Upload
duongnhu
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KESIAPAN BIROKRASI DALAM MENERAPKAN KEBIJAKAN
SISTEM KREDIT KARAKTER MAHASISWA
DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Naskah Publikasi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi
Untuk Memenuhi Sebagai Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi
Diajukan oleh:
PAKSI HIDAYATULLOH
F 100 104 017
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
i
KESIAPAN BIROKRASI DALAM MENERAPKAN KEBIJAKAN
SISTEM KREDIT KARAKTER MAHASISWA
DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Yang diajukan oleh :
PAKSI HIDAYATULLOH
F 100 104 017
Telah disetujui untuk dipertahankan
di depan Dewan Penguji
Telah disetujui oleh :
Pembimbing
Dra. Yayah Khisbiyah, M.A
ii
iii
SURAT PERNYATAAN
Bismillahirrahmanirrohim
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Paksi Hidayatulloh
NIM : F100 104 017
Fakultas/Jurusan : Psikologi/ Psikologi
Universitas : Muhammadiyah Surakarta
Judul : KESIAPAN BIROKRASI DALAM MENERAPKAN
KEBIJAKAN SISTEM KREDIT KARAKTER MAHASISWA
DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Menyatakan bahwa naskah publikasi ini adalah karya saya sendiri dan bukan naskah
publikasi dari jasa pembuatan naskah publikasi. Apabila saya mengutip dari karya
orang lain, maka saya akan mencantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Saya bersedia menerima sanksi apabila melakukan plagiat dalam menyusun
skripsi ini.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan segala kesungguhan dan kesadaran.
1
ABSTRAK
KESIAPAN BIROKRASI DALAM MENERAPKAN
KEBIJAKAN SISTEM KREDIT KARAKTER MAHASISWA
DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Paksi Hidayatulloh
Yayah Khisbiyah [email protected]
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan dan dinamika birokrasi dalam
perspektif psikologi sosial/politik/organisasi pada pimpinan universitas dan pimpinan
fakultas dalam menerapkan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa di
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian ini menggunakan metodologi
kualitatif dengan narasumber pimpinan rektorat yaitu Wakil Rektor 1 dan
Kabagmawa, Pimpinan Fakultas Psikologi yaitu Dekan dan Wakil Dekan 3 serta
Fakultas Ilmu Kesehatan yaitu Wakil Dekan 3, Ketua Program Studi Keperawatan
dan Kesejahteraan Masyarakat. Pengambilan sampel fakultas diawali dengan
komunikasi dengan organisasi mahasiswa di sejumlah fakultas Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Dalam pengambilan keputusan secara institusi, elemen
kebijakan mempunyai peran yang signifikan dalam merancang kurikulum
pendidikan. Sinergisitas antara pemegang kebijakan, lingkungan kebijakan dan sistem
kebijakan merupakan unsur yang menguatkan dan dikuatkan satu sama lainnya.
Kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa menjadi alternatif kebijakan dalam
meningkatkan kemampuan soft skills peserta didik. Berdasarkan hasil penelitian
ditemukan bahwa fragmentasi pengambil kebijakan dalam dinamika organisasi harus
segera diselesaikan karena telah terjadi disharmoni dalam implementasi kebijakan.
Selain itu ditemukan adanya kontribusi positif dalam aktifitas kemahasiswaan ketika
sistem kredit karakter mahasiswa diimplementasikan.
Kata kunci: soft skills, pengambilan keputusan, birokrasi dan kebijakan sistem kredit
karakter mahasiswa.
2
ABSTRACTION
THE READINESS OF THE BUREAUCRACY IN IMPLEMENTING
POLICY FOR STUDENT CHARACTER CREDIT SYSTEM
AT MUHAMMADIYAH UNIVERSITY OF SURAKARTA
Paksi Hidayatulloh
Yayah Khisbiyah [email protected]
The Faculty of Psychology of The Muhammadiyah University of Surakarta
This research aims to know the readiness and the dynamics of the bureaucracy from
the perspective of social/political/organizational psychology in the ways the
university and the faculty leadership implementing the policy for student characters
credit system in Muhammadiyah University at Surakarta. This research uses
qualitative methodology to interview the university leadership namely Vice Rector of
1 and Head of Student Body, Faculty of Psychology leadership, namely the Dean and
Vice Dean 3, and Health Science Faculty leadership namely Vice Dean 3, Head of
Nursing and Community Health Study Program . Data gathering begins with
communication with various students organizations in several faculty of the
University of Muhammadiyah Surakarta. In institutional decision making, policy
making and policy implementation play a significant role in designing educational
curriculum. Sinergy of three elements, e.g. among policy holders, policy environment
and policy system would strengthen and empower each other. The policy for student
character credit system becomes an alternative policy to improve the ability of soft
skills for students. The results show that fragmentation between policy makers within
the dynamics of the organization must be solved as it has created disharmony in
policy implementation. In addition, the results also show the positive contribution in
student organizational activities when the credit system characters students being
implemented.
Key Words: soft skills, decision-making, bureaucracy and policy for student
characters credit system.
3
I. Pendahuluan
Kompetensi pendidik yang termasuk soft skills mencakup kompetensi
kepribadian dan sosial. Kompetensi kepribadian disebut dengan intrapersonal skills
sedangkan kompetensi sosial disebut interpersonal skills. Berthal (dalam Muqowim,
2012) mendefinisikan soft skills sebagai perilaku personal dan interpersonal yang
mengembangkan dan memaksimalkan kinerja manusia seperti membangun tim,
pembuatan keputusan, inisiatif dan komunikasi. Neff & Citrin (dalam Muqowim,
2012) mengatakan bahwa yang paling menentukan kesuksesan bukanlah
keterampilan teknis melainkan kualitas diri yang termasuk dalam keterampilan lunak
(soft skills) atau keterampilan yang berhubungan dengan orang lain (people skills).
Soft skills tidak termasuk kemampuan teknis melainkan non-teknis, ketrampilan yang
dapat melengkapi kemampuan akademik, dan kemampuan ini harus dimiliki oleh
setiap orang, apapun profesi yang ditekuni.
Proses mendidik tidak hanya berlangsung di kelas, berbeda dengan mengajar
yang pada umumnya hanya di kelas. Mendidik adalah proses transfer nilai (transfer
of values), sedangkan mengajar merupakan proses transfer pengetahuan (transfer of
knowledge). Direktorat Akademik Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional
(2008) mengatakan: Keberhasilan pendidik 80% ditentukan oleh soft skills
“kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial”, dan hanya 20% hard skills
“kompetensi pedagogik dan professional”. Hasil penelitian dari Harvard University
Amerika Serikat tentang dunia pendidikan di Indonesia (dalam Muqowim, 2012)
pendidikan di Indonesia memberikan kontribusi soft skills hanya 20% dan yang 80%
bersifat hard skills. Ketidakseimbangan ini harus segera diatasi dengan melakukan
perubahan regulasi jangka panjang yang didasarkan pada analisa pendidikan.
Dalam hasil penelitian lain dari Putra dan Pratiwi (dalam Rizky, 2012)
menjelaskan bahwa menurut survei dari 457 pemimpin perusahaan yang dilakukan
oleh National Association of Colleges (NACE) tahun 2002 di Amerika Serikat,
4
diperoleh kesimpulan bahwa Indeks Prestasi (IP) hanya menempati urutan nomor 17
dari 20 kualitas skills yang perlu dimiliki mahasiswa.
Hasil Survei NACE USA Mengenai Soft Skills di Dunia Kerja
Sumber Putra dan Pratiwi 2005
Jika kita melihat hasil penelitian di atas, keberhasilan seorang profesional
sangat ditentukan oleh penguasaan soft skills ketimbang hard skills. Pemahaman
bahwa soft skills memiliki peranan penting dalam kesuksesan mahasiswa, dan cara
untuk mengasah soft skills salah satunya melalui kegiatan kemahasiswaan. Namun
kenyataanya, keikutsertaan mahasiswa dalam organisasi mahasiswa kurang dari 10%
(Keluarga Mahasiswa UMS, 2015). Padahal kalau melihat data jumlah keseluruhan
mahasiswa aktif kurang lebih 28.000 (BAA UMS, 2015). Mestinya organisasi
mahasiswa menjadi salah tempat pembelajaran yang efektif untuk mengembangkan
dan meningkatkan soft skills mahasiswa. Kenyataannya, hanya sedikit mahasiswa
5
yang berkecimpung dalam kepengurusan organisasi mahasiswa di Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Sebagai hasil kesepakatan bersama antara pimpinan universitas dan pimpinan
fakultas dalam menyikapi realita yang ada, lahirlah buku Pedoman Sistem Kredit
Karakter Mahasiswa (SKKM) tahun 2012 sebagai kerangka acuan dalam proses
pembentukan karakter mahasiswa. Kebijakan ini dibuat sebagai sarana dalam
menyeimbangkan peranan soft skills dan hard skills, yang pada intinya sebagai syarat
mendapatkan gelar kesarjanaan mahasiswa tidak hanya dituntut dengan IPK yang
tinggi (bersifat akademik) namun juga wajib menyerahkan sertifikat keikutsertaan
dalam organisasi/kegiatan/seminar/kejuaraan, dsb (bersifat non akademik) sebagai
kelengkapan pemenuhan kredit point. Dalam pelaksanaan kebijakan sistem kredit
karakter mahasiswa dibutuhkan sinergisitas antara stake-holders universitas dan
fakultas.
Mencermati keputusan yang dibuat seorang pemimpin ada beberapa aspek
individual dalam menjelaskan perilaku. Lewin (dalam Cottam, Beth, Elena, &
Thomas, 2012) berpendapat bahwa untuk memahami perilaku perlu memahami
kepribadian seseorang dan menekankan interaksi antara seseorang dengan situasi
tertentu. Fred Greenstein (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) meninjau
bahwa, meskipun kepribadian sering kali tidak begitu berpengaruh dalam
pengambilan kebijakan namun terjadi pada dampak pribadi (aktor politik): pertama,
meningkat hingga sejauh mana lingkungannya memungkinkan restrukturisasi; kedua,
bervariasi sejalan dengan lokasi/situasi aktor politik tersebut di lingkungannya; dan
ketiga, ketika individu-individu memiliki sumber kekuasaan pribadi dikarenakan
posisi mereka dalam sistem politiknya (jabatan) sehingga dapat memengaruhi proses
kebijakan.
Levine & Moreland (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012)
berpendapat bahwa setiap kelompok atau organisasi dapat dipastikan memiliki sebuah
struktur dan struktur cenderung berkembang dengan cepat dan berubah dengan
lambat dalam kebanyakan kelompok. Penetapan kebijakan mempunyai peran dalam
6
kemajuan sebuah kelompok, Karft & Furlong (dalam Hamdi, 2014) mengataka
penetapan kebijakan (policy legitimation) merupakan mobilisasi dari dukungan
politik dan penegasan kebijakan secara formal termasuk justifikasi untuk tindakan
kebijakan. Dalam hal ini terdapat dua makna dari penetapan kebijakan. Pertama,
penetapan kebijakan merupakan proses yang dilakukan pengambil kebijakan untuk
melaksanakan suatu pola tindakan tertentu atau sebaliknya, untuk tidak melakukan
tindakan tertentu. Kedua, penetapan kebijakan berkaitan dengan pencapaian
konsensus dalam pemilihan alternatif-alternatif yang tersedia. Tahap ini juga
berkenaan dengan legitimasi dari alternatif yang dipilih, yakni berupa suatu
rancangan tindakan-tindakan yang ditetapkan menjadi peraturan baru yang
dilaksanakan.
Fromm (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) mengeksplorasi
interaksi-interaksi antara orang-orang dalam masyarakat dan berpendapat bahwa
perubahan dalam masyarakat dapat menghasilkan kebebasan dari pengekangan
sehingga masyarakat humanis dapat mengejar suatu kebebasan positif yang
didalamnya orang-orang memperlakukan satu sama lain dengan menyertakan rasa
hormat dan rasa cinta atau mereka dapat melepaskan kebebasan dan menerima sistem
politik dan sistem sosial yang totaliter dan otoriter. Kebutuhan akan kekuasaan
merupakan sebuah karakteristik kepribadian yang selama ini telah dipelajari secara
luas dan dikaitkan dengan jenis-jenis perilaku dan gaya-gaya interaksi yang spesifik
dengan orang lain Winter dkk (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012). Secara
khusus seseorang akan menduga para pemimpin yang memiliki kebutuhan psikologis
akan kekuasaan yang semakin tinggi akan semakin dominan dan asertif pada gaya
kepemimpinan mereka saat menjabat dan menuntut kontrol yang lebih besar atas
bawahannya dan keputusan-keputusan kebijakan.
Hermann dkk (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) mengatakan
bahwa pengalaman atau keahlian sebelumnya yang dimiliki oleh para pemimpin
berdampak signifikan pada kepemimpinan, karakteristik interaksi kelompok dan
seberapa kuat para pemimpin menegaskan posisi mereka dalam isu-isu kebijakan.
7
Barber dkk, (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012). Pengalaman masa lalu
menyediakan para pemimpin suatu pendirian tentang tindakan apa yang akan efektif
dan tidak efektif dalam situasi-situasi politik yang spesifik, serta manakah petujuk
dari lingkungannya yang seharusnya diperhatikan dan mana yang tidak relevan.
Dilihat dari pengalaman masa lalu pemimpin dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam capaian pekerjaan tertentu. Keputusan politik dapat dibuat untuk
menanggapi isu-isu yang dipersepsikan oleh para pemimpin sehingga setiap
pengambilan keputusan memiliki cara yang berbeda dan pola perilaku yang berbeda
tergantung pada dinamika yang terjadi di lingkungan kebijakan.
Thomas R. Dye (dalam Dunn, 2003) mengatakan suatu sistem kebijakan
dibuat mencakup hubungan timbal balik diantaranya tiga unsur yaitu kebijakan
publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Definisi dari masalah kebijakan
tergantung pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholders) yang khusus
yaitu para individu atau kelompok yang mempunyai andil dalam kebijakan, misalnya
warga masyarakat, pemimpin terpilih dan para analis kebijakan yang berkenaan
dengan lingkungan kebijakan. Lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu
konteks khusus dimana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan, mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Sistem kebijakan
berisi proses dialektis yang bersifat subjektif dan objetif dari pembuat kebijakan,
sistem kebijakan merupakan realiatas objektif yang dimanifestasikan kepada
tindakan-tindakan yang teramati yang bersifat konsekuensi; para pelaku kebijakan
merupakan produk dari sistem kebijakan.
Pelaksanaan kebijakan dapat diikhtiarkan dalam musyawarah bersama yang
menghadirkan segenap civitas akademika diantaranya pimpinan universitas, pimpinan
fakultas dan keterwakilan mahasiswa ditingkat universitas dan fakultas. Mengingat
makna dan sifat implementasi yang dapat dipahami dari berbagai dimensi, makna
tahap ini dengan sendirinya menunjukkan signifikansinya. Matland (dalam Hamdi,
2014) mencatat bahwa literatur mengenai implementasi kebijakan secara umum
8
terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok dengan pendekatan dari atas (top-
down) dan kelompok dengan pendekatan dari bawah (bottom-up). Kelompok dengan
pendekatan top-down melihat perancangan sebagai aktor sentral dalam implementasi
kebijakan dan memusatkan perhatiannya dalam faktor-faktor yang dapat dimanipulasi
pada tingkat sentral atau pada variabel yang bersifat makro. Pada lain sisi, kelompok
bottom up menekankan pada kelompok-kelompok sasaran dan para penyedia layanan.
Pemberian tekanan pada kelompok bottom-up didasarkan pada pemikiran bahwa
kebijakan senyatanya dibuat pada tingkat lokal dan berfokus pada variabel mikro.
Model top-down memandang implementasi kebijakan sebagai pelaksanaan
secara tepat pada tujuan yang telah direncanakan dari tingkat atas oleh para pelaksana
pada tingkat lapangan sehingga akan dapat tercapainya tujuan. Melihat realita yang
terjadi pimpinan mencoba melakukan uji coba di beberapa program studi di fakultas
tertentu dan ketika dirasa berhasil akan diterapkan secara makro dan menyeluruh.
Model yang dibuat oleh Van Meter dan Van Horn (dalam Hamdi, 2014) pada
dasarnya dimaksud untuk mengidentifikasi hubungan antara kepentingan yang
beragam dari analis kebijakan, perhatian langsung pada faktor penentu dari kebijakan
publik dan memberikan penekanan pada keterkaitan yang sering kali tidak sempurna
antara kebijakan yang ditetapkan dengan pelayanan yang nyata dilakukan. Model
pandangan lain pendekatan top-down juga dikemukakan oleh Mazmanian dan
Sabatier (dalam Hamdi, 2014) yang mendefinisikan implementasi sebagai
pelaksanaan keputusan kebijakan dasar (basic polity decision), yang selalu terbentuk
dalam peraturan perundang-undangan namun juga dapat berbentuk perintah eksekutif.
Titik awal model ini terletak pada keputusan yang bersifat mengikat dalam
implikasinya, para aktor yang berada di pusat pembuatan keputusan dipandang
sebagai relevansi untuk mewujudkan akibat atau hasil yang diinginkan.
9
II. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, Kesiapan birokrasi dalam menerapkan kebijakan sistem
kredit karakter mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta menggunakan
metode kualitatif dengan menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi.
Dalam memilih responden mengunakan teknik purposive sampling. Tahap penentian
responden diakukan berdasarkan berdasarkan Kriteria yang telah ditentukan
sebelumnya. Cara yang diakukan adalah dengan bertanya kepada mahasiswa
organisasi yang ada di beberapa fakultas dan organisasi yang ada Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Jumlah responden yang menjadi narasumber yaitu
pengambil kebijakan di Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Kesehatan serta
pengambil kebijakan di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
III. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkanya
kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceriterakan
pada orang lain (Sugiyono, 2008). Sebagian besar pendekatan kualitatif, analisis data
tidak dilakukan dalam satu tahap saja setelah data terkumpul. Daymon & Holloway,
(dalam Sugiyono, 2008) menyebutkan bahwa analisis data kualitatif merupakan
proses sistematis yang berlangsung terus-menerus, bersamaan dengan pengumpulan
data. Analisis kualitatif berkaitan dengan; (1) reduksi data yaitu memilah-milah data
yang tidak beraturan menjadi lebih teratur dengan cara mengkoding, menyusunnya
menjadi katagori (catagorizing) dan merangkum menjadi pola susunan yang
sederhana, dan (2) interpretasi yaitu mendapatkan makna dan pemahaman terhadap
kata-kata dan tindakan partisipan penelitian yang memunculkan konsep dan teori
yang menjelaskan tentang temuan yang ada. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono,
2008) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
10
sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan
conclusion drawing/verification.
IV. Hasil dan pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data dari wawancara dan observasi dari 7 informan
dapat dilakukan pengkatagorisasian terhadap kesiapan birokrasi dalam menerapkan
kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta
sebagai berikut:
1. Keberhasilan Mahasiswa
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa pendapat responden
tentang keberhasilan mahasiswa di Perguruan Tinggi hampir sama, (OSP)
berpendapat bahwa keberhasilan mahasiswa dimaknai beraklak mulia, religius dan
memiliki kemampuan untuk bermasyarakat, dengan ini (TK) berpendapat
keberhasilan mahasiswa yaitu mampu mengintegrasikan tiga bagian yaitu sisi
keilmuan, sisi kemampuan riset, implementasi bersama masyarakat. Dari hal ini (S)
bersepakat bahwa keberhasilan mahasiswa adalah menguasai sesuai program studi
yang dia ambil, apa yang sering disebut dengan soft skills yaa atau life skills yang
bersifat kepribadian dan mempunyai akhlak atau karakter yang baik. Dan (MD)
menambahkan mahasiswa yang berdaya saing, kompetitif dan tangguh.
2. Soft skills dan hard skills di Perguruan Tinggi
Dalam institusi pendidikan, pengambil kebijakan harus berusaha
meningkatkan soft skills dan juga hard skills mahasiswanya (ASP). Dalam hasil
penelitian dari Putra dan Pratiwi (dalam Rizky, 2012) menjelaskan bahwa
menurut survei dari 457 pemimpin perusahaan yang dilakukan oleh National
Association of Colleges (NACE) tahun 2002 di Amerika Serikat, diperoleh
kesimpulan bahwa Indeks Prestasi (IP) hanya menempati urutan nomor 17 dari 20
kualitas skills yang perlu dimiliki mahasiswa. Jadi keberhasilan seorang profesional
sangat ditentukan oleh penguasaan soft skills ketimbang hard skills. (DA)
11
menyatakan bahwa sebetulnya untuk hal non akademik itupun menjadi suatu penentu
juga untuk suatu keberhasilan, mahasiswa kesehatan masyarakat dituntut bagaimana
pendekatan kemasyarakat, terampil, pandai berkomunikasi, mampu mengorganisasi
masyarakat, mandiri dan seterusnya. Dan (MD) berpendapat bahwa dalam koridor
akademik paling mudah itu adalah bagaimana aktifitas pengembangan diri mahasiswa
itu masuk dalam kurikulum dan idealnya aspek pengembangan diri itu melekat pada
masing-masing mata kuliah.
3. Pemberian kredit poin dapat meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam
aktifitas non-akademik
Dalam pernyataan ini (DA) menyatakan bahwa mahasiswa dituntut untuk
memenuhi kredit karakter dengan berperan aktif di luar pembelajaran kelas sehingga
mahasiswa terpacu dalam meningkatkan potensinya yang dimiliki melalui
keaktifannya dalam sebuah kepanitiaan, keorganisasian dan kegiatan kemasyarakatan.
Dalam buku Pedoman Sistem Kredit Karakter Mahasiswa (dalam Anonim, 2012)
menyatakan tata laksana penilaian karakter mahasiswa yang terdiri dari: Pertama,
penetapan domain karakter yang dinilai. Kedua, penetapan satuan angka SKKM.
Ketiga, prosedur pelaksanaan dan pihak terkait. Keempat, metode sosialisasi SKKM.
Dalam wawancara dengan (S) menyatakan bahwa harapakan kami dengan diterapkan
soft skills atau life skills ini dalam tanda petik agak di post agak dipaksa supaya
mahasiswa dipaksa untuk mengembangkan diri dalam bentuk terlibat di dalam
organisasi, atau panitiaan dan lain sebagainya baik internal kampus atau ekternal
kampus. Jadi tidak hanya di dalam kampus saja.
4. Perumusan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa
Penetapan kebijakan mempunyai peran dalam kemajuan sebuah kelompok,
Karft & Furlong (dalam Hamdi, 2014) mengataka penetapan kebijakan (policy
legitimation) merupakan mobilisasi dari dukungan politik dan penegasan kebijakan
secara formal termasuk justifikasi untuk tindakan kebijakan. Dalam hal ini terdapat
dua makna dari penetapan kebijakan. Pertama, penetapan kebijakan merupakan
12
proses yang dilakukan pengambil kebijakan untuk melaksanakan suatu pola tindakan
tertentu atau sebaliknya, untuk tidak melakukan tindakan tertentu. Kedua, penetapan
kebijakan berkaitan dengan pencapaian konsensus dalam pemilihan alternatif-
alternatif yang tersedia. Tahap ini juga berkenaan dengan legitimasi dari alternatif
yang dipilih, yakni berupa suatu rancangan tindakan-tindakan yang ditetapkan
menjadi peraturan baru yang dilaksanakan. (MD) berpendapat bahwa perumusan
kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa berorientasi pada KKNI mulai dari
pembuatan penyusunan kurikulum baru, struktur kurikulum sampai implementasinya
yang diarahkan pada capaian dimana di setiap mata kuliah ada aktifitas
pengembangan diri dan pemberian nilai/kredit dalam setiap SKSnya.
5. Pendekatan top down dan bottom up dalam implementasi kebijakan
Matland (dalam Hamdi, 2014) mencatat bahwa literatur mengenai
implementasi kebijakan secara umum terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok
dengan pendekatan dari atas (top-down) dan kelompok dengan pendekatan dari
bawah (bottom-up). Dalam wawancara ditemukan pernyataan dari (S) bahwa semula
itu adalah dari usulan dari bawah. dari kemahasiswaan kemudian membentuk tim
merumuskan itu, kemudian kami berusaha menyampaikan keberbagai pihak di
kampus ini kemudian terakhir muncullah yang namanya rapat kerja yang khusus
membicarakan tentang itu, rapat kerja itu merekomendasikan artinya justru malah
bottom up ini bukan top down. Menurut (S) mengenai kebijakan sistem kredit
karakter mahasiswa, semula itu adalah dari usulan dari bawah, dari kemahasiswaan
kemudian membentuk tim merumuskan itu, kemudian menyampaikan keberbagai
pihak di kampus ini sehingga kebijakan baru diproses dalam rapat kerja dan
merekomendasikan kepada pimpinan supaya life skills atau sofs skills ini menjadi
sesuatu yang harus dimiliki mahasiswa. Pendapat ini dikuatkan (MD) bahwasannya
semua mekanisme pembahasannya kebijakan baru melibatkan semua program studi
sehingga ketika melibatkan semua program studi diharapkan program yang kita
luncurkan ini dampaknya besar bisa beresonansi dengan dosen, prodi dan mahasiswa.
13
6. Implementasi kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa
Dalam wawancara ditemukan pernyataan dari (S) kalau dari versi di WR 1 itu
adalah SKS tetapi SKS itu tentu menurut konsep kami itu ada kredit poin yang harus
dicapai misalkan disetarakan SKSnya 2 misalnya kredit poin maksimal itu berapa?
Levine & Moreland (dalam Cottam, Beth, Elena, & Thomas, 2012) berpendapat
bahwa setiap kelompok atau organisasi dapat dipastikan memiliki sebuah struktur dan
struktur cenderung berkembang dengan cepat dan berubah dengan lambat dalam
kebanyakan kelompok. Dan (DA) menyatakan bahwa kita terapkan untuk
persyaratan, persyaratan pengambilan. persyaratan pendadaran. Jadi bisa ujian skripsi
kalau minimal dia punya poin 20 poin gitu, sampai sekarang karena SKKM belum
diterapkan di fakultas terutama fakultas ilmu kesehatan kan belum, kami masih
memakai model kami. Dari (OSP) menyatakan bahwa ini rencana kami, dulu kita
sudah sosialisasikan ke mahasiswa tentang pemberlakuan SKKM itu, ditahun ini kita
nanti akan koordinasi dengan koordinator skripsi untuk sebagai salah satu syarat maju
ujian skripsi bagi mahasiswa kami itu dengan memulai SKKM ini.
7. Hambatan dan tantangan dalam penerapan kebijakan
Munculnya permasalahan dalam penerapan kebijakan sitem kredit karakter
mahasiswa disebabkan oleh bermacam faktor. Ada yang terkendala dengan skripsi
belum selesai, sehingga belum tersosialisasi, pendapat (OSP). Pendapat lain dari (S)
yang menyatakan tidak semua mahasiswa memiliki kesadaran untuk mengembangkan
soft skills. Dan pendapat lain dari (DA) yang menyatakan hanya mahasiswa yang
bener-bener pasif yang kesulitan untuk memenuhi dan mendapatkan poin standar,
dalam hal ini mahasiswa hanya kuliah lalu pulang artinya dia tidak mau tahu dengan
kegiatan organisasi di kampus atau di luar kampus.
8. Solusi yang diberikan atas permasalahan yang muncul
Van Meter dan Van Horn (dalam Hamdi, 2014) pada dasarnya dimaksud
untuk mengidentifikasi hubungan antara kepentingan yang beragam dari analis
kebijakan, perhatian langsung pada faktor penentu dari kebijakan publik dan
14
memberikan penekanan pada keterkaitan yang sering kali tidak sempurna antara
kebijakan yang ditetapkan dengan pelayanan yang nyata dilakukan. Dalam hal ini
(TK) berpendapat hanya saja implementasinya perlu di elek-projekkan, karena
program-program kebijakan-kebijakan baru di UMS sangat banyak dan kalau itu
fokusnya ada dibidang intern bidang satu serta klause mekernya sekarang ada
dibidang tiga universitas, kalau itu ambil klausenya gak bisa menerapkan ya kita kan
kerepotan. Pendapat secara teknis atas kekurangan poin disampaikan oleh (OSP) yang
menyatakan sebenarnya mahasiswa bisa koordinasi dengan progdi karena progdi
mempunyai rencana penguatan program studi sehingga banyak sekali kegiatan yang
bisa memfasilitasi mahasiswa baik itu berupa work shop, kuliah pakar, pertemuan
ilmiah, pengabdian masyarakat, penelitian. Atau mereka juga bisa koordinasi dengan
dosen untuk mengikuti pengabdian dosen, menjadi asisten peneliti, dan
diberlakukannya surat keterangan pendamping ijazah dari progdi.
V. Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan
mengenai kesiapan birokrasi dalam menerapkan kebijakan sistem kredit karakter
mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta sebagai berikut:
1. Keberhasilan mahasiswa di perguruan tinggi
Dalam institusi pendidikan, pengambil kebijakan harus berusaha
meningkatkan dan menyeimbangkan berbagai macam kemampuan peserta didiknya.
Hal yang dapat dilihat dari kemampuan akademik yaitu perolehan IPK yang baik dan
non-akademik bisa terlihat dari interaksi sosial, keaktifan dalam kelas ataupun
organisasi dan mampu menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.
Menyeimbangkan kemampuan peserta didik menjadi pencapaian institusi pendidikan
dalam melihat keberhasilan mahasiswa, dalam hal ini ke tujuh responden memberikan
penekanan pada akhlak mulia. Menjadi hal ideal apabila mahasiswa mampu
menguasai program studi yang diambil, mampu mengintegrasikan sisi keilmuan, riset
15
dan implementasi dalam bermasyarakat serta mempunyai kepribadian yang matang
kompetitif dan tangguh.
2. Pengambilan Keputusan
Penetapan kebijakan mempunyai peran dalam kemajuan sebuah institusi
pendidikan. Proses implementasi kebijakan dalam struktur organisasi mempunyai
dua pola, yaitu pendekatan top down (perencanaan sebagai aktor sentral dan variabel
bersifat makro) dan pendekatan bottom up (pemikiran kebijakan senyatanya dibuat
pada tingkat lokal dan berfokus pada variabel mikro). Dalam implementasi kebijakan
sistem kredit karakter mahasiswa dibutuhkan keselarasan diantara tiga elemen
kebijakan yaitu, pertama pemegang kebijakan yaitu pimpinan rektorat, pimpinan
fakultas dan pimpinan program studi. Kedua, Sistem kebijakan yaitu regulasi sistem
kredit karakter mahasiswa. Ketiga, Lingkungan kebijakan yaitu dosen, karyawan dan
mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dalam perumusan kebijakan
sistem kredit karakter mahasiswa menggunakan pendekatan bottom up dengan
kebijakan yang diusulkan dari program studi dan fakultas saat rapat perumusan
bersama pimpinan fakultas se-universitas dan pimpinan rektorat.
3. Kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa
Dalam mekanisme pembahasan kebijakan baru pimpinan rektorat melibatkan
semua program studi, perumusan kebijakan sistem kredit karakter mahasiswa mulai
dari penyusunan kurikulum, struktur kurikulum sampai implementasi beresonansi
dengan KKNI yang diarahkan pada capaian setiap mata kuliah ada aktifitas
pengembangan diri dan pemberian nilai/kredit disetiap sistem kredit semesternya
(SKS). Berkenaan dengan melibatkan program studi diharapkan program yang
diluncurkan ini dapat bermanfaat besar dan bisa beresonansi dengan dosen, progdi
dan mahasiswa. Menurut Pedoman Sistem Kredit Karakter Mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Surakarta menyatakan pelaksanaan penilaian karakter mahasiswa
terdiri dari penetapan domain penilaian, penetapan satuan angka (SKKM), prosedur
pelaksanaan dan metode sosialisasi. Dalam hal ini mahasiswa dituntut untuk
16
memenuhi kredit karakter dengan berperan aktif di luar pembelajaran kelas sehingga
mahasiswa terpacu untuk meningkatkan potensi yang dimiliki melalui keaktifannya
dalam kepanitiaan, keorganisasian, dan kegiatan kemasyarakatan.
VI. Saran
1. Bagi peneliti / pribadi
Memberikan pemahaman baru bagi peneliti dalam memahami dinamika
birokrasi dan penerapan kebijakan baru ditingkatan pengambil kebijakan universitas,
fakultas dan progdi mulai dari mekanisme perumusan kebijakan, struktur dan alur
kebijakan, sosialisasi kebijakan, implementasi kebijakan dan metode monitoring
kebijakan ditinjau dari perspektif psikologi sosial/politik/organisasi.
2. Bagi peneliti lain
Bagi peneliti lain yang berminat meneliti tentang penerapan kebijakan publik
di perguruan tinggi dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai tambahan informasi
dengan mempertimbangkan hal-hal lain yang belum terungkap dalam penelitian ini
seperti respon mahasiswa dan espek ekonomi dalam pembiayaan kebijakan.
3. Pemegang kebijakan
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam memahami
penerapan kebijakan publik dan pengambilan keputusan pimpinan birokrasi dalam
persepsi psikologi sosial/politik/organisasi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, S. Z. (2012). Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika.
Albrow, M. (1989). Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Ancok, D. (2012). Psikologi Kepemimpinan & Inovasi. Jakarta: Erlangga.
Anonim. (2012). Pedoman Sistem Kredit Karakter Mahasiswa. Universitas
Muhammadiyah surakarta.
Anonim. (2003). Undang - Undang Nomer 20 tahun 2003. Sistem Pendidikan
Nasional.
Blau, P. M., & Marshall, W. M. (2000). Birokrasi Dalam Masyarakat Modern.
Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Cottam, M. L., Beth, D.-U., Elena, M., & Thomas, P. (2012). Pengantar Psikologi
Politik. Depok: Rajagrafindo.
Dunn, W. N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Elfindri, Jemmy, R., Muhammad, B. W., Poltak, T., Fitri, Y., Zein, E. E., et al.
(2011). Soft Skills untuk Pendidik. Badouse Nedia.
Elmes, D. G., Barry, H. K., & Hendry, L. R. (2014). Metodologi Penelitian dalam
Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika.
Fattah, N. (2012). Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Graham, H. (2005). Psikologi Humanistik Dalam Konteks Sosial, Budaya dan
Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamdi, M. (2014). Kebijakan Publik Proses, Analisis dan Partisipasi. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu - Ilmu Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.
Kesuma, D., Cepi, T., & Johar, P. (2011). Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan
Praktik di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
18
Misiak, H., & Staudt, V. S. (2005). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan
Humanistik Suatu Survai Historis. Bandung: Refika Aditama.
Muqowim. (2012). Pengembangan Soft Skills Guru. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani.
Mustafa, D. (2013). Birokrasi Pemerintahan. Bandung: Alfabeta.
Nashori, F., & dkk. (2009). Psikologi Kepemimpinan. Yogyakarta: Pustaka Fahima.
Putra, N., & Hendarman. (2012). Metodologi Penelitian Kebijakan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Rivai, V., Bachtiar, & Boy, R. A. (2013). Pemimpin Dan Kepemimpinan Dalam
Organisasi . Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Subarsono, A. (2012). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tahir, A. (2014). Kebijakan Publik & Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah. Bandung: Alfabeta.
Tangkilisan, H. N. (2003). Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Balairung & Co.
Wahab, S. A. (2004). Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.