89
YAYASAN MASJIDILLAH INDONESIA Kitab Hukum Waris Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat, Lc Buku Fiqih Mawaris ini hanyalah sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas. Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di muka bumi. – Ahmad Sarwat, Lc. –

Kitab Waris A4.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kitab Waris A4.pdf

YAYASAN MASJIDILLAH INDONESIA

Kitab Hukum Waris Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc

Buku Fiqih Mawaris ini hanyalah sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas. Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di muka bumi. – Ahmad Sarwat, Lc. –

Page 2: Kitab Waris A4.pdf
Page 3: Kitab Waris A4.pdf

i

Informasi Tentang Buku

Judul buku : Kitab Hukum Waris – Fiqih Mawaris

Penulis : Ahmad Sarwat, L.c., M.A.

Penerbit : Yayasan Masjidillah Indonesia

Cetakan : Pertama, Januari 2013

Format cetak : A4, bolak-balik

Tujuan khusus : Untuk diktat Pengajian Hukum Waris di Masjidillah

Tujuan umum : Untuk sosialisasi Hukum Waris menurut ajaran Islam kepada

masyarakat umum

“Perhatian! Buku yang diterbitkan Yayasan Masjidillah Indonesia ini bukan untuk

diperjualbelikan.”

Info tentang Penulis:

Ustadz Ahmad Sarwat, L.c., M.A. adalah seorang da’i kelahiran Kairo, september

1969. Beliau menempuh pendidikan S1 di LIPIA Jakarta dan S2 di Institut Ilmu Al-

Quran Jakarta. Aktifitas beliau diantaranya adalah mengajar di Sekolah Tinggi

Administrasi Negara (STAN), Ketua Umum Yayasan Darul Ulum Al-Islamiyah

Jakarta, Direktur Rumah Fiqih Indonesia.

Alamat : Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940

HP : 0856-9446-1792

Email : [email protected]

Website : http://www.ustsarwat.com/

Info tentang Penerbit:

Yayasan Masjidillah Indonesia, Karang Menjangan 110, Surabaya, 60286

Kontak : Sdr. Nur Q, 0857-33-484-101

Email : [email protected]

Website : http://sites.google.com/site/masjidillah

Blog : masjidillah.wordpress.com

Page 4: Kitab Waris A4.pdf

ii

Istilah

Agar tidak terjadi selip paham dalam membicarakan hal-hal yang terkait dengan

istilah warisan yang ditranslate ke dalam bahasa Indonesia, mari kita merujuk kepada

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Misalnya kata mewarisi dan mewariskan, orang sering keliru membedakan

keduanya. Menurut KBBI, kata 'mewarisi' adalah memperoleh warisan. Misalnya

kalimat berikut : Amir mewarisi sebidang tanah milik ayahnya, pak Ali. Artinya, Amir

memperoleh tanah yang ditinggalkan oleh pak Ali.

Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah memberikan harta warisan atau

meninggalkan sesuatu harta kepada orang lain. Misalnya kalimat berikut : Pak Ali

mewariskan sebidang tanah kepada anaknya. Maksudnya, pak Ali memberikan harta

warisan kepada anaknya.

Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang memberi harta

warisan. Contoh dalam kalimat, pak Ali adalah pewaris dari anak-anaknya. Maksudnya,

pak Ali memberi harta warisan kepada anak-anaknya.

Lawan kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu orang yang berhak menerima warisan

(harta pusaka). Contoh dalam kalimat, Amir adalah ahli waris dari ayahnya.

Maksudnya, Amir menerima harta warisan dari ayahnya.

me·wa·risi v 1 memperoleh warisan dr: krn anak satu-satunya,

dialah yg akan ~ seluruh harta kekayaan orang tuanya; 2 ki

memperoleh sesuatu yg ditinggalkan oleh orang tuanya dsb: ia

tidak saja memperoleh harta kekayaan, tetapi ia juga ~ utang-

utang yg ditinggalkan almarhum;

me·wa·ris·kan v 1 memberikan harta warisan kpd; meninggalkan

sesuatu kpd: gurunya ~ ilmu silat kepadanya; 2 menjadikan orang lain menjadi waris;

wa·ris·an n sesuatu yg diwariskan, spt harta, nama baik; harta.

ahli waris orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka).

Page 5: Kitab Waris A4.pdf

iii

Daftar Isi

INFORMASI TENTANG BUKU I

ISTILAH II

DAFTAR ISI III

PENGANTAR IX

BAB 1 URGENSI DAN PENSYARIATAN 1

1.1 MENGAPA KITA BELAJAR HUKUM WARIS 1

1.1.1 ILMU WARIS AKAN DICABUT 1

1.1.2 PERINTAH KHUSUS DARI NABI SAW 2

1.1.3 SEJAJAR DENGAN BELAJAR AL-QURAN 2

1.1.4 MENGHINDARI PERPECAHAN KELUARGA 3

1.1.5 ANCAMAN AKHIRAT 3

1.2 PENSYARIATAN 4

1.2.1 DALIL QURAN 4

1.2.2 DALIL SUNNAH 6

1.2.3 DALIL IJMA' 7

BAB 2 PENGERTIAN WARIS 9

2.1 DEFINISI 9

2.1.1 BAHASA 9

2.1.2 PENGERTIAN SYARIAH 9

2.2 WARIS, HIBAH DAN WASIAT 10

2.2.1 WAKTU 10

2.2.2 PENERIMA 10

2.2.3 NILAI 11

2.2.4 HUKUM 11

2.3 ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU WARIS 11

2.3.1 TARIKAH 11

2.3.2 FARDH 12

2.3.3 ASHHABUL FURUDH 12

2.3.4 ASHABAH 12

2.3.5 SAHM 13

Page 6: Kitab Waris A4.pdf

iv

2.3.6 NASAB 13

2.3.7 AL-FAR'U 13

2.3.8 AL-ASHL 13

BAB 3 ALOKASI HARTA 15

3.1 MENETAPKAN KEPEMILIKAN HARTA 15

3.1.1 USAHA BERSAMA SUAMI ISTRI 15

3.1.2 SUAMI MEMBERI HADIAH KEPADA ISTRI 16

3.1.3 PINJAM ATAU BELI 16

3.2 PENGURUSAN JENAZAH 17

3.3 HUTANG 17

3.3.1 AL-HANAFIYAH 18

3.3.2 JUMHUR ULAMA 18

3.3.3 ASY-SYAFI'IYAH 18

3.3.4 AL-MALIKIYAH 19

3.3.5 AL-HANABILAH 19

3.4 WASHIYAT 19

BAB 4 RUKUN, SYARAT DAN SEBAB WARISAN 21

4.1 RUKUN WARIS 21

4.1.1 AL-MUWARITS 21

4.1.2 AL-WARITS 21

4.1.3 HARTA WARISAN 21

4.2 SYARAT WARIS 22

4.2.1 MENINGGALNYA MUWARRITS 22

4.2.2 BAGI WARIS SEBELUM MENINGGAL 22

4.2.3 HIDUPNYA AHLI WARIS 23

4.2.4 AHLI WARIS DIKETAHUI 24

4.3 SEBAB-SEBAB ADANYA HAK WARIS 24

4.3.1 KERABAT HAKIKI 24

4.3.2 PERNIKAHAN 25

4.3.3 AL-WALA 25

BAB 5 GUGURNYA WARISAN 27

5.1 HAL-HAL YANG MENGGUGURKAN WARISAN 27

5.1.1 PEMBUNUHAN 27

5.1.2 PERBEDAAN AGAMA 28

5.1.3 BUDAK 29

Page 7: Kitab Waris A4.pdf

v

5.2 PERBEDAAN MAHRUM DAN MAHJUB 29

BAB 6 PENGHALANG WARISAN (AL-HUJUB) 31

6.1 DEFINISI 31

6.2 MACAM-MACAM AL-HUJUB 31

6.3 AHLI WARIS YANG TIDAK TERKENA HUJUB HIRMAN 32

6.4 AHLI WARIS YANG DAPAT TERKENA HUJUB HIRMAN 33

BAB 7 ASHABUL FURUDH & ASHABAH 35

7.1 ASHHABUL FURUDH 35

7.2 ASHABAH 35

7.2.1 DALIL HAK WARIS PARA 'ASHABAH 36

7.2.2 MACAM-MACAM 'ASHABAH 37

7.2.3 'ASHABAH BIN NAFS 38

7.2.4 HUKUM 'ASHABAH BIN NAFS 38

BAB 8 PARA AHLI WARIS 41

8.1 ANAK LAKI-LAKI (ابن) 43

8.1.1 BAGIAN 43

8.1.2 MENGHIJAB 45

8.1.3 DIHIJAB OLEH 45

8.2 ANAK PEREMPUAN (بنت) 46

8.2.1 BAGIAN 46

8.2.2 MENGHIJAB 47

8.2.3 DIHIJAB OLEH 47

8.3 ISTRI (زوجة) 48

8.3.1 BAGIAN 48

8.3.2 MENGHIJAB 49

8.3.3 DIHIJAB OLEH 49

8.4 SUAMI 49

8.4.1 BAGIAN 49

8.4.2 MENGHIJAB 50

8.4.3 DIHIJAB OLEH 50

8.5 AYAH 50

8.5.1 BAGIAN 50

8.5.2 MENGHIJAB 52

8.5.3 DIHIJAB OLEH 52

8.6 IBU 53

Page 8: Kitab Waris A4.pdf

vi

8.6.1 BAGIAN 53

8.6.2 MENGHIJAB 54

8.6.3 DIHIJAB OLEH 54

8.7 KAKEK ( أب أب ) 55

8.7.1 BAGIAN 55

8.7.2 MENGHIJAB 56

8.7.3 DIHIJAB OLEH 57

8.8 NENEK ( أب أم ) 57

8.8.1 BAGIAN 57

8.8.2 MENGHIJAB 57

8.8.3 DIHIJAB OLEH 57

8.9 SAUDARA SEAYAH-IBU ( شقيق أخ ) 58

8.9.1 BAGIAN 58

8.9.2 MENGHIJAB 59

8.9.3 DIHIJAB OLEH 59

8.10 SAUDARI SEAYAH-IBU 59

8.10.1 BAGIAN 60

8.11 SAUDARA SEAYAH ( ألب أخ ) 61

8.11.1 BAGIAN 61

8.11.2 MENGHIJAB 61

8.11.3 DIHIJAB OLEH 62

8.12 SAUDARI SEAYAH ( ألب أخت ) 62

8.12.1 BAGIAN 62

8.13 KEPONAKAN : ANAK SAUDARA SEAYAH-IBU 63

8.14 KEPONAKAN : ANAK SAUDARA SEAYAH 63

8.15 PAMAN : SAUDARA AYAH SEAYAH-IBU 63

8.16 PAMAN : SAUDARA AYAH SEAYAH 63

8.17 SEPUPU : ANAK LAKI PAMAN SEAYAH-IBU 63

8.18 SEPUPU : ANAK LAKI PAMAN SEAYAH 64

8.19 CUCU LAKI-LAKI ( ابن ابن ) 64

8.19.1 BAGIAN 64

8.19.2 MENGHIJAB 65

8.19.3 DIHIJAB OLEH 65

8.20 CUCU PEREMPUAN 65

8.21 NENEK DARI IBU 66

8.22 SAUDARA/I SEIBU 66

BAB 9 CARA MEMBAGI WARISAN 67

9.1 LANGKAH PERTAMA 67

9.1.1 HUTANG 67

Page 9: Kitab Waris A4.pdf

vii

9.1.2 WASIAT 67

9.1.3 BIAYA PENGURUSAN JENAZAH 67

9.2 LANGKAH KEDUA 68

9.2.1 MEMILAH 68

9.2.2 MENGHILANGKAN AHLI WARIS YANG TERHIJAB 68

9.3 LANGKAH KETIGA 70

CATATAN 77

Page 10: Kitab Waris A4.pdf
Page 11: Kitab Waris A4.pdf

ix

Pengantar

Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Shalawat serta salam tercurah

kepada baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada para shahabat, pengikut dan

orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil.

Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki

maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak

pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,

dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan

perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan

dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus

diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia

sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas

saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan

pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits

Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam

hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum

secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan

merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di

samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu

maupun kelompok masyarakat.

Buku FIQIH MAWARIS ini hanyalah sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang

sedemikian luas. Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan

jilid kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah

kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di

muka bumi.

Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah tidak dapat menikmati warisan itu, salah

satunya karena kendala bahasa. Padahal tak satu pun ayat Al-Quran yang turun dari

langit kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil pun huruf keluar dari lidah nabi kita SAW,

kecuali dalam bahasa Arab. Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa

Page 12: Kitab Waris A4.pdf

x

Indonesia ini menjadi upaya seadanya untuk mendekatkan umat ini dengan warisan

agamanya. Tentu saja buku ini juga diupayakan agar masih dilengkapi dengan teks

berbahasa Arab, agar masih tersisa mana yang merupakan nash asli dari agama ini.

Buku ini merupakan buku kedelapan dari rangkaian silsilah pembahasan fiqih.

Selain buku ini juga ada buku lain terkait dengan masalah fiqih seperti fiqih thaharah,

shalat, puasa, zakat, haji, ekonomi atau muamalah, nikah, waris, hudud dan bab

lainnya. Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih, manhaj yang kami gunakan

adalah manhaj muqaranah dan wasathiyah. Kami tidak memberikan satu pendapat

saja, tapi berupaya memberikan beberapa pendapat bila memang ada khilaf di antara

para ulama tentang hukum-hukum tertentu, dengan usaha untuk menampilkan juga

hujjah masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami serahkan kepada para pembaca.

Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat karena bukan sekedar

dimengerti isinya, tetapi yang lebih penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya

ikhlas karena Allah SWT.

Al-Faqir ilallah,

Ahmad Sarwat, L.c., M.A.

Page 13: Kitab Waris A4.pdf

Bab 1 – Urgensi dan Pensyariatan

1

Bab 1

Urgensi dan Pensyariatan

1.1 Mengapa Kita Belajar Hukum Waris

Untuk apa kita mempelajari hukum waris? Bukankah sudah ada kiyai dan para

ulama yang bisa menangani urusan waris? Bukankah biasanya membagi waris menjadi

tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama (KUA)?

Barangkali pertanyaan seperti itu muncul di benak kita ketika pertama kali melihat

buku ini.

Pertanyaan seperti itu mungkin ada benarnya. Sebab biasanya urusan pembagian

waris memang menjadi urusan para kiyai dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak

KUA. Jadi buat apa kita yang tidak punya urusan ini pakai sok belajar ilmu waris?

Pada bab pertama ini kita akan mempelajari kenapa kita yang awam ini perlu dan

harus belajar ilmu waris. Ada beberapa sebab dan alasan yang melatarbelakangi hal itu.

Antara lain:

1.1.1 Ilmu Waris Akan Dicabut

Sebagaimana kita sadari meski bangsa Indonesia ini mayoritas muslim, namun kita

tahu bahwa agama kita diperangi lewat berbagai macam bentuk penggerogotan dari

dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan berbagai produk hukum yang

bukan hukum Islam, seperti hukum barat dan hukum adat, lewat berbagai kurikulum

pendidikan yang kita dapat dari sistem pendidikan nasional, atau dari adat istiadat

turun temurun.

Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis generasi muslim yang rajin shalat 5 waktu,

fasih membaca Al-Quran, aktif mengaji kesana-kemari, gemar menghidupkan

amaliyah sunnah, tetapi sama sekali tidak paham alias merasa asing dengan hukum

waris Islam.

Keterasingan mereka atas hukum waris Islam ini merupakan kehancuran umat

Islam yang sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu.

Page 14: Kitab Waris A4.pdf

Bab 1 – Urgensi dan Pensyariatan

2

Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan perintah untuk mempelajari ilmu

waris, sebab ilmu waris itu setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah

SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang pertama kali akan diangkat

dari muka bumi.

ام ل و أ و ه ىو س ن ي ه ن إ و م ل الع ف ص ن ه ن إ ف اه و م ل ع و ض ائ ر واالف م ل ع ت ة ر ي ر اه ب اأ ي الل ول س ر ال ق ال ق ج ر ع ال ن ع

ت م أ ن م ع ز ن ي

Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu

Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan

dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR.

Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

1.1.2 Perintah Khusus Dari Nabi SAW

الق م ل ع ت الل ول س ر ال ق ال ق ود ع س م ن ب الل د ب ع ن ع الف م ل ع ت و اس الن وه م ل ع و آن ر وا ن إ ف اس الن وه م ل ع و ض ائ ر وا

الف ر ه ظ ت و ض ب ق ي س م ل الع ن إ و ض و ب ق م ؤ ر ام ت ح ت رواهاحلاكم–ايب ض ق ي ن م ان د ي ل ة ض ي ر الف ف ان ن ث ال ف ل ت

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah

Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan

ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan

ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang

berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa

menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)1

1.1.3 Sejajar Dengan Belajar Al-Quran

Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu waris, khalifah Umar bin

Al-Khattab radhiyallahuanhu juga secara khusus memerintahkan umat Islam

mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau menyebutkan kita harus mempelajari ilmu

waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.

.آن ر الق ن و م ل ع ت ات م ك ض ائ ر واالف م ل ع ت :ول ق ي ان ك ه ن أ اب ط ال ن ب ر م ع ن ع

Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata, "Pelajarilah ilmu

faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran". 2

1 Al-Mustadrak ala Ash-Shahihaini lil-Hakim, jilid 18 halaman 328

2 -Sumber rujukan belum dicantumkan-

Page 15: Kitab Waris A4.pdf

Bab 1 – Urgensi dan Pensyariatan

3

Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu waris ini sangat penting bagi

umat Islam. Karena disejajarkan dengan belajar Al-Quran.

1.1.4 Menghindari Perpecahan Keluarga

Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga adalah masalah harta waris. Dari

banyak kasus yang terjadi, umumnya berhulu dari kurang pahamnya para anggota

keluarga atas aturan dan ketentuan dalam hukum waris Islam.

Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi Islam ternyata punya dampak yang

sangat besar. Salah satunya adalah munculnya perpecahan keluarga. Lantaran ketika

orang tua wafat, anak-anak yang tidak mengenal ilmu waris itu saling berebut harta

disebabkan karena parameter yang mereka gunakan saling berbeda.

Sebagian anak ada yang ingin menerapkan hukum waris versi adat. Yang lainnya

mau versi barat. Sebagiannya mau pakai hukum Islam.

Seandainya orang tua mereka telah mengajari dan mendidik mereka sejak kecil

dengan ilmu waris Islam, niscaya perpecahan keluarga tidak akan terjadi. Sebab

selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh dengan pendidikan Islam, mereka pun

dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama yang mengajarkan bagaimana cara membagi waris

sesuai dengan ketentuan Allah SWT.

Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang masalah waris, umumnya yang

menjadi penyebab utama adalah awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum

waris Islam.

Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga yang barangkali bukan terjadi

hari ini adalah mempersiapkan anak-anak kita, terutama generasi muda, dengan bekal

ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal merea sudah punya pedoman buat bekal ketika

dewasa nanti.

1.1.5 Ancaman Akhirat

Selain dua alasan di atas, memang Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk

membagi warisan sesuai dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara

sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah ini, maka Dia akan

memasukkannya ke dalam api neraka.

Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi

selamanya di dalam neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang

menghinakan.

Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem.

Page 16: Kitab Waris A4.pdf

Bab 1 – Urgensi dan Pensyariatan

4

ل ه ن اراخ ال دا و م ني ع ص خ مه ي الله و ر س ول ه و ي ت ع د ح د ود ه ي د اب ف يه او ل ه ع ذ

Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-

ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di

dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14)

Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian

dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar.

Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka. Tidak seperti pelaku

dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan

Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan

akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan

yang menghinakan.

Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah tetapkan buat mereka yang tidak

menjalankan hukum warisan sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini

menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai

ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua. Nauzu billahi min zalik.

1.2 Pensyariatan

Ketentuan dan kewajiban membagi waris dalam syariah Islam ditetapkan

berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.

1.2.1 Dalil Quran

Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang

pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat,

yaitu ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-Anfal ayat terakhir, yaitu

ayat 75.

a. Ayat waris untuk anak

يك م الله ي وص ال نث ي ي ل لذ ك ر م ث ل ح ظ أ و ل د ك م ك ن ف إ ف ك ان ت ن و إ ن ث ل ث ام ات ر ك ف ل ه ن اث ن ت ي ةف ل ه ا ن س اءف و ق د و اح

الن ص ف

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.

Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak

perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka

Page 17: Kitab Waris A4.pdf

Bab 1 – Urgensi dan Pensyariatan

5

dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,

maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)

b. Ayat waris untuk orang tua

م ن ه م ا د ل ك ل و اح ف إ نل ي ك نل ه و ل ب و ي ه ل ه و ل د ك ان إ ن م ات ر ك و و السد س ل ه و ل د ك ان ف إ ن الث ل ث ر ث ه أ ب و اه ف أل م ه

ي ة ي وص يب اأ و م نب ع د و ص و ة ف أل م ه السد س ل ك م إ خ أ ق ر ب أ ي ه م ر ون ل ت د و أ بناؤ ك م آب آؤ ك م الله د ي ن عاف ر يض ةم ن ن ف

ك ان ع ل يما ك يماح إ ن الله

Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka

ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,

maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah

dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang

tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih

dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)

c. Ayat waris buat suami dan istri

أ ز و اج و ل ك م ن ص ف . ك ان م ات ر ك ي ك نل ن و ل د ف إ ن ي ة ك م إ نل م نب ع د و ص ل ن و ل د ف ل ك م الرب ع م ات ر ك ن ب اأ و ي وص ي

إ ن ت م الرب ع م ات ر ك و ل ن الث د ي ن ف ل ه ن و ل د ل ك م ك ان ف إ ن و ل د م ن ل ي ك نل ك م ب اأ و ت وص ون ي ة ت مم نب ع د و ص م ات ر ك

د ي ن

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-

istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak,

maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi

wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri

memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai

anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari

harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)

sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa' : 12)

d. Ayat waris Kalalah

Kalalah adalah seorang wafat tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi

mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan.

Page 18: Kitab Waris A4.pdf

Bab 1 – Urgensi dan Pensyariatan

6

أ خ ت و إ ن ك ال ل ةأ وام ر أ ة و ل ه أ خ أ و م ن ك ان ر ج ل ي ور ث ث ر أ ك ك ان و ا ف إ ن د م ن ه م االسد س ف ه م ش ر ك اء ف ل ك ل و اح ذ ل ك

ي ة ي وص ىب آف م نب ع د و ص الله و الله ع ل يم الث ل ث ي ةم ن و ص م ض آر د ي ن غ ي ر ح ل يم أ و

Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan

ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki

(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing

dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu

lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah

dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak

memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)

syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Penyantun (QS. An-Nisa' : 12)

e. Ayat waris Kalalah

Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan

saudara perempuan.

ت ون ك ت ف ل ه ي س ل ي س ه ل ك ام ر ؤ ال ك ال ل ة إ ن ت يك م ف الله ي ف ف ل ه ا ق ل م ات ر ك و ل د و ل ه أ خ ت ن ص ف

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi

fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak

mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang

perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)

ك ت اب ف ب ب ع ض ب ع ض ه م أ و ل ال ر ح ام ل وا ء و أ و الله ب ك ل ش ي ع ل يم الله إ ن

Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap

sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75)

1.2.2 Dalil Sunnah

Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum waris

buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini :

الل اس ب ع ن اب ع ن ر س ول ق ال ف ي ق ب ام ف اه ل ه أ ب ض ائ ر الف واق حل أ ق ال .رك ذ ل ج ر ل و أل

Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam"Bagikanlah

harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak

laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Page 19: Kitab Waris A4.pdf

Bab 1 – Urgensi dan Pensyariatan

7

الل د ي ز ن ب ة ام س أ ع ن ر س ول ق ال ث ر ي ل ق ال ر اف الك ل و ر ف الكا م ل س ال

م ل س ال

Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW

bersabda,"Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir

tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An-Nasai)3

اللروم ع ن ب الل د ب ع ع ن ر س ول ق ال ت ل م ل ه أ ث ار و ت ي ل ق ال ت ش ي

Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW

bersabda,"Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu

Daud dan Ibnu Majah)

أن ت ام الص ن ب ة اد ب ع ع ن الن ق ال ت د ج ل ل ىض ق ب ام ه ن ي ب س د السب ث ريا م ال ن م ي

Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW

menetapkan buat dua orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud

dan Ibnu Majah)

الن ىض ق ود ع س م ن ب ع ن ا ث ل لث ل ةل م ك ت س د السن ب ال ة ن ب ل و ف ص الن ة ن ب ال ل ب ف ي ق ب ام و ي خ أل ل ت

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan

bagi anak tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak

laki seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat

saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)4

1.2.3 Dalil Ijma'

Para shahabat, tabiin dan para ulama yang mewarisi nabi telah berijma' tentang

pensyariatan hukum waris ini.

3 Nailul Authar jilid 6 halaman 55

4 Nailul Authar jilid 6 halaman 58

Page 20: Kitab Waris A4.pdf
Page 21: Kitab Waris A4.pdf

Bab 2 – Pengertian Waris

9

Bab 2

Pengertian Waris

2.1 Definisi

2.1.1 Bahasa

Al-miirats (الميراث) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ( ث ر و

ااث ر ي م ا و ث ر إ ث ر ي ) waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah

'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada

kaum lain.

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan

dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an

banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw. Di antaranya Allah

berfirman:

س ل ي م ان د او ود و و ر ث

"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)

و ك ن ان ن ال و ار ث ي

"... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-Qashash: 58)

Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:

ة ال ن ب ي اء ث و ر الع ل م اء

'Ulama adalah ahli waris para nabi'.

2.1.2 Pengertian syariah

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah:

berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang

masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang

berupa hak milik legal secara syar'i.

Page 22: Kitab Waris A4.pdf

Bab 2 – Pengertian Waris

10

2.2 Waris, Hibah dan Wasiat

Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam beberapa halnya,

yaitu waris, hibah dan wasiat. Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali

kesulitan saat membedakannya.

Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.

WARIS HIBAH WASIAT

WAKTU Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat

PENERIMA Ahli waris Ahli waris & bukan ahli waris

Bukan ahli waris

NILAI Sesuai faraidh Bebas Maksimal 1/3

HUKUM Wajib Sunnah Sunnah

2.2.1 Waktu

Dari segi waktu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak

ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits)

meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta

itu meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta

itu.

Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya

masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak

menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh

pemilik harta pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi

saat dia meninggal dunia.

2.2.2 Penerima

Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar

ahli waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.

Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris. Penerima

washiyat harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris

sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima

lewat jalur washiat.

Page 23: Kitab Waris A4.pdf

Bab 2 – Pengertian Waris

11

Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan

ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.

2.2.3 Nilai

Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu

sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu faraidh.

Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6,

1/8 hingga 2/3. Ada juga para ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu

menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para ashabul furudh.

Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah sekaligus.

Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari

nilai total harta peninggalan. Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari

almarhum sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk

membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan

hal yang diharamkan.

Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus

dibatalkan.

2.2.4 Hukum

Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal muwarrits, karena

merupakan salah satu kewajiban atas harta. Sedangkan memberikan washiyat

hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya sunnah.

2.3 Istilah-istilah dalam ilmu waris

Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas, dimana istilah itu seringkali

tidak sama dengan istilah yang umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah yang

akan seringkali muncul dalam mata kuliah ini.

2.3.1 Tarikah

Tarikah, (تركة) kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang ditinggalkan

pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu

yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan.

Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu

berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang

Page 24: Kitab Waris A4.pdf

Bab 2 – Pengertian Waris

12

piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya

pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).

2.3.2 Fardh

Fardh (فرض) adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris yang telah

ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu

adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Harta yang dibagi

waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan fardh.

Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8

bagian dari harta suaminya, apabila suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4

bagian bila suaminya tidak punya keturunan.

2.3.3 Ashhabul Furudh

Ashabul furudh (أصحاب الفروض) sesuai dengan namanya, berarti adalah orang-

orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli

waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh ashabul

furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.

Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi tergantung

keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah

dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya

punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak punya

anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.

Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta

yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri.

Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri

tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri.

Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang sudah punya bagian

pecahan tertentu dari harta muwarristnya.

2.3.4 Ashabah

Istilah ashabaha (عصبة) berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang

diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu

hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi

ashhabul-furudh.

Page 25: Kitab Waris A4.pdf

Bab 2 – Pengertian Waris

13

Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta

yang diambil oleh ahli waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka

bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya

menjadi besar.

Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah dari ayahnya

yang meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8

dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau

sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu 1 – 1/8 = 7/8.

2.3.5 Sahm

Sahm (سهم) adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan kepada setiap

ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala mereka.

Misalnya,

2.3.6 Nasab

Nasab (نسب) adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke atasnya

seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut

abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah (keturunannya) seperti dengan

anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut

bunuwwah.

2.3.7 Al-Far'u

Istilah (الفرع) bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah anak laki-laki

atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak

dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists

maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak

tersebut ke bawahnya.

2.3.8 Al-Ashl

Yang dimaksud dengan istilah al-ashl (األصل) adalah ayah kandung dan ibu kandung,

juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek). Dan kakek

atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.

Page 26: Kitab Waris A4.pdf
Page 27: Kitab Waris A4.pdf

Bab 3 – Alokasi Harta

15

Bab 3

Alokasi Harta

Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta, tidak

semua harta peninggalannya langsung dibagi sebagai warisan. Ada sejumlah pos

pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Tentu saja bila pos-pos

pengeluaran itu memang ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut hukum

waris.

3.1 Menetapkan Kepemilikan Harta

Meski pun bagian ini nyaris tidak kita temukan di kitab-kitab fiqih klasik, namun

pada kenyataannya, terutama di negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari semua

urusan pembagian warisan. Pertama yang harus dilakukan adalah memilah dan

memilih mana yang merupakan harta almarhum dan mana yang harta milik orang lain,

tetapi tercampur di dalam harta almarhum.

Mengapa demikian?

Karena ketentuan dalam hukum waris Islam, harta yang dibagi waris itu harus harta

yang 100% dimiliki oleh almarhum yang meninggal dunia. Padahal kenyataan yang

sering terjadi harta yang ada itu masih menjadi milik bersama, baik antara suami istri

atau pun dengan pihak lain.

Ada beberapa contoh kasus yang sering terjadi dimana di dalam harta seseorang

masih tercampur hak milik orang lain, diantaranya:

3.1.1 Usaha Bersama Suami Istri

Sepasang suami istri sejak menikah telah membangun usaha bersama, katakanlah

membuka toko. Keduanya mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan

usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan harta yang mereka miliki itu

menjadi harta berdua. Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul

persoalan, lantran kedua suami istri.

Page 28: Kitab Waris A4.pdf

Bab 3 – Alokasi Harta

16

Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia. Apalagi bila suami kawin lagi.

Tentu di dalam harta berupa usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami

tentu tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan itu.

Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak. Mereka akan mengatakan

bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri

mereka.

Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang status kepemilikan usaha keluarga

itu. Berapakah besar yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri,

seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.

Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka berapa besar saham istri

harus ditetapkan secara jelas. Dan kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus

ditetapkan secara jelas juga.

Maka hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik istri saja yang dibagi waris,

sedangkan yang milik suami tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.

3.1.2 Suami Memberi Hadiah Kepada Istri

Sebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan anak-anaknya diteror oleh

adik-adik almarhum sendiri. Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak

mendapat harta warisan berupa kolam pemancingan dari peninggalan harta kakak

mereka, lantaran sang kakak tidak punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum

tidak punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh kepada ashabah yang tidak lain adalah

adik-adik almarhum.

Tapi menurut istri almarhum yang kini sudah menjanda, kolam pancing ikan yang

diributkan itu pada dasarnya bukan asset harta milik suaminya yang sudah almarhum.

Karena semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan kolam pancing itu kepada

dirinya sebagai hadiah ulang tahun.

Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas nama istri. Maka harta itu tidak

bisa dibagi waris, karena statusnya bukan milik almarhum.

Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing pihak, harus ditelusuri

terlebih dahulu, baik dengan menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat

bukti kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi waris bisa dilakukan.

3.1.3 Pinjam atau Beli

Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang kepada kakaknya untuk naik haji. Dan

sebagai jaminannya, sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.

Page 29: Kitab Waris A4.pdf

Bab 3 – Alokasi Harta

17

Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang pinjaman ini tidak

dikembalikan. Otomatis sawah sebagai jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.

Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud

membagi harta warisan. Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli waris

meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik

orang tua mereka, karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa

hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai jaminan hutang.

Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi

hak orangtua mereka, lantaran utang belum pernah dikembalikan.

Anak keturunan si adik akhirnya bersedia mengembalikan hutang orangtua mereka,

tetapi nilainya hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai itu

saja. Karuan saja keluarga sang kakak meradang, karena apa artinya uang segitu di

zaman sekarang ini. Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi haji ke

tanah suci. Mereka meminta setidaknya uang itu dikembalikan seharga biaya ONH

sekarang, yaitu sekitar 30-an juta.

Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat, yang intinya menuntut

penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum.

3.2 Pengurusan Jenazah

Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan

harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan

pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak

wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain

kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat

peristirahatannya yang terakhir.

Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan

tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi

kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.

3.3 Hutang

Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih

dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada

ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini

berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

Page 30: Kitab Waris A4.pdf

Bab 3 – Alokasi Harta

18

"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."

Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia.

Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar

zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di

kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan.

3.3.1 Al-Hanafiyah

Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah

diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi

ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris

dibagikan kepada para ahli warisnya.

Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah,

sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal,

menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan,

dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan

tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah

meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak

menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan

Allah SWT. Pendapat mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat

kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib

bagi ahli waris untuk menunaikannya.

3.3.2 Jumhur Ulama

Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang

pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada

sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak

memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang

menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk

menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.

3.3.3 Asy-syafi'iyah

Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum

memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba.

Page 31: Kitab Waris A4.pdf

Bab 3 – Alokasi Harta

19

3.3.4 Al-Malikiyah

Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib

ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang

piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini

lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba

daripada utang kepada Allah.

3.3.5 Al-Hanabilah

Ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan

utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh

harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.

3.4 Washiyat

Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga

dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan

bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan

seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian

harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil

untuk membayar utangnya.

Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang

ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan

semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab

pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat

menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda:

"... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para

ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam

kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."

Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli

warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').

Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada:

ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu,

ayah, istri, suami, dan lainnya),

kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta

waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).

Page 32: Kitab Waris A4.pdf

Bab 3 – Alokasi Harta

20

Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang

piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu

diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya

penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga

dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga

kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan

utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam

susunan ayat tersebut.

Page 33: Kitab Waris A4.pdf

Bab 4 – Rukun, Syarat, dan Sebab Warisan

21

Bab 4

Rukun, Syarat dan Sebab Warisan

4.1 Rukun Waris

Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris.

Bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.

Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan al-mauruts. Lebih rincinya:

4.1.1 Al-Muwarits

Al-Muwarrits ( ثال ر و م ) sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang

memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang

meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris.

Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara.

Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.

4.1.2 Al-Warits

Al-Warits (ار ث sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang (الو

berhak untuk menerima harta peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab)

atau ikatan pernikahan, atau lainnya.

4.1.3 Harta Warisan

Harta warits (ر وث و adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik (الم

berupa uang, tanah, dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu

saja tidak boleh diwariskan.

Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu

harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana

yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang

milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan.

Page 34: Kitab Waris A4.pdf

Bab 4 – Rukun, Syarat, dan Sebab Warisan

22

4.2 Syarat Waris

Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan.

Bilamana salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi

pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:

4.2.1 Meninggalnya Muwarrits

Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal

secara hakiki dan meninggal secara hukum.

a. Meninggal secara hakiki

Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang

sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.

b. Meninggal secara hukum

Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah

meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan.

Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana

alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan

kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.

4.2.2 Bagi Waris Sebelum Meninggal

Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu membagi-bagi harta

waris sebelum muwarritsnya meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang

membagi-bagi.

Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta warisan,

manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal dunia.

Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya sendiri

kepada anak-anaknya, pada saat dia masih hidup segar bugar.

Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-

muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi memang tidak mungkin

seseorang membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada keturunannya.

Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah

(pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya.

Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja

dengan nilai berapa saja.

Page 35: Kitab Waris A4.pdf

Bab 4 – Rukun, Syarat, dan Sebab Warisan

23

Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan.

Bila seseorang telah menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia

sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya

sepenuhnya. Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak

berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.

Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah berikut rumah kepada

anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu

begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si anak telah menjadi

pemilik sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada

pihak lain. Meski si ayah masih hidup.

Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama

hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya

kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya washiyat.

Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima washiat

berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada

washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram.

Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah

masih hidup dan namanya hibah. Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya

warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan pembagiannya telah baku sesuai

dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai

pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta warisan untuk para ahli

warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia meninggal

dunia.

4.2.3 Hidupnya Ahli Waris

Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal

dunia. Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah

masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia.

Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan

mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu

tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah

mereka meninggal lebih dulu dari kakek.

Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan.

Page 36: Kitab Waris A4.pdf

Bab 4 – Rukun, Syarat, dan Sebab Warisan

24

Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu si kakek berwashiyat semenjak masih

hidup agar cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan warisan

melainkan dengan cara washiat.

Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk

mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan mereka.

Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan

sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada

saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak mendapat apa-apa.

Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi

meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak

diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat

saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup.

Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama

meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para

fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.

4.2.4 Ahli Waris Diketahui

Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing,

misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan

pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,

dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah

yang diterima.

Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang

pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara

seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada

yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah,

ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak

terhalang.

4.3 Sebab-sebab Adanya Hak Waris

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

4.3.1 Kerabat hakiki

Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan

seterusnya.

Page 37: Kitab Waris A4.pdf

Bab 4 – Rukun, Syarat, dan Sebab Warisan

25

Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak

atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia.

Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak yang

semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan

seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan

sama besar dengan anak-anak si kakek lainnya.

4.3.2 Pernikahan

Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan

perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar

keduanya.

Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami

atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya

pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu

tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila

mertuanya meninggal dunia.

Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan

wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang

batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya

pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling

mewarisi antara suami dan istri.

4.3.3 Al-Wala

Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-

ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang

dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat

kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.

Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati

diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya

hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris

yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem

perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi

terjadi.

Page 38: Kitab Waris A4.pdf
Page 39: Kitab Waris A4.pdf

Bab 5 – Gugurnya Warisan

27

Bab 5

Gugurnya Warisan

Bersama dengan kajian tentang siapa saja yang berhak mendapat warisan, ada juga

hal-hal yang membuat seseorang yang seharusnya mendapat warisan, namun karena

satu dan lain hal, haknya menjadi gugur. Sehingga orang tersebut tidak jadi menerima

warisan.

5.1 Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan

Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang ada tiga:

5.1.1 Pembunuhan

Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh

ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak

tidak lagi berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan

sabda Rasulullah saw.:

"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "

Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di

kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah:

منتعجلبشيءعوقبحبرمانه

Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka

dia tidak mendapatkan bagiannya.

Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan.

Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak

waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang

direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.

Page 40: Kitab Waris A4.pdf

Bab 5 – Gugurnya Warisan

28

Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya

tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu

dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian

para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.

Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai

penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan

pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak

tergolong sebagai penggugur hak waris.

5.1.2 Perbedaan Agama

Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa

pun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari

ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam.

Dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak

beragama Islam, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim.

Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

ل م س ال و ل الك اف ر ل م الك اف ر س

ال " لي ر ث

Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir

mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)

Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid, yaitu

Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal

r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak

boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Al-islam ya'lu

walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).

Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak

mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang

murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam

kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.

Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat

orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah

seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?

Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang

muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut

Page 41: Kitab Waris A4.pdf

Bab 5 – Gugurnya Warisan

29

mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara

otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah

saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta

kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan:

"Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang

muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib,

Ibnu Mas'ud, dan lainnya.

Nampaknya pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding

yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan

kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola

secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.

5.1.3 Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi

sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung

menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar

(budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak

yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan

yang disepakati kedua belah pihak).

Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak

untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.

5.2 Perbedaan Mahrum dan Mahjub

Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub,

yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid.

Karena itu, ada baiknya juga dijelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.

Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat

menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan

fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris

seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau

lebih kuat kedudukannya.

Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah

dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak

Page 42: Kitab Waris A4.pdf

Bab 5 – Gugurnya Warisan

30

mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat

kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah.

Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan

adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini

disebut dengan istilah mahjub.

Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari

keduanya.

Contoh Pertama

Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung,

dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya

sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris

dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada,

menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah

Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang

mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri

seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan

sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada,

yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.

Contoh Kedua

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung.

Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter-mahjub oleh

adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.

Page 43: Kitab Waris A4.pdf

Bab 6 – Penghalang Warisan

31

Bab 6

Penghalang Warisan (Al-Hujub)

6.1 Definisi

Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT

berfirman:

ي و م ئ ذ ل م ح ج وب ون إ ن ه م ك ال ع نر ب م

Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari

(melihat) Tuhan mereka" (QS. Al-Muthaffifin : 15)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang,

tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.

Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau

penjaga pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu

tanpa izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.

Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim

maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang

menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang

terhalang mendapatkan warisan.

Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan

hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja

disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

6.2 Macam-macam al-Hujub

Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-

syakhshi (karena orang lain).

Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari

mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh

pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.

Page 44: Kitab Waris A4.pdf

Bab 6 – Penghalang Warisan

32

Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang

dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-

syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuQShan. Hujub hirman yaitu

penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang.

Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya

hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena

adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu,

dan seterusnya.

Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris

seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan

terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam

disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak).

Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya

mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi

seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.

Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub

disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini

merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuQShan.

6.3 Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman

Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri

dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut

adalah:

1. Anak kandung laki-laki

2. Anak kandung perempuan

3. Ayah

4. Ibu

5. Suami

6. Istri

Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka

mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka dengan

almarhum yang wafat.

Page 45: Kitab Waris A4.pdf

Bab 6 – Penghalang Warisan

33

6.4 Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman

Ada 16 orang yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari

laki-laki dan lima dari wanita. Mereka ini mungkin mendapat warisan tapi mungkin

juga terhalang sehingga tidak mendapatkan warisan.

Page 46: Kitab Waris A4.pdf
Page 47: Kitab Waris A4.pdf

Bab 7 – Ashabul Furudh & Ashabah

35

Bab 7

Ashabul Furudh & Ashabah

7.1 Ashhabul Furudh

Ashabul furudh adalah para ahli waris yang nilai haknya telah ditetapkan secara

langsung dan mendapatkan harta waris terlebih dahulu, sebelum para ashabah.

Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu :

setengah (1/2)

seperempat (1/4)

seperdelapan (1/8)

dua per tiga (2/3)

sepertiga (1/3)

seperenam (1/6).

Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk

ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.

7.2 Ashabah

Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.

Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan

melindungi.

Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi

kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali

digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:

ل ئ ن و ن ن ع ص ب ة إ ن اإ ذا ق ال وا ر ون ل ا أ ك ل ه الذ ئ ب س

"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan

(yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'"

(QS. Yusuf: 14)

Page 48: Kitab Waris A4.pdf

Bab 7 – Ashabul Furudh & Ashabah

36

Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan

mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.

Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah: ahli waris yang

tidak disebutkan banyaknya bagiannya dengan tegas.

Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara

kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah).

Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.

Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang

menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga

menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan

mengambil bagian masing-masing.

7.2.1 Dalil Hak Waris Para 'Ashabah

Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati

di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah :

د م ن ه م ا ي ك ن و ل ب و ي ه ل ك ل و اح ل ه و ل د ف إ نل ك ان إ ن م ات ر ك ل ه السد س و ل د و و ر ث ه أ ب و اه ف أل م ه الث ل ث

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka

ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-

masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi

bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik

kedua orang tua.

Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak,

maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan

berapa bagian ayah.

Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya

(2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai

'ashabah.

Page 49: Kitab Waris A4.pdf

Bab 7 – Ashabul Furudh & Ashabah

37

Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah:

ل ه ل ي س ه ل ك ام ر ؤ ي ر ث ه آإ نو ل د و ل ه إ ن و ه و م ات ر ك ف ل ه ان ص ف ي ك نل او ل د أ خ ت ل

Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai

saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta

yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta

saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An-Nisa': 176).

Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan

justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta

peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.

Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh

harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:

الل اس ب ع ن اب ع ن ر س ول ق ال ف ي ق ب ام ف اه ل ه أ ب ض ائ ر الف واق حل أ ق ال .رك ذ ل ج ر ل و أل

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang

tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris

kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki

yang paling utama dari 'ashabah.

Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan

Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas

menunjukkan makna seorang laki-laki.

Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan

kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak

mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada

jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan

kata "dzakar".

7.2.2 Macam-macam 'Ashabah

'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah

sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan

budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas

budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.

Page 50: Kitab Waris A4.pdf

Bab 7 – Ashabul Furudh & Ashabah

38

Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:

'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur

unsur wanita),

'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang

lain)

'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-

sama dengan yang lain).

7.2.3 'Ashabah bin nafs

'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri

kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:

1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu,

cicit, dan seterusnya.

2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari

pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.

3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki

seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki

keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas

pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka,

namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak

termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.

4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun

yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.

Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah

anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat

daripada arah saudara.

7.2.4 Hukum 'Ashabah bin nafs

Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat

kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian)

menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh

warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul

furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul

furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya,

Catatan

Dalam dunia faraid, apabila

lafazh 'ashabah disebutkan

tanpa diikuti kata lainnya

(tanpa dibarengi bil ghair

atau ma'al ghair), maka yang

dimaksud adalah 'ashabah

bin nafs.

Page 51: Kitab Waris A4.pdf

Bab 7 – Ashabul Furudh & Ashabah

39

maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan

meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.

Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian

setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh

telah menghabiskannya.

Page 52: Kitab Waris A4.pdf
Page 53: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

41

Bab 8

Para Ahli Waris

Salah satu kendala terbesar dalam mengerti dan menghafal siapa saja ahli waris

adalah tidak adanya diagram atau struktur keluarga (family chart).

Apalagi ditambah dengan penyebutan yang relatif antara satu ahli waris dengan

yang lainnya. Seorang ahli waris bisa saja dia menjadi 'ayah' bagi ahli waris lainnya.

Tapi dalam waktu yang sama, dia adalah 'anak' dari seseorang. Bahkan dia juga seorang

'kakek', atau 'paman', 'saudara', 'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan begitulah

seterusnya.

Relatifitas ini akan menyulitkan kita dalam memahami duduk masalah. Maka

dengan bantuan diagram struktur keluarga ini, kita akan dimudahkan.

Selain itu istilah-istilah yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia sering tidak

baku. Katakanlah sebagai contoh, akh li ab wa li um (أخ شقيق), sering kita terjemahkan

menjadi saudara kandung. Sebagian orang memahami istilah saudara kandung adalah

saudara yang sama-sama satu kandungan ibu, dimana ayah mereka bisa saja berbeda.

Dan itu adalah saudara seibu (أخ ألم).

Untuk itu diagram ini selain berbahasa Indonesia, juga dilengkapi juga dengan

istilah dalam bahasa Arab aslinya.

Diagram ini juga dilengkapi dengan nomor ahli waris, yang sepenuhnya merupakan

ijtihad penulis sendiri. Sekedar untuk memastikan identitas seorang ahli waris, agar

tidak tertukar-tukar penyebutannya dengan ahli waris yang lain. Kira-kira seperti id

number kalau dalam sistem database.

Selain itu, diagram ini juga dilengkapi dengan daftar orang-orang yang terhijab oleh

seorang ahli waris. Sehingga dengan mudah kita bisa memastikan siapa saja dari

mereka yang terhijab, cukup dengan sekali melihat bagan.

Terakhir, diagram ini juga dilengkapi dengan bagian-bagian yang mungkin akan

bisa diterima oleh seorang ahli waris.

Page 54: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

42

Page 55: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

43

8.1 Anak Laki-laki (ابن)

Kita urutkan pada nomor satu dalam daftar struktur

keluarga adalah anak laki-laki. Mengingat kedudukan anak

laki-laki sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris yang

lain. Untuk seterusnya agar memudahkan, kita tinggal

menggunakan nomor urut satu sebagai id buat anak laki-

laki.

8.1.1 Bagian

Asabah (sisa harta) dan mendapat 2 kali bagian anak perempuan.

Seorang anak laki-laki mendapat warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang

sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak

pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.

Terkadang sisanya besar, terkadang sisanya kecil. Bahkan bisa saja sisanya sama

dengan seluruh harta, misalnya karena almarhum tidak punya ahli waris lain selain

anak laki-laki. Tetapi seorang anak laki-laki tidak mungkin tidak kebagian harta waris.

Akan lebih tergambar kalau kita masukkan ke dalam contoh-contoh yang nyata.

Contoh Pertama

Seseorang meninggal dunia dengan nilai total warisan sebesar 10 milyar, tanpa

memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya hanyalah seorang anak laki-laki

tunggal satu-satunya.

Penyelesaiannya adalah anak laki-laki satu-satunya itu mewarisi seluruh harta

ayahnya, sebesar 10 milyar. Karena anak laki-laki memang mendapat semua sisa harta,

yang dalam hal ini tidak ada satu pun ahli waris dari ashabul furudh yang masih hidup.

Ahli Waris Bagian Nilai

Anak laki-laki 1/1 10 milyar

Contoh Kedua

Seorang meninggal dunia dengan harta sebesar 7 milyar, tanpa memiliki istri atau

anak perempuan. Ahli warisnya 7 orang anak laki-laki semua.

Penyelesaian sederhana saja, harta itu dibagi rata kepada lima orang. Jadi masing-

masing mendapat 1 milyar.

Page 56: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

44

Ahli Waris Bagian Nilai

Anak laki-laki 1 1/7 1 milyar

Anak laki-laki 2 1/7 1 milyar

Anak laki-laki 3 1/7 1 milyar

Anak laki-laki 4 1/7 1 milyar

Anak laki-laki 5 1/7 1 milyar

Anak laki-laki 6 1/7 1 milyar

Anak laki-laki 7 1/7 1 milyar

Contoh Ketiga

Seorang laki-laki wafat dengan harta 8 milyar, meninggalkan ahli waris seorang istri

dan seorang anak laki-laki.

Istri adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan, yaitu 1/8 atau 1 milyar.

Sisanya adalah 7/8 bagian atau 7 milyar, menjadi hak oleh anak laki-laki adalah 7/8.

Hak anak laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh istri

almarhum.

Kalau kita jabarkan dalam bentuk tabel, hasilnya sebagai berikut:

Ahli Waris Bagian Nilai

Istri 1/8 1 milyar

Anak laki-laki (ashabah) 7/8 7 milyar

Contoh Keempat

Harta almarhum sebesar 8 milyar, pada saat wafat beliau memiliki seorang istri dan

7 orang anak laki-laki. Bagaimana penyelesaiannya?

Istri mendapat 1/8 bagian. 7 orang anak laki-laki adalah ashabah, mereka berhak

atas sisanya. Dan sisanya yang 7/8 bagian itu dibagi rata kepada 7 orang anak laki-laki.

7/8 dibagi 7 adalah 1/8.

Page 57: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

45

Kita perhatikan bahwa masing-masing ahli waris sama-sama mendapat 1/8 dari 8

milyar, jadi masing-masing mendapat 1 milyar.

Ahli Waris Bagian Nilai

Istri 1/8 1/8 1 milyar

Anak laki-laki 1

7/8

1/8 1 milyar

Anak laki-laki 2 1/8 1 milyar

Anak laki-laki 3 1/8 1 milyar

Anak laki-laki 4 1/8 1 milyar

Anak laki-laki 5 1/8 1 milyar

Anak laki-laki 6 1/8 1 milyar

Anak laki-laki 7 1/8 1 milyar

8.1.2 Menghijab

Ahli Waris id

saudara seayah-ibu

saudari seayah-ibu

saudara seayah

saudari seayah

keponakan : anak saudara seayah-ibu

keponakan : anak saudara seayah

paman : saudara ayah seayah-ibu

paman : saudara ayah seayah

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

sepupu : anak laki paman seayah

cucu : anak laki dari anak laki

cucu : anak wanita dari anak laki

saudara & saudari seibu

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

22

8.1.3 Dihijab oleh

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak laki-laki tidak dihijab oleh

siapa pun. Karena posisinya yang langsung berhubungan dengan muwarrits. * * *

Page 58: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

46

8.2 Anak Perempuan (بنت)

Anak perempuan yang dimaksud adalah anak perempuan dari muwarrits yang telah

meninggal dunia. Kita letakkan pada nomor urut dua, karena posisinya yang sangat

dekat dengan muwarrits, serta bersisian dengan anak lak-laki yang berada pada nomor

urut satu.

8.2.1 Bagian

1/2 = menjadi satu-satunya anak almarhum

2/3 = dua orang atau lebih dan almarhum tak ada anak laki

ashabah = almarhum punya anak lak-laki dengan ketentuan bagiannya 1/2 dari

bagian anak laki-laki

Anak perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam menerima waris dari orang

tuanya.

Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua harta warisan. Syaratnya, dia

menjadi anak tunggal dari muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu pun

baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan.

ك ان ت و إ ن ةف ل ه االن ص ف د و اح

Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh

harta warisan yang ada..(QS. An-Nisa : 11)

Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia tidak sendirian. Dia

punya saudara perempuan sehingga minimal mereka berdua. Dan mereka semua akan

mendapat jatah total (bukan masing-masing) 2/3 bagian, selama semuanya perempuan

dan tidak ada saudara laki-laki satu pun.

ك ن ث ل ث ام ات ف إ ن ف ل ه ن اث ن ت ي ر ك ن س اءف و ق

Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per

tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (QS. An-Nisa': 11)

Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki, dia bersama anak laki-laki akan mendapat

ashabah atau sisa. Harta sisa itu dibagi rata dengan semua saudara atau saudarinya

dengan ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang diterima saudara laki-lakinya.

Page 59: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

47

يك م أ و ل د ك م ل لذ ي وص الله ف ال نث ي ي ث ل ح ظ ك ر م

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.

Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak

perempuan. (QS. An-Nisa : 11)

8.2.2 Menghijab

Ahli Waris

cucu : anak wanita dari anak laki

saudara & saudari seibu

Id

20

22

Ada 2 orang yang dihijab oleh anak perempuan. Pertama, saudara atau saudari

seibu tidak seayah. Kedua, cucu perempu-an almarhum, dengan syarat jumlah anak

perempuan itu dua orang atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan cucu

perempuan sebagai ashabah bersamanya.

8.2.3 Dihijab Oleh

Seorang anak perempuan tidak pernah dihijab oleh siapa pun, karena tidak ada

penghalang antara dirinya dengan muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya sendiri.

Page 60: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

48

* * *

8.3 Istri (زوجة)

Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia menjadi ahli waris,

berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik suaminya.

Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu

saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri, tentu tidak dibagi

waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian suami.

8.3.1 Bagian

Seorang istri punya dua kemungkinan dalam menerima bagian, yaitu 1/4 atau 1/8

sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.

Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya fara' waris5, maka hak istri

adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan almarhum suaminya.

ت م إ ن الرب ع م ات ر ك ي ك نل ك م و ل د و ل ن ل

"Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang kamu tinggalkan bila kamu tidak

mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12)

Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang

mendapatkan warisan, maka bagian istri adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan

suami.

الث ل ك م و ل د ف ل ه ن ك ان د ي ن م ن ف إ ن ي ة ت وص ون ب اأ و ت مم نب ع د و ص م ات ر ك

"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari

harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)

sesudah dibayar utang-utangmu ..." (QS. An-Nisa': 12)

5 Diantara fara' waris antara lain : anak laki-laki, anak perempuan, juga anak laki-laki atau anak

perempuan dari anak laki-laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak perempuan dari anak

perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya bukan termasuk fara' waris, karena

cucu dari anak perempuan tidak termasuk dalam daftar ahli waris penerima warisan.

Page 61: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

49

8.3.2 Menghijab

Kedudukan seorang istri tidak menghijab siapa pun dari ahli waris suami.

Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang

menjadi kehilangan haknya.

8.3.3 Dihijab oleh

Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang pun

yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, istri tidak dihijab oleh

siapa pun.

* * *

8.4 Suami

Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya, maka dia menjadi ahli waris,

berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik istrinya.

Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu

saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami, tentu tidak dibagi

waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian istri.

8.4.1 Bagian

Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu 1/2 atau 1/4 sebagaimana

disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.

Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya fara' waris, maka hak suami 1/2

bagian dari harta peninggalan almarhumah istrinya.

ي ك نل ن و ل د و ل ك م ن ص ف أ ز و اج ك م إ نل م ات ر ك

"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separuh dari harta yang ditinggalkan

istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 12)

Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan

warisan, maka bagian suami adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan istri.

ك ان ف إ ن ل ن و ل د ف ل ك م الرب ع م ات ر ك ن

"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari

harta yang ditinggalkannya (QS. An-Nisa': 12)

Page 62: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

50

8.4.2 Menghijab

Kedudukan seorang suami tidak menghijab siapa pun dari ahli waris istri.

Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang

menjadi kehilangan haknya.

8.4.3 Dihijab oleh

Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang pun

yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, suami tidak dihijab

oleh siapa pun. * * *

8.5 Ayah

Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik anak itu laki-laki atau

perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya

adalah ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia. Kalau ayah sudah meninggal

dunia terlebih dahulu, tidak menjadi ahli waris.

8.5.1 Bagian

Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.

1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki

1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki

Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris

Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya,

almarhum anaknya itu punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-

laki dari anak laki-laki.

د م ن ه م ا ل ه و ل د و ل ب و ي ه ل ك ل و اح ك ان إ ن م ات ر ك السد س

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Page 63: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

51

Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu

terjadi manakala almarhum yaitu anaknya yang meninggal itu punya fara' waris

perempuan6 dan tidak punya fara' waris laki-laki.

Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam hal ini ayah menjadi ahli waris

laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya kepada almarhum

dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda :

ن س ول هللا اس ب ع ن اب ع ف ي ق ب ام ف اه ل ه أ ب ض ائ ر الف واق ح ل أ ق ال ق ال ر .رك ذ ل ج ر ىل و أل

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang

tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang ayah.

Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayah mendapatkan 1/6

sebagaimana disebut dalam dalil berikut :

د م ن ه م ا ل ه و ل د و ل ب و ي ه ل ك ل و اح ك ان إ ن م ات ر ك السد س

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan itu tentu masih bersisa.

Siapakah yang berhak atas harta ini?

Jawabnya adalah ayah.

Mengapa?

Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli waris yang merupakan ashabah juga. Meski

pun pada dasarnya ada lagi ahli waris lain yang juga berhak menjadi ashabah, namun

ayah telah menghijab mereka dan mengambil hak asabah itu untuk dirinya, dengan

dasar dalil di atas.

Ketiga, ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah, setelah ashabul furudh

mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-laki atau

pun perempuan.

ي ك نل ه و ل د و و ر ث ه أ ب و اه ف أل م ه الث ل ث ف إ نل

Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian

ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)

6 Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara'

waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

Page 64: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

52

Di ayat ini tidak tertera kalimat yang secara langsung menyebutkan bahwa ayah

mendapat sisanya. Hanya disebutkan bahwa ayah dan ibu itu menerima warisan dari

anak mereka bersama-sama. Dan yang menjadi bagian buat ibu adalah 1/3. Logikanya,

kalau bagian itu ibu sudah disebutkan maka bagian ayah pasti diketahui, yaitu sisanya.

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang ayah.

Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya adalah 1/4 bagian,

karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian menjadi hak ayah

sebagai ashabah bi nafsihi.

8.5.2 Menghijab

Ayah termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris yang lain, selain

anak laki-laki. Ada 12 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan,

karena keberadaan ayah dari almarhum.

Mereka yang terhijab oleh ayah adalah:

Ahli Waris

kakek : ayahnya ayah

Nenek : ibunya ayah

saudara seayah-ibu

saudari seayah-ibu

saudara seayah

saudari seayah

keponakan : anak saudara seayah-ibu

keponakan : anak saudara seayah

paman : saudara ayah seayah-ibu

paman : saudara ayah seayah

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

sepupu : anak laki paman seayah

Id

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

8.5.3 Dihijab oleh

Seorang ayah tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli waris yang lain. Karena

hubungan ayah dengan anaknya yang menjadi muwarrits adalah hubungan langsung.

* * *

Page 65: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

53

8.6 Ibu

Ibu adalah orang yang juga dekat dengan anaknya yang meninggal dunia. Bila saat

meninggalnya, ibu masih ada, sudah dipastikan ibu mendapat warisan.

8.6.1 Bagian

Seorang ibu punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.

1/6 = almarhum punya fara' waris

1/3 = almarhum tidak punya fara' waris

1/3 dari sisa = bila almarhum punya fara' waris (hanya dalam kasus umariyatain)

Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta almarhum anaknya yang wafat, bila anaknya

itu punya fara' waris.

د م ن ه م ا ل ه و ل د و ل ب و ي ه ل ك ل و اح ك ان إ ن م ات ر ك السد س

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari harta peninggalan almarhum anaknya, bila

anaknya tidak punya fara' waris.

و ل د و و ر ث ه أ ب و اه ف أل م ه الث ل ث ي ك نل ه ف إ نل

Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian

ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)

Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa harta yang sudah diambil oleh para ashabul

furudh, namun haknya yang 1/3 tidak berlaku.

Pembagian ini hanya terjadi bila seseorang wafat dengan meninggalkan hanya 3

orang ahli waris, yaitu suami/istri, ayah dan ibu. Kasus ini terjadi di zaman khalifah

Umar bin al-Khattab dan dikenal dengan istilah kasus Umariyatain.7

7 Istilah kasus Umariyatain adalah dua kasus yang ditetapkan oleh Umar bin al-Khattab

radhiyallahuanhu. Kasus pertama melibatkan 3 orang ahli waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus

kedua melibatkan 3 orang juga yaitu istri, ayah dan ibu.

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah pada kata : وورثه أبواه.

Page 66: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

54

8.6.2 Menghijab

Seorang ibu menghijab 2 orang ahli waris lainnya, yaitu nenek dari pihak ibu dan

nenek dari pihak ayah. Atau dengan kata lain, dia menghijab ibunya sendiri (21) dan

ibu dari suaminya (8).

8.6.3 Dihijab oleh

Seorang wanita yang ditinggal mati oleh anaknya, maka posisinya tidak akan

terhijab oleh siapa pun. Karena mereka punya hubungan langsung tanpa diselingi oleh

orang lain.

* * *

Menurut Khalifah Umar dan kebanyakan para shahabat nabi serta didukung oleh jumhur ulama,

kata itu punya makna bahwa ayah dan ibu menerima warisan dari sisa warisan yang diambil oleh

suami atau istri secara fardh. Ayah dan ibu tidak menerima waris secara fardh (1/3) dari asal harta.

Sebaliknya, menurut Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, ibu mendapat 1/3 dari asal harta sebagaimana

disebutkan dalam ayat ini. Sisanya, menjadi hak ayah. Dalam pandangan Khalifah Umar, kalau

demikian, tidak ada arti kata tersebut.

Maka dalam kasus ini, suami yang ditinggal mati istrinya tanpa fara' waris mendapat 1/2 harta.

Sisanya, yaitu 1/2 menjadi hak ayah dan ibu berdua secara ashabah, dengan ketentuan ibu mendapat

1/3 dari jatah mereka berdua dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/3.

Kasus Pertama

Ahli Waris Bagian

Istri 1/4 1/4

Ibu 3/4

1/4

Ayah 2/4

Kasus Kedua

Ahli Waris Bagian

Suami 1/2 3/6

Ibu 1/2

1/6

Ayah 2/6

Page 67: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

55

8.7 Kakek (أب أب)

Yang dimaksud dengan kakek disini adalah ayahnya ayah. Seorang kakek yang

ditinggal mati oleh cucunya, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang

yang berhak mendapatkan warisan.

Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia saat si cucu meninggal

dunia. Kalau ayah anak itu masih hidup, maka kakek (ayahnya ayah) terhijab, sehingga

kita tidak bicara tentang warisan buat kakek.

Semua hitungan untuk warisan buat kakek, selalu dalam kondisi bahwa ayah

almarhum sudah meninggal terlebih dahulu.

8.7.1 Bagian

Seorang kakek punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.

1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki

1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki

Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris

Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya,

almarhum cucunyanya itu punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu

laki-laki dari anak laki-laki.

د م ن ه م ا ل ه و ل د و ل ب و ي ه ل ك ل و اح ك ان إ ن م ات ر ك السد س

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu

terjadi manakala almarhum yaitu cucunya yang meninggal itu punya fara' waris

perempuan8 dan tidak punya fara' waris laki-laki.

Bahwa sisanya itu menjadi hak kakek, karena dalam hal ini kakek sebagai gantinya

ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya

kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda:

8 Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara'

waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

Page 68: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

56

الل اس ب ع ن اب ع ن ر س ول ق ال ف ي ق ب ام ف اه ل ه أ ب ض ائ ر الف واق حل أ ق ال .رك ذ ل ج ر ل و أل

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang

tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang kakek,

yaitu ayahnya ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayahnya ayah

mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut:

د م ن ه م ا ل ه و ل د و ل ب و ي ه ل ك ل و اح ك ان إ ن م ات ر ك السد س

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah,

setelah ashabul furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara'

waris, baik laki-laki atau pun perempuan.

ي ك نل ه و ل د و و ر ث ه أ ب و اه ف أل م ه الث ل ث ف إ نل

Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian

ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang kakek

(ayahnya ayah). Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya

adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian

menjadi hak kakek sebagai ganti dari ayah yang sudah meninggal terlebih dahulu.

8.7.2 Menghijab

Kakek (ayahnya ayah) termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris

yang lain, selain anak laki-laki. Ada 10 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan

harta warisan, karena keberadaan ayah dari almarhum.

Page 69: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

57

Mereka yang terhijab oleh ayah adalah:

Ahli Waris

saudara seayah-ibu

saudari seayah-ibu

saudara seayah

saudari seayah

keponakan : anak saudara seayah-ibu

keponakan : anak saudara seayah

paman : saudara ayah seayah-ibu

paman : saudara ayah seayah

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

sepupu : anak laki paman seayah

saudara/i yang hanya seibu (rajih)

Id

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

22

8.7.3 Dihijab oleh

Seorang kakek tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli waris yang lain, kecuali

oleh ayah, yang dalam hal ini tidak lain adalah anaknya sendiri.

* * *

8.8 Nenek (أم أب)

Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari ayahnya almarhum.

8.8.1 Bagian

Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian

warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan ayah.

8.8.2 Menghijab

Nenek tidak menghijab siapa pun

8.8.3 Dihijab oleh

Nenek dihijab oleh 2 orang yaitu ayah.

Page 70: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

58

Ahli Waris

ayah

ibu

Id

5

6

* * *

8.9 Saudara seayah-ibu (أخ شقيق)

Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang

penting, hubungan antara dirinya dengan almarhum adalah bahwa mereka punya ayah

dan ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan istilah saudara sekandung, karena

konotasinya bisa keliru. Lebih pastinya kita gunakan istilah saudara seayah dan seibu.

8.9.1 Bagian

Saudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu

sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara

fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang

menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau

kakek. Saat itulah saudara seayah seibu baru mendapat jatah warisan.

Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki

seayah seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara

mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian.

Apabila saudara laki-laki juga punya saudara perempuan yang sama-sama seayah

dan seibu, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar.

Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita.

Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi

dua dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4 dan saudarinya mendapat 1/4.

Page 71: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

59

8.9.2 Menghijab

Ahli Waris

saudara seayah

saudari seayah

keponakan : anak saudara seayah-ibu

keponakan : anak saudara seayah

paman : saudara ayah seayah-ibu

paman : saudara ayah seayah

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

sepupu : anak laki paman seayah

Id

11

12

13

14

15

16

17

18

8.9.3 Dihijab Oleh

Ahli Waris

Anak laki-laki

Ayah

Ayahnya ayah (kakek)

Cucu laki-laki

Id

1

5

7

19

* * *

8.10 Saudari seayah-ibu

Saudari seayah dan seibu juga termasuk yang mendapat warisan, asalkan posisinya

tidak terhijab.

Page 72: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

60

8.10.1 Bagian

1/2 = almarhum

tidak punya fara' waris (1-2-19-20)

tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)

tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

tidak punya saudari seayah seibu (10)

2/3 = almarhum

tidak punya fara' waris (1-2-19-20)

tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)

tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

punya saudari seayah seibu (10)

Ashabah = almarhum

tidak punya fara' waris (1-2-19-20)

tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)

punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga

kemungkinan.

Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan

saudara laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.

Maka saudarinya itu mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum.

Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan

saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu.

Maka kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari semua harta warisan almarhum

saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.

Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek.

Yang dia punya seorang saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat

warisan secara ashabah, dengan perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu

mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3 bagian.

Page 73: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

61

* * *

8.11 Saudara seayah (أخ ألب)

Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang

penting, hubungan saudara ini dengan almarhum bahwa mereka punya ayah yang

sama tapi ibu mereka berbeda. Atau dalam bahasa lebih sederhana, hubungan antara

almarhum dengan dirinya adalah saudara tiri.

8.11.1 Bagian

Saudara seayah mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa

harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara fardh.

Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya.

Artinya, almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek, termasuk

almarhum tidak punya saudara/i yang seayah dan seibu. Saat itulah saudara seayah

baru kebagian jatah warisan.

Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki

seayah. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara seayah

mendapat sisanya, yaitu 3/4 bagian.

Apabila saudara laki-laki seayah itu juga punya saudara perempuan yang juga

seayah, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar dari saudari

perempuannya itu.

Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita

seayah. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu

dibagi dua dengan saudarinya, saudara laki-laki mendapatkan 2/4 dan saudari

perempuannya mendapat 1/4.

8.11.2 Menghijab

Ahli Waris

keponakan : anak saudara seayah-ibu

keponakan : anak saudara seayah

paman : saudara ayah seayah-ibu

paman : saudara ayah seayah

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

sepupu : anak laki paman seayah

Id

13

14

15

16

17

18

Page 74: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

62

8.11.3 Dihijab Oleh

Ahli Waris

Anak laki-laki

Ayah

Ayahnya ayah (kakek)

Saudara laki-laki seayah seibu

Saudara perempuan seayah seibu *

Cucu laki-laki

Id

1

5

7

9

10

19

* * *

8.12 Saudari seayah (أخت ألب)

Yang dimaksud dengan saudari perempuan seayah bahwa dirinya punya ayah yang

sama dengan almarhum, tapi ibu mereka berbeda. Dengan mudah juga bisa kita sebut

saudari perempuan tiri. Saudari tiri juga termasuk yang mendapat warisan, asalkan

posisinya tidak terhijab.

8.12.1 Bagian

1/2 = almarhum

tidak punya fara' waris (1-2-19-20)

tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)

tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

tidak punya saudari seayah seibu (10)

2/3 = almarhum

tidak punya fara' waris (1-2-19-20)

tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)

tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

punya saudari seayah seibu (10)

Ashabah = almarhum

tidak punya fara' waris (1-2-19-20)

tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)

punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

Page 75: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

63

Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga

kemungkinan.

Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek,

saudara laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.

Maka dia mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum saudaranya.

Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek,

saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu.

Maka kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari semua harta warisan almarhum

saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.

Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek.

Yang dia punya seorang saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat

warisan secara ashabah, dengan perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu

mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3 bagian.

8.13 Keponakan : anak saudara seayah-ibu

[Dalam proses pengerjaan]

8.14 Keponakan : anak saudara seayah

[Dalam proses pengerjaan]

8.15 Paman : saudara ayah seayah-ibu

[Dalam proses pengerjaan]

8.16 Paman : saudara ayah seayah

[Dalam proses pengerjaan]

8.17 Sepupu : anak laki paman seayah-ibu

[Dalam proses pengerjaan]

Page 76: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

64

8.18 Sepupu : anak laki paman seayah

[Dalam proses pengerjaan]

8.19 Cucu Laki-laki (ابن ابن)

Cucu yang dimaksud adalah anak laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari

anak perempuan tidak termasuk ahli waris. Keberadaan cucu ini baru berarti manakala

almarhum tidak punya anak laki-laki saat meningal dunia. Sebaliknya, bila almarhum

punya anak laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya sebagai paman,

maka cucu tidak mendapatkan hak waris, karena terhijab olehnya.

8.19.1 Bagian

Bagian yang menjadi hak seorang cucu mirip yang diterima seorang anak laki-laki.

Karena kedudukannya memang sebagai pengganti anak laki-laki.

Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-

masing, dengan ketentuan cucu laki-laki mendapat 2 kali bagian cucu perempuan.

Seorang cucu laki-laki mendapat warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang

sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak

pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.

Contoh yang sederhana adalah seorang laki-laki wafat meninggalkan ahli waris :

cucu laki-laki dan anak perempuan. Maka hak cucu laki-laki adalah sisa harta yang

telah diambil terlebih dahulu oleh anak perempuan. Anak perempuan tunggal adalah

ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan.

Dalam hal ini anak perempuan mendapat 1/2. Berarti sisanya adalah 1/2 bagian.

Maka bagian yang didapat oleh cucu laki-laki adalah 7/8.

Apabila almarhum juga meninggalkan cucu perempuan, maka dia juga mendapat

sisa sebagaimana halnya cucu laki-laki, yaitu jumlah sisa itu dibagi rata di antara para

cucu, dengan ketentuan bahwa cucu perempuan hanya mendapat setengah dari apa

yang didapat cucu laki-laki. Atau dengan kata lain, yang diterima cucu laki-laki 2 kali

lipat lebih besar dari anak perempuan.

Page 77: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

65

Maka pembagiannya sebagai berikut:

Ahli Waris Bagian

Anak Perempuan 1/2 3/6

Cucu Laki-laki Sisa = 1/2

2/6

Cucu Perempuan 1/6

8.19.2 Menghijab

Ahli Waris id

saudara seayah-ibu

saudari seayah-ibu

saudara seayah

saudari seayah

keponakan : anak saudara seayah-ibu

keponakan : anak saudara seayah

paman : saudara ayah seayah-ibu

paman : saudara ayah seayah

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

sepupu : anak laki paman seayah

saudara & saudari seibu

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

22

8.19.3 Dihijab oleh

Satu-satunya pihak yang dapat menghijab cucu laki-laki adalah anak laki-laki (1).

Dalam kenyataannya, bisa saja cucu laki-laki merupakan anak dari anak laki-laki, tapi

bisa juga bukan anak tetapi keponakan. Tapi intinya, selama almarhum masih punya

anak laki-laki, cucu laki-laki akan terhijab.

* * *

8.20 Cucu Perempuan

[Dalam proses pengerjaan]

Page 78: Kitab Waris A4.pdf

Bab 8 – Para Ahli Waris

66

8.21 Nenek Dari Ibu

[Dalam proses pengerjaan]

8.22 Saudara/i Seibu

[Dalam proses pengerjaan]

Page 79: Kitab Waris A4.pdf

Bab 9 – Cara Membagi Warisan

67

Bab 9

Cara Membagi Warisan

9.1 Langkah Pertama

Langkah paling awal adalah mengeluarkan terlebih dahulu segala hal yang tekait

dari harta almarhum yang meninggal. Diantaranya:

9.1.1 Hutang

Semua hutang almarhum/almarhumah harus dikeluarkan terlebih dahulu dari harta

yang dimilikinya. Kecuali bila orang yang memberi hutang itu menyatakan kerelaannya

atas hutang-hutang itu.

9.1.2 Wasiat

Bila almarhum/almarhumah pernah berwasiat atas harta yang dimilikinya, maka

sebelum warisan dibagikan, wasiat itu harus dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan

syarat jumlahnya tidak boleh melebihi dari 1/3 dari total hartanya. Bila telah melebihi,

maka hukumnya tidak boleh karena yang 2/3 itu adalah milik ahli waris.

9.1.3 Biaya Pengurusan Jenazah

Semua biaya untuk pengurusan jenazah, bahkan mulai dari biaya rumah sakit bila

ada, hingga biaya memandikan, mengkafani, menguburkan dan lainnya, bisa

diambilkan dari harta almarhum/almarhumah.

Dari langkah ini akan segera bisa didapat nilai nominal harta

almarhum/almarhumah. Tentu harta itu bukan hanya uang, tetapi bisa berbentuk

rumah, tanah, kendaraan atau apapun.

Namun untuk memudahkan penghitungan, biasanya dilakukan penaksiran atas

semua asset beliau dalam besaran nominal. Meski benda-benda itu tidak harus

langsung dijual kepada pihak lain.

Page 80: Kitab Waris A4.pdf

Bab 9 – Cara Membagi Warisan

68

9.2 Langkah Kedua

Langkah kedua adalah mengumpulkan semua daftar ahli waris dan memilahnya.

Pengumpulan daftar ahli waris ini untuk memisahkan siapa saja yang berhak atas

warisan dan siapa saja yang tidak mendapat hak. Paling tidak ada dua pemilahan.

9.2.1 Memilah

Pada langkah ini tugas kita berikutnya adalah memilah antara ahli waris yang

sesungguhnya dengan yang bukan ahli waris. Boleh jadi dalam persangkaan orang, ada

individu yang dianggap sebagai keluarga dan seolah dia mendapat warisan, tetapi

ternyata secara daftar awal pun sudah bukan termasuk ahli waris.

Misalnya, anak tiri, ayah diri, mantan istri, mantan suami, anak angkat, ayah atau

ibu angkat dan lainnya, mereka semua sesungguhnya tidak pernah terdaftar sebagai

ahli waris.

Anak tiri meski sudah diperlakukan sebagai anak sendiri, tapi secara hukum syariah

tidak pernah mendapatkan harta lewat warisan. Namun bila lewat jalan lain masih

dimungkginkan. Misalnya lewat hibah dari almarhum sebelum wafat, atau lewat wasiat.

Demikian juga istri yang sudah dicerai suami dan telah habis masa iddahnya, bila sang

suami wafat, maka mantan istri itu sudah bukan lagi ahli waris.

Contoh

Seseorang wafat meninggalkan seorang mantan istri yang telah diceraikan sebulan

yang lalu, seorang istri yang masih sah dan seorang istri yang telah diceraikannya

secara 2 tahun lalu. Siapakah diantara mereka yang dapat warisan ?

Jawaban

Yang mendapat warisan adalah istri yang telah diceraikan sebulan yang lalu dan istri

yang masih sah. Sedangkan istri yang telah diceraikan 2 tahun sebelumnya, tidak

mendapat warisan. Karena hubungannya dengan mantan istri itu sudah bukan istri

lagi. Sedangkan yang baru diceraikan 1 bulan yang lalu mendapatkan warisan, lantaran

masa iddahnya belum berakhir. Sebagaimana diketahui bahwa masa iddah seorang

wanita yang diceraikan suaminya adalah 3 kali masa suci dari haidh.

9.2.2 Menghilangkan ahli waris yang terhijab

Meski seseorang termasuk daftar ahli waris, namun belum tentu dalam sebuah

pembagian warisan dia pasti mendapat warisan. Sebab bisa jadi hubungannya dengan

Page 81: Kitab Waris A4.pdf

Bab 9 – Cara Membagi Warisan

69

almarhum/almarhumah terhijab. Sehingga dia tidak boleh menerima warisan akibat

adanya hijab.

Prinsipnya, bila hubungan seorang ahli waris dengan almarhum masih melewati

ahli waris lainnya, maka bila ahli waris yang yang ada diantara keduanya masih ada,

maka ahli waris yang berada pada lapis keduanya tidak akan mendapat warisan.

Kenyataannya, hanya ada 6 orang yang tidak mungkin terhalangi, bahkan untuk

memudahkan mengingatnya, kita susun saja menjadi anak, orang tua dan pasangan.

Dengan rincian yaitu :

anak baik laki atau perempuan

orang tua yaitu ayah dan ibu

pasangan yaitu suami atau istri

Selain keenam orang di atas, mungkin terhalang dan mungkin tidak.

Contoh 1 : Seorang wafat dengan meninggalkan ayah kandung dan paman yang

merupakan saudara ayah. Hubungan almarhum dengan pamannya diselingi dengan

adanya ayah, maka paman tidak mendapat warisan bila ayah masih ada. Namun bila

ayah tidak ada, paman mendapatkan warisan. Posisi paman dalam hal ini sama dengan

posisi kakek, seandainya ayah tidak ada sedangkan kakek masih ada, maka kakek

mendapatkan warisan dari cucunya.

Contoh 2 : Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah dan

keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).

Contoh 3 : Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung

laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al

Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit,

dan seterusnya).

Contoh 4 : Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok

(ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya)

baik anak laki-laki maupun anak perempuan.

Hasil atas langkah kedua ini adalah daftar orang-orang yang pasti mendapat

warisan, baik sebagai ashabul furudh ataupun sebagai ashahabah.

Contoh

Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, paman, kakek, bibi, saudara laki-

laki, saudara perempuan dan anak laki-laki. Siapa diantara mereka yang mendapat

warisan dan siapakah yang terhijab?

Page 82: Kitab Waris A4.pdf

Bab 9 – Cara Membagi Warisan

70

Jawab

Pada awalnya semua memang termasuk ahli waris, namun ada beberapa mereka

yang termahjub karena keberadaan ahli waris lainnya. Yang memahjub anak laki-laki

yang menghijab paman, keponakan, saudara laki-laki dan saudara perempuan. Kakek

terhijab oleh adanya ayah. Sehingga yang menerima warisan hanyalah anak laki-laki,

ayah, ibu saja.

9.3 Langkah Ketiga

Langkah ketiga adalah menentukan pokok masalah. Persoalan pokok masalah ini

di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk

mengetahui pokok masalah.

Untuk apa kita mengetahui pokok masalah? Apa gunanya? Apa tujuannya?

Sebenarnya urusan ini hanya sekedar untuk menemukan nilai yang didapat oleh

para ahli waris. Hal itu disebabkan Al-Quran dan As-sunnah menyebutkan bilangan

pecahan untuk menetapkan bagian yang didapat oleh para ahli waris. Bilangan

pecahan itu adalah setengah (1/2), sepertiga (1/3), seperempat (1/4), seperenam

(1/6), seperdelapan (1/8) dan duapertiga (2/3).

Seandainya dalil-dalil itu menggunakan besaran prosentase, mungkin kita tidak

perlu bicara tentang ashlul-masalah ini. Misalnya dalam kasus seorang laki-laki wafaat

meninggalkan seorang seorang istri dan ayah. Isstri mendapat bagian 1/8 dan ayah

1/6, maka agak sulit buat kita untuk menghitung langsung 1/8 + 1/6.

Tapi kalau angka 1/8 dan 1/6 itu disebutkan dengan besaran prosentase, maka

lebih mudah untuk menjumlahkannya. 1/8 sebenarnya sama dengan 12,5 % dan 1/6

sama dengan 16,66 %. Jadi jumlah keduanya adalah 12,5% + 16,66 % = 29,16 %.

Sedangkan menjumlahkan 1/8 dengan 1/6, perlu sedikit teknik untuk

mendapatkan hasilnya. Dengan metode hitungan sederana sebenarnya mudah saja

bagi kita untuk menjumlahkan beberapa bilangan pecahan, dimana "penyebutnya "

tidak sama. Dalam bilangan pecahan kita mengenal dua istilah, yaitu pembilang dan

penyebut. Dimana kedua bilangan itu ditulis dengan dipisahkan menggunakan garis

miring. Pembilang adalah angka sebelum garis miring dan penyebut dalam bilangan

setelah garis miring.

Contoh, bilangan setengah itu ditulis [1/2], maka bilangan 1 adalah pembilang dan

bilangan 2 adalah penyebut. Demikian juga dengan [2/3], maka bilangan 2 adalah

pembilang dan bilangan 3 adalah penyebut.

Page 83: Kitab Waris A4.pdf

Bab 9 – Cara Membagi Warisan

71

Secara sederhana, kita bisa menjumlahkan bilangan pecahan dengan cara

menjumlahkan pembilangnya saja tanpa menjumlahkan penyebutnya, asalkan

penyebutnya sama. Misalnya 1/2 + 1/2 = 2/2. Atau 2/4 + 1/4 + 1/4 = 4/4.

Namun akan sedikit bermasalah ketika kita harus menjumlahkan beberapa bilangan

pecahan yang berbeda penyebutnya. Misalnya, 1/8 + 1/6. Berapakah jumlahnya ?.

Untuk menjumlahkannya, kita terpaksa harus menyamakan dulu penyebutnya.

Caranya dengan mengganti masing-masing penyebut dengan sebuah bilangan terkecil

yang habis dibagi oleh masing-masing penyebut. Kalau kita pilih bilangan 16, memang

16 itu bisa habis dibagi 8, tapi tidak bisa dibagi 6, jadi angka 16 tidak cocok.

Demikian juga bila kita pilih bilangan 12, memang 12 itu bisa habis dibagi 6, tapi

tidak bisa dibagi 8. Pilihannya adalah 24, sebab 24 itu bisa habis dibagi 8 dan 6. Jadi

kita sama dulu penyebut masing-masing menjadi angka 12. Lalu pembilangnya kita

sesuaikan agar nilainya tetap sama.

Caranya dengan mengalikan pembilang dengan hasil bagi penyebut yang telah

disamakan dengan penyebut asalnya. Lalu masing-masing pembilang yang telah

disesuaikan dijumlahkan, sedangkan penyebutnya tidak perlu dijumlahkan.

Maka bilangan 1/8 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24. Lalu kita membagi 24

dengan 8, hasilnya adalah 3. Lalu kita kalikan 3 dengan pembilangnya yaitu 1.

Hasilnya adalah 3. Maka 1/8 sama dengan 3/24.

Bilangan 1/6 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24 juga. Lalu kita membagi 24

dengan 6, hasilnya adalah 4. Lalu kita kalikan 4 dengan pembilangnya yaitu 1.

Hasilnya adalah 4. Maka 1/6 sama dengan 4/24.

Jadi hasil akhir penjumlahan itu adalah 3/24 + 4/24 = 7/24. Kalau kita perhatikan,

sebenarnya 7/24 ini sama besarnya dengan 29,16 %.

Metode Yang Digunakan Dalam Kitab Klasik

Tapi yang berkembang di masa lalu bukan dengan prosentase, juga bukan dengan

penyamaan pembilang dan penyebut, melainkan dengan metode pencarian ashlul-

masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh

angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena

itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan

benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan).

Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa

ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya

Page 84: Kitab Waris A4.pdf

Bab 9 – Cara Membagi Warisan

72

hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan

antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.

Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok

masalahnya dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya,

seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya

dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka

pokok masalahnya dari sepuluh.

Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka

satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal

ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak

perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.

Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki

dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit

meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya

sebelas, dan demikian seterusnya.

Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang

sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan

seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2).

Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga

setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --

misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya

dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga

(3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya

dari empat atau delapan, begitu seterusnya.

Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian

--yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan

sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni

antara :

angka-angka yang mutamatsilah (sama)

angka-angka yang mutadaakhilah (saling berpadu)

angka-angka yang mutabaayinah (saling berbeda).

Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan

oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita

untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh

yang mempunyai bagian berbeda-beda.

Page 85: Kitab Waris A4.pdf

Bab 9 – Cara Membagi Warisan

73

Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:

Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).

Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni

1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila

dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat

(1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).

Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh

setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat

dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila

dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan

seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok

masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka

dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.

Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh

kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6)

diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang

dimaksud seperti tersebut di bawah ini:

1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan

kelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau

semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).

2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan

kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah

satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).

3. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan

kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah

satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).

Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, mari kita buat beberapa contoh.

Contoh: Kasus Pertama

Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu,

dan paman kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut:

suami mendapat setengah (1/2)

saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)

Page 86: Kitab Waris A4.pdf

Bab 9 – Cara Membagi Warisan

74

ibu sepertiga (1/3)

sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah

ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak

berhak menerima harta waris.

Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2)

dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua.

Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut adalah enam (6).

Lihat diagram:

Pokok masalah dari enam (6)

Suami setengah (1/2) 3/6 3

Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6) 1/6 1

Ibu sepertiga (1/3) 2/6 2

Paman kandung, sebagai 'ashabah 0

Dalam contoh ini, kebetulan harta habis dibagi untuk semua ashhabul furudh tanpa

sisa, dengan demikian maka paman tidak mendapat apa-apa alias nol, lantaran

statusnya hanya sebagai ahli waris ashabah. Namun dalam seandainya salah satu dari

ashhabul furudh di atas tidak ada, misalnya tidak ada saudara laki-laki yang jatahnya

(1/6), maka sisa itu menjadi milik paman sebagai ashabah.

Contoh : Kasus Kedua

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan

seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:

bagian istri seperempat (1/4)

ibu seperenam (1/6)

dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)

dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang

termasuk kelompok pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka

berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan

hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian

kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:

Page 87: Kitab Waris A4.pdf

Bab 9 – Cara Membagi Warisan

75

Pokok masalah dari dua belas (12)

Istri seperempat (1/4) 3/12 3

Ibu seperenam (1/6) 2/12 2

Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) 4/12 4

Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya) 3/12 3

Dalam contoh kasus kali ini, saudara kandung laki-laki sebagai ashabah beruntung,

karena masih ada sisa dari para ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan sisanya

yang masih lumayan besar, yaitu 3/12 dari total harta atau 1/4 bagian atau 25% dari

seluruh harta yang dibagi waris.

Contoh : Kasus Ketiga

Seseorang kakek wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan

keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya

sebagai berikut:

istri mendapat seperdelapan (1/8)

anak perempuan setengah (1/2)

cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai

penyempurna dua per tiga (2/3)

bagian ibu seperenam (1/6)

Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa

harta waris bila ternyata masih tersisa.

Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai

kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka

berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat

(24). Berikut ini tabelnya:

Pokok masalah dari 24

Bagian istri seperdelapan (1/8) 3/24 3

Bagian anak perempuan setengah (1/2) 12/24 12

Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6) 4/24 4

Bagian ibu seperenam (1/6) 4/24 4

Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa) 1/24 1

Page 88: Kitab Waris A4.pdf

Bab 9 – Cara Membagi Warisan

76

Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai

hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24).

Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini

disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih,

karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan

angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.

Page 89: Kitab Waris A4.pdf

Catatan

Catatan