82
KERUGIAN EKONOMI AKIBAT KONVERSI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT MENJADI PERTAMBANGAN EMAS (Studi Kasus: Desa Daya Murni, Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi) LAILATUS SAYYIDAH EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

KERUGIAN EKONOMI AKIBAT KONVERSI LAHAN … · Salah satu kegiatan ekonomi yang . 1. ... dan budaya yang dalam ekskalasinya dapat menimbulkan gejolak sosial ... kerja yaitu dari masyarakat

Embed Size (px)

Citation preview

KERUGIAN EKONOMI AKIBAT KONVERSI LAHAN

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT MENJADI

PERTAMBANGAN EMAS (Studi Kasus: Desa Daya Murni, Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo,

Provinsi Jambi)

LAILATUS SAYYIDAH

EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kerugian Ekonomi

akibat Konversi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit menjadi Pertambangan Emas

(Studi Kasus: Desa Daya Murni, Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo,

Provinsi Jambi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2013

Lailatus Sayyidah

NIM H44090088

ABSTRAK

LAILATUS SAYYIDAH. Kerugian Ekonomi akibat Konversi Lahan Perkebunan

Kelapa Sawit menjadi Pertambangan Emas (Studi Kasus: Desa Daya Murni,

Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi). Dibimbing oleh EKA

INTAN KUMALA PUTRI.

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan, untuk

memenuhi kebutuhan tersebut mengekstraksi sumberdaya dalam jumlah yang

lebih banyak. Salah satu kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan tersebut

adalah usaha pertambangan yang dilakukan dengan mengkonversi lahan

perkebunan kelapa sawit. Kegiatan pertambangan tersebut merupakan

pertambangan tanpa izin (PETI). Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi

persepsi multistakeholder terkait kegiatan PETI, mengestimasi nilai kerugian

ekonomi akibat konversi lahan, dan menganalisis willingness to pay perbaikan

kualitas lingkungan pascatambang bagi masyarakat penambang. Penelitian ini

menggunakan analisis deskriptif, teknik loss of earning, contingen valuation

method, dan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

persepsi multi stakeholder terkait kegiatan PETI dilihat dari aspek sosial,

ekonomi, dan lingkungan. Dampak aspek sosial-ekonomi adalah terbukanya

lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, terjadinya kecelakaan penambang,

terjadinya penyempitan lahan perkebunan. Sedangkan dampak aspek lingkungan

adalah rusaknya struktur tanah, menurunnya kesuburan tanah, lahan menjadi tidak

beraturan, dan rusaknya jalan desa dan perkebunan akibat truk pengangkut pasir.

Kerugian ekonomi dari produksi kelapa sawit adalah sebesar Rp 2 066

333.3/orang/bulan. Nilai total WTP penambang adalah Rp 315 000 dengan rata-

rata Rp 10 150. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP adalah jumlah

tanggungan, pendapatan, kondisi lahan, dummy pekerjaan menambang dan

pekerjaan lain.

Kata kunci: Contingent Valuation Method , kerugian ekonomi, konversi lahan,

PETI, Willingness to Pay

ABSTRACT

LAILATUS SAYYIDAH. Economic Losses Due to Conversion of Palm Oil

Plantations into Gold Mining (Case Study: Daya Murni Village, Pelepat Ilir Sub

District, Bungo Regency, Jambi Province). Supervised by EKA INTAN KUMALA

PUTRI.

The increasing of people amount will effect on the demand, to fulfill those

needs it increase the extraction towards resources in some more amount. one of

the economic activities to fulfill those needs is a mining business are carried out

by converting oil palm plantation. The mining activities are mining without

authorization (PETI). This research objective were to identify the perception of

multistakeholder about PETI activity, to estimate the economic loss because land

convertion, and to analyze the willingness to pay (WTP) for of miner society. This

research used descriptive analysis, loss of earning method, contingent valuation

method (CVM), and multiple linear regression. The result showed that the multi

stakeholder perception related to PETI from the aspect of social, economic, and

environmental. The impact socio-ekonomic aspect are opening job, increase

income, mining accidents, and the constriction plantation. While the impact of

environmental aspect is the destruction of soil structure, reduce soil fertility, land

became irreguler, and the destruction of village and plantation roads caused by

sund truck. Economic loss from production of palm oil is Rp 2066

333.3/people/month. The total value of WTP miner is Rp 315 000 with an average

of Rp 10 150. The factors affect on the WTP were the amount of amenability,

income, soil quality, the dummy mine work and other work.

Keywords: Contingent Valuation Method, economic loss, land conversion, PETI,

Willingness to Pay.

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

KERUGIAN EKONOMI AKIBAT KONVERSI LAHAN

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT MENJADI

PERTAMBANGAN EMAS (Studi Kasus: Desa Daya Murni, Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo,

Provimsi Jambi)

LAILATUS SAYYIDAH

EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Judul Skripsi: Kerugian Ekonomi akibat Konversi Lahan Perkebunan Kelapa

Sawit menjadi Pertambangan Emas (Studi Kasus: Desa Daya

Murni, Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo, Provinsi

Jambi)

Nama : Lailatus Sayyidah

NIM : H44090088

Disetujui oleh

Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MS

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Aceng Hidayat, MT

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.

Penelitian tema ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2013, yang berjudul

Kerugian Ekonomi akibat Konversi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit menjadi

Pertambangan Emas (Studi Kasus: Desa Daya Murni, Kecamatan Pelepat Ilir,

Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi).

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terima kasih kepada:

Ibu Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang

telah sabar memberikan pengarahan, bimbingan, dan semangat kepada pebulis.

Bapak Dr Ir Aceng Hidayat, MT sebagai dosen penguji utama.

Bapak Benny Osta Nababan, Spi MSi sebagai dosen penguji wakil departemen.

Kementrian Agama RI yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama

studi dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.

Seluruh guru dan jajaran yayasan PON-PES Miftahul Huda yang telah banyak

memberikan semangat dan membantu proses pendaftaran ke Perguruan.

Keluargaku: Bapak (Islani), Ibu (Umi Mahsunah), Adik (A. Huda, Tutik. M,

Ahmad.T.A, Dina.A.H), beserta keluarga besar yang telah melimpahkan kasih

sayangnya serta memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.

Teman-teman sebimbingan (Silmi, Ayu, Tina, Ai, Febi, Akmal, Hilman),

sahabat-sahabatku (Putri, Tari, Yuni) atas kebersamaannya selama ini, seluruh

temen ESL 46, dan keluarga CSS MoRA IPB (khusunya CSS MoRA IPB 46)

Temen-temen Rumah Pelangi (Hannim, Mba Devi, Dhila, Wiwik, Rini, Wati,

Nur) atas kebersamaanya selama ini.

Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Harapannya semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan

bagi pemerintah setempat untuk mengambil kebijakan dalam perbaikan kualitas

lingkungan akibat kegiatan pertambangan di Desa Daya Murni ataupun di desa

lainnya yang terdapat kegiatan pertambangan.

Bogor, Juli 2013

Lailatus Sayyidah

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ x

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi

I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 5

II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 6

2.1 Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan ......................................... 6

2.2 Pertambangan .................................................................................. 6

2.3 Konversi Lahan ................................................................................ 10

2.4 Persepsi ............................................................................................ 11

2.5 Kehilangan Pendapatan (Loss of Earning) ...................................... 11

2.6 Konsep Willingness to Pay .............................................................. 12

2.7 Regresi Linier Berganda .................................................................. 14

2.8 Penelitian Terdahulu ........................................................................ 14

III KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................. 17

IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 19

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 19

4.2 Jenis dan Sumber Data..................................................................... 19

4.3 Metode Pengumpulan Data.............................................................. 19

4.4 Metode Analisis Data ...................................................................... 20

4.4.1 Identifikasi Persepsi Multi Stakeholder terkait PETI .......... 20

4.4.2 Estimasi Kerugian Ekonomi akibat Konversi Lahan ........... 21

4.4.3 Analisis Willingness to Pay Masyarakat PETI .................... 21

V GAMBARAN UMUM ........................................................................... 27

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................ 27

5.2 Kondisi Sosial Ekonomi .................................................................. 27

5.3 Kondisi Lingkungan ........................................................................ 28

5.4 Karakteristik Responden .................................................................. 30

VI HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 38

6.1 Persepsi Multi Stakeholder terkait Kegiatan PETI ........................... 38

6.2 Kerugian Ekonomi akibat Konversi Lahan ..................................... 42

6.3 Analisis Willingness to Pay Masyarakat PETI ................................. 46

6.3.1 Analisis Nilai Willingness to Pay ........................................... 46

6.3.2 Analisis Fungsi Willingness to Pay ........................................ 49

VII SIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 54

7.1 Simpulan........................................................................................... 54

7.2 Saran ................................................................................................. 54

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 56

LAMPIRAN ....................................................................................................... 58

RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... 66

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Penelitian terdahulu ..................................................................................... 15

2 Matriks analisis data .................................................................................... 20

3 Indikator pengukuran faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP .......... 24

4 Luas lahan perkebunan kelapa sawit yang terkonversi ............................... 29

5 Jumlah penggunaan pupuk sebelum dan setelah ada penambangan ........... 43

6 Rata-rata pendapatan produksi kelapa sawit ............................................... 43

7 Harga sewa lahan/tahun ............................................................................... 45

8 Frekuensi kesediaan/tidak kesediaan responden ......................................... 46

9 Mean WTP responden ................................................................................. 47

10 Total WTP responden .................................................................................. 48

11 Hasil analisis regresi nilai WTP responden ................................................. 49

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Penelitian ..................................................................................... 18

2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin .................................... 30

3 Karakteristik responden berdasarkan usia.................................................... 31

4 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan ........................................ 31

5 Karakteristik responden berdasarkan jumlah tanggungan ........................... 32

6 Karakteristik responden berdasarkan pendapatan ........................................ 33

7 Karakteristik responden berdasarkan kategori penduduk ............................ 33

8 Karakteristik responden berdasarkan lama menambang .............................. 34

9 Karakteristik responden berdasarkan jarak tempat tinggal ke lokasai

tambang ........................................................................................................ 34

10 Karakteristik responden berdasarkan kategori pekerjaan menambang ........ 35

11 Penilaian responden terhadap kondisi lahan ................................................ 35

12 Penilaian responden terhadap kondisi air .................................................... 36

13 Kurva pendugaan penawaran WTP.............................................................. 48

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil analisis regresi linier berganda ........................................................ 58

2 Uji Heteroskedastisitas .............................................................................. 59

3 Uji Normalitas ........................................................................................... 59

4 Perhitungan kerugian ekonomi produksi kelapa sawit.............................. 60

5 Kuesioner .................................................................................................. 61

6 Dokumentasi ............................................................................................. 65

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya baik

sumberdaya yang dapat diperbarui maupun sumberdaya yang tidak dapat

diperbarui. Contoh sumberdaya alam adalah tumbuh-tumbuhan, air, lahan/tanah,

bahan tambang seperti: minyak bumi, gas bumi, batu bara, pasir, dan emas.

Tersedianya sumberdaya alam berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem

alam dan sebagai penyedia kebutuhan serta untuk menjaga keberlangsungan

makhluk hidup. Sehingga, sumberdaya perlu dijaga keseimbangannya agar dapat

dimanfaatkan untuk saat ini dan juga untuk masa yang akan datang dalam rangka

pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Nurshusandari (2009), pembangunan merupakan suatu kegiatan

yang bersifat jangka panjang, untuk mencapai sasarannya diperlukan suatu proses

yang dilaksanakan secara bertahap. Tiap tahapan mempunyai sasaran yang sama,

yaitu untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat seperti

tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, bahwa pembangunan harus

mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik material maupun spiritual.

Hal tersebut menunjukkan pembangunan tidak hanya untuk kesejahteraan

sekelompok masyarakat tertentu tetapi juga untuk kesejahteraan seluruh golongan

masyarakat.

Seiring dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan

jumlah kebutuhan. Seperti yang diketahui jumlah penduduk Indonesia saat ini

(periode tahun 2012/2013) menduduki nomor urut ke-empat setelah Negara

China, India, dan Amerika Serikat. Jumlah penduduknya adalah 237 641 326 jiwa

yang meningkat dari tahun sebelumnya1.

Jumlah penduduk yang banyak akan menambah jumlah kebutuhan, sehingga

perlu dilakukan ekstraksi terhadap sumberdaya dalam jumlah yang lebih banyak.

Kegiatan ekstraksi dengan jumlah yang lebih banyak cenderung akan terjadi

eksploitasi terhadap sumberdaya. Salah satu kegiatan ekonomi yang

1 http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=area&info1=6 [Diakses : 04 Juni 2013].

2

memanfaatkan sumberdaya alam adalah kegiatan industri pertambangan. Menurut

Wahyono (2006), sejak tahun 1970-an, pengembangan industri pertambangan

telah meningkat dengan cepat, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri

maupun luar negeri.

Kegiatan pertambangan sudah cukup menyebar diseluruh pelosok daerah-

daerah di Indonesia yang dilakukan baik oleh perusahaan, perorangan, atau

sekelompok orang. Menurut Herman (2012), kebutuhan ekonomi yang semakin

meningkat dan hasil usaha tambang yang diperkirakan dapat memberikan harapan

kehidupan lebih baik, membuat pelaku-pelaku penambangan mengalihkan usaha

sekunder ini menjadi usaha utama.

Kegiatan pertambangan yang banyak dilakukan oleh masyarakat sangat

tergantung pada sumberdaya alam yang berpotensi mengandung bahan tambang.

Adanya kegiatan pertambangan yang dianggap masyarakat mampu memberikan

harapan kehidupan membuat masyarakat ingin memanfaatkan sumberdaya

semaksimalnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Menurut Wahyono (2006), pertumbuhan industri pertambangan yang

meningkat telah menimbulkan masalah lingkungan hidup dan kesenjangan sosial

ekonomi. Dampak lingkungan dari industri pertambangan yang ditimbulkan

sangat beragam tergantung dari jenis komoditi dan ciri penyebarannya. Selain

dampak lingkungan, kegiatan penambangan dapat menimbulkan dampak sosial,

ekonomi, dan budaya yang dalam ekskalasinya dapat menimbulkan gejolak sosial

dan kriminalitas.

Kegiatan pertambangan mampu meningkatkan pertumbuhan perekonomian

yang dapat menyejahterakan masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat dari dampak

positif terhadap masyarakatnya, yaitu terbukanya lapangan pekerjaan yang dapat

menyerap tenaga kerja yaitu dari masyarakat yang semula tidak memiliki

perkerjaan dengan adanya kegiatan penambangan mereka mendapatkan pekerjaan.

Selain memberikan dampak positif, kegiatan pertambangan juga berpotensi

menimbulkan dampak terhadap perubahan sosial masyarakatnya. Hal ini dapat

dilihat dari perubahan pekerjaan masyarakatnya, misalnya dari pekerja dibidang

sektor pertanian atau perkebunan menjadi bermata pencaharian sebagai pekerja

penambang.

3

Masalah lingkungan biasanya merupakan dampak negatif yang ditimbulkan

dari suatu kegiatan industri ekonomi salah satunya adalah kegiatan pertambangan.

Masalah lingkungan yang timbul dari kegiatan pertambangan adalah pencemaran,

rusaknya lahan, timbulnya polusi tanah, hilangnya kesuburan tanah. Dampak

negatif lainnya yaitu menurunnya tingkat kesuburan tanah yang dapat

mempengaruhi proses produksi sekitar kawasan tambang akibat adanya perubahan

lingkungan.

Kegiatan pertambangan juga terjadi di Provinsi Jambi yakni ditandai dengan

maraknya penambangan liar emas, pasir, maupun batubara diberbagai kabupaten

di Provinsi Jambi seperti Kabupaten Bungo, Kabupaten Sarolangun, dan

Kabupaten Muaro Jambi. Pada awalnya keberadaan tambang emas yang

diupayakan oleh masyarakat secara mandiri semula dianggap baik, namun pada

akhirnya disadari menjadi penyebab kerusakan sumberdaya alam telah menjadi

fenomena tersendiri. Penambangan emas baik di sungai maupun di darat telah

mengakibatkan kerusakan lingkungan yang menimbulkan dampak eksternalitas

kepada masyarakat (RPJM Kab. Bungo, 2006-2011).

Pemerintah yang memiliki wewenang sebagai penentu kebijakan terhadap

pengelolaan sumberdaya yang baik, perlu mengetahui pentingnya suatu

pengelolaan yang dapat meumbuhkan perekonomian daerahnya dengan

memanfaatkan sumberdaya lokal semaksimal mungkin, tentunya tanpa

mengabaikan kualitas lingkungan. Suatu kegiatan ekonomi yang sangat

dibutuhkan oleh masyarakat cenderung akan dilakukan untuk jangka waktu

panjang, sehingga perlu dilakukan penyeimbangan antara pemanfaatan dan

dampak yang akan ditimbulkan dari suatu kegiatan tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Pada tahun 1997-an, kegiatan pertambangan marak terjadi di Kecamatan

Pelepat Ilir yang dilakukan oleh orang perantau. Mereka menggunakan mesin

yang biasa disebut dengan dompeng dalam pekerjaannya, sehingga mereka bisa

mendapatkan emas lebih banyak dari biasanya (manual) yang biasa dilakukan

4

oleh masyarakat setempat. Namun, dampak dari penambangan emas dengan cara

tersebut adalah rusaknya ekosistem (Stroom, 2010).2

Wilayah Kecamatan Pelepat Ilir merupakan salah satu daerah trans di

Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi yang merupakan wilayah sentra perkebunan

kelapa sawit. Kegiatan pertambangan yang terjadi di Kecamatan Pelepat Ilir salah

satunya dilakukan dengan mengkonversi lahan perkebunan kelapa sawit. Sampai

saat ini kegiatan pertambangan tersebut masih dilakukan oleh sebagian

masyarakat lokal dan salah satunya terjadi di Desa Daya Murni.

Kegiatan pertambangan emas di Desa Daya Murni dilakukan dengan

mengkonversi lahan perkebunan kelapa sawit juga. Hal tersebut menyebabkan

terjadinya penyempitan lahan perkebunan yang menyebabkan berkurangnya

produksi kelapa sawit. Selain itu, dari kegiatan pertambangan emas dihasilkan

tumpukan pasir yang banyak sehingga lahan pasca tambang dimanfaatkan oleh

sebagian masyarakat sebagai usaha pertambangan pasir. Dapat diketahui bahwa

dalam satu lokasi terdapat dua kegiatan pertambangan yaitu pertambangan emas

dan pertambangan pasir. Hal ini menjadi suatu fenomena tersendiri karena dua

kegiatan pertambangan tersebut merupakan penambangan ilegal atau biasa disebut

dengan pertambangan tanpa izin (PETI). Kekhawatiran dari kegiatan

pertambangan tanpa izin yaitu jika terjadi perluasan lokasi pertambangan yang

akan berdampak tidak baik terhadap lahan-lahan perkebunan kelapa sawit itu

sendiri.

Munculnya kegiatan pertambangan di Desa Daya Murni sampai saat ini

belum pernah dilakukan pengidentifikasian terhadap dampak yang

ditimbulkannya. Sehingga, dalam penelitian ini bermaksud mengidentifikasi

dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan yang mengkonversi lahan

perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka dapat dibuat pertanyaan

penelitian yang meliputi:

1. Bagaimana persepsi Multi Stakeholder terkait kegiatan PETI di Desa Daya

Murni?

2 http://regional.kompasiana.com/2010/12/12/yang-tersisa-dari-penambangan-emas-ilegal/.

[Diakses : 04 November 2012].

5

2. Berapa kerugian ekonomi produksi kelapa sawit akibat konversi lahan

perkebunan kelapa sawit menjadi pertambangan di Desa Daya Murni?

3. Bagaimana willingness to pay (WTP) perbaikan kualitas lingkungan pasca

tambang bagi masyarakat PETI di Desa Daya Murni?

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah ingin mengetahui kerugian yang

disebabkan oleh kegiatan pertambangan. Sehingga, untuk menjawab tujuan umum

tersebut dilakukan melalui tujuan khusus yang dibuat dalam tujuan penelitian

untuk menjawab pertanyaan penelitian yang meliputi:

1. Mengidentifikasi persepsi Multi Stakeholder terkait kegiatan PETI di Desa

Daya Murni

2. Mengestimasi kerugian ekonomi produksi kelapa sawit akibat konversi lahan

perkebunan kelapa sawit menjadi pertambangan di Desa Daya Murni

3. Menganalisis willingness to pay (WTP) perbaikan kualitas lingkungan pasca

tambang bagi masyarakat PETI di Desa Daya Murni

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) wilayah penelitian

dibatasi di Desa Daya Murni, (2) responden dalam penelitian ini adalah multi

stakeholder, masyarakat penambang di lokasi pertambangan di Desa Daya Murni,

dan pemilik perkebunan kelapa sawit yang di konversi menjadi petambangan di

Desa Daya Murni.

6

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menurut Fauzi (2006), sumber daya didefinisikan sebagai sesuatu yang

dipandang memiliki nilai ekonomi. Sumber daya itu sendiri memiliki dua aspek

yaitu aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumber daya dimanfaatkan

dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumber daya

dan bagaimana teknologi digunakan. Sumber daya dapat dikatakan juga sebagai

suatu komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang

bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Barang dan jasa yang dihasilkan seperti ikan,

kayu, air bahkan pencemaran sekalipun dapat dihitung nilai ekonominya karena

diasumsikan bahwa pasar itu eksis (market based), sehingga transaksi barang dan

jasa tersebut dapat dilakukan.

Sumber daya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat

dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung, juga dapat menghasilkan jasa-

jasa (service) lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya

manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan dan sebagainya. Manfaat-manfaat

tersebut biasa kita sebut sebagai manfaat fungsi ekologis (ecological function)

yang tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai dari

sumber daya. Nilai tersebut tidak hanya nilai pasar (market value) barang yang

dihasilkan dari suatu sumber daya, melainkan juga nilai jasa lingkungan yang

ditimbulkan oleh sumber daya tersebut (Fauzi 2006).

2.2 Pertambangan

2.2.1 Definisi Pertambangan

Menurut undang-undang nomor 4 tahun 2009 yang dimaksud dengan

pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka

penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi

penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan

pascatambang.

7

Berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 27 tahun 1980

tentang penggolongan bahan-bahan galian terbagi atas tiga golongan yaitu:

a. Golongan bahan galian strategis adalah: minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi,

gas alam, bitumen padat, aspal, antrasit, batu bara, bahan-bahan galian

radioaktip, nikel, dan timah.

b. Golongan bahan galian vital adalah: bauksit, tembaga, seng, emas, platina,

perak, air raksa, intan, kristal kwarsa, dan belerang.

c. Golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a atau b adalah:

nitrat, pospat, garam batu, asbes, talk, mika, grafit, magnesit, batu permata,

pasir kwarsa, gips, bentonit, batu apung, tras, marmer, batu tulis, batu kapur,

granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat, dan pasir sepanjang tidak mengandung

unsur-unsur mineral golongan a maupun golongan b dalam jumlah yang

berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.

Berdasarkan undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuan-

ketentuan pokok pertambangan, pelaksanaan penguasaan negara dan pengaturan

usaha pertambangan golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian

vital dilakukan oleh menteri. Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan

usaha pertambangan golongan bahan galian c (tidak termasuk golongan bahan

galian strategis dan vital) dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat yang

terdapat bahan galian tersebut. Usaha pertambangan golongan bahan galian

strategis dilakukan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri dan

dilakukan oleh perusahaan negara.

Industri pertambangan merupakan salah satu industri yang diandalkan

pemerintah Indonesia untuk mendatangkan devisa. Selain mendatangkan devisa

industri pertambangan juga menyedot lapangan kerja serta bagi kabupaten dan

kota merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Industri pertambangan

selain mendatangkan devisa dan menyedot lapangan kerja juga rawan terhadap

pengrusakan lingkungan. Banyak kegiatan penambangan yang mengundang

sorotan masyarakat sekitarnya karena pengrusakan lingkungan, apalagi

penambangan tanpa izin selain merusak lingkungan juga membahayakan jiwa

penambang karena keterbatasan pengetahuan si penambang dan juga karena tidak

adanya pengawasan dari dinas instansi terkait (Yudhistira et al. 2011).

8

Pertambangan tanpa izin (PETI) adalah usaha pertambangan yang dilakukan

oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum

yang dalam operasinya tidak memiliki izin dari instansi pemerintah sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI diawali oleh keberadaan para

penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena adanya faktor

kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, keterlibatan

pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan backing, ketidakharmonisan

hubungan antara perusahaan dengan masyarakat setempat, serta krisis ekonomi

berkepanjangan yang diikuti oleh penafsiran keliru tentang reformasi. Di sisi lain,

kelemahan dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang

menganaktirikan pertambangan oleh rakyat, juga ikut mendorong maraknya PETI

(Sumantri 2007).

2.2.2 Pertambangan Emas

Indonesia memiliki berbagai macam bahan tambang yang terdapat di

berbagai daerah, yaitu: minyak bumi, gas alam, emas, batu bara, bijih besi, dan

aspal. Salah satu jenis bahan tambang yang cukup banyak dan tersebar

ketersediaannya di Indonesia adalah emas yang merupakan salah satu jenis bahan

tambang yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi. Emas hampir dipasarkan

dan diperdagangkan hampir di semua pasar perdagangan bahan tambang di

seluruh dunia. Guna mendapatkan emas yang terletak di permukaan tanah ataupun

yang terletak di daerah aliran sungai tidaklah terlalu sulit. Pencariannya hanya

mempergunakan alat-alat yang sederhana. Teknik pencarian dan pengolahan

limbahnya sangat sederhana. Namun, untuk mendapatkan emas yang terdapat di

dalam lapisan tanah dengan kedalaman tertentu, pencarian emas perlu

dipergunakan alat-alat teknologi dan teknik pencarian yang cukup sulit

(Kurniawan 2010).

2.2.3 Pertambangan Pasir

Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 2009

tentang pertambangan mineral dan batubara, penambangan pasir termasuk salah

satu jenis pertambangan mineral. Pertambangan pasir merupakan pertambangan

kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan di luar panas bumi, minyak,gas

bumi, air, dan tanah.

9

Menurut Harlan (2009) yang mengacu pada BPHN (1976) dalam Rani

(2004), dalam pertambangan umum kita mengenal beberapa macam cara

penambangan yaitu penambangan dalam (under-ground mining), penambangan

terbuka (open-pit mining), penambangan hydrolis (hydraulic mining), dan

pengerukan (dredging), yang dapat dilakukan di darat maupun di laut. Menurut

Shenyakov (1970) dalam Rani (2004) menyatakan bahwa pertambangan bahan

bangunan pasir dan batu menggunakan sistem pertambangan terbuka (open-cut

mining). Hal ini dilakukan karena jenis bahan galian tersebut berada di permukaan

tanah atau dalam kedalaman yang tidak terlalu dalam. Penambangan pasir dapat

dilakukan dengan cara konvensional dan cara mekanis.

2.2.4 Dampak kegiatan pertambangan

Menurut Arwan (2011) yang mengacu pada Direktorat Sumber Daya

Mineral dan Pertambangan (2003) dan Kementerian Lingkungan Hidup (2002),

kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan

maupun pasca pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap

jenis pertambangan, tergantung pada metode dan teknologi yang digunakan.

Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang

yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan emas

tanpa izin yang melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah

lingkungan.

Semakin besar skala kegiatan pertambangan, semakin besar pula area

dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan

dapat bersifat permanen atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula.

Secara umum kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan antara

lain (Dyahwanti 2007):

1. Perubahan vegetasi penutup

2. Perubahan topografi

3. Perubahan pola hidrologi

4. Kerusakan tubuh tanah

Menurut Sujatmiko (2012), mengemukakan penambangan emas membawa

dampak baik yang bersifat positif maupun bersifat negatif. dampak dari sisi

positifnya adalah membuka kesempatan kerja bagi masyarakat lingkar tambang,

10

meningkatnya pendapatan masyarakat, tumbuhnya usaha penunjang kegiatan

pertambangan seperti: usaha warung makan, pabrikasi alat-alat pertambangan

konvensional. Dilihat dari sisi negatifnya adalah pencemaran terhadap air, baik

berupa erosi maupun larutnya unsur-unsur logam berat (leaching) karena sistem

penirisan yang tidak baik, pencemaran udara berupa debu dan kebisingan oleh

mesin penyedot material, perubahan kontur, perubahan alur sungai akibat

penambangan emas di sungai, dan perubahan bantaran sungai akibat

penambangan emas di tebing sungai.

2.3 Konversi Lahan

Menurut Lestari (2009) dalam Mustofa (2011), mendefinisikan alih fungsi

lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi

sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang

direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah)

terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat

diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor

yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk

yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu

kehidupan yang lebih baik.

Menurut Isa (2006) faktor-faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan

pertanian menjadi non pertanian adalah:

1. Faktor kependudukan: pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah

meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas

umum lainnya.

2. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian antara laoin pembangaunan real

estate, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan jasa-jasa lainnya yang

memerlukan lahan yang luas.

3. Faktor ekonomi: tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non

pertanian dibandingkan sektor pertanian.

11

2.4 Persepsi

Menurut Effendy (1984) dalam Nurshusandari (2009), persepsi adalah

penginderaan terhadap kesan yang timbul dari lingkungannya. Daya persepsi

seseorang dapat diperkuat oleh adanya pengetahuan dan pengalaman. Semakin

sering seseorang menempatkan diri dalam komunikasi, akan semakit kuat daya

persepsinya. Secara umum persepsi seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:

(1) diri orang yang bersangkutan (sikap, motivasi, kepentingan, pengalaman dan

harapan; (2) sasaran persepsi (orang, benda atau peristiwa); (3) situasi (keadaan

lingkungan).

2.5 Kehilangan Pendapatan (Loss of Earning)

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 14 tahun 2012

tentang panduan valuasi ekonomi ekosistem gambut menjelaskan mengenai

konsep metode valuasi ekonomi dalam penetapan nilai ekonomi total maupun

nilai ekonomi kerusakan lingkungan digunakan pendekatan harga pasar yaitu

melalui pendekatan produktivitas, pendekatan modal manusia (human capital)

atau pendekatan nilai yang hilang (forgone earning), dan pendekatan biaya

kesempatan (opportunity cost).

Pendekatan Modal Manusia (Human Capital)

Pada pendekatan ini, valuasi yang dilakukan untuk memberikan harga

modal manusia yang terkena dampak akibat perubahan sumber daya alam dan

lingkungan hidup (SDALH). Pendekatan ini sedapat mungkin menggunakan

harga pasar sesungguhnya ataupun dengan harga bayangan. Hal ini terutama dapat

dilakukan untuk memperhitungkan efek kesehatan dan bahkan kematian dapat

dikuantifikasikan harga pasarnya. Salah satu pendekatan ini dapat dilakukan

melalui teknik pendekatan pendapatan yang hilang (Forgone/Loss of Earning).

- Pendapatan yang Hilang (Forgone/Loss of Earning)

Pendekatan ini dapat digunakan untuk menghitung kerugian akibat

pendapatan yang hilang karena perubahan fungsi lingkungan yang berdampak

terhadap manusia.

12

Tahapan pelaksanaannya yaitu:

a) Memastikan bahwa terjadi dampak yang signifikan terhadap perubahan sumber

daya akibat adanya perubahan fungsi lingkungan sehingga menyebabkan

seseorang kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari sumber

daya tersebut.

b) Mengidentifikasi sumber pendapatan yang hilang akibat terganggunya sumber

daya.

c) Menghitung seluruh potensi hilangnya pendapatan.

2.6 Konsep Willingness to Pay

Menurut Fauzi (2006), Willingness To Pay (WTP) adalah keinginan

membayar seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya

alam dan lingkungan. Sebagai contohnya adalah nilai yang hilang akibat degradasi

lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar

lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya. Nilai ekonomi

sumber daya alam dan lingkungan dapat diperoleh langsung dengan menanyakan

kepada individu atau masyarakat mengenai keinginan mereka membayar

(willingness to pay) barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam.

Pengukuran yang dilakukan untuk mendapatkan nilai WTP digunakan pendekatan

Contingent Valuation Method (CVM).

Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non

pemanfaatan) sumber daya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan.

Contingent Valuation Method pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui

keinginan membayar (willingness to pay) dari masyarakat dan atau keinginan

menerima (willingness to accept). Di dalam tahap operasional pendekatan CVM

terdapat lima tahap kegiatan atau proses. Tahapan tersebut dapat dikategorikan

sebagai berikut (Fauzi 2006):

1. Membuat hipotesis pasar

Pada awal proses kegiatan CVM, terlebih dahulu membuat hipotesis pasar

terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi.

13

2. Mendapatkan nilai lelang (Bids)

Tahap berikutnya dalam melakukan CVM adalah memperoleh nilai lelang.

Ini ddilakukan dengan melakukan survei, baik melalui survei langsung dengan

kuesioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Dari ketiga cara

tersebut survei langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari

survei ini adalah untuk memperoleh nilai maksimum keinginan membayar (WTP)

dari responden terhadap suatu proyek, misalnya perbaikan lingkungan. Nilai

lelang bisa dilakukan dengan teknik:

Permainan lelang (Bidding Game). Responden diberi pertanyaan secara

berulang-ulang apakah mereka ingin membayar sejumlah tertentu. Nilai ini

kemudian bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung respon atas pertanyaan

sebelumnya. Pertanyaan dihentikan sampai nilai tetap yang diperoleh.

Pertanyaan terbuka. Responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai

moneter (rupiah yang ingin dibayar) untuk suatu proyek lingkungan.

Payment Cards. Responden diberi pertanyaan apakah mau membayar pada

kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan sebelumnya. Nilai ini

ditunjukkan kepada responden melalui kartu.

Model referendum atau discrete choice (dichotomous choice). Responden

diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak.

3. Menghitung rataan WTP

Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai

rataan WTP setiap individu. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai mean

(rataan) dan nilai median (tengah).

4. Memperkirakan kurva lelang (Bid Curve)

Kurva lelang atau bid curve diperoleh dengan, misalnya meregresikan WTP

sebagai variabel tidak bebas (dependent variabel) dengan beberapa variabel

bebas.

Wi = f (I,E,A,Q)

Keterangan:

Wi = Nilai WTP

I = Pendapatan

E = Jenis pekerjaan

14

A = Usia

Q = Pengeluaran

5. Mengagregatkan data

Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang

yang diperoleh pada tahap ketiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan

sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk

mengkonversi adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga.

2.7 Regresi Linier Berganda

Analisis regresi linear berganda digunakan untuk mengukur pengaruh antara

lebih dari satu variabel dependen (variabel bebas) terhadap variabel independen

(variabel tak bebas). Menurut Juanda (2009), membahas model regresi berganda

(multiple regression model) dengan asumsi bahwa peubah tak bebas (respon) Y

merupakan fungsi linear dari beberapa peubah bebas X1, X2, ..., Xk, dan komponen

sisaan (ε) error. Persamaan model regresi linear berganda secara umum (model

populasi) adalah sebagai berikut:

Yi = 1x1i + 2X2i + X3i +…+ kXki + εi

Keterangan:

Y = Fungsi linier dari beberapa peubah bebas X1, X2,...Xk dan komponen

sisaan ε

i = Nomor pengamatan dari 1 sampai n atau 1 sampai n untuk data

contoh (sample)

Xki = Pengamatan ke-i untuk peubah Xk

Intersep model regresi

= Koefisien regresi

X1, X2 = Variabel bebas

2.8 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan studi pustaka mengenai penelitian tentang dampak yang

ditimbulkan dari kegiatan ekonomi dan juga mengenai masalah lingkungan,

diperoleh beberapa hasil penelitian yang mirip dengan penelitian ini. Penelitian

15

tersebut dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini dan dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1 Penelitian terdahulu

Peneliti Judul Penelitian Analisis Hasil Penelitian

Merryna, A.

(2009)

Analisis Willingness to

Pay

Masyarakatterhadap

Pembayaran Jasa

Lingkungan (Studi

Kasus : Desa Curug

Goong,Kecamatan

Padarincang,Kabupaten

Serang, Banten)

Analisis

regresi logit,

Analisis

CVM, dan

Analisis

regresi

berganda

Nilai rataan WTP responden adalah

Rp. 101/liter/KK sedangkannilai total

WTP adalah Rp. 83.835/liter. Faktor-

faktor yang mempengaruhi nilaiWTP

responden adalah penilaian kualitas

air, jumlah kebutuhan air,jarak rumah

ke sumber air dan rata-rata pendapatan

rumah tangga.

Nursusandari,

E. (2009)

Persepsi, Preferensi

dan Willingness to Pay

Masyarakat terhadap

Lingkungan

Pemukiman Sekitar

Kawasan Industri

(Kasus Kawasan

Industri di Kelurahan

Utama, Cimahi, Jawa

Barat)

Analisis

Chi-Square

dan Rank

Spearman,

Analisis

regresi linier

berganda

Faktor yang berhubungan antara

persepsi responden terhadap

lingkungan adalah jarak tempat tinggal

ke lokasi industri, kondisi keramaian,

kondisi kebisingan, dan kualitas udara.

Faktor yang berhubungan dengan

preferensi adalah pengeluaran, status

tempat tinggal, jarak tempat tinggal ke

lokasi industri, fasilitas air, kondisi air,

kondisi keramaian, kondisi kebisingan,

kebersihan tempat tinggal, jarak

tempat tinggal ke pasar, jarak tempat

tinggal ke sarana angkutan umum, dan

tingkat kriminalitas. Nilai total WTP

masyarakat sebesar

Rp.65.771.800,00/bulan, dan faktor

yang mempengaruhi adalah

pendapatan, jarak tempat tinggal ke

lokasi industri, fasilitas air, kondisi air,

kondisi kebisingan, kualitas udara,

kondisi keramian, tingkat kriminalitas,

preferensi responden terhadap tempat

tinggal, dan persepsi responden

terhadaplingkungan sekitar kawasan

industri.

Harlan,

G.Y.W (2009)

Analisis Nilai Guna

Ekonomi dan Dampak

Penambangan Pasir di

Kecamatan Tamansari

Kabupaten Bogor

Analisis

deskriptif

kualitatif

dan

kuantitatif

Nilai guna dari kegiatan penambangan

pasir adalah Rp 4 368 750 000.

Manfaat yang hilang dari sawah yang

dikonversi menjadi pertambangan

meliputi hilangnya fungsi dan

multifungsi, selain itu manfaat dari

aspek ekonomi, lingkungan, dan

sosial-budaya. Nilai kerusakan

lingkungan akibat kegiatan

penambangan pasir adalah seluas

1.064 Ha lahan sawah, dan hilangnya

produksi padi sebesar Rp 15 604 438

978.6.

16

Persamaan pada penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah membahas

mengenai dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan ekonomi, dan terdapat

persamaan topik yaitu mengenai kegiatan konversi lahan menjadi pertambangan.

Adanya beberapa kesamaan metode yang digunakan dalam penelitian adalah

mengkaji WTP. Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah

lokasi penelitian serta beberapa hal seperti adanya kerugian akibat konversi lahan

perkebunan.

17

III KERANGKA PEMIKIRAN

Sektor usaha pertambangan di Desa daya Murni, Kecamatan Pelepat Ilir,

Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi merupakan salah satu mata pencaharian

sebagian masyarakatnya. Sebagai salah satu mata pencaharian masyarakat

diharapkan dapat menopang perekonomian masyarakat untuk masa sekarang

maupun masa yang akan datang. Namun, keterbatasan sumberdaya alamnya

menyebabkan tidak selamanya sektor tersebut dapat menopang perekonomian

masyarakat.

Peningkatan pemanfaatan lahan (tanah) oleh masyarakat untuk kegiatan

ekonomi akan cenderung mengabaikan aturan-aturan pemanfaatan sumber daya

yang sesuai. Salah satunya adalah kegiatan konversi lahan perkebunan kelapa

sawit yang terjadi di Desa Daya Murni untuk kegiatan pertambangan emas.

Kegiatan pertambangan emas yang menggunakan mesin dompeng menghasilkan

banyak tumpukan pasir sehingga hal ini menumbuhkan kegiatan pertambangan

pasir dilokasi pasca tambang emas. Kegiatan pertambangan yang menimbulkan

dampak terhadap lingkungan tidak hanya pertambangan emas saja, akan tetapi

kegiatan pertambangan pasir juga ikut andil dalam menimbulkan dampak terhadap

lingkungan. Hal ini terjadi karena kegiatan pertambangan pasir mengambil atau

mengeruk pasir yang berada dipermukaan tanah yang dihasilkan dari

pertambangan emas.

Penelitian ini mengkaji persepsi Multi Stakeholder terkait kegiatan PETI di

Desa Daya Murni dengan analisis deskriptif, mengestimasi nilai kerugian

ekonomi kelapa sawit akibat konversi lahan menjadi PETI di Desa Daya Murni

dengan metode pendekatan kehilangan pendapatan (Loss Of Earning), dan

menganalisis nilai WTP penambang untuk perbaikan kualitas lingkungan dengan

metode Contingen Valuation Method (CVM) dan untuk mengetahui faktor yang

berpengaruh terhadap nilai WTP menggunakan analisis regresi linier berganda.

Hasil dari pengkajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan informasi

bagi pemerintah mengenai alternatif yang dapat digunakan sebagai alat untuk

mengambil kebijakan dalam memperbaiki kawasan pascatambang serta

pemanfaatan sumberdaya yang lestari terhadap kawasan-kawasan yang lainnya.

Hal ini tentunya tanpa menterbelakangkan pertumbuhan perekonomian untuk

18

kesejahteraan masyarakatnya. Bagan alur kerangka pemikiran operasional dapat

dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 1 Kerangka Penelitian

Dampak Negatif

- Penyempitan

lahan perkebunan

- Penurunan

kualitas

lingkungan

- Rusaknya lahan

perkebunan

-

Estimasi

Kerugian

ekonomi

kelapa sawit

Persepsi multi

stakeholder

terkait kegiatan

pertambangan

Analisis

deskriptif

CVM, Analisis

regresi linear

berganda

Loss of

earning

Rekomendasi

Dampak Positif

- Penyerapan

tenaga kerja

- meningkatkan

pertumbuhan

perekonomian

masyarakat

Perkebunan kelapa

sawit

Terjadi konversi

lahan perkebunan

menjadi

pertambangan emas

dan pertambangan

pasir

Analisis

willingness to

pay (WTP)

penambang

19

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Daya Murni, Kecamatan Pelepat Ilir,

Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara

sengaja karena wilayah ini sudah cukup lama menjadi tempat penambangan dan

belum pernah ada penelitian yang mengkaji mengenai dampak yang ditimbulkan

akibat kegiatan pertambangan. Pengambilan data primer dalam penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Februari - Maret 2013.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang dibutuhkan adalah data primer dan data

sekunder. Data primer dikumpulkan secara langsung di lapangan melalui

wawancara terhadap responden dengan kuesioner. Pengumpulan data primer ini

dimaksudkan untuk mengetahui persepsi multistakeholder terkait kegiatan

penambangan, kesediaan (willingness to pay) masyarakat penambang untuk

perbaikan kualitas lingkungan akibat kegiatan PETI, dan informasi kerugian

ekonomi produksi kelapa sawit akibat kegiatan PETI. Data sekunder diperoleh

dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bungo, instansi terkait, buku,

internet, dan media lainnya yang mencakup penelitian ini.

4.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik nonprobability

sampling yaitu setiap unsur dalam populasi tidak memiliki kesempatan atau

peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel, bahkan probabilitas anggota

populasi tertentu untuk terpilih tidak diketahui. Pemilihan unit sampling dalam

metode ini didasarkan pada pertimbangan atau penilaian subjektif dan tidak ada

penggunaan teori probabilitas. Pemilihan sampel menggunakan metode accidental

sampling, metode ini dilakukan dengan memilih sampel dari orang atau unit yang

20

paling mudah dijumpai atau diakses (Muhammad 2008). Penentuan jumlah

sampel dalam penelitian ini berdasarkan Gujarati (2007) yang menerapkan

pengambilan sampel sekurang-kurangnya berjumlah 30 orang.

4.4 Metode Analisis Data

Hasil penelitian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif yaitu analisis

deskriptif kualitatif, analisis regresi linier berganda, dan metode loss of earning.

Pengolahan data dilakukan dengan alat bantu komputer Microsoft Office Excell

2010 dan SPSS 16. Pada Tabel 2 dibawah ini diuraikan matriks analisis

yangakandigunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian ini.

Tabel 2 Matriks analisis data

No. Tujuan Penelitian Sumber Data dan Jumlah sample Metode Analisis

Data

1 Mengidentifikasi persepsi

multistakeholder terkait

kegiatan PETI di Desa Daya

Murni

Wawancara terhadap 5

stakeholder

Analisis

deskriptif

2 Mengestimasi kerugian

ekonomi produksi kelapa sawit

akibat kegiatan PETIdi Desa

Daya Murni

Wawancara dengan media

kuesioner terhadap pemilik

perkebunan kelapa sawit

sebanyak 5 orang

Teknik loss of

earning

3 Analisis Willingness to Pay

(WTP) masyarakat PETI di

Desa Daya Murni

Wawancara dengan media

kuesioner kepada 35 penambang

di Desa Daya Murni

CVM, Analisis

regresi linier

berganda

Sumber: Penulis (2013)

4.4.1 Identifikasi Persepsi Multi Stakeholder terkait Kegiatan PETI

Identifikasi persepsi dilakukan dengan wawancara terhadap Multi

Stakeholder (tokoh setempat) yang bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara

kegiatan PETI terhadap dampaknya. Dampak tersebut dilihat dari aspek sosial,

ekonomi, dan lingkungan baik bagi masyarakat penambang maupun non

penambang. Analisis yang akan digunakan untuk hasil penelitian ini adalah

metode analisis deskriptif. Menurut Surakhmad (1990), metode analisis deskriptif

adalah metode yang membicarakan sekarang atau aktual dengan jalan

mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa dan

menginterpretasikannya.

21

4.4.2 Estimasi Kerugian Ekonomi akibat Konversi lahan

Nilai kerugian ekonomi produksi kelapa sawit akibat konversi lahan

perkebunan kelapa sawit menjadi pertambangan didapatkan dengan melakukan

wawancara terhadap responden yang merupakan pemilik perkebunan kelapa sawit

dengan kuesioner. Pertanyaan yang ditanyakan mengenai luas lahan perkebunan

kelapa sawit sebelum dan setelah adanya kegiatan konversi lahan menjadi

pertambangan, produksi kelapa sawit dari sebelum dan setelah adanya

pertambangan, biaya operasional, dan jumlah pupuk. Hasilnya akan dihitung

mengikuti panduan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 14 tahun 2012

tentang valuasi ekonomi ekosistem gambut yang menjelaskan mengenai konsep

teknik kehilangan pendapatan (loss of earning). Pelaksanaan metode memastikan

bahwa telah terjadi perubahan lingkungan yang signifikan terhadap suatu

sumberdaya. Perhitungan akan menggunakan formula sebagai berikut:

ΔP = P1 – P2

Keterangan:

ΔP = Perubahan pendapatan (kerugian) (Rp)

P1 = Pendapatan sebelum ada konversi lahan perkebunan kelapa sawit (Rp)

P2 = Pendapatan setelah adakonversi lahan perkebunan kelapa sawit (Rp)

4.4.3 Analisis Willingness to Pay Masyarakat PETI

Untuk mendapatkan nilai WTP masyarakat PETI dilakukan dengan tahapan

CVM (Fauzi 2006) sebagai berikut:

1. Membuat hipotesis pasar

Pasar hipotesis dibentuk berdasarkan terjadinya penurunan kualitas

lingkungan yang disebabkan karena adanya kegiatan PETI di Desa Daya Murni.

Selain itu, belum pernah ada tindakan untuk memperbaiki atau meminimalkan

dampak dari kegiatan tersebut, sehingga dikhawatirkan semakin parah.

Pemerintah akan memberlakukan kebijakan memperbaiki penurunan kualitas

lingkungan akibat tambang dengan upaya program reboisasi. Perbaikan kualitas

lingkungan dimaksudkan agar kondisi lingkungan lebih baik, misalnya kondisi

lahan tambang kembali subur sehingga kondisi lahan perkebunan lebih baik, dan

22

memperbaiki sistem hidrologi. Kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dan

partisipasi para penambang.

Berdasarkan pasar hipotesis tersebut responden akan memperoleh gambaran

tentang situasi pasar hipotesis yang dibangun mengenai upaya reboisasi untuk

perbaikan kualitas lingkungan pasca tambang. Nilai pembayaran untuk program

reboisasi yang akan diberlakukan akan ditanyakan kepada responden mengenai

besarnya biaya untuk membeli bibit pohon yang akan digunakan untuk reboisasi.

Setiap responden diberikan pertanyaan apakah mereka setuju atau tidak dengan

pembayaran program reboisasi sebagai upaya konservasi yang akan dilakukan.

Sehingga pasar hipotesis ditawarkan dalam bentuk skenario sebagai berikut:

2. Mendapatkan nilai lelang WTP

Metode yang digunakan untuk mendapatkan nilai penawaran dilakukan

dengan metode bidding game. Cara ini dilaksanakan dengan memberi pertanyaan

kepada responden secara berulang-ulang apakah mereka ingin membayar

sejumlah tertentu. Nilai ini kemudian bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung

respon atas pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan dihentikan sampai nilai tetap yang

diperoleh.

3. Menghitung Dugaan Rata-Rata Nilai WTP

Tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan WTP setiap individu.

Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median

(tengah). Perhitungan ini dapat digunakan dengan formula sebagai berikut:

Keterangan:

EWTP = Dugaan rataan WTP

WTPx = Jumlah nilai WTP responden

n = Jumlah responden

i = Responden ke-i yang bersedia membayar

“Bersediakah bapak/ibu/saudara/i berpartisipasi dalam perbaikan kualitas

lingkungan dengan kesediaan/kemampuan membayar, yang akan

digunakan untuk upaya reboisasi pasca tambang di Desa Daya Murni ?”.

23

4. Memperkirakan kurva lelang (Bid Curve)

Kurva lelang atau bid curve diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai

variabel tidak bebas (dependent variabel) dengan beberapa variabel bebas.

Pendugaan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Wi = f (TP, JT, TPRT, KL, KA, PT(dummy), PL(dummy))

Keterangan:

Wi = Nilai WTP responden

TP = Tingkat pendidikan

JT = Jumlah tanggungan

TPRT = Pendapatan rumah tangga

KL = Kondisi lahan

KA = Kondisi air

PT = Dummy pekerjaan menambang (1 = utama; 0 = sampingan)

PL = Dummy pekerjaan lain (1 = iya; 0 = bukan)

5. Mengagregatkan data

Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang

yang diperoleh pada tahap ketiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan

sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Nilai total WTP dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

TWTP = Total WTP responden

WTP = WTP individu ke-i

i = Responden ke-i yang bersedia

ni = Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar sebesar WTP

n = Jumlah sampel

4.4.3.1 Analisis Fungsi Willingness to Pay

Analisis ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap besarnya nilai WTP responden. Analisis yang digunakan adalah regresi

linier berganda. Persamaan regresi besarnya nilai WTP dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

WTP = β0 + β1TPi+β2JTi + β3TPRTi + β4KLi + β5KAi +β6PLi(dummy) +

β7PTi(dummy) + ei

24

Keterangan:

WTP = Nilai WTP responden

β0 = Intersep

β1,…,β7 = Koefisien regresi

TP = Tingkat pendidikan

JT = Jumlah tanggungan

TPRT = Tingkat pendapatan rumah tangga

KL = Kondisi lahan

KA = Kondisi air

PT(dummy) = Dummy pekerjaan penambang (1 = utama; 0 = bukan)

PL(dummy) = Dummy pekerjaan lain (1 = iya; 0 = bukan)

i = Responden ke-i

e = Galat

Besarnya nilai WTP diduga dipengaruhi beberapa faktor yaitu pendidikan,

jumlah tanggungan, pendapatan, penilaian kondisi lahan, penilaian kondisi air,

dummy pekerjaan penambang, dan dummy pekerjaan lain. Indikator pengukuran

variabel dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Indikator pengukuran faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP

No. Variabel Parameter

1 Willingness to pay (WTP) Kesediaan atau kemampuan membayar untuk

perbaikan kualitas lingkungan dengan rebiosasi

pasca tambang, diasumsikan harga bibit/pohon

Rp 5000:

a. Rp 5000 d. Rp 20.000

b. Rp 10.000 e. Rp 25.000

c. Rp 15.000

2 Tingkat pendidikan a. Tidak Sekolah d. SMA/sederajat

b. SD/sederajat e. Perguruan tinggi

c. SMP/sederajat

3 Tingkat pendapatan rumah tangga

a. < Rp 1.000.000

b. Rp 1.000.001-Rp 2.000.000

c. Rp 2.000.001-Rp 3.000.000

d. Rp 3.000.001-Rp 4.000.000

e. > Rp 4.000.000

4 Jumlah tanggungan a. ≤ 2 orang d. 7 – 8 orang

b. 3 - 4 orang e. > 8 orang

c. 5 - 6 orang

5 Kondisi lahan a. Sangat baik d. Rusak

b. baik e. Sangat rusak

c. Agak baik

6 Kondisi air a. Sangat baik d. Buruk

b. baik e. Tidak buruk

c. Agak baik

7 Pekerjaan penambang Dummy: 1= Utama; 0 = bukan

8 Pekerjaan lain Dummy: 1= Iya; 0 = bukan

Sumber: Penulis (2013)

25

4.4.3.2 Pengujian Parameter

Secara statsitik model regresi linier berganda perlu dilakukan suatu

pengujian asumsi yaitu sebagai berikut:

Pengujian secara statistik terhadap model perlu dilakukan dengan cara :

1. Uji Keragaman

R Square (R2) digunakan untuk mengukur proporsi keragaman Y yang

dijelaskan oleh model regresi berganda. R2

sering secara informal digunakan

sebagai statistik untuk kebaikan dari kesesuaian model (goodness of fit) (Juanda

2009).

2. Uji t

Uji t digunakan untuk menguji hipotesis tentang koefisien-koefisien slope

regresi secara individual. Uji t digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan

unit-unit pengukuran variabel dan deviasi standar dari koefisien-koefisien yang

diestimasi (Sarwoko 2005).

Hipotesis:

H0 : B ≥ 0 dan B < 0

H0 : B = 0

3. Uji F

Uji F adalah uji yang dilakukan secara kesluruhan dari suatu model regresi.

dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama

terhadap variable tak bebas. Prosedur pengujian menurut Juanda (2009) adalah :

Hipotesis:

H0 : β2 = β2 = 0

H1 : β2 = β2 0

=

Kriteria keputusannya adalah:

Jika Fhit > Fα maka terima H1

Jika Fhit < Fα maka terima H0

4. Uji Multikolinieritas

Menurut Sarwoko (2005), multikolinieritas adalah suatu pelonggaran

terhadap asumsi bahwa tidak ada hubungan sempurna antar variabel independen

dalam sebuah persamaan regresi. Untuk melihat terjadi atau tidak terjadinya

26

multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai VIF. Ketika nilai VIF < 10 tidak

ada masalah multikolinieritas.

5. Uji autokorelasi

Menurut Sarwoko (2005), Pelonggaran asumsi klasik yang menyatakan

bahwa pengamatan2 yang berbeda tidak terdapat korelasi antar error term. Untuk

mendeteksi adanya autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Watson.

6. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi klasik yang penting dari model regresi linier adalah varian

residual bersifat homoskedastisitas atau bersifat konstan. Pelanggaran asumsi ini

disebut heteroskedastisitas. Menurut Juanda (2009) salah satu cara mendeteksi

ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji glejser.

7. Uji kenormalan

Menurut Sarwoko (2005), Variabel error term memiliki distribusi normal

(asumsi ini bersifat optional, namun biasanya diikutsertakan). Uji ini dilakukan

dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.

27

V GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bungo tahun

2009, Desa Daya Murni terletak ± 16 km dari Kecamatan dan terletak ± 46 km

dari Kabupaten Bungo. Wilayah ini terletak pada ketinggian dari permukaan laut

± 71 mdpl. Menurut wawancara terhadap Kepala Desa Daya Murni (2013), secara

adminstratif batas-batas Desa Daya murni adalah:

Sebelah timur : Desa Maju Jaya

Sebelah selatan : Desa Sumber Mulya

Sebelah barat : Desa Lembah Kuamang

Sebelah utar : Desa Lingga Kuamang.

Desa Daya Murni memiliki luas lahan pemukiman ± 189 hektar, luas

perkebunan kelapa sawit ± 1 502 hektar. Desa Daya Murni terdiri dari 4 kampung,

16 rukun tetangga (RT), dengan jumlah penduduknya adalah 2 684 jiwa yang

terdiri dari 671 kepala keluarga (KK).

Fasilitas sosial dan umum yang terdapat di Desa Daya Murni terdiri dari

masjid sebanyak 2 buah, mushola sebanyak 13 buah. Sarana pendidikan taman

kanak-kanak 1 buah, sarana pendidikan SD 1 buah, MI 1 buah, sarana pendidikan

MTS 1 buah, MA 1 buah, dan sarana kesehatan berupa puskesmas pembantu.

5.2 Kondisi Sosial Ekonomi

Masyarakat Desa Daya Murni sebagian besar bekerja sebagai petani dengan

mayoritas berkebun kelapa sawit, hal ini ditandai dengan terdapatnya perkebunan

kelapa sawit yang ada dengan luas ± 1 502 hektar (BPS, 2009). Perkebunan

kelapa sawit sangat menopang perekonomian penduduknya, karena sejak adanya

perkebunan kegiatan perekonomian semakin maju.

Masyarakat yang tidak memiliki perkebunan kelapa sawit umumnya

bermata pencaharian lain seperti menjadi buruh pemanen sawit, yang memiliki

lahan lain mereka bercocok tanam, dan ada juga yang menambang. Berdasarkan

wawancara terhadap Kepala Desa dan ketua RT (2013) masyarakat yang bekerja

28

menambang khususnya penambang pasir, mereka termasuk orang-orang yang

rendah ekonominya dan tidak memiliki lahan untuk bekerja. Mereka hanya

mengandalkan pekerjaan menambang pasir sebagai pekerjaan utamanya. Berbeda

dengan para penambang emas, sebagian mereka adalah orang-orang yang

ekonominya cukup atau lebih. Hal ini dapat dilihat bahwa penambang emas

biasanya membutuhkan modal yang cukup besar, sedangkan penambang pasir

modalnya tidak terlalu besar dan biasanya menggunakan ala-alat tradisional

seperti cangkul, meskipun ada juga yang telah menggunakan mesin.

5.3 Kondisi Lingkungan

Menurut hasil wawancara terhadap pihak keamanan dan tata tertib (Kasi

Tentatib) yang menangani masalah pertambangan (2013), kegiatan pertambangan

yang terjadi di Kecamatan Pelepat Ilir dimulai sejak tahun 1997-an. Kegiatan

tersebut dilakukan oleh orang perantau yang dalam operasinya menggunakan

mesin dompeng. Kegiatan tersebutpun diikuti oleh masyarakat lokal dan sampai

saat ini masih berlanjut.

Adanya kegiatan pertambangan sebenarnya cukup menopang kebutuhan

ekonomi bagi penambangnya, akan tetapi karena kegiatan tersebut tidak sesuai

dengan peraturan pertambangan maka hal itu menimbulkan masalah baru yang

tidak baik bagi lingkungannya. Kegiatan pertambangan yang terjadi di Desa Daya

Murni dilakukan dengan mengkonversi lahan perkebunan kelapa sawit.

Awal mula kegiatan pertambangan yang dilakukan dengan mengkonversi

lahan perkebunan kelapa sawit yaitu dilakukan di sungai kecil yang mengalir di

perkebunan. Ketika penambang mengetahui bahwa dilokasi tersebut ternyata

sangat berpotensi mengandung bahan galian emas, maka mereka mencoba untuk

melakukan pertambangan di lahan perkebunan kelapa sawit milik petani. Kegiatan

tersebut dilakukan penambang dengan mengontrak lahan perkebunan kelapa sawit

dengan lama mengontrak sesuai kesepakatan. Biasanya kontrak lahan perkebunan

kelapa sawit dilakukan dengan pembayaran kontrak pertahun. Harga kontrak yang

dibayar oleh penambang terhadap pemilik perkebunan kelapa sawit sesuai

kesepakatan kedua belah pihak. Harga kontrak menggambarkan nilai ekonomi

29

dari lahan perkebunan kelapa sawit yang ditambang dan produksi kelapa sawit

dari perkebunan kelapa sawit itu sendiri.

Berdasarkan informasi yang didapat dari pemilik perkebunan kelapa sawit

yang ditambang di Desa Daya Murni harga kontrak lahan ditentukan sesuai

dengan luas lahan yang dijadikan lokasi pertambangan. Lahan perkebunan kelapa

sawit yang dijadikan lokasi pertambangan seluas 3 hektar dari 10 hektar dengan

jumlah pemilik 5 orang, sedangkan sisa lahan perkebunan kelapa sawit yang

masih utuh adalah 7 hektar. Informasi luas lahan perkebunan kelapa sawit dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Luas lahan perkebunan kelapa sawit yang terkonversi

No. Luas lahan (Ha)

Sebelum Setelah Terkonversi/ ditambang

1 2 1.5 0.5

2 2 1 1

3 2 1.5 0.5

4 2 1.5 0.5

5 2 1.5 0.5

Total 10 7 3

Sumber: Data primer diolah (2013)

Pada Tabel 4 diketahui bahwa luas lahan perkebunan kelapa sawit milik

petani masing-masing sebelum ada kegiatan pertambangan adalah 2 hektar.

Pemilikan luas lahan perkebunan tersebut didapatkan dari pemerintah sebagai

penduduk transmigran, yang dalam kurun waktu tertentu pemilikan lahan

perkebunan kelap sawit tersebut menjadi milik pribadi.

Diketahui seluruh luas lahan yang terkonversi atau lahan perkebunan yang

dijadikan sebagai lokasi pertambangan adalah 3 hektar, dengan rincian

perkebunan yang terkonversi milik setiap petani antara 0.5 hektar dan 1 hektar.

Harga kontrak lahan antar petani berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan antara

penambang dengan pemilik perkebunan kelapa sawit.

Kegiatan pertambangan emas tersebut meninggalkan lahan-lahan bekas

tambang yang sudah menjadi padang pasir. Adanya tumpukan pasir yang sangat

banyak, dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Desa Daya Murni untuk kegiatan

usaha pertambangan pasir. Kegiatan pertambangan pasir ini ada yang dijadikan

sebagai lapangan pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan.

30

Dampak dari kegiatan pertambangan menyebabkan terjadinya perubahan

pada produksi kelapa sawit, hal ini dikarenakan terjadi penyempitan lahan

perkebunan. Perubahan yang terjadi tidak hanya produksinya saja, akan tetapi

dengan lahan perkebunan kelapa sawit yang lebih sempit terjadi peningkatan

jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk perawatan perkebunan kelapa sawit. Hal ini

sangat erat kaitannya dengan kegiatan pertambangan tersebut yang menyebabkan

penurunan kesuburan tanah. Disisi lain adanya truk pengangkut pasir yang masuk

ke lahan perkebunan ikut berpartisipasi dalam perubahan kondisi lahan

perkebunan.

5.4 Karakteristik Responden

Karakteristik umum responden penambang Desa Daya Murni berdasarkan

data hasil survei terhadap 35 responden penambang yang terdiri dari penambang

emas dan penambang pasir. Karakteristik umum responden dapat dilihat dari

berbagai kriteria yang dijelaskan dibawah ini.

5.4.1 Jenis Kelamin Responden

Responden dalam penelitian berjumlah 35 orang dengan jumlah responden

laki-laki 28 orang (80%), sedangkan responden perempuan berjumlah 7 orang

(20%). Responden didominasi laki-laki karena sebagian besar pekerja tambang

laki-laki, hal ini dikarenakan pekerjaan menambang merupakan pekerjaan yang

berat.Adapun responden perempuan yang bekerja sebagai penambang bekerja

dengan suaminya, namun ada juga yang sendiri.Responden perempuan disini

merupakan pekerja tambang pasir.Perbandingan responden laki-laki dan

responden perempuan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin (2013)

80%

20%

Laki-laki Perempuan

31

5.4.2 Usia

Tingkat usia responden sangat bervariasi dimulai dari 20 tahun sampai 60

tahun. Jumlah responden terbanyak terdapat pada kisaran usia 36-43 tahun yaitu

berjumlah 10 orang atau 29%. Responden yang berusia pada kisaran 20-27 tahun

berjumlah 8 orang atau 23%, responden yang berusia pada kisaran 28-35 tahun

berjumlah 9 orang atau 26%, responden yang berusia pada kisaran 44-51 tahun

berjumlah 5 orang atau 14%, dan responden yang berusia > 51 tahun berjumlah 3

orang atau 8%. Distribusi tingkat usia responden dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan distribusi usia (2013)

5.4.3 Pendidikan

Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan responden

dalam penelitian yang terbanyak yaitu berpendidikan Sekolah Dasar (SD)

berjumlah 18 orang atau 52%, responden yang tidak sekolah berjumlah 4 orang

atau 11 %, responden yang berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP)

berjumlah 9 orang atau 26%, dan responden yang berpendidikan sekolah

menengah atas (SMA) berjumlah 4 orang atau 6%.

Gambar 4 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan (2013)

23%

26% 29%

14% 8%

20-27

28-35

36-43

44-51

> 51

11%

52%

26%

11% Tidak sekolah

SD

SMP

SMA

PT

32

5.4.4 Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan responden mayoritas berada pada selang 3-4 orang

berjumlah 21 responden (60%).Jumlah tanggungan yang dimaksudkan adalah

mencakup keluarga anak dan istri/suami. Responden yang jumlah tanggungannya

≤ 2 orang berjumlah 9 orang atau 26%, responden yang jumlah tanggungannya

pada selang 5-6 orang berjumlah 4 orang atau 11%, dan responden yang jumlah

tanggungannya pada selang 7-8 orang berjumlah 1 orang atau 3%. Perbandingan

persentase jumlah responden sesuai dengan jumlah tanggungan masing-masing

dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Karakteristik responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga

(2013)

5.4.5 Pendapatan Rumah Tangga

Tingkat jumlah pendapatan rumah tangga responden yaitu responden yang

memiliki pendapatan ≤ Rp 1000.000 berjumlah 7 orang (20%), responden dengan

pendapatan Rp 1.000.001-Rp 2.000.000 berjumlah 15 orang (43%), responden

dengan pendapatan Rp 2.000.001-Rp 3.000.000 berjumlah 8 orang (23%),

responden dengan pendapatan Rp 3.000.001 - Rp 4.000.000 berjumlah 3 orang

(8%), responden dengan pendapatan > Rp 4.000.000 berjumlah 2 orang (6%).

Perbandingan persentase jumlah responden sesuai dengan jumlah pendapatan

masing-masing dapat dilihat pada Gambar 6.

26%

60%

11%

3%

≤ 2 orang

3-4 orang

5-6 orang

7-8 orang

> 9 orang

33

Gambar 6 Karakteristik responden berdasarkan pendapatan rumah tangga (2013)

5.4.6 Kategori Penduduk

Sebagian responden merupakan penduduk asli yaitu 33 orang atau 94% dari

keseluruhan responden, sedangkan penduduk pendatang berjumlah 2 orang atau

6% yang rinciannya dapat dilihat pada Gambar 7. Penduduk pendatang ini berasal

dari daerah Padang dan Jawa Tengah dengan alasan pindah untuk mencari kerja

dan tujuan imigrasi.

Gambar 7 Karakteristik responden berdasarkan kategori penduduk (2013)

5.4.7 Lama Menambang

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat lama responden bekerja sebagai

penambang yaitu yang paling banyak adalah ≤ 2 tahun dengan jumlah responden

16 orang atau 46%, lama kerja pada selang 3 - 4 tahun berjumlah 4 orang atau

11%, lama kerja pada selang 5 - 6 tahun berjumlah 4 orang atau 11%, lama kerja

lebih dari 9 tahun berjumlah 11 orang atau 32%, dan tidak ada responden yang

lama kerjanya berada pada selang 7 - 8 tahun.

20%

43%

23%

8% 6%

≤ Rp 1000000

Rp 1000001-Rp 2000000

Rp 2000001-Rp 3000000

Rp 3000001-Rp 4000000

> Rp 4000000

94%

6%

Asli

Pendatang

34

Gambar 8 Karakteristik responden berdasarkan lama menambang (2013)

5.4.8 Jarak Tempat Tinggal Ke Lokasi Kerja

Jarak tempat tinggal responden ke lokasi kerja tambang dapat dilihat pada

Gambar 9, dengan rincian tempat tinggal responden dengan jarak ≤ 500 m

berjumlah 11 orang atau 31%, jarak antara 501 – 1000 m berjumlah 8 orang atau

23%, tidak ada responden yang jarak rumah ke lokasi tambang antara 1001 - 1500

m, jarak 1501 – 2000 m berjumlah 4 orang atau 12%, jarak > 200 m berjumlah 12

orang atau 34%.

Gambar 9 Karakteristik responden berdasarkan jarak tempat tinggal ke lokasi

tambang (2013)

5.4.9 Pekerjaan Menambang

Pekerjaan menambang merupakan pekerjaan utama bagi sebagian responden

yaitu berjumlah 11 orang atau 31% dan sebagian besar bukan pekerjaan utama

yaitu berjumlah 24 orang atau 69%, responden ini pekerjaan utamanya adalah

bertani, buruh tani, dan lainnya (bertani, tukang).Distribusi pekerjaan penambang

responden dapat dilihat pada Gambar 10.

46%

11%

11% 0%

32% ≤ 2 tahun

3 - 4 tahun

5 - 6 tahun

7 - 8 tahun

> 9 tahun

31%

23%

0%

12%

34% ≤ 500 m

501-1000 m

1001-1500 m

1501 - 2000 m

> 2001 m

35

Gambar 10 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan menambang (2013)

5.5 Penilaian Responden terhadap Lingkungan akibat Kegiatan PETI

Kondisi lingkungan sekitar lokasi tambang menggambarkan karakteristik

lokasi tersebut saat ini yang dirasakan oleh responden akibat kegiatan PETI.

Karakteristik tersebut didapatkan berdasarkan jawaban responden mengenai

perubahan kondisi lingkungan yang mereka rasakan sebagai dampak dari

kegiatan PETI. Karakteristik tersebut dapat dibedakan berdasarkan kriteria kondisi

lahan akibat kegiatan PETI, kondisi suhu, dan kondisi kualitas air.

5.5.1 Kondisi Lahan akibat PETI

Penilaian kondisi lokasi akibat kegiatan PETI oleh responden

menggambarkan kondisi lahan yang sebenarnya lokasi bekas tambang. Apabila

kondisi lahan sangat rusak maka akan berpengaruh terhadap lahan sekitar lokasi

pertambangan sehingga akan berdampak tidak baik terhadap lahan sekitarnya.

Penilaian kondisi lahan akibat PETI oleh responden dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Penilaian kondisi lahan akibat PETI (2013)

31%

69%

Utama Bukan

12%

54%

20%

14%

0%

Sangat rusak

rusak

agak rusak

tidak rusak

sangat tidak rusak

36

Berdasarkan penilaian responden menunjukkan bahwa kondisi lahan bekas

tambang rusak yang ditunjukkan dengan persentase 54% (19 orang), selanjutnya

penilaian responden bahwa kondisi lahan bekas tambang sangat rusak sebesar

12% (4 orang), dan 20% (7 orang) responden menyatakan kondisi lahan agak

rusak, dan responden yang menyatakan kondisi lahan tidak rusak sebanyak 14%

(5 orang).

5.5.2 Kondisi Air

Kondisi air sangat mempengaruhi tingkat kesehatan penggunanya, karena

air merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Jika

kualitas air tidak bagus maka kesehatan pengguna juga akan cenderung tidak

bagus begitu juga sebaliknya, baik air tersebut dikonsumsi langsung atau untuk

keperluan lainnya. Penilaian responden mengenai kondisi air menunjukkan

kondisi air yang sesungguhnya yang dikaitkan dengan adanya kegiatan

tambang.Penilaian responden terhadap kondisi air dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Penilaian kondisi air akibat PETI (2013)

Kualitas air dikategorikan dalam lima kelompok, kelompok pertama yaitu

air keruh, berbau, berasa dan berkurang, kelompok kedua air tidak keruh, berbau,

berasa dan berkurang, kelompok ketiga air tidak keruh,tidak berbau, berasa dan

berkurang, kelompok keempat air tidak (keruh, berbau, berasa), tetapi berkurang,

dan kelompok kelima air tidak (keruh, berbau, berasa dan berkurang).

Kondisi air menurut responden sebagian besar cukup baik, walaupun ada

yang berpendapat bahwa kondisi air tidak baik hal ini dikarenakan responden

yang diwawancara bertempat tinggal di sekitar lokasi pertambangan dan yang

rumahnya dekat dengan lokasi pertambangan. Responden yang menyatakan

9%

14%

57%

20%

Buruk

Agak buruk

Baik

Sangat baik

37

bahwa kondisi air buruk yaitu 9% atau sebanyak 3 orang. Responden yang

menyatakan kondisi air agak buruk ditunjukkan dengan persentase sebesar 14%

atau 5 orang. Responden yang menyatakan kondisi air baik ditunjukkan dengan

persentase sebesar 57% atau 20 orang, dan responden yang menyatakan kondisi

air sangat baik ditunjukkan dengan persentase sebesar 20% atau 7 orang.

38

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Persepsi Multi Stakeholder terkait Kegiatan PETI

Hasil dari wawancara terhadap para tokoh-tokoh masyarakat dan salah satu

masyarakat sekitar kawasan tambang memiliki perbedaan persepsi mengenai

keterkaitan kegiatan pertambangan. Persepsi kegiatan pertambangan dikaitkan

dengan aspek sosial - ekonomi dan aspek lingkungan. Penjelasan aspek-aspek

tersebut dapat dilihat dalam uraian sebagai berikut:

a. Aspek Sosial dan Ekonomi

Berdasarkan hasil wawancara mengenai persepsi keterkaitan kegiatan

pertambangan dilihat dari aspek sosial-ekonomi. Persepsi ini dilihat dari sudut

pandang yang berbeda yaitu dampak positif dan dampak negatif. Pemaparan dapat

dilihat sebagai berikut:

1. Dampak Positif

Dampak positif yang ditimbulkan kegiatan pertambangan baik

pertambangan emas atau pasir dilihat dari aspek sosial dan ekonomi bagi sebagian

masyarakat di Desa Daya Murni, yaitu masyarakat yang bekerja sebagai

penambang (emas dan pasir).

- Terbukanya lapangan pekerjaan: terjadi penyerapan tenaga kerja bagi

masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan, baik penduduk asli atau pendatang.

Tersedianya pekerjaan menambang tersebut ada yang menjadikannya sebagai

pekerjaan utama ataupun sebagai pekerjaan sampingan. Penambang di Desa

Daya Murni yang tercatat dalam penelitian ini sebanyak 35 orang, terdiri dari

18 penambang emas dan 17 penambang pasir. Pekerjaan menambang utama

sebanyak 9 penambang, selebihnya adalah merupakan pekerjaan sampingan.

- Pendapatan bagi masyarakat yang sebelumnya adalah pengangguran.

Berdasarkan hasil wawancara, khususnya penambang pasir utama penghasilan

yang mereka dapatkan dari menambang pasir cukup untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Namun, dari usaha pertambangan pasir tersebut tidak

setiap hari mereka mendapat masukan karena pasir yang mereka kumpulkan

tidak setiap hari terjual. Harga jual pasir/trip adalah berkisar antara Rp 100 000

39

sampai Rp 150 000. Bagi penambang pasir sampingan, pekerjaan ini dilakukan

karena untuk mengisi waktu luang mereka daripada menganggur.

- Adapun bagi penambang emas baik pekerja utama maupun sampingan

merekapun mengandalkan pekerjaan tersebut, karena pekerjaan menambang

yang hasilnya menjanjikan. Harga jual emas/gram yang diketahui dari

penambang pada saat itu berkisar antara Rp 400 000 hingga Rp 500 000.

Adapun masyarakat penambang pasir merupakan masyarakat yang tingkat

ekonominya menengah kebawah, sedangkan penambang emas merupakan

masyarakat yang tingkat ekonominya menengah keatas. Hal ini cukup

menggambarkan bahwa kegiatan pertambangan emas dan pasir sangat jauh

berbeda, dilihat dari modal yang berbeda. Pemaparan diatas dapat disimpulkan

bahwa kegiatan pertambangan sangat menguntungkan bagi penambang.

2. Dampak Negatif

Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan dilihat dari

aspek sosial dan ekonomi terhadap masyarakat baik penambang maupun

masyarakat non penambang yaitu:

- Dampak negatif bagi masyarakat penambang yaitu adanya kecelakaan yang

menimpa penambang. Hal ini ditandai adanya beberapa pekerja yang

meninggal dikarenakan tertimbun oleh tanah (khusus penambang emas).

Karena pekerjaan menambang merupakan pekerjaan berat yang dalam

bekerjanya harus menggali tanah dengan kedalaman tertentu.

- Kegiatan pertambangan marak pada tahun 1997-an, yang dilakukan dengan

merusak lahan perkebunan kelapa sawit. Hal ini menimbulkan konflik bagi

masyarakat non penambang, dengan melakukan aksi demo terhadap para

penambang. Namun, cara ini tidak membuat jera para penambang malah

kegiatan pertambangan semakin tersebar di berbagai desa di Kecamatan

Pelepat Ilir. Hal ini dikarenakan faktor kebutuhan ekonomi, dan hasil

pertambang yang menjanjikan penambangnya.

- Hilangnya sebagian lahan perkebunan kelapa sawit yang dikonversi menjadi

lahan pertambangan menyebabkan penurunan pendapatan petani dari produksi

kelapa sawit. Konversi lahan menyebabkan terjadinya penyempitan lahan

40

perkebunan kelapa sawit. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan ekonomi

bagi petani.

- Hilangnya atau terjadinya penyempitan lahan perkebunan kelapa sawit yang

berkepanjangan akan menghilangkan pekerjaan bagi buruh petani. Hal ini

berdampak tidak baik bagi buruh-buruh tersebut.

- Terganggunya perjalanan petani/pengguna jalan akibat rusaknya perjalanan

perkebunan yang disebabkan karena adanya truk pengangkut pasir yang keluar

masuk melewati jalanan perkebunan. Hal ini menyebabkan menurunnya

kenyamanan petani saat mereka akan melakukan aktivitasnya di perkebunan

mereka.

- Selain jalan perkebunan yang rusak, jalan desa juga mengalami perubahan

yang mengakibatkan kenyamanan masyarakat pengguna jalan menurun. Hal ini

ditandai amblasnya jalanan tersebut, lalu ditimbun dengan kerikil-kerikil atau

batu-batuan. Adanya kerikil-kerikil atau batu-batuan tersebut menyebabkan

jalanan tidak rata.

- Selain itu, kendaraan truk yang sering melewati pemukiman mengganggu

ketenangan warga. Misalnya, pada siang hari saat istirahat dan berkumpul

dengan keluarga, truk pengangkut pasir masih tetap beroperasi.

b. Aspek Lingkungan

Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan ditinjau dari aspek

lingkungan terdiri atas pertambangan emas dan pertambangan pasir. Kegiatan

pertambangan dilihat dari kegiatannya yang mengkonversi lahan perkebunan

kelapa sawit serta terhadap lahan yang di tambang. Dampak kegiatan

pertambangan emas dari aspek lingkungan yaitu:

- Terjadinya penyempitan lahan perkebunan kelapa sawit. Hal ini

menggambarkan hilangnya sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat

untuk jangka panjang.

- Rusaknya struktur tanah. Rusaknya kondisi lahan/tanah yang ditambang

menyebabkan tanah tidak dapat dimanfaatkan kembali untuk kegiatan

pertanian. Dahulunya lahan pertambangan merupakan lahan perkebunan.

- Lahan-lahan yang telah ditambang saat ini menjadi hamparan padang pasir.

Selain itu terdapat lubang-lubang yang terisi oleh air hujan.

41

- Menurunnya kesuburan tanah. Kegiatan pertambangan emas yang dilakukan

dengan menggali tanah mengakibatkan pasir terangkat keatas permukaan

tanah. Hal ini mengakibatkan lapisan tanah menjadi tidak beraturan, sehingga

tanah sudah tidak produktif lagi karena sudah tercampur atau tercemar oleh

bahan kimia yang digunakan dalam kegiatan tambang.

- Penurunan kesuburan tanah tidak hanya terjadi dilokasi yang ditambang saja,

akan tetapi lahan perkebunan sekitar kawasan lokasi pertambangan juga

mengalami penurunan kesuburan tanah. Hal ini ditandai dengan terjadinya

peningkatan jumlah pupuk yang digunakan untuk perawatan perkebunan.

Informasi peningkatan jumlah penggunaan pupuk didapatkan dari wawancara

terhadap pemilik lahan perkebunan kelapa sawit yang dikonversi menjadi

pertambangan. Selain itu tanaman kelapa sawit yang dekat lokasi

pertambangan daunnya menguning, bahkan kelapa sawit sulit berproduksi

bahkan tidak dapat berproduksi lagi.

- Hilangnya aliran sungai kecil. Sungai kecil yang dulu terdapat di perkebunan

dan terdapat species ikan, sekarang menjadi tidak beraturan/hilang karena

tertimbun oleh pasir-pasir.

Dampak dari kegiatan pertambangan pasir merupakan dampak lanjutan

(dampak positif bagi masyarakat) dari kegiatan pertambangan emas, karena

penambangan pasir ini mengambil pasir dari lokasi bekas pertambangan emas

yang terdapat banyak hamparan pasir. Dampak kegiatan pertambangan pasir

dilihat dari aspek lingkungan yaitu sebagai berikut:

- Lahan-lahan menjadi atau semakin tidak beraturan, karena pengambilan pasir

dengan cara mengeruk/mengumpulkan membekaskan lubang dimana-mana.

Apalagi jika kegiatan pengambilan terus berlangsung dan tidak adanya

kegiatan yang menyeimbangkan (konservasi) maka dikhawatirkan untuk

jangka panjang akan menjadikan lahan tersebut sama sekali tidak dapat

dimanfaatkan.

- Adanya penumpukan pasir dilokasi perkebunan kelapa sawit, dalam jangka

waktu panjang akan meyebabkan kerusakan terhadap perkebunan itu sendiri.

Selain itu tanah-tanah akan bercampur dengan pasir yang dapat mengakibatkan

penurunan kesuburan tanah.

42

- Truk-truk pengangkut pasir yang melewati jalanan desa, mengakibatkan jalan

menjadi rusak. Hal ini ditandai dengan amblasnya jalanan, sehingga untuk

menimbun jalanan yang amblas dilakukan penimbunan dengan kerikil/batu-

batuan.

- Selain itu, untuk mengambil pasir truk pengangkut pasir masuk ke lahan

perkebunan kelapa sawit. Hal ini juga dapat merusak jalanan perkebunan yang

merupakan fasilitas para petani.

6.2 Kerugian Ekonomi akibat Konversi Lahan

Seiring dengan adanya kegiatan pertambangan yang mengkonversi lahan

perkebunan kelapa sawit menyebabkan terjadinya penyempitam lahan perkebunan

kelapa sawit. Hal ini yang menyebabkan terjadinya kehilangan pendapatan petani

dari produksi kelapa sawit dari luas lahan yang ditambang. Sedangkan lahan

perkebunan kelapa sawit yang tidak ditambang juga menerima dampak akibat

adanya perubahan kondisi kesuburan tanah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya

peningkatan jumlah pupuk yang digunakan untuk perawatan kelapa sawit.

Peningkatan jumlah pupuk mengindikasikan peningkatan biaya operasional.

Kondisi-kondisi tersebut merupakan kondisi kerugian yang diakibatkan karena

adanya perubahan lingkungan setelah adanya kegiatan pertambangan.

a. Peningkatan Jumlah Pupuk

Peningkatan jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk memupuk kelapa sawit

merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari adanya kegiatan

pertambangan. Awal mula terjadinya perubahan kondisi lingkungan dikarenakan

adanya kegiatan pertambangan emas yang mengkonversi lahan perkebunan kelapa

sawit, selanjutnya pada lahan pasca tambang emas terkonversi lagi menjadi

pertambangan pasir. Terjadinya perubahan penggunaan jumlah pupuk sebelum

dan setelah terjadi konversi lahan menjadi pertambangan dapat dilihat pada Tabel

5.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa jumlah pupuk yang digunakan sebelum

terjadi konversi lahan perkebunan kelapa sawit menjadi pertambangan yaitu 84

karung pupuk dengan rata-rata 16.8 karung pupuk/orang/2 hektar/pemupukan.

43

Pada kondisi ini rata-rata total biaya sebesar Rp 6 470 000/orang. Adapun jumlah

pupuk yang digunakan setelah terjadi konversi lahan perkebunan terjadi

peningkatan sebanyak 26 karung pupuk yang menjadi 110 karung pupuk atau rata-

rata 22 karung pupuk/orang/2 hektar/pemupukan. Peningkatan biaya operasional

pupuk ini rata-rata menjadi Rp 8 44 800/orang/pemupukan.

Tabel 5 Jumlah penggunaan pupuk sebelum dan setelah ada penambangan

Jumlah pupuk sebelum ada penambangan

Luas lahan (Ha) Pupuk (karung) Jumlah biaya (Rp)

Total 10 84 32350000

Rata-rata 2 16.8 6470000

Jumlah pupuk sebelum ada penambangan

Total 7 110 42240000

Rata-rata 1.4 22 8448000

Sumber : Data primer diolah (2013)

Penambahan jumlah pupuk yang digunakan dalam perawatan perkebunan

dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi kesuburan tanah agar kelapa sawit tetap

dapat berproduksi. Penambahan jumlah pupuk ternyata cukup baik untuk menjaga

produksi kelapa sawit. Hal ini ditunjukkan bahwa produksi kelapa sawit setelah

terjadi penambangan tetap seperti sediakala sesuai dengan persentase luasan lahan

yang masih terdapat kelapa sawit.

b. Kehilangan Pendapatan

Terjadinya konversi lahan perkebunan kelapa sawit menyebabkan terjadinya

penyempitan lahan perkebunan tersebut. Terjadinya penyempitan lahan

perkebunan kelapa sawit mengindikasikan berkurangnya jumlah pohon kelapa

sawit yang seharusnya dapat berproduksi. Hal ini yang menyebabkan terjadinya

penurunan/hilangnya produksi kelapa sawit, sehingga pendapatan dari produksi

kelapa sawit hilang.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap pemilik perkebunan kelapa sawit

yang terkonversi didapatkan hasil pendapatan dari produksi kelapa sawit dari

sebelum dan setelah terjadi kegiatan pertambangan. Selain itu jumlah biaya

operasional yang dikeluarkan dari sebelum dan setelah adanya kegiatan

pertambangan. Data perubahan pendapatan dapat dilihat pada tabel berikut:

44

Tabel 6 Rata-rata pendapatan produksi kelapa sawit

Kondisi Luas lahan

(Ha)

Produksi/6

bulan (kg)

Harga/kg

(Rp)

Biaya operasional /6

bulan (Rp)

Pendapatan/6

bulan (Rp)

Sebelum 2 27840 1100 10729000 19895000

Setelah 1.4 17520 1100 11775000 7497000

Sumber : Data primer diolah (2013)

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa luas lahan sebelum terjadi kegiatan

penambangan masih utuh yaitu 2 Hektar, dan setelah ada penambangan

mengalami perubahan menjadi 1.4 Hektar. Harga kelapa sawit yang digunakan

pada perhitungan adalah harag jual sawit per kg pada saat penelitian berlangsung

yaitu sebesar Rp 1 100/kg. Biaya operasional dihitung per 6 bulan karena

perawatan perkebunan kelapa sawit khususnya pemupukan biasanya dilakukan

per enam bulan sekali.

Produksi kelapa sawit per 6 bulan sebelum ada penambangan sebanyak 27

840 kg atau 27.84 ton. Biaya operasional sebelum ada kegiatan pertambangan

sebesar Rp 10 729 000. Pendapatan atau keuntungan dari produksi kelapa sawit

dihitung dengan mengalikan antara jumlah produksi kelapa sawit dengan harga

kelapa sawit/kg, setelah itu baru dikurangi dengan biaya operasional sehingga

diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp 19 895 000.

Sedangkan produksi setelah penambangan terjadi penurunan karena terjadi

penyempitan lahan perkebunan yang disebabkan konversi lahan. Produksi kelapa

sawit per 6 bulan setelah ada kegiatan pertambangan yaitu 17 520 kg atau 17.52

ton. Biaya operasional yang dikeluarkan setelah terjadi penambangan meningkat

menjadi Rp 11 775 000. Dari perhitungan diperoleh pendapatan atau keuntungan

sebesar Rp 7 497 000.

Jadi, dari perhitungan pendapatan sebelum terjadi kegiatan pertambangan

dan setelah ada kegiatan pertambangan didapatkan pendapatan yang hilang dari

produksi lahan perkebunan kelapa sawit yang terkonversi. Perhitungan dilakukan

dengan melakukan pengurangan jumlah pendapatan sebelum ada pertambangan

dengan pendapatan setelah ada pertambangan yaitu Rp 19 895 000 - Rp 7 497 000

= Rp 12 398 000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendapatan petani

yang hilang dari produksi perkebunan kelapa sawit yang terkonversi adalah

sebesar Rp 12 398 000/orang/6 bulan. Sedangkan rata-rata pendapatan yang

45

hilang dari produksi perkebunan kelapa sawit yang terkonversi untuk perbulannya

adalah Rp 12 398 000/6 bulan = Rp 2 066 333.3/orang/bulan.

Akan tetapi, dari lahan perkebunan yang terkonversi petani juga

mendapatkan pendapatan dari sistem kontrak lahan untuk ditambang. Pendapatan

tersebut didapatkan dari harga sewa lahan yang dibayarkan oleh penambang. Data

dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai berikut:

Tabel 7 Harga sewa lahan/tahun

No. Luas lahan terkonversi (Ha) Sewa lahan/tahun (Rp)

1 0.5 10000000

2 1 25000000

3 0.5 12000000

4 0.5 13000000

5 0.5 10000000

Total 3 70000000

Rata-rata 0.6 14000000

Sumber: Data primer diolah (2013)

Pada tabel diatas dapat diketahui harga sewa lahan per tahun sesuai dengan

luas lahan yang ditambang. Harga sewa lahan untuk luas 0.5 hektar berkisar

antara Rp 10 000 000 hingga Rp 13 000 000, sedangkan harga sewa lahan untuk

luas lahan 1 hektar adalah Rp 25 000 000. Total harga sewa lahan dari 5 pemilik

lahan perkebunan yang terkonversi menjadi lahan pertambangan adalah Rp 70

000 000/tahun. Dari total harga sewa lahan tersebut didapatkan rata-rata harga

sewa lahan sebesar Rp 14 000 000/orang/tahun, sedangkan untuk perbulan dapat

dikonversikan menjadi Rp 14 000 000/ 12 = Rp 1 166 666.67/orang/bulan. Nilai

Rp 1 166 666.67 menunjukkan pendapatan pengganti yang diterima oleh petani

dari lahan perkebunan kelapa sawit yang ditambang untuk waktu perbulan.

Jadi dari uarian diatas dapat disimpulkan bahwa kerugian ekonomi yang

diterima petani kelapa sawit karena terjadi konversi lahan perkebunan adalah

sebesar Rp 2 066 333.3/orang/bulan. Disamping itu petani mendapatkan

pendapatan dari hasil sewa/kontrak lahan untuk pertambangan atau bisa disebut

sebagai pengganti dari produksi kelapa sawit yang hilang yaitu sebesar Rp 1 166

666.67/orang/bulan.

46

6.3 Analisis Willingness to Pay Masyarakat PETI

Responden dalam penelitian ini berjumlah 35 responden yang terdiri dari

penambang emas dan penambang pasir. 35 responden tersebut tidak semua

bersedia mengeluarkan biaya untuk upaya perbaikan kualitas lingkungan dengan

mengemukakan alasan-alasan yang mereka miliki. Perbandingan responden yang

bersedia dan yang tidak bersedia membayar dalam upaya perbaikan kualitas

lingkungan akibat kegiatan PETI dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Frekuensi kesediaan/tidak kesediaan responden

Responden Frekuensi Persentase

Bersedia 31 89%

Tidak bersedia

- Pekerjaan satu-satunya

- Kebutuhan ekonomi

- Tidak memiliki lahan

4 11%

Total 35 100%

Sumber: Data primer diolah (2013)

Pada Tabel 8 dapat dilihat sebagian besar responden bersedia membayar

untuk upaya perbaikan kualitas lingkungan yaitu sebanyak 31 orang (89%),

sedangkan 4 orang (11%) tidak bersedia membayar. Alasan responden yang tidak

bersedia membayar untuk upaya perbaikan kualitas lingkungan yaitu karena

kebutuhan ekonomi yang kurang dari cukup serta pekerjaan tambang merupakan

pekerjaan satu-satunya sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masih

kurang. Mereka juga tidak memiliki lahan untuk bekerja lainnya untuk

menghasilkan pendapatan. Sesuai hasil survei dilapang diketahui bahwa

responden yang tidak bersedia membayar ini merupakan responden yang bekerja

sebagai penambang pasir.

6.3.1 Analisis Nilai Willingness to Pay

Pendekatan CVM dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui nilai

WTP responden terhadap program reboisasi yang akan diterapkan dalam upaya

perbaikan kualitas lingkungan pasca tambang. Hasil pelaksanaan CVM adalah

sebagai berikut:

47

1. Membuat hipotesis pasar

Berdasarkan pasar hipotesis yang telah dibangun ketika penelitian yaitu

situasi hipotesis yang menggambarkan kondisi lingkungan pasca tambang di Desa

Daya Murni di masa mendatang akan terjadi penurunan kualitas lingkungan.

Sehingga, akan dilakukan upaya reboisasi untuk menanggulangi penurunan

kualitas tersebut. Hal tersebut dimaksudkan agar lahan pasca tambang kembali

baik dan sumber air bisa lebih baik. Maka dengan hal itu responden mendapatkan

gambaran mengenai situasi hipotesis yang telah dibangun mengenai upaya

perbaikan kualitas lingkungan dengan program reboisasi.

2. Mendapatkan nilai lelang WTP

Teknik yang digunakan untuk mendapatkan nilai penawaran dilakukan

dengan metode bidding game. Cara ini dilaksanakan dengan memberi pertanyaan

kepada responden secara berulang-ulang apakah mereka ingin membayar

sejumlah tertentu. Nilai tersebut bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung respon

dari pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan dihentikan sampai nilai tetap yang

diperoleh. Pada penelitian ini didapatkan penawaran nilai WTP dari Rp 5 000, Rp

10 000, Rp 15 000, Rp 20 000, dan Rp 25 000.

3. Menghitung Dugaan Rata-Rata Nilai WTP

Tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan WTP setiap individu.

Dugaan nilai rataan WTP responden dihitung dari distribusi data nilai WTP

responden. Kelas WTP responden didapatkan dengan menentukan terlebih dahulu

nilai WTP terkecil sampai nilai WTP terbesar yang ditawarkan responden. Data

distribusi nilai WTP responden dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Mean WTP responden

No WTP Responden Mean WTP

Jumlah Frekuensi

1 5000 14 0.45 2250

2 10000 9 0.29 2900

3 15000 3 0.1 1500

4 20000 3 0.1 2000

5 25000 2 0.06 1500

Total 31 1 10150

Sumber: Data primer diolah (2013)

48

Perhitungan nilai rataan WTP berdasarkan distribusi WTP responden, dari

perhitungan pada tabel didapatkan nilai rataan WTP sebesar Rp 10 150.

4. Memperkirakan kurva lelang (Bid Curve)

Kurva pendugaan WTP didapatkan berdasarkan besarnya nilai WTP

terhadap jumlah responden yang memilih besarnya nilai WTP. Diketahui bahwa

sebaran responden yang memilih jumlah uang bersedia dibayarkan dapat dilihat

pada gambar dibawah yaitu responden yang bersedia membayar sebesar Rp 5 000

sebanyak 14 orang, Rp 10 000 sebanyak 9 orang, Rp 15 000 sebanyak 3 orang, Rp

20 000 sebanyak 3 orang, dan Rp 25 000 sebanyak 2 orang.

Gambar 13 Kurva pendugaan penawaran WTP

5. Mengagregatkan data atau Total WTP

Nilai total WTP responden dihitung berdasarkan data distribusi nilai kelas

WTP responden. Dari nilai kelas WTP dikalikan dengan jumlah frekuensi

responden yang memilih dari besarnya tiap nilai kelas WTP. Hasil perkalian

tersebut kemudian dijumlahkan sehingga didapatkan nilai total WTP responden.

Hasil perhitungan total WTP responden dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Total WTP responden

No. WTP JumlahResponden Total WTP

1 5000 14 70000

2 10000 9 90000

3 15000 3 45000

4 20000 3 60000

5 25000 2 50000

Total 31 315000

Sumber: Data primer diolah (2013)

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

0 2 4 6 8 10 12 14 16

WT

P (

Rp

)

Jumlah responden

49

Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan nilai total WTP sebesar Rp

315.000/program. Nilai tersebut menggambarkan kepedulian masyarakat

penambang terhadap penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan dari

kegiatan penambangan di Desa Daya Murni.

6.3.2 Analisis Fungsi Willingness to Pay

Analisis fungsi WTP digunakan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja

yang berpengaruh terhadap besarnya nilai WTP responden. 7 variabel bebas yang

telah ditentukan diduga mempengaruhi variabel tak bebas yaitu pendidikan,

jumlah tanggungan, pendapatan, penilaian kondisi lahan, penilaian kondisi air,

dummy pekerjaan penambang, dan dummy pekerjaan penambang. Hasil analisis

regresi nilai WTP reponden dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil analisis regresi nilai WTP responden

Variabel Koefisien Sig VIF

Constant -.590 .528

TP .235 .212 1.693

JT -.395 .033** 1.894

TPRT .265 .180*** 1.197

KL .352 .094** 1.383

KA .086 .670 1.231

PT(dummy) 1.630 .002* 1.833

PL(dummy) 1.485 .003* 1.506

R Square

Adjusted R Square

69.7%

60.5%

Durbin Watson 1.708

F-Statistik 7.573 0.000

Sumber: Data primer diolah (2013)

Keterangan:

* : signifikan pada taraf nyata (α = 0.05)

** : signifikan pada taraf nyata (α = 0.1)

*** : signifikan pada taraf nyata (α = 0.2)

Model yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup baik. Hal ini ditandai

dengan R2

yang dihasilkan adalah 69.7 persen, yang berarti 69.7 persen

keragaman WTP responden sudah dapat diterangkan oleh keragaman variabel

penjelas yang terdapat dalam model. Nilai Fhitung diperoleh sebesar 7.573 dengan

nilai sig sebesar 0.000 yang menunjukkan bahwa variabel penjelas dalam model

50

secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf

nyata 20 persen (α = 0.2). Model yang dihasilkan pada penelitian ini telah di uji

dengan uji asumsi klasik yaitu multikolinieritas, heteroskedatisitas, normalitas,

dan autokorelasi. Dari hasil keempat uji tersebut tidak ditemukan suatu

pelanggaran asumsi.

1. Uji multikolinieritas: Menurut Sarwoko (2005), untuk melihat terjadi atau tidak

terjadinya multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai Varian Inflation

Factor (VIF). Ketika nilai VIF < 10 tidak ada masalah multikolinieritas. Dari

hasil uji ini dapat dilihat pada Tabel 11 diperoleh nilai VIF semua variabel

lebih kecil dari 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa model ini tidak terjadi

multikolinieritas.

2. Uji Heteroskedastisitas: uji ini dilakukan untuk mengetahui terjadi atau tidak

terjadinya heteroskedastisitas pada suatu model. Uji ini dilakukan dengan uji

glejser. Hasil uji ini diperoleh nilai sig semua variabel tidak signifikan pada

taraf nyata 5% sehingga dinyatakan model memenuhi asumsi kehomogenan

atau tidak terjadi pelanggaran heteroskedastisitas (sumber lampiran 2).

3. Uji normalitas: berdasarkan uji kenormalan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : residual menyebar normal

H1 : residual tidak menyebar normal

Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai asymp. sig. (2-tailed)

sebesar 0.957 yang lebih besar dari α = 0.05 yang artinya terima H0 data

menyebar normal (sumber lampiran 3).

4. Uji autokorelasi: uji ini dilihat dari hasil uji Durbin Watson (DW) yang dapat

dilihat pada Tabel 11. Diperoleh nilai DW sebesar 1.708 dimana nilai DW

mendekati 2 maka dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi. Hal ini merujuk

kepada (Firdaus, 2004) dimana jika nilai statistik DW berada diantara 1.55 dan

2.46 maka menunjukkan bahwa model tidak terdapat autokorelasi.

Model yang dihasilkan dalam analisis ini adalah sebagai berikut:

WTP = -0.59 – 0.395 JT + 0.265 TPRT + 0.352 KL + 1.630 PT(dummy

+ 1.485 PL(dummy)

51

Pada model tersebut variabel yang berpengaruh nyata terhadap besarnya

nilai WTP pada taraf nyataα = 0.05 adalah variabel dummy pekerjaan tambang

dan pekerjaan lainnya. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai

WTP pada taraf nyata α = 0.1 adalah variabel jumlah tanggungan, dan variabel

penilaian kondisi lahan. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai

WTP pada taraf nyata α = 0.2 adalah variabel pendapatan.

Variabel jumlah tanggungan memiliki nilai sig sebesar 0.033 yang artinya

variabel ini berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP responden pada taraf

α = 0.1. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa semakin banyak

jumlah tanggungan responden akan menurunkan besarnya nilai WTP yang

bersedia dikeluarkan. Hal ini berhubungan dengan pendapatan responden.

Responden akan lebih memikirkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang

banyak terlebih dahulu, jika dibandingkan dengan perbaikan kualitas lingkungan.

Hal ini dikarenakan responden menganggap perbaikan kualitas lingkungan tidak

akan memberikan dampak bagi responden. Berdasarkan survei di lapang,

responden mempertimbangkan tingkat kesediaannya untuk membayar besarnya

nilai WTP dengan jumlah tanggungannya.

Variabel pendapatan rumah tangga memiliki nilai sig sebesar 0.180 yang

artinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf

nyata α = 0.2. Nilai koefisien bertanda positif menunjukkan bahwa semakin besar

pendapatan responden, maka akan semakin besar nilai WTP yang bersedia

dikeluarkannya. Hal ini disebabkan karena responden yang memiliki pendapatan

lebih besar dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, sehingga responden mau

menyisihkan uangnya untuk ikut berpartisipasi dalam upaya reboisasi untuk

perbaikan kualitas lingkungan akibat kegitan pertambangan. Seseorang yang

memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya akan cenderung

meningkatkan pola kesehatan dan kenyamanannya, sehingga sangat perlu baginya

peningkatan kualitas lingkungan yang baik.

Variabel penilaian terhadap kondisi lahan memiliki nilai sig sebesar 0.094

yang artinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada

taraf α = 0.1. Tanda positif pada koefisien menunjukkan ketika penilaian

responden terhadap kondisi lahan tambang semakin rusak maka akan semakin

52

besar nilai WTP yang bersedia dikeluarkan oleh responden. Penilaian responden

mengenai kondisi lahan sesuai dengan apa yang mereka lihat pada lahan tambang

saat itu. Mereka mengetahui jika banyak lahan yang kondisinya sama seperti itu

dan dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya perbaikan, maka untuk masa mendatang

lahan-lahan untuk bermatapencaharian akan sulit didapatkan. Sehingga, dengan

kesadaran seperti itu maka perlu dilakukan suatu upaya konservasi untuk

memperbaiki kondisi lahan tersebut.

Variabel dummy pekerjaan menambang memiliki nilai sig sebesar 0.002

yang berarti variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada

taraf nyata α = 0.05. Nilai koefisien bertanda positif menunjukkan bahwa

responden yang berprofesi sebagai pekerja menambang utama akan meningkatkan

peluang kesediaannya mengeluarkan dana WTP yang bersedia dibayarnya jika

dibandingkan dengan responden yang berprofesi sebagai pekerja menambang

sampingan. Hal dikarenakan penambang utama menyadari akan dampak yang

ditimbulkan dari kegiatan menambang. Mereka tahu jika lokasi bekas tambang

tidak ada upaya perbaikan maka dimasa mendatang lokasi tersebut tidak akan

bermanfaat lagi, sehingga perlu dilakukan suatu upaya untuk memperbaiki agar

dapat dimanfaatkan kembali.

Variabel dummy pekerjaan lainnya memiliki nilai sig sebesar 0.003 yang

berarti variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf

nyata α = 0.05. Nilai koefisien bertanda positif menunjukkan bahwa responden

yang bekerja dalam pekerjaan lainnya juga akan meningkatkan peluang kesediaan

mengeluarkan dana WTP. Hal ini dikarenakan responden yang memiliki

pekerjaan lain memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Selain itu responden ini

menyadari akibat yang ditimbulkan dari kegiatan menambang. Mereka tidak ingin

semua lahan menjadi rusak karena lahan pascatambang dibiarkan begitu saja

tanpa ada perbaikan.

Adapun variabel-variabel bebas yang telah diduga berpengaruh terhadap

nilai WTP responden, namun setelah dilakukan analisis tidak berpengaruh

signifikan yaitu variabel pendidikan, dan variabel penilaian kondisi air.

Variabel pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP

responden. Hal ini ditunjukkan dengan nilai sig sebesar 0.212 yang berarti

53

variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya nila WTP pada taraf nyata

α = 0.2. Namun, jika dilihat dari nilai koefisien yang bertanda positif

menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka semakin

besar nilai WTP yang bersedia dikeluarkan oleh responden. Hal ini menunjukkan

bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pola pikirnya, yaitu

ketika semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka responden akan

menyadari pentingnya arti lingkungan untuk keberlangsungan hidup makhluk

hidup, sehingga perlunya perbaikan lingkungan dan menjaga lingkungan.

Variabel penilaian terhadap kondisi air tidak berpengaruh nyata terhadap

nilai WTP responden. Hal ini ditunjukkan dengan nilai sig yaitu 0.670 yang lebih

besar dari taraf nyata α = 0.2. Namun, tanda positif pada koefisien menunjukkan

bahwa ketika penilaian responden terhadap air semakin tidak baik maka nilai

WTP yang akan dikeluarkan semakin besar. Hal ini dikarenakan air merupakan

barang yang sangat penting dalam kehidupan dan penting dijaga kelestariannya.

Responden memahami mengenai hal ketersediaan air di masa mendatang,

sehingga perlu dilakukan suatu upaya konservasi untuk mencegah penurunan

kualitas air tersebut.

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan maka dapat dibuat suatu

rekomendasi terhadap Pemerintah Setempat untuk mengambil kebijakan yang

akan bermanfaat bagi para penambangnya maupun lingkungannya. Adapun

rekomendasi yang dapat dilakukan adalah setiap orang yang menambang

diwajibkan menyumbangkan bibit pohon minimal perorang satu bibit pohon atau

uang senilai harga bibit pohon, tentunya sesuai dengan kemampuan penambang.

Bibit pohon ini dimaksudkan untuk ditanam dilokasi pascatambang guna

memperbaiki lahan pascatambang, agar di masa mendatang lahan-lahan tersebut

dapat dimanfaatkan kembali dan lingkungan terjaga. Misalnya pulihnya sistem

hidrologi, manfaat bagi perkebunan akan mengembalikan kesuburan tanah. Selain

itu di desa yang terdapat lokasi pertambangan dapat dibentuk suatu kelembagaan

yang mengatur mengenai birokrasi pertambangan agar kegiatan pertambangan

dapat terstruktur dan terorganisir. Hal ini dimaksudkan agar antar pihak yang

berkepentingan mengetahui kondisi lapang sehingga dapat mengambil keputusan

yang tepat ketika akan menentukan kebijakan mengenai lingkungan.

54

VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Persepsi Multi Stakeholder terkait kegiatan PETI dilihat dari dampak aspek

sosial-ekonomi, dan aspek lingkungan. Dampak aspek sosial-ekonomi yaitu

terbukanya lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, terjadinya

kecelakaan penambangan, terjadinya penyempitan lahan perkebunan.

Sedangkan dampak aspek lingkungan yaitu rusaknya struktur tanah,

menurunnya kesuburan tanah, lahan menjadi tidak beraturan, dan rusaknya

jalan desa dan perkebunan.

2. Nilai kerugian ekonomi dari produksi kelapa sawit akibat kegiatan konversi

lahan menjadi pertambangan emas dan pertambangan pasir adalah sebesar Rp 2

066 333.3/orang/bulan. Selain itu, responden mendapatkan penerimaan dari

sewa lahan sebesar Rp 1 166 666.67/orang/bulan.

3. Responden yang bersedia membayar WTP sebanyak 31 responden (89%). Nilai

rataan WTP responden adalah Rp 10 150 dan total nilai WTP responden untuk

upaya reboisasi pasca tambang adalah Rp 315 000. Faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap besarnya nilai WTP adalah jumlah tanggungan, tingkat

pendapatan rumah tangga, kondisi lahan, dummy pekerjaan menambang dan

pekerjaan lain.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat dibuat saran sebagai

berikut:

1. Adanya kegiatan PETI yang sudah cukup lama, sebaiknya pemerintah harus

lebih waspada akan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Dampak

tersebut bisa berupa rasa ketidaknyamanan dan kerugian bagi masyarakat

sekitar, sehingga disarankan Pemerintah setempat segera mengambil kebijakan

untuk mengatasi dampak tersebut.

55

2. Berdasarkan informasi akan dibentuknya wilayah penambangan rakyat (WPR),

sebaiknya pemerintah segera menertibkan kegiatan PETI dan menetapkan

kebijakan mengenai kegiatan penambangan. Hal ini dimaksudkan agar

sumberdaya yang masih utuh dapat terjaga untuk kebutuhan masa mendatang

dan bermanfaat sesuai dengan kemampuannya.

3. Selanjutnya untuk memperbaiki lokasi pasca tambang yang sudah rusak maka

dapat di kaitkan antara hasil penelitian mengenai nilai WTP yang dapat

diterapkan untuk membentuk suatu kebijakan dengan rencana pembentukan

WPR.

56

DAFTAR PUSTAKA

Arwan. 2011. Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan.

http://Arwansoil.Blogspot.Com/2011/03/Kerusakan-Lahan-Akibat-

Aktivitas.Html.[ Diakses: 29 November 2012].

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bungo. 2009. Kecamatan Pelepat Ilir

dalam Angka 2009.

Dyahwanti. 2007.Kajian Dampak Lingkungan Kegiatan Penambangan Pasir Pada

Daerah Sabuk Hijau Gunung Sumbing Di Kabupaten Temanggung

[thesis]. Universitas Diponegoro.

http://eprints.undip.ac.id/17783/1/inarni_nur_dyahwanti.pdf. [ Diakses:

30 November 2012].

Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. PT.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara :

Jakarta.

Gujarati, D. 2007. Dasar-dasar Ekonometrika. Edisi ketiga. Jilid 1. Erlangga.

Jakarta.

Harlan, G.Y.W. 2009. Analisis Nilai Guna Ekonomi dan Dampak Penambangan

Pair di Kecamatan Tamansari kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID).

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Herman, D.Z. 2012.Pertambangan Tanpa Izin (PETI) dan Kemungkinan Alih

Status Menjadi Pertambangan Skala Kecil. http://psdg.bgl.esdm.go.id

/index.php?view=article&id=492%3Apertambangan-tanpa-ijin-peti-dan-

kemungkinan-alih-status-menjadi-pertambangan-skala-kecil&option=

com content&Itemid=395. [Diakses : 31 Desember 2012].

Isa, I. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Pertahanan

Nasional. Jakarta. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/

prosiding/mflp2006/iwan.pdf. [Diakses : 07 Juli 2013].

Juanda. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor.

Kurniawan, P.S. 2010.Tambang Emas di Indonesia dan Cara Pengolahan

Limbahnya.http://green.kompasiana.com/limbah/2010/10/01/tambang -

emas-di-indonesia-dan-cara-pengolahan-limbahnya-275128.html.

[Diakses: 04 Januari 2013].

Muhammad. 2008. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam: Pendekatan

Kuantitatif. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Mustofa, Z. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Alih Fungsi

Lahan Pertanian di Kabupaten Demak [skripsi]. Universitas Diponegoro.

Semarang. http://eprints.undip.ac.id/29151/1/Skripsi015.pdf. [Diakses:

06 Juli 2013].

Merryna, A. 2009.Analisis Willingness To Pay Masyarakat Terhadap Pembayaran

Jasa Lingkungan Mata Air Cirahab (Desa Curug Goong, Kecamatan

Padarincang, Kabupaten Serang, Banten) [skripsi]. Bogor (ID). Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Nursusandari, E. 2009.Persepsi, Preferensi dan Willingness to Pay Masyarakat

terhadap Lingkungan Pemukiman Sekitar Kawasan Industri (Kasus

57

Kawasan Industri di Kelurahan Utama, Cimahi, Jawa Barat) [skripsi].

Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1980 tentang penggolongan bahan-bahan

galian. http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_27_80.htm. [Diakses: 30

Desember 2012].

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 14 tahun 2012 tentang panduan

valuasi ekonomi ekosistem gambut. http://pslh.ugm.ac.id/id/wp-

content/uploads/Permen-14-th-2012-ttg-Panduan-Valuasi-Ekonomi-

Ekosistem-Gambut.pdf. [Diakses: 07 Juli 2013]

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Bungo 2006-2011.

Sarwoko. 2005. Dasar-dasar ekonometrika. ANDI. Yogyakarta.

Sujatmiko, B. 2012. Penambangan Emas Tanpa Izin di Daerah Aliran Sungai

(DAS) Arut Kecamatan Arut Utara Ditinjau dari UU nomor 4 tahun

2009. Socioscientia. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial vol 4(1).

http://kopertis11.net/jurnal/Bambang%20Sujatmiko--Untama%20P.%20

Bun.pdf. [Diakses: 29 Desember 2012].

Surakhmad, W. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik. Tarsito.

Bandung.

Undang-Undang RI nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan

batubara. http://prokum.esdm.go.id/uu/2009/UU%204%202009.pdf.

[Diakses: 12 Juni 2013].

Undang-Undang RI nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok

pertambangan. http://psdg.bgl.esdm.go.id/kepmen_pp_uu/UU_11_1967.

pdf. [Diakses: 12 Juni 2013].

Wahyono, A. 2006. Pentingnya Komunikasi Antara Stake Holder dalam

Penanganan Pertambangan Tanpa Izin (PETI). Jurnal komunika: warta

ilmiah populer komunikasi dalam pembangunan. Vol 9(2):51-62.

Yayasan Obor Indonesia. http://books.google.com/books?id=

cOZMuLJt6q8C&pg=PA51&lpg=PA51&dq=dampak+sosial,+ekonomi,

+dan+lingkungan+akibat+pertambangan&source=bl&ots=ESdPb3c_aC

&sig=ePhsREhiW0yliinp5Fpilk-2ym4&hl=en&sa=X&ei=EbrvUdmCKZ

DIrQfvkoCQCg&ved=0CIEBEOgBMAk4Hg. [Diakses: 06 Juli 2013].

Yudhistira, Wahyu KH, Agus H, 2011. Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan

akibat Kegiatan Penambangan Pasir di Desa Keningar Daerah Kawasan

Gunung Merapi. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol 9(2):76-84.

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmulingkungan/article/download/40

72/pdf. [Diakses: 12 Mei 2013].

58

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis regresi linier berganda

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

WTP 2.10 1.300 31

TP 2.52 1.061 31

JT 2.94 1.181 31

TPRT 2.45 .850 31

KL 2.32 .871 31

KA 1.97 .836 31

PT(dummy) .26 .445 31

PL(dummy) .81 .402 31

ANOVAb

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .835a .697 .605 .817 1.708

a. Predictors: (Constant), PL, KL, TP, KA, TPRT, PT, JT

b. Dependent Variable: WTP

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 35.365 7 5.052 7.573 .000a

Residual 15.344 23 .667

Total 50.710 30

a. Predictors: (Constant), PL(dummy), KL, TP, KA, TPRT,

PT(dummy), JT

b. Dependent Variable: WTP

a. Dependent Variable: WTP

Coefficientsa

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

T Sig.

Collinearity

Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) -.590 .921 -.641 .528

TP .235 .183 .192 1.285 .212 .591 1.693

JT -.395 .174 -.359 -2.273 .033 .528 1.894

TPRT .265 .192 .174 1.383 .180 .836 1.197

KL .352 .201 .236 1.749 .094 .723 1.383

KA .086 .198 .055 .432 .670 .813 1.231

PT 1.630 .454 .558 3.591 .002 .545 1.833

PL 1.485 .456 .459 3.260 .003 .664 1.506

59

Lampiran 2 Uji Heteroskedastisitas (Uji Glejser)

Coefficientsa

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 1.150 .496 2.319 .030

TP -.118 .098 -.285 -1.195 .244 .591 1.693

JT -.144 .093 -.387 -1.537 .138 .528 1.894

TPRT .052 .103 .100 .501 .621 .836 1.197

KL .006 .108 .011 .051 .960 .723 1.383

KA -.017 .107 -.032 -.155 .878 .813 1.231

PT -.200 .244 -.203 -.817 .422 .545 1.833

PL .084 .245 .077 .344 .734 .664 1.506

a. Dependent Variable: abresid

Lampiran 3 Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized

Residual

N 31

Normal Parametersa Mean .0000000

Std. Deviation .71517319

Most Extreme Differences Absolute .092

Positive .092

Negative -.060

Kolmogorov-Smirnov Z .511

Asymp. Sig. (2-tailed) .957

a. Test distribution is Normal.

60

Lampiran 4 Perhitungan kerugian ekonomi produksi kelapa sawit

Biaya operasional sebelum ada penambangan No. Pupuk Perawatan + Tenaga Kerja Total (Rp)

Urea

(karung) ×

Rp/unit

KCL

(karung) ×

Rp/unit

TSP

(karung) ×

Rp/unit

Tangkos

(Rp)

Running

(Rp)

Semprot

/Babat

(Rp)

Mupuk

(Rp)

Manen

(Rp)

1 5 × 250000 5 × 400000 5 × 400000 0 900000 600000 75000 2400000 9225000

2 6 × 450000 7 × 450000 7 × 450000 0 900000 600000 75000 3000000 13575000

3 5 × 360000 5 × 360000 6 × 360000 0 900000 600000 75000 2700000 9535000

4 6 × 380000 6 × 380000 6 × 380000 0 900000 600000 75000 2700000 10615000

5 5 × 250000 5 × 400000 5 × 450000 250000 900000 600000 75000 3120000 10695000

Biaya operasional setelah ada penambangan No

.

Pupuk Perawatan + Tenaga Kerja Total (Rp)

Urea(karung)

× Rp/unit

KCL(karun

g)× Rp/unit

TSP(karung)

× Rp/unit

Tangkos

(Rp)

Running Semprot

/Babat

Mupuk Manen

1 7 × 250000 7 × 400000 7 × 400000 0 900000 600000 75000 1500000 10425000

2 8 × 450000 9 × 450000 8 × 450000 0 900000 600000 75000 1800000 14625000

3 6 × 360000 7 × 360000 7 × 360000 0 900000 600000 75000 1500000 10275000

4 8 × 380000 7 × 380000 8 × 380000 0 900000 600000 75000 1800000 12115000

5 7 × 250000 7 × 400000 7 × 450000 250000 900000 600000 75000 2160000 11435000

Data perkebunan kelapa sawit sebelum ada penambangan No. Luas

lahan

Produksi/bulan (kg) Harga/kg

(Rp)

Biaya operasional

/6 bulan

Pendapatan (Rp)

(P1) 1 6

1 2 Ha 4000 24000 1100 9225000 17175000

2 2 Ha 5000 30000 1100 13575000 19425000

3 2 Ha 4500 25000 1100 9535000 17965000

4 2 Ha 4500 25000 1100 10615000 16885000

5 2 Ha 5200 31200 1100 10695000 23625000

Total 10 Ha 23200 139200 1100 53645000 99475000

Rata-rata 2 Ha 4640 27840 1100 10729000 19895000

Data perkebunan kelapa sawit setelah ada penambangan

No.

Luas

lahan

(Ha)

Produksi/bulan

(kg) Harga

(Rp)

/kg

Biaya

operasional/

6 bulan

Pendapatan

(Rp) (P2)

Lahan

terkonversi

(Ha)

Sewa

lahan/tahun

(Rp) 1 6

1 1.5 2500 15000 1100 10425000 6075000 0.5 10000000

2 1 3000 18000 1100 14625000 5175000 1 25000000

3 1.5 2500 15000 1100 10275000 6225000 0.5 12000000

4 1.5 3000 18000 1100 12115000 7685000 0.5 13000000

5 1.5 3600 21600 1100 11435000 12325000 0.5 10000000

Total 7 14600 87600 1100 58875000 37485000 3 70000000

Rata-rata 1.4 2920 17520 1100 11775000 7497000 0.6 14000000

Kerugian/6 bulan

P1 – P2 = Rp 19 895 000 – Rp 7 497 000

= Rp 12 398 000

Kerugian/bulan = Rp 2 066 333.3

61

Lampiran 5 Kuesioner

Hari/Tanggal :...........................

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

KUESIONER PENELITIAN

Kuesioner ini digunakan sebagai bahan skripsi “Kerugian Ekonomi

akibat Konversi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit menjadi Pertambangan Emas

(Studi Kasus: Desa Daya Murni, Pelepat Ilir, Bungo, Jambi)” oleh Lailatus

Sayyidah, mahasiswa departemen ekonomi sumberdaya dan lingkungan, fakultas

ekonomi dan manajemen, IPB. Saya mohon partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i untuk

mengisi kuesioner ini dengan lengkap dan benar, yang akan digunakan sebagai

bahan penelitian. Informasi yang Bapak/Ibu/Saudara/i berikan ini bersifat rahasia

dan hanya digunakan sebagai kepentingan akademis.Atas perhatiannya saya

ucapkan terima kasih.

A. Karakteristik Responden Masyarakat Penambang

1. Nama:...............................................

2. Alamat/Asal:...............................................

3. Jenis Kelamin:L/P

4. Umur:

a. 20-27 tahun c. 33-41 tahun e. > 49 tahun

b. 25-33 tahun d. 41-49 tahun

5. Pendidikan terakhir:

a. Tidak sekolah

b. SD/sederajat;...........tahun

c. SMP/sederajat;...........tahun

d. SMA/sederajat;...........tahun

e. Perguruan Tinggi;...........tahun

6. Status:

a. Belum Menikah

b. Sudah Menikah

7. Jumlah tanggungan keluarga (hanya anggota keluarga, termasuk

KK):........... orang

8. Total Pendapatan Rumah Tangga per bulan:

a. < Rp 1.000.000 ; tepatnya:........................

b. Rp 1.000.001-Rp 2.000.000 ; tepatnya:........................

c. Rp 2.000.001-Rp 3.000.000 ; tepatnya:........................

d. Rp 3.000.001-Rp 4.000.000 ; tepatnya:........................

e. > Rp 4.000.000 ; tepatnya:........................

9. Kategori penduduk:

a. Asli b. Pendatang (dari:............./berapa tahun......)Alasan:

10. Berapa jarak rumah ke lokasi tambang?

a. < 100 m

62

b. 150 m

c. 200 m

d. 250 m

e. > 300 m

11. Apa pekerjaan menambang yang dilakukan?

a. Tambang emas b. Tambang pasir

12. Pekerjaan: Penambang 1= Utama 0 =bukan

Petani 1= petani; 0 = bukan

Lainnya 1= iya; 0 = bukan

13. Kalau ada pekerjaan lain, berapa pendapatan per bulan?

Rp...........................

14. Berapa lama bekerja sebagai penambang:

a. ≤ 2 tahun c. 5-6 tahun e. ≥ 9 tahun

b. 3- 4 tahun d. 7-8 tahun

B. Informasi Tentang Kesediaan Membayar (willingness to pay)

15. Apakah anda merasakan adanya perubahan lingkungan setelah ada

kegiatan tambang?

a. Ya b. Tidak

Kondisi air a. air tidak (keruh, berbau, berasa dan

berkurang)

b. air tidak (keruh, berbau, berasa) dan

berkurang

c. air tidak keruh,tidak berbau, berasa dan

berkurang

d. air tidak keruh, berbau, berasa dan berkurang

e. air keruh, berbau, berasa dan berkurang

Kondisi lahan a. Sangat tidak rusak

b. Tidak rusak

c. Agak rusak

d. Rusak

e. Sangat rusak

Skenario

Terkait adanya kegiatan PETI di Desa Daya Murni yang menimbulkan

dampak terhadap lingkungan,jika pemerintah akan memberlakukan kebijakan

untuk upaya perbaikan kualitas lingkungan lahan pascatambang, yang akan

dilakukan dalam bentuk program reboisasi lahan pasca tambang agar kondisi

lingkungan sekitar lebih baik. Upaya tersebut memerlukan partisipasi

masyarakat penambang dalam bentuk kesediaannya membayar agar upaya

reboisasi tersebut dapat terlaksana.

63

a. Bersedia

b. Tidak bersedia

16. Jika anda bersedia membayar, berapa biaya yang bersedia anda bayarkan

untuk perbaikan lingkungan tersebut?

a. Rp 5000,00

b. Rp 10.000,00

c. Rp 15.000,00

d. Rp 20.000,00

e. Rp 25.000,00

17. Apa alasan anda tidak bersedia membayar biaya perbaikan kualitas

lingkungan tersebut?

Jawab:....................................................................................................

“Bersediakah bapak/ibu/saudara/i berpartisipasi dalam perbaikan kualitas

lingkungan dengan kesediaan/kemampuan membayaryang akan digunakan

untuk upaya reboisasi pasca tambang di Desa Daya Murni ?”.

64

Hari/Tanggal :...........................

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

KUESIONER PENELITIAN

Kuesioner ini digunakan sebagai bahan skripsi “Kerugian Ekonomi

akibat Konversi Lahan menjadi Pertambangan Emas (Studi Kasus: Desa Daya

Murni, Pelepat Ilir, Bungo, Jambi)” oleh Lailatus Sayyidah, mahasiswa

departemen ekonomi sumberdaya dan lingkungan, fakultas ekonomi dan

manajemen, IPB. Saya mohon partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi

kuesioner ini dengan lengkap dan benar yang akan digunakan sebagai bahan

penelitian. Informasi yang Bapak/Ibu/Saudara/i berikan ini bersifat rahasia dan

hanya digunakan sebagai kepentingan akademis.Atas perhatiannya saya ucapkan

terima kasih.

A. Responden Pemilik Perkebunan Kelapa Sawit

1. Nama:...............................................

2. Alamat:...............................................

3. Jenis Kelamin:L/P

4. Umur:

a. 20-27 tahun c. 33-41 tahun e. > 49 tahun

b. 25-33 tahun d. 41-49 tahun

B. Data Mengenai Produksi Sawit (nilai ekonomi yang hilang)

5. Apakah anda mempunyai lahan perkebunan kelapa sawit yang dijadikan

sebagai lahan pertambangan? Ya/Tidak

6. Berapa luas seluruh perkebunan kelapa sawit sebelum terjadi

pertambangan?.......................Ha

7. Berapa luas perkebunan kelapa sawit milik anda yang

dijadikan?.................Ha

8. Berapa kali panen dalam satu bulan kelapa sawit?............... kali

9. Berapa produksi sawit perhektar?

- sebelum..........kwintal/ton

- sesudah..........kwintal/ton

10. Berapa harga sawit per kg? Rp...........................

11. Biaya operasioanal per bulan? Rp..........................

12. Untuk apa saja (input)?

Sebelum:

1...............................;Rp.............................

2...............................;Rp.............................

3...............................;Rp.............................

Sesudah:

1...............................;Rp.............................

2...............................;Rp.............................

3...............................;Rp.............................

65

Lampiran 6 Dokumentasi

Konversi lahan perkebunan menjadi pertambangan emas

v

Lokasi bekas pertambangan emas menjadi

pertambangan pasir

Penumpukan pasir

di perkebunan

Jalan perkebunan

untuk keluar masuk

truk pengangkut pasir

Truk pengangkut pasir

masuk ke perkebunan

Produksi kelapa sawit

dari perkebunan

terkonversi

66

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Karya Harapan Mukti, Kabupaten Bungo pada

tanggal 28 September 1990 dari pasangan Bapak Islani dan Ibu Umi Mahsunah

sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Penulis masuk pendidikan sekolah

menengah pada MTsS Miftahul Huda Purwasari, Pelepat Ilir, Bungo tahun 2003-

2006. Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas pada program studi

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di MAS Miftahul Huda Purwasari, Pelepat Ilir,

Bungo pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai

mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan

Daerah Kementrian Agama Republik Indonesia pada program studi Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif pada organisasi kemahasiswaan

Internal yaitu Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) Fakultas Ekonomi Manajemen

pada tahun 2010-2011. Selain itu penulis juga aktif pada organisasi eksternal yaitu

Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama (KMNU) IPB tahun 2010-2011 dan CSS

MoRA tahun 2011-2012. Penulis juga aktif sebagai panitia dan peserta seminar

baik tingkat lokal maupun nasional.