuan hukum secara baik. Sementara esensi model penelitian
Kelsen adalah model uji validitas, yaitu uji terhadap keberdasaran pada dan
kebersumberan norma kepada norma yang lebih tinggi yang akan menentukan
validitas norma yang dibentuk.
15 Ibid. Di Indonesia, model ini diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan nama
penelitian hukum pembangunan dan pembangunan hukum. Di Amerika, model ini dikembangkan oleh Myres S. McDougal dan Harold D. Lasswell dengan nama ”model penelitian hukum dengan orientasi kebijakan hukum” (a policy-oriented approach), yang kemudian dipopulerkan oleh para penganut aliran New Heaven School. Bandingkan: Lung-chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York, 1989, h. ix. Baca juga: Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983, h. 103.
Bentuk penelitian ini, dengan demikian, adalah:
a. uji konsistensi konsep pengaturan, konstruksi struktur dan substansi norma
pengaturan dengan karakteristik obyek pengaturan dan karakteristik kebutuhan
pengaturan; dan
b. konstruksian dasar dan substansi kewenangan pengaturan sebagai instrumen uji
validitas terhadap konstruksi norma dalam pengaturan pemecahan masalah
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Bali.
2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif fungsional (functional
normative approach), normatif struktural (structural normative approach), dan
normatif konstruktif dan kontekstual (policy-oriented research).16 Pendekatan ini
merupakan pendekatan penelitian hukum yang perlu digunakan dalam proses
legislasi di Indonesia mengingat kultur hukum Indonesia (civil law system) dan
kebutuhan-kebutuhan pengaturan yang lebih obeyktif dan kontekstual. Fungsi
pendekatan tersebut dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:
a. Pendekatan hukum kontekstual digunakan dalam penelitian terhadap
karakteristik obyek penelitian, karakteristik masalah pengelolaan obyek,
16 Pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan melihat hukum sebagai bagian proses otoritatif pengambilan kebijakan yang berkelanjutan (continuing otoritative process of decision making) dimana substansi hukum dipandang sebagai bentuk transformasi substansi kebijakan yang ada dan diciptakan mendahului hukum, yang pada gilirannya akan menjadi sumber dari hukum dan kebijakan organik dan teknis yang akan dilahirkannya. Penguatan fungsi hukum, menurut pendekatan ini, dapat dilakukan melalui pengendalian substansi kebijakan atau hukum dalam proses kebijakan atau proses hukum. Pengendalian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis konstruktif dan kontekstual terhadap bahan-bahan substansi kebijakan. Hubungan hukum dengan kebijakan dipandang sebagai suatu bentuk korelasi berkesinambungan dari tahap input, proses, output, dan feedback yang selanjutnya akan menjadi input. Ibid., h. 113.
karakteristik kebutuhan pemecahan masalah pengelolaan obyek, dan
karakteristik konsep pengaturan obyek;
b. Pendekatan hukum normatif struktural digunakan sebagai dasar untuk
menjelaskan dasar, ruang lingkup dan substansi kewenangan Pemerintah
Provinsi Bali dalam pengaturan pemecahan masalah peredaran dan
penyalahgunaan narkotika di Bali; dan
c. Pendekatan hukum normatif konstruktif dan fungsional digunakan sebagai
dasar untuk menjelaskan korelasi konstruksi struktur dan substansi norma
dengan konstruksi konsep pengaturan, korelasi konstruksi konsep pengaturan
dengan karakteristik kebutuhan pengaturan, dan korelasi kebutuhan
pengaturan dengan karakterisitik obyek pengaturan dan karakteristik masalah
pengelolaan obyek pengaturan.
Korelasi antara keseluruhan komponen sistem fungsi hukum dalam pengaturan
pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika dapat
digambarkan sebagai berikut.
KONSTRUKSI LANDASAN, KONSEP PENGATURAN, DAN KONSTRUKSI NORMA SEBAGAI REFLEKSI KARAKTERISTIK OBYEK PENGATURAN
Hakekat penelitian terhadap karakteristik dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika di Bali adalah penelitian terhadap landasan filosofis
pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika di
Bali. Penelitian terhadap karakteristik masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan
narkotika adalah penelitian terhadap landasan sosiologis pengaturan pelestarian
warisan budaya Bali. Landasan sosiologis pengaturan adalah landasan kontekstual dari
pengaturan. Kedua landasan ini dimaksudkan untuk memberikan landasan
KARAKTERISTIK MASALAH DPPN NARKOTIKA
(KARAKTERISTIK OBYEK PENGATURAN)
KARAKTERISTIK KEBUTUHAN
PENGATURAN PEMECAHAN
MASALAH DPPN
KARAKTERISTIK KEWENANGAN PEMPROV DALAM PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK
PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(DPPN) (KARAKTERISTIK MATERI DAN RUANG
LINGKUP KEWENANGAN)
KARAKTERISTIK MASALAH PENGATURAN DPPN
(KARAKTERISTIK MASALAH
PENGATURAN)
KONSTRUKSI KONSEP PENGATURAN
KONSTRUKSI STRUKTUR
ELEMEN NORMA
PENGATURAN
KONSTRUKSI
MATERI NORMA
PENGATURAN
LANDASAN YURIDIS
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS
KONSTRUKSI PENGATURAN
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH PEMECAHAN
MASALAH DPPN
kontekstual terhadap pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika di Bali. Landasan kontekstual merupakan landasan penentu
LEGITIMASI keberlakuan suatu produk hukum. Penelitain terhadap kedua masalah ini
menggunakan pendekatan hukum fungsional dan hukum dengan orientasi
kebijakannya Pound dan McDougal.
Hakekat penelitian terhadap dasar, ruang lingkup, dan materi kewenangan
adalah penelitian terhadap penelitian terhadap landasan yuridis suatu produk legislasi
daerah. Hasil penelitian ini menentukan validitas atau sah/tidaknya keberlakuan suatu
produk legislasi daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan dan metode
penelitiannya Kelsen, pendekatan hukum normatif struktural dan uji validitas. Hasil
penelitian ini menentukan sah/tidaknya keberlakuan suatu produk legislasi.
3. Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan ketiga jenis bahan hukum, yaitu: bahan hukum
primer (primary legal source), bahan hukum sekunder (secondary legal materials), baik
yang bersifat nasional maupun internasional, dan alat penelusuran bahan hukum
(search books or finding-tools).
Bahan hukum primer (domestik) yang digunakan mencakup : undang-undang
(statutes passed by legislatures); peraturan atau keputusan-keputusan pemerintah (decrees
and orders of executives); kebijakan atau keputusan administratif yang dibuat oleh
lembaga-lembaga administratif (regulations and rulings of administrative agencies). Bahan
hukum primer internasional : Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat hard
maupun soft law, mencakup: Convention, Agreement, Treaty, dan Pact; Declaration dan
Resolution.
Alat penelusuran bahan hukum (domestik) yang digunakan, mencakup:
buku/daftar/himpunan istilah (phrasebooks); himpunan ringkasan peraturan
perundangan (annotated statutory compilations); dan catatan lepas (looseleaf services). Alat
Penelusuran Bahan Hukum (Internasional) yang digunakan mencakup: buku istilah
(phrasebooks); catatan lepas (looseleaf services); dan daftar indek (indexes).
Bahan hukum sekunder domestik yang digunakan, mencakup: literatur standar
(text-books); risalah-risalah hukum (treatises); commentaries; restatements; terbitan-terbitan
hukum periodik yang digunakan sebagai acuan bagi praktisi, pengajar, dan mahasiswa
(periodicals which explain and describe the law for the practicioner, the scholar and the student).
Bahan Hukum Sekunder Hukum Internasional: literatur wajib hukum internasional
(international law text-books); risalah-risalah hukum internasional (international law
treatises): international law commentaries; international law restatements; terbitan-terbitan
hukum periodik lainnya yang digunakan sebagai; panduan hukum bagi praktisi,
pengajar, dan mahasiswa (periodicals which explain and describe the law for the practicioner,
the scholar and the student), seperti : American Jurnal of International Law (AJIL); Dokumen-
dokumen hukum dalam pembahasan-pembahasan perjanjian dan regulasi-regulasi
internasional.
Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada perpustakaan umum dan
perpustakaan hukum, seperti : Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Perpustakaan Biro Hukum Setda Provinsi Bali, Perpustakaan Program Magister
Kepariwisataan Universitas Udayana (Denpasar), dan ekplorasi melalui internet.
Penelitian selanjutnya dilakukan pada perpustakaan atau bank dokumen dari beberapa
komunitas pemerhati masalah dampak narkotika di Bali.
4. Langkah Penelitian
Penelitian hukum dengan orientasi kebijakan (configurative approach) memiliki
beberapa ciri-ciri sebagai berikut:
(1) bahwa penelitian pertama-tama harus menentukan titik pijak penelitian dalam
perspektif manusia sebagai suatu keseluruhan, memisahkan titik pijak antara
penelitian yang dilakukan oleh akademisi dan pembuat kebijakan, dan untuk
tujuan penyadaran, termasuk juga proses pengambilan kebijakan,
mengembangkan teori tentang hukum (theory about law), dan tidak semata-mata
teori hukum (not merely theory of law);
(2) harus membuat peta penelitian, baik yang sifatnya menyeluruh maupun khusus,
berkenaan dengan suatu kebijakan otoritatif yang efektif untuk suatu proses
komunitas dan masyarakat yang lebih luas yang mendapat pengaruh dari
kebijakan tersebut atau sebaliknya mempengaruhi kebijakan tersebut;
(3) harus merumuskan seperangkat nilai tujuan yang komprehensif dari ketentuan
hukum, yang dapat diwujudkan dalam konteks proses sosial, dalam tingkatan
abstraksi dan ketepatan apapun yang mungkin diperlukan dalam penelitian
maupun perumusan kebijakan;
(4) harus memerinci seluruh cakupan tugas-tugas intelektual yang diperlukan
untuk proses pemecahan masalah berkenaan dengan hubungan saling
mempengaruhi antara hukum internasional dengan proses sosial internasional,
dan harus menentukan prosedur-prosedur ekonomi yang bersifat khusus dan
efektif untuk setiap kerja tersebut.17
Penentuan titik pijak penelitian sangat penting untuk memudahkan perumusan
masalah, perumusan tujuan, dan pelaksanaan tugas-tugas keintelektualan, untuk
menjaga keutuhan penelitian. Pembuatan peta penelitian yang komprehensif namun
tetap memperhatikan detail, sangat penting untuk memudahkan peneliti merumuskan
fokus utama penelitian, cara memandang hukum dan cara menempatkannya dalam
konteks proses sosial, karena akan sangat mempengaruhi cara merumuskan masalah,
penentuan prioritas masalah yang akan diteliti, dan menentukan tugas intelektualitas
yang hendak dipikul dalam kaitan dengan pengembangan keilmuan dan pemecahan
suatu masalah. Perumusan tujuan pengaturan publik yang bersifat mendasar dan
mempunyai sifat nyata sangat penting untuk menentukan bahwa suatu penelitian
kebijakan dan hukum dilakukan untuk kepentingan bersama dan keadilan bagi
masyarakat sebagai suatu keseluruhan, bukan untuk kepentingan komunitas yang
lebih besar atau yang lebih kecil, komunitas yang lebih kuat atau lebih lemah.
Penentuan tanggungjawab intelektual sangat penting untuk efek praktis dan
17 McDougal, op.cit, h. 114.
pemecahan masalah dari hasil penelitian tersebut dalam rangka perlakuan kebijakan
dan hukum yang lebih efektif dalam proses sosial.
McDougal merumuskan lima tahap penelitian hukum dengan orientasi
kebijakan yaitu:
(1) klarifikasi tujuan (goal clrarification);
(2) pendeskripsian kecenderungan kebijakan masa lalu (the description of past
trends in decision);
(3) pengidentifikasian faktor-faktor yang berpengaruh (identification of
conditioning factors);
(4) analisis dan perumusan proyeksi dan prediksi (projection and prediction);
(5) penemuan dan evaluasi alternatif kebijakan (the invention and evaluation of
policy alternatives).18
Model tersebut mencakup 3 ciri dasar, yaitu:
(1) klarifikasi tujuan, yang mencakup: pemetaan latar belakang masalah,
pelingkupan dan perumusan masalah, dan perumusan tujuan penelitian;
(2) pendeskripsian kondisi kebijakan yang sedang berlaku;
(3) analisis, perumusan hasil, dan penemuan alternatif pemecahan masalah.
Model tersebut dapat ditransformasikan kedalam model penelitian hukum dan
kebijakan, baik yang mempunyai sifat murni internasional, nasional, maupun yang
menunjukkan sifat campuran diantara keduanya. Model penelitian hukum dengan
18 McDougal, ibid., h. 124-128.
orientasi kebijakan ini dipergunakan sebagai model dasar penelitian ini. Alasannya
adalah:
(1) obyek penelitian ini merupakan obyek yang berada pada konteksnya, yaitu
masyarakat tempat di mana produk legislasi itu akan ditetapkan;
(2) masalah-masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Bali
sebagai obyek penelitian dalam penelitian merupakan problem yang ada dan
berkembang dalam masyarakat Bali;
(3) Perda merupakan produk hukum yang harus dibangun sesuai dengan
karakteristik obyeknya dan karakteristik kebutuhan konteksnya;
(4) pendekatan ini tidak menutup peluang untuk menggunakan pendekatan lain
untuk menyempurnakan hasil penelitain, dalam penelitian ini pendekatan ini
dikombinasi dengan pendekatan hukum normatif strukturalnya Kelsen.
Dengan berpijak pada model demikian itu, maka penelitian ini dilakukan dalam
tahap-tahap berikut:
(1) Defining object (pendefinisan obyek): Obyek penelitian ini adalah pengaturan
pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika di
Bali. Obyek penelitian yang pertama diteliti adalah karakteristik dampak
peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Bali. Pendefinisian obyek
penelitian dilakukan dua kali, yaitu pada masa penelitian pendahuluan,
untuk merumuskan rumusan masalah, dan pada masa penelitian utama
untuk meneliti karakteristik dampak peredaran dan penyalahgunaan
narkotika, sebagai dasar untuk mengkonstruksikan konsep pengaturan.
(2) Problem mapping and needs mapping (pemetaan masalah dan kebutuhan):
Pemetaan masalah dilakukan dua kali, yaitu pada masa penelitian
pendahuluan, untuk dasar perumusan masalah, dan pada masa penelitian
utama, untuk dasar pengkonstruksian konsep pemecahan masalah. Pemetaan
masalah dilakukan terhadap masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika dengan cara mengidentifikasi karakteristik
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Bali. Berdasarkan hasil
identifikasi itu dirumuskan peta masalah dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika di Bali dan berdasarkan rumusan peta masalah itu
dirumuskan konstruksi dan karakteristik kebutuhan pemecahan masalahnya,
serta kemudian karakteristik kebutuhan pengaturannya.
(3) Problem construction and problem statement (penyusunan konstruksi dan
rumusan masalah penelitian): Pengekonstruksian dan perumusan masalah
dilakukan satu kali, yaitu pada masa penelitian pendahuluan, untuk
merumuskan rumusan masalah.
(4) Defining targets (perumusan tujuan dan harapan temuan penelitian):
Pengkonstruksian tujuan penelitian dan temuan hasil penelitian dilakukan
satu kali, yaitu pada masa penelitian pendahuluan, untuk merumuskan
tujuan penelitian.
(5) Defining methode: penentuan metode dilakukan pasca penelitian
pendahuluan, setelah perumusan masalah dan tujuan penelitian.
(6) Pelaksanaan penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk:
a. identifikasi terhadap karakteristik narkotika, peredaran dan
penyalahgunaan narkotika, dan karaktersitik dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika di Bali, sebagai dasar perumusan konsep
pengaturan;
b. identifikasi terhadap karakteristik hukum yang mengatur narkotika,
peredaran dan penyalahgunaan narkotika, dan dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika, serta hukum yang mengatur kewenangan
kelembagaan dalam mengatur tindakan untuk mencegah dan menangani
peredaran dan penyalahgunaan, serta dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika di Bali, sebagai dasar untuk menentukan dasar
kewenangan dan materi pengaturan; dan
c. identifikasi terhadap konstruksi struktur elemen pengaturan dan
konstruksi materi pengaturan berdasarkan hasil penelitian (a) dan (b).
(7) Analisis dan perumusan hasil penelitian;
(8) Perumusan rekomendasi pemecahan masalah;
(9) Penyusunan laporan penelitian; dan
(10) Pembahasan laporan penelitian.
Tahap (1), (2), (3), (4), dan (5) merupakan bagian dari peoses pra penelitian atau
penelitian pendahuluan (preliminary research) yang hasilnya dirumuskan dalam bentuk
proposal penelitian. Tahap (6), (7), dan (8) merupakan bagian dari proses pelaksanaan
penelitian. Sedangkan tahap (9) merupakan bagian dari proses paska penelitian.
5. Analisis Hasil Penelitian
Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis norma dan
obyek norma, analisis struktur (validitas) norma dan analisis konteks dan fungsional
norma hukum. Analisis struktur dan substansi norma menggunakan analisis konstruksi
(uji konsistensi dan koherensi) dan analisis konteks (uji konsistensi) norma. Hasil-hasil
penelitian yang telah dikelompokkan secara terstruktur, sesuai dengan struktur materi
(obyek) penelitian, sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian, dianalisis
sesuai dengan sifat komponen masalah dan tujuannya.
6. Desain Penelitian
Langkah penelitian dapat digambarkan sebagaimana bagan di bawah ini:
DESAIN PENELITIAN DALAM PENGKONSTRUKSIAN NORMA PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA DI BALI
7. DESAIN PENELITIAN
8.
9.
10.
11.
12.
13.
(1) PENDEFINISIAN
OBYEK PENELITIAN Defining object
(2) PEMETAAN MASALAH
DAN KEBUTUHAN PEMECAHAN
MASALAH Problem mapping and
needs mapping
(3) PENGKONSTRUKSIAN
DAN PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Problem construction and problem statement
(4) PERUMUSAN TUJUAN DAN
EKSPEKTASI TEMUAN PENELITIAN Defining targets and research
inventions
(5) P E R U M U S A N M E T O D E P E N E L I T I A N
Defining methode
(6) P E L A K S A N A A N P E N E L I T I A N
Research performance
(8) PERUMUSAN REKOMENDASI
PEMECAHAN MASALAH
(9) PENYUSUNAN
LAPORAN PENELITIAN
(10) LAPORAN
PENELITIAN PEMBAHASAN
INPUT PROSES LEGISLASI
(7) ANALISIS HASIL PENELITIAN
REALITAS DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Standar materi bab ini ditentukan dalam Lampiran I angka 2 UUP3. Bagian ini
memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan
pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari
pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Bagian ini mencakup:
(a) Kajian teoretis.
Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis
terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek dan bidang
kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, yang
berasal dari hasil penelitian.
(b) Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan
yang dihadapi masyarakat.
Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-
Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan
dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
A. KAJIAN TEORITIS PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA
1. Kajian Teoritis
Alinea ke - 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD NRI 1945), menyatakan: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa…………….”. Frasa yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seterusnya sebagaimana termaktub di dalam alinea ke – 4 Pembukaan UUD NRI 1945,
merupakan tujuan dan fungsi negara ini dibentuk. Berkaitan dengan hal itu, Pasal 28 I
ayat (4) UUD NRI 1945, menentukan : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Kata “perlindungan” secara gramatikal diartikan sebagai upaya menjaga atau
menyelamatkan.19 Hal ini menunjukkan upaya negara dalam melindungi warga
negaranya dari bentuk-bentuk ancaman/intimidasi/tindakan kejahatan dari pihak
ketiga yang merugikan HAM setiap warga negaranya, adalah suatu keharusan. Upaya
perlindungan terhadap HAM warga negara harus juga dilihat dari perkembangan
dimasyarakat secara kontekstual. Bentuk-bentuk kejahatan yang terjadi saat ini tidak
lagi secara langsung menghentikan HAM Hidup seseorang, melainkan melalui sarana-
sarana yang dapat menghancurkan kehidupan seseorang. Perkembangan kejahatan
19 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 830
demikian dapat diamati melalui kejahatan penyalahgunaan Narkotika (Narkotika,
Psikotropika, dan Obat terlarang).
Indonesia yang merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945, mengedepankan hak asasi manusia sebagai
salah satu elemen penting, selain eksistensi peraturan perundang-undangan. Dalam
sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Anglo Saxon (Common Law), memiliki
unsur yang sama, yakni perlindungan hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu,
pengakuan akan “negara hukum” dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 perlu dikaitkan
dengan Pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menentukan :
Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.
Secara teori, pemikiran “negara hukum” Eropa Kontinental dimulai oleh
pemikiran Imanuel Kant, kemudian dikembangkan oleh J.F Stahl. Pemikiran negara
hukum tersebut, dipengaruhi oleh pemikiran Ekonom Adam Smith saat itu. Julius
Friedrich Stahl, mengemukakan 4 unsur sebagai ciri negara hukum, yakni:
(1) Tindakan pemerintah berdasarkan Undang-undang (Legalitas)
(2) Perlindungan HAM,
(3) Pemisahan Kekuasaan,
(4) Adanya peradilan administrasi20.
20 Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, h.28
Ciri-ciri negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl
dalam menguraikan “Konsep Negara Hukum” (Rechtstaat), berbeda dengan konsep
negara hukum Anglo Saxon yakni The Rule of Law. Secara konseptual “the rule of law”
dalam Dictionary of Law, diartikan sebagai “principle of government that all persons and
bodies and the government itself are equal before and answerable to the law and that no person
shall be punished without trial”.21 Kemudian A.V Dicey mengemukakan unsur-unsur
konsep The Rule of law, yakni;
(1) supremacy of law,
(2) equality before the law,
(3) the constitution based on individual rights.22
Terlepas dari perkembangan pemikiran negara hukum yang sudah berkembang
dengan sangat pesat, dengan berbagai gagasan-gagasannya, terdapat kesamaan pada
kedua sistem hukum itu berkenaan dengan perlindungan HAM. Bagi negara Indonesia
yang menganut pola kodifikasi maka jaminan pemenuhan, penegakan, perlindungan
HAM harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan
Pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar NRI 1945.
Pemikiran negara hukum ini menjadi jastifikasi teoritis dalam pembentukan
Peraturan Daerah dalam mengatur tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan
Narkotika. Eksistensi peraturan daerah ini akan menjamin dan melindungi hak asasi
manusia warga negara Indonesia, khususnya di Bali. Berkenaan dengan asas legalitas
21 PH. Collin, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London. P.266 22 A.V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition, London,
Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, p. 179-187
dalam negara hukum “rechtstaat”, maka bentuk perlindungan itu harus diatur dalam
instrumen hukum, yaitu undang-undang, dan untuk di daerah berupa Peraturan
Daerah. Peraturan daerah itu merupakan legitimasi hukum bagi pemerintah daerah
dalam melakukan upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika.
A. Hamid S. Attamimi23 menyatakan bahwa teori perundang-undangan
berorientasi pada tujuan untuk menjelaskan dan menjernihkan pemahaman
pembentuk, pelaksana, penegak, serta masyarakat terhadap materi undang-undang
dalam sifat kognitif. Pemikiran ini menekankan pada pemahaman terhadap hal-hal
yang mendasar. Oleh sebab itu dalam membuat peraturan daerah, perlu dipahami
kharakter norma dan fungsi peraturan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 2
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan menentukan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan daerah merupakan penjabaran Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Dasar NRI 1945, yang menggunakan frasa “dibagi atas”, lebih lanjut diatur sebagai
berikut :
23 A. Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-
Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
itu mempunyai pemerintahan aerah, yang diatur dengan undang-undang.
Frasa “dibagi atas” ini menunjukkan bahwa kekuasaan negara terdistribusi ke
daerah-daerah, sehingga memberikan kekuasaan kepada daerah untuk mengatur
rumah tangganya. Karenanya hal ini menunjukkan pemerintah daerah memiliki fungsi
regeling (mengatur). Dengan fungsi tersebut, dilihat dari sudut pandang “asas legalitas”
(tindak tanduk pemerintah berdasarkan hukum) memperlihatkan adanya kewenangan
pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah. Pasal 1 angka 7 Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
mengartikan Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama
Gubernur.
Jimly Asshidiqqie mengatakan peraturan tertulis dalam bentuk ”statutory laws”
atau ”statutory legislations” dapat dibedakan antara yang utama (primary legislations) dan
yang sekunder (secondary legislations). Menurutnya primary legislations juga disebut
sebagai legislative acts, sedangkan secondary dikenal dengan istilah ”executive acts”,
delegated legislations atau subordinate legislations.24 Peraturan daerah merupakan karakter
dari legislative acts, sama halnya dengan undang-undang. Oleh sebab itu hanya
peraturan daerah dan undang-undang saja yang dapat memuat sanksi.
24 Jimly Asshidiqqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 10
Teori penjenjangan norma (Stufenbau des rechts), menurut Hans Kelsen25 bahwa
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata
susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma
yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma
dasar (Grundnorm).
Selain Hans Kelsen, Hans Nawiasky juga mengklasifikasikan norma hukum
negara dalam 4 (empat) kategori pokok, yaitu Staatsfundamentalnorms (Norma
fundamental negara), Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara), Formell Gesetz
(undang-undang formal) dan Verordnung & Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan
Aturan otonom).26
Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia dipengaruhi oleh
pemikiran Hans Kelsen, sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat (1) UUP3, yang
menentukan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
25 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta,
h.25 26 Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, h. 287
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pengaturan demikian menunjukkan peraturan dibawah tidak boleh
bertentangan dengan yang lebih tinggi atau dengan kata lain peraturan dibawah
bersumber pada aturan yang lebih tinggi. Melihat ketentuan diatas Peraturan Daerah
Provinsi pada huruf f, sehingga pembentukannya harus mengacu pada peraturan
perundang-undangan sebagaimana tercantum pada huruf a sampai dengan e.
2. Kajian Asas
Secara yuridis Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
dituangkan dalam Pasal 5 UUP3, meliputi asas:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Asas “kejelasan tujuan” sebagaimana dimaksud pada huruf adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas
yang hendak dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, bahwa
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat
oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Kemudian “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-Undangan. “Asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang-Undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis,
maupun yuridis.
Selanjutnya yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. “Asas keterbukaan” adalah bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Dari asas-asas dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut jika digunakan untuk mengkaji
Rancangan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan
Narkotika maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
(1) Asas Kejelasan Tujuan, bahwa tujuan dari Peraturan Daerah tentang Fasilitasi
Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika berupa terciptanya Provinsi Bali yang
tertib, aman dan sejahtera.
(2) Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang tepat, bahwa Peraturan Daerah
tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika dibentuk oleh
Gubernur dan DPRD Provinsi Bali.
(3) Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, bahwa pembentukan
Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika,
memperhatikan jenis, hirarki dan materi muatan.
(4) Dapat dilaksanakan, alasan filosofis perlunya Peraturan Daerah tentang
Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan melindungi masyarakat dari bahaya
narkotika. Alasan sosiologis perlunya Peraturan Daerah tersebut bahwa
masalah narkotika merupakan masalah yang urgen untuk diselesaikan.
(5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa Peraturan Daerah tentang Fasilitasi
Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika berdayaguna dan berhasilguna untuk
memberdayakan masyarakat Bali dalam peningkatan kesejahteraan secara
merata.
(6) Kejelasan rumusan, bahwa pembentukan Peraturan Daerah ini memperhatikan
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
(7) Keterbukaan, Pembentukan Peraturan daerah ini mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan partisipatif.
Sedangkan dalam Pasal 6 UUP3, menentukan bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Beberapa asas tersebut menjadi pedoman bagi pembentukan Peraturan
Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.
Penjabaran asas-asas Pasal 6 UUP3 adalah:
a. “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk
menciptakan ketentraman masyarakat.
b. “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan
hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
c. “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia
yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
d. “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. “asas Bhineka Tunggal Ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundang-Undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga Negara.
h. “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat
hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j. “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Dengan demikian dalam penyusunan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan
Penyalahgunaan Narkotika, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
tersebut dijadikan pedoman dalam perumusannya.
B. KAJIAN EMPIRIS TERHADAP KARAKTERISTIK NARKOTIKA, PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, DAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
1. Karaktersitik dan Cara Kerja Narkotika
Istilah narkotika juga sering dipresentasikan dengan istilah narkoba. Narkoba
merupakan akronim yang berakar pada kata “narkotika” dan obatan-obatan
terlarang”, kata yang digunakan untuk mewakili jenis zat yang digunakan dalam
pelayanan medik untuk memberikan perlakuan medik yang merupakan jenis obat
yang tidak dapat diedarkan, digunakan, dan dikonsumsi secara bebas, atau harus
diedarkan, dikonsumsi, dan digunakan berdasarkan ketentuan hukum. Kata
“terlarang” dalam akronim itu berarti terlarang untuk diedarkan dan
disalahgunakan kecuali sesuai dengan hukum. Karena itu, narkotika merupakan
jenis obat yang harus digunakan, dikonsumsi, dan diedarkan sesuai dengan
ketentuan hukum yang mengatur jenis obat itu. Narkotika saat ini juga dikenal
dengan akronim lain, yaitu NAPZA, yang berasal dari Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adikitf.
Narkotika merupakan merupakan zat yang digunakan untuk pengobatan,
baik dalam fungsi perlakuan medik, seperti penahan rasa sakit dalam melakukan
operasi, maupun sebagai obat untuk tujuan mempengaruhi fungsi kelenjar, sirkulasi
hormon, dan metabolism tubuh, seperti misalnya opium poppy.27 Narkotika
merupakan istilah yang digunakan untuk menunjuk pada suatu jenis zat, baik yang
bersumber dari bahan-bahan alami (heroin, morphine and opium) maupun sistetis
(Percodan, Demerol and Darvon), atau semi sintetis (Oxycodone and Hydrocodone), yang
bersifat menghilangkan rasa sakit (analgesic) karena dapat menumpulkan kepekaan
syaraf perasa atau sebaliknya meningkatkan kepekaan syaraf perasa manusia.28
Narkotika juga merupakan zat yang bekerja pada tataran syaraf yang
mengendalikan fungsi kelenjar, hormon, fungsi organ, dan metabolisme tubuh
manusia yang menghasilkan sensasi tertentu pada diri dan pikiran manusia. Sensasi
yang dihasilkan oleh narkotik dapat membuat orang terbebas dari rasa sakit, merasa
senang, tenang, dan terbebas dari tekanan pikiran dan mental atau terbebas dari
cara kerja dan dampak cara kerja pikiran terhadap mental dan metabolisme tubuh.
Sensasi yang dihasilkan narkotika sesungguhnya merupakan sensasi semu
atau sifatnya sementara, sehingga dalam mempertahankan kondisi yang setara
dengan kondisi sementara itu seorang pengguna harus menggunakan kembali obat
yang dikonsumsi sehingga ia tetap dapat menikmati sensasi yang dirasakan
sebelumnya. Sifat senasi dan pola penggunaan itu melahirkan sifat baru dari
27 http://www.narcotics.com/history, diakses terakhir 29/10/2015. 28 Ibid.
narkotika yaitu sifat ketergantungan (addiction), yang membuat orang
mengkonsumsi secara terus menerus zat yang dikonsumsinya itu. Konsumsi secara
terus-menerus ini apabila dilakukan dalam jangka waktu lama dan dalam dosis
berlebihan, akan menimbulkan keadaan tidak terkendali yang akibat yang sangat
buruk terhadap fungsi komponen dan organ tubuh manusia, terutama kerja syaraf,
kelenjar, sirkulasi dan keseimbangan hormon, daya kerja pikiran, dan akhirnya
kesehatan dan daya tahan fisik secara meneyeluruh.
Sifat narkotika sebagai sumber sensasi fisik dan mental pada manusia
mengakibatkan narkotik cenderung disalahgunakan, mulai dari sekadar sebagai
media iseng dan bersenang-senang, sampai pada ketergantungan yang merusak
cara kerja fisik dan mental manusia. 29 Kandungan adiktif di dalam narkotik yang
megakibatkan ketergantungan bagi pemakainya, merupakan sebab yang
mengakibatkan penyalahgunaan narkotika menjadi problem besar bukan saja bagi
si pemakai, tetapi juga keluarga, masyarakat, bangsa, dan masyarakat manusia
secara keseluruhan. Konsumsi dan ketergantungan terhadap narkotika
mengakibatkan kekacauan pikiran dan cara kerja metabolisme tubuh manusia dan
akhirnya kekacauan kehidupan pemakainya, keluarga, dan masyarakat tempatnya
hidup.
Narkotika bekerja pada tatanan syaraf. Sebab yang mengakibatkan
ketergantungan pada konsumsi narkotika sesungguhnya adalah SENSASI yang
ditimbulkan oleh konsumsi itu. Sensasi bekerja pada tataran mental, mulai dari
29 Ibid.
penciptaan rasa senang, bebas, dan kenikmatan atas rasa senang dan bebas itu
sampai pada perubahan dari rasa senang dan rasa bebas itu menjadi ketagihan atau
ketergantungan dan menjadi sebab siksaan badan yang hanya dapat diatasi dengan
terus mengkonsumsi zat tersebut. Sifat konsumsi dan ketergantungan yang semula
menghasilkan rasa senang dan rasa bebas, pada putaran berikutnya berubah
menjadi konsumsi dan ketergantungan untuk mengatasi rasa sakit dan siksaaan
sebagai akibat dari kekurangan dosis. Pada putaran ketiga, rasa sakit itu hanya
dapat diatasi dengan dosis yang semakin meningkat, sehingga konsumsi dan
ketergantungan pada putaran ketiga merupakan konsumsi dan ketergantungan
untuk mengatasi ketersiksaan yang hanya dapat diatasi dengan dosis yang yang
lebih tinggi lagi. Pola konsumsi dan ketergantungan itu mendekatkan pengguna
yang ingin berhenti berhadapan dengan keputusasaan dan menggiring mereka
semakin dengan jurang kematian.
Pola rehabilitasi terhadap pengguna ditentukan oleh level dari orientasi
konsumsi dan sebab ketergantungan. Pola rehabilitasi juga dapat diklasifikasikan
atas tiga model sesuai dengan pola penggunaan dan tingkat ketergantungan.
2. Karakteristik Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika
Peredaran, penyalahgunaan, dan konsumsi narkotika oleh seseorang,
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: individu, lingkungan dan ketersediaan
narkotika.
Faktor individu, mencakup:
a. Ketidak tahuan akan bahaya narkotika
Banyaknya orang yang tidak mengetahui bahaya narkotika bagi tubuh dan masa
depan. Sehingga ketika ditawarkan oleh orang lain akan narkotika maka orang
tersebut tidak menolaknya.
b. Coba-coba/Rasa ingin tahu
Banyaknya pengguna narkotika diawali dengan rasa ingin tahu, sehingga mereka
cenderung untuk coba-coba menggunakan. Keingintahuan yang besar untuk
mencoba, tanpa sadar atau berpikir panjang mengenai akibatnya.
c. Stress lari dari kebosanan, masalah atau kesusahan hidup
Ketika seseorang stress, maka akan melakukan tindakan-tindakan yang
menghilangkan beban pikirannya. Oleh sebab itu Narkotika bisa menjadi pilihan
untuk dikonsumsi. Orang yang dirudung banyak masalah dan ingin lari dari
masalah dapat terjerumus dalam penggunaan narkotika agar dapat tidur nyenyak,
mabok, atau jadi gembira ria.
d. Keinginan untuk bersenang-senang
Keinginan bersenang-bersenang bagi penyalahguna narkotika, biasanya dimulai
karena tawaran-tawaran teman dan kemudian diikuti rasa ingin taunya, akhirnya
menggunakannya lagi untuk bersenang- senang.
e. Keinginan untuk mengikuti trend atau gaya
Beberapa jenis Narkotika dapat membuat pemakainya menjadi lebih berani, keren,
percaya diri, kreatif, santai, dan lain sebagainya. Efek keren yang terlihat oleh orang
lain tersebut dapat menjadi trend pada kalangan tertentu sehingga orang yang
memakai narkotika itu akan disebut trendy, gaul, modis, dan sebagainya.
f. Keinginan untuk diterima oleh lingkungan atau kelompok
Suatu kelompok orang yang mempunyai tingkat kekerabatan yang tinggi antar
anggota biasanya memiliki nilai solidaritas yang tinggi. Jika ketua atau beberapa
anggota kelompok yang berpengaruh pada kelompok itu menggunakan narkotika,
maka biasanya anggota yang lain baik secara terpaksa atau tidak terpaksa akan ikut
menggunakan narkotika itu agar merasa seperti keluarga senasib sepenanggungan.
g. Pengertian yang salah bahwa penggunaan sekali-sekali tidak menimbulkan
ketagihan
Banyaknya anggapan demikian, yang kemudian membuat seseorang untuk berani
coba-coba mengkonsumsi Narkotika.
h. Tidak mampu atau tidak berani menghadapi tekanan dari lingkungan atau
kelompok pergaulan untuk menggunakan Narkotika
Acapkali perilaku mengkonsumsi narkotika dikarenakan ancaman dari kelompok
untuk mengkonsumsi agar dianggap adanya solidaritas. Tekanan demikian yang
membuat seseorang tidak bisa mengelak, karena ancaman tersebut bisa berbuntut
tindakan kejahatan.
Faktor lingkungan, mencakup:
a. Keluarga bermasalah atau broken home.
Kondisi keluarga khususnya orang tua yang bercerai, membuat anak tidak
mendapatkan kasih sayang yang besar dari sang ayah maupun ibu. Keadaan seperti
itu yang kemudian di bandingkan dengan keluarga lain yang harmonis, maka
membuat seseorang semakin stress, dan mencari upaya untuk menghilangkan
kepenatan tersebut melalui narkotika.
b. Ayah, ibu atau keduanya atau saudara menjadi pengguna atau penyalahguna atau
bahkan pengedar gelap narkotika.
Orang tua merupakan teladan bagi sang anak, ketika orang tua bertindak sebagai
pengguna narkotika, maka sang anak akan terpengaruh mengikuti jejak orang tua
tersebut.
c. Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salah satu atau beberapa atau bahkan
semua anggotanya menjadi penyalahguna atau pengedar gelap narkotika.
Tren kehidupan saat ini, menunjukkan banyaknya komunitas-komunitas yang
dibentuk cenderung dengan tindakan kekerasan. Komunitas semacam ini, biasanya
identik dengan kehidupan malam di diskotik-diskotik atau cafe-cafe. Sehingga tidak
menutup kemungkinan, komunitas tersebut akan terpengaruh dengan
penyalahgunaan Narkotika. Sehingga seseorang yang bergabung sulit untuk
melepaskan diri dari komunitas atau kelompok tersebut.
d. Sering berkunjung ke tempat hiburan (cafe, diskotik, karaoke, dll.).
Tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan minuman-minuman alkohol dan
suasana pesta, menghendaki tubuh selalu fit untuk menikmati suasana. Oleh sebab
itu Narkotika sering dikonsumsi untuk menjaga kebugaran tubuh.
e. Mempunyai banyak waktu luang, putus sekolah atau menganggur.
Kondisi demikian sering membuat seseorang menghabiskan waktunya untuk
hiburan yang tidak sehat termasuk menggunakan narkotika.
f. Lingkungan keluarga yang kurang / tidak harmonis.
Ketidak harmonisan dalam rumah tangga, membuat seseorang menjadi stress dan
depresi, hal ini yang membuat seseorang dapat menggunakan narkotika demi lari
dari keterpurukan itu.
g. Orang tua/keluarga yang permisif, acuh, serba boleh, kurang/tanpa pengawasan.
Tindakan orang tua yang acuh tak acuh terhadap perkembangan anak, membuat
anak mudah terjebak dalam tindakan penyalahgunaan narkotika.
h. Orang tua/keluarga yang super sibuk mencari uang/di luar rumah.
Kesibukan orang tua yang lebih dalam pekerjaan, membuat kurangnya pengawasan
terhadap anak. Sehingga anak dapat terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika.
i. Banyaknya diskotik-diskotik dan café-cafe
Menjamurnya diskotik-diskotik dan cafe-cafe akan menawarkan kondisi hidup yang
trend pada seseorang. Sehingga lingkungan demikian akan membuat seseorang
mudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika.
j. Banyaknya wisatawan asing sehingga membawa pengaruh negatif
Gaya hidup dari wisatawan asing yang menghabiskan waktunya di Bar, diskotik-
diskotik dengan mengkonsumsi minuman alkohol termasuk menyalahgunakan
narkotika, akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat.
k. Pengaruh film-film di Televisi
Acapkali tayangan-tayangan televisi yang menampilkan film-film kekerasan dan
penggunanaan narkotika, memiliki dampak negatif yang mempengaruhi pola pikir
anak muda untuk coba-coba.
Faktor ketersediaan narkotika, mencakup:
a. Narkotika semakin mudah didapat dan dibeli.
Banyaknya masyarakat pengguna narkotika maka menyuburkan peredarannya,
sehingga narkotika mudah sekali untuk didapatkan.
b. Harga narkotika semakin murah dan dijangkau oleh daya beli masyarakat.
Dengan terjangkaunya harga narkotika, mengakibatkan banyak orang yang mampu
untuk membelinya.
c. Modus Operandi Tindak pidana narkotika makin sulit diungkap aparat hukum.
Modus operandi para pelaku pengedar narkotika yang bervariatif dengan
mengedepankan inovasi pergerakan dalam melakukan upaya kejahatan.
d. Semakin mudahnya akses internet yang memberikan informasi pembuatan
narkotika.
e. Bisnis narkotika menjanjikan keuntungan yang besar.
f. Perdagangan narkotika dikendalikan oleh sindikat yang kuat dan professional.
Bahan dasar narkotika (prekursor) beredar bebas di masyarakat.
Peredaran narkotika mengikuti hukum pasar, yakni semakin tingginya
permintaan maka akan semakin tinggi pula penawaran. Oleh sebab itu upaya
pemberantasan peredaran narkotika tidak hanya menekankan pada upaya represif,
melainkan upaya preventif harus menjadi prioritas, agar dapat mengurangi
peredarannya melalui penekanan pada jumlah tingkat konsumsi narkotika. Salah satu
upaya represif adalah mengubah perilaku masyarakat agar tidak mengkonsumsi
narkotika.
Tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan
organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan
generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara. Kondisi ini sangat merugikan dan membahayakan kehidupan manusia,
masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia.
Wujud penyalahgunaan berupa tindakan menggunakan Narkotika tanpa hak
atau melawan hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan narkotika saat ini tidak hanya
pada pola mengkonsumsi, melainkan juga telah menjadi komoditi “bisnis negatif”. Atas
dasar itu kejahatan penyalahgunaan narkotika telah membuka ruang gerak melalui
jalur impor, ekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau
menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama
serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Benny Mamoto, Deputi Pemberantasan BNN, mengatakan sedikitnya 50 warga
negara Indonesia meninggal dunia per hari akibat mengkonsumsi narkotika. Ia
menambahkan jumlah korban tewas teror bom di Bali sebanyak 220 jiwa atau setara
dengan korban tewas akibat konsumsi narkotika selama 5 hari.30 Pada tahun 2008,
diperkirakan jumlah penyalahguna narkotika setahun terakhir di Indonesia sekitar 3,1
juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1,9% dari populasi penduduk berusia 10-
59 tahun.31 Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) Hasil proyeksi angka
penyalahguna narkotika akan meningkat, dengan adanya kecenderungan peningkatan
angka sitaan dan pengungkapan kasus narkotika. Seperti dalam data pengungkapan
kasus di tahun 2006 sekitar 17.326 kasus, lalu meningkat menjadi 26.461 kasus di tahun
2010, termasuk data sitaan narkotika untuk jenis utama yaitu ganja, shabu, ekstasi, dan
heroin.32 Di tahun 2014, jumlah penyalahguna narkotika diperkirakan ada sebanyak 3,8
juta sampai 4,1 juta orang yang pernah pakai narkotika dalam setahun terakhir (current
users) pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014 di Indonesia.33
Jurnal Data P4GN (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkotika) 2013 Edisi 2014, menunjukkan beberapa jumlah kasus
30 Metrotvnews.com, 28 September 2013, BNN: 50 orang Tewas Tiap Hari Akibat Narkotika,
http://news.metrotvnews.com/read/2013/09/28/184807/bnn-50-orang-tewas-tiap-hari-di-indonesia-akibat-narkotika
31 Badan Narkotika Nasional, 2015, Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkotika Tahun Anggaran 2014, Jakarta, h. 1
32 ibid 33 Ibid, h. 16
Narkotika berdasarkan Golongan di tahun 2013. Golongan Narkotika, memiliki 21.119
kasus, Psikotropika sebanyak 1.612 kasus sedangkan bahan adiktif lainnya sebanyak
12.705. Lebih lanjut diidentifikasi dalam tabel dibawah ini, yaitu34 :
NO. PENGGOLONGAN NARKOTIKA JUMLAH KASUS TAHUN 2013
1 2 3 1. Narkotika 21.119 2. Psikotropika 1.612 3. Bahan Adiktif Lainnya 12.705
JUMLAH 35.436
Sedangkan jumlah Tersangka Kasus Narkotika Berdasarkan Kewarganegaraan
Tahun 2013, dari ketiga jenis Narkotika, rupanya narkotika merupakan jenis yang
paling banyak penggunaan dan peredarannya, dapat diidentifikasi sebagai berikut :35
NO. KEWARGANEGARAAN JUMLAH TERSANGKA TAHUN 2013 1 2 3 1. WNI 43.640 2. WNA 127
JUMLAH 43.767
Jumlah di atas menunjukkan bahwa banyak Warga Negara Indonesia
menyalahgunakan narkotika, yakni sebesar 43.640 orang, sedangkan WNA sebanyak
127. Hal ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan Narkotika sudah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kemudian berkaitan dengan jumlah Narapidana
34 Jurnal Data (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkotika) P4GN 2013 Edisi 2014, h. 4 35 Ibid, h. 4
dan Tahanan Kasus Narkotika di Seluruh Indonesia per Provinsi Berdasarkan
Bandar/Pengedar dan Pengguna Tahun 2013, diantaranya:36
NO. NAMA KANWIL KASUS NARKOTIKA JUMLAH
BANDAR/ PENGEDAR PENGGUNA 1 2 3 4 5 1. Aceh 1.255 451 1.706 2. Sumatera Utara 3.250 2.302 5.552 3. Sumatera Barat 520 629 1.149 4. Kepulauan Riau 631 578 1.209 5. Riau 2.084 605 2.689 6. Jambi 635 271 906 7. Sumatera Selatan 961 1.314 2.275 8. Bangka Belitung 396 87 483 9. Lampung 1.237 478 1.715
10. Bengkulu 324 114 438 11. Banten 1.475 2.027 3.502 12. DKI Jakarta 4.940 5.086 10.026 13. Jawa Barat 635 271 906 14. DI Yogyakarta 205 114 319 15. Jawa Tengah 2.281 956 3.237 16. Jawa Timur 853 3.202 4.055 17. Kalimantan Barat 251 560 811 18. Kalimantan Tengah 221 467 688 19. Kalimantan Selatan 1.784 1.465 3.249 20. Kalimantan Timur 1.179 413 1.592 21. Sulawesi Utara 35 29 64 22. Gorontalo 0 56 56 23. Sulawesi Tengah 97 245 342 24. Sulawesi Selatan 298 827 1.125 25. Sulawesi Barat 35 43 78 26. Sulawesi Tenggara 100 113 213 27. Bali 211 248 459 28. Nusa Tenggara
Barat 302 73 375
29. Nusa Tenggara Timur
1 24 25
30. Maluku 25 62 87
36 Ibid, h. 24
31. Maluku Utara 57 13 70 32. Papua Barat 15 22 37 33. Papua 1 24 25
J U M L A H 30.132 25.539 55.671
Data dari ke-33 Provinsi di Indonesia itu menunjukkan angka yang sangat
memperihatinkan dalam penyalahgunaan narkotika, dari kasus-kasus di seluruh
Indonesia para tersangka yang berperan sebagai Bandar atau pengedar sejumlah 30.132
orang, sedangkan pengguna sebesar 25.539 orang. angka itu menunjukkan bahwa
narkotika sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, karena itu
diperlukan cara untuk mencegah perluasan peredaran dan penyelahgunaan narkotika
serta dampaknya, serta cara untuk menangani peredaran dan penyalahgunaan
narkotika serta dampaknya, termasuk cara untuk mengubah maindset masyarakat, agar
sadar bahaya narkotika serta perilaku bermasalah tersebut.
Bali merupakan salah satu dari 33 Provinsi yang tidak luput dari jaringan
peredaran narkotika. Posisi Bali sebagai destinasi utama pariwisata Indonesia, bahkan
dunia, menghadirkan berkah bagi Bali dan Indonesia, sekaligus bencana dari segi
peredaran dan penyalahgunaan narkotika serta dampaknya. Tabel diatas menunjukkan
bahwa dari jumlah kasus yang ada di tahun 2013, tersangka yang berperan sebagai
bandar/pengedar sejumlah 211 orang, sedangkan pengguna sebanyak 248 orang.
Bali sebagai destinasi pariwisata, khususnya wisatawan mancanegara (wisman),
merupakan detinasi ternama di dunia. Hal ini terlihat dari jumlah wisatawan asing
yang berkunjung periode Januari-November 2014 mencapai 3,41 juta orang, naik 14,78
persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya tercatat 2,97 juta orang.37
Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali yang senantiasa meningkat
menghadirkan dampak positif di sektor pariwisata dan juga dampak negative dalam
bentuk, antara lain, merebaknya peredaran Narkotika di pulau ini. Pariwisata
memperkenalkan narkotika sebagai bagian dari kata “leisure” yang merupakan kata inti
dalam makna “tourism”. Kata “leisure” atau kesenangan dan santai itu meningkatkan
citra narkotika sebagai salah satu komponen yang berfungsi menyempunakan
kesenangan dan kesantaian itu. Kata itu menjadikan narkotika sebagai gara hidup (life
style) dan kecenderungan dalam pariwisata. Implikasi kata “leisure” itu, yang
menyetarakan kesenangan dan kesantaian dengan kebebasan badan dan pikiran dari
beban keseharian membuat narkotika menjadi alternatif penunjang dari kebebasan
badan dan pikiran itu. Korelasi filosofi pariwisata dengan narkotika membuat
narkotika berubah menjadi gaya hidup dalam pariwisata, yang menjadi pariwisata
sebagai ancaman bagi kehidupan masyarakat. Katakter pariwisata ini menjadikan Bali
menjadi target pasar peredaran narkotika yang kemudian berdampak terhadap
kehidupan masyarakat.
Selama tahun 2014, Polda Bali menyelesaikan 629 Kasus Narkotika dari 664
Laporan.38 Maraknya penyalahgunaan narkotika di Bali, tidak hanya di dominasi orang
dewasa, akan tetapi meluas ke anak-anak usia sekolah. Tahun 2014, 7 siswa SMP di
Denpasar ditangkap, setelah menghirup Shisha, rokok dari Arab. Menurut Kepala
37 Kompas.com, 4 Januari 2015, Kunjungan Wisman Ke Bali Meningkat 14,78 Persen, http://travel.kompas.com/read/2015/01/04/094531627/Kunjungan.Wisman.ke.Bali.Meningkat.14.78%
38Antarabali.com, 30 Desember 2014, Polda Bali Tuntaskan 947 persen Kasus Narkotika, http://www.antarabali.com/berita/65317/polda-bali-tuntaskan-947-persen-kasus-narkotika
BNN Bali I Gusti Ketut Budiartha, efek Shisha ini 26 kali lipat dari rokok, sehingga
termasuk produk berbahaya, selain Shisha, ada kemasan baru lainnya disebut Jape-
jape, mirip ganja namun efeknya lebih kuat. 39
Pada tahun 2013 terdapat beberapa upaya penyelundupan Narkotika ke Bali,
melalui Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai. Jenis-jenis Narkotika yang coba
diselundupkan namun digagalkan oleh aparat di Bali adalah Ganja sebanyak 7,59 gram,
heroin sebesar 372 gram, dan bukti Shabu Sitaan Tahun 2013 di Bandar Udara I Gusti
Ngurah Rai sebanyak 6827 gram.40
Jurnal Data P4GN 2013 Edisi 201441 mengungkapkan dari survey, diketahui
Sekolah/kampus, kost/kontrakan, tempat kerja, di jalan, diskotik/ pub/karaoke,
rumah, sendiri, rumah teman, di terminal/stasiun dan di hotel/penginapan adalah
tempat yang banyak disebut responden pada saat ditawari narkotika. Situasi seperti ini
juga terjadi di Bali. Untuk itu diperlukan pengawasan di sekolah dan kampus, serta
edukasi kepada pelajar dan mahasiswa. Serta perlunya kerjasama dengan institusi
pengelola sekolah dan kampus tersebut. Pengawasan juga perlu ditingkatkan di
diskotik/pub/karaoke, terminal/stasiun, hotel/penginapan dan kost-kost an. Selain itu
upaya pengawasan memerlukan upaya penertiban terhadap penghuni kost-kost
an/kontrakan serta hotel/penginapan.
39 Balipost.com, 15 Juli 2014, Di Denpasar Siswa SMP Berani Pesta Narkotika Jenis Baru,
http://balipost.com/read/headline/2014/07/15/16924/di-denpasar-siswa-smp-berani-pesta-narkotika-jenis-baru.html
40 Jurnal P4GN, op.cit, h. 18-20 41 Ibid, h. 51
Pada tanggal 25 Februari 2015 Polresta Denpasar menangkap 7 orang pengedar
sekaligus pemakai (salah satu diantaranya warga negara asing dari Amerika Serikat), di
salah satu hotel di jalan Mahendradatta, dengan barang bukti 1 paket ganja berat 2.77
gram.42
Jajaran Satuan Narkotika Polresta Denpasar di Hotel The Grey di Jalan Dewi
Sartika, sebagaimana diberitakan oleh rri.co.id 17 Juli 201443, Kuta menangkap empat
pelaku penyalahgunaan narkotika, yang merupakan mahasiswa. Petugas
mengamankan sabu seberat 0,08 gram dari tangan Adam dan 0,72 gram dari tangan
Dimas berikut 4 butir esktasi. Dari tersangka Donny disita ganja seberat 7,80 gram dan
dari tersangka Dian yang juga mahasiswi di Denpasar ini diamankan sabu seberat 0,02
gram, ganja dan LSD.
Peredaran narkotika mengikuti hukum pasar, yakni semakin tingginya
permintaan maka akan semakin tinggi pula penawaran. Oleh sebab itu upaya
pemberantasan peredaran narkotika tidak hanya menekankan pada upaya represif,
melainkan upaya preventif perlu diprioritaskan, agar dapat mengurangi peredarannya
melalui penekanan pada jumlah tingkat konsumsi narkotika. Salah satu upaya represif
adalah mengubah perilaku masyarakat agar tidak mengkonsumsi narkotika.
Provinsi Bali yang merupakan daerah pariwisata, yang mengalami kemajuan di
bidang pembangunan, berimplikasi pada juga pada peningkatan peredaran narkotika.
42 Beritadewata.com, 25 Februari 2015, Polresta Denpasar Meringkus Tujuh Pengedar dan
Pengguna Narkotika, http://beritadewata.com/Hukum-dan-Kriminal/Hukum/Polresta-Denpasar-Meringkus-Tujuh-Pengedar-dan-Pengguna-Narkotika.html
43 rri.co.id, 17 Juli 2014, Polisi Gerebek Pesta Narkotika di Hotel The Grey Kuta Bali http://rri.co.id/post/berita/92083/daerah/polisi_gerebek_pesta_narkotika_di_hotel_the_grey_kuta_bali.html
Posisi Bali yang semula hanya sebagai lokasi peredaran atau lokasi transit narkotika,
kemudian berkembang menjadi pasar yang potensial bagi peredaran narkotika.
Dikarenakan banyaknya permintaan dan peredaran narkotika, maka kondisi Bali saat
ini sudah menjadi tempat memproduksi narkotika. Hal ini terbukti dari beberapa kasus
yang berhasil diungkap oleh kepolisian di Bali, salah satunya pada tanggal 16
September 2014 silam.
Dari kasus tersebut Petugas Polrestabes Denpasar, Bali menggerebek industri
narkoba rumahan yang memproduksi amphetamine (sabu-sabu) dan ekstasi. Petugas
mendapati 1.130 tablet putih, dua plastik berisi serbuk seberat 101,13 gram, serta satu
botol kodein 10 miligram, pelaku berinisial N Sud (36) dan Don SR (27) dengan nilai
jual keseluruhan sabu dan ekstasi yang diproduksi di rumah tersebut mencapai
Rp11,25 miliar.44
Berbagai bentuk tindak pidana dan kasus sebagaimana dideskripsikan di atas
menunjukkan bahwa peredaran narkotika dikendalikan oleh hukum alam dan hukum
pasar. Bentuk pengendalian oleh hukum alam adalah bahwa peredaran dan
penyalahgunaan narkotika bersumber pada kebutuhan manusia terhadap kebebasan
dan kenyamanan yang lahir dari tekanan sosial yang semakin hari semakin meningkat
dan multi-sebab dan multi-bentuk. Bentuk pengendalian oleh hukum pasar adalah
bahwa kebutuhan itu berubah menjadi permintaan dan permintaan itu melahirkan
pasokan, termasuk seluruh rangkaian proses yang melatarbelakangi pasokan itu,
44 Okezone.com, Jum'at, 19 September 2014, Pabrik Sabu & Ekstasi Beromzet Rp11,25 M di Bali
Digerebek, http://news.okezone.com/read/2014/09/19/340/1041506/pabrik-sabu-ekstasi-beromzet-rp11-25-m-di-bali-digerebek
seperti: pengembangan atau pembiakan bahan baku, produksi, distribusi, dan
penjualan kepada pengguna. Kedua jenis hukum ini terintegrasi kedalam suatu bentuk
sinergi yang melahirkan kekuatan proses dan pengendalian yang sulit diatasi dengan
pendekatan-pendekatan biasa, seperti: pendekatan hukum dan keamanan, serta
pendekatan kesehatan. Masalah ini membutuhkan suatu bentuk aksi yang berakar pada
suatu program yang terstruktur dan sistematis, yang berangkat dari dan menyentuh
akar-akar fundamental dari sebab yang melahirkan kebutuhan manusia terhadap
narkotika.
3. Karakteristik Dampak Kesehatan, Sosial, Politik, dan Ekonomi Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika
Dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika mencakup: dampak
langsung dan tidak langsung. Dampak tersebut mencakup, antara lain:45
(a) Banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan perawatan kesehatan
pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.
(b) Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik. Selain itu
biasanya tukang candu narkotika akan bersikap anti sosial.
(c) Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat
terlarang.
45 www.dedihumas.bnn.go.id, Dampak Langsung dan Tidak Langsung Penyalahgunaan
Narkotika, http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2014/03/20/957/dampak-langsung-dan-tidak-langsung-penyalahgunaan-narkotika
(d) Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari sekolah atau
perguruan tinggi alias DO / drop out.
(e) Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu narkotika akan
gemar berbohong dan melakukan tindak kriminal.
(f) Dosa akan terus bertambah karena lupa akan kewajiban Tuhan serta menjalani
kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya.
(g) Bisa dijebloskan ke dalam tembok derita / penjara yang sangat menyiksa lahir
batin.
(h) Biasanya setelah seorang pecandu sembuh dan sudah sadar dari mimpi-
mimpinya maka ia baru akan menyesali semua perbuatannya yang bodoh dan
banyak waktu serta kesempatan yang hilang tanpa disadarinya. Terlebih jika
sadarnya ketika berada di penjara. Segala caci-maki dan kutukan akan
dilontarkan kepada benda haram tersebut, namun semua telah terlambat dan
berakhir tanpa bisa berbuat apa-apa.
Kemudian berkaitan dengan dampak Langsung Narkotika bagi tubuh manusia,
diantaranya46 :
(a) Gangguan pada jantung;
(b) Gangguan pada hemoprosik;
(c) Gangguan pada traktur urinarius;
(d) Gangguan pada otak;
46 ibid
(e) Gangguan pada tulang;
(f) Gangguan pada pembuluh darah;
(g) Gangguan pada endorin;
(h) Gangguan pada kulit;
(i) Gangguan pada sistem syaraf;
(j) Gangguan pada paru-paru;
(k) Gangguan pada sistem pencernaan;
(l) Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis,
Herpes, TBC, dll.
Hal ini dikarenakan para pecandu menggunakan jarum suntik secara bergantian
(Injecting Drug Use/IDUs), akibat penularan penyakit HIV/AIDS, Hepatitis B
dan Hepatitis C.
Berkaitan dengan dampak Langsung Narkotika Bagi Kejiwaan/Mental Manusia,
adalah47 :
(a) Menyebabkan depresi mental;
(b) Menyebabkan gangguan jiwa berat / psikotik.
(c) Menyebabkan bunuh diri
(d) Menyebabkan melakukan tindak kejahatan, kekerasan dan pengrusakan.
Dampak penggunaan narkotika di atas lebih kepada individu. Di lain pihak tingginya
penyalahgunaan narkotika, berdampak negatif bagi masyarakat Bali, diantaranya:
47 ibid
(a) Penyalahgunaan narkotika cenderung menyerupai gaya hidup sehingga dapat
dengan mudah menular;
(b) Masyarakat terpengaruh terhadap gaya penggunaan narkotika;
(c) Masa depan generasi muda di Bali terancam;
(d) Meningkatnya kejahatan;
(e) Meningkatkatnya jumlah kematian.
Ragam dampak tersebut menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika
mengandung potensi besar untuk merusak kesehatan seseorang, bahkan
menghancurkannya, merusak keluarga, dan masyarakat tempatnya hidup atau bahkan
sebuah bangsa. Cara kerja narkotika dalam tubuh manusia sebagaimana diuraikan
diatas, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Level 1 sebagai pengguna seseorang merasa bahagia, senang ketika
mengkonsumsi narkotika tersebut.
b. level 2, pengguna mulai merasa adanya ketergantungan (kecanduan) sehingga
ingin menambah kebutuhan dari narkotika tersebut. Kemudian mulai merasakan
rasa sakit, apabila tidak mengkonsumsi narkotika tersebut.
c. level 3, pengguna merasakan penderitaan yang hebat apabila tidak
mengkonsumsi narkotika tersebut, dan merasakan ketergantungan yang sangat
berat terhadap barang tersebut.
4. Karakteristik Kebutuhan Pemecahan Masalah Dampak Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika
Gambaran peredaran dan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika
menunjukkan bahwa masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika
membutuhkan model pemecahan masalah yang sesuai dengan karakteristik peredaran
dan penyalahgunaan narkotika, serta dampaknya. Model itu harus dapat menyentuh
dan mengendalikan seluruh unsur penyebab penyalahgunaan, seperti:
(a) Setiap orang yang potensial menjadi pengguna;
(b) Setiap orang yang telah menjadi pengguna;
(c) Keluarga pengguna;
(d) Lingkungan sosial pengguna;
(e) Setiap orang yang potensial menjadi pengedar;
(f) Pengedar;
(g) Jaringan dan media pengedar;
(h) Proses transaksi yang menjadi aliran peredaran.
Pemecahan masalah tersebut harus didasarkan pada pendekatan integral yang
mengintegrasi seluruh komponen pemangku kepentingan yang dapat menghambat
peredaran dan penyalahgunaan. Penggunaan pendekatan hukum perlu diintegrasikan
dengan pendekatan kultural, moral, ekonomi, politik, dan edukasi yang mengendalikan
seluruh pemangku kepentingan kedalam satu gerakan sosial yang terstruktur,
terpogram, sistematis, dan konsisten (berkelanjutan) yang dapat meniadakan
kebutuhan penggunaan yang masuk kedalam kategori penyalahgunaan.
C. KARAKTERISTIK OBYEK PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA
Karakteristik narkotika, peredaran dan penyalahgunaannya, dan dampak
peredaran serta penyalahgunaannya melahirkan kebutuhan terhadap konsep
pengaturan yang konsisten dengan karakteristik narkotika, peredaran dan
penyalahgunaan, dampak dan penyalaghunaannya sebagai obyek pengaturan.
Berdasarkan karekteristik obyek itu, maka obyek pengaturan pencegahan dan
penanganan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika dapat diklasifikasi atas
dua jenis, yaitu:
(1) Obyek yang berada pada sistem internal; dan
(2) Obyek yang berada pada sistem eksternal.
Sistem internal adalah sistem yang mencakup, komponen:
(1) Obyek: yaitu narkotika sebagai obyek konsumsi dan pasokan;
(2) Subyek, yaitu: pemasok dan pengguna narkotika; dan
(3) Proses pasokan atau transaksi narkotika antara pemasok dengan pengguna.
Sistem eksternal adalah sistem yang berpengaruh terhadap sistem internal,
seperti: keluarga dan lingkungan sosial pengguna; institusi pemerintah dan non-
pemerintah yang berwenang dan bertugas atau diberi kewenangan dan diberi tugas
untuk melakukan pengawasan dan tindakan terhadap produsen dan pengedar, yang
berwenang atau bertugas melakukan edukasi, pembinaan dan fasilitasi terhadap
subyek yang potensian menjadi pengguna dan subyek pengguna, serta lingkungan
sosial calon dan pengguna.
D. KARAKTERISTIK KONSEP PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA
Berdasarkan konsep pengaturan itu, maka norma pengaturan pencegahan dan
penanganan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika hendaknya mencakup:
(1) Norma yang mengatur sistem internal;
(2) Norma yang mengatur sistem eksternal; dan
(3) Norma yang mengatur korelasi antara sistem internal dan sistem eksternal.
Termasuk kedalam kategori aturan yang mengatur sistem internal adalah:
(a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;
(b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika; dan
(c) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan
Narkotika Nasional.
Termasuk kedalam kategori aturan yang mengatur sistem eksternal adalah:
(a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah; dan
(b) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib lapor Pecandu
Narkotika
(c) Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.
(d) Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2011 tentang pelaksanaan Kebijakan dan
Strategi Nasional Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba.
(e) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013
Tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT
Standar materi bab ini ditentukan di dalam Lampiran I angka 3 UUP3. Bab ini
memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang memuat kondisi
hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan
Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta
status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-
undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-
undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang-
Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan Perundang-
undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan
diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau Peraturan
Daerah yang baru. Analisis ini menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan
Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil
dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan
yuridis dari pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.
A. KARAKTERISTIK DASAR, RUANG LINGKUP, DAN MATERI KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM MENGATUR PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA Rezim pengaturan tentang pencegahan dan penanganan Narkotika di Indonesia
telah ada diatur pada masa sebelum kemerdekaan dan masa sesudah kemerdekaan.
Masa-masa sebelum kemerdekaan, diatur dalam beberapa peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yaitu :
1. masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie 2. masa berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdovende Midellen Ordonantie, S. 1927
Nomor: 278 jo No. 536)
Perlu dideskripsikan lebih lanjut mengenai kebijakan pemerintah Belanda pada
masa sebelum proklamasi, terkait dengan upaya pencegahan penyalahgunaan
narkotika, zat adiktif dan obat-obat terlarang lainnya, tertuang dalam beberapa
dokumen, yaitu:
1. Morphine Regie Ordonantie (Stbl 1911 Nomor 373, Stbl 1911 Nomor 484 dan Stbl 1911 Nomor 485)
2. Ooskust Regie Ordonantie (Stbl 1911 Nomor 494 dan 644, Stbl 1912 Nomor 255)
3. Westkust Regie Ordonantie (Stbl 1914 Nomor 562, Stbl 1915 Nomor 245)
4. Bepalingen Opium Premien (StbI 1916 Nomor 630).
5. ”Verdovende Midellen Ordonantie” (StbI 1927 Nomor 278 jo Nomor 536). Verdovende Midellen Ordonantie dibuat pada tanggal 12 Mei 1927 dan mulai berlaku 1 Januari 1928, dalam Lampiran angka 1 telah ditarik 44 perundang-undangan sebelumnya. Tujuan ditariknya perundang-undangan tersebut adalah adanya unifikasi pengaturan narkotika di Hindia Belanda
6. Staatsblad 1949 Nomor 419 tanggal 22 Desember 1949 tentang Sterkwerkendegenees Middelen Ordonantie atau Ordonansi Obat Keras
Pada masa berlakunya ordonantie regie, pengaturan narkotika tidak seragam, karena
di setiap wilayah mempunyai ordonantie regie sendiri-sendiri. Beberapa wilayah
yang memiliki Regie Ordonantie, adalah sebagai berikut:
1. Bali Regie Ordonantie
2. Jawa Regie Ordonantie
3. Riau Regie Ordonantie
4. Aceh Regie Ordonantie
5. Borneo Regie Ordonantie
6. Celebes Regie Ordonantie
7. Tapanuli Regie Ordonantie
8. Timor Regie Ordonantie.
Dari beberapa macam regie ordonantie tersebut yang paling tua adalah Bali Regie
Ordonantie yang dimuat dalam Stbl 1872 Nomor 76. Dengan demikian menunjukkan
bahwa upaya kewaspadaan terdapat narkotika di Bali sudah digalakkan sejak lama.
Kemudian pada masa kemerdekaan terdapat beberapa peraturan perundang-
undangan, diantaranya:
a. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Diundangkannya Undang-undang No. 9 tahun 1976, tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan lalu lintas dan alat-alat perhubungan serta pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran/pemasukan narkotika ke Indonesia. Dalam bagian penjelasan umum Undang-Undang ini menentukan bahwa, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika sebelum Undang-undang ini berlaku, ialah Verdoovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad 1927 No. 278 jo No. 536) yang telah diubah dan ditambah, beserta peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan. Ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, berhubung dengan perkembangan lalu-lintas dan adanya alat-alat perhubungan
dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran/pemasukan narkotika ke Indonesia, ditambah pula dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman karena yang diatur didalamnya hanyalah mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, yang di dalam peraturan itu dikenal dengan istilah Verdoovende Middelen atau obat bius, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur. Di dalam Undang-undang ini diatur pelbagai masalah yang berhubungan dengan narkotika, meliputi pengaturan mengenai :
1) Ketentuan tentang pengertian dan jenis narkotika. 2) Ketentuan tentang kegiatan yang menyangkut narkotika seperti: penanaman,
peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas, pengangkutan serta penggunaan narkotika.
3) Ketentuan tentang wajib lapor bagi orang atau badan yang melakukan kegiatan-kegiatan sebagai tersebut dalam angka 2.
4) Ketentuan yang mengatur mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan dari perkara yang berhubungan dengan narkotika yang karena kekhususannya dan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan, memerlukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun diadakan penyimpangan dan pengaturan khusus, tidak berarti bahwa hak azasi tersangka/terdakwa tidak dijamin atau dilindungi, bahkan diusahakan sedemikian rupa, sehingga penyimpangan dan pengaturan khusus itu tidak merupakan penghapusan seluruh hak azasi tersangka/terdakwa, melainkan hanya pengurangan yang terpaksa dilakukan demi menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya yang ditimbulkan karena penyalahgunaan narkotika. Ketentuan tersebut antara lain ialah, bahwa dalam pemeriksaan di depan Pengadilan, saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan dilarang dengan sengaja menyebut nama, alamat atau hal lain yang memberi kemungkinan dapat diketahui identitas pelapor (Pasal 28).
5) Ketentuan yang mengatur tentang pemberian ganjaran (premi). 6) Ketentuan tentang pengobatan dan rehabilitasi pecandu narkotika. 7) Ketentuan lain yang berhubungan dengan kerjasama internasional dalam
penanggulangan masalah yang ditimbulkan oleh narkotika.
Guna memberikan efek preventif yang lebih tinggi terhadap dilakukannya tindak pidana tersebut, demikian pula untuk memberikan keleluasaan kepada
alat penegak hukum dalam menangani perkara tindak pidana tersebut secara efektif, maka ditentukan ancaman hukuman yang diperberat bagi pelaku tindak pidana, lebih-lebih dalam hal perbuatan tersebut dilakukan terhadap atau ditujukan kepada anak-anak dibawah umur. Karena Indonesia merupakan negara peserta dari Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol yang Mengubahnya, maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini telah pula disesuaikan dengan hal-hal yang diatur di dalam Konvensi tersebut.
b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran negara RI Tahun 1997 No. 3698. adapun yang menjadi latar belakang diundangkannya UU No. 22 Tahun 1997 ini yaitu peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap, rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba. Perkembangan kualitas tindak pidana narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Selain itu mengingat bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika.
c. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini mempunyai cakupan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan peraturan yang pernah ada sebelumnya baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidanan yang diperberat. Dibentuknya Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pengendalian danpengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Disamping itu menyesuaikan dengan ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran GelapNarkotika dan Psikotropika
Tahun 1988 yang telah diratifikasi denganUndang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Pembentukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 mempunyai cakupan yang lebih luasbaik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yangdiperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan padafaktor-faktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwanilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai saranaefektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelapnarkotika. Beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan mengenai penggolongan narkotika, pengadaan narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yangdiawasi dan pembelian terselubung, dan permufakatan jahat untuk melakukantindak pidana narkotika. Dalam rangka memberi efek psikologis kepada masyarakatagar tidak melakukan tindak pidana narkotika, perlu ditetapkan ancaman pidanayang lebih berat, minimum dan maksimum, mengingat tingkat bahaya yangditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangatmengancam ketahanan keamanan nasional.
d. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya: UU
Narkotika) dibentuk berdasarkan lima pertimbangan, yaitu:
(1) untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur
yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia
Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan
ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;
(2) untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di
bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan
ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta
melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
(3) Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan
atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi
lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan saksama;
(4) bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan,
mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat
merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia,
masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
(5) tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh
jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama
di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang- Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi
dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak
pidana tersebut.
UU Narkotika merupakan perwujudan komitmen Pemerintah Indonesia
terhadap masyarakat internasional dalam mengambil bagian dalam pemberantasan
peredaran dan penyalahgunaan narkotika serta pencegahan dan penanganan dampak
peredaran narkotika sebagaimana tindakan politik dalam meratifikasi dua instrumen
hukum internasional yang sangat penting dalam soal itu, yaitu: Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 sebagaimana diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976
tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972
yang Mengubahnya dan Konvensi PBB tentang Pemerantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988.
UU Narkotika mengatur tentang narkotika, pengadaan narkotika untuk
pelayanan kesehatan (rencana, produksi, penggunaan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, penyimpanan dan pelaporan), impor dan ekspor (izin
khusus dan surat persetujuan impor, izin khusus dan surat persetujuan ekspor,
pengangkutan, transito, pemeriksaan), peredaran (wajib izin edar, penyaluran,
penyerahan), label dan publikasi, prekursor narkotika (rencana, pengadaan),
pengobatan dan rehabilitasi, pembinaan dan pengawasan, pencegahan dan
pemberantasan (kedudukan, tugas, dan wewenang BNN), proses peradilan, peran serta
masyarakat, penghargaan, dan ketentuan pidana.
UU Narkotika merupakan undang-undang yang mengatur sanksi pidana
dengan pasal-pasal yang paling banyak (38 pasal). UU Narkotika tidak hanya
menyediakan sanksi bagi pengedar atau pemakai yang mengedarkan melainkan setiap
orang yang terkait dengan peredaran dan penyalahgunaan narkotika secara melawan
hukum, termasuk setiap orang yang secara melawan hukum memproduksi,
mengimpor dan mengekspor, penjual dan perantara, pengedar dan penyalahguna,
setiap orang yang secara melawan hukum mengirim atau mengangkut dan
menyediakan transito, setiap orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana
narkotika, percobaan permufakatan jahat, setiap orang yang menghasut anak dibawah
umur untuk melakukan perbuatan pidana narkotika, pecandu yang sudah cukup
umur, nakhoda dan kapten kapal, setiap orang yang menghalang-halangi penyidikan,
setiap orang yang menikmati manfaat dari hasil peredaran atau penyalahgunaan
narkotika, pengurus industri farmasi, paramedik, petugas laboratorium, saksi yang
member keterangan tidak benar, penyidik (kepolisian maupun PPNS), kepala kejaksaan
negeri yang tidak menjalankan tugas sesuai hukum, orang asing, dan orang tua/wali
pengguna yang sengaja tidak melaporkan pengguna yang menyalahgunakan atau
narkotika. Penetapan seluruh ketentuan sanksi itu bertujuan untuk memberantas
tindak pidana narkotika.
UU Narkotika tidak menetapkan kewenangan tertentu bagi Pemerintah Provinsi
untuk mengatur pencegahan, penanganan, dan pemberantasan peredaran dan
penlahgunaan narkotika. Namun demikian, UU Narkotika mengalokasikan posisi
hukum bagi masyarakat untuk berperanserta dalam pencegahan, pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur tentang tata cara
pelaksanaan UU Narkotika, mencakup: transito narkotika (pelaporan, perubahan
negara tujuan, pengemasan kembali, penggantian sarana pengangkut), pengelolaan
barang sitaan (penyitaan dan penyegelan, penyisihan dan pengujian, penyimpanan,
pengamanan dan pengawasan, penyerahan dan pemusnahan), ganti rugi, pemusnahan
narkotika temuan, perlindungan hukum (bentuk dan tatacara perindungan,
pengehentian perlindungan), hasil tindak pidana narkotika, pembinaan dan
pengawasan. PP lebih banyak mengatur cara pelaksanaan kewenangan Menteri, BNN,
dan kepolsian dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing. PP tidak
mengatur kewenangan bagi Pemerintah Provinsi dalam tata cara pelaksanaan UU
Narkotika itu. Demikian juga Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 Tentan Badan
Narkotika Nasional (BNN) hanya mengatur tentang BNN: kedudukan, tugas, fungsi,
dan kewenangan; organisasi BNN; kelompok ahli; wadah peran serta masyarakat; tata
kerja; eselonisasi, pengangkatan, dan pemberhentian; dan ketentuan lainnya berkenaan
dengan eksistensi BNN sebagai lembaga pemerintah non kementerian yang
bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Tugas BNN mencakup: tugas kebijakan;
pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (P4GN);
tugas koordinasi dengan kepolisian; tugas rehabilitasi sosial pecandu narkotika;
pemberdayaan masyarakat dalam mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika; memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kemampuan masyarakat
dalam pencegahan penyarahgunaan dan peredaran gelap narkotika; tugas kerjasama;
tugas mengembangkan laboratorium; tugas administrasi dan pelaporan; dan tugas
lainnya yaitu menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan
bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. Perpres juga
tidak menyediakan alokasi kewenangan tertentu bagi Pemerintah Provinsi dalam
pengaturan P4GN.
Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam pengaturan P4GN baru disediakan
oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Fasilitasi
Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika (selanjutan: Permendagri FP2N). Permen ini
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, UU
Narkotika, Perpres BNN, dan Permendagri Nomor Nomor 41 Tahun 2010 tentang
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerjasama
Departemen Dalam negeri dan Pemerintah Daerah dengan Organisasi Kemasyarakatan
dan Lembaga Nirlaba Lainnya dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam
Negeri, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun
2009 tentang Pedoman Kerjasama Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah
dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya dalam Bidang
Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Dalam Negeri dan Politik Dalam Negeri.
Penggantian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya: UU Pemda) membuat pengaturan kewenangan Pemerintah Provinsi
dalam pengaturan FP2N perlu disesuaikan dengan alokasi kewenangan baru
Pemerintah Provinsi. Pasal 9 UU Pemda menentukan bahwa Urusan Pemerintahan
terdiri atas:
(a) urusan pemerintahan absolute;
(b) urusan pemerintahan konkuren; dan
(c) urusan pemerintahan umum.
Urusan pemerintahan absolute adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi
dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Pasal 11 UU Pemda menentukan bahwa urusan pemerintahan konkuren yang menjadi
kewenangan Daerah terdiri atas:
(a) Urusan Pemerintahan Wajib; dan
(b) Urusan Pemerintahan Pilihan.
Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas:
(a) Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar; dan
(b) Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah Urusan
Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Pasal 12 UU pemda menentukan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
f. sosial.
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Pasal 13 ayat (3) UU Pemda menentukan bahwa berdasarkan prinsip akuntabilitas,
efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional, kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah
kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah Provinsi.
Alokasi kewenangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan P4GN ditentukan di
dalam Lampiran I huruf F UU Pemda (Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan
Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota)
sebagai bagian dari alokasi urusan Pemerintahan bidang sosial. Lapiran I huruf F UU
Pemda menentukan bahwa alokasi kewenangan Pemerintah Provinsi dalam
penyelenggaraan REHABILITASI SOSIAL bukan/tidak termasuk bekas korban
penyalahgunaan NAPZA, orang dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired
Immuno Deficiency Syndrome yang memerlukan rehabilitasi pada panti. Ketentuan
tersebut menunjukkan bahwa alokasi kewenangan Pemerintah Provinsi dalam bidang
rehabilitasi sosial tidak mencakup rehabilitasi sosial terhadap bekas korban
penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya).
Ketentuan tersebut sepintas terlihat bertolak belakang dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2013 tentang FP2N yang menyediakan kewenangan
bagi Pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraan P4GN, yaitu terbatas pada FP2N.
Pasal 3 Permendagri FP2N menentukan bahwa Gubernur melakukan fasilitasi
pencegahan penyalahgunaan narkotika di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya.
Bupati/walikota melakukan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika di
kabupaten/kota. Pelaksanaan fasilitasi dilakukan oleh Kepala SKPD yang terkait
dengan pencegahan dan penyalahgunaan narkotika yang dikoordinasikan oleh Kepala
SKPD yang membidangi urusan kesatuan bangsa dan politik. Pasal 4 Permendagri
FP2N menentukan bahwa Gubernur dan bupati/walikota dalam melakukan fasilitasi
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4, melaksanakan tugas, antara lain dalam
bentuk menyusun peraturan daerah mengenai narkotika.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Pasal 3 dan Pasal 4 Permendagri FP2N
menentukan alokasi kewenangan bagi Pemerintah Provinsi untuk menyelenggarakan
P4GN, tetapi terbatas pada FP2N, dan untuk keperluan penyelenggaraan kewenangan
itu Pemerintah Provinsi diberi kewenangan untuk membentuk Peraturan Daerah
tentang Narkotika. Kewenangan sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran I huruf F
UU Pemda adalah kewenangan untuk melakukan rehabilitasi sosial dan kewenangan
dalam melaksanakan rehabilitasi sosial itu tidak mencakup rehabilitasi sosial terhadap
korban penyalahgunaan NAPZA. Rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan
NAPZA masuk kedalam kategori kewenangan sebagaimana ditentukan di dalam
ketentuan pasal 4 huruf a Permendagri FP2N yang menentukan bahwa fasilitasi
sebagaimana diatur di dalam Permendagri FP2N, yang menurut Permen diharuskan
diatur melalui Perda, mencakup REHABILITASI terhadap korban NAPSA. Pasal 4
Permendagri selengkapnya menentukan sebagai berikut:
Gubernur dan bupati/walikota dalam melakukan fasilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4, melaksanakan tugas sebagai berikut:
d. menyusun peraturan daerah mengenai narkotika yang memuat sekurang-kurangnya: 1. antisipasi dini; 2. pencegahan; 3. penanganan; 4. rehabilitasi; 5. pendanaan; dan 6. partisipasi masyarakat.
e. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka pencegahan penyalahgunaan narkotika;
f. melakukan kemitraan/kerjasama dalam rangka pencegahan penyalahgunaan narkotika dengan: 1. Organisasi kemasyarakatan; 2. Swasta; 3. Perguruan tinggi; 4. Sukarelawan; 5. Perorangan; dan/atau 6. Badan hukum
g. melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah dan Komunitas Intelijen Daerah untuk pencegahan penyalahgunaan narkotika; dan
h. menyusun program dan kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkotika.
Sekalipun dasar kewenangan pembentukan Permendagri FP2N (UU 32 Tahun
2004) telah diganti dengan UU 23 Tahun 2014, namun penggantian tersebut tidak
sertamerta mengkibatkan kebatalan Permendagri FP2N. Permendagri tetap berlaku,
karena dua alasan: pertama, Permendagri tersebut belum dicabut; kedua, pengaturan
rehabilitasi sosial di dalam Lampiran Lampiran I huruf F UU Pemda justru membatasi
rehabilitasi sosial agar alokasi urusan rehabilitasi sosial itu tidak menyentuh rehabilitasi
terhadap korban penyalahgunaan NAPZA. Lampiran I huruf F UU Pemda membatasi
urusan rehabilitasi sosial pada rehabilitasi yang tidak mencakup rehabilitasi terhadap
korban NAPZA. Pebatasan demikian itu di sisi lain justru menegaskan keberlakuan
Permendagri FP2N, khususnya berkenaan dengan materi rehabilitasi yang diharuskan
diatur di dalam Perda Narkotika, yang menegaskan bahwa rehabilitasi terhadap
korban penyalahgunaan NAPZA merupakan urusan yang berbeda dengan urusan
rehabilitasi sosial sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran I huruf F UU pemda.
Analisis ini menegaskan bahwa Pengaturan FP2N melalui Perda sebagaimana
diharuskan oleh Permendagri FP2N tetap berlaku sekalipun dasar hukum sebagai
landasan yuridis Permendagri telah berubah. Alasan keberlakuan ini, adalah: pertama:
Permendagri FP2N belum dicabut, karena tetap valid dan berlaku sebagai ketentuan
yang harus dilaksanakan; dan kedua, Lampiran I huruf F UU Pemda menegaskan
bahwa rehabilitasi sosial berbeda dengan rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA
dan urusan rehabilitasi sosial sebagaimana diatur di dalam Lampiran itu tidak
mencakup rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA. Ketiga, urusan rehabilitasi
korban penyalahgunaan NAPZA oleh Permerintah diletakkan di dalam pengaturan
tersendiri sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 4 Permendagri FP2N.
Selanjutnya, Pasal 17 UU Pemda menentukan bahwa Daerah berhak menetapkan
kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah. Daerah dalam menetapkan kebijakan Daerah wajib berpedoman
pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat. Dalam hal kebijakan Daerah yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tidak mempedomani norma, standar,
prosedur, dan criteria Pemerintah Pusat, Pemerintah Pusat membatalkan kebijakan
Daerah. Karena itu, pembentukan Perda Narkotika dalam rangka pelaksanaan
Permendagri FP2N hendaknya mengancu kepada standar norma sebagaimana
ditentukan di dalam Permendagri tersebut.
Peraturan perundang-undangan dari masa sebelum kemerdekaan dan setelah
masa kemerdekaan menunjukkan bahwa upaya pencegahan, pemberantasan,
penanganan penyalahgunaan narkotika merupakan hal yang sangat penting.
Mengingat terdapat beberapa peraturan perundang-undangan lainnya seperti :
a. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan
Narkotika Nasional.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah; dan
c. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib lapor
Pecandu Narkotika
d. Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.
e. Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2011 tentang pelaksanaan Kebijakan
dan Strategi Nasional Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba.
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013
Tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.
Dengan demikian dapat diidentifikasi beberapa stake holder (lembaga pelaksana)
yang melakukan beberapa upaya terkait dengan pencegahan, pemberantasan,
penanganan penyalahgunaan narkotika di wilayah Provinsi, diantaranya :
a. Fasilitasi Pencegahan : Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota b. Pemberantasan: BNNP dan Kepolisian c. Penanganan penyalahgunaan narkotika : BNNP
Terkait dengan kewenangan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota
dalam hal fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika, dapat dilakukan oleh
beberapa instansi di daerah, seperti Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan
Perlindungan Masyarakat, Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, dengan
menyesuaikan pada kewenangan masing-masing.
B. KARAKTERISTIK MATERI PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
Materi pengaturan Perda Narkotika sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4
huruf a Permendagri FP2N seharusnya mengikuti nomenklatur materi perda
sebagaimana ditentukan oleh Permendagri FP2N. Nomenklatur materi pengaturan
dapat ditelusuri dari judul, dasar menimbang, konsiderans mengingat, ketentuan
umum, dan materi peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan
pembentukan Perda. Permendagri FP2N menggunakan judul “Fasilitasi Pencegahan
Penyalahgunaan Narkotika”. Judul Permen ini memberikan indikasi bahwa Perda
Pemerintah Provinsi Bali yang akan dibentuk hendaklah mengatur tentang satu materi
pokok, yaitu: fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika.
Pasal 1 angka 11 Permendagri mendefinisikan FASILITASI sebagai upaya
pemerintah daerah dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika dan mendefinisikan
PENCEGAHAN penyalahgunaan narkotika sebagai segala upaya, usaha atau tindakan
yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab yang bertujuan untuk meniadakan
dan/atau menghalangi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan
narkotika (Pasal 1 angka 5). Pengertian “fasilitasi” memberi indikasi bahwa materi
Perda yang akan dibentuk hendaklah mencakup pencegahan penyalahgunaan dan
pencegahan penyalahgunaan itu hendaklah mencakup materi tentang upaya, usaha
atau tindakan untuk meniadakan dan/atau menghalangi faktor yang menyebabkan
penyalahgunaan. Kedua pengertian ini tidak memperjelas apa yang perlu diatur di
dalam perda atau apakah cakupan materi perda. Karena itu, cakupan materi perda
yang diamanatkan itu perlu ditelusuri dari materi pengaturan Permendagri.
Arahan materi Perda secara jelas diatur di dalam Pasal 4 sampai Pasal 9
Permendagri FP2N. Pasal 4 huruf a Permendagri menentukan bahwa peraturan daerah
mengenai narkotika yang akan dibentuk sebagai pelaksanaan amanat Permendagri
memuat sekurang-kurangnya:
(1) antisipasi dini;
(2) pencegahan;
(3) penanganan;
(4) rehabilitasi;
(5) pendanaan; dan
(6) partisipasi masyarakat, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka
pencegahan penyalahgunaan narkotika;
Pasal 4 huruf b menentukan bahwa Perda hendaknya juga mengatur tentang program
kemitraan/kerjasama dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika dan kerjasama itu
hendaknya mencakup beberapa pemangku kepentingan, yang utama adalah:
(a) Organisasi kemasyarakatan;
(b) Swasta;
(c) Perguruan tinggi;
(d) Sukarelawan;
(e) Perorangan; dan/atau
(f) Badan hukum
Pasal 4 huruf c menegaskan bahwa penyelenggaraan program fasilitasi dalam rangka
pencegahan itu hendaklah melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum
Kewaspadaan Dini, Masyarakat di Daerah, dan Komunitas Intelijen Daerah untuk
pencegahan penyalahgunaan narkotika; dan dalam huruf c ditentukan bahwa untuk
keperluan penyelenggaraan itu, pemerintah provinsi perlu menyusun program dan
kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkotika.
Pasal 5 Permendagri menentukan bahwa fasilitasi pencegahan penyalahgunaan
narkotika, dilakukan melalui kegiatan antara lain:
a. seminar;
b. lokakarya;
c. workshop;
d. pagelaran, festival seni dan budaya;
e. outbond seperti jambore, perkemahan, dan napak tilas;
f. perlombaan seperti lomba pidato, jalan sehat, dan cipta lagu;
g. pemberdayaan masyarakat;
h. pelatihan masyarakat;
i. karya tulis ilmiah; dan
j. sosialisasi, diseminasi, asistensi dan bimbingan teknis.
Pasal 6 Permen menentukan bahwa Bupati/Walikota melaporkan
penyelenggaraan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika lingkup
Kabupaten/Kota Kepada Gubernur. Gubernur melaporkan penyelenggaraan fasilitasi
pencegahan penyalahgunaan narkotika lingkup provinsi Kepada Menteri Dalam
Negeri. Pelaporan itu dilakukan secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-
waktu jika diperlukan. Pasal 7 menentukan bahwa laporan itu menjadi bahan evaluasi
dan penyusunan kebijakan lebih lanjut. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Perda
Pemerintah Provinsi yang akan dibentuk juga perlu mengatur tentang Gubernur
menerima laporan dari pemerintah Kabupaten/Kota dan Gubernur menyampaikan
laporan kepada Mendagri.
Pasal 8 menentukan bahwa Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal
Kesatuan Bangsa dan Politik melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika di provinsi. Gubernur melalui Kepala
SKPD Provinsi yang membidangi urusan Kesatuan Bangsa dan Politik melakukan
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan
narkotika di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya. Bupati/Walikota melalui
Kepala SKPD Kabupaten/Kota yang membidangi urusan Kesatuan Bangsa dan Politik
melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan fasilitasi pencegahan
penyalahgunaan narkotika di Kabupaten/Kota. Ketentuan ini menunjukkan bahwa
Perda tersebut hendaknya juga mengatur tentang pembinaan dan pengawasan FP2N.
Pasal 9 menentukan bahwa pendanaan penyelenggaraan fasilitasi pencegahan
penyalahgunaan narkotika bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota serta sumber-sumber lain yang sah dan tidak
mengikat. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Perda juga harus mengatur tentang
pembiayaan kegiatan yang oleh Permendagri diamatkan menggunakan APBD.
Berdasarkan analisis tersebut, maka Perda FP2N Pemerintah Provinsi Bali
sekurang-kurangnya mengatur tentang:
(1) antisipasi dini;
kegiatan antisipasi dini yang dimaksud dalam hal pendidikan, dimana
pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota melakukan upaya antisipasi sejak
dini kepada anak-anak sekolah serta melakukan identifikasi terhadap situs-situs
atau sumber-sumber yang bisa menjadikan sarang tempat didapatkannya
narkotika itu.
(2) pencegahan;
Pencegahan dalam hal ini dapat dikaitkan dengan Instruksi Presiden Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Dan Strategi Nasional Pencegahan
dan Pemberantasan Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun
2011-2015, menekankan pada upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan
menengah dan mahasiswa memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan obat-obat terlarang.
Disamping itu juga upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap,
dan terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan obat-
obat terlarang. Dengan demikian pencegahan menekankan pada upaya
penyadaran akan bahaya narkotika.
(3) penanganan;
tindakan penanganan ini ditujukan upaya medis dalam menangani
penyalahgunaan narkotika tentunya harus berkoordinasi dengan institusi terkait
seperti BNN.
(4) rehabilitasi;
merupakan upaya untuk mengubah stigma terhadap ketergantungan narkotika,
melalui pola disasosiasi diharapkan mengubah perilaku dalam melihat
narkotika, serta melakukan upaya pendampingan agar diterima di lingkungan
sosial.
(5) kemitraan dan kerjasama;
merupakan upaya dalam melakukan kerjasama dengan institusi-institusi terkait.
(6) pembinaan dan pengawasan;
pembinaan dan pengawasan yang dimaksud agar pemerintah daerah betul-betul
optimal dalam menjalankan kewajibannya dalam melakukan upaya fasilitasi
pencegahan penyalahgunaan narkotika.
(7) laporan;
laporan terkait dengan evaluasi kinerja
(8) pendanaan;
terkait dengan komitmen pemerintah daerah dalam mengalokasikan dana
terkait dengan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika serta tindakan-
tindakan tersebut berdasarkan asas akuntabilitas.
(9) partisipasi masyarakat, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka
pencegahan penyalahgunaan narkotika.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
Standar materi Bab ini ditentukan di dalam Lapiran I angka 4 UUP3. Landasan
filosofis, sosilogis, dan yuridisLandasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan sosiologis merupakan
pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan
kebutuhan masyarakat dan negara. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau
alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga
perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum
itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau
tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya
berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya
memang sama sekali belum ada.
A. LANDASAN FILOSOFIS
Landasan filosofis mencakup mencakup landasan filsafat hukum dan filsafat
keilmuan ilmu hukum. Landasan filsafat keilmuan ilmu hukum memberikan orientasi
ontologis, epistemelogis, dan aksiologis ilmu hukum terhadap pengaturan obyek
hukum yang diatur melalui suatu produk hukum tertentu. Orientasi ontologis
pengaturan FP2N sebagai obyek hukum yang diatur melalui Perda Pemerintah
Provinsi Bali adalah karaktersitik narkotika, peredaran dan penyalahgunaan, dan
dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Narkotika merupakan zat obat
yang sangat bermanfaat bagi penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tetapi pada sisi
laina juga merupakan sumber masalah sosial. Ketergantungan terhadap narkotika
bukan hanya potensial menghancurkan kehidupan seseorang, tetapi juga keluarga dan
lingkungan sosial si pengguna. Sifat karakteristik dari narkotika, peredaran dan
penyalahgunaan, dan dampak peredaran dan penyalahgunaan merupakan bentuk
ekspektasi obyek yang harus direspon secara tepat dan akurat melalui struktur dan
materi norma hukum yang mengatur obyek itu. Hanya dengan model perancangan
demikian itu suatu pembentukan produk hukum daerah akan berfungsi dan
memberikan manfaat sesuai dengan harapkan atau tujuan pengaturan.
Landasan kefilsafatan hukum mencakup landasan nilai hukum yang digunakan
sebagai dasar perancangan produk hukum daerah. Landasan kefilsafatan demikian itu
telah dirumuskan kedalam bentuk rumusan Pancasila dasar filsafat negara dan
Pembukaan UUD 1945 sebagai norma dasar hukum negara. Negara berkewajiban
melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Tujuan
negara ini merupakan bentuk peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia
Indonesia khususnya masyarakat Bali. nilai demikian itu juga dijabarkan kedalam visi
pemerintahan Pemerintah Provinsi Bali, Bali Mandara (Maju, Aman, Damai, Sejahtera).
Kendati Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) merupakan hal yang
penting di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun bentuk
penyalahgunaannya menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kelangsungan hidup
masyarakat. Upaya pembangunan masyarakat Bali yang berkualitas dapat diwujudkan
melalui upaya Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.
Pembangunan masyarakat Bali yang sejahtera akan menunjang pembangunan
nasional dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan
nasional dan visi Bali MANDARA, perlu dilakukan upaya secara terus menerus
termasuk di bidang keamanan dan ketertiban serta di bidang kesejahteraan rakyat
dengan memberikan perhatian khusus terhadap bahaya dan penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Adapun penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan psikotropika dapat mengancam kehidupan individu,
masyarakat daerah, ketahanan nasional, bangsa, dan negara Indonesia.
Landasan demikian ini, dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan
negara, ditransformasikan kedalam azas pengaturan yang dianut oleh berbagai
peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan dalam
pengaturan FP2N. Pasal 3 UU Narkotika menentukan bahwa Undang-Undang tentang
Narkotika diselenggarakan berasaskan:
a. keadilan;
b. pengayoman;
c. kemanusiaan;
d. ketertiban;
e. perlindungan;
f. keamanan;
g. nilai-nilai ilmiah; dan
h. kepastian hukum.
Azas-azas tersebut mewadahi kepentingan pengaturan P4GN yang berangkat dari
karakteristik narkotika, peredaran dan penyalahgunaan narkotika, dan dampak
peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Asas-asas tersebut menyeimbangkan
kepentingan antara perlakuan hukum terhadap narkotik sebagai zat obat dan narkotik
sebagai obyek peredaran gelap dan penyalahgunaan. Penyeimbangan kepentingan
demikian itu disimpul dengan asas keadilan yang bertujuan untuk melindungi dan
meningkatkan manfaat narkotika dan memberantas sisi merusak dari peredaran dan
penyalahgunaannya.
Azas demikian itu kemudian diperkuat dengan azas perancangan produk legislasi
sebagaimana diatur di dalam UUP3. Pasal 5 UUP3 menentukan bahwa
pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Pasal 6 UUP3 menentukan bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Secara teoritik, asas perancangan dan materi produk hukum daerah itu dapat
disimpulkan kedalam tiga asas hukum primer, yaitu: kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan. Suatu perancangan dan materi produk hukum daerah harus
mencerminkan ketiga asas itu.
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
Landasan sosiologis sesungguhnya merupakan landasan sosiolegal, yaitu
landasan sosiologis hukum. Landasan sosilogis hukum merupakan landasan sosiologis
bagi produk hukum yang akan dibentuk. Landasan ini secara teoritik merupakan
bentuk landasan kontekstual, yaitu landasan yang mensyaratkan produk hukum
daerah berorientasi pada ekspektasi masyarakat Bali. Ekspektasi masyarakat Bali
adalah kebutuhan-kebutuhan yang timbul dari karakteristik narkotika, karakteristik
peredaran dan penyalahgunaan narkotika, dan karakteristik dampak peredaran dan
penyalahgunaan narkotika dalam tata kehidupan masyarakat Bali.
Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang menarik di dunia. Banyaknya
wisatawan mancanegara (wisman) yang menikmati keindahan alam Pulau Bali ini
membawa berkah bagi pendapatan daerah. Di sisi lain juga membawa pengaruh negatif
dalam gaya hidup penggunaan narkotika serta peredarannya. Mengingat tren
penggunaan narkotika saat ini telah dianggap menjadi bagian dari gaya hidup yang
negatif dari anak muda. Maka diperlukannya upaya pencegahan melalui penyadaran-
penyadaran kepada masyarakat akan bahaya narkotika. Pentingnya penyadaran ini,
sebagai daya tangkal meningkatnya jumlah pecandu narkotika serta efektif dalam
mengurangi jumlah peredaran narkotika di Bali. Disamping itu upaya rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika merupakan salah satu cara mengurangi tingkatan
peredaran narkotika di Bali. Dengan demikian pemberantasan narkotika bukan lagi
sebagai tanggung jawab pemerintah semata, melainkan juga tanggung jawab bersama
masyarakat.
C. LANDASAN YURIDIS
Landasan yuridis merupakan landasan validitas norma, yaitu landasan yang
menentukan validitas dan keberlakuan norma. Suatu norma valid hanya jika
pembentuknya memiliki dasar kewenangan dan materinya bersumber pada peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, landasan yuridis Perda
Narkotika yang akan dibentuk adalah: UU Pemda, UU Narkotika, dan peraturan
perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari kedua UU tersebut. peraturan
perundangan itu merupakan peraturan perundang-undangan yang meyediakan
landasan YURIDIS FORMAL dan LANDASAN YURIDIS MATERIAL. Landasan
yuridis formal adalah landasan yang menyediakan dasar kewenangan dan landasan
yuridis material adalah peraturan perundang-undangan yang menyediakan batasan-
batasan luasan materi dan materi peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk.
Landasan demikian ini dicantumkan di dalam bagian dasar mengingat dari produk
hukum yang dibentuk. Lampiran II B.4 angka 24 menentukan bahwa dasar hukum
memuat:
a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan
b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demikian, bagian dasar mengingat hanya memuat undang-undang atau
peraturan perundang-undangan yang MENYEDIAKAN DASAR KEWENANGAN
dan/atau MEMERINTAHKAN PEMBENTUKAN produk hukum yang akan dibentuk.
UU atau Peraturan perundang-undangan yang tidak memuat materi itu tidak perlu
dicantumkan di dalam bagian dasar mengingat. Demikian juga dalam rangka
mengoptimalisasi upaya pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencegah dan
menangani penyalahgunaan narkotika, peraturan daerah Provinsi Bali yang dibentuk
hanya perlu mencamkan peraturan perundang-undangan yang memuat kedua materi
tersebut.
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
Standar materi Bab ini ditentukan di dalam Lampiran I angka 5 UUP3. Naskah
Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum
menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan
diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang
telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup
materi pada dasarnya mencakup:
b. konstruksi judul;
c. konstruksi konsiderans menimbang;
d. konstruksi konsiderans mengingat;
e. konstruksi asas pengaturan;
f. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan
frasa;
g. materi yang akan diatur;
h. ketentuan sanksi; dan
i. ketentuan peralihan.
Berdasarkan standar arahan materi itu dan berdasarkan analisis terhadap materi
Permendagri FP2N, maka kerangka judul, dasar menimbang, dasar mengingat, dan
materi Perda FP2N Pemerintah provinsi Bali sekurang-kurangnya memuat materi
berikut:
a. rancangan judul:
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI
NOMOR [ ]
TENTANG
FASILITASI PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
b. rancangan konsiderans menimbang:
(a) bahwa narkotika merupakan zat obat yang umum digunakan dalam pelayanan
kesehatan dan dapat menjadi sumber masalah sosial apabila disalahgunakan;
(b) bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2013 mengamatkan
pembentukan peraturan daerah dalam rangka penyelenggaraan fasilitasi
pencegahan penyalahgunaan narkotika;
(c) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada hukuf a dan
huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Fasilitasi
pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.
c. konstruksi konsiderans mengingat;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 1958 Tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa
Tenggara Timur.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
- Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
j. konstruksi asas pengaturan;
- keadilan;
- pengayoman;
- kemanusiaan;
- ketertiban;
- perlindungan;
- keamanan;
- nilai-nilai ilmiah; dan
- kepastian hukum.
k. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan
frasa;
l. materi yang akan diatur;
- antisipasi dini;
- pencegahan;
- penanganan;
- rehabilitasi;
- kemitraan dan kerjasama;
- pembinaan dan pengawasan;
- laporan;
- pendanaan; dan
- partisipasi masyarakat, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka
pencegahan penyalahgunaan narkotika.
m. ketentuan sanksi; dan
n. ketentuan peralihan.
BAB VI
PENUTUP
Standar materi Bab ini ditentukan di dalam Lapiran I angka 6 UUP3. Bab
penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. Simpulan memuat rangkuman pokok
pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan
asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan
Perundang-undangan atau Peraturan Perundangundangan di bawahnya.
2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang-
Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program Legislasi Nasional/Program
Legislasi Daerah.
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan
Naskah Akademik lebih lanjut.
A. KESIMPULAN
1. Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa pembentukan Pemerintahan
Negara Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Rumusan alinea ke-4 ini merupakan konstruksi
teoritis faham negara integralisitik yang berorientasi pada perlindungan bangsa
secara menyeluruh, bukan sekelompok atau golongan tertentu. Negara mengambil
peran melindungi dalam arti menjaga dan menyelamatkan segenap bangsa dari
berbagai ancaman bahaya yang membahayakan kehidupan bangsa. Upaya
perlindungan demikian itu dilakukan melalui pembentukan peraturan perundang-
undangan sebagai cerminan konstruktif dari bentuk negara, negara berdasarkan
atas hukum. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus taat asas dan taat
materi pengaturan sebagaimana diatur di dalam UUP3.
2. Kajian empiris terhadap karakteristik narkotika, peredaran dan penyalahgunaan
narkotika, dan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika menunjukkan
bahwa narkotika merupakan zat obat yang potensial disalahgunakan dan menjadi
sumber problem kesehatan dan problem sosial masyarakat. Sifat adiktif pada zat
dan sifat peredaran yang bersifat global dan memanfaatkan teknologi tinggi
melahirkan kebutuhan terhadap arti penting pengaturan P4GN di daerah dengan
batas-batas yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur
kewenangan daerah provinsi berkenaan dengan hal itu.
3. Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan menghasilkan fakta hukum
yang menunjukkan bahwa UU Pemda dan Permendagri FP2N menyediakan alokasi
kewenangan yang menentukan bahwa struktur, ruang lingkup, dan materi
pengaturan P4GN di tingkat provinsi terbatas kewenangan pemerintah provinsi
untuk membentuk Perda provinsi untuk mengatur P4GN terbatas pada pengaturan
FP2N.
4. Permendagri FP2N menentukan bahwa materi Perda Narkotika dalam pengaturan
pencegahan dan penanggulangan dampak peredaran dan penyalahgunaan
narkotika terbatas pada: (a) antisipasi dini; (2) pencegahan; (3) penanganan; (4)
pendanaan; (5) pendanaan; (6) partisipasi masyarakat.
B. SARAN
1. Pemerintah Provinsi Bali disarankan untuk membentuk Perda Provinsi sesuai dasar
kewenangan dan materi kewenangan sebagaimana ditentukan oleh UU Pemda dan
Permendagri FP2N.
2. Perda Provinsi Bali yang mengatur FP2N disarankan menggunakan judul yang
sama dengan Permendagri, yaitu FP2N, sebagai cerminan dari batas materi
kewenangan Pemerintah provinsi dalam mengatur penyelenggaraan P4GN.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Asshidiqqie, Jimly, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Attamimi, Hamid, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia. Badan Narkotika Nasional, 2015, Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkotika Tahun Anggaran 2014, Jakarta. Chen, Lung-chu, 1989, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York. Collin, PH, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dicey, A.V, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition, London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company. George Whitecross Paton,1951, A Text-Book of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford. Kelsen, Hans, 2006, General Theory of Law and State, Transaction Publishers, New Brunswick. Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta. McDougal, Myres S. and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St. Johnston and J. Macdonald Douglas, 1983, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague. Putra, Ida Bagus Wyasa, 2015, Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu Hukum, Udayana University Press.
Putra, Ida Bagus Wyasa, 2015, Analisis Konteks Dalam Epistemelogi Ilmu Hukum, Universitas Udayana. Ranggawidjaja, H. Rosjidi, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung. Soeprapto, Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta. Jurnal Data (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika) P4GN 2013 Edisi 2014. INTERNET Kompas.com, 4 Januari 2015, Kunjungan Wisman Ke Bali Meningkat 14,78 Persen, http://travel.kompas.com/read/2015/01/04/094531627/Kunjungan.Wisman.ke.Bali.Meningkat.14.78.Persen Antarabali.com, 30 Desember 2014, Polda Bali Tuntaskan 947 persen Kasus Narkotika, http://www.antarabali.com/berita/65317/polda-bali-tuntaskan-947-persen-kasus-narkotika Balipost.com, 15 Juli 2014, Di Denpasar Siswa SMP Berani Pesta Narkotika Jenis Baru, http://balipost.com/read/headline/2014/07/15/16924/di-denpasar-siswa-smp-berani-pesta-narkotika-jenis-baru.html Beritadewata.com, 25 Februari 2015, Polresta Denpasar Meringkus Tujuh Pengedar dan Pengguna Narkotika, http://beritadewata.com/Hukum-dan-Kriminal/Hukum/Polresta-Denpasar-Meringkus-Tujuh-Pengedar-dan-Pengguna-Narkotika.html rri.co.id, 17 Juli 2014, Polisi Gerebek Pesta Narkotika di Hotel The Grey Kuta Bali http://rri.co.id/post/berita/92083/daerah/polisi_gerebek_pesta_narkotika_di_hotel_the_grey_kuta_bali.html www.dedihumas.bnn.go.id, Dampak Langsung dan Tidak Langsung Penyalahgunaan Narkotika, ttp://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2014/03/20/957/dampak-langsung-dan-tidak-langsung-penyalahgunaan-narkotika http://www.narcotics.com/history, diakses terakhir 29/10/2015. Single Convention on Narcotic Drug 1961, Protocol Majelis Umum PBB 1972.
Metrotvnews.com, 28 Septeber 2013, BNN: 50 orang Tewas Tiap Hari Akibat Narkotika, http://news.metrotvnews.com/read/2013/09/28/184807/bnn-50-orang-tewas-tiap-hari-di-indonesia-akibat-narkotika http://www.narcotics.com/history, diakses terakhir 29/10/2015. Metrotvnews.com, 28 Septeber 2013, BNN: 50 orang Tewas Tiap Hari Akibat Narkotika, http://news.metrotvnews.com/read/2013/09/28/184807/bnn-50-orang-tewas-tiap-hari-di-indonesia-akibat-narkotika.
LAMPIRAN 1: SPK