Upload
vohanh
View
219
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 1
RUU PROLEGNAS JANGKA MENENGAH TAHUN 2015-2019 USULAN PEMERINTAH
Keterangan: *) hasil Trilateral Meeting Bapenas
**) Residu Prolegnas 2010-2014
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
1. RUU Kitab UU Hukum Pidana
Kementerian Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU: KUHP (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie), masih berlaku
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Materinya banyak yang
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan pengaturan pemidanaan.
Perlu diwujudkan upaya pembaharuan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka menghormati dan menjunjung
tinggi HAM dan penataan kelembagaan penegak hukum.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda.
Memperjelas interpretasi dalam sistem penegakan hukum
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
Terbagi dalam 2 buku Buku kesatu : Ketentuan Umum
Buku Kedua : Kejahatan
Mendasarkan pada pemikiran Aliran Neo-Klasik yang menjaga
keseimbangan antar faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/batiniah/sikap batin);
Karakter daad-dader strafrecht yang lebih manusiawi;
Tidak membedakan lagi antara tindak pidana (starfbaarfeit) berupa
kejahatan dan tindak pidana pelanggaran (overtredingen);
Subjek hukum diperluas mencakup pula korporasi
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana;
2. Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI;
3. Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
4. Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang HAM;
5. Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 tentang KPK;
6. Undang-Undang
tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-Undang yang
mengatur mengenai
peradilan; 7. Beberapa UU tentang
Ratifikasi Konvensi Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child)
8. Undang-Undang No. 5
Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention
Against Torture and
Other Cruel, Inhuman
Prioritas 2015
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Ditargetkan selesai pada tahun 2017
Program RPJMN
2015-2019
Nawa cita No.4 (Melakukan reformasi
system dan penegakan
hokum yang bebas korupsi, bermartabat
dan terpercaya)
Pernah masuk
pembahasan tk I di komisi III DPR
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 2
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang
Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain
yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia.
9. UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nations
Convention Against Corruption, 2003
(Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003)
2. RUU tentang Merek
Kementerian Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU: - UU No. 15/2001 tentang Merek tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat dan standar internasional, khususnya mengenai pendaftaran merek internasional (Protokol
Madrid);
- Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi internasional di bidang HKI sehingga perlu diimplementasikan dalam hukum nasional.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan: - Peningkatan Perlindungan terhadap Merek yang terdaftar; - Terbentuknya UU tentang Merek yang sesuai dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat dan standar internasional.
c. Jangkauan dan arah pengaturan: Pengaturan mengenai kemudahan pendaftaran merek dan memaksimalkan peningkatan perlindungan terhadap merek.
1. UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization);
2. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek:
3. UU No. 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian; 4. UU No. 7 tahun 2014
tentang Perdagangan.
Prioritas 2015
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Nawa Cita No. 6
(meningkatkan
produktifitas rakyat
dan daya saing di pasar internasional)
*)
**)
3. RUU tentang Paten
Kementerian Hukum dan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU: 1. Paten merupakan hak kekayaan intelektual yang diberikan oleh Negara
1. UU No. 7 Tahun 1994 tentang Agreement
Prioritas 2015
Sudah ada NA
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 3
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
HAM kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi yang mempunyai peranan strategis dalam meningkatkan kesejahteraan dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara;
2. peningkatan perlindungan Paten bagi Inventor dan/atau Pemegang Hak;
3. Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi internasional di bidang HKI sehingga perlu diimplementasikan dalam hukum nasional.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan: 1. perkembangan Paten dapat berdampak baik pada perkembangan
teknologi, sehingga diharapkan lebih meningkatnya jumlah invensi yang
dihasilkan oleh Inventor; 2. memberikan jaminan kepada Inventor dan/atau Pemegang Hak untuk
berinvestasi dan menanamkan modalnya sehingga akan memacu
perkembangan perekonomian Indonesia; 3. meningkatkan perlindungan hukum terhadap suatu Invensi yang telah
diberi Paten;
4. terbentuknya UU tentang Paten yang sesuai dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat dan standar internasional.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
1. Pengaturan mengenai kemudahan pendaftaran Paten dan memaksimalkan peningkatan perlindungan terhadap Paten;
2. Mengakomodasi ketentuan Article 31bis TRIPs Agreement mengenai
pengadaan obat atau produk farmasi untuk kepentingan kesehatan masyarakat dalam ketentuan lisensi-wajib.
Establishing the World Trade Organization
(Persetujuan
Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia);
2. UU No. 16 Tahun 2001
tentang paten; 5. UU No. 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian;
6. UU No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan;
3. UU No. 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak
Sehat;
4. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan
Varietas Tanaman;
5. UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sisitem
Nasional Penelitian
Pengembangan dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan
Teknologi; 6. UU No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan.
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Nawa Cita No. 6
(meningkatkan produktifitas rakyat
dan daya saing di
pasar internasional) *)
**)
4. Rancangan
Undang-
Undang tentang Perubahan
Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008
tentang
Kementerian
Komunikasi
dan Informatika
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Setidaknya ada 4 (empat) faktor yang melatar-belakangi dilakukannya
amandemen terhadap UU ITE. Pertama, adanya keberatan sebagian masyarakat terhadap Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik
dan/atau penghinaan melalui internet yang berujung pada constitutional
review Pasal 27 ayat (3). Kedua, adanya keberatan terhadap ancaman sanksi pidana pada Pasal 45 ayat (1) yang dinilai memberatkan dan tidak
proporsional dengan KUHP. Ketiga, Pasal 43 ayat (3) dan ayat (6) UU ITE
1. UU No 36 tahun 1999
tentang Telekomunikasi
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3. Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
Prioritas 2015
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai Harmonisasi
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 4
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Informasi dan Transaksi
Elektronik
dinilai menyulitkan aparat penegak hukum. Dan keempat, adanya pengujian konstitusional terhadap Pasal 31 ayat (4) tentang pengaturan
penyadapan melalui peraturan pemerintah.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan: Memberikan perlindungan keamanan kepada penyelenggara, serta kualitas
dan keamanan informasi kepada pengguna layanan;
Memperkuat implementasi e-government dengan mengutamakan prinsip keamanan, interoperabilitas dan cost effective;
Harmonisasi besaran sanksi pidana dan sinkronisasi hukum acara pada
tindak pidana teknologi informasi (UU ITE) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan peraturan perundang-undangan lain.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
1. Mengubah ketentuan Pasal 5 mengenai alat bukti elektronik; 2. Mengubah ketentuan Pasal 8 mengenai waktu pengiriman dan
penerimaan Informasi Elektronik;
3. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4) mengenai tata cara intersepsi;
4. Mengubah ketentuan Pasal 43 ayat (3) mengenai penggeledahan
dan/atau penyitaan; 5. Mengubah ketentuan Pasal 43 ayat (5) dengan menambahkan
kewenangan PPNS sesuai dengan procedural law yang diatur dalam
Convention on Cybercrime Budapest 2001; 6. Mengubah ketentuan Pasal 43 ayat (6) mengenai permintaan penetapan
ketua pengadilan negeri yang semula diatur dalam waktu 1 X 24 Jam,
menjadi sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Pidana;
7. Mengubah ketentuan Pasal 44, menyesuaikan dengan rujukan pada Pasal 5; dan
8. Mengubah ketentuan Pasal 45 mengenai besaran ancaman sanksi
pidana, menyesuaikan dengan ketentuan Pidana pada KUHP dan peraturan perundang-undangan yang lain.
5. RUU tentang
Rahasia Negara
Kementerian
Pertahanan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Dengan mempertimbangkan hak asasi setiap orang untuk memperoleh dan
menyampaikan informasi, maka RUU tentang Rahasia Negara membatasi
jenis rahasia negara dalam bidang-bidang tertentu, sehingga pejabat publik tidak dapat menetapkan sendiri rahasia tanpa berdasarkan ketentuan
1. UU No. 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan
Negara
2. UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Prioritas 2015
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 5
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
undang-undang. Pembatasan jenis rahasia negara dengan aturan yang lebih ketat dan penetapan jadwal retensi rahasia negara yang diselaraskan
dengan ketentuan yang berlaku diberbagai negara dimaksudkan untuk
mewujudkan efisiensi pengelolaan rahasia negara dan meringankan tugas
dan tanggung jawab pejabat publik.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Tersusunnya pengaturan tentang Rahasia Negara yang komprehensif, jelas dan tegas, batasan antara mana yang menjadi domain publik dan mana
yang harus dirahasiakan demi kepentingan bangsa. Kepastian hukum
tersebut juga berarti memperkecil/mempersempit daerah abu-abu (grey area) antara informasi publik dan rahasia.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
1. Memberikan kepastian dan kejelasan dalam menentukan informasi yang rahasia atau informasi yang bukan rahasia;
2. Memberikan perlakuan dan tindakan yang sama atas suatu informasi
berdasarkan kesepakatan antara negara dan masyarakat; 3. Pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan suatu kerahasiaan
berfokus pada akibat yang ditimbulkan apabila Rahasia Negara tersebut
bocor.
Informasi Publik 3. UU No. 17 Tahun 2011
tentang Intelijen Negara
Harmonisasi *)
**)
6. RUU tentang
Penerimaan Negara Bukan
Pajak
Kementerian
Keuangan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
1. Harmonisasi dengan UUD 1945 2. Menyesuaikan dengan Undang-undang di bidang Keuangan Negara
3. Menjawab tantangan permasalahan pengelolaan PNBP saat ini.
4. Mengantisipasi perkembangan pengelolaan PNBP ke depan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
1. Mempertegas dan memperjelas ruang lingkup PNBP 2. Mendukung optimalisasi pendapatan negara yang bersumber dari
Penerimaan Negara Bukan Pajak
3. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, melalui peningkatan akuntabilitas dan tranparansi pengelolaan PNBP antara lain dengan
meningkatkan fungsi pengawasan dan pemeriksaan PNBP.
c. Jangkauan dan arah pengaturan: 1. Ketentuan umum yang mempertegas definisi PNBP yang membedakan
1. UU No.17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
2. UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara
3. UU No. 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab
Keuangan Negara 4. UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman
Modal
5. UU Sektoral terkait Penerimaan Negara
Prioritas 2015
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Program RKP Tahun 2015
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 6
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
dengan pendapatan negara yang bersumber dari perpajakan dan hibah. 2. Tujuan pengaturan PNBP
3. Objek dan kelompok objek PNBP.
4. Subjek PNBP
5. Tarif atas rincian jenis PNBP 6. Kewenangan Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dalam
mengelola PNBP
7. Kewenangan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dalam mengelola PNBP 8. Mitra Instansi Pengelola PNBP
9. Perencanaan PNBP
10. Pelaksanaan PNBP (termasuk didalamnya mengenai pengawasan PNBP) 11. Pertanggungjawaban PNBP
12. Pemeriksaan PNBP
13. Pengembalian PNBP 14. Keberatan PNBP
15. Keringanan PNBP
16. PNBP Badan Layanan Umum
17. Ketentuan pidana di bidang PNBP 18. Ketentuan Peralihan dan Penutup
Bukan Pajak pada Kementerian
Negara/Lembaga
7. RUU tentang
Jaring
Pengaman Sistem
Keuangan
Kementerian
Keuangan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Untuk membangun sistem keuangan yang lebih siap menghadapi krisis dan
dalam menghadapi kemungkinan terjadinya gangguan yang berpotensi mengancam stabilitas sistem keuangan nasional, diperlukan mekanisme
koordinasi antar lembaga yang terlibat dalam pembinaan sistem keuangan
nasional, yang akan diatur dalam bentuk UU JPSK.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
1. Membentuk suatu mekanisme koordinasi yang efisiensi dan efektif
dalam menghadapi kondisi yang bersifat sistemik; 2. Menjaga stabilitas sistem keuangan dan melindungi kepentingan
pengguna jasa sektor keuangan di Indonesia.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
1. Pengaturan dan pengawasan yang efektif terhadap lembaga, pasar, dan
infrastruktur di sektor jasa keuangan 2. Fasilitas Lender of the Last Resort (LoLR)
3. Program penjamin nasabah bank
1. UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan
UU No. 6 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23
Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia; 2. UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan;
3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara;
4. UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan
Prioritas 2015
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai Harmonisasi
Program RKP Tahun
2015
Pernah masuk tahap pembahasan tk.I
komisi XI DPR
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 7
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
4. Kebijakan dan prosedur manajemen krisis keuangan, termasuk exit policy.
5. Koordinasi yang efektif antar lembaga yang berkewenangan dalam
rangka menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan yang
diatur dalam bentuk Undang-Undang.
Negara; 5. UU No. 24 Tahun 2002
tentang Surat Utang
Negara;
6. UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan;
7. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
8. UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
9. UU No. 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan;
10. UU No. 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun;
11. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
12. UU No. 24 Tahun 2002
tentang Surat Utang Negara;
13. UU No. 19 Tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah
Negara
8. RUU tentang
Perubahan
Harga Rupiah
Kementerian
Keuangan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
1. Penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau pecahan rupiah
tanpa mengurangi daya beli,harga atau nilai Rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa;
2. Dapat menjadi suatu cara untuk meningkatkan kepercayaan terhadap
mata uang rupiah; 3. Dapat mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara maju
lainnya di kawasan;
4. Dari sisi sistem pembayaran non tunai, redenominasi dapat mencegah terjadinya kendala teknis akibat jumlah digit yang besar;
5. Dapat menjadi kebijakan untuk mengantisipasi permasalahan akibat
1. UU No.23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UU No.6 Tahun 2009
2. UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
3. UU No.17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
4. UU No.20 Tahun 2008
Prioritas 2015
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Pernah masuk dalam
tahap pembahasan
Tk.I di Pansus DPR. *)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 8
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
nilai transaksi yang melampaui jumlah digit yang dapat ditolerir oleh infrastruktur sistem pembayaran dan sistem pencatatan transaksi, dan
6. Meningkatkan efisiensi transaksi perekonomian.
UU ini perlu segera diajukan karena untuk pelaksanaannya membutuhkan
waktu yang panjang, agar masyarakat terbiasa dengan perubahan nilai digit. UU ini bukan merupakan bentuk sanering (pemotongan nilai)
sehingga daya beli masyarakat menjadi turun.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah akan menjangkau dan
mengikat seluruh lapisan masyarakat terkait dengan penyederhanaan jumlah digit uang dan kewajiban atau larangan yang harus
dipatuhi.Dengan dilakukannya Redenominasi Rupiah, maka setiap
penggunaan atau penyebutan rupiah dalam harga atau nilai barang dan/atau jasa; pencatatan transaksi; peraturan perundang-undangan;
keputusan pengadilan;perjanjian,surat berharga; akta; dokumen keuangan;
bukti pembayaran dan dokumen lainnya,harus menggunakan atau
dinyatakan dalam rupiah redenominasi.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
1. Perkembangan perekonomian nasional yang menunjukkan kemajuan yang semakin signifikan memerlukan kebijakan yang mendukung
efisiensi perekonomian untuk meningkatkan daya saing nasional dalam
rangka mewujudkan cita-cita luhur bangsa menuju masyarakat adil dan makmur sesuai Pancasila dan UUD 1945.
2. Untuk memelihara kesinambungan perkembangan perekonomian
nasional sebagaimana tersebut diatas, diperlukan jumlah uang rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat;
3. Pada saat ini rupiah memiliki jumlah digit yang dinilai terlalu banyak,
sehingga efisiensi dalam transaksi ekonomi perlu diterapkan kebijakan perubahan harga mata uang melalui penyerdehanaan jumlah digit pada
denominasi uang rupiah tanpa mengurangi daya beli , harga atau nilai
tukarnya atau yang disebut redenominasi.
tentang Usaha Mikro,Kecil, dan
Menengah
5. UU No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
**)
9. RUU tentang
Perkoperasian
Kementerian
Koperasi dan UKM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 28/PUU-XI/2013 menyatakan UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian inkonstitusional secara
keseluruhan. Akibatnya UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
1. KUH Perdata
2. KUH Dagang 3. UU No. 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro,
Prioritas 2015
Tindak lanjut
putusan MK No. 28/PUU-XI/2013
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 9
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
yang telah dicabut untuk sementara waktu diberlakukan kembali, sambil menunggu diterbitkannya UU Perkoperasian yang baru yang sesuai
dengan filosofi Pasal 33 (1) UUD NRI Tahun 1945.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan Perlu diadakan pembaruan peraturan tentang perkoperasian karena UU
Koperasi lama yang diberlakukan kembali tidak sesuai dengan kebutuhan
perkembangan masyarakat.
c. Jangkauan dan Arah Pengaturan
- mengenai definisi koperasi tidak disamakan dengan badan hukum lainnya (PT., CV, dan Firma)
- badan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan
- adanya sistem penggajian pada pengurus tidak senafas dengan konsep
koperasi
- tidak lagi menggunakan Sertifikat Modal Koperasi yang menjadikan koperasi seperti saham seperti perseroan
- setoran pokok apabila keluar dari keanggotaan koperasi tidak dapat ditarik kembali menunjukkan sistem badan usaha yang “kejam”
- terjadi pertanggungjawaban terbatas bagi anggota koperasi
- tidak lagi dibatasi mengenai jenis koperasi pada: koperasi produsen, koperasi konsumen, koperasi jasa, koperasi simpan pinjam. Karena
eksis koperasi serba usaha
- perlu diintegrasikan dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Kecil dan Menengah 4. UUU No. 7 Tahun 2009
tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2008 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2004 Tentang
Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi
Undang-Undang
Nawa Cita No. 7
(mewujudkan kemandirian ekonomi
dan dengan
menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi
domestik) *)
**)
10. RUU tentang
Perubahan atas
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Kementerian
Tenaga Kerja
a. Latar Belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap
kurang memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh maupun pengusaha.
Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dengan tujuan memenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan
pekerja/buruh serta pengusaha.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2015-2019:
- Memperkuat daya saing tenaga kerja dalam memasuki pasar tenaga kerja global
- Menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan memperbaiki
1. Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang
Pengesahan ILO
3. Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection In Industry
And Commerce (Konvensi ILONomor 81
Prioritas 2015
*)
**)
Catatan :
Sudah 15 kali diajukan
Ke MK dan sudah 13 kali diputus beberapa
pasal tidak memiliki
kekuatan hukum
berlaku sehingga perlu diubah.
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 10
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
iklim ketenagakerjaan
- Peningkatan akses angkatan kerja kepada sumber daya produktif
- Mendorong pengembangan ekonomi pedesaan
- Memfungsikan pasar tenaga kerja
- Peningkatan akses angkatan kerja kepada sumber daya produktif
c. Jangkauan dan arah pengatuan:
- Beberapa pengertian
- Penempatan tenaga kerja.
- Pengaturan tenaga kerja asing
- Hubungan kerja.
- Penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain.
- Pengaturan mengenai waktu istirahat bagi pekerja/buruh.
- Pengupahan dan perlindungan upah.
- Mogok kerja.
- Penutupan perusahaan (lock out), dan
- Pemutusan hubungan kerja
Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam
Industri Dan
Perdagangan)
11. RUU tentang
Hubungan Keuangan
antara
Pemerintah Pusat dan
Daerah
(pengganti UU No. 33 Tahun
2004 tentang
Perimbangan Keuangan
Antara
Pemerintah
Pusat dan Pemerintah
Daerah)
Kementerian
Keuangan a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
1. Beberapa kelemahan dalam implementasi desentralisasi fiskal seperti: a. Masih terdapat ketimpangan fiskal antar daerah;
b. Kualitas pelayanan publik masih belum memadai;
c. Terdapat ketimpangan pelayanan publik antar daerah; d. Kualitas belanja daerah masih rendah.
2. Beberapa ketentuan mengenai sumber-sumber keuangan daerah belum
diatur dalam UU Perimbangan: a. UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai mengatur Dana Bagi Hasil
Cukai Tembakau;
b. UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, mengalihkan jenis pajak pusat yang sebelumnya dibagihasilkan yaitu BPHTB, PBB Perdesaan dan
Perkotaan menjadi pajak daerah;
c. UU APBN menetapkan berbagai jenis dana alokasi ke daerah (selain
DBH, DAU, DAK), seperti Dana BOS, Tunjangan Guru, Dana Insentif Daerah;
d. UU No. 21 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Otonomi
Khusus yang mengatur dana otonomi khusus. 3. UU Pemda baru (UU No. 23/2014) telah diberlakukan yang mengatur
1. UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
2. UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh Darussalam;
3. UU No. 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua;
4. UU No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan
Atas UU No. 12 Tahun
1985 Tentang Pajak
Bumi Dan Bangunan; 5. UU No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan
6. UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak
Prioritas 2015
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Perintah Pasal 18A UUD NRI Tahun 1945
Nawa Cita No. 3 (membangun
Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa
dalam kerangka
Negara kesatuan)
Mengganti UU No. 33 Tahun 2004 tentang
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 11
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
pembagian kewenangan pusat dan daerah, yang berimplikasi pada pembagian keuangan.
Tujuan Penyusunan:
1. Aspek Ketepatan Waktu memudahkan sinkronisasi antara UU Pemerintahan Daerah dan UU
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah tersebut, mengingat
substansi kedua UU tersebut sangat terkait erat. 2. Aspek Substansi
a. Penyesuaian dengan porsi kewenangan Propinsi dengan
Kabupaten/Kota dalam UU No 23 Tahun 2014. b. isu pokok yang memerlukan adanya perbaikan kebijakan melalui Revisi
UU No. 33 Tahun 2004 adalah:
1) Pengendalian pemekaran daerah: 2) Perbaikan pengelolaan keuangan dan kontrol belanja daerah:
3) Peningkatan kualitas SDM pengelola keuangan dearah:
4) Reformulasi sumber pendanaan daerah:
5) Surveillance kinerja keuangan daerah 6) Kinerja daerah juga merupakan salah satu point penting yang harus
selalu dimonitor dan dievaluasi oleh Pemerintah Pusat.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Tersusunnya peraturan perundang-undangan tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih
sederhana dan komprehensif (mengakomodir pengaturan dalam UU lain dan mengurangi PP yang sifatnya normatif).
- Terwujudnya acuan hukum tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang jelas, tegas, dan aplikatif.
- Terwujudnya kepastian hukum pendanaan bagi daerah.
- Terlaksananya pengelolaan sumber daya penyelenggara pelayanan publik yang efektif, tepat guna dan tepat sasaran
- Terwujudnya pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik
- Terwujudnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
- Pemberian sumber keuangan negara kepada Pemerintahan Daerah dalam
Dan Gas Bumi; 7. UU No. 31 Tahun 2001
Tentang Perikanan;
8. UU No. 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara;
9. UU No. 27 Tahun 2003
Tentang Panas Bumi; 10. UU No. 18 Tahun 2004
Tentang Perkebunan;
11. UU No. 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan
Bencana; 12. UU No. 39 Tahun 2007
Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang
No. 11 Tahun 1995 Tentang Cukai;
13. UU No. 36 Tahun 2008
Tentang Perubahan Keempat Atas UU No.
7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan; 14. UU No. 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah
Dan Retribusi Daerah.
Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan
Daerah
Pernah masuk tahap pembahasan tingkat I di Pansus DPR
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 12
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
rangka pelaksanaan desentralisasi di dasarkan atas pembagian urusan (money follows function);
- pemberian kewenangan yang lebih besar dalam pengenaan pajak dan retribusi dan melakukan pinjaman.;
- Pengaturan mengenai dana perimbangan harus sesuai standar pelayanan minimum (SPM);
- Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan daerah harus mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang baik seperti transparan, akuntabel, efisien dan efektif dan sejalan dengan pengaturan keuangan
negara.
12. RUU tentang
Kekarantinaan Kesehatan
Kementerian
Kesehatan
a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan RUU:
• Kemajuan teknologi transportasi dan era perdagangan bebas, dapat beresiko menimbulkan gangguan kesehatan dan penyakit baru atau
penyakit lama dengan penyebaran yang lebih cepat dan berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, sehingga menuntut adanya upaya cegah tangkal penyakit dan aktor resiko kesehatan
secara komprehensif dan terkoordinasi.
• UU No. 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan UU No. 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara sudah tidak lagi dengan perkembangan
dan tuntutan kebutuhan hukum masyarakat.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan: • Untuk mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya yang besar
artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia
Indonesia. • Melaksanakan kewajiban sebagai masyarakat dunia, dalam menccegah
terjadinya kedaruratan kesehatan yang meresahkan/public health
emergency o internasional concern sebagaimana diamanatkan dalam Internasional Health Regulation (IHR) 2005.
c. Jangkauan dan arah pengaturan: • Pengaturan mencakup:
• Asas pengaturan
• Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah
• Kedaruratan kesehatan masyarakat • Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan
1. UU No.1 Tahun 196
tentang Karantina Laut 2. UU No. Tahun 96
tentang Karantina
Udara 3. International Health
Regualtioan (IHR) 2005
4. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
5. UU No. 4 Tahun 1984
tentang abah Penyakit
Menular 6. UU No. 16 Tahun 1992
tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan
7. UU No. 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian 8. UU No. 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran
9. UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
10. UU No. 10 Tahun 1995
diubah UU 17 Tahun
2006 tentang Kepabeanan
• Prioritas 015
• Ada NA • Ada draf RUU
• Sudah selesai
diharmonisasi *)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 13
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
• Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di ilayah • Dokumen karantina kesehatan
• Sumber daya kekarantinaan kesehatan
• Inormasi kekarantinaan kesehatan
• Pembinaan dan pengaasan • Penyidikan
11. UU No. 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan
Ibadah Haji
13. RUU tentang
Bahan Kimia
Kementerian
Perindustrian
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Latar Belakang: • Bahan kimia merupakan bahan strategis, memiliki nilai tambah dan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
• Pengelolaan dan penggunaan bahan kimia yang salah (misuse) serta
penyalahgunaan bahan kimia (abuse) berisiko terhadap keselamatan dan keamanan.
• Pengaturan tentang pengelolaan bahan kimia selama ini tersebar dalam
berbagai instrumen hukum. • Harmonisasi simbol/label dan pengelolaan bahan kimia pada setiap
simpul daur hidup sesuai kaidah Internasional (GHS & SAICM).
• Amanah DPR RI agar RUU Bahan Kimia masuk dalam “Prolegnas 2010-2014”.
Tujuan Pembentukan:
• Mewujudkan sistem klasifikasi dan komunikasi Bahan Kimia secara harmonis.
• Mengoptimalkan nilai tambah Bahan Kimia.
• Mencegah dan mereduksi risiko.
• Mewujudkan industri kimia hijau, berdaya saing, dan berkesinambungan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
1. Pengaturan tentang Pengelolaan bahan kimia dimaksudkan pula untuk mendorong terciptanya program hilirisasi industri kimia baik bahan
kimia yang bersumber terbarukan maupun tidak terbarukan,
sebagaimana dituangkan dalam program MP3EI (Master Plan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).
2. Mendorong penguasaan Riset dan Teknologi untuk meningkatkan nilai tambah produk kimia dan daya saing industri serta mewujudkan
industri hijau yang berkelanjutan.
1. Undang-Undang No. 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
2. Undang-Undang No. 5
Tahun 1984 tentang
Perindustrian. 3. Undang-Undang No. 9
Tahun 2008 tentang
Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan
Penggunaan Bahan
Kimia Sebagai Senjata Kimia.
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai Harmonisasi
**)
Perlu dikaji lagi untuk
kematangan materi
NA+RUU
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 14
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
1. Sistem klasifikasi, komunikasi bahaya dan risiko, serta kemasan bahan
kimia.
2. Pengelolaan bahan kimia pada setiap simpul daur hidup. 3. Keselamatan dan keamanan kimia pada setiap simpul daur hidup.
4. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
5. Riset dan pengembangan.
14. RUU tentang
Perubahan atas
Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan
Usaha Milik Negara
Kementerian
BUMN
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), menunjukan bahwa Negara masih mempunyai peranan dalam perekonomian. Peranan itu ada 2 (dua)
macam yaitu sebagai gulator dan sebagai aktor yang berupa Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
- Sebagai actor, BUMN menyelenggarakan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
- Regulasi yang ada rentan menyeret tindakan BUMN ke ranah korupsi.
- Pemahaman terhadap aset BUMN apakah merupakan keuangan negara atau bukan, masih menimbulkan perdebatan. Bila melihat karakteristik
BUMN, khususnya yang berbentuk Persero, Pasal 11 UU No. 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menyebutkan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang
berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Hal ini berarti bahwa di dalam BUMN juga berlaku pemisahan harta kekayaan badan hukum dari
harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian penyertaan
saham, yang mulanya dimilki negara, apabila kemudian disertakan dalam BUMN Persero secara demi hukum telah menjadi kekayaan Persero.
- Dibutuhkan analisa dan penyelidikan yang cukup untuk menentukan terjadinya perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara
atau hanya sekadar risiko bisnis.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Mendorong BUMN dalam meningkatkan pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat;
- keseimbangan antara kepentingan bisnis dan kepentingan penegakan hukum dalam BUMN;
1. Pasal 33 UUD NRI
Tahun 1945
2. UU No. 40 tahun 2007
tentang PT 3. UU No. 17 tahun 2003
tentang Keuangan
Negara 4. UU No. 20 Tahun 2001
tentagn Tipikor
5. UU No. 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara
6. UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan
Tanggung Jawab
Keuangan Negara 7. UU No. 15 tahun 2006
tentang BPK
Prioritas 2015
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Nawa Cita No. 6
(mendorong BUMN
menjadi agen pembangunan)
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 15
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- penguatan BUMN yang bersih dan tetap dalam tujuannya untuk menciptakan keuntungan bagi Negara.
c. Arah dan jangkauan:
Yang perlu direvisi terkait hal-hal sebagai berikut:
1. Maksud dan tujuan pendirian BUMN. 2. Perlakuan khusus terhadap BUMN dengan banyaknya peraturan
perundang-undangan yang ikut mengatur BUMN.
3. Sumber penyertaan modal negara terhadap BUMN 4. Penegasan pemberlakukan sistem pengelolaan PT terhadap
pengelolaan Persero
5. Penegasan menteri sebagai wakil negara selaku pemegang saham 6. Pengertian kekayaan negara yang dipisahkan
7. Modal perum tidak terbagi atas saham
8. Pengertian Menteri. Maksudnya, menimbulkan kerancuan karena secara prinsip kedudukan menteri dapat sebagai pemegang saham dan
sekaligus sebagai pejabat publik
9. Rumusan pengertian persero
10. Istilah Privatisasi. Privatisasi diartikan sebagai penyerahan kepemilikan saham kepada masyarakat. Hal ini kurang sejalan dengan
protokol pasar modal yang mengartikan go private sebagai
pengembalian saham 11. Privatisasi, dan cabang-cabang produksi penting yang dikecualikan.
12. Restrukturisasi
13. Pemeriksaan 14. Aturan bagi BUMN yang saham pemerintahnya kurang dari 51%
15. Pelaporan Investasi Pemerintah dan pelaporan neraca BUMN, bahwa
kedua hal tersebut merupakan dua hal yang berbeda, saling berhubungan dalam nilai, namun tidak saling berhubungan dalam hal
pertanggungjawaban dan pengelolaan
16. Pertanggunjawaban direksi pra dan pasca jabatan.
17. Calon anggota direksi dan internal perusahaan. 18. Larangan jabatan rangkap dalam kampanye pemilu
19. Banyak ketidakjelasan dalam pengaturan perum.
20. Saham BUMN menajdi penyertaan modal pemerintah pusat dalam rangka pendirian BUMN.
21. Penetapan unit instansi pemerintah sebagai BUMN
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 16
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
22. Ketentuan PSO (Public Service Obligation). 23. Pemeriksaan eksternal.
24. Karyawan BUMN yang diangkat menjadi direksi
25. Kedudukan direksi, dewan komisaris, Dewan pengawas dan karyawan
bukan sebagai penyelenggara negara dan pemerintah. 26. Penegasan piutang BUMN bukan piutang negara.
27. Sinergi BUMN, dimana dalam UU BUMN belum mengatur masalah ini.
28. Permohonan pailit terhadap BUMN.
15. RUU tentang
Perubahan
atas Undang-
Undang No. 11 Tahun 1992
tentang Dana
Pensiun
Kementerian
Keuangan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
1. Kebutuhan masyarakat akan ketentuan mengenai dana pensiun yang
lebih jelas dan tegas.
2. Dinamika industri dana pensiun dan lembaga keuangan lainnya. 3. Berbagai tantangan untuk mengembangkan dana pensiun di Indonesia.
4. Sinkronisasi dengan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan.
b. Sasaran yang ingin di wujudkan:
Meningkatkan fleksibilitas skema program dan aspek prudensial bagi dana
pensiun untuk mempercepat perkembangan dana pensiun. c. Jangkauan dan arah pengaturan:
Pengaturan mengenai dana pensiun dan jasa pihak ketiga yang terkait
dengan penyelenggaraan dana pensiun.
1. UU No. 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
2. UU No. 40 Tahun 2014 tentang Usaha
Perasuransian.
3. UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan dan
perubahannya. 4. UU No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja. 5. UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan dan
perubahannya.
6. UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
dan perubahannya.
7. UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
8. UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial
Nasional. 9. UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Program RKP Tahun
2015
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 17
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Syariah.
16. RUU tentang
Pengurusan Piutang Negara
dan Daerah
Kementerian
Keuangan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
1. Pengurusan Piutang Negara tidak hanya mencakup pengurusan piutang Pemerintah Pusat, tetapi juga piutang BUMN/BUMD yang dananya
berasal dari instansi pemerintah dan disalurkan melalui pola channeling
atau risk sharing. Pengurusan Piutang Pemerintah Daerah dapat diatur dalam RUU ini.
2. Memberikan landasan hukum dalam upaya optimalisasi hasil
pengurusan Piutang Negara, yang ditempuh dengan cara yang lebih
efektif dan efisien dengan memperhatikan hak asasi manusia, asas keadilan, kepastian hukum, pemulihan hak negara, asas transparansi,
dan asas akuntabilitas.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
1. Peningkatan hasil pengembalian piutang negara.
2. Harmonisasi dalam peraturan pengurusan piutang BUMN. 3. Efisiensi lembaga yang mengurus piutang negara.
c. Jangkauan dan arah pengaturan: Materi RUU Pengurusan Piutang Negara/Daerah memuat:
1. Ketentuan Umum
2. Ruang Lingkup Pengurusan Piutang Negara/Daerah
3. Kewenangan Pengurusan Piutang Negara/Daerah 4. Penatausahaan, Pelaporan, Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan
Piutang Negara/Daerah
5. Tata Cara Pengurusan Piutang Negara/Daerah 6. Hak Mendahulu
7. Sanksi
8. Ketentuan Lain-lain 9. Ketentuan Peralihan
10. Ketentuan Penutup
1. UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
2. UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU No.
10 Tahun 1998. 3. UU No. 19 Tahun 2003
tentang BUMN.
4. UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara.
5. UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Program RKP Tahun
2015
Pernah masuk tahap
pembicaraan tk. I di
komisi XI DPR
*) **)
17. RUU tentang
Perubahan atas Undang-Undang
No. 8 Tahun 1995 tentang
Kementerian
Keuangan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Kebutuhan masyarakat akan ketentuan mengenai pasar modal yang lebih jelas dan tegas.
- Kemandirian otoritas pengawas jasa keuangan, termasuk pasar modal sangat diperlukan agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan
1. UU No. 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 18
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Pasar Modal
efisien.
- Lemahnya struktur organisasi bursa yang berlandaskan keanggotaan.
- Adanya kecenderungan global dalam pengelolaan SRO menuju konsep
demutualisasi lembaga bursa.
- Sinkronisasi dengan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Otoritas pengawas pasar modal (sebagai bagian dari sektor jasa keuangan) yang independen, baik dari sisi kemandirian dalam pelaksanaan tugas dan fungsi maupun kemandirian dari sisi struktur
organisasi.
- SRO dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik serta mampu mengatasi tantangan atau perkembangan saat ini.
- Tidak terjadi conflict of interest antara Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek dan/atau perantara Pedagang Efek dengan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi.
- Menumbuhkan market confidence melalui penegakan hukum yang tegas dan konsisten serta terkoordinasi dengan aparat penegak hukum.
- Perusahaan memiliki alternatif pembiayaan perusahaan yang makin beragam dan investor memiliki lebih banyak pilihan dalam berinvestasi.
- Pasar Modal Indonesia dapat segera menyerap perkembangan yang dicapai Negara lain dan mampu berdaya saing yang baik terhadap pasar modal Negara lain.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
- Ketentuan hukum yang secara khusus memberikan landasan bagi otoritas pasar modal untuk dapat melakukan tugas dan fungsinya
secara independen.
- Kepemilikan saham bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian.
- Perubahan karakter perusahaan dari non profit oriented menjadi profit oriented.
- Jenis saham.
- Ketentuan terkait dengan akuntansi.
- Jenis-jenis transaksi yang dilakukan oleh emiten atau Perusahaan Publik.
- Kewenangan regulator.
sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan UU No.
6 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank
Indonesia; 3. UU No. 40 Tahun 2014
tentang Usaha
Perasuransian; 4. UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No.
10 Tahun 1998;
5. UU No. 19 Tahun 2003
tentang BUMN; 6. UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan
Terbatas. 7. UU No. 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun;
8. UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara;
9. UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara.
Program RKP Tahun
2015 *)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 19
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- Penerapan prinsip syariah di pasar modal.
- Perusahaan efek.
- Koordinasi dengan aparat penegak hukum.
18. RUU tentang
Penilai
Kementerian
Keuangan a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Latar belakang: Meningkatnya kegiatan perekonomian masyarakat telah mendorong
kebutuhan akan jasa penilai baik di sektor pemerintahan maupun di
sektor privat. Selain itu, perkembangan dalam bidang akuntansi saat ini
juga menunjukkan arah yang menuntut entitas bisnis untuk melaporkan kekayaan perusahaannya dengan nilai wajar yang didasarkan pada opini
penilaian. Kewajaran penyajian laporan keuangan akan sangat bergantung
pada hasil kerja penilai. Dalam bidang pembiayaan properti oleh perbankan, profesi Penilai sangat berperan untuk menentukan tingkat
pembiayaan yang dapat diberikan perbankan kepada nasabah.
Saat ini pengaturan mengenai Penilai dan hasil penilaian yang dilakukan oleh Penilai Pemerintah dan Penilai Swasta masih bersifat sektoral dan
belum dibentuk/ditunjuk institusi sebagai regulator yang menaungi
Penilai Pemerintah dan Penilai Swasta. Peraturan yang bersifat sektoral ini tentunya tidak akan cukup kuat untuk menaungi semua kepentingan yang
berkaitan dengan profesi Penilai.
Tujuan:
1. Memberikan kepastian hukum kepada Penilai, hasil penilaian dan stakeholder.
2. Membantu mengantisipasi adanya ketentuan/peraturan di bidang lain
yang semakin memerlukan peran Penilai. 3. Memberikan kesetaraan hukum pengaturan profesi Penilai.
4. Menguatkan fungsi kelembagaan terkait dengan pembinaan dan
pengawasan Penilai 5. Membantu mencegah terjadinya krisis ekonomi.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan untuk mewujudkan Penilai yang
profesional dalam rangka mendorong terselenggaranya tata perekonomian yang stabil, transparan dan akuntabel, serta memberikan kepastian hukum
bagi Penilai, hasil penilaian, dan stakeholder. c. Jangkauan dan arah pengaturan:
Pembinaan, pengaturan, dan/atau pengawasan atas:
1. UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU No.
10 tahun 1998.
2. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
3. UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara.
4. UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan
Negara.
5. UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara.
6. UU No. 49 Prp. Tahun
1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai Harmonisasi
*)
**) judul: RUU ttg Penilaian
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 20
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
1. Jenis-jenis Penilai, yaitu Penilai Pemerintah Beregister, Penilai Publik Beregister, Penilai Pemerintah Bersertifikat, dan Penilai Publik
Bersertifikat.
2. Pengangkatan Penilai Pemerintah Beregister dan Penilai Publik
Beregister. 3. Pemberian izin dan pencabutan izin Penilai Pemerintah Bersertifikat
dan Penilai Publik Bersertifikat.
4. Bidang jasa Penilai, yaitu bidang properti dan bidang bisnis. 5. Kantor Jasa Penilai Publik.
6. Kerjasama dengan Kantor Jasa Penilai Publik Asing.
7. Penggunaan Penilai Asing. 8. Imbalan jasa Penilai.
9. Kode etik dan standar penilaian.
10. Kewenangan Menteri Keuangan dalam pembinaan dan pengawasan Penilai.
11. Sanksi administrasi bagi Penilai.
12. Sanksi pidana bagi penilai, pengguna jasa, dan pihak lain yang terkait.
19. RUU tentang Lelang
Kementerian Keuangan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU: Latar Belakang:
- Dasar hukum Lelang di Indonesia adalah Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189
sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3),
sebagai produk peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan hukum nasional bangsa Indonesia saat
ini.
- Lelang menjadi suatu bagian penting yang tidak terpisahkan dari sistem hukum nasional karena dalam beberapa peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, lelang merupakan salah satu sarana penegakan hukum untuk menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan: 1. Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan untuk mewujudkan lelang
yang transparan, akuntabel, efisien, efektif, sehat, kompetitif, dan
wajar, serta memberikan perlindungan hukum kepada Pembeli, jaminan dan kepastian hukum, dan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak
terkait yang melakukan pelanggaran.
1. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata)
Stbl1847 No.23).
2. RBG s.1927/227 dan RIB/HIR Stb. 1941
No.44.
3. UU No. 49 Tahun 1960 tentang PUPN.
4. UU No. 8 tahun 1981
tentang Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
5. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
6. UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU No.
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 21
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
2. mengatur mengenai lelang yang menggunakan teknologi informasi secara online.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Pengaturan ini bertujuan memberikan landasan hukum yang kuat untuk
menjamin hak dan kewajiban para pihak yang menggunakan lelang, menjamin rasa keadilan dalam masyarakat, memberikan motivasi kepada
masyarakat untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui lelang,
memelihara integritas Pejabat Lelang dan melindungi kepentingan profesi Pejabat Lelang sesuai standar dan kode etik profesi. Selain itu untuk
memberikan landasan hukum Lelang sebagai penjualan barang yang
terbuka untuk umum.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
1. Ketentuan Umum. 2. Asas dan Tujuan.
3. Prinsip-prinsip Lelang.
4. Ruang Lingkup.
5. Penyelenggara Lelang. 6. Balai Lelang.
7. Penyelenggaraan Lelang.
8. Pejabat Lelang. 9. Imbalan Jasa.
10. Akta Lelang.
11. Bea Lelang, Meterai, dan Biaya Administrasi. 12. Pembinaan.
13. Sanksi Administrasi.
14. Ketentuan Pidana. 15. Ketentuan Peralihan.
16. Penutup.
10 tahun 1998. 7. UU No. 4 Tahun 1996
tentang Hak
Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah.
8. UU No. 19 Tahun 1997 jo Undang-Undang No.
19 Tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
9. UU No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia.
10. UU No. 1 Tahun 2004
Tentang
Perbendaharaan Negara.
11. UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
12. UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS.
13. UU No. 19 Tahun 2004
tentang Kehutanan. 14. UU No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
20. RUU tentang
Bank Sentral/Bank
Indonesia
Kementerian
Keuangan
d. Latar belakang dan tujuan pengaturan
Latar belakang: - Implikasi pembentukan OJK. Dengan disahkannya UU OJK dan
terbentuknya OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan yang semula
berada di Bank Indonesia beralih kepada OJK, sehingga perlu dilakukan penyesuaian pada UU BI.
- Dalam konteks central bank governance, amandemen UU BI diperlukan
1. UU No 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU No
10 Tahun 1998 2. UU No 24 Tahun 1999
tentang Lalu Lintas
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 22
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
untuk memperkuat aspek legal dan akuntabilitas mandat tugas Bank Indonesia. Pemisahan kewenangan pengaturan & pengawasan
mikroprudensial (OJK) dengan makroprudensial (BI) telah diamanatkan
secara jelas dalam UU OJK. Sementara, UU BI belum mengakomodir
penyesuaian kewenangan tersebut. Tujuan pengaturan:
- Penguatan kelembagaan dan akuntabilitas Bank Indonesia sebagai
lembaga negara (state organ) yang diberikan mandat oleh konstitusi untuk menajalankan fungsi negara di bidang moneter;
- Menyempurnakan landasan hukum pelaksanaan tugas Bank Indonesia,
termasuk fungsi dan perannya paska pengalihan pengaturan dan pengawasan bank ke OJK. Hasil Financial Stability Assesment Program (FSAP) menyimpulkan bahwa BI memerlukan mandat yang eksplisit
untuk berperan dalam stabilitas sistem keuangan dan melaksanakan
fungsi makroprudensial yang efektif. e. Sasaran yang ingin diwujudkan :
- Mewujudkan penataan kelembagaan otoritas sistem keuangan (otoritas
moneter, fiskal, dan jasa keuangan), sebagai prioritas awal dalam upaya membangun arsitektur sistem keuangan Indonesia. Penataan
kelembagaan masing-masing otoritas perlu diprioritaskan sebelum
dilakukan penataan terhadap industri keuangan. Kejelasan tujuan, ruang lingkup tugas, dan kewenangan masing-masing otoritas serta
mekanisme koordinasi antar otoritas diperlukan sebagai acuan dalam
mengatur industri keuangan Indonesia. - Harmonisasi dengan berbagai undang-undang yang memiliki
keterkaitan erat dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia, antara lain
UU Mata Uang (yang mengatur kewenangan BI dalam pengelolaan
Rupiah), serta UU Transfer Dana (yang mengatur kewenangan BI terkait perizinan kegiatan transfer dana).
f. Jangkauan dan Arah pengaturan dalam RUU ini:
- Memperjelas tujuan BI, yaitu mencapai mencapai dan memelihara stabilitas harga serta ikut mendorong terpeliharanya Stabilitas Sistem
Keuangan.
Kestabilan harga merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, upaya untuk mencapai stabilitas makroekonomi
tidak cukup hanya mencapai inflasi yang rendah. Sejumlah krisis yang
terjadi dalam beberapa dekade terakhir, semakin meyakinkan bahwa
Devisa dan Sistem Nilai Tukar
3. UU No 24 Tahun 2002
tentang Surat Utang
Negara 4. UU No 17 Tahun 2003
tentang Keuangan
Negara 5. UU No 1 Tahun 2004
tentang
Perbendaharaan Negara
6. UU No 19 Tahun 2008
Tentang Surat Berharga Syariah
Negara
7. UU No 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah
8. UU No 7 Tahun 2009
tentang Lembaga Penjamin Simpanan
9. UU No 3 Tahun 2011
tentang Transfer Dana 10. UU No 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang
11. UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 23
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
ketidakstabilan makroekonomi lebih banyak bersumber dari sektor sistem keuangan. Untuk itu, bank sentral perlu berperan dalam
mendukung terwujudnya stabilitas sistem keuangan.
Kejelasan tujuan Bank Indonesia akan meningkatkan akuntabilitas
dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang mencakup: a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b) menetapkan dan
melaksanakan kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang
rupiah; dan c) menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan termasuk makroprudensial.
- Tugas dan kewenangan di bidang moneter
Untuk menunjang mandat sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia memerlukan kewenangan secara menyeluruh yakni menetapkan
pengaturan/kebijakan, memberikan perizinan transaksi dan pelaku
usaha, melakukan pengawasan dan pemeriksaan, serta mengenakan sanksi.
Kebijakan moneter meliputi pengelolaan suku bunga, nilai tukar,
likuiditas, dan lalu lintas devisa. Mengingat tugas pengelolaan nilai tukar
ada di Bank Indonesia, maka pengelolaan cadangan devisa dan pengaturan dan pengembangan pasar uang dan pasar valas menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan moneter.
- Tugas dan Kewenangan di Bidang Makroprudensial Krisis keuangan yang terjadi di berbagai negara membuktikan bahwa
kebijakan makroprudensial diperlukan untuk mengidentifikasi dan
memitigasi terjadinya krisis keuangan kedepan, guna mencegah dampak negatifnya terhadap perekonomian.
Disamping itu, disahkannya UU No. 21 tahun 2011 tentang OJK,
menegaskan peran Bank Indonesia sebagai systemic regulator. Selain mencegah terjadinya systemic risk, upaya untuk menjaga stabilitas
sistem keuangan dilakukan dengan memperluas akses masyarakat
termasuk UMKM terhadap jasa lembaga keuangan. Untuk itu, kebijakan
makroprudensial mencakup pula kegiatan keuangan inklusif. - Tugas dan Kewenangan di Bidang Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran merupakan unsur pendukung penting bagi
transmisi kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan. Sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan transaksi non tunai dan pesatnya
perkembangan teknologi sistem pembayaran diperlukan pengelolaan
sistem pembayaran yang semakin aman dan efisien.
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 24
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Di sisi lain, UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang menegaskan kewenangan Bank Indonesia dalam pengelolaan uang Rupiah, yang
meliputi kegiatan merencanakan, mencetak, mengeluarkan,
mengedarkan mencabut dan menarik dari peredaran, serta
memusnahkan uang Rupiah. Untuk menjaga keaslian dan kualitas uang Rupiah yang beredar, Bank Indonesia juga perlu mengatur dan
mengawasi kegiatan pengolahan uang Rupiah.
- Akses Data dan Informasi Saat ini Bank Indonesia tidak lagi memiliki payung hukum kewenangan
untuk mendapatkan data, informasi, dan keterangan yang berasal dari
perbankan karena pasal yang mengatur kewenangan tersebut (Pasal 28 UU BI) dicabut oleh UU OJK. Satu-satunya pasal yang memungkinkan
Bank Indonesia untuk memperoleh data adalah melalui survei (pasal 14).
Implikasi dari tidak diaturnya kewenangan memperoleh data, informasi, dan keterangan melalui sarana lain di luar survei, pada gilirannya dapat
menimbulkan permasalahan dan menghambat proses perolehan data,
informasi, dan keterangan yang diperlukan dalam rangka pengambilan
kebijakan dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia. - Modal Bank Indonesia
Keunikan karakteristik bank sentral membedakan fungsi permodalan di
bank sentral dengan permodalan di entitas komersial. Kinerja bank sentral utamanya ditentukan dari keberhasilan dalam pencapaian
tujuannya, dan tidak dapat diukur dari seberapa baik bank sentral
tersebut dapat mengembangkan usaha dengan modal yang dimilikinya. Dengan keunikan tersebut, batasan jumlah modal minimal dan
pengaturan penambahan modal dalam UU bank sentral dipandang tidak
terlalu relevan. - Hubungan dengan Pemerintah
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengamanatkan
pengelolaan keuangan negara dikelola dalam suatu sistem pengelolaan yang dapat dipertanggung jawabkan dan ditujukan untuk kemakmuran
rakyat. Salah satunya, adalah mengamanatkan penempatan uang
negara di bank sentral (Treasury Single Account). Pasal 27 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mengamanatkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan rekening
Pemerintah Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah membuka
Rekening Kas Umum Daerah pada bank yang ditentukan oleh
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 25
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
gubernur/bupati/walikota. Yang dimaksudkan dengan pengertian bank dalam pasal 27 ayat (1) dapat diinterpretasikan sebagai bank sentral.
Pengelolaan uang negara di bank sentral tidak hanya berdampak pada
sisi fiskal semata seperti memperkuat akuntabilitas dan efisiensi
penggunaan uang negara, namun juga berdampak pada sisi moneter yaitu pengelolaan likuiditas dan pengendalian suku bunga untuk
mendukung kebijakan kestabilan moneter. Uang negara yang disimpan
di bank sentral sebelum digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, akan mengurangi dampak ekspansif moneter, sehingga
berdampak positif terhadap perekonomian, yang berujung pada
kemakmuran rakyat.
21. RUU tentang
Perubahan atas UU No 10 tahun
1998 tentang
Perbankan
Kementerian
Keuangan
a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan RUU
Di Indonesia peran lembaga perbankan mencapai sekitar 90% dari sistem keuangan nasional. Mengingat demikian penting peran dari lembaga
tersebut, maka perlu ditopang dengan perangkat hukum dan perundang-
undangan yang kokoh, kuat dan kredibel (terpercaya), yang mana isi pasal-pasalnya tidak bertentangan satu sama lain, tidak sering direvisi/
diamandemen, tidak menimbulkan salah tafsir dan dapat diterapkan
(aplikabel).
b. Sasaran yang ingin diwujudkan
- Terbentuknya UU perbankan yang jelas, transparan, tidak menimbulkan multitafsir dan dapat diterapkan, tidak menimbulkan
tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan terkait, sehingga memberikan pemahaman yang sama terhadap konstruksi
hukum perbankan.
- terwujudnya perbankan yang sehat, tumbuh dengan wajar dan menopang pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
c. Jangkauan dan Arah pengaturan dalam RUU
- fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan oleh OJK
- pembinaan terhadap perbankan secara nasional
- ketentuan pidana yang memberikan sanksi pengganti (subsider), yang selama ini tidak diatur dalam UU 10 Tahun 1998
1. UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia
2. UU Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah
3. UU No 21 tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
4. UU No 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
5. UU No 1 Tahun 2004
tentang
Perbendaharaan Negara
6. UU No 7 Tahun 2009
tentang Lembaga Penjamin Simpanan
7. UU No 3 Tahun 2011
tentang Transfer Dana 8. UU No 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang
**)
22. RUU tentang Kementerian a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU: 1. UU No. 17 Tahun 2003 Proses Penyusunan
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 26
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Pengelolaan Kekayaan
Negara
Keuangan - Merupakan amanah dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23 dan Pasal 33;
- Perlunya pengaturan pengelolaan kekayaan negara potensial yang memberikan hak secara lebih proporsional kepada para stakeholders;
- adanya permasalahan antar sektoral, antar pemerintah, atau antar pemerintah dengan pihak lain terkait dengan pengelolaan kekayaan negara.
- penerimaan negara yang dihasilkan dari pengelolaan sumber daya alam belum optimal.
- investasi pemerintah dan pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah belum dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi penerimaan negara dan daerah.
- keseimbangan antara utilisasi kekayaan negara dan perlindungan hak negara dan masyarakat belum terjamin.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Republik Indonesia memiliki satu undang-undang yang mengatur pengelolaan kekayaan negara secara komprehensif sebagai landasan
bagi tercapainya pengelolaan kekayaan negara yang memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
- Adanya jaminan keseimbangan hak-hak negara, mitra investor dan
masyarakat
- Menciptakan kehidupan masyarakat makmur, sejahtera, bermartabat dan berkeadilan.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
- mengatur pengelolaan sumber daya alam yang dikuasai Negara
- mengatur pengelolaan kekayaan yang dimiliki negara berupa Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) serta investasi pemerintah dalam bentuk
kekayaan negara dipisahkan.
- pengawasan dan pengendalian pengelolaan kekayaan negara,
- penyusunan neraca kekayaan negara,
- penguatan aspek fiskal penerimaan negara.
- mengatur mekanisme penyelesaian permasalahan antar sektor pemerintahan, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, atau
antar pemerintah daerah, dan antar pemerintah dengan pihak lain terkait dengan pengelolaan kekayaan negara
tentang Keuangan Negara
2. UU No.1 tahun 2004
tentang
Perbendaharaan 3. UU No.19 Tahun 2003
tentang BUMN
4. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria
5. UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan
6. UU No.7 Tahun 2004
tentang sumber daya air
7. UU No.32 tahun 2009
tentang Pengelolaan
lingkungan hidup 8. UU No.16 tahun 1992
tentang karantina
hewan dan tumbuhan 9. UU No.4 Tahun 2009
tentang Minerba
10. UU No.1 tahun 1973 tentang landas
kontinen
11. UU No.11 tahun 1974 tentang pengairan
12. UU No.12 tahun 1992
tentang budi daya tanaman
13. UU No.29 Tahun 2000
tentang varietas
tanaman 14. UU No.5 tahun 1990
tentang sumber daya
alam hayati dan
NA
Sudah ada Draft
RUU
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 27
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
ekosistem
23. Revisi UU No.5 Tahun 1960
tentang Pokok-
Pokok Agraria.
Kement Agraria dan Tata
Ruang
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Argaria dan Sumber Daya Alam, salah satunya mengamanatkan tentang perlunya
mengadakan pembaharuan agraria dan sumber daya alam, dengan
menginventarisir dan merevisi peraturan perundang-undangam bidang
Pertanahan.
- UUPA yang diterbitkan pada tahun 1960 perlu ditinjau ulang guna mengantisipasi perkembangan ilmu, teknologi, politik, sosial
ekonomi,budaya serta perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap
tanah tanpa meninggalkan prinsip-prinsip yang ada.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, guna tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia;
- Adanya system pengelolaan pertanahan yang efisien dan efektif.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
- Mengubah pasal-pasal terkait system pendaftaran (mengubah dari stelsel negatif menjadi stelsel positif);
- Penggabungan muatan RUU pertanahan yang terkait dengan penyederhanaan hak atas tanah, reforma agrarian, pembentukan
pengadilan pertanahan
1. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
2. UU No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. 3. UU No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya
Air
4. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil 5. UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
6. UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang
7. UU No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman
8. UU No. 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan 9. UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan
Daerah
Nawa cita no. 5:
Meningkatkan kualitas
hidup manusia Indonesia.
*)
24. RUU tentang
perubahan atas Undang-Undang
Nomor 39
Tahun 2004
Kementerian
Tenaga Kerja
a. latar belakang penyusunan RUU:
- Ketentuan yang mengatur tentang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri belum mampu memberikan perllindungan
1. Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 28 E ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 28 G,
Nawa cita no. 1
(melindungi hak dan keselamatan warga
Indonesia di luar
negeri khususnya
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 28
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
tentang
penempatan
dan
perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia Luar
Negeri
yang menyeluruh.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia mengandung ketidakpastian
hukum, pembagian tugas dan wewenang yang tidak proporsional antara
pemerintah dan swasta sehingga menimbulkan ketidakefektifan hukum,
dan sistem perlindungan dan pengelolaan yang kurang berpihak kepada Pekerja Indonesia di Luar Negeri.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Terlindunginya Pekerja Indonesia di luar negeri;
- Memeprkuat daya saing tenaga kerja dalam memasuki pasar tenaga kerja global.
c. Arah dan jangkauan:
- Ketentuan Umum
- Asas, tujuan dan ruang lingkun
- hak dan kewajiban Pekerja Indonesia di LN
- Perlindungan terhadap Pekerja Indonesia di LN
- Tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah
- Pelaksana Penempatan Pekerja Indonesia di LN
- Penyelesaian sengketa
- Sanksi administratif
- Penyidikan
Pasal 28 I ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 29
Undang-Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan 3. UU No. 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian
4. UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri
pekerja migrant)
D
alam Residu 2010-
2014 adalah inisiatif
DPR, dan diperiode
ini Siap diambil oleh
Kementerian Tenaga
Kerja
P
ernah masuk tahap
pembahasan Tk.I di
Pansus DPR, RUU
diprakarsai DPR
*)
**)
25. RUU tentang Perubahan atas
Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang
Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan
a. Latar belakang dan Tujuan Penyusunan: UU No 8 tahun 1999 masih menemukan kendala antara lain kekeliruan
dan kelemahan pengaturan di dalam UU Perlindungan Konsumen itu
sendiri, seperti aspek gramatika undang-undang, sistematika undang dsb. b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Terlindunginya konsumen dari pengusaha
c. Arah dan Jangkauan Pengaturan:
- Sistematika undang-undang akan memisahkan secara jelas dan tegas antara tanggungjawab pelaku usaha barang dan tanggung jawab pelaku
usaha jasa, karena secara hukum kedua jenis tanggungjawab tersebut
memiliki perbedaan yang mencolok
- Jenis tanggung jawab pelaku usaha akan terdiri dari dua jenis yaitu tanggungjawab kontraktual yaitu tanggung jawab pelaku usaha berdasarkan kontrak yang dibuatnya, dan tanggung jawab produk
1. UUD 1945, Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat
(1), Pasal 27 dan Pasal
33 2. Undang Undang No. 5
tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha
Usaha Tidak Sehat 3. Undang-undang No.
30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian
Nawa Cita No. 5 (menigkatkan
kualitas hidup
manusia Indonesia) *)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 29
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
(product liability) yaitu tanggung jawab pelaku usaha barang bergerak atas dasar tanggung jawab langsung(strict liability)
- Penyelesaian sengketa konsumen akan dipisahkan secara tegas antara penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi dan penyelesaian
secara non litigasi dibatasi dalam gugatan tertentu
- Penyelesaian sengketa konsumen secara non litigasi yang dilakukan melalui BPSK dapat digambarkan sebagai berikut: 1) gugatan konsumen terhadap pelaku usaha harus diputuskan oleh
BPSK dalam waktu 21 hari kerja;
2) Putusan BPSK bersifat final dan mengikat 3) Dalam 7 hari kerja setelah putusan BPSK, pelaku usaha wajib
melaksanakan putusan tsb
4) Baik pelaku usaha maupun konsumen dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri dalam tenggang waktu 14 hari kerja terhitung
sejak putusan BPSK dan pengadilan negeri harus memberikan
putusan dalam waktu 21 hari kerja;
5) Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan ke MA dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak putusan pengadilan negeri
dan MA harus memutuskan dalam waktu 30 hari;
6) Apabila pelaku usaha maupun konsumen tidak mengajukan keberatan dan si pelaku usaha juga tidak melaksanakan putusan
BPSK dalam tenggang waktu 7 hari terhitung sejak putusan BPSK,
maka BPSK wajib menyerahkan kasus tersebut kepada penyidik
- Kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang berbagai lembaga akan ditata kembali.
Sengketa 4. UU Jaminan Produk
Halal
5. Pasal 29-31 UU OJK
6. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001
tentang Pembinaan
Pengawasan dan Penyelenggaraan
Perlindungan
Konsumen 7. SE Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri No.
235/DJPDN/VII/2001 tentang Penanganan
Pengaduan Konsumen
yang ditujukan kepada
seluruh dinas Indad Prop/Kab/Kota
8. Peraturan OJK1 tahun
9. SE Dirjen Perdagangan DN No.
795/DJPDN/SE/12/2
005 tentang Pedoman Pelayanan Konsumen
26. RUU tentang
Ketentuan Umum
Perpajakan
Kementerian
Keuangan
a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan:
- Pajak memiliki fungsi budgeter dan regulasi yang merupakan produk kebijakan pemerintah dibidang fiscal yang telah mengalami perubahan sejak Indonesia merdeka hingga saat ini. Sistem perpajakan senantiasa
disesuaikan dengan perubahan kondisi sosial ekonomi Indonesia.
- Reformasi System perpajakan mengarah pada system yang lebih sederhana, menunjang pemerataan, memberikan kepastian hukum dan keadilan
- Upaya meningkatkan mutu pelayanan dan profesionalisme petugas perpajakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap
1. Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
2. Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan
Sudah ada NA
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 30
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
pengelolaan administrasi perpajakan
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Menegakan kemandirian Indonesia dalam membiayai pembangunan nasional
- Meningkatkan penerimaan pajak dari wajib pajak
- Membuat beban pajak akan makin adil dan wajar
- Menerapkan konsep good governance dan meningkatkan kinerja istansi pajak
- Meningkatkan penegakan hukum pajak dalam pelaksanaan administrasi perpajakan baik bagi petugas pajak maupun wajib pajak
- Memberikan dampak yang positif dalam bidang ekonomi.
c. Jangkauan dan arah pengaturan :
- siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak.
- Objek apa saja yang menjadi objek pajak.
- Kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah.
- Timbul dan hapusnya utang pajak.
- Cara penagihan pajak.
- Cara mengajukan keberatan dan banding.
- Menyikapi kemajuan teknologi dan informasi saat ini perlu diatur tentang system pembayaran pajak secara online baik melalui internet banking
ataupun via atm
- Pengaturan kembali terkait self assessment yang lebih bijak sehingga tidak menimbulkan ketakutan bagi wajib pajak untuk melakukan
penghitungan sendiri atas beban pajak yang harus dibayar
- Pengaturan mengenai lembaga kasasi pada perkara sengketa pajak yang timbul.
Surat Paksa 4. Undang-undang Nomor
20 Tahun 2000 tentang
Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB)
5. Undang-Undang nomor
36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
6. Undang-Undang nomor
42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah
27. RUU tentang
Pajak Penghasilan
Kementerian
Keuangan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Pertumbuhan perekonomian domestik dan ekonomi global telah memicu beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam perekonomian
Indonesia. Perubahan ekonomi domestik dapat diklasifikasikan menjadi
dua bagian besar yaitu perubahan yang disebabkan oleh pembentukan
entitas baru berdasarkan undang-undang dan perubahan yang disebabkan oleh perkembangan transaksi ekonomi. Perubahan yang
disebabkan oleh pembentukan badan/entitas baru yang dibentuk
berdasarkan undang-undang misalnya adalah pembentukan Otoritas
1. Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal
2. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro
Kecil dan Menengah
3. Undang-Undang
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
*)
Catatan:
Terhadap 4 RUU Paket
Perpajakan ini (RUU tentang Pajak
Penghasilan, Pajak Bumi
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 31
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Jasa Keuangan, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Desa, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Perubahan yang disebabkan oleh
perkembangan transaksi ekonomi misalnya on-line transaction, e-money,
dan lainnya. Hal-hal tersebut merupakan hal baru yang selama ini belum
diakomodasi dalam peraturan perpajakan Indonesia, khususnya instrumen pajak penghasilan. Kedua perubahan perekonomian domestik
tersebut apabila tidak disikapi dengan perubahan peraturan, baik terkait
subjek pajak akibat terbentuknya entitas-entitas baru maupun objek pajaknya terkait perkembangan transaksi baru, dapat menyebabkan loss penerimaan pajak yang pada akhirnya menyebabkan tax ratio Indonesia
tetap rendah.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi
masyarakat serta untuk mewujudkan sistem perpajakan di bidang Pajak Penghasilan yang harmonis serta dapat lebih memberikan keadilan,
kepastian hukum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu
dilakukan perubahan atau penyempurnaan terhadap Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berlaku saat ini atau dengan membentuk Undang-
Undang Pajak Penghasilan baru.
c. Jangkauan dan Arah pengaturan
Secara garis besar beberapa muatan pengaturan dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang perlu diharmonisasikan antara lain mengenai definisi, subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, konsep biaya, dan hal-hal
yang terkait dengan perpajakan internasional (khususnya terkait General Anti Avoidance Rules dan Specific Anti Avoidance Rules).
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara
4. 24. Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah
5. 29. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009
(Undang-Undang KUP)
dan Bangunan, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Barang
Mewah dan RUU
tentang Bea Materai) dalam forum diusulkan untuk digabung.
Akan tetapi ada penolakan dari
Kementerian Keuangan
dengan pertimbangan
tidak bisa digabung karena jenisnya
berbeda-beda dan
kompleks.
Disepakati untuk
sementara simplifikasi 4 RUU ini diberi catatan
dan akan dibawa pada
pembahasan Tim Pengarah.
28. RUU tentang
Pajak Bumi dan
Bangunan
Kementerian
Keuangan
a. Latar Belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang didasarkan pada azas kenikmatan dan
manfaat, dan dibayar setiap tahun. Pajak Bumi dan Bangunan pengenaannya didasarkan pada Undang-undang No. 12 tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No.12 tahun 1994. Namun demikian dalam perkembangannya Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan dan
perkotaan menjadi pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang
No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
1.Undang-undang Nomor
49 Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara
2. Undang-undang Nomor
19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 32
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- Pajak Bumi dan Bangunan adalah Pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek Pajak.
- Ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan
- Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, oleh sebab itu
perlu peningkatan peran serta masyarakat,
- Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang/badan yang
mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu wajar apabila kepada mereka diwajibkan memberikan
sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada
negara melalui pajak.
Pengadilan Pajak. 4. Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan
6. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara
29. RUU tentang
Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan
Barang Mewah
Kementerian
Keuangan
a. Latar Belakang
Dalam rangka memenuhi target penerimaan PPN di masa yang akan
datang, Pemerintah akan menghadapi tantangan-tantangan yang tidak ringan. Selain karena tingginya angka penerimaan yang hendak dicapai,
pengenaan PPN juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan kegiatan
bisnis baik regional maupun internasional. Perkembangan ekonomi global yang sangat pesat telah menghilangkan batas-batas yuridiksi yang
sebelumnya menjadi penghambat dalam transaksi bisnis antar negara.
Selain itu, penggunaan dan perkembangan e-commerce telah menciptakan
jenis dan pola transaksi baru yang sama sekali berbeda dengan jenis dan pola yang ada sebelumnya. Lebih lanjut, hal lain yang juga harus
mendapatkan perhatian yang besar adalah penerapan prinsip-prinsip
pemungutan pajak yang baik yang mengedepankan keadilan, kepastian hukum, dan kesederhanaan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan : - Terwujudnya VAT Efficiency Ratio yang optimal dalam rangka
menunjang penerimaan negara dari sektor pajak.
- Terwujudnya sistem administrasi PPN yang handal, terpercaya, efektif, dan efisien dengan menggunakan teknologi informasi terkini.
1. UU No 6 Tahun 1983
Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah
terakhir dengan UU No 16 Tahun 2009
2. PP Nomor 12 Tahun
2006 Tentang Perubahan Ketujuh
Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 145
Tahun 2ooo Tentang Kelompok Barang Kena
Pajak Yang Tergolong
Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah
3. PP Nomor 1 Tahun 2012 Tentang
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 33
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- Terwujudnya peraturan PPN yang mengakomodasi perkembangan transaksi global, teknologi terkini, dan keadilan atas hak dan kewajiban
Wajib Pajak.
c. Jangkauan dan arah Pengaturan - Penyempurnaan dan perubahan terkait Pengusaha Kena Pajak.
- Penyempurnaan dan perubahan terkait objek Pajak Pertambahan Nilai.
Penyempurnaan dan perubahan terkait Objek PPN dilakukan dengan cara:
- penyederhanaan objek PPN;
- perluasan objek PPN: penegasan atas objek PPN terkait transaksi jasa keuangan;
- penyempurnaan lainnya terkait dengan objek PPN
- Penyempurnaan dan perubahan terkait tarif Pajak Pertambahan Nilai - Penyempurnaan dan perubahan terkait Faktur Pajak
- Penyempurnaan dan perubahan terkait mekanisme Pajak
Pertambahan Nilai lainnya
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai
Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah
Terakhir Dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang
Pajak Pertambahan
Nilai Barang Dan Jasa
Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
4. PP Nomor 47 Tahun
2013 Tentang Pemberian Pembebasan
Pajak Pertambahan
Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan
Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah Kepada Perwakilan Negara
Asing Dan Badan
Internasional Serta Pejabatnya
5. PP Nomor 144 Tahun
2000 Tentang Jenis
Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai
6. PP Nomor 71 Tahun
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 34
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
2012 Tentang Perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai Atas
Penyerahan Avtur
Untuk Keperluan Angkutan Udara Luar
Negeri
30. RUU tentang
Bea Materai
Kementerian
Keuangan a. Latar Belakang
- Sumber Penerimaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagian berasal dari penerimaan Pajak, Pajak Penghasilan, Pajak
pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang mewah, Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak lainnya termasuk penerimaan dari Bea
Meterai.
- Saat terutang Bea Meterai sangat perlu diketahui karena akan menentukan besarnya tarif Bea Meterai yang berlaku dan juga berguna
untuk menentukan daluarsa pemenuhan Bea Meterai dan denda admininistrasi yang terutang.
- Aturan tentang Bea Materai (UU No. 13 Tahun 1985) perlu disesuaikan dengan kondisi perkembangan saat ini.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai yang antara
lain mengatur tariff pengenaan Bea Meterai yang berlaku, saat ini hanya
ada 2 (dua) yaitu Rp.3.000,- dan Rp.6.000,- dan tariff tersebut merupakan tariff maksimum sebagaimana dalam Undang-undang nomor 13 tahun
1985 tentang Bea Meterai. Penerimaan pajak dari Bea Meterai sangat kecil
sekali dibandingkan dengan jenis pajak lain mengingat objek yang dikenakan bea meterai terbatas pada dokumen tertentu dengan tarif yang
berdasarkan Undang-undang No 13 Tahun 1985 sudah merupakan tariff
yang tidak bisa ditingkatkan lagi, kondisi tersebut menunjukkan bahwa Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 dirasakan sudah tidak sesuai
dengan perkembangan dan keadaan sekarang. Selain itu juga perlu
pengaturan sanksi secara tegas bagi penyalahgunaan selain meterai temple dan kertas meterai.
1. Undang-undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-undang Nomor
6 Tahun 1984 tentang Pos.
3. Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
*)
31. RUU Perubahan atas UU 24
Tahun 2004
Kementerian Keuangan
a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan: Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) didirikan dalam rangka memberikan
kepastian hukum terhadap para penyimpan dana pada bank, terkait
1. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
2. UU No.23 Tahun 1999
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 35
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
tentang Lembaga
Penjamin Simpanan
adanya resiko yang dihadapi nasabah terhadap kemungkinan rush dan pembekuan izin usaha suatu bank. Dengan adanya penjamin, diharapkan
nasabah dapat lebih mempercayai lembaga perbankan dalam menyimpan
dananya yang dapat digunakan untuk pembayaran pembanggunan namun
demikian dalam menjalankan tugas dan fungsinya, masih ada ketidakpastian hukum terkait pelaksanaan penjaminan dana nasabah
serta pelaksanaan tugas pokok memelihara stabilitas sistem perbankan
nasional oleh karena itu perlu ada perubahan atas UU No. 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan: Penegasan kewenangan LPS dalam penyelesaian dan penanganan bank
gagal berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik .
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
Pengaturan mengenai penyelesaian dan penanganan bank gagal berupa
kewenangan penjualan saham Bank gagal
Pengaturan mengenai dana yang terkumpul dari surat berharga yang diterbitkan Pemerintah
Pengaturan mengenai kerahasiaan bank terkait penyelesaian dan
penanganan bank gagal.
tentang Bank Indonesia 3. UU No.21 Tahun 2008
tentang Perbankan
Syariah.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
Jaring Pengaman
Sistem Keuangan 5. UU No. 6 Tahun 2009
Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun
2008 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
6. UU No.21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan
32. RUU tentang Penjaminan
Polis
Kementerian Keuangan
a. Latar Belakang: Perintah UU No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, pasal 53. Perlu
adanya kepastian hukum bagi pemegang polis, tertanggung maupun
peserta bahwa dana yang telah diserahkan kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan asuransi syariah bahwa dananya aman dan tidak menjadi
objek sengketa dalam hal terjadi likuidasi terhadap perusahaan tersebut.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan :
- Menciptakan sistem perasuransian yang sehat dan stabil
- Memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemegang polis, tertanggung dan peserta.
1. UU No 40 tahun 2014 tentang Perasuransian
2. UU No 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan
3. Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Menunggu Hasil Koordinasi Bappenas-Kementerian Keuangan-BPHN
**) judul: RUU Pemegang Jaminan
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 36
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
c. Jangkauan dan Arah pengaturan dalam RUU ini :
- pelaksana program penjaminan polis dan keorganisasiannya
- Kepesertaan, nilai jaminan, bentuk program penjaminan polis,
prosedur/mekanisme penyelanggaran program penjaminan polis.
- Pengaturan tentang keadaan likuidasi perusahaan asuransi/asuransi syariah, mekanisme penyelesaian dan penanganan
- Mekanisme pelaporan dan akuntabilitas
- Mekanisme pemberian sanksi
Perbendaharaan Negara
Polis
33. RUU tentang Perubahan
atas Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak
Daerah dan Retribusi
Daerah
Kementerian Keuangan
a. Latar Belakang :
- Ada ketidaksingkronan terkait PAD dan DAU daerah
- Kurang nya pengawasan mengenai pajak dan retribusi daerah
- Mendukung otonomi daerah.
b. Sasaran Yang ingin diwujudkan :
- Pemberian keleluasaan pemerintah daerah dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah
- Optimalisasi Pengelolaan dan Pengawasan terhadapkebocoran Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
- Pengembalian kewenangan pembatalan perda kepada Mendagri
- Pengelolaan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) Sektor Perdesaan Dan Perkotaan (P2) dilakukan bagi hasil
- Pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan disesuaikan dengan kondisi daerah.
c. Jangkauan dan arah pengaturan :
- Perbaikan Sistem Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
(PDRD)
- Pengawasan Pengadilan Pajak
- Pencegahan dan pemberantasan korupsi pajak.
- Pengawasan Pungutan Daerah
- Kewenangan Pembatalan Perda
- Pengelolaan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) Sektor Perdesaan Dan Perkotaan (P2)
- Pengawasan Perda-Perda yang Berlaku di Daerah dan Bermasalah
- Pengaturan mengenai kewenangan daerah dalam pemungutan pajak dan retribusi
- inisatif atau prakasa kreatif daerah untuk memungut pajak dan retribusi
1. UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
2. UU No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah
3. UU No 30 Tahun 2014 tentang Adminiistrasi
Pemerintahan
Sudah ada NA
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 37
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
34. RUU tentang Perubahan Atas
UU No. 5 Tahun
1990 tentans
Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati
dan Ekosistem
Kementerian LH dan
Kehutanan
a. Latar Belakang dan Tujuang Penyusunan RUU: Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan
untuk menjaga kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung,
fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
Sebagai kawasan yang berperan sebagai pertahanan terakhir pelestarian biodiversitas dan ekosistem di Indonesia, kawasan konservasi atau KPH-
Konservasi merupakan kawasan dimana fungsi 3P (Perlindungan,
Pemanfaatan dan Pengawetan) diprioritaskan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Meningkatkan kualitas fungsi dan kelestarian hutan konservasi serta keanekaragaman hayati di dalamnya.
- Meningkatkan 10% jumlah populasi dari 25 species terancam punah dengan tahun dasar 2013.
- Terbentuknya KPHK sebanyak 50 unit.
- Meningkatkan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai keekonomian KEHATI.
- Menyempurnakan panduan mengenai langkah-langkah untuk pengelolaan dan pemanfaatan KEHATI secara berkelanjutan.
- Meningkatnya kapasitas sumber daya manusia dalam pemanfaatan keekonomian keanekaragaman hayati (KEHATI) dan jasa lingkungan secara berkelanjutan untuk sumber bahan baku dari sandang pangan,
papan, obat-obatan, kosmetik, energi alternatif, dan ekowisata.
- Termanfaatkannya produk hasil keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan
masyarakat.
- Terwujudnya peluang untuk pengembangan dan pemanfaatan teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dan
jasa lingkungan secara berkelanjutan.
- Meningkatnya jumlah kerja sama jasa lingkungan untuk meningkatkan nilai transaksi dan penerimaan negara dari pemanfaatan jasa lingkungan kawasan hutan khususnya dari jasa lingkungan air, karbon, pariwisata
alam, dan bioprospecting untuk produksi obat-obatan, kosmetika dan
bahan makanan
- Meningkatnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari ekspor tanaman dan satwa liar serta bioprospecting.
1. UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif
2. UU No. 5 Tahun 1994
tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang
Keanekaragaman Hayati
3. UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
PERPU No. 1 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang
4. UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang
5. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup 6. UU No. 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan
7. UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa 8. Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
Nawa Cita No. 1
(mengamankan kepentingan dan
keamanan maritim
Indonesia, khususnya batas Negara,
kedaulatan Negara dan
sumber daya alam)
*)
**) judul: RUU ttg Keanekaragaman Hayati
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 38
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
c. Jangkauan dan Arah Pengaturan:
- memberikan kewenangan dan keleluasan bagi pengelola kawasan Hutan Konservasi di tingkat tapak untuk melindungi kawasan Hutan Konservasi,
meningkatkan kualitas habitat Hutan Konservasi, mengawetkan spesies
serta sumber daya genetik dan mendorong terselenggaranya pemanfaatan
jasa lingkungan Hutan Konservasi sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar dan di dalam kawasan Hutan
Konservasi.
- Selain itu disempurnakan dengan memasukkan beberapa aturan prinsip dimana kebijakan pengelolaan kawasan konservasi harus memberikan ruang pada keterlibatan Pemerintah Daerah secara lebih substantif, dan
peran Pemerintah Pusat diarahkan sebagai fasilitator
- peran serta masyarakat yang genuine, akses informasi, pengakuan dan jaminan atas hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, pengakuan
dan penghargaan terhadap institusi-institusi lokal dan pelibatan institusi tersebut di dalam pengelolaan kawasan konservasi, serta penegakan
hukum.
35. RUU tentang Pelestarian dan
Pemanfaatan
Sumber Daya
Genetik
Kementerian LH dan
Kehutanan
a. Latar belakang
- Indonesia memilili beragam sumber daya genetic dan pengetahuan
tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetic, yang berlimpah dan bernilai ekonomi, sehingga perlu dijaga kelestariannya dan
keseimbangannya agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan
sebagai sumber daya pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat pembukaan konstitusi.
- Akses terhadap sumber daya genetic dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetic harus diberikan berdasarkan
persetujuan dari penyedia sumber daya genetic dan pengetahuan tradisoonal yang berkaitan dengan sumber daya genetic.
- Pemanfaatan sumber daya genetic dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetic harus memberikan keuntungan
yang adil dan seimbang kepada penyedia sumber daya genetic dan
pengetahuan tradisional yang berkaitan.
b. Sasaran yang ingin Diwujudkan:
- terlindunginya Sumber daya genetic
- menjamin pembagian keuntungan (financial maupun non finansiao) yang
1. Undang-Undang
Nomor 5 tahun
1990 tentang
Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya;
2. Undang-Undang
Nomor 12 tahun
1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman;
3. U
ndang-undang Nomor 16 tahun
1992 tentang
Karantina Hewan,
Ikan danTumbuhan
• Sudah ada NA dan • Sudah ada RUU
• Perlu komunikasi
dengan direktorat
sector di Bapenas, Karena tidak masuk
dalam RPJMN,
koordinasi untuk penyelarasannya
dengan RPJMN
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 39
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetic yang berkaitan dengan sumber daya genetic kepada penyedia sumber daya genetic
berdasarkan kesepakatan bersama.
c. Arah dan Jangkauan Pengaturan:
- Lingkup Perlindungan
- Permohonan Izin Akses Pemanfaatan
- Tim Ahli Pengetahuan Tradisional dan
- Ekspresi Budaya Tradisional
- Perjanjian Pemanfaatan
4. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun
1994 tentang
Pengesahan Konvensi PBB
mengenai
Keanekaragaman Hayati (United
Nations Convention
on Biological Diversity--UNCBD);
5. U
ndang-Undang Nomor 23 tahun
1997 tentang
Pengelolaan
Lingkungan Hidup; 6. U
ndang-Undang
Nomor 29 tahun 2000 mengenai
Perlindungan
Varietas Tanaman;
7. U
ndang-Undang Nomor 18 tahun
2002 tentang
Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi.
8. UU Paten
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 40
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
36. RUU tentang Perubahan UU
No. 25 Tahun
2004 Sistem
Perencanaan Pembangunan
Nasional
Kementerin Perencanaan
Pembangunan
Nasional/
Bappenas
Arah Perubahan yang akan diatur:
1. Memperjelas dan mensinergikan definisi beberapa peristilahan;
2. Penambahan tahapan dalam Perencanaan Pembangunan Nasional
3. Peningkatan Sinergi Pusat dan daerah dalam hal :
Perencanaan dan Penganggaran
Pengendalian dan evaluasi
Penataan Regulasi
4. Mensinergikan muatan materi antar dokumen perencanaan pembangunan
nasional dan dokumen perencanaan yang lain, seperti RTRW
5. Mengatur kembali (Re-arrange)mengenai time line waktu penetapan
dokumen perencanaanpembangunan nasional
1. UU No. 17 Tahun 2007tentang Rencana
Pembangunan Jangka
Panjang Nasional
2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara;
4. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
5. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
6. UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan
Aceh Darussalam; 7. UU No. 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua;
Nawacita : berdikari dalam bidang
ekonomi (Penguatan
Fiskal). Perlu ada sinergi
antara perencanaan dan penganggaran sehingga
UU ini perlu dirubah.
*)
37. RUU tentang
Perubahan atas
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak
dan Gas Bumi
Kementerian
Energi dan
Sumber Daya
Mineral (ESDM)
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU;
- Perlunya tata ulang kebijakan migas yang tertuang dalam UU No. 22 /2001, mengingat banyaknya kelemahan dari regulasi tersebut di hulu
maupun hilir.
- Kebutuhan akan perubahan dan restorasi tata kelola migas nasional.
- Perlunya penyelarasan dengan beberapa Putusan MK yang membatalkan beberapa pasal dalam UU 22 Tahun 2001 terutama terkait dengan kelembagaan Migas.
- Adanya perubahan paradigma Migas bukan lagi sebagai sumber penerimaan negara tetap untuk ketahanan energi dan memberikan nilai
tambah bagi perekonomian nasional.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Mengembalikan kedaulatan Negara atas SDA migas
- Tata kelola migas yang berpihak pada kepentingan nasional
1. Pasal 33 UUD NRI
Tahun 1945
2. UU Nomor 4 Tahun
2009 tentangMinerba 3. UU No. 1 Tahun 2004
tentang
Perbendaharaan Negara
4. UU No. 20 Tahun 2007
tentangPenerimaan Negara BukanPajak
5. UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan
Sudah ada NA
(sedang perbaikan
Internal)
Target prioritas: 2016
Nawa Cita No. 7
(mewujudkan
kedaulatan energy melalui kebijakan
pengurangan
impor energy minyak dengan
mningkatkan
eksplorasi dan
eksploitasi migas
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 41
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- Sinergi antara kepentingan nasional dan kebutuhkan investasi internasional, sehingga peran perusahaan nasional menjadi lebih jelas. Sehingga ada kejelasan peran dan tugas perusahaan nasional untuk
menjalankan agenda nasional untuk mendorong terciptanya keadaan
yang berpihak kepada nasional.
- tata kelola kegiatan usaha, baik di hulu maupun hilir sehingga memperjelas pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab dari masing-masing pihak.
- Sinergi kepentingan nasional dan kebutuhan investasi internasional dengan tetap mengedepankan kedaulatan negara.
- Pemberdayaan peran serta daerah dalam partisipasi pengusahaan Migas di wilayahnya.
- Adanya peran daerah dalam pengelolaan migas. No. 22/2001 sebenarnya sudah mencoba menempatkan isu regional, antara bagi hasil dan ikut serta (partisipating interest), namun pemberian porsi dan keikutsertaan
daerah dalam pengelolaan migas masih belum jelas.
c. Jangkauan dan Arah Pengaturan:
- Tata kelola migas nasional yang berpihak pada kepentingan nasional.
- Mempertegas diversifikasi dan konversi BBM ke non BBM.
- Larangan penggunaan asset Negara berupa cadangan migas di perus Bumi sebagai agunan oleh perushaan migas.
- Menegaskan bahwa perusahaan asing/swasta hanya sebagai kontraktor atau sebatas penggarap, bukan sebagai pemilik cadangan.
Hanya Negara (perusahaan Negara) yang boleh melakukan kolateral atas
asset cadangan migas dan boleh mengagunkan cadangan migas untuk memperoleh pinjaman dari
- Penguatan peran Migas untuk ketahan energi nasional termasuk pengaturan mengenai cadangan Migas nasional dan cadangan strategis
bahan bakar.
- Penataan kembali tata kelola Migas pada kegiatan usaha hulu dan hilir
Migas yang berpihak pada kepentingan nasional, terutama penataan kelembagaan yang efektif dan efisien.
- Memperkuat peran PT Pertamina (Persero) dalam mengelola Migas nasional.
- Pemanfaatan dana dari hasil kegiatan hulu Migas (plowback) untuk upaya pencarian cadangan Migas untuk mendukung ketahanan energi
Pemerintahan Daerah 6. UU No. 17 Tahun
2007tentang Rencana
Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 7. UU No. 24 Tahun 2007
tentang
Penanggulangan Bencana
8. UU No. 25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal
9. UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
10. UU No. 30 Tahun 2007
tentang Energi 11. UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan
Terbatas 12. UU No. 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional
13. UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
dalam dan luar negeri,
peningkatan
efisiensi BUMN
penyedia energy Indonesia
(Pertamina, PLN,
PGN), pembangunan
pipa gas dan
pengembangan energy
terbarukan)
Catatan RPT :
- Prakarsa sebelumnya DPR
- Dikarenakan adanya putusan MK
mengenai BHP
MIgas, sehingga perlu ada perbaikan
NA dan penyesuaian
mengenai masalah kelembagaan
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 42
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
nasional.
- Penerapan lex specialist dalam perpajakan dalam kegiatan usaha hulu
Migas.
- Penerapan insentif dalam kegiatan usaha hilir Migas
- Memperkuat diversifikasi bahan bakar dan konversi BBM ke Gas dan
Nabati
- Penguatan pembangunan infrastruktur Migas.
- Pemberdayaan potensi dalam negeri, termasuk jasa penunjang Migas.
Penguatan kompetensi tenaga kerja nasional di bidang Migas.
38. RUU tentang Perubahan atas
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan
Batubara
Kementerian Energi dan
Sumber Daya
Mineral (ESDM)
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU;
- Penyesuaian pembagian kewenangan usaha pertambangan Minerba
sehubungan dengan terbitnya UU N. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, khususnya terhadap kewenangan.
- Tindak lanjut dari Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
- Terdapat beberapa kendala dalam praktik/pelaksanaan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba.
- Evaluasi Tata Kelola Mineral dan Batubara
- Beberapa pasal dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah dibatalkan MK, sehingga perlu perubahan
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
- Meningkatnya nilai tambah komoditas mineral dan pertambangan di dalam negeri; dan
- Terlaksananya kegiatan pertambangan yang memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan (Sustainable Mining).
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
- Jangkauan pengaturan dari perubahan UU Minerba ini adalah untuk mengubah ketentuan dalam UU Minerba yang memiliki pengaruh terhadap kewenangan daerah.
- Arah pengaturan adalah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sekaligus meningkatkan daya saing produk tambang.
1. UU Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. UU Pengelolaan
Keuangan Negara
3. UU Perpajakan 4. UU Perindustrian
5. UU Pemerintahan
Daerah 6. UU Kehutanan
7. UU Penataan Ruang
Sudah ada Analisis
dan Evaluasi Minerba
Nawa Cita No. 7
(mewujudkan
kedaulatan energy melalui kebijakan
pengurangan impor
energy minyak dengan
meningkatkan eksplorasi dan
eksploitasi migas
dalam dan luar negeri, peningkatan efisiensi
BUMN penyedia energy
Indonesia (Pertamina, PLN, PGN),
pembangunan pipa gas
dan pengembangan energy terbarukan)
**)
39. RUU tentang
Perubahan atas Undang-
Kementerian
Kebudayaan dan Pendidikan
a. Latar Belakang:
UU No 20 Tahun 2003 telah 7 (tujuh) kali diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan mahkamah konstitusi dalam hal ini
1. UU No 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi
• Sudah ada NA
• Nawa Cita No. 8 (merevolosi karakter
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 43
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Undang Nomor
20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Dasar dan Menengah
pada putusan-putusannya berpendapat bahwa ada beberapa pasal-pasal dalam UU ini yang muatannya bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam UUD NRI tahun 1945 khusunya yang berkaitan dengan
Pasal 31 dan Pancasila. Masih terdapat pasal-pasal yang menjadi
penyebab penyelenggaraan pendidikan di Indonesia cenderung bersifat komersial dan bersifat diskriminatif.
Dengan adanya perubahan struktur organisasi Kemendikbud yang
memisahkan Pendidikan Tinggi dibawah organisasi Rstek maka perlu penyesuaian dalam UU No. 20 Tahun 2003.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan Terciptanyanya pendidikan nasional yang mencerdaskan kehidupan
bangsa, berkarakter sesuai dengan dasar falsafah negara.
c. Jangkauan dan Arah pengaturan dalam RUU ini :
- Paradigma sistem pendidikan nasional dalam RUU Ini didasarkan pada
masyarakat berbasis ilmu, teknologi dan/atau seni (knowledge based society)
- Penegasan peran dan Tanggung Jawab pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan warga negara yang didasarkan pada
ketentuan Pasal 31 UUD NRI Tahun 1945. - Penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah didasarkan pada falsafah
negara, dan diarahkan untuk memperkuat karakter dan nation
building, dan tidak boleh lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa yaitu jatidiri nasional, identitas, dan kepribadian bangsa
- Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
- Penggunaan standar pemberian beasiswa yang mampu merangsang
prestasi dari peserta didik. - Penegasan fungsi sosial dari setiap jenjang pendidikan.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2013
Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan
3. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010
Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2010 Tentang
Pengelolaan Dan
Penyelenggaraan Pendidikan
bangsa)
**)
40. RUU tentang
perubahan UU No. 18 Tahun
2002 tentang
Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan
Kementerian
Ristek dan Dikti
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU;
- Belum adanya koordinasi pada level perencanaan dan implementasi, yaitu: Jakstranas Iptek belum masuk dalam siklus tahunan anggaran
budget policy dan belum masuk ke dalam RPJMN sehingga jakstranas belum diacu oleh lemlitbang. Selain itu, jakstrada sebagai acuan
pembangunan iptek di daerah masing-masing, tidak mengacu pada
jakstranas. Permasalahan lainnya adalah bahwa belum ada koordinasi
1. UU No 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan
Nasional
2. UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU Nawa Cita No. 8
(merevolusi karakter
bangsa)
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 44
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
dan Penerapan Iptek.
pelaksanaan jakstranas.
- Aspek pembinaan sistem litbangrap iptek, yaitu: 1) Belum ada mekanisme yang jelas dalam pembinaan kelembagaan iptek
di Indonesia, termasuk perlunya pendaftaran lembaga litbang, dan
akreditasi pranata litbang.
2) Belum adanya mekanisme pembinaan SDM iptek yang jelas (termasuk sertifikasi dan alokasi/distribusi SDM iptek ke badan usaha, sehingga
terwujud SDM iptek yang unggul dan produktif dalam pelaksanaan
kegiatan litbang untuk menghasilkan inovasi-inovasi yang mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa, mempercepat
peertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara berkelanjutan.
- Beberapa hal khusus dan strategis yang belum diatur dalam UU No. 18 Tahun 2002, dan memiliki dampak penting bagi pembangunan iptek
nasional, yaitu: audit teknologi, Material Transfer Agreement (MTA), dan
pembiayaan serta masih lemahnya pengaturan tentang sanksi
administratif di UU No. 18/2002.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
- Agar terjadi tumbuhkembang penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, melalui sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mengandung dan membentuk keterkaitan yang tidak terpisahkan dan
saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, serta jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan
yang utuh di lingkungan Negara Republik Indonesia;
- Sebagai landasan hukum untuk mewujudkan koordinasi, sinkronisasi, dan harmonisasi kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta meningkatkan kontribusi iptek dalam pembangunan nasional di Indonesia sehingga pelaksanaannya
dapat dilakukan secara efisien, efektif, terpadu, terorganisasikan
dengan baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian dan pembangunan serta daya saing nasional.
c. Jangkauan dan arah pengaturan
- koordinasi,
- pembinaan, dan pengaturan strategis lainnya antara lain pengaturan
2005-2025 3. UU No 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil
Negara
4. UU No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak
5. UU No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas UU No 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan
6. UU No. 20 Tahun
2003 tentang Pendidikan Nasional
7. UU No. 23 Tahun
1992 Tentang
Kesehatan 8. UU No 41 Tahun 2009
Tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
9. PP No 20 Tahun 2005
tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual
serta Hasil Kegiatan
Penelitian dan Pengembangan oleh
Perguruan Tinggi dan
Lembaga Penelitian dan Pengembangan
10. PP No 41 Tahun 2006
tentang Perizinan
Kegiatan Penelitian dan Pengembangan
bagi Perguruan Tinggi
Asing, Lembaga
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 45
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
mengenai MTA, audit teknologi, dan pembiayaan riset. Penelitian dan Pengembangan Asing,
Badan Usaha dan
Orang Asing.
11. PP No 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian
Sebagian Pendapatan
Badan Usaha Untuk Peningkatan
Kemampuan
Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi.
12. Instruksi Presiden 4
Tahun 2003 tentang Pengkoordinasian
Perumusan dan
Pelaksanaan
Kebijakan Strategis Pembangunan Ilmu
Pengetahuan dan
Teknologi
41. RUU tentang Perubahan atas
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun
1984 tentang Wabah Penyakit
Menular
Kementerian Kesehatan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU;
- Indonesia mengalami transisi epidemiologi sekaligus menjadi beban
ganda akibat terjadinya penyakit menular baru dan penyakit menular lama yang timbul kembali, karena penyakit menular lama (endemis)
belum mampu ditekan prevalensi/ insidensinya timbul ancaman
penyakit menular baru, seperti SARS, flu burung (H5N1), H1N1, MERS CoV, Ebola, dan mungkin penyakit-penyakit zoonosis lainnya.
- Dinamika kependudukan dan perubahan lingkungan strategis serta perubahan iklim juga berdampak terhadap pola penyebaran penyakit
menular, termasuk penyakit menular potensial wabah, yang diperkirakan semakin meningkat intensitasnya.
- Dimungkinkan dilakukan rekayasa genetika dari agen penyakit untuk tujuan tertentu, seperti bioterorisme, yaitu penggunaan agen penyakit
sebagai senjata biologi pemusnah massal.
- Indonesia telah menyepakati penerapan regulasi kesehatan internasional (IHR) secara penuh
1. UU No. 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahaan
International Covenant on Economic,Social and Cultural Rights.
2. UU No. 29 Tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran,
3. UU No. 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
4. UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
Sudah ada NA
Nawa Cita No. 5 (menigkatkan
kualitas hidup
manusia Indonesia) *)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 46
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- lebih dari 50% materi UU Wabah Tahun 1984 tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan pengaturan tentang wabah; sistematika dan esensi dari UU Wabah Tahun 1984 juga harus disesuaikan dengan tata
cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru sehingga
UU yang lama perlu diganti bukan diubah.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
- Agar masyarakat Indonesia terlindungi dari ancaman penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan mencegah masuk dan keluarnya penyakit
potensial wabah dari dan ke wilayah Indonesia.
- Agar ada kepastian dan keadilan hukum dalam menangulangi wabah.
- Adanya kekuatan hukum yang mengikat
- memberikan kekuatan dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan/penanganan penyakit yang dapat menimbulkan wabah.
c. Jangkauan dan arah pengaturan
- Upaya penanggulangan wabah, yang meliputi upaya penanggulangan pada saat terjadinya ancaman, waktu kejadian, dan pasca kejadian
wabah;
- Agent penyebab wabah tidak hanya biologis melainkan juga kimia dan fisika.
- penyebaran wabah yang disebabkan tidak hanya karena pergerakan manusia yang melalui pelabuhan tetapi juga oleh manusia yang melintasi daerah perbatasan di daratan.
- Penyebaran wabah yang disebabkan tidak hanya karena pergerakan manusia yang melalui pelabuhan tetapi juga oleh manusia yang melintasi
daerah perbatasan di daratan.
- persoalan wabah tidak saja menjadi persoalan nasional tetapi juga dapat menjadi persoalan internasional sehingga terbuka kerjasama
internasional dalam menanggulangi wabah.
- persoalan wabah tidak saja menyangkut persoalan kesehatan tetapi juga menyangkut dengan persoalan hukum, politik, ekonomi, sosial dan
budaya, agama, keamanan termasuk penyebarannya yang melalui daerah-daerah perbatasan dengan negara lain.
- Penanggulangan wabah perlu secara komnprehensif termasuk dalam hal pembiayaan.
5. UU No. 11 Tahun Tahun 2008 tentang
Informasi dan
Transaksi Elektronik.
6. UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi
Publik. 7. UU No. 36 Tahun
2009 tentang
Kesehatan. 8. UU No 43 Tahun 2009
tentang Kearsipan.
9. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (RS).
10. UU No. 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
(BPJS). 11. UU No. 24 Tahun
2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
12. UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
13. UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah
14. UU No. 13 Tahun
2003 tentang
Ketenagakerjaan 15. UU No. 32 Tahun
2009 tentang
Perlindungan dan
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 47
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Pengelolaan Lingkungan Hidup
16. UU No. 16 Tahun
1992 tentang
Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.
17. UU No. 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
18. UU No. 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut.
19. UU No. 2 tahun 1962 tentang Karantina
Udara.
20. UU Pangan
21. UU Ketenaganukliran. 22. UU Terorisme.
42. RUU tentang
Kesetaraan Gender
Kementerian
PP & Perlindungan
Anak
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Diskriminasi mewujud dalam berbagai wajah. Ada yang berupa tindakan, perilaku, hingga produk hukum. Diskriminasi yang terus menerus
berlangsung adalah pemicu dan faktor pendorong maraknya kekerasan
terhadap perempuan. Diskriminasi gender menyebabkan perempuan
terhalang untuk berkontribusi aktif dalam kehidupan publik, yang selanjutnya akan menyebabkan kurang maksimalnya pencapaian
kehidupan yang berkualitas. Kondisi relasi yang tidak setara antara laki-
laki dan perempuan adalah salah satu akar persoalan diskriminasi, disinilah negara berkewajiban untuk memastikan ketidaksetaraan itu
diatasi, baik melalui langkah-langkah koreksi budaya atau penyusunan
kebijakan yang selaras untuk mewujudkan kesetaraan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Memberikan payung hukum kesetaraan gender yang sudah diatur dalam Undang-Undang yang sudah ada
1. Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
mengenai Penghapusan
Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women)
2. UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan
3. UU No 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 48
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
Ketentuan Umum
Penjelasan mengenai gender dan kesetaraan gender
Asas dan Tujuan
Kewajiban Negara
Mengatur kewajiban negara dalam memberikan perlindungan dan mendorong terwujudnya kesetaraan gender
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pengarustamaan Gender
Pengaturan mengenai strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan perspektif gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,
penganggaran, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
atas kebijakan dan program pembangunan nasional, termasuk penghapusan segala bentuk diskriminasi dan perlindungan terhadap
perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Partisipasi Masyarakat
Penghargaan dan Sanksi
4. Undang-Undang tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik
43. Revisi UU No 23 Tahun 2004
tentang
Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah
Tangga
Kementerian PP &
Perlindungan
Anak
Pengaturan mengenai rumusan definisi mengenai Penelantaran dalam rumah tangga, kekerasan psikis, dll
Pemberatan sanksi
Partisipasi masyarakat dalam Perlindungan korban KDRT
1. KUHP 2. UU No. 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi
mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap
Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)
4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 49
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
44. RUU tentang Undang-Undang
Hukum Acara
Pidana
Kementerian Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan dan perkembangan hukum
dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan yang baru;
- Mewujudkan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung
tinggi HAM dan menjamin warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu tidak ada kecualinya.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, keadilan masyarakat
dan perlindungan hukum bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban, serta ketertiban hukum demi terselenggaranya negara hukum.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
1. Mempertegas asas legalitas demi terciptanya kepastian hukum dalam hukum acara pidana;
2. Ketentuan mengenai penyelidikan disesuaikan dengan perkembangan
hukum; 3. Dibentuknya lembaga baru yaitu “Hakim Komisaris” sebagai pengganti
lembaga pra-peradilan yang mempunyai kewenangan lebih luas untuk
memutuskan perlunya penahanan dalam proses peradilan.
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan;
2. Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang HAM;
3. Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang KPK;
4. Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang
yang mengatur
mengenai peradilan; 5. Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1998 tentang
Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat
Manusia; 6. Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan
Politik);
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Target: setelah
Buku I RUU KUHP
berjalan
pembahasannya di DPR (2017)
Nawa cita No. 4
(Melakukan reformasi system
dan penegakan
hokum yang bebas
korupsi, bermartabat dan
terpercaya)
Pernah masuk pembahasan tk I di
komisi III DPR
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 50
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003)
45. RUU tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
(pengganti UU No. 31 Tahun
1999)
Kementerian
Hukum dan HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Tindak pidana korupsi sering dilakukan secara terencana dan Sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas dan endemik, merusak sendi-sendi ekonomi nasional,
merendahkan martabat bangsa di forum internasional, telah digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar
biasa (extra ordinary crime), sehingga penindakan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi harus diatur secara khusus.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Membangun hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara komprehensif, konsisten dan sistematik agar dapat memberikan kepastian dan menjamin adanya perlindungan hukum bagi
masyarakat.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
1. Mengatur mengenai hukum pidana materiil dan formil serta pengaturan
untuk mendukung adanya pencegahan dan memerangi tindak pidana korupsi;
2. Secara materiil sebagian besar ketentuan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tetap dicantumkan dengan perubahan dan penyesuaian rumusan untuk
disesuaikan dengan Konvensi;
3. Diperkenalkan subjek tindak pidana bagi pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik yang melakukan tindak pidana
korupsi sebagai perluasan subjek tindak pidana yang konvensional dan
korporasi, demikian juga bagi pejabat publik ditentukan bahwa badan hukum publik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,
1. Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
2. Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara
yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
pengesahan United
Nations Convention
Againts Corruption 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi 2003).
Sudah ada NA
Sudah ada Draft
RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Target prioritas: tidak 2015
Nawa Cita No. 4
(Melakukan
reformasi system dan penegakan
hokum yang bebas
korupsi, bermartabat dan
terpercaya)
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 51
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
melainkan pejabat publik yang memimpin atau memerintahkan tindak pidana korupsi tersebut.
46. RUU tentang
Kitab Hukum
Acara Perdata
Kementerian
Hukum dan
HAM
a. Latar Belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata yang ada dan
berlaku sampai saat ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan peninggalan Pemerintah
Hindia Belanda maupun peraturan perundang-undangan produk Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Adapun peraturan perundang-undangan produk Pemerintah Hindia Belanda masih bersifat dualistis atau
mengandung dualisme hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan di
Jawa dan Madura dan hukum acara yang berlaku untuk pengadilan di
luar Jawa dan Madura.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan :
Mempertajam prinsip atau “asas persamaan hak di muka hukum, transparansi, dan kepastian hukum”,
penataan kembali materi Hukum Acara Perdata yang tersebar
diberbagai peraturan perundang-undangan berlaku.
c. Jangkauan dan Arah pengaturan dalam RUU ini :
Undang-Undang ini berlaku untuk memutus gugatan atau permohonan
yang telah diajukan ke Pengadilan, sementara perkaranya belum
diperiksa atau di putus pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku. Adapun Gugatan atau permohonan yang pada saat mulai berlakunya
Undang-Undang ini sudah diperiksa dan tinggal diputus, maka gugatan
atau permohonan tersebut tetap diputus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama
Undang-Undang ini selain diatur materi-materi yang merupakan
penegasan kembali dari materi yang sudah ada seperti tuntutan hak, wewenang pengadilan untuk mengadili, kewajiban mengundurkan diri,
dan hak ingkar, upaya menjamin hak, pemeriksaan sidang Pengadilan,
kesaksian, putusan dan upaya hukum terhadap putusan, juga diatur
pula materi baru yang merupakan kebutuhan hukum yaitu antara lain upaya hukum luar biasa yang disebut dengan Peninjauan Kembali,
lembaga prorogasi, pembuktian, permohonan kasasi yang hanya dapat
diajukan oleh kuasa dari pihak-pihak yang berperkara dengan kuasa
1. HIR (Het Herziene Indonesich Reglement Atau Reglemen Indonesia Baru, Stb.
1848-16, Ingevolge Stb.
1848-57 I.W.G. 1 Mei
1848, Opnieuw Bekend Gemaakt Bij Stb. 1926-
559 En Stb. 1941-44)
2. RBG (Reglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 Nomor:
227)
3. RV. (Rgelement Op De Burgerlijke Rechtsvordering Voorderaden Van Justitie Opa Java En Het Hoogerechtshof Van
Indonesie, Alsmede Voor De Risidentiegerechten Op Java En Madura)
4. BW (Burgerlijk Wetboek
5. WVK (Wetboek Van Koophandel )
6. Ordonansi Tahun 1867
Nomor 29 7. UU No 20 Tahun 1947
8. UU Darurat No1 Tahun
1951 9. UU No 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan
Kehakiman
10. UU No 1 Tahun 1974
Sudah ada NA
Sudah ada Draft
RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Target prioritas:
2016
Masuk dalam draf
RPJMN 2015-2019
Nawa Cita No. 4
(Melakukan reformasi system
dan penegakan
hokum yang bebas
korupsi, bermartabat dan
terpercaya)
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 52
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
khusus, diaturnya kembali lembaga pengadilan, dan pelaksanaan putusan arbitrase dan hukum acara cepat (small claims court)
tentang Perkawinan 11. UU No. 14 Tahun 1985
jo. UU No. 5 Tahun
2004 jis. UU No. 3
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
12. UU No 2 Tahun 1986 Jo
UU No. 8 Tahun 2004 jo. UU No. 49 Tahun
2009 tentang Peradilan
Umum 13. UU No 18 Tahun 2003
tentang Advokat
14. UU No: 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan
sebagaimana diubah
dengan UU No. 37
Tahun 2004 ( berkaitan dengan proses perkara
di Pengadilan Niaga)
15. UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup 16. UU No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
17. UU No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa
Konstruksi
18. UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
19. UU No 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Transaksi Elektronik
20. UU No 5 Tahun 1999
tentang Larangan
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 53
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
21. UU No. 30 Tahun 1999
ttg Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa
22. UU Kepailitan
23. UU 16/2004 ttg Kejaksaan
47. RUU tentang
Perampasan
Aset Tindak
Pidana
Kementerian
Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Kebutuhan adanya sistem yang memungkinkan dilakukannya penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana secara efektif dan
efisien, yang memperhatikan nilai-nilai keadilan dengan tidak melanggar
hak-hak perorangan.
- Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dinilai belum secara komprehensif dan rinci mengatur tentang perampasan aset yang terkait
dengan tindak pidana, dan masih memiliki banyak kekurangan (loophole)
jika dibandingkan dengan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) yang direkomendasikan oleh PBB dan lembagalembaga internasional
lainnya
- Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme dan Konvensi Menentang Korupsi.
Konvensi tersebut antara lain mengatur mengenai ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan upaya mengidentifikasi, mendeteksi, dan
membekukan serta perampasan hasil dan instrumen tindak pidana.
- Pemerintah Indonesia harus menyesuaikan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang ada dengan ketentuan-ketentuan di dalam konvensi tersebut.
Tujuannya ialah:
Untuk menekan tingkat kejahatan dan memenuhi kebutuhan hukum.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Menyita dan merampas hasil tindak pidana dari pelaku tindak pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku kejahatan
kepada masyarakat, tetapi juga akan memperbesar kemungkinan
masyarakat untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya
1. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
2. Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3. UU No. 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Bantuan Hukum Timbal
Balik dalam Masalah Pidana
5. Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi
7. UU 16/2004 ttg
Kejaksaan
Sudah ada NA
Sudah ada Draft
RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai Harmonisasi
Target prioritas:
tidak 2015
(Ada catatan dari kemenkeu dan
Kejaksaan)
Nawa Cita No.4
(Melakukan reformasi system dan
penegakan hukum
yang bebas korupsi, bermartabat dan
terpercaya)
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 54
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
- Aset yang Diperoleh atau Diduga Berasal dari Tindak Pidana yang Dapat Dirampas
- Aset yang Tidak Seimbang dengan Penghasilan
- Penelusuran Aset
- Ketentuan Pemblokiran dan Penyitaan Perampasan Aset
- Permohonan Perampasan Aset
- Tata Cara Pemanggilan
- Wewenang Mengadili
- Acara Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
- Pembuktian dan Putusan Pengadilan
- Pengelolaan Aset
- Tata Cara Pengelolaan Aset
- Ganti Rugi dan/atau Kompensasi
- Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga
- Kerjasama Internasional
- Pendanaan
- Ketentuan Peralihan
- Ketentuan Penutup
48. RUU tentang
Pembatasan Transaksi
Penggunaan
Uang Kartal
Kementerian
Hukum dan HAM
a. Latar Belakang Penyusunan
Perkembangan transaksi modern menghendaki adanya transaksi lebih cepat, pengurangan penggunaan uang kartal, dan memudahkan pelacakan
kembali atas suatu transaksi dengan akurat.
b. Sasaran
terwujudnya transaksi keuangan yang lebih efisien, aman, cepat, modern
dan tercatat dalam sistem keuangan dan sistem pembayaran serta
mendorong terwujudnya less cash society. Pengaturan tersebut juga akan bermanfaat untuk mempersempit ruang gerak penggunaan transaksi tunai
untuk mencegah pencucian uang hasil tindak pidana, misalnya korupsi,
narkoba dan lain sebagainya.
c. Arah dan Jangkauan
seluruh transaksi yang dilakukan setiap orang atau badan hukum di dalam dan dari wilayah Indonesia. Pengecualian diberikan terhadap transaksi
1. Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1946 tentang Kewa jiban Menyim pan
Uang Dalam Bank
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan UU No.7
tahun 1992 tentang
Perbankan 3. Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah beberapa kali,
tera khir dengan Undang-undang Nomor
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Target prioritas: 2016/2017
Pengaturan
pembatasan transaksi
uang kartal bermanfaat baik
secara ekonomis
maupun untuk membatasi transaksi
tunai yang sering
disalahgunakan oleh pelaku tindak pidana
sebagai sarana
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 55
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
tunai yang berdasarkan APBN dan/atau APBD serta transaksi yang bersifat intensive cash.
Adapun arah pengaturannya adalah penguatan kerangka hukum,
peningkatan pengawasan di sektor keuangan, untuk mewujudkan efisiensi
transaksi serta membangun rezim anti pencucian uang yang efektif
6 Tahun 2009 4. Undang-Undang No. 24
Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar 5. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang
Peru bahan UU No.31 Thn 1999 tentang
Pembe rantasan Tindak
Pidana Korupsi 6. Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2004
Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
7. 8.Undang-Undang
Republik Indonesia No
8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang 8. 9.Undang-Undang No 3
Tahun 2011 ten tang
Transfer Dana 9. Undang-Undang No 7
Tahun 2011 tentang
Mata Uang 10. Undang-Undang No 21
Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan
11. Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007
Tentang Pena naman Modal.
pencucian uang (money laundering).
Nawa Cita No. 4
(Melakukan reformasi
system dan penegakan hokum yang bebas
korupsi, bermartabat
dan terpercaya)
*)
**)
49. RUU tentang Kementerian a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU: 1. Undang-Undang Nomor Sudah ada NA
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 56
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31
Tahun 2000
tentang Desain Industri
Hukum dan HAM
- Menyesuaikan lebih lanjut terhadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi dan perjanjian internasional lainnya yang akan diratifikasi
(Hague Agreement); - Menyesuaikan dengan perkembangan di tingkat internasional yang
dapat diterapkan di Indonesia; - Mengatasi kendala dalam pelaksanaan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan: - untuk memajukan industri di Indonesia yang mampu bersaing baik
dalam lingkup perdagangan nasional maupun internasional. Selanjutnya
agar tujuan ini dapat tercapai, maka perlu diciptakan iklim yang mendorong kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Desain Industri
sebagai bagian dari sistem Hak Kekayaan Intelektual;
- Peningkatan Perlindungan terhadap Pemegang Hak Desain Industri; - Terbentuknya UU tentang Desain Industri yang sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan standar
internasional.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
- pengaturan mengenai definisi Desain Industri agar lebih sederhana dan
jelas; - penyempurnaan lingkup kreasi yang dapat dimintakan perlindungan;
- penyempurnaan pengaturan pengertian sama atau mirip dengan
pembanding yang sudah ada; - penyempurnaan pengaturan mengenai lingkup pemegang hak;
- penambahan pengaturan mengenai kriteria pelanggaran hak;
- penyempurnaan pengaturan pembatasan lingkup Desain Industri; - penambahan ketentuan yang mengakomodasikan mekanisme pengajuan
permohonan pendaftaran Desain Industri di tingkat internasional;
- penambahan ketentuan yang memungkinkan penambahan jangka waktu
perlindungan; - pengaturan mengenai Pemeriksaan Pendahuluan Desain Industri yang
mencakup pemeriksaaan yang berkaitan dengan ketertiban umum dan
moralitas, fungsi teknis (engineering design), kemudahan kreasi, dan Desain Industri yang telah diajukan;
- pengaturan mengenai mekanisme pengajuan keberatan terhadap
penolakan atau pendaftaran hak Desain Industri melalui Majelis Banding;
7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization
(Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia).
2. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun1997
tentang Pengesahan
Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property).
Sudah ada Draft
RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Target prioritas 2016
Nawa Cita No. 6
(meningkatkan
produktifitas rakyat
dan daya saing di pasar internasional)
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 57
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- pengaturan mengenai pembatasan hak untuk mencegah kemungkinan timbulnya konflik antara pemegang hak Desain Industri dengan
pemegang HKI lainnya;
- penyempurnaan pengaturan mengenai penetapan sementara dengan
memasukkan hukum acara.
50. RUU tentang
Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2006 tentang
Bantuan Timbal
Balik dalam Masalah Pidana
Kementerian
Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Penyelamatan asset hasil korupsi yang berada di luar negeri belum dapat berjalan secara maksimal. Perlu kerjasama Internasional bagi
otoritas pusat (Kemenkumham) yang lebih intensif .
- kerjasama internasional melalui mekanisme bantuan timbal balik dalam masalah pidana menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat seiring meningkatnya upaya masyarakat internasional dalam
pencegahan dan pemberantasan kejahatan lintas negara.
- Penyusunan RUU bertujuan untuk menyesuaikan UU No. 1 Tahun
2006 dengan standar dan praktik internasional sehingga penanganan bantuan tersebut lebih efektif dan efisien.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Memberikan pedoman dan dasar hukum kerja sama antara Pemerintah
Indonesia dengan negara lain dalam bentuk bantuan timbal balik dalam
masalah pidana.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
Beberapa ketentuan yang diubah dalam UU No. 1 Tahun 2006 antara lain penegasan mengenai syarat permintaan bantuan ditolak dan dapat ditolak;
penambahan substansi mengenai pemblokiran; dan penegasan kedudukan
Otoritas Pusat dan Otoritas yang Berwenang.
1. KUHP
2. KUHAP
3. UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri
4. UU No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Target prioritas: 2016
Nawa Cita No. 4
(Melakukan reformasi
system dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, bermartabat
dan terpercaya) *)
**)
51. RUU tentang Perubahan Atas
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995
tentang
Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU;
- Adanya perluasan peran dan tanggung jawab Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang sebelumnya peran dan tanggung jawabnya
terbatas pada lembaga pemasyarakatan, kemudian bergeser mengelola
lembaga-lembaga baru yang merupakan perintah dari KUHAP seperti Lembaga Rutan, lembaga Rupbasan dan Lembaga Bapas yang bergerak
sejak tahap pra adjudikasi hingga purna adjudikasi, dimana lembaga-
lembaga tersebut memiliki tujuan, daya kerja dan pengorganisasian
1. Keterkaitan dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
2. KUHP 3. Keterkaitan Undang-
Sudah ada Naskah Akademik
RUU sedang dalam
Perancangan
Target prioritas: masih menunggu KUHAP
(2016/2017)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 58
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
sendiri yang berbeda dengan lembaga pemasyarakatan. Mengingat lembaga-lembaga baru ini tidak berada dibawah lembaga
pemasyarakatan karena memiliki tujuan, daya kerja dan organisasi
yang berbeda.
- Dengan adanya sub-sub system tersebut, yang sudah berperan mulai dari pra adjudikasi, adjudikasi dan purna adjudikasi, mengakibatkant perubahan atas definisi sistem pemasyaraktan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
- Mewujudkan penegasan kewajiban negara dalam memenuhi,menghormati dan melindungi.
- Menegaskan kedudukan pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu/Criminal Justice System (Posisi pemasyarakatan tidak
hanya diakhir, tetapi dimulai dari fase pra adjudikasi, adjudikasi dan
purna adjudikasi)
- Menegaskan pemasyarakatan sebagai satu kesatuan sistem.
- Menjamin efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
Dalam UU No. 12 Tahun 1995, pemasyaraktan hanya diartikan terbatas pada lembaga pemasyarakatan yang berada pada fase terakhir (post adjudikasi) dari proses penegakan hukum namun dengan kedudukan
pemasyarakatan sebagai bagian yang integral dari sistem peradilan Pidana
maka akan menemui perluasan peran dan tanggungjawab. Oleh karena itu subsistem pemasyarakatan sebagai salah satu subsistem dalam
peradilan pidana dimulai dari Pra adjudikasi, adjudikasi dan purna
adjudikasi. Pada awalnya hanya mengatur Lapas dan Bapas sekarang meluas hingga Rupbasan, Rutan.
Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1998 Tentang
Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan Atau
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, Atau
Merendahkan Martabat
Manusia) 4. Keterkaitan dengan
Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5. Undang-undang Nomor
17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
6. Keterkaitan dengan
Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
7. Keterkaitan dengan UU No 11 Tahun 2005
Ratifikasi Konvensi
Internasional tentang Hak-Hak Ekosob
8. Keterkaitan dengan UU
No 12 Tahun 2005 Ratifikasi Konvensi
Internasional tentang
Hak-Hak Sosial dan
Nawa Cita No. 4
(Melakukan reformasi system dan penegakan
hokum yang bebas
korupsi, bermartabat dan terpercaya)
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 59
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Politik 9. Keterkaitan dengan
Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang
Sistem Pengadilan Pidana Anak
10. Keterkaitan dengan PP
27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP
11. Keterkaitan dengan PP
43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan
Kawasan Khusus
52. RUU tentang
Perkumpulan
Kementerian
Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU;
- Perkumpulan merupakan salah satu bentuk hukum yang harus dilandaskan pada filsafah Pancasila sebagai pola pikir bangsa
Indonesia.
- Perkumpulan terus mengalami perkembangan di Indonesia, sedangkan aturan hukumnya masih merujuk pada Burgerlijk Wetboek (BW) untuk
Indonesia atau KUHPerdata dan Staatblad, yang keduanya merupakan
produk hukum Kolonial, yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
- Untuk mengganti peraturan Kolonial mengenai perkumpulan yang sudah tidak relevan lagi
- Menjadi UU yang memberikan pengaturan yang jelas mengenai definisi dan batasan terhadap perkumpulan yang tidak berorientasi pada
keuntungan.
- Mengintegrasikan UU Perkumpulan dengan UU Ormas.
c. Jangkauan dan arah pengaturan.
- Mengatur Perkumpulan yang berbadan hukum
- Mengatur tujuan pendirian perkumpulan tidak boleh bertentangan dengan dasar negara, konstitusi, ketertiban umum dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
- Mengatur mengenai pendiriannya, pembubarannya, peralihannya,
1. UU 28/2004 ttg
Yayasan
2. UU 2/2008 ttg Parpol 3. UU 17 Tahun 2013 ttg
Ormas
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Nawacita no. 4
(Melakukan reformasi system dan penegakan
hokum yang bebas
korupsi, bermartabat dan terpercaya)
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 60
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
keanggotaan, modal, cara memperoleh status badan hukum dst.
53. RUU tentang Pemindahan
Narapidana
Antarnegara
Kementerian Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU;
- Kementerian Luar Negeri RI mencatat terdapat sekitar 4415 orang WNI yang dipenjara di luar negeri, seperti Malaysia (terbanyak), Australia,
Brunei, Filipina, dan Thailand. Sebaliknya, Warga Negara Asing (WNA)
juga banyak yang terlibat kasus hukum di Indonesia (pertanggal 1 Maret 2013 adalah sejumlah 682 orang).
- Kondisi di atas telah mendorong sejumlah negara mengajukan tawaran kerjasama pada Pemerintah Indonesia untuk memindahkan warga
negaranya yang dihukum di Indonesia agar menjalani pidana di negara
asalnya.
- Kerjasama tersebut dalam hukum internasional dikenal dengan Transfer of Sentenced Person/TSP (transfer narapidana).
- Namun dalam pelaksanaannya di temui kendala yaitu belum adanya dasar hukum untuk melakukan Pemindahan Narapidana Internasional
ini.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
- Adanya kepastian hukum atas pemindahan narapidana internasional sehingga usaha reintegrasi sosial yang merupakan salah satu
pembinaan narapidana dapat dilaksanakan secara maksimal.
- Adanya kepastian hukum atas pemindahan narapidana juga dapat meningkatkan kerjasama internasional yang baik dengan Negara lain.
c. Jangkauan dan arah pengaturan.
- jangkauan dan arah pengaturannya mengatur WNI yang menjalankan hukuman di Negara lain dan WNA yang menjalankan hukuman di Negara Indonesia.
- Subjek yang diatur yaitu orang atau badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban dalam RUU pemindahan narapidana internasional ini,
seperti: narapidana, Pemasyarakatan, penegak hukum, polisi, dan kementerian luar negeri.
- Obyek yang diatur: narapidana yang menjalankan hukuman di Negara lain.
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang
Pemasyarakatan. 2. Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan
Warga Binaan
Kemasyarakatan
3. Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999
Tentang Hubungan
Luar Negeri 4. Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000
Tentang Perjanjian Internasional.
5. Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
6. Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1979 Tentang
Ekstradisi 7. Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2006 Tentang
Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Nawacita no. 4
(Melakukan reformasi
system dan penegakan hokum yang bebas
korupsi, bermartabat
dan terpercaya)
*)
54. RUU tentang Kementerian a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU: 1. KUHP Sudah ada NA yang
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 61
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Ekstradisi (mengganti UU
No. 1 Tahun
1979 tentang
Ekstradisi)
Hukum dan HAM
- Kerjasama luar negeri baik bilateral maupun multilateral perlu dilakukan untuk mencegah peluang bagi pelaku tindak pidana untuk meloloskan dari negara tempat tindak pidana dilakukan. Oleh karena itu
perlu dilakukan peningkatan kerjasama penegakan hukum yang efektif
antar negara dengan tujuan penyerahan pelaku tindak pidana dari
Negara Diminta kepada Negara Peminta
- Penyusunan RUU Ekstradisi bertujuan untuk mengganti UU No. 1
Tahun 1979 tentang Ekstradisi, karena sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum kerja sama penyerahan pelaku tindak pidana antarnegara.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Memberikan pedoman dan dasar hukum bagi Pemerintah Indonesia dalam menerima permohonan ekstradisi dari negara lain.
- Memberikan pedoman bagi negara lain yang akan mengajukan permohonan ekstradisi kepada Pemerintah Indonesia.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
RUU ini mengatur ketentuan antara lain mengenai:
- penyempurnaan hukum acara ekstradisi, baik ekstradisi yang diajukan dengan permintaan yang didasarkan perjanjian maupun ekstradisi
tanpa perjanjian;
- kelembagaan yang mempunyai tugas mengajukan, menerima, dan menangani pemenuhan persyaratan, serta menganalisis permintaan Ekstradisi yang diajukan oleh atau kepada Pemerintah Republik
Indonesia;
- daftar kejahatan (list of crime) yang menggunakan sistem gabungan, artinya dalam Undang-Undang ini ditetapkan daftar kejahatan dan
juga Ekstradisi dapat juga dilakukan atas dasar kebijaksanaan Negara Diminta di luar daftar kejahatan yang telah ditentukan;
- penyempurnaan substansi penyerahan Termohon Ekstradisi.
2. KUHAP 3. UU No 37 Tahun 1999
tentang Hubungan
Luar Negeri
4. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional
perlu disesuaikan dengan sistematika
UU No. 12 Tahun
2011
Sudah ada Draft RUU
Target prioritas:
2016
Nawacita no. 4 (Melakukan reformasi
system dan penegakan
hokum yang bebas korupsi, bermartabat
dan terpercaya)
*)
**)
55. RUU tentang Perubahan Atas
UU No. 40
tahun 2007 tentang
Perseroan
Terbatas
Kementerian Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi indonesia yaitu dengan peningkatan
penanaman modal.
- Berdasarkan hasil survei Ease of Doing Business oleh World Bank yang dilakukan sejak 2004 s/d 2013, Indonesia menempati peringkat 120 dari 189 negara di dunia.
1. UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN
2. UU No. 8 Tahun 1995
Tentang Pasar Modal. 3. UU No. 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman
Modal.
NA dalam Proses
Masuk RPJMN
Nawacita no. 4
(Melakukan reformasi
system dan penegakan hokum yang bebas
korupsi, bermartabat
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 62
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- Salah satu indikator permasalahan tersebut di atas adalah starting a business.
- Starting a business ini terkait erat dengan aspek procedur, time, cost dan minimum capital.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
Untuk memperbaiki iklim berusaha dan berinvestasi dengan memberi keringanan -keringanan di segala aspek yang terkait dengan dunia usaha.
c. Jangkauan dan arah pengaturan.
- Jangkauan pengaturan dari perubahan UU PT ini adalah untuk
mengubah ketentuan dalam UU PT yang memiliki pengaruh dalam peningkatan ease of doing business di Indonesia. Antara lain
perubahan sistem pendaftaran PT, meringankan modal dasar,
memberikan kewajiban yang sama kepada PT untuk melakukan CSR.
- Arah pengaturan adalah mewujudkan pengaturan PT yang kondusif sehingga memenuhi ease of doing business di Indonesia yang berimbas
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
4. UU No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
5. UU No. 30 Tahun 2004
Tentang jabatan Notaris.
6. UU No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran Hutang.
7. UU No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN.
8. UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
9. UU No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
10. UU No. 7 Tahun 2014
Tentang Perdagangan.
dan terpercaya)
*)
**)
56. RUU tentang Persekutuan
Perdata,
Persekutuan
Firma dan Persekutuan
Komanditer
Kementerian Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Dalam KUHPerdata dikenal bentuk usaha Persekutuan Perdata dan
dalam KUHD dikenal bentuk usaha Firma dan CV yang sudah kurang sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia dewasa ini.
- Rancangan Undang-undang bertujuan untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan materi yang sudah diatur dalam KUHP/KUHD atau
juga dapat dibuat rancangan yang baru sama sekali.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai persekutuan perdata, persekutuan firma dan persekutuan komanditer.
- Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPer) saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan kebutuhan dunia
usaha, sehingga perlu diatur kembali.
1. KUH Perdata 2. KUH Dagang
3. UU No. 40 Tahun 1999
tentang Perseroan
Terbatas 4. UU No. 16 Tahun 2011
tentang Yayasan
5. UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 63
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
c. Arah dan Jangkauan Pengaturan
- Badan usaha yang tidak berbadan hukum meliputi: Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Komanditer.
- RUU mencakup tatanan hukum yang mendorong, menggerakkan, dan mengendalikan berbagai kegiatan pembangunan di bidang ekonomi,
dalam rangka menunjang pembangunan ekonomi adalah ketentuan di
bidang Badan Usaha Bukan Badan Hukum
57. RUU tentang Perubahan atas
UU No. 15
Tahun 2003 tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme
Kementerian Hukum dan
HAM
a. Latar Belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Peraturan yang ada saat ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang belum mengatur secara khusus serta tidak cukup
memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme.
- Di banyak negara kejahatan terorisme termasuk kejahatan yang perkembangannya sangat dinamis sehingga diatur secara khusus.
- Delik pidana khusus yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2003 masih mengandung Kelemahan-kelemahannya ketika diterapkan dalam praktek di lapangan, karena ketentuan UU ini dibuat secara incidental
ketika menghadapi kasus Bom Bali, sehingga perlu dilakukan
penyesuaian.
- Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam dunia kriminalpun mengikuti perkembangan hal ini dibuktikan dengan jenis-jenis kejahatan terorisme yang semakin canggih.
- Pergeseran dan perkembangan hukum pidana dan asas hukum pidana di Indonesia dari konvensional kearah modern perlu diakomodasi
dalam menanggulangi kejahatan terorisme.
b. Sasaran Yang ingin diwujudkan :
- Pembaruan dan Penyempurnaan UU 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme
- Perluasan Ruang Lingkup Tindak Pidana Terorisme.
c. Jangkauan dan arah pengaturan :
- cyberterrorism
- kriminalisasi penyebaran materi (dengan lingkup penyebaran rasa kebencian, penghasutan, pemuliaan atau pemujaan terhadap terorisme, penyebaran ideologi terorisme, dan
- propaganda terorisme), yang memberikan dukungan bagi terorisme
1. UU No. 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan
Terorisme 2. UU No. 2 Tahun
2002 tentang
Kepolisian 3. UU No. 24/2006 ttg
kejaksaan
4. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidanan
5. Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
Sudah ada NA
Sudah ada Draft
RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai Harmonisasi
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 64
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
melalui penggunaan teknologi dan informasi;
- pemberatan hukuman bagi pelaku penghimpunan dana untuk
terorisme melalui teknologi dan informasi;
- pemberatan hukuman bagi pelaku perekrutan anggota terorisdengan menggunakan teknologi dan informasi;
- kriminalisasi terhadap aktivitas pelatihan anggota teroris yang menggunakan teknologi dan informasi;
- kriminalisasi terhadap tindak pidana terorisme yang menyerang infrastruktur atau jaringan teknologi dan informasi; dan
- memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukumuntuk melakukan penyensoran atau memblokir situs atau website yang
terkait dengan terorisme.
- Kegiatan Pendahuluan (Precursor Activities) Terorisme sebagai suatu
Tindak Pidana
- Data Intelijen sebagai alat Bukti
- Deradikalisasi
- Pembuktian Unsur-unsur delik Terorisme
58. RUU tentang
Perubahan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan
HAM
Kementerian
Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU;
- Sebagai amanat dalam Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia agar dibentuk suatu pengadilan HAM. Namun dalam kenyataannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak
hanya mengatur mengenai kietentuan Pasal 104 saja akan tetapi lebih
luas, tidak hanya mengatur mengenai tata cara atau prosedur saja melainkan juga muatan hokum pidana materiil yang isinya sangat
berbeda dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 104 UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM (disharmoni antara dua aturan perundang-undangan yang pada dasarnya saling terkait)
- Kejahatan HAM Berat yang tercantum dalam UU No. 26 Tahun 2000
yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, acuannya adalah Statuta Roma namun hanya sebagian saja. Akibatnya delik kejahatan
internasional di luar dua jenis kejahatan tsb seperti kejahatan agresi
dan kejahatan perang tidak masuk dalam yurisdiksi pengadilan HAM.
- Tidak adanya hokum acara dan pembuktian secara khusus dalam kejahatan HAM.
- Masalah kewenangan dan penyelidikan dan penyidikan yg berada di
bawah dua lembaga yang berbeda yaitu Komnas HAM dan dan Jaksa Agung. Demikian pula masalah perlindungan saksi dan korban belum
1. UU No. 8 Tahun 1981
ttg KItab UU Hukum
Acara Pidana 2. UU No. 4 Tahun 2004
ttg Kekuasaan
Kehakiman 3. UU No. 39 Tahun 1999
ttg Hak Asasi Manusia
4. UU No. 13 Tahun 2006 ttg Perlindungan Saksi
dan Korban
5. UU No. 5 Tahun 1958 ttg Ratifikasi KOnvensi
Jnewa Tahun 1949 ttg
ICRC
6. UU No. 2 Tahun 1986 ttg Pengadilan Umum jo
UU No. 8 Tahun 2004
ttg Perubahan UU No. 2 Tahun 1986
Sudah memiliki hasil
Penelitian dan
Pengkajian
Sudah memiliki
Naskah Akademik
Sudah memiliki Draft
RUU
Nawa Cita No. 4
(Melakukan reformasi
system dan penegaka
hokum yang bebas korupsi, bermartabat
dan terpecaya)
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 65
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
dicakup dalam UU ini. Oleh karena berbagai kelemahan tsb diatas maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU No. 26 Tahun 2000 ttg
Pengadilan HAM.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan; Mengubah UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menjadi UU
tentang Pengadilan Kejahatan HAM Yang Paling Berat sesuai dengan
amanat Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, kompetensi absolute pengadilan ini adalah mengadili kejahatan serius yang disebut
sebagai “kejahatan HAM yang berat” yang meliputi pembunuhan massal
(genoside), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan
orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis, dimana definisi ini amat berbeda dengan apa yg dirumuskan dalam Pasal 7 , Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 (lebih luas).
c. Lingkup materi yang diatur dalam RUU:
Perubahan UU No. 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM lebih pada ketentuan formil (acara) yang meliputi :
- Yurisdiksi Pengadilan HAM,
- Daluarsa, - Ne bis in idem
- Kewenangan mengetahui perkembangan perkara,
- penangkapan, - penahanan,
- penuntutan,
- pemeriksaan di sidang pengadilan - Hakim Pengadilan Kejahatan HAM
- pemeriksanaan persiapan
- Penyelesaian Perbedaan antara penyidik dan penuntut - jangka waktu pemeriksaan
- pemeriksaan saksi dalam kondisi khusus
- alat bukti dan pembuktian
- pendapat korban dalam proses persidangan - dokumentasi proses pemeriksaan,
- perlindungan saksi dan korban dan peran serta korban dalam proses
persidangan
7. UU No. 12 Tahun 2005 ttg Pengesahan
International on Civil
and Political Rights
(Kovenan Hak-hak Sipil dan Politi)
8. UU No. 7 Tahun 1984
ttg Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk
Diskriminasi thd Wanita (CEDAW)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 66
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- perlindungan terhadap penegak hukum - pengadilan kejahatan HAM yang berat ad hoc
- lembaga KKR
- ketentuan pidana
- ketentuan penutup.
Cttn : untuk ketentuan hukum materiil diusulkan untuk melakukan perubahan terhadap Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia .
59. RUU
Konvergensi Telematika
Kementerian
Komunikasi dan
Informatika
a. Latar Belakang dan tujuan pengaturan
- Perkembangan teknologi yang demikian pesat telah melahirkan konvergensi jasa-jasa baru yang tidak hanya terbatas pada lingkup telekomuinikasi akan tetapi telah meluas kepada media (penyiaran) dan
informatika untuk penopang seluruh layanan di semua sector termasuk
jasa keuangan, perbankan, perdagangan, pendidikan, kesehatan, komunikasi, social, budaya dan politik;
- Untuk meningkatkan alam demokrasi yang berkualitas dan tumbuh sehat, diperlukan kondisi keragaman kepemilikan dan keragaman isi
penyiaran;
- Jasa siaran radio dan televisi tidak lagi menjadi domain penyelenggara
atau lembaga penyiaran, akan tetapi telah dapat disediakan oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan yang ada dan diakses
menggunakan perangkat telekomunikasi.
a. Sasaran yang ingin diwujudkan;
- Mentransformasi kewajiban pelayanan universal (universal service obligation) menjadi broadband-ready;
- Mengoptimalisasi pemanfaatan spectrum frekwensi radio dan orbit satelit sebagai sumber daya terbatas;
- Mendorong alih teknologi penyiaran dari sistem analog ke sistem digital;
- Merestrukturisasi sector penyiaran;
- untuk meningkatkan keseimbangan isi media atau berita;
- Menegaskan prinsip Keragaman isi dan keragaman kepemilikan;
- Merevitalisasi fungsi KPI sebagai kontrol dan pengawas konten penyiaran;
- Menghapus monopoli kepemilikan penyiaran;
- Memberi pemahaman yang komprehensipbagi para pemilik hak siar bahwa frekuensi yang digunakan oleh lembaga penyiaran adalah milik
1. UU 40 tahun 1999
tentang Pers 2. KUHP
3. KUHPerdata
4. UU No. 36 tahun 1999 tentang
Telekomunikasi
5. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektorinik
6. UU 32 Tahun 2002 ttg Penyiaran
Kajian sudah ada
Belum ada NA
Belum ada draf RUU
Nawa Cita No. 6
(meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di
pasar internsional
sehingga bangsa
Indonesia bisa maju dan bangkit bersama
bangsa-bangsa Asia
lainnya)
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 67
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
negara yang dipinjamkan sebagai hak pakai dan hak guna, untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat;
- mengembalikan penyiaran ke arah dan tujuan mencerdaskan bangsa yang sesuai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
60. RUU Sistem
Pengawasan Intern
Pemerintah
Kementerian
PAN & RB
a. Latar belakang dan Tujuan Penyusunan RUU:
- Saat ini keberadaan aparatur pengawasan internal pemerintah (APIP) sepenuhnya berada di bawah pimpinan kementerian, lembaga, atau
pemerintah daerah (pemda) yang ruang lingkup pengawasannya dibatasi
oleh pimpinan masing-masing, sehingga dipandang tidak efektif.
- Kelembagaan APIP seharusnya merupakan eselon inspektur yang minimal harus sama dengan eselon pejabat yang diperiksa, bukan
sebaliknya misalnya, eselon inspektur di bawah sekretaris daerah
(Sekda). Padahal, Sekda adalah kuasa pengguna anggaran (KPA) yang harus diawasi. Kondisi serupa juga terjadi di kementerian dan lembaga di
tingkat pusat,
- Perlu sistem pengawasan intern yang efektif, efisien, dan sinergis - Optimalisasi kinerja pengawasan intern dalam rangka pelayanan publik
yang prima menuju kesejahteraan masyarakat
- Perlunya Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang profesional, independen, dan kompeten (Reformasi Kelembagaan / SDM APIP)
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
- Tercapainya efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah
- Berkurangnya tingkat korupsi dan pentimpangan dalam rangka menuju
kepemerintahan yang bersih dan bebas KKN - Meningkatkan profesionalisme dan independensi APIP melalui
pemberdayaan SDM yang berkompeten dan berintegritas
- Menjadi dasar hukum pengawasan di lingkungan Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah.
- menciptakan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergitas antar lembaga
pengawas internal pemerintah. Sistem pengawasan ini menitikberatkan pada aspek profesionalisme pengawas, pencegahan korupsi dan
penyimpangan, tindak lanjut laporan, dan akuntabilitas.
c. jangkauan dan Arah Pengaturan:
1. UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari
Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;
2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara
4. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Dan
Pertanggungjawaban Keuangan Negara;
5. UU No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan
Informasi Publik
• Ada NA
• Ada Draf RUU • Masuk dalam RPJMN
dan RKP 2015
• Nawa Cita no. 2
(tata kelola Pemerintahan yang
perish, efektif,
demokratis dan terpercaya)
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 68
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- keberadaan unit aparatur pengawasan internal pemerintah (APIP),
- sistem pengawasan internal,
- pola pertanggungjawabannya.
61. RUU Susunan
dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPD
Kementerian
Dalam Negeri
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UUMD3)
telah dilakukan beberapa kali pengujian ke MK. Beberapa pasal terkait dengan keterwakilan perempuan telah dibatlkan oleh MK, dan terakhir
disepakati oleh KMP dan KIH di DPR untuk mencabut dan menambah
ketentuan yang terkait dengan perubahan komposisi pimpinan alat
kelengkapan DPR. Karena pertimbangan politik tertentu dalam rangka mempercepat proses “rekonsiliasi” di DPR, maka usulan penyempurnaan
UU MD3 dari DPD belum dibahas.
Perubahan UU MD3 ini perlu dilakukan dalam rangka memperjelas sistem pemerintahan presidensial serta mensinkronkan UU MD3 dengan UU
Pemda yang baru (UU No. 23 tahun 2014).
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Penataan kelembagaan parlemen Indonesia yang terdiri dari MPR, DPR,
DPD. Pengaturan tentang DPRD sudah diakomodasi dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
c. Jangkauan dan Arah Pengaturannya:
Susunan dan kedudukan serta tugas dan kewenangan MPR, DPR dan DPD.
1. UU No. 17 Tahun 2014
tentang MPR,
DPR,DPD,DPRD (MD3) 2. UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan
Daerah
3. Perpu No. 1 Tahun 2014
Konsekuensi Putusan
MK, memperjelas
kedudukan DPRD, dan sinkronisasi dengan UU
Pemda
*)
62. Revisi UU No. 2
Tahun 2011
tentang Partai Politik
Kementerian
Dalam Negeri
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Putusan MK atas perkara No. 39/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa Pasal
16 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan Putusan MK setiap Parpol lama
dan baru harus dilakukan verifikasi ulang. Dengan cara demikian akan
dapat dilakukan proses penyederhanaan partai.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
Mendorong Penataan Partai Politik yang lebih Terbuka dan Berkualitas.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
- Mengubah materi anggota Partai Politik yang tidak dapat diberhentikan
UU No.17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD,
DPRD (MD3)
Konsekuensi putusan
MK No. 39/PUU-
XI/2013 terkait dengan verifikasi Parpol lama
dan baru.
Antispasi anggaran pembentukan UU
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 69
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
dari anggota DPR atau DPRD jika: a. partai politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi
peserta Pemilu atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak
ada lagi,
b. anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang mencalonkannya,
c. tidak lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon
Tetap dari partai yang mencalonkannya”;
- partai politik wajib melakukan pendidikan politik secara sistematis, terprogram, dan berkesinambungan;
- membangun sistem rekrutmen politik yang lebih transparan, partisipatif,
selektif, kompetitif, dan akuntabel; - melakukan penyiapan secara serius terhadap kader-kadernya sebagai
calon-calon pemimpin bangsa yang andal dan terpercaya di masa depan;
- menciptakan etika politik partai yang santun dan bermartabat yang diinternalisasikan pada diri para anggotanya;
- visi, misi, platform, dan program kerja yang senantiasa ditawarkan
kepada publik;
- Membentuk sistem pertanggungjawaban atas bentuk agregasi dan perjuangan atas tuntutan akan kebutuhan rakyat yang nyata dan
sedapat mungkin mewujudkannya;
- Mendorong komunikasi politik yang sehat antar partai politik sehingga terjadi koalisi ideologis secara permanen;
- memisahkan antara kepengurusan struktural parpol dengan jabatan
publik/pemerintahan (tidak rangkap jabatan); - pengaturan mengenai sistem pembiayaan partai politik, yang didanai
dari sumber-sumber yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan;
- Penyederhanaan Jumlah Partai Politik.
63. RUU
Penyelenggara Pemilu
Kementerian
Dalam Negeri
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU
UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, mengatur struktur penyelenggara pemilu mulai dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/kota,
hingga tingkat bawah. Dengan diterbitkannya PERPU No. 23/2014 terjadi
perubahan sistem pemilu di daerah yang semula akan dilakukan oleh DPRD dikembalikan menjadi Pilkada langsung. Selanjutnya Putusan MK
No. 97/PUU/XI/2013 menyatakan bahwa Pilkada langsung merupakan
bagian dari rezim pemda, bukan rezim pemilu. Dampak dari putusan ini,
untuk pelaksanaan Pilkada langsung tentu tidak dapat serta merta
1. UU No. 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu
2. UU No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 70
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
menggunakan organ/perangkat penyelenggara pemilu KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagai organ dalam rezim pemilu. Untuk itu perlu
ada pengaturan terlebih dahulu. Selain itu perlu ada pengaturan
kelembagaan penyelenggara pemilu tatkala pemilu dilakukan secara
serentak (Pileg dan Pilpres).
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Penataan kelembagaan penyelenggara pemilu baik yang dalam konteks rezim pemilu maupun rezim pemda
c. Arah Pengaturannya - Kelembagaan KPU,
- Bawaslu dan DKPP sebagai penyelenggara pemilu,
- proses pengisian jabatannya
Perwakilan Rakyat Daerah (Pileg)
3. UU No. tentang
Pemilihan Presiden
4. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
sebagaimana diubah
dengan UU No. 2 Tahun 2011
64. RUU Pemilihan Umum Anggota
Legislatif
Kementerian Dalam Negeri
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU
- Berdasarkan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, Pilpres dan Pileg dilakukan serentak mulai Pemilu 2019. UU Pileg dan UU Pilpres yang
berlaku saat ini masih menggunakan paradigma pemilu yang dilakukan
terpisah berurutan karena penentuan calon Presiden ditentukan oleh partai politik yang memenuhi Parliamentary Treshold (PT). Pengaturan
Pemilu serentak merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945 khususnya
Pasal 22E ayat (1) yang berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan Pasal 22E ayat (2) yang berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
- Pengaturan UU pemilu serentak untuk mendorong hak warga negara memilih secara cerdas karena warga negara dapat mempertimbangkan
sendiri mengenai penggunaan pilihan untuk memilih anggota DPR dan
DPRD yang berasal dari partai yang sama dengan calon presiden dan wakil presiden.
- Selain itu, dengan pemilihan umum serentak dapat dilakukan proses yang efisien dengan tetap menjamin kualitas penyelenggaraannya, dan
dapat membangun peta checks and balances pemerintahan presidensial.
1. UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu
2. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat
Daerah (Pileg) 3. UU No. 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden
4. UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagaimana diubah
dengan UU No. 2
Tahun 2011
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 71
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
b. Sasaran yang ingin diwujudkan: Terselenggaranya pemilu legislative yang dilakukan serentak dengan
pemilu Presiden.
c. Arah pengaturannya - Mekanisme penyelenggaraan pemilu serentak yang efisien.
- Kerangka pengaturan pemilu serentak yang bersamaan dengan Pilkada
langsung (serentak) 2019. - Pencegahan terhadap munculnya poilitik dinasti.
- Persyaratan calon dan pencalonan
- Mekanisme kampanye - Mekaninsme pencoblosan
- Mekanisme penghitungan suara.
- Mekanisme penetapan colan terpiliih. - Mekanisme penjatuhan sanksi.
65. RUU Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil
Presiden
Kementerian Dalam Negeri
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU
- Berdasarkan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, Pilpres dan Pileg dilakukan serentak mulai Pemilu 2019. UU Pileg dan UU Pilpres yang
berlaku saat ini masih menggunakan paradigma pemilu yang dilakukan
terpisah berurutan karena penentuan calon Presiden ditentukan oleh partai politik yang memenuhi Parliamentary Treshold (PT). Pengaturan
Pemilu serentak merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945 khususnya
Pasal 22E ayat (1) yang berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan Pasal 22E ayat (2) yang berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
- Pengaturan UU pemilu serentak untuk mendorong hak warga negara untuk memilih secara cerdas karena warga negara dapat
mempertimbangkan sendiri mengenai penggunaan pilihan untuk
memilih anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai yang sama dengan calon presiden dan wakil presiden. Selain itu, dengan pemilihan
umum serentak warga negara dapat menggunakan haknya untuk
memilih secara cerdas dan efisien, dan dapat membangun peta checks and balances pemerintahan presidensial.
1. UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu
2. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat
Daerah (Pileg) 5. UU No. 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden
3. UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagaimana diubah
dengan UU No. 2
Tahun 2011
Materi muatan UU Pileg dan UU Pilpres dapat
diintegrasikan dalam
satu UU tentang Pemilu Serentak yang di
dalamnya mengatur
Pemilihan Legislatif dan pemilihan presiden.
Termasuk juga
kaitannya dengan
Pilkada langsung serentak tahun 2019.
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 72
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
b. Sasaran yang ingin diwujudkan: Terselenggaranya pemilu legislative yang dilakukan serentak dengan
pemilu Presiden.
c. Arah pengaturannya - Mekanisme penyelenggaraan pemilu serentak yang efisien.
- Kerangka pengaturan pemilu serentak yang bersamaan dengan Pilkada
langsung (serentak) 2019. - Pencegahan terhadap munculnya poilitik dinasti.
- Persyaratan calon dan pencalonan
- Mekanisme kampanye - Mekaninsme pencoblosan
- Mekanisme penghitungan suara.
- Mekanisme penetapan colan terpiliih. - Mekanisme penjatuhan sanksi.
66. Revisi UU Nomor 2 Tahun
2002 tentang
Kepolisian Negara
Republik
Indonesia
Kementerian Hukum & HAM
a. Latar Belakang penyusunan RUU: UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang saat ini berlaku
sudah tidak sesuai lagi terkait dengan harapan dan tuntutan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam pelaksaan penegakan hukum, sehingga dibutuhkan penguatan posisi dan kedudukan Polri
sebagai alat negara penegak hukum, pengutan lembaga pengawasan Polri,
penguatan kewenangan pejabat polisi dalam menjalankan tugasnya dan penguatan perlindungan hukum dalam pelaksanaan tugas dan
peningkatan kesejahteraan anggota Polri, serta penguatan hubungan
hukum dan hubungan kerja Polri dengan sesama aparat penegak hukum
lainnya dalam kerangka sistem peradilan pidana di Indonesia.
b. Sasaran yang ingin diujudkan:
- Penguatan kelembagaan Polri; - Pengutan lembaga pengawasan polri
- Penguatan kedudukan Polri dalam ketatanegaraan RI;
- Penguatan tugas fungsi dan kewenangan Polri dalam pelaksaaan tugasnya dibidang harkamtibmas dan penegakan hukum;
- Penguatan perlindungan personel polri dalam pelaks tugasnya
- Peningkatan kesejahteraan personel Polri;
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
1. KUHP 2. Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana; 3. Undang-Undang No.
16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan; 4. Undang-Undang No.
39 Tahun 1999
tentang HAM;
5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang KPK;
6. Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman
7. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
Masuk dalam RPJMN
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 73
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Pengaturan Polri sebagai lembaga dan alat Negara ditujukan untuk menguatkan kelembagaan dan personel Polri dalam pelaksaaan tugasnya
dengan memperkuat lembaga pengawasan Polri dari internal maupun
eksternal, penguatan tugas dan fungsi Polisi selaku alat Negara
harkamtibmas dan gakkum sehingga dapat memenuhi tuntutan masyarakat akan Polri yang bersih berwibawa dan dipercaya oleh
masyarakat.
67. RUU tentang
Persandian
Kementerian
Pertahanan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU;
- Pembangunan Indonesia harus senantiasa tanggap terhadap dinamika masyarakat dan bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
- Dinamika masyarakat yang terjadi dalam era Informasi menunjukkan lingkup pemanfaatan teknologi Informasi berperan penting tidak hanya
untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara saja, tetapi juga
penting untuk kepentingan perekonomian, perdagangan, dan industri. - Setiap rakyat Indonesia berkepentingan untuk mendapat jaminan atas
hak asasinya, termasuk hak asasi untuk mendapatkan jaminan
keamanan dan privasi dalam menggunakan sumber daya internet, di antaranya „right against disclosure of concealed information‟ atau „right to limit access to the self‟, atau „control of information pertaining to one‟s self.
- Pemanfaatan ilmu dan teknologi persandian dapat digunakan untuk menjamin keamanan privasi tersebut, namun jaminan terhadap
pemanfaatan Persandian guna melindungi privasi tidak disebutkan
secara tegas dalam Undang-Undang di Indonesia. - Belum adanya peraturan yang menyebutkan secara jelas kewenangan
negara untuk mengawasi perkembangan sistem dan peralatan sandi
yang termasuk dalam obyek yang bersifat sipil-militer atau dual-use goods.
- Peraturan yang ada tidak dapat memberikan jaminan perlindungan
yang jelas mengenai lingkup dan batasan legalitas dalam penggunaan
Persandian untuk menjamin keamanan sumber daya internet. - Setiap korporasi yang mengelola sumber daya internet di Indonesia
berkepentingan untuk mendapat jaminan perlindungan atas investasi
dan bisnisnya. - Dalam konteks sistem elektronik, informasi yang berbentuk digital
1. UU No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik
2. UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik 3. UU No. 17 Tahun 2011
tentang Intelijen Negara
4. UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
• Ada NA
• Ada RUU • Masuk dalam RPJMN
• Target prioritas:
2016/2017
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 74
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
membutuhkan suatu pengamanan informasi yang pada esensinya adalah membutuhkan sistem persandian dalam hal ini teknik-teknik
kriptografinya. Sistem elektronik pemerintahan dan swasta juga
membutuhkan perlindungan persandian. Dalam skala yang lebih besar,
fungsi dan peranannya tidak hanya dipersepsikan dalam konteks kepentingan pertahanan saja, melainkan juga dalam konteks
pengamanan kepentingan individu, kelompok dan masyarakat informasi
itu sendiri guna melindungi privasi dan keunggulan kompetitifnya secara organisasional. Persandian juga menjadi kunci pengamanan
terhadap aplikasi informatika dalam konteks perdagangan dan industri
serta jasa-jasa pelayanan publik. - Sandi merupakan aspek yang penting untuk melindungi kerahasiaan,
keamanan, keutuhan, keautentikan, ketersediaan, dan
kebertanggungjawaban terhadap Informasi baik dalam pemanfaatan teknologi Informasi dalam lingkup negara maupun privat dengan tetap
memperhatikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia.
- Negara bertugas mensejahterakan, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan dari ancaman kepada seluruh warganya
pada ranah dunia siber (internet) yang salah satunya dapat dilakukan
dengan pemanfaatan ilmu dan teknologi persandian. - Tindakan penyalahgunaan teknologi Persandian dapat menimbulkan
akibat yang membahayakan keselamatan masyarakat atau merugikan
perekonomian, sehinggadiperlukan suatu aturan hukum nasional untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.
- Pemerintah perlu mendukung pengembangan sistem Persandian Negara
yang profesional dan mandiri dalam rangka mendukung pembangunan nasional.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
- Tersedianya aturan hukum untuk melindungi penyelenggaraan
pemerintahan dan aktivitas masyarakat dewasa ini yang telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam melakukan
interaksi, sehingga pemerintah dan masyarakat merasa nyaman dan
aman melakukan transaksi secara elektornik. - Tersedia aturan hukum untuk mengatur dan mengatasi segala
permasalahan yang berkaitan dengan jaminan keamanan informasi,
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 75
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
baik bagi penyelenggara pemerintahan, pelaku bisnis maupun masyarakat dalam melaksanakan aktivitasnya.
- Tersedianya aturan hukum di bidang persandian khususnya
penggunaan kriptografi sebagai sarana perlindungan keamanan
informasi dalam konteks pertahanan negara, e-government, e-public services dan nationale-identity management maupun penyelenggaraan e-commerce yang aman dan dapat dipercaya.
c. Jangkauan dan arah pengaturan; - Perlindungan privasi:
Setiap orang memiliki hak untuk merahasiakan data pribadinya atau
menentukan informasi apa saja yang merupakan rahasia pribadinya.
Setiap orang memiliki hak untuk menggunakan produk penyandian untuk pengamanan informasi demi kepentingan perlindungan privasi
dan/atau data pribadinya.
- Pelayanan publik: Setiap penyelenggara sistem elektronik untuk pelayanan publik wajib
menggunakan produk penyandian untuk pengamanan informasi dan
pengamanan sistem informasinya demi kepentingan kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik, serta menjamin keaslian dan
ketersediaan informasi publik yang ada dalam lingkup pelayanannya.
- Penyelenggaraan pemerintahan: Persandian Negara berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan,
dan tindakan untuk melindungi Informasi berklasifikasi milik
pemerintah dan mendukung kegiatan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap
setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam
kepentingan dan keamanan nasional.
- Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi persandian:
Setiap Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berhak
melakukan penelitian dan pengembangan teknologi persandian, baik yang bersifat penelitian murni maupun terapan.
- Penegakan hukum :
Setiap orang wajib untuk membuka informasi yang disandi apabila diminta oleh penyidik, jaksa, atau hakim, atas dasar kepentingan
penegakan hukum.
Setiap orang wajib untuk membuka informasi yang disandi untuk
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 76
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
kepentingan perlindungan keamanan nasional dan/atau demi menjaga kepentingan ekonomi nasional.
Setiap penyidik dapat membongkar perlindungan sandi terhadap
perangkat keras, perangkat lunak, sistem informasi, sistem elektronik,
atau data, untuk memperoleh informasi, demi kelancaran penegakan hukum.
- Kebijakan industri dan perdagangan produk persandian:
Produk persandian negara dan produk persandian privat Setiap orang bebas untuk menggunakan produk persandian privat
- SDM Persandian:
Dalam rangka menjalankan kewenangannya sebagai penyelenggara tunggal persandian negara, Lembaga Sandi Negara melakukan
penataan dan pengawasan sumber daya manusia sandi agar memenuhi
standar kompetensi bidang sandi. - Sanksi:
Sanksi administratif dan sanksi pidana
- Ketentuan Acara (di sidang peradilan) :
Sesuai dengan hukum acara yang berlaku, dan diatur bahwa sidang pengadilan terhadap perkara tindak pidana pendekripsian informasi
pemerintah yang berklasifikasi harus dilakukan secara tertutup.
68. RUU tentang
Balai Harta Peninggalan
Kementerian
Hukum dan HAM
a. Latar Belakang Penyusunan RUU:
- Peraturan terkait dengan perwalian, pengampuan, ketidakhadiran, harta peninggalan tidak terurus, pendaftaran surat wasiat, surat
keterangan waris, kepailitan, aset bank dalam likuidasi, dan Harta
Tidak Terurus dari golongan masyarakat Timur Asing selain China,
masih menggunakan produk colonial yaitu Institutie voor de Weeskamer in Indonesie (Ordanantie van 5 Oktober 1872, Stb. 1872
Nomor 166) dan Vereeniging toteene regeling van het de kassen der
weeskamers en der boedelkamers en regelling van het beheer dier Kassen (Ordonantie van 9 September 1897, Stb. 1897 Nomor 231).
- Berdasarkan ordonantie tersebut diatur pengurusannya terutama
bagi golongan yang telah ditentukan, bukan untuk golongan pribumi. Adanya pembedaan golongan ini merupakan sistem yang
diberlakukan pada masa colonial.
- Balai Harta Peninggalan memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat dalam memberi kepastian dan perlindungan hukum
terhadap perwalian, pengampuan, pengurusan harta kekayaan pihak
1. KUHPerdata
2. UU Kepailitan
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 77
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
ketiga, pewarisan, dan kepailitan; - Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Balai Harta
Peninggalan yang berasal dari zaman kolonial sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang tidak
mengenal penggolongan warga negara sehingga perlu diganti dengan produk hukum nasional yang dijiwai dan bersumber pada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
a. Sasaran yang Ingin Diwujudkan:
Mengganti produk hukum kolonial yang sesuai dengan cita hukum
Pancasila dan konstitusi, yang sebelumnya masih diatur dengan Ordonantie.
b. Arah dan Jangkauan pengaturan: Jangkauan yang ingin diatur mengenai:
- Masalah perwalian dan pengampuan harta peninggalan;
- Pengurusan harta peninggaalan oleh pihak ketiga;
- Harta peninggalan yang tidak terurus; - Harta titipan yang kadaluarsa;
- Pewarisan harta peninggalan.
69. RUU tentang Komisi
Kebenaran dan
Rekonsiliasi
Kementerian Hukum dan
HAM
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU; - Sebagai akibat putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU
No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(Putusan MK No 006/PUU-IV/2006), dipandang perlu untuk tetap
mengajukan kembali RUU baru. - Dalam putusannya MK merekomendasikan pembentukan UU KKR
baru, yang sejalan dengan UUD 1945, dan menjunjung tinggi prisip-
prinsip hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia internasional. - Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), juga
dimandatkan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, khususnya terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
(Pasal 47 UU No. 26/2000).
- TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Persatuan dan kesatuan Nasional pada intinya memberikan arah penyelesaian pelanggaran HAM Berat
masa lalu yang dapat dilakukan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc atau
1. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
2. UU No. 26 Tahun 2006
tentang Pengadilan HAM
3. UU No. 13 Tahun
2006 ttg Perlindungan Saksi dan Korban
Selesai
Harmonisasi
Penyempurnaan
draf RUU, tahun
2014
Nawa Cita No. 4
(Melakukan
reformasi system
dan penegaka hokum yang
bebas korupsi,
bermartabat dan terpecaya)
*)
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 78
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
melalui Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi. - UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang juga
mengamantakan pembentukan Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi di
Aceh. Di dalam Pasal 229 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh disebutkan,
“Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.
- UU KKR dibentuk guna menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang
terjadi pada masa lalu sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 ttg Pengadilan HAM, perlu ditelusuri kembali utk mengungkapkan
kebenaran serta menegakan keadilan dan membentuk budaya
menghargai HAM shg dapat diwujudkan rekonsiliasi guna persatuan nasional. Pengungkapan kebenaran juga demi kepentingan para
korban dan/keluarga korban dan juga ahli warisnya untuk
mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
Terbentuknya UU KKR yang baru sehingga diperoleh keadilan dan
kepastian hukum bagi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 baik bagi pelaku maupun
korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Dengan diungkapkannya
kebenaran ttg pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM melalui komisi kebenaran dan
rekonsiliasi diharapkan dapat diwujudkan rekonsiliasi nasional.
c. Arah dan Jangkauan UU KKR ini adalah: terwujudnya rekonsiliasi
nasional dengan pengungkapan penyelesaian pelanggaran HAM Berat
masa lalu sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2000 ttg Pengadilan HAM.Dengan demikian baik pelaku, korban maupun keluarganya
memperoleh keadilan dan kepastian hokum melalui upaya rekonsiliasi
seperti kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dan amnesty. Lingkup materi yang diatur dalam UU KKR ini adalah meliputi asas dan tugas
pemebntukan komisi, temapat kedudukan, fungsi tugas dan wewenang
komisi, alat kelengkapan, tata cara penyelesaian permohonan kompensasi,
restitusi, rehabilitasi dan amnesty, keanggotaan komisi, pembiayaan, ketentuan lain-lain, ketentuan penutup.
70. RUU tentang Kementerian a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU: 1. Kitab Undang-Undang • Muatan RUU terkait
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 79
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Perubahan atas UU No. 16
Tahun 2004
tentang
Kejaksaan
Hukum dan HAM
- Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan
ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-
badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan badan-badan lain tersebut dipertegas
oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah Kejaksaan Republik
Indonesia.
- Sejalan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan beberapa undang-undang yang baru, serta
berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan maka Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu
dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-
undang yang baru. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk
lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan umum, penegakkan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan
kembali terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-
perubahan tersebut di atas.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
Perubahan Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan yang bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
c. Arah dan Jangkauan pengaturan:
Mengatur pengangkatan dan pemberhentian jaksa agung, dengan
adanya ketegasan soal pengangkatan dan pemberhentian itu, maka tidak akan terulang lagi kesalahan administrasi.
Penyempurnaan pengaturan mengenai Komisi Kejaksaan.
Pengaturan mengenai pemberian keleluasaan dan wewenang Kejaksaan
Hukum Pidana 2. Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana;
3. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara RI;
4. UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah
diubah dengan UU No.
5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah
Agung; 5. Undang-Undang No.
39 Tahun 1999
tentang HAM;
6. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang KPK;
7. Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman
8. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
dengan perubahan RUU HAP
• Pernah masuk tahap
pembahasan tk.I DPR,
RUU diprakarsai oleh DPR
*) **)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 80
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Agung dalam mengusut kasus
Mengenai kelembagaan, terkait dengan SDM, mekanisme pengangkatan
jaksa dan batas usia pensiun jaksa
71. RUU tentang
Metrologi Legal
Kementerian
Perdagangan d. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan RUU:
UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal sudah tidak sesuai dengan
perkembangan pengaturan secara internasional dan nasional serta
perkembangan ilmu pengetahuan. Pengaturan internasinal yang harus diakomodir salah satunya ialah
diratifikasinya WTO oleh Indonesia pada tahun 1994 khususnya
pengaturan mengenai Technical Barrier to Trade (WTO-TBT) yaitu kesepakatan mengenai komoditas negara peserta WTO untuk dapat
diterima oleh negara peserta lainnya. Pengaturan nasional salah satunya
terkait tumpang tindih kewenangan dalam UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.
Dari sisi perkembangan Ilmu pengetahuan lahirlah kategori Metrologi
Ilmiah, yang berkaitan dengan pengembangan ilmu metrologi dan standar-standar pengukuran yang kebenaran dan kesetaraannya. Kategorisasi
kegiatan kemetrologian yang diperkenalkan oleh EURAMET ini kemudian
diterima secara internasional dalam pengelompokan aplikasi sistem
metrologi.
e. Sasaran yang Ingin diwujudkan:
Mengganti UU No. 2 Tahun 1981 sesuai perkembangan yang ada serta mengangkat materi muatan yang ada dalam peraturan pelaksana UU
terdahulu agar lebih menyempurnakan UU tersebut
f. Arah dan dan jangkauan pengaturan:
memperluas ruang lingkup pengaturan mencakup metrologi legal,
metrologi industri, dan metrologi ilmiah dan mengharmonisasikannya dengan pengaturan baik nasional dan internasional serta tertatanya
praktik penyelenggaraan kemtrologian yang lebih efektif mengenai
kelembagaan dan mekanismenya sehingga tercipta sistem yang lebih
memberikan jaminan kepastian baik bagi kepentingan konsumen maupun kepentingan dunia industri terutama meningkatkan daya saing nasional
dalam persaingan global
1. UU No. 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian;
2. UU No. 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan; 3. UU No. 20 Tahun 2014
tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian;
4. UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen;
5. UU No. 10 Tahun 1997
tentang Ketenaganukliran;
6. UU No. 18 Tahun 2002
tentang Sistem Nasional
Penelitian; 7. UU No. 20 Tahun 2002
tentang
Ketenagalistrikan
Ada NA
Ada Draft RUU
*) **)
72. RUU tentang
Lembaga
Kementerian
Perencanaan a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan RUU:
- Pengerjaan proyek-proyek infrastruktur dan non infrastruktur yang
1. UU No. 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian;
RUU tentang Lembaga
Pembiayaan
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 81
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Pembiayaan Pembangunan
Indonesia
PembangunanNasional/
Bappenas
berkaitan dengan investasi dan industry, semuanya membutuhkan dana yang sangat besar, tidak semua proyek tersebut mampu dibiayai
oleh pemerintah akibat keterbatasan anggaran, oleh karena itu
dikembangkan pula skema kerjasama pemerintah-swasta untuk
pembiayaan infrastruktur atau skema lain yang dapat mendorong terlaksananya proyek.
- Problem berikut terkait penjaminan. Investasi di sektor infrastruktur bersifat jangka panjang rata-rata antara 10-40 tahun sehingga investor
ataupun financier akan mempertimbangkan keputusannya secara mendalam serta berbagai risiko yang muncul.
- Lembaga pembiayaan yang selama ini selain bank yaitu PT SMI dan PT PIP belum mampu menjawab permasalahan pendanaan bagi
pembangunan infrastruktur yang murah dan dalam jangka waktu panjang.
- PT SMI yang berbentuk BUMN lebih bersifat profit oriented dimana bunga pinjamannya akan tinggi, disamping itu dikarenakan status
BUMNnya tersebut menjadikan lembaga tersebut sangat
ketergantungan dengan penyertaan modal dari Pemerintah yang sangat sedikit.
- Sebaliknya PT PIP lebih cenderung beresiko merugikan keuangan negara
b. Sasaran yang Ingin diwujudkan: Dasar hukum berbentuk Undang-undang yang mengatur mengenai
lembaga pembiayaan semua sektor, baik infrastruktur maupun non
infrastruktur
c. Arah dan dan jangkauan pengaturan:
Pengaturan mengenai lembaga pembiayaan yang 100% dimiliki oleh
negara
Seluruhnya memperoleh dukungan permodalan ataupun penghimpunan
dana dalam berbagai bentuk antara lain jaminan kecukupan modal dan callable capital, obligasi negara yang diteruspinjamkan, utang yang
dijamin oleh negara, jaminan solvency
Semua memiliki fasilitas insentif pajak
2. UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan;
3. UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan
Negara; 4. UU No. 19 tahun 2003
tentang BUMN;
5. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
6. UU No. 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan
Pembangunan Indonesia dan RUU tentang
Lembaga Pembiayaan
Industri
direkomendasikan untuk dijadikan satu
(simplifikasi). Untuk
sementara waktu akan dikaji yang diprakarsai
oleh Bappenas.
Berdasarkan hasil kajian
prakarsa pengajuan
RUU dapat dialihkan ke misalnya Kemenkeu
**) judul: RUU ttg
Lembaga Pembiayaan
73. RUU tentang
Perubahan atas UU No. 12
Tahun 2011
Kementerian
Hukum dan HAM
a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan RUU:
Keputusan MK No. 92/PUU-X/2012 terkait pengujian UU MD3 dan UU No. 12 Tahun 2011 (P3) menyatakan beberapa ketentuan dalam UU P3
tidak memiliki kekuatan berlaku karena tidak memperjelas proses
1. UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daearah
2. UU No. 17 Tahun 2014
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 82
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-
Undangan
keterlibatan DPD dalam proses pembentukan UU yang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D UUDNRI
Tahun 1945.
Keterlibatan DPD dalam Pembentukan RUU dimulai sejak perencanaan,
pembentukan, pembahasan, sampai penyebarluasan. Dengan demikian ada perubahan yang cukup signifikan terhadap konsep dan mekanisme
pembahasan RUU di DPR yang harus mengubah UU No. 12 Tahun
2011. b. Sasaran yang Ingin diwujudkan:
Mengubah UU 12 Tahun 2011 agar lebih komprehensip, pasti, dan
harmonis dengan peraturan perundang-undangan lainnya baik secara vertikal maupun horizontal.
c. Arah dan dan jangkauan pengaturan: Mengubah pasal-pasal yang diuji materiil oleh MK, yaitu:
Pasal 18 huruf g; Pasal 20 ayat (1); Pasal 21 ayat (1); . Pasal 22 ayat (1);
Pasal 23 ayat (2); Pasal 43 ayat (1); Pasal 48 ayat (1); Pasal 49 ayat (1);
Pasal 50 ayat (1); Pasal 68 ayat (2); Pasal 68 ayat (3); Pasal 70 ayat (1); . Pasal 70 ayat (2); Pasal 71 ayat (3); Pasal 88 ayat (1); Pasal 89
tentang MD3
74. RUU tentang
Perlindungan
data dan informasi
pribadi
Kementerian
Komunikasi
dan Informatika
a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan RUU :
- Data pribadi merupakan hak dasar manusia yang harus dilindungi
keberadaannya (Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). Perlindungan data pribadi di sektor keuangan, sektor telekomunikasi, pendidikan,
kesehatan, dan demografis yang memadai akan mampu memberikan
kepercayaan masyarakat terkait pengelolaan data dan informasi pribadi
tanpa takut disalahgunakan atau dilanggar haknya
- Tidak adanya suatu UU yang secara komprehensif mengatur mengenai privasi atas data pribadi, sedangkan perlindungan privasi lainnya sudah
tersebar dalam berbagai Peraturan perundang-undangan.
- Kurangnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya melindungi privasi.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan :
Memberikan dasar hukum bagi pemerintah, masyarakat dan pelaku
usaha terkait perlindungan data pribadi warga negara.
c. Jangkauan dan Arah Pengaturan :
- Definisi yang jelas mengenai data pribadi,
1. UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak
Asasi Manusia 2. UU No. 10 Tahun
1998 tentang
Perbankan
3. UU No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi
4. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
5. UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan
Transaksi Elektronik 6. UU No. 14 Tahun
2008 tentang
Masuk dalam
RPJMN
NA dlm proses
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 83
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- Prinsip-prinsip Perlindungan Data dan Informasi Pribadi,
- Pengecualian Terhadap Perlindungan Data dan Informasi Pribadi,
- Hak-hak Pemilik Data dan Informasi Pribadi,
- Kewajiban Pengelola Data dan Informasi Pribadi,
- Komisi Perlindungan Data dan Informasi Pribadi,
- Perbuatan yang dilarang, Transfer data dan Informasi Pribadi, (Kerjasama Internasional), (Ketentuan denda dan pidana), (Ketentuan
Penutup)
Keterbukaan Informasi Publik
7. UU No. 36 Tahun
2009 tentang
Kesehatan 8. UU 24 tahun 2014
tentang perubh UU 23
tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
9. UU No.5 Tahun 2014 ASN (terkait NIP)
75. RUU tentang
Landas
Kontinen Indonesia
(pengganti UU
No. 1 Tahun 1973 tentang
Landas
Kontinen Indonesia)
Semula
Kementerian
Hukum dan HAM, akan
dialihkan
menjadi prakarsa
Kementerian
Kelautan dan Perikanan
a. Latar Belakang Penyusunan RUU:
Dasar hukum penyusunan UU Nomor 1 Tahun 1973 masih menggunakan
ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1958, sedangkan rezim hukum laut internasional saat ini mengacu pada UNCLOS 1982, sehingga secara
substansi ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 1973 sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan Hukum Laut Internasional.
b. Sasarannya mewujudkan pengaturan:
landas kontinen Indonesia yang lebih komprehensif dan terkait dengan peraturan perundang-undangan lain, sehingga pengelolaan dan penegakan
hukum di landas kontinen lebih baik.
c. jangkauan dan arah pengaturan: Pengaturan Landas Kontinen yang selaras dengan perkembangan
peraturan perundang-undangan nasional dan hukum laut internasional.
Sedangkan jangkauannya adalah mampu mengatur Landas Kontinen, baik didalam maupun diluar 200 mil laut (extended continental shelf). UU No.1
tahun 1973 hanya mengatur di dalam area 200 mil laut.
1. UU No 5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi
Ekslusif 2. UU N0.17 tahun 1985
tentangPengesahan
UNCLOS 1982 (Hukum lautInternasional)
3. UU No 32 Tahun 2014
tentag Kelautan 4. UU Nomor 5 Tahun
1990 tentang Koservasi
Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
5. UU Nomor 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi
6. UU Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara
7. UU Nomor 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran 8. UU Nomor 32 Tahun
2009 tentang
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah Selesai PAK
Sedang Proses
Harmonisasi
Nawa Cita No. 1
(mengamankan
kepentingan dan keamanan maritim
Indonesia, khususnya
batas Negara, kedaulatan Negara
dan sumber daya
alam)
Catatan RPT :
- Pemerintah Aceh meminta kewenangan
pengelolaan landas
kontinen dan Zona
Tambahan yang diatur dengan PP
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 84
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Perlindungan dan Pengelolaan
LingkunganHidup
9. UU Nomor 22 Tahun
2011 tentang Minyak Bumi dan Gas Bumi
10. UU No. 4 Tahun 2011
tentang Informasi Geospasial
11. UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh
atas UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh
- KKP akan terlebih dahulu melakukan
konsultasi dan koordinasi dengan
Kementerian Hukum
dan HAM sebagai pihak yang selama
ini melaksanakan
penyusunan NA dan
RUU tentang Landas Kontinen Indonesia
- Keputusan tersebut akan dilaporkan
paling lambat pada 2 Desember 2014
-
76. RUU Zona Tambahan
Indonesia
Kementerian Kelautan dan
Perikanan
a. Latar Belakang penyusunan RUU: Sampai saat ini belum ada pengaturan di Zona Tambahan. Padahal Zona
Tambahan penting bagi Indonesia untuk melakukan pencegahan dan
penindakan (pengejaran seketika (hot pursuit)) yang berkaitan dengan
pelanggaran di bidang fiskal, kepabeanan, keimigrasian, kesehatan, dan perluaan pelanggaran dibidang narkoba, trafficking, terorisme ,
pengangkatan benda purbakala dan lain sebagainya.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Mengurangi pelanggaran dibidang tersebut di atas dengan memanfaatkan
kewenangan yurisdiksi Indonesia di Zona Tambahan untuk kepentingan nasional.
c. Jangkauan dan Arah Pengaturan: Pemanfaatan area Zona Tambahan sebagai sarana meningkatkatkan
pengamanan dan penertiban diengan melakukan pencegahan dan
penindakan pelanggaran hukum nasional di area yurisdiksi nasional.
1. UU N0. 6/2011 Keimigrasian
2. UU Karantina
Kesehatan (Karantina
Udara N0.1 Tahun 1962 dan UU N0. 2/1962
tentang Karantina,
laut), 3. UU No.12/1992 tentang
KarantinaHewan, Ikan
dan Tumbuhan 4. UU No.32/2009
Lingkungan Hidup
5. UU N017/2004 Keuangan Negara
6. UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan
Aceh
• Sudah ada NA • Sudah ada RUU
• NawaCita No. 1
(mengamankan
kepentingan dan keamanan maritim
Indonesia, khususnya
batas Negara, kedaulatan Negara dan
sumber daya alam)
**)
Catatan RPT :
Pemerintah Aceh meminta kewenangan
pengelolaan landas
kontinen dan Zona
Tambahan yang diatur
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 85
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
dengan PP atas UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh
77. RUU tentang
Perubahan atas
UU No. 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar
Negeri
Kementerian
Luar Negeri
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri
sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini, mengingat banyak hal yang belum diatur, susunan ketentuan yang tidak teratur dan perlu penjelasan
lebih lanjut.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Menyempurnakan beberapa pasal dalam Undang-Undang Hubungan Luar
Negeri yang seringkali menjadi persoalan dalam pelaksanaan, seperti:
1. Definisi “hubungan luar negeri” yang terlampau luas dan definisi “politik luar negeri” yang sempit;
2. Organisasi, tata kerja dan struktur Perwakilan Republik Indonesia;
3. Mekanisme keanggotaan Indonesia dalam organisasi internasional; 4. Pengaturan pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian;
5. Pengaturan pendirian lembaga kebudayaan, lembaga persahabatan,
badan promosi dan lembaga atau badan Indonesia; 6. Ruang lingkup “kekebalan”, “hak istimewa” dan “pembebasan”;
7. Perlindungan Warga Negara Indonesia;
8. Pengaturan fungsi kekonsuleran; 9. Pengaturan mengenai pengangkatan Duta Besar; dan
10. Status Pejabat Dinas Luar Negeri dalam tataran sistem kepegawaian
pemerintah.
c. Jangkauan dan Arah Pengaturan:
1. Redefinisi “hubungan luar negeri”;
2. Pengaturan yang jelas mengenai tugas, pokok dan fungsi perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
3. Kewenangan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Dalam Negeri
dalam pelaksanaan hubungan luar negeri oleh daerah; 4. Mekanisme keanggotaan Indonesia dalam organisasi internasional;
5. Mekanisme keanggotaan Indonesia dalam organisasi internasional;
6. Pengaturan pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian; 7. Pengaturan pendirian lembaga kebudayaan, lembaga persahabatan,
badan promosi dan lembaga atau badan Indonesia;
1. UU No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian
Internasional 2. UU No. 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD
Nawacita No. 1:
Menghadirkan kembali
Negara melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa
aman pada seluruh warga Indonesia
melalui pelaksanaan
politik luar negeri yang
bebas dan aktif.
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 86
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
8. Pengaturan mengenai “kekebalan”, “hak istimewa” dan “pembebasan”; 9. Perlindungan Warga Negara Indonesia di luar negeri;
10. Pengaturan fungsi kekonsuleran;
11. Pengaturan mengenai pengangkatan Duta Besar; dan
12. Status Pejabat Dinas Luar Negeri dalam tataran sistem kepegawaian pemerintah
13. Penanganan sengketa hukum yang melibatkan Pemerintah Indonesia
di lembaga peradilan asing maupun internasional; dan 14. Peranan dan penyelenggaraan kerja sama teknis sebagai tool of foreign
policy.
78. RUU tentang
Perubahan atas
UU No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian
Internasional
Kementerian
Luar Negeri
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU:
- Dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Perjanjian Internasional yang ada saat ini sudah tidak sesuai,
khususnya ketentuan yang berkaitan dengan status hukum perjanjian internasional dalam hukum nasional.
- Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN menyebutkan bahwa persetujuan DPR lebih baik tidak dibuat dalam
bentuk Undang-Undang. Sebaiknya persetujuan DPR tersebut hanya
berbentuk lisan karena semata-mata merupakan persetujuan formal DPR sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
- Terdapat beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional yang kurang jelas sehingga berpotensi menimbulkan
persoalan yuridis dan praktis.
- Adanya Undang-Undang tentang Perdagangan menimbulkan persoalan praktis karena terdapat ketentuan yang tumpang tindih antara
Undang-Undang Perjanjian Internasional dan Undang-Undang tentang
Perdagangan.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan:
Menyempurnakan UU tentang Perjanjian Internasional yang sering
menjadi persoalan dalam pelaksanaannya, serta mengharmoniskannya dengan UU lain dan putusan MK yang terkait masalah perjanjian
internasional.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
- Mengubah ketentuan yang menimbulkan potensi persoalan dalam pelaksanaan
1. UU No. 37 Tahun 1999
tentang Hubungan
Luar Negeri 2. UU No. 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan
• Nawacita No. 1:
Menghadirkan kembali
Negara melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa
aman pada seluruh warga Indonesia
melalui pelaksanaan
politik luar negeri yang bebas dan aktif.
• Pernah masuk tahap
pembahasan Tk I DPR,
RUU diprakarsai oleh DPR.
**)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 87
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- Menambahkan ketentuan yang belum diatur dalam UU Perjanjian Internasional
- Mengharmoniskan ketentuan yang terkait dengan putusan MK terkait
Piagam ASEAN dan UU lain terkait perjanjian internasional.
79. RUU tentang
Perubahan
Kedua atas UU No. 27 Tahun
2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir
serta Pulau-
Pulau Kecil (WP3K)
Kementerian
Kelautan dan
Perikanan
a. Latar Belakang dan tujuan Pengaturan:
- Dengan telah ditetapkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintaha Daerah, maka substansi pengaturan dalam UU ini perlu disesuaikan
kembali, khususnya pengelolaan wilayah pesisir sampai dengan 12 mil;
- Visi misi Pemerintahan untuk mendukung pembangunan ekonomi maritime.
a. Sasaran yang ingn diwujudkan:
Terwujudnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau Kecil yang lestari dan berkelanjutan.
b. Jangkauan dan Arah Pengaturan:
- Perencanaan WP3K;
- Pemanfaatan WP3K;
- Pengawasan WP3K;
- Pengendalian WP3K.
1. UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan
Daerah
2. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
3. UU No. 23 tahun 2014
tentang Kelautan
• NawaCita No. 1
(mengamankan
kepentingan dan
keamanan maritim Indonesia, khususnya
batas Negara,
kedaulatan Negara dan sumber daya alam)
80. RUU tentang
Perubahan Kedua Atas UU
No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan
Kementerian
Kelautan dan
Perikanan
a. Latar Belakang dan tujuan Pengaturan:
- UU tetnang Perikanan belum mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hokum di bidang perikanan;
- Visi misi Pemerintahan untuk mendukung pembangunan ekonomi maritime.
a. Sasaran yang ingn diwujudkan:
Terwujudnya pemanfaatan sumber daya perikanan yang mampu mendukung ekonomi maritime.
b. Jangkauan dan Arah Pengaturan:
- Pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan
- Budidaya ikan berkelanjutan
- Kelembagaan local dan internasional
- Pungutan retribusi perikanan
- Pelimpahan tugas dan keewenangan Pemda
1. UU No. 6 Tahun 1996
tentang Perairan
Indonesia 2. UU No. 5 Tahun 1983
tentang ZEE
3. UU NO. 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan
Tumbuhan. 4. UU No. 16 tahun 2006
tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan
• NawaCita No. 1
(mengamankan
kepentingan dan keamanan maritim
Indonesia, khususnya
batas Negara, kedaulatan Negara dan
sumber daya alam)
*)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 88
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- Penegakan hokum
- Penguatan penegakan hokum di bidang perikanan
- Penguatan mekanisme pengawasan pemanfaatan perikanan yang jelas.
81. RUU tentang
Perlindungan dan
Pemberdayaan
Nelayan
Kementerian
Kelautan dan Perikanan
a. Latar Belakang dan tujuan Pengaturan:
- Dengan masih adanya tantangan yang dihadapi nelayan dalam peningkatan kehidupan seperti:
Minimnya pendapatan dan modal kerja Minimnya prasarana dan sarana nelayan
Kurangnya perlindungan hak nelayan
Keterbatan akses pasar
- Negara mempunyai tanggung jawan untuk melindungai segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kesejahteraan umum dan keadilan social
- Visi misi Pemerintahan untuk mendukung pembangunan ekonomi maritime.
a. Sasaran yang ingn diwujudkan:
- Terwujudnya kedaulatan dan kemandirian nelayan dalam meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas dan kehidupan yang lebih
baik;
- Tersedianya prasarana dan sarana perikanan yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha nelayan;
- Terciptanya kepastian usaha nelayan;
- Terlindunginya nelayan dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi dan gagal panen;
- Pengingkatan kemampuan dan kapasitas nelayan serta kelembagaan nelayan yang produktif, maju, modern dan berkelanjutan
a. Jangkauan dan Arah Pengaturan:
- Perencanaan;
- Perlindungan nelayan;
- Pemberdayaan nelayan;
- Pembiayaan dan pendanaan
- Pengawasan
- Peran serta masyarakat
1. UU No. 31 tahun 2004
ttg Perikanan jo UU No. 45 tahun 2009
2. UU No. 16 tahun 2006
ttg Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
3. UU No. 27 Tahun 2007
ttg Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil jo UU No. 1 Tahun
2014 4. UU No. 32 Tahun 2014
tentang Kelautan
5. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda
• NawaCita No. 1
(mengamankan kepentingan dan
keamanan maritim
Indonesia, khususnya
batas Negara, kedaulatan Negara dan
sumber daya alam)
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 89
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
82. RUU tentang Keamanan
Nasional
Kementerian Pertahanan
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU: Keamanan Nasional merupakan syarat mutlak untuk keberlangsungan
eksistensi bangsa dan Negara Indonesia. Letak dan kondisi geografis
Indonesia sebagai Negara kepulauan serta kemajemukan bangsa Indonesia
yang tersebar di seluruh wilayah RI dihadapkan kepada lingkungan strategis dan arus globalisasi yang ditandakan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi, komunikasi, informasi, dan transportasi yang
dapat berdampak positif dan negatif terhadap kepentingan nasional. Untuk menciptakan keamanan nasional yang kondusif dan komprehensif bukan
hanya merupakan tanggung jawab TNI dan Polri melainkan juga
melibatkan seluruh instansi terkait dan peran serta masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Penyelenggaraan Keamanan
Nasional bertujuan untuk mewujudkan kondisi aman bangsa dan Negara
kesatuan Republik Indonesia secara fisik dan psikis setiap individu warga Negara masyarakat, pemerintah dan Negara, dalam rangka melindungi
kepentingan nasional.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan: Tersusunnya UU tentang Keamanan Nasional yang mengatur seluruh
perangkat negara dan komponen masyarakat melalui suatu pola
penanggulangan ancaman secara terpadu, cepat, tepat, tuntas dan terkoordinasi.
c. Jangkauan dan arah pengaturan:
Membangun, memelihara, dan mengembangkan sistem keamanan
nasional secara menyeluruh, terpadu, dan terarah
Mewujudkan seluruh wilayah yurisdiksi nasional sebagai suatu
keamanan nasional
Memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional melalui
tahapan pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini,
penanggulangan dan pemulihan.
Menunjang dan mendukung terwujudnya perdamaian dan keamanan regional serta internasional
1. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara RI
2. UU No. 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara
3. UU No. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia
Sudah ada NA
Sudah ada Draft RUU
Sudah selesai PAK
Sudah selesai
Harmonisasi
Nawacita no. 1
(menghadirkan kembali Negara untuk
melindungi segenap
bangsa dan memberikan rasa
aman pada seluruh
warga Negara) • Pernah masuk dalam
tahap pembahasan
Tk.I DPR *)
**)
83. RUU tentang
Perlindungan
Umat Beragama
Kementerian
Agama
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan RUU: 1. Penetapan Presiden
UU No. 1
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 90
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Keragaman agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia, di satu titik merupakan kekayaan kultural yang patut disyukuri,
namun di sisi lain, dari keragaman itu juga dapat muncul benturan, kekerasan dan bahkan konflik. beberapa faktor yang menjadi
pemicu ketegangan bahkan konflik antar pemeluk agama di
Indonesia. yaitu: (1) Pendirian rumah ibadah; (2) penyiaran agama; (3) Bantuan luar Negeri; (4) Perkawinan Beda Agama; (5) Perayaan
Hari Besar Keagamaan; (6) Penodaan Agama, yakni perbuatan yang bersifat melecehkan atau menodai doktrin dan keyakinan suatu
agama tertentu, baik yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok orang; (7) Kegiatan aliran sempalan, yakni aliran yang
dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang didasarkan pada keyakinan terhadap agama tertentu secara menyimpang dari agama
bersangkutan.
b. Sasaran yang ingin diujudkan:
• Meningkatnya kuaitas pemahaman ajaran agama; • Meningkatnya kerukunan umat beragama;
• Meningkatnya kualitas pelayanan kehidupan beragama;
• Meningkatnya kualitas tata kelola pembangunan bidang agama;
c. Jangkauan dan arah pengaturan
Pengaturan mencakup: • Hak dan kewajiban
• Penyelenggaraan kerukunan umat beragama
• Kewajiban dan tanggung jaab pemerintah
• Forum kerukunan umat beragama • Bantuan luar negeri
• Peran serta masyarakat
• Larangan dan ketentuan pidana
/PNPS/1965, tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan
Agama yang
dikukuhkan menjadi UndangUndang oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1969 tentang Pernyataan berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai
Undang-Undang 2. UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. UU No.23 Tahun 2006 tentang
Administrasi
Kependudukan 4. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia nomor II/MPR/1978
tentang Pedoman Pengamalan dan
Penghayatan
Pancasila (P4). 5. Penetapan Presiden
Republik Indonesia
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 91
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
Nomor 1 Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan
Agama 6. UU No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan 7. UU No.32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan
Daerah 8. UU No. 12 Tahun
2005 tentang
Pengesahan International
9. Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik)
84. RUU tentang
Perubahan atas UU No. 38
Tahun 2009
tentang Pos
Kementerian
Komunikasi dan
Informatika
a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan RUU :
Setidaknya ada 6 (enam) faktor yang melatar-belakangi dilakukannya amandemen terhadap UU Pos yaitu :
- Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e tentang Layanan Keagenan Pos
yang pada dasarnya bukan merupakan suatu jenis layanan, melainkan bentuk kerjasama yang dituangkan dalam Perjanjian
Kerja Sama (PKS) yang memuat penyediaan sarana dan prasarana untuk layanan pos.
- Pasal 14 tentang Interkoneksi dinilai cukup dilakukan dengan kerjasama antar penyelenggara pos.
1. UU Nomor 19 Tahun
2003 tentang BUMN 2. UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang
Ketenagakerjaan 3. UU Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara
4. UU Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 92
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
- Dalam Pasal 15 ayat (3) tentang kesempatan yang sama dalam menyelenggarakan Layanan Pos Universal harus dirubah, hal ini
disebabkan adanya ratifikasi akta UPU yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin masayarakat untuk melakukam
kiriman pos hingga seluruh pelosok dunia dan hal ini hanya
dapat dilaksanakan oleh Designated Operator yang ditunjuk langsung oleh Pemerintah.
- Adanya keberatan sebagian masyarakat terhadap Pasal 15 ayat (4) tentang kewajiban memberikan kontribusi yang besarannya
dinilai memberatkan penyelenggara pos. - Pasal 51 tentang mempersiapkan BUMN dalam menghadapi
pembukaan akses pasar melalui penyehatan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
sudah tidak dapat tercapai mengingat batsa waktu paling lama
jatuh pada tanggal 14 Oktober 2014. - Perlu menambah muatan materi baru yang diatur dalam batang
tubuh RUU terkait dengan kesejahteraan untuk pensiunan PT. Pos Indonesia.
b. Sasaran yang ingin diwujudkan :
1) Pelaksanaan Layanan Pos Universal yang dilaksanakan oleh
Peyelenggara Pos yang ditunjuk langsung oleh Pemerintah (Designated Operator)
2) RUU ini dapat diimplementasikan demi terwujudnya penyelenggaraan pos yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dengan tetap memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh penyelenggara pos untuk dapat
melaksanakan jenis layanan pos. 3) Harmonisasi dalam hal mewujudkan kesejahteraan kepada
pensiunan PT. Pos Indonesia dengan UU
c. Jangkauan dan Arah Pengaturan :
1) Menghapus ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e tentang layanan
Pensiun 5. Seluruh Peraturan
Pelaksanaan dari UU 38 Tahun 2009
tentang Pos
RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2015-2019 Usulan Pemerintah | 93
NO JUDUL RUU PEMRAKARSA MATERI YANG DIATUR UU TERKAIT KETERANGAN
keagenan pos. 2) Menghapus ketentuan Pasal 14 tentang Interkoneksi.
3) Menghapus ketentuan Pasal 15 ayat (3) dan (4) tentang kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan LPU dan
Kontribusi untuk pembiayaan LPU.
4) Menghapus ketentuan Pasal 51 tentang mempersiapkan BUMN dalam menghadapi pembukaan akses pasar.
Menambah Materi Muatan dalam RUU terkait dengan kesejahteraan Pensiunan PT. Pos Indonesia.
Keterangan: *) hasil Trilateral Meeting Bapenas
**) Residu Prolegnas 2010-2014