140
KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 (UU-JPH) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : ALFIDA MIFTAH FARHANAH 11150490000096 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/ 2019 M

KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

  • Upload
    others

  • View
    25

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014

(UU-JPH)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

ALFIDA MIFTAH FARHANAH

11150490000096

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/ 2019 M

Page 2: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN
Page 3: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN
Page 4: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN
Page 5: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

v

ABSTRAK

Alfida Miftah Farhana, NIM 11150490000096 “Kewenangan BPJPH

dan MUI dalam Sertifikasi Halal berdasarkan Undang-undang Nomor 33

Tahun 2014 (UU-JPH)”. Skripsi, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,

Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta 1441 H/ 2019 M.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan kewenangan BPJPH

dan MUI dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal sebelum dan sesudahnya

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. dan

efektifitas sertifikasi halal yang dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 33

Tahun 2014 ketika saatnya tiba bahwa Undang-undang ini akan sepenuhnya

dilaksanakan pada 17 Oktober 2019.

Metode yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis normatif dan

library reaserch dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-

undangan, buku-buku, jurnal, dan kitab-kitab yang berkaitan dengan skrispi.

Teknik pengumpulan data melalui dokumentasi dan wawancara. Data yang

terkumpul diolah serta dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan melakukan

wawancara kepada pihak terkait dan menggunakan buku, jurnal dan hasil

penelitian sebelumnya.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa (1) Menunjukan perubahan

kewenangan bahwa pengaturan kewenangan penerbitan sertifikat jaminan produk

halal setelah dibentuk BPJPH pengajuan sertifikat jaminan produk halal diajukan

ke BPJPH yang sebelumnya di ajukan ke MUI, Penelitian menunjukan bahwa

mekanisme yang akan dijalani oleh pelaku usaha baik produk makanan lokal

maupun impor untuk mendapatkan sertifikat halal diawali dengan pengajuan

Sertifikat Halal kepada BPJPH. (2) Hasil dari makalah ini menunjukkan bahwa

UU Jaminan Produk Halal memiliki banyak masalah sebelum diterapkan

sepenuhnya pada Oktober 2019. Pertama, struktur Undang-undang ini tidak siap

untuk menjalani sistem proses halal. Kedua, substansi Undang-undang Jaminan

Produk Halal itu memberatkan dan agak membebani dan tidak lengkap karena ada

banyak peraturan pendukung yang belum disahkan.

Kata kunci : Kewenangan, BPJPH, MUI, Sertifikasi Halal

Pembimbing : Mu’min Roup, M.A

Dr. Alimin, M.Ag

Daftar Pustaka : 1999 s.d 2016

Page 6: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbal‘alamiin puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat serta taufik hidayahnya sehingga penyusun bisa

menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di Jurusan Hukum Ekonomi

Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, yang telah menyampaikan risahlahnya kepada umat manusia

di seluruh dunia dari zaman kebodohan hingga zaman modern seperti sekarang

ini, pendobrak revolusi dalam peradaban sosial kehidupan kita yang kita harapkan

syafaatnya kelak di akhirat.

Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun tidak berdiri

sendiri. Dalam arti, penyusun banyak mendapatkan kontribusi dari pihak-pihak

lain. Untuk itu, penyusun menghaturkan ribuan terima kasih kepada:

1. Allah SWT dan Rasul Nya yang selalu memberikan nikmat dan hidayah-

Nya kepada seluruh hamba nya, serta menjadi tauladan bagi ummat Nya.

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., M.A., M.H. selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak AM. Hasan Ali, M.A., dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku

Kepala Jurusan dan Sekretaris Jurusan Hukum Ekonomi Syariah yang

telah membantu banyak hal kepada penulis.

4. Bapak Mu’min Roup, M.A. dan Dr. Alimin selaku Dosen pembimbing

dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan

dan arahan kepada penulis, serta Ikhlas meluangkan waktunya untuk

membimbing serta memberikan arahan dan masukan yang bersifat

Page 7: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

vii

membangun kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semoga apa

yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat ganjaran dari Allah

SWT, aamiin yaa rabbal’alamiin.

5. Pimpinan, Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan Fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi

kepustakaan.

6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, para Guru, Asatidz wal

Asatidzah yang tidak bias saya sebutkan satu persatu, namun tidak

mengurangi rasa hormat penulis kepada beliau-beliau selaku pendidik

kami yang telah mendidik penulis baik secara langsung atau tidak,

terimakasih telah membantu pemahaman penulis selama study.

7. Bapak Aminudin Yakub selaku Anggota Komisi Fatwa MUI yang telah

meluangkan waktu serta memberi kemudahan penulis untuk melakukan

Tugas Akhir ini.

8. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Wawan Gunawan

dan Ibunda Siti Maqbulah beserta Kaka tercinta Arini Dini Farhanah dan

kedua adik ku tercinta (Aliza Maulida Farhanah dan Ahmad Alfarizi

Farhan), serta saudara dan semua keluarga besar penulis Di Bekasi,

terima kasih atas Do’a dan dukungan serta motivasi nya yang baik secara

moril maupun materil. Dengan Do’a yang kalian panjatkan akhirnya

penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.

9. Kepada sahabat-sahabat perjuanganku Ukhti Ahsanti Salsabila, Rizki

Amalia, Adinda Fajri Aulia, Dhea Surya Adhi Putri, Rifka Anistiani dan

Syafira Zein yang telah memberikan support kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi.

Page 8: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

viii

10. Kepada Naylul, Zibon, Adul, Tia, Gojin dan kepada Hasbialloh yang

selalu menghibur dan memberi semangat serta do’a yang tak pernah

bosan kepada penulis.

11. Kepada Maya, Sari, Fira, Lili dan juwita dan koprs Berkah yang selalu

menghibur dan memberi semangat serta do’a yang tak pernah bosan

kepada penulis.

12. Kepada teman-teman Jurusan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2015,

terimakasih atas bantuan, doa serta dukungan untuk penulis, terimakasih

atas kebersamaan dan waktu yang telah kita alami bersama selama di

bangku perkuliahan, semoga di masa yang akan datang kita dapat meraih

apa yang kita harapkan.

13. Kepada teman-teman KKN INFINITY 2015 khususnya Suci Gusrianti

Hasani, Raghda Na’im, Zhia Aulia Nazafi, Boim, Ali Indra dan Adit

yang telah memberikan support dan berbagi cerita serta kesan-kesan

selama melaksanakan KKN di Gunung Mulya.

14. Kanda-kanda dan Yunda-yunda seluruh anggota organisasi penulis yaitu

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Fakultas Syari’ah dan

Hukum yang telah mengenalkan arti dari pentingnya berproses di sebuah

organsisasi serta mengajarkan penulis untuk selalu menjadi Insan yang

Akademis.

15. Kepada Abang Mpok Forum Komunikasi Mahasiswa Attaqwa (FKMA)

Jakarta Raya. Terimakasih telah memberi semangat kepada penulis

dalam menyelesaikan tulisan ini dari kalian saya belajar arti

kekeluargaan. Semoga Allah mengizinkan semua mimpi-mimpi kita

menjadi nyata, dan semoga kita dipertemukan di mana tempat dan

suasananya yang berbeda, Aamiin yaa rabbal’alamiin.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang

telah membantu menyelesaikan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan

Page 9: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

ix

karunia-Nya. Semoga karya penelitian tugas akhir ini dapat memberikan manfaat

dan kebaikan bagi banyak pihak demi kemaslahatan bersama serta bernilai ibadah

di hadapan Allah SWT. Aamiin.

Billahi Taufiq Wal Hidayah...

Jakarta, November 2019

Alfida Miftah Farhana

Page 10: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii

PENGESAHAN PENGUJI ................................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi

DAFTAR ISI ............................................................................................................ x

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 6

C. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 7

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................ 8

E. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................... 9

F. Metode Penelitian............................................................................. 11

G. Sitematika Penulisan ........................................................................ 17

H. Kerangkat Teori ............................................................................... 18

I. Kerangka Konseptual ....................................................................... 19

BAB II KAJIAN TEORI

A. Penjelasan Kewenangan ................................................................... 20

B. Sertifikasi Halal ................................................................................ 24

BAB III TINJAUAN UMUM PROFIL LEMBAGA40

A. Gambaran Umum Tentang Badan Penyelenggara Jaminan

Produk Halal (BPJPH) ................................................................... 39

B. Gambaran Umum Tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI) .......... 45

C. Sertifikasi Halal di Indonesia ........................................................... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN54

A. Analisis Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal

berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 ...................... 53

Page 11: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

xi

B. Analisis Efektifitas Penerapan Sertifikasi Halal setelah

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 ...................... 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................... 77

B. Saran ................................................................................................. 78

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 79

LAMPIRAN

Page 12: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

xii

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1.1 Daftar Nama Sebagai Sumber Data Wawancara ...................... 15

2. Gambar 2.1 Skema Fungsi Pemerintah ........................................................ 23

3. Gambar 3.1 Struktur BPJPH ........................................................................ 43

4. Gambar 3.2 Lembaga-lembaga Sertifikasi Halal ......................................... 49

5. Gambar 4.1 Tabel Perubahan BPJPH .......................................................... 57

6. Gambar 4.2 Tabel Perubahan MUI .............................................................. 63

Page 13: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan, manusia membutuhkan makanan sehari-harinya.

Mereka membutuhkan makanan untuk kebutuhan dan kesehatan jasmani

serta rohaninya. Sejak dulu ummat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda

dalam persoalan makanan dan minuman, apa yang boleh dan apa yang

tidak boleh.1 Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai

ummat muslim memilih makanan yang sehat menurut Islam. Dalam

ajaran Islam banyak peraturan yang berkaitan dengan “makanan”, dari

mulai mengatur makanan yang halal dan haram, etika makanan, sampai

mengatur identitas dan kuantitas di dalam perut.2

Halal dan haram merupakan hal yang paling penting dalam syariat

Islam, karena merupakan bagian substansi dari hukum Islam. Perintah

mengkonsumsi makanan halal dalam Al-Qur’an menjadi dasar bagi

setiap muslim untuk memperhatikan dan memilih dalam mengkonsumsi

makanan halal saja. Sebagaimana firman Allah SWT;

كنتم إياه ت عبدون يا أي ها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزق ناكم واشكروا للو إن

Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa

yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah

kepada Allah yang kamu beriman kepadanya” (QS Al-

Baqarah: 172).3

Ayat tersebut memberikan perintah yang jelas untuk memilih

makanan dengan kriteria yang halal dan thoyyib. Kehalalan suatu

makanan minimal dapat di nilai dari beberapa aspek, yaitu: pertama,

halal dalam cara memperolehnya, yaitu diperoleh dari rezeki yang halal

1 Yusuf Qaradhawi, “Halal dan Haram” (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), hal. 45

2 M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan hukum,

2015. “Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya UU

No. 33 Tahun 2014”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2015). h. 2 3 QS. Al-Baqarah ayat : 172

Page 14: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

2

dan dibenarkan dalam Syariat Islam. Kedua, halal zat atau bahan

dasarnya. Pada dasarnya seluruh yang ada di alam ini halal untuk

dikonsumsi kecuali beberapa jenis hewan dan tumbuhan yang

diharamkan dalam Al-Qur’an, yaitu: bangkai, darah, daging babi,

sembelih atas nama selain Allah, dan hewan yang tercekik, yang dipukul,

yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas kecuali yang

sempet disembelih.

Dan jenis nabati yang diharamkan adalah khamr. Ketiga, halal

dalam proses pengolahan. Dalam proses pengolahannya tidak bercampur

dengan benda atau hewan yang diharamkan. Bahan baku, bahan

tambahan, dan bahan penolong harus halal yang diproses secara higienis

dan memenuhi prosedur pembuatan makanan yang baik, serta produksi

harus terjamin halal secara shar’i. Keempat, halal proses pengemasan.

Makanan harus dikemas dengan bahan halal dan higienis. Proses

penyimpanan harus mengikuti standar shar’i.4

Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi terbesar di

dunia dan lebih dari 87% penduduknya adalah ummat muslim. Dengan

demikian, Indonesia menjadi negara dengan populasi ummat muslim

terbesar dalam hal menganut Islam. Isu makanan halal menjadi isu yang

sensitif bagi masyarakat. Selain itu, Indonesia juga merupakan pasar

konsumen muslim yang sangat potensial. Pemerintah memiliki tanggung

jawab besar melindungi masyarakat serta keseluruhan, terutama

konsumen atas kehalalan produk-produk yang beredar dan dipasarkan.

Mengonsumsi makanan halal merupakan kewajiban agama yang

bernilai ibadah, memberikan kebaikan bagi kehidupan di dunia dan

akhirat dan manifestasi dari rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat-

Nya. Sebaliknya, mengonsumsi makanan haram merupakan kemaksiatan,

4

Muahmmad Aziz, “Perspektif Maqashid Al-Syariah Dalam Penyelenggaraan Jaminan

Produk Halal Di Indonesia Pasca Berlakunya Undangundang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang

Jaminan Produk Halal”, AL-HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, Volume 7, Nomor 2, (September,

2017), h.4.

Page 15: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

3

mendatangkan keburukan, dan bentuk ketundukan kepada setan.5

Makanan memberikan pengaruh baik secara fisik dan psikis manusia. Hal

tersebut karena makanan yang dikonsumsi akan dicerna oleh tubuh,

diserap gizinya, dan diedarkan ke seluruh tubuh manusia. Ini berarti,

makanan yang telah diproses sistem pencernaan akan mengalir dari ujung

rambut ke ujung kaki menjadi energi yang menggerakkan aktivitas

manusia.

Konsumsi produk halal merupakan kewajiban setiap muslim,

dalam persoalan ini juga aktif hadir berkontribusi menyediakan produk

halal melalui berbagai instrumen regulasi. Hal ini terjadi sebelum

lahirnya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal (UU-JPH) ada banyak peraturan yang tersebar seperti pada undang-

undang pangan, undang-undang kesehatan, undang-undang perlindungan

konsumen dan peraturan-peraturan di bawah undang-undang.

Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan

kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam.6 Sertifikat halal ini

merupakan syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu

produk layak untuk dikonsumsi oleh konsumen muslim. Pelaku usaha

harus memenuhi syarat tertentu dan melewati serangkaian proses yang

telah ditetapkan oleh MUI untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah

memperoleh sertifikasi halal, pelaku usaha memperoleh label dari MUI

untuk kemudian dicantumkan pada label produknya. Sertifikat halal ini

hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan pelaku usaha harus

melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi kehalalan

produknya kembali.

5 Memakan makanan yang halal merupakan wujud syukur atas nikmat Allah sebagaimana

disebut dalam QS. Al-Nahl [16]: 114 6 Wiku Adi Sasmito, “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam

Labeling Obat dan Makanan”, Case Study: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008, hlm. 14.

Page 16: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

4

Pengaturan pemeriksaan sertifikasi halal pada awalnya merupakan

keuntungan dari Kementerian Agama. Kementerian Agama telah

mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang

pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.

Selanjutnya ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama No 519

Tahun 2001 Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksa Pangan Halal.

Kenyataan yang demikian itu dalam implementasi sehari-hari, bagi

umat Islam di Indonesia, butuh jaminan atas makanan yang ia konsumsi.

Jaminan yang dimaksud adalah usaha yang terstruktur dan sistematis agar

makanan yang dikonsumsi tersebut terjamin halal, baik dari aspek

dzatnya, proses dan tambahannya. Dalam rangka mewujudkan jaminan

kehalalan atas makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat, negara

menerbitkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal (UUJPH).

Dalam perkembangannya pengaturan sertifikasi halal selama ini

masih terkesan sektoral, tidak sistematik dan sukarela (voluntary), yang

mengakibatkan sertifikasi halal belum mempunyai legitimasi hukum

yang kuat, dan masih banyak produk yang beredar di masyarakat belum

semua terjamin kehalalannya, sehingga memerlukan pengaturan yang

komprehensif yang meliputi produk barang dan jasa. Berdasarkan

alasannya tersebut maka penyelenggaraan sertifikasi halal kemudian

diatur secara khusus dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal.7

Berdasarkan pasal 5 UUJPH penyelenggaraan jaminan produk

halal merupakan tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini dilaksanakan

7 Susilowati Suparto, “Harmonisasi Dan Sinkronisasi Pengaturan Kelembagaan

Sertifikasi Halah Terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia”, (Fakultas

Hukum Universitas Padjajaran, Bandung Jalan Dipati Ukur Nomor 35 Bandung, Jawa

Barat), Jurnal MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, h.428

Page 17: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

5

oleh Kementrian Agama.8 Untuk melaksanakan penyelenggaraan jaminan

produk halal tersebut pemerintah membentuk Badan Penyelenggara

Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan

bertanggung jawab kepada Kementerian Agama. BPJPH dalam

penyelenggaraan jaminan produk halal diberikan kewenangan untuk

menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal pada suatu

produk, yang mana kewenangan ini sebelumnya dilaksanakan oleh

LPPOM-MUI.

Selanjutnya dengan adanya pemberlakuan UUJPH ini, secara

kelembagaan yang pada awalnya penerbitan sertifikasi halal merupakan

tanggung jawab LPPOM-MUI, kini menjadi tanggung jawab BPJPH.

Sertifikasi halal merupakan pengakuan kehalalan suatu produk yang

dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang

dikeluarkan oleh MUI. BPJPH sampai saat ini belum terbentuk, karena

UUJPH menentukan bahwa BPJPH ini harus dapat berdiri paling lambat

tiga tahun semenjak diundangkannya UUJPH. Hal ini sesuai Pasal 64

UUJPH yang mengamanatkan bahwa pembentukan BPJPH dibentuk

paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UUJPH diundangkan, yakni 17

Oktober 2017.

Pembentukan BPJPH sebagai upaya perlindungan konsumen

terhadap konsumen sebagai suatu sistem. Hukum sebagai sistem

merupakan suatu tatanan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian

atau unsur-unsur yang saling berkaitan, saling berinteraksi satu sama lain,

yang terorganisasi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan itu.9

8 Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk

Halal (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604) 9 Sudikno Mertokusumo, 2006, “Penemuan Hukum : Sebuah Pengantar”,

Liberty, Yogyakarta, h.18.

Page 18: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

6

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin

memaparkan tentang undang-undang sertifikasi halal yang sudah di

sahkan oleh pemerintah, Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal (UU JPH). Serta kewenangan lembaga penjamin

produk halal menurut ketentuan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014.

Maka permasalahan yang diambil berjudul: “Kewenangan BPJPH dan

MUI dalam Sertifikasi Halal Berdasarkan Undang-undang Nomor 33

Tahun 2014 (UU-JPH)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis

dapat menidentifikasi beberapa permasalahan dalam hal Efektivitas

BPJPH dalam Melaksanakan Kewenangan Sertifikasi Halal setelah

diberlakukannya Undang-undang No. 33 Tahun 2014. Adapun masalah

yang penulis identifikasi dari latar belakang di atas adalah sebagai

berikut :

1. Jaminan kehalalan atas makanan yang di konsumsi oleh masyarakat,

2. Syarat dan prosedur pelaku usaha dalam sertifikasi halal.

3. Penerbitan Peraturan Pemerintah dalam pembentukan BPJPH.

4. Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

5. Prosedur sertifikasi halal BPJPH.

6. Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal berdasarkan

UU-JPH.

7. Efektifitas penerapan sertifikasi halal setelah Undang-undang Nomor

33 Tahun 2014.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Page 19: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

7

Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan dalam

penelitian ini, maka penulis memandang permasalahan penelitian ini

perlu dibatasi. Oleh karena itu penulis hanya memfokuskan pada

masalah Undang-undang Sertifikasi halal yang sudah di sahkan di

DPR RI pada tahun 2014 dalam kajian hukum Islam dan

kewenangan BPJPH dan MUI dalam penentuan sertifikasi halal

berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2014 berlaku, serta

bagaimana prospek sertifiksai halal pada BPJPH.

2. Rumusan Masalah

Oleh karena itu rumusan masalah yang dikaji dalam perumusan

masalah penelitian adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana kewenangan BPJPH dan MUI dalam penyelenggara

Jaminan Produk Halal sebelum dan sesudahnya Undang-undang

Nomor 33 Tahun 2014?

b. Bagaimana Efektifitas Penerapan Sertifikasi Halal Setelah

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014?

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari sebuah penelitian ialah mengungkapkan secara jelas

sesuatu yang hendak dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari

pemahaman tersebut, maka tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis kewenangan BPJPH dan MUI dalam

penyelenggara Jaminan Produk Halal sebelum dan sesudahnya

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014.

2. Untuk Menjelaskan Efektifitas Penerapan Sertifikasi Halal Setelah

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.

Page 20: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

8

Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian

pula dengan penelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat

bermanfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Akademis

Penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi atau ilmu

pengetahuan bagi kalangan akademisi institusi tentang sertifikasi

halal yang berkaitan dengan produk halal setelah berlakunya undang-

undang jaminan produk halal.

2. Bagi penulis

Untuk menerapkan dan mempersembahkan sebuah karya tulis

terhadap ilmu yang telah didapat selama perkuliahan dan memperluas

wawasan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang kajian

Hukum Ekonomi Syariah.

3. Manfaat Praktisi

Untuk mengetahui batasan-batasan pengkonsumsian yang benar dan

halal untuk menambah keyakinan kepada konsumen terutama

terhadap ummat Islam dalam mengkonsumsi sesuatu.

4. Manfaat Teoritis

Untuk mengatahui Kewenangan BPJPH dalam Penentuan Sertifikasi

Halal Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor. 33 Tahun 2014

Tentang Jaminan Produk Halal.

5. Manfaat Adjukasi

Memberikan sebuah arah kebijakan kepada pemerintah terkait

Undang-undang Jaminan Produk Halal.

Page 21: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

9

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis menemukan

beberapa penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang penyusun

kaji tentang penyelenggara produk halal. Akan tetapi belum ada sama

sekali yang membahas secara spesifik tentang praktek dan konsep yang

sama pada penelitian ini. Berikut adalah beberapa tulisan yang

membahas tentang jaminan produk halal:

1. Jurnal yang ditulis oleh Susilowati Suparto, Konsentrasi Departemen

Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran Bandung

Tahun 2016. “harmonisasi dan sinkronisasi pengaturan kelembagaan

sertifikasi halal terkait perlindungan konsumen muslim di Indonesia.

Jurnal ini membahas perkembangan pengaturan sertifikasi halal

selama ini masih terkesan sektoral dan sukarela, yang meng-

akibatkan sertifikasi halal belum mempunyai legetimasi hukum yang

kuat. Dengan hasil bahwa pengaturan yang terkait dengan kewajiban

sertifikasi halal sifatnya sukarela. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan

Pasal 10 ayat (1) peraturan pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang

label dan iklan pangan yang menyatakan bahwa setiap orang yang

memproduksi atau memasukan pangan yang dikemas ke Indonesia

dan menyatakan pangan tersebut halal wajib bertanggung jawab atas

kebenaran pernyataan dan wajib mencantumkan ket-erangan atau

tulisan halal.10

2. Penelitian yang dilakukan oleh KN Sofyan Hasan, Konsentrasi Ilmu

Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya Palembang Tahun

2014. “kepastian hukum dan sertifikasi lebelisasi halal produk

pangan”. Jurnal ini membahas bahwa proses sertifikasi halal yang

selama ini dilakukan oleh MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan,

10 Susilo Suparto, “Harmonisasi Dan Sinkronisasi Pengaturan Kelembagaan

Sertifikasi Halal Terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia”. Fakultas Hukum,

Unuversitas Padjajaran, Bandung. 2016.

Page 22: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

10

Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. (LPPOM

MUI). dan Komisi Fatwa dan Labelisasi Halal yang dikelola oleh

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah sangat tepat dan

memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum produk

pangan halal sebagimana prosedur yang ada, namun ketika hal

tersebut dikaitkan dengan UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen. Menunjukan bahwa regulasi yang ada

masih bersifat sektoral, karena sertifikasi halal masih bersifat

sukarela bagi pelaku usaha, bukan hal yang wajib. Maka sertifikasi

halal dapat dikatakan belum mempunyai legitimasi hukum yang

kuat.11

3. Lalu jurnal dengan judul “ presfektif Maqasid syariah dalam

penyelenggara Jaminan Produk Halal di Indonesia pasca berlakunya

Undang-undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal”.

Oleh Muhammad Azis, Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hikmah

Tuban AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, Volume 7, Nomor 2,

September 2017. Jurnal ini membahas yang berfokus pada kehalalan

makanan sehari-hari. Dengan hasilnya ialah Kenyataan yang

demikian itu dalam implementasi sehari-hari, bagi umat Islam di

Indonesia, butuh jaminan atas makanan yang ia konsumsi sesuai

dengan mqasid syariah. Jaminan yang dimaksud adalah usaha yang

terstruktur dan sistematis agar makanan yang dikonsumsi tersebut

terjamin halal, baik dari aspel dzatnya, proses dan tambahannya.

Dalam rangka mewujudkan jaminan kehalalan atas makanan yang

dikonsumsi oleh masyarakat, negara menerbitkan UU No 33 Tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal.12

11 KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk

Pangan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2 (Mei, 2014), hlm. 229. 12 Muhammad Azis, “Perspektif Islam pada penyelenggara jaminan produk halal

sesuai Undang Undang No.33 Tahun 2014”, AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman,

Volume 7, Nomor 2, September 2017.

Page 23: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

11

4. Skripsi M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum,

fakultas syariah dan hukum, 2015 “Kewenangan LPPOM MUI

Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya UU No. 33

Tahun 2014”. Membahas mengenai perubahan wewenang LPPOM

MUI sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang No.33 Tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sebelum berlakunya Undang-

undang jaminan produk halal atau selama berlakunya 23 tahun

semenjak berdirinya LPPOM MUI, LPPOM MUI berwenang penuh

atas penetapan sertifikasi halal namun setelah berlakunya Undang-

undang No. 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal maka

LPPOM MUI tidak lagi memiliki hak penuh atas pengeluaran dan

penetapan sertifikasi halal, melainkan hanya sebagai mitra.13

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif Tertulis

adalah metode penelitian hukum terhadap aturan hukum yang

tertulis. Pada penelitian hukum normatif, peraturan perundangan

yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer dalam

penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis yang

dilakukan peneliti adalah mengumpulkan bahan-bahan yang

terpublikasi atau tidak yang berkenan dengan bahan hukum

positif yang dikaji dengan terkumpulnya bahan-bahan tersebut

maka akan mudah melakukan sistematisasi dan analisis

selanjutnya.

13M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan

hukum, 2015. “Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca

Berlakunya UU No. 33 Tahun 2014”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015).

Page 24: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

12

Bahan pustaka lain yang merupakan berhubungan dengan

tema walaupun menjadi dasar yang dalam ilmu hukum

digolongkan sebagai data skunder. Data skunder tersebut

mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi

surat-surat pribadi, buku-buku harian, UU JPH, SK Kemenag,

BPJPH, UU Perlindungan Konsumen, buku –buku yang berkenan

tentang halal dalam Islam, Pedoman Skripsi, sampai pada

dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah

adapun data skunder sebagai berikut:

1) Surat kabar

2) Opini yang berhubungan tentang Jaminan Produk halal di

Indonesia

3) BPJPH

b. Sifat penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum

yuridis normatif, jenis penelitian ini menggunakan penelitian

kepustakaan (library research) yang bersifat deskriptif-analitis.

Penelitian ini juga menggunakan metode penelitian kualitatif

yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan informasi

dari lembaga yang terlibat dalam objek penelitian. Jenis pelaporan

yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, yaitu penulis

menggambarkan permasalahan dengan didasari pada data yang

ada lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil suatu

kesimpulan. Proses analisa dimulai dari membaca, mempelajari

dan menelaah data yang didapat secara seksama, selanjutnya dari

proses analisa tersebut penulis mengambil kesimpulan dari

masalah yang bersifat umum kepada masalah yang bersifat

khusus.

2. Metode Pengumpulan Data

Penelitian kepustakaan (library research), penulis mengadakan

penelitian terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya dengan

Page 25: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

13

penulisan skripsi ini. Literatur itu berupa buku, majalah, surat kabar,

artikel, jurnal, dan lain sebagainya. Langkah dalam melaksanakan

studi pustaka ini adalah dengan cara membaca, mengutip, serta

menganalisa dan merumuskan hal-hal yang dianggap perlu dalam

memenuhi penelitian ini.

3. Data dan Sumber Data

Yang dimaksud sumber data disini adalah subyek dari mana data

diperoleh.14

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber

pertama dengan melalui sumber lapangan atau lembaga penelitian

yang memberikan informasi langsung kepada peneliti. Perolehan

data primer dari penelitian dilapangan dapat dilakukan dengan

cara wawancara atau interview, panduan daftar pertanyaan. Data

primer ini hanya bersifat pendukung untuk melengkapi data

sekunder.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang lebih dahulu dikumpulkan

dan data yang diperoleh dari studi kepustakaan (Library

Research). Data ini diperoleh dengan cara mempelajari,

membaca, mengutip literatur-literatur atau peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian

ini.

Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan

bahan hukum dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan

sebagai bahan hukum sekunder. Dalam melakukan penelitian ini

penulis pertama-tama memerlukan data atau

14 Winarno Surakhmad, “Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan

Teknik)”, (Bandung:Tarsindo, 1999), h. 134.

Page 26: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

14

keterangan-keterangan yang terkait dengan permasalahan

pada penelitian. Sedangkan data yang dipergunakan penelitian ini

berasal dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum bersifat mengikat.

Dalam penulisan ini, bahan hukum primer yang digunakan

adalah:

1) Undang-Undang Dasar 1945.

2) Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal.

3) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang

kesehatan.

4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

5) Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 1991 tentang

Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan

Peredaran Makanan Olahan.

6) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor

519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana

Pemeriksaan Pangan Halal.

7) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor

518 Tahun 2001 tentang Pedoman Dan Tata Cara

Pemeriksaan Dan Penetapan Pangan Halal.

8) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan

Halal pada Label Makanan.

9) SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Republik

Indonesia Nomor: 427/Menkes/SKB/VIII/1985 - No. 68

Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada

Page 27: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

15

Label Makanan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

seperti berupa buku cetakan penerbit, hasil penelitian,

makalah dan jurnal serta literaatur lainnya yang relevan

dengan permasalahan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang

memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder, antara lain Kamus hukum,

ensiklopledia dan lain-lain.15

Berikutnya, untuk validasi data, peneliti menggunakan

metode wawancara untuk menggali data dari sumber seorang

tokoh yang kompeten dalam bidang jaminan produk halal, yaitu:

No. Nama

Tokoh

Jabatan Data yang diambil

1.

Aminudin

Yakub,

M.Ag

Anggota Komisi

Fatwa MUI

1. Sejarah sertifikasi

halal di Indonesia

2. Prosedur JPH

sebelum dan sesudah

disahkannya UU No.

33 Tahun 2014

3. Perubahan

kewenangan MUI

dan Sertifikasi Halal

15

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Noormatif

(Malang : Bayu Media Publishing, 2008), h.294

Page 28: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

16

Tabel 1.1 Daftar nama tokoh sebagai sumber data

wawancara16

4. Analisis Data

Data yang diperoleh baik data primer maupun data skunder

dikelompokkan kemudian diolah dan disusun secara sistematis

melalui tahapan-tahapan :

a. Klasifikasi Data yaitu penempatan data dan pengelompokan data

atau penggolongan data sesuai dengan pokok bahasan yang akan

dibahas dalam penelitian.

b. Editing yaitu memeriksa dan mengoreksi kembali data yang

berguna atau tidak sehingga data yang telah terkumpul benar-

benar bermanfaat untuk menjawab permasalahan yang relevan

dengan tujuan penelitian.

c. Penyusunan data yaitu data yang telah diperiksa dan telah

diklasifikasikan dan kemudian disusun secara sistematis sesuai

urutannya sehingga mempermudah dalam pembahasan, analisis

dan interpretasi terhadap pokok bahasan dalam penelitian.

d. Analisa data yaitu setelah data terkumpul secara keseluruhan

baik yang diperoleh dari hasil studi pustaka, kemudian dianalisis

secara yuridis kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan

permasalahan berdasarkan penelitian dan pembahasan dalam

bentuk penjelasan atau uraian kalimat yang disusun secara

sistematis.

5. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan masalah yang berpacu kepada

pendekatan normatif, karena dalam penelitian ini terdapat aturan-

16

Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi

Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.

Page 29: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

17

aturan tertentu dan ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap

kewenangan badan jaminan produk halal (BPJPH).

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara umum dari penelitian ini

secara menyeluruh perlu adanya sistematika penulisan yang dibuat oleh

penulis. Dengan demikian, sistematika penulisan yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

BAB I Dalam bab ini merupakan gambaran umum secara

keseluruhan serta bentuk metodologis dari penulis yang

meliputi : latar belakang masalah, identifikasi masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan

kerangka konsep.

BAB II Dalam bab ini penulis akan membahas konsep sertifikasi

halal meliputi kewenangan BPJPH dan MUI dalam

penentuan sertifikasi halal.

BAB III Dalam bab ini penulis akan memberikan gambaran

umum yang berkaitan dengan objek penelitian dimulai

dengan sejarah tentang BPJPH, MUI, struktur dan visi-

misi BPJPH, pelaksanaan pendaftaran sertifikasi halal,

Tinjauan Umum Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal

BAB IV Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai hasil dan

analisa dari penelitian.

BAB V Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran

yang dapat diberikan dari hasil penelitian.

H. Kerangka Teori

Teori Sistem Hukum Lawrence M Frieman

Dalam penelitian ini teori sistem hukum Lawrence M Friedman

digunakan untuk melihat problematika dari implementasi UU JPH. Dalam

Page 30: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

18

teorinya Lawrence M Friedman mengatakan bahwa dalam sistem hukum

ada 3 elemen yang perlu diperhatikan yaitu struktur, substansi, dan budaya

hukum. Berikut akan dibahas pentingnya menggunakan pendekatan 3

elemen sistem hukum dari Lawrence M Friedman ini untuk melihat

problematika sistem hukum dari pelaksanaan jaminan produk halal.

1. Elemen pertama yang terdapat dalam sebuah sistem hukum adalah

struktur (structure). Sistem itu secara konstan terus berubah, namun

bagian-bagian dari sebuah sistem berubahnya memiliki dimensi waktu

yang berada. Struktur termasuk elemen dari sistem hukum yang paling

lama berubah. Struktur adalah kerangka dari sebuah sistem.

Struktur hukum dalam hal ini adalah perangkat hukum yang berisi

jumlah dan ukuran pengadilan di suatu negara. Struktur juga dapat

diartikan sebagai bagaimana legislator diorganisasikan. Selain aparat

hukum, struktur hukum juga dapat diartikan sebagai kesiapan

infrastruktur penunjang aparat hukum bekerja.

2. Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum yang ada.

Hal ini dimaksudkan sebagai actual rules, norma-norma hukum.

Substansi hukum dapat diartikan sebagai hasil atau produk yang

dihasilkan orang-orang yang ada dalam sebuah sistem hukum

(legislator). Substansi juga bisa diartikan sebagai hukum yang hidup

di masyarakat tidak hanya hukum yang ada dalam perundang-

undangan.

Dikarenakan pembahasan pada elemen sistem hukum kedua yaitu

substansi hukum menyentuh pada hukum yang hidup di masyarakat

hukum yang dalam buku, maka pernyataan tadi membawa kita kepada

3. Elemen ketiga yaitu budaya hukum. Lawrence M Friedman

menerangkan bahwa budaya hukum adalah sikap masyarakat terhadap

hukum dan sistem hukum. Budaya hukum juga bisa diartikan sebagai

climate of social thought (iklim dari pikiran masyarakat) dan juga

social force (kekuatan sosial) yang menentukan bagaimana hukum itu

digunakan, dihindarkan, atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum,

Page 31: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

19

sistem hukum adalah bangkai, seperti ikan yang tidak bisa berenang

bebas di dalam lautan.17

I. Kerangka Konseptual

17

Lawrence M. Friedman & Grant M. Hayden, 2017. American Law: An Introduction. 3rd

Edition. New York. Oxford University Press. hal.5-7.

Pelaku Usaha

BPJPH

Kemenag

LPH

MUI

Undang-Undang

Nomor 33 Tahun

2014 (UU-JPH)

Page 32: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

20

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Penjelasan Kewenangan

1. Pengertian Kewenangan

Berbicara tentang kewenangan maka terdapat dua jenis

kewenangan, yaitu kewenangan formal dan informal. Kewenangan

informal yaitu kewenagan yang dimiliki oleh seseorang karena

berbagai sebab seperti : kharisma, kekayaan, kepintaran, ataupun

kelicikan. Sedangkan kewenangan yang bersifat formal adalah

kewenangan pemerintah sebagai penyelenggara administrasi negara. 1

Dalam hal ini, penulis membahas tentang kewenangan formal

yang terkait kewenangan pemerintah sebagaimana disebut dalam

peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 1 Ayat (3) yaitu

kewenangan adalah hak dan kekuasaan pemerintah untuk menentukan

atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah.

Seiring dengan prinsip utama dalam penyelenggaraan negara hukum

adalah asas legalitas, maka kewenangan dari pemerintah untuk

melaksanakan tugasnya dalam pemerintahan berasal dari peraturan

perundang-undangan yang ada, oleh karena itu pemerintah tidak boleh

menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintah dan

tidak boleh berbuat seseuatu selain yang telah ditetapkan oleh

peraturan perundang-undangan yang berlaku.2

Pengertian kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan, memerintah

dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Sedangkan

menurut wiktionary adalah kekuasan yang dimiliki oleh suatu pihak

1 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:

Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 25 2 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:

Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 26

Page 33: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

21

berdasarkan (i) tatanan moral atau kebiasaan yang berlaku, (ii) undang-

undang atau peraturan, atau ijin/lisensi yang diterbitkan oleh suatu

badan pemerintah untuk melakukan suatu usaha, kegiatan, aktifitas.3

Menurut P. Nicholai disebutkan bahwa kewenangan adalah

kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu

tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat

hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum

tertentu. Hak berisi kebebasan untuk atau tidak melakukan tindakan

tertentu atau menurut keharusan untuk melakukan atau tidak

melakukan tindakan tertentu.4

Mengenai wewenangan, H.D Stout mengatakan bahwa

kewenangan adalah pengertian yang berasal dari hukum pemerintahan,

yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang

berkenan dengan perolehan-perolehan dan penggunaan kewenangan

dari pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum

piblik. Lebih lanjut Stout juga menyetir pendapat Goorden, bahwa

wewenang adalah keseluruhan hak dan kewajiban yang secara eksplisit

diberikan oleh pembuat undang-undang kepada subjek hukum publik.

Sedangkan menurut F.P.C.L Tonnaer, mengartikan kewenangan

pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan, untuk

melaksanakan hukum positif dan dengan begitu, dapat diciptakan

hubungan hukum antara pemerintah dengan warga.

Selain itu, Ferrazi mendefinisikan kewenangan sebagai hak

untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen yaitu meliputi

pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi), dan

pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu.

3 Kewenangan, https://id.wiktionary.org, diakses pada tanggal 12 Oktober

2019 pukul 13.48. 4 Ridwan HR,” Hukum Administrasi Negara” (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2016), h. 97-98.

Page 34: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

22

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewenangan sangat

erat kaitannya dengan penyelenggaraan administrasi negara, yaitu

pemerintah. Di dalamnya mengandung hak dan kewajiban pejabat

adminstrasi negara dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas

pemerintah dengan mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat

terikat sesuai syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang. Karena

kewenangan bersumber dari peraturan penundang-undangan.

2. Kedudukan Kewenangan

Kewenangan terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen

yaitu (1) pengaruh, (2) dasar hukum, dan (3) konformitas hukum.

Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang

dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum. Komponen

dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus selalu dapat ditunjuk

dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung

adanya satndard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis

wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang jenis

tertentu).

Jadi kedudukan kewenangan dalam penyelenggaraan

administrasi negara adalah sebagai dasar hukum (legalitas) sebuah

organisasi atau pemerintah dalam menjalankan fungsinya untuk

bertindak dan mengambil kebijakan dan keputusan dalam memerintah,

melakukan pembinaan dan memberikan pengayoman serta

perlindungan hukum kepada rakyat sehingga tujuan pokok dan fungsi

suatu organisasi atau pemerintah tersebut dapat tercapai.5

5 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:

Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 27

Page 35: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

23

Gambar 2.1. Skema Fungsi Pemerintah

Dari skema tersebut dapat digambarkan bahwa antara

penguasa/ pemerintah dengan rakyat memiliki hubungan timbal

balik. Pihak pemerintah dengan kegiatan yang disebut memerintah,

melakukan pembinaan dan memberikan pengayoman serta

perlindungan hukum kepada rakyat. Sebaliknya rakyat

mendapatkan perlindungan hukum dan memiliki kewajiban

partisipasi terhadap aktivitas pemerintah dengan kewajiban

mematuhinya. Sementara kewajiban pemerintah adalah mematuhi

atasan wewenang yang diberikan.

Maka dapat disimpulkan bahwa wewenang terdiri atas

sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu (1) pengaruh, (2) dasar

hukum, dan (3) konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah

bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan

perilaku subyek hukum (rakyat), komponen dasar hukum ialah

bahwa wewenang itu harus selalu dapat ditunjuk dasar hukumnya,

dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard

wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta

standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Pembinaan

Pengayoman

partisipasi

Pemerintah Rakyat

Page 36: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

24

Jadi kedudukan wewenang atau kewenangan dalam

penyelenggaraan administrasi negara adalah sebagai dasar hukum

(legalitas) sebuah organisasi atau pemerintah dalam menjalankan

fungsinya untuk bertindak dan mengambil kebijakan dan

keputusan dalam memerintah, melakukan pembinaan dan

memberikan pengayoman serta perlindungan hukum kepada rakyat

sehingga tujuan pokok dan fungsi suatu organisasi atau pemerintah

tersebut dapat tercapai.6

B. Sertifikasi Halal

1. Pengertian Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal terdiri atas dua kata yaitu sertifikasi dan halal.

Kata “sertifikasi” berasal dari bahasa inggris “certificate” yang

mempunyai tiga arti yaitu akte, surat keterangan, diploma atau ijazah.

Kata “certificate” kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia

menjadi “sertifikat” yang merupakan kata benda. Dalam “Kamus Besar

Bahasa Indonesia” dijelaskan bahwa sertifikat itu berarti tanda atau

surat keterangan atau pernyataan tertulis atau tercetak yang

dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yang dapat digunakan sebagai

bukti. Sementara itu, sertifikasi berarti kegiatan penyertifikatan atau

proses menjadi sertifikat.7

Sementara itu, kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang

berkaitan dengan hukum halal dan haram. Menurut Ibn Manzur, halal

itu berasal dari kata “al-hillu” yang berarti tidak terikat (al-thalaq).

Oleh karena itu, al-muhillu berarti orang kafir yang boleh diperangi

karena tidak terikat perjanjian damai kita. Lafazh halal merupakan

lawan dari kata “haram” , sedangkan lafazh “haram” itu pada asalnya

6 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,

(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 28 7 Sopa, “Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika”, Gaung Persada Press Group Jakarta. Desember

2013 Cet. Pertama h.12

Page 37: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

25

berarti mencegah atau merintangi (al-man’u). Oleh karena itu, setiap

yang diharamkan (al-muhrimu) itu menjadi tercegah atau terlarang.

Lafazh al-muhrimu merupakan lawan dari lafazh al-muhillu yang

berarti orang kafir yang berarti tidak boleh diperangi karena terikat

perjanjian damai dengan kita.8

Selanjutnya, Ibn Manzhur menjelaskan bahwa haram itu berarti

segala sesuatu yang diharamkan Allah.9 Atas dasar itu, al-Munawi

memberikan definisi halal sebagai “sesuatu yang tidak diharamkan”.

Maka, didalamnya terkandung sesuatu yang dimakruhkan dan yang

tidak dimahruhkan atau diperbolehkan. Definisi ini masih kabur karena

belum memberikan batasan yang jelas dan spesifik.

Sopa mengutip menurut Qal‟aji dan Qunaibi, lafazh halal itu

berasal dari halla al-syay’i apabila sesuatu itu telah menjadi mubah.

Oleh karena itu, pengertian halal identik dengan “mubah”10

yang

terdapat dalam ahkam al-khamsah. Atas dasar itu, maka wajar apabila

al-Qardlawi secara eksplisit mengidentikkan keduanya seperti

tercemin dalam definisi halal yang diberikannya yaitu “sesuatu yang

mubah yang diizinkan oleh syari‟ untuk dikerjakan.

Dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Qardlawi tersebut

terdapat dua unsur. Pertama, sesuatu yang mubah yang terdapat dalam

dzat atau „ain. Dengan demikian, secara substantive benda tersebut

dzatnya adalah mubah. Kedua, “yang diizinkan oleh Syari‟ untuk

dikerjakan” berkaitan dengan perbuatan mukallaf yaitu mengerjakan

(fi’l al-mukallaf). Oleh karena itu, cakupan “mengerjakan” itu sangat

luas termasuk di dalamnya mengonsumsi pangan dalam upaya

memenuhi kebutuhan jasmani mukallaf.

8 Ibn Manzhur, lisan arab, juz XV, h. 11

9 Ibn Manzhur, lisan arab, juz XV, h.9

10 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz II, h.72

Page 38: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

26

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa sertifikat halal itu merupakan proses kegiatan pembuatan surat

keterangan halal (Fatwa Halal) atas suatu produk pangan yang dibuat

secara tertulis yang dikeluarkan oleh MUI sebagai fisik yang

berwenang mengeluarkan fatwa di Indonesia. Maka, sebagai hasilnya

adalah Sertifikasi Halal yang dapat dijadikan bukti bagi perusahaan

untuk mendapatkan izin percantuman lebel halal pada kemasan

produknya dari instansi pemerintah yang berwenang dalam halal ini

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM).11

2. Urgensi Sertifikasi Halal

Allah SWT melalui berbagai firman-Nya menyuruh kita untuk

selalu mengonsumsi pangan yang halal dan thayyib. Perintah tersebut

terdapat dalam Q.s. al-Mai‟dah [5] : 88:

ون ن م ؤ م ه ب م ت ن أ ي لذ ا ه ل ل ا وا ق ت وا ا با ي ط لا ل ح ه ل ل ا م ك رزق ما وا ل وك

Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa

yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah

kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Q.S

Al-Maidah : 88).

Dan surat al-baqarah [2] : 168

ن ا ط ي ش ل ا ت وا ط خ وا ع ب ت ت ول ا با ي ط لا ل ح لرض ا ف ما وا ل س ك نا ل ا ا ه ي أ ا ي

ين ب م و د ع م ك ل نه إ

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi

baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah

kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena

11Sopa, “Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI

terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika”, Gaung Persada Press Group

Jakarta. Desember 2013 Cet. Pertama h.12.

Page 39: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

27

sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata

bagimu.”(Q.S al-baqarah : 168).

Berdasarkan ayat tersebut, terdapat dua kriteria pangan yang kita

konsumsi yaitu halal dan thayyib. Cakupan “halal” dalam ayat tersebut

meliputi halal dari segi dzatnya yaitu pangan yang tidak termasuk yang

diharamkan dan halal dari segi cara memprosesnya. Sementara selain

itu, yang dimaksud thayyib dalam ayat tersebut menurut Ibnu Katsir

adalah pangan yang dzatnya baik dan tidak membahayakan badan serta

akal manusia. Menurut Rasyid Ridla, thayyib berarti lezat yaitu setiap

pangan yang dikehendaki oleh fitrah manusia yang sehat. Sementara

itu, menurut al-Qurthubi, lafzah thayyib dalam al-Qur‟an yang

berkaitan dengan pangan yang dikonsumsi manusia mempunyai tiga

arti diantaranya adalah sesuatu yang terasa lezat oleh yang

memakannya atau meminumnya.12

Bersamaan dengan itu, Allah juga melarang kita untuk

mengonsumsi pangan dari hasil usaha yang haram yang oleh al-Qur‟an

disebuut “al-bathil” sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah

dalam al-nisa’ [4] : 29.13 Menurut Al-Qurtubi, yang dimaksud “al-

bathil” dalam ayat tersebut adalah “tanpa haq” yang kemudian

dijelaskan oleh Ibn Katsir sebagai usaha-usaha yang diharmkan oleh-

oleh hukum Syara‟ seperti riba, judi, dan sebagainya. Usaha-usaha

tersebut dilarang hukum Syara‟ karena termasuk cara peroleh harta

yang dilakukan tanpa imbalan dan kerelaan para pihak.

Dengan demikian, kita diperinthakan untuk mengonsumsi

pangan yang halal (menurut hukum agama), dan bergizi (menurut ilmu

Kesehatan) serta diperoleh dari usaha yang halal. Bersamaan dengan

itu, kita juga dilarang mengonsumsi pangan yang diperoleh dari usaha

12

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟li Ahkam al-

Qur‟an, Juz VI, h.45 13

Al-Baqarah [2] : 168 dan . al-Mai‟dah [5] : 88

Page 40: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

28

yang tidak halal (pangan yang haram). Oleh karena itu, pangan yang

kita konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita harus dipastikan

sengai pangan yang halal, bukan pangan yang haram. Sebab, apabila

pangan yang dikonsumsi itu adalah pangan yang haram, maka hal itu

akan berpengaruh buruk pada jasmani dan ruhaninya.14

Quraish Shihab setelah mengutip pendapat Alexis Carel,

pemenang hadiah Nobel Kedokteran, yang menyatakan perasaan

manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang

dikonsumsinya, menegaskan, “Agaknya melalui kata “rijsun”, ayat ini

(al-Maidah [5]: 90) bermaksud menjelaskan salah satu hikmah

pengaharaman babi atau apa yang telah disebutkan karena makanan

tersebut berdampah buruk pada jiwa dan perilaku manusia”.15

Menurut Rasyid Ridla, kata “rijsun” itu digunakan untuk

menjelaskan sesuatu yang kotor baik secara lahiriah (hissiyyah)

maupun secara maknawiyah (ma’nawiyyah). Arti yang pertama kita

dapatkan dari surat al-An‟am [6] : 145, sedangkan arti kotor secara

maknawiyah adalah apabila sesuatu itu membahayakan bagi manusia.

Atas dasar itu, maka pangan yang diharamkan itu pasti membahayakan

manusia apabila dikonsumsi seperti babi, bangkai dan darah.

Tidak hanya sampai di situ, ternyata pangan yang kita konsumsi

itu mempengaruhi hubungan manusia dengan Tuhannya

(hablumminallah). Pangan yang haram atau yang diperoleh secara

haram akan menjadi penghalang diterimanya ibadah dan

dikabulkannya do‟a. Dengan demikian, jelaslah bahwa pangan yang

haram itu akan membahayakan bagi manusia yang mengonsumsinya

baik terhadap jasmaninya maupun ruhaninya. Sebaliknya, pangan yang

halal itu akan memeberi manfaat bagi manusia yang mengonsumsinya.

14 Sopa, “Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI

terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika”, Gaung Persada Press Group

Jakarta. Desember 2013 Cet. Pertama h.15. 15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah., Jilid IV, h.316

Page 41: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

29

Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan hidup ini kita harus

berusaha maksimal untuk mendapatkan pangan yang halal dan

menjauhi pangan yang haram. Hal ini telah diperintahkan oleh

Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh

al-Thabrani dari Anas bin Malik r.a yang memerintah kita untuk

senantiasa mencari yang halal.

Agar dapat melaksanakan perintah Rasul tersebut dengan baik,

maka kita harus mnegetahui dan memebedakan mana yang haram dan

mana yang halal. Oleh karena itu, pengetahuan tentang halal dan

haram itu sangat penting karena pengetahuan tersebut merupakan

modal utama agar kita tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang

haram termasuk di dalamnya konsumsi pangan yang haram

sebagaimana telah diisyaratkan oleh hadis Nabi SAW yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Nu‟man bin Basyir,

maka, tidak berlebihan apabila sebagian ulama menyatakan “hukum

Islam (fiqh) itu adalah pengetahuan tentang halal dan haram,16

Pada dasarnya, semua jenis pangan itu halal kecuali yang secara

tegas dinyatakan keharamannya baik dalam al-Qur‟an maupun al-

Sunnah. Dengan perkataan lain, selain dari yang diharamkan itu

hukumnya halal. Jumlah dan jenis pangan yang diharmkan dalam

kedua sumber hukum Islam tersebut sangatlah sedikit bila

dibandingkan dengan yang halal. Oleh karena itu, sebenarnya yang

dibutuhkan penjelasan dan perinciannya adalah pangan yang haram.

Dengan demikian, yang dibutuhkan oleh umat Islam itu sebenarnya

bukanlah “Sertifikat Halal”, tetapi “Sertifikat Haram”. Akan tetapi,

dalam kenyataannya di lapangan, hal tersebut tidak dapat diwujudkan.

Sebab, “Sertifikat Haram” tersebut berdampak serius baik secara

ekonomis maupun politis seperti dalam kasus Ajinomoto. Oleh karena

itu, yang diberlakukannya adalah Sertifikat Halal. Yang terakhir ini,

16

Ahmad Hushari. Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Bairut: Dar al-Jil, 1991), h.10

Page 42: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

30

ternyata tidak menimbulkan kegoncangan bahkan dapat menentramkan

hati umat Islam.

Di samping itu, era perdagangan bebas juga telah membuka

lebar-lebar peluang ekspor produk dalam negeri kita termasuk di

dalamnya pangan olahan, obat-obatan dan kosmetika. Peluang ekspor

tersebut harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para

pengusaha kita. Dengan demikian, peluang memasuki pasar

internasioanl semakin terbuka. Hanya saja, untuk memasuki pasar

tersebut para pengusaha dituntut untuk memenuhi beberapa standar

internasional di antaranya labelisasi halal yang sedang dibahas di

Codec Alimentarius Commision (CAC).17

Ketentuan ini umumnya menjadi tuntutan di negara-negara

tujuan ekspor yang berpenduduk muslim seperti Saudi Arabia, Suria,

Libanon, Mesir, dan sebagainya. Bahkan bisa jadi ketentuan ini

menjadi tuntutan juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat.

Sebab, menurut Rhenald Kasali, konsumen di Amerika baik yang

muslim maupun non-muslim menginginkan makanan yang betul-betul

sehat dan aman bagi kesehatannya. Hal tersebut mereka dapatkan pada

makanan yang sudah berlabel halal atau kosher walaupun terdapat

perbedaan yang prinsipil antara keduanya.

Label halal berpedoman pada kaidah-kaidah hukum Islam,

sedangkan label kosher berpedoman pada kaidah-kaidah hukum

Yahudi. Hukum Islam mengharamkan konsumsi alkohol, anggur, dan

gelatin, sedangkan yang kedua justru membolehkannya. Sementara itu,

Hukum Islam memperbolehkan kelinci, unggus liar, ikan yang tidak

bersirip atau berisik, sedangkan hukum Yahudi Melarangnya.18

Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan adanya jaminan

halal dalam bentuk Sertifikat Halal yang dapat melindungi umat Islam

17 Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji,

“Pedoman Labelisasi Halal”, (Jakarta, 2003), h.13-14 18

LPPOM MUI. “Halal dan Haram Pada Produk Sehari-Sehari”, (Pustaka Jurnal Halal,

2007), h.32-34

Page 43: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

31

sebagai konsumen dari mengonsumsi pangan yang haram. Jaminan

tersebut tidak dapat diterima apabila dibuat dan dihasilkan pihak

produsen yang memproduksi produk pangan tersebut karena syarat

dengan berbagai kepentingan bisnis sehingga membuka peluang lebar-

lebar terjadinya manipulasi, tetapi harus dari pihak yang berkompeten

yang terjaga kredibilitas dan integritasnya seperti Majelis Ulama

Indonesia.19

3. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Umat Islam

Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman

sesuatu tidak dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka rasa

tidak suka. Sebab, tindakan demikian dipandang sebagai tidakan

membuat hukum tahakkum dan pembuatan dusta atas nama Allah yang

sangat dilarang Agama. Perhatikan firman Allah berikut:

ثن والبغي بغير الحق ها وها بطي وال م ربي الفىاحش ها ظهر ه قل إوا حر

ها ل تعلوىى ل به سلطاا وأى تقىلىا على للا ها لن يز وأى تشركىا بالل

artinya: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik

yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan

dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,

(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan

sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu

dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah

apa yang tidak kamu ketahui".(Q.S al-a’raf: 33)

Allah ta‟ala mmerintahkan kepada hamba-hambanya agar

memakan rezekinya yang halal lagi baik dan mensyukurinya.

Selanjutnya Allah Ta‟ala menrangkan makanan yang diharamkan

kepada mereka karena membahayakan mereka, baik bahaya yang

19

Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika. Gaung Persada Press Group Jakarta. Desember

2013 Cet. Pertama hal. 20

Page 44: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

32

menyangkut agama maupun dunia. Makanan yang diharmkan itu

diantara nya bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih

dengan menyebut nama selain Allah.

Kemudian Allah melarang hambanya untuk menghalalkan dan

mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan mereka

semata dan mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan

mereka dan mengharamkan nama-nama yang mereka istilahkan

sendiri, seperti bahirah, sa’ibah, washilah dan haam yang mereka

ciptakan pada masa jahiliah. Maka Allah berfirman “dan janganlah

kamu mengatakan terhadap apa yang disebut sebut oleh lidahmu

secara dusta, ini halal ini haram”, untuk mengadakan kebohongan

terhadap Allah. Termasuk dalam kategori ini maka apa yang mereka

ciptakan sebagai bid‟ah dengan Menghalalkan yang haram dan

Mengharamkan yang halal.20

Atas dasar itu pennetuan halal haram hanyalah hak prerogatif

Allah. Dengan kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu

termasuk bidang pangan, harus didasarkan pada Al-Qur‟an, sunnah

dan kaidah-kaidah hukum. Dari sini timbul pertanyaan, dapatkan

setiap orang mengetahui mana pangan yang halal dan mana pangan

yang haram dengan hanya mencukupkan diri merujuk pada Al-Qur‟an

dan sunnah?. Jika pada saat ini kehalalan pangan merupakan suatu

persoalan yang rumit, karena jenis dan bahan pangan yang halal dan

mudah dikenali, serta cara prosesnya pun bermacam-macam.

Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan

peralatan yang canggih, kiranya dapat dikategorikan kedalam

kelompok pangan yang tidak mudah diyakini kehalalannya. Apalagi

jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas

non-muslim, sekalipun bahan bakunya berupa bahan suci atau

20

Muhammad Nasib ar-Rifa‟I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu

Katsir”, jilid 2”(Gema Insani Press, 1999), h.1073-1074

Page 45: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

33

tercampur, menggunakan atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang

tidak suci atau tercampur dengan bahan haram.

Dari paparan diatas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan

bahwa tidak setiap orang (muslim) akan dengan mudah

mengetahuinya secara pasti halal tidaknya suatu produk pangan, obat-

obatan maupun kosmetika. Karena untuk mengetahui hal tesebut

diperlukan pengetahuan yang cukup memadai tentang pedoman atau

kaidah-kaidah syariah Islam. Dijelaskan hadits populer:

ن ن وإن الرام ب ي إن اللل ب ي

Artinya: “Halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah

jelas”.

Hadis ini menunjukan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah

jelas kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamkannya.

Disamping itu, dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup banyak hal

yang samar-samar (syubhat) status hukumnya, apakah ia halal ataukah

haram, tidak diketahui oleh banyak orang. Bagi umat Islam, hal

tersebut yakni hal atau pangan kategori syubhat, tidak dipandang

sebagai persoalan yang mendapat perhatian besar dan serius.

Oleh karena tidak setiap orang dapat dengan mudah mengetahui

kehalalan atau keharaman suatu pangan sebagiamana dikemukakan

diatas, maka peranan ulama sebagai kelompok orang yang dipandang

memiliki pengetahuan memadai tentang hal tersebut sangat diperlukan

untuk memberikan penjelasan (fatwa) kepada masyarakat luas

mengenai status hukum pangan tersebut.

Fatwa produk halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh komisi

fatwa MUI mengenai produk pangan, minuman, obat-obatan dan

kosmetika. Fatwa tersebut ditetapkan setelah dilakukan serangkaian

pembahasan dalam rapat komisi fatwa yang didahului dengan laporan

hasil auditing oleh LPPOM. jika rapat memandang bahwa produk

dimaksud tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, baik dari aspek

Page 46: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

34

bahan maupun dalam proses produksinya. Setelah akan ditetapkan

kehalalannya, serta dibuat satu keputusan fatwa untuk produk-produk

yang diputuskan dalam rapat secara tertulis. Selanjutya, untuk setiap

produk dari suatu produsen dibuatlah satu sertifikat yang disebut

dengan sertifikat halal.

Sertifikat halal ini berlaku untuk jangka waktu dua tahun dengan

syarat produk tersebut tetap memenuhi standar atau kriteria

sebagaimana dilaporkan pada saat rapat komisi fatwa. Setelah dua

tahun, atau jika ada perubahan bahan, produk bersangkutan harus

diproses kembali untuk memperoleh setifikat baru. Hal ini demi

terciptanya kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu

produk makanan minuman dan obat obatan. Semua peraturan yang

ada untuk kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk.

Sebagaimana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

pada Bab III pasal 4 ayat (a). bahwa pengkonsumsi makanan,

minuman dan obat-obatan mempunyai hak dilindungi, memiliki hak

kenyamanan dalam mengkonsumsi suatu produk, khususnya

masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam. Oleh sebab itu,

bagaimana sinergisitas antara pemerintah dan Majelis Ulama

Indonesia (MUI) dapat berjalan beriringan untuk mengontrol pelaku

usaha yang ada di Indonesia.

Telaah atas perlindungan konsumen muslim atas produk barang

dan jasa menjadi sangat penting setidaknya disebabkan oleh beberapa

hal, antara lain: Pertama, bahwa konsumen Indonesia mayoritas

merupakan konsumen beragama Islam yang sudah selayaknya

mendapatkan perlindungan atas segala jenis produk barang dan dan

jasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah dalam hukum Islam.

Berdasarkan hal tersebut, maka konsumen muslim harus

mendapatkan perlindungan atas kualitas mutu barang dan jasa serta

tingkat kehalalan suatu barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku

usaha. Kedua, bahwa Pemerintah Indonesia sudah harus melakukan

Page 47: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

35

upaya aktif untuk melindungi konsumen- konsumen yang mayoritas

beragama Islam. Perlindungan konsumen merupakan hak warga

negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk

melindungi warga negaranya khususnya atas produk yang halal dan

baik.21

4. Pengawasan Sertifikasi Halal

Selanjutnya, setelah memperoleh Sertifikasi Halal, perusahaan

harus mengangkat Internal Halal Auditor yang bertugas mengawasi

sistem produksi halal pada produk mereka. Auditor tersebut haruslah

berasal dari karyawan tetap perusahaan dan berasal dari bagian yang

terkait dengan proses produksi seperti bagian QA/QC, R&D,

Purcashing, produksi dan pergudangan. Di samping itu, ia juga harus

beragama Islam dan taat dalam mengamalkan ajaran Islam. Lebih dari

itu, ia juga memahami betul titik kritis keharaman produk secara

keseluruhan baik ditinjau dari bahan yang digunakan maupun pada

proses produksinya. Oleh karena itu, ia harus memiliki bekal

pengetahuan keislaman yang memadai terutama dalam masalah

kehalalan pangan.

Pengawasan produk halal pertama dilakukan secara internal. Hal

ini memerlukan tekad dan komitmen serta dukungan dari perusahaan

untuk merealisasikannya. Di samping itu, ketersediaan SDM yang

kualified juga tidak kalah pentingnya. Sebab, menurut Aisyah

Gerindra, mantan direktur LPPOM MUI, keterbatasan SDM sangat

mempengaruhi pelaksanaan Sitem Jaminan Halal terutama pada

perusahaan kecil dan perusahaan tradisional.

21

M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan hukum,

2015. “Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya UU

No. 33 Tahun 2014”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2015). h.37

Page 48: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

36

Ternyata pengawasan yang dilakukan secara internal ini cukup

efektif. Hal ini terbukti pada kasus Ajinomoto yang telah memperoleh

Sertifikat Halal. Kemudian perusahaan tersebut merubah proses

produksi dengan menggunakan bactosoyton yang dicurigai berasal dari

pangkreas babi tanpa melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan

pihak LPPOM MUI. Akibatnya, MUI membatalkan Sertifikat Halal

yang telah dikeluarkannya dan mengeluarkan “Fatwa Haram” terhadap

produk Ajinomoto yang menggunakan bactosoyton dalam proses

produksinya. Adanya perubahan proses produksi tersebut diketahui

oleh MUI berdasarkan laporan dari Auditor Internal Halal perusahaan

Ajinomoto.

Di samping itu, perusahaan juga wajib menandatangi perjanjian

untuk menerima Tim Sidak (inspeksi Mendadak) LPPOM MUI yang

akan melakukan inspeksi mendadak bila diperlukan. Juga, perusahaan

berkewajiban menyerahkan laporan audit internal setiap enam bulan

setelah terbitnya Sertifikasi Halal. Dengan demikian, pengawasan yang

dilakukan LPPOM MUI dilakukan secara berlapis. Selain melalui

laporan rutin yang disampaikan oleh auditor halal perusahaan, juga

melalui sidak yang dilakukan sewaktu-waktu bila diperlukan.

Pengawasan oleh Badan POM dapat dilakukan sebelum

berproduksi dengan cara regulasi dalam bentuk peraturan-peraturan

dan standarisasi yang berkaitan dengan sertifikasi dan label halal.

Kemudian dilanjutkan dengan cara memeberikan pembinaan dan

penyuluhan kepada perusahaan-perusahaan dalam rangka sosialisasi.

Pengawasan dapat juga dilakukan pasca produksi. Pengawasan pasca

produksi dapat dilakukan apabila terjadi pelanggaran dengan

melakukan penyidik kasus. Hal tersebut dapat dilakukan melalui

pengambilan sampling dan pengujian laboratorium atau bahkan

pemeriksaan sarana produksi dan distribusi sesuai dengan kasus

pelanggaran yang terjadi. Hasilnya kemudian disampaikan kepada

masyarakat sebagai publik warning dan advokasi di samping dapat

Page 49: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

37

diproses ke pengadilan bila menyangkut unsur pidana. Akan tetapi,

menurut Zain Saidi, pengawasan pasca produksi tersebut tidak efektif.

Sebab, sertifikasi dan labelisasi halal itu bersifat sukarela sehingga

menyulitkan pengawasannya di lapangan.22 Oleh karena itu, sertifikasi

halal itu perlu ditingkatkan statusnya dari sukarela menjadi wajib agar

dapat dilakukan pengawasan secara efektif.

5. Aspek Kehalalan Produk

Kehalalan suatu makanan minimal dapat dilihat dari empat

aspek, yaitu: pertama, halal dalam cara memperolehnya, yaitu

diperoleh dari rezeki yang halal dan dibenarkan dalam Islam. Kedua,

halal zat/bahan dasarnya. Seluruh yang ada di alam ini halal untuk

dikonsumsi kecuali beberapa jenis hewan dan tumbuhan yang

diharamkan dalam Al-Qur‟an, yaitu: bangkai, darah, daging babi,

sembelihan atas nama selain Allah, dan hewan yang tercekik, yang

dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas

kecuali yang sempat disembelih. Adapun jenis nabati yang diharamkan

adalah khamr. Ketiga, halal dalam proses pengolahan. Dalam proses

pengolahannya tidak bercampur dengan benda atau hewan yang

diharamkan. Bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong harus

halal yang diproses secara higienis dan memenuhi prosedur pembuatan

makanan yang baik, sarana dan prasarana serta proses produksi harus

terjamin halal secara shar’i. Keempat, halal proses pengemasan.

Makanan harus dikemas dengan bahan halal dan higienis. Proses

penyimpanan harus mengikuti standar shar’i.

Kriteria thayyib meliputi; makanan berkualitas dan bermutu,

tidak basi, tidak kadaluarsa, tidak rusak, tidak beracun, aman dan tidak

tercemar bakteri/virus yang berbahaya dan tidak palsu. Makanan

mengandung nutrisi dan gizi yang berguna bagi tubuh. Dengan empat

aspek tersebut, setiap muslim jadikan panduan untuk memperoleh dan

mengkonsumsi setiap asupan dan makan akan dia konsumsi.

22

Jurnal halal, No.2/1/15, edisi Nopember 1995-15 Januari 1995, h. 37-37

Page 50: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

38

Mengonsumsi makanan halal merupakan kewajiban agama yang

bernilai ibadah, memberikan kebaikan bagi kehidupan di dunia dan

akhirat dan manifestasi dari rasa syukur kepada Allah atas segala

nikmat-Nya. Sebaliknya, mengonsumsi makanan haram merupakan

kemaksiatan, mendatangkan keburukan, dan bentuk ketundukan

kepada setan. Makanan memberikan pengaruh baik secara fisik dan

psikis manusia. Hal tersebut karena makanan yang dikonsumsi akan

dicerna oleh tubuh, diserap gizinya, dan diedarkan ke seluruh tubuh

manusia. Ini berarti, makanan yang telah diproses sistem pencernaan

akan mengalir dari ujung rambut ke ujung kaki menjadi energi yang

menggerakkan aktivitas manusia.

Kenyataan yang demikian itu dalam implementasi sehari-hari,

bagi umat Islam di Indonesia, butuh jaminan atas makanan yang ia

konsumsi. Jaminan yang dimaksud adalah usaha yang terstruktur dan

sistematis agar makanan yang dikonsumsi tersebut terjamin halal, baik

dari aspel dzatnya, proses dan tambahannya. Dalam rangka

mewujudkan jaminan kehalalan atas makanan yang dikonsumsi oleh

masyarakat, negara menerbitkan UU No 33 tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal.23

23 Muhammad Aziz, Perspektif Maqashid Syariah Dalam Penyelenggara

Jaminan Produk Halal Di Indonesia Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. AL-HIKMAH Jurnal Studi Keislaman ,

Volume 7 Nomor 2, September 2017, h.79

Page 51: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

39

BAB III

TINJAUAN UMUM PROFIL LEMBAGA

A. Gambaran Umum Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Produk

Halal (BPJPH)

Kementerian Agama (Kemenag) meresmikan Badan Penyelenggara

Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada Rabu (11/10). BPJPH merupakan

badan baru di Kemenag yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal

dan melakukan pengawasan terhadap setiap produk yang diberi sertifikat

halal, setelah sebelumnya berada di bawah Majelis Ulama Indonesia

(MUI). Dengan hadirnya BPJPH sebagai badan baru di Kemenag sesuai

amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal, menjadi sebuah perubahan besar yang baik akan terjadi, khususnya

pada industri produk halal.

Kepala BPJPH, Sukoso menjelaskan bahwa lembaga yang

dipimpinnya berwenang untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan

JPH, menetapkan JPH, menerbitkan atau mencabut sertifikat halal,

melakukan registrasi produk halal impor, melakukan pembinaan auditor

halal, melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal. BPJPH

juga menjamin proses sertifikasi produk Halal hanya membutuhkan waktu

tidak lebih dari 60 hari keja. KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum Majelis

Ulama Indonesia, mengungkapkan bahwa dengan adanya BPJPH,

pengurusan jaminan produk halal akan menjadi lebih baik dari sebelumnya

karena telah didukung oleh UU JPH sehingga wajib dilakukan MUI

selama 28 tahun hanya secara sukarela. Namun, standarisasi halal yang

dilakukan MUI banyak diadopsi oleh negara-negara Islam di dunia. Lebih

dari 50 Lembaga sertifikasi halal di seluruh dunia memperoleh pengakuan

dari MUI.

Page 52: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

40

Selain itu Kemenag Lukman menyatakan bahwa kehadiran BPJPH

diharapkan menjadi stimulan untuk membangkitkan bisnis halal Indonesia,

sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di Dunia.1

1. Sejarah BPJPH

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) masih

seumuran jagung. Lahir tanggal 11 Oktober 2017, BPJPH ini langsung

dipaksa berlari untuk mengemban tugas berat menyelenggarakan

jaminan produk halal di Indonesia. Sebagai anak kandung kemenag

RI, BPJPH sejatinya melanjutkan estafet perjuangan halal yang

kurang lebih 30 tahun dilaksanakan oleh MUI bersama LPPOM-MUI

(Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika).

Karenanya, kurang bijak jika menilai dan berharap lebih terkait

dengan JPH otomatis berjalan seperti sediakala.

Perpindahan pengelolaan dari MUI ke BPJPH perlu masa

transisi yang cukup dan diatur secara smooth dan wise. Insfrastuktur

halal dan sumberdaya yang dimiliki MUI sebagai modal, tapi tak bisa

dialihkan begitu saja dan tiba-tiba. Ketegangan psikologis tak bisa

dipungkiri muncul jua. Struktur organisasi dan manejemen pastilah

berubah senafas dengan bisnis proses yang berbeda. Lingkupan

strategis dan tantangan yang dihadapi BPJPH tentu berbeda dengan

MUI saat mulai pelayanan halal 30 tahun lalu. Kompleksitas

masalahnya juga unik, tidak bisa disamakan. Lebih-lebih ketika

jabang bayi bernama BPJPH lahir di saat perkembangan teknologi,

perubahan sosial, dan kesadaraan publik terhadap hal makin membaik.

Di samping itu, ekspektasi masyarakat sudang kadung besar

kehadiran BPJPH diangankan sebagai era baru penyelenggaraan halal

di Indonesia. BPJPH juga mengambil peran historis dengan

mentransformasi pemberlakuan penyelenggaraan halal di Indonesia

1Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Diresmikan Kemenag diakses di

https://www.kompasiana.com/advertorial/59e05033486932140056902/badan-penyelenggara-

jaminan-produk-halal-bpjph-diresmikan-kementerian-agama-sebagai-badan-sertifikasi-halal (pada 12 Oktober 2019 pukul 20.21).

Page 53: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

41

dari semula bersifat sukarela (voluntary) menjadi kewajiban

(mandatory); dari semula dilaksanakan oleh ormas keagamaan Islam

beralih menjadi tanggung jawab negara. Dalam peran krusial ini,

BPJPH menjadi jembatan penghubung relasi agama dan negara yang

secara eksperiensial telah berhasil dilaksanakan oleh umat Islam

Indonesia. Kementerian Agama yang mengusung moderasi beragama

menjadi representasi kemampuan Islam Indonesia mengakomodasi

sekaligus menemukan jalan keluar terbaik bagaimana Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Bagi umat Islam, persoalan halal bukan semata soal produk,

tapi berkaitan dengan spiritualitas karena merupakan perintah agama.

Al-Qur’an menyebut perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan

baik (halalan thayyiban). Sekian hadits bicara soal pentingnya

konsumsi halal yang berimplikasi pada pembentukan karakter muslim.

Halal dalam prespektif ushuliyah merupakan kebutyuhan dasar

manusia (ad-dharuriyat al-khamsah) untuk menjaga kelangsungan

hidup.

Pada saat yang sama, penyelenggaraan halal menemukan

pijakan kuat pada konstitusi Indonesia, yakni UUD RI 1945, terutama

pasal 29 ayat 2 yang mengamanatkan “negara menjamin kemerdekaan

tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama

dan kepercayaannya itu”. Untuk menjamin itu, negara berkewajiban

memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang

dikonsumsi dan digunakan masyarakat atas amar inilah, lahir Undang-

undang Nomor 33 Tahun 2014 yang menyebutkan tujuan

penyelenggaraan JPH adalah 1) memberikan kenyamanan, kemanan,

keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat

dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan 2) meningkatkan

nilai tambah bagi pelaku usaha untuk menproduksi dan menjual

produk halal.

Page 54: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

42

Kini, produk halal telah menjadi kesadaran global bahkan gaya

hidup (halal life style). Karenanya mengelola halal meliputi mata

rantai yang panjang, dari hulu ke hilir. Halal-value chain. Halal juga

berkaitan dengan multi-stakeholders. Penetapan kehalalan produk

perlu peran institusi lain: otoritas keagamaan (MUI), lembaga

pemeriksa dan pengujian produk (LPH), pengawas produk (BPOM),

peredaran barang atau produk dari dalam dan luar negeri (kementerian

perindustrian, perdagangan, bea cukai), hubungan luar negeri,

kerjasama internasional dengan lembaga halal negeri (kemenlu),

hingga akreditasi (KAN, BSN). Belum lagi pelaku usaha yang terdiri

atas perusahaan besar, menengah, kecil dan mikro di bawah kordinasi

dan pembinaan kementerian atau lembaga lain (Kemenkes, Kemenkop

UKM, Pemda dan Kemendag). Dan juga banyak pihak yang konsen

dengan halal. Presiden, Wapres, MUI, Para Menteri, Perguruan

Tinggi, Pemda Ormas Keagamaan, Para Pelaku Usaha, Dan Dunia

Bisnis. Untuk memastikan layanan sertifiasi halal disiapkan dengan

optimal, konsolidasi internal dan kordinasi serta komunikasi lintas

instansi mesti harus tempuh. Kepalang tanggung. Amanat Undang-

undang mesti dijalankan. 2

2. Visi dan Misi BPJPH

Visi dan Misi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

a. Visi

“Visinya adalah sebagai lembaga bagaimana menyediakan

kesadaran halal terhadap masyarakat ini diimplementasikan

dalam kinerja”

2Kewajiban Bersertifikasi Halal, diakses di http://sulteng.kemenag.go.id/berita/detail/17-

oktober-2019-selamat-datang-kewajiban-bersertifikat-halal (pada 12 Oktober 2019 pukul 19.44)

Page 55: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

43

b. Misi

“Misinya adalah mewujudkan sistem layanan registrasi dan

sertifikasi halal, pembinaan dan pengawasan, kerjasama

lembaga dan standarisasi, dan manajeman organisasi.3

3. Struktur

Bagan : Struktur BPJPH

Gambar 3.1 Struktur BPJPH

Sumber : Dipresentasikan dalam seminar di Universitas Diponegoro

3BPJPH Awali Sosialisasi Sertifikasi Halal dan Pengenalan Badan diakses di

https://kliklegal.com/bpjph-awali-sosialisasi-sertifikasi-halal-dan-pengenalan-badan-/ (pada 13

Oktober pukul 12.37).

KEPALA BPJPH

Prof. Ir. SUKOSO, M.SC., Ph.D

SEKRETARIS

Dr. ABDURRAHMAN, M.Ag

Bag Perencanaan dan Sistem

Instrumen

Bag Organisasi, Kepegawaian

Dan Hukum

Bagian Keuangan Dan

Umum

KEPALA PUSAT

KERJASAMA

DAN

STANDARISASI

Dr. NIFASRI, M.Pd

KEPALA PUSAT

PEMBINAAN

DAN

PENGAWASAN

Drs. H. Abd AMRI SIREGAR, M. Ag

KEPALA PUSAT

REGISTRASI DAN

SERTIFIKASI

HALAL

Hj. SITI AMINAH, S.ag, M.Pd

Bidang Sertifikasi

Bidang Registrasi

Halal

Bidang Verifikasi

Bidang Pengawasan

Bidang Pembinaan

Bidang Standarisasi

Bidang Kerjasama

Page 56: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

44

BPJPH merupakan Unit Esselon 1 di Kementerian Agama

Republik Indonesia. BPJPH dipimpin oleh kepala BPJPH membawahi 4

Esselon 2 (1 sekretaris dan 3 kepala pusat). BPJPH memiliki 3 kepala

pusat yaitu Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Kepala Pusat

Pembinaan dan Pengawasan, serta Kepala Pusat Kerjasama dan

Standarisasi.

a. Sekretaris BPJPH adalah Abdurrahman. Sekretaris memiliki

kewenangan pada bagian perencanaan dan sistem kepegawaian dan

hukum serta bertanggung jawab pada bagian keuangan dan umum.

b. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal dipimpin oleh Siti

Aminah. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal memiliki

tanggung jawab pada bidang sertfikasi, bidang registrasi halal, dan

bidang verifikasi.

c. Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan dipimpin oleh Abd. Ammri

siregar. Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan bertanggung jawab

pada bidang pembinaan dan bidang pengawasan.

d. Kepala Pusat Kerjasama dan Standarisasi dipimpin oleh Nifasri.

Kepala Pusat Kerjasama dan Standarisasi bertanggung jawab pada

bidang Kerjasama dan bidang standarisasi.

Dengan sudah dibentuknya struktur organisasi, BPJPH telah

mengambil beberapa langkah yang telah diambil oleh BPJPH untuk

memepersiapkan pelaksanaan penerbitan sertifikat jaminan produk halal:

a. Memfinalkan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Agama

(RPMA), sekaligus Rancangan Keputusan Menteri Agama

(RPMA/RKMA) terkait pelaksanaan Undang-Undang RPP JPH.

b. Menyelesaikan masalah finalisasi regulasi penetapan tarif dan

penyusanan daftar rincian tarif layanan BPJPH melalui mekanisme

Badan Layanan Umum (BLU).

c. Menyusun pembentukan struktur perwakilan di seluruh provinsi

termasuk penyiapan sistem aplikasi dan informasi manajemen halal

Page 57: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

45

yang memadai dalam hal fasilitas penyelenggaraan jaminan produk

halal.

d. Menjalin sinergi dengan Komite Nasioanal Keuangan Syariah

(KNKS) Bappenas dan Departemen Ekonimi dan keuangan syariah

Bank Indonesia dalam upaya pengembangan industri halal untuk

mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.4

B. Gambaran Umum Tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI)

1. Tentang MUI

MUI adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,

zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan

langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita

bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri, pada Tanggal, 7 Rajab 1395

H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari

pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang

datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain meliputi dua puluh

enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang

ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat,

yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah,

Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang

ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang

tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.5

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan

untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama

dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam

4Anis Saul Fatimah, murni penerbitan sertifikat jaminan produk hslsl pasca dibentuk

badan penyelenggara Jaminan Produk Halal. Jurnal, Simposium Hukum Indoneisa.Volume 1

Nomor 1 Tahun 2019. 5Sejarah MUI diakses di http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html,

(Rabu, 02 Oktober 2019, Pukul 21.50)

Page 58: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

46

Berdirinya MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah

yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama Indonesia.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia

tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka,

di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik

kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani

umat. Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah

pewaris tugas-tugas para Nabi, maka mereka terpanggil untuk berperan

aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang

pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan

perjuangan kemerdekaan. Disisi lain umat Islam Indonesia menghadapi

tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang

dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang

didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa

nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta

meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.

Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun MUlI sebagai

wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim

berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam

dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang

diridhoi Allah swt memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah

keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat,

meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan

kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan

kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama, pemerintah

dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna

mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta

kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin

dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat

Page 59: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

47

khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi

secara timbal balik

C. Sertifikasi Halal di Indonesia

1. Pengaturan Sertifikasi Halal

Pengaturan sertifikasi Halal berdasarkan Undang-undang

Jaminan Produk Halal (UU JPH) bukan Pengambil alihan akan tetapi

penguatan sertifikasi halal yang sudah berjalan selama ini oleh MUI,

maka pengaturan sertifikasi halal tersebut di atur dalam dua periode:

a. Periode sebelum UU JPH:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

konsumen.

2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan

dan Kesehatan Hewan.

3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 69 tentang Label dan Iklan

Pangan.

5) Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang

Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan

Panganan Halal.

6) Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang

Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.

b. Setelah UU JPH:

1) Undang Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan

Produk Halal.

Page 60: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

48

2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 31 Tahun

2019 Tentang Jaminan Produk Halal.

3) Peraturan Menteri Agama RI6

2. Ketentuan tentang Produk yang Harus Disertifikasi Halal

a. Pasal 1 UU JPH:

Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,

minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi,

produk rekayasa genetik, serta barang bangunan yang dipakai,

digunakan, atau dimanfaatkan oleh masayarakat.

b. Pasal 4 UU JPH:

Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah

Indonesia wajib bersertifikasi halal.

c. Pasal 2 PP JPH:

(1) Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di

wilayah Indonesia wajib bersertifikasi halal.

(2) Produk yang berasal dari Bahan yang diharamkan

dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal.

(3) Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib

diberikan keterangan tidak halal.

(4) Pelaku Usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal

pada produk sebagaimana dimaksud pada aya (3).

3. Prinsip Dasar Sertifikasi Halal

a. Kemampuan Telusur

Tujuan: Mengetahui dengan pasti dimana produk diproduksi,

bagaimana proses produksinya, apa bahan yang

6Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di

Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.120

Page 61: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

49

digunakan, dari produsen mana dan bagaimana status

kehalalannya.

Cara: Melakukan audit untuk memeriksa bahan, formula,

fasilitas, dokumen pendukung, dan sistem

manajemen.

b. Autentikasi

Tujuan: Untuk memastikan tidak terjadi pemalsuan produk

halal dengan produk haram, tidak terjadi percampuran

bahan haram dalam produk halal dan tidak terjadi

kontaminasi bahan haram ke dalam produk halal.

Cara: Analisis Laboratorium

4. Lembaga-lembaga penyelenggara sertifikasi halal

Digambarkan pada Segitiga Emas Sertifikasi Halal

Gambar 3.2 Lembaga-lembaga penyelenggara sertifikasi halal

BPJPH

MUI LPH

Page 62: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

50

a. Tiga institusi yang terlibat dalam penyelenggara sertifikasi halal:

1) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah

Kementerian Agama.

2) Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Didirikan oleh Universitas,

Yayasan/ Perkumpulan Islam.

3) Majelis Ulama Indonesia (MUI).

b. Kerjasama BPJPH dan MUI (Pasal 10)

1) Sertifikasi Auditor Halal

2) Penetapan Fatwa Kehalalan Produk

3) Akreditasi LPH

c. yang mendirikan LPH (Pasal 12)

1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH.

2) LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai

kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH melakukan

pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.

d. Syarat Mendirikan LPH (Pasal 13)

1) Memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;

2) Memiliki akreditasi dari BPJPH;

3) Memiliki auditor halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan

4) Memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan

lembaga lain yang memiliki laboratorium.

e. Syarat Auditor Halal (Pasal 14)

1) Diangkat dan diberhentikan oleh LPH.

2) Memenuhi syarat :

a) Warga Negara Indonesia;

b) Beragama Islam;

Page 63: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

51

c) Minimal S1 (Bidang pangan, kimia, biokimia, teknik

industri, biologi, atau farmasi);

d) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai

kehalalan produk menurut syariat Islam ;

e) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan

pribadi dan/atau golongan; dan

f) Memperoleh sertifikat dari MUI.

f. Tugas Auditor Halal (Pasal 15)

1) Memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;

2) Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;

3) Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;

4) Meneliti lokasi Produk;

5) Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;

6) Memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;

7) Memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan

8) Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.

g. Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam Peraturan

Pemerintah

Halal Center Perguruan Tinggi Negeri

Bidang pengabdian pada masyarakat tentang produk halal.

1) Bidang yang melakuan penelitian (interdisipliner) terhadap

masalah produk halal.

2) Bidang yang membina masyarakat tentang pemahaman dan

implementasi produk halal.

3) Berkoordinasi dalam APKAHI (Asosiasi Pusat Kajian Halal

Indonesia)

5. Pembiayaan Sertifikasi Halal

Biaya sertifikasi halal dilakukan melalui akad biaya yang

mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat

auditor dan rapat komisi fatwa, serta penerbitan sertifikat halal.

Pembiayaan sertifikasi halal ditetapkan berdasarkan suatu pedoman

Page 64: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

52

yang sudah sangat jelas, sehingga tidak dimungkinkan adanya

pembiayaan lain yang tidak jelas (invisibility cost).

Pembiayaan sertifikat halal didasarkan pada banyaknya produk,

bahan dan fasilitas produksi yang akan disertifikasi. Pembiayaan

dikenakan sekali saat pendaftaran, Persoalan pembiayaan adalah

masalah krusial yang jika tidak seimbang akan menjadi konflik,

menurut penulis ada baiknya jika pembiayaan tidak disesuaikan

dengan banyaknya produk yang akan di produksi, akan tetapi

mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat

auditor dan rapat komisi fatwa saja.

4. Sistem Jaminan Halal

Tujuan: Untuk mendapatkan jaminan bahwa selama masa

berlakunya sertifikat halla proses produksi halal akan

dijaga kesinambungannya.

Cara: Mempersyaratkan perusahaan untuk mengembangkan

dan menerapkan Sitem Jaminan Halal, kemudian

Penerapannya dinilai.

Page 65: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

53

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal

berdasakan Undang-undang Nomor. 33 Tahun 2014

1. Kewenangan BPJPH dalam sertifikasi halal

Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal, bahwa BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh

Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH)

terhadap sejumlah produk yang dikonsumsi masyarakat.

Penyelenggaraan Jaminan Produk halal tersebut dalam Pasal 3

bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan

kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam

mengonsumsi dan menggunakan produk dan meningkatkan nilai

tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk

halal.1

Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah

Indonesia wajib bersertifikat halal. Sertifikat halal tersebut merupakan

pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH

berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.

Adapun kewenangan BPJPH adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH.

2. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH.

3. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada

Produk.

1 Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi Fatwa

MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.

Page 66: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

54

4. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.

5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal.

6. Melakukan akreditasi terhadap LPH.

7. Melakukan registrasi Auditor Halal.

8. Melakukan pengawasan terhadap JPH.

9. Melakukan pembinaan Auditor Halal.

10. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di

bidang penyelenggaraan JPH.2

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud diatas

BPJPH bekerja sama dengan kementerian dan atau lembaga terkait

LPH dan MUI. bidang Kerja sama BPJPH dengan MUI adalah

mengenai sertifikasi Auditor Halal, penetapan kehalalan produk dan

akreditasi LPH.3 Dalam melaksanakan wewenang, BPJPH bekerja

sama dengan: a. kementerian dan/atau lembaga terkait; b. LPH; dan c.

MUI.Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait

dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau

lembaga terkait.Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan untuk

pemeriksaan dan/atau pengujian Produk.4 Kerjasama BPJPH dengan

MUI dilakukan dalam bentuk: a. sertifikasi Auditor Halal; b.

penetapan kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH.

2 Pasal 6 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

3 Mengenal Kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Diakses di

http://www.gresnews.com/berita/tips/60181-mengenal-kewenangan-badan-penyelenggara-

jaminan-produk-halal/0/ (20 Oktober 2018 Pukul 16.04). 4 Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal

Page 67: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

55

Penetapan kehalalan Produk dikeluarkan MUI dalam bentuk

Keputusan Penetapan Halal Produk.5 BPJPH menetapkan LPH untuk

melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.6 LPH

menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk

kepada BPJPH. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau

pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh

penetapan kehalalan Produk.7 Penetapan kehalalan Produk dilakukan

oleh MUI.Penetapan kehalalan Produk dilakukan dalam Sidang Fatwa

Halal.

Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada BPJPH

untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.8 Dalam hal Sidang

Fatwa Halal menetapkan halalpada Produk yang dimohonkan Pelaku

Usaha,BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.9 Undang-undang JPH

mewajibkan semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan

di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, sehingga jaminan

produk halal yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) berubah

menjadi wajib (mandatory).

Mulai terbentuknya BPJPH pada tahun 2017 hingga saat ini

belum menunjukkan fungsinya sebagai penyelenggara jaminan produk

halal. BPJPH masih mempersiapkan diri menjalankan amanat

Undang-undang JPH. BPJPH akan mulai berfungsi dengan baik

menjalankaan kewenangannya setelah peraturan pelaksana Undang-

5 Lihat Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014tentangJaminan Produk Halal 6 Lihat Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan

Produk Halal 7 Lihat Pasal 32 ayat (1), dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014tentangJaminan Produk Halal 8 Lihat Pasal 33 ayat (1), (2), dan (6) Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014tentangJaminan Produk Halal 9 Lihat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan

Produk Halal

Page 68: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

56

undang JPH terbit. Peraturan pelaksana tersebut berupa Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan menteri.

Setelah diresmikan oleh Kementerian Agama pada tanggal 11

Oktober 2017, BPJPH resmi menjalankan fungsi Kementerian Agama

sebagai penyelenggara jaminan produk halal. Undang-undang RI

Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal ini menjadi dasar

hukum (legalitas) BPJPH dalam menjalankan wewenangnya untuk

bertindak dan mengambil kebijakan dan keputusan dalam memerintah,

melakukan pembinaan dan memberikan pengayoman serta

perlindungan hukum kepada rakyat sehingga tujuan pokok dan fungsi

BPJPH sebagai penyelenggara produk halal dapat terpenuhi.

Wewenang BPJPH dalam penyelenggaraan jaminan produk halal

diperoleh secara Atribusi yang bersifat asli yang berasal dari

perundang-undangan.10

Untuk itu wewenang BPJPH tersebut bersifat Terikat karena

dalam UU JPH tersebut menentukan dengan jelas kapan dan dalam

keadaan bagaimana wewenang dapat digunakan atau peraturan dasar

dalam UU JPH tersebut menentukan tentang isi dari keputusan yang

harus diambil secara terinci. Berbeda dengan sebelumnya,

kewenangan BPJPH bersifat Fakultatif, terjadi dalam hal badan atau

pejabat tata usaha negara diberikan pilihan dalam menerapkan

wewenangnya.11

Perubahan-perubahan BPJPH yang dibawah

Kementerian Agama dapat digambarkan dalam tabel sebgai berikut:

10

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016),

h.105. 11

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016),

h.108.

Page 69: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

57

Tabel 4.1 Perubahan BPJPH

No. Katagori

Wewenang

Kewenangan BPJPH

Sesuai UU JPH

Kewenangan BPJPH

Sebelum UU JPH

1. Legalitas UU Nomor 33 Tahun

2014 tentang Jaminan

Produk Halal

PP Nomor 69 Tahun

1999 tentang Label dan

Iklan Pangan

2. Sumber Atribusi (asli dari UU

JPH)

Atribusi (asli dari PP 69

tahun 1999)

3. Sifat Terikat Fakultatif

4. Isi a. Merumuskan dan

menetapkan

kebijakan JPH*)

b. Menetapkan

norma, standar,

prosedur, dan

kriteria JPH*)

c. Menerbitkan dan

mencabut Sertifikat

Halal dan Label

Halal pada

produk***)

d. Melakukan

registrasi Sertifikat

Halal pada produk

luar negeri*)

e. Melakukan

sosialisasi, edukasi,

dan publikasi

produk halal***)

a. Menetapkan

pedoman dan tata

pemeriksaan pangan

halal.

b. Menetapkan

lembaga pemeriksa

pangan halal.

c. Pembinaan dan

perlindungan

terhadap masyarakat

di bidang produk

halal.

d. Pengawasan atas

peredaran produk

pangan berlabel

halal.

e. Menerima laporan

pelaksanaan tugas

dari LPH yang

ditunjuk.

Page 70: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

58

f. Melakukan

akreditasi terhadap

LPH*)

g. Melakukan

registrasi Auditor

Halal*)

h. Melakukan

pengawasan

terhadap JPH**)

i. Melaukuan

pembinaan Auditor

Halal*)

j. Melakukan kerja

sama dengan

lembaga dalam dan

luar negeri di

bidang

penyelenggaraan

JPH***)

Keterangan:

*) : Wewenang baru

**) : Wewenang lama

***) : Pelimpahan wewenang dari lembaga pemegang pemengang

sebelumnya.

Disini dapat kita lihat bahwa terdapat perubahan kewenangan

sertifikasi halal yang siginitifkan jika dibandingkan dengan wewenang

sebelumnya disahkannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal. Yang dulunya berperan hanya sebagai

pembuat kebijakan, sosialisasi, edukasi dan pembinaa, namun saat ini

Page 71: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

59

BPJPH adalah penerima wewenang penyelenggara jaminan produk

halal secara penuh mulai dari persoalan regulasi, sosialisasi, edukasi,

sertifikasi, labelisasi, akreditasi, registrasi, pengawasan dan pembinaan.

Walupun dalam pelaksanaannya, BPJPH harus bekerjasama dengan

Kementerian dan atau lembaga terkait, LPH dan MUI. Dari semua

kewenangan tersebut, terdapat beberapa wewenang yang sejak dulu

adalah wewenang Kementerian Agama, yaitu regulasi dan edukasi,

namun juga terdapat wewenang yang berasal dari pengalihan dari

lembaga pelaksanaan sebelumnya, seperti sertifikasi dan labelisasi. Di

samoping itu, juga terdapat wewenang yang di katagorikan baru yang

tidak ada dalam proses penyelenggaraan jaminan produk halal

sebelumnya, yaitu sertifikasi LPH, akreditasi dan pembinaan Auditor

Halal.12

Melihat kewenangan BPJPH saat ini yang memiliki kekuatan

hukum lebih dibandingkan dengan yang dulu, diharpakan dapat

memenuhi harapan masyarakat muslim agar penyelenggaraan Jaminan

Produk Halal dapat lebih terorganisasi dengan asas perlindungan,

keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas

dan efisiensi dan profesional.

2. Kewenangan MUI dalam Sertifikasi Halal

Seperti diketahui MUI adalah pemegang otoritas

penyelenggaraan Sertifikasi Halal sebelum disahkannya UU RI NO. 33

Tahun 2014. Wewenang ini diberikan dalam proses regulasi yang

cukup panjang hingga akhirnya legalitas akhirnya diperoleh di Tahun

2001 dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agama (KMA)

Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan

Pangan Halal. Dalam KMA tersebut Departemen Agama

mendelegasikan kewenangannya kepada MUI untuk melaksanakan

12

Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi

Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.

Page 72: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

60

tugas sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan halal.

Selanjutnya, MUI menyampaikan Mandat kepada LPPOM MUI untuk

menjalankan fungsinya dalam pemeriksaan kehalalan produk-produk

yang beredar di masyarakat sedangkan kewenangan berupa pemberian

Fatwa Halal tetap dipegang oleh Komisi Fatwa MUI.13

Dalam hal pelimpahan wewenang ini, sebagaimana teori

Philipus M. Hadjon tentang sumber wewenang, maka pendelegasian

wewenang dari organ pemerintah kepada organ/ lembaga lain berakibat

hukum beralih pula tanggung jawab delegans dan tangung gugat

kepada delegataris. Artinya dalam pelaksanaan Sertifikasi Halal yang

dilaksanakan oleh MUI, maka tanggung jawab dan tanggung gugat

berada pada MUI sebagai pelaksana wewenang tersebut. Sementara

Mandat yang diberikan oleh MUI kepada LPPOM MUI merupakan

perintah dari atasan kepada organisasi di bawahnya untuk

melaksanakan fungsi Sertifikasi Halal, sementara tanggung jawab dan

tanggung gugat tetap pada pemberi mandat.14 Adapun perbedaan

kewenangan BPJPH dan MUI dapat digambarkan dalam tabel sebagai

berikut.

Tabel: Perbedaan dan Persamaan kewenangan LPPOM MUI dan

kewenangan BPJPH.

LPPOM MUI BPJPH

Perbedaan Menjalankan kewenangan

dalam penerbitan sertifikat

jaminan produk halal

sebelum terbitnya Undang-

undang JPH dan sebelum

Menjalankan penerbitan

sertifikat jaminan produk

halal pasca terbitnya

Undang-undang JPH.

13

Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi

Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019. 14

Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016),

hlm. 107.

Page 73: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

61

BPJPH siap menjalankan

kewenangannya.

Menyelenggarakan

penerbitan sertifikat

jaminan produk halal

berdasarkan Surat

Keputusan Majelis Ulama

Indonesia Nomor:

Kep./18/MUI/I/1989 yang

membahas permasalahan

hukum halal dan haram

Menyelenggarakan

penerbitan sertifikat jaminan

produk halal berdasarkan

Surat Keputusan Majelis

Ulama Indonesia Nomor:

Kep./18/MUI/I/1989 yang

membahas permasalahan

hukum halal dan haram

Sebelum beralihnya

kewenangan penerbitan

sertifikat jaminan produk

halal kepada BPJPH,

LPPOM MUI merupakan

satusatunya lembaga yang

menyelenggarakan

penerbitan sertifikat

jaminan produk halal.

Setelah BPJPH menjalankan

kewenangan penerbitan

sertifikat jaminan produk

halal, Bentuk kerjasama

dengan LPPOM MUI adalah

sertifikasi auditor halal,

penetapan kehalalan produk,

dan akreditasi LPH

Setelah BPJPH resmi

menjalankan kewenangan

dalam penerbitan sertifikat

jaminan produk halal,

keterlibatan LPPOM MUI

hanya sebagai mitra

kerjasama BPJPH.

Setelah resmi menjalankan

kewenangannya, yang

berwenang menerbitkan dan

mencabut sertifikat jaminan

produk halal adalah BPJPH.

Page 74: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

62

Prosedur penerbitan

sertifikat jaminan produk

halal secara umum pelaku

usaha dapat melakukan

pendaftaran online melalui

websiteLPPOM MUI.

Prosedur penerbitan sertifikat

jaminan produk halal, pelaku

usaha mengajukan

permohonan sertifikat halal

secara tertulis kepada

BPJPH.

Dalam menyelenggarakan

jaminan produk halal,

LPPOM MUI bertanggung

jawab kepada MUI.

Dalam menyelenggarakan

jaminan produk halal, BPJPH

bertanggung jawab kepada

Kementerian Agama.

Persamaan Berwenang dalam

menyelenggarakan

penerbitan sertifikat

jaminan produk halal.

Berwenang dalam

menyelenggarakan

penerbitan sertifikat jaminan

produk halal.

Sumber: Dianalisis berdasarkan kewenangan LPPOM MUI dan

BPJPH.15

Selanjutnya, sesudah disahkannya UU JPH, MUI memperoleh

kewenangan secara Atribusi dari peraturan perundang-undangan, yaitu

Pasal 10, UU RI Nomor 33 Tahun 2014 yakni: Sertifikasi Auditor

Halal, Penetapan kehalalan produk, dan Akreditasi LPH. Sertifikasi

Auditor Halal dan Akreditasi LPH adalah wewenang baru yang

merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014,

sedangkan Penetapan kehalalan produk adalah wewenang lama yang

masih dipercayakan kepada MUI sebagai wadah para ulama, zu’ama

dan cendekiawan muslim Indonesia untuk memberikan fatwa

kehalalan produk melalui Komisi Fatwa. Maka dari itu perubahan-

perubahan kewenangan MUI dapat digambarkan dalam tabel sebagai

berikut:

15

Anis Saul Fatimah, Penerbitan Sertifikat Jaminan Produk Halal Pasca Dibentuk

BPJPH, Jurnal Simposium Hukum Indonesia 2019, h.58.

Page 75: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

63

Tabel 4.2 Perubahan Kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

No. Kategori

Wewenang

Kewenangan MUI

berdasarkan UU

JPH

Kewenangan MUI

sebelum UU JPH

1. Legalitas UU Nomor 33 Tahun

2014 tentang JPH

KMA Nomor 519

Tahun 2001

2. Sumber Atribusi (asli dari UU

JPH)

Delegasi (dari

Depertemen Agama)

3. Sifat Terikat Fakultatif

4. Isi a. Sertifikasi Auditor

Halal*)

b. Penetapan

Kehalalan

Produk**)

c. Akreditasi LPH*)

Pelaksanaan

pemeriksaan pangan

yang dinyatakan

halal yang dikemas

untuk

diperdagangkan di

Indonesia.

Keterangan:

*) : Wewenang baru

**) : Wewenang lama

Melihat perubahan kewenagan tersebut dapat disimpulkan

bahwa pemerintah tidak mengalihkan sepenuhnya wewenang MUI

pada kementerian Agama dalam Sertifikasi Halal, tetapi justru

difokuskan pada porsinya sebagai kumpulan para ulama pemberi

fatwa dalam penetapan kehalalan produk melalui Sidang Fatwa Halal

bekerjasama dengan pakar dan kementerian atau lembaga terkait.

Wewenang MUI juga lebih diperluas dengan melakukan Sertifikasi

Page 76: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

64

Auditor Halal dan Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang

akan didirikan. Sementara LPPOM MUI berkedudukan sebagai salah

satu dari LPH. Jadi apabila dahulu lembaga yang berwenang

memeriksa kehalalan produk (dari aspek ilmianya) hanya LPPOM

MUI, sekarang lembaga-lembaga pemeriksa halal lain dapat memiliki

kewenangan tersebut apabila memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan.16

3. Analisis Pengaturan Penerbitan Sertifikat Jaminan Produk Halal

Setelah dibentuk BPJPH

Indonesia dalam kondisi penduduknya merupakan penduduk

Muslim yang mayoritas beragama Islam, maka tidak ada larangan jika

Agama Islam digunakan sebagai tolok ukur dalam hal ibadah maupun

kegiatan perekonomian dengan menganut sistem ekonomi islam.

Sistem ekonomi islam adalah penerapan ilmu ekonomi yang

dilaksanakan dalam praktik kehidupan sehari-harinya bagi individu,

keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah/penguasa dalam

rangka mengorganisasi faktor produksi, distribusi, dan pemanfaatan

barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan/perundang-

undangan Islam (sunnatullah).17

Sehingga apa yang kita kerjakan dalam memenuhi segala

kebutuhan yang berkaitan dengan perekonomian harus sesuai dengan

Hukum Islam. Halal merupakan bagian dari Hukum Islam yang bebas

dari larangan Hukum Islam. Artinya, halal merupakan bagian

terpenting dalam Agama Islam. Agama Islam selalu mengajarkan

bahwa segala sesuatunya harus halal, termasuk berbagai jenis produk

yang kita konsumsi maupun kita gunakan. Perkembangan mengenai

jaminan produk halaldi Indonesia mulai mendapatkan tanggapan serius

16

Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi

Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.

17

Suhrawardi K. Lubis & Farid Wajdi, “Hukum Ekonomi Islam”, Jakarta Timur:Sinar

Grafika, 2012, h.15

Page 77: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

65

oleh pemerintah melalui diterbitkannya Undangundang Nomor 33

Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal selanjutnya disebut

Undang-undang JPH.

Jaminan produk halal adalah sesuatu yang dapat membuktikan

melalui sertifikat jaminan produk halal bahwa produk tersebut halal

untuk di konsumsi oleh konsumen, khususnya konsumen muslim.

Permasalahan halal dan haram suatu produk bukan merupakan

persoalan yang sederhana, karena masalah ini bukan hanya

menyangkut hubungan antar sesama manusia, tetapi menyangkut

hubungan manusia dengan Allah SWT. Seseorang mengkonsumsi

produk halal dan menjauhi yang haram merupakan bentuk ketaatan

konsumen muslim terhadap perintah Allah SWT.

Beberapa faktor penting yang mempengaruhi terbitnya Undang-

undang JPH antara lain adalah bahwa Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.Setelah Undang-undang JPH terbit, maka

memperkuat dan mengatur berbagai regulasi halal yang sebelumnya

tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Undang-

undang JPH merupakan payung hukum bagi pengaturan jaminan

produk halal.

Undang-undang JPH mencakup produk berupa barang dan/atau

jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetika, produk

kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan

yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.18 Untuk

menjangkau kehalalan suatu produk maka perlu proses produk halal.

Produk halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan

produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan,

18 Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan

Produk Halal

Page 78: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

66

pengemasan, pendistribusian, penjualan dan peyajian produk.19 Dengan

demikian, proses produk halal penting diterapkan agar suatu produk

dapat dinyatakan halal dari bahan hingga pengemasannya dan layak

untuk mendapatkan label halal sebagai sertifikat jaminan produk halal.

Dengan demikian masa berlaku tersebut dapat berubah apabila

terdapat penambahan atau pengurangan bahan terhadap suatu produk.

Sampai dengan BPJPH dibentuk, MUI tetap menjalankan tugasnya

dibidang sertifikasi halal.20 Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan

Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi oleh

Auditor Halal. Dengan demikian, dapat dilakukan pengujian di

laboratorium apabila dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana

dimaksud terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya. Sebelum

dibentuk BPJPH proses sertifikasi oleh LPPOM MUI adalah 75 (tujuh

puluh lima) hari dengan melalui beberapa proses yaitu proses selesai

upload sampai pre audit 20 (dua puluh) hari termasuk proses

persetujuan akad, proses selesai pre audit sampai audit 15 (lima belas)

hari, proses audit sampai rapat komisi fatwa 15 (lima belas) hari dan

proses rapat komisi fatwa sampai terbit sertifikat halal 25 (dua puluh

lima) hari.

Penerbit fatwa halal dilakukan oleh MUI. LPPOM MUI

bekerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan

POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian, Kementerian

Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian

Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah Perguruan Tinggi

antara lain Institusi Pertanian Bogor (IPB), Universitas Djuanda, dan

lain sebagainya. Dengan demikian dalam menyelenggarakan

19 Pasal 1 Angka 3 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan

Produk Halal 20 Pasal 60 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk

Halal

Page 79: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

67

penerbitan sertifikat jaminan produk halal LPPOM MUI bekerjasama

dengan beberapa Kementerian dan/atau lembaga terkait. Sesudah

BPJPH menerima pendaftaran penerbitan sertifikat jaminan produk

halal diserahkan ke LPH, kemudian LPH menyerahkan hasil

pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada BPJPH

untuk disampaikan kepada MUI guna untuk mendapatkan penetapan

terhadap kehalalan suatu produk. Kemudian MUI menggelar sidang

fatwa halal paling lama 30 (tiga puluh hari) kerja untuk menetapkan

kehalalan produk.21

Keputusan penetapan kehalalan suatu produk akan disampaikan

MUI kepada BPJPH utuk menjadi acuan dalam penerbitan sertifikat

produk halal. Apabila dalam sidang fatwa halal menyatakan produk

tidak halal, maka BPJPH berhak mengembalikan permohonan

sertifikat produk halal kepada pelaku usaha. Sedangkan yang sudah

dinyatakan halal oleh sidang fatwa halal MUI akan menjadi acuan

BPJPH untuk menerbitkan sertifikat produk halal paling lama 7 (tujuh)

hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari

MUI.22 Untuk melaksanakan wewenangnya, BPJPH bekerja sama

dengan kementerian terkait dan/atau lembaga terkait, LPH dan MUI.23

Kementerian dan/atau lembaga terkait tersebut bekerja sesuai dengan

tugasnya masingmasing. Kementerian dan/atau lembaga yang terkait

antara lain adalah kementerian dan/atau lembaga yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian,

perdagangan, kesehatan, pertanian, standarisasi dan akredatasi,

koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawas obat

dan makanan.

21 Pasal 33 ayat (4) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan

Produk Halal. 22 Pasal 35 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk

Halal. 23 Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

Page 80: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

68

a. Masa Berlaku Sertifikat Halal dalam Pasal 42 UU JPH

1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak

diterbitkan oleh BPJPH, kevuali terdapat perubahan komposisi

Bahan.

2) Sertifikat halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan

mengajukan pembaharuan Sertifikat Halal paling lambat 3

(tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaharuan Sertifikat Halal

diatur dalam Peraturan Menteri.

B. Analisis efektifitas penerapan sertifikasi halal setelah pelaksanaan

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014

1. Problematika penerapan Sertifikasi Halal di Indonesia setelah

berlaku UU Jaminan Produk Halal

Problematika yang menarik untuk dibahas adalah terkait dengan

kesiapan UU JPH untuk berlaku secara penuh pada bulan Oktober

2019. Mengingat sesuai dengan Pasal 67 ayat (1) yang berbunyi

“Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan

diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang

ini diundangkan.”24

UU JPH diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014, dengan

demikian Oktober 2019 menjadi titik waktu mulainya UU JPH berlaku

secara penuh. Pada subbab ini akan dibahas kesiapan UU JPH pada

Oktober 2019 nanti. Apakah UU JPH akan dapat berjalan dengan

efektif sebagaimana dicita-citakan oleh pembuat Undang-Undang, atau

24

Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di

Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.125

Page 81: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

69

justru akan menjadi tidak efektif mengingat ketidaksiapan dari UU

JPH itu sendiri.25

Hal pertama yang menjadi pekerjaan rumah besar dari kesiapan

UU JPH ini adalah terkait dengan kerangka peraturan penunjang UU

JPH yang memainkan peran besar terkait efektivitas UU JPH. Dalam

hal ini ada banyak sekali ketentuan derivatif di dalam UU JPH yang

semuanya dapat dirangkum dalam 2 bentuk ketentuan, yaitu Peraturan

Pemerintah dan Peraturan Menteri.

Pertama, Peraturan Pemerintah. Ketentuan turunan dari UU JPH

yang berbentuk Peraturan Pemerintah telah diamanatkan dalam Pasal

11, Pasal 16, Pasal 21 ayat (3), Pasal 44 ayat (3), pasal 46 ayat (3),

Pasal 47 ayat (4), Pasal 52, Pasal 67 ayat (3). Pasal 65 UU JPH

menyebutkan bahwa “Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus

ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang

ini diundangkan,” yang berarti seharusnya pada tahun 2016 sudah

dikeluarkan Peraturan Pemerintah dimaksud. Namun, faktanya

Peraturan Pemerintah yang dimaksud baru keluar pada tanggal 3 Mei

2019, berbarengan dengan penulisan makalah ini.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut PP

UU JPH) ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 April 2019 dan

diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2019.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa PP UU JPH

keluar terlambat jauh mundur 3 tahun dari amanat Pasal 65 UU JPH.

Hal ini berarti pemerintah dalam hal ini telah tidak tertib hukum atau

melanggar asas tertib hukum penyelenggaraan pemerintahan yang

baik. Padahal apabila PP UU JPH dapat keluar pada tahun 206 maka

pemerintah punya lebih banyak waktu yaitu sekitar 3 tahun untuk

25

Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di

Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.126

Page 82: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

70

menyelesaikan persiapan lain yang dibutuhkan. PP UU JPH faktanya

keluar pada tanggal 3 Mei 2019, sedangkan UU JPH memberi batas

per Oktober 2019 untuk implementasi jaminan produk halal. Hanya 5

bulan waktu tersisa untuk melakukan persiapan.

Memang PP UU JPH keluar sebelum kewajiban implementasi

halal berlaku pada 17 Oktober 2019. Namun, bukan berarti PP UU

JPH dalam sendirinya kemudian otomatis paripurna, siap, dan

sempurna. Beberapa Pasal dalam PP UU JPH juga tengah

dipermasalahkan oleh beberapa pihak, diantarnya yaitu:

a. Kementerian Kesehatan. Berkaitan dengan Pasal 74 (saat RPP

masih Pasal 71) yaitu tentang obat yang jika tidak dikonsumsi akan

berakibat pada keselamatan jiwa pasian. Apakah harus

dikecualikan dari sertifikasi halal atau tidak, hal ini membutuhkan

ketetapan dari Menteri Agama.

b. Kementerian Perindustrian. Menteri Perindustrian menganggap

bahwa implementasi jaminan produk halal yang tertuang dalam

UU JPH dan PP UU JPH ini memberatkan dunia usaha dan sulit

diterapkan dan berpotensi mengganggu iklim investadi di Tanah

Air. Salah satu poin yang perlu direvisi adalah kewajiban

sertifikasi halal pada produk farmasi. Selama ini, obat dan vaksin

menggunakan bahan baku kimia dari berbagai negara, kondisi ini

akan menyulitkan Lembaga penerbit sertifikikat halal dalam

melakukan verifikasi.

c. Kementerian Agama. Sementara dari sisi kemenag ada 2 pasal

yang masih membutuhan pendalaman, yakni terkait Pasal 2 yang

menegaskan agar setiap produk wajib bersertifikat halal.

Kedua, Peraturan Menteri. UU JPH juga mengamanatkan agar

peraturan Menteri dikeluarkan untuk menunjang implementasi jaminan

produk halal, hal ini terlihat dalam Pasal 22 ayat (2), Pasal 28 ayat (4),

Pasal 29 ayat (3), Pasal 30 ayat (3), Pasal 40, Pasal 41 ayat (2), Pasal

42 ayat (3), Pasal 45 ayat (2), Pasal 48 ayat (2), Pasal 55. Bahkan PP

Page 83: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

71

UU JPH pun juga masih memerlukan Peraturan Menteri sebagai

peraturan turunan untuk menunjang PP UU JPH.26

2. Hambatan dan Kendala pada aspek ketentuan teknis sertifikasi

halal

Kementerian Agama menandatangani nota kesepahaman

layanan sertifikasi halal dengan 10 kementerian atau lembaga.

Kerjasama itu dalam rangka menyambut pemberlakuan sertifikat halal

yang mulai efektif berlaku kamis, 17 oktober 2019. Kewajiban produk

sertifikasi halal dilakukan secara bertahap. Akan dilakukan dimulai

dari produk makanan dan minuman. Tahap selanjutnya selain

makanan dan minuman (Berdasarkan) Permenag Nomor 26 tahun

2019, penyelenggara jaminan produk halal, penahapan sertifikasi halal

dimulai tanggal 17 Oktober 2019 sampai Oktober 2024.

Kewajiban sertifikasi halal selain makanan dan minuman,

produk-produk yang wajib disertifikasi halal hingga 5 tahun kedepan

mencakup industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah

Potong Hewan (RPH), hingga restoran. Paparan diatas merupakan

pesan dari Undang-undang Nomor 33 tahun 2104 tentang Jaminan

Produk Halal setelah tanggal 17 Oktober 2019 awal proses sertifikasi

sampai selama lima tahun nanti dibina. Untuk persoalan hambatan

Peraturan Menteri Agama (PMA) sebagai beleid yang mengatur teknis

pelaksanaan wajib sertifikasi halal saat ini masih dalam tahap

harmonisasi. Meski demikian ia memastikan hal itu tidak akan

menjadi hambatan bagi proses sertifikasi halal yang dimulai 17

Oktober 2019.

Kendala pada saat ini untuk memberikan jaminan halal kepada

konsumen muslim, pemerintah diminta segera menyelesaikan

26

Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di

Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.127

Page 84: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

72

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Produk Halal (JPH).

Dan BPJPH disarankan segera menyiapkan sistem, lemba pemeriksa

halal (LPH) dan insfrastrukturnya, dan sebaiknya BPJPH kerjakan apa

yang bisa dikerjakan sambil menunggu RPP dan JPH selesai. Hal ini

menyampaikan BPJPH juga membutuhkan LPH untuk menasertifikasi

halal, artinya harus ada sumber daya manusia, Prosedur Operasional

Standar (SOP) dan Insfrastruktur.27

3. Analisis alasan Di Indonesia Mayoritas Penduduk Islam

Berlakunya Sertifikasi Halal Tidak Ada Sertifikasi Haram

Adanya sertifikasi halal diberbagai negara, baik itu negara Islam

atau non Islam, saat ini tidak lagi sebatas upaya perlindungan bagi

umat Islam terhadap zat halal dan haram, tetapi melebar menjadi

komoditas dagang. Perlindungan dalam hukum formal menunjukkan

kandungan hukum yang dibuat oleh agama telah tereduksi dan kurang

kuat dalam mengatur hubungan yang lebih nyata dalam kehidupan

bernegara. Tentunya fenomena tersebut bisa disebabkan oleh beberapa

hal. Misalnya di negara-negara sekuler, nilai-nilai yang terkandung

dalam agama tidak lagi menjadi pertimbangan dalam perumusan

kebijakan atau undang-undang. Sebab agama menjadi urusan personal

atau urusan warga negaranya secara perorangan.28

Namun nyatanya di negara-negara sekuler atau negara non Islam

dalam beberapa tahun terakhir telah mencantumkan label halal pada

produk-produknya. Sebut saja Australia, New Zealand, Singapura,

Thailand, Perancis, Jepang, Kanada, Amerika Serikat, dan beberapa

negara lain. Tentu saja negara Islam seperti Arab Saudi dan negara-

negara di Timur Tengah, Malaysia, dan Brunei Darussalam telah lama

melakukan proteksi melalui sertifikasi halal.29

27

https://m.republika.co.id/amp/pf36p6370 28

Lies afroniyati, analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh majelis ulama indonesia,

jurnal kebijakan & administrasi poilitik JKAP Vol 18 No 1 Mei 2014, h.38 29

(http://www.mui. or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=94:pusat-

islam-thailand-kunjungi-mui&catid =1:beritasingkat&Itemid=50).

Page 85: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

73

Selanjutnya sertifikasi halal melebar menjadi komoditas dagang.

Pertama, sertifikasi halal tidak bisa lagi berupa “bentuk kepercayaan”

semata. Dengan kata lain, sertifikasi halal tidak lain adalah upaya

antisipasi terhadap bentuk-bentuk penipuan atas kandungan halal

dalam suatu produk. Misalnya dalam produk olahan daging yang

sebagian oleh masyarakat muslim dianggap halal. Namun ketika

diteliti lebih lanjut, daging olahan tersebut ternyata mengandung

bahan atau proses yang tidak halal. Maka, dalam hal ini negara

bertindak sebagai pengawas dengan menjadikan sertifikasi sebagai

sarana yang diwajibkan kepada pengusaha.

Negara melaksanakan penertiban umum (law and order) untuk

mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam

masyarakat. Dapat dikatakan, negara bertindak sebagai stabilisator.

Peran stabilisator ini dilakukan melalui instrumen sertifikasi halal

yang diberlakukan pada dunia usaha. Kedua, melihat pemberlakuan

sertifikasi halal di negara-negara non-Islam tentu mengundang

pertanyaan. Apakah fungsi sertifikasi halal di negara-negara non-

Islam, jika umat Muslim di negara tersebut hanyalah kelompok

minoritas? Jawabannya bisa dilihat dari berbagai perspektif. Namun

kita tahu, bahwa negara-negara non Islam sebagian besar justru adalah

negara-negara maju yang terletak di benua Eropa, Amerika Utara, dan

Asia Timur.

Produk-produk dan hasil industri lebih banyak dipasarkan di

negara-negara berkembang, yang sebagian besar adalah negara-negara

Islam. Bila kemudian diketahui produk yang ditawarkan mengandung

zat-zat haram, tentu akan ditolak mentah-mentah oleh umat Muslim.

Di titik ini, pencantuman sertifikasi halal pada produk-produk dari

negara maju dapat dikatakan sebagai upaya dari strategi perdagangan.

Hal ini juga dilakukan sebagai upaya pertahanan atau memperbanyak

jumlah konsumen di negara-negara yang dijadikan pemasaran. Ketiga,

adanya motif untuk mendapat keuntungan dari pemasaran produk

Page 86: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

74

halal.30

Menurut perkiraan Direktur Global Food Research and

Advisory Sdn Bhd, Irfan Sungkar, di Kuala Lumpur, seperti dilansir

dalam situs halalguide.info pada tahun 2007, industri halal dunia

mencapai nilai lebih dari 600 miliar dolar AS dengan populasi pasar

penduduk Muslim sendiri (captive market) sekitar 1,6 miliar orang.31

Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk

produksi dan distribusi barangbarang halal. Hal ini tidak terlepas dari

jumlah umat muslim terbesar di dunia. Survei yang dilakukan oleh

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis

Ulama Indonesia (LP POM MUI) pada 2010 lalu menunjukkan bahwa

kepedulian masyarakat terhadap produk halal meningkat. Tahun 2009

adalah sebesar 70 persen, lalu meningkat menjadi 92,2 persen di tahun

2010.32

Maka, sertifikasi halal di Indonesia tampak sebagai suatu

kewajiban yang harus dipenuhi dan sebagai simbol untuk memenuhi

kepentingan mayoritas umat Muslim.

4. Respon Non Muslim dalam menghadapi Undang-undang Nomor

33 Tahun 2014

Contoh dalam penerapan agama Budha yang dimana

membutuhkan simbiosis mutualisme mengapa pemerintah Budha

mendukung sertifikasi halal, alasan terpenting bahwa kepentingan

ekonomilah yang mendorong pemerintah begitu bersemangat

mendukung program-program yang berkaitan dengan sertifikasi halal.

Selanjutnya keuntungan ekonomi yang seperti apa yang diperoleh oleh

agama budha dengan adanya sertifikat halal.33

Keuntungan ekonomi

yang di peroleh agama budha salah satunya negara Thailand, dengan

adanya sertifikasi halal negara Thailand posisinya sebagai salah satu

30

Lies afroniyati, analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh majelis ulama indonesia,

jurnal kebijakan & administrasi poilitik JKAP Vol 18 No 1 Mei 2014, h.39 31

Firmansyah, 2010, http://sacafirmansyah. wordpress.com 32

Puji, 2011, www.republika.co.id 33

Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan

Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni

2016, h. 34

Page 87: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

75

10 negara-negra ekspirtir terbesar di dunia, mau tidak mau Thailand

harus berhubungan dengan negara-negara muslim untuk kepentingan

ekspornya.

Sedangkan untuk kepentingan dalam negeri, Thailand adalah

salah satu tujuan wisata dan pengobatan orang-orang dari luar. Mereka

yang datang dari Asia Tenggara, sebagai tentangga terdekat mayoritas

muslim. Thailand memproyeksikan pertumbuhan yang kuat pada

pengunjung dari negara-negara Muslim, khususnya Indonesia dan

Malaysia, terutama setelah Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku.

Pengunjung dari Uni Emirat Arab, Qatar dan Kuwait merupakan

negara termasuk katagori tertinggi wisatawan Muslim yang

berkunjung ke Thailand. Mereka juga memainkan peran utama dalam

meningkatkan jumlah pengunjung ke negeri gajah putih ini.34

Sedangkan bagi umat Islam Thailand, keuntungan adanya

sertifikasi halal setidaknya ada dua. Pertama, secara praktis, umat

Islam membutuhkan produk-produk yang terjamin kehalalannya.

Kedua, untuk menunjukan keagunan syari’at Islam melalui teknologi

tinggi. Artinya sertifikasi halal itu merupakan minoritas tetapu penting

bagi negara Thailand. Sertifikasi halal dalam persoalan bukan negara

agama, meskipun didominasi oleh Islam namun Indonesia bukanlah

negara Islam. Demikian juga Thailand, meskipun didominasi oleh

Budha, Thailand juga bukan negara Budha. Indonesia adalah negara

republik yang dipimpin oleh seorang presiden, bukan kholifah atau

ulama. Sedangkan Thailand adalah negara kerajaan. 35

Serifikasi halal dalam peran negara di Indonesia maupun

thailand pada awalnya merupakan gerakan civil society. Namun dalm

perkembangan terakhir Indonesia mengalami pergeseran. Jika selama

34

Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan

Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni

2016, h. 35 35

Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan

Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni

2016, h. 36

Page 88: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

76

ini sertifikasi halal ditangani oleh LPPOM MUI yang merupakan

lembaga swadaya masyarakat, sejak lahirnya Undang-Undang

jaminan produk halal, penanganan sertifikasi menjadi wewenang

negara melalui badan penyelenggara jaminan produk halal (BPJPH)

yang merupakan lembaga negara. Hal ini berarti peran civil society

berkurang, bahkan terpinggirkan. MUI memnag masih memiliki

kewenangan untuk menetapkan halal dan haram. Tetapi proses

formalnya, baik pemeriksaan sintifiknya maupun dikeluarkannya

sertifikat menjadi wewenang BPJPH. Meskipun sampai saat ini belum

terealisasi, namun pada saat nya akan terwujud. 36

36

Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan

Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni

2016, h. 37

Page 89: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

77

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perubahan Kewenangan Sertifikasi Halal

Pengaturan kewenangan penerbitan sertifikat jaminan produk halal

setelah dibentuk BPJPH, pengajuan sertifikat jaminan produk diajukan

ke BPJPH yang sebelumnya diajukan ke LPPOM MUI. BPJPH

bekerjasama dengan kementerian terkait dan/atau lembaga terkait,

LPH dan MUI.Berbeda dengan sebelum dibentuk BPJPH, LPPOM

MUI bekerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan

(Badan POM), Kementerian dan/atau lembaga terkait. Proses

sertifikasi sebelum dibentuk BPJPH relatif lama namun setelah

dibentuk BPJPH proses sertifikasi relatif cepat. BPJPH melaksanakan

kewenangannya berdasarkan Undang-undang JPH.

Setelah dibentuk BPJPH, BPJPH belum dapat melaksanakan

kewenangannya dalam penerbitan sertifikat jaminan produk halal.

Dengan adanya beberapa kendala seperti belum terbitnya peraturan

pelaksana dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang

Jaminan Produk Halal. BPJPH membutuhkan 20 (duapuluh) peraturan

pelaksana tambahan diantaranya, 1 (satu) Peraturan Presiden, 8

(delapan) Peraturan Pemerintah, dan 11 (sebelas) Peraturan Menteri.

Penerbitan sertifikat jaminan produk halal masih pada Lembaga

Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) dibawah

naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa kendala seperti

belum adanya peraturan pelaksana tambahan, juga belum ada BPJPH

yang berada ditingkat provinsi. Tidak adanya sosialisasi secara

menyeluruh kepada pelaku usaha juga menyebabkkan BPJPH belum

diakui eksistensinya sebagai penyelenggara jaminan produk halal oleh

pelaku usaha. Sehingga banyak pelaku usaha yang tidak mengetahui

perkembangan sistem jaminan produk halal.

Page 90: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

78

2. Efektifitas Penerapan sertifikasi halal di Indonesia

penerapan UU JPH secara penuh pada Oktober 2019 nanti dapat

dikatakan belum siap. UU JPH masih mempunyai beberapa masalah

yang perlu diselesaikan. Lebih lanjut, berdasarkan efektivitas fungsi

dari sistem hukum Lawrence M. Friedman, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa UU JPH sebagai sistem hukum tidak akan dapat

berjalan secara efektif, dikarenakan elemen-elemen (struktur dan

substansi hukum) dari sistem hukum jaminan produk halal masih

menjadi masalah.

B. Saran

Penyelenggaraan jaminan produk halal oleh BPJPH harus disesuaikan

dengan Undang-undang JPH agar keseluruhan yang berkaitan dengan

penerbitan sertifikat jaminan produk halalyang telah diatur dalam Undang-

undang JPH dapat diterapkan secara efisien.

1. Kepada BPJPH di bawah Kementeriaan Agama sebagai penyelenggara

JPH diharapkan dapat segera menuntaskan penyusunan peraturan-

peraturan turunan dari UU RI Nomor 33 Tahun 2014, sehingga dapat

segera diimplementasikan.

2. Kepada Majelis Ulama Indonesia, sebagai mitra kerja Kementerian

Agama diharapkan dapat bekerjasama dalam rangka

menyelenggarakan Sertifikasi Halal sesudah berlakunya UU JPH

secara efektif di Tahun 2019

3. Kepada Kementerian/ lembaga terkait diharapkan dapat bekerjasana

dengan Kementerian Agama dalam penyusunan peraturan turunan

sehingga tercipta harmonisasi yang mendukung implementasi UU JPH.

4. Kepada masyarakat muslim Indonesia, diharapkan dapat berperan serta

dalam mendukung proses penyelenggaran Jaminan Produk Halal.

Page 91: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

79

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Al-Qur’anul karim, (Bandung, Sygma: 2009)

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’li Ahkam

al-Qur’an, Juz VI,

Ahmad Hushari. Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Bairut: Dar al-Jil, 1991

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji,

Pedoman Labelisasi Halal, (Jakarta, 2003),

Hadjon M. Philipus, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,

(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2005).

Hayden M Grant & Friedman M. Lawrence, American Law: An Introduction.

3rd Edition. New York. Oxford University Press. 2017.

HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2016).

HR. Ridwan. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2016),

Ibn Manzhur, lisan arab, juz XV

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah., Jilid IV, h.316

Mertokusumo Sudikno, Penemuan Hukum : Sebuah Pengantar, Liberty,

Yogyakarta, 2006.

Muhammad Nasib ar-Rifa’I Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir,

jilid 2 (Gema Insani Press, 1999

Qaradhawi Yusuf, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers, 2002)

Sasmito Adi Wiku, Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam

Labeling Obat dan Makanan, Case Study: Analisis Kebijakan Kesehatan,

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008.

Page 92: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

80

Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI

terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika, Gaung Persada

Press Group Jakarta. Desember 2013

Surakhmad Winarto, Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan Teknik),

(Bandung:Tarsindo, 1999).

Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz II

Wajdi Farid & Lubis K. Surahwardi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta Timur:Sinar

Grafika, 2012

JURNAL DAN SKRIPSI

Afroniyati Lies, analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh majelis ulama

indonesia, jurnal kebijakan & administrasi poilitik JKAP Vol 18 No 1 Mei

2014.

Aminudin Zumar. Muh, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia

dan Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I,

Nomor I, Januari-juni 2016

Aziz Muhammad, Perspektif Maqashid Al-Syariah Dalam Penyelenggaraan

Jaminan Produk Halal Di Indonesia Pasca Berlakunya Undangundang

Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, AL-HIKMAH

Jurnal Studi Keislaman, Volume 7, Nomor 2, (September, 2017)

Fatimah Saul Anis, murni penerbitan sertifikat jaminan produk hslsl pasca

dibentuk badan penyelenggara Jaminan Produk Halal. Jurnal, Simposium

Hukum Indoneisa.Volume 1 Nomor 1 Tahun 2019.

Hasan Sofyan Kn, Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk

Pangan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2 (Mei, 2014)

Kusnadi. Moh, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di

Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2,

Juli 2019

Setiawan Putra Ade, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan

hukum, 2015. Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi

Halal Pasca Berlakunya UU No. 33 Tahun 2014, (Skripsi S-1 Fakultas

Page 93: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

81

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2015).

Suparto Susilowati, Harmonisasi Dan Sinkronisasi Pengaturan Kelembagaan

Sertifikasi Halah Terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia,

(Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung Jalan Dipati Ukur

Nomor 35 Bandung, Jawa Barat), Jurnal MIMBAR HUKUM Volume 28,

Nomor 3, Oktober 2016,

WAWANCARA

Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi Fatwa MUI, Di Gedung

Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.

UNDANG-UNDANG

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

WEBSITE

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Diresmikan Kemenag

diakses di

https://www.kompasiana.com/advertorial/59e05033486932140056902/bada

n-penyelenggara-jaminan-produk-halal-bpjph-diresmikan-kementerian-

agama-sebagai-badan-sertifikasi-halal (pada 12 Oktober 2019 pukul 20.21).

BPJPH Awali Sosialisasi Sertifikasi Halal dan Pengenalan Badan diakses di

https://kliklegal.com/bpjph-awali-sosialisasi-sertifikasi-halal-dan-

pengenalan-badan-/ (pada 13 Oktober pukul 12.37).

Kewajiban Bersertifikasi Halal, diakses di

http://sulteng.kemenag.go.id/berita/detail/17-oktober-2019-selamat-datang-

kewajiban-bersertifikat-halal (pada 12 Oktober 2019 pukul 19.44)

Kewenangan, https://id.wiktionary.org, diakses pada tanggal 12 Oktober 2019

pukul 13.48.

Mengenal Kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Diakses di

http://www.gresnews.com/berita/tips/60181-mengenal-kewenangan-badan-

penyelenggara-jaminan-produk-halal/0/ (20 Oktober 2018 Pukul 16.04).

Page 94: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

82

Proses sertifikasi halal BPJPH diakses di

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4087877/begini-alur-pengajuan-

sertifikasi-halal-produk-ke-bpjph (22 Oktober 2019, pukul 11.15).

Sejarah MUI diakses di http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-

mui.html, (Rabu, 02 Oktober 2019, Pukul 21.50).

Page 95: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimana bentuk kordinasi BPJPH dan MUI dalam sertfikasi

halal?

Nah ketika sertifikat halal ini sudah berjalan 20 (dua puluh) tahunan

lebih selama itukan sertifikat halal sifatnya vooluntary (sukarela)

artinya perusahaan mau dateng atau mendaftarkan sertifikat halal

boleh, tidak dateng juga tidak apa-apa tidak ada kewajiban. Kemudian

karna tidak ada kewajiban akhirnya perusahaan ada yang sukarela

mendaftarkan sertifikasi halal, dan ada yang tidak sama sekali,

sementara tugas fungsi peran MUI riayadhul ummah aqidatan

wasyariatan. Dengan barang exspor impor makin banyak beredar

makin banyak beraneka ragam, masyarakat makin ragu akan

kehalalannya, makan dengan konteks melindungi syariat ummat

islam, MUI bersama kemenag kemudian menegaskan perlunya ada

UUJPH, inti perjuangan MUI cuma satu, "supaya halal ini tidak lagi

vooluntary, tapi mandatory (wajib), ketika akan diwajibkan, berarti

suatu produk akan disertifikasikan banyak, siapa yang bisa menangani

sesuatu yang besar ini, negaralah yang bisa melakukan itu, maka

UUJPH diamanatkan dibentuk yang namanya BPJPH dibawah

kemenag, tetapi masalah halal haram menjadi otoritas ulama MUI,

nah karna nanti banyak yang akan diaudit, pastinya ada lembaga

auditnya, melibatkan LPH, LPPOM, nah LPH ini klo satu nanti

keberatan, maka di undang-undang dibukalah kemungkinan

perguruan tinggi islam atau ormas islam untuk membuat LPH, jadi

dalam hal sertifikasi ada 3 (tiga) lembaga :ada BPJPH ada LPH dan

MUI.1

1 Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub Selaku Angota Komisi Fatwa MUI,

di Gedung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, 21 Oktober 2019.

Page 96: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

2. Bagaimana bentuk Wewenang BPJPH saat ini?

Dalam melaksanakan wewenang, BPJPH bekerja sama dengan: a.

kementerian dan/atau lembaga terkait; b. LPH; dan c. MUI.Kerja

sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait dilakukan

sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga

terkait.Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan untuk pemeriksaan

dan/atau pengujian Produk.2 Kerjasama BPJPH dengan MUI

dilakukan dalam bentuk: a. sertifikasi Auditor Halal; b. penetapan

kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH. Penetapan kehalalan Produk

dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal

Produk.3BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan

dan/atau pengujian kehalalan Produk.4 LPH menyerahkan hasil

pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.

BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian

kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan

kehalalan Produk.5 Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh

MUI.Penetapan kehalalan Produk dilakukan dalam Sidang Fatwa

Halal. Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada

BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal. Dalam hal ini

Sidang Fatwa Halal menetapkan halalpada Produk yang dimohonkan

Pelaku Usaha,BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.6

2 Lihat Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014tentangJaminan Produk Halal 3 Lihat Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014tentangJaminan Produk Halal 4 Lihat Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan

Produk Halal 5 Lihat Pasal 32 ayat (1), dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014tentangJaminan Produk Halal

Page 97: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

3. Bagaimana pelaku usaha dalam menajalnkan sertifikasi halal?

pelaku usaha pemula yang belum memiliki sertifikat jaminan produk

halal dan melakukan pengajuan awal belum memahami mengenai

adanya Undang-undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan tidak

mengetahui bahwa Pemerintah sudah membentuk lembaga jaminan

produk halal yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

(BPJPH) serta tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai

bagaimana cara memperoleh sertifikat jaminan produk halal. Dengan

demikian, menyebabkan BPJPH belum banyak diketahui oleh pelaku

usaha.Untuk pelaku usaha yang sudah menjalankan usahanya relatif

lama dan memahami mengenai prosedur penerbitan sertifikat jaminan

produk halal serta pentingnya jaminan produk halal maka akan

berusaha mengikuti regulasi mengenai jaminan produk halal.

Sebagian pelaku usaha yang sudah sering mendaftarkan produknya

untuk mendapatkan sertifikat jaminan produk halal sudah

mendapatkan sosialisasi mengenai bagaimana cara memeperoleh

sertifikat halal dan mengetahui adanya BPJPH sebagai lembaga

penerbitan sertifikat jaminan produk halal. Sehingga kemudian pelaku

usaha tahu kemana akan mendaftarkan dan/atau memperpanjang

sertifikat jaminan halal produknya. Oleh karena itu, terkait dengan

keadaan tersebut akan memudahkan BPJPH untuk menjalankan

kewenangannya.

4. Lembaga-lembaga apa saja yang dapat berpartisipasi dalam posisi

atau wewenang BPJPH, dan bagaimana proses sertifikasi halal?

a. Tiga institusi yang terlibat dalam penyelenggara sertifikasi

halal:

1) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah

Kementerian Agama.

2) Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Didirikan oleh Universitas,

Yayasan/ Perkumpulan Islam.

Page 98: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

3) Majelis Ulama Indonesia (MUI).

b. Kerjasama BPJPH dan MUI (Pasal 10)

1) Sertifikasi Auditor Halal

2) Penetapan Fatwa Kehalalan Produk

3) Akreditasi LPH

c. yang mendirikan LPH (Pasal 12)

1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH.

2) LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai

kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH melakukan

pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.

d. Syarat Mendirikan LPH (Pasal 13)

1) Memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;

2) Memiliki akreditasi dari BPJPH;

3) Memiliki auditor halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan

4) Memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan

lembaga lain yang memiliki laboratorium.

e. Syarat Auditor Halal (Pasal 14)

1) Diangkat dan diberhentikan oleh LPH.

2) Memenuhi syarat :

a) Warga Negara Indonesia;

b) Beragama Islam;

c) Minimal S1 (Bidang pangan, kimia, biokimia, teknik

industri, biologi, atau farmasi);

d) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai

kehalalan produk menurut syariat Islam ;

e) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan

pribadi dan/atau golongan; dan

Page 99: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

f) Memperoleh sertifikat dari MUI.

f. Tugas Auditor Halal (Pasal 15)

1) Memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;

2) Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;

3) Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;

4) Meneliti lokasi Produk;

5) Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;

6) Memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;

7) Memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan

8) Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada

LPH.

g. Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam

Peraturan Pemerintah

Halal Center Perguruan Tinggi Negeri

Bidang pengabdian pada masyarakat tentang produk halal.

1) Bidang yang melakuan penelitian (interdisipliner) terhadap

masalah produk halal.

2) Bidang yang membina masyarakat tentang pemahaman dan

implementasi produk halal.

3) Berkoordinasi dalam APKAHI (Asosiasi Pusat Kajian Halal

Indonesia)

Page 100: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

Dokumentasi saat wawancara

Wawancara bersama Bapak Aminudin Yakub. M.Ag Anggota Komisi

Fatwa MUI

Page 101: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

SALINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 33 TAHUN 2014

TENTANG

JAMINAN PRODUK HALAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya

itu;

b. bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk

beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara

berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan

tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan

digunakan masyarakat;

c. bahwa produk yang beredar di masyarakat belum

semua terjamin kehalalannya;

d. bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk

pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan

perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-

undangan;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf

d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jaminan

Produk Halal;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan

Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

Dengan . . .

Page 102: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 2 -

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait

dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk

kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik,

serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau

dimanfaatkan oleh masyarakat.

2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan

halal sesuai dengan syariat Islam.

3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH

adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin

kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan,

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk

membuat atau menghasilkan Produk.

5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya

disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap

kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan

Sertifikat Halal.

6. Badan . . .

Page 103: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 3 -

6. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang

selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang

dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan

JPH.

7. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya

disingkat MUI adalah wadah musyawarah para

ulama, zuama, dan cendekiawan muslim.

8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat

LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan

pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan

Produk.

9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki

kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan

Produk.

10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu

Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan

fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.

11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.

12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau

badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan

badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan

usaha di wilayah Indonesia.

13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab

terhadap PPH.

14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan

hukum.

15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang agama.

Pasal 2 . . .

Page 104: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 4 -

Pasal 2

Penyelenggaraan JPH berasaskan:

a. pelindungan;

b. keadilan;

c. kepastian hukum;

d. akuntabilitas dan transparansi;

e. efektivitas dan efisiensi; dan

f. profesionalitas.

Pasal 3

Penyelenggaraan JPH bertujuan:

a. memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan,

dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi

masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan

Produk; dan

b. meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha

untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.

Pasal 4

Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di

wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

BAB II

PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 5

(1) Pemerintah bertanggung jawab dalam

menyelenggarakan JPH.

(2) Penyelenggaraan . . .

Page 105: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 5 -

(2) Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

(3) Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk

BPJPH yang berkedudukan di bawah dan

bertanggung jawab kepada Menteri.

(4) Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk

perwakilan di daerah.

(5) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan

organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.

Bagian Kedua

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

Pasal 6

Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang:

a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;

b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria

JPH;

c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan

Label Halal pada Produk;

d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk

luar negeri;

e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi

Produk Halal;

f. melakukan akreditasi terhadap LPH;

g. melakukan registrasi Auditor Halal;

h. melakukan pengawasan terhadap JPH;

i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan

j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan

luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

Pasal 7 . . .

Page 106: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 6 -

Pasal 7

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:

a. kementerian dan/atau lembaga terkait;

b. LPH; dan

c. MUI.

Pasal 8

Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau

lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi

kementerian dan/atau lembaga terkait.

Pasal 9

Kerja sama BPJPH dengan LPH sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 huruf b dilakukan untuk pemeriksaan

dan/atau pengujian Produk.

Pasal 10

(1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam

bentuk:

a. sertifikasi Auditor Halal;

b. penetapan kehalalan Produk; dan

c. akreditasi LPH.

(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk

Keputusan Penetapan Halal Produk.

Pasal 11 . . .

Page 107: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 7 -

Pasal 11

Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,

dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Pemerintah.

Bagian Ketiga

Lembaga Pemeriksa Halal

Pasal 12

(1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan

LPH.

(2) LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mempunyai kesempatan yang sama dalam

membantu BPJPH melakukan pemeriksaan

dan/atau pengujian kehalalan Produk.

Pasal 13

(1) Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:

a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;

b. memiliki akreditasi dari BPJPH;

c. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga)

orang; dan

d. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja

sama dengan lembaga lain yang memiliki

laboratorium.

(2) Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh

lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.

Pasal 14 . . .

Page 108: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 8 -

Pasal 14

(1) Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.

(2) Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi

persyaratan:

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1

(satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik

industri, biologi, atau farmasi;

d. memahami dan memiliki wawasan luas

mengenai kehalalan produk menurut syariat

Islam;

e. mendahulukan kepentingan umat di atas

kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan

f. memperoleh sertifikat dari MUI.

Pasal 15

Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

bertugas:

a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;

b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;

c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;

d. meneliti lokasi Produk;

e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan

penyimpanan;

f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;

g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan

h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian

kepada LPH.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

BAB III . . .

Page 109: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 9 -

BAB III

BAHAN DAN PROSES PRODUK HALAL

Bagian Kesatu

Bahan

Pasal 17

(1) Bahan yang digunakan dalam PPH terdiri atas

bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan

bahan penolong.

(2) Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal

dari:

a. hewan;

b. tumbuhan;

c. mikroba; atau

d. bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi,

proses biologi, atau proses rekayasa genetik.

(3) Bahan yang berasal dari hewan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf a pada dasarnya halal,

kecuali yang diharamkan menurut syariat.

Pasal 18

(1) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)

meliputi:

a. bangkai;

b. darah;

c. babi; dan/atau

d. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan

syariat.

(2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan

selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.

Pasal 19 . . .

Page 110: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 10 -

Pasal 19

(1) Hewan yang digunakan sebagai bahan Produk wajib

disembelih sesuai dengan syariat dan memenuhi

kaidah kesejahteraan hewan serta kesehatan

masyarakat veteriner.

(2) Tuntunan penyembelihan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 20

(1) Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada

dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau

membahayakan kesehatan bagi orang yang

mengonsumsinya.

(2) Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang

dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi,

atau proses rekayasa genetik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf

d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau

pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau

terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.

(3) Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri

berdasarkan fatwa MUI.

Bagian Kedua

Proses Produk Halal

Pasal 21

(1) Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan

dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan,

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk

tidak halal.

(2) Lokasi . . .

Page 111: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 11 -

(2) Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) wajib:

a. dijaga kebersihan dan higienitasnya;

b. bebas dari najis; dan

c. bebas dari Bahan tidak halal.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan

alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

(1) Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi,

tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi

administratif berupa:

a. peringatan tertulis; atau

b. denda administratif.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pengenaan sanksi administratif diatur dalam

Peraturan Menteri.

BAB IV

PELAKU USAHA

Pasal 23

Pelaku Usaha berhak memperoleh:

a. informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem

JPH;

b. pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan

c. pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal

secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak

diskriminatif.

Pasal 24 . . .

Page 112: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 12 -

Pasal 24

Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat

Halal wajib:

a. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;

b. memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara

Produk Halal dan tidak halal;

c. memiliki Penyelia Halal; dan

d. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada

BPJPH.

Pasal 25

Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal

wajib:

a. mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang

telah mendapat Sertifikat Halal;

b. menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh

Sertifikat Halal;

c. memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara

Produk Halal dan tidak halal;

d. memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku

Sertifikat Halal berakhir; dan

e. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada

BPJPH.

Pasal 26

(1) Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan

yang berasal dari Bahan yang diharamkan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20

dikecualikan dari mengajukan permohonan

Sertifikat Halal.

(2) Pelaku . . .

Page 113: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 13 -

(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada

Produk.

Pasal 27

(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai

sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif; atau

c. pencabutan Sertifikat Halal.

(2) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)

dikenai sanksi administratif berupa:

a. teguran lisan;

b. peringatan tertulis; atau

c. denda administratif.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pengenaan sanksi administratif diatur dalam

Peraturan Menteri.

Pasal 28

(1) Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal

24 huruf c bertugas:

a. mengawasi PPH di perusahaan;

b. menentukan tindakan perbaikan dan

pencegahan;

c. mengoordinasikan PPH; dan

d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat

pemeriksaan.

(2) Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:

a. beragama Islam; dan

b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat

tentang kehalalan.

(3) Penyelia . . .

Page 114: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 14 -

(3) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan

dan dilaporkan kepada BPJPH.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal

diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB V

TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL

Bagian Kesatu

Pengajuan Permohonan

Pasal 29

(1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku

Usaha secara tertulis kepada BPJPH.

(2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi

dengan dokumen:

a. data Pelaku Usaha;

b. nama dan jenis Produk;

c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan

d. proses pengolahan Produk.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur

dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal

Pasal 30

(1) BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan

pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.

(2) Penetapan . . .

Page 115: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 15 -

(2) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)

hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)

dinyatakan lengkap.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Pemeriksaan dan Pengujian

Pasal 31

(1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)

dilakukan oleh Auditor Halal.

(2) Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi

usaha pada saat proses produksi.

(3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang

diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian

di laboratorium.

(4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha

wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.

Pasal 32

(1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau

pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.

(2) BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau

pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk

memperoleh penetapan kehalalan Produk.

Bagian . . .

Page 116: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 16 -

Bagian Keempat

Penetapan Kehalalan Produk

Pasal 33

(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.

(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.

(3) Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur

kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.

(4) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama

30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil

pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari

BPJPH.

(5) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI.

(6) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH

untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.

Bagian Kelima

Penerbitan Sertifikat Halal

Pasal 34

(1) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal

pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha,

BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.

(2) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan

Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan

permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha

disertai dengan alasan.

Pasal 35 . . .

Page 117: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 17 -

Pasal 35

Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34

ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari

kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk

diterima dari MUI.

Pasal 36

Penerbitan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 35 wajib dipublikasikan oleh BPJPH.

Bagian Keenam

Label Halal

Pasal 37

BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku

nasional.

Pasal 38

Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal

wajib mencantumkan Label Halal pada:

a. kemasan Produk;

b. bagian tertentu dari Produk; dan/atau

c. tempat tertentu pada Produk.

Pasal 39

Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 38 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak

mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam

Peraturan Menteri.

Pasal 41 . . .

Page 118: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 18 -

Pasal 41

(1) Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak

sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi

administratif berupa:

a. teguran lisan;

b. peringatan tertulis; atau

c. pencabutan Sertifikat Halal.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi

administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh

Pembaruan Sertifikat Halal

Pasal 42

(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun

sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat

perubahan komposisi Bahan.

(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku

Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat

Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa

berlaku Sertifikat Halal berakhir.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan

Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 43

Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses

JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum

dalam informasi yang diserahkan oleh Pelaku Usaha.

Bagian . . .

Page 119: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 19 -

Bagian Kedelapan

Pembiayaan

Pasal 44

(1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku

Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat

Halal.

(2) Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro

dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi

oleh pihak lain.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi

halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 45

(1) BPJPH dalam mengelola keuangan menggunakan

pengelolaan keuangan badan layanan umum.

(2) Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH

diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VI

KERJA SAMA INTERNASIONAL

Pasal 46

(1) Pemerintah dapat melakukan kerja sama

internasional dalam bidang JPH sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kerja sama internasional dalam bidang JPH

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berbentuk pengembangan JPH, penilaian

kesesuaian, dan/atau pengakuan Sertifikat Halal.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 47 . . .

Page 120: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 20 -

Pasal 47

(1) Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia

berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini.

(2) Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya

sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga

halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama

saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 46 ayat (2).

(3) Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk

diedarkan di Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai tata cara registrasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3)

dikenai sanksi administratif berupa penarikan

barang dari peredaran.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi

administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VII

PENGAWASAN

Pasal 49

BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.

Pasal 50 . . .

Page 121: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 21 -

Pasal 50

Pengawasan JPH dilakukan terhadap:

a. LPH;

b. masa berlaku Sertifikat Halal;

c. kehalalan Produk;

d. pencantuman Label Halal;

e. pencantuman keterangan tidak halal;

f. pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara

Produk Halal dan tidak halal;

g. keberadaan Penyelia Halal; dan/atau

h. kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.

Pasal 51

(1) BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait

yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat

melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau

bersama-sama.

(2) Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau

lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 52

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur

dalam Peraturan Pemerintah.

BAB . . .

Page 122: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 22 -

BAB VIII

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 53

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam

penyelenggaraan JPH.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat berupa:

a. melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan

b. mengawasi Produk dan Produk Halal yang

beredar.

(3) Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk

dan Produk Halal yang beredar sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk

pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.

Pasal 54

BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada

masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan

JPH.

Pasal 55

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta

masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam

Peraturan Menteri.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 56

Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk

yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana

denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar

rupiah).

Pasal 57 . . .

Page 123: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 23 -

Pasal 57

Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses

JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang

tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku

Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau

pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah).

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 58

Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum

Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku

sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir.

Pasal 59`

Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau

perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan

tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku

sebelum Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 60

MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi

Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.

Pasal 61

LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini

berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan

dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua)

tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk.

Pasal 62 . . .

Page 124: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 24 -

Pasal 62

Auditor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang

ini berlaku diakui sebagai Auditor Halal dan wajib

menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 dan

Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak

Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 63

Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum

Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Penyelia Halal

dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal

28 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-

Undang ini diundangkan.

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 64

BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun

terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 65

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus

ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak

Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 66 . . .

Page 125: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 25 -

Pasal 66

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua

Peraturan Perundang-undangan yang mengatur

mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang

tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-

Undang ini.

Pasal 67

(1) Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang

beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku

5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini

diundangkan.

(2) Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang

bersertifikat halal diatur secara bertahap.

(3) Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat

halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat

(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 68

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan.

Agar . . .

Page 126: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 26 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 17 Oktober 2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 17 Oktober 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 295

Page 127: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 33 TAHUN 2014

TENTANG

JAMINAN PRODUK HALAL

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan

menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan

pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang

dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk

Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan,

keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,

efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu,

jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan

kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan

Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan

menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi

Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.

Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan

kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara

nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku

untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk

lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi

pengolahan . . .

Page 128: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 2 -

pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu

pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran

antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak

disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan

kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang

membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di

bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi,

dan pemahaman tentang syariat.

Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang

beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya.

Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang

memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum

memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat

muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur

dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup

Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan

makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk

biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang

dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara

lain adalah sebagai berikut.

1. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan

produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari

bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang

dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses

rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang

merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan

Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan,

penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan

penyajian Produk.

2. Undang . . .

Page 129: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 3 -

2. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha

dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang

memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang

diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas

keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian

tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah

terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

Produk.

3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah

bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang

pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan

wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian

dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.

4. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan

permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH.

Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan

dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk

dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi

dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan

Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI

dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang

ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal

berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI

tersebut.

5. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang

mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka

memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-

Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah

melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah

daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,

perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan

komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku

usaha mikro dan kecil.

6. Dalam . . .

Page 130: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 4 -

6. Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH,

BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku

Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal;

pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat

dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal

dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan

lain yang berkaitan dengan JPH.

7. Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran

Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi

pidana.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Huruf a

Yang dimaksud dengan asas “pelindungan” adalah bahwa

dalam menyelenggarakan JPH bertujuan melindungi

masyarakat muslim.

Huruf b

Yang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah bahwa dalam

penyelenggaraan JPH harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga negara.

Huruf c

Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah

bahwa penyelenggaraan JPH bertujuan memberikan

kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang

dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

Huruf d . . .

Page 131: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 5 -

Huruf d

Yang dimaksud dengan asas “akuntabilitas dan

transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir

dari kegiatan penyelenggaraan JPH harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf e

Yang dimaksud dengan asas “efektivitas dan efisiensi” adalah

bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan berorientasi

pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta

meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan

dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau

terjangkau.

Huruf f

Yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah bahwa

penyelenggaraan JPH dilakukan dengan mengutamakan

keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7 . . .

Page 132: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 6 -

Pasal 7

Huruf a

Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain

kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan,

kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi

dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawasan

obat dan makanan.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Pasal 8

Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian

misalnya dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan

industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan

yang digunakan untuk menghasilkan Produk Halal.

Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan

misalnya dalam pembinaan kepada Pelaku Usaha dan

masyarakat, pengawasan Produk Halal yang beredar di pasar,

serta perluasan akses pasar.

Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan

misalnya dalam hal penetapan cara produksi serta cara distribusi

obat, termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan,

perbekalan kesehatan rumah tangga, makanan, dan minuman.

Bentuk . . .

Page 133: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 7 -

Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian

misalnya dalam hal penetapan persyaratan rumah potong

hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas, pedoman

pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan serta

hasil ikutannya, pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit

usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan mutu dan

keamanan pangan hasil pertanian.

Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi

dan akreditasi misalnya dalam hal persyaratan untuk

pemeriksaan, pengujian, auditor, lembaga pemeriksa, dan

lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai dengan standar yang

ditetapkan.

Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi,

usaha mikro, kecil, dan menengah misalnya dalam hal

menyiapkan Pelaku Usaha mikro dan kecil dalam sosialisasi dan

pendampingan sertifikasi kehalalan Produk.

Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan

obat dan makanan misalnya dalam hal pengawasan produk

pangan, obat, dan kosmetik dalam dan luar negeri yang

diregistrasi dan disertifikasi halal.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12 . . .

Page 134: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 8 -

Pasal 12

Ayat (1)

LPH yang didirikan pemerintah antara lain LPH yang

didirikan oleh kementerian dan/atau lembaga atau LPH yang

didirikan oleh perguruan tinggi negeri.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21 . . .

Page 135: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 9 -

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keterangan tidak halal” adalah

pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Produk. Keterangan dapat berupa gambar,

tanda, dan/atau tulisan.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29 . . .

Page 136: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 10 -

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39 . . .

Page 137: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 11 -

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Kriteria “usaha mikro dan kecil” didasarkan pada ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha

mikro dan kecil.

Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Pemerintah

melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah

daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,

perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi,

dan komunitas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 45 . . .

Page 138: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 12 -

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b . . .

Page 139: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 13 -

Huruf b

Pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar

antara lain pengawasan terhadap masa berlaku

Sertifikat Halal, pencantuman Label Halal atau

keterangan tidak halal, serta penyajian antara Produk

Halal dan tidak halal.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61 . . .

Page 140: KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48519/1/ALFIDA... · KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL BERDASARKAN

- 14 -

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5604