Upload
hanhi
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
KETERLIBATAN AYAH DALAM PENGASUHAN ANAK
PADA KELUARGA JAWA BERDASARKAN PANDANGAN REMAJA
Oleh:
FITRI APSARI S. 300 100 024
NASKAH PUBLIKASI
Disusun dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Magister Sains Psikologi
Kekhususan Psikologi Pendidikan
Disusun oleh:
SW KARTIKA SARI S 300 100 022
PROGRAM MAGISTER SAINS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
ii
KETERLIBATAN AYAH DALAM PENGASUHAN ANAK
PADA KELUARGA JAWA BERDASARKAN PANDANGAN REMAJA
NASKAH PUBLIKASI
Disusun dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Magister Sains Psikologi
Kekhususan Psikologi Pendidikan
Disusun oleh:
SW KARTIKA SARI S 300 100 022
PROGRAM MAGISTER SAINS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
iii
1
KETERLIBATAN AYAH DALAM PENGASUHAN ANAK
PADA KELUARGA JAWA BERDASARKAN PANDANGAN REMAJA
SW Kartika Sari
Magister Sains Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta ABSTRACT. This study examined about father involvement on fathering in the Javanese family. Qualitative method was used to understand how father involvement happened on fathering phenomenon in the Javanese family. Interview were used to collect information. Participants include ten groups of adolescence and their father which were lived in Surakarta and use Javanese as mother-tongue. Results show that father-child communication and faher’s choice about fathering influences the fathering style. Communicatoin, closeness, and father understanding about their child, influence father involevement on transferring value in the daily activities. “Tarik ulur” style emerged in Javanese family, based on child’s lageyan (body language). Keywords: father involvement, fathering, Javanese family.
I. PENDAHULUAN Masalah yang muncul
mengiringi kasus kenakalan remaja biasanya adalah masalah pergaulan, studi, dan keluarga (Hapsari, 2012). Pada harian Kompas disebutkan bahwa kegalauan yang makin meluas pada remaja mendorong mereka untuk berperilaku keluar dari norma (Rejeki, 2011).
Remaja perlu dididik kritis dan didorong membuat keputusan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Emosi positif antara anak dan orangtua juga perlu dibangun sehingga remaja yang bermasalah akan dapat diarahkan dengan baik. Hubungan dengan orangtua berpengaruh pada cara remaja menghadapi situasi-situasi yang berpotensi menyebabkan stress (Geldard & Geldard, 2011).
Kurangnya partisipasi orangtua dalam pendidikan anak
banyak disebabkan oleh perubahan pola dan struktur keluarga. Perubahan pola dan struktur keluarga ini salah satu faktor pemicunya adalah partisipasi perempuan di sektor publik. Konsekuensinya, waktu ibu bersama anak menjadi berkurang, sehingga para ayah dituntut untuk berbagi peran dalam mendidik anak (Erawati, 2009).
Perlu diingat bahwa dalam keluarga Jawa, kedudukan suami dan istri tidaklah sama. Suami diposisikan sebagai pemimpin dalam keluarga, mempunyai kedudukan lebih tinggi dan penting, serta mempunyai kekuasaan yang lebih besar (Haq, 2011). Besarnya posisi ayah dalam keluarga Jawa memperjelas besarnya sumbangan yang dapat diberikan bagi remaja dalam mengatasi masalah yang
2
dihadapi saat ayah terlibat dalam pengasuhan anak.
Penelitian tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak masih jarang di Indonesia, sehingga penting untuk mengadakannya mengingat adanya perbedaan kultur yang berpengaruh terhadap perilaku yang muncul pada kasus yang sama.
Berdasarkan fenomena di atas, maka rumusan masalah penelitian ini mengenai bagaimana keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak pada keluarga Jawa berdasarkan pandangan remaja.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengasuhan Anak
Menurut Baumrind (dalam Leidy et.al, 2011), pola pengasuhan anak merefleksikan dua dimensi perilaku: (1) emosionalitas, yang meliputi seberapa hangat dan seberapa cepat orangtua merespon anak, dan (2) kontrol, yang mencakup bagaimana kecenderungan orangtua dalam mengendalikan perilaku anak.
Santrock (2012) lebih lanjut mendeskripsikan dimensi pengasuhan yang diusung Baumrind tersebut dalam kategori gaya pengasuhan: (1) authoritarian parenting, di mana orangtua menekankan kepatuhan dan target tertentu untuk dicapai anak tanpa banyak berkomunikasi secara verbal, (2) authoritative parenting, orangtua mendorong kemandirian anak dengan menempatkan beberapa aturan yang terkomunikasikan baik dan tetap
melakukan kontrol dengan kasih sayang, (3) neglectful parenting, orangtua sangat tidak terlibat dengan anak, dan (4) indulgent parenting, di mana keterlibatan orangtua sangat sedikit namun masih menuntut beberapa hal atau melakukan kontrol tertentu.
B. Keterlibatan Ayah
Amato dan Gilreth (dalam Erawati, 2009), dalam penelitiannya tentang ayah, menyatakan bahwa bentuk interaksi ayah-anak meliputi interaksi langsung saat bermain, menghabiskan waktu luang, dan membicarakan hal-hal tentang sekolah. Hal khusus yang secara langsung dimiliki oleh seorang ayah adalah sebagai pengajar sekaligus pembimbing yang efektif.
Day & Lamb (2004) menyatakan empat faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam keluarga, yaitu :
a. Motivasi, dan segala hal yang membuat ayah ingin selalu terlibat dalam aktivitas bersama anaknya.
b. Keterampilan dan kepercayaan diri, atau keterampilan fisik aktual yang dibutuhkan untuk memberikan perlindungan dan kepedulian pada anaknya.
c. Dukungan sosial/orang lain, terutama dari ibu, terhadap keterlibatan ayah.
d. Faktor institusional, dari kebijakan di tempat kerja dalam memfasilitasi upaya keterlibatan ayah.
3
C. Masa Remaja Ditinjau dari perkembangan
kognitif menurut Piaget, Yusuf (2010) menyatakan bahwa masa remaja sudah mencapai tahap operasional formal. Remaja telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Berpikir secara operasi formal berarti lebih bersifat hipotesis, abstrak, sistematis, dan ilmiah dalam menyelesaikan masalah.
D. Keluarga Jawa
Masyarakat Jawa merupakan orang-orang yang bertempat tinggal, bergaul, dan berkembang di pulau Jawa yang kemudian mengembangkan tradisi dan kebudayaan yang khas dan berkarakteristik Jawa (Roqib, 2007).
Magnis-Suseno (2003) mendefinisikan orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Haq (2011) lebih lanjut menyatakan bahwa keluarga Jawa merupakan keluarga yang mendiami tanah Jawa dan dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa yang dipergunakan secara turun temurun.
Orang Jawa membedakan dua golongan sosial-ekonomi: (1) wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, dan (2) kaum priyayi di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Atas dasar keagamaan, orang Jawa dibedakan dalam dua golongan. Golongan pertama lebih ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam (Kejawen),
sedang yang kedua adalah orang yang berusaha hidup sesuai ajaran agama (Magnis-Suseno, 2003).
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan seseorang. Menurut Oqbum (dalam Haq, 2011) fungsi keluarga itu mencakup fungsi kasih sayang, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi perlindungan, fungsi perlindungan,fungsi rekreasi, fungsi status, dan fungsi agama. Bierstadt (dalam Haq, 2011) menambahkan bahwa keluarga turut menggerakkan nilai-nilai kebudayaan.
E. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian bertema keterlibatan ayah pada keluarga Jawa ini adalah:
1. Bagaimana pandangan remaja tentang gaya pengasuhan ayah?
2. Bagaimana pandangan remaja tentang keterlibatan ayah?
III. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk
memahami secara mendalam mengenai bagaimana keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak pada keluarga Jawa berdasarkan pandangan anak remajanya dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti (Poerwandari, 2005).
4
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan wawancara. Alat bantu yang digunakan peneliti untuk mempermudah pengambilan data selama wawancara berlangsung adalah dengan menggunakan recorder dan buku catatan (panduan wawancara).
Keterlibatan ayah diungkap dengan menggunakan teori Krampe & Newton (2006) menggunakan indikator hubungan anak dengan ayah dari berbagai sisi: afektif, perilaku, dan persepsi anak tentang keterlibatan ayah, kemudian dipadukan dengan gaya fundamental pengasuhan ayah yang diungkap Poulter (2004), disajikan dalam panduan wawancara.
IV. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN Informan yang digunakan
dalam penelitian ini, baik informan utama maupun informan pendukung, memiliki latar belakang yang bervariasi. Informan utama terdiri dari remaja yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dari berbagai jenjang usia serta tinggal di wilayah perkotaan dan pedesaan.
Informan pendukung, yaitu para ayah, terwakili dari golongan yang bervariasi pada tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, dan jenis pekerjaan, yang diilustrasikan pada tabel berikut
No Subjek Usia
Jenis Tingkat
Ekonomi
Kelamin Keluarga
1 YC 15 P Menengah
2 AB 17 L Bawah
3 AS 17 L Tinggi
4 MO 14 L Tinggi
5 AZ 14 L Tinggi
6 DT 18 P Bawah
7 AR 13 P Menengah
8 FZ 16 P Tinggi
9 BR 15 L Menengah
10 FE 13 P Bawah
Subjek
Pendidikan Pekerjaan
Ayah Ibu Ayah Ibu
YC S1 SLTA PNS IRT
AB SLTA SLTA Swasta Wiraswasta
AS S3 S1 Dosen Guru
MO S1 S1 Wiraswasta Wiraswasta
AZ S2 S1 Dosen Aktivis Sosial
DT SD SD Buruh Pedagang
AR SLTA SLTA Bengkel Pedagang
FZ SLTA D3 Wiraswasta PNS
BR SLTA SLTA PNS IRT
FE SLTA SLTP Swasta IRT
Keterlibatan ayah dalam
pengasuhan anak dari hasil pengumpulan data akan membuahkan beberapa temuan dalam analisis data berikut. Tampilan gambar diagram prosentase yang merepresentasikan jawaban responden akan ditampilkan untuk memudahkan pemahaman bagaimana keragaman tema dapat muncul.
5
A. Hasil Penelitian 1. Pandangan Remaja tentang Gaya
Pengasuhan Ayah a) Sikap ayah terhadap prestasi
anak. Ada dua sikap ayah
terhadap prestasi anak, yaitu: memberikan reward, dan motivasi.
“Ya.. bilang bagus...” (W61,L,R,14); “.Ya.. senyum aja, gitu.” (W71,P,R,14); ”...ya ada hadiahnya...” (W11,L,R,37-38); “Ya.. nggak ngomong apa-apa sih.. tapi dulu yang nyuruh coba belajar piano ya Bapak.”(W101,L,R,13-15);“Ya.. ndukung, ngasih motivasi, waktu itu juga nglatih pas ikut lomba mocopat SD.”(W41,P,R,4-5)
Gambar 1. Sikap ayah terhadap prestasi anak
b) Standar norma yang ditetapkan oleh ayah.
Standar norma yang ditetapkan ayah berupa aturan memilih teman yang tepat dan disipilin dalam beraktivitas.
“Ya aku main ya boleh, tapi harus pilih-pilih temen... nggak boleh salah pergaulan. Takut nek jadi nakal atau gimana, gitu..”(W21,L,R,27-29); ”Pergi harus pamit, kalau misalnya pulangnya lama.. gitu, pamit dulu..” (W11,L,R,64-68).
Gambar 2. Standar norma yang
ditetapkanoleh ayah
c) Peran ayah dalam keluarga. Terdapat dua tema dalam
pembagian peran ini, yaitu: ayah sebagai pusat dalam keluarga dan ayah-ibu memiliki posisi berimbang dalam keluarga.
“Papa. Misal mau maen, kata Mama suruh nanya Papa dulu.”
6
(W21,L,R,42-43);“Bapak survei, ngasih pertimbangan, keputusan..”(W51,L,R,40-41); “Ya, dua-duanya sama aja. Kalo masalah kendaraan, rumah, ya sama Bapak. Kalo pendidikan, gitu, ya lebih banyak pertimbangan Ibu.”(W91,P,R,75-78)
Gambar 3. Pusat peran orangtua
dalam keluarga
d) Frekuensi berkomunikasi dengan ayah.
Ditemukan dua tema frekuensi komunikasi, yakni jarang dan sering berkomunikasi dengan ayah.
“Jarang ngobrol sama Bapak.”(W71,P,R,35-36);“Sering, sih.. Bapak kan pulang kerja jam satu atau dua (=siang), abis tu biasanya langsung ngobrol. Tiap hari, hihi..”(W31,P,R,52-54).
Gambar 4. Frekuensi
komunikasi dengan ayah
e) Cara ayah menstimulus kemajuan anak.
Tema-tema yang muncul pada cara ayah menstimulus anak yaitu: memberikan tantangan, memotivasi, memfasilitasi biaya les, dan memberikan ijin.
“...aku disuruh belajar naik motor... aku disuruh nyamain hafalan Qur’an di atas standar pondokku..”(W51,L,R,87-95); “Ya dicoba dulu. Sesuatu yang belum dicoba kan hasilnya nggak tahu bakal gimana.. Yang penting dah berani nyoba. Yang penting yang baik aja.”(W41,P,R,62-66)
7
Gambar 5. Cara ayah
menstimulus remaja untuk berkembang
f) Harapan remaja terhadap
pengasuhan anak. Ada tiga tema yang
muncul, yaitu: menjalin komunikasi yang baik, memberikan kebebasan yang bertanggung jawab, serta tegas dan mampu menjadi teladan.
“ Kalau aku salah, cuma dinasehatin, suka ngajak ngobrol..itu”. (W51,L,R,107-108); “Ya. Ya kayak Papi gitu. Aku ya kadang-kadang dibebaskan tapi juga difasilitasi. Tapi anake juga harus tanggung jawab. Nggak boleh sak-sake (=semaunya sendiri), gitu..”(W11,L,R,154-158).
Gambar 6. Harapan remaja tentang pengasuhan anak
2. Pandangan Remaja tentang
Keterlibatan Ayah a) Topik pembicaraan dengan
ayah. Ada empat topik
pembicaraan remaja dengan ayah, yaitu: hobi/kesukaan, pendidikan, kegiatan harian, dan teman.
“...motor, kadang-kadang...kadang-kadang juga olahraga ... Sepakbola...”(W11,L,R,101-105);“...pilih pondok, trus tentang di pondok...pas SD juga ditanya, pelajarannya apa..”(W51,L,R,58-60)
8
Gambar 7. Topik pembicaraan
ayah-anak
b) Kedekatan Berdasarkan hasil wawancara tentang kedekatan remaja dengan ayah, muncul dua tema, yaitu: dekat dan tidak dekat.
“Deket. Apalagi kalau ketemu, pasti diajak jalan-jalan, ngobrol..”(W51,L,R,137-138);“.. biasa aja.. nggak terlalu dekat.”(W21,L,R,133); “Ya, yang nganter sekolah tiap hari, les juga..kami.. jarang ngobrol. Kami jarang bicara.”(W101,L,R,122-129)
Gambar 8. Kedekatan ayah-anak
c) Posisi ayah dalam kehidupan
remaja Terdapat empat posisi ayah
dalam kehidupan remaja, yaitu: pendukung finansial, pendukung aktivitas, pembuat keputusan, dan pemberi pertimbangan.
“ Ya, Bapak yang mbiayain.. Bapak yang kerja.”(W101,L,R,135-136); “Bapak selalu ada kalau kita butuh. Nggantiin Ibu yang jarang di rumah. Tugas sekolah juga...”(W91,P,R,123-125); “Ya, penting, lah. Ngambil keputusan apa, sama Bapak.” (W41,P,R,91-92).
9
Gambar 9. Posisi ayah dalam
kehidupan remaja
d) Bentuk dukungan ayah Ada empat bentuk dukungan ayah, yaitu: memotivasi, mengarahkan, memfasilitasi, dan melatih.
“...sambil bilang ‘kowe mesthi iso’(= kamu pasti bisa).” (W41,P,R,114-115);“Ya, suruh ati-ati aja..Papa nggak banyak bicara.”(W21,L,R,154-155);“Ya, memfasilitasi. Kalau butuh biaya, ya dikasih. Kalau tanya masalah apa yang nggak tau itu juga dijawab...”(W11,L,R,237-238);
Gambar 10. Dukungan ayah
e) Keteladanan ayah
Terdapat tiga tema keteladanan ayah yang ingin diikuti oleh remaja, yaitu: memiliki keahlian tertentu, pekerja keras, dan rajin.
“Ya.. pengen banget bisa kayak gitu. Bapak bisa ngomong di depan banyak orang. Kalau jadi peternak, bisa ngurus-ngurusin hewan, gitu...” (W51,L,R,165-168); “Aku mau ikutan kerja keras kayak Bapak.”(W81,P,R,121); “Pengennya sih bisa rajin... kerja keras, kayak Bapak.”(W71,P,R,173-175)
10
Gambar 11. Keteladanan ayah
f) Kehadiran ayah di acara
sekolah. Terdapat tiga tema
kehadiran ayah di acara sekolah, yaitu: rapat orangtua, pengambilan rapot, dan tidak pernah hadir.
“Bapak biasanya yang hadir. Ambil rapot sama rapat orangtua murid.” (W51,L,R,235-236); “Kebanyakan Bapak, sih. Kayak rapat orangtua.. ambil rapot..ngurus keringanan biaya...”(W81,P,R,167-169;)“Acara sekolah.. Nggak pernah. Hihi.. semuanya Ibu...”(W71,P,R,218-219).
Gambar 12. Kehadiran ayah
di acara sekolah
g) Kegiatan bersama ayah. Ada empat tema yang
muncul dari kegiatan yang dilakukan remaja bersama ayah, yaitu: bidang seni, bidang olahraga, bidang peternakan, dan tidak ada hobi yang sama.
“...pernah diajak Papi bareng nonton.. ke Mangkunegaran.. budaya-budaya Jawa kayak gitu. Terus pernah ada apa itu... acara sakral Bali.” (W11,L,R,188-203);“Trus kalo Bapak itu sukanya badminton, voli, sama main bola. Misalnya pas orang-orangtua maen, aku cuman liat thok. Tapi habis itu Bapak nemenin aku maen.” (W41,P,R,139-143)
11
Gambar 13. Kegiatan bersama ayah
h) Pendapat ayah tentang masa
depan remaja. Terdapat tiga pendapat
ayah terhadap rancangan masa depan remaja, yaitu: memberikan pertimbangan, memberikan dukungan moral, dan tidak pernah memberikan pendapat.
“Diberi gambaran-gambaran. Yang penting aku minat sama mau njalanin aja.”(W11,L,R,396-397);“Ya Bapak dukung aja, usaha ngumpulin biaya, asal aku usaha sungguh-sungguh.”(W81,P,R,185-187); “Ya, apa ya, nggak pernah...Nggak ada gambaran (Itee: menggeleng). Abah nggak terlalu banyak bicara.”(W61,L,R,250-256).
Gambar 14. Pendapat ayah tentang
masa depan remaja
i) Cara ayah mengajarkan nilai. Muncul tiga cara ayah
mengajarkan nilai, yaitu: memberikan aturan dan mengajak pertimbangan, dan memberikan contoh.
“Ya, kalo aku pulang kemaleman besoknya nggak dikasih uang jajan.” (W101,L,R,261-262);“Aku kan sering curhat sama Bapak. Ya, pas curhat itu aku diajarin milih yang bener dan yang salah.”(W41,P,R,213-215).
12
Gambar 15. Cara ayah mengajarkan nilai
j) Respon ayah saat
berkomunikasi. Ada lima respon ayah saat
berkomunikasi, yaitu: mendengarkan dengan memberikan tanggapan, mendengarkan sambil memberi sentuhan fisik, mendengarkan sambil beraktivitas, mendengarkan saja, dan tidak pernah mengajak ayah berkomunikasi.
“Ya, biasanya sambil duduk-duduk tuh aku dipeluk, dicium.. gitu..mendengarkan, nanggepin...”(W41,P,R,201-203);“Ya. Sambil duduk sama liat tivi (=Televisi). Trus ndengerin aku...”(W21,L,R,288-289); “Biasa aja. Nggak pernah bicara...”(W101,L,R,275).
Gambar 16. Respon ayah saat
berkomunikasi
k) Cara ayah menyatakan rasa sayang.
Ditemukan tiga tema tentang cara ayah menyatakan rasa sayang, yaitu: memberikan sentuhan fisik, menunjukkan kepedulian terhadap keselamatan, dan tidak pernah menunjukkan rasa sayang.
“Ya, aku masih dipeluk, dicium, diusap kepalanya, gitu...” (W41,P,R,207-208);“Ya, kalau belum pulang ditelpon, kalau kemaleman, dijemput..hihi.. sama kalau sakit dibawa ke dokter.”(W91,P,R,269-271);“Nggak ada.. nggak tau...Bapak pendiam.”(W101,L,R,280-284)
13
Gambar 17. Cara ayah
menyatakan sayang
l) Tingkat pemahaman ayah. Ada tiga tema mengenai
sejauhmana ayah memahami remaja, yakni: paham, cukup paham, dan tidak paham.
“Ya dia tahu tentang aku.. perasaanku..kapan aku seneng, sedih.. bisalah ngadepin.”(W51,L,R,269-270); “Ya, kadang cukup tahu mana yang aku suka dan enggak. Emm.. Tapi lebih paham Mami, sih, tentang aku.”(W11,L,R,345-347) ; “Enggak tau. Enggak paham.”(W101,L,R,293).
Gambar 18. Pemahaman ayah
m) Sosok ayah di masa kecil.
Muncul tiga tema tentang sosok ayah di masa kecil, yaitu: mengajak bermain, mengajak berwisata, dan membantu dalam aktivitas harian.
“Bapak sering ngajak main. Badminton, main bola, gitu...” (W41,P,R,153-154); “Ya sering pergi-pergi... kalau nggak ngajak pergi, ya ngajak maen, atau ngajak makan ke mana... sering diajak wisata kuliner.”(W11,L,R,467-474);“Seneng, maen, disuapin.. sampai hal kecil-kecil sama Bapak, dicebokin, dimandiin...”(W51,L,R,294-295)
14
Gambar 19. Sosok ayah
di masa kecil
B. Pembahasan 1. Pengasuhan Anak
Faktor kedekatan antara ayah dan remaja sejalan dengan hasil penelitian Erawati (2009), bahwa dimensi closeness memberikan sumbangan besar dalam mengungkap keterlibatan ayah pada pengasuhan. Keterlibatan ayah ini kemudian bermuara pada interaksi ayah-anak yang terjalin.
Keragaman gaya pengasuhan kemudian muncul seiring dengan interaksi ayah-anak yang terjalin. Pengasuhan anak dipilih ayah berdasarkan dimensi emosional dan kontrol, serta memiliki pola, irama, emosi, dam metode tersendiri seperti teori Poulter (2004) dan Baumrind (dalam Leidy et.al, 2011) yang diungkap dalam bab sebelumnya.
Gaya pengasuhan yang dipilih ayah ini berdasarkan pola efektif yang diyakini serta pengalaman pola asuh yang dialami oleh ayah pada waktu kecil. Hal ini tercermin
dari kutipan pernyataan ayah berikut. “Ya kalau di rumah ya, sendiri-sendiri.. nyari konco sendiri-sendiri.. saya sendiri, dia sendiri...”(W101,L,A,16-18); “Ya, pokoknya semua harus tidur siang, istirahat, nanti buat persiapan belajar.“(W31,L,A,25-27); “Ya.. ini sebenarnya seperti pola saya dulu waktu kecil.”(W31,L,A,36-37)
Cara pengasuhan yang akan diperankan oleh ayah sejak awal sebenarnya dapat diprediksi, apakah akan mengikuti pola yang diberikan oleh orangtua ayah di masa lampau ataukah akan memperbaruinya. Peran yang dijalankan orangtua memiliki kaitan erat dengan tujuan awal bagaimana peran tersebut akan dibangun (Yaremko & Lawson, 2007).
Perlu diketahui bahwa pengasuhan ayah juga erat kaitannya dengan komunikasi antara ayah dan anak dalam keseharian. Terdapat 50% remaja mengharapkan baiknya jalinan komunikasi dalam memandang gaya pengasuhan yang dilakukan ayah. Sayangnya data yang diperoleh menunjukkan bahwa jarangnya komunikasi mendominasi prosentase hubungan ayah dengan remaja.
2. Keterlibatan Ayah Jarangnya frekuensi
komunikasi antara ayah dengan remaja mendukung kemunculan data berikutnya yang menunjukkan ketidakdekatan hubungan antara ayah dengan anak, yakni pada angka 70%. Buruknya komunikasi
15
yang terjalin juga dengan jelas ditunjukkan oleh 60% respon ayah yang tidak memberikan umpan balik pada saat berkomunikasi dengan remaja serta berujung jumlah ayah yang kurang dapat memahami remaja, yakni sebesar 70%.
Umpan balik dan berbagai pertimbangan yang muncul dari ayah saat remaja akan melakukan sesuatu menduduki posisi penting. Hal itu dibutuhkan remaja saat menyusun rancangan masa depan dan menghadapi masalah, sejalan dengan pendapat yang diungkap Newton & Newton (2009) pada bab sebelumnya.
Keterlibatan ayah dalam kehidupan anak juga mendorong terbentuknya kelekatan. Kelekatan (attachment) yang kokoh dengan orangtua dapat menyangga remaja dari kecemasan dan potensi depresi sehingga menjadi landasan kuat untuk dapat mengenal lingkungan sosial yang lebih luas dan sehat secara psikologis (Santrock, 2002). Brown et.al. (2007) dalam penelitian sebelumnya juga menekankan kualitas pengasuhan untuk menentukan kelekatan ayah-anak.
Ada nilai tertentu yang dikenal pada masyarakat Jawa. Kedudukan suami dan istri tidaklah sama dalam keluarga Jawa. Terutama bagi keluarga Jawa yang tinggal di sekitar kerajaan Mataram didirikan, yakni di wilayah Yogyakarta dan Surakarta (Haq, 2011). Hal ini sejalan dengan data yang diungkap remaja, di mana 80% ayah
bertindak sebagai pusat peran orangtua dalam keluarga.
3. Temuan Penelitian
Variabilitas dan heterogenitas tentang bagaimana individu atau kelompok individu mengintepretasikan nilai dan makna tidak dapat dihindari dalam sebuah budaya yang sama (Edwards, et.al, 2006).
Ada hal menarik yang muncul pada pengasuhan anak di keluarga Jawa yang diteliti, seperti kutipan berikut ini. “Saya lebih cenderung kepada menjaga tawazun, keseimbangan, jadi terus tidak kita langsung mengambil pola demokratif, demokrasi, atau otoriter, tidak.. ya pokoknya seimbang, lah. Tarik ulur seperti layangan.” (W52,L,A,20-26); “Dengan mengikuti perkembangannya dari dia lahir, minimal kita tahu lageyane (=body language). ... kita harus tanggap apa maunya ...Dari sana kita bisa tarik ulur... Jadi.. memang anak tumbuh kembang by design. Tapi anak juga kita tempatkan sebagai subyek, karena dia adalah entitas yang tidak selamanya dapat kita ikuti.”(W11,L,A,27-49).
Muncul istilah “tarik ulur” dalam menggambarkan gaya pengasuhan yang menekankan pada keseimbangan.
Konsep di atas sebenarnya pernah diungkap dalam penelitian Ito & Taylor (2012) yang menyatakan bahwa ayah di Amerika berusaha
16
menyeimbangkan antara pemberian kasih sayang dan penerapan kedisiplinan. Keseimbangan dalam perspektif budaya Jawa ada sedikit perbedaan penekanan. Keseimbangan dalam konsep mulur mungkret bisa dijadikan bahan pertimbangan.
Suryomentaram pernah mengajukan metode mawas diri yang dikenal memiliki konsep mulur mungkret sebagai sarana refleksi untuk mendapatkan pemahaman tentang diri sendiri. Mulur dilakukan untuk memenuhi dan atau meningkatkan target, sedangkan mungkret merupakan cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan target agar sesuai dengan kemampuannya (Prihartanti, 2004).
Konsep mulur mungkret tersebut dalam implementasinya hampir sama dengan tarik ulur yang diajukan ayah. Khusus dalam peran sebagai orangtua, konsep tarik ulur ini lebih merujuk pada proses di dalam diri (self) dalam dimensi sosial.
Konsep diri dalam dimensi sosial merujuk pada beragamnya peran seseorang dalam kehidupan sosial, seperti peran sebagai orangtua, anak, dan lain-lain (Buss, 2001). Terdapat perbedaan antara perilaku yang dikendalikan dari dalam diri dengan perilaku yang dimanifestasikan dari proses berinteraksi dengan lingkungan.
Memperhatikan lageyan (body language) anak merupakan salah satu cara ayah dalam membantu kapan ayah dapat menerapkan
konsep tarik ulur dalam pengasuhan anak guna mencapai keseimbangan yang diharapkan. Keterlibatan ayah dan besarnya pemahaman ayah terhadap remaja memiliki pengaruh besar dalam menentukan gaya pengasuhan ayah. Krampe & Newton (2006) menyatakan bahwa penelitian terhadap pengalaman seseorang (periode dewasa awal sampai dewasa) dengan ayah sangat penting karena tiap individu membawa setiap pengalaman tersebut dalam kehidupan mereka selanjutnya.
Pemahaman ayah yang dilandasi filosofi pendidikan anak dalam budaya Jawa mampu memberikan warna gaya pengasuhan yang dapat memberikan pengalaman terbaik bagi anak. Gaya pengasuhan tarik ulur pada ayah pada keluarga Jawa muncul sebagai titik keseimbangan dalam menjaga harmoni dan keselarasan hidup sesuai ajaran keutamaan hidup dalam masyarakat Jawa.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dalam bab sebelumnya, kesimpulan yang diperoleh mengenai keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak pada keluarga Jawa berdasarkan pandangan remaja adalah sebagai berikut.
1. Pengasuhan anak yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh hubungan komunikasi ayah-anak yang terjalin serta
17
dipilih ayah berdasarkan pola efektif yang diyakini dan pengalaman pengasuhan yang pernah diterima sebelumnya. Pada penelitian ini diperoleh temuan bahwa gaya pengasuhan tarik ulur, dimana dimensi kontrol dan emosional diterapkan ayah secara variatif sesuai lageyan (body language) anak, mendapatkan respon positif oleh remaja pada keluarga Jawa.
2. Pola komunikasi, kedekatan, dan pemahaman ayah terhadap anak mempengaruhi bentuk keterlibatan ayah dalam melakukan transfer nilai dalam keseharian dalam rangka mendampingi remaja mencapai perkembangan yang optimal. Remaja yang memiliki pola komunikasi baik, dekat, dan merasa mendapatkan pemahaman dari ayah, memandang positif bentuk keterlibatan yang terjadi.
Daftar Pustaka
Brown, G.L, McBride, B.A, Shin, N, & Bost, K.K. 2007. “Parenting Predictors of Father-Child Attachment Security: Interactive Effects of Father Involvement and Fathering Quality”. The Men’s Studies Press : Fathering. Vol. 5, No.3, Fall 2007. page 197 – 219.
Buss, A. 2001. Psychological Dimensions of the Self. California: Sage Publications.
Day, R.D & Lamb, M.E. 2004. Conceptualizing and Measuring Father Involvement. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Edwards,C.P, Knoche,L, Aukrust,V, Kumru,A, Kim, M. 2006. “Parental Ethnotheories of Child Development: Looking Beyond Independence and Indiviualism in American Beliefs Systems”. Journal of International and Cultural Psychology (in Indigenous and Cultural Psychology, Understanding people in Context (Edited by Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, & Kwang-Kuo Hwang). Page 141-174.
Erawati, M. 2009. “ Kajian Metaanalisis : Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Externalizing Behavior pada Anak”. Indigenous: Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi. Vol. 11, No.1, Hal : 2-19.
Geldard, K, & Geldard, D. 2011. Konseling Remaja : Pendekatan Proaktif untuk Anak Muda. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hapsari, I. “Remaja dan Masalahnya”. Kompasiana edisi 3 Juli 2012. Diakses dari http://muda.kompasiana.com/
Haq, M.Z. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa. Yogyakarta: Aditya Media.
Ito, Y & Taylor, S.I. 2012. “A Comparative Study of Father’s Thoughts about Fatherhood in USA and Japan”. Early Child
18
Development and Care, 1-16, Ifirst Article.
Krampe, E.M, & Newton, R.R. 2006. “The Father Presence Questionnaire: A New Measusure of the Subjective Experience of Being Fathered”. The Men’s Studies Press : Fathering. Vol. 4, No.2, Spring 2006, page 159-190.
Leidy, M.S, Schofield, T.J, Miller, M.A, Parke, R.D, Coltrane, S, Braver, S, Cookston, J, Fabricius, W, Saenz, D, & Adams, M. 2011. “Fathering and Adolescent Adjustment: Variations by Family Structure and Ethnic Background”. The Men’s Studies Press : Fathering. Vol. 9, No.1, Winter 2011, page 44-68.
Magnis-Suseno, F. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Newman, B.M, & Newman, P.R. 2009. Development Trough Life : A Psychosocial Approach (Tenth Edition). USA : Wadsworth Cencage Learning.
Poerwandari, E.K. 2005. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: LPSP3-UI.
Poulter, S.B. 2004. Father your Son: How to Become the Father You’ve Always Wanted to Be. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Prihartanti, N. 2004. Kepribadian Sehat Menurut Konsep Suryomentaram. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Rejeki, S. “Penyebab kenakalan Remaja Bergeser”. Kompas edisi 12 November 2011. Diakses dari www.kompas.com
Roqib, M. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa: Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.
Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.
Santrock, J W. 2012. A Topical Approach to Life-Span Development (Sixth Edition). USA: McGraw Hill International Edition.
Yaremko, S.K & Lawson, K.L. 2007. “Gender, Internalization of Expressive Traits, and Expectations of Parenting”. Sex Role Journal .Vol 57 page 675-687.
Yusuf, S. 2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya.