Khilafah Plus Dalil

Embed Size (px)

Citation preview

Perkataan-Perkataan Ulama Wajibnya Menegakkan KhilafahOleh: Musthafa A Murtadlo Tarif Imamah dan Khilafah1. Tarif lughawi.

tentang

Imamul lughah Al-Fairus Abadi dalam Qamus Al-muhith menjelaskan sebagai berikut:[1] : : ( : ) ( . )

Secara bahasa Imamah merupakan masdar dari kata kerja amma, (maka) anda menyatakan: ammahum dan amma bihim artinya adalah yang memimpin mereka. Yaitu imamah. Sedangkan imamah adalah setiap yang menjadi pembimbing di dalamnya baik pemimpin maupun yang lain. Imam Ibnu Mandzur berkata:[2] : .. . :

Imam adalah setiap orang yang membimbing suatu kaum baik menuju jalan yang lurus maupun sesat jamanya adalah aimmah. Dan imam itu adalah setiap hal yang meluruskan dan yang mereform dirinya, (maka) Al-quran adalah imam bagi kaum Muslim. Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW adalah imamnya para imam. Khalifah adalah imamnya rakyat. Anda mengimami suatu kaum dalam shalat sebagai imam. Dan (makna) Itamma bihi: memberi contoh di dalamnya. Sedangkan pengarang kitab Tajul Arusy min Jawahir al-Qamus, Al-allamah Muhammad Murtadlo Az-zubaidi menyatakan:[3]( : (97 ) : : : : : ( : : : ( : ) : . . ) ..

Imamah adalah jalan yang lapang. Pengertian tersebut ditafsirkan dari firman-Nya Taala:(97 )

Maksudnya pada jalan yang yuammu. artinya (jalan) yang dituju sehingga bisa dispesifikasikan. (orang) berkata: Khalifah adalah imamnya rakyat. Abu Bakar berkata: (kalau) fulan dikatakan sebagai imam suatu kaum artinya dia orang yang terkemuka dari kaum tersebut. Maka imam itu adalah kepala, sebagaimana pernyataan anda: imamnya kaum muslim. Selanjutnya (dia) berkata: buktinya adalah: imam safar, dan penghalau (unta) adalah imamnya unta meski dia di belakang unta, karena dialah yang mengarahkan unta Dalam Ash-shihhah Al-jauhari berkata[4]:

( ) :

Al-ammu, dengan fathah (maksudnya) adalah tujuan. Maka dikatakan ammahu, wa ammamahu, wa taammamahu apabila tujuannya padanya. Dan seterusnya. Dari semua diskripsi yang disampaikan oleh para Ulama terkemuka di bidang bahasa diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian imam, imamah kurang lebih sama. Sedangkan pengertian khilafah secara bahasa Imam al-Qalqasandi berkata[5]:: , , , : , ( )241 : (

Bahwa sesungguhnya khilafah itu adalah masdar dari khalafa, dikatakan bahwa dia menggantikannya pada kaumnya, (artinya) dia menggantikannya sebagai khilafah. Maka dia itu adalah khalifah. Pengertian yang semacam itu antara lain dalam firman-Nya Taala: Dan Berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah Aku dalam (memimpin) kaumku (TQS Al-araf: 142) Imam Al-hafidz Ibn Jarir Ath-thabari berkata[6]: : . , , , : .. , ,

Sulthanul adzam (penguasa yang agung) disebut khalifah, karena dia menggantikan yang sebelumnya. Dia menempati posisi (yang sebelumnya) dalam memegang pemerintahan. Maka dia itu baginya adalah pengganti. Juga dikatakan: dia menggantikan khalifah, dia menggantikannya sebagai khilafah dan khalifah Al-allamah Ibn Mandzur menjelaskan:[7], . , . . , , . :

Khalifah itu adalah yang menganggantikan orang yang sebelumnya. Jamanya adalah khalaif. Mereka (menghadirkan) jama tersebut pada pokok. Seperti kata kariimah dan karaaim. Dan dia adalah pengganti, jamanya adalah khulafah. Adapun (Imam) Sibawaih menyatakan khalifah dan (jamanya) khulafa. Dari diskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa makna khalifah secara bahasa adalah pengganti orang yang sebelumnya.1. Tarif syarI imamah dan khilafah

Tentang Imamah Imam Al-mawardi Asy-syafiI menyatakan:[8]( . . )

Imamah itu obyeknya adalah khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi Imam Al-haramain berkata:[9]( . . )

Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh. Kepemimpinan yang berkaitan dengan hal umum maupun khusus dalam tugas-tugas agama maupun dunia.

Shahibul mawaqif menyatakan:[10]( . )

Imamah adalah merupakan khilafah Rasul SAW dalam menegakkan agama, dimana seluruh umat wajib mengikutinya. Itulah sebagian penjelasan para Ulama tentang imamah. Pada bagian yang lain pengarang kitab Al-mawaqif menyatakan[11]:

Telah berkata sebagaian golongan dari ashab kami bahwa imamah itu adalah kepemimpinan umum dalam berbagai urusan agama dan dunia. Tentang khilafah, Imam Ar-ramli menyatakan[12]: , ,

Khalifah itu adalah imam yang agung, yang tegak dalam khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta politik yang sifatnya duniawi Syeikh Musthafa Shabri, syeikhul Islam khilafah Ustmaniyyah, menyatakan:[13]

Khilafah itu adalah penganti dari Rasulullah SAW dalam melaksanakan syariat Islam yang datang melalui beliau. Shahibu Maatsiril Inafah fii Maalimil Khilafah menyatakan:

Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya untuk untuk umat secara keseluruhan. Dari paparan para Ulama diatas paling tidak ada dua hal yang bisa simpulkan. Pertama, para Ulama mendivinisikan Imamah dan khilafah dengan berbagai devinisi, serta dengan ungkapan yang berbeda antara satu dengan yang lain namun dari sisi maksud kurang lebih sama. Kedua, ketika mereka mendiskripsikan imamah dan khilafah mereka menunjuk pada obyek yang sama, atau dengan kata lain khilafah dan imamah al-udzma adalah sama. Hal yang sama dikemukakan oleh Syeikh Mahmud A majid Al-khalidiy, dalam tesis doktornya yang berjudul Qawaidu Nidzamil Hukmi fii Al-islam. Beliau menegaskan bahwa Imam dan khalifah itu menunjuk pada obyek sama. Bahkan setelah mengkaji dan selanjutnya merangkum pendapat para ulama tentang imamah dan khilafah ini Dr Mahmud A Majid mengemukakan devinisi tentang imamah atau khilafah yang lebih konprehensif. Beliau menegaskan bahwa tarif khilafah adalah[14]: ,

Kepemimpinan yang sifatnya bagi kaum Muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara yang Islami serta mengemban dakwah islam ke suluruh dunia.1. At-taraaduf antara lafadz Imam, Khalifah dan Amirul Mukminin.

Dr Abdullah bin Umar Ad-dumaiji dalam tesis masternya di Univ Ummul Qura yang berjudul Imamatul Udzma inda Ahlis Sunnah wal Jamaah menyatakan:[15] Bagi mereka

yang malakukan eksplorasi secara seksama terhadap hadits-hadits tentang khilafah dan imamah akan mendapatkan fakta bahwa Rasulullah SAW, dan para shahabat, serta para Tabiin, yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut, tidak membeda-bedakan lafadz khalifah dan imam. Bahkan setelah pengangkatan Sayidina Umar Ibn Al-khattab RA sebagai khalifah para shahabat malah menambahkan panggilan pada beliau dengan amirul Mukminin. Karena itulah para Ulama menjadikan kata Imam dan Khalifah sebagai kata yang sinonim yang menunjuk pada pengertian yang sama. Misalnya Imam Al-hafidz An-nawawi. Beliau menyatakan:[16]( ) :

(untuk) imam Boleh disebut khalifah, imam atau amirul Mukminin. Al-allamah Aburrahman Ibnu Khaldun berkata:[17] . )

Dan ketika telah menjadi jelas bagi kita penjelasan ini, bahwa imam itu adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta politik duniawi di dalamnya disebut khilafah dan imamah. Sedangkan yang menempatinya adalah khalifah atau imam. Sedangkan Ibnu Mandzur mendifiniskan bahwa Khilafah itu adalah Imarah[18] Hal yang sama dikemukakan oleh Syeikh Muhammad Najib Al-muthiI dalam takmilahnya terhadap kitab Al-majmu karya Imam An-nawawi. Beliau menegaskan:( )

Imamah, khilafah dan imaratul mukminin itu sinonim Syeikh Muhammad abu Zahrah menegaskan:[19]( : )

Madzhab-madzahab politik secara keseluruhan (selalu) seputar khilafah. Khilafah adalah imamah al-kubra (imamah yang agung). Disebut khilafah karena yang memegang dan yang menjadi penguasa yang agung atas kaum Muslim menggantikan Nabi SAW dalam mengatur urusan mereka. Disebut imamah karena khalifah itu disebut Imam. Karena taat padanya adalah wajib. Karena manusia berjalan di belakang imam tersebut layaknya mereka shalat dibelakang yang menjadi imam shalat mereka. Hukum Nashbul Imam Al-adzam atau Khalifah adalah Fardhu Kifayah Pada point ini kami kompilasikan sebagian maqalah para ulama Mutabar dari berbagai madzhab, terutama madzhab SyafiI yang merupakan madzhab kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia, tentang wajibnya imamah atau khilafah. Tentu pernyataan mereka tersebut adalah merupakan hasil istimbath mereka dari dalil-dalil syara, baik apakah mereka menjelaskan hal tersebut maupun tidak. Syeikh Al-Islam Al-imam Al-hafidz Abu Zakaria An-nawawi berkata[20]:

.

pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan metode (mewujudkan) nya. Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) imamah itu adalah fardhu kifayah. Penulis kitab Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj menyatakan[21]:( . )

(Pasal ) tentang syarat-syarat imam yang agung (khalifah) serta penjelasan metodemetode (pengangkatan) imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata[22]:( ( ) ) ) ( ) (

(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode iniqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk peradilan). Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat dan bisa bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy) berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An NasaI: "bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy". Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar (berani) berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat (pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk (sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari keberanian Ketika Imam Fakhruddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafii, menjelaskan firmanNya Taala pada Surah Al-maidah ayat 38, beliau menegaskan[23]:

para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Taala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qathinya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafii berkata[24]: } { .

umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab ("maka jilidlah") adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula. Al-allamah Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani menyatakan[25]: ) ( :

perkataannya: (mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena adalah merupakan keharusan bagi umat adanya imam untuk menegakkan agama dan menolong sunnah serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya Al-allamah Asy-syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bajairimi berkata[26]:: . { }

tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode sahnya iniqad imamah. Dan mewujudkan imamah tersebut adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Maka disyaratkan untuk imam itu hendaknya layak untuk peradilan (menjadi hakim). (syarat) Quraisy, karena berdasarkan hadits: "bahwa para imam itu adalah dari Quraisy". (syarat) Berani, agar berani berperang secara langsung. Begitu pula (dengan syarat) bebasnya dari kekurangan yang menghalangi kesempurnaan dan kegesitan gerakan dia sebagaimana masuknya keberanian sebagai salah satu syarat imamah Dalam kitab Hasyiyyah Al-bajairimi alal Minhaj dinyatakan[27]:

( )

(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung dan penjelasan metode-metode iniqad imamah. Dan (adanya) imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri mendokumentasikan ijma Ulama bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu[28]:

Meraka (para ulama) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An-najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (para ulama) sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat Berkata Imam Alauddin Al-kasani Al-hanafi[29]:

dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikanperbedaan dengan sebagian Qadariyyahkarena ijma shahabat ra atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelematkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatankemaslahatn yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam Imam Al-hafidz Abul Fida Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30 beliau berkata[30]: .

dan sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang mengdzalimi, menegakkan had-had, dan menganyahkan kerusakan dsb. yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak memungkinkan untuk menagakkan hal tersebut kecuali dengan imam, dan ( apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula). Imam Al-qurthubi ketika menafsirkan Surah Al-baqarah ayat 30 berkata[31]:

. : : . , ,

ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukumhukum tentang khalifah. Tidak ada perbadaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham Selanjutnya Beliau berkata: Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib. Kemudian beliau menegaskan: Dengan demikian maka (telah) menjadi ketetapan bahwa imamah itu wajib berdasarkan syara bukan akal. Dan ini jelas sekali. Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Taala surah Al-baqarah ayat 30 berkata[32]: : : :

dan berkata Ibn Al-khatib khalifah itu isim yang cocok baik untuk tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk laki-laki dan wanita. Kemudian beliau berkata: .ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti dia Berkata Imam Abu al-hasan Al-mirdawi Al-hambali dalam kitab Al-inshaf[33]: . : . : : .

bab memerangi orang yang Bughat, terdapat dua faedah. Pertama, mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Dia berkata di dalam al-furu: fardhu kifayahlah yang paling tepat. Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata[34]:( ) ( )

(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar maruf dan nahi munkar. Sedangkan dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan[35]:

( ) : . : : : .

(dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsitensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar. Berkata shahibu Al-husun Al-hamidiyyah, Syeikh Sayyid Husain Afandi[36]:

"ketahuilah bahwa mengangkat Imam yang yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan pasukan, secara syari adalah wajib". Khulashatul qaul, dapat kita simpulkan bahwa para Ulama Mutabar dari berbagai madzhab menegaskan bahwa hukum nasbu al-Imam atau al-Khalifah adalah wajib. Kifayah atau ain? Adalah Imam al-Hafidz an-Nawawi, antara lain, yang menjelaskan bahwa kwajiban tersebut masuk kategori fardhu kifayah. Pelaksaan Fardhu Kifayah. Adalah suatu hal yang malumun minad din bidz-dzarurah bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ain. Sebagai kwajiban sebenarnya fardhu kifayah maupun fardhu ain sama, sama-sama fardhu, meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin alAmidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam menegaskan[37]:

" masalah yang ke dua. Tidak ada perbedaan (menurut ashab kita) antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kwajiban. Karena inklusinya batas kwajiban untuk keduanya". Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah Imam Asy-syirazi, dalam kitab Alluma fii Ushul Al-fiqh, menjelaskan[38]:

" Fashal. Apabila terdapat khitab dengan lafadz umum maka masuk di dalamnya siapa saja yang kitab tersebut visible baginya dan perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali atas apabila syara datang di dalamnya, dan Allah menetapkan bahwa khitab tersebut adalah fardhu kifayah. Seperti jihad, mengkafani jenazah, menshalatkan dan menguburkannya. Maka apabila kwajiban tersebut telah selesai ditunaikan (disini Imam sy-Syirazi menggunakan kata "aqaama", bukan "qaama"; dalam bahasa arab kata "aqaama" artinya adalah "jaalahu yaqumu"[39]) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kwajiban) tersebut atas yang lain ". Artinya, menurut Imam Asy-syirazi, apabila fardhu kifayah belum selesai ditunaikan maka kwajiban tersebut masih tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek khitab taklif. Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu Syarh Al-muhadz-dzab menjelaskan[40]:

" dan memandikan jenazah itu adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma kaum Muslimin. Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada dirinya ada kifayah (kecukupan untuk melaksanakan kwajiban tsb) telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun apabila mereka semua meninggalkan kwajiban tersebut, mereka semua berdosa. Ketahuilah bahwa memandikan mayyit, mengkafaninya, menshalatinya serta menguburkannya adalah fardhu kifayah, tidak ada perbedaan pendapat (dalam hal ini)". Disini Imam An-nawawi menegaskan, apabila fardhu tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki "kifayah" maka beban (kwajiban) tersebut gugur atas yang lain. Tapi, jika semua meninggalkan kwajiban tersebut, semuanya berdosa. Al-allamah Asy-syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-malibari menegaskan[41]:: ) ( . . .

"Bab Jihad. (jihad itu adalah fardhu kifayah setiap tahun) meski satu kali, apabila orangorang kafir berada di negeri mereka, dan menjadi fardhu ain apabila mereka (menyerang) masuk di negeri kita, sebagaimana yang akan datang (pembaha-sannya); dan hukum fardhu kifayah itu adalah apabila fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki "kifayah" maka akan gugurlah beban atas orang tersebut dan juga bagi yang lain. Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka tidak tahu" Disini Shahibu Fathil Muin menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Imam Annawawi. Beliau menambahkan catatan bahwa kaum Muslimin yang tidak ada udzur, tapi meninggalkan kwajiban tersebut berdosa. Masih tentang fardhu kifayah, Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-zain menjelaskan hal yang senada dengan yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Namun beliau menambahkan bahwa yang melaksanakan kwajiban tersebut bisa jadi bukan orang yang terkena kwajiban. Beliau berkata[42]:

"Kitab Jihad. Maksudnya adalah (jihad) di jalan Allah. Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara. Dengan masuknya Imam atau wakilnya ke negeri mereka (orang-orang kafir) dengan tentara untuk memerangi mereka atau dengan memanaskan (situasi) perbatasan atau sudut-sudut (wilayah) negeri kita orang-orang yang kapabel untuk mereka, jika seandainya mereka, orang-orang kafir tersebut, bermaksud (menyerang) kita dengan adanya benteng atau parit dan dibawah kendali para pemimpin yang

tidak diragukan, yang masyhur dengan keberanian dan nasehatnya atas kaum Muslimin. Hukum jihad itu fardhu kifayah, karena apabila siapa saja yang memiliki kafaah mengerjakannya meski bukan yang termasuk yang diwajibkan seperti anak kecil, para wanita atau bahkan sukarelawan maka gugurlah beban (kwajiban) tersebut dari yang diwajibkan. Sedangkan yang lain mendapat rukhshah serta keringanan. Fardhu ain itu lebih utama dibanding fardhu kifayah, sebagaimana yang dinyatakan oleh (Imam) Ar-ramli. Fardhu kifayah itu banyak " Alhasil, jika kita rangkum penjelasan para ulama diatas, fardhu kifayah itu meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan layaknya fardhu ain tapi kwajiban tersebut harus dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki "kifayah". Itu pertama. Kedua, kwajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna ditunaikan. Contoh kwajiban merawat jenazah seorang Muslim yang dibebankan pada suatu komunitas. Kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Ketiga, bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan oleh yang tidak diwajibkan. Nashbul khalifah, berdasarkan ibarah para ulama diatas, adalah fardhu kifayah. Selama kwajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka kwajiban tersebut, tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslimin, dan meninggalkan kwajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa. Kasatuan Imamah dan Khilafah Di dalam kitab Shahih Muslim bisyarhin Nawawi, ketika Imam Al-hafidz An-nawawi menjelaskan hadits dari Abu Hurairah ra[43]:

Beliau menjelaskan bahwa pengertian "tasusuhum al-anbiyaa" dengan: Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat (nya)[44]. Selanjutnya Imam An-wawawi menegaskan[45]: :

"Makna hadits ini adalah apabila terjadi baiah untuk seorang khalifah setelah (sebelumnya dibaiah) khalifah, maka baiah yang pertamalah yang benar, dan wajib mencukupkan diri dengan baiah untuk yang pertama tersebut. Sedangkan baiah yang kedua adalah bathil dan haram mencukupkan diri dengan baiah tersebut. Dan haram atas yang kedua menuntut baiah, baik apakah dia tahu ataupun tidak terhadap baiah yang pertama. Baik mereka berdua ada di dua negeri atau di satu negeri, atau salah satu dari keduanya berada di negerinya yang (posisinya) terpisah sedangkan yang lain di luar negerinya. Inilah yang benar dimana shahabat-shahabat kita di dalamnya, begitupula Jamahir Al-ulama" Imam Abu Hayyan Al-andalusi berkata[46]:

: . . : .

Kami nyatakan, dimana para ahli hadits dan sunnah juga berpendapat yang sama, bahwa mengangkat seorang imam itu fardhu, berbeda dengan Khawarij. Yaitu shahabat-shahabat Najdah Al-hururi. Mereka mengklaim bahwa imamah itu bukanlah suatu kewajiban, meski adalah kwajiban bagi manusia untuk menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan untuk menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tersebut tidak membutuhkan imam. Sedangkan menurut firqah Ibadhiyyah mengklaim bahwa imamah itu adalah sunnah. Landasan kewajiban (adanya) imam adalah syara, bukan akal. Ini berbeda dengan Rafidhah. Mereka berpendapat bahwa wajibnya imamah itu berdasarkan akal Selanjutnya beliau, Imam Abu Hayyan Al-andalusi, menyatakan: bahwa tidak (boleh) diangkat dua imam pada masa yang sama, ini berbeda dengan Karamiyyah. Mereka membolehkan hal tersebut Allah SWT tidak akan Mentaklifkan sesuatu Melebihi Isthithaah Hamba-Nya Setelah kita simpulkan bahwa nashbul khalifah adalah fardhu kifayah atas kaum Muslimin, pembahasan berikutnya adalah isthithaah. Adalah suatu yang maruf bahwa isthithaah kaum Muslimin itu berbeda satu dengan yang lain; pemahaman, tenaga maupun harta. Keberagaman ini kadang kala dijadikan hujjah oleh sebagian kaum Muslimin untuk menyatakan bahwa kaum Muslimin sekarang ini tidak mampu melaksanakan kwajiban tersebut. Benarkah? Pengertian isthithaah (kemampuan). Allah Tabaraka wa Taala ber-firman:)682: (

Imam al-Hafidz Abu Al-fida Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adzim menjelaskan[47]: " "

" dan firman-Nya " " adalah bahwa tidak dibebankan pada seseorang melebihi kemampuannya". Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya, al-Jami li Ahkam al-Quran, men-jelaskan secara panjang lebar sebagai berikut[48]: . : . ; . ; .

"Taklif itu adalah perintah untuk hal-hal yang memberatkan padanya dan (ungkapan) suatu perintah itu membebani artinya bahwa perkara tersebut telah membebaninya. Itulah yang dikemukakan oleh al-Jauhari. Sedangkan al-wusu adalah kemampuan dan kesungguhan. Ini adalah informasi yang sifatnya pasti. Allah Taala menegaskan bahwa Allah tidak mentaklifkan hamba sejak turunnya ayat tersebut dengan ibadah baik yang merupakan aktifitas hati atau anggota tubuh kecuali dalam batas kemampuan seorang mukallaf dan dalam lingkup pengetahuan serta niatnya. Dengan ayat ini terangkatlah kesusahan atas kaum Muslimin dalam menjelaskan hal-hal yang membahayakan".

Imam al-Baidhawi, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan[49]:{ " } } { :

Kecuali apa yang dalam cakupan kemampuannya, sebagai bentuk keutamaan dan merupakan rahmat (Allah), atau dengan pengertian lain apa yang tidak melebihi jangkauan kemampuannya, dalam arti bahwa taklif tersebut dalam lingkup kemampuan manusia serta memudahkannya, sebagaimana firman Allah:

Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa taklif itu tidak jatuh pada hal yang mustahil (dilakukan) " Dalam tafsir Lubab At-tawil fi Maani At-tanzil yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Khazin dinukil riwayat jawaban Imam Sufyan ibn Uyainah ketika ditanya pengertian ayat diatas. Beliau berkata[50]: : .

"beliau berkata kecuali Allah akan memudahkannya dan Allah tidak mentaklifkannya melebihi kemampuannya dan ini adalah ungkapan yang bagus. Karena (kata) al-wusu itu adalah apa yang tidak melebihi kemampuan". "(Selanjutnya Imam Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Umar Asy-syaihi yang lebih dikenal dengan Al-khazin menjelaskan), juga dikatakan bahwa pengertian: adalah bahwa sesungguhnya Allah Taala tidak mentaklifkan pada manusia kecuali dalam batas kemampuannya, maka Allah tidak memerintahkan manusia untuk beribadah dengan hal-hal yang di luar kemampuannya" Para mufassir terkemuka diatas telah memaparkan secara gamblang pengertian Surah Albaqarah ayat 286. Benar, bahwa Allah telah menegaskan bi nash ash-sharih bahwa Dia tidak akan mentaklifkan pada hamba-Nya perkara yang diluar kemampuannya. Bahkan pada Surah at-Taghabun ayat 16, Allah SWT memerintahkan kita untuk bertaqwa sesuai dengan isthithaah kita. Allah berfirman:)61 : (

Al-hafidz Ibnu Katsir menjelaskan[51]: " " " : : "

" Dan firman-Nya Taala: " " maksudnya adalah dengan kesungguhan dan kemampuan kalian, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dua kitab shahih dari Abi Hurairah RA. Dia berkata: bahwa Rasulullah SAW: " apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka tunaikan berdasarkan kemampuan kalian, sedangkan perkara yang aku larang untuk kalian maka jauhilah ".

Inilah yang ditegaskan Allah SWT atas kita, Allah tidak mentaklifkan pada kita suatu perkara yang diluar batas kemampuan kita. Pertanyaannya adalah, apakah nashbul khalifah litathbiqi syariatillah merupakan kwajiban yang diluar batas ke-mampuan kita? Memang, kalau kwajiban tersebut hanya dilaksanakan oleh individu-individu kaum Muslimin, tentu akan melampaui batas kemampuan mareka. Tapi bukankah kwajiban nasbu al-khalifah tersebut adalah fardhu kifayah? kwajiban yang dibebankan terhadap kita kaum Muslimin secara umum? Artinya, selama kwajiban tersebut belum tertunaikan maka kwajiban nashbul khalifah tetap dibebankan diatas pundak kita, Seluruh kaum Muslimin. Jadi nashbul khalifah adalah kwajiban kita. Tidak sungguh-sungguh untuk nashbul khalifah, tanpa udzur syari, secara syari terkategorikan sebagai penelantaran kwajiban yang dibebankan Allah atas kita. Apatah lagi diam, menghambat atau bahkan melawan perjuangan tersebut. Khulashatul qaul kwajiban nashbul khalifah adalah fardhu atas seluruh kaum Muslimin, dan yang mengabaikan hal tersebut tanpa udzur syari berdosa. Wallahu alam bi ash-shawab wa huwa al- mustaan wa ailihi al-ittikal.

[1] Al-fairuz Abadi, Al-qamusul Muhith, juz IV hal 78 [2] Imam Ibn Mandzur, Jamaluddin Muhammad bin Makram, Lisan Al-arab, juz XII hal 24 [3] Muhammad Murtadlo Az-zubaidi, Tajul Arus min Jawahir Al-qamus, Juz VIII hal 193 [4]Imam Ismail bin Hamad Al-jauhari, Taj Al-lughah wa Shihah Al-arabiyyah, Juz 5 hal 1865 [5] Imam Al-qalqasandi, Maatsirul Inafah fii Maalim al-Khilafah, juz I hal 8 [6] Imam Al-hafidz Ibnu Jarir Ath-thabari, Jamiul Bayan fii Tawilil Quran, juz I hal 199 [7] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, point khalafa, juz I hal 882-883 [8] Imam Al-mawardi, Ali bin Muhammad, Al-ahkam As-sulthaniyyah, hal 5 [9] Imam Al-haramain, Abul Maali Al-juwaini, Ghiyatsul Umam fil Tiyatsi Adz-dzulam hal 15 [10] Idhuddin Abdurrahman bin Ahmad Al-aiji, Al-mawaqif, juz III hal 574 [11] Idem, Juz III hal 578 [12]Imam Ar-ramli, Muhammad bin Ahmad bin hamzah, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj fil Fiqhi ala Madzhab Al-imam Asy-syafii, Juz 7 hal 289 [13] Asy-syeikh Musthafa Shabri, Mauqiful Aqli, wal Ilmi wal Alam, juz IV hal 262 [14] Prof Dr Mahmud A Majid Al-khalidi, Qawaid Nidzam Al-hukm fii Al-Islam, hal 225-230 [15]Dr Abdullah bin Umar Ad-dumaiji, Imamatul Udzma inda Ahlissunnah wal Jamaah, hal 32 [16] Syeikhul Islam Al-imam Al-hafidz Yahya bin Syaraf An-nawawi, Raudhah Ath-thalibin wa Umdah Al-muftin, juz X hal 49; Syeikh Khatib Asy-syarbini, Mughnil Muhtaj, Juz IV hal 132 [17] Abdurrahman Ibn Khaldun, Al-muqaddimah, hal 190 [18] Ibn Mandzur, Lisanul Arab, Juz IX hal 83 [19] Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-madzahib Al-islamiyyah, juz I hal 21 [20] Imam Al-hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Raudhatuth Thalibin wa Umdatul Muftin, juz III hal 433). [21]Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj, juz 34 hal 159 [22] Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268 [23] Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, juz 6 hal. 57 dan 233

[24]Imam Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-syafiI Annaisaburi, Tafsir An-naisaburi, juz 5 hal 465 [25] Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani, Hawasyi Asy-syarwani, juz 9 hal 74 [26] Syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi, Hasyiyah Al-bajayrimi ala Alkhatib, juz 12 hal 393 [27] Hasyiyyah Al-bajayrimi ala Al-minhaj, juz 15 hal 66 [28] Imam Al-hafidz Abu Muhammad, Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri, Maratibul Ijma , juz 1 hal 124 [29] Imam Alauddin Al-Kassani Al-hanafi, Badaiush Shanai fii Tartibis Syarai, juz 14 hal. 406 [30] Imam al-Hafidz Abu Al-fida Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Quranil Adzim, juz 1 hal 221). [31]Al-imam Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah Al-qurthubi, Al-jami li Ahkamil Quran, juz 1 hal 264-265 [32] Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, Tafsirul Lubab fii Ulumil Kitab, juz 1 hal 204 [33] Imam Abul Hasan Ali bin Sulaiman Al-mardawi Al-hambali, Al-inshaf fii Marifatir Rajih minal Khilaf ala Madzhabil Imam Ahmad bin Hambal, juz 16 hal. 60 dan 459 [34] Imam Mansur bin Yunus bin Idris Al-bahuti Al-hanafi, Kasyful Qina an Matnil Iqna, juz 21 hal. 61 [35]Al-allamah Asy-syeikh Musthafa bin Saad bin Abduh As-suyuthi Ad-dimasyqi Alhambali, Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha, juz 18 hal. 381 [36] Sayyid Husain Afandi, Al-husun Al-hamidiyyah, li Al-muhafadzah ala Al-aqaid Alislamiyyah, hal 189. [37]Imam Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Juz I hal 100 [38] Imam Asy-syirazi, Al-luma fii Ushul Al-fiqh hal 82, [39] Lihat Qamusul Maurid, bagian huruf "qaf" [40] Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, Al-majmu Syarh Al-muhadz-dzab Juz V Hal 128, [41] Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Muin, Juz IV hal 206 [42] Syeikh Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi al-Bantani al-Jawi, Nihayah Az-zain, hal 359 [43] Lihat Amirul Mukmukmin fii Al-hadits, Imam Muslim bin Al-hajjaj An-naisaburi, Shahih Muslim, juz IX hal 378 hadits nomor 3429 [44] Imam Al-hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Syarah Annanawi ala Shahihil Muslim, juz VI hal 316 syarah hadits nomor 3420 [45] Idem [46] Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan Al-andalusi, Tafsirul Bahril Muhith, juz 1 hal 496 [47] Imam al-Hafidz Abu Al-fida Ismail Ibnu Katsir,Tafsir al-Quran al-Adzim, Juz I hal 737 [48] Imam al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran Juz III hal 429 [49] Al-Imam Nashiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Tawil, Juz I hal 316 [50] Imam Al-khazin, Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Umar, Asy-syaihi, Lubab at-Tawil fi Maani at-Tanzil, Juz I hal 330 [51] Imam al-Hafidz Abu Al-fida Ismail Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adzim, Juz II hal 87

Kekhilafahan Hanya 30 Tahun ?

Sebagian kelompok cendekiawan menggunakan beberapa hadits sebagai dalil bahwa keberadaan daulah Khilafah tidak berlangsung lama, yaitu hanya berlangsung sampai pada masa Khalifah ar-Rasyidun saja. Menurut mereka, setelah 30 tahun, kekhilafahan berubah menjadi sistem kerajaan-kekaisaran. Oleh sebab itu tidak ada gunanya memperjuangkan tegaknya khilafah, bahkan upaya tersebut mereka anggap hal yang bertentangan dengan hadits-hadits ini. Benarkah hadits-hadits tersebut bermakna demikian? Tulisan ini berupaya mengupas hadits-hadits tersebut, membandingkan dengan hadits-hadits lain dan merujuk pendapat para pakar hadits yang sudah mutabar. Sebelumnya saya kutip (copy paste arabnya) dari maktabah syamilah v. 3.24, penjelasan haditsnya juga saya telusuri dan ambil dari maktabah syamilah. Hadits 1. HR. Ibnu Hibban dari Safnah, dan Ibnu Hibban mensahihkannya:

Kekhilafahan itu (akan berlangsung selama) 30 tahun, (setelah itu) semuanya adalah para raja, dan (banyaknya) para khalifah dan para raja adalah 12 orang Hadits 2. HR. Ibnu Hibban jilid 15 hal. 392 No. 6943 (Muassasah Ar Risalah Beirut) dengan sanad hasan, juga diriwayatkan Al Bazzar, Thabrani dalam Mujm al Kabr, & Abu Dawud.

Masa kekhilafahan (yang ada pada umat) sepeninggalku adalah 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan Hadits 3. HR. Muslim No. 1821, Dr Ihy At Turts Al Arabiy, dari Jabir bin Samurah:

Sesungguhnya urusan (kekhilafahan) ini tidak akan musnah sampai berlalu atas mereka 12 khalifah. Hadits 4. HR. Ibnu Hibban, dari Jabir bin Samurah:

Akan ada setelahku 12 orang khalifah, semuanya dari (suku) quraisy. Hadits 5. HR. Ibnu Hibban, dari Jabir bin Samurah:

Tidak henti-hentinya Islam dalam keadaan kuat sampai (berlalu) 12 orang khalifah (diriwayatkan juga oleh Thabrani, Ahmad, Muslim, Lihat Jmiul Kabr karya As Suyuthi) Hadits 6. HR. Ibnu Hibban, Al Baihaqi, Ibnu Asakir, Abu Yala, dari Abu Hurairah, beliau SAW bersabda:

Akan ada setelahku para Khalifah yang mengamalkan apa yang mereka ketahui dan mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Setelah masa itu akan ada para Khalifah yang mengamalkan apa yang tidak mereka ketahui dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka akan terbebas (dari dosa), dan siapa saja yang menahan dirinya dia akan selamat, tetapi siapa saja yang ridha dan mengikuti mereka (dia akan celaka) (Al-Haitsami menyatakan bahwa perowinya perowi shahih, sedang Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik dia tsiqot /terpercaya). Hadits 7. Hadits tentang akhir zaman, diriwayatkan Ibnu Majah Bab Khurju Al Mahdi & Al Hakim dalam Kitbu Al Fitan wa Al Malhim, dari Tsauban r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putera khalifah. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lantas mereka memerangi kamu dengan suatu peperangan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu. " Kemudian beliau Saw menyebutkan sesuatu yang aku tidak hafal (yakni dalam jalan periwayatan yang lain yang dikeluarkan al hasan bin sufyan dalam musnadnyalihat syarah), lalu bersabda: "Maka jika kamu melihatnya, berbaiatlah walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah Al-Mahdi" (Al Hakim berkata, "Ini adalah hadits shahih menurut syarat Syaikhain (Bukhari Muslim)" Perkataan Al Hakim ini juga disetujui oleh adz-Dzahabi). Penjelasan Hadits Kalau hanya difahami secara harfiah dari hadits-hadist tersebut: Hadits 1 & 2: Kekhilafahan itu (hanya akan berlangsung selama) 30 tahun saja setalah itu semuanya adalah para raja, ujung hadits ini yang menyatakan: (banyaknya) para khalifah dan para raja adalah 12 orang yang berarti para khalifah dan para raja sepeninggal beliau SAW hanya 12 orang saja. Sedangkan faktanya khalifah dan raja setelah beliau SAW wafat ada ratusan orang. Hadits 3, 4, dan 5 yang menyebut ada 12 orang khalifah setelah beliau juga bertentangan dengan hadits bahwa khalifah hanya 30 tahun, karena selama 30 tahun hanya ada 4 orang khalifah, jadi selebihnya tidak bisa disebut khalifah kalau mau memakai hadits 1 dan 2. Sedangkan kalau mau menyebut yang 12 orang tersebut adalah khalifah, sedangkan 12 orang khalifah tersebut masa kekuasaannya sekitar 100 tahun, maka hadits 1 & 2 juga tidak bisa di pakai.

Karena banyak pertentangan hadits ini, sedangkan Rasul SAW perkataannya adalah haq (benar) dan beliau tidak berbicara menurut hawa nafsu, maka kita tidak bisa mengambil pemahaman dari sepotong hadits saja, kemudian membuang yang lain, melainkan haruslah hadits tersebut dipahami dalam konteks maknanya masing-masing. Hadits 6 dan 7 (dan beberapa hadits lagi yang tidak di tulis disini) menjelaskan apa yang dimaksud kata khalifah dalam hadits 1 sampai 5. Berkaitan dengan hadits 2, Al-Hafidz Ibnu Hajar, (wafat 852H) dalam Fathul Bri, 12/392 menyatakan:.

karena sesungguhnya yang dimaksud kata khilafah (dalam hadis ini pent) adalah Khilafah Nubuwwah, adapun Muawiyah dan orang-orang setelahnya sebagian besar mereka menggunakan metode kerajaan, sekalipun demikian mereka tetap disebut Khalifah. Ini juga penjelasan Imam Nawawi (wafat 676 H), dalam Syarh Sahih Muslim, 12/201 yang mengutip pendapat Qadli Iyadh. Oleh karena itu hadist 1 dan 2 tidak bertentangan dengan hadits 3 dan 4 yang menyatakan khalifah adalah 12 orang dan yang dimaksud dengan 12 orang ini yang dijelaskan dalam hadits 5, yakni saat ke 12 orang khalifah inilah umat senantiasa dalam kondisi kuat, yakni Tidak henti-hentinya Islam dalam keadaan kuat sampai (berlalu) 12 orang khalifah. Sedangkan saat khalifah setelah ke 12 khalifah ini (sampai Umar bin Abdul Aziz) maka ada pasang surut kekuatan umat Islam. Disisi lain, hadits yang menyatakan 12 orang khalifah juga tidak bisa dijadikan dalil bahwa khalifah hanya 12 saja (masih penjelasan al Qadli dalam Syarh sahih Muslim[1]), sebagaimana yang difahami syiah itsna asyariyah. Kalau saya bilang saya lulusan SD bukan berarti bahwa saya hanya lulus SD saja. Oleh sebab itu keberadaan khalifah setelah 30 tahun dan setelah 12 khalifah tidak bertentangan dengan hadits 1 s/d 5 dan hadits yang semakna dengan ini. Para Ahli sejarah juga menyatakan bahwa dari kalangan bani Umayyah, bani Abbasiyah, dan bani Utsmaniyah, diantara mereka ada juga yang menjalankan kekhilafahan sebagaimana Khilafah Nubuwwah, seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar 99 Hijriyah. Demikian juga terdapat seorang Khalifah yang mendekati Khilafah Nubuwwah dalam menjalankan kekhilafahannya, yaitu Adh-Dhahir Bi Amrillah yang dibaiat tahun 622 Hijriyah. Dalam hal ini Ibnu Atsir mengatakan: Ketika Adh-Dhahir bi Amrillah memerintah nampak sekali dalam kekhilafahannya keadilan dan kebaikannya, seolah-olah keadaan itu kembali pada masa dua Umar. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada khalifah yang menyamai Umar bin Abdul Aziz setelahnya selain Adh-Dhahir, dimana dia selalu berkata benar dan jujur. Demikian juga para Khalifah yang lain setelahnya hingga pada masa-masa kemundurannya, mereka tidak mengunakan sistem kerajaan atau sistem lain yang telah dikenal didunia, walaupun harus diakui sebagai manusia mereka juga punya kelemahan disana sini. Bahkan sistem kekhilafahan ini, merupakan sistem pemersatu yang agung sepanjang masa dan sistem ini terus diterapkan pada masa mereka, yaitu mulai masa para Kholifah Ar-Rasyidun sampai pada masa Khalifah Abdul Hamid II di Turki pada tahun 1924. Hadits 6 menjelaskan bahwa khalifah bisa banyak, ada yang baik ada juga yang menyimpang karena mereka juga manusia, dan pada hadits ini diperintahkan untuk mengingkari penyimpangan itu, namun hadits ini tetap menyebut mereka sebagai kholifah. Hadits 7 lebih jelas menunjukkan bahwa nanti akan tegak khilafah kembali, kembalinya Imam mahdi adalah saat khilafah sudah tegak, dan Imam mahdi adalah khalifah pengganti dari khalifah sebelumnya. Rasul SAW juga bersabda: "Kenabian akan ada pada diri kalian sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan

yang dikehendaki-Nya, kemudian masa otoriter akan ada kekhilafahan yang sesuai dengan manhaj kenabian sesuai dengan yang dikehendakiNya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada pemerintahan Mulkan Adhan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada pemerintahan otoriter sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada kekhilafahan yang sesuai dengan Manhaj Kenabian. (HR. Imam Ahmad no. 17.680\ Musnad Kufiyin, hadis Marfu dalam Kitab Musnadnya). Dan ditambahkan lafadznya oleh Al-Bazzar rahimahullah . Dimana Institusi ini akan menerapkan Sunnah kepada Umat manusia. Maka penghuni langit dan bumipun meridhoinya. Hingga tidak ada bagian dari langitpun yang tersisa selain diturunkan kepadanya. Dimana kenikmatan dan juga tanaman di bumi pun tidak tersisa kecuali dikeluarkan untuknya. Dan tatkala hadis ini disampaikan oleh Ibn Numan (yaitu salah seorang perawi hadis ini) kepada Umar bin Abdul Aziz ra. maka Umar-pun tajub terhadapnya (yaitu hadis yang disampaikan oleh Ibn Numan) (HR. Al-Bazzar jilid 7\hal. 224 dalam kitab musnad Al-Bazzar). Khatimah Dari rangkaian penjelasan diatas jelaslah bahwa terlalu gegabah kalau hanya melihat satu atau dua hadits lantas menyatakan bahwa khilafah hanya 30 tahun, pernyataan ini merupakan pengingkaran terhadap hadits Rasulullah yang lain, padahal antar hadits tersebut membawa pengertiannya masing-masing, dimana konteks yang satu berbeda dengan yang lain. Disisi lain Islam menyatakan bahwa khalifah bukanlah representasi (wakil) Tuhan sebagaimana ajaran teokrasi, namun khalifah disini adalah khalifatur rasul (pengganti rasul) dalam masalah kekuasaan, bukan dalam masalah kenabian, sehingga khalifah bisa juga keliru, salah, atau lalai. Disinilah Islam mewajibkan umat untuk mengontrol khalifah dalam menjalankan tugasnya. Allahu Alam [M. Taufik NT]

[1] .

Khilafah & Masa Depan DuniaOleh: Muhammad Taufik N.T (Insya Allah disampaikan pada Liqa Syawwal, 18 Syawwal 1431 H/26 September 2010, dengan tema : Menjadi Khairu Ummah dengan Menegakkan Khilafah) *** "Until a few years ago, most Islamist groups considered the notion of establishing a new Caliphate a utopian goal. Now, an increasing number of people consider it a serious objective" "Hingga beberapa tahun yang lalu, sebagian besar kelompok Islam menganggap upaya penegakan Khilafah yang baru adalah tujuan yang utopis. Sekarang, semakin bertambah orang yang mempertimbangkan pendirian kembali Khilafah sebagai tujuan yang serius" (Zayno Baran, direktur the International Security and Energy Programs Nixon Center) dipublikasikan Foreign Affair November/Desember 2005. *** 1. Roda Sejarah Senantiasa Berputar Kejayaan suatu kaum, tidak peduli betapa pun tingginya kejayaan tersebut, pasti akan menurun dan jatuh, termasuk kejayaan kita sendiri. Sejarah akan bergerak secara siklis, ibarat

roda yang berputar, kadang diatas dan kadang di bawah. Saat roda sejarah suatu kaum menuju ke titik bawah, pastilah pada saat itu ada kaum lain yang roda sejarahnya bergerak naik keatas. Allah SWT berfirman:

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang lalim (Ali Imran 140). Berkaitan dengan pergiliran masa kejayaan dalam ayat diatas, Al Hafidz Ibnu Katsir (wafat 774 H) menyatakan:

Yaitu Kami pergilirkan kemenangan itu bagi musuh kalian atas diri kalian dalam sesekali waktu, sekalipun pada akhirnya kalian memperoleh akibat yang baik, (Kami lakukan demikian itu) karena kebijaksanaan Kami yang mengandung hikmah (buat kalian).(QS Ali Imran : 140) Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:

dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa dalam kondisi seperti itu kita dapat melihat siapa yang bersabar dan teguh dalam menghadapi musuh-musuh[1]. Sedangkan Al Hafidz As Suyuthi (wafat 911 H) dalam Tafsir Jallain menyatakan:" " " "

Dan hari-hari itu Kami pergilirkan Kami mengedarkannya (silih berganti) di antara manusia suatu hari/waktu (masa kejayaan) bagi satu golongan dan hari/waktu yang lain (masa kejayaan) untuk suatu golongan yang lainnya agar mereka sama-sama menarik pelajaran. Sejarah kehidupan manusia telah membuktikan pergiliran kekuasaan diantara manusia, Bani Israel yang berkuasa sejak 975 SM, 250 tahun kemudian berhasil diruntuhkan oleh raja `Asyur namanya Syanharib, Oleh karena kejahatan Bani Israel ini tidak juga berhenti, maka Allah mengerahkan tentara Babilonia di bawah pimpinan rajanya Bukhtanassar (Nebukadnezar), yang menawan dan menjadikan mereka sebagai budak. Allah kemudian memberikan giliran bagi orang-orang Bani Israel untuk berkuasa kembali, maka sesudah Cyrus, Kisra Persia yang pertama dari keluarga Sasan dapat mengalahkan Babilonia, dia memerdekakan para tawanan dari Bani Israel yang berada di Babilonia itu, dan mengirimkan mereka kembali ke Palestina pada tahun 536 SM sehingga orang-orang Bani Israel itu menguasai negerinya kembali [2]. Begitu juga sejarah mencatat kejayaan Persia dan Romawi digantikan oleh kejayaan Khilafah Islam selama lebih dari 1000 tahun, kemudian digantikan kejayaan Inggris, Perancis dan Jerman, lalu diganti kejayaan Amerika Serikat dan Uni

Soviyet yang akhirnya Uni Soviyet juga runtuh, sehingga praktis saat ini Amerika Serikat-lah yang menguasai dunia. 2. Kemunkaran & Kekufuran; Sebab Kehancuran Negeri Saba, suku bangsa yang hidup di Yaman yg berdiri dan berkembang kira-kira 1000 SM, menjadi salah satu contoh bagaimana kekufuran telah menghancurkan mereka. Allah gambarkan kemakmuran mereka dalam firman-Nya:

Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (QS. Saba : 15 ) Di negeri saba ini kiri kanan jalan penuh kebun-kebun menghijau, dihiasi pohon-pohon berbuah lebat. Sehingga yang berjalan di seluruh negeri Saba tak pernah merasakan lelah, haus, dan lapar. Jika ingin makan, tinggal memetik aneka macam buah yang terdapat di sepanjang jalan. Maka sejauh apa pun perjalanan, selalu terasa dekat dan ringan.[3] Air juga tak kurang. Mengalir dan memancar di mana-mana. Air tersebut, bersumber dari bendungan Marib. Sebuah bendungan besar yang mampu menampung curahan air hujan satu kali musim hujan, cukup untuk memenuhi kebutuhan selama dua tiga tahun musim kemarau. Beratus tahun, bangsa dan negeri Saba menempuh kehidupan bahagia lahir batin. Hanya saja, suatu ketika, bangsa dan negeri Saba terkena penyakit kufur nikmat. Generasi-generasi baru bangsa Saba mulai terlena dengan kenikmatan-kenikmatan semu yang muncul dari impian hawa nafsu. Mulailah timbul pertentangan dan benturan aspirasi. Bendungan Marib yang dulu terpelihara,mulai terabaikan, penduduk Saba mejadi sibuk oleh berbagai kepentingan masing-masing, orang-orang yang dipercaya mengelola bendungan Marib, tak lagi tekun bekerja. Malah banyak fasilitas umum yang disalahgunakan. Dikorupsi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Kondisi bendungan Marib tak lagi terperhatikan. Keadaan semakin memuncak, yakni dg mereka mencampakkan aturan Allah SWT. Akhirnya Allah mengazab mereka melalui bobolnya bendungan Marib, Allah menimpakan azab banjir bandang. Kebun-kebun indah dan subur, berubah seketika menjadi hamparan tanah kering yang tak dapat ditumbuhi tanamam selain pohon-pohon berduri, berkulit pahit, dan tak berbuah. Yaitu sejenis pohon atsl (cemara) dan sidr (dadap liae/bidara). Allah menyatakan:

Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. (QS. Saba: 16) Kisah bangsa dan negeri Saba sangat baik untuk berkaca. Mengapa kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara tersebut hancur berantakan? Berdasarkan data-data sejarah dan tafsir Alquran, kemajuan negara dan bangsa Saba dimulai oleh keimanan kepada Allah SWT yang dipelopori wanita yg akhirnya disunting oleh nabi Sulaiman a.s . Sejak itu, rakyat Saba meninggalkan kepercayaan kepada berhala-berhala dan sembahan buatan manusia lainnya, seperti harta, pangkat, jabatan, dll., yang mengandung kedzaliman kepada diri pribadi (kebodohan moral dan intelektual), dzalim kepada orang lain (mengajak kepada kejahilan dan kemaksiatan), dan dzalim kepada Allah SWT (tidak menghargai nikmat anugerah akal dan pikiran untuk membedakan yang hak dan batil, yang halal dan haram). Dalam konteks keadaan mereka. Allah berfirman:

Demikianlah kami memberi balasan kepada mereka disebabkan kekufuran (kengganan bersyukur) mereka. kami tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada orangorang yang kufur (QS. Saba [34]: 17). Begitu juga dengan Bani Isreal, Allah berfirman:

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri (Al Isra : 7)

Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat (Nya) kepadamu; dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan), niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman. (Al Isra : Dan berkaitan dengan umat manusia secara umum, Allah katakan:

Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. (Al Isra : 58) 3. Amerika Serikat: Bangkrut ! Kebangkrutan Amerika Serikat menandai berawalnya babak baru akan munculnya sebuah kekuatan baru yang akan memimpin dunia. Penerima Nobel bidang Ekonomi, Paul Krugman menulis bahwa "Cahaya akan menjauh dari seluruh Amerika." Bahkan, Amerika Serikat, yang saat ini tenggelam dalam krisis utang besar di atas 90% dari PDB (Produk Domestik Bruto), terancam oleh Zaman Es sosial yang lebih parah daripada apa pun yang negara itu pernah alami sejak era The Great Depression (malaise, 1930). Departemen Pertanian AS menekankan bahwa sekitar 50 juta orang Amerika tidak mampu membayar makanan yang cukup di tahun 2009. Hanya satu persen saja dari rakyat Amerika sendiri yang menikmati total kekayaan negara. Menurut Kapten William Finley, kepala cabang lokal dari Salvation Army, orang-orang yang dulunya kaya, yang telah kehilangan rumah mereka, kini terpaksa tidur di mobil mahal mereka yang diparkir di sudut-sudut kota [4]. Adapun negara-negara lain juga mengalami nasib yang serupa, kalaupun ada yang ekonominya bertahan namun dari sisi hancurnya generasi seperti kematian karena narkoba, bunuh diri maupun alkohol sudah seperti tidak tertangani lagi. Belum lagi kalau bicara hampir punahnya kehidupan mereka akibat banyak warganya yang tidak mau punya anak, memilih homo seksual ataupun yang hamil namun diaborsi. Oleh sebab itu, adalah sebuah hal yang sangat naif kalau umat masih percaya dengan mengikuti pola hidup dan aturan mereka. Hanya saja, kalaupun Amerika hancur, bukan berarti masa depan otomatis berada ditangan umat Islam. Umat Islam hanya akan benar-benar berjaya kembali jika mereka benar-benar memperbaiki dan meningkatkan keikhlasan dan ketaatan mereka kepada Allah SWT, yakni dengan menerapkan aturan-aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, baik individu, maupun dalam berbangsa dan bernegara. Umar bin al-Khaththab r.a pernah berwasiat kepada Saad Bin Abi Waqqas dan pasukannya saat mau berangkat menuju Kisra:

]5[

Sesungguhnya kita hanya ditolong karena kemaksiatan musuh-musuh kita kepada Allah, jika kita juga sama dalam melakukan maksiat maka adalah mereka lebih utama dari pada kita dalam hal kekuatan, jika kita tidak mengalahkan mereka dengan ketaatan kita, kita tidak akan dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan kita. Umar ibnu Abdil Aziz pernah berwasiat kepada sebagian pekerjanya, Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah di tempat mana saja Engkau berada. Sesungguhnya taqwa kepada Allah adalah persiapan yang paling baik, makar yang paling sempurna, dan kekuatan yang paling dahsyat. Dan janganlah karena permusuhan seseorang dari manusia menjadikan kalian lebih perhatian padanya daripada dosa-dosa kalian. Janganlah kalian katakan bahwa musuh-musuh kita lebih jelek keadaannya daripada kita dan mereka takkan pernah menang atas kita sekalipun kita banyak dosa. Berapa banyak kaum yang dihinakan dengan sesuatu yang lebih jelek dari musuh-musuhnya karena dosa-dosanya. Mintalah kalian pertolongan kepada Allah atas diri-diri kalian, sebagaimana kalian minta pertolongan pada-Nya atas musuh-musuh kalian[6] 4. Respon Umat Terhadap Tawaran Syariah dan Khilafah Saat ini, Alhamdulillah dengan izin Allah SWT, geliat dakwah kepada Islam, yakni dengan seruan dan ajakan kepada syariah yang akan diterapkan dalam sistem khilafah sudah semakin menggelora, masyarakat juga semakin merindukan tegaknya syariah. Hal ini tergambar dari Survei oleh PPIM UIN Syahid Jakarta, menunjukkan masyarakat yang menginginkan syariah pada tahun 2001 sebesar 61%, tahun 2002 sebesar 71%, dan pada tahun 2003 meningkat menjadi sebesar 75%. Selain itu, pernah dilakukan sebuah survei oleh GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) pada tahun 2006 untuk mengetahui pandangan hidup apa yang dipilih mahasiswa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Respondennya adalah para mahasiswa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (Unibraw). Hasilnya menunjukkan sebagian besar mahasiswa memilih Syariah Islam (80 %), sementara 15,5 % mahasiswa memilih Sosialisme, dan hanya 4,5 % mahasiswa yang memilih Pancasila. (Kompas, 4 Maret 2008). Survei lain pernah dilakukan SEM Institute (Shariah Management and Economic Institute), Jakarta, pada bulan Maret 2008. Survei dilakukan di 26 kota Indonesia dengan 1052 orang responden. Ketika kepada para responden ditanyakan, "Setujukah Anda dengan penerapan Syariah Islam?" ternyata sebagian besar masyarakat (83 %) menyetujui penerapan Syariah Islam. Mereka juga ditanya,"Yakinkah Anda bahwa Syariah Islam dapat membawa kemaslahatan dan satu-satunya solusi bagi masalah bangsa?" Jawabannya adalah sebagian besar (84 %) menyatakan yakin. Kepada responden juga ditanyakan, "Setujukah Anda dengan pernyataan,Khilafah adalah bentuk sistem politik dan pemerintahan dalam Islam?" Jawabannya, sebagian besar responden (74 %) menyatakan setuju. (Survei Syariah, SEM Institute, Jakarta : 2008). Dalam sebuah hasil survey yang dilakukan YouGov terungkap hasil yang cukup mengejutkan, dua perlima (40%) dari mahasiswa Muslim yang disurvei (1400 mahasiswa) mendukung diterapkannya Syariah menjadi undang-undang bagi Muslim Inggris. Sementara itu sepertiga (33%) dari mahasiswa Muslim yang disurvei mendukung diterapkannya kekhalifahan di seluruh dunia yang didasarkan pada hukum Syariah. Mayoritas (58%) dari anggota aktif Masyarakat Islam kampus mendukung ide ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau Ketua Dewan Duma (Parlemen Rusia), Mikael Boreyev, dalam buku Rusia Imperium Ketiga memprediksikan bahwa pada tahun 2020

mayoritas negara-negara di dunia akan mengalami kehancuran, dan nanti hanya akan ada lima negara besar yakni: Rusia, yang telah menggabungkan Eropa kedalamnya; Cina, yang akan mendominasi negara-negara Asia Timur dengan kekuatan militer dan ekonominya; Khilafah Islamiyah, yang akan membentang dari Jakarta hingga Tangier dan mayoritas daerah Afrika; dan Konfederasi yang menggabungkan benua Amerika Utara dan Amerika Selatan. Boreyev memprediksi India juga mungkin menjadi negara besar jika ia mampu menghadapi kekuatan Islam yang meliputinya[7]. NIC (National Inteligent Council) yang berpusat di Washington dalam The Global Future Mapping 2020, diantaranya memperkirakan akan berdirinya The New Islamic Chaliphate (Khilafah Islam yang Baru). 5. Berita & Janji Allah & Rasul-Nya tentang Masa Depan Umat Dalam Surat An Nr ayat 55, Allah berfirman: )55 : (

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. Al Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya [8]menyatakan: : .

"Ini adalah janji dari Allah swt kepada Rasulullah saw, bahwasanya Dia akan menjadikan umatnya (umat nabi Muhammad saw) sebagai khulafa` al-ardl, yakni: pemimpin-pemimpin manusia dan penguasa atas mereka; dan dengan mereka negeri-negeri diperbaiki dan seluruh manusia tunduk kepada mereka, Dari Abdullah bin Amru, beliau berkata:

Suatu ketika kami berada bersama Rasulullah saw sedang menulis, yaitu di saat beliau ditanya tentang dua kota, manakah yang lebih dahulu dibuka; Qostantinopel atau Rum? Maka Rasulullah SAW pun menjawab: "Kotanya Hiroclus yang lebih dahulu dibuka yakni Qostantinopel" Hadit ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Muhson, Abu Amr Ad-Dani di dalam As-Sunanul Wridah fil-Fitan (hadits-hadits tentang fitnah), AlHakim dan Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam Kitabul Ilmi. Abdul Ghani menyatakan bahwa hadits ini hasan sanadnya. Sedangkan Imam Hakim dalam al Mustadrak menilai hadits ini shahih menurut syarat Bukhory & Muslim. Penilaian Al-Hakim itu disetujui oleh Imam AdzDzahabi. Kata Rmiyyah dalam hadits di atas maksudnya adalah Roma, ibu kota Italia sekarang ini, sebagaimana bisa kita lihat di dalam Mujamul Buldan. Upaya real untuk melakukan futuhat ke Qostantinopel ini juga dilakukan oleh kaum muslimin setelahnya, yakni Abu Ayyub al-

Anshari (44 H) pada Khalifah Muawiyyah bin Abu Sufyan, Sulaiman bin Abdul Malik (98 H) masa Kekhalifahan Umayyah, Khalifah Harun al-Rasyid (190 H) masa Kekhalifahan Abasiyyah, Khalifah Beyazid I (796 H) masa Kekhalifahan Utsmanityyah, dan berhasil saat Khalifah Murad II (824 H) pada masa Kekhalifahan Utsmaniyyah, dibawah komando sulthan Muhammad Al Fatih, 824 tahun setelah Hijrah. Adapun Roma, ibu kota Italia sekarang ini sampai saat ini, futuhat belum pernah sampai kesana. Insya Allah dalam waktu dekat, kemenangan pertama (pembukaan Qostantinopel) akan segera diikuti oleh kemenangan kedua (pembukaan kota Roma) sebagaimana sabda Rasulullah SAW diatas, dan ini meniscayakan akan tegaknya kembali khilafah. Dalam hadits lain Rasulullah menegaskan bahwa Khilafah akan tegak kembali sebelum hari kiamat, bahkan sebelum munculnya Al Mahdi, adapun Imam Mahdi adalah khalifah pengganti setelah khalifah sebelumnya wafat. Imam as Syaukani menyatakan bahwa terdapat lima puluh hadits yang terdiri atas hadits shahih, hasan, dan dhaif yang berbicara tentang al Mahdi, salah satunya dari Tsauban r.a :

"Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putera khalifah. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lantas mereka memerangi kamu dengan suatu peperangan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu. " Kemudian beliau Saw menyebutkan sesuatu yang aku tidak hafal , lalu beliau SAW bersabda: "Maka jika kamu melihatnya, berbaiatlah walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah Al-Mahdi" [Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan, Bab Khurujil Mahdi 2: 1467; Mustadrak Al-Hakim 4: 463-464. Dan dia berkata, "Ini adalah hadits shahih menurut syarat Syaikhain." Perkataan Hakim ini juga disetujui oleh adz-Dzahabi]. 6. Khatimah Yang terpenting dari semua hal diatas adalah bagaimana kita berperan dalam membangun masa depan umat yg lebih baik tersebut, yakni dengan tegaknya syariah dalam bingkai khilafah, karena kalaupun kita tidak mau berperan maka dengan mudah Allah akan menjadikan orang lain yang berperan aktif dalam usaha ini. Kalau kita terjun dalam perjuangan ini, maka pujian maupun cacian dari manusia akan menambah kebaikan kita asalkan kita mampu bersabar dan ikhlas meniti jalan-Nya. Rasulullah SAW bersabda:

"Jika seorang muslim bergaul (berinteraksi dalam amar maruf nahi munkar[9]) dengan orang lain dan bersabar atas gangguan mereka, adalah lebih baik daripada seorang muslim yang tidak bergaul (berinteraksi dalam amar maruf nahi munkar) dengan orang lain dan tidak bersabar atas gangguan mereka." [HR. At Tirmidzi, no 2431, dari Ibnu Umar, Ahmad, Juz 10/hal 316]. Allahu Taala Alam.

[1] Ibnu Katsir, Tafsir Al Quranul Adziim, Juz 2 Hal 127, Dru Tayyibah Lin Nasyri wat Tawz, Maktabah Symilah [2] Tafsir Depag RI, surat Al Isra : 5 6, lihat Juga Tafsir Al Baydhowi (wafat 685 H), Anwrut Tanzl wa Asrrut Tawl, 3/401, Maktabah Symilah.

[3] Muhammad Syafiq Ghirbal, At-Tarkhul Qadm; dan kitab-kitab tafsir Alquran seperti Jamul Bayan karya Ibnu Jarir Ath-Thabari, Al-Kassyaf karya Az-Zamakhsyari, dll. [4] http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/amerika-segera-menjadi-negara-duniaketiga.htm, diakses 16/9/2010 [5] : [6] Abu Nuaim, Al Hilyah, 5/303 [7] Jurnal Al Waie, No 121 Tahun XI, 1 30 September 2010 [8] , 6: 77 [9] , 7 / 245

Seputar Hadits Kembali Berdirinya Khilafah Ala Minhaaj Al-NubuwwahOleh : M. Taufik N. T Di beberapa situs internet ada yang meragukan hadits Imam Ahmad tentang akan kembali berdirinya khilafah ala minhaaj al-nubuwwah, dengan hanya mengandalkan dugaan semisal: Saya (penulis blog tsb[1]) menduga kuat bhw Habib (bin Salim, perowi hadits) mencari muka di depan khalifah. Disisi lain ia justru memakai perkataan Habib Bin salim yang dia pandang bermasalah untuk menyatakan: Kalau khilafah ala minhajin nubuwwah periode yg kedua baru muncul di akhir jaman maka Umar Bin Abdul Azis termasuk golongan para raja yang ngawur . Anehnya kalau hadits ini diragukan, namun tidak terungkap adanya keraguan saat menulis kelamnya sejarah semisal : Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah mereka menggali kembali kuburan Muawiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya Tulisan ini tidak akan menanggapi semua yg ada di tulisan blog tersebut, juga tidak bermaksud menyerang pribadi penulis blog tersebut, namun hanya akan membahas seputar hadits kembali berdirinya khilafah ala minhaaj al-nubuwwah, adapun hal-lain di tulisan pada blog tersebut pembaca bisa menilai sendiri betapa ajaibnya tulisan pada blog tersebut.Takhrij Hadits Kembali Berdirinya Khilafah Ala Minhaaj Al-Nubuwwah

Sebetulnya bukan hanya hadits ini yang membahas khilafah yang akan datang, namun tulisan ini hanya mengulas takhrij hadits ini dan yg berkaitan dg hadits ini. Imam Ahmad meriwayatkan:

Telah berkata kepada kami Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy; di mana ia berkata, "Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, "Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Numan bin Basyir; dimana ia berkata, "Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsalabah al-Khusyaniy seraya

berkata, "Wahai Basyir bin Saad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, "Saya hafal khuthbah Nabi saw." Hudzaifah berkata, "Nabi saw bersabda, "Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam".[HR. Imam Ahmad] Takhrij Hadits Hadits ini bersumber dari Musnad Imam Ahmad, hadits no.17680, juga musnad al Bazzar (no. 2796). Riwayat ini termasuk hadits marfu (bersambung hingga sampai Rasulullah saw). Sanad Hadits:

Tentang Perowi Hadits:

1. Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy.

Nama Lengkap : Sulaiman bin Daud bin Al Jarud Kalangan : Tabiut Tabiin kecil (shugra min al-atbaa) Nasab : al-Thayaalisiy. Kunyah: Abu Dawud. Negeri semasa hidup : Bashrah Wafat : 204 H di Bashrah Guru-gurunya: Aban bin Yazid, Ibrahim bin Saad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar bin Isyasy bin Salim, Ishaq bin Said bin Aman bin Said bin al-Ash, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq, Ismail bin Jafar bin Abi Katsir, Asyats bin Said, Bustham bin Muslim bin Numair, Tsabit bin Yazid, Jarir, bin Hazm bin Zaid, Habib bin Abu Habib Yazid, Harb bin Syaddad, Huraisy bin Salim, Al-Hasan bin Abi Jafar Ijlaan, al-Hakam bin Athiyyah, Himad bin Salamah bin Dinar, Humaid bin Abi Humaid Mahran, Kharijah bin Mushab bin Kharijah, Khalid bin Dinar, Dawud bin Abi al-Farat Amru bin al-Farat, Dawud bin Qais, Rubbah bin Ubadah bin al-Ilaa`, Zaidah bin Qudamah, Zumah bin Shalih, Dawud bin Ibrahim, Zuhair bin Mohammad, dan lain-lain. Murid-murid yang meriwayatkan hadits darinya adalah, Ahmad bin Ibrahim bin Katsir, Ahmad bin Abdullah bin Ali bin Suwaid bin Manjuf, Ahmad bin Ubadah bin Musa, Ahmad bin Mohammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad, Ishaq bin Manshur bin Bahram, Hujjaj bin

Yusuf bin al-Hujjaj, Al-Hasan bin Ali bin Mohammad, Khalifah bin Khiyaath bin Khalifah bin Khiyaath, dan lain sebagainya. Komentar Ulama:

ULAMA

KOMENTAR Tsiqqah Shaduuq (Dia tsiqqah dan Ahmad bin Hambal terpercaya) Yahya bin Main Shaduuq (orang yang paling terpercaya) "Aku tidak pernah melihat seorang pun Ali al-Madaniy yang paling kuat hafalannya dibandingkan dirinya" Al-Ajalaniy Tsiqah banyak hafalannya Ibnu Mahdi manusia paling terpercaya (ashdaaq al-naas) Adz Dzahabi Alhafidz "Aku tidak pernah melihat ahli hadits yang Amru bin Fallas lebih hafal dibandingkan dirinya". 2. Dawud bin Ibrahim al-Waasithiy.

Nama Lengkap : Daud bin Ibrahim Kalangan : Tabiin kecil Nasab: al-Wasithiy Negeri semasa hidup : Bashrah Murid beliau adalah Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy, dan ia berguru kepada Habib bin Salim. Para ahli hadits menyatakan bahwa ia adalah tsiqqah (kepercayaan).

3. Habib bin Salim

Nama Lengkap : Habib bin Salim Kalangan : Tabiin kalangan pertengahan Nasab: al-Anshoriy. Murid : antara lain Ibrahim Bin Muhjir Bin Jbir (Abu Ishaq), Bisyr Bin Tsbit (Abu Muhammad), Basyr Bin Tsbit, Jafar Bin Iys, Khalid Bin Mihran, Muhammad Bin Al Muntasyir, dll Komentar Ulama:

ULAMA KOMENTAR Abu Hatim Ar Rozy Tsiqah Abu Daud al-Sajastaniy Tsiqah Ibnu Hibban mentsiqqahkannya Al Bukhari Fiihi Nadzor (haditsnya perlu diteliti) 4. An Numan bin Basyir

Nama Lengkap : An Numan bin Basyir binb Saad Kalangan : Shahabat Kuniyah : Abu Abdullah Negeri semasa hidup : Kufah Wafat : 65 h

Murid : antara lain Azhar bin Abdullah bin Jami, Habib bin Salim, al-Hasan bin Ali al-Hasan Yasar, al-Husain bin al-Harits, Humaid bin Abdurrahman bin Auf, Haitsamah bin Abdurrahman bin Abi Sabrah, Rabiah bin Yazid, Sammaak bin Harb bin Aus, Al-Dlahhak bin Qais bin Khalid al-Akbar bin Wahab, dan lain-lain

5. Hudzaifah

Nama Lengkap : Hudzaifah bin Al Yaman Kalangan : Shahabat Kuniyah : Abu Abdullah Negeri semasa hidup : Kufah Wafat : 36 H Murid : antara lain Abul Azhar, Abu Aisyah, Abu Ubaidah Bin Hudzaifah, Al Aswad Bin Yazid Bin Qais, Jundub Bin Abdillah, dll

Status Hadits

Al-Hafidzh Al-Iraqi (wafat 806 H), guru dari Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy (wafat 852 H), di dalam kitabnya Mahajjatul-Qarb ila Mahabbatil-Arab (II/17), mengatakan :"Status hadits ini shahih, Syuaib Arnauth menyatakan : sanadnya baik (isnduhu hasan), Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid (5/341) menyatakan perowi-perowinya terpercaya, Al Albani menshahihkan dalam Silsilah As Shahihah (1/34). Adapun komentar Imam Bukhory tentang Habib bin Salim, tidak otomatis menjadikan hadits ini lemah, namun perlu diteliti, dan hasil penelitian para ahli hadits mereka tidak melemahkan hadits ini. Imam Muslim sendiri juga meriwayatkan hadits dari Habib Bin Salim semisal hadits: "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa membaca surat Al Ala dan surat Al Ghasyiah dalam shalat dua hari raya dan shalat Jumat. Bila shalat Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau juga membaca kedua surat tersebut dalam kedua shalat itu."[2] Selain Imam Muslim, Habib Bin Salim juga merupakan perowi Abu Dawud (4 hadits), At Tirmidzi (3 hadits), an Nasai (8 hadits), Ibnu Majah (2 hadits), Imam Ahmad (16 hadits) juga ad Darimi ( 4 hadits). Seandainya mengikuti logika penulis blog tersebut, niscaya para ahli hadits tidak akan memuat Habib Bin Salim sebagai perowi hadits mereka.Perkataan Habib Bin Salim di akhir Hadits ini

Habib berkata; Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah dimana Yazid bin anNuman bin Basyir mendampinginya, aku menulis hadits ini untuknya dan aku mengisahkan hadits ini kepadanya dan aku katakan; Aku berharap dia, maksudnya Umar bin Abdul Aziz menjadi amirul muminin setelah kekuasaan kerajaan yang bengis dan pemerintahan diktator Lalu suratku itu diberikan kepada Umar bin Abdul Aziz, maka dia senang dan mengaguminya. Dalam tulisan di blog tersebut dan blog lain yg satu selera, mereka menjadikan hal ini sebagai alasan bahwa kalau khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah ala minhjin nubuwwah yang kedua, maka masa khilafah telah berakhir, lalu dengan sembrono ditulis: Kalau khilafah ala minhajin nubuwwah periode yg kedua baru muncul di akhir jaman maka umar bin abdul azis termasuk golongan para raja yang ngawur . Sungguh ajaib ungkapan seperti ini, yg para ahli hadits pun tidak berlogika seperti ini, tepat apa yg dikatakan al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam Fathul Bry (5/446):

jika seseorang berbicara (dengan logikanya sendiri) dalam hal yang bukan bidangnya, maka akan mendatangkan keajaiban seperti ini[3] Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kasus ini, yakni:

Perkataan Habib bin Salim bukanlah hadits, sehingga tidak menjadi dalil syara. Anehnya perkataan Nabi SAW yg diriwayatkan Habib bin Salim dia tolak karena menurut dugaannya Habib bin Salim cukup bermasalah dan cari muka, namun perkataan pribadi Habib bin Salim dia lontarkan untuk menjustifikasi logika ajaibnya. Habib bin Salim dalam perkataannya tidak menyatakan Umar bin Abdul Aziz sebagai khilafah ala minhajin nubuwwah yg dimaksud hadits ini, beliau hanya mengharap, perhatikan kalimat beliau:

Aku berharap

Hadits-hadits yang bicara tentang akhir zaman, akan adanya Khalifah al Mahdi sebagai khalifah pengganti dari khalifah sebelumnya yang wafat. Imam as Syaukani (wafat 1250 H) menyatakan bahwa terdapat lima puluh hadits yang terdiri atas hadits shahih, hasan, dan dhaif yang berbicara tentang al Mahdi, salah satu hadits shahih diriwayatkan Ibnu Majah dalam kitab sunan Ibnu Majah bab Khurju Al Mahdi & Al Hakim dalam Kitbu Al Fitan wa Al Malhim, dari Tsauban r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putera khalifah. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lantas mereka memerangi kamu dengan suatu peperangan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu. " Kemudian beliau Saw menyebutkan sesuatu yang aku tidak hafal , lalu bersabda: "Maka jika kamu melihatnya, berbaiatlah walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah AlMahdi" (Al Hakim berkata, "Ini adalah hadits shahih menurut syarat Syaikhain (Bukhari Muslim)" Perkataan Al Hakim ini juga disetujui oleh adz-Dzahabi). Jadi dari hadits ini, jelaslah bahwa Khilafah akan tegak sebelum turunnya al Mahdi, dan al Mahdi adalah khalifah pengganti dari khalifah sebelumnya (tidak diceritakan ada berapa khalifah sebelum al Mahdi). Oleh karena itu tidak kita jumpai ahli hadits maupun ahli sejarah yang mutabar yang mempunyai pemikiran seperti tertulis dalam blog tersebut, bahkan sangat masyhur bahwa setelah khalifah Umar Bin Abdul Aziz masih ada para khalifah setelahnya. Allahu Taala Alam

[1] Semisal di blog : http://aslamattusi.wordpress.com/2010/07/27/khilafah-wajib-atau-tidak/ [2]

[3] Akan lebih aman kita melihat bagaimana pemahaman para ahli dibidangnya dari pada menduga-duga, sementara kemampuan kita sangat jauh dibanding mereka.

Khilafah & Suku QuraisySebagian kalangan menuduh HT sebagai ahlul ahwa wal bidah karena tidak mensyaratkan suku Quraisy dalam pengangkatan seorang khalifah. Benarkah HT tidak mensyaratkan suku Quraisy dalam pengangkatan khilafah? Benarkah yang tidak mensyaratkannya layak dicap ahlul ahwa wal bidah?Hadits-Hadits yg Berkaitan

Hadits Pertama: (

Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini ada di tangan Quraisy. Tidak seorang pun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan menelungkupkannya wajahnya ke neraka, selama mereka menegakkan agama (Islam). Hadits Kedua: : : : : ) (

Sesungguhnya pemerintahan ini tidak akan runtuh hingga kedua belas orang khalifah memerintah. Kemudian beliau mengucapkan kata-kata yang kurang jelas bagiku, Jabir berkata, Lalu aku bertanya kepada ayahku, Apa yang dikatakan beliau? ayahku menjawab, (beliau mengatakan) Semuanya dari bangsa Quraisy. Hadits Ketiga:

Dengar dan taatlah kalian, sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi yang berambut keriting seperti buah kismis. (HR. Bukhory dari Anas bin Malik) Hadits Keempat:]1[

(Berkata Firas dari Bani Amir) :bagaimana pendapatmu jika kami membaiat engkau atas perkara (kekuasaan) engkau, kemudian Allah memenangkan engkau atas orang yang menyelisihi engkau, apakah perkara (kekuasaan) itu menjadi milik kami sepeninggal engkau nanti? Rasul menjawab: perkara (kekuasaan) itu (urusannya) kembali kepada Allah, Dia memberikannya kepada yang dikehendaki-Nya. Hadits Kelima:

( :

dari abu dzar, dia berkata: Kekasihku (Nabi saw) mewasiatkanku untuk selalu mendengar dan taat sekalipun kepada seorang budak yang cacat . dalam hadits lain dikatakan (seorang budak habsyah yang cacat)Pemahaman Hadits

Mayoritas Ahli Fiqh (mayoritas Ahlussunnah, Syiah, sebagian kelompok Mutazilah, dan sebagian besar kelompok Murjiah[2]) mensyaratkan suku Quraisy dalam pengangkatan khalifah berdasarkan hadits pertama dan yang semakna dengannya. Namun para ahli fiqh lainnya, semisal Qodli Abu Bakar Al Baqillani(w. 403 H)[3] tidak mensyaratkan suku Quraisy sebagai syarat pengangkatan, salah satu alasan beliau adl perkataan Umar r.a: ] ]4 seandainya salim maulanya abu hudzaifah masih hidup, niscaya aku akan mengangkatnya Sebagaimana juga kalangan Khawarij, jumhur kalangan Mutazilah, sebagian Murjiah, sebagian kelompok Ghulat al Immiyyah, Ibnu Khaldun, Imam Ibnul Hajar Al-Asqalani, dan para ulama kontemporer (ulama-ulama sekarang) berpendapat bahwa nasab Quraisy tergolong syarat afdlaliyyah (keutamaan) bukan termasuk syarat iniqad (syarat sahnya pengangkatan)[5].Segi Pendalilan

1. Hadits 1 dan 2 dan yang semakna, tidak menunjukkan bahwa selain Quraisy tidak boleh memegang jabatan khilafah, tapi menunjukkan bahwa Quraisy punya hak dalam hal itu dari segi keutamaan lantaran posisi sentral Quraisy sebelum Islam dan kedudukan mereka di antara orang-orang Arab. Prof. Dr. Wahbah az Zuhaily, dalam al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu (8/306) menulis:

Dan karena suku Quraisy adalah suku yang memiliki kedudukan yang mulia pada bangsa Arab, dan yang menciptakan(mengatur) urusan sipil dan mayoritas manusia mengikuti mereka, dan perkataannya dipakai oleh kabilah-kabilah sejak zaman jahiliyyah, maka merupakan kemashlahatan untuk memberikan hak kekuasaan umum dan politik kepada mereka. Jika perkara ini berubah, dan kebanyakan masyarakat lebih senang untuk melakukan pemilihan dan semisalnya, maka tidak ada larangan untuk menentukan kepemimpinan kepadanya (selain suku Quraisy), seperti Khilafah Utsmaniyyah dan semisalnya. 2. Hadits 1 dan 2 dan yang semakna, dinyatakan dalam bentuk khabar, meskipun menurut para ulama ushul bentuk khabar memberikan pengertian tuntutan (thalab) tetapi tidak terkategori tuntutan yang pasti (thalaban jaaziman) selama tidak disertai dengan indikasi (qarinah) yang menunjukkan penekanan (takid). Dan ternyata tidak ada qarinah yang menyertainya dan mentakidkannya, bahkan hadits ke 3, 4 dan 5 bermakna berbeda. Jadi syarat nasab Quraisy itu adalah syarat afdlaliyyah bukan syarat iniqad. 3. Kata Quraisy adalah isim (kata nama), bukan sifat. Dalam istilah ilmu ushul disebut laqab (sebutan). Dan mafhum isim atau mafhum laqab tidak diamalkan/dipakai secara mutlak, . Para ulama ushul, kecuali Ad-Daqqaq, telah bersepakat mengatakan bahwa laqab tidak

mengandung mafhum[6] sehingga tdk bisa diambil pemahaman terbalik (mafhum mukholafahnya). Sebagai contoh: zaid adalah isim bukan sifat, maka ketika ada kalimat qma zaidun (zaid telah berdiri), maka hanya bisa difahami bahwa zaid berdiri, tidak bisa difahami sebaliknya yakni bahwa selain zaid tidak berdiri. 4. Umar bin Al Khaththab r.a berkata:

Seandainya aku mati sedangkan Abu Ubaidah telah meninggal, maka aku akan mengangkat Muadz bin Jabal sebagai pengganti. (Musnad Imam Ahmad, hasan lighairihi) Dari ucapan Umar r.a ini bisa difahami bahwa Umar berpikir untuk mengangkat khalifah dari kalangan selain suku Quraisy, seperti Muadz bin Jabal yang bukan orang Quraisy. Hal ini tidak akan terjadi kecuali bahwa nasab Quraisy bukanlah syarat iniqad (syarat sahnya pengangkatan), melainkan hanya syarat afdholiyyah.Kesimpulan

1. Adalah kebohongan kalau menuduh HT tidak mensyaratkan suku Quraisy dalam pengangkatan khilafah, HT menyatakan suku Quraisy adalah syarat afdloliyyah (keutamaan), bukan syarat pengangkatan yang menjadikan sah atau tidak sahnya khilafah. Belum saya jumpai ulama yang menyatakan tidak sahnya khilafah Utsmaniyyah dan yang serupa, dg alasan mereka bukan suku Quraisy, padahal mereka memerintah lebih dari 400 tahun. 2. Masalah pensyaratan dg suku Quraisy adalah masalah khilafiyyah, seseorang bisa mengambil pendapat mana yang menurutnya kuat berdasarkan hasil kajiannya, tidak layak dalam menyikapi ikhtilaf ini akhirnya mencap orang yang berbeda sebagai ahlul ahwa wal bidah. (Kemana orang yang nuduh-nuduh, kok diam saja ketika ada pasal di suatu negara bahwa kepala negara harus orang Indonesia asli?, harusnya ini yang mereka bahas, yg nyata nyata tdk ada dalilnya). 3. Tulisan ini bukan bermaksud melecehkan pendapat yang berbeda dg tulisan ini, namun hanya bermaksud memberikan alasan kenapa berbeda, sehingga yang membaca bisa bersikap adil dan tidak berlebihan dalam menyikapi hal ini. Allahu Taala Alam.[M. Taufik. N.T]

[1] lbnu Hisyam, Sirah Nabawiyyah, juz 1 hal 424 , Maktabah Symilah, riwayat Ibnu Ishaq dari Az Zuhri [2] Ibnu Hazm, Al-Fashl fil Milal wan Nihal, juz 4, hal. 89; Abul Hasan Al-Asyari, Maqalt Al-Islamiyyn, juz 2, hal. 134; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 522-524; dan AlQalqassyandi, Mtsirul Infah fi Malimil Khilafah, juz 1, hal. 38 [3] Ibnu Katsir berkata, Dikatakan bahwa beliau pengikut madzhab Malik, dikatakan juga pengikut madzhab Syafii. Adz-Dzahabi berkata, Beliau yang menunjukkan kejelekan Mutazilah, Rafidhah dan Musyabbihah. [4] Mausah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah. [5] Al-Amidi, Al-Fashl fil Milal wal Ahw wan Nihal, juz 4, hal. 89 dan Ghyatul Maram fi Ilmil Kalam, hal 383; Ibnu Hajar, Fth Al-Br, juz 16, hal. 237; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 524; Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siysah As-Syariyyah hal. 27; Dr. Abdul Hamid Mutawalli, Mabdi Nizham al Hukm fil Islam, hal. 613; dan Dr. Al Khurbuthli, Al-Islam wal Khilafah, hal. 35

[6] Al-Aamidi, Al-Ihkm fi Ushlil Ahkm, juz 2, hal. 160 dan Asy-Syaukani, Irsydul Fuhl ila Tahqiiqil Haqqi min Ilmil Ushl, hal. 159

Khilafah, Wajib Ditegakkan Dan PerluTarif Khilafah: Pendapat Imam Ar-Razi mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtar AshShihah hal. 186 :

Khilafah atau Imamah Uzhma, atau Imaratul Mukminin semuanya memberikan makna yang satu [sama], dan menunjukkan tugas yang satu [sama], yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum muslimin. (Lihat Muslim Al-Yusuf, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-Alaqat Ad-Dauliyah, hal. 23; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/270). Dalam Al Majmu, Imam Nawawi menyatakan bahwa khilafah disebut juga Imamah Kubra:

Dalam kitab

bab

disebutkan :

: ,

(Makna) Imamah kubra secara istilah: kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasulullah SAW, dikatakan kubra (besar) untuk membedakan dari imamah sughro (kecil) yakni imam shalat. Sedangkan khilafah, imamah kubro, imarotul muminin, as sulthoth adalah merupakan sinonim yang menunjuk makna yang sama. Ibnu Khaldun dalam ki