Upload
duongnga
View
249
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KESANTUNAN BERBAHASA JAWASISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA
(SUATU KAJIAN PRAGMATIK)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratanguna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret
Disusun oleh
EKO PURNOMO
C0108027
JURUSAN SASTRA DAERAHFAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARETSURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
MOTTO
Jadilah seperti karang di lautan yang kuat dihantam ombak dan kerjakanlah hal
yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, karena hidup hanyalah sekali.
Ingat hanya pada Allah apapun dan di manapun kita berada kepada Dia-lah tempat
meminta dan memohon.
“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu Sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah:
153)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERNYATAAN
Nama : Eko Purnomo
NIM : C0108027
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Kesantunan Berbahasa
Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik) adalah
betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-
hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademis berupa pencabutan skripsi dan gelar yang telah
diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, Juli 2012
Yang membuat pernyataan,
Eko Purnomo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk:
1. Bapak dan Ibu tercinta, yang selalu menjadi penyemangat bagiku,
mengalirkan doanya untukku, dan membimbingku untuk mencapai
kebahagiaan.
2. Adikku yang kusayangi Sigit Sutrisno yang selalu menghiburku.
3. Alm. Mbah Mawintana yang selalu mendoakanku untuk jadi orang yang
sukses.
4. Untuk dhik Ita yang selalu menemani diwaktu suka dan duka. Waktu kita
sangat berharga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulilah kepada Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul
Kesantunan Berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Jurusan
Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Proses penyusunan skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa yang memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini.
2. Drs. Supardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra
dan Seni Rupa yang telah memberikan ilmunya serta kesempatan kepada
penulis untuk menyusun skripsi ini.
3. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa, pembimbing akademik, dan pembimbing
kedua yang telah berkenan untuk memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyusun skripsi ini, mencurahkan perhatian, memberikan bekal ilmu,
memberikan nasihat kepada penulis selama studi di Jurusan Sastra Daerah,
dan membimbing penulisan skripsi ini sampai selesai.
4. Drs. Sri Supiyarno, M.A., selaku Koordinat Bidang Linguistik Jurusan Sastra
Daerah yang telah berkenan untuk mencurahkan perhatian dan memberikan
bekal ilmu.
5. Prof. Dr. Sumarlam, M.S., selaku pembimbing pertama yang telah berkenan
memberikan bimbingan kepada penulis dengan penuh perhatian dan
kebijaksanaannya, serta selalu membantu penulis untuk menyelesaikan
skripsi.
6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah yang telah
memberikan bekal ilmu yang berharga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
7. Kepala dan staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun Pusat
Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kemudahan dalam
pelayanan kepada penulis, khususnya selama menyelesaikan skripsi ini.
8. Kakek dan Nenek di Adiwarno dan Rangkah, terima kasih atas doa dan
harapannya kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini dan meraih
cita-cita.
9. Dhik Ita yang selalu membantu, menemani, dan memberi dukungan untuk
terselesaikannya skripsi ini. Semoga kita bisa sukses bersama.
10. Semua anggota SMP Muhammadiyah 1 Surakarta yang sangat baik sehingga
mempermudah penulis dalam memperoleh data, dan semua pihak yang telah
berjasa dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu
dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik
yang dapat membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................... i
PERSETUJUAN ................................................................................................... ii
PENGESAHAN ................................................................................................... iii
MOTTO ............................................................................................................... iv
PERNYATAAN .................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xiii
ABSTRAK ......................................................................................................... xiv
SARI PATHI ....................................................................................................... xv
ABSTRACT ...................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Pembatasan Masalah .................................................................................. 6
C. Rumusan Masalah ..................................................................................... 6
D. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ................................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan .............................................................................. 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
A. Pragmatik ................................................................................................ 10
B. Tindak Tutur ............................................................................................ 11
D. Prinsip Kerjasama ................................................................................... 13
E. Prinsup Kesantunan ................................................................................ 16
F. Skala Kesantunan Leech .......................................................................... 19
G. Faktor Penentu Kesantunan dan Ketaksantunan ..................................... 21
H. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta .......................................................... 28
I. Kerangka Pikir .......................................................................................... 31
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 33
A. Jenis Penelitian ........................................................................................ 33
B. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 34
C. Data dan Sumber Data ............................................................................ 34
D. Populasi dan Sampel ............................................................................... 35
E. Alat Penelitian ......................................................................................... 35
F. Metode dan Teknik Penyediaan Data ..................................................... 36
G. Metode Analisis Data .............................................................................. 37
H. Metode Penyajian Data ........................................................................... 43
BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ............................. 44
A. Analisis Data ........................................................................................... 44
1. Bentuk Kesantunan dan Ketaksantunan .............................................. 44
a. Bentuk Kesantunan Berbahasa Jawa ............................................. 45
1) Pemenuhan Maksim Kebijaksanaan .......................................... 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
2) Pemenuhan Maksim Penerimaan ............................................... 47
3) Pemenuhan Maksim Kemurahan .............................................. 49
4) Pemenuhan Maksin Kerendahhatian ......................................... 52
5) Pemenuhan Maksim Kecocokan ............................................... 52
6) Pemenuhan Maksim Kesimpatian ............................................. 54
b. Bentuk Ketaksantunan Berbahasa Jawa ........................................ 55
1) Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan ........................................ 56
2) Pelanggaran Maksim Penerimaan ............................................. 58
3) Pelanggaran Maksim Kemurahan ............................................. 60
4) Pelanggaran Maksim Kerendahhatian ....................................... 63
5) Pelanggaran Maksim Kecocokan .............................................. 65
6) Pelanggaran Maksim Kesimpatian ............................................ 67
2. Faktor Penentu Kesantunan ................................................................. 68
a. Faktor Kebahasaan ......................................................................... 69
1) Pemakaian Diksi yang Tepat ..................................................... 69
2) Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun ....................................... 71
3) Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar dan Baik ................... 71
4) Aspek Intonasi ........................................................................... 73
5) Aspek Nada Bicara .................................................................... 75
b. Faktor Nonkebahasaan ................................................................... 76
1) Pranata Sosial ............................................................................ 76
3. Fungsi Kesantunan Berbahasa Jawa .................................................... 77
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
a. Menolak Secara Tidak Langsung ................................................... 68
b. Menghormati Mitra Tutur .............................................................. 69
c. Menguntungkan Mitra Tutur .......................................................... 81
d. Memberi Perintah Secara Tidak Langsung .................................... 82
B. Pembahasan ............................................................................................. 84
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 89
A. Simpulan ................................................................................................. 89
B. Saran ........................................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 91
LAMPIRAN ........................................................................................................ 93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN GAMBAR
A. Daftar Singkatan
MT : Mitra tutur
O1 : Orang ke-1
O2 : Orang ke-2
O3 : Orang yang dibicarakan
SM : SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
P : Penutur
B. Daftar Tanda
Cetak miring : menandai data
Cetak miring tebal : menandai data yang dianalisis
Tanda kurung (.....) : menandai keterangan
Tanda petik tunggal ‘.....’ : menandai makna dari satuan linggual danterjemahan
Tanda petik “.....” : menandai kutipan langsung
Tanda garis miring /...// : menandai keterangan jeda pembicaraan
C. Daftar Gambar
Gambar .1. : Kerangka Pikir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hidup bermasyarakat tidak lepas dari kegiatan berkomunikasi.
Dalam berkomunikasi sarana yang digunakan adalah bahasa. Menurut Harimurti
Kridalaksana (2008: 24) bahasa adalah sisitem lambang bunyi yang arbitrer yang
dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan
mengidentifikasi diri. Oleh karena itu bahasa merupakan hal yang hakiki (Aslinda
dan Syafyahya, 2007: 2). Menurut Revhing Koen (dalam Aslinda dan Syafyahya,
2007: 2) hakikat bahasa bersifat (a) mengganti, (b) individual, dan (d) sebagai alat
komunikasi. Dalam hal berkomunikasi bahasa mempunyai peranan yang sangat
penting. Bahasa berfungsi sebagai media perantara dalam berkomunikasi antar
manusia.
Komunikasi antarmanusia sangat menarik untuk dicermati ataupun untuk
dijadikan bahan penelitian. Dari penelitian akan ditemukan fenomena kebahasaan
yang beraneka ragam yang menghiasi kasanah kebahasaan. Hal ini terbukti
dengan banyaknya peneliti bahasa yang mengkaji bahasa secara mendalam
sehingga melahirkan ilmu bahasa dan juga cabangnya. Selain sebagai media
komunikasi bahasa juga berfungsi sebagai identitas masyarakat penggunanya.
Misalnya Suku Jawa mempunyai bahasa Jawa, Suku Sunda memiliki bahasa
Sunda dan masih banyak suku lainnya. Bahasa ibu masyarakat Jawa berupa
bahasa Jawa. Bahasa Jawa masih dipakai dalam kehidupan sehari-hari begitu pula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sebagian besar berkomunikasi dengan
bahasa Jawa.
Dalam komunikasi antara penutur dan mitra tutur akan sama-sama
melakukan proses penerjemahan pesan tuturan baik dari penutur maupun mitra
tutur. Menurut Leech untuk membantu penerjemahan pesan sebuah tutran
diperlukan adanya tingkat pengalaman yang sama agar pesan yang disampaikan
oleh penutur maupun mitra tutur dapat diterima dengan baik (Leech, 1993: 20).
Untuk menjalin hubungan yang baik perlu menjaga perkataan, seperti yang
dikatakan pepatah Jawa yang berbunyi ajining dhiri dumunung ana ing lathi yang
artinya harga diri seseorang tergantung pada ucapannya. Oleh karena itu, kita
perlu memperhatikan sopan atau tidaknya ucapan kita. Kejadian semacam ini
dipelajari dalam cabang ilmu bahasa yang disebut pragmatik.
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari maksud dari
sebuah tuturan. Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh
penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006:
3). Selain itu, Kunjana Rahardi (2005: 49) berpendapat bahwa pragmatik adalah
ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada
dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatar belakangi
bahasa itu. Jadi, pragmatik mempelajari maksud dari tuturan yang terikat konteks.
Konteks adalah siapa yang menuturkan, mengatakan kepada siapa, tempat
dan waktu yang diujarkan di dalam suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai
sesuatu yang terlibat di dalam tindakan menuturkan kalimat (Kaswanti Purwo,
1990: 5). Selain itu, konteks merupakan pengalaman yang sama yang dimiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
oleh penutur dan mitra tutur untuk membantu menafsirkan makna tuturan (Leech,
1993: 20). Jadi, konteks merupakan unsur luar bahasa yang digunakan untuk
membantu memaknai sebuah tuturan.
Dalam pragmatik dikenal dengan adanya Prinsip Kerja Sama yang
dikemukakan oleh Grice (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 44) dan juga Leech
pada tahun 1983 dalam bukunya yang diterjemahkan oleh M. D. D. Oka
mengemukakan Prinsip Kesantunan (PS) yang melengkapi PK (Prinsip Kerja
Sama) Grice. Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta memakai bahasa Jawa
sebagai alat komunikasi yang utama untuk berkomunikasi dengan sesama teman-
temannya, contohnya pada tuturan berikut.
(data 1)O1 : “Sapa sing wis tau weruh wit kambil?”
‘Siapa yang sudah pernah melihat pohon kelapa?’O2 : “Aku Pak.”
‘Saya Pak.’O1 : “Neng ndi?”
‘Di mana?’O2 : “Neng Grand Mall pak.”
‘Di Grand Mall Pak.’(SM/21-01-2012)
Tuturan tersebut berlangsung pada situasai yang resmi di dalam kelas 7G
saat proses belajar mengajar pda tanggal 21 Januari 2012. O1 pada tuturan
tersebut adalah guru SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan O2 adalah
siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Tuturan yang dituturkan oleh O2 Yang
mengatakan “Aku Pak” ‘Saya Pak’ bila dilihat dari prinsip kerjasama yang
dikemukakan oleh Grice, tuturan tersebut sudah baik karena telah memenuhi
maksim kualitas. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan
mengatakan hal yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya, walaupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
pada faktanya pohon kelapa di Grand Mall tidak ada hanya replikanya. Akan
tetapi, bila dilihat dari skala kesantunan Leech yakni Authority scale atau skala
keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra
tutur yang terlibat dalam pertuturan, tuturan tersebut terjadi antara guru dan siswa
sehingga tuturan tersebut dikatakan tidak santun hal ini jarak sosial antara O2 dan
O1 kurang jauh. Melihat fenomena di atas, kesantunan berbahasa sangatlah
penting dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti
kesantunan berbahasa.
Peneliti lain yang telah melakukan penelitian mengenai kesantunan bahasa
antara lain:
1. Asim Gunarwan (1994) (dalam pelba 7: 1994: 814) dengan judul
“Kesantunan Negatif di kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di
Jakarta”. Penelitian tersebut bertujuan; (a) Menyebarluaskan aliran
fungsionalisme di dalam linguistik kepada mahasiswa-mahasiswa yang
berminat; (b) Mencari bukti apakah memang ada kesejajaran, seperti yang
tersirat di dalam teori Brown dan Levison (1978), di antara
Ke(tak)langsungan dan kesantunan; (c) Membuktikan setidak-tidaknya
mencari petunjuk, apakah dwibahasawan itu bikultural ataukah hanya
monokultural.
2. Harun Joko Prayitno (2011) dengan judul “Kesantunan Sosiopragmatik
Studi Pemakaian Tindak Direktif di Kalangan Andik SD Berbudaya
Jawa”. Dalam penelitian tersebut memaparkan realisasi kesantunan
direktif andik (anak didik) SD berlatar belakang budaya Jawa, dan strategi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dan teknik kesantunan direktif andik (anak didik) SD menurut latar budaya
daerah.
3. Nurul Masfufah (2010) dengan judul “Kesantunan Bentuk Tuturan
Direktif di Lingkungan SMA N 1 Surakarta (Kajian Sosiopragmatik).
Dalam penelitian tersebut mengkaji bentuk kesantunan dan ketaksantunan,
prinsip dan strategi kesantunan bentuk tuturan direktif yang digunakan
dilingkungan SMA N 1 Surakarta, urutan atau peringkat berbahasa
menurut persepsi siswa, dan faktor yang mementukan kesantunan
berbahasa.
4. Dyah Ayu Nur Ismayawati (2009) dengan judul “Kesantunan berbahasa
Jawa oleh Keturunan Arab di Pasar Benteng Surakarta (Suatu Kajian
Pragmatik). Mengkaji tentang wujud, faktor penentu, dan fungsi
kesantunan berbahasa Jawa pedagang Arab di Pasar Beteng Surakarta.
5. Wiji Nurkayati (2010) dengan judul “Kesantunan Berbahasa Jawa Kuli
Panggul di Pasar Legi Surakarta ((suatu kajian Pragmatik)” dalam
penelitian tersebut mengkaji tentang wujud kesantunan berbahasa Jawa
para kuli panggul di pasar legi Surakarta, prinsip kerjasama yang
dilakukan, dan daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa.
Berdasarkan penelitian yang sudah pernah dilakukan maka penelitian
tentang kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
belum pernah dilakukan dan masih perlu dilakukan. Oleh karena itu, penelitian
ini mengambil judul Kesantunan Berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah
1 Surakarta (Suatu Kajian Pragamtik). Adapun alasannya adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
1. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta merupakan salah satu sekolah yang ada
di Surakarta yang mayoritas siswanya menggunakan bahasa Jawa sebagai
alat komunikasi yang utama.
2. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, merupakan SMP Muhammadiayah
terbaik di Solo, sehingga dimungkinkan kesantunan berbahasa yang
digunakan oleh siswanya memiliki tingkat kesantunan yang tinggi.
3. Penelitian kesantunan berbahasa belum pernah dilakukan terutama dalam
ranah pendidikan terutama di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.
B. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah pada kesantunan
berbahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta,
dalam analisis akan dikaji bentuk kesantunan suatu ujaran yang dipandang dari
segi kaidah sosial, fungsi prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan yang
digunakan dalam sebuah ujaran dan faktor penentu kesantunan dari ujaran yang
digunakan siswa untuk berkomunikasi.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, penelitian ini
mengajukan tiga masalah, yaitu:
a. Bagaimanakah bentuk kesantunan dan ketaksantunan tuturan bahasa Jawa
yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta?
b. Apakah faktor penentu kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan
siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
c. Bagaimanakah fungsi kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan
siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta?
D. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian haruslah jelas mengingat penelitian harus mempunyai
tujuan tertentu dengan sasaran yang terarah. Perumusan tujuan haruslah
disesuaikan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Adapun tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan bentuk kesantunan dan ketaksantunan tuturan bahasa
Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.
b. Mendeskripsikan faktor penentu kesantunan tuturan bahasa Jawa yang
digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.
c. Menjelaskan fungsi kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa
di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi dua macam yakni manfaat
teoritis dan manfaat praktis.
a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya teori
linguistik khususnya teori pragmatik Jawa.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
1. Memberi informasi tentang kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan
oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.
2. Memberikan sumbangan terhadap pengembangan dan pembinaan bahasa
Jawa.
3. Sebagai tambahan materi pengajaran bahasa terutama kesantunan
berbahasa di sekolah-sekolah.
4. Digunakan sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya.
F. Sistematika Penulisan
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, pembahasan dalam
penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, dalam pendahuluan meliputi latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II Kajian pustaka, dalam kajian teori meliputi pengertian pragmatik, tindak
tutur, prinsip kerjasama, prinsip kesantunan, skala kesantunan, faktor penentu
kesantunan, juga SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, dan kerangka pikir.
Bab III Metode Penelitian, dalam metode penelitian meliputi jenis penelitian,
lokasi, data dan sumber data, populasi dan sampel, alat penelitian, metode
penyediaan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis.
Ban IV Analisis Data dan pembahasan meliputi deskripsi bentuk kesantunan
berbahasa Jawa yang digunakan Oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta,
penjelasan mengenai faktor penentu keantunan yang digunakan oleh siswa SMP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Muhammadiyah 1 Surakarta, dan fungsi kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP
Muhmmadiyah 1 Surakarta. Pembahasan merupakan sebuah diskusi mengenai
hasil analisis data yang memaparkan adanya perbedaan antra teori yang digunakan
dengan aplikasi di lapanagn yang mecakup topik-topik yang ada pada rumusan
masalah.
Bab V Penutup, dalam penutup berisi simpulan, dan saran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pragmatik
Kridalaksana (2008: 198) mendefinisikan pragmatik sebagai syarat-syarat
yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi dan
aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan
sumbangan kepada makna ujaran. Parker mendefinisikan pragmatik sebagai
berikut, Pragmatics is distinct for study of the internal structure of language.
Pragmatics is the study of how language. Pragmatics is the study of how language
is used to communicate dapat diartikan "pragmatik berbeda dengan pengajaran
tata bahasa. Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa itu digunakan untuk
berkomunikasi" (dalam Rahardi 2005: 49).
Menurut definisi di atas, segi penggunaan bahasa menjadi utama dalam
pragmatik, bagaimana penggunaan bahasa dalam tuturan dan dalam konteks
bagaimana tuturan itu digunakan. Yang dimaksud dengan konteks adalah siapa
yang menuturkan, mengatakan pada siapa, tempat dan waktu yang diujarkannya
suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai sesuatu yang terlibat di dalam
tindakan menuturkan kalimat (Kaswanti Purwo, 1990: 5).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pragmatik adalah cabang ilmu yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal,
yaitu berkaitan dengan bagaimana satuan bahasa itu digunakan dalam komunikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Pragmatik pada dasarnya menyelidiki bagaimana makna di balik tuturan yang
terikat pada konteks yang melingkupinya di luar bahasa, sehingga dasar dari
pemahaman terhadap pragmatik adalah hubungan antara bahasa dengan konteks.
B. Tindak Tutur
Tindak tutur atau speech act menurut Kridalaksana (2008: 191) adalah
pengujaran kalimat untuk menyatakan agar sesuatu maksud dari pembicaraan
diketahui pendengar. Menurut Searle di dalam bukunya Speech Acts An Essay in
The Philosophy of Language (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 21)
mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan
yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi, ilokusi, dan
perlokusi. (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata
dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah
sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud;
berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu
dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.
a. Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur
ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh tindak
lokusi adalah kalimat berikut:
(data 2)O1 : “Ayo jajan.”
‘Ayo beli jajan.’O2 : “Jajan apa?”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
‘Jajan apa?’(SM/2-03-2012)
Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk
menginformasikan sesuatu tanpa ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi
untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang
paling mudah diindentifikasi, karena dalam pengidentifikasian tindak lokusi tidak
memperhitungkan konteks tuturannya.
b. Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau
mengintormasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak
ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Sebagai contoh pada kalimat
berikut:
(data 3)O1 : “Eh, kowe ngelak ora?”
‘Eh, kamu haus tidak?’O2 : “Ora.”
‘Tidak.’(SM/21-02-2012)
Waktu terjadinya tuturkan di atas ketika jam istirahat kedua kurang lebih jam
setengah dua belas siang dan udara sedang sangat panas. Tuturan tersebut bukan
hanya menginformasikan bahwa O1 kehausan tetapi mempunyai maksud lain
yaitu mengajak untuk membeli es atau air minum. Tindak ilokusi sangat sulit
diidentifikasi karena harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tuturnya.
c. Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan
untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak perlokusi disebut sebagai The Act of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang sering kali
mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang
mendengarnya. Efek yang timbul ini bisa sengaja maupun tidak sengaja. Sebagai
contoh dapat dilihat pada kalimat berikut:
(data 4)O1 : “Ayo melu futsal tantangan lho!”
‘Mari ikut futsal tanding lho!’O2 : “Mangkato dhitku entek.”
‘Berangkat saja angku habis.’(SM/21-01-2012)
Data (4) terliahat jelas bentuk ilokusi dari tuturan O2 diatas adalah untuk
meminta maaf karena tidak dapat ikut, dan perlokusinva adalah agar orang yang
mengajaknya harap maklum. Tindak perlokusi juga sulit dideteksi, karena harus
melibatkan konteks tuturnya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturnya dari seorang
penutur memungkinkan sekali mengandung lokusi saja, dan perlokusi saja.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan mengandung kedua atau
ketiganya sekaligus.
C. Prinsip Kerjasama
Prinsip kerjasama adalah persetujuan tersirat di antara penutur bahasa
untuk mengikuti seperangkat konversi yang sama dalam bertutur. Prinsip
kerjasama dikemukakan oleh Grice (1975) dalam Wijana dan Rohmadi (2009:
44). Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama
itu, setiap penutur harus memetuhi 4 maksim peercakapan, yakni maksim
kauntitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
a. Maksim Kuantitas
Maksim ini mewajibkan seorang penutur diharapkan dapat memberikan
informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi
demikian itu tidak boleh melebihi yang sebenarnya yang dibutuhkan oleh mitra
tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh
diperlukan mitra tutur, dikatakan melanggar maksim kuantitas.
(data 5)O1 : “Yen bocah-bocah 7A iku pada manut-manut ora ana sing nakal ya ta?”
‘Kalau anak-anak 7A itu, semua baik-baik tidak ada yang nakal ya kan?’O2 : “Salok pak, kuwi ngarep dhewe.”
‘Sebagian Pak, itu yang paling depan.’(SM/21-01-2012)
Tuturan di atas terjadi ketika pelajaran bahasa Jawa pada kelas 7A, O1 adalah
guru bahasa Jawa sedangkan O2 salah satu murid yang memberikan informasi
yang sesuai dibutuhkan oleh O1, dengan demikian O2 telah memenuhi Maksim
Kuantitas.
b. Maksim Kualitas
Maksim ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang
nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Dalam bertutur fakta-fakta itu
harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.
(data 6)O1 : “Sapa sing wis tau weruh wit kambil?”
‘Siapa yang sudah pernah melihat pohon kelapa?’O2 : “Aku Pak.”
‘Saya Pak.’O1 : “Neng ndi?”
‘Di mana?’O2 : “Neng Grand Mall pak.”
‘Di Grand Mall Pak.’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
(SM/21-01-2012)
Tuturan di atas terjadi di dalam kelas 7G tanggal 21 januari 2012, tuturan O2
memberikan informasi bahwa dia pernah melihat pohon kelapa di Grand Mall,
walupun hanya berbentuk replika pohon kelapa.
c. Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.
(data 7)O1 : “Anak gajah apa?”
‘Anak gajah apa?’O2 : “Bledug.”
‘Bledug.’O1 : “Anak kebo?”
‘Anak kebo?’O2 : “Belo.”
‘Belo.’(SM/21-01-2012)
Tuturan tersebut terjadi pada tanggal 21 Januari 2012 di kelas 7G, O1 adalah guru
bahasa Jawa, O2 semua siswa 7G. Tututran O2 terlihat jelas bahwa memenuhi
maksim relevansi, karena memberikan informasi yang relevan.
d. Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara
secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebihan serta runtut. Selain
itu, seorang penutur juga harus menafsirkan kata-kata yang digunakan lawan
bicaranya secara taksa (ambigu) berdasarkan konteksnya.
(data 8)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
O1 : “Fikri iku cah ksatria.”‘Fikri itu anak Ksatria.’
O2 : “Oh, pantes maine apik.”‘Oh, pantas mainnya bagus.’
(SM/15-02-2012)
Dari tuturan di atas kata ksatria bukan berarti seorang ksatria pemberani
melainkan salah satu nama sebuah sekolah sepak bola yang ada di Solo.
D. Prinsip Kesantunan
Sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip
kesantunan. Prinsip kesantunan ini menurut Wijana dan Rohmadi (2009: 54)
berhubungan dengan dua peserta percakapan yakni diri sendiri (self) dan orang
lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan
orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Menurut Wijana dan
Rohmadi prinsip kesantunan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim
kebijaksanaan, makasim kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahan
hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian.
1. Maksim Kebijaksanaan
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif.
Menggariskan peserta tutur untuk meminimalkan kerugian orang lain atau
memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
(data 9)O1 : “Pengen es ra? Tak tukoke ya?”
‘Mau es tidak? Saya belikan ya?’(SM/3-03-2012)
Tuturan tersebut sangat jelas terlihat dengan adanya penawaran kepada mitra tutur
yang pada prinsipnya merugikan diri sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
2. Maksim Penerimaan
Maksim ini diutarakan dengan komisif dan impositif. Mewajibkan setiap
peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan
meminimalkan keuntungan diri sendiri.
(data 10)O1 : “Ying, maying, aku tukoke es teh karo kwaci mengko tak kei.”
‘Ying, maying, saya belikan es teh dan kwaci nanti saya kasih.O2 : “Ndi dhuwite.”
‘Mana uangnya.’(SM/23-01-2012)
Tuturan O1 di atas kurang sopan hal ini dikarenakan O1 ingin meraih untung
sebanyak-banyaknya, namun dengan memberi imbalan yakni dengan memberi
sebagian dari jajannya masih bisa dianggap santun.
3. Maksim Kemurahan
Maksim Kemurahan diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat
aserti. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan
menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam
mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat pun harus sopan. Maksim
kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa hormat
kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat. Maksim kemurahan ini
terlihat pada wacana berikut.
(data 11)O1 : “Her, Heri bocah kok badhog thok.”
‘Her, Heri orang kok makan saja.’O2 : “Apa?” (karo mesem).
‘Apa? (sambil tersenyum).’(SM/3-03-2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Tuturan O1 pada rekan tuturnya O2 memaksimalkan rasa tidak hormat terlihat
dari kata badhog ‘makan yang berarti kasar’, namun kedekatan antra O1 dan O2
sangat dekat sehingga O2 tidak tersinggung.
4. Maksim Kerendahhatian
Maksim kerendahan hati diungkapkan dengan kalaimat ekspresif dan
asertif. Bedanya, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Sementara maksim
kemurahan berpusat pada orang lain. Maksim ini menuntut peserta pertuturan
memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa
hormat pada diri sendiri.
(data 12)O1 : “We/ fisika bijine dhuwur dhewe.”
‘We/ fisika nilainya tertinggi.’O2 : “Mesthi no, mase ok.”
‘Jelas dong, abang.’(SM/27-04-2012)
Tuturan di atas yang dikemukakan oleh O2 yang memaksimalkan rasa hormat
pada diri sendiri sehingga tuturan O2 dianggap tidak sopan.
5. Maksim Kecocokan
Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim ini
menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di
antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka.
(data 13)O1 : “Ayo mulih.”
‘Mari pulang.’O2 : “Yakin mulih? Ora sida dolan?”
‘Yakin pulang? Tidak jadi main?(SM/3-03-2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Tuturan O2 menunjukan ketidaksetujuan nemun dengan cara yang halus sehingga
tercipta kesantunan berbahasa.
6. Maksim Kesimpatian
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim ini
mengharuskan setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa simpati dan
meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapat
kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila
lawan tutur mendapat kesusahan atau musibah, penurut layak turut berduka atau
mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda simpati.
(data 14)O1 : “Sukur len, ditendang len.”
‘Sukur len, ditendang len.’O2 : “Sing tak tendang kowe, nganti boroke padha metu.”
‘Yang saya tendang kamu, sampai boroknya pada keluar.’O1 : “Apa!”
‘Apa!’(SM/22-02-2012)
Tuturan O1 yang tidak menyatakan belasungkawa atau kasihan sehingga
melanggar maksim kesimpatian sehingga O2 merasa tersinggung kemudian
marah.
E. Skala Kesantunan Leech
Di dalam skala kesantunan Leech (1993: 194) setiap maksim interpersonal
itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan.
Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
a. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada
besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan
diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian
sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin
dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat
dari segi mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri
mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian
sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri si mitra tutur, akan
dianggap semakin santunlah tuturan itu.
b. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau
sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra
tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan
penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa,
akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi
si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan
dengan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia, dapat
dikatakan bahwa apabila tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan
tuturan akan menjadi semakin santunlah pemakaian tuturan imepratif itu.
c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada
peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung,
maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
d. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan.
Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan
mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun.
Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara
keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan
yang digunakan dalam bertutur itu.
e. Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah
pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat
sosial antara di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah
tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial
antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan itu.
Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur
dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang
digunakan dalam bertutur.
G. Faktor Penentu Kesantunan dan Ketaksantunan Berbahasa
Menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47) faktor penentu kesantunan
adalah segala hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun
atau tidak. Berdasarkan identitifikasi terhadap bentuk kesantunan dan
ketaksantunan ada beberapa faktor yang menyebabkan tuturan tersebut santun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
maupun tidak santun. Menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47) faktor
penentu kesantunan berbahasa meliputi dua hal pokok, yaitu faktor kebahasaan
dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup lima aspek yaitu pemakaian
diksi yang tepat, pemakaian gaya bahasa bahasa yang santun, pemekaian struktur
kalimat yang benar dan baik, aspek intonasi, aspek nada bicara. Sedangkan faktor
non kebahasaan mencakuptopik pembicaraan, konteks situasi komunikasi, pranata
sosial masyarakat.
a. Faktor Kebahasaan
Faktor kebahasaan tersebut adalah segala unsur yang berkaitan dengan
masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal.
1. Pemakaian Diksi yang Tepat
Pemakaian diksi atau pilihan kata yang tepat saat bertutur dapat
mengakibatkan tuturan menjadi santun. Ketika penutur sedang bertutur, kata-kata
yang digunakan dipilih sesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks
pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan, dan sebagainya.
Kebenaran suatu tuturan tidak hanya ditentukan oleh keteraturan bagian-
bagiannya sebagai satuan pembentuk tuturan, tetapi juga ditentukan oleh bentuk
dan pilihan kata atau diksi yang mengisi bagian-bagian itu, dengan demikian
kesalahan dimungkinkan juga oleh adanya pemakaian bentuk dan pilihan kata
yang tidak benar atau tidak tepat.
Menurut Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 48) pemakaian diksi yang
berkadar santun tinggi memiliki beberapa agrumentasi di antaranya; nilai rasa kata
bagi mitra tutur akan terasa lebih halus, persepsi mitra tutur merasa bahwa dirinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
diposisikan dalam posisi terhormat, penutur memiliki maksud untuk menghormati
mitra tutur, dan akan menciptakan komunikasi yang santun dengan menjaga
harkat dan martabat penutur.
2. Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun
Menurut Hardjoprawiro (dalam Masfufah, 2010: 48) Berbahasa itu tidak
hanya sekedar dapat memahami ucapannya sebab kalu berbahasa asal mengerti
atau dipahami saja, tidak ada seninya. Dalam berbahasa juga diperlukan suatu
gaya bahasa karena gaya bahasa dapat juga menimbulkan pemakaian bahasa yang
santun. Seperti yang dikatakan Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 48) gaya bahasa
tersebut merupakan optimalisasi pemakaian bahasa dengan cara-cara tertentu
untuk mengefektifkan komunikasi.
Pemakaian gaya bahasa untuk mencapai komunikasi yang santun tidaklah
mudah. Memang dibutuhkan pemahaman mengenai berbagai gaya bahasa. jika
seseorang mahir menggayakan bahasa dengan berbagai jenis majas, seperti
peronifikasi, metafora, perumpamaan, litotes, eufemisme, dan sebagainya ternyata
dapat meredam tuturan yang sebenaranya cukup keras. Dengan pemakaian gaya
bahasa yang santun, penutur telah menunjukan sebagai orang yang bijaksana
menyampaikan pesan atau maksud kepada mitra tutur. Gaya ini juga merupakan
salah satu cara untuk memperkecil kesenjangan antara “apa yang dipikirkan”
dengan “apa yang dituturkan”, tetapi dengan memenfaatkannya secara baik dan
tepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
3. Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar dan Baik
Pemakaian Struktur kalimat yang benar dan baik pada saat bertutur,
khususnya pada situasi formal atau resmi dapat mengakibatkan atau
menimbulakan pemakaian bahasa menjadi santun. Pemakaian struktur kalimat
yang benar dan baik ini meliputi; kelengkapan konstruksi kalimat, keefektifan
kalimat, dan penggunaan bentuk kebahasaan, tentu saja penggunaan bentuk
bahasa yang santun yang sesuai dengan konteks tuturan.
4. Aspek Intonasi
Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya
pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur
dengan menggunakan intonasi keras padahal jarak mitra tutur berada jarak yang
sangat dekat dengan penutur, penutur akan dinilai tidak santun. Sebaliknya, kija
penutur menyampaikan intonasi dengan lembut, penutur akan dinilai sebagai
orang yang santun. Namun, intonasi kadang-kadang dipengaruhi oleh latar
belakang budaya masyarakat. Misalnya lembutnya intonasi orang Jawa berbeda
dengan orang Batak ataupun orang Bugis.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “lemah lembut” didefinisikan
sebagai ‘baik hati, tidak pemarah, peramah’. Adapun “lembut” itu sendiri
diartikan sebagai ‘halus dan enak didengar, tidak kasar; tidak keras atau tidak
nyaring (tentang suara, bunyi); baik hati (halus bahasanya), tidak bengis, tidak
pemarah, lembut hati’. Dalam praktiknya deskripsi ini tercermin pada bagaimana
seseorang mengekspresikan tututran dalam pengaturan intonasi. Karena intonasi
mengandung unsur nada (tone), tekanan (stress), dan tempo (duration), maka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
pengaturan ini bisa di arahkan pada bagaimana mengatur keras-lemah, tinggi-
rendah, dan panjang-pendek suara dalam tuturan. Unsur-unsur ini mengandung
makna tersirat yang mengiringi tuturan yang berlangsung yang dinamakan
“makna emosi’ penutur.
5. Aspek Nada Bicara
Aspek nada dalam bertutur lisan dapat juga mempengaruhi kesantunan
berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggmbarkan
suasana hati penutur ketika sedang bertutur. Jika suasana hati sedang senang, nada
bicara penutur menaik dengan ceria sehingga terasa menyenangkan. Sebaliknya
jika suasana hati sedang sedih, nada bicara penutur menurun dengan datar
sehingga terasa tidak menyenagkan atau menyedihkan. Jika sedang marah atau
emosinya tinggi, nada bicara penutur akan menaik dengan keras dan kasar
sehingga terasa menakutkan. Nada bicara tersebut tidak dapat disembunyikan dari
tuturan.
Dengan kata lain, nada bicara penutur selalu berkaitan dengan suasana hati
si penutur. Namun, bagi penutur yang selalu ingin bertutur secara santun, dapat
mengendalikan diri agar suasana yang negatif tidak terbawa dalam bertutur
dengan mitra tuturnya.
b. Faktor Nonkebahasaan
Pada saat berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan faktor
kebahasaan. Namun, penutur juga melibatkan faktor-fakor nonkebahasaan yang
akan menentukan kesantunan bertutur. Berikut penjelasan secara singkat ketiga
hal tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
1. Topik Pembicaraan
Suwandi berpendapat bahawa topik pembicaraan adalah pokok masalah
yang diungkapkan ketika terjadinya komunikasi antara penutur dan mitra tutur.
Pada dasarnya topik dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu (a) topik
yang bersifat formal (misalnya; kedinasan, keilmuan, dan kependidikan) dan (b)
topik yang bersifat informal (misalnya; masalah kekeluargaan, persahabatan).
Topik (a) biasanya diungkapkan dengan bahasa baku, sedangkan topik (b)
diungkapkan dengan bahasa nonbaku dan santai (dalam Masfufah, 2010: 51).
Sementara menurut Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 52), topik
pembicaraan dalam suatu komunikasi sering mendorong seseorang untuk
berbahasa secara santun atau tidak santun. Misalnya, topik pembicaraan yang
dapat mengancam posisi si penutur dapat memuncalkan tuturan yang tidak santun.
Hal ini memang bersifat kodrati karena setiap orang atau penutur ingin martabat
dirinya tidak dilanggar oleh orang lain. Bahkan, penutur yang salah sekalipun, jika
merasa dipermalukan di dihadapan orang lain pasti dia akan membela diri dengan
mengucapkan tuturan yang tidak santun.
2. Konteks Situasi Komunikasi
Pranowo (dalam Masfufuah, 2010: 52) mengatakan faktor nonkebahasaan
yang berupa konteks situasi ini adalah segala keadaan yang melingkupi terjadinya
komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, dan kondisi
psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya.
Komunikasi antarpenutur dapat terjadi di berbagai tempat (misalnya; di kelas, di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
kantin, di kantor, di jalan), dalam berbagai waktu (misalnya, pagi, siang, sore),
dan sebagainya.
Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dapat pula berupa
konteks ekstralinguistik. Pengguna bahasa atau penutur harus memperhatikan
konteks tersebut agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan dapat
menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, penutur senantiasa terikat
konteks dalam menggunakan bahasa (Masfufah, 2010: 52).
3. Pranata Sosial
Anan berpendapat, tujuan lain komunikasi adalah untuk menjalin
hubungan sosial (social relationship) antara pembicara dan lawan bicara. Dalam
menjalin hubungan sosial ini tujuan komunikasi menjadi sangat kompleks.
Kompleksitas ini disebabkan tidak hanya oleh faktor-faktor linguistik (linguistic
factors) yang harus dipertimbangkan oleh pembicara dan lawan bicara, tetapi
faktor-faktor nonlinguistik (non-linguistic factors) juga memegang peranan
penting (dalam Masfufah, 2010: 53). Seseorang pembicara tidak cukup memilih
formulasi gramatikal dan pilihan kata yang tepat untuk berbicara, tetapi aspek
sosio kultural juga harus menjadi pertimbangan.
Pranata sosial budaya masyarakat sebagai penentu kesantunan berbahasa
dari aspek nonkebahasaan memang perlu diperhatikan bagi penutur. Misalnya,
aturan anak kecil atau anak muda yang harus selalu hormat kepada orang yang
lebih tua, berbicara tidak boleh sambil makan, perempuan tertawa terbahak-bahak,
tidak boleh bercanda ria di tempat orang yang sedang berduka, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Berdasarkan dari teori kesantunan dan faktor penentu kesantunan, dalam
penelitian ini fungsi kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta dapat diklasifikasikan menjadi empat fungsi kesantunan. Keempat
fungsi kesantunan tersebut meliputi (1) menolak secara tidak langsung, (2)
menghormati MT, (3) menguntungkan MT, dan (4) memberi perintah secara tidak
langsung.
H. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
SMP Muhammadiyah 1 Surakarta berada di Jl. Flores No.1, Kampung
Baru Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta Telp.(0271) 636273.
a. Sejarah Berdirinya SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
Pada tanggal 1 Agustus 1952 dengan syarat keputusan Muhammadiyah
bagian pengajaran cabang Surakarta No: E–1/I –01/1978 SLTP Muhammadiyah I
Surakarta secara resmi berdiri dengan berstatus swasta penuh dan berlokasi
sebagian di komplek perguruan Simpon dan sebagian di Kemlayan, dengan kepala
sekolah Bapak Hadi Sumarno. Di komplek perguruan Simpon pada waktu itu
ditempati tiga sekolah yakni SMP Muhammadiyah 1 dan SMP Muhammadiyah 3
masuk pagi, serta SPG Muhammadiyah 1 masuk sore.
Di tahun 1995, SMP Muhammadiyah mendapatkan status yakni swasta
berbantuan dengan kepala sekolah Bapak Kirmadi Hendrosisiwarno dimutasikan
ke SMA Muhammadiyah 1 Surakarta, maka yang menjabat sebagai kepala
sekolah adalah Bapak Hardiyanto. Selanjutnya pada bulan Agustus 1965 berstatus
swasta bersubsidi penuh No. SK 5440/B.S/B.1 dengan Bapak Kepala Sekolah
Bapak Soeyoto yang berstatus guru negeri diperbantukan, pada tahun 1960 beliau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
dimutasikan ke SMP Negeri 4 Surakarta, maka ditunjuk menjabat kepala sekolah
yang baru yakni Bapak Soekirno, BA. Tahun 1960 Bapak H. Abdul Azis
Markumi, BA ditunjuk sebagai kepala sekolah difinitif dengan SK:
E.6313.IISP/Sep/68. Bapak Soekiryo, BA ditunjuk sebagai kepala sekolah SMP
Muhammadiyah 3 Surakarta. Kemudian pada tahun 1972 Pimpinan
Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Kebudayaan Kodya Surakarta
mengambil keputusan memadatkan SMP Muhammadiyah 1 dan 3 Surakarta
dipadatkan menjadi satu dengan nama SMP Muhammadiyah 1 bersubsidi di
Surakarta, selanjutnya SMP Muhammadiyah 3 dengan status perbantuan
diberikan kepada SMP Muhammadiyah yang berlokasi di pasar Kliwon Surakarta
(dulu SMP Wustho). Sedang Bapak Soekirno pindah tugas di SPG
Muhammadiyah 1 Surakarta. Mulai saat itu SMP Muhammadiyah 1 mulai
berkembang baik dan melangkah dengan kelengkapan sarana dan prasarana
maupun mutu dan kualitasnya.
Dalam akreditasi sekolah yang dilaksanakan oleh pemerintah pada tanggal
27 Maret 1985, SMP Muhammadiyah mendapatkan status disamakan dengan SK
No. 359 / 103 / H. 1985. tahun 1990 mengajukan akreditasi yang kedua dan dapat
mempertahankan status disamakan dengan SK No. 4055 / 103 / 1990 pada tahun
1996 mengajukan akreditasi dengan hasil disamakan serta tahun 2005
terakreditasi dengan nilai A (amat baik).
Kepala sekolah SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, yaitu Bapak Abdul
Azis, BA, meninggal dunia pada tanggal 28 Sepetmber 1988, kemudian
digantikan oleh Bapak Marsudi, BA pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1996
/ 1997 beliau digantikan Bapak H.M. Dahlan Adi Susilo, BA dengan SK Majelis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Dikdasmen PDM kota Surakarta. Pada tanggal 7 November 1998 jabatan kepala
sekolah diserahkan kepada Bapak Drs. Mokh Akhsan. Tanggal 10 Januari 2001
beliau mendapat SK definitive Depdikbud. Untuk menjadi kepala sekolah selama
1 periode yaitu 4 tahun. Pada tanggal 1 Agustus 2005 dengan SK dari Majelis
terjadi rotasi kepala sekolah yang mana Bapak Drs. Mokh Akhsan dipindah
tugaskan ke SMP Muhammadiyah 4 Surakarta, sedangkan untuk SMP
Muhammadiyah 1 diserahkan kepada Bapak Drs. H. M. Joko Riyanto,
SH.MM sebelumnya menjabat Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 7 Surakarta
dan mulai tahun 2005 sampai sekarang beliau masih menjabat sebagai kepala
sekolah di SMP Muhammadiyah 1
b. Visi SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
Sekolah yang terkenal dengan The Favourite school SMP Muhammadiyah
1 Simpon Surakarta mempunyai visi "ILMU YANG AMALIAH, DAN AMAL
YANG ILMIAH" yang mengandung arti Ilmu yang dapat diamalkan baik secara
akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari, sebaliknya dapat diamalkan
secara keilmuan atau dapat diterima secara agama dan ilmiah keilmuan.
c. Misi SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
"DAKWAH ISLAMIAH DENGAN MEWUJUDKAN SOSOK PELAJAR
MUSLIM YANG BERAKHLAK MULIA, CERDAS, PERCAYA DIRI,
BERGUNA BAGI NUSA, BANGSA, DAN AGAMA", dari misi yang di tulis
didepan intinya mengandung arti bahwa setiap peserta didik diharapkan mampu
mengaplikasikan pelajaran yang diperoleh ke dalam kehidupan sehari-hari, dan
tentunya mempunyai akhlak yang baik terhadap Guru, orang tua, dan masyarakat,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
yang akhirnya mempunyai tujuan mencapai cita-cita yang berguna bagi Nusa,
Bangsa dan Agama.
H. Kerangka Pikir
Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang masih dipakai oleh
penggunanya. Pengguna bahasa Jawa tersebar di berbagai penjuru tanah air selain
itu, juga digunakan oleh berbagai macam usia mulai dari anak-anak, remaja
sampai dewasa. Bahasa yang digunakan oleh remaja sangat bervariasi sehingga
menarik untuk dicermati. Begitu pula dengan siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta yang meyoritas siswanya adalah pengguna bahasa Jawa. Penggunaan
bahasa Jawa lisan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
untuk berkomunikasi sehari-hari sangat menarik untuk dicermati.
Untuk menjalin komunikasi yang baik perlu mempertimbangkan
bagaimana tingkat kesantunan berbahasa kita, agar orang lain tidak tersinggung
atau merasa terancam. Begitu pula dengan siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta yang pastinya menggunakan kesantunan berbahsa untuk berkomunkasi
dengan sesama temannya, guru/ staf karyawan, penjaga kantin, pedagang dan lain-
lain. Kesantunan berbahasa dilakukan bukan tanpa sebab dan tujuan, melainkan
kesantunan berbahasa mempunyai fungsi yang sangat menentukan dalam
pembicaraan. Selain itu, kesantunan berbahasa juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang akan menentukan bagaimana kadar kesantunan yang digunakan oleh
siswa utnuk berinterakasi dengan semua elemen sekolah SMP Muhammadyah 1
Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Gambar .1.
Bahasa Jawa
Siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta
Lisan
PrinsipKerjasama
Grice
SkalaKesantunan
Leech
KesantunanBerbahasa Jawa
PrinsipKesantunan
Leech
FungsiKesantunan
BentukKesantunan
FaktorKesantunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini metodologi penelitian akan dibicarakan mengenai jenis
penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, populasi dan sampel, metode
penyediaan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis.
A. Jenis Penelitian
Penelitian tentang “Kesantunan Berbahasa Jawa Siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik)” dapat dikategorikan
sebagai penelitian kasus, karena berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan
meneliti objek penelitian secara mendalam untuk memperoleh hasil yang cermat.
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Deskriptif artinya
mendeskripsikan aspek-aspek kebahasaan secara cermat dan teliti berdasarkan
fakta-fakta kebahasaan yang sebenarnya (Sumarlam, 2010: 169). Sedangkan
kualitatif menurut Strauss dan Corbin artinya temuan-temuannya tidak diperoleh
melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (dalam Syamsuddin, 2009:
73). Penelitian kualitatif bertujuan untuk mengungkapkan informasi kualitatif
sehingga lebih menekankan pada proses dan makna dengan cara mendeskripsikan
sesuatu masalah (Sutopo, 2002: 38). Penelitian deskriptif kualitatif dalam
penelitian ini yaitu mendeskripsikan kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta yang berupa kata-kata dan tidak menggunakan
statistik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah SMP Muhammadiyah 1 Surakarta yang
terletak di Jl. Flores No.1, Kampung Baru Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta.
SMP Muhammadiyah 1 Surakarta terletak di pusat kota sehingga memudahkan
untuk berkumpulnya semua siswa dari seluruh kota Solo, sehingga banyak siswa
yang menggunakan bahasa Jawa untuk komunikasi sehari-hari.
C. Data dan Sumber Data
Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993: 3). Jenis data pada
penelitian ini berupa data lisan. Data lisan merupakan data kebahasaan yang
digunakan oleh siswa untuk berinteraksi dengan guru, penjaga kantin, pedagang,
sesama siswa dan yang lainnya di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta secara
alamiah dan wajar dalam kegiatan bertutur. Data dalam penelitian ini berupa
tuturan berbahasa Jawa yang dipakai oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
yang mengandung kesantunan berbahasa dan ketaksantunan berbahasa yang
dipengaruhi faktor kebahasaaan dan nonkebahasaan.
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari informan yang terpilih.
Kriteria informan yang terpilih dalam penelitian ini, yaitu: (1) siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta, (2) sehat jasmani dan rohani, (3) memiliki alat ucap
sempurna. Informan yang tepat akan diperoleh data: (1) alamiah, maksudnya
bahasa yang dipakai tidak direkayasa/ diciptakan secara mendadak tetapi sudah
ada dalam kehidupan masyarakat, (2) lisan, kehadirannya yaitu berupa bunyi, (3)
normal, maksudnya bahasa tersebut kehadirannya secara normal baik dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
pemakaian maupun kejiwaan pemakaiannya sehingga sempurna kemaknaannya,
dan (4) wajar, maksudnya situasi pemakaian dipakai wajar oleh penutur.
D. Populasi dan Sampel
Populasi adalah objek penelitian. Populasi pada umumnya ialah
keseluruhan individu dari segi-segi berbahasa (Subroto, 1992: 32). Populasi dalam
penelitian ini adalah keseluruhan tuturan bahasa Jawa yang digunakan oleh siswa
SMP Muhammadiah 1 Surakarta baik tuturan di luar kelas maupun di dalam kelas
yang terdapat pada sumber data.
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dilakukan oleh peneliti
langsung (Subroto, 1992: 32). Sampel dalam penelitian ini adalah tuturan yang
mengandung kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan oleh siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta baik di dalam kelas maupun di luar kelas yang
mewakili populasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini secara
purposive sampling. Teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel secara
selektif dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan penelitian berdasarkan
data yang ada. Pengambilan sampel pada penelitian ini pada bulan Desember
2011 sampai bulan April tahun 2012.
E. Alat Penelitian
Alat penelitian dibagi menjadi dua yaitu alat utama dan alat bantu. Dalam
penelitian kualitatif, kekdudukan peneliti sangat rumit karena menjadi segalanya
dalam keseluruhan proses penelitian. Peneliti dalam penelitian ini merupakan
seorang perencana, pelaksana penyediaan data, analisis, penafsir data, dan pada
akhiranya menjadi pelapor hasil penelitian Lexy J. Moeleong (2010: 168). Alat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
bantunya adalah alat tulis, tape recorder/ handphone, komputer, informan, kertas
HVS, dan lain-lainnya yang dapat memperlancar penelitian.
F. Metode dan Teknik Penyediaan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dengan menggunakan metode
simak, dengan menyimak penggunaan bahasa Jawa oleh siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta. Disebut metode simak karena pengumpulan data
dengan menyimak penggunaan bahasa. Teknik dasar dengan menggunakan teknik
sadap, yaitu mendapat data dengan cara menyadap (Sudaryanto, 1993: 133).
Teknik lanjutan menggunakan: (1) Teknik Simak Libat Cakap, peneliti
terlibat langsung dalam pengambilan data. (2) Teknik Bebas Libat Cakap,
maksudnya pengambilan data tanpa mengikutsertakan peneliti untuk terllibat
langsung dalam percakapan. (3) Teknik rekam, teknik ini bisa secara terbuka yaitu
perekaman diketahui oleh pihak informan dan tertutup yaitu perekaman tidak
diketahui oleh pihak informan untuk mendapatkan data secara wajar. (4) Teknik
catat, pencatatan dipergunakan untuk data yang diperkirakan memerlukan
perhatian dan keterangan khusus, seperti waktu dan tempat terjadinya tuturan,
identitas penutur dan mitra tutur, situasi dan tujuan tuturan.
Teknik Simak Libat Cakap digunakan untuk memperoleh data dengan cara
peneliti melakukan penyadapan dengan ikut berpartisipasi dalam pembicaraan
sambil menyimak pembicaraan informan. Peneliti terlibat langsung dalam dialog.
Teknik Simak Bebas Libat Cakap digunakan untuk memperoleh data dengan cara
peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh informan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Peneliti tidak terlibat langsung dalam dialog atau tuturan bahasa yang diteliti
hanya menyimak dialog antar informan yang dipilh.
Teknik rekam digunakan utnuk memperoleh data yang telah direncana
oleh peneliti dengan cara merekam tuturan informan. Selain teknik rekam peneliti
menggunakan teknik catat unuk mencatat data yang tidak terncana dengan cara
mencatat tuturan yang terucap oleh informan.
G. Metode Analisis Data
Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan metode menggunakan
metode padan. Metode padan yaitu analisis data dengan alat penentunya di luar
bahasa yang merupakan konteks sosial terjadinya peristiwa penggunaan bahasa
dalam masyarakat (Sudaryanto, 1993: 13). Berdasarkan alat penentunya metode
padan dapat dibedakan menjadi lima subjenis. Pertama, alat penentunya berupa
kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent yang disebut metode padan
referensial. Kedua, alat penentunya organ pembentuk bahasa atau organ wicara
yang disebut metode padan fonetis artikulatoris. Ketiga, alat penentunya bahasa
lain atau langue lain yang disebut dengan metode padan translasional. Keempat,
alat penentunya adalah tulisan metode ini disebut dengan metode padan
ortografis. Kelima, alat penentunya mitra wicara yang disebut juga dengan metode
padan pragmatik.
Dalam penelitian ini metode yang cocok untuk menganalisis data adalah
metode padan pragmatik dengan alat penentunya adalah penutur dan mitra tutur.
Menurut Sudaryanto (1993: 9) metode adalah cara yang harus dilaksanakan,
sedangkan teknik adalah cara untuk melaksanakan metode. Jadi, singkatnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
teknik adalah jabaran metode yang ditentukan oleh alat yang dipakai. Seperti
halnya metode analisis lain, metode padan mempunyai teknik dasar dan teknik
lajutan. Teknik dasar metode padan adalah teknik pilah unsur penentu atau PUP.
Teknik pilah unsur penetu (PUP) alat yang digunakan untuk menentukan unsur
penentu adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti.
Sedangkan teknik lanjutannya adalah teknik hubung banding menyamakan
(HBS), taknik hubung banding memperbedakan (HBB), dan teknik hubung
banding menyamakan hal pokok (HBSP).
Dalam penelitian ini teknik dasar yang digunakan adalah teknik PUP atau
teknik pilah unsur penentu. Teknik pilah unsur penentu pada penelitian ini untuk
memilah tuturan berdasarkan unsur penentu. Metode padan digunakan untuk
mengetahui kesantunan yaitu efek yang ditimbulkan tuturan oleh mitra tutur dan
digunakan untuk mengetahui reaksi yang dilakukan oleh mitra tutur.
Adapun penerapan metode padan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut.
(data 15)O1 : “Zak, Zaki, gelem tak kongkon?”
‘Zak, Zaki, mau aku suruh?O2a : “Apa?”
‘Apa?’O1 : “Jupuke tisu neng kono ndang.”
‘Segera ambilkan tisu di situ.’O2b : “Jupuk dhewe.”
‘Ambil sendiri.’O2c : “Alah biasane ngelap nganggo kudung we.”
‘Alah biasanya ngelap pakai kudung we.’O2d : “Ora nganggo klambi.”
‘Tidak, pakai baju.’(SM/5-04-2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tuturan tersebut terjadi pada tanggal 5 april 2012 di kantin sekolah yang
terlibat dalam tuturan adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Tuturan O1
yang mengatakan “Zak, Zaki, gelem tak kongkon?” ‘Zak, Zaki, mau aku suruh?’
tuturan tersebut masuk ke dalam bentuk kesantunan dengan pemenuhan maksim
penerimaan, secara sepintas terlihat seperti menguntungkan mitra tutur, karena O1
mengatakan gelem tak kongkon? ‘mau aku suruh?’ secara harfiah ini akan
memberikan beban kepada mitra tutur. Tetapi dari konteks yang ada saat tuturan
tersebut berlangsung posisi duduk O2 memang dekat dengan tempat tisu seperti
yang diminta oleh O1. Selain dari segi tempat yang dekat O1 juga mematuhi tiga
skala kesantunan yakni cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan,
optionality scale atau skala pilihan, authority scale atau skala keotoritasan
menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam pertuturan. Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale)
terlihat dari konteks terjadinya tuturan yang pada saat itu posisi O2 dekat dengan
tempat tisu yang diminta oleh O1, sehingga O2 tidak perlu jauh-jauh untuk
menjangkau tisu yang diminta oleh O1. Penutur atau O1 juga mempertimbangkan
skala pilihan (optional scale) skala ini bisa langsung terlihat dari tuturannya yang
menggunakan kata gelem ‘mau’ yang mengisyaratkan kepada mitra tutur adanya
pilihan untuk memilih menerima ataupun menolak. Begitu pula dengan skala
selanjutnya yakni skala keotoritasan (authority scale) skala ini menunjuk kepada
hubungan status sosial antara O1 dan O2 yang sama-sama siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta yang setingkat atau setara. Hal tersebut terlihat dari
penggunaan bahasa yang sedang mereka gunakan yang lebih cenderung
menggunakan bahasa yang santai dan ragam bahasa ngoko.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Faktor penentu kesantunan, menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47)
ada dua hal pokok yang menjadi faktor penentu kesantunan, yaitu faktor
kebahasaaan dan faktor non kebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup lima aspek
yaitu pemakaian diksi yang tepat, pemakaian gaya bahasa yang santun, pemakaian
struktur kalimat yang benar dan baik, aspek intonasi, dan aspek nada bicara.
Sedangkan faktor nonkebahasaan mencakup topik pembicaraan, konteks situasi
komunikasi, dan pranata sosial. Dari uraian tersebut, tuturan di atas dapat
dianalisis faktor penentu kesantunan sebagai berikut.
A. Faktor kebahasaan
1. Aspek pemakaian diksi yang tepat
Dalam kegiatan bertutur pemilihan diksi yang tepat dapat mengakibatkan
tuturan menjadi santun, atau sebaliknya akibat salah pemakaian diksi bisa
mengakibatkan tuturan menjadi tidak santun misalnya pada tuturan seperti yang
dituturkan oleh O1 pada data (15) di atas. Pemilihan diksi yang dipilih O1
merupakan diksi yang baik, dengan harapan MT (mitra tutur) bersedia mengikuti
apa yang di inginkan oleh O1. Berkebalikan dengan tuturan O2 yang memilih
diksi yang kurang tepat sehingga tuturan yang dihasilkan tidak santun dan
memiliki rasa kata yang kasar.
2. Pemakaian gaya bahasa yang santun
Di dalam penelitian ini penggunaan gaya bahasa yang santun tidak
ditemukan. Hal tersebut dimungkinkan peserta tutur berada pada suasana santai
atau informal. Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa peserta tutur tidak
mempunyai atau mengetahui bagaimana penggunaan gaya bahasa yang santun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
3. Pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik
Pemakaian struktur kalimat meliputi; kelengkapan konstruksi, kefektifan
kalimat, dan penggunaan bentuk bahasa yang santun, tentu saja penggunan bentuk
bahasa yang santun sesuai dengan konteks tuturan. Pada tuturan di atas, pemakain
struktur kalimat yang benar dan baik tercermin dari tuturan O1 yang memenuhi
syarat struktur kalimat. Analisa pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik
sebagai berikut.
Zak, Zaki gelem tak kongkon? ‘Zak, Zaki, mau aku suruh?S P
Kalimat yang benar dan baik terlihat jelas dari tuturan O1 kalimat tersebut
memenuhi bentuk kalimat minimal, yakni terdiri dari satu subjek dan satu
predikat. Berkebalikan dengan O2 yang menggunakan tuturan yang tidak
menggunakan struktur kalimat yang baik dan benar.
Jupuk dhewe. ‘Ambil sendiri.’P
Kalimat tersebut tidak memenuhi struktur kalimat yang benar dan baik, karena
dalam kalimat tersebut belum memenuhi kerangka kalimat yang daik dan benar
yang minimal terdiri dari subjek dan predikat.
1. Aspek intonasi dan aspek nada bicara
Kedua aspek ini hampir sama, namun bila dicermati akan berbeda. Aspek
intonasi berhubungan dengan nada (tone), tekanan (stress), dan tempo (duration).
Sedangkan nada bicara berhubungan dengan suasana hati P (penutur) atau MT
(mitra tutur). Misalnya orang yang sedang senang nada bicaranya menaik dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
ceria sehingga enak didengar. Sebaliknya, bila seseorang sedang sedih nada bicara
akan menurun dan tidak enak didengar.
Pada data (15) tuturan O1 intonasi dan juga nada bicaranya strandar dan
juga berusaha mengenakan MT dengan tujuan MT atau O2 mau dibebani.
Berbalik dengan O2 walaupun nada bicara yang dikeluarkan saat pertuturan
menggunakan nada biasa namun intonasi yang diutarakan oleh O2 agak tinggi
sehingga tuturan tidak santun.
B. Faktor nonkebahasaan
Topik pembicaraan
Topik pembicaraan adalah pokok masalah yang diungkapkan ketika
terjadinya komunikasi antara P dan MT. Pada dasarnya topik pembicaraan dapat
digolongkan menjadi dua yaitu topik yang bersifat formal, dan topik yang bersifat
informal. Melihat situasi terjadinya tuturan di atas yaitu berada di kantin, berarti P
dan MT barada pada situasi informal. Dalam situasi yang seperti ini hendaknya
menggunakan bahasa nonbaku atau bahasa yang santai.
Tuturan pada data (15) terlihat bila semua yang terlibat pertuturan
menggunakan bahasa yang santai, dan juga ada topik yang diangkat dalam tuturan
topik yang ringan. Hal tersebut terlihat dari tuturan yang di tuturkan oleh O2c dan
O2d yang menggunakan tutururan mereka untuk bercanda. Tuturan O2c dan O2d
pada data 15 seolah-olah seperti mengejek temannya, namun hal tersebut
dimaksudkan untuk bercanda dan mencarikan suasana. Dan dari hal tersebut topik
yang dibicarakan menjadi ringan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Dalam kegiatan bertutur setiap tuturan pasti mempunyai fungsi tersendiri.
Misalnya bercanda, memberi keuntungan kepada orang lain dan sebagainya.
Tuturan pada data (15) terlihat seakan mengancam muka (face) O1 akan tetapi O1
tahu bahwa itu bertujuan untuk bercanda sehingga O1 tidak berusaha melindung
diri dengan berkata kasar ataupun yang lainnya.
H. Metode Penyajian Data
Metode penyajian analisis data pada penelitian ini adalah metode
penyajian formal dan informal. Metode penyajian formal adalah perumusan
dengan tanda-tanda dan lambang-lambang. Khusus mengenai penggunaan tanda
dan lambang dalam metode penyajian formal, disebut teknik dasar. Metode
penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan
terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145).
Teknik formal diuraikan dengan perumusan tanda, seperti tanda hubung (-
), tanda kurung ( ), tanda titik (.), tanda koma (,), dan garis miring (/). Sementara
perumusan lambang yang dimaksudkan diantaranya lambang huruf sebagai
singkatan. Teknik informal berupa perumusan dengan bentuk uraian berupa
kalimat-kalimat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. ANALISIS DATA
Dalam analisis penelitian ini mencakup tiga hal yaitu, (1) bentuk
kesantunan dan ketaksantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta, (2) faktor-faktor penentu kesantunan tuturan bahasa
Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, dan (3) fungsi
kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1
Surakarta.
1. Bentuk Kesantunan dan Ketaksantunan Tuturan Bahasa Jawa yang
Digunakan Siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
Bentuk kesantunan berbahasa dalam penelitian ini merupakan bentuk
tuturan yang memenuhi prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh
Leech. Prinsip kesantunan mencakup maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan,
maksim kerendahaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim
kesimpatian. Dalam penelitian ini, kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan
oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta ditemukan lima bentuk kesantunan.
Berikut analisis kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
a. Bentuk Kesantunan Berbahasa Jawa
1) Kesantunan Berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim
Kebijaksanaan
Bentuk kesantunan berbahasa Jawa yang memenuhi maksim
kebijaksanaan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat
dilihat pada data berikut.
(data 21)Bentuk Tuturan : O1 : “Jah/ Jah/ iki ese.”
‘Jah/ Jah/ ini esnya.’O2 : “Oh/ ya, makasih ya.”
‘Oh/ ya, terima kasih ya.’Penanda Nonlingual : - Percakapan dua orang siswa di depan koperasi.
- O1 memberikan es yang telah dipesan oleh O2.Maksud : Penutur memberikan es yang telah dipesan oleh
mitra tutur.Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta.Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Data (21) di atas diambil pada waktu istirahat. O1 dan O2 adalah siswa
SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Pada data (21), O1 dan O2 sedang duduk
setelah membeli minuman di kantin. O1 baru saja membelikan minuman untuk
O2. Dalam tuturan tersebut, O1 bertutur “iki ese” ‘ini esnya’. Tampak bahwa
penutur (O1) menguntungkan mitra tutur (O2) dengan membelikan minuman. Hal
tersebut sejalan dengan teori kesantunan yakni dengan pemenuhan maksim
kebijaksanaan yang mewajibkan setiap peserta tutur untuk meminimalkan
kerugian kepada orang lain, dan meminimalkan keuntungan pada diri sendiri.
Selain itu, tuturan O1 juga memenuhi skala kesantunan yakni Cost-benefit scale
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
atau skala keuntungan dan kerugian. Tampak jelas tuturan O1 yang mengatakan
“iki ese” ‘ini esnya’ yang berarti menguntungkan pihak mitra tutur.
Adapun data lain yang masuk ke dalam kesantunan berbahasa yang
memenuhi maksim kebijaksanaan dalam penelitian ini, sebagai berikut.
(data 22)Bentuk Tuturan : O1 : “Sra! mreneo.”
‘Sra! sini.’O2 : “Apa?”
‘Apa?’O1 : “Kowe apa wae?”
‘kamu apa saja?’O2 : “Padha kowe.”
‘Sama sepertimu.’Penanda Nonlingual : - Percakapan dua orang siswa di halaman sekolah.
- O1 berada di dekat penjual tempura, sedangkanO2 sedang bermain sepak bola.
Maksud : O1 ingin membelikan tempura yang telah dipesanoleh O2.
Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Tuturan tersebut terjadi ketika tidak ada kegiatan belajar mengajar. O1
yang mempunyai status sebagai teman satu kelas O2 bertutur “Kowe apa wae?”
‘Kamu apa saja?’ menunjukan bahwa O1 akan membelikan apa yang diinginkan
oleh O2, hal ini menunjukan bahwa O1 menjalankan maksim kebijaksanaan.
Selain terpenuhinya maksim kebijaksanaan, tuturan O1 “Kowe apa wae?” ‘Kamu
apa saja?’ juga memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas yaitu
memberikan informasi seinformatif mungkin dan tidak bertele-tele. Tuturan
tersebut juga dapat digolongkan ke dalam tuturan yang santun dikarenakan tuturan
tersebut memenuhi salah satu skala kesantunan yaitu Optionality scale atau skala
pilihan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
2) Kesantunan Berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim
Penerimaan
Bentuk kesantunan dengan pemenuhan maksim penerimaan yang
digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat dilihat sebagai
berikut.
(data 23)Bentuk Tuturan : O1 : “Sel, misel, amit, amit, kowe kono seg, aku
tak omong karo yosi.”‘Sel, misel, permisi, kamu di situ dulu, sayamau berbicara sama yosi.’
Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi dalam ruang kelas katikajam hampir selisai.
Maksud : Penutur akan berbicara dengan teman sebangkuMisel, oleh karena itu, agar mitra tutur atau Miselmau dipinjam tempat duduknya penuturmemberikan tempat duduk lain sebagai gantinya.
Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012
Kesantunan berbahasa dengan pemenuhan maksim penerimaan mewajibkan
penutur maupun mitra tutur memaksimalkan kerugian pada diri sendiri dan
memaksimalkan keuntungan pada orang lain. Pada tuturan di atas, O1 berusaha
membuat keuntungan tinggi kepada O2 dengan cara menawarkan kursi yang telah
dia sediakan dengan maksud dan tujuan agar dapat berbicara dengan teman
sebangku O2. Selain itu, tuturan O1 memenuhi tiga skala kesantunan yakni Cost-
benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar
kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada
sebuah pertuturan. Tampak bahwa O2 merasa tidak dirugikan, karena O1
memberikan tempat duduk lain. Selain itu tuturan yang dituturkan oleh O1 juga
memenuhi skala Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
Melihat tuturan yang dituturkan oleh O1, secara gamblang bisa diartikan
mengusir, akan tetapi dengan pemilihan diksi dan pilihan kata yang tepat, maka
tuturan O1 kepada O2 tidak terkesan mengusir. Selain dua skala kesantunan di
atas, terdapat tuturan P (O1) yang juga memenuhi skala Social distance atau skala
jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan
mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Walaupun mereka adalah teman
satu kelas, akan tetapi dari tuturan di atas terlihat O1 menjaga jarak sosialnya
sehingga tuturan tersebut santun. Selain skala kesantunan tuturan P juga
memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas, P bertutur dengan tidak
bertele-tele dan seinformatif mungkin.
Adapun tuturan lain yang termasuk dalam kesantunan berbahasa dengan
pemenuhan maksim penerimaan dapat dilihat dibawah ini.
(data 24)Bentuk Tuturan : (O2 ngekekna dhuwit)
O1 : “Iki apa?”‘Ini apa?’
O2 : “Aku tukoke mi karo es teh.”‘Saya belikan mi dan es teh.’
O1 : “Oh, ya.. susuke go aku ya.”‘Oh, ya.. Kembalinya buat saya ya.’
O2 : “Ya aja.”‘Ya jangan.’
Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas.-Waktu tuturan ketika istirahat.
Maksud : Penutur secara tidak langsung memberikanmemberikan tempat duduk lain sebagai gantinya.
Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 14-3-2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Dari tuturan di atas O1 bertutur “Iki apa?” ‘Ini apa?’. Berdasarkan tuturan
tersebut secara tidak langsung O1 memaksimalkan kerugian pada diri sendiri dan
meminimalkan kerugian kepada orang lain. O1 juga memenuhi skala kesantunan
yakni skala Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau
sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di
dalam kegiatan bertutur. Hal tersebut tampak jelas dari tuturan O1 yang bertanya
“Iki apa?” ‘Ini apa?’ yang memberikan kebebasan O2 untuk memilih makanan
yang akan dibeli. Tutruran O1 juga memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim
kuantitas. Maksim ini ditandai dengan tuturan O1 yang bertutur sangat informatif
sehingga maknanya dapat langsung dimengerti oleh mitra tutur.
3) Kesantunan Berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim
Kemurahan
Bentuk kesantunan yang ketiga adalah bentuk kesantunan berbahasa Jawa
dengan pemenuhan maksim kemurahan. Maksim kemurahan mewajibkan setiap
pesarta tutur memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan
rasa tidak hormat kepada orang lain. Pengaplikasian maksim kemurahan pada
tuturan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sebagai
berikut.
(data 25)Bentuk Tuturan : O1 : “Pak aku dereng angsal LKS Pak.”
‘Pak saya belum dapat LKS Pak.’O2 : “Oh ya sesuk ya.”
‘Oh ya besok ya.’Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di luar kelas.
- Waktu tuturan ketika istirahat.Maksud : O1 adalah Siswa memberitahukan kepada O2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
(guru bahasa Jawa) bahwa O1 belum mendapatkanLKS.
Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakartadan O2 adalah guru bahasa Jawa SMPMuhammadiyah 1 Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 18-2-2012
Sesuai dengan maksim kemurahan, O1 meninggikan rasa hormat kepada
O2 mengingat status sosial O2 lebih tinggi dari pada O1. Hal tersebut tampak dari
O1 menggunakan ragam bahasa krama lugu. Hal tersebut bertujuan untuk
menghormati MT dan membuat tuturan lebih santun. Selain memenuhi maksim
kemurahan, tuturan O1 memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas. Hal
tersebut tampak jelas dengan O1 bertutur “Pak aku dereng angsal LKS Pak.”
‘Pak saya belum mendapat LKS Pak.’ tuturan P (O1) dapat langsung dimengerti
maksud dan tujuannya serta tidak bertele-tele. Selain prinsip kerjasama, P juga
memenuhi skala pragmatik yakni skala Social distance atau skala jarak sosial
yang menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur
yang terlibat dalam sebuah pertuturan. O1 dalam tuturan tersebut sangat menjaga
jarak sosial terlihat dari adanya penggunaan ragam bahasa. Selain bertujuan untuk
menghormati O2 yang berstatus sebagai guru SMP Muhammadiyah 1 Surakarta,
juga berfungsi untuk menjaga jarak sosial.
Selain data di atas pengaplikasian kesantunan berbahasa Jawa dengan
pemenuhan maksim kemurahan tampak pada data berikut.
(data 26)Bentuk Tuturan : O1 : “Sebentar, mas kemarin aku lihat kok ada
bathiknya itu gimana?”O2 : “Oh niku menonjolkan ciri khas Solo
mbak,bathik.”‘Oh itu menonjolkan ciri khas Solo mbak,bathik.’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
O1 : “Oh, berarti kaligrafine didamel bathik?”‘Oh, bararti kaligrafinya dibuat bathik?’
O2 : “Mboten, sing didamel bathikbackgroundne.”‘Tidak, yang dibuat bathik backgrounnya.’
Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di kantin sekolah.- Waktu tuturan ketika jam pelajaran akan tetapi
siswa baru pulang mengikuti lomba kaligrafi.Maksud :O2 menjelaskan kepada O1 yang menanyakan
kenapa dalam kaligrafinya ada bathiknya.Status Sosial : O1 adalahpenjual di kantin SMP Muhammadiyah
1 Surakartadan O2 adalah siswa SMPMuhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 18-2-2012
Tidak jauh berbeda dengan data kesantunan berbahasa dengan pemenuhan
makasim kemurahan yang mewajibkan setiap peserta pertuturan memaksimalkan
rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat. Tuturan O2
yang mengatakan “Oh niku menonjolkan ciri khas Solo mbak, bathik.” ‘Oh itu
menonjolkan ciri khas Solo mbak, bathik.’ dan “Mboten, sing didamel bathik
backgroundne.” ‘Tidak, yang dibuat bathik backgrounnya.’ Dari tuturan tersebut
O2 menggunakan bahasa Jawa krama yang dicampur dengan bahasa Indonesia
dengan tujuan menghormati O1. Pada konteks sosial terlihat O2 derajatnya lebih
rendah karena umur O2 lebih muda, sedangkan umur O1 lebih tua sehingga ada
kecenderungan untuk lebih menghormati kepada O1. Seian itu, tuturan yang
dituturkan oleh O2 memenuhi skala kesantunan yakni skala Authority scale atau
skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan
mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Tuturan O2 terlihat menjaga hubungan
status sosial antara P dan MT, hal tersebut terlihat dari adanya penggunaan ragam
bahasa krama yang berfungsi menjaga jarak sosial. Tuturan O2 bila dilihat dari
prinsip kerjasama memenuhi dua maksim yakni maksim kuantitas dan maksim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
kualitas. Hal tersebut terlihat dari tuturan O2 yang menginformasikan kepada O1
seinformatif mungkin dan tidak bertele-tele, sedangkan pemenuhan maksim
kualitas yang memberikan informasi berdasarkan fakta yang ada.
4) Kesantunan Berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim
Kerendahhatian
Dalam penelitian ini kesantunan berbahasa Jawa dengan pemenuhan
maksim Kerendahhatian tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan mayoritas
siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta mempunyai rasa ego yang tinggi
sehingga suatu ketika ada seseorang memuji pasti tidak akan merasa rendah hati,
tetapi sebaliknya yakni merasa memang dirinya yang paling benar ataupun paling
pintar. Selain dari tingkat ego yang masih tinggi, tingkat kedewasaan siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta juga berpengaruh dalam tuturannya.
5) Kesantunan berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim Kecocokan
Bentuk kesantunan berbahasa Jawa dengan pemenuhan maksim
kecocokan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat
dilihat pada data berikut.
(data 27)Bentuk Tuturan : O1 : “Sing gawe gawang kae piye ta?”
‘Yang membuat gawang itu bagaimanasih?’
O2a : (Karo nyoba gawe) “ngene?”‘(Sambil mencoba membuat) begini?’
O1 : “Ho’o ngono, aku ngono gawene ok.”‘Iya seperti itu, aku membuatnya sepertiitu.’
O2b : “Nyah gawekna Feb.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
‘Ini Buatkan Feb.’O1 : “Ngono aku kae ok. Aku diajari kancaku
Johar kae lho. Johar kae ya ngono okyonan.”‘Dulu aku seperti itu. Aku diberitahutemanku Johar. Johar juga seperti itu.’
Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di ruang kelas.- Waktu tuturan ketika jam istirahat.
Maksud :O1 menyetujui hasil pembuatan gawang yangdilakukan oleh O2, sekaligus membenarkangawang yang dibuat
Status Sosial : O1, O2a, O2b adalah tman satu kelas.Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012
Dari data di atas terlihat tuturan O1 yang mengatakan “Ho’o ngono, aku
ngono gawene ok.” ‘Iya seperti itu, aku membuatnya seperti itu.’ dan “Ngono
aku kae ok. Aku di ajari kancaku Johar kae lho. Johar kae ya ngono ok
yonan.” ‘Dulu aku seperti itu. Aku diberitahu temanku Johar. Johar juga seperti
itu.’ memenuhi maksim kecocokan. Maksim kecocokan mewajibkan setiap
peserta tutur memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokan.
Tuturan O1 tersebut tampak memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan
ketidakcocokkan. Tuturan O1 tersebut juga memenuhi prinsip kerjasama yakni
maksim relevansi. Maksim relevansi mewajibkan setiap peserta tutur memberikan
kontribusi yang relevan. Selain itu, tuturan O1 juga mengandung maksim kualitas
dengan mengatakan fakta-fakta untuk mendukung pernyataannya. Tuturan O1
dalam tuturan tersebut tidak memenuhi skala kesantunan manapun.
Bentuk lain dari kesantunan berbahasa Jawa dengan maksim kecocokan
sebagai berikut.
(data 28)Bentuk Tuturan : O1 : “Ndrat ayo, ndrat rono.”
‘Ndrat ayo, Ndrat kesitu’O2 : “Ya mengko seg.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
‘Ya nanti dulu.’Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di halaman sekolah.
- Waktu tuturan ketika jam istirahat.Maksud :O2 menyetujui permintaan O1 yang mengajak
pergi ketampat yang lebih enak untuk duduk.Status Sosial : O1, O2, adalah teman satu kelas dan memiliki
kedekatan yang cukup dekat.Waktu Terjadi : SM/ 14-3-2012
Kesantunan berbahasa Jawa pada data (28) di atas O2 bertututr “Ya
mengko seg.” ‘Ya nanti dulu.’. Tuturan O2 mengisyaratkan O2 menyetujui
permintaan O1. Hal tersebut sejalan dengan prinsip kesantunan berbahasa dengan
pemenuhan maksim kecocokan. Maksim tersebut mewajibkan setiap peserta tutur
untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan
ketidakcocokan diantara mereka. Selain memenuhi maksim kecocokan, tuturan
O2 juaga memenuhi salah satu maksim dari prinsip kerjasama yakni maksim
kuantitas. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur memberikan informasi
seinformatif mungkin. Hal tersebut terlihat dari tuturan O1 yang menggunakan
kata yang padat dan cepat dimengerti oleh O1. Tuturan O2 pada tuturan di atas
tidak memenuhi skala kesantunan.
6) Kesantunan Berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim
Kesimpatian
Bentuk kesantunan berbahasa Jawa dengan pemenuhan maksim
kecocokan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat
dilihat pada data berikut.
(data 29)Bentuk Tuturan : (O3 sedang dianiyaya oleh O2)
O1 : “Heh, wis mesake le, aja padu!”‘Hei, sudah kasihan, jangan berkelahi!’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
O2 : “Aku ora padu, ki aku gojeg.”‘Saya tidak berkelahi, ini saya hanyabercanda.’
Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di dapan ruang kelas.- Waktu tuturan ketika jam istirahat.
Maksud :O1 simpati terhadap kondisi O3 yang sedangterlihat seperti dianiyaya oleh O2.
Status Sosial : O1 adalah kakak kelas dan O2 adalah adikkelasnya.
Waktu Terjadi : SM/ 13-3-2012
Pada data (29) di atas tampak bahwa O1 bersimpati dengan O3 yang
sedang dianiyaya oleh O2. O1 mengecam dan menghentikan perbuatan O2
dengan menggunakan kata-kata yang kasar. Tuturan O2 tersebut melanggar skala
kesantunan yakni skala Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk
kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Hal
tersebut terlihat dari tuturan O1 “wis mesake le” ‘Hei, sudah kasihan, jangan
berkelahi!’. Tuturan tersebut bermaksud untuk mencegah perbuatan O2. Selain
skala tersebut O1 juga melanggar Authority scale atau skala keotoritasan
menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam pertuturan. Tampak dari tuturan O1 yang bertutur “aja padu!”
‘jangan berkelahi!’, tuturan tersebut jelas merendahkan O2 yang sedang terlihat
menganiyaya O3.
b. Bentuk Ketaksantunan Berbahasa Jawa
Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa merupakan bentuk penyimpangan
dari prinsip dan skala kesantunan yang ada. Dalam penelitian ini bentuk
ketaksantunan ditemukan ada enam pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa
yang meliputi penyimpangan maksim kebijaksanaan, pentyimpangan maksim
penerimaan, penyimpangan maksim kerendahaan, penyimpangan maksim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
kerendahan hati, penyimpangan maksim kecocokan, dan penyimpangan maksim
kesimpatian. Bentuk ketaksantunan berbahasa siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta dapat dilihat pada data-data berikut.
1) Ketaksantunan Berbahasa Jawa Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan
Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa pelanggaran maksim
kebijakasanaan yakni kebalikan dari maksim kebijaksanaan. Apabila maksim
kebijaksanaan meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan
keuntungan bagi orang lain, sedangkan pelanggarannya yakni memaksimalkan
kerugian orang lain atau meminimalkan keuntungan bagi orang lain. Bentuk
pelanggaran maksim kebijaksanaan tampak pada data berikut.
(data 30)Bentuk Tuturan : (O2 ngekekna dhuwit)
O1 : “Iki apa?”‘Ini apa?’
O2 : “Aku tukoke mi karo es teh.”‘Saya belikan mi dan es teh.’
O1 : “Oh, ya.. susuke go aku ya.”‘Oh, ya.. Kembalinya buat saya ya.’
O2 : “Ya aja.”‘Ya jangan.’
Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas.-Waktu tuturan ketika istirahat.
Maksud : penutur meminta kepada O1 membelikan jajananyang diinginkan oleh O2
Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012
Dari tuturan di atas O2 jelas terlihat merugikan O1 dengan memberi
perintah untuk membeli makanan. Selain itu, tuturan O2 juga melanggar skala
kesantunan yakni Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan. Tuturan O2 bila dilihat dari
Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan jelas merugikan O1, selain
karena membebani, kata yang digunakan oleh O2 juga kurang sopan. Apabila
dilihat dari Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, kata-kata yang
digunakan oleh O2 bersifat langsung sehingga menguurangi kada kesopanan.
Akan tetapi, tuturan O2 memenuhi salah satu maksim prinsip kerjasama yakni
maksim kuantitas. Pada maksim ini, setiap peserta tutur diwajibkan memberikan
informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Hal tersebut
dapat dilihat dari pemakaian kata-kata yang digunakan oleh O2 langsung dapat
ditangkap oleh O1.
Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa dengan pelanggaran maksim
kebijaksanaan yang lain tampak pada data berikut.
(data 31)Bentuk Tuturan : O1 : “Richardku piye? Kolarovku ndi he? Yaya
Toureku ndi he? Ndi-ndi? Kompany kuwiditata.”‘Richardku bagaimana? Kolarovku manawoi? Yaya Toureku mana woi? Mana-mana? Kompany itu ditata.’
Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas.-Waktu tuturan ketika istirahat.
Maksud : P meminta kepada MT untuk mempersiapkanpemain bola buatannya agar disusun yang rapisesuai formasi permainan bola.
Status Sosial : P adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakartasedangkan MT adalah teman satu kelas P.
Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012
Berdasarkan data (31) O1 membebankan O2 untuk melakukan apa yang
diinginkan oleh P (O1). Hal tersebut tentu bertentangan dengan pirinsip
kesopanan yakni maksim kebijaksanaan. Selain itu, O1 juga melanggar semua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
skala kesantunan berbahasa, dari segi skala untung rugi O1 tampak jelas
merugikan O2, kemudian dari segi pilihan, P (O1) tidak memberi pilihan kepada
MT (O2), kemudian dari skala ketidaklangsungan tuturan P langsung memberi
perintah kepada MT. Dilihat dari skala status sosial tuturan P tampak
merendahkan MT. Hal tersebut terlihat dari cara P memanggil MT. P memanggil
dengan sebutan He ‘woi’. Sementara dari segi peringkat hubungan sosial,
walaupun hubungan sosial P dan MT dekat seharusnya P memperhatikan jarak
sosialnya agar tidak terkesan merendahkan MT. Namun, dilihat dari teori prinsip
kerjasama tuturan O1 memenuhi maksim kuantitas. Pada maksim ini mewajibkan
setiap peserta tutur untuk memberikan informasi seinformati mungkin dan tidak
bersifat ambigu.
2) Ketaksantunan Berbahasa Jawa Pelanggaran Maksim Penerimaan
Ketaksantunan berbahasa Jawa dengan pelanggran maksim penerimaan
adalah bentuk kebalikan dari maksim penerimaan yakni meminimalkan kerugian
bagi diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Berikut data
ketaksantunan berbahasa Jawa dengan pelanggran maksim penerimaan.
(data 32)Bentuk Tuturan : O1 : “Eh, ndi aku njaluk markunine.”
‘ Eh, mana markuninya aku minta.’O2 : “Njupuka dhewe.”
‘Ambil sendiri.’O1 : “Jupuke.”
‘Ambilkan.’Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas.
-Waktu tuturan ketika istirahat.Maksud : P meminta kepada MT untuk memberikan markuni
milik MT dan menyuruh untuk mengambilkan.Status Sosial : P adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
sedangkan MT adalah teman satu kelas P.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Waktu Terjadi : SM/ 9-3-2012
Tuturan di atas tampak O1 menguntungkan dirinya sendiri. Keadaan
tersebut melanggar maksim penerimaan yang mewajibkan setiap peserta tutur
untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan
diri sendiri. Hal tersebut terlihat dari dari tuturan O1 “Eh, ndi aku njaluk
markunine.” ‘ Eh, mana markuninya aku minta.’ dan “Jupuke.” ‘Ambilkan.’.
Terlihat jelas O1 berusaha menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain.
Selain melanggar maksim penerimaan tuturan O1 juga melanggar skala
kesantunan berbahasa yakni Cost-benefit scale atau skala kerugian dan
keuntungan,Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, Authority scale atau
skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan
mitra tutur. Apabila dilihat dari skala untung-rugi MT sangat dirugikan karena P
menyuruh dengan bahasa yang kurang santun. Tuturan P yang dituturkan juga
langsung menohok MT dengan mengatakan “Eh, ndi aku njaluk markunine.”
‘Eh, mana markuninya aku minta.’. P secara langsung meminta tanpa disertai
pemakaian bahasa yang lebih santun. Akan tetapi, tuturan O1 memenuhi maksim
kuantitas dengan mengatakan yang tidak bertele-tele dan seinformatif mungkin.
Selain data di atas, data lain yang menunjukan ketaksantunan berbahasa
Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat dilihat pada uraian berikut
ini.
(data 33)Bentuk Tuturan : O1 : “Eh, tekke aku njaluk.”
‘ Eh, otaknya aku minta’O2 : “Apa seg! (karo ngekei).”
‘Apa dulu! (sambil memberi)’Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
-Waktu tuturan ketika istirahat.Maksud : P meminta dengan kasar kepada MT untuk
memberikan jajan MT, sebelum itu O2memberikan pertanyaan tetapi belum dijawab,sehingga O2 memberikan jajanannya denganmeminta jawaban dari pertanyaan yang diajukannya.
Status Sosial : P adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakartasedangkan MT adalah teman satu kelas P.
Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Tidak jauh berbeda dengan data (32), tuturan yang diucapkan oleh O1
bersifat memaksa untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Hal tersebut
melanggar maksim penerimaan. Tampak dari tuturan O1 “Eh, tekke aku njaluk.”
‘Eh, pikirannya aku minta’, tersirat bahwa O1 memaksa O2 memberikan
makanannya. Selain melanggar maksim penerimaan, tuturan O2 juga melanggar
semua skala kesantunan. Dilihat dari untung rugi yang ditimbukan oleh tuturan
O1, O2 dirugikan dengan berkurangnya makanannya dan digunakannya kata-kata
yang kasar kepadanya. Dilihat dari skala pilihan, O1 tidak memberi pilihan
kepada O2, dengan cara memaksa, kemudian dilihat dari skala ketaklangsungan
tuturannya, tuturan O1 secara langsung menohok O2 dengan mengatakan kata
“njaluk” ‘minta’. Pemilihan kata tersebut secara jelas bertentangan dengan skala
ketaklangsungan yang merujuk kepada ketaklangsungan maksud dan tujuan
tuturan. Dua skala yang terakhir yakni skala keotoritasan dan skala jarak sosial,
tuturan O1 merendahkan posisi O2 sebagai teman satu kelas, sedangkan dari skala
jarak sosial O1 terlalu dekat sehingga jaraknyapun tidak ada.
3) Ketaksantunan Berbahasa Jawa Pelanggaran Maksim Kemurahan
Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa yang mengandung pelanggaran
maksim kemurahan dapat dilihat pada data berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
(data 34)Bentuk Tuturan : O1 : “Her, Heri bocah kok badhog thok.”
‘Her, Heri orang kok makan saja.’O2 : “Apa? (karo mesem).”
‘Apa? (sambil tersenyum).’Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas.
-Waktu tuturan ketika istirahat.Maksud : O1 mengejek O2 dengan mengatakn bocah kok
badhog thok. O2 memberikan jajanannya denganmeminta jawaban dari pertanyaan yang diajukannya.
Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakartasedangkan O2 adalah teman satu kelas P.
Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Tampak tuturan O1 di atas melanggar maksim kemurahan. O1 bertutur
“Her, Heri bocah kok badhog thok.” ‘Her, Heri orang kok makan saja.’ Kata
badhog yang berarti makan merupakan kata yang tidak santun. Berdasarkan hal
tersebut terlihat O1 meminimalkan rasa hormat kepada orang lain dan
memaksimalkan rasa tidak hormat. Tuturan tersebut melanggar maksim
kemurahan dan melanggar dua skala kesantunan yakni skala Authority scale atau
skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan
mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Pada tuturan di atas, O1 menaruh
ranking O2 rendah sekali dangan mengatakan badhog yang berarti makan tetapi
sangat kasar. Skala yang kedua yaitu Social distance atau skala jarak sosial yang
menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam sebuah pertuturan. Berdasarkan tuturan di atas, jarak sosial O1
terhadap O2 sangat dekat dan bahkan terlalu dekat sehingga tuturannya menjadi
tidak terbatas aturan. Akan tetapi, tuturan O1 memenuhi prinsip kerjasama yakni
maksim pelaksanaan yang bertutur secara langsung, tidak kabur, dan tidak
ambigu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Selain data di atas, bentuk ketaksantunan dengan pelanggaran maksim
kemurahan juga dapat dilihat pada data berikut.
(data 35)Bentuk Tuturan : O1 : “Pak tempura!!”
‘Pak tempura!!’O2 : “Apa?”
‘Apa?’O1 : “Kui pak, pangsit, bakso, karo sing kui.”
‘itu pak, bakso, dan yang itu.’Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas.
-Waktu tuturan ketika istirahat.Maksud : O1 bermaksud membeli tempura dari seorang
pedagang tempura yang ada di SMPMuhammadiyah 1 Surakarta.
Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakartasedangkan O2 adalah penjual tempura.
Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Tuturan O1 yang ingin membeli tempura dengan cara berteriak kepada
penjual tempura melanggar maksim kemurahan. Sikap berteriak bukan untuk
menghormati orang lain, tetapi merendahkan orang lain. Hal tersebut berkebalikan
dengan maksim kemurahan. Selain melanggar maksim kemurahan, tuturan O1
juga melanggar skala kesantunan yakni skala keotoritasan yang mengacu kepada
peringkat sosial, tampak pada tuturan O1 yang berteriak “Pak tempura!!” ‘Pak
tempura!!’ yang merendahkan peringkat sosial MT atau O2. Tuturan O1 di atas
juga melanggar dua skala kesantunan yakni skala Authority scale atau skala
keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra
tutur yang terlibat dalam pertuturan. O1 menaruh ranking O2 rendah sekali
dangan bertetiak “Pak tempura!!” ‘Pak tempura!!’ dengan maksud ingin membeli
tempura. Skala yang kedua yaitu Social distance atau skala jarak sosial yang
menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam sebuah pertuturan. Berdasarkan tuturan di atas jarak sosial O1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
terhadap O2 sangat dekat dan bahkan terlalu dekat sehingga tuturan O1 tidak ada
unsur menghormati dalam rangka menjaga jarak sosial. Akan tetapi, tuturan O1
memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim pelaksanaan yang bertutur secara
langsung, tidak kabur, dan tidak ambigu.
4) Ketaksantunan Berbahasa Jawa Pelanggaran Maksim
Kerendahhatian
Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa yang mengandung pelanggaran
maksim kerendahanhatian yakni kebalikan dari pemenuhan maksim kerendahan
hati yaitu menuntut peserta pertuturan meminimalkan ketidakhormatan pada diri
sendiri dan memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Bentuk ketaksantunan
berbahasa Jawa yang mengandung pelanggaran maksim kerendahanhatian dapat
dilihat pada data berikut ini.
(data 36)Bentuk Tuturan : O1 : “Nyah, dadi gawang nyah-nyah.”
‘Nih, jadi gawang nih-nih.O2 : “Kaya ngono thok?”
‘Hanya seperti itu?’O1 : “Aku ok elek, kandani nggone Fernandika
elek ya? Kandani gawang ki ngene.”‘Saya kok jelek, saya kasih tahu punyaFernandika jelek ya? Saya kasih tahugawang itu seperti ini.
O2 : “Ra isa. Ho Fikri wi.”Tidakbisa. Ho Fikri wi.
O1 : “Elek ya? Nggone Fernandika i ketoknggilani.”‘Jelek ya? Punya Fernandika i kelihatanmenjijikan.’
Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas.-Waktu tuturan ketika istirahat.
Maksud : P mengatakan bahwa gawang buatannya baik,`bahkan lebih baik dari buatan Fernandika.
Status Sosial : P adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
sedangkan MT adalah teman satu kelas P.Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012
Tuturan O1 yang mengatakan “Aku ok elek” ‘Saya kok jelek’ jelas
melanggar maksim kerendahatian. Dalam maksim ini mewajibkan setiap peserta
tutur untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan
rasa hormat pada diri sendiri. Selain maksim kerendahanhatian tuturan O1 juga
melanggar skala kesantunan Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan
menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah
tuturan. Tuturan O1 tersebut langsung merujuk bahwa buatannya lebih baik dari
O2. Akan tetapi, tuturan tersebut memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim
kuantitas. Pada maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur bertutur seinformatif
mungkin.
Selain data di atas, ketaksantunan berbahasa Jawa dengan pelanggaran
maksim kerendahanhatian dapat dilihat pada data berikut.
(data 37)Bentuk Tuturan : O1 : “We/ fisika bijine dhuwur dhewe.”
‘We/ fisika nilainya tertinggi.’O2 : “Mesthi no, mase ok.”
‘Jelas dong, abang.’Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas.
-Waktu tuturan ketika pembagian nilau midsemester.
Maksud : O1 memuji dirinya sendiri ketika dirinya mendapatnilai tertinggi fisika.
Status Sosial : P adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakartasedangkan MT adalah teman satu kelas P.
Waktu Terjadi : SM/ 4-4-2012
Terlihat dari tuturan O2 yang mengatakan “Mesthi no, mase ok.” ‘Jelas
dong, abang.’, melanggar maksim kerendahatian yang mewajibkan setiap peserta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
tutur memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa
hormat pada diri sendiri. Pada tuturan O2, mempunyai makna memuji diri sendiri.
Selain itu, O2 juga melanggar skala kesantunan berbahasa yakni skala Authority
scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara
penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Tuturan O2 yang
demikian, terkesan mempunyai derajat lebih tinggi. Namun, tuturan O2 memenuhi
prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas dan maksim kualitas.
5) Ketaksantunan Berbahasa Pelanggaran Maksim Kecocokan
Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa pelanggaran maksim kecocokan
yaitu meminimalkan kecocokan di antara mereka dan memaksimalkan
ketidakcocokan diantara mereka. Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa
pelanggaran maksim kecocokan dapat dilihat pada data berikut.
(data 38)Bentuk Tuturan : O1 : “Yuh diwaca (karo nduding salah siji
muride), ndang diwaca.”‘Ayo dibaca (sambil menunjuk) salah satumuridnya.’
O2 : “Gah pak, aja aku.”‘Tidak mau pak, jangan saya’
O1 : “Kowe wae, kowe wae.”‘Kamu saja, kamu saja.’
Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas kelas.-Waktu tuturan ketika pelajaran bahasa Jawasedang berlangsung.
Maksud : O2 menolak dengan tegas ketika disurahmembaca.
Status Sosial : O1 adalah guru bahasa Jawa SMP Muhammadiyah1 Surakarta, sedangkan O2 adalah siswa SMPMuhammadiyah 1 Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 21-1-2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Terlihat jelas tuturan O2 yang mengatakan “Gah pak, aja aku.” ‘Tidak
mau pak, jangan saya’ merupakan ketidakcocokan antara O1 dan O2, dengan kata
lain tuturan O2 melanggar maksim kecocokan. Selain itu, tuturan O2 juga
melanggar tiga skala kesantunan berbahasa. Skala yang pertama Indirectness
scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau
tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Hal ini terlihat dari tuturan O2 yang
menolak secara langsung kepada O1 dengan mengatakan “Gah pak, aja aku.”
‘Tidak mau pak, jangan saya’. Skala kesantunan yang kedua Authority scale atau
skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan
mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Dilihat dari status sosial, O2
memperlakukan O1 lebih rendah dari status sosial yang seharusnya lebih tinggi.
Skala yang terakhir Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada
peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam
sebuah pertuturan. Akan tetapi tuturan O2 memenuhi prinsip kerjasama yakni
maksim kuantitas, yang mewajibkan setiap peserta tutur untuk berbicara
seinformatif mungkin dan maksim pelaksanaan, yang mewajibkan setiap penutur
berbicara tidak ambigu dan runtut.
Data lain yang menunjukan ketaksantunan berbahasa Jawa dengan
pelanggaran maksim kecocokan dapat dilihat sebagai berikut.
(data 39)Bentuk Tuturan : O1 : “Ayo munggah.”
‘Ayo naik.’O2 : “Mengko seg, kene wae.”
‘Nanti dulu, sini aja.O1 : “Ayo to, aku urung sinau.”
‘Kamu saja, kamu saja.’Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas kelas.
-Waktu tuturan ketika istirahat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Maksud : O2 menolak ajakan O1 untuk kembali ke kelasnyauntuk belajar.
Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 9-3-2012
Tidak jauh berbeda data (38), O2 menolak ajakan untuk kembali
kekelasnya yang berada di lantai atas. Tuturan tersebut berkebalikan dengan
maksim kecocokan. Selain maksim kecocokan, tuturan O2 melanggar skala
kesantunan yakni Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk
kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
Tuturan O2 tersebut menolak secara langsung sehingga melanggar skala tersebut.
Akan tetapi tuturan O2 memenuhi Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk
kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur
kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Terlihat dari tuturan O2 yang
memberikan pilihan kepada O1 untuk tetap di tempat. Selain memenuhi skala
pilihan, tuturan O2 juga memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas dan
juga maksim pelaksanaan.
6) Ketaksantunan Berbahasa Pelanggaran Maksim Kesimpatian.
Bentuk ketaksantunan dengan pelanggaran maksim kesimpatian pada
penelitian ini berupa penyimpangan maksim kesimpatian. Pada maksim
kesimpatian mewajibkan setiap peserta tutur untuk memaksimalkan rasa simpati
dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya, sedangkan bentuk
ketaksantunannya meminimalkan rasa simpati dan memaksimalkan rasa antipati
kepada lawan tuturnya dapat dilihat pada tuturan berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
(data 40)Bentuk Tuturan : O1 : “Sokur len ditendhang len.”
‘Sukurin ditendang.’O2 : “Sing tak tendang kowe!”
‘Yang saya tendang kamu!’Penanda Nonlingual : - Percakapan dua orang siswa di dalam kelas.
- O1 berada di sebelah O2 yang letaknya kuranglebih satu meter dari O1.
- Waktu tuturan ketika jam hampir istirahat.Maksud : O1 mengejek O2 yang ditendang temannya.Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta.Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Dari tuturan O1 tersebut terlihat jelas bahwa tuturan O1 tidak memenuhi
maksim kesimpatian. Terlihat dari tuturan O1 yang mengatakan “Sokur len
ditendhang lenI.” ‘Sukurin ditendang.’, tuturan O1 yang tampak senang O2
ditendang oleh temannya merupakan pelanggaran maksim kesimpatian. Selain
melanggar maksim kesimpatian, tuturan O1 juga melanggar skala kesantunan
berbahasa yakni Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk
kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Sangat
jelas tuturan yang diucapkan oleh O1 secara langsung menohok O2 sehingga O2
merasa tersakiti dan membalas dengan menggunakan kata-kata kasar. Akan tetapi
tuturan O1 di atas memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas yang
mewajibkan setiap peserta tutur memberikan seinformatif mungkin. Terlihat dari
tuturan tersbut O2 langsung mengetahui maksud dan tujuan dari tuturan O1.
2. Faktor Penentu Kesantunan Berbahasa
Faktor-faktor penentu kesantunan berbahasa meliputi dua hal pokok, yaitu
faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup lima aspek
yaitu pemakaian diksi yang tepat, pemakaian gaya bahasa bahasa yang santun,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
pemekaian struktur kalimat yang benar dan baik, aspek intonasi, aspek nada
bicara. Sedangkan faktor nonkebahasaan mencakup topik pembicaraan, konteks
situasi komunikasi, pranata sosial masyarakat. Pada penelitian ini faktor penentu
kesantunan berbahasa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta yang mencakup
faktor kebahasaan ditemukan ada empat faktor. Faktor tersebut yaitu faktor
pemakain diksi yang tepat, struktur kalimat yang benar dan baik, aspek intonasi,
dan aspek nada bicara. Sementara yang mencakup faktor nonkebahasaan hanya
ditemukan satu yaitu faktor pranata sosial.
a. Faktor Kebahasaan
Faktor kebahasaan tersebut adalah segala unsur yang berkaitan dengan
masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa non verbal.
1) Pemakaian Diksi yang Tepat
Ketika penutur sedang bertutur, pemilihan kata merupakan faktor yang
sangat penting yang akan membuat tuturan memiliki kadar kesantunan tinggi.
Efek yang ditimbulkan tuturan yang dituturkan akan membuat mitra tutur akan
merasa diposisikan ditempat yang lebih tinggi. Untuk lebih jelasnya lihat data
berikut.
(data 15)Bentuk Tuturan : O1 : “Zak, Zaki, gelem tak kongkon?”
‘Zak, Zaki, mau aku suruh?O2a : “Apa?”
‘Apa?’O1 : “Jupuke tisu neng kono ndang.”
‘Segera ambilkan tisu di situ.’O2a : “Jupuk dhewe.”
‘Ambil sendiri.’O2c : “Alah biasane ngelap nganggo kudung
we.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
‘Alah biasanya ngelap pakai kudung we.’O2d : “Ora nganggo klambi.”
‘Tidak, pakai baju.’Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di kantin.
- O1 berada di meja yang bersebrangan denganO2a, sedangkan O2b dan O4c berada di sebelahkanan
- Waktu tuturan ketika jam istirahat.Maksud : O1 memnita tolong utntuik mengambilkan tisu
yang berada di dekat O2.Status Sosial : O1, O2a, O2b, dan O2c adalah siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta.Waktu Terjadi : SM/ 5-4-2012
Tuturan yang digunakan oleh O1 pada data 41 pilihan diksi yang
digunakan untuk meminta tolong merupakan plihan diksi yang tepat. Dari tuturan
terasebut O2 yang dimitai tolong akan merasa tidak seperti diperintah sengan cara
yang langsung. Dari tuturan O1 di atas, P atau O1 menggunkan kata gelem ‘mau’
yang memberi kebebasan menolak jika keberatan, berbeda dengan data berikut.
(data 42)Bentuk Tuturan : O1 : “Eh, teke aku njaluk.”
‘ Eh, otaknya aku minta’O2 : “Apa seg! (karo ngekei).”
‘Apa dulu! (sambil memberi)’Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di halaman sekolah .
- O1 melihat MT yang membeli jajan kesukaannya.- Waktu tuturan ketika jam istirahat.
Maksud : O1 meminta secara paksa jajan yang dimiliki olehO2
Status Sosial : O1, dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Terlihat berbeda sekali, antara tuturan O1 dengan yang sebelumnya, pada
tuturan tersebut O1 menggnakan kata-kata kasar terlihat dari tuturan O1 yang
mengatakan tekke (utekke) ‘otaknya’, plilihan diksi yang digunakan sangat sangat
buruk dengan demikian tuturan berdampak tidak menempatkan posisi O2 tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
berada pada posisi yang tinggi sehingga respon dari O2 juga menggunakan nada
tinggi.
2) Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun
Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta belum menguasai kemampuan
untuk menggunakan gaya bahasa yang sopan. Hal tersebut dikarenakan tingkat
penguasaan kebahasaan mereka masih rendah. Selain itu, jiwa egoisme siswa
SMP Muhammadiyah 1 Surakarta masih tinggi sehingga dalam tuturan yang
mereka tuturkan, banyak mengandung tuturan yang tidak santun. Terlebih posisi
pemakaian gaya bahasa yang santun memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi
yang mungkin hanya bisa dijangkau oleh orang yang telah belajar tentang
penggunaan majas dan dapat mempergunakan dengan baik dalam kegiatan
bertutur. Sehingga dalam tuturan yang dihasilkan mampu menciptakan tuturan
yang santun
3) Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar dan Baik
Penggunaan struktur kalimat yang benar dan baik saat bertutur, khususnya
situasi formal, atau resmi dapat mengakibatkan atau menimbulkan pemakaian
bahasa menjadi santun. Namun, pada prakteknya penggunaan kalimat yang benar
dan baik pada situasi informalpun dapat membuat tuturan menjadi santun.
Pemakaian struktur kalimat yang baik dan benar meliputi; kelengkapan konstruksi
kalimat, keefektifan kalimat, dan penggunaan bentuk kebahasaan, tentu saja
penggunaan bentuk bahasa yang santun yang sesuai dengan konteks tuturan.
Untuk lebih jelasnya lihat data berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
(data 43)Bentuk Tuturan : O1 : “Riko, Riko, sing ndhelike jaketku
kowe?”Riko, Riko, yang menyembunyikan jaketkukamu?’
O2 : “Ngapa ndhelike jaketmu!”‘Ngapain menyembunyikan jaketmu!’
Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di halaman sekolah .- O1 dan O2 adalah teman satu kelas.- Waktu tuturan ketika jam istirahat.
Maksud : O1 menanyakan kepada O2 apakah dia yangmenyembunyikan jaket miliknya.
Status Sosial : O1, dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 9-3-2012
O1 : Riko, Riko, sing ndhelike jaketku kowe?S P pel
‘Riko, Riko, yang menyembunyikan jaketku kamu?’O2 : Ngapa ndhelike jaketmu!
‘Ngapain menyembunyikan jaketmu!’
Dari tuturan O1 di atas, tuturan O1 memenuhi struktur kalimat yang benar,
terlihat dari syarat-syarat sebuah kalimat, yang minimal terdiri dari subjek dan
predikat. Pada data 43 kalimat yang digunakan oleh O1 berupa kalimat yang baik
karena sudah mempunyai subjek dan predikat. Selain itu, tuturan O1 yang
menggunakan kalimat tanya membuat terkesan tuduhan yang ditujukan oleh O1
menjadi kabur atau samar. Berbeda dengan data berikut yang tidak menggunakan
kalimat secara baik dan benar.
(data 44)Bentuk Tuturan : O1 : “Heh, PR IPS.”
‘Heh, PR IPS.’O2 : “Apa? kene sewu!”
‘Apa? Sini seribu!’O1 : “Apa mbayar? ra sudi.”
‘Apa, Mbayar? tidak sudi.’Penanda Nonlingual : - Percakapan dua siswa di dalam kelas .
- O1 adalah siswa laki-laki dan O2 siswaperempuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
- Waktu tuturan ketika jam istirahat.Maksud : O1 meminta secara paksa PR IPS O2.Status Sosial : O1, dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta.Waktu Terjadi : SM/ 25-2-2012
O1 : Heh, PR IPS.S P
‘Heh, PR IPS.’O2 : Apa? kene sewu!
‘Apa? Sini seribu!’O1 : Apa mbayar? ra sudi.
‘Apa, Mbayar? tidak sudi.’
Berbeda dengan data 43 O1 yang sebelumnya kelengkapan kalimat
sebelumnya yang memenuhi kelengkapan struktur kalimat yang benar dan baik,
tuturan O1 di atas, tidak memenuhi kelengkapan kalimat yang baik dan benar,
sehingga tuturan O1 tersebut tidak santun sehingga akan menjalin komunikasi
yang tidak baik. Hal tersebut terlihat dari tuturan O2 yang meminta bayaran
dengan nada tinggi sebagai reaksi balasannya.
4) Aspek Intonasi
Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya
pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur
dengan menggunakan intonasi keras padahal jarak mitra tutur berada jarak yang
sangat dekat dengan penutur, penutur akan dinilai tidak santun. Sebaliknya, kija
penutur menyampaikan intonasi dengan lembut, penutur akan dinilai sebagai
orang yang santun. Untuk lebih jelasnya lihat data berikut.
(data 45)Bentuk Tuturan : O1 : “Pak aku dereng angsal LKS pak.”
‘Pak saya belum dapat LKS pak.’O2 : “Oh ya sesuk ya.”
‘Oh ya besok ya.’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan guru .- Waktu tuturan ketika jam istirahat.
Maksud : O1 meminta LKS kepada MTStatus Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta, sedangkan O2 adalah guru SMPMuhammadiyah 1 Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 8-2-2012
Tuturan di atas waktu istirahat, tempat terjadi tuturan di lobi dekat ruang
guru. Terlihat tuturan O1 menggunkan intonasi yang halus untuk menghormati
O2, meskipun menggunakan pilihan diksi yang kurang santun. Kurangnya
kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa Jawa krama, mempengaruhi
pilihan diksi dalam berbahasa, tetapi tidak mengubah maksud tuturan yang
bertujuan menghormati O2, berbeda dengan data berikut ini.
(data 46)Bentuk Tuturan : O1 : “Pak tempura!!!!”
‘Pak tempura!!!!’O2a : Apa?
‘Apa?’O2b : Kui pak, pangsit, bakso, karo sing kui.
‘Itu pak, pangsit, bakso, sama yang itu.’Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan sesama siswa .
- Waktu tuturan ketika jam istirahat.Maksud : O1 ingin membeli tempura O2.Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta, sedangkan O2 adalah penjual tempura.Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Tuturan O1 tersebut terjadi ketika istirahat, seorang siswa datang dan dari
jarak yang sangat dekat berteriak untuk membeli tempura hal tersebut t tidak
sopan. Intonasi yang digunkan sangat tinggi terkesan orang marah-marah. Padahal
tujuan dari O1 adalah membeli tempura. Untuk menjaga tuturan tetap santun
hendaknya menggunkan intonasi yang lembut agar tuturan menjadi santun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Dengan menggunakan intonasi yang lembut akan membuat rasa kata yang halus
dan enak didengar.
5) Aspek Nada Bicara
Aspek nada dalam bertutur lisan dapat juga mempengaruhi kesantunan
berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggmbarkan
suasana hati penutur ketika sedang bertutur. Misalnya ketika seorang penutur
emosinya sedang tidak stabil, maka tuturannya akan menaik dan kasar, sehingga
akan terasa menohok bagi MT, untuk lebih jelasnya lihat data berikut.
(data 47)Bentuk Tuturan : O1 : “Ndang barisa Le! ben ndang mlebu.”
‘Segeralah baris! agar segera masuk.’O2 : “Apa kowe? (karo ngece-ngece)”
‘Apa kamu?(sambil mengejek)’O1 : “Heh! ngajak padu kowe le!”
‘Heh! ngajak berantem kamu!’Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan sesama siswa .
- Waktu tuturan ketika jam istirahat.Maksud : O1 ingin membeli tempura O2.Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta, sedangkan O2 adalah penjual tempura.Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Terlihat sangat jelas emosi O1 yang sedang meledak karena diejek oleh
O2, tuturan O1 yang semula sudah emosi, sehingga tuturan O1 menjadi menaik
dan kasar dan tidak enak didengar. Sehingga kontrol emosi dalam peristiwa tutur
sangatlah penting untuk menjaga tuturan agar tetap santun. Karena dengan
menggunakan kontrol emosi nada bicara, intonasi dan pilihan kata dapat dibuat
secantun mungkin. Oleh karena itu, kontrol emosi dalam kegiatan bertutur sangat
penting dibutuhkan unuk menjaga tuturan tetap santun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
a. Faktor nonkebahasaan
Faktor Pranata Sosial
Seseorang pembicara tidak cukup memilih formulasi gramatikal dan
pilihan kata yang tepat untuk berbicara, tetapi aspek sosio kultural juga harus
menjadi pertimbangan. Misalnya, orang Jawa mengenal adanya unggah-ungguh
untuk menghormati orang yang lebih tua atau yang belum akrab, lihat data
berikut.
(data 48)Bentuk Tuturan : O1 : “Pak niki pripun Pak?”
‘Pak ini bagaimana?’O2 : “Sing angel diliwati seg wae, sing
gampang digarap seg.”‘Yang susah diewati saja dulu, yang mudahdikerjakan dulu.’
O1 : “Oh, nggih Pak.”‘Oh, ya Pak.’
Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan guru .- Waktu tuturan ketika jam KBM.
Maksud : O1 bertanya O2 mengenai soal yang diberikanoleh O2.
Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta, sedangkan O2 adalah guru.
Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Tuturan tersebut terjadi ketika proses belajar mengajar terlihat jelas bahwa
tuturan O1 yang menggunakan ragam madya untuk menghormati O2 yang
mempunyai status sosial yang lebih tinggi, sehingga akan terjalin suatu
komunikasi yang harmonis antra O1 dan O2. Walaupun tuturan O1 tidak
menggunakan ragam krama tetapi karena penguasaan kebahasaan siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta masih kurang sehingga tuturan tersebut masuk dalam
kategori tuturan yang santun. Berbeda dengan tuturan yang tidak memenuhi aspek
pranata sosial seperti data berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
(data 49)Bentuk Tuturan : O1 : “Kowe ki ngapa ta pak? ndang kana wae,
neng kene mung ngece-ngece thok.”‘Kamu itu ngapain sih Pak? segera kesanasaja di sini hanya mengejek-ngejek saja.’
Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan guru .- Waktu tuturan ketika jam istirahat.
Maksud : O1 mengusir O2 yang melihat O1 dan temantemannya sedang membuat puisi.
Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta, sedangkan O2 adalah guru.
Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012
Tuturan tersebut sangatlah tidak santun, karena tuturan O1 tersebut di ucapkan
kepada O2 yang berstatus sosial yang lebih tinggi. sehasrusnya banyak aspek
yang harus diperhatikan. oleh karena itu pranata sosial memiliki peranan penting
dalam peristiwa tutur terutama untuk masyarakat Jawa. Faktor yang
mempengaruhi kesantunan berbahasa yakni faktor topik pembicaraan dan kontek
situasi komunikasi merupakan faktor yang belum dikuasai oleh anak setingkat
SMP terutama SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Hal tersebut dikarenakan siswa
SMP belum begitu paham arti dari sebuah tuturan sehingga tuturan yang
dihasilkan akan cenderung seenaknya dan semaunya.
3. Fungsi Kesantunan Berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta
Ketika kegiatan bertutur langsung, P dan MT saling memberi dan
menerina tuturan. Tuturan pada saat kegiatan bertutur tidak semata-mata hanya
untuk diutarakan atau disampaikan oleh P atau MT. Akan tetapi, tuturan yang
disampaikan mempunyai maksud tuturan, hal tersebut dapat dilihat dari ilmu
pragmatik yang mempelajari maksud atau konteks tuturan. Dalam penelitian ini
analisis fungsi kesantunan berbahasa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
dapat dilkasifikasikan menjadi empat yang terdiri dari (1) menolak secara tidak
langsung, (2) menghormati MT, (3) menguntungkan mitra tutur, dan (4) memberi
perintah secara tidak langsung.
a. Menolak Secara Tidak Langsung
Salah satu fungsi kesantunan berbahasa yang digunakan oleh siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta yakni menolak secara tidak langsung. Pada fungsi ini
siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta menggunakan bahasa yang santun untuk
menolak permintaan atau ajakan yang diajukan, agar tidak membuat mitra tutur
kecewa maka dalam menolak permintaan perlu menggunnakan kalimat yang
santun untuk menolaknya. Untuk lebih jelasnya lihat data berikut ini.
(data 50)Bentuk Tuturan : O1 : “Tuku mi Har!”
‘Tuku mi Har!’O2 : “Ra ndhedhit mangatus.”
‘Tidak punya uang limaratus?’Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan siswa .
- Waktu tuturan ketika jam istirahat.Maksud : O2 menolak untuk diajak membeli mi goreng.Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta.Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012
Dari tuturan O2 di atas, terlihat bahasa yang digunakan untuk menolak O1
tergolong santun. Hal tersebut dikarenakan tuturan yang digunakan merupakan
tuturan yang mempunyai maksud tersirat yakni menolak diajak dan harap maklum
karena uangnya telah habis. Tuturan yang diucapkan juga tidak langsung menolak
dengan menggunakan kata emoh atau wegah ‘tidak mau’ tetapi O2 menggunakan
kalimat berita untuk menolak ajakan dari O1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
(data 51)Bentuk Tuturan : O1 : “Ayo jajan.”
‘Ayo jajan.’O2 : “Ngapa jajan? Kene wae.”
‘Buat apa jajan? Sini saja.’Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan siswa .
- Waktu tuturan ketika waktu istirahat, tempatterjadinya tuturan berada di halaman sekolah.
Maksud : O1 menolak untuk diajak jajan dan menyarankanuntuk tetap di tempat.
Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 10-3-2012
Tidak jauh berbeda dengan data 50, tuturan O2 yang bermaksud untuk
menolak O1 secara halus. O2 menolak O1 dengan cara mengubah bentuk kalimat
yang bersifat langsung menjadi kalimat tanya dengan mengatakan “Ngapa jajan?
Kene wae.” ‘Buat apa jajan? Sini saja.’ yang mempunyai maksuid tersirat
menolak dan menyarankan untuk tetap berada di tempat tersebut. Intonasi yang
digunakan O2 juga merupakan intonasi yang santun sehingga tuturan yang
digunakan untuk menolak merupakan tuturan yang santun.
b. Menghormati Mitra Tutur
Fungsi kesantunan yang kedua adalah untuk menghormati mitra tutur,
sebagai orang yang berlatar belakang budaya Jawa menghormati orang yang lebih
tua adalah suatu yang harus dilakukan. Misalnya dengan menggunakan bahasa
yang santun yakni menggunkan unggah-ungguh atau tingkat bahasa. Siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta juga menggunakan bahasa yang santun untuk
menghormati MT yang lebih tua misalnya guru, penjual kantin, dan yang lain-
lain. Pada penelitian ini, penggunaan fungsi kesantunan berbahasa untuk
menghormati dapat dilihat pada data berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
(data 52)Bentuk Tuturan : O1 : “Pak bakune niku napa ta Pak?”
‘Pak kata bakune artinya apa Pak?’O2 : “Diliwati seg karo kancane dienteni.”
‘Lewati dulu sambil temannya ditunggu.’Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas.
- Waktu tuturan ketika kegiatan belajar mengajar.Maksud : O1 bertanya kepada O2 arti kata dari bakune.Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta dan O2 adalah guru bahasa Jawa SMPMuhammadiyah 1 Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012
Terlihat dari tuturan di atas, O1 berusaha menghormati mitra tutur dengan
cara menggunakan bahasa ragam madya. Walaupun menggunakan ragam madya
tuturan O1 pada data 52 merupakan tuturan yang santun sesuai dengan maksud
dari tuturan tersebut yang bertujuan menghormati O2. Selain dari tuturan yang
digunakan intonasi O1 dalam mengucapkan tuturan merupakan intonasi yang
santun sehingga menambah kadar kesantunan tuturan O1.
Penggunaan kesantunan yang berfungsi menghormati mitra tutur dapat
dilihat pada data di bawah ini.
(data 53)Bentuk Tuturan : O1 : “Pak, mangke tugase nek diketik
pripun?”‘Pak, nanti kalau tugasnya diketikbagaimana?’
O2 : “Oh ya sip.. isa ngetik ta kowe?”‘Oh ya bagus.. kamu bisa mengetik?
O1 : “Saged pak.”‘Bisa pak.’
Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas.- Waktu tuturan ketika jam KBM.
Maksud : O1 adalah Siswa menanyakan kepada O2apaboleh tugasnya diketik.
Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakartadan O2 adalah guru bahasa Jawa SMPMuhammadiyah 1 Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Tidak jauh berbeda dengan data 52, O1 menggunakan bahasa krama utnuk
menghormati mitra tutur yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi. Dari
segi faktor kebahasaan tuturan yang digunakan telah memenuhi aspek
penggunaan struktur kalimat yang benar dan baik, intonasi, dan nada aspek,
sedangkan aspek nonkebahasaaan memenuhi aspek pranata sosial. Oleh karena
itu, tuturan O1 termasuk tuturan yang dianggap santun dan mempunyai fungsi
untuk menghormati MT.
c. Menguntungkan Mitra Tutur
Dalam penelitian ini fungsi yang ketiga yakni menguntungkan mitra tutur
adalah benruk kesantunan yang bertujuan utnuk memberi keuntungan kepada
mitra tutur. Fungsi ini ada kecenderungan pemenuhan maksim kebijaksanaan
untuk lebih jelasnya lihat data berikut ini.
(data 54)Bentuk Tuturan : O1 : “Pengen es ora? Kene tak tukoke.”
‘Mau es tidak? Sini saya belikan.’Penanda Nonlingual : - Percakapan dua orang siswa di halaman sekolah.
- Tuturan terjadi ketika waktu istirahat.Maksud : O1 ingin membelikan es yang O2.Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta.Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Data lain yang merupakan fungsi kesanrunan berbahasa yang
bertujuan untuk menguntungkan MT dapat dilihat sebagai berikut.
(data 55)Bentuk Tuturan : O1 : “Sapa sing nduwe permen?”
‘Siapa yang punya permen?’O2 : “Nyah, iki aku nduwe.”
‘Ini saya punya.’Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di depan ruang kelas.
- O1 dan O2 adalah teman satu kelas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
- Waktu tuturan ketika jam istirahat.Maksud : O1 meminta permen kepda semua teman
temannya.Status Sosial : O1, dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta.Waktu Terjadi : SM/ 9-3-2012
Tidak jauh berbeda dari data 54, tuturan O2 yang mengatakan “Nyah, iki
aku nduwe.” ‘Ini saya punya.’ menggunakan pilihan kata, intonasi, dan nada
bicara yang digunakan termasuk tuturan yang santun. Dari maksud yang
terkandung dalam tuturan O2 menandakan bahwa O2 ingin menguntungkan O1
yakni dengan cara mau memberikan yang diminta kepada O1 padahal O2 tidak
meminta secara langsung.
d. Memberi Perintah Secara Tidak Langsung
Fungsi kesantunan berbahasa yang keempat yakni fungsi memberi
perintah secara tidak langsung. Fungsi ini digunakan oleh P dengan harapan MT
tidak merasa keberatan dengan perintah yang diberikan oleh P. Penggunaan fungsi
ini biasanya berkaitan dengan penyimpangan maksim penerimaan, untuk lebih
jelasnya lihat data berikut.
(data 56)Bentuk Tuturan : O1 : “He.. panggonku ndi cah?”
‘He.. teman tempatku mana?’O2 : “Ngapa.. apa iki panggonmu? Ra isa.”
‘Kenapa?.. apa ini tempatmu? ’Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di depan ruang kelas.
- O1 baru kembali membeli makanan.- Waktu tuturan ketika jam istirahat.
Maksud : O1 memnita tempat duduknya yang baru saja ditanggalkannya.
Status Sosial : O1dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Tuturan yang di tuturkan Oleh O1 yang mengatakan “He.. panggonku ndi
cah?” ‘He.. teman tempatku mana?’ mempunyai maksud dan tujuan O1
memerintahkan O2 untuk pindah dari tempat yang duduki. Dari tuturan di atas
tuturan O1 menggunakan bahasa yang santun untuk meminta tempatnya. Hal
tersebut terlihat dari tuturan O1 yang merubah tuturan untuk meredam
ketaksantunan maka O1 mengubah kalimat dari kalimat perintah menjadi tuturan
dengan kalimat tanya. Efek yang ditimbulkan dari pemakaian perubahan kalimat
tersebut adalah tuturan berubah menjadi tuturan yang tidak langsung sehingga
terasa lebih halus. Data lain yang merupakan fungsi kesantunan untuk memeberi
perintah yang halus dapat dilihat pada data berikut.
(data 57)Bentuk Tuturan : O1 : “Fir/Fira/ jare tuku permen?”
‘Fir.. Fira/ katanya beli permen?’Penanda Nonlingual : - Percakapan antar siswa di depan ruang kelas.
- Waktu tuturan ketika jam istirahat.Maksud : O1 memnita O1 meminta permen kepada O2.Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta.Waktu Terjadi : SM/ 9-3-2012
Tidak jauh berbeda dengan data sebelumnya, tuturan yang dituturkan
oleh O1 tersebut spintas melanggar maksim penerimaan. Akan tetapi nada bicara,
pilihan kata yang diucapkan oleh O1 tersebut merupakan bahasa yang santun.
Terlihat dari pemenuhan skala ketaklangsungan dari tuturan yang disampaikan
oleh O1. Skala ketaklangsungan terihat dari tuturan O1 yang menanyakan kepada
temannya kalau temannya itu membeli permen, padahal maksud dari tuturan O1
tersebut adalah meminta permen dari O2. Tuturan O1 tersebut nada, intonasi, dan
diksi merupakan bentuk tuturan yang sopan. Sehingga tuturan yang melanggar
maksim penerimaan dapat disamarkan dengan bentuk tuturan yang santun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
B. PEMBAHASAN
Kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
memiliki variasi yang berbeda dengan kesantunan yang ada pada teori kesantunan
pada umumnya. Berbeda dengan kesantunan berbahasa Jawa yang mempunyai
kadar kesantunan tinggi yang tercermin dari bentuk struktur kalimat yang
lengkap, pemilihan diksi yang tepat, gaya bahasa yang santun, intionasi dan nada
yang santun akan menciptakan tuturan yang mempunyai kadar kesantunan yang
tinggi. Kesantunan berbahasa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta memiliki
karakteristik yang didominasi dengan bentuk tuturab yang mempunyai maksud
santun, sehingga bentuk tuturan yang terbentuk sepintas tidak santun, untuk lebih
jelasnya lihat data berikut.
(data 58)Bentuk Tuturan : O1 : “Sapa sing nduwe permen?”
‘Siapa yang punya permen?’O2 : “Nyah, iki aku nduwe.”
‘Ini saya punya.’Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di depan ruang kelas.
- O1 dan O2 adalah teman satu kelas.- Waktu tuturan ketika jam istirahat.
Maksud : O1 meminta permen kepda semua temantemannya.
Status Sosial : O1, dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.
Waktu Terjadi : SM/ 9-3-2012
Tuturan O1 pada data (58) di atas mempunyai tujuan atau maksud untuk meminta
permen kepada temannya. Tuturan semacam itu apabila dilihat dari prinsip
kesantuna yang dikemukakan oleh Leech tuturan O1 tersebut melanggar maksim
penerimaan, yang artinya menguntungkan diri sendiri dan memaksimalkan
kerugian orang lain. Akan tetapi, apabila dilihat lebih dalam lagi tuturan O1 tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
menggunakan kata-kata yang bersifat langsung ternyata O1 menggunakan bentuk
kalimat tanya sehingga tuturan O1 tersebut menjadi santun. Selain dilihat dari
bentuk katanya tuturan O1 juga memenuhi skala kesantunan yakni skala
ketaklangsungan yang bisa membuat tuturan yang dinilai kurang santun menjadi
santun dengan cara mengubah bentuk kalimat perintah menjadi kalimat tanya.
Peristiwa tutur yang hampir sama juga tampak pada tuturan antar siswa dan juga
guru sebagai berikut.
(data 59)Bentuk Tuturan : O1 : “Pak mangke tugase nek diketik pripun?”
‘Pak nanti kalau tugasnya diketikbagaimana?’
O2 : “Oh y sip..bisa ngetik ta kowe?”‘Oh ya bagus.. kamu bisa mengetik ya?.’
O1 : “Saged Pak.”‘Bisa Pak.’
Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di dalam ruang kelas.- Waktu tuturan ketika kegiatan belajar mengajarsedang berlangsung.
Maksud : O1 meminta penjelasan kepada gurunya tentangarti kata bakune.
Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muahmmadiyah 1Surakarta, sedangkan O2 adalah guru bahasa Jawa.
Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012
Dari data di atas terlihat bentuk tuturan yang digunakan oleh O1 adalah bentuk
tuturan yang tujuan sebenarnya adalah untuk menghormati mitra tutur yang
mempunyai status sosial yang lebih tinggi. Akan tetapi, O1 pada tuturan nya
tersebut menggunakan ragam ngoko alus. Hal tersebut dikarenakan sebagian
besar siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta kurang mampunya penguasaan
undha-usuk bahasa Jawa sehingga dalam pemakaiannya terjadi bentuk yang salah
kaprah. Selain dari penguasaan undha-usuk bahasa Jawa masih tergolong kurang,
faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut adalah pendidikan kesantunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
berbahasa pada lingkungan keluarga, masyarakat, dan pengajaran kesantunan di
sekolah tidak mecapai hasil yang maksimal karena tingkat kedewasaan siswa
SMP Muhammadiyah yang baru menginjak usia belasan sehingga tuturan yang
dihasilkan cenderung tidak santun.
Ketiga faktor tersebut yang menjadi alasan utama mengapa pemakaian
kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta mengalami
pergeseran dengan teori yang dicetuskan oleh Leech. Sehingga untuk melihat
kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta bukan
semata-mata dilihat dari segi bentuk tuturan.
Selain penggunaan diksi dan penggunaan ragam bahasa yang baik,
penggunaan gaya bahasa yang santun juga perlu dikuasai oleh para siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta sehingga akan tercipta tuturan yang halus karena
dengan adanya penggunaan gaya bahasa yang santun sanggup meredam tuturan
yang bersifat keras menjadi tersamar. Akan tetapi, pada penelitian ini siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta belum menguasai kemampuan menggunakan gaya
bahasa yang santun. Hal tersebut terbukti dengan tidak ditemukannya tuturan
yang menggunakan gaya bahasa yang santun juga banyaknya tuturan yang bersifat
langsung dan keras, tuturan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
(data 60)Bentuk Tuturan : O1 : “Le, sewu le.”
‘Hey, seribu hey.’O2 : “Ndhasmu!”
‘Kepalamu!’Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di halaman sekolah.
- Waktu tuturan ketika waktu istirahat.Maksud : O1 meminta uang seribu rupiah kepada MT.Status Sosial : O1 dan O2 siswa SMP Muahmmadiyah 1
Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012
Tuturan di atas terlihat bentuk tuturan yang memiliki kadar kesantunan
yang rendah bentuk tuturan yang dituturkan oleh O1 juga tuturan yang langsung
menohok dan juga sangat merugikan MT sehingga MT yang mukanya merasa
terancam langsung bereaksi dengan menggunakan kata-kata kasar. Dari data di
atas sebenarnya dapat diredam dengan menggunakan penggunaan gaya bahasa
yang santun. Misalnya saja O1 memang sangat membutuhkan uang untuk
membeli makanan O1 bisa menggunakan bentuk gaya bahasa metafofa,
personifikasi atau yang lainnya untuk menggambarkan kondisi keuangannya dan
menyampaikan pesan untuk meminjam atau yang lainnya dengan bahasa yang
lebih santun.
Kesantunan berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
didomonasi tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur tidak langsung ditunjukan
dengan mengubah fungsi jenis kalimat, misalnya untuk menyatakn perintah dapat
digunakan kalimat berita atau tanya. Fungsi kesantunan siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta dominasi tindak tutur yang tidak langsung seperti
member perintah secara tidak langsung dan menolak secara tidak langsung. Hal
tersebut tampak pada data berikut ini.
(data 61)Bentuk Tuturan : O1 : “Fir… Fira… jare tuku permen?”
‘Fir.. Fira… Katanya membeli permen?’Penanda Nonlingual : - Percakapan antarsiswa di depan ruang kelas.
- Waktu tuturan ketika waktu istirahat.Maksud : O1 meminta Permen kepada O2.Status Sosial : O1 dan O2 siswa SMP Muahmmadiyah 1
Surakarta.Waktu Terjadi : SM/ 9-3-2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Dari data tuturan (60) tuturan O1,memberi perintah kepada MT yang
bernama Fira utnuk memberikan permen yang dia beli, namun bentuk tuturan
yang di ucapkan oleh O1 yang berbentuk dasar kalimat perintah diubah menjadi
kalimat Tanya sehingga tuturan yang terbentuk menjadi tuturan yang santun dan
tidak berupa kalimat yang bersifat langsung ditujukan kepada mitra tutur. Data
lain yang menunjukan bahwa fungsi kesantunan menolak secara halus dapat
ditunjukan pada data berikut.
(data 62)Bentuk Tuturan : O1 : “Ayo munggah.”
‘Ayo naik.’O2 : “Mengko seg,kene wae.”
‘Nanti dulu, di sini saja.’O1 : “Ayo ta.. aku during sinau.”
‘Ayo lah.. saya belum belajar.’Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di halaman sekolah.
- Waktu tuturan ketika waktu istirahat.Maksud : O1 mengajak MT untuk naik ke kelasnya untuk
belajar.Status Sosial : O1 dan O2 siswa SMP Muahmmadiyah 1
Surakarta.Waktu Terjadi : SM/ 9-3-2012
Tidak berbeda jauh dengan fungsi kesantunan memberi perintah secara tidak
langsung, tuturan O2 yang menolak ajakan O1 juga menggunakan bentuk bahsaa
yang tidak langsung dan memanfaatkan kalimat yang menawarkan pilihan yang
lain. Hal tersebut sejalan dengan skala kesantunan yakni tuturan akan santun
apabila semakan banyak pilihan yang digunakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab empat, maka
dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Dalam penelitian ini, ditemukan lima bentuk kesantunan berbahasa Jawa
yaitu kesantunan berbahasa pemenuhan maksim kebijaksanaan, maksim
penerimaan, maksim kemurahan, maksim kecocokan, dan maksim
kesimpatian. Maksim kerendahanhati tidak ditemukan. Hal ini disebabkan
oleh kebanyakan tingkat emosi dan kedewasaan siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta masih kurang hal tersebut terlihat dari segi
umur yang baru ber umur belasan tahun. Bentuk ketaksantunan barbahasa
siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dalam penelitian ini ditemukan
ada enam pelanggaran yakni pelanggran maksim kebijaksanaan, maksim
penerimaam, maksim kemurahan, maksim krendahanhati, maksim
kecocokan, dan maksim kesimpatian.
2. Faktor penentu kesantunan berbahasa dalam penelitian ini meliputi faktor
kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan yang menjadi penentu
kesantunan berbahasa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta yaitu
pemakaian diksi yang tepat, pemakaian struktur kalimat yang benar dan
baik, aspek intonasi, dan aspek nada bicara. Pemakaian gaya bahasa yang
santun dalam penelitian ini tidak ditemukan karena penguasaan gaya
bahasa utnuk meredam tuturan agar menjadi tidak keras belum dikuasai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Dari faktor nonkebahasaaan
hanya ditemukan faktor pranata sosial. Dua faktor lainnya tidak ditemukan
dalam penelitian ini karena faktor konteks situasi komunikasi dan faktor
topik pembicaraan tidak dikuasai oleh siswa SMP Muhammadiyah 1
Surakarta sehingga tuturan siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
banyak yang kurang santun.
3. Dalam penelitian ini fungsi kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta diklasifikasikan menjadi empat yang terdiri
dari (1) menolak secara tidak langsung, (2) menghormati MT, (3)
menguntungkan mitra tutur, dan (4) memberi perintah secara tidak
langsung.
B. Saran
Sebagaian besar siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta didominasi oleh
keturunan orang Jawa. Kemampuan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah
1 Surakarta sangat bervariasi. Dalam penelitian ini, peneliti hanya membahas
bentuk, faktor penentu kesantunan, dan fungsi kesantunan melalui pendekatan
pragmatik. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila penelitian ini dilakukan
dengan lebih mendalam lagi dengan disiplin ilmu yang berbeda seperti melalui
pendekatan sosiolinguistik yang meneliti alih kode, campur kode, interferensi,
atau yang lainnya.