88
KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA PENGOLAHAN MONASIT SKRIPSI SEPTEEN ADI PRATIWI PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/ 1441 H

KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI

PADA PENGOLAHAN MONASIT

SKRIPSI

SEPTEEN ADI PRATIWI

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/ 1441 H

Page 2: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

PENGOLAHAN MONASIT

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

SEPTEEN ADI PRATIWI

11140960000073

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

Page 3: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

PENGOLAHAN MONASIT

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh

SEPTEEN ADI PRATIWI

NIM 11140960000073

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Nurmaya Arofah, M. Eng

NIP. 19870610 201903 2 016

Mutia Anggraini, M. Si

NIP. 19870519 200912 2 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kimia

Dr. La Ode Sumarlin, M. Si NIP. 19750918 200801 1 007

Page 4: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “Kinetika Reaksi Pelarutan Residu Dekomposisi pada

Pengolahan Monasit” telah diuji dan dinyatakan LULUS pada Sidang

Munaqosah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta pada hari Jum’at, 07 Agustus 2020. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S1) Program

Studi Kimia.

Menyetujui,

Penguji I Penguji II

Nurhasni, M. Si

Isalmi Aziz, M. T

NIP. 19740618 200501 2 005 NIP. 19751110 200604 2 001

Pembimbing I

Pembimbing II

Nurmaya Arofah, M. Eng

Mutia Anggraini, M. Si

NIP. 19870610 201903 2 016 NIP. 19870519 200912 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Kimia

Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env

Dr. La Ode Sumarlin, M. Si

NIP. 19690404 200501 2 005 NIP. 19750918 200801 1 007

Page 5: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

ABSTRAK

SEPTEEN ADI PRATIWI. Kinetika Reaksi Pelarutan Residu Dekomposisi pada

Pengolahan Monasit.di bawah bimbingan NURMAYA AROFAHdan MUTIA

ANGGRAINI

Monasit merupakan mineral fosfat dari hasil samping pengolahan timah yang

mengandung unsur radioaktif dan logam tanah jarang. Kedua unsur tersebut

dipisahkan melalui proses pengolahan monasit.Pengolahan monasit terbagi

menjadi tiga tahapan yaitu dekomposisi menggunakan NaOH, pelarutan

menggunakan HCl dan pengendapan menggunakan NH4OH. Mekanisme reaksi

yang terjadi pada tiap proses pengolahan monasit dapat dioptimalkan dengan

mengetahui kinetika reaksi yang terjadi. Pada penelitian ini akan dilakukan studi

kinetika pelarutan menggunakan shrinking core model (SCM). Pengamatan

dilakukan terhadap proses pelarutan logam tanah jarang pada rentang suhu 70 –

80oC dan rentang waktu 0 – 180 menit.Hasil penelitian pelarutan residu monasit

diperoleh efisiensiekstraksi logam tanah jarang sebesar 99,99 % pada suhu 75oC,

pengendali laju reaksi mengikuti model kinetika difusi melalui lapisan film tipis

dan energi aktivasi sebesar - 81,96 kJ/mol.

Kata Kunci :Kinetika Reaksi, Monasit, Pelarutan, Residu, Shrinking Core Model

Page 6: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

ABSTRACT

SEPTEEN ADI PRATIWI. Kinetics of Dissolution Reactions from

Decomposition Residue at Monazite Processing. Supervisor by NURMAYA

AROFAH and MUTIA ANGGRAINI

Monazite is a phosphate mineral from by product of tin processing which contains

radioactive elements and rare earth elements. The two elements are separated

through a monazite processing process. Monazite processing consists of three

stages, they are decomposysis using NaOH, dissolution using HCl and

precipitation using NH4OH. The reaction mechanism that occurs in each monazite

processing can be optimized by knowing the reaction kinetics that occured. In this

research, dissolution kinetics will be studied by adopting shrinking core models

(SCM). Observations were made on the process of dissolving rare earth metals in

the temperature range of 70-80oC and the time range of 0-180 minutes. The results

of the dissolution of monasite residues obtained extraction percent of rare earth

elementis 99.99% at 75oC, The reaction rate controller followed the diffusion

kinetics model through the thin film layer and activation energy of - 81.96 kJ /

mol.

Keywords: Reaction Kinetics, Monazite, Dissolution, Shrinking Core Model

Page 7: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, karena

berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Kinetika Reaksi Pelarutan Residu Dekomposisi pada Pengolahan Monasit”.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tak lepas dari bantuan dan

peranan banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Nurmaya Arofah, M.Eng selaku Pembimbing I yang telah memberikan

pengarahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsiini;

2. Mutia Anggraini, M.Si selaku Pembimbing II yang telah memberikan

pengarahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini;

3. Nurhasni, M.Si selaku dosen penguji I yang telah memberikan kritik dan

saran dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Isalmi Aziz, M.T selaku dosen penguji II yang telah memberikan kritik dan

saran dalam menyelesaikan skripsi ini;

5. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains

dan Teknologi yang telah banyak memberikan saran serta masukan yang

bermanfaat;

6. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud selaku Dekan Fakultas Sains

dan Teknologi UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta;

7. Dr. Sandra Hermanto., M.Si selaku pembimbing akademik atas bimbingan

dan masukannya selama perkuliahan;

Page 8: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

vi

8. Kedua orang tua tercinta atas segala doa, pengorbanan, nasihat dan

motivasinya kepada penulis;

9. Kurnia Setiawan Widana, S.T, M.T selaku kepala Bidang Teknologi

Penambangan dan Pengolahan (TPP) dan seluruh Staf laboratorium PTBGN-

BATAN yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis serta

solusi dalam penelitian ini;

10. Segenap dosen Program Studi Kimia atas ilmu pengetahuan dan pengalaman

hidup yang dengan ikhlas diajarkan dan diberikan kepada penulis;

11. Teman–teman Kimia Angkatan 2014 yang senantiasa memberi dukungan dan

motivasi kepada penulis;

12. Serta teman-teman yang membantu proses penelitian yang tidak dapat

disebutkan satu persatu;

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan umumnya

bagi kemajuan ilmu dan teknologi.

Tangerang, Agustus 2020

Septeen Adi Pratiwi

Page 9: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

vii

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ................................................................................................ v

DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii

DAFTAR TABEL .................................................................................................... iix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. x

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 5

1.3 Hipotesis ............................................................................................................... 5

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................................. 6

1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 7

2.1 Monasit ................................................................................................................. 7

2.2 Proses Pengolahan Monasit .................................................................................. 8

2.3 Logam Tanah Jarang ............................................................................................. 9

2.4 Kinetika Reaksi ................................................................................................... 12

2.5 XRF (X-ray Fluorescence Spectrometry) ............................................................. 20

2.6 ICP-OES (Inductively Coupled Plasma-Optical Emission Spectrometry) .......... 24

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 31

3.1 Waktu dan Tempat .............................................................................................. 31

3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................... 31

3.3 Diagram Alir ....................................................................................................... 32

3.4 Cara Kerja ........................................................................................................... 33

3.4.1 Preparasi Umpan Monasit ................................................................................ 33

3.4.2 Pelarutan Residu dengan Asam Klorida (HCl) ................................................ 33

3.4.3 Karakterisasi Sampel ......................................................................................... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 37

4.1 Pembuatan Umpan .............................................................................................. 37

4.2 Pelarutan Residu Dekomposisi menggunakan HCl ............................................ 39

Page 10: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

viii

4.3 Pengendalian Laju Reaksi ................................................................................... 43

4.4 Penentuan Energi Aktivasi Pelarutan .................................................................. 49

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 52

5.1 Simpulan ............................................................................................................. 52

5.2 Saran ................................................................................................................... 52

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 53

LAMPIRAN .............................................................................................................. 57

Page 11: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Unsur Logam Tanah Jarang ...................................................................11

Tabel 2. Variasi kondisi pada percobaan pelarutan menggunakan asam klorida .34

Tabel 3.Komposisi senyawa dalam umpan monasit dan residu dekomposisi ......38

Tabel 4.Nilai –nilai R2 regresi linier hasil percobaan pada 3 suhu terhadap

3model kinetika yang digunakan .............................................................46

Tabel 5. Hasil perhitungan nilai τ .........................................................................47

Tabel 6. Hasil perhitungan nilai k1 .......................................................................50

Page 12: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Berbagai jenis reaksi partikel padat ...................................................14

Gambar 2. Menurut model konversi progresif, reaksi berlangsung terus menerus

di seluruh partikel padat ......................................................................15

Gambar 3. Reaksi yang terjadi menurut model kinetika inti yang Menyusut .....16

Gambar 4. Mekanisme reaksi yang terjadi menurut kinetika inti yang menyusut

...........................................................................................................17

Gambar 5. Instrumen XRF dan Bagian-bagiannya .............................................22

Gambar 6. Komponen utama dan tata letak pada instrumen ICP-OES ...............25

Gambar 7. Pompa peristaltik yang digunakan pada instrument ICP-OES ..........28

Gambar8. Tipe spray chamber yang digunakan pada ICP-OES. A jenis scott

double pass B jenis conical single pass dengan impact bead ..........29

Gambar 9. Diagram alir .......................................................................................32

Gambar 10. Total persen LTJ yang terlarut .........................................................40

Gambar 11. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kintetika terkendali oleh

laju difusi melalui lapis film fluida ..................................................44

Gambar 12. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kinetika terkendali oleh

laju difusi melalui lapisan produk padat yang tidak bereaksi .........44

Gambar 13. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kinetika terkendali oleh

laju reaksi kimia..............................................................................45

Gambar 14. Hasil fitting data percobaan pada suhu 70 terhadap kurva dummy

model ..............................................................................................48

Gambar 15. Hasil fitting data percobaan pada suhu 75 terhadap kurva dummy

model ..............................................................................................48

Gambar 16. Hasil fitting data percobaan pada suhu 80 terhadap kurva dummy

model ................................................................................................49

Gambar 17. Hasil pengaluran ln k1 terhadap 1/T ................................................51

Page 13: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Perhitungan Stoikiometri .................................................................57

Lampiran 2. Analisis Data ...................................................................................59

Page 14: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Monasit merupakan salah satu mineral yang mengandung unsur radioaktif

dalam bentuk senyawa thorium dan cerium fosfat dengan rumus kimia

(Ce,La,Th,Y)PO4. Cerium adalah salah satu unsur tanah jarang (rare earth

element) yang samadengan senyawa oksida lainnya yaitu logam lanthanium,

samarium, praseodymium, neodymium, promethium dan europium. Monasit juga

merupakan sumber utama logam tanah jarang yang diperoleh dari produk samping

penambangan dan pengolahan mineral berat, seperti ilmenit, rutil, zirkon dan

kasiterit yang tersebar diberbagai negara dengan kadar oksida tanah jarang sebesar

55 – 65% (Suprapto, 2009).

Logam tanah jarang tidak pernah ditemukan sebagai unsur bebas di lapisan

bumiakan tetapi ditemukan dalam bentuk mineralnya. Bastnasit, monasit dan

xenotime adalah tiga mineral yang paling penting secara umum dari 200 mineral

yang diketahui mengandung logam tanah jarang (Christie et all., 1998).

Logam tanah jarang (LTJ) merupakan unsur keterdapatannya sangat melimpah

di alamberupa senyawa kompleks, biasanya dalam bentuk senyawa kompleks

fosfat dan karbonat (Suprapto, 2009). Daerah-daerah yang memiliki keterdapatan

mineral monasit di Indonesia adalah Pulau Bangka dan Belitung, Kepulauan Tujuh,

Singkep, Kundur, Karimun Jawa, Sumatera, Kalimantan, Pulau Sula Banggai (timur

Sulawesi) dan bagian barat Papua. Mineral logam tanah jarang yang umum ditemukan di

Indonesia adalah monazite dan xenotime. Di Indonesia, mineral yang mengandung tanah

jarang ditemukan di daerah Bangka Belitung, bersama dengan mineral timah, dan di

Page 15: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

2

Kalimantan, bersama dengan mineral emas. Menurut data Pusat Sumber Daya Geologi

tahun 2009, cadangan mineral monazite di Indonesia adalah lebih dari 951.000 ton

(Virdhian & Afrilinda, 2014).

Seiring dengan perkembangan teknologi pengolahan material, pemanfaatan

logam tanah jarang ini sudah banyak digunakan diberbagai macam

produk.Penggunaan logam tanah jarang ini memicu berkembangnya industri

material baru. Material baru dengan bahan baku logam tanah jarang memberikan

perkembangan teknologi yang cukup signifikan dalam ilmu materialumumnya

pada industri teknologi tinggi seperti pembuatan LCD, magnet dan baterai hybrid.

Perkembangan material ini banyak diaplikasikan di dalam industri untuk

meningkatkan kualitas produk (Suprapto, 2009).

Al-Qur’an surat An-Naml menjelaskan keberadaan mineral dalam tanah :

السحابصنعاللهالذيأتقنكلشىءإنهخبيربماتف مر علىنوترىالجبالتحسبهاجامدةوهيتمر

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal

ia berjalan sebagai jalannya awan.(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat

dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang

kamu kerjakan”. (QS. An-Naml ayat 88)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa gunung-gunung sebenarnya bergerak

yang menyebabkan tanah bergerak dan membentuk lapisan-lapisan yang banyak

terkandung mineral, energi fosil, air tanah dan sebagainya yang dibutuhkan oleh

manusia dan bisa dimanfaatkan untuk kehidupan manusia(Yahya, 2004).

Unsur – unsur yang terkandung dalam monasit dapat dimanfaatkan sesuai

fungsinya jika dikelola dengan baik.Pengolahan monasit terdiri dari beberapa

tahap yaitu dekomposisi jalur basa atau jalur asam, pelarutan dan pengendapan.

Page 16: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

3

Dekomposisi jalur asam telah dilakukan olehPrassanti(2014)yaitu

dekomposisi monasit dengan asam sulfat diperoleh kondisi optimal pada ukuran

bijih monasit -250+325, perbandingan berat bijih monasit : asam sulfat = 1 : 2,5,

suhu digesti 190oC, waktu digesti 3 jam dan konsumsi air pencuci 8 kali berat

uman bijih monasit dengan rekoveri LTJ = 99,54%.Sedangkan dekomposisi basa

dengan NaOH dilakukan oleh Purwani & Suyanti (2014)yaitu digesti pada suhu

rendah menggunakan 100 gram monasit pada suhu 140oC diperoleh kondisi

optimum waktu dekomposisi 60 menit, molaritas NaOH = 23,09 M (monasit :

NaOH = 1 : 1,6) dan volume NaOH 23,09 = 425 mL, efisiensi rata-rata LTJ

sebesar 70%. Penelitian lain yang dilakukan oleh (Isyuniarto et all., 1999)dengan

waktu dekomposisi yang digunakan lebih lama yaitu 2 jam yang menghasilkan

efisiensi LTJ lebih besar yaitu Ce = 55,66% ; La = 44,96 % ; Nd = 40,43% ; Y =

22,80% dan Sm = 9,47%.

Metode dekomposisi jalur basa lebih dipilih karena prosesnya berlangsung

pada suhu dan konsentrasi yang rendah dibandingkan dengan dekomposisi jalur

asamselain itu dekomposisi basa dapat menghindari adanya ion sulfat dalam hasil

dekomposisi karena ion-ion tersebut dapat menggangu proses berikutnya. Hasil

samping dari dekomposisi jalur basa yaitu filtrat natrium fosfat dapat dikristalkan

dan dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk (Subagja, 2014). Proses dekomposisi

basa dapat memisahkan ion fosfat dalam residu sehingga dihasilkan residu

dekomposisi yang mengandung uranium, thorium dan LTJ.

Studi kinetika dekomposisi menggunakan NaOHtelah dilakukan(Purwani et

all., 2015)diperoleh kesimpulan bahwa semakin besar perbandingan

NaOH/monasit optimumnya 1:5, waktu optimum dekomposisi 3 jam. Konversi(x)

Page 17: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

4

hubungan antara NaOH/monasit mengikuti persamaan garis polinominal y =

0,1579x2 – 0,2855x + 0,8301, reaksi dekomposisi NaOH/monasit mengikuti

reaksi orde 2.dengan tetapan laju reaksi (k), k = 6,106.e- 1006,8/T

atau ln k = -

1006,8/T + 6,106, faktor frekuensi A = 448,541, energi aktivasi E = 8,371kJ/mol.

Uranium, thorium, dan LTJ dipisahkan melalui proses pelarutan.Penelitian terkait

proses pelarutan monasit bangka telah banyak dilakukan dengan berbagai variasi

reagen pelarutan yang digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarni dkk

(2011)pada penentuan kondisi pelarutan residu hasil pelarutan parsial monasit

Bangka dengan reagen H2SO4 didapat kondisi optimal: waktu pelarutan 2 jam,

suhu 130oC dengan konsumsi H2SO4 100 ml/100 gram umpan basah dengan

recoverymasing- masing unsur adalah LTJ = 93,46%.

Selain itu, telah dilakukan juga penelitian terkait proses pelarutan dengan

reagen asam klorida HCl. Pelarutan dengan HCl lebih efektif dibandingkan

dengan H2SO4.Menurut Cuthbert (1958) pelarutan dengan menggunakan H2SO4

diperlukan jumlah asam 2-3 kali jumlah HCl. KelarutanLTJ dalam

H2SO4(93,46%) (Sumarni dkk., 2011) sedangkan kelarutan LTJ dalam HCl

(±62%) (Arief dkk., 2002). Meskipun efisiensi ekstraksi HCl lebih rendah

dibandingkan dengan H2SO4akan tetapi penggunaan HCl jauh lebih ekonomis jika

dibandingkan dengan H2SO4.

Mekanisme reaksi kelarutan LTJ dalam HCl dapat dioptimalkan apabila

diketahui kinetika reaksi yang terjadiGado dkk (2019) telah melakukan recovery

selektif pada logam utama dari konsentrat mineral Rosetta monasit dengan DTPA

(Asam Dietilen Triamin Penta Asetat) pada konsentrat LTJ(OH)3 mineral monasit

Mesirmenggunakan model kinetika shrinking core model diperolehefisiensi

Page 18: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

5

pelarutan pada kondisi ukuran sampel monasit -300 mesh, konsentrasi DTPA20%

dalam waktu pelarutan 8 jam dan perbandingan rasio padat/cair 1/30 pada suhu

pelarutan 100oC. Kinetika dari proses pelarutan dikendalikan secara reaksi kimia

dengan energi aktivasi LTJ yaitu 35,258 kJ/mol. Akan tetapi mekanisme kinetika

reaksi pelarutan residu dekomposisi dengan HCl belum pernah dilakukan.

Oleh sebab itu, pada penelitian ini diteliti model kinetika reaksi pelarutan

residu dekomposisi dengan HCl. Metode pengolahan Monasit yang dipilih pada

penelitian ini adalah dekomposisi dengan NaOH pada suhu 140°C dan pelarutan

dengan HCl serta model kinetika shrinking core model(SCM) yang bertujuan

untuk mengetahui seberapa banyak logam tanah jarang yang terlarut dalam pelarut

HCl dan mengetahui faktor pengendali laju reaksi, parameter kinetika (konstanta

laju reaksi atau koefisien difusi) dan nilai energi aktivasi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Berapa banyak logam tanah jarang yang terlarut pada proses pelarutan

menggunakan HCl ?

2. Bagaimana pengendalian laju reaksi, nilai koefisien difusi atau konstanta

laju reaksi dan nilai energi aktivasi pelarutan logam tanah jarang dalam

pelarutan residu dekomposisi pada pengolahan monasit?

1.3 Hipotesis

1. Logam tanah jarang yang dilarutkan dengan HCl akan menghasilkan

persen ekstraksi yang besar.

2. Pengendalian laju reaksi, nilai koefisien difusi atau konstanta laju reaksi

dan energi aktivasinya dapat dihitung dengan persamaan shrinking core

model dengan asumsi monasit yang digunakan adalah partikel bijih

Page 19: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

6

berbentuk bulat, terdapat mineral dominan yang tidak ikut terlarut dan

konsentrasi asam klorida yang cukup tinggi sehingga tidak berubah secara

signifikan dengan berjalannya waktu.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menentukan efisiensi ekstraksi pelarutan logam tanah jarang dengan HCl.

2. Menentukan kinetika reaksi pelarutan logam tanah jarang pada residu

dekomposisi dan logam tanah jarang yang dihasilkan meliputi faktor

pengendali laju reaksi dan energi aktivasi.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kinetika

reaksi pelarutan logam tanah jarang dalam residu dekomposisi pada pengolahan

monasit Bangka.

Page 20: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Monasit

Mineral monasit merupakan fosfat anhidrat darikelompok cerium dalam

unsur logam tanah jarang, diberi nama olehBreithaupt. Breithaupt memilihnama

daribahasa Yunani yang artinya "untuk menjadi satu" untuk mengenalkan mineral

yang langka di situspenemuannya di dekat Miask di Pegunungan LimenRusia.

Mineral monasit mengandung thoriumdan cerium. Monasit mengandung 0-

31,50%cerium dan rata-rata 6% thorium oksida (ThO2). Mineral monasit adalah

sumber utama logam thorium dan cerium sedangkan bastnaesit, fluokarbonat

adalah sumber utama logam cerium dari logam tanah jarang(Overstreet, 1967).

Monasit adalah mineral dalam bentuk ikatan fosfat yang mengandung

torium, uranium, dan logam tanah jarang (LTJ). Rumus kimia pasir monasit

secara umum adalah (LTJ-Th-U)PO4(Gupta & Krishnamurthy, 2005). Keberadaan

U, Th dan logam tanah jarang terikat dalam mineral monasit bersama-sama

dengan zirkon, terdapat sebagai endapan plaser pantai dan sungai yang memiliki

kemudahan dalam proses eksplorasi, penambangan (Suprapto, 2009).

Monasit terdapat pada batuan beku dan beberapa batuan lainnya,

konsentrasi terbesar dalam bentuk endapan, bersama dengan mineral berat

lainnya, sebagai hasil aktivitas angin atau air.Sumber daya monasit seluruh dunia

sekitar 12 juta ton, dua pertiganya merupakan endapan pasir mineral berat di

pantai timur dan selatan India. Thorium terdapat pada beberapa mineral, sebagian

besar bersenyawa dengan unsur tanah jarang berupa mineral tanah jarang-thorium

Page 21: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

8

fosfat, seperti monasit, yang mengandung sampai dengan 12% atau rata-rata 6-7%

oksida thorium (Suprapto, 2009).

Beberapa proses pemisahan logam tanah jarang (LTJ) dan unsur pengotornya

dalam berbagai mineral, khususnya mineral monasit telah dilakukan salah satu

proses pemisahan yaitu proses pengendapan(Shaw et all., 2003)

2.2 Proses Pengolahan Monasit

a. Dekomposisi

Dekomposisi terbagi menjadi dua jalur yaitu dekomposisi jalur asam dan jalur

basa. Dekomposisi jalur asam lebih sering menggunakan asam sulfat pekat untuk

melarutkan monasit, sedangkan dekomposisi jalur basa menggunakan NaOH

untuk melarutkan monasit (Subagja, 2014). Tujuan dekomposisi yaitu untuk

memecah ikatan fospat yang ada pada monasit (Sumarni et all., 2011).

b. Pelarutan

Pelarutan (U,Th,LTJ)OH hasil dekomposisi jalur basa dapat dilakukan dengan

asam kuat seperti HCl, H2SO4 dan HNO3. Pelarutan dengan menggunakan H2SO4

diperlukan jumlah asam (2-3) kali jumlah HCl dan kebutuhan HCl untuk

pelarutan adalah 679,5 gram setiap 453 gram umpan monasit. Selain itu kelarutan

(U, Th, LTJ)OH dalam H2SO4 lebih kecil dibandingkan dengan HCl atau

HNO3(Nuri et all., 2002).

Pelarutan terbagi menjadi dua yaitu pelarutan parsial dan pelarutan total.

Pelarutan parsial dengan HCl pada pH 3,7 bertujuan untuk melarutkan logam

tanah jarang sebanyak mungkin dan U dan Th terlarut seminimal

mungkin(Sumarni et all., 2011), sedangkan pelarutan total menggunakan H2SO4

untuk melarutkan semua U dan Th yang ada pada endapan(Ferliana et all., 2016).

Page 22: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

9

c. Pengendapan

Proses pengendapan dari hasil pelarutan monasit menggunakan NH4OH dan

NaOH dengan pHtertentu. Filtrat hasil dari pelarutan monasit ditambahkan

NH4OH akan terbentuk endapan hidroksida. Amonia dipilih karena merupakan

basa yang sangat mudah untuk direaksikan dengan larutan nitrat dan ion NH4+

tidak akan mengotori endapan yang terbentuk. Semakin meningkat pH

pengendapan maka semakin banyak pula NH4OH yang ditambahkan. Untuk

mengendapkan U, Th, dan LTJ masing-masing diendapkan dengan pH tertentu

(Suyanti & Purwani, 2011).

Proses pengendapan ini dilakukan dari hasil pelarutan parsial pada pengolahan

monasit. Pengendapan dengan menggunakan NH4OH pada pH 6,3 bertujuan

untuk mengendapkan uranium dan thorium yang berada pada larutan (Ferliana et

all., 2016).

2.3 Logam Tanah Jarang

Kelompok unsur logam tanah jarang pertama kali ditemukan pada tahun 1787

oleh seorang letnan angkatan bersenjata Swedia bernama Karl Axel Arrhenius,

yang mengumpulkan mineral ytteribite dari tambang feldspar dan kuarsa di dekat

Desa Ytterby, Swedia. Mineral tersebut berhasil dipisahkan oleh J. Gadoli pada

tahun 1796 (Weeks & Leicester, 1968).

Logam tanah jarang pertama kali diproduksi secara komersial pada tahun

1880-an di Swedia dan Norwegia dari mineral monasit. Produksi di Skandinavia

didorong oleh penemuan pada tahun 1884 dari mantel lampu pijar Welsbach, yang

pada mulanya memerlukan oksida lantanum, yttrium, dan zirkonium, dengan

percobaan dan perbaikan selanjutnya yang dibutuhkan hanya oksida torium dan

Page 23: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

10

serium. Produksi logam tanah jarang pertama di Amerika Serikat tercatat pada

tahun 1893 di North Carolina. Namun, tonase kecil monasit dilaporkan sudah

ditambang dari tahun 1887. Carolina Selatan memulai produksi monasit pada

tahun 1903. Produksi monasit di luar negeri terjadi di Brasil pada awal 1887, dan

India memulai pemulihan bijih pada tahun 1911(Hedrick, 2003).

Unsur logam tanah jarang atau rare earth elements (REE) dalam tabel

periodik dikenal dengan nama lanthanida. Hal ini karena LTJ merupakan

kumpulan unsur scandium, yttrium dan 15 unsur dari golongan lanthanida (La,

Ce, Pr, Nd, Pm, Sm, Eu, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm, Yb dan Lu).Grup lanthanida

terdiri dari unsur-unsur stabil dengan nomor atom dari 57 sampai 71. Yttrium dan

scandium bukan termasuk golongan lanthanida, akan tetapi memiliki sifat kimia

yang sama dengan unsur pada golongan lanthanid, sehingga yttrium dan scandium

termasuk dalam unsur logam tanah jarang (Jordens et all., 2012).Unsur tanah

jarang mempunyai sifat reaktif tinggi terhadap air dan oksigen, bentuk senyawa

stabil dalam kondisi oksida, titik leleh relatif tinggi, serta sebagai bahan

penghantar panas yang tinggi (Suprapto, 2009).

Page 24: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

11

Tabel 1. Unsur Logam Tanah Jarang

Simbol Nama unsur Simbol Nama unsur

Y Yttrium Gd Gadolinium

Sc Scandium Tb Terbium

La Lanthanum Dy Dysprosium

Ce Cerium Ho Holmium

Pr Praseodymium Er Erbium

Nd Neodymium Tm Thulium

Pm Promethium Yb Ytterbium

Sm Samarium Lu Lutetium

Eu Europium

(Suprapto, 2009)

Menurut Suprapto(2009) berdasarkan variasi radius ion dan susunan elektron,

unsur tanah jarang diklasifikasikan ke dalam dua subkelompok, yaitu :

a. Unsur tanah jarang ringan, atau subkelompok cerium yang meliputi lanthanum

hingga europium

b. Unsur tanah jarang berat, atau subkelompok yttrium yang meliputi gadolinium

hingga lutetium dan yttrium.

LTJ tidak terbentuk secara alami pada pembentukan logam, LTJ hanya

tercampur dalam mineral dan sangat sulit dipisahkan karena memiliki sifat fisika

dan kimia yang sama. Mineral-mineral pembawa rare earth elements (REE) atau

LTJ diantaranya adalah (Moldeveanue & Papangelakis, 2012):

a. Karbonat : Bastnasit (LTJ, Ce)(CO3)F yang mengandung 65-75% LTJ oksida

(LTJO)

b. Fosfat : Monasit (LTJ)PO4mengandung 55-65% LTJ oksida (LTJO), xenotime

(Y,LTJ)PO4 yang mengandung 25-60% Y2O3. Monasit dan xenotime

Page 25: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

12

merupakan hasil samping dari pertambangan titanium, zirkonium dan timah.

Keberadaan LTJ dalam monasit bersamaan dengan thorium dan uranium

c. Ion adsorption clays : mengandung 0,05-0,2% LTJO pada permukaan mineral

alumunium-silika (kaolinit, illit dan smectite).

Salah satu cara untuk memaksimalkan proses pengolahan monasit yaitu

mencari kinetika sehingga mekanisme reaksi pengolahan monasit dapat

dioptimalkan.

2.4 Kinetika Reaksi

Kinetika kimia adalah bagian dari ilmu kimia fisika yang mempelajari laju

reaksi kimia, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta penjelasan hubungannya

terhadap mekanisme reaksi.Kinetika kimia disebut juga dinamika kimia, karena

adanya gerakan molekul, elemen atau ion dalam mekanisme reaksi dan laju reaksi

sebagai fungsi waktu. Mekanisme reaksi dapat diramalkan dengan bantuan

pengamatan dan pengukuran besaran termodinamika suatu reaksi seperti tekanan,

termperatur, kerapatan dll dengan mengamati arah jalannya reaktan maupun

produk suatu sistem(Siregar, 2008)

Menurut Khairat dan Herman (2004) informasi konstanta laju reaksi dan orde

reaksi terhadap pereaksi dapat digunakan untuk merancang alat pabrik maupun

perancang reaktor dalam proses produksi seperti spesifikasi alat, bahan yang

dibutuhkan, biaya produksi, dll . Penentuan konstanta laju reaksi terhadap

pereaksi perlu dilakukan agar dapat merancang reaktor yang sesuai jika ingin

mensintesis senyawa dalam skala industri.

Studi kinetika pelarutan dilakukan untuk menentukan pengendali laju reaksi,

menentukan parameter kinetika pelarutan (konstanta laju reaksi atau koefisien

Page 26: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

13

difusi) dan energi aktivasi reaksi. Pengendali laju reaksi adalah tahap proses yang

memiliki laju yang paling lambat dan menjadi penentu laju proses secara

keseluruhan karena laju difusi yang lambat menyebabkan frekuensi tumbukan

antar molekul semakin meningkat dan meningkatkan produk yang dihasilkan.

Pengendali laju reaksi penting untuk diketahui karena dengan mengetahui

pengendali laju dapat diketahui upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan laju proses pelarutan, misalnya peningkatan pengadukan,

peningkatan suhu atau konsentrasi reagen pelindi. Selain itu, dengan model

kinetika yang diperoleh dapat diprediksi laju pelarutan residu dekomposisi yang

sejenis dalam larutan pelindian yang sama pada kondisi yang bervariasi tanpa

secara terus menerus melakukan percobaan(Mubarok & Fathoni, 2016). Faktor-

faktor yang mempengaruhi laju reaksi yaitu konsentrasi pelarut, suhu, tekanan,

intensitas radiasi, pengadukan dan sifat pelarutnya(Siregar, 2008).

Reaksi pelarutan residu dekomposisi merupakan reaksi heterogen karena

melibatkan lebih dari satu fasa, yaitu fasa padat berupa bijih dan fasa cair yaitu

reagen pelindi. Reaksi pelarutan residu dekomposisi dalam larutan asam

kloridamengikuti model reaksi dari Levenspiel (1999) yang secara umum dapat

dituliskan sebagai berikut:

aA(solid)

+ bB(liquid)

→ cC(liquid)

+ dD(solid) (1)

aA(solid)

+ bB(liquid)

→ cC(liquid) (2)

aA(solid)

+ bB(liquid)

→dD(solid) (3)

Menurut Levenspiel (1999)keseluruhan proses reaksi dapat melibatkan langkah

sebagai berikut:

Page 27: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

14

a. Perpindahan massa antara reaktan dan produk sebagian besar berada dapat

fasacairan dan permukaan luar dari partikel padat

b. Difusi reaktan dan produk di dalam pori-pori padatan

c. Reaksi kimia antara reaktan di dalam fasa cairan dan dalam padatan

Pada Gambar 1 dijelaskan ada dua mekanisme reaksi partikel padatan

yaitu partikel yang tidak mengalami penyusutan dan partikel yang mengalami

penyusutan. Pada partikel yang tidak mengalami penyusutan karena ketika

partikel mengandung sejumlah pengotor yang tetap sebagai abu yang tidak

terkelupas atau jika membentuk produk yang kuat sedangkan partikel yang

mengalami penyusutan karena pengelupasan abu atau produk gas yang

menyebabkan terjadinya penyusutan partikel (Levenspiel, 1999).

Gambar 1. Berbagai jenis reaksi partikel padat(Levenspiel, 1999)

Untuk reaksi non katalitik dari partikel dengan cairan di sekitarnya Levenspiel

(1999) mempertimbangkan dua model matematika yang sederhana yaitu model

Page 28: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

15

kinetika konversi progresif (progressive conversion model) dan model kinetika

inti yang menyusut (shrinking core model).

a. Progressive Conversion Model (PCM)

Menurut Levenspiel (1999)Progressive conversion model (PCM) adalah suatu

model kinetika yang memvisualisasikan gas reaktan masuk ke dalam partikel dan

bereaksi setiap saat, kemungkinan besar pada tingkat dan lokasi yang berbeda.

Dengan demikian, reaktan padat dikonversi secara terus menerus dan progresif

pada keseluruhan partikel seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Menurut model konversi progresif, reaksi berlangsung terus menerus

di seluruh partikel padat (Levenspiel, 1999).

b. Shrinking Core Model(SCM)

Menurut Levenspiel (1999)Shrinking core model atau model kinetika inti yang

menyusut adalah sebuah model perhitungan matematika untuk menggambarkan

fenomena reaksi fluida padatan. Model matematika ini digunakan untuk reaksi

non katalitikdengan fluida.Shrinking core model merupakan salah satu model

Page 29: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

16

perhitungan matematika dari dua model perhitungan matematika.Shrinking core

model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pertama kali dikulit terluar dari

partikel.Zona reaksi kemudian bergerak menuju inti padatan yang tidak beraksi,

meninggalkan material yang benar-benar terkonversi dan padatan inert yang

disebut sebagai "abu."Dengan demikian, setiap saat ada inti material yang tidak

bereaksi yang menyusut ukurannya selama reaksi, seperti ditunjukkan pada

Gambar 3.

Gambar 3. Reaksi yang terjadi menurut model kintetika inti yang menyusut

(Levenspiel, 1999).

Page 30: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

17

Gambar 4. Mekanisme reaksi yang terjadi menurut kinetika inti yang

menyusut menurut Levenspiel (1999).

Levenspiel (1999) menyatakan bahwa model ini pertama kali

dikembangkan oleh Yagi dan Kunii, yang memvisualisasikan lima langkah yang

terjadi berturut-turut selama reaksi bisa dilihat pada Gambar 4.

1) Pereaksi berdifusi melalui lapisan gas yang mengelilingi partikel ke

permukaan padatan.

2) Pereaksi berdifusi melalui lapisan abu ke permukaan inti yang tidak bereaksi.

3) Pereaksi dengan inti padatan saling bereaksi.

4) Produk berdifusimelalui lapisan abu kemudian kembali ke permukaan padat.

5) produkberdifusi melalui lapisan gas dan kembali fasa cairan.

Dalam beberapa situasi, beberapa langkah ini tidak ada. Sebagai contoh, jika

tidak ada produk gas terbentuk, langkah 4 dan 5 tidak berkontribusi langsung pada

ketahanan terhadap reaksi, serta hambatan dari langkah yang berbeda biasanya

sangat bervariasi satu dari yang lain. Dalam kasus seperti itu kita dapat

mempertimbangkan langkah tersebut untuk mengendalikan laju (Levenspiel,

1999).

Page 31: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

18

Kinetika reaksi pelarutan residu dekomposisi ini dapat didekati dengan model

kinetika inti yang menyusut (shrinking core model atau disingkat SCM).

Penggunaan model shrinking core untuk analisis kinetika pelarutan residu

dekomposisi dilandasi asumsi-asumsi sebagai berikut:

a) Partikel bijih berbentuk bulat

b) Terdapat mineral dominan yang tidak ikut terlarut yang membentuk lapisan

padat yang porous pada permukaan inti yang bereaksi.

c) Terbentuk lapisan (film) fluida tipis pada permukaan mineral

d) Konsentrasi asam dianggap cukup tinggi sehingga tidak berubah secara

signifikan dengan berjalannya waktu

e) Ukuran partikel bijih tidak berubah (hanya inti yang bereaksi yang ukurannya

menyusut terhadap waktu)

Menurut Levenspiel (1999), model-model matematika untuk setiap jenis

pengendali laju reaksi sesuai shrinking core model dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1) Difusi melalui lapisan film fluida (NBL: Nernst Boundary Layer) pada

permukaan bijih

(4)

(5)

2) Difusi melalui lapisan produk padat yang tidak bereaksi

( )

( ) (6)

(7)

3) Reaksi antarmuka

Page 32: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

19

( )

(8)

(9)

t = waktu pelindian (detik)

τ = waktu pelarutan hingga logam tanah jarang dalam monasit dianggap habis

bereaksi (menit)

XB= fraksi logam tanah jarang yang terkonversi (mol) pada waktu t (detik),

R = nilai rata-rata dari jari-jari partikel (meter)

ΡB= densitas molar bijih (mol/m

3

)

b = perbandingan mol reagen pelarutan terhadap mol logam tanah jarang yang

bereaksi

CAg= adalah konsentrasi asam yang digunakan (mol/m

3

)

kl= adalah konstanta difusi melalui film fluida pada permukaan bijih (m/detik)

De = koefisien difusi pada lapisan padat yang tidak bereaksi (m

2

/detik)

k″ = konstanta laju reaksi orde pertama (detik-1

).

Konstanta laju reaksi sangat bergantung pada suhu reaksi. Menurut

Arrhenius suhu mempengaruhi konstanta laju reaksi (k), dengan persamaan

sebagai berikut:

( )

(10)

dimana,

A = faktor tumbukan

E = energi aktivasi (J/mol)

R = konstanta gas ( 8,314J/mol.K)

Page 33: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

20

T = suhu reaksi (K)

Energi aktivasi (E) adalah energi minimum yang harus dimiliki oleh suatu

reaktan untuk dapat bereaksi. Nilai dari energi aktivasi didapat dari eksperimen

yang dilakukan pada suhu yang berbeda dan dapat ditunjukkan dengan

persamaan:

(

) (11)

Dari Persamaan 11 dapat diuraikan bahwa dengan membuat grafik hubungan ln k

terhadap 1/T, maka nilai -E/R dapat ditentukan(Purba & Khairunisa, 2012).

Kinetika reaksi akan dilakukan jika sudah dapat data dari hasil penelitian,

sebelum didapatkan data sampel harus dianalisis terlebih dahulu oleh instrumen.

Instrumen yang digunakan yaitu XRF dan ICP-OES

2.5 XRF (X-ray Fluorescence Spectrometry)(Setiabudi dkk., 2012)

Sampel yang akan dianalisis dengan XRF adalah sampel monasit hasil tahap

dekomposisi jalur basa yaitu residu dekomposisi. Analisa XRF merupakan salah

satu contoh analisis yang didasarkan pada perilaku atom yang terkena

radiasi.Interaksi atom dengan cahaya dapat menyebabkan berbagai fenomena

yang dipengaruhi oleh kuatnya intensitas cahaya yang berinteraksi dengan atom

tersebut. Ketika material berinteraksi dengan cahaya yang memiliki energi tinggi

(sebagai contoh: sinar-X), maka dapat menyebabkan terpentalnya elektron yang

berada pada tingkat energi paling rendah pada suatu atom. Akibatnya atom berada

pada keadaan yang tidak stabil sehingga elektron yang berada pada tingkat (kulit

valensi) yang lebih tinggi akan mengisi posisi kosong yang ditinggalkan oleh

elektron yang terpental tadi. Proses pengisian posisi elektron pada kulit valensi

yang lebih rendah dinamakan deeksitasi. Proses deeksitasi ini akan disertai dengan

Page 34: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

21

pemancaran cahaya dengan energi yang lebih kecil daripada energi yang

menyebabkan tereksitasinya elektron. Energi yang dipancarkan ini dinamakan

radiasi flouresensi.Radiasi flouresensi ini memiliki energi yang khas tergantung

dari elektron yang tereksitasi dan terdeeksitasi pada atom penyusun sebuah

material.Kekhasan karakteristik dari radiasi flouresensi pada setiap unsur ini

memungkinkan dapat dilakukannya analisa kualitatif untuk mengidentifikasi

unsur-unsur yang berbeda.Sementara itu, analisa kuantitatif untuk menentukan

konsentrasi dari unsur yang dianalisis dapat ditentukan berdasarkan intensitas dari

radiasi fluoresensi yang dipancarkan.

Dalam mengidentifikasi unsur-unsur pada sebuah material, sangat

memungkinkan setiap unsur berbeda yang terdapat pada material tersebut

memancarkan radiasi sebagai hasil interaksi dengan berkas cahaya yang mengenai

material tersebut, sehingga pada akhirnya masing-masing berkas monokromatik

yang dihasilkan akan bergabung memancarkan berkas cahaya polikromatik. Untuk

dapat mengidentifikasi keberadaan sebuah unsur dalam suatu sampel (analisa

kualitatif unsur), berkas cahaya polikromatik yang dipancarkan dari sampel

(sebagai gabungan hasil interaksi atom unsur penyusun material sampel dengan

sinar-X) harus dipisahkan menjadi berkas cahaya monokromatik yang memiliki

masing masing panjang gelombang dengan energi yang berbeda.Pada prinsipnya,

instrument XRF dapat menggunakan dua buah teknik untuk memisahkan berkas

polikromatik menjadi berkas monokromatik.Teknik yang pertama adalah teknik

pemisahan panjang gelombang (wavelength-dispersive), sedangkan teknik yang

kedua adalah teknik pemisahan energi (energy dispersive). Teknik pemisahan

panjang gelombang dapat memanfaatkan kemampuan kristal single untuk

Page 35: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

22

mendifraksikan berkas cahaya sehingga dihasilkan pita panjang gelombang yang

berbeda-beda. Sementara teknik pemisahan energi dapat dilakukan dengan

menggunakan detektor yang dapat mengisolasi pita energi yang berbeda-

beda.Setiap transisi elektron yang terjadi pada setiap atom unsur, memiliki nilai

panjang gelombang tertentu yang telah diketahui besarannya. Oleh karena itu,

dengan diketahuinya panjang gelombang apa saja yang terdapat pada berkas

cahaya yang dipancarkan dari sampel, maka dapat diidentifikasi unsur apa saja

yang terdapat pada sampel tersebut. Sementara konsentrasi unsur dalam sampel

dapat diketahui dari intensitas panjang gelombang yang terekam pada pita panjang

gelombang tersebut. Instrumentasi XRF terdiri dari dua bagian utama, yaitu

sumber utama sinar-X (primary X-ray) dan peralatan untuk mendeteksi sinar-X

yang dipancarkan dari sampel (secondary X-ray)(Setiabudi dkk., 2012). Adapun

secara lengkap, bagian-bagian lain yang terdapat pada instrumen XRF

sebagaimana ditunjukan pada Gambar 5.

Gambar 5.Instrumen XRF dan Bagian-bagiannya (Setiabudi dkk., 2012)

Page 36: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

23

1. Tabung Sinar X

Tabung sinar-X (X-ray tube) merupakan sumber produksi sinar-Xyang akan

digunakan sebagai berkas cahaya untuk mengeksitasikan elektron pada sampel.

Pada tabung sinar-X ini terdapat bagian filamen sebagai sumber elektron dan plat

logam sebagai target untuk menghasilkan sinar-X. Elektron yang terlepas ketika

filamen dipanaskan kemudian dipercepat oleh medan magnet sehingga memiliki

energi yang cukup besar untuk menumbuk plat logam sehingga menyebabkan

elektron pada platlogam tereksitasi. Elektron yang berada pada tingkat orbital

yang lebih tinggi kemudian mengisi kekosongan posisi yang ditinggalkan oleh

elektron yang tereksitasi sambil memancarkan sinar-X.Sinar-X ini lah yang

kemudian diarahkan menuju sampel melalui filter. Plat logam yang digunakan

pada tabung sinar-X bermacam-macam, seperti Cu, Al, Rh, dan lain-lain.

2. Filters

Filters yang diletakan diantara tabung sinar-X dengan sampel berfungsi sebagai

penyaring berkas sinar yang dipancarkan dari tabung sinar-X. Berkas sinar ini

perlu disaring untuk memisahkan komponen yangtidak diinginkan yang dapat

mengganggu signal yang dihasilkan untuk dianalisa. Alumunium foil (Al) dan

tembaga (Cu) biasanya digunakan sebagai material pada filter. Material filter ini

dapat disesuaikan dengan kepentingan analisa. Sebagai contoh, ketika melakukan

analisa keberadaan Rh dalam sebuah sampel menggunakan sumber sinar-X yang

dilengkapi oleh plat Rh, maka berkas sinar-X yang dipancarkan dari tabung sinar-

Xharus disaring, jika tidak, maka berkas cahaya yang dipancarkan dari sumber

akan dapat terdeteksi sebagai sinar-X yang terpancarkan dari sampel sehingga

mengganggu analisa kualitatif.

Page 37: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

24

3. Collimators

Bagian ini berfungsi untuk memperjelas resolusi berkas sinar-X yang dipancarkan

dari sampel yang terkena radiasi sehingga mempertajam berkas sinar untuk

dianalisa.

4. Analyzer crystal

Bagian ini berfungsi untuk mengubah berkas cahaya polikromatik yang

dipancarkan dari sampel menjadi masing-masing berkas cahaya monokromatik

dengan panjang gelombang berbeda sehingga dapatdilakukan analisa kualitatif

untuk menentukan kandungan unsur dalam sampel berdasarkan panjang

gelombang dari masing-masing berkas cahaya monokromatik tersebut

2.6 ICP-OES (Inductively Coupled Plasma-Optical Emission Spectrometry)

Sampel yang akan dianalisis adalah sampel filtrat pelarutan dengan HCl. ICP-

OES adalah instrumen untuk mengukur unsur yang spesifik dalam sampel. Prinsip

dasarnya adalah emisi spontan dari foton atau ion yang tereksitasi, sampel

dikonversi menjadi aerosol kemudian dialirkan ke saluran plasma argon dengan

suhu tinggi sekitar 6000-10.000K sehingga aerosol cepat menguap dan

dibebaskan sebagai atom bebas dalam bentuk gas. Eksitasi lebih lanjut plasma

mengirimkan energi tambahan ke atom kemudian tereksitasi dan kembali ke

keadaan dasar melalui emisi foton.Foton ini memiliki karakterisasi energi yang

ditentukan oleh tingkat energi terkuantisasi untuk unsur dan atom.Dengan

demikian panjang gelombang foton digunakan untuk mengidentifikasi unsur yang

ada dalam sampel. Jumlah total foton berbanding lurus dengan konsentrasi unsur

dalam sampel. Sistem ICP / OES relatif sederhana.Sebagian dari foton

dipancarkan oleh ICP dikumpulkan dengan lensa atau cermin cekung.Optik yang

Page 38: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

25

fokus ini membentuk gambar ICP aktif kemudian masuk ke perangkat pemilihan

panjang gelombang seperti monokromator.Panjang gelombang tertentu yang

keluar dari monokromator diubah menjadi sinyal listrik oleh fotodetektor. Sinyal

diperkuat dan diproses oleh detektor elektronik, kemudian ditampilkan dan

disimpan oleh komputer (Hou & Jones, 2000).

Menurut Boss & Fredeen (2004)Pada sistem ICP-OES sampel biasanya

berbentuk cairan diangkut ke dalam instrumen. Pada bagain dalam instrumen,

cairan diubah ke dalam bentuk aerosol melalui proses yang dikenal sebagai

nebulization. Sampel aerosol kemudian diangkut ke plasma dimana akan

dihancurkan, diuapkan diatomisasi dan tereksitasi dan/atau terionisasi oleh

plasma. Atom dan ion yang tereksitasi memancarkan radiasinya kemudian

terdeteksi dan diubah menjadi konsentrasi untuk para analis.Representasi tata

letak ICP-OES ditunjukkan pada Gambar 6.

Page 39: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

26

Gambar 6. Komponen utama dan tata letak pada instrumen ICP-

OES(Boss & Fredeen, 2004)

1. Nebulizer

Nebulizer adalah alat yang mengubah cairan menjadi aerosol yang dapat

diangkut ke plasma. Proses nebulasi adalah salah satu langkah penting dalam ICP-

OES. Sistem pengantar sampel yang ideal adalah sistem yang memberikan semua

sampel ke plasma yang dapat dihancurkan, diuapkan, diatomisasi, diionisasi dan

dieksitasi.Karena hanya dengan sedikit tetesan yang berguna dalam ICP,

kemampuan untuk menghasilkan tetesan kecilberbagai macam sampel sangat

menentukan kegunaan nebulizer untuk ICP-OES.

Banyak cara dapat digunakan untuk memecah cairan menjadi aerosol; namun,

hanya dua yang berhasil digunakan dengan ICP, gaya pneumatik dan gaya

ultrasonik. Kebanyakan nebulizer ICP komersial adalah dari tipe

pneumatik.Nebulizer ini menggunakan aliran gas berkecepatan tinggi untuk

membuat aerosol.Penggunaan nebulizer pneumatik dalam ICP-OES mengikuti

penggunaan dan pengembangannya dalam spektrometri serapan atom, dengan satu

perbedaan penting dalam pertimbangan desain.Dalam serapan atom, aliran gas

pada urutan sepuluh liter per menit yang sering digunakan untuk nebulisasi,

sedangkan aliran nebulisasi di ICP optimal sekitar satu liter per menit. Bertahun-

tahun penelitian telah meninggalkan kami dengan tiga nebulisator pneumatik,

masing-masing dengan kelebihannya sendiri

Page 40: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

27

2. Pumps

Pompa peristaltik, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7, hampir secara

ekslusif merupakan pompa pilihan untuk aplikasi ICP-OES. Pompa ini

menggunakan serangkaian rol yang mendorong larutan sampel melalui pipa

menggunakan proses yang dikenal sebagai peristaltik. Pompa itu sendiri tidak

bersentuhan dengan larutan, hanya dengan pipa yang membawa larutan dari

bejana sampel ke nebulizer. Dengan demikian, potensi kontaminasi dari pelarut

lain yang mungkin ada dengan jenis pompa lain tidak menjadi perhatian.

Pipa khusus yang digunakan dengan pompa peristaltik harus kompatibel

dengan sampel yang melewatinya.Sebagian besar jenis tabung pompa peristaltik

kompatibel dengan media berair lemah.Namun, memompa larutan yang sangat

asam atau pelarut organik biasanya membutuhkan penggunaan tabung yang

terbuat dari bahan tertentu.Manual Operator instrumen ICP-OES sering

menyertakan panduan untuk pemilihan tubing yang tepat. Jika informasi ini tidak

disediakan, analis harus berkonsultasi dengan tabel resistivitas kimia untuk

memilih tabung pompa yang tepat ketika asam kuat atau pelarut organik akan

dipompa.

Page 41: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

28

Gambar 7. Pompa peristaltik yang digunakan pada instrument ICP-OES(Boss &

Fredeen, 2004)

3. Spray Camber

Setelah aerosol sampel dibuat oleh nebulizer, sampel harus diangkut ke torch

sehingga dapat disuntikkan ke dalam plasma.Karena hanya tetesan yang sangat

kecil di aerosol yang cocok untuk injeksi ke dalam plasma, ruang semprot

ditempatkan di antara nebulizer dan torch.Beberapa desain ruang semprot ICP

khas ditunjukkan pada Gambar 8.Fungsi utama dari ruang semprot adalah untuk

menghilangkan tetesan besar dari aerosol.Tujuan kedua dari ruang semprot adalah

untuk memperkecil getaran yang terjadi selama nebulisasi, seringkali karena

memompa larutan.

Secara umum, ruang semprot untuk ICP dirancang untuk memungkinkan

tetesan dengan diameter sekitar 10 µm atau lebih kecil lewat ke plasma.Dengan

nebulizer tipikal, kisaran tetesan ini merupakan sekitar 1 - 5% dari sampel yang

diperkenalkan ke nebulizer.Sisa 95 - 99% sampel dikeringkan ke dalam wadah

limbah.Bahan untuk membuat ruang semprot dapat menjadi karakteristik penting

dari ruang semprot.Ruang semprot yang terbuat dari bahan tahan korosi

Page 42: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

29

memungkinkan analis untuk mengetahui sampel yang mengandung asam

hidrofluorik yang dapat merusak ruang semprotan kaca. Tipe spray chamber

terbagi menjadi dua jenis bisa dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Tipe spray chamber yang digunakan pada ICP-OES. A jenis scott

double pass B jenis conical single pass dengan impact bead (Boss &

Fredeen, 2004)

4. Drains

Drainsmerupakan bagian sederhana dari sistem pengenalan sampel, saluran

pembuangan yang membawa sampel berlebih dari ruang semprotan ke wadah

limbah dapat berdampak pada kinerja instrumen ICP. selain membawa sampel

berlebih, sistem drainase memberikan tekanan balik yang diperlukan untuk

memaksa sampel gas nebulizer pembawa aerosol sampel melalui tabung injektor

torch dan ke dalam pelepasan plasma, jika sistem drainase tidak mengalirkan

secara merata atau jika memungkinkan gelembung lewat melalui itu, injeksi

sampel ke dalam plasma dapat terganggu dan emisi dapat terjadi.

Drainuntuk sistem pengenalan sampel ICP-OES ada dalam berbagai bentuk

yaitu loop, blok, tabung-u atau bahkan pipa yang terhubung ke pompa peristaltik.

Kinerja yang tepat juga penting untuk menjaga tingkat cairan dalam sistem

Page 43: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

30

pembuangan pada posisi yang disarankan.Selain itu ketika memasukkan sampel

berbasis organik ke dalam ICP, mungkin perlu untuk menggunakan pipa drainase

yang ditunjukkan untuk digunakan dengan pelarut organik.

Page 44: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

31

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Julisampai Desember 2018.Penelitian dan

pengukuran dilakukan di LaboratoriumTeknologi Penambangan dan Pengolahan,

Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir, Badan Teknologi Nuklir Nasional

(PTBGN-BATAN) Pasar Jumat, Jakarta Selatan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas, hot plate, mesin

pengaduk, termometer, porselen corong, kertas saring, mesin vakum, botol vial,

kertas pH, stirrer, neraca analitik, ball millingjenis impeller jenis 4-blade radial

turbine, ICP-OESPerkin Elmer, XRFSpectra Xepos Amestek.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasir monasit (ukuran lolos

325 mesh), residu dekomposisi, NaOH padat, air, HCl 5M, HNO3, aquades.

Page 45: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

32

3.3 Diagram Alir

4.3

Gambar 9. Diagram alir penelitian

Milling

Monasit -

325 mesh

Dekomposisi

jalur basa

Filtrasi (dicuci

dengan air panas

sampai pH 9,8

Filtrat Na3PO4

Monasit:NaOH:Air= 1:1,5:1,7

Temperatur = 140oC

Waktu = 4 jam

Pelarutan

Analisis

XRF

HCl 5 M= 750 ml

variasi suhu = 70-85oC

diambil 25 ml sesuai

variasi waktu = 0-240

menit

Dicuplik sesuai variasi waktu

pada masing-masihng suhu

(batch berbeda)

Analisis ICP = LTJ

Analisis data

dengan persamaan

SCM

Analisis

XRF

Residu U,

Th, LTJ(OH)

Filtrat U, Th, LTJ(Cl)

Data

Monasit

NaOH padat

+Air

HCl

Page 46: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

33

3.4 Cara Kerja

3.4.1 Preparasi Umpan Monasit(Ani & Sumarni, 2016a).

Diambil sebanyak 3 kg monasit kemudian sample digiling dengan ball mill

selama kurang lebih 2-3 jam kemudian sampel diayak sampai ukuran -325 mesh

dan diambil 1 kg untuk dibuat umpan. 300 g NaOH dengan 340 ml air dilarutkan

di dalam gelas beaker menggunakan mesin pengaduk dan dimasukkan 200 g

sampel monasit untuk dekomposisi.Larutan dipanaskansampai suhu 140oC,

setelah suhu konstan ditunggu selama 4 jam. Setelah 4 jam, larutan kemudian

diencerkan dengan 200 ml air panas sebanyak 3 kali. Larutan yang sudah

diencerkan disaring dan dicuci dengan air panas sampai pH 9,8 menggunakan

mesin vakum. Larutan yang sudah divakum menghasilkan endapan atau residu

dekomposisi.Residu dekomposisi dibiarkan semalaman agar menjadi endapan

yang kering. Sampel monasit ukuran -325 mesh dan residu dekomposisi

dikarakterisasi dengan X-Ray Fluoroscence (XRF) untuk mengetahui komposisi

kimia dominan di dalam masing-masing sampel.

3.4.2 Pelarutan Residu Dekomposisi dengan Asam Klorida (HCl)(Ani &

Sumarni, 2016b).

Pengaduk yang digunakan dalam proses pelarutan dan hot plate dalam

perlakuannya. Residu dekomposisi diambil sebanyak 50 g ditambah dengan air 15

ml dan HCl 5M 750 ml kemudian dilarutkan pada variasi suhu 70, 75 dan 80 di

batch yang berbeda, sampel kemudian dicuplik 25 ml dengan variasi waktu 0, 15,

30, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165 dan 180 setelah itu dimasukkan ke dalam botol

vial dan didiamkan sampel sehingga terbentuk fase cair dan fase padat. Fase cair

Page 47: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

34

yang nanti akan dianalisis menggunakan ICP-OES.Variasi yang dilakukan dalam

percobaan pelindian disajikann pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Variasi kondisi pada percobaan pelarutan menggunakan asam

klorida

Variasi suhu (°C) 70°C, 75°C dan 80°C

Variasi waktu (menit) 0, 15, 30, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165, 180

menit

3.4.3 Karakterisasi Sampel

a. Analisis Sampel Monasit dengan XRF (X-Ray Flouroscence).

Sampel monasit yang sudah diayak sampai ukuran -325 mesh dan residu

dekomposisi dianalisis dengan XRF untuk mengetahui komposisi dalam

sampel.Sebanyak 5 gram sampel kering dihomogenkan dengan 1 gram serbuk

binder Cereox.Kemudian serbuk dipadatkan menggunakan hydraulic press specac

dengan beban tekan 15 ton hingga membentuk pelet berbentuk koin berdiameter 5

cm. Sampel yang sudah dibentuk menjadi pelet kemudian dianalisis dengan

instrumen XRF.Hasil dari analisis XRF adalah komposisi sampel dalam bentuk

konsentrasi.

b. Analisis LTJ dengan Metode ICP-OES(Sumiarti & Alwi, 2018)

Sampel filtrat hasil cuplikan pada variasi waktu dengan masing-masing suhu

pada batch yang berbeda dianalisis dengan ICP-OES.Preparasi sampel dilakukan

dengan cara sampel diencerkan sesuai dengan kadar standar kalibrasi 0,5 ppm –

50 ppm. Larutan standar diukur pada panjang gelombang masing-masing unsur

Page 48: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

35

yang sudah diatur pada metode penetapan unsur logam tanah jarang dengan ICP-

OES.Larutan sampel diukur dengan metode standar analisis unsurlogam tanah

jarang dengan ICP-OES.

Kurva kalibrasi standar mayor dan minor dibuat dengan cara berikut.

Pembuatan larutan standar mayor, pertama deret standar unsur Ce, Pr, Nd, Sm,

Gd, La, Y dan Dy dipipet dengan kadar 0,5; 2; 5; 10; 20; 50 ppm ke dalam

masing-masing labu ukur. Larutan standar minor dibuat dengan cara deret standar

unsur Eu, Tb, Ho, Er, Tm, Yb dan Lu dipipet dengan kadar 0,5; 2; 5; 10; 20; 50

ppm ke dalam masing-masing labu ukur. sampel larutan standar yang dianalisis

yaitu Ce, La, Pr, Nd Gd, Dy dan Y.

c. Analisis Data

Data yang dihasilkan dari analisis LTJ dalam filtrat pelarutan dengan ICP OES

dalam bentuk konsentrasi LTJ pada berbagai variasi parameter dihitung dengan

Persamaan (4), (5), (6), (7), (8) dan (9) menggunakan excel. Untuk menentukan

modellingmenggunakan shrinking core modeldengan 3 cara, yaitu :

1. Difusi melalui lapisan film tipis dengan cara memplotkan data ke dalam grafik

antara XB dengan t (waktu) dimana XB diperoleh dari Persamaan (4).

2. Difusi melalui lapisan produk padat yang tidak bereaksi dengan cara

memplotkan data ke dalam grafik antara (1-3(1-XB)2/3

+2(1-XB) dengan t

(waktu) dimana (1-3(1-XB)2/3

+2(1-XB) diperoleh dari Persamaan (6).

3. Reaksi antarmuka dengan cara memplotkan data ke dalam grafik antara (1-(1-

XB)1/3

) dengan t (waktu) dimana (1-(1-XB)1/3

) diperoleh dari Persamaan (8).

Setelah ditentukan model yang sesuai untuk pengendalian laju reaksi pelarutan

residu dekomposisi pada monasit dilakukan penentuan energi aktivasi. Jika model

Page 49: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

36

tersebut mengikuti model kinetika difusi melalui lapisan film tipis maka untuk

mentukan koefisien difusi melalui lapisan film tipis digunakan Persamaan (5) dan

untuk menentukan energi aktivasinya digunakan Persamaan Arrhenius :

(12)

Jika model tersebut mengikuti model kinetika difusi melalui lapisan produk padat

yang tidak bereaksi maka untuk menentukan koefisien difusi melalui lapisan

produk padat yang tidak bereaksi digunakan Persamaan (7), dan untuk

menentukan energi aktivasinya digunakan Persamaan Arrhenius :

(13)

Jika model tersebut mengikuti model kinetika reaksi antarmuka maka untuk

menentukan konstanta laju reaksi antarmuka digunakan Persamaan (9) dan untuk

menentukan energi aktivasinya digunakan Persamaan Arrhenius :

(14)

Page 50: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Umpan

Pembuatan umpan LTJ(OH)3dari monasit dilakukan dengan metode

dekomposisi. Dekomposisi merupakan tahap pertama dari pengolahan monasit,

pada tahap ini dekomposisi terbagi menjadi 2 metode yaitu jalur asam

menggunakan reagen asam dan jalur basa menggunakan reagen basa. Pada

penelitian ini menggunakan dekomposisi jalur basa yang mereaksikan monasit, air

dan NaOH padatan dengan rasio 1:1,5:1,7 pada suhu 140°C selama 4 jam. Selama

reaksi, ikatan fosfat pada monasit akan diputus dengan NaOH dan membentuk

LTJ, U, Th(OH)3 pada residu dekomposisi beupa endapan yang bebas fosfat dan

terjadi reaksi kimia seperti pada Persamaan (15), (16) dan (17) (Pancoko, 2014).

2 LTJPO4 (s) + 6 NaOH (s) → 2 LTJ(OH)3 (s) + 2 Na3PO4 (l) (15)

Th3(PO4)4 (s)+ 12 NaOH (s)→ 3 Th(OH)4 (s)+ 4 Na3PO4 (l) (16)

(UO2)3(PO4)2 (s) + 6 NaOH (s)→ 3 UO2(OH)2 (s)+ 2 Na3PO4 (l) (17)

Karena stabilitas termal yang tinggi, LTJ fosfat sangat sulit untuk

terdekomposisi bahkan pada suhu tinggi dan karenanya sangat tidak mungkin

untuk mengalami defosforilasi melalui pemanasan suhu tinggi. Selain itu dalam

proses metalurgi, reaksi antara fosfor dan LTJ menghasilkan pembentukan

berbagai fosfida yang menyebabkan kerusakan kompleks LTJ. Oleh karena itu,

sangat penting untuk menghilangkan fosfat yang ada pada monasit untuk

meningkatkan pelarutan LTJ (Panda et all., 2014).

Page 51: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

38

Menurut Nuri et all., (2014) pengambilan atau pemisahan fosfat (PO4)

melalui proses dekomposisi jalur basa menggunakan pemisahan padat cair yaitu

fosfat yang dihasilkan berupa kristal Na3PO4berwarna orange dan untuk proses

pemisahan dari endapan (RE,U,Th)OH dilakukan pemisahan padat cair dengan

dicuci air panas, dimana fosfat mudah larut dengan air panas. Jika diinginkan

produk U, Th dan logam tanah jarang lebih murni atau bersih dari pengotor lain

bisa dilakukan dengan proses lanjutan dengan sistem pemekatan dan ekstraksi.

Residu dekomposisi kemudian dikarakterisasi dengan XRF yang dilakukan

umtuk mengetahui kadar senyawa yang terkandung dalam sampel. Analisis ini

bertujuan untuk menentukan kadar senyawa yang dominan pada sampel monasit.

Berikut adalah senyawa dominan yang ada dalam monasit disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Senyawa dalam Umpan Monasit dan Residu Dekomposisi

Senyawa

Konsentrasi

dalam

Umpan

Monasit

(ppm)

Konsentrasi

dalam Residu

Dekomposisi

(ppm)

Senyawa

Konsentrasi

dalam

Umpan

Monasit

(ppm)

Konsentrasi

dalam

Residu

Dekomposisi

(ppm)

Na2O 30650 30910 Pr 1721 1079

P2O5 80250 17650 Nd 8906 8933

S 2883 1129 Sm 1115 1164

Fe2O3 8480 7080 Er 717 616

Y 6574 6392 Yb 1076 998

ZrO2 1340 1337 Th 7094 6911

SnO2 3490 3343 U 312.9 230

TiO2 3670 3040

La2O3 16750 16960

Ce2O3 35000 35210

Page 52: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

39

Pada tabel diatas bisa dilihat bahwa senyawa P2O5 sudah banyak berkurang

yang artinya dekomposisi memang bertujuan untuk mengurangi fosfat yang

terkandung di dalam monasit.Senyawa Na2O yang sedikit bertambah

konsentrasinya pada residu dekomposisi diakibatkan adanya sedikit NaOH yang

tidak bereaksi dengan fosfat. Senyawa La2O3 dan Ce2O3 juga bertambah

konsentrasinya pada residu dekomposisi karena kedua senyawa tersebut

kandungannya sudah tinggi di dalam monasit dan mengalami pemekatan

konsentrasi saat proses dekomposisi sedangkan untuk senyawa uranium kadarnya

rendah karena senyawa uranium hanya sedikit terkandung di dalam monasit.

4.2 Pelarutan Residu Dekomposisi menggunakan HCl

Pelarutan merupakan tahap kedua dari pengolahan monasit.Pada tahap ini

pelarutan dapatmenggunakan reagen asam seperti HCl, H2SO4 dan HNO3.Pada

penelitian ini menggunakan reagen asam klorida (HCl).Konsentrasi asam klorida

dipilih 5M dari perhitungan stoikiometri antara LTJ dalam monasit dengan HCl

sehingga perubahan konsentrasi HCL selama pelarutan dianggap tidak ada

(konsentrasi reagen pelarutan dapat dijaga tetap selama pelarutan). Kinetika

pelarutan monasit menggunakan shrinking core model ini parameter yang berubah

hanya fraksi mol oksida [LTJ(OH)3]sementara parameter lain dijaga tetap yaitu

ukuran partikel (-325 mesh), kecepatan pengadukan (190-250 rpm), persen

padatan dan konsentrasi HCl. Parameter konsentrasi HCl dijaga tetap

menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi dari perhitungan stoikiometrinya dan

menggunakan persen padatan yang relatif rendah. Menurut Mubarok & Fathoni,

(2016)dengan menjaga parameter tersebut tetap, maka kinetika pelarutan dapat

dievaluasi dari perubahan fraksi oksida yang terkonversi (mol) (XB) terhadap

Page 53: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

40

waktu tanpa dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi HCl, ukuran partikel, persen

padatan dan suhu. Variasi suhuyang dipilih adalah 70oC, 75

oC dan 80

oC dan

variasi waktu yang dipilih adalah 0, 15, 30, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165 dan

180menit.Hasil dari analisis data parameter waktu dan suhu pada pelarutan

denganHCl menggambarkansemakin lama waktu pelarutan maka massa LTJ(Cl)3

yang terekstraksi semakin naik disajikan pada Gambar 10 reaksi yang terjadi ada

pada Persamaan 16, 17 dan 18.

Gambar 10. Total persen LTJ yang terlarut

HCl →H++ Cl

- (18)

LTJ(OH)3 + 3 H+ →LTJ3+

+ 3H2O (19)

3Cl-+ LTJ

3+ →LTJ(Cl)3 (20)

Hasil data analisis dari pengambilan sampel pada saat ekstraksi, massa

LTJ(Cl)3 dari menit ke menit mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini

dikarenakan semakin lama waktu pelarutan, maka reaksi antara pelarut dan

0

20

40

60

80

100

0 50 100 150 200

(%)

terl

aru

t

waktu (menit)

70°C 75°C 80°C

Page 54: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

41

padatan semakin sempurna. Menurut Wanta et all (2017) fenomena ini dapat

terjadi karena frekuensi tumbukan yang terjadi antarmolekul meningkat apabila

waktu proses leaching ditingkatkan. Peningkatan frekuensi tumbukan

antarmolekul ini menyebabkan pembentukan produk [LTJ(Cl)3] semakin

tinggi.Pada percobaan ini waktu pelarutan diuji 0 sampai 180 menit, kondisi

pelarutan yang lain dipertahankan yaitu konsentrasi HCl 5M, kecepatan

pengadukan 190-250 rpm, rasio padat/cair 1:15 pada masing-masing suhu.

Efisiensi pelarutan total LTJ masing-masing pada menit ke-180 pada suhu 70

mencapai 56,94%, suhu 75 mencapai 99% dan suhu 80 mencapai 75,38%. Karena

itu, dapat disimpulkan bahwa kontak 180 menit mewakili kondisi yang disukai

oleh LTJ

Pada Gambar 10 efisiensi kelarutan yang tertinggi yang didapat pada pelarutan

residu dekomposisi adalah 75oC.Li et all (2019) melakukan optimasi suhu pada

pelarutan menggunakan HCl dengan rentang suhu 40-70oC dengan waktu

pelarutannya yaitu 55 menit.Seiring meningkatnya suhu, kenaikan efisiensi

ekstraksi juga semakin besar.Optimasi dilakukan lagi dengan rentang suhu 75-

95oC dengan waktu pelarutannya 45 menit, kenaikan efisiensi ekstraksi juga

semakin besar.Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa suhu optimum untuk pelarutan

LTJ yaitu lebih besar dari 75oC berarti bahwa suhu 75

oC sudah mencapai suhu

optimum maka tidak perlu lagi adanya kenaikan suhu. Hal ini adalah suatu

keuntungan dari segi ekonomiyaitu penggunaan bahan bakar yang lebih sedikit

untuk skala indutri karena suhu yang lebih rendah sudah bisa mendapatkan

efisiensi kelarutan yang tinggi jika dibandingkan dengan penelitian yang

Page 55: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

42

dilakukan oleh Gado et all (2019)yang mendapatkan suhu optimum pada

pelarutan monasit Rosetta yaitu 100oC.

Massa total LTJ mengalami kenaikan dari suhu 70°C ke suhu 75°Cakan

tetapi pada suhu 80°C mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan pada saat

ekstraksi pada suhu 75°C menjadi suhu yang paling optimum saat mengekstraksi

LTJ(Cl)3, LTJ yang dipakai untuk kinetika pelarutan ini adalah Ce, La, Pr, Sm, Nd

dan Y. Menurut Free (2013) sebagian besar logam tanah jarang yang mayor

(ringan) (La, Ce, Pr, Nd, Sm) sangat sensitif terhadap suhu. Pada recovery Ce, Pr

dan Nd meningkat dari 36 %, 39 % dan 36% menjadi 79 %, 84 % dan 80 %

masing-masing dengan peningkatan suhu dari 25°C -75°C.

Berdasarkan Persamaan 19, konsentrasi asam klorida yang semakin tinggi

menyebabkan jumlah ion hidrogen (H+) yang terbentuk pada tahap disosiasi asam

juga semakin meningkat. Jumlah ion H+ yang bertambah mengakibatkan

terjadinya peningkatan aktivitas pada tahap proton attack. Ion H+ bereaksi dengan

senyawa LTJ(OH)3 yang terkandung di dalam sampel umpan (residu

dekomposisi). Semakin banyak ion H+ yang bereaksi menyebabkan ion LTJ (III)

(LTJ3+

) yang terbentuk akibat reaksi proton attack juga semakin bertambah.

Dengan demikian, pembentukan produk LTJ klorida[LTJ(Cl)3] juga akan

meningkat(Wanta et all., 2017).

Pelarutan denganHCl membutuhkan sedikit jumlah asam dibandingkan H2SO4

dan kelarutan LTJ(OH)3 menggunakan HCl lebih besar jika dibandingkan dengan

H2SO4. Menurut Xiao et all(2016) HCl mempunyai tingkat pelarutan tercepat

mencapai recovery sebesar 73% setelah lima menit pertama pelarutan dan

mencapai kesetimbangan setelah tiga jam. HNO3 juga mempunyai tingkat

Page 56: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

43

pelarutan yang cepat pada tiga puluh menit pertama pelarutan.H2SO4 adalah yang

paling kurang efektif dan mempunyai tingkat pelarutan yang paling lambat.Ion

sulfat memiliki kemampuan koordinasi yang lebih tinggi dengan senyawa lain

dibandingkan dengan logam tanah jarang sedangkan ion klorida mempunyai

koordinasi yang tinggi dengan logam tanah jarang bahkan dalam larutan

konsentrasi monovalen yang tinggi. Selain itu, asam sulfat memerlukan dua

langkah reaksi disosiasi untuk melepaskan H+ ke dalam larutan sedangkan asam

klorida dan asam nitrat terdisosiasi lebih cepat.(Yu et all., 2013)

4.3 Pengendalian Laju Reaksi

Analisis kinetika pelarutan dengan menggunakan shrinking core modelsistem

reaksi padat–cair mengansumsikan inti yang menyusut adalah LTJ yang

merupakan komponen utama monasit dari Bangka, karena itu harga XB(fraksi mol

oksida yang terlarut) ditentukan dari mol terlarut klorida dibanding dengan mol

awal dalam sampel monasit. Penentuan pengendalian laju reaksi dilakukan dengan

mengevaluasi kelinieran kurva regresi hasil percobaan pada tiga model kinetika

pada Persamaan (4), (6) dan (8).Evaluasi kelinieran regresi ditentukan dari nilai

koefisien korelasi (R2) yang paling mendekati 1. Hasil percobaan pada 3

temperatur yang berbeda terhadap tiga model kinetika shrinking core model

ditunjukkan pada Gambar 11, Gambar 12 dan Gambar 13 sementara nilai-nilai R2

dari regresi linier ditunjukkan pada Tabel 6.

Page 57: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

44

Gambar 11. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kintetika terkendali oleh

laju difusi melalui lapis film fluida.

Gambar 12. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kinetika terkendali oleh

laju difusi melalui lapisan produk padat yang tidak bereaksi

y = 0.0008x + 0.383 R² = 0.9591

y = 0.0017x + 0.6291 R² = 0.9912

y = 0.0018x + 0.3631 R² = 0.9629

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

0 50 100 150 200

XB

waktu (menit)

70°C 75°C 80°C

y = 0.0004x + 0.0569 R² = 0.9281

y = 0.0025x + 0.1546 R² = 0.9151

y = 0.0011x + 0.0352 R² = 0.8836

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0 50 100 150 200

1-3

(1-X

t)^(

2/3

)+2

(1-X

t)

waktu (menit)

70°C 75°C 80°C

Page 58: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

45

Gambar 13. Hasil pengaluran percobaan terhadap model kinetika terkendali oleh

laju reaksi kimia

Persamaan (4), (6) dan (8) mewakili proses difusi melalui lapisan film

tipis, difusi melalui produk padat yang tidak bereaksi dan reaksi kimia. Persamaan

(4) ditunjukkan pada Gambar 11. Data dari pelarutan LTJ pada suhu 70oC,75

oC

dan 80oC cocok dengan persamaan (4), kelinieran data ini dengan koefisien

korelasi (R2) yang paling besar pada suhu 75°C yaitu 0,99. Persamaan (6) dan (8)

ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13. Data dari pelarutan LTJ pada suhu 70 o

C,

75oC dan 80

oCtidak cocok dengan Persamaan (6) dan (8) karena kelinieran data

ini dengan koefisien korelasi (R2) yang paling besar pada suhu 70

oC akan tetapi

nilai kurang dari 0,95.

y = 0.0004x + 0.1475 R² = 0.9486

y = 0.0018x + 0.2586 R² = 0.9246

y = 0.0011x + 0.1319 R² = 0.9298

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0 50 100 150 200

1-(

1-X

B)1

/3

waktu (menit)

70°C 75°C 80°C

Page 59: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

46

Tabel 4. Nilai –nilai R2 regresi linier hasil percobaan pada 3 suhu terhadap 3

model kinetika yang digunakan

Temperatur (°C)

Nilai R2 untuk Setiap Model Pengendalian Laju

Difusi Lapisan

Film Tipis

Difusi Lapisan

Produk Reaksi Kimia

70 0,9591 0,9281 0,9486

75 0,9912 0,9151 0,9246

80 0,9629 0,8836 0,9298

Evaluasi model shrinking core ditentukan dari nilai koefisien korelasi (R2)

yang mendekati 1. Berdasarkan Tabel4dapat disimpulkan bahwa model yang

paling baik untuk menggambarkan pelarutan LTJ adalahdifusi melalui lapisan

film tipis yang mendekati nilai 1 dan jika dibandingkan dengan nilai R2difusi

lapisan produk dan reaksi kimia.Pada model kinetika ini dapat dikatakan bahwa

produk LTJ terbentuk dari residu dekomposisi semakin besar dan merupakan

model yang paling sesuai untuk mendeskripsikan fenomena fisis yang terjadi

selama proses pelarutanberlangsung. Hal ini dikarenakan lapisan film tipis pada

partikel monasit yang menyebabkan proses difusi akan semakin lambat dan

membutuhkan waktu yang semakin lama untuk menembus lapisan permukaan

partikel residu dekomposisiagar reaksi dapat terjadi, menandakan bahwa tahapan

difusi lapisan film tipis memiliki laju proses yang paling lambat.

Selain memakai shrinking core model untuk menentukan pengendalian laju

reaksi, ada satu model pengendalian laju reaksi yang dipakai yaitu dengan metode

pencocokan kurva (curve fitting) antara kurva dummy model dengan data

percobaan. Menurut Mubarok & Fathoni (2016) kurva yang dicocokan adalah

kurva hubungan antara (1-XB) terhadap t/τ yang mana t percobaan adalah waktu

pengambilan sampel larutan untuk analisis konsentrasi LTJ terlarut. Pembuatan

Page 60: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

47

kurva dummy perlu ditentukan harga τ, sehingga pada nilai XBdummy (0 sampai 1

dengan kenaikan teratur) dapat ditentukan harga t dummy yang berkesesuaian.

Berdasarkan Persamaan (4), (6) dan (8), nilai τ dapat diperoleh dari persamaan

regresi linier model pengendali laju terhadap waktu yang mana gradien yang

dihasilkan dari persamaan regresinya adalah nilai dari 1/τ.

Berdasarkan uji kelinieran, nilai R2 yang paling mendekati 1 adalah regresi

dengan model kinetika yang terkendali oleh difusi melalui lapisan film tipis,

karena itu untuk menentukan nilai τ yang dilakukan adalah menentukan gradient

dari pengaluran nilai-nilai XB terhadap t (Persamaan 4) yang mana nilai gradient

tersebut sama dengan nilai 1/τ. Pada Tabel 6disajikan persamaan regresi linier

data percobaan terhadap model kinetika yang terkendali oleh difusi melalui

lapisan film tipis (XB) terhadap waktu (t) beserta harga gradient (1/τ) dan τ yang

didapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil perhitungan nilai τ

Temperatur

(°C) Persamaan Gradien τ (jam)

70 y=0,0008x 0,0008 20,83

75 y=0,0017x 0,0017 9,80

80 y=0,0018x 0,0018 9,26

Gambar 14, Gambar 15 dan Gambar 16 menyajikan hasil pencocokan

kurva (curve fitting) antara kurva dummy yang telah dibuat dengan kurva hasil

percobaan. Pencocokan kurva hasil percobaan dengan kurva dummy menunjukkan

bahwa model kinetika yang paling cocok dengan hasil percobaan adalah model

kinetika yang terkendali oleh proses difusi melalui lapisan film tipis karena grafik

hasil percobaan dan grafik difusi melalui lapisan film tipis memiliki tren pola

grafik yang mirip.

Page 61: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

48

Gambar 14. Hasil fitting data percobaan pada suhu 70 terhadap kurva dummy

model

Gambar 15. Hasil fitting data percobaan pada suhu 75 terhadap kurva dummy

model

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

1-X

B

t/τ

difusi lapisan tipis difusi lapisan produk

reaksi kimia percobaan

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

1-X

B

t/τ difusi lapisan tipis difusi lapisan produk

reaksi kimia percobaan

Page 62: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

49

Gambar 16. Hasil fitting data percobaan pada suhu 80 terhadap kurva dummy

model

4.4 Penentuan Energi Aktivasi Pelarutan

Pengendalian laju reaksi yang didapat pada penelitian ini yaitu difusi melalui

lapisan film tipis maka penentuan Energi aktivasi (Ea) untuk proses pelarutan

dilakukan dengan menggunakan persamaan Arhenius k1 = k0.

yang mana k1

adalah harga koefisien difusi melalui lapisan film tipis, k0 adalah konstanta, T

suhu larutan (K) dan R konstanta gas ideal (8,314 J/K.mol). nilai k1 dihitung

dengan Persamaan12) :

Dengan ρB = densitas molar total oksida, R = jari-jari partikel, C(HCl) =

konsentrasi asam klorida dan b = perbandingan mol reagen pelarut terhadap mol

oksida yang bereaksi, densitas molar dan jari jari partikel bisa dilihat pada literatur

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

1-X

B

t/τ

difusi lapisan tipis difusi lapisan produk reaksi kimia percobaan

Page 63: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

50

kemudian dihitung dan dikonversi. Hasil perhitungan nilai k1 disajikan pada Tabel

6.

Tabel 6. Hasil perhitungan nilai K1

Temperatur

(K) Slope (m) k

1 (m/s) ln k

1 1/T

343 0,0008 3,22108E-06 -12,6458 2,92E-03

348 0,0017 1,5158E-06 -13,3996 2,87E-03

353 0,0018 1,43159E-06 -13,4567 2,83E-03

Nilai Ea dapat diperoleh dengan cara mengalurkan ln k1 terhadap 1/T yang

akan memberikan persamaan garis lurus dengan kemiringan sebesar -

seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 17. Kemiringan kurva pada gambar diperoleh nilai

energiaktivasi untuk pelarutan LTJ dari monasit Bangka dalam larutan asam

klorida yaitu sebesar - 81,96 kJ/mol. Jika nilai energi aktivasi negatif maka reaksi

berjalan spontan yang bisa diartikan bahwa pada keadaan standard reaksi dapat

berjalan secara spontan. Reaksi tersebut tidak membutuhkan energi tambahan dari

luar untuk memperoleh produk. Suhu dapat mempengaruhi reaksi karena dapat

meningkatkan kecepatan kinetika reaksi untuk partikel tumbukan. Hal tersebut

juga dapat mengetahui energy yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan

kecepatan laju reaksi (Fessenden & Fessenden, 1982).

Page 64: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

51

Gambar 17. Hasil pengaluran ln k1 terhadap 1/T

Nilai energi aktivasi ini lebih tinggi dari energi aktivasi dari pelarutan LTJ

dari monasit Rosetta menggunakan DTPA oleh (Gado dkk., 2019) yaitu 35,528

kJ/mol, hal ini mengindikasikan bahwa monasit dari Bangka cenderung lebih sulit

dilarutkan daripada monasitRosetta. Tingginya nilai energi aktivasi pelarutan LTJ

dari monasit dikarenakan adanya kontribusi oleh keberadaan mineral yang belum

atau tidak bereaksi pada proses pelarutan LTJ dari monasit seperti LTJ berat (yang

tidak sensitif terhadap suhu) sehingga cenderung sulit untuk larut pada suhu

rendah.

Menurut Havlik, (2008,) proses kinetika yang dikendalikanoleh difusi

cenderung mempunyai energi aktivasi yang rendah sedangkan proses kinetika

yang terkendali oleh reaksi kimia mempunyai energi aktivitas yang lebih tinggi

yaitu >42 kL/mol dan terkendali baik oleh difusi dan reaksi kimia (mixed

controlled) bila energi aktivasinya diantara kedua rentang tersebut.

y = 9858.4x - 41.5 R² = 0.8091

-14.00

-13.60

-13.20

-12.80

2.82E-03 2.84E-03 2.87E-03 2.89E-03 2.91E-03

ln k

1

1/T

Page 65: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

52

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

1. Efisiensi ekstraksi kelarutan LTJ dalam HCl sebesar 99,99% pada suhu

75oC dan waktu 3 jam.

2. Kinetika reaksi yang diperoleh yaitu mengikuti model kinetika difusi

melalui lapisan film tipis dan energi aktivasi sebesar -81,96 kJ/mol.

5.2 Saran

Karena pada penelitian ini tidak dilakukan optimasi suhu sebelumnya dan

suhu sangat berpengaruh terhadap laju reaksi, maka disarankan agar optimasi suhu

sebelum dilakukan studi kinetika reaksi.

Page 66: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

53

DAFTAR PUSTAKA

Ani, B. Y., & Sumarni. (2016a). Standar Operasional Prosedur Pengolahan

Monasit Bangka : Pengendapan (LTJ)OH. Jakarta: Pusat Teknologi Bahan

Galian Nuklir BATAN.

Ani, B. Y., & Sumarni. (2016b). Standar Operasional Prosedur Pengolahan

Pasir Monasit Bangka : Pelarutan Parsial. Jakarta: Pusat Teknologi Bahan

Galian Nuklir BATAN.

Arief, E. R., Susilaningtyas, Widowati, Tukardi, & Rusydi. (2002). Pelarutan RE

Hidroksida Hasil Dekomposisi Monasit Hasil Samping Penambangan Timah

Bangka dengan HCl Secara Bertingkat. Prosiding Pertemuan Dan Presentasi

Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Nuklir, 132–136.

Boss, C. B., & Fredeen, K. J. (2004). Concepts, Instrumentation and Techniques

in Inductively Plasma Optical Emission Spectrometry (Third Edit). USA:

PerkinElmer, Inc.

Christie, T., Brathwaite, B., & Tulloch, A. (1998). Rare Earths and related

Elements. In Mineral Commodity report 17.

Cuthbert, F. L. (1958). Thorium Produstion Technology (p. 91). Addition Wesley.

Ferliana, R., Wasito, B., Prassanti, R., Sttn-batan, T. N., Babarsari, J., Pos, K., &

Yogyakarta, Y. (2016). Ekstraksi Dan Stripping Torium Dari Rafinat Hasil

Ekstraksi Uranium Monasit Bangka, 1.

Fessenden, R. J., & Fessenden, J. S. (1982). Kimia Organik Edisi 3 Jilid 2.

Jakarta: Erlangga.

Free, M. . (2013). Hydrometallurgy : Fundamentals and Applications. John Wiley

& Sons, Inc.

Gado, M. ., Atia, B. ., & Fathy, W. . (2019). Selective Recovery of the Main metal

Values from Rosetta Monazite Mineral Concentrate. International Journal of

Environmental Analitical Chemistry.

https://doi.org/10.1080/03067319.2019.1636040

Gupta, C. ., & Krishnamurthy, N. (2005). Extractive Metallurgy of Rare Earth.

New York Washington, D.C: CRC press.

Havlik, T. (2008). hydrometallurgy Principles and Application (1st Editio).

Cambridge Scientific Publishing Limited.

Hedrick, J. B. (2003). Are arths. U.S. Geological Survey Minerals Yearbook, 1–

16.

Hou, X., & Jones, B. . (2000). Inductively Coupled Plasma/Optical Emission

Spectrometry (R.A. Meyer). Chichester: John Wiley & Sons, Ltd.

Isyuniarto, Muhadi, A. W., & Handini, T. (1999). Optimasi Pelindian Pasir

Page 67: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

54

Monasit dengan Metode Basa. Prosiding Pertemuan Dan Presentasi Ilmiah,

132–136.

Jordens, A., Cheng, Y. ., & Waters, K. . (2012). A Review of Benefiction of Rare

Element Bearing Minerals. Miner. Eng, 97–114.

Khairat, & Herman, S. (2004). Kinetika Reaksi Hidrolisis Minyak Sawit dengan

Katalisator Asam Klorida. Jurnal Nature Indonesia, 6(2), 118–121.

Levenspiel, O. C. N.-T. . L. 1999 660/. 28. (1999). Chemical reaction

engineering. Wiley. https://doi.org/10.1007/s00339-014-8447-7

Li, M., Li, J., Zhang, D., Gao, K., Wang, H., Xu, W., … Ma, X. (2019).

Decomposition of Mixed Rare Earth Concentrate by NaOH Roasting and

Kinetics of Hydrochloric Acid Leaching Process. Journal of Rare Earth.

Moldeveanue, G., & Papangelakis, V. (2012). Recovery of Rare Earth Elements

Absorbed on Clay Minerals: I. Desorption Mechanism. Hydrometallurgy,

71–78.

Mubarok, M. Z., & Fathoni, M. W. (2016). Studi Kinetika Pelindian Bijih Nikel

Limonit dari Pulau Halmahera dalam Larutan Asam Nitrat. Metalurgi, 1, 1–

68.

Mubarok, M. Z., & Fathoni, W. (2016). Studi Kinetika Pelindian Bijih Nikel

Limonit dari Pulau Halmahera dalam Larutan Asam Nitrat. Metalurgi.

Nuri, H. ., Prayitno, Jami, A., & Pancoko, M. (2014). Kebutuhan Desain Awal

pada Pilot Plant Pengolahan Monasit menjadi Thorium Oksdia. PRPN-

BATAN, 35 no.2, hal 131-141.

Nuri, H. L., Riza, F., Sugeng, W., Budi, S., Mukhlis, M., & Sumarni, S. (2002).

Pelarutan (U, Th, RE) Hidroksida Hasil Dekomposisi Basa Monasit Bangka

dengan menggunakan Asam Nitrat. Seminar Iptek Nuklir Dan Pengelolaan

Sumber Daya Tambang, 144–150.

Overstreet, W. C. (1967). The Geological Occurrence of Monazite. U.S.

Geological Survey Professional Paper 530, 327 pp.

Pancoko, M. (2014). Data Propertis of Material. PRPN-BATAN.

Panda, R., Kumari, A., Jha, M. ., Hait, J., Kumar, V., Kumar, J. ., & Lee, J. .

(2014). Leaching of Rare Earth Metals (REMs) from Korean Monazite

Concentrate. Journal of Industrial and Engineering Chemistry.

Prassanti, R. (2014). Digesti Monasit Bangka dengan Asam Sulfat. Eksplorium,

33, 41–54.

Purba, E., & Khairunisa, A. C. (2012). Kajian Awal Laju Reaksi Fotosintesis

untuk Penyerapan Gas CO2 Menggunakan Mikroalga tetraselnis Chuii.

Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 6, 8–9.

Page 68: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

55

Purwani, M., Suyanti, S., & Husnurrofiq, D. (2015). Optimasi dan kinetika

memakai naoh, 9–17.

Purwani, M. V, & Suyanti. (2014). Dijesti Monasit Memakai Natrium Hidroksida.

Prosiding Pertemuan Dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu

Pengetahuan Dan Teknologi Nuklir, 36–41.

Setiabudi, A., Rifan, H., & Muzakir, A. (2012). Karakterisasi Material : Prinsip

dan Aplikasinya dalam Penelitian Kimia (1st Editio). Bandung: UPI Press.

Shaw, T., Duncan, T., & Schnetgen, B. . (2003). Preconcentration/Matrix

Reduction Methode for The Analysis of Rre Earth Element in Seawater and

Ground Water By Isotop Dilution IC. Anal Chem, 3396–3403.

Siregar, T. B. (2008). Kinetika Kimia Reaksi Elementer (1st ed.). Medan: USU

Press.

Subagja, R. (2014). Monasite Bangka dan Alternatif Proses Pengolahannya.

Majalah Metalurgi, 79–90.

Subagja, R., Serpong, K. P., & Selatan, T. (2014). MONASITE BANGKA DAN

ALTERNATIF PROSES.

Sumarni, S., Prassanti, R., Trinopiawan, K., Sumiarti, S., & Nuri, H. L. (2011).

Penentuan Kondisi Pelarutan Residu dari Hasil Pelarutan Parsial Monasit

Bangka, 32(2), 115–124.

Sumiarti, & Alwi, G. (2018). Standar Operasional Prosedur Penetapan Unsur

LTJ Dengan Metode ICP - OES. Jakarta: Pusat Teknologi Bahan Galian

Nuklir BATAN.

Suprapto, S. J. (2009). Tinjauan tentang unsur tanah jarang. Buletin Sumber Daya

Geologi, 4(1), 36–45.

Suyanti, S., & Purwani, M. V. (2011). Pengendapan Thorium dari Hasil Olah

Pasir Monasit. Prosiding Pertemuan Dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar

Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Nuklir, 147–154.

Virdhian, S., & Afrilinda, E. (2014). Karakterisasi Mineral Tanah Jarang Ikutan

Timah dan Potensi Pengembangan Industri Berbasis Unsur Tanah Jarang.

Metal Indonesia, Vol. 36 No, 61–69.

Wanta, K. ., Petrus, H. T. B. ., Perdana, I., & Astuti, W. (2017). Uji Validitas

Model Shrinking Core Model terhadap Pengaruh Konsentrasi Asam Nitrat

dalam Proses Leaching Nikel Laterit. Jurnal Rekayasa Proses, 11 no.1, hal

30-35.

Weeks, M. ., & Leicester, H. . (1968). Discovery of the Elements (7th ed.). Easton

PA.

Xiao, Y., Chen, Y., Feng, Z., Huang, X., Huang, L., Chen, Y., … Zhiqi, L. (2016).

Recovery of Rare Earth Element from the Ion-Adsorption Type Rare earth

Page 69: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

56

Ore : II Compound Leaching. Hydrometallurgy, 83–90.

Yahya, H. (2004). Al-Qur’an dan Sains. (A. Nilandri & S. Wibowo, Eds.) (Edisi

Baha). Bnadung: Dzikra.

Yu, J., Guo, Z., & Tang, H. (2013). Dephosphorization Treatment of High

Phosphorus Oolitic Iron by Hydrometallurgy process and Leaching Kinetics.

ISIJ International, 2056–2064.

Page 70: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

57

LAMPIRAN

Lampiran 1.Perhitungan Stoikiometri

Ce(OH)3 + 3HCl CeCl3 + 3H2O

Mr HCl = 36,5

ρ HCl = 1,91 g/mL

Gram Ce = 35155 µg/g = 35155 x 10-6 gram

mol Ce = =

=

= 1,84 x 10-4

mol

mol HCl = 3/1 x mol Ce(OH)3

= 3/1 x 1,84 x 10-4

= 5,52 x 10-4

Massa HCl = mol x Mr

= 5,52 x 10-4

x 36,5

= 0,020148 g

Volume HCl =

Page 71: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

58

=

= 0,010 mL

= 1x10-5

L

Molar HCl =

=

= 55,2 Mol

M = 12,06 M

V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 12,06 M = 1000 mL x 5 M

V1 =

V1 = 415 mL

Page 72: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

59

Lampiran 2.Analisis Data

1. Perhitungan massa dan mol umpan pelarutan

Unsur

Berat

Molekul

(Ar)

Kadar

Hasil XRF

(µg/g)

Massa

Umpan

(g)

Massa

Unsur dalam

Umpan (µg)

Massa Unsur

dalam Umpan

(mg)

mol (mmol)

Ce 140.116 35210 753 26513130 26513.13 189.223

La 138.905 16960 753 12770880 12770.88 91.939

Nd 144.242 8933 753 6726549 6726.549 46.634

Pr 140.908 1709 753 1286877 1286.877 9.133

Sm 150.36 1164 753 876492 876.492 5.829

Y 88.906 6392 753 4813176 4813.176 54.138

Total mol

Awal 52987.104 396.896

(

)

( )

( )

(

)

l

Page 73: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

60

2. Perhitungan massa dan mol unsur dalam filtrat pelarutan

a) Suhu 70oC

Menit

ke-

Volume

(L)

Volume

Total

(L)

Kadar dalam Filtrat (mg/L) Faktor

Pengenceran Ce La Nd Pr Sm Y

0 0.025 0.75 27.07 12.76 9.31 5.69 1.93 0.882 500

15 0.025 0.725 27.12 12.9 9.68 5.953 2.003 0.935 500

30 0.025 0.7 28.79 13.69 10.09 6.162 2.527 1.012 500

75 0.025 0.675 29.99 14.28 10.47 6.412 2.191 1.076 500

90 0.025 0.65 31.01 14.81 11.08 6.789 2.314 1.159 500

105 0.025 0.625 31.58 15.03 11.16 6.814 2.337 1.177 500

120 0.025 0.6 33.19 15.83 11.47 7.123 2.438 1.255 500

135 0.025 0.575 34.16 16.32 11.48 7.365 2.511 1.302 500

150 0.025 0.55 36.06 17.21 12.53 7.864 2.705 1.44 500

165 0.025 0.525 37.77 18.05 13.15 8.022 2.756 1.482 500

180 0.025 0.5 40.1 19.17 13.97 8.704 3.002 1.655 500

Page 74: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

61

Kadar dalam Filtrat setelah Pengenceran (mg/L) Massa Terlarut (mg)

Ce La Nd Pr Sm Y Ce La Nd Pr Sm Y

13535 6380 4655 2845 965 441 10151.3 4785 3491.25 2133.75 723.75 330.75

13560 6450 4840 2976.5 1001.5 467.5 10169.4 4835.75 3625.38 2229.09 750.213 349.963

14395 6845 5045 3081 1263.5 506 10753.9 5112.25 3768.88 2302.24 933.613 376.913

14995 7140 5235 3206 1095.5 538 11158.9 5311.38 3897.13 2386.61 820.213 398.513

15505 7405 5540 3394.5 1157 579.5 11490.4 5483.63 4095.38 2509.14 860.188 425.488

15790 7515 5580 3407 1168.5 588.5 11668.5 5552.38 4120.38 2516.95 867.375 431.113

16595 7915 5735 3561.5 1219 627.5 12151.5 5792.38 4213.38 2609.65 897.675 454.513

17080 8160 5740 3682.5 1255.5 651 12430.4 5933.25 4216.25 2679.23 918.663 468.025

18030 8605 6265 3932 1352.5 720 12952.9 6178 4505 2816.45 972.013 505.975

18885 9025 6575 4011 1378 741 13401.8 6398.5 4667.75 2857.93 985.4 517

20050 9585 6985 4352 1501 827.5 13984.3 6678.5 4872.75 3028.43 1046.9 560.25

Page 75: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

62

Mol Terlarut (mmol)

Ce La Nd Pr Sm Y

72.449 34.448 24.204 15.143 4.813 3.720

72.578 34.813 25.134 15.819 4.989 3.936

76.750 36.804 26.129 16.339 6.209 4.239

79.640 38.237 27.018 16.937 5.455 4.482

82.006 39.477 28.392 17.807 5.721 4.786

83.277 39.972 28.566 17.862 5.769 4.849

86.725 41.700 29.210 18.520 5.970 5.112

88.715 42.714 29.230 19.014 6.110 5.264

92.444 44.476 31.232 19.988 6.465 5.691

95.648 46.064 32.361 20.282 6.554 5.815

99.805 48.079 33.782 21.492 6.963 6.302

Page 76: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

63

b) Suhu 75oC

Menit

ke-

Volume

(L)

Volume

Total

(L)

Kadar dalam Filtrat (mg/L) Faktor

Pengenceran Ce La Nd Pr Sm Y

0 0.025 0.75 44.44 19.97 14.52 11.74 2.284 1.156

15 0.025 0.725 45.49 20.43 14.88 11.97 2.342 1.195 500

30 0.025 0.7 47.81 21.51 15.71 12.51 2.477 1.297 500

75 0.025 0.675 53.49 24.11 17.6 14.04 2.845 1.569 500

90 0.025 0.65 56.41 25.42 18.54 14.75 3.024 1.699 500

105 0.025 0.625 57.22 25.79 18.77 15.08 3.09 1.752 500

120 0.025 0.6 59.07 26.63 19.45 15.57 3.224 1.851 500

135 0.025 0.575 60.8 27.48 20.06 16.21 3.376 1.964 500

150 0.025 0.55 63.46 27.75 20.92 17.01 3.571 2.102 500

165 0.025 0.525 67.12 30.23 22.35 18.1 3.828 2.29 500

180 0.025 0.5 71.27 32.02 23.76 19.21 4.104 2.498 500

Page 77: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

64

Kadar dalam Filtrat setelah Pengenceran (mg/L) Massa Terlarut (mg)

Ce La Nd Pr Sm Y Ce La Nd Pr Sm Y

22220 9985 7260 5870 1142 578 16665 7488.75 5445 4402.5 856.5 433.5

22745 10215 7440 5985 1171 597.5 17045.6 7655.5 5575.5 4485.88 877.525 447.638

23905 10755 7855 6255 1238.5 648.5 17857.6 8033.5 5866 4674.88 924.775 483.338

26745 12055 8800 7020 1422.5 784.5 19774.6 8911 6503.88 5191.25 1048.98 575.138

28205 12710 9270 7375 1512 849.5 20723.6 9336.75 6809.38 5422 1107.15 617.388

28610 12895 9385 7540 1545 876 20976.8 9452.38 6881.25 5525.13 1127.78 633.95

29535 13315 9725 7785 1612 925.5 21531.8 9704.38 7085.25 5672.13 1167.98 663.65

30400 13740 10030 8105 1688 982 22029.1 9948.75 7260.63 5856.13 1211.68 696.138

31730 13875 10460 8505 1785.5 1051 22760.6 10023 7497.13 6076.13 1265.3 734.088

33560 15115 11175 9050 1914 1145 23721.4 10674 7872.5 6362.25 1332.76 783.438

35635 16010 11880 9605 2052 1249 24758.9 11121.5 8225 6639.75 1401.76 835.438

Page 78: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

65

Mol Terlarut (mmol)

Ce La Nd Pr Sm Y

118.937 53.913 37.749 31.244 5.6963 4.8759

121.654 55.113 38.654 31.836 5.8362 5.0350

127.449 57.834 40.668 33.177 6.1504 5.4365

141.13 64.152 45.09 36.842 6.9764 6.4691

147.903 67.217 47.208 38.479 7.3633 6.9443

149.71 68.049 47.7063 39.211 7.5005 7.1306

153.671 69.863 49.121 40.2542 7.7679 7.4646

157.221 71.622 50.336 41.56 8.0585 7.8301

162.441 72.157 51.976 43.121 8.4151 8.2569

169.298 76.844 54.578 45.152 8.8638 8.8120

176.703 80.065 57.022 47.121 9.3227 9.3969

Page 79: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

66

c) Suhu 80oC

Menit

ke-

Volume

(L)

Volume

Total

(L)

Kadar dalam Filtrat (mg/L) Faktor

Pengenceran Ce La Nd Pr Sm Y

0 0.025 0.75 26.7 12.68 9.405 5.729 1.94 0.891 500

15 0.025 0.725 27.78 13.2 9.801 5.975 2.025 0.951 500

30 0.025 0.7 28.68 13.66 10.21 6.211 2.111 1.013 500

75 0.025 0.675 33.58 16.02 11.71 7.226 2.474 1.273 500

90 0.025 0.65 36.35 17.35 12.72 7.824 2.687 1.428 500

105 0.025 0.625 37.44 17.91 13.04 8.092 2.77 1.487 500

120 0.025 0.6 41.29 19.8 14.41 8.89 3.071 1.705 500

135 0.025 0.575 42.11 20.13 14.68 9.036 3.112 1.736 500

150 0.025 0.55 46.18 22.05 16.17 10.01 3.446 1.989 500

165 0.025 0.525 52.88 25.17 18.64 11.72 4.061 2.423 500

180 0.025 0.5 55.04 26.18 19.55 12.06 4.177 2.513 500

Page 80: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

67

Kadar dalam Filtrat setelah Pengenceran (mg/L) Massa Terlarut (mg)

Ce La Nd Pr Sm Y Ce La Nd Pr Sm Y

13350 6340 4702.5 2864.5 970 445.5 10012.5 4755 3526.88 2148.38 727.5 334.125

13890 6600 4900.5 2987.5 1012.5 475.5 10404 4943.5 3670.43 2237.55 758.313 355.875

14340 6830 5105 3105.5 1055.5 506.5 10719 5104.5 3813.58 2320.15 788.413 377.575

16790 8010 5855 3613 1237 636.5 12372.8 5901 4319.83 2662.71 910.925 465.325

18175 8675 6360 3912 1343.5 714 13273 6333.25 4648.08 2857.06 980.15 515.7

18720 8955 6520 4046 1385 743.5 13613.6 6508.25 4748.08 2940.81 1006.09 534.138

20645 9900 7205 4445 1535.5 852.5 14768.6 7075.25 5159.08 3180.21 1096.39 599.538

21055 10065 7340 4518 1556 868 15004.4 7170.13 5236.7 3222.19 1108.18 608.45

23090 11025 8085 5005 1723 994.5 16123.6 7698.13 5646.45 3490.04 1200.03 678.025

26440 12585 9320 5860 2030.5 1211.5 17882.4 8517.13 6294.83 3938.91 1361.46 791.95

27520 13090 9775 6030 2088.5 1256.5 18422.4 8769.63 6522.33 4023.91 1390.46 814.45

Page 81: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

68

Mol Terlarut (mol)

Ce La Nd Pr Sm Y

71.4586 34.2319 24.4511 15.2467 4.83839 3.75819

74.2528 35.589 25.4463 15.8795 5.04331 4.00283

76.5009 36.748 26.4387 16.4657 5.2435 4.24691

88.3036 42.4821 29.9485 18.8969 6.05829 5.23391

94.7287 45.594 32.2241 20.2761 6.51869 5.80052

97.1597 46.8538 32.9174 20.8705 6.69119 6.0079

105.403 50.9357 35.7668 22.5695 7.29175 6.74351

107.085 51.6187 36.305 22.8674 7.37014 6.84376

115.073 55.4199 39.1457 24.7683 7.98101 7.62633

127.626 61.316 43.6407 27.9539 9.05469 8.90774

131.479 63.1338 45.2179 28.5571 9.24756 9.16081

Page 82: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

69

Massa unsur Ce dalam filtrate pelarutan (menit ke-15 suhu 70oC)

= (kadar dalam filtrat setelah pengenceran (mg/L) x volume total (L)) + massa terlarut per menit (mg)

= (13560 mg/L x 0,725 L) + 339 mg

= 10169,4 mg

Mol Ce = ( )

(

)

=

= 72,578 mmol

Page 83: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

70

3. Perhitungan model kinetika reaksi

Menit ke-

Total Mol Unsur Terlarut (70)

Total Mol Unsur Terlarut (75)

Total Mol Unsur Terlarut (80)

0 154.777 252.415 153.985

15 157.271 258.127 160.214

30 166.470 270.715 165.644

75 171.770 300.659 190.923

90 178.190 315.115 205.142

105 180.296 319.307 210.500

120 187.238 328.141 228.710

135 191.048 336.628 232.090

150 200.296 346.368 250.015

165 206.723 363.548 278.498

180 216.423 379.631 286.797

Page 84: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

71

Difusi lapis tipis Difusi melalui Produk Padat yang Tidak Bereaksi reaksi kimia

Fraksi Mol (Xb) 1-3(1-Xb)^(2/3)+2(1-Xb) 1-(1-Xb)^1/3

70 75 80 70 75 80 70 75 80

0.390 0.636 0.388 0.062 0.199 0.061 0.152 0.286 0.151

0.396 0.650 0.404 0.064 0.210 0.067 0.155 0.296 0.158

0.419 0.682 0.417 0.073 0.238 0.073 0.166 0.317 0.165

0.433 0.758 0.481 0.079 0.318 0.101 0.172 0.376 0.196

0.449 0.794 0.517 0.086 0.366 0.119 0.180 0.409 0.215

0.454 0.805 0.530 0.088 0.380 0.127 0.183 0.420 0.223

0.472 0.827 0.576 0.096 0.414 0.155 0.192 0.443 0.249

0.481 0.848 0.585 0.101 0.450 0.161 0.197 0.466 0.254

0.505 0.873 0.630 0.113 0.495 0.194 0.209 0.497 0.282

0.521 0.916 0.702 0.121 0.593 0.257 0.217 0.562 0.332

0.545 0.957 0.723 0.135 0.716 0.279 0.231 0.648 0.348

Page 85: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

72

4. Perhitungan kurva dummy

a. Perhitungan nilai τ

temperatur persamaan gradien τ (menit) τ (detik)

70 y=0.0008x 0.0008 1250 75000

75 y=0.0017x 0.0017 588.2353 35294.11765

80 y=0.0018x 0.0018 555.5556 33333.33333

85 y=0.0009x 0.0009 1111.1111 66666.66667

Gradien =

=

τ = 1250 menit

1-XB =

= 1 – 0,012

= 0,988

Page 86: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

73

b. Perhitungan kurva dummy percobaan dengan kurva dummy model

Suhu 70

1-Xb

menit jam t/τ difusi lapisan

tipis

difusi lapisan

produk reaksi kimia percobaan

0 0 0 1 1 1 0.61003

15 0.25 0.012 0.988 0.999951742 0.9959839 0.6037481

30 0.5 0.024 0.976 0.999805923 0.9919351 0.5805708

75 1.25 0.06 0.94 0.998766833 0.9795861 0.5672154

90 1.5 0.072 0.928 0.998214264 0.9753998 0.5510419

105 1.75 0.084 0.916 0.997555633 0.9711772 0.5457356

120 2 0.096 0.904 0.996789083 0.9669176 0.5282442

135 2.25 0.108 0.892 0.9959127 0.9626202 0.5186453

150 2.5 0.12 0.88 0.99492451 0.958284 0.4953434

165 2.75 0.132 0.868 0.993822474 0.9539082 0.479151

180 3 0.144 0.856 0.992604489 0.9494919 0.454712

1250 20.8333 1 0 0 0 0

Page 87: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

74

Suhu 75

1-Xt

menit jam t/τ difusi lapisan

tipis difusi lapisan

produk reaksi kimia percobaan

0 0 0 1 1 1 0.364027218

15 0.25 0.0255 0.9745 0.999780756 0.991426709 0.349634945

30 0.5 0.051 0.949 0.999112743 0.982702522 0.317919951

75 1.25 0.1275 0.8725 0.99424921 0.955553803 0.242473886

90 1.5 0.153 0.847 0.991613605 0.94615249 0.206052019

105 1.75 0.1785 0.8215 0.988436937 0.93656054 0.195488643

120 2 0.204 0.796 0.984696692 0.926767985 0.173230577

135 2.25 0.2295 0.7705 0.980368658 0.916763993 0.151847796

150 2.5 0.255 0.745 0.975426747 0.90653677 0.127308302

165 2.75 0.2805 0.7195 0.96984277 0.896073429 0.084021887

180 3 0.306 0.694 0.963586193 0.88535985 0.043499498

588.2353 9.80392 1 0 0 0 0

Page 88: KINETIKA REAKSI PELARUTAN RESIDU DEKOMPOSISI PADA

75

Suhu 80

1-Xt

menit jam t/τ difusi lapisan

tipis

difusi lapisan

produk reaksi kimia percobaan

0 0 0 1 1 1 0.612026835

15 0.25 0.027 0.973 0.999754037 0.990917763 0.596333092

30 0.5 0.054 0.946 0.99900391 0.981665916 0.582651687

75 1.25 0.135 0.865 0.993528931 0.952807943 0.518958724

90 1.5 0.162 0.838 0.990555336 0.942789361 0.483133631

105 1.75 0.189 0.811 0.986966429 0.932553203 0.469632868

120 2 0.216 0.784 0.982734736 0.922087258 0.423752781

135 2.25 0.243 0.757 0.97783056 0.91137818 0.41523608

150 2.5 0.27 0.73 0.972221714 0.900411335 0.370075085

165 2.75 0.297 0.703 0.965873219 0.889170628 0.298308321

180 3 0.324 0.676 0.958746933 0.877638296 0.277400763

555.5556 9.25926 1 0 0 0 0