Kliping Inkonsistensi Penghulu

  • Upload
    elha021

  • View
    114

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bms

Citation preview

  • Hen$uaH lrlksrssistensl Ponuhulu(Analisis Revolusi

    Oleh M. Aflef Mundzir

    Penghulu adalah PegawaiNegeri Sipil (PNS) sebagai

    Pegawai Pencatat Nikah(PPN) yang diberi tugas,

    tanggung jawab, wewe-nang, dan hak secara

    penuh oleh Menteri Agamaatau pejabat yang ditunjuk

    sesuai dengan peraluran ip erundang-undangan y ang

    berlaku untuk melakukanpengawas an nikah/ruj uk,

    melihat kompetensi inipenghulu menj adi pelak-

    sana dan sekaligus penga-wal hukum positif dalamproses perkawinan atau

    '":u.u

    Budaya)

    :',ih ii:taiitv:,iiti !i..?:;:!.t: t,.it

    Ir':

    ,i

    egara kita membuatperangkat hukumpositif untukmasalahperkawinanyaitu UU

    No 1 Thhun 1974 dan KompilasiHukum Islam perangkat ini men-jadi sumber legislasi bagi pelakudan praktisi perkawinan yang adadi Indonesia, khusus dalam hal inipenghulu yang ada di KUA.Sepakat atau tidak, dua perangkathukum di atas menjadi rujukanprimer bagi para penghulu untukmelaksanakan tugas. bwtt

    lronisnya banyak pelaku hu-kum positif yang ada di KUA,dalam hal ini penghulu berlakubisa terhadap hukum positif

    sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat, penghulu menjadi ujung tombak pelak-sana dan sekaligus pengawal hukum positif dalam proses pernikahan.

    karena terjebak dengan varian budaya masyarakat dan juga asumsiparsial dan hukum fiqh secara ansih. praktik dari implementasihukum positif dalam proses perkawinan sebagai bentuk pelayanankepada masyarakat masih parsial dan iebih kepada orientasi bentukpenyelamatan profesi dengan sedikit mengebiri kepentinganmasyarakat dan hal ini membuat kinerja penghulu memunculkanmakna inkonsistensi yang ditandai dengan reliabilitas yang rendah,

    Penulis yang juga penghulu merasakan betul konstalasikepentingan seperti ini, banyak penerapan hukum sebagai sumberlegislasi dalam perkawinan terkesan tebang pilih dan jauh darikepastian, contoh kasus untuk bisa membuktikan i.nkonsistensi iniadalah berikut ini

    Pertama; pencatatan perkawinan bagi wanita yang pernahmelakukan pernikahan yang tidak dicatatkan dengan seorang lelakiIain maka dia tetap memakai status perawan untuk pernikahan yangberikutnya meskipun juga syara' atau fiqh tidak demikian. Dalamkasus ini penghulu memakai hukum positif dengan konsekuensi tidakada perceraian tidak ada iddah dan sebagainya. Kedua ; Wali bagiwanita yang dulu lahirnya kurang dari enam bulan dari pernikahan

    Rirdans I No.11 lTh.p(XlvIJunjl2009 31

  • bapak ibunya, contoh kasus keduaini banyak penghulu memakaihukum fiqh dengan memakai walihaklm dan hukum posiiif ditinggal-kan,

    Ambivalensi SikapDua contoh diatas merupakan

    fenomena yang terjadi secara nyatadi lapangan dan menjadi realitassosial, realitas ini jika tidak disikapidengan arif dan komprehensifdengan memberikan kepastianhukum dalam perspektif ranahhukum positif maka tidak meng-herankan jika stigma terhadapkinerja penghulu akan menjadiburuk dan menjadi akar muncuinyakonflik interes! di tengah masyarakatdan akan menjadi akumulasi keti-dakpercayaan terhadap KUA, karenadianggap inkonsistensi.

    Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal42 dan Kompilasi Hukum Islampasal 99 a menyebutkan'lAnakyangfsah adaiah : anak yang dilahirkandalam atau akibat perkawinan yangsah." ini membawa konsekuensianak tersebut mempunyai garisketurunan dengan bapak, maka sangbapak berhak menjadi wali dalampernikahan sekalipun itu kurangdari enam bulan, dari sini jelassekali wali boleh wali nasab tidakwali hakim. Melihat ini pelaksanateknis di KUA harus menjunjungtinggi dan mengawal hukum positifsebagai sumber legislasi dan yuris-prudensi formal.

    Pemakaian hukum positif secarapasti akan mampu memberikankontribusi yang bermakna dalammembangun stabilitas kepastianhukum secara konkrit dan nyata,menjadi terbalik jika pelaksanateknis di KUA masih ambivalensiterhadap pemakaian dasar hukumdalam pernikahaniinilah awal darimunculnya insiabilitas hukum.

    Ambivalensi ini muncul ke per-mukaan karena kurang memahamipenterj emahan hukum fiqh, bisa jadisebagai akibat dari miskinnya

    literature kita, munculnya perbedaantentang batas usia kelahiran anakdalam beberapa madzab fiqh menun-jukkan tingkat yang berbeda, akan-kah kita para penghulu memberikanjawaban hokum dari yang masihkhilafiyah? Sementara kita sebagaiabdi Negara dalam memberikanpelayan kepada publik seharusnyamemakai sumber legislasi hukumpositif yang ada dan sudah pasti.

    Sisi lain munculya ambivalensi inikarena alasan kepentingan pribadidemi amannya pelaksanaan tugassebab kebanyakan masyarakat kitaberhaluan madzab Syafi'l jadi batasitu memakai enam bulan, tetapi iniawal dari pembelajaran kepadamasyarakat bahwa meninggalkanhukum positif dalam pernikahantidak akan menimbulkan konse-kuensi apapun, menjadi sangatwajar jika pernikahan sirri menjadisuburberkembang di tengah masya-rakat, Akibatnya, hukum positifmenjadi formalitas belaka sebagaibentuktuntutan sosial

    Pembahuruan ParadigmaAgar pemakaian hukum positif

    dalam perkawinan tidak hanyadianggap sebagai bentuk formalismenormative dalam masyarakat makaperlu pembaharuan dimuLai daripelaksana teknis yang ada di KUA.PoIa pikir yang masih ambivalensidan masih mengedepankan hukumfiqh secara ansih harus di eliminir,penerapan dalam kasus apapunharus. menggunakan hukum positifdan hukum fiqh hanya sebagaikhasanah pembanding dalam berfikirbukan sebagai referensi untukdijadikan dasar kebijakan imple-mendasi. br*f

    Budaya fiqh oriented yang dijadi-kan dasar dalam memberikan pela-yanan kaitannya pencatatan nikahyang ada di KUA harus dianggapsebagai bentuk wanprestasi danbentuk inkonsistensi sekaliguspembohongan publik. PendekatanAgarna sebagai paradigma dan tidak

    sebagai dogma menjadi dasaruntukperubahan ini.

    Keseragaman berfikir untukmemakai hukum positif sebagairujukan primer akan mudah tercapaiapabila ada ketegasan sikap, yqn,dimulai dari pucuk pimpinan seba-gai decjsion maker, denqanmekebijakan tentang pelaksanapencatatan nikah dan rujukmemakai hukum positif serta timemberikan ruang untuk megunakan hukum fiqh.

    Ketika ada wacana pernikasirri akan mendapatkan sanksi,ketika petugas di KUA masih ambivalensi terhadap pemakaianhukum dalam proses yangkaitannya dengan pencatatandan rujuk juga harus mendapatkartsanksi yang tegas pula. Ini memaberat tetapi perubahan paradigmdjuga menjadi tuntutan publik saat iniyang harus disikapi secara terbukaoleh pelaku teknis di KUA.

    Negara.kita adaiah Negara hu-,kum bukan Negara yang berdasarpada hukum Islam, maka kebijakanpublik kita juga harus didasarkan.pada hukum positif bukan hukum.Islam semata, dengan kesadaranpersepsi inilah praktik yang selambini serinq teriadi di KUA oleh parapraktisi nikah tidak terulang dimanapara praktisi sering jumping entershukum positif dan hukum fiqh demikenyamanan kerja bukan sematakarena memberikan kepastian dalampelayanan.

    Thwaran perubahan ini jangandianggap sebagai sekularisme tetapisemata demi terwujudnya tenagapenghulu yang professional danmenjunjung tinggi nilai konsistensidi tengah masyarakat. Tulisan intmari kita jadikan sebagai media'introspeksi diri untuk otokritik danketidakinkonsistensi kita dalanmemberikan pelayanan kepadamasyarakat.(5409)

    Penulis adalah Penghulu di KUA lGtr

    32 Rindans I No. 1 1 lTh. XXXIV lJuni | 2009

    Dempet Kab.

  • 7:.:'l.t,,

    :,:

    :,: Emkolt$i$tert$i Psll$hulu$(Tanggapan atas Tulisan M. Afif Mundzir)

    Mencermati tulisan Sdr. M.AfiefMundziryang dimuat di

    Rindang Edisi Juni 2009 laluyang beriudul "Menguak

    Inkonsistensi P enghulu", m&katimbul pertanyaan besar,

    apakah betul demikian Parapenghulu, PPN dan Peiabatkep en ghuluan inkons is t e n ?

    OIeh karena itu tulisan inidimaksudkan sebagai tanggap-an karena'tulisan Sdr. M, Afief

    Mundzir tersebut menurutpenulis sangat bertentangan,

    tidak saja dengan pendapatpara Imam Ma2hab fiqih tetapijuga petwtjuk dan ketentuan

    pemerintah dalam hal iniDirjen Bimas Islam dan Urusan

    Haji Dep. Agama RI, jugaKabid Urais Kanwil Dep.

    Aga,ma Prov. Jawa Tengah.aaaaaaaoaaaaaaaa

    ahwa sesuai pedoman yangada, selama ini sebelummelakukan pengisianformulir Daftar Pemeriksaan

    Nikah Model NB, para kepala KUAsebagai PPN dan Penghulu, terlebihdahulu harus melakukan pemeriksaanyang seksama terhadap wali dan calonpengantin. Femeriksaandilakukan melaluiwawancara, meneliti sumt keterangan darikepala desa dan data kelengkapan lainnyadan apabila perlu melalcukan pengecekanulang. Haltersebut harus dilalcukan karenasebagai petugas yang berwenang, kepalaKUA sebagai PPN dan Penghulu, dituntutunhrk tidak hanya mencari kebenaranformal semata akan tetapi harus berupaya

    Oleh Moh. Wazir

    Dengan adanya tanggapan, diharapikan Penghulu dapa! menyikapinya denganbekerja lebih b4ik dan profesional dalam maelayani masyankat.

    semaksimal mungkin untuk mendapatkan kebenaran material'

    Pemeriksaan Wali Nikah

    Dalam mngkaterlaksananya pemeriksaanwali nikah dan calonpengantinsecara bena4 maka Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan Haji fWaktuitu Drs. H. Amidhaa) membuat Surat Edaian Nomor: DIED/PW0V03|1S92tanggal 9 Maret 1992 tentalg Petunjuk Pengisian Formulir NTCR untukrlipedomani dan dilaksanakan dengan sebaik-bailcrya.

    bnf Terkait dengan pemeriksaanwali Nikah, DireKurJendral Bimas Islamdan Urusan Haji melalui Edaran Nomor : DIED/PW01/03/I992dimana BabIII, Foin 1 HuruJ b menyebutkan : Bila calon mempelai wanita itu anakperiama dan walinya wali ayah, perlu ditanyakan tanggal nikah dan tanggallahir anak pertamanya itu. Bila terdapat ketidalcrnrajaran, seperti baIL limabulan nikah anak pertama sudah lahir maka anak tersebut masuk kategorianak ibunya, dengan demikian perlu diambil jafan tahkirn (wali hakim).

    Dalam pelaksanaarmya terutama terkait dengan UU No. 1 Tahun 1974Pasal 42 dan Kompilasi Hukum Islam Fasal 99 a yang menyebutkan anakyang sah adalah : anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinanyang sah, memang pemah terjadi pefuedaan pendapat ldrususnya denganjajaran peradilan Agama, Sebagai contoh pemah terjadi ketika diadakanFenFrluhan Hukum di Kabupaten Purworejo tanggal 5 Juni 2001 dimanasalah seomng Hakim PIA Semarang menjelaskan bahwa anak yang sattadalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah,

    Ffld

    i':*

    Bindans I No.12lTh.)OqlVlJulil2009 27

  • sehingga apabila ada anak yang lahirsetelah akad nikah meskipun hanyaberselang sehari, maka anak tersebutadalah anakyang sahkarena itu ayahnyaberhak menjadi wali nikah, karena itupara Kepata KUAtidak perlu melakukanpenghitungan tenggang wakhr minimalusia dalam kandungan.

    Pemahaman Sdr.M.Afief Mundzirtersebut ironis dan sangat penulissayangkan, karena sebagai penghulusudah seharusnya membaca dan melak-sanakan peh:njuk Dirjen Bimas Islamdan Urusan Haji tersebut karena sudahsangatjelas. Terlebih Kabid Urais kanwilDep. Agama Prov, Jawa Tengah {Wakhritu Drs. H. Marsudi Sukamo) dalamrangka menjawab surat KakandepagKab. Purworejo Nomor Mk.027/2-b/Hk03.4f728n001 tanggal 11 Juni 2001terkait perbedaan pendapat denganHakim PIA Semarang tersebut tentangpemahaman anak yang sah, melaluiSuratrya Nomor : Wlq2- b/HK.O3.A/ 165/2001 tanggal 29 Juni 2001 (terlampir)menyebutkan bahwa : "Dalam haladanya perbedaan penjelasan Pasal 53KHI sebagaimana dimaksud oleh salahseorang pegawaVpetugas PfA Sema-rang, selama ini para Fegawai FencatatNikah (PPN) telah mengambil jalantahkim dihdrapkan saudara tetapberpedoman pada SE Dirjen Bimas Islamdan Urusan Haji DepAgama RI NomorD/ED/PW01/03/1992 tanggal 9 Maret1992 Bab III poin I huuf b tersebut".

    Sungguh apa yang telah dilakukanpemerintah dalam hal ini Dirjerr BimasIslam dan Urusan Haji Dep. Agama RIjuga lGbid Urais Kanwil Dep. AgamaProv. Jawa Tengah tersebut menurutpenulis merupakan langkah sangatkonsisten dalam mengawal dan menja-min agar pelaksanaari perkawinan tidaksaja harus sesuai dengan ketentuanpemerintah, tetapi juga harus sesuajdengan hukum munakahat demi kepas-tian hukum dan perlindungan umatIslam dari kemungkinan terjadinyapemikahan yang ddak sah karena tidaksesuai dengan hukum munakahat.Bukanbenh:k ambivalensi sikap, apalagrakibat kurang memahami hukum fiqih,miskinnya literatu4 sebagaimana yang

    dituduhkan Sdr.M. AJief Mundzir.Masitkah kita menilai para Kepala KUAsebagai PPN diur para Pcnghulu sertapara pejabat kepenghuluan di atasnyatersebut inkonsisten ?

    Batas Minimal KehamilanSatu lagi pemyataan Sdr, M.Afief

    Mundzir yang perlu penulis koreksi.Menurutrya bahwa muncuJ:rya perbe-daan tentang batas usia kelahiral anakdalam beberapa madzhab fiqih rnenun-jukkan tingkat yang berbeda. Balrkarr iajuga berpendapat bahwa ketenhraa batasminimal kehamilan enam bulan adalahpendapat madzhab Syafii semata.Benarkah demikian ?

    Yang perlu diketahui bahwa tidaksaja mazhab Syafi'i, melainl