20
u Sejarala Model Pembelajaran Nasiona lisrne Fenebelaj aral Seja-rah NDIDIKAN SE,TARAH FA-KULTAS ILMU SOSIAL S I{EGERI YOCY,{I(ARTA

Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

  • Upload
    vodung

  • View
    237

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

u Sejarala

Model Pembelajaran

Nasiona lisrne

Fenebelaj aral Seja-rah

NDIDIKAN SE,TARAHFA-KULTAS ILMU SOSIAL

S I{EGERI YOCY,{I(ARTA

Page 2: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

DAFTARISI

Halaman Judul - iSusunan Dewan Redaksi - iiPengantar Redaksi - iiiDaftar Isi - iv

Migrasi Orang-Orang Madura Di Ujung Timur |awa Timur:

Suatu Kajian Sosial Ekonomi - tMudji Hartono

Yunani Sebagai lcon Peradaban Barat - 1'1'

Sudrajat

Kesengsaraan Masyarakat Jawa Masa Kolonialisme (Kajian Sej.Sosial Ekonomi]- 30

Zulkarnain

Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan Taman Siswa:

(Tinjauan Humanis-ReligiusJ - 47

Dyah Kumalasari

Penggunaan Museum Sebagai Model Pembelajaran 0ut-Class -60Vicensia Indah Sri Pinasti

Pembelajaran IPS sebagai Media Penanaman Nasionalisme - 75

Taat Wulandari

Implementasi Group Investig ation Report sebagai AlternatifDalam Pembelajaran Sejarah Berbasis Character Building di

Universitas Negeri Yogyakarta - 86

Wahyu Setyaningsih, Waidkha Yuliati, Margaretha H Yuliana

Pedoman Penulisan Naskah Istoria

Biografi Para Penulis

Page 3: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

ISTORIA Volume Il Nomor 1 September 201,1

KESENGSARAAN MASYARAKAT JAWA/CULTUURSTELSEL(Kaiian Sosial Ekonomi)

Olehr

Zulkarnainl

AbstrakZaman tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi

Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding

sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang

sangat dibutuhkan pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan

sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-

Belanda pada tahun 1835-1940.Di atas kertas, teor\ Cultuurstelsel memang tidak terlalu membebani rakyat,

namun dalam pelaksanaannya, terbukti sangat merugikan petani terutama di Jawa,yang mengakibatkan kesengsaraan, kemiskinan, dan kematian bagi rakyat di tanahkoloni.Kata kunci : penerapan, Cultuurstelsel, daerah koloni.

AbstractThe compulsion planting (Cultuurstelsel) was the most exploitative age on

practical economic in Dutch-lndies. It was harder, and awfuler rather than VOC

trading monopoly system because there was income target for Dutch. The

complusion planting assets have contribution for the golden age of Dutchlndiescolonization in 183 5- 1940.

The theory of compulsion planting was not hard for Dutch-Indies farmer, butimplementation was hard in what have impact pover\t, misery, and dead for Dutch-

Indies people.

Keyword : implementation, Cultuurstelsel, colony.

1 Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas llmu Sosial Uniyersitos Negeri yogyakarta-

30

Page 4: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

A. PendahuluanSelepas Syarikat Hindia Timur

Belanda (SHTB) menjadi muflis pada

akhir abad ke-18 dan selepaspenguasaan United Kingdom yangsingkat di bawah Thomas StamfordRaffles, pemerintah Belanda meng-ambil alih pemilikan SHTB pada t-ahun

1816. Bela nda berjaya menumpaskansebuah pemberontakan di Jawa dalamPerang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Selepas tahun 1830, sis[emtanam paksa yang dikenali sebagai

negara Indonesia pada saat ini.Pembangunan ekonomi yang

dilakukan pemerintah kolonialBelanda antara tahun 1830 sampaipertengahan abad ke-19 mereka

menamakannya dengan cultuur-sfelsel. Dalam historiografi Indonesia

ISTORIA Volume II Nomor 1 Se mber 201 .1

yang tradisional istilah itu digantimenjadi "Tanam Paksa" yangmenonjolkan aspek normatif darisistem tersebut yakni kesengsaraandan penderitaan rakyat yangdiakibatkan oleh penerapan sistemtersebut. Istilah yang dipergunakanoleh Belanda tersebut selain terbataspada aspek ekonominya, sehingga

makna padanan kata Cultuurstelseltersebut dalam bahasa Indonesiasesungguhnya adalah "sistem pembu-didayaan", atau juga dapat disebutbudidaya tanam.

Namun demikian praktek dilapangan terutama dari segi penge-

lolaannya dapatlah diamati bahwaaspek politik kolonial sangatmenonjol. Usaha produksi sesung-guhnya dilaksanakan oleh rakyat ataupetani dengan pengawasan parapenguasa daerah dari tingkat bupatisampai ke tingkat desa. Pada waktuitu hubungan politik antara Belandadan Mataram yang telah menjadisaling tergantung sejak tahun 1755,dan terutama pasca Perang Dipo-negoro di mana Belanda membantupihak keraton, merupakan formatpolitik yang mendorong dan me-munculkan terselenggaranya sistemtanam paksa.

Pada saat Thomas Stanford Rafflesberkuasa di Hindia Belanda, Belandasedang mengalami kesulitan ekonomiyang lebih banyak diakibatkan olehPerang Napoleon dan isolasi ekonomiyang disebabkan .ttelsel Kontinental.Oleh sebab itu, Belanda kehilangansebagian besar perdagangannya danpelayarannya. Peranannya sebagai

30

Page 5: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

ISTORIA Volume II Nomor l-

pasar penimbun barang mundur dan

dunia perdagangan melahirkan pusat-

pusat perdagangan baru'

Pedagang-pedagang Belanda tidak

dapat bersaing dengan Pedagang-

pedagang Inggris karena Para

pedagang Inggris dapat memasarkan

kain-kai1 Lanchashire dengan harga

yang relatif murah. Untuk mengatasi

kondisi tersebut Belanda melaksa-

nakan sistem merkantilisme Yalmi

memungut biaya yang tinggi terhadap

barang-barang yang masuk, dan

memungut pajak yang tinggi puia bagi

barang-barang buatan negeri induikyang akan dipasarkan di daerah

koloni serta memonopoli perdagang-

an pemerintah.Dalam kondisi Yang demikian, di

Parlemen Belanda terjadi perbe-daan

pandangan antara golongan konser-

vatif dengan golongan liberal.

Golongan konservarif menganggap

bahwa eksploitasi yang dijaiankan di

tanah koloni sudah sesuai dengan

tuntutan situasi, sementara sistem

ekspioitasi yang dikonsepkan oleh

golongan liberal belum sepenuhnya

meyakinkan Pemerintah'Dalam situasi Perbedaan Panda-

ngan ini, golongan liberal terpecah

menjadi dua, yakni golongan liberal

yang masih mempertahankan prinsip-

prinsip liberal seperli kebe-basan

berusaha dan camPur tangan Yang

minimal dari pihak pemerintah dalam

urusan-urusan perseorangan' Di lain

sisi, terdapat sekelomPok dari

golongan liberal Yang menekankan

pada prinsip-prinsip humaniter dan

menginterpretasikan prinsip liberal

sebagai prinsip memberi keadilan dan

perlindungan bagi kePentingan.

Dalam menghadapi golongan liberal

yang terpecah tersebut, golongan

konservatif dapat meyakinkan peme-

rintah bahwa sistem kumPeni

terbukti dapat dilaksanakan dan iebih

efektif, sementara sistem iiberal tidak

dapat dilaksanakan di negeri jajahan

karena tidak sesuai dengan situasi

dan kondisi ekonomi lokal.

B. Ketentuan-Ketentuan Tanam Paksa

Tanam paksa ata:u cultuur-stelsel

adalah peraturan yang dikeluarkan

oleh Gubernur Jenderal Johannes van

den Bosch yang mewajibkan setiaP

desa harus menYisihkan sebagian

tanahnya (20o/o) untuk ditanami

komoditi eksPor khususnYa koPi,

tebu, nila. Hasil tanaman ini akan

dijual kepada pemerintah kolonial

dengan harga yang sudah dipastikan

dan hasil panen diserahkan kePada

pemerintah kolonial. Penduduk desa

yang tidak memiliki tanah harus

bekerja 75 hari dalam setahun (20%)

pada kebun-kebun milik pemerintah

yang menjadi semacam Paiak.Pada prakteknya peraturan itu

dapat dikatakan tidak berarti karena

seluruh wilayah Pertanian wajib

ditanami tanaman laku eksPor dan

hasilnya diserahkan kepada Peme-

rintahan Belanda. WilaYah Yang

digunakan untuk Praktek culturstelstelpun tetap dikenakan pajak.

Warga yang tidak memiliki lahan

pertanian wajib bekerja selama

setahun penuh di lahan Pertanian.

Page 6: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

Tanam paksa adalah era palingeksploitatif dalam praktek ekonomiHindia Belanda. Sistem tanam paksa

ini jauh lebih keras dan kejamdibanding sistem monopoli VOC

karena ada sasaran pemasukan

penerimaan negara yang sangatdibutuhkan pemerintah. Petani yangpada jaman VOC wajib menjualkomoditi tertentu pada V0C, kiniharus menanam tanaman tertentudan sekaligus menjualnya denganharga yang ditetapkan kepadapemerintah. Aset tanam paksa inilahyang memberikan sumbangan besarbagi modal pada zaman keemasankolonialis liberal Hindia-Belanda pada

1835 hingga 1940. Akibat sistem yangmemakmurkan dan menyejahterakannegeri Belanda ini, Van den Bosch

selaku penggagas dianugerahi gelar

Graaf oleh raja Belanda, pada 25

Desember 1839.

Culturstelsel di Jawa dimulai padatahun 1836 atas inisiatif sese-orangyang berpengalaman dalam urusantersebut yaitu Van Den Bosch yang

telah memiliki pengalaman dalammengelola perkebunan di wilayahkekuasaan Belanda di KepulauanKaribia. Tujuan Van Den Bosch yangdijadikan Gubernur |enderal adalah"mentransformasikan pulau Jawamenjadi eksportir besar-besaran dariproduk-produk agraria, dengan

keuntungan dari penjualannyaterutama mengalir ke keuanganBelanda. Tujuan Van Den Bosch

dengan sistem Cultuurstelsel di Jawaitu adalah untuk memproduksiberbagai komoditi yang menjadi

ISTORIA Volume II Nomor 1 Se mber 2011

permintaan di pasaran dunia. Untukmencapai tuiuan tersebut Bosch

menganjurkan pembudidayaan ber-bagai produk seperti kopi, gula,

indigo [nila], tembakau, teh, lada,

kayumanis, jara[ dan lain sebagainya.

Petsamaan dari semua produk ituadalah bahwa petani dipaksakan olehpemerintah kolonial untuk mempro-duksinya dan sebab itu tidakdilakukan secara voluter [Fasseur,1.992:239).

Sedangkan ketentuan-ketentuanpokok dari sistem tanam paksasebagaimana tercantum dalamstaatsblad tahun 1834 No. 22 yangisinya adalah sebagai berikut.

1] Persetujuan-persetuiuan akandiadakan dengan penduduk halmana mereka menyediakansebagian dari tanahnya untukpenanaman tanaman daganganyang dapat dijual di pasaran

Eropa.

2J Bagian dari tanah pertanianyang disediakan pendudukuntuk tujuan tersebut tidakdiperbolehkan melebihi seper-lima dari tanah pertanian yangdimiliki penduduk desa.

3J Pekerjaan yang diperlukanuntuk menanam tanaman daga-ngan tidak boleh melebihipekerjaan yang diperlukanuntuk menanam padi.

4J Bagian dari tanah yangdisediakan untuk menanamtanaman dagangan dibebaskandari pembayaran pajak tanah.

5J Tanaman dagangan yang.dihasilkan di tanah-tanah yang

32

Page 7: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

ISTORIA Volume II Nomor 1 September 2011

disediakan wajib diserahkankepada pemerintah Hindia

Belanda, jika nilai-nilai hasil

tanaman dagangan yang ditaksiritu melebihi pajak tanah yang

harus dibayar rakyat, maka

selisih posirifnya harus

diserahkan kepada rakyat.6) Apabila terjadi gagal panen pada

tanaman dagang harus dibeban-

kan kepada pemerintah, hal

tersebut berlaku apabila kega-

galan tersebut tidak disebabkan

oleh kekurangrajinan atau

ketekunan pada pihak rakyat.

7J Dalam mengerjakan tanah-tanah

untuk penanaman tanaman

dagang penduduk desa diawasioleh para pemimpin desa

mereka, sedangkan pegawai-

pegawai Eropa hanya akan

membatasi diri pada pengawa-

san apakah pembajakan tanah,panen, dan pengangkutan

tanaman-tanaman berialan

dengan baik dan tepat pada

waklunya [Sutjipto, !977: 76-

77).

Jika diamati dari segi isi staatsbladtersebut, maka Sistem Tanam Paksa

ridak begitu membe-ratkan pada

penduduk. Namun demikian dalam

pelaksanaannya ternyata telah

mengakibatkan kesengsaraan yang

berkepanjangan kepada rakyat. Dam-

paknya cukup destruktif menjadikan

rakyat miskin dan tidak teraturhidupnya. Penduduk selalu terbebanioleh perilaku-perilaku pemimpin-pemimpin mereka yang memaksakan

rakyat untuk taat terhadap peraturan

yang ditetapkannya. Fenomena ini di-

akibatkan oleh adanya penyimpangan

ketentuan-ketentuan yang tercantumdalam staatsblad yang dilakukan oleh

pemerintah Hindia Belanda. Pendu-

duk lebih banyak mencurahkanperhatian, tenaga, dan waktunyauntuk tanaman berkualitas ekspor,

sehinga tidak dapat mengerjakan

sawahnya dengan baik, bahkan dalam

suatu waktu tidak dapat mengerjakan

sawahnya sama sekali.

C, Pelaksanaan Tanam Paksa

Pada tahun 1830 pada saat

pemerintah penjajah hampir bangkrutsetelah terlibat perang Jawa terbesar

[Perang Diponegoro, 1825-1830), dan

Perang Padri di Sumatera Barat(l92t-1837), Gubernur Jenderal Van

den Bosch mendapat izin khusus

melaksanakan sistem Tanam Paksa

ICultuur Stelsel] dengan tujuan utamamengisi 'kas pemerintahan jajahan

yang kosong, atau menutup defisitanggaran pemerintah peniajahan.

Sistem tanam paksa berangkatdari asumsi bahwa desa-desa di Jawa '

berutang sewa tanah kepada peme-

rintah, yang biasanya diperhi-tungkansenilai 40%o dari hasil panen utamadesa yang bersangkutan. Van den

Bosch ingin setiap desa menyisihkansebagian tanahnya untuk ditanamkomoditi ekspor ke Eropa [kopi, tebu,

dan nila]. Penduduk dipaksa untukmenggunakan sebagian tanah garapan

[minimal seperlima luas, 20%) dan

menyi-sihkan sebagian hari kerjauntuk bekerja bagi pemerintah.

33

Page 8: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

Dengan mengikuti tanam paksa,desa akan mampu melunasi utangpajak tanahnya. Bila penda-patan desadari penjualan komoditi ekspor itulebih banyak daripada pajak tanahyang mesti dibayar, desa itu akanmenerima kelebihannya. iika kurang,desa tersebut mesti membayarkekurangan tadi dari sumber-sumberlain. Sistem tanam paksadiperkenalkan secara perlahan sejaktahun 1830 sampai tahun 1,835.

Menjelang tahun 1840 sistem ini telahsepenuhnya berjalan di Jawa.Pemerintah kolonial memobilisasilahan pertanian, kerbau, sapi, dantenaga kerja yang serba gratis.Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu,yang permintaannya di pasar duniasedang membubung dibudidayakan.

Menurut penelitian Prof. Fasseurdari Universitas Leiden, pada tahun1884 sekitar 75.5 o/o penduduk jawadikerahkan dalam Cultuurstelsel ata\tanam paksa. Penduduk diKaresidenan Batavia dan daerahkesultanan di Jawa Tengah atauVortsenlanden tidak mengambilbagian dalam sistem tersebut. Jumlahtersebut kemudian berfluktuasi tetapitidak turun secara drastis karenapemerintah Hindia Belanda berusahamempertahankan eksistensi tanahuntuk tanaman komoditi ekspor.Kemudian pada tahun 1850,umpamanya jumlah tersebut telahmenurun menjadi 46 o/o, tetapiditahun 1860 naik lagi menjadi54.5%. Kendatipun demografi belummuncul pada masa ini, dan datakependudukan yang diperoleh dari

ISTORIA Volume II Nomor l- Se r 201,1

laporan-laporan para pejabat Belandasering simpang siur, namun dapatdikatakan bahwa sistemCultuurstelsel ini jelas-jelas telahmengakibatkan dampak yangdestruktif bagi penduduk Jawa. Luastanah garapan yang digunakan untuksistem itu menurut perhitungan, padatahun 1840 hanya 6 % saja. pada

tahun 1850 menurun menjadi 4 %,dan pada tahun 1-860 naik tagi sedikitmenjadi 4.5 %.

Jenis tanah yang dibutuhkan iugaberbeda-beda untuk masing-masingtanaman. Tebu (untuk gulalmemerlukan tanah persawahan yangbaih karena tebu membutuhkanirigasi yang lancar. Tetapi kopi justrumemerlukan tanah yang agak tandus(woeste gronden). Yang tidak dapatdigunakan untuk persawahan,terutama dilereng-lereng gunung.Indigo membutuhkan daerah yangpadat penduduknya. pada dasarnyasistem ini membawa perubahan padasistem pemilikan tanah. Karenapenyelenggaraannya dilakukan perdesa, maka tanah-tanah juga dianggapmilik desa, bukan milik perorangan

[Fasseur 1992:28,29).Prof. Fasseur berhasil membuat

kalkulasi mengenai berbagaiikomoditi yang ditanam tahun 1830dan membawa hasil sekitar tahun1840 fFasseur 1993: 34]. Dalamwaktu sepuluh tahun [1830-1840)semua karesidenan [18 buah) di Jawatelah terserap dalam sistem inifkecuali karesidenan Batavia]. Kopidiusahakan mulai dari Banten hinggakaresidenan Basuki. Kopi diusahakan

34

Page 9: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

.:1 '

mulai dari Banten hingga karesidenan

Basuki di Jawa Timur. Tetapi produksi

kopi terbesar berasall dari

karesidenan-karesidenan Priangan

fJawa BaratJ, Kedu [Jawa TengahJ,

Pasuruan dan Basuki [Jawa Timur) '

Dalam jangka walctu Yang sama

gula telah berhasil diusahakan di 13

karesidenan. Pusatnya terutama di

Jawa Timur, Yaitu karesidenan-

karesidenan Surabaya, Pasuruan, dan

Basuki [dalam tahun 1840 Produksidari wilaYah ini mencaPai hamPir

65%). Selain itu terdapat gula pula

dikaresidenan-karesidenan Japara

Semarang, Pekalongan, dan Tegal

fJawa Tengah) dan Cirebon [Jawa

Barat). Dalam iangka waktu Yang

sama pula Indigo berhasil diusahakan

dii 11 karesidenan, Tetapi produksi

utama berasal dari dua karesidenan di

Jawa Tengah, Yaitu Bagelan dan

Banyumas, Yang menghasilkan 51%'

Juga di Cirebon dan Pekalongan ada

diusahakan sedikit indigo. Tembakau

yang diusahakan melalui cultuur'

stelsel dilakukan di Karesidenan

Rembang dan sekitar Pacitan [Jawa

TengahJ. Sedangkan kaYumanis di-

selenggarakan di Karawang fJawa

BaratJ.

Dalam PenYelenggaraan cul-

tuurstelsel pihak Belanda berusaha

agar sedapat mungkin tidak

berhubungan langsung dengan petani'

Sebab itu PenYelenggaraannYa

diserahkan kePada Para buPati

dengan para kePala desa, dan

masyarakat desa sendiri. Kepentingan

pemerintah hanya pada hasilnya, yang

dihitung dalam Pikol (1 62 kgJ Yang

ISTORIA Volume II Nomor 1 z0tl

diterima oleh gudang-gudang peme-

rintah. Selain itu penyelenggara-

annya juga bervariasi dari satu

tempat ketemPat lain karena

pemerintah Pusat lebih banYak

menyerahkan penguasannYa kePada

para pejabat Belanda setempat (para

kontrolirl yang mempunyai motivasi

untuk meningkatkan produksi karena

mereka memperoleh " cultuurprocenf'

prosentase tertentu dari hasil panen'

Untuk itu sampai tahun 1860

dikerahkan tidak kurang 90 orang

kontroiir dan sekitar orang pengawas

berkebangsaan Belanda.

Mobilisasi Penduduk dilakukan

sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan

yang berlaku dalam tatanan politik

Mataram, yaitu apa yang oleh Belanda

dinamakan "heerendiensten" (Djuliati

Suryo, 1993). Yaitu kewajiban ralryat

untuk melakukan berbagai tugas

dengan tidak mendaPat imbalan

bayaran. Hak ini kemudian beralih

pada Belanda Yang seiak Perang

Diponegoro dianggaP sebagai

penguasa, kecuali di Vortsenlanden'

"Kapan sala Pemerintahan membu-

tuhkan tenaga rakYa! maka Para

bupati, sesuai dengan instruksi yang

diberikan pada mereka, harus

mengupayakan agar setiaP desa

menyediakan tenaga kerja secara

adil." BeberaPa jumlah Pendudukyang harus dikerahkan disetiap desa

itu diserahkan sepenuhnya pada para

bupati. Tetapi sesuai kebiasaan pula,

hanya mereka yang memiiiki hak atas

penggarapan tanah (sikep) yang wajib

memenuhi panggilan bupati tersebut.

pula sebabnYa selama

35

Page 10: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

dilaksanakannya Cultuurstelsel,diada-kan pembagian tanah bagrpenduduk yang tidak memiliki

[numpangJ, sehingga kemudianmuncul sikep-sikep baru yang walibmelaksa-nakannya " heerendiensten"pula [Fasseur, 1992: 30).

Tugas petani bukan sekedarmenanam, tetapi juga memproseshasil panennya untuk diserahkan digudang-gudang pemerintah. Peng-

angkutannya ke gudang-gudangtersebut adalah tugas petani pula.Terutama produksi kopi seluruhnyadalam tangan petani, dalam hal gulamuncul pula pabrik-pabrik guna yangdikelola secara modern dengan modalasing fFasseur, 1993: 3 3].

Penduduk mendapat bayaranuntuk hasil kerjanya. Tetapi para ahlisejarah belum bisa memastikanbagaimana pemerintah menentukantinggi rendahnya upah itu. Maksudsemula Van den Bosch adalah agarupah disesuaikan dengan fluktuasiharga pasar, namun hal ini dinggaptidak praktis. Mungkin karena parapetani belum memahami kaitanpekerjaan mereka dengan mekanismepasar. Menurut penelitian Prof. R. VanNiel dari Universitas Hawaii, jumlahupah disesuaikan dengan jumlahpajak tanah (Iand rent) yang harusdibayar petani. Tetapi sejak semulaVan den Bosch menginginkan agarupah yang diterima petani harusmemungkinkan mereka "menikma-tinya" dan itu berarti harus lebihbanyak dari hasil pesawahan. Tetapikemudian ternyata berbagai faktorlain turut menentukan tinggi

IST0RIA Volume II Nomor 1 2017

rendahnya upah petani. Masalahkesuburan tanah (sawah untuk tebuJtentu diperkirakan lebih tinggipembayaran pajak tanahnya diban-dingkan dengan tanah gersang untukkopi. Masalah iklim, teknologi yangdigunakan, dan lain sebagainya, turutmenentukan tinggi rendahnya upah.Dengan demikian upah bervariasi,bukan saja untuk masing-masingkomoditi tetapi juga dari karesidenan-karesidenan [Fasseur, 1992 : 42).

Contoh yang diberikan oleh Prof.Fasseur mengenai masalah upah inidiambil dari dua komoditi yangberbeda, yaitu gula dan indigo [nilaJ.

Dengan demikian salah satudampak dari Cultuurstelsel adalahmasuknya ekonomi uang di pedesaan.

Penduduk membayar pajak tanah(land rent) yang diintroduksi olehRaffles dengan uang. Kenyataan inisaja sudah menunjuk adalahperubahan dalam kehidupan pede-saan. Suatu masalah yang pentingpula adalah apa yang dinamakan" cultuur procenf' fFasseur, 1,993: 46-501, yaitu jumlah persentase yangditerima para pejabat Belandamaupun sesuai dengan produksi yangdiserahkan pada gudang-gudangpemerintah. Jumlah itu tidak jarangjauh lebih besar dari gaji yangditerima. Van den Bosch sengajamenambah hal ini untuk mendorongpara pejabat tersebut bekerja keras.Lagi pula cara itu juga sudah dipakaidalam Preangerstelsel. Dengandemikian, cara ini sesungguhnyabukan ciptaan Van den Boseh.

36

Page 11: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

iSTORIA Volume II Nomor 1 tember 2011

,'Cultuur procenten" ternyata

membawa damPak Yang kurang baik

dalam korPs kePegawaian Belanda

karena menimbulkan Perbedaan

pendaPatan Yang mencolok antara

mereka Yang terlibat dengan

Cultuurstelsel dan Yang tidak dan

antara mqreka yang bekeria di daerah

"kurus". i{etidak puasan pada pihak

pejabat Belanda namPak dari

p".*lnt""tt untuk di Pindahkan ke

daerah lain.

Dalam gambaran Yang

komPrehensif, Pelaksanaan Sistem

fanum Paksa mengalami banYak

penYimPangan-PenYimPangan Yang

serius. Penyimpangan pelaksanaan

Sistem Tanam Paksa tersebut lebih

banyak diakibatkan oleh adanYa

cultuur-Procenten, sehingga Para

pengawas tanam paksa yang

menYetorkan tanaman wajib akan

mendaPatkan imbalan' DamPaknY4

semua Pengawas berusaha

menYetorkan hasil Produksi se-

banYak-banYaknYa dengan memeras

rakyat. Akhirn ya yafig meniadi sapi

perahan adaiah rakYat Yang tidak

memiliki otoritas dalam menetapkan

hasil Panen tanamannya' Ditambah

lagi dengan sikap-sikap para kepala

aJr" Yung lebih sering meniadi kaki

tangan pemerintah kolonial' sehingga

t<euilat<annYa seenaknYa dalam

-"n"tuPka,, luas lahan Penduduk

Yang akan digunakan untuk areal

p"rrln"*"n waiib, beraPa Penduduk

yung hur.-r, bekerja sebagai buruh'

t"rrir.tt menetapkan beraPa hasil

produksi Yang harus dibaYar oleh

pendudulc

Ketimpangan Yang diwuludkan

oleh pelaksanaan politik tanam paksa

ini mulai mendaPat Perhatian di

Belanda, dimana hal ini berhubungan

dengan kemunculan gerakan liberal di

negeri induk tersebut' Secara umum

m".eka daPat digolongkan ke dalam

dua kategori yaitu goiongan humanis

dan golongan kaPitalis' Golongan

humanis mengatakan bahwa Siatem

Tanam Paksa harus segera

dihapuskan karena telah banYak

m"nindas dan menYengsarakan

penduduk di tanah iajahan' Dalam

terminologinya, padahal tanah jajahan

telah memiliki kontribusi yang sangat

besar dalam menYelamatkan negara

dari kebangkrutan' Dengan demikian'

perlu diuPaYakan Perbaikan-

perbaikan nasib rakyat tanah jaiahan'

Sementara golongan kaPitalis

beranggaPan bahwa Sistem Tanam

Paksa tidak menciptakan kehidupan

ekonomi Yang sehat' Sistem Tanam

Paksa memPerlakukan rakYat tanah

jajahan sebagai objek bukannYa

melibatkannYa dalam kegiatan

ekonomi Yang menambah ruwetnYa

sistem perekonomian Hindia Belanda'

Dalam rangka mengikat Para

penguasa lokal ini, Pemerintahgelanda tidak hanya mengembalikan

kekuasaan mereka saja' melainkan

juga meningkatkan prestise mereka

dengan gaii beruPa tanah Yang akan

m"-b"ri mereka tenaga keria dan

penghasilan iain yang dihasilkannya'

bi t"*Plng itu, Van Den Bosch

menerapkan sistem prosentase yakni

hadiah bagi Petugas Yang berhasii

menYerahkan hasil tanaman Yang

37

I

Page 12: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

melebihi dari yang ditentukan. Namunyang menjadi permasalahan lanjutadalah bahwa kebijakan tersebutmenjadi sember dan ladang korupsiserta penyelewengan-penyelewenganyang merugikan rakyat. Sistemprosentase dianggap sebagailegalisasi pemerintah kolonialterhadap segala bentuk pemerasanseperti luas tanah yang diusahakanpemerintah tidak terbatas, wajib kerjapenduduk melebihi ketentuan yangtelah ditetapkan, tanaman wajib,pajak-paja( dan kerja wajib tidakdihapus. Sementara hasil darikebijakan cultuur stelsel sangatmemuaskan dan menguntungkanpemerintah Belanda (Kartodirdjo,1990: 15J.

Pada tahun 1848, Sistem TanamPaksa mendapat kritikan melaluiperdebatan di Parlemen Belanda.Perdebatan terjadi antara golonganliberal dengan golongan konservatif,seputar evaluasi penerapan sistemtanam paksa di Hindia Belanda. Kaumliberal berkeyakinan bahwa tanahjajahan akan memberikan keuntungankepada negeri induk apabila masalah-masalah perekonomian diserahkankepada pihak swasta. Dengandemikian, pemerintah kolonial hanyamemungut pa jan dan mengawasijalannya pemerintahan. Pemerintahtidak perlu campur tangan dalamurusan perdagangan hasil bumi ditanah jajahan. Berbeda dengan kaumliberal, kaum konservatif tetapberkeyakinan bahwa tanah jajahanakan memberikan keuntungan kepadanegeri induk apabila urusan ekonomi

ISTORIA Volume II Nomor 1 r 201.1

ditangani langsung oleh pemerintah.Pemerintah harus campur tangandalam pemungutan hasil bumi ditanah jajahan. Bagi kaum konservatif,Hindia Belanda dianggap belum siapuntuk menerima kebijakan politikliberal. Dari perdebatan keduagolongan tersebut, golongan liberalmenang dan dapat meluruskan sistempemerintahan di tanah koloni. Duaorang sebagai pembela nasibpenduduk koloni adalah DouwesDekker dan Baron Van Hoevell. Dilammkaryanya yang berjudul ,'Max

Havelar", Douwes Dekker memben-tangkan kekejaman sisten tanampaksa. Sementara Fransen Van DerPutte juga menulis Zuker Contracten,yang juga banyak mengkritikketidakadilan dalam sistem tanampaksa.

Berkat kecaman dan kegigihankaum liberal tersebut, makapemerintah Hindia Belandamenghapuskan sistem tanam paksa,melainkan tidak sekaligus melainkansecara bertahap atau berangsur-angsur. Proses penghapusan sistemtanam paksa secara bertahap yakni:pertama kali penghapusan sistemtanam paksa lada pada tahun 1g60.Penghapusan tanam paksa untuk ehdan nila pada tahun 1865, dan padatahun 1870 hampir semua jenistanaman paksa sudah dihapuskan,kecuali tanaman paksa kopi dipriangan.

D . Culturstelsel di Luar fawaSelain di Jawa, cultuur srelsel jugi

dijalankan di luar Pulau Jawa meski-

Page 13: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

pun dalam skala yang tidak sebandingdengan di pulau Jawa. Sejak tahunL822 di Minahasa telah dilaksanakancultuur stelsel untuk tanaman kopi.Sistem tanam paksa di daerah iniberlangsung cukup lama, sampaidihapuskannya pada tahun 1899.Sementara di Sumatera Barat padatahun 1847 pasca Perang Padri, juga

diselengarakan cultuur stelsell unluktanaman kopi yang baru dihapus padatahun 1908. Sedangkan di Madurajuga dijalankan cultuur stelsel untlktanaman tembakau. Di samping itu, diMaluku juga sistem ini dijalankanbahkan sejak masa VOC, yakni untuktanaman cengkeh di KepulauanAmbon, dan pala di kepulauan Banda.

Sistem tanam paksa di kepuiauanMaluku ini baru dihapuskan padatahun 1860. Dengan demikian,meskipun secara umum dikatakanbahwa sistem tanam paksa berlang-sung dari tahun 1-830-1"870, tetapidalam praktek yang sesungguhnyabahwa sistem tersebut telahberlangsung jauh sebelum tahun1830, dan berakhir secara total padaawal abad ke-20. Ini dapat dijadikanreferensi baru bahwa melihat sejarahtanam paksa harus ditampilkansecara utuh mengingat kompleksnyakajian sistem ini baik secara makromaupun mikro,

Pada masa VOC, Minahasa telahterkait dengan pola-pola pelayaranniaga VOC yakni sebagai daerahpemasok beras. Kewajiban sebagaipemasok beras ini beru dihentikanpada tahun 1852. Sementara itu didaerah ini pemerintah Hindia Belanda

ISTORIA Volume II Nomor 1 2017

telah menerapkan sistem tanam paksasemenjak tahun 1822. Daerah yangpaling cocok untuk budi daya kopiwaktu ilu adalah di Dataran TinggiTondano yang sesuai dengan ekologikopi. Wilayah tersebut merupakanbagian dari Minahasa yang penduduk-nya tergolong padat.

Dengan potensi tenaga kerja yangbanyak di wilayah ini, maka sangatmemungkinkan untuk dilakukanmobilisasi tenaga kerja secaratradisional baik yang diper-lukanuntuk penanaman kopi itu sendiri,maupun untuk membangun prasa-rananya. Tanaman kopi lebih banyakdibudidayakan di distrik Rombokendan meluas ke distrik-distriksekitarnya seperti Tomohon, Kawa-nokoan, dan Sonder (Schouten, 1993:s1.-72).

Untuk pembudidayaan kopi,lahan-lahan yang dimanfaatkanadalah tanah kalekeran, yaitu suatutanah milik distrik yang kosong dantidak digarap oleh penduduk karenakeadaan tanahnya kurang baik untukkebun atau persawahan. Pembukaanlahan-lahan kalekeran ini sangatmemberatkan penduduk karena letak-nya yang cukup jauh dari tempattinggal mereka.

Dalam hal lain upah yangdiberikan juga tidak mencukupi untukkebutuhan mereka. Setiap pikolpemerintah Belanda hanya membayarf 10, padahal setiap keluarga hanyadapat menghasilkan satu plkol belumlagi dengan adanya kecurangan-kecurangan yang dijalankan oleh p'arapetugas lapangan dalam menimbang

39,,

Page 14: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

kopi. Dalam hal lain, penduduk jugadibebani oleh biaya pengangkutan,dimana pengangkutan kopi kegudang-gudang pemerintah yangberada di wilayah pantai cukup jauh,padahal mereka harus denganmemikulnya. Baru sejak tahun 1851pemerintah membuka gudang-gudangdi daerah pegunungan, sehinggapekerjaan penduduk menjadi lebihringan. Sedangkan pengangkutan darigudang-gudang pegunungan kegudang-gudang di daerah pantaidilakuna oleh para pekerja yangdiberi upah [Leirissa, 1996: 62).

Namun demikian, dalam rangkamemperlancar proses pengangkutankopi, penduduk tetap terbebani untukmembangun prasarana yang terkikatsecara tradisional. Maka semenjaktahun 1851 jalan-jalan dan jembatanpenghubung daerah pegunungandengan daerah pantai mulai dibangun.Dalam pelaksanaannya, pendudukdiharuskan bekerja secara bergilirandan sukarela tanpa upah. Sehinggasewaktu-waktu, mereka harus siapdipanggil untuk bekerja dalampembuatan sarana dan prasarana.

Pada umumnya mereka dipimpinoleh pemimpin tradisional merekayaitu para kepala walak yang memilikiotoritas tradisional untuk meme-rintah setiap warga yang berada dibawah pimpinannya. pekerjaan

tersebut seringkali membawa keseng-saraan kepada rakyat karena letakproyek-proyek tersebut jauh dari desatempat tinggal mereka, atau dapatpula pada lokasilokasi yang sangatsulit sehingga mengancam kese-

ISTORIA Volume II Nomor 1 201.!

lamatannya. Pekerjaan umum terse-but juga sangat membebankan danmemberatkan karena pada suatuketika penduduk harus memanentanaman untuk memenuhi kebutuhanpokoknya, mereka dapat panggilanuntuk kerja bakti membangun saranaumum tersebut.

Jika dibandingkan dengan kopiJawa, baik dari segi ekonomi maupunkualitas, hasilnya tidak terlalu rendah.Bahkan banyak para pejabat Belandayang secara langsung mengakuibahwa Kopi Menado jauh lebih baikketimbang Kopi Padang. Malahanpada bagian kedua abad ke-19 KopiMenado sempat mengungguli Kopijawa. Namun demikian dari segikuantitas, produksi Minahasa jauhlebih rendah dibanding Kopi padangyang rata-rata menghasilkan 191.000pikul setiap tahun. Sedangkan KopiJawa lebih benyak lagi yakni dapatmencapai 2 juta pikul setiap tahun-nya. Namun demikian, Minahasa telahmemiliki sejarah sosial yang cukupberperan dalam pengayaan sejarahnasional, terutama masa diterapkan-nya sistem tanam paksa.

Semenjak tahun j,820 hinggatahun 1840, di Minangkabau kopitelah dibudidaya secara perorangansebelum diberlakukannya cultuurstelsel. Sebagaimana halnya diMlnahasa, di Minangkabau jugapenanaman kopi dilakukan di daerah-daerah pegunungan. Lahan-lahanyang dipakai juga dalam kategorilahan tidur yang kurang produktifuntuk pertanian lain. Karena sebagianbesar kopi ditanam di daerah daerah

40

Page 15: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

pegunungan terutama lahan-iahan

yang berada dalam kawasan hutan,

maka kopi Minangkabau lebih sering

dekenal sebagai "kopi hutan"' Seperti

halnya di Minahas4 di Minangkabau

juga penduduk dibebani dengan keria

tanpa uPah untuk membangun

sarana-sarana terutama jalan-jalan

dan jembatan untuk kePerluan

pengangkutan koPi dari daerah

pegunungan ke Padang. Sementara

para pemimPin tradisional Yang

bertugas menggerakkan Pendudukadalah para Penghulu, sehingga

dengan ikatan tradisional tersebut

penduduk Patuh Pada atasannYa'

Dalam Penelitian Prof. Kenneth

Young disimPulkan beberaPa

penyebab atau faktor Pendorong

keberhasilan budi daya tanam kopi di

Minangkabau. Pertama adalah kebi-

jakan mengenai pemberian upah yang

tidak membingungkan Para Petani,

karena telah diatur dengan ielas'

Harga per pikul ditetapkan f 20 atau

sekitar 32 sen Per kg, dan setelah

dipotong berbagai ongkos yang harus

dibayar, petani menerima f 4 per pikul

atau 5 sen per kg. Kedua tersedianya

tenaga kerja yang cukup banyak yang

dapat dikerahkan untuk kePerluan

penerapan budibaYa tanam koPi

tersebut. Ketiga adalah adanya tradisi

dagang yang telah tertanam dan

menjiwai masYarakat Minangkabau

yang menYebabkan orang terdorong

untuk menialankan Pekeriaan Yang

menghasilkan uang [Young, L988:

736-1.64).

Young daiam PenelitiannYa iuga

menyimpulkan sebab-sebab kegagai-

ISTORIA Volume II Nomor l- Se 20lL

an dari penerapan sistem fti. Pertama

adalah habisnya lahan pertanian yang

cocok untuk budi daya kopi sehingga

tidak dapat dilakukan ekspansi secara

terus menerus. Kedua adalah

munculnya PenYakit tanaman koPi

yang sulit untuk di atasi, sehingga

produksi semakin ber-krnang. Ketiga

Perang Aceh yang berlangsung relatif

lama sehingga banYak menguras

perhatian pemerintah Belanda untuk

menanganinYa, sementara budidaYa

kopi menjadi kurang diperhatikan'

Keempat adalah cara-cara pengelo-

laan yang kurang baik karena terbiasa

dengan pola budidaya perseorangan

yang telah berlangsung sebelum

cultuur stel s eI diteraPkan'

E. Iftitik TerhadaP Tanam Paksa

Pada tahun 1830 Pada saat

pemerintah peniajah hampir bangkrut

setelah terlibat perang Jawa terbesar

[Perang Diponegoro, 1825-1830), dan

Perang Padri di Sumatera Barat

(1827-1837), Gubernur Jenderal Van

den Bosch mendaPat izin khusus

melaksanakan sistem Tanam Paksa

[Cultuur Stelsel] dengan tuiuan utama

mengisi kas Pemerintahan iajahanyang kosong, atau menutuP defisit

anggaran pemerintah Penjaiahan.Sistem tanam Paksa berangkat

dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa

berutang sewa tanah kePada

pemerintah, Yang biasanYa diPer-

hitungkan senilai 40% dari hasil

panen utama desa yang bersangkutan.

Van den Bosch ingin setiaP desa

menyisihkan sebagian tanahnYa

untuk ditanam komoditi eksPor ke

Etrilr*f,lEl4tw

Page 16: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

Eropa [kopi, tebu, dan nila]. Pendu-duk dipaksa untuk meng-gunakansebagian tanah garapan (minimalseperlima luas, 20o/o) dan menyi-sihkan sebagian hari kerja untukbekerja bagi pemerintah.

Dengan mengikuti tanam paksa,

desa akan mampu melunasi utangpajak tanahnya. Bila pendapatan desadari penjualan komoditi ekspor itulebih banyak daripada pajak tanahyang mesti dibayar, desa itu akanmenerima kelebihannya. Jika kurang,desa tersebut mesti membayarkekurangan tadi dari sumber-sumberlain. Sistem tanam paksa diperke-nalkan secara perlahan sejak tahun1-830 sampai tahun 1835. Menjelangtahun 1840 sistem ini telahsepenuhnya berjalan di Jawa.Pemerintah kolonial memobilisasilahan pertanian, kerbau, sapi, dantenaga kerja yang serba gratis.Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu,yang permintaannya di pasar duniasedang membubung dibu-didayakan.

Bagi pemerintah kolonial HindiaBelanda, sistem ini berhasil luar biasa.Karena antara 1831'1871 Bataviatidak hanya bisa membangun sendiri,melainkan punya hasil bersih 823 jutagulden untuk kas di Kerajaan Belanda.Umumnya, lebih dari 30 persenanggaran belanja kerajaan berasalkiriman dari Batavia. Pada 1860-an,720/0 penerimaan Kerajaan Belandadisumbang dari Oosf Indische ata,tHindia Belanda. Langsung atau tidaklangsung, Batavia menjadi sumbermodal. Misalnya, membiayai keretaapi nasional Belanda yang serba

IST0RIA Volume II Nomor 1 201.1

mewah. Kas kerajdan Belanda punmengalami surplus.

Badan operasi sistem tanam paksaNederlandsche Handels Maatchappij

[NHM] merupakan reinkarnasi VOC

yang telah bangkrut. Akibat tanampaksa ini, produksi beras semakinberkurang dan harganya punmelambung. Pada tahun 1.843, munculbencana kelaparan di Cirebon, JawaBarat. Kelaparan juga melanda JawaTengah, tahun 1850. Sistem tanampaksa yang kejam ini, setelahmendapat protes keras dari berbagaikalangan di Belanda, akhirnyadihapus pada tahun 1870, meskipununtuk tanaman kopi diluar Jawamasih terus berlangsung sampai1915.

Cultuurstelsel ternyata membawakeuntungan yang sangat besar bagipara pemegang saham Neder-landsche Handel-Maatschappij dantentunya juga raja Belanda- di negeriBelanda, Pemerintah Belanda sertapemerintah India Belanda. Hal inidapat dilihat dari peningkatan ekspordari India-Belanda, terutama keEropa. Ekspor tahun 1830 hanyaberjumlah 13 juta gulden, dan tahun1840 ekspor meningkat menjadi 74juta gulden. Penjualan hasil bumitersebut dilakukan oleh NHM;keuntungan yang masuk ke kasBelanda -antara 1830 sampai 1840-setiap tahun sekitar 1-8 juta gulden, iniadalah sepertiga dari anggaranbelanja Pemerintah Belanda.

Seorang mahasiswi Belanda,Annemare van Bodegom, pada tahun1996 mengadakan penelitian untuk

42

Page 17: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

menyusun slcipsinya. Ia menyorotiperiode antara 1830 Pada awal

diterapkannya Cultuurstelsel oleh

Gubernur Jenderal Johannes Graaf van

den Bosch [1830-1833) sampai tahun

L877. Keuntungan Yang dirauP

Beianda yang dinamakan batig sIoI

atau surnlus akhir mencapai 850 juta

gulden, yang antara lain digunakan

untuk membiayai Pembangunaninfrastruktur di Belanda seperti jaian

kereta api, saluran air dan lainlain' Di

sisi lain, Cultuurstelsel ini membawa

keseng-saraan dan bahkan kematian

rakyat yang dijajah. Antara tahun

1849-1850 saia, tercatat lebih dari

140.000 orang pribumi meninggal

sebagai akibat kerja dan tanam paksa.

Apabila nilai 850 juta gulden dihirung

dengan indeks tahun l-992, maka

nilainya setara dengan 15,4 milYar

gulden. Tak dapat dibaYangkan,

berapa keuntungan yang diraup oleh

Belanda dari Indonesia antara 1.602-

1942 apabila dihitung dengan indeks

tahun 2002.

Di atas kertas, teori Cultuurstelsel

memang tidak terlalu memembebani

rakyaq namun dalam pelaksanaannya,

Cultuurstelsel Yang sangat

menguntungkan Belanda, terbuktisangat merugikan petani terutama di

Jawa dan mengakibatkan keseng-

saraan dan kematian bagi rakYat

banyak, sehingga Cultuurstelsel

tersebut lebih dikenai sebagai sistem

tanam paksa, karena Petanidiharuskan menanam komoditi Yangsangat diminati dan mahal di Pasar

Eropa, yang mengakibatkan merosot-

nya hasil tanaman pangan sehingga di

ISTORIA Volume II Nomor l- 20tl

beberapa daerah timbul kelaParan,

seperti yang terjadi di Cirebon tahun

18+4, di Demak tahun 1848 dan di

Grobogan tahun 1849.

Sejak 1840, selama 60 tahun

berikutnya nilai ekspor dari India-

Belanda ke Belanda meningkat 10 kali

lipa! dari 107 juta gulden menjadi

1-,16 milyar gulden. Selama kurun

waktu itu, juga terjadi Perubahankomoditi ekspor; selain kopi, teh, gula

dan tembakau, yang masih terus

diekspor, kini eksPor bahan baku

untuk industri seperti karet, timah

dan minyak, menjadi lebih dominan.

Seiring dengan perkembangan ekspor

dan jenis ekspor, titik beratperkebunan pindah ke Sumatera

Timur, di mana didirkan perkebunan-

perkebunan besar, terutama untuktembakau dan karet.

Selain monopoly Perdagangankomodiri "normal", ternyata Belandajuga memperoleh keuntungan besar

dari perdagangan opium [canduJ,yang kemudian juga dimonopoli oleh

VOC dan penerusnya, Pemerintah

lndia-Belanda. Semula impor opium

dari Bengali pada tahun 1602 hanYa

sebanyak satu setengah Peti,meningkat menjadi 2.000 peti Padatahun 17 42. Keuntungan Per Petidapat mencapai 1.800 sampai 2.000

gulden, dan agar penjualannYa

terjamin, Belanda juga mendorongpribumi untuk mengkonsumsi opium.

Pada akhir abad 19, Konsulat Belanda

di Singapura melaporkan, eksPor

candu dari Bengali ke India-Belanda

mencapai hampir 3.700 peti.

4i

Page 18: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

Ewald van Vugd, seorangwartawan dan penerbit berkebang,saan Belanda, pada 1985 menyorotipolitik perdagangan opium Belandayang dipaparkan dalam bukunyaWetig Opium. Menurut van Vugt,candu mulai menjadi sumberpenghasilan utama Belanda sejaktahun 1743. Antara tahun 1848-1866,laba perdagangan candu mencapai155,9 juta gulden, yakni 8,2 %pemasukan total dari tanah jajahan,dan kontribusi pemasukan darijajahan Belanda terhadap seluruhanggaran Belanda sebesar 12,5%lAntara tahun 1860-1915, laba candumeningkat 15 persen per tahun. Labacandu antara 1-904-1,940 sebesar 465juta guldenl Tak heran apabila vanVugt tahun 1988 menerbitkan bukudengan judul yang menggemparkan,yaitu Het dubbele Gezicht van deKoloniaal (wajah ganda daripenjajahanl, yang memuat sisi negatifpenjajahan Belanda, sepertipedagangan candu, perdaganganbudak, kerja paksa, kekerasan senjatadn.

Demikianlah wajah penjajahanBelanda waktu itu, demi keuntunganmateri untuk para tuan besar, merekamengorbankan rakyat di jajahanmereka, bahkan secara sistematismerusak mental dan kesehatan rakyatdengan menganjurkan untukmengisap candu. Tidaklah meng-herankan apabila sekarang keluargakerajaan Belanda termasuk keluargapaling kaya di dunia dan Belandatermasuk salah satu negara ter-makmur di Eropa Baral berkat

ISTORIA Volume II Nomor 1 Se r 2Ol7

perdagangan budak perdagangancandu, tanam paksa dan berbagaipraktek pelanggaran HAM. Hal-halyang sangat tidak manusiawi sepertiini, telah menggerakkan hati beberapaorang Belanda yang humanis, sepertiEduard Douwes Dekker, yangkemudian melancarkan kritikterhadap politik Pemerintah India-Belanda melalui berbagai tulisan, jugadalam bentuk roman dengan nama"Max Havelaar" , yang ditulis padatahun 19860,

Namun kritikan yang dilon-tarkantersebut tidak menyurutkanPemerintah Kolonial Belanda untukmembuat berbagai peraturan untukmenakut-nakuti rakyat jajahannyayang berniat membangkang. pada

tahun 1880 diberlakukan peraturanyang dinamakan Poenale Sanctie,yaitu peraturan yang memuatancaman hukuman badan fkurungandan pukulanl bagi kuli-kuli yangmelanggar peraturan kerja. Tujuanutama Poenale Sanctie adalahmenjamin tenaga buruh bagi majikan,juga membatasi kemerdekaan buruhuntuk meninggalkan perkebunantempat bekerja. Mohammad Hattamenunjuk buku tulisan H.F. Tillemayang berjudul "Kromo Belanda" yangberisi keluhan dan pengaduan tentangbagaimana Pemerintah Belandamelalaikan kesehatan rakyat. Hattamenunjukkan keadaan buruk dikalangan buruh, misalnya bahwaseorang kuli [buruhJ di Sumateradipaksa bekerja dengan kekerasandan diperlakukan sewenang-wenang'oleh majikan Belanda. pukulan-

44

Page 19: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

I

ISTORIA Volume II Nomor 1 September 2011

pukulan dengan rotan, Penahananmelawan hukum, Penelanjanganburuh yang dianggaP saiah oleh

rnajikan merupakan kebiasaan pada

waktu itu.Poenale Sanctie Yang keiam dan

tidak berperikemanusiaan menambah

kesengsaraan rakyat Indonesia, dan

memperpanjang daftar PelanggaranHAM oleh Belanda, serta mening-

katkan kemarahan dan keben-cian di

kalangan bangsa Indonesia. Pers dan

para pemimpin bangsa Indonesia

mengecam Poenale Sanctie ini'

Setelah gencar kritik dan kecaman di

negeri Belanda sendiri, baru Pada

tahun 1924 Majelis Rendah Belanda

mengajukan protes atas Poenale

Sancrie tersebut, namun Poenale

Sanctie baru dicabut tahun 1941,

ketika Perang Dunia di EroPa telah

dimulai dan ancaman JePang di Asia

telah di depan mata.

F. SimpulanTidak salah lagi Sistem Tanam

Paksa yang diteraPkan di Hindia

Belanda telah mendatangkan

perubahan sosial masYarakat baik

secara makro mauPun mikro. Pada

pokoknya, Sistem Tanam Paksa

merupakan penghisaPan dan

pemerasan secara brutal Yang

dikelola oieh orang-orang yang tamak

dan haus akan kekuasaan, yang nilai-

nilainya dibentuk oleh latarbelakang

kebudayaan masing-masing. Sistem

Tanam Paksa menialankan suatu lipumuslihat pada lingkungan sosio-

ekonomi secara lebih canggih dan

rumit. Dalam membahas Sistem

Tanam paksa, akan lebih komPre-

hensif apabila dikaji tidak secara

tradisional, agar berbagai aspek yang

menyertai dilaksana-kannya sistem

dapat teungkaP. Karena jika tidak,

maka gambaran utuh dari sistem ini

tidak akan ditemukan. Namun

demikian secara riil adalah tidak

dapat diabaikan bahwa pelaksanaan

Sistem Tanam Paksa mengkondisikan

hal-hal sebagai berikut'Pertama, AdanYa Pemben'tukan

modai. Aspek ini tidak daPat

disangkal oleh Peneliti manapun

bahwa pelaksanaan Sistem Tanam

Paksa telah menimbulkan Permoda-lan di Hindia Belanda' Pembentukan

modal yang meruPakan asPek dari

sejarah kolonial Yang terutama

melibatkan orang-orang EroPa dan

Cina, ketimbang bangsa Indonesia

sendiri, bahwa modal Perusahaan di

Eropaiah yang menYebabkan terPe-

cah-pecahnya Sistem Tanam Paksa

yang diawasi oleh Pemerintah itu.

Pembentukan modal Yang utama,

yang bedampak pada meluasnYa

tanam paksa di Jawa, terjadi di Jawa

sendiri, dan kondisi tersebut terjadi

selama berjalannya Sistem Tanam

Paksa dan merupakan bagian dari

Sistem Tanam Paksa tersebut.

Kedua adanya tenaga buruh Yang

murah yang menandai kehiduPan dijawa yang telah lama berlangsung

jauh sebelum Sistem Tanam Paksa

diterapkan. Rakyat kelas bawah sudah

menjadi tradisi bekerja wajib untukpara pemimpin tradisional Yang

memiliki otoritas tradisional sebagai

pemimpin dalam masYarkatnYa'

+l

Page 20: Kesengsaraan Masyarakat Jawa.pdf

ISTORIA Volume II Nomor 1 September 2011

Hubungan-hubungan ketergan-tungan di samping adanya perbu-

dakan dalam kebanyakan hal,

merupakan kunci yang menentukan

dari perbedaan-perbedaan sosial

dalam masyarakat.

Ketiga ekonomi pedesaan yang

berubah selama penerapan Sistem

Tanam Paksa dan sesudahnya.

Struli:lur politik dan ekonomi pede-

saan yang selama abad ke-19

menunjukkan kenyataan-kenyataansosial-ekonomi dari kehidupan orang-

orang jawa, dengan mengubah hasilpanen dan tenaga buruh yang murah

menjadi pengaturan fungsional. Desa-

desa merupakan sumber dari mana

tenaga buruh dan hasil pertanian

ditarik, walaupun hanya daribeberapa penduduk desa.

Pada awal abad ke-19, golongan

atas di pedesaan Jawa menjadi lebihkuat karena penunjukkan tugas-tugas

dan kewenangan-kewenangan baruyang memungkinkan para kepala

desa dan para kroninya yang memilikiotoritas atas pengawasan lahan,

tenaga buruh dan hasil pertanian

sampai ke tingkat yang lebih besar

daripada yang yang pernah terjadisebelumnya.

Daftar Pustaka

Anne Booth, William J.0' Malley, AnnaWeidemann [ed), 1988. Sejarah

Ekonomis Indonesia. Jakarta:LP3ES.

Ardiansyah, Syamsul. Cultuur Pro-centeen.

Hutagalung, 8.R' Batig Sloot dariCultuurstelsel. MonopoliPerdagangan Opium oleh

Pemerintah India-Belanda.

Robert Van Niel, !992. Java Under the

Cultivation System: Collected

Writings. Leiden: KITLV Press.

R.E. Elson, ],978. The CultivationSystem and 'AgriculturalInvolution'. Melbourne: Monash

University.

Fasseur, 1975. Kultuurstelsel en

Koloniale Baten: De NederlandseExploitatie Van Java 1-840-1860.

Leiden: University Press.

Wikipedia Indonesia, ensiklopediabebas berba hasa lndonesia.

46