23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Pengawet makanan Bahan tambahan secara definitif dapat diartikan sebagai bahan yang ditambahkan dengan sengaja dan kemudian terdapat dalam makanan sebagai akibat dari berbagai tahap budidaya, pengolahan, penyimpanan, maupun pengemasan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/Menkes/Per/XII/76 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bahan tambahan makanan (BTM) adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Termasuk ke dalam bahan tambahan makanan adalah pegawet, pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengemulsi, antigumpal, pemucat, dan pengental (Abdul Rohman dan Sumantri, 2007). Pada dasarnya bahan tambahan dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu aditif sengaja dan aditif tidak sengaja. Aditif sengaja yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, dan lain sebagainya. 5

kitosan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

..

Citation preview

Page 1: kitosan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Pengawet makanan

Bahan tambahan secara definitif dapat diartikan sebagai bahan yang

ditambahkan dengan sengaja dan kemudian terdapat dalam makanan sebagai

akibat dari berbagai tahap budidaya, pengolahan, penyimpanan, maupun

pengemasan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

329/Menkes/Per/XII/76 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bahan

tambahan makanan (BTM) adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan

sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Termasuk ke dalam

bahan tambahan makanan adalah pegawet, pewarna, penyedap rasa dan aroma,

pemantap, antioksidan, pengemulsi, antigumpal, pemucat, dan pengental (Abdul

Rohman dan Sumantri, 2007).

Pada dasarnya bahan tambahan dapat dibagi menjadi dua bagian besar,

yaitu aditif sengaja dan aditif tidak sengaja. Aditif sengaja yaitu aditif yang

diberikan dengan sengaja dengan maksud tertentu, misalnya untuk meningkatkan

konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan,

memantapkan bentuk dan rupa, dan lain sebagainya. Aditif tidak sengaja, yaitu

aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat

dari proses pengolahan. Setiap tambahan makanan mempunyai batas-batas

penggunaan maksimum seperti diantaranya diatur dalam Peraturan Menteri

Kesehatan RI No. 722/MenKes/Per/IX/988. Pemakaian Bahan Tambahan Pangan

diperkenankan bila bahan tersebut memenuhi persyaratan sebagai berikut: a.

Pemeliharaan kualitas gizi bahan pangan. b. Peningkatan kualitas gizi atau

stabilitas simpan sehingga mengurangi kehilangan bahan pangan. c. Membuat

bahan pangan lebih menarik bagi konsumen yang tidak mengarah pada penipuan.

d. Diutamakan untuk membantu proses pengolahan bahan pangan. Berdasarkan

fungsinya bahan tambahan makanan dapat digolongkan antara lain antioksidan,

5

Page 2: kitosan

pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih dan pematang, pengawet,

penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, pewarna dan lain-lain (Winarno, 1984)

Setiap negara mempunyai peraturan masing-masing mengenai pemakaian

zat pengawet pada makanan, minuman dan obat-obatan yang tujuannya

melindungi produk dari hal-hal negatif yang dapat timbul dari pemakaian zat

pengawet. Saat ini aturan zat pengawet di Indonesia diatur dalam peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72/Menkes/Per/IX/88 Tahun 1988

tentang bahan tambahan makanan (Depkes RI, 1995). Bahan pengawet adalah

bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat fermentasi,

pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan

mikroorganisme (PerMenKes No.772, 1988). Pengertian bahan pengawet sangat

bervariasi tergantung dari negara yang membuat batasan pengertian tentang

bahan pengawet. Meskipun demikian, penggunaan bahan pengawet memiliki

tujuan yang sama, yaitu mempertahankan kualitas dan memeperpanjang umur

simpan bahan pangan. Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu

menghambat dan menghenrtikan proses fermentasi, pengasaman, atau bentuk

kerusakan lainnya, atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan

pangan dari pembusukan (Margono, 2000).

Syarat-syarat bahan pengawet diantaranya adalah harus bekerja

menghambat dan mematikan mikroorganisme, tidak boleh merangsang rasa dan

bau, stabil secara fisika dan kimia, dapat bekerja lama, tidak boleh mengurangi

khasiat makanan, mudah didapat, bersifat efektif dalam jumlah kecil dan tidak

boleh terurai dalam tubuh menjadi zat-zat yang lebih toksis daripada bahan

pengawet murni. Di negara-negara yang telah maju, suatu zat pengawet sintetik

harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum dapat digunakan sebagai zat

pengawet makanan. Dalam memproses zat pengawet sintetik juga sering terjadi

kontaminasi (pengotoran). Ini bukanlah suatu jaminan zat pengawet yang

diperoleh dari sumber-sumber alami adalah murni. Untuk penyesuaian dengan

penggunaannya dalam pengolahan secara baik, penggunaan bahan-bahan

6

Page 3: kitosan

pengawet ini seharusnya tidak menimbulkan penipuan, tidak menurunkan nilai

gizi dari bahan makanan, tidak memungkinkan pertumbuhan organisme-

organisme yang menimbulkan keracunan bahan makanan, sedangkan

pertumbuhan mikroorganisme-mikroorganisme lainnya tertekan yang

menyebabkan pembusukan menjadi nyata (Buckle, 1987).

Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan senyawa anorganik

(Winarno, 1983). Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada zat

pengawet anorganik karena bahan ini mudah didapat. Bahan organik ini

digunakan dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya. Bahan pengawet

yang sering digunakan ialah asam asetat, asam benzoat, asam propionat, asam

sorbat dan senyawa epoksida. Sedangkan zat pengawet anorganik yang sering

digunakan adalah sulfit, nitrit dan nitrat (Buckle, 1987)

Penambahan bahan pengawet makanan perlu menjadi perhatian karena

informasi ilmiah yang diperoleh dari pengaruh senyawa pengawet makanan ini

masih ada yang diragukan keamanannya (Giesova, dkk., 2004; Bevilacqua, dkk.,

2010). Beberapa bahan pengawet dan zat tambahan yang dimasukkan kedalam

makanan yang sudah digolongkan sebagai senyawa yang dapat mengurangi

kesehatan manusia dan sebaiknya dihindari dari makanan. Ada juga bahan

pengawet yang tidak diperbolehkan ditambahkan kedalam makanan dan

minuman, namun masih dipergunakan secara illegal seperti formalin dan boraks

yang sering digunakan untuk mengawetkan tahu dan mie basah.

2.2 Sosis Daging

Daging menurut SNI-01-3947-1995 adalah urat daging yang melekat

pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang

berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standarisasi Nasional,

1995). Daging didefinisikan sebagai daging mentah atau flesh dari hewan yang

digunakan sebagai makanan. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa daging

merupakan bagan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme karena

7

Page 4: kitosan

ketersediaan gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan

mikroorganisme, terutama mikroba perusak.

Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki nilai gizi

tinggi, terutama protein. Nilai gizi yang tinggi mengakibatkan bahan pangan ini

disukai konsumen untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari, sehingga setiap

harinya daging sapi diproduksi dalam jumlah yang banyak. Pada saat ini,

kebutuhan masyarakat Indonesia akan bahan pangan ini terus mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh semakin pesatnya

pertambahan jumlah penduduk dan semakin banyaknya masyarakat yang sadar

akan pentingnya mengkonsumsi bahan pangan yang bernilai gizi tinggi.

Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat juga merupakan salah satu faktor

yang menyebabkan tingginya permintaan terhadap bahan pangan yang bernilai

gizi tinggi tersebut.

Sosis merupakan salah satu bahan pangan yang terbuat dari daging atau

ikan yang telah mengalami proses penghalusan, pemberian bumbu, pemberian

pengisi, pengisian ke dalam selongsong dan perebusan atau pengasapan

(Hadiwiyoto, 1983). Menurut Forrest et al (1975) Adonan sosis merupakan

emulsi minyak dalam air (oil in water) yang terbentuk dalam suatu fase koloid

dengan protein daging yang bertindak sebagai emulsifier sehingga protein air

dalam adonan sosis akan membuat matriks yang menyelubungi butiran lemak

dan membentuk emulsi yang stabil. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan

emulsi yang berhubungan dengan penggunaan minyak atau lemak adalah jumlah

yang ditambahkan, jenis minyak atau lemak yang ditambahkan dan titik cair dari

lemak atau minyak tersebut. Berikut adalah syarat mutu sosis daging berdasarkan

SNI 3850:2015

8

Page 5: kitosan

Tabel 2.2

Sosis merupakan produk olahan yang dibuat dari bahan dasar berupa

daging (sapi atau ayam) yang digiling. Pada prinsipnya semua jenis daging dapat

dibuat sosis bila dicampur dengan sejumlah lemak. Daging merupakan sumber

protein yang bertindak sebagai pengemulsi dalam sosis. Protein yang utama

berperan sebagai pengemulsi adalah myosin yang larut dalam larutan garam

(Brandly, 1966). Daging yang umumnya digunakan dalam pembuatan sosis

daging yang kurang nilai ekonomisnya atau bermutu rendah seperti daging

sketal, daging leher, daging rusuk, daging dada serta daging-daging sisa/tetelan

(Soeparno, 1994). Proses perebusan yang dilakukan pada pembuatan sosis ini

9

Page 6: kitosan

dilakukan sebagai langkah terakhir untuk mendapatkan produk sosis. Pemasakan

sosis ini menurut Effie (1980) bertujuan untuk menyatukan komponen adonan

sosis, memantapkan warna dan menonaktifkan mikroba.

Kekenyalan dari sosis dipengaruhi oleh oleh kadar air sosis, bahan

pengikat sosis yaitu susu skim bubuk dan bahan pembentuk yaitu susu skim

bubuk dan tepung tapioka. Kadar air sosis menurut SNI 01-3020-1995 adalah

maksimal 67.0% bobot basah. Kadar air yang dihasilkan berasal dari air yang

ditambahkan atau dari bahan-bahan yang ditambahkan dengan kandungan air

yang tinggi.

Bahan pengisi dan bahan pengikat diperlukan dalam pembuatan sosis.

Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada fraksi utama

dan kemampuannya mengemulsikan lemak. Bahan pengisi mempunyai

kandungan karbohidrat yang lebih tinggi, sedangkan bahan pengikat mempunyai

kandungan protein yang lebih tinggi. Bahan pengikat memiliki kemampuan

untuk mengikat air dan mengemulsikan lemak (Kramlich, 1971).

Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis adalah

tepung dari pati, seperti tepung tapioca dan tepung sagu. Tepung dari pati dapat

meningkatkan daya mengikat air karena memiliki kemampuan menahan air

selama proses pengolahan dan pemanasan (Tarwotjo et al., 1971). Menurut

Forrest et al. (1975), penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk mereduksi

penyusutan selama pemasakan, memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan cita

rasa, memperbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. SNI 01-3818-

1995 menetapkan penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan sosis maksimum

50% dari berat daging yang digunakan. Penggunaan Na-nitrit menjadi semakin

luas karena manfaat nitrit dalam pengolahan daging (seperti sosis, kornet, dan

lain-lain) sangat bervariasi, yaitu sebagai pembentuk warna dan bahan pengawet

antimikrobia. Penguunaan natrium nitrit sebagai pengawet untuk

mempertahankan warna daging dan ikan ternyata menimbulkan efek yang

10

Page 7: kitosan

membahayakan kesehatan, karena nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida

yang terdapat pada protein daging membentuk turunan nitrosoamin yang bersifat

toksis. Nitrosoamin merupakan salah satu senyawa yang diduga dapat

menimbulkan kanker (Doul, 1986; Winarno, 1984). Nitrit sebagai pengawet

diijinkan penggunaannya, akan tetapi perlu diperhatikan penggunaannya dalam

makanan agar tidak melampaui batas, sehingga tidak berdampak negatif terhadap

kesehatan manusia. Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/X/1999 2 tentang bahan

tambahan makanan, membatasi penggunaan maksimum pengawet nitrit di dalam

produk daging olahan yaitu sebesar 125 mg/kg. Konsumsi nitrit yang berlebihan

dapat menimbulkan kerugian bagi pemakainya, baik yang bersifat langsung,

yaitu keracunan, maupun yang bersifat tidak langsung, yaitu nitrit bersifat

karsinogenik.

Bahaya nitrit sebagai bahan pengawet makanan menyadarkan kita sebagai

konsumen agar lebih berhati hati dalam mengkonsumsi setiap gram makanan

yang masuk ke dalam tubuh kita. Berdasarkan berbagai peneltian para ahli,

ditemukan adanya bahan-bahan pengawet alami yang banyak terdapat di alam

seperti kitosan dan derivatnya yang mampu menggantikan penggunaan nitrat.

2.3 Derivat Kitosan

Kitin merupakan polisakarida alam terbanyak kedua di permukaan

bumi setelah selulosa (Cervera et al., 2004; Mello et al., 2006., Tolaimate et

al., 2003). Polimer ini tersusun atas rantai lurus (1→ 4) ikatan unit-unit 2-

asetamido-2-deoksi--D-glukopiranosa (Tolaimate et al., 2003). Kitin dikenal

sangat sulit larut dalam banyak pelarut karena struktur kristalnya, sehingga hal

ini juga yang mengakibatkan kitin sukar dimanfaatkan (Yanming et al., 2001).

Derivate kitin yang paling banyak disintesis adalah kitosan, yang terbentuk

dari deasetilasi parsial maupun total dari kitin. Jika derajat asetilasi kurang

dari 50% (atau derajat deasetilasi lebih dari 50%), kitosan menjadi larut dalam

larutan asam lemah dan berubah menjadi polikationik (Tolaimate, et al.,

11

Page 8: kitosan

2003). Sumber utama produksi kitin adalah kulit kepiting, shrimp dan krill.

Kulit shrimp berisi 40-45% kitin dan diperoleh dengan ekstraksi kalsium

karbonat dan protein dari kulit shrimp. Struktur kimia kitin dan kitosan

sebagaimana terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia kitin dan kitosan

Kitosan (poli--(1,4)-D-glukosamin) merupakan makromolekul biologi

yang dapat diperoleh dari proses deasetilasi dari kitin yang dapat tersedia

melimpah pada cangkang kepiting, kulit udang dan cangkang serangga.

Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat

polielektrolitik (Hirano, 1986). Adanya gugus reaktif amino dan gugus

12

Page 9: kitosan

hidroksil pada kitosan akan sangat berperan dalam aplikasinya sebagai

pengawet dan penstabil warna (Yulina, 2011). Kitosan dapat digunakan

sebagai pengawet karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat

pertumbuhan mikroorganisme perusak, kitosan juga melapisi produk yang

diawetkan, sehingga terjadi interaksi yang minimal antara produk dan

lingkungan (Hadwiger dan Adams, 1978 diacu dalam Holipah dkk., 2010)

Menurut Hardjito (2006), proses pembuatan kitosan dilakukan dengan

proses demineralisasi (DM), deproteinasi (DP), decolorisasi (DC), dan

deasetilasi (DA). Proses demineralisasi dilakukan dengan larutan asam encer

untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku.

Deproteinasi dilakukan dengan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-

sisa protein yang masih terdapat pada bahan baku. Deasetilasi merupakan

proses yang menghasilkan kitosan dari kitin dengan cara memasaknya pada

larutan basa konsentrasi tinggi (NaOH 40-50%). Pemutihan dimaksudkan

untuk menghilangkan warna agar kitosan yang dihasilkan berwarna putih.

Hardjito (2006), menyatakan bahwa kombinasi dan variasi proses-proses

tersebut dapat menghasilkan sifat kitosan sebagai berikut:

a. DC-DM-DP-DA akan meningkatkan BM kitosan

b. DM-DC-DP-DA dapat meningkatkan kadar abu kitosan

c. DM-DP-DC-DA akan menurunkan viskositas kitosan

d. DM-DP-DA-DC menghasilkan kitosan terdegradasi berwarna

kecoklatan yang sifat polielektrolitnya lemah.

Deasetilasi kitin akan menghasilkan kitosan yang kehilangan gugus

asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif,sehingga

mempunyai sifat polikationik. Sifat polikat ionik inilah yang menyebabkan

kitosan mempunyai banyak kegunaan seperti untuk pengawet makanan,

penstabil warna, penjernih jus dan bir, deasidifikasi jus buah, edible film,

13

Page 10: kitosan

sebagai flokulan, membantu proses penjernihan air, sebagai aditif produk

agrokimia dan pengawet benih (Shahidi et al. 1999).

Kitosan merupakan bahan alami yang telah dimodifikasi, tetapi tidak

beracun dan mempunyai LD 50 pada mencit 16g/kg bb (Hirano,1996).

Kitosan telah dicoba aktifitas antimikrobanya, diantaranya sebagai pengawet

buah-buahan dengan metode coating yang dapat menekan proses respirasi dan

pertumbuhan mikroba pembusuk. Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam

organik pada pH ± 4, tetapi tidak dapat larut pada pH lebih besar dari 6,5 ,

juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol dan aseton. Kitosan tersebut dapat

dimodifikasi supaya mampu larut dalam airsehingga penggunaannya tidak

terbatas. Menurut Davies et al. (1989), kitosan dapat memiliki sifat larut

dalam air apabila terdapat penambahan gugus asetat, laktat atau klorida.

Salah satu senyawa aktif turunan kitosan yang larut air adalah

karboksimetil kitosan, yaitu kitosan dengan penambahan gugus asetat.

Karboksimetil kitosan diperoleh melalui proses alkilasi kitosan dengan

penambahan asam monokloroasetat pada suasana alkali atau kitosan yang

diendapkan dalam kondisi alkali. Senyawa tersebut memiliki banyak fungsi

untuk diaplik asikan, antara lain dalam pembuatan obat obatan, pengawet

makanan, kesehatan dan budidaya perairan. Karboksimetil kitosan didapatkan

dari persiapan dari estrifikasi beberapa dari hidroksi pada gugus –CH2OH

grup seperti OCH2COOH. Dengan melakukan ini, kreaktifan ligan seperti -

COOH dan NH- Grup ini masih diterima untuk modifikasi kimia dalam

meningkatkan sifat fisik untuk logam khelat dan pengikat warna (Farag et al.,

2013). Sifat dan aplikasi dari karboksimetil kitosan sangat tergantung pada

karakteristik strukturalnya (Abreu et al., 2005). Beberapa faktor yang

mempengaruhi pembentukan karboksimetil kitosan adalah kualitas kitosan,

banyaknya alkali yang terkandung pada kitosan yang diperoleh (proses

alkalizing), konsentrasi asam Monokloroasetat dan Suhu eterifikasi (Basmal

dkk., 2005). Kelebihan lain CMCts adalah mudah diaplikasikan untuk

14

Page 11: kitosan

mengikat tembaga (Cu2+) pada air limbah, sebagai antikougulan dan juga

sebagai zat antimikroba (Basmal dkk., 2005) Karboksimetil kitosan memiliki

kemampuan antibakteri yang lebih baik jika dibandingkan dengan kitosan

(Liu et al., 2001). Karboksimetil kitosan dapat meningkatkan aktifitas anti

jamur (Seyfarth et al., 2008) dan lebih potensial jika dibandingkan dengan

kitosan dalam menghambat pertumbuhan E. coli (Sabaa et al., 2010). Berikut

adalah struktur karboksimetil kitosan

Gambar 2.2 Struktur Karboksimetil Kitosan (Kurniasih et al., 2014).

2.4 Total Plate Count (TPC)

Menghitung atau menentukan banyaknya mikroba dalam suatu bahan

(makanan, minuman, dan lain-lain) dilakukan untuk mengetahui sampai

seberapa jauh bahan itu tercemar oleh mikroba. Dengan mengetahui jumlah

mikroba, maka dapat diketahui kualitas mikrobiologi dari bahan tersebut.

Bahan yang dapat dikatakan baik jika jumlah mikroba yang terkandung dalam

bahan tersebut masih di bawah jumlah standar yang ditentukan oleh suatu

lembaga. Kandungan mikroba pada suatu bahan juga sangat menentukan

15

Page 12: kitosan

tingkat kerusakannya, serta dapat ditentukan oleh tingkat kelayakan untuk

dikonsumsi (Asri, 2010).

Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk menghitung atau

mengukur jumlah jasad renik di dalam suatu suspensi atau bahan, adapun

salah satu untuk Universitas Sumatera Utara menghitung jumlah sel adalah

dengan cara hitungan cawan (Total plate count = angka lempeng total). Plate

count / viable count didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel mikroorganisme

hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni setelah ditumbuhkan

dalam media pertumbuhan dan lingkungan yang sesuai (Pradhika, 2008).

Prinsip dari metode hitungan cawan adalah jika sel jasad renik yang

masih hidup ditumbuhkan pada medium agar maka sel mikroba tersebut akan

berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan

mata tanpa menggunakan mikroskop. Metode hitungan cawan merupakan

metode yang paling sensitif untuk menghitung jumlah mikroba, karena hanya

sel yang masih hidup yang dihitung, beberapa mikroba dapat dihitung

sekaligus, dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena

koloni yang terbentuk mungkin berasal dari satu sel mikroba dengan

penampakan pertumbuhan spesifik (Fardiaz, 1992).

Untuk melaporkan hasil analisis mikrobiologi dengan cara hitungan

cawan (TPC) digunakan suatu standard yang disebut Standard Plate Count

(SPC) sebagai berikut (Fardiaz, 1992): 1. Cawan yang dipilih dan dihitung

adalah yang mengandung jumlah koloni antara 30 dan 300. 2. Beberapa

koloni yang bergabung menjadi satu merupakan satu kumpulan koloni yang

besar di mana jumlah koloninya diragukan dapat dihitung sebagai satu koloni.

3. Satu deretan rantai koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung

sebagai satu koloni.

Dalam Standard Plate Count (SPC) ditentukan cara pelaporan dan

perhitungan koloni sebagai berikut:

16

Page 13: kitosan

1. Hasil yang dilaporkan terdiri dari 2 angka, yaitu angka pertama

didepan koma dan angka dibelakang koma. Jika angka ketiga lebih besar dari

5 maka harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua.

2. Jika semua pengenceran menghasilkan angka kurang dari 30 koloni

pada cawan petri maka hanya koloni pada pengenceran terendah yang

dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 koloni dikalikan dengan

faktor pengenceran tetapi jumlah sebenarnya harus dicantumkan dalam tanda

kurung.

3. Jika semua pengenceran menghasilkan angka lebih dari 300 koloni

pada cawan petri maka hanya koloni pada pengenceran tertinggi yang

dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 koloni dikalikan dengan

faktor pengenceran tetapi jumlah sebenarnya harus dicantumkan didalam

kurung.

4. Jika semua pengenceran menghasilkan angka antara 30-300 koloni

pada cawan petri. Perbandingan dari pengenceran tertinggi dan terendah dari

kedua pengenceran lebih kecil atau sama dengan 2, tentukan rata-rata dari

kedua pengenceran tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika

perbandingan antara hasil pengenceran tertinggi dan terendah hasilnya lebih

dari 2 maka yang dilaporkan hanya hasil yang terkecil.

5. Jika digunakan dua cawan petri (duplo) perpengenceran, data yang

diambil harus dari kedua cawan tersebut, tidak boleh diambil salah satu,

meskipun salah satu dari cawan duplo tidak memenuhi syarat 30-300 koloni.

2.5 Uji Organoleptik

Uji organoleptik terhadap suatu makanan adalah penilaian dengan

menggunakan alat indera, yaitu penglihatan, pengecap, pembau, dan

pendengar. Adapun hasil uji organoleptik pada produk bakasang yang akan

dinilai meliputi uji penampakan, bau, rasa dan tektur. Penampakan merupakan

17

Page 14: kitosan

parameter oganoleptik yang penting karena merupakan sifat sensoris pertama

dilihat oleh konsumen. Pada umumnya konsumen memilih makanan yang

memiliki penampakan menarik. Bau merupakan daya tarik tersendiri dalam

menentukan rasa enak dari produk suatu makanan. Dalam hal ini bau lebih

banyak dipengaruhi oleh indra pencium. Umumnya bau yang dapat diterima

oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran dari 4 macam bau

yaitu harum, asam, tengik dan hangus. Rasa merupakan faktor penentu daya

terima konsumen terhadap produk pangan. Faktor rasa memegang peranan

penting dalam pemilihan produk oleh konsumen. Rasa merupakan respon

lidah terhadap rangsangan yang diberikan oleh suatu makanan. Pengindraan

rasa terbagi menjadi empat rasa, yaitu manis, asin, pahit, dan asam.

Konsumen akan memutuskan menerima atau menolak produk dengan empat

rasa tersebut. Tekstur merupakan segala hal yang berhubungan dengan

mekanik, rasa, sentuhan, penglihatan dan pendengaran yang meliputi

penilaian terhadap kebasahan, kering, keras, halus, kasar, dan berminyak.

Penilaian tekstur makanan dapat dilakukan dengan menggunakan jari, gigi,

dan langit-langit. Faktor tekstur diantaranya adalah rabaan oleh tangan,

keempukan dan mudah dikunyah (Purwaningsih, 2011).

Uji kesukaan atau uji hedonic merupakan salah satu jenis uji

penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan

pribadinya tentang kesukaan atau tidak kesukaan, disamping juga menentukan

tingkat kesuaan atau ketidaksukaannya yang secara tidak langsung dapat

mengetahuinya. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut pula skala hedonic,

misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak

suka, tidak suka, sangat tidak suka, amat sangat tidak suka. Dalam

penganalisaan, skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik

menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini dapat dilakukan analisis –

analisis statistik.(Soekarto,1981)

18

Page 15: kitosan

19