Upload
chochomz-n-de-panda
View
175
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Kesempurnaan Hidup Masyarakat Jawa
dalam Cerpen Kecubung Pengasihan Karya Danarto
oleh Anwar Efendi
Fakultas Bahasa dan Seni UNY
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan maka filosofis yang terkandung dalamm cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto. Pembahasan difokuskan pada konsepsi dan filosifi kehidupan dalam pandangan masyarakat Jawa yang terdapat dalam cerpen “Kecubung Pengasihan”.
Sumber data dalam penelitian ini adalah cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pembacaan dan pencatatan. Selanjutnya data tersebut dianalisis dan dimakna sesuai dengan konteks dan dihubungkan dengan konsepsi kehidupan masyarakat Jawa.
Melalui cerpen “Kecubung Pengasihan” secara jelas Danarto menggambarkan perjalanan hidp manusia dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Kesempurnaan hidup menurut pandangan masyarakat Jawa adalah upaya pencapaian penyatuan dengan Tuhan. Dalam cerpen ini, konsep atau pandangan pantheistik tampak jelas pada amanat, ajaran, dan perilaku tokoh. Perilaku hidup tokoh dalam menyikapi hubungannya dengan Tuhan, lingkungan, dan diri sendiri. Semua itu diarahkan pada satu tujuan hakiki yaitu perubahan wujud dari yang paling kasar (badan wadhag) menuju wujud yang paling halus (tan-ujud, adikodrati).
A. Pendahuluan
Membaca dan memahami karya sastra pada dasarnya adalah kegiatan memberi
makna suatu teks. Teks (sastra) sebenarnya merupakan suatu sistem kode yang terdiri ata
kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Teeuw mengatakan bahwa kalau ingin
memahami dan memberi makna suatu teks sastra, pembaca dituntut memiliki sejumlah
pengetahuan berkaitan dengan ketiga kode di atas.
Dalam kaitannnya dengan kegiatan pemaknaan karya sastra, pembaca harus sadar
bahwa yang dihadapi adalah teks, benda mati, sebagai barang ciptaan yang penuh rekaan.
Teks sastra sebagai hasil kreasi manusia, yaitu pengarang. Konsepsi dan pandangan serta
idealisme pengarang tentang kehidupan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi
dalam memahami karya sastra, karena karya sastra merupakan hasil ekspresi
pengetahuan, pengalaman, dan perasaan pengarang.
Demikian pula halnya dalam memahami cerpen-cerpen Danarto. Sebagaimana
diketahui cerpen-cerpen Danarto banyak dipengaruhi paham mistik Jawa. Oleh karena
itu, untuk dapat memahami cerpen-cerpen tersebut pembaca perlu mempunyai
pengetahuan tentang mistik Jawa.
Di samping itu, pembaca perlu juga memahami karakteristik umum cerpen-cerpen
Danarto ditinjau dari sistem sastra. Karakteristik tersebut berkaitan dengan pelibatan dan
penghadiran logika atau nalar, emosi serta kaidah-kaidah sastra. Hal di atas sesuai dengan
pernyataan Damono pada kata pengantar dalam kumpulan cerpen Danarto yang berjudul
Godlob (1987: xvi).
Cerita Danarto telah mengejek genrenya sendiri. Ia telah berusaha menolak serangkaian konvensi berkaitan dengan struktur cerita pendek. Ia meledek kaidah-kaidah penciptaan tokoh, alur, latar, dan sebagainya. Dunia ciptaannya yang serba luar biasa telah berhasil memaksa kita merenungkan konsep kita selama ini tentang cerita pendek. Kita memang tidak akan mampu melibatkan diri dalam dunia, masalah, dan tokoh-tokoh yang diciptakan Danarto, semuanya itu terlalu luar biasa.
Senada dengan pernyataan Damono, Rampan (1982:269) menyatakan bahwa
cerpen-cerpen Danarto merupakan karya yang jauh dari logika. Untuk memahami cerpen-
cerpen Danarto sukar diterapkan logika tentang tokoh karena tokoh-tokoh yang
dihadirkan bukanlah tokoh berdarah berdaging, bukan tokoh fisik seperti manusia pada
umumnya. Dengan demikian, unsur tokoh harus dikembalikan kepada realitas sastra
sebagai realitas imajiner. Plot dalam cerpen Danarto juga tidak dapat dipahami dengan
menerapkan model plot konvensional.
Cerpen-cerpen Danarto penuh dadakan, tak ada awal akhir, atau semuanya berawal pada akhir atua berakhir di awal, atau pada tengahnya. Demikian juga dengan lokasi seting, bisa di mana-mana, tak di Timur tak di Barat, tak di Utara tak di Selatan.
Selanjutnya, melihat gejala yang ditampilkan dalam cerpen-cerpen Danarto,
Mangun Wijaya (1988:144) menyatakan bahwa cerpen-cerpen Danarto adalah paralel-
paralel religius. Cerita-cerita kiasan kaum kebatinan dengan dinamika dan imajinasi yang
luar biasa, tradisioanl sekaligus kontemporer. Paduan abstrak dan konkret yang sekaligus
kontroversional.
Tulisan ini ingin mencoba memahami salah satu cerpen Danarto yang berjudul
Kecubung Pengasihan. Sebagaimana diuraikan di atas, salah satu karakteristik cerpen-
cerpen Danarto yaitu kandungan nilai mistik dan filosifi dunia kebatinan jawa. Oleh
karena itu, pengetahuan tentang nilai, pandangan, serta sikap hidup orang Jawa
digunakan sebagai salah satu cara memahami cerpen tersebut.
B. Kajian Teori
Dalam tradisi dan tindakannya, masyarakat Jawa selalu berpegang pada dua haj.
Pertama, pandangan dan filsafat hidup yang selalu bersandar pada makna religius dan
mistis. Kedua, sikap hidup yang etis dan menjunjung tinggi moral serta derajat
kehidupan. Pandangan hidupnya selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan
yang serba rohaniah dan magis. Hal itu tampak dalam perilaku penghormatan terhadap
arwah nenek moyang atau leluhur serta kekuatan-kekuatan yang tidak dapat ditangkap
panca indra.
Religi dalam kepercayaan (univers) Jawa meliputi hubungan dengan segala yang
rohaniah, seperti Tuhan, roh nenek moyang, dewa, dan makhluk halus. Sumber utama
kepercayaan religiusny berkenaan dengan kesadaran pada keberadaannya yang selalu
sadar diri, eling dan waspada. Kesadaran itu dilakukan dengan tetap memegang teguh
tradisi sesaji, sadranan, selamatan, dan kepercayaan baha segala sesuatu itu ada yang
menguasai (mbaureksa). Konsep etika masyarakat Jawa dilandasi oleh kepercayaan
religius. Dengan demikian orang Jawa selalu berusaha menjaga keselarasan diri dengan
lingkungn hidup, baik bersifat spirituial maupun material (Herusatoto, 1984:132).
Filsafat atua pandangan hidup orang Jawa lazim disebut dengan Ilmu Kejawen
atau Ilmu Kesempurnaan Jiwa. Ajaran tentang ilmu kesempurnaan jiwa merupakan ilmu
kebatinan yang dapat disejajarkan dengan tasawuf dalam pandangan Islam. Kejawen atau
ilmu kebatinan, yang juga sering disebut agama Jawa, sebenarnya bukanlah agama
(samawi), melainkan kepercayaan atau lebih tepat adalah filsafaf hidup dan pandangan
hidup. Filsafat Jawa terbentuk dari perkembangan kebudayaan Jawa sebagai akibat
pengaruh filsafat Hindu dan Islam (Herusatoto, 1984:72).
Filsafat Jawa mengenal beberapa ajaran atau konsep-konsep umum. Konsep-
konsep tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Konsep pantheistik (konsep kesatuan), yaitu manusia dan jagat raya merupakan
percikan zat Illahi, manifestasi Tuhan Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya di
dalam kebatinan Jawa rumusan tujuan hidup adalah bersatu dengan Tuhan,
manunggaling kawula gusti. Dalam tasawuf dikenal dengan istilah wahdlatul
wujud.
2. Konsep tentang manusia, keyakinan bahawa manusia terdiri atas dua segi yaitu
segi lahiriah dan batiniah. Segi lahir adalah badan wadhag sedangkan segi
batiniah adalah roh, sukma atau pribadi. Segi batiniah dianggap bagian yang
mempunyai asal usul dan tabiat Illahi dan merupakan kenyataan sejati.
3. Konsep tentang sikap hidup, yakni upaya mencapai penyatuan dengan Tuhan.
Manusia harus melakukan sikap hidup sebagai berikut:
a. Distansi.
Manusia mengambil jarak dengan dunia sekitarnya, baik aspek material
maupun spirituil. Distansi (jarak) sebagai suatu jalan sementara agar manusia
dapat menjadi sadar karena segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
mengeruhkan kesadaran. Dalam kaitan ini, manusia harus mengembangkan
tiga sikap dasar, yaitu sikap rela, narima, dan sabar.
b. Konsentrasi (manekung)
Konsentrasi dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu tapa brata dan
pemudaran. Konsep tapa brata dalam hal ini tidak berarti mengasingkan diri
dari dunia ramai, melainkan melakukan tapa di tengah-tengah kehidupan
manusia. Tapa brata berarti mengendalikan nafsu: amarah, lawwamah, serta
menghindari perbuatan jahat. Selanjutnya, pemudaran yaitu terbebas dari
belenggu nafsu indrawi dan duniawi. Orang yang telah mencapai pemudaran
akan sampai pada keadaan hening-hening, mati sajroning urip. Dengan
demikian telah “menjadi Tuhan”, memperlihatkan sifat-sifat Tuhan, ngiribi
sifate Allah ( = di alam adikodrati).
c. Representasi.
Upaya untuk mencapai keselarasan, memulihkan kembali kesatuan. Manusia
berdiri di pusat, yaitu sendirian dalam diri sendiri. Melakukan semua
kewajiban dalam memberikan sumbangan bagi keharmonisan sosial,
keselamatan dunia, amemayu hayuning bawana
Demikianlah uraian singkat dasar-dasar konsepsi kebatinan Jawa yang akan
digunakan sebagai sarana memahami cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto.
Mengingat sebagai orang Jawa, Danarto tidak hanya memahami mistik Islam, tetapi juga
memahami dan mendalami kebatinan Jawa. Kedua corak tersebut menyatu dalam karya-
karnya dan dipadukan dengan konsepsi pemikiran Barat sebagai representasi
modernisasi.
C. Cara Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah cerpen “Kecubung Pengasihan” karya
Danarto novel Larung. Dengan demikian, data penelitian ini berupa data verbal yang
terdapat dalam cerpen yang dapat menjelaskan konsepsi dan filosofi kehidupan dalam
pandangan masyarakat Jawa. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pembacaan dan
pencatatan. Selanjutnya data tersebut dianalisis dan dimakna sesuai dengan konteks dan
dihubungkan dengan konsepsi kehidupan masyarakat Jawa.
D. Hasil dan Pembahasan
“Kecubung Pengasihan” merupakan cerpen keempat dalam kumpulan cerpen
Godlob. Cerpen tersebut berusaha mengungkapkan proses yang nyata tentang hakikat
penyatuan manusia dengan Tuhannya (Sundari, dkk, 1985:24).
Kata “kecubung” mengacu pada sejenis tumbuhan yang bijinya bisa
memabukkan. Selain itu, kata kecubung juga merujuk pada semacam batuan berwarna
ungu (lembayung) yang biasa dipakai sebagai hiasan. Orang Yunani menganggap batuan
ini dapat digunakan sebagai penawar racun. Menurut kepercayaan Jawa, kecubung adalah
sejenis batuan yang berkhasiat dan dapat menimbulkan daya tarik atau cinta kasih bagi
pemilik/pemakainya (aji pengasihan).
Cerpen “Kecubung Pengasihan” seperti juga cerpen-cerpen Danarto lainnya,
diawali dengan paparan tentang peristiwa yang umumnya berwarna gelap. Paparan
tentang keadaan kehidupan yang bervariasi, campur baur antara kebaikan dan keburukan,
kecantikan dan kenistaan. Kutipan cerpen di bawah ini mempertegas gambaran di atas.
“Taman bunga itu indah harum semerbak. Banyak orang beristirahat di sana. Orang-orang tua, laki-laki dan perempuan, anak-anak muda yang berpasangan dan sendirian, bocah-bocah cilik yang bermain kejar-kejaran atau tenang duduk-duduk di bangku. Para pensiunan, para pegawai, para buruh, para petani yang habis belanja ke kota dan mau pulang lagi ke desanya, para profesor dan kaum cerdik pandai, para mahasiwa, para seniman yang lusuh, para pedagang… Yah semuanya perlu duduk-duduk di taman itu. Tidak perlu menggagas apa yang mu diperbuat (hal. 51).
Suasana luar biasa yang membuka cerita tersebut tentu saja memaksa kita sebagai
pembaca membayangkan serangkaian peristwa yang akan terjadi luar biasa pula.
Kehadiran tokoh perempuan bunting di tengah-tengah peristiwa itu semakin menambah
”keistimewaan” cerpen ini. Sosok perempuan yang lebih dari sekadar manusia biasa,
manusia super yang tidak berdarag berdaging. Sebagaimana yang dinyatakan Damono,
Danarto sengaja menghadirkan paparan, yang umumnya berwarna gelap sebagai landasan
bagi kehadiran tokoh dan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Paparan yang membuka cerita
sebagai alat untuk memukau pembaca agar terlena dan menerima apa saja yang
dikisahkan Danarto.
Dalam dialog awal, pengarang sudah memasukkan nilai ajaran kehidupan yang
mendasar, bahwa perjalanan hidup merupakan suatu proses yang selalu berubah. Waktu
senantiasa berputar dan berada dalam kebaruan. Segala hal dalam alam semesta terikat
bersama daur waktu yang akan terulang terus. Hal itu tersirat dalam kuitpan berikut.
“Ah, Cuma seperti biasanya saja. Cerita yang itu-itu juga. Hari ini di jalan aku tak menemui kejadian baru,” kata perempuan bunting itu.“Biarlah. Karena tiap hari itu selalu hari baru, maka biarpun ceritamu yang itu-itu juga, tetaplah ia baru,” kata Kamboja (hal. 53).
Masyarakat Jawa memandang waktu sebagai lingkaran yang berputar, tanpa awal
tanpa akhir (cakra manggilingan). Setiap peristiwa sebenarnya pernah terjadi sebelumnya
dan akan terjadi lagi pada masa berikutnya. Dengan demikian ada anggapan bahwa
sesuatu yang belum pernah terjadi, selama-lamanya juga tidak akan pernag terjadi.
Melalui tokoh perempuan bunting itulah Danarto menyadarkan kembali tentang
perilaku kehidupan berdasarkan pandangan hidup dan filsafat Jawa. Perempuan bunting
yang mulai mengambil jarak dengan lingkungan sekitarnya dengan sikap kesadaran
pribadi yang tinggi.
“Dini hari aku merasakan kesyahduan yang sangat. Hingga terasa olehku kolong jembatan itu adalah gereja-masjidku yang penuh ketentraman.“… hingga terasa olehku kolong jembatan itu adalah gereja-masjidku yang penuh harapan di masa depan. Walau tiang-tiangnya telah rapuh hingga aku selalu khawatir bila mulai tidur di bawahnya, ia merupakan rumah Tuhan yang kucintai dengan kekalnya (hal. 54).
Kesadaran religius berkenaan dengan kesadaran pada keberadaan manusia yang
selalu sadar diri, eling, dan waspada. Seperti kata Damono, Danarto lewat tokoh
perempuan bunting, tidak membicarakan dan “terjebak” pada agama tertentu untuk
menerangkan hakikat religius, yakni melalui ungkapkan “gereja-masjidku”. Justru yang
tampak adalah makna spiritual yang meliputi hubungan segala hal yang rohaniah dengan
wujud lahiriah. Itulah yang menjadi konsep dasar kehidupan manusia Jawa.
Perempuan itu telah menjalankan distansi (mengambil jarak) dengan baik. Dia
telah dapat mengambil jarak dengan dunia sekitarnya. Dia dengan rela menyerahkan diri
dan segalanya kepada-Nya. Narima, menerima dengan pasrah atas nasibnya, sabar
menghadapai kenyataan hidup. Kutipan di bawah ini memperjelas sikap tersebut.
“Aku hanya tersenyum saja sambil mengorek-ngorek sampah. Mereka tahu hanya orang gila yang makan kembang. Tapi biarlah. Itu tidak mengapa. Mereka tidak tahu. Hanya akkulah yang paling tahu mengenai diriku. Selama aku tak merugikan orang lain, aku berani mengatakan bahwa aku tidak gila” (hal. 55).
Setelah tidak mampu lagi untuk merebut sisa-sisa makanan di bak-bak sampah,
maka dia memutuskan untuk menjadikan kembang-kembang di taman itu sebagai
makanan sehari-hari. Hal itu dilakukan juga sebagai salah satu jalan untuk membuat jarak
(distansi) dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku itu tentu saja menjadi bahan ejekan dan
cemoohan, tetapi dia tidak peduli dengan semua itu. Dia ikhlas hati menerima dan merasa
puas dengan nasibnya. Dengan kesabaran yang tinggi dia menjalani kehidupan di dunia.
Hanya orang yang rela dan narima yang dapat menumbuhkan sikap kesabaran.
Kehidupan duniawi pada dasarnya adalah kesengsaraan yang dalam konsep ajaran
Budhis disebut “samsara”, menuju kehidupan yang lebih kekal di alam “nirwana”.
Kehidupan nirwana dapat tercapai setelah kita mengalami kematian, terbebas dari
belenggu duniawi. Akan tetapi, karena keterbatasan manusia, maka kita tidak akan
pernah tahu apa yang akan terjadi setelah kematian. Apakah betul-betul terbebas dari
samsara dunia atua justru akan menemui kesengsaraan lagi. Tidak seorang makhluk pun
tahu kehidupan apa setelah kematian datang. Hal itulah yang secara tepat digambarkan
oleh Danarto dalam cerpen “Kecubung Pengasihan”, sebagaimana tampak pada kutipan
di bawah ini.
“O, kematian yang kurindukan. Mau dan reinkarnasi yang kerja sama, ayo mendekatlah! Cabut nyawaku!...“Ayo! Inilah aku. Aku kepanasan. Tolonglah aku, wahai Sang Maut! Air! Air! Air kematian yang sejuk! Bawalah kemari! Kemari!” Kata Mawar.“O, kadang-kadang kutemukan diriku adalah seorang pembunuh yang menipu,” … Kurayu kalian dengan segala bayangan kesenangan tentang kehidupan sehabis kematian … “Siapa yang btahu timbangan kita? Mana yang lebih berat? Dosa atau kebaikan? … Tidak seorang makhluk pun tahu tentang timbangannya (hal. 59)
Dalam pandangan masyarakat Jawa mengenal adanya bentuk reinkarnasi atau
penjelmaan sebagai kelahiran kembali manusia setelah mati dalam wujud lain. Lewat
cerpen ini Danarto memaparkan konsep reinkarnasi melaui dialog tokoh perempuan
bunting dengan bunga-bunga di taman.
“Reinkarnasi macam apa yang kalian bayangkan?“Itu tidak penting! Itu tidak penting! Reinkarnasi macam apa itu tidak penting! Apa-apa mau! Pokoknya, maut datang dulu!” teriak kembang-kembang itu.“Wahai, perempuan manis, bukankah kau pernah cerita bahwa Sidharta Gautama Budha sebelum mencapai Penerangan Yang Mulia, beliau telah hidup berulang-ulang lebih dari 530 kali. Sebanyak 42 kali terlahir sebagai orang yang dipuja-puja. Lalu 85 kali menjadi raja. Terus 24 kali menjadi pangeran. Kemudian 22 kali menjadi orang terpelajar. Lalu 2 kali menjadi maling. Lalu 1 kali menjadi penjudi. Kemudian berkali-kali menjadi singa, rusa, kuda, burung rajawali, banteng, ular, dan juga katak. Bukan main! Mungkin kita nanti jadi kerikil atau cacing atau manusia atau kembali menjadi kembang lagi, tapi lebih buruk: bungan bangkai… (hal 58).
Dalam Hindhu-Budha, ajaran reinkarnasi tidak terlepas dari masalah karma dan
dharma. Karma berkaitan dengan adanya hukum sebab akibat, sedangkan dharma adalah
kewajiban yang harus ditunaikan sesuai dengan kedudukan manusia. Dengan mengikuti
dharmanya secara tepat selama menjalani hidup akan mempengaruhi karma sehingga
kelak akan dilahirkan kembali dengan nasib kehidupan yang lebih baik.
Reinkarnasi diibaratkan menanggalkan seperangkat pakaian usang. Demikian juga
sukma (roh) meninggalkan badan usang dan mengenakan badan baru, menjalani
kelahiran kembali. Reinkarnasi, karma, dan darma menyatu pada kelahiran kembali dan
semuanya mengarah pada terserapnya hidup ke dalam roh alam semesta sebagai tujuan
akhir.
Dalam tahapan perkembangan manusia menuju persatuan dengan Tuhan, dengan
kesadaran penuh bahwa semua makhluk di dunia ini hidup, maka tokoh perempuan
bunting mulai melakukan konsentrasi. Mempertanyakan kembali tentang hakikat dirinya
dan juga makhluk-makhluk lain yang ada di dunia.
“Wahai, kembang-kembang yang jelita. Mengenal kalian seperti mengenal semesta. Suatu kebahagiaan…“Batu-batu menyanyi dan esoknya ia menjelma jadi tumbuhan. Ia lahir dalam dunia baru. Syahdu. Nafas baru, pemandangan baru.. dengan keperkasaan tanggung jawab dan aliran dahsyat nafsu, melompatlah jelmaan baru: Manusia! … O, perjalanan yang jauh dan pedih. Kita ini apa? Dari mana? Mau Ke mana? (hal. 57).
Kemanusiaan yang hakiki pada dasarnya terletak pada tiga pertanyaan dasar yaitu
dari manakah kita dilahirkan? Di manakah kita hidup ini? Dan mau ke manakah kita
pergi? Tiga pertanyaan itulah yang menjadi ajaran pokok dalam ajaran Uphasihad pada
paham Budhisme. Uphnisad dari kata “upa” yang berarti dekat dan “shad” yang berarti
duduk. Uphanisad adalah ajaran yang diturunkan oleh para bijak bestari kepada muri-
murid yang duduk di dekat mereka. Ajaran tentang hakikat manusia dan kemanusiaan,
hakikat hidup dan kehidupan.
Dengan kesadaran penuh bahwa hidup di dunia ini sebenarnya adalah “samsara”,
kesadaran akan dosa-dosa yang berakibat sanksi reinkarnasi, perempuan itu memutuskan
untuk tidak makan apa-apa. Dia hanya menghirup udara, memasuki tahap tapa brata. Ia
berusaha menginggalkan keinginan-keinginan jasmaniah.
“Aku sekarang telah melihat. Seolah-olah aku melihat segalanya. Kini aku sangsi. Ya, hari ini aku sangsi. O, betapa tidak enaknya hidup di dunia. Hingga aku kepingin juga mati. Sejak sekarang aku tidak akan mengganggu kalian,” kata perempuan itu (hal. 60).
Penderitaan hidupnya semakin memuncak dengan robohnya jembatan yang
merupakan tempat tinggal satu-satunya. Tempat tinggal yang menandai adanya hubungan
dengan dunia ramai. Tetapi, jembatan itu kini telah roboh, dengan begitu putuslah
hubungannya dengan dunia ramai, dengan teman-temannya yang semua ikut terkubur
hidup-hidup.
“Wajahnya menyeringai dan air matanya meleleh. Ia hampir-hampir tidak percaya akan matanya. Jembatan itu benar-benar hancur lebur .. (hal 68).
Robohnya jembatan yang dianggap sebagai gereja-masjid tersebut juga
mengisyaratkan perjalanan kehidupan selanjutnya yang akan dialami. Kini tidak ada lagi
tempat untuk menangis, mengadu sepuas-puasnya kepada Tuhan tentang kesengsaraan.
Tempat untuk mencari dan mencitai Tuhan dan pasarah kepada-Nya.
Pada puncak penderitaannya, ia telah dapat melepaskan raga dari jiwanya. Ia telah
meninggalkan dalam material. Terlepas dari dunia inderawi dan rohnya serasa melayang
meninggalkan jasadnya ke dalam alam astral.
“Ia merasa seolah-olah melayang. Rohnya serasa melayang meninggalkan jasadnya ke alam astral. Ajaib! Ia merasa anggota-anggota badannya, tangannya, kaki-kakinya, bahkan seluruh tubuhnya rontok…perempuan itu merasa lebur jiwanya dan melayang-layang dalam angkasa hampa udara. Perasaan yang campur baur dan tak karuan antara sendu, haru, dan bahagia … (hal.71).
Perempuan itu telah usai memasuki tahap berikutnya, tahap pemudaran. Ia sudah
mulai masuk alam lain, berada dalam keadaan mati sajroning urip. Kutipan di bawah ini
merupakan gambaran kondisi tersebut.
“O, peristiwa yang cemerlang. Tuan-tuan sungguh mulia. Saya cinta kepada tuan-tuan. Cinta kasihku melebihi sebuah pinangan, tetapi maafkan perempuan bunting ini, ia sesungguhnya telah dipinang,” (hal. 73).
Di situlah perempuan itu berhasil mencapai tempat kediaman Tuhan dan berupaya
bersatu dengan Tuhan. Dia telah mencapai sifat-sifat Tuhan, ngiribi sifate Allah. Seluruh
sifatnya telah berkembang menjadi cinta kasih universal yang metafisik.
“Perjalananku ini tidak lain hendaknya bertemu dengan-Nya. Rindu dendamku sudah tidak bisa ditangguhkan lagi. Izinkan aku melanjutkan langkahku kepada-Nya. Inilah akhir masa rinduku yang lama. Tinggal sejengkal lagi. Tinggal sejengkal …. (hal. 73).
Akhirnya perempuan itu berhasil menyatu dengan Tuhan, manunggaling kawula
gusti, sebagai tujuan utama hidup. Hidup yang telah lengkap, yang didambakan oleh
setiap insan. Ia telah berhasil mencapai kukusing angin, menemukan galihing kangkung,
dan sampai pada tujuan abadi dalam kehidupan yang kekal. Dia telah terbebas dari
kesengsaraan, terbebas dari tuntutan kelahiran kembali atua reinkarnasi.
“O, kematian, selamat berpisah. O, kesengsaraan, selamat tinggal denganmu. Pada perjalananku yang terakhir, engaku beban pedih, dapat juga akhirnya kutanggalkan dari pundakku …“O, pohon hayatku! O, permata cahayaku!” hati perempuan itu menyanyi, “Lihatlah! Aku lari ke haribaan-Mu! Aku memenuhi undangan-Mu! Sambutlah! (hal 74).
Dalam ajaran Buhdis, perempuan itu telah terlepas dari Tanha, terbebas dari
pengaruh hukum Patticasamupada dan Punarbhava. Menurut ajaran tasawuf, keadaan
perempuan itu telah sampai pada taraf ma’rifat. Bersatu dengan pengenalan terhadap
sifat-sifat Tuhan. Dalam pandangan wujudiyah berarti telah mencapai persatuan dengan
Tuhan. Tuhan amat dekat, seperti dekatnya kita dengan urat leher.
E. Penutup
Melalui cerpen “Kecubung Pengasihan”, secara jelas Danarto berusaha
menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dalam usaha mencapai kesempurnaan
hidup. Kesempurnaan hidup menurut pandangan masyarakat Jawa adalah upaya
pencapaian penyatuan dengan Tuhan. Dalam cerpen ini, konsep atau pandangan
pantheistik tampak jelas pada amanat, ajaran, dan perilaku tokoh. Perilaku hidup tokoh
dalam menyikapi hubungannya dengan Tuhan, lingkungan, kehidupan, dan diri sendiri.
Semua itu diarahkan pada satu tujuan hakiki yaitu proses untuk bersatu dengan Tuhan.
Perjalanan yang berupa proses perubahan wujud dari yang paling kasar (badan wadhag)
menuju wujud yang paling halus (tanujud, adikodrati).
Daftar Pustaka
De Jonh, S. 1978. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Danarto. 1978. Godlob. Jakarta: PT. Temprint.
Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita
Hadiwijoyo, Harun. 1983. Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Hardjowirogo, Marbangun. 1984. Manusia Jawa. Jakarta: Inti Idayu Press.
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Mulder, Neils. 1985. Pribadi dan Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Rampan, Korie Layun. 1982. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir: Sebuah Pembicaraan. Yogyakarta: Nuc Cahaya.
Sundari, Siti dkk. 1985. Memahami Cerpen-cerpen Danarto. Jakarta: P3B Jakarta
Hamka. 1985. Renungan Tasawuf. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Widyadharma, Pandita S. 1983. Intisari Agama Budha. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Budhis Nalanda.
Anwar Efendi, lahir di Madiun 15 Juli 1968. Menyelesaikan S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP MALANG (sekarang UM) tahun 1993, dan S-2 Ilmu Komunikasi di Pascasarjana Unpad Bandung tahun 2001. Sejak tahun 1994 menjadi tenaga pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY. Karya Ilmiah yang dihasilkan antara lain: (1) Aspek-Aspek Inkonvensional dalam Novel-novel Putu Wijaya (2003), (2) Aspek Retorik Bahasa Iklan (2003), (3) Pengajaran Sastra Berdimensi Multikultural (2003), (4) Kebiasaan Bercerita sebagai Sarana Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anak (2004), (5) Simbol Waktu dalam Puisi Goenawan Moehamad (2005), dan (6) Alienasi Tokoh Utama dalam Novel POL Karya Putu Wijaya (2005).
Pokok Pandangan Mistik dalam Kumpulan Cerpen Adam Ma’rifat Karya Danarto
Sebagai sebuah karya sastra modern yang profetik, cerpen-cerpen Danarto menghadirkan
dunia-dunia rekaan yang sarat dengan pesan-pesan sufistik. T.H Sri Rahayu Prihatmi
menyebut dunia cerita Danarto ini sebagai sebuah fantasi, namun juga bukan sepenuhnya
fantasi. Maksudnya bahwa dunia cerita Danarto seringkali keluar dari logika, konvensi
dan indera sebagaimana dalam dunia nyata, melainkan sebagai sebuah dunia yang
sunyaruri dan tak mau dibatasi dengan ruang atau waktu. Tokoh-tokohnya juga bukan
tokoh yang 'men-darah daging' seperti halnya manusia lumrah dalam kehidupan nyata,
namun sebagai tokoh yang sulit teridentitaskan.
Namun demikian cerpen Danarto juga tidak sepenuhnya disebut sebagai fantasi karena
dunia cerita yang dihadirkan Danarto sesungguhnya benar ada dan mengacu pada realitas
dunia ini. Umpamanya:
Setelah upacara temu itu selesai kembali gamelan mendengungkan musiknya untuk
mengiring tujuh belas penari Bedoyo. Ayu-ayu, remaja putri yang membuahkan
semangat. Merekahkan suatu nilai yang gilang gemilang, yang ditebak bisa, tapi dipegang
jangan.
…
Diatas semuanya itu, guru tari mereka, eyang itu, memegang kemudi. Langit dan bumi
seperti di telapak tangannya. Ruang dan waktu seperti di sakunya. Matanya yang
memancarkan kendali dari segala jenis keluwesan itu, tak pernah lepas menerkam anak-
anak didiknya yang lemah gemulai. Menengadah dan miring. Lalu terbang mengitari
mempelai, itu yang bila dilihat dari hukum keseimbangan, mereka pasti sudah jatuh
terkapar di lantai.
Dalam cerpen "Bedoyo Robot Membelot" itu peristiwa temu pengantin dan pesta
pengantin itu sendiri adalah peristiwa-peristiwa konvensional, tetapi peristiwa
melayangnya tujuh belas penari bedoyo remaja itu merupakan peristiwa di luar konvensi
dan logika.
Demikian pula peristiwa dan tokoh yang merupakan paduan antara dunia nyata dan tidak
nyata itu terdapat hampir menyeluruh dalam setiap jaringan unsur-unsur cerita yang
lainnya juga. Dunia nyata seperti misalnya Sekolah Dasar dalam cerpen "Mereka Toh
Tidak Mungkin Menjaring Malaikat", daerah rumah kontrakan dalam cerpen "Megatruh",
Kotagede yang dipastikan berjarak lima kilometer arah selatan kota Yogyakarta dalam
cerpen "Lahirnya Sebuah Kota Suci", tempat pesta perkawinan dalam cerpen "Bedoyo
Robot Membelot", dan konser Jass George Benson dalam cerita pendek berjudul .
Adapun dunia tidak nyata di dalamnya seperti: malaikat Jibril bermain dengan anak-anak
dalam cerpen "Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat", bahtera dari aspal
terminal yang melaju dalam cerpen "Adam Ma'rifat", ruangan tukang jam yang dapat
membawa orang melihat kenyataan siapa dirinya dalam cerpen "Lahirnya Sebuah Kota
Suci", dan ruang rias yang sebenarnya tidak pernah ada dalam cerpen "Bedoyo Robot
Membelot".
Benturan dan ramuan dunia cerpen Danarto dimana yang tidak nyata dapat menyusup
masuk ke dalam yang nyata menyiratkan 'kemenyatuan' yang menurut Fudoli Zaini
disebut sebagai dunia 'dalam' dan dunia 'luar'. Keduanya merupakan jalinan kehidupan
ini. Sebagaimana yang dzahir dan yang batin (Huwa ad-dza>hiru wa al-ba>tinu). Tuhan
juga menjalin kehidupan di dalam apa saja yang nampak di dunia ini. Seperti yang
dinyatakan oleh Adam Ma'rifat : 'kau adalah aku yang nampak dan aku adalah engkau
yang tak tampak".
Membaca makna pesan yang terkandung dalam cerpen-cerpen Danarto itu kita akan
segera tahu bahwa pada hakikatnya Tuhan meng-Esa dalam keberagaman makhluknya.
Mereka yang tahu akan hal demikian maka ia telah mencapai suatu pengetahuan yang
paling tinggi ialah ma'rifat. Di dalam kumpulan cerpen Adam Ma’rifat tersirat bahwa
Tuhan adalah ruh semesta, Tuhan adalah proses dan juga segalanya. Ini dibuktikan dalam
cerpen berjudul "Adam Ma'rifat" :
…akulah ruh semesta yang meneteskan ilmu pengetahuan dalam otakmu, akulah proses,
bercerminlah kepadaku dan engkau tidak akan menemui yang lain kecuali aku,
terpampang wajahku senyata-nyatanya wajahmu, sebenarnya semuanya itu sebuah ujian,
semuanya toh akan menjadi aku akhirnya, semuanya adalah darahku, aku mengalir dalam
darahmu, aku bara darahmu,…
Kemudian tidak hanya cerpen Adam Ma'rifat, konsep tentang 'kesatuan' juga dapat
dipahami melalui cerpen berjudul "Lahirnya Sebuah Kota Suci", dimana di situ
ditunjukkan bahwa manusia akhirnya luluh (fana’) ke dalam Tuhan. Hamba atau ciptaan
manunggal dengan Penciptanya. Sebuah konsep yang dalam istilah tasawuf juga disebut
wahdat al-wuju>d. Atau yang dalam pandangan Jawa dikenal dengan manunggaling
kawula-gusti. Di dalam cerpen itu disiratkan bagaimana pada akhirnya orang-orang itu
melihat kenyataan bahwa dirinya tak lain adalah Tuhan.
Lalu keheningan kembali menengok dirinya sendiri. Ia terkesiap. Ia melihat dirinya
sendiri. Ia melihat kitab-kitab suci dirinya sendiri. Ia kembali terkesiap. Aku telah
menulis kitab suci begitu banyak. Kitab-kitab suciku. Aku telah melahirkan bagitu
banyak nabi-nabi. Nabi-nabiku. Aku telah memahat malaikat-malaikat begitu banyak.
Malaikat-malaikatku. Aku telah menciptakan cermin-cermin begitu banyak. Cermin-
cerminku. Lalu aku pecahkan semua cermin itu, hingga aku bisa melihat diriku sendiri.
Dalam Serat Centhini, seperti yang dikutip Zoetmulder, manunggaling kawulo gusti
adalah tingkatan yang diperoleh ketika seseorang melepaskan diri dari segala ikatan, dan
memasuki tahap pelenyapan diri secara total. Dimana seseorang bisa memandang tanpa
tirai. Lepas dari ikatan indera mereka untuk mempersatukan diri dengan Tuhan.
Gagasan-gagasan mistik seperti ma'rifat, wahdat al-wuju>d, hulul, fana’ atau
manunggaling kawulo gusti merupakan bentuk mistik yang hadir sebagai jalinan antara
dunia nyata dan tidak nyata cerita-cerita Danarto dalam kumpulan cerpen Adam Ma'rifat.
Pandangan dunia ini menyiratkan ke-manunggal-an antara manusia dengan Tuhan – yang
melalui suatu 'proses' maka ia akan kembali dan bersatu antara keduanya.
Dalam spiritualitas Jawa, seperti pada Serat Wirid Hidayat Jati sebagaimana dikutip oleh
Simuh, proses tersebut tidak lepas dari konsepsi penciptaan di dalam ajaran "Martabat
Tujuh" yang bisa dirangkum sebagai berikut:
1. Sajaratul Yakin, yang disebut juga dengan hayyu (hidup), dan atma, yaitu inti terdalam
bagi manusia
2. Nur Muhammad atau yang disebut juga sebagai nur yang berada di luar hayyu
3. Mir'atul Haya'i atau yang disebut juga sebagai sirr atau rahsa, berada di luar nur
4. Ruh Idzafi atau nyawa yang disebut juga dengan sukma, yang berada di luar sirr
5. Kandil yang dipersamakan dengan nafsu, letaknya adalah di luar ruh
6. Dzarrah yang sering disebut sebagai budi, berada di luar ruh
7. Hijab, adalah martabat Insan Kamil yang sama dengan jasadi dan berada di luar budi.
Pada kutipan "…aku telah menulis kitab suci begitu banyak…" menunjukkan dengan
jelas bahwa orang-orang yang berada dalam lingkaran itu mencapai puncak kesadaran
mistik, sebuah esensi bahwa dirinya itu Tuhan. Unsur-unsur kemanusiaan dalam hal ini
telah lenyap (luluh / fana’) dan mencapai derajat kemenyatuan dengan Tuhan. Inilah
sebabnya Danarto menggunakan kata-kata "Lalu aku pecahkan semua cermin itu, hingga
aku bisa melihat diriku sendiri."
Cermin merupakan analogi bagi manusia, yang apabila ia ingin mengenal Tuhan maka ia
harus mengenali hakikat dirinya sendiri (man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu).
Melalui dirinya sendirilah ia dapat melihat 'wajah Tuhan'. Dan dipecahkannya cermin itu
berarti menggambarkan hilang (luluh)nya sifat-sifat kemanusiaan dan kemudian
tergantikan dengan sifat-sifat Ketuhanan, "…hingga aku bisa melihat diriku sendiri."
Untuk dapat mengenal hakikat diri, seseorang bisa memulainya dari bawah ke atas.
Istlahnya taraqi (mendaki), yakni dari tingkatan paling bawah dalam Martabat Tujuh, lalu
terus naik hingga sampai pada tingkatan tertinggi. Mula-mula ia mengenal dirinya
sebagai manusia secara jasmani. Kemudian naik, mengenal dirinya sebagai bangunan
sebuah jiwa dengan segala pernik-pernik di dalamnya. Selanjutnya naik lagi, mengenal
dirinya sebagai roh. Lalu ia mengenal dirinya sebagai satu kesatuan alam semesta yakni
Nur Muhammad. Hingga akhirnya ia mengenal diri sesungguhnya, ia lebur, lenyap dalam
Dzat Tuhan yang Nyata.
Namun dalam rangka menuju terbukanya tabir penyekat itu, selain mengetahui makna
hidup sejati secara taraqi, juga ditentukan oleh tingkat "penerimaan" dan "kepasrahan"
seseorang ke tingkat "kelepasan". Dalam cerpennya yang berjudul ”Megatruh”, Danarto
menggambarkan kepasrahan itu sebagaimana para tokohnya disedot oleh zat asam yang
mereka tak tahu kemana ia membawanya. Mereka larut dalam kehendak zat asam itu
hingga akhirnya sampai pada tingkat 'kasunyatan' tersebut.
Mendadak kami bertiga disedot zat asam dengan kecepatan tinggi entah dibawa kemana
lagi. Dalam keadaan yang melayang itu sempat batang pisang bersungut-sungut kepada
kadal. Sampailah kami di dalam ruangan yang mahabesar dengan suara kembang-kempis
yang dahsyat dalam hamparan terang-benderang yang mentakjubkan tanpa Utara,
Selatan, Barat dan Timur. "Tanda-tanda" berseliweran silang-selungkai di sisi-sisi kami,
ibarat pemantapan untuk tubuh-tubuh kami yang layang-melayang untuk bersahabat
dengan tanda-tanda itu, tetapi zat asam terlalu sibuk menggoncang-goncangkan kami,
membenturkan pada dinding yang melentur seperti karet, meskipun harus kami akui
sebenarnya kami tidak melihat apa-apa kecuali gilang-gemilangnya cahaya yang
menghantarkan kehangatan.
"Megatruh" sendiri sebagai judul cerpen tersebut apabila ditelusuri dari makna kata dan
asal usulnya merupakan salah satu jenis tembang Jawa yang berarti 'Tembang Kematian'
(saat-saat duka). Dari kata pegat (bercerai) dan ruh (jiwa). Namun kematian disini bukan
pada kematian tubuh fisik yang dapat diobservasi, melainkan pada dua dimensi
"kelahiran" spiritual manusia. "Kebangkitan Kecil" yang merupakan otonomi wujud jiwa
seperti yang dialami oleh masing-masing orang, dan "Kebangkitan Besar" yang
merupakan pengalaman langsung yang jauh lebih matang dari semua wujud yang telah
ditentukan (baik psikis maupun material) seperti yang terpancar dari dasar.
Pandangan tentang kematian ini sebagaimana pernah ditegaskan oleh tokoh sufi dari
Jawa yang kontroversial, Syekh Siti Jenar. Ia memandang kehidupan di dunia sebagai
kematian yang singgah di dalam raganya. Inilah yang membuat manusia tersesat di dunia
di dalam neraka yang dahsyat. Jasad yang mengandung pancaindera, melihat dunia
terbentang, matahari menyusup di langit, melihat dunia serta memupuk kekayaan, tanpa
menyadari sebagai kematiannya di dunia.
Begitu pula tokoh-tokoh sufi semisal Al-Hallaj, Ibn 'Arabi, Bayazid Bustami, dan lain-
lainnya. Sehingga Al-Hallaj pun pernah mengemukakan pernyataannya ini: "Bunuhlah
aku, Saudara-saudaraku seiman! Karena dalam Kematian itulah hidupku. Hidupku adalah
kematian, dan kematian adalah hidupku".
Konsep 'kematian ego' sebagai bagian dari ajaran mistik yang ditunjukkan Danarto
diantaranya lewat cerpen ”Megatruh” ini menurut Rayani, adalah disebabkan akar alam
mistis yang telah menempa pengarangnya (Danarto) untuk menggelayut pada keriaan
janji alam seberang. Dan tokoh-tokoh dalam "Megatruh" itu memerankan keyakinan itu
dengan sempurna. Sehingga Danarto sendiri memerankan fungsi sebagai arus-arus dalam
menemukan kristal hakikat. Semacam pra-katarsih melihat 'Wajah Tuhan'. Dan satu-
satunya sikap adalah dengan membasuh pamrih darinya demi jalan lempang menuju
realisasi keyakinan itu sendiri.
C. Kecenderungan Mistik Kumpulan Cerpen Adam Ma’rifat
Dari gambaran tersebut, maka dapat dilihat bagaimana kecenderungan mistik dalam
Kumpulan Cerpen Adam Ma'rifat. Sehingga setidak-tidaknya, hal itu bisa dikategorikan
dalam dua kerangka metode pendekatan. Pertama, pendekatan terhadap struktur jalinan
berpikir kefilsafatan. Dalam perspektif ini Danarto menyajikan rangkaian cerita yang
justru lebih menonjol adalah pesan-pesan sufistik yang berlatarkan Islam-Jawa; yang
menggumuli Islam dengan warna kebudayaannya sendiri. Namun kejawaannya berada
dalam setting 'Indonesia-Jakarta' yang multidimensional pertumbuhan sistem-sistem nilai
budayanya.
Kedua, pendekatan terhadap karakter penokohan, alur cerita, latar dan setting yang
dipakai dalam Adam Ma'rifat. Dalam perspektif ini tinjauannya lebih pada kerangka
teoritik pendekatan secara analisa sajian dan plot. Sehingga dalam hal ini terlihat dengan
jelas bagaimana Danarto, juga bermaksud untuk mempertemukan gagasan antara dunia
nyata dan tidak nyata. Atau memakai istilah yang dipakai Fudoli Zaini, sebagai dunia
"dalam" dan dunia "luar" untuk menunjukkan keterjalinan antara "yang nampak" dan
"yang tak nampak".
Kesatuan 'hakikat’ Wujud yang nampak dalam cerita-cerita Danarto merupakan
hubungan yang terjalin tanpa adanya distingsi. Seolah tak ada lagi jarak antara manusia
dengan Tuhan. Sehingga dengan tersebut-lah yang dinamakan dengan Union Mistik atau
Kesatuan Mistik. Sebagai proses terjadinya pengalaman kemenyatuan antara jiwa
manusia dengan realitas yang lebih tinggi, yaitu Tuhan, yang diperoleh tanpa melalui
perantara, dan yang terjadi secara langsung seperti gambaran penyatuan yang tertinggi
dari jiwa manusia.
Namun demikian, corak Union Mistik (Mistik Kesatuan) yang dimunculkan Danarto
dalam cerpen-cerpennya hanyalah bentuk penggambaran yang lebih jauh tentang
hubungan Tuhan dan makhluk. Oleh karena itu dalam memahami kecenderungan mistik
yang demikian, dalam cerpen Danarto, masih diperlukan adanya pemaknaan yang
sesungguhnya, yang berakar pada spektrum pemikiran Danarto sendiri.
Dalam pemikiran Danarto yang sesungguhnya, konsep Kesatuan Wujud dipahami
sebagai sebuah Kemenyatuan yang sifatnya adalah esensi (Kesatuan – esensi – Wujud).
Hal ini menunjukkan bahwa Danarto sebenarnya memiliki kecenderungan untuk
membedakan antara makhluk dengan Tuhan, yang oleh para penganut Transendentalis
Mistik atau Personal Mistik ditegaskan. Perbedaannya disini adalah jika para penganut
Transendentalis Mistik murni menganggap bahwa Tuhan dan makhluk itu berbeda secara
esensial, maka ’penyatuan’ dalam bentuk apapun tidaklah mungkin bisa terjadi. Adapun
Danarto, meski ia mengakui akan adanya dualitas itu, tapi keberbedaan itu dapat
dikembalikan pada taraf esensinya, karena Tuhan secara esensial juga menurunkan sifat-
sifatnya kepada barang ciptaannya sendiri.
Menurut Danarto, dalam Adam Ma’rifat, antara hamba dengan Tuhan itu ’manunggal’,
namun bukan dalam arti manunggal secara jasmaniah sebagaimana mereka yang
menyatakan benar-benar lebur (fana’) dalam arti menjadi diri Tuhan, akan tetapi
kemanunggalan itu hanya bersifat esensial dimana Tuhan menurunkan citra
Ketuhanannya pada semua makhluk, yang dalam suatu proses maka akan kembali pada
hakikat ke-Ilahiahanya itu. Implikasinya di sini adalah bahwa pengenalan yang sedalam-
dalamnya terhadap diri manusia akan membawanya kepada satu bentuk pengenalan juga
kepada Tuhan. Apabila pengenalan kepada Allah itu tercapai, maka itulah yang di
maksud dengan ma’rifat.
Kecenderungan pandangan wahdatul wujudnya cerpen Danarto adalah bahwa satu-
satunya yang ada (wujud atau exist) di alam semesta ini hanyalah Allah. Dalam hal ini,
yang lain – manusia, dunia, dan seluruh keberadaan fenomenal lainnya – tidak berada
secara terpisah dari - dan sebaliknya, sepenuhnya bergantung kepada – Allah. Dengan
kata lain, kesemuanya itu merupakan bagian dan partisipasi dalam wujud Allah. Jadi
perlu ditekankan bahwa pandangan ini tak menyamakan segala sesuatu (yang tampak
sebagai bukan Allah) itu dengan Allah. Atau, jika coba dirumuskan dengan menggunakan
pernyataan logis, tidak benar jika dianggap bahwa wahdatul wujud di sini berpendapat
bahwa manusia (juga setiap fenomenal lainnya) adalah Allah, dan Allah adalah manusia.
Pandangan ini oleh Haidar Bagir, lebih tepat disebut sebagai tauhid ekxixtensial (tauhid
wujudi) .
Begitu pula Danarto tidak menolak dengan adanya konsep emanasi sebagaimana yang
dikemukakan Ibn ’Arabi, yaitu teori tentang ke-imanen-an Tuhan dalam makhluknya.
Sebab menurutnya itu tidaklah bertentangan dengan apa yang ia yakini sebagai proses
penciptaan. Emanasi sendiri dimaknai sebagai ’gerak lingkaran Tuhan’, dimana Tuhan
yang menjadi titik awalnya maka Ia pula yang menjadi titik akhirnya (Inna> lilla>hi wa
inna> ilaihi ra>jiu>n).
Fana’ atau leburnya diri ke dalam diri Tuhan sebagaimana yang terdapat dalam cerita
”Lahirnya Sebuah Kota Suci” di atas, bagi Danarto bukanlah dimaknai sebagai hilangnya
kesadaran, tetapi justru sebagai meningkatnya kesadaran. Sebab ’lebur’nya tersebut
bukan dalam arti lebur secara wujudiah-jasmaniah, melainkan pada taraf ke-esensial-an
tersebut. Maksudnya bahwa semua pikiran individu terpadu dalam memahami keagungan
Rabbul ’Alamin, semua perasaan luluh dalam mengalami kasih sayang ar-Rahman ar-
Rahim dan semua kemauannya tunduk dalam mengamalkan kemauan Maliki Yaumiddin.
Dalam hal ini kesadaran insaniah telah tergantikan dengan kesadaran Rabbaniah atau
yang disebut sebagai nilai-nilai Ketuhanan.
Armahedi Mahzar mengungkapkan tentang maksud meningkatnya kesadaran mistik ini
meliputi kedua dimensi integralitas, yaitu dimensi horisontal dan vertikal. Pertama, dalam
dimensi horisontal dia melampui kesadaran akan kesatupaduan umat manusia dan
mencapai kesadaran akan kesatupaduan alam semesta dimana dia merasa tubuh dan
hidupnya merupakan bagian integral dari kesatupaduan alam semesta. Dalam perkataan
lain, di dalam kesadan mistik, kesatupaduan obyektif alam semesta masuk sebagai
kesatupaduan subyektif. Inilah yang sering disebut dengan kesadaran kosmis.
Kedua dalam dimensi vertikal, artinya terdapat kesejajaran antara keempat tingkat
perwujudan kekuasaan Allah SWT dengan keempat tingkat kesadaran diri pribadi
manusia, alam nasut, alam jabarut, alam malakut, dan alam lahut. Peningkatan kesadaran
mistik ini bukan saja tubuh dirasakan lenyap dalam kesatupaduan hirarki horisontal
sistem-sistem konfigurasi materi yang di dalam tradisi tasawuf dikenal sebagai alam
nasut, tetapi juga hidup dan semua perilaku dari manusia lenyap dalam kesatupaduan
hirarki horisontal proses-proses transformasi energi yang dikenal dalam tradisi tasawuf
sebagai alam jabarut. Begitu pula semua pikiran, perasaan dan kemauannya larut dalam
kesatupaduan hirarki konfigurasi informasi semesta yang dikenal dalam tradisi tasawuf
sebagai alam malakut. Demikian juga semua nilai-nilai keyakinannya terintegrasi ke
dalam kesatupaduan hirarki sistem-sistem nilai transendental yang dikenal dalam tradisi
tasawuf sebagai alam lahut.
Kecenderungan mistik yang universal dalam alam pikiran cerpen Danarto juga
menggambarkan pola keadaan yang menurut T.H Sri Rahayu Prihatmi disebut 'kebenaran
mengalir' atau 'kebenaran melayang'. Kebenaran ini dimaksudkan sebagai kebenaran
yang berasal dari Tuhan di dalam bentuknya yang di luar batas logika, konvensi dan
indera. Tuhanlah yang membawa mereka ke daerah kebenaran mengalir itu, yang sifatnya
luwes dan tidak tercampuri oleh kebohongan logika, indera dan bahkan konvensi agama
yang penuh dengan ukuran-ukuran. Hal ini seperti yang terjadi pada kisah antara kadal,
batang pisang, tokoh 'aku' dan juga zat asam dalam cerpen Megatruh.
… Dalam keadaan yang melayang itu sempat batang pisang bersungut-sungut kepada
kadal. Sampailah kami di dalam ruangan yang mahabesar dengan suara kembang-kempis
yang dahsyat dalam hamparan terang-benderang yang mentakjubkan tanpa Utara,
Selatan, Barat dan Timur. "Tanda-tanda" berseliweran silang-selungkai di sisi-sisi kami,
ibarat pemantapan untuk tubuh-tubuh kami yang layang-melayang untuk bersahabat
dengan tanda-tanda itu, tetapi zat asam terlalu sibuk menggoncang-goncangkan kami,
membenturkan pada dinding yang melentur seperti karet, meskipun harus kami akui
sebenarnya kami tidak melihat apa-apa kecuali gilang-gemilangnya cahaya yang
menghantarkan kehangatan.
Hamparan terang bendera tanpa Utara, Selatan, Barat dan Timur adalah gambaran daerah
'kebenaran melayang' atau 'mengalir' yang berarti tanpa batas. Sifatnya luwes seperti
dinding karet yang membentur-bentur mereka. Adapun "tanda-tanda" yang berseliweran
adalah ukuran-ukuran yang pasti. Namun demikian di situ digambarkan betapa zat asam
– pembimbing tokoh-tokoh itu – lebih kuat membawa mereka ke daerah kebenaran
mengalir yang penuh dengan gilang-gemilang cahaya itu.
Aspek mistik yang ditunjukkan dalam cerpen Danarto, menurut Huijbers – sebagaimana
dikutip oleh Yoseph Yapi Taum, tidak terfokuskan pada Tuhan saja, melainkan lebih
merupakan ide-ide manusia tentang hidup manusia sendiri. Paham mistik sendiri tidak
terbatas pada agama-agama tertentu (meskipun banyak yang mengatakan bahwa paham
ini adalah produk dari agama-agama kuno), melainkan paham universal yang sifatnya
'mengalir' dalam berbagai agama dan pandangan teologis.
'Kebenaran mengalir' dalam cerpen Danarto itu yang dilukiskannya sebagai hamparan
terang benderang tanpa Utara, Selatan, Barat dan Timur menunjukkan ketidakterbatasan
dalam sebuah ruangan maha besar; Tuhan. Semua adalah satu, adalah esa, adalah tunggal.
Dalam satu terkandung semua, dalam semua terkandung satu. Atau juga berarti manusia
dalam Tuhan, dan Tuhan dalam manusia. Kebenaran mengalir menunjukkan
'kemenyatuan' semua itu.
Menurut perspektif filsafat Eksistensialisme, paham ini mencakup pemahaman tentang
Eksistensi Metafisik. Beberapa persoalan mengenai hal tersebut diantaranya keber-Ada-
an, perasaan atau emosional, dimensi esoterik, dan kesadaran. Konsep-konsep tersebut
muncul, baik di dalam filsafat menjelaskan pendekatan terhadap konsep tentang
transendensi maupun jawaban radikal tentang hakikat Realitas yang tersembunyi.
Seorang tokoh eksistensialis Barat, Karl Jespers (1883-1969), menghubungkan konsep
'pencakupan' dan ’kesatuan’ ke dalam wujud Transendent. Menurut Jaspers, ada satu
yang 'mencakup'. Yang membuat dirinya sendiri, tetapi dari segala sesuatu yang berasal
dari-Nya dan merasakan-Nya.
'Kecakupan' itulah seperti halnya yang dilukiskan Danarto melalui sebuah pesawat
pengurai bernama SMPVTU dalam cerpen berjudul (gambar 'ngung cak' yang dibuat
diatas paranada). Sebuah alat dari 'laboratorium' musik milik Otto Weizenbergen, seorang
komposer Jerman yang mampu memperlihatkan jasad dan warna suara dari setiap adegan
dan kejadian yang direkam. Ringkik penari koor cak saat menarikan tarian Sang Hyang
Jaran, percakapan penonton, bunyi binatang, bunyi komputer, dan semua kejadian di
dalamnya nampaklah darah - daging dari suara yang dihasilkannya.
… secara jasadi kita bisa melihat darah dan daging musik. Perhatianku tak berpaling dari
layar kecil itu, seolah-olah aku juga sibuk seperti Otto yang selalu beroperasi dngan
tombol-tombol pengurai yang menjadikan jasad msuik itu tampak berpijar-pijar di layar,
kadang-kadang berupa jalur yang panjang dengan warna-warna biru, oranye, merah,
putih violet, … sementara dengusan komputer yang senyap tetap tertangkap telinga':
ngung ngung ngung ngung ngung ngung ngung ditingkah kur cak dengan irama pasang
surut yang amat kaya warna: cak cak cak cak cak cak cak…
Segala peristiwa seperti disatukan dalam pesawat pengurai itu. Baik yang dekat maupun
yang jauh. Juga peristiwa masa lalu dan masa kini. Bagaimana semua itu disatukan
ternyata tidak lepas dari kesatuan semangat modern dan semangat kuno : dengan setiap
kali mengarahkan pesawat pada bongkahan-bongkahan bara upacara maka dapat
disuguhkan masa lalu baik dalam maupun luar negeri, demikian pula peristiwa yang saat
itu sedang terjadi: bukan saja di tempat upacara, melainkan juga tempat-tempat di luar
negeri. Secara cepat terpampang berganti-ganti peristiwa dari satu negeri ke negeri yang
lain, seperti yang terbukti dalam kutipan berikut:
… Kejadian sering begitu cepat terpampang sehingga sukar ditebak, peristiwa apa itu.
Pesawat concorde yang tinggal landas. Kapal laut yang mengangkut para calon haji.
Sebuah pantai yang tenang. Balapan kuda. Orang-orang main tenis.
Ikan paus menyembur. (Persis filem iklan atau filem warta berita dunia yang sering saya
saksikan). Orang-orang melakukan gerak badan. Keramaian lalu lintas sebuah kota besar.
Pertunjukan sandiwara. Bara berpijar-pijar. Suasana padang perburuan. Bara berpijar-
pijar. Suasana festival filem Internasional. Kereta api bawah tanah. Paris. New York.
London. Tokyo. Jakarta. Calcutta. Orang-orang kelaparan. Roma. Los Angeles. Moskow.
Sidney. Ribuan orang berteriak gegap gempita. Warsawa. Madrid. Demonstrasi
pembangunan lapangan udara.
Digunakannya media di luar bahasa yaitu puisi-puisi konkrit dalam bentuk tipografi dan
media dari dunia musik yaitu paranada dan titinada, gambar/lukisan, semakin
memperkuat akan pandangan mengenai 'Kecakupan di dalam semua' tersebut.
Sudah dimaklumi bahwa alam beserta isinya merupakan perwujudan Tuhan sendiri,
segala yang ada di dunia ini baik benda konkrit maupun benda abstrak, sebenarnya
merupakan selimut Tuhan, yang tetap memancarkan siapa dia sesungguhnya, siapa
dirinya sebenarnya, yaitu Tuhan sendiri. Yang dalam kaitannya dengan proses penciptaan
menurut ajaran emanasi, semua sebenarnya telah tercakup dalam Tuhan. Dengan
demikian keragaman yang ada sekarang pada hakikatnya berasal dari sumber yang sama,
yaitu Tuhan. Dalam kutipan tersebut seolah dinyatakan : "dalam: warna suara, warna
jasad dan lain-lain; mereka juga merupakan pancaran Tuhan."
Pandangan terhadap persoalan tersebut tidak menutup kemungkinan juga mendapat
pengaruh dari pemikiran-pemikiran para sufi besar, semisal al-Hallaj, Jalaluddin Rumi,
Ibn 'Arabi, termasuk juga al-Gazali yang telah dipadukannya melalui simbol-simbol
cerpennya. Terlepas dari itu, cerpen Danarto mengungkapkan sebagaimana pandangan
Ibn 'Arabi, bahwa manusia dan kosmos adalah serupa, bahwa masing-masing diciptakan
menurut mode yang berbeda (tafshil). Akibatnya, setiap nama dan masing-masing nama
Tuhan menampilkan panorama kemungkinan eksistensial yang sangat luas. Sebaliknya,
manusia menunjukkan sifat dan efek semua nama Tuhan tersebut relatif dengan mode
variatif ('Ijmal). Dan dalam kosmologi Jawa kemudian juga dikenal istilah "jagad cilik"
(mikrokosmos) dalam hal ini manusia sebagai pusat kosmis, sedangkan "jagad gede"
(makrokosmos) adalah alam raya. Dalam kultur Jawa, manusia berupaya
menyeimbangkan dan menyatukan kosmis tersebut mengingat pada asal kejadiannya
bahwa semua adalah berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan. Dan semua akan kembali
pada satu medan Qadim juga; Tuhan.
Fairuzabadi.2010. Pokok Pandangan Mistik dalam Kumpulan Cerpen Adam Ma’rifat Karya Danarto
http://fzabadi.blogspot.com/2010/10/pokok-pandangan-mistik-dalam-kumpulan.html