84

Kode/ Nama Rumpun Ilmu : 793/ PGSD - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/5224/1/penelitian 1.pdf · perkelahian/tawuran antar pelajar/mahasiswa, ... ketidak siapan guru memenuhi angka

  • Upload
    lamdang

  • View
    239

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Kode/ Nama Rumpun Ilmu : 793/ PGSD

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

HUBUNGAN BUDAYA KERJA, KECERDASAN EMOSIONAL DAN

ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) TERHADAP

KINERJA MENGAJAR GURU SD KECAMATAN

BANJARMASIN UTARA

TIM PENGUSUL

Prof. Drs. Ahmad Suriansyah, M.Pd., Ph.D NIDN 0025125903 Ketua

Dr. Hj. Aslamiah, M.Pd., Ph.D. NIDN 0010016011 Anggota

Rizky Amelia, S.Pd., M.Pd. NIDN 0009129301 Anggota

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

PENDIDIKAN GURU PRASEKOLAH DAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2019

IDENTITAS DAN URAIAN UMUM

1. JudulPenelitian : Hubungan Budaya Kerja, Kecerdasan Emosional, dan

Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Terhadap Kinerja Mengajar Guru SD Kecamatan

Banjarmasin Utara

Tim Penelitian

No Nama Jabatan Bidang

Keahlian

Instansi

Asal

Alokasi

waktu

1 Prof. Drs. Ahmad

Suriansyah,

M.Pd., Ph.D.

Ketua Manajemen

Pendidikan

di Sekolah

Dasar

Univeristas

Lambung

Mangkurat

5 jam/

minggu

2 Dr. Aslamiah,

M.Pd., Ph.D.

Anggota 1 Manajemen

Pendidikan

di Sekolah

Dasar

Univeristas

Lambung

Mangkurat

4 jam/

minggu

3 Rizky Amelia,

S.Pd., M.Pd.

Anggota 2 Bahasa

Indonesia di

Sekolah

Dasar

Univeristas

Lambung

Mangkurat

4 jam/

minggu

2. Objek Penelitian :

Objek dari penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru SD Kecamatan Banjarmasin

Utara.

3. Masa pelaksanaan

Mulai : bulan Januari tahun 2019

Berakhir : bulan Agustus tahun 2019

4. Usulan Biaya DRPM FKIP Universitas Lambung Mangkurat: Rp. 20.000.000,-

5. Lokasi Penelitian : SD Kecamatan Banjarmasin Utara.

6. Rencana luaran, yaitu: a. Publikasi di jurnal nasional yang terakreditasi

a. Publikasi di prosiding seminar internasional terakreditasi

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... i

IDENTITAS UMUM ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1

BAB 2. KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 13

BAB 3. METODE PENELITIAN .................................................................. 35

BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 49

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era revolusi indutri 4.0 menuntut kualitas sumber daya manusia yang tidak

hanya cerdas tetapi juga berkarakter yang mampu menghadapi tantangan serta

kompetesi yang sangat ketat secara global. Untuk itu maka sumber daya manusia

Indonesia sekarang dan untuk masa depan di tuntut memiliki karakter (karakter

kinerja: kerja keras, disipilin, ulet, tidak mudah menyerah, tuntas serta karakter nilai

moral seperti iman dan taqwa, jujur, rendah hati, sopan satun/akhlak), kompetensi

(creative thinking, creativity, communication dan collaboration serta problem solving),

literasi ( reading and writing, numeracy, scientiufic literacy, ICT Fluency/technologi

skills), linguage skill, cultural awareness, logical thinking) dan kemampuan komunikasi

dalam dunia global. Menghadapi tantangan ini maka bangsa Indonesia dituntut

menghasilkan sumber daya manusia berkualitas melalui proses Pendidikan yang

berkualitas dari jenjang PAUD hingga perguruan tinggi.

Kualitas merupakan isu yang menjadi perhatian setiap orang dari berbagai

bidang pekerjaan dan pelayanan di seluruh dunia, termasuk dunia pendidikan. Bagi

masyarakat Indonesia sekarang harapan kepada kualitas menjadi begitu kuat karena

masalah kualitas pendidikan masih belum memenuhi harapan semua pihak. Peningkatan

kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan kerja, budaya kerja dan budaya

organisasi yang saling berhubungan. Tanpa budaya kerja dan budaya organisasi yang

mengarah kepada budaya kerja berkualitas maka usaha peningkatan kualitas secara

optimal tidak akan tercapai sebagaimana yang diharapkan (Suriansyah, 2017). Untuk

itulah maka berbagai upaya dilakukan untuk mencapai budaya kerja dan kinerja yang

optimal. Perbaikan tersebut di mulai dengan melakukan perbaikan pengelolaan sekolah

yaitu implementasi manajemen berbasis sekolah.

Penggunanaan manajemen berbasis sekolah sebagai upaya merubah paradigma

pengelolaan sekolah dari sentralistik menjadi manajemen sekolah yang sangat otonomi

di tingkat sekolah. Upaya-upaya ini menggambarkan usaha perbaikan pengelolaan

sekolah melalui perubahan paradigma manajemen sekolah (Firman & Tola, 2008).

2

Usaha-usaha yang dilakukan ini dalam rangka mencapai Visi Indonesia 2020 yang

berbunyi: “Visi Indonesia 2020 adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius,

manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih

dalam penyelenggaraan Negara.

Berbagai permasalahan yang dihadapi pendidikan dewasa ini sudah sangat

kompleks, di samping masalah pemerataan pendidikan yang masih belum mencapai

harapan dan rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Di samping

itu nampaknya pendidikan masih dihadapkan pada permasalahan klasik tetapi sangat

urgen dan menjadi tuntutan masyarakat yaitu masalah rendahnya mutu hasil pendidikan.

Berdasarkan data 2017 peringkat Indonesia masih berada pada peringkat 5 (lima) di

negara-negara ASEAN. Permasalahan lainnya adalah karakter para peserta didik seperti

perkelahian/tawuran antar pelajar/mahasiswa, penyalah gunaan obat terlarang,

pemukulan guru oleh siswa atau sebaliknya, pelanggaran asusila bahkan yang paling

umum ngelim sampai di tingkat sekolah dasar. Bahkan hal terkini yang menjadi salah

satu indikator mutu adalah rendahnya tingkat kelulusan peserta seleksi CPNS diberbagai

jenis/bidang pekerjaan yang diikuti sehingga hal tersebut sangat memprihatinkan semua

orang.

Rendahnya mutu pendidikan ini disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat

kompleks seperti sumber daya manusia, sumber dana, fasilitas penunjang Pendidikan,

budaya belajar dan budaya kerja serta berbagai faktor lainnya termasuk kebijakan

pendidikan dan lingkungan masyarakat. Namun satu hal yang tampaknya belum

terbentuk dalam jiwa dan pemikiran para penyelenggara pendidikan baik pimpinan

institusi pendidikan, guru/dosen, staf, orang tua siswa/mahasiswa bahkan mungkin

masyarakat lingkungan pendidikan adalah budaya kerja yang berorientasi pada mutu.

Budaya mutu yang telah dikenal oleh banyak kalangan dunia usaha dan telah berhasil

membuat mereka maju nampaknya belum mengimbas kepada dunia pendidikan secara

utuh dan komprehensif. Budaya kerja bermutu ini menjadi sangat penting pada semua

orang yang berperan dalam menyelenggarakan Pendidikan sampai pada guru dan siswa

bahkan orang tua.

Salah satu faktor dominan pada saat ini yang turut memberikan kontribusi pada

rendahnya mutu pendidikan tersebut adalah faktor guru. Hal ini tergambar dari

3

beberapa hasil penelitian seperti diungkapkan oleh Khodijah (2013) bahwa kinerja guru

masih dirasakan rendah oleh berbagai kalangan bahkan meskipun mereka sudah

sertifikasi guru profesional. Guru-guru setelah lulus sertifikasi dan memperoleh

tunjangan profesi baik guru Madrasah maupun guru PAI masih di bawah standar

kinerja, di samping itu kinerja guru perkotaan lebih tinggi dari pada kinerja guru

pedesaan. Hasil penelitian ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh

Syanti (2013) bahwa guru SDN di daerah pinggiran kota mempunyai beban mengajar

yang lebih banyak, ia lambat mendapatkan informasi tentang perkembangan

pendidikan, mempunyai peluang kecil untuk meningkatkan profesionalitasnya.

Sebaliknya guru yang mengajar di daerah kota Kabupaten, mengajar sesuai beban

peraturan yang berlaku dan mempunyai kesempatan besar untuk meningkatkan

kompetensi dan profesionalismenya. Sementara itu Kartowagiran (2011) hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pengembangan profesi (kenaikan jenjang

kepangkatan) terdapat 90% guru belum pernah menulis artikel ilmiah, penelitian ilmiah,

artikel dalam jurnal dan majalah atau surat kabar, 82.5% guru belum pernah

menyiapkan proposal penelitian dan melakukan penelitian yang disebabkan karena

ketidak mampuan dan kesempatan. Hasil penelitian tersebut dipertegas oleh Purwanto

(2012) yang menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa dari sampel penelitian hanya

terdapat 2 (dua) orang guru yang mampu mencapai golongan kepangkatan IV b, akibat

ketidak siapan guru memenuhi angka kredit penulisan karya ilmiah. Berbagai hasil

kajian tersebut menggambarkan bahwa kinerja guru di sekolah dasar negeri masih

belum optomal.

Kinerja guru yang optimal merupakan kunci keberhasilan sekolah mencapai

prestasi. Hal ini juga dinyatakan oleh Lortie (2002) bahwa keberhasilan sekolah banyak

ditentukan oleh guru-guru. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan apa yang

dikemukakan oleh Firman dan Tola (2008) bahwa guru-guru merupakan faktor utama

dalam menetukan keberhasilan pendidikan. Hal senada juga dinyatakan oleh tim The

Word Bank (2010) bahwa guru merupakan faktor penentu peningkatan kualitas

pendidikan. Pendapat ini didukung oleh Tyler (1988) yang menyatakan bahwa peranan

guru sangat menentukan dalam prestasi akademik murid-murid. Fullan (1991)

4

menyatakan bahwa sebuah sekolah akan menjadi efektif jika guru-gurunya menjalankan

tugas dengan penuh tanggung jawab.

Guru adalah orang yang berhadapan secara langsung dengan peserta didik

melalui proses interaksi instruksional sebagai wahana terjadinya proses pembelajaran.

Dari proses pembelajaran tersebut, terciptalah suasana eksperensial, yaitu diperolehnya

pengalaman belajar peserta didik melalui perubahan pengetahuan, sikap dan

keterampilan kearah yang lebih baik sesuai dengan tujuan pendidikan. Selanjutnya

Surya (2000: 4) menyatakan bahwa dalam tingkatan operasional, guru merupakan

penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional,

instruksional dan eksperensial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penentu dari

kualitas proses dan hasil pendidikan terletak pada kinerja guru dalam melaksanakan

proses pembelajaran.

Kinerja adalah pelaksanaan pekerjaan dan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh

seseorang, tentang apa yang di kerjakan dan bagaimana mengerjakannya (Baron dan

Kenny, 1998). Kinerja guru pada dasarnya adalah merupakan gambaran seluruh

aktivitas yang yang dilakukan guru yang nampak dalam sikap dan tindakannya sesuai

dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai orang yang mengemban suatu amanat dan

tanggungjawab untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan memandu

peserta didik kearah perkembangan kedewasaan mental-spritual maupun fisik-biologis.

Kinerja guru terwujud dalam interaksi pembelajaran yang menimbulkan

perilaku belajar siswa untuk memperoleh hasil belajar yang optimal. Dengan kata lain,

kualitas hasil belajar siswa sebagai indikator kualitas pendidikan ditentukan oleh

kualitas belajar siswa yang terwujud melalui interaksi pembelajaran yang dikreasikan

oleh kinerja mengajar guru.

Namun demikian terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kinerja guru, baik

yang berkaitan dengan faktor individu itu sendiri maupun lingkungan sekolah. Salah

satu faktor yang mempengaruhi kinerja guru adalah budaya kerja, dimana faktor

tersebut sangat erat kaitannya dalam meningkatkan kinerja guru, sebab dengan

tercapainya budaya kerja yang baik dan ditunjang oleh kerjasama dengan sesama guru

maka akan tercapai hasil yang dapat meningkatkan kinerja kerja guru (Tika, 2008).

Budaya kerja tersebut meliputi kepemimpinan, disiplin, motivasi, dan iptek.

5

Sekolah sebagai institusi dan sistem sosial memiliki karakteristik budaya sendiri

(culture of school) yang merupakan akomulasi dari budaya organisasi sekolah dan

budaya individu. Budaya individu ini berbeda antara satu individu dengan individu guru

lainnya. Sehingga sekolah sebagai suatu sistem sosial memiliki budaya yang beragam

dan dipengauhi oleh sistem nilai, persepsi, kebiasaan-kebiasaan, kebijakan pendidikan

dan perilaku orang-orang yang berada di dalamnya (Kusnawan, Sunaryo dan Yusup,

2013). Budaya kerja yang dapat meningkatkan kualitas adalah: 1) Disiplin diri, 2)

mengontrol kemajuan belajar siswa, 3) Harapan yang tinggi kepada siswa, 4) Fokus

perhatian warga institusi pendidikan kepada proses pembelajaran (Suyata, 1996).

Budaya kerja pada umumnya merupakan pernyataan filosofis, dapat difungsikan

sebagai tuntutan yang mengikat para guru karena dapat diformulasikan secara formal

dalam berbagai peraturan dan ketentuan. Dengan memberlakukan budaya kerja, sebagai

salah satu acuan bagi ketentuan atau peraturan yang berlaku, maka kepala sekolah dan

guru secara tidak langsung akan terikat sehingga dapat membentuk sikap dan perilaku

sesuai dengan visi dan misi serta strategi. Proses pembentukan tersebut pada akhirnya

akan menghasilkan kepala sekolah dan guru profesional yang mempunyai integritas

yang tinggi.

Brown dan Dennis dalam Nugroho (2011) menyatakan bahwa budaya kerja

mempengaruhi organisasi dalam berbagai cara, artinya dengan peningkatan terhadap

budaya kerja, maka akan berpengaruh terhadap kinerja guru. Budaya kerja merupakan

implementasi dan aktualisasi dari kepribadian seseorang yang dapat mempengaruhi

kinerja dan tujuan sekolah, oleh karenanya perlu ditumbuhkan dalam kepribadian guru

sikap kebersamaan, keterbukaan dan profesionalisme dan menciptakan rasa nyaman,

kekeluargaan serta membangun komunikasi yang lebih baik terhadap lingkungan kerja,

sehingga tujuan untuk mewujudkan organisasi dengan efektif dan efisien dapat

terlaksana dengan baik (Sobirin, 2013).

Dalam upaya meningkatkan kinerja guru, nilai mendasar yang tidak kalah

penting dan harus terus dikembangkan adalah kecerdasan emosional. Menurut Goleman

(2000), setiap individu dalam suatu organisasi yang memiliki emosi yang baik

cenderung memiliki kemauan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya. Selain

itu Edwardin (2006) juga menyatakan bahwa guru yang secara emosional cerdas dapat

6

memahami bagaimana emosi terjadi, dapat mengatur emosinya, mengurangi emosi

tidak produktif yang menjadi penghalang dalam bekerjasama, serta mengambil langkah-

langkah proaktif untuk mencapai keberhasilan dalam bekerja. Berbagai hasil penelitian

menunjukkan bahwa guru yang memiliki kecerdasan emosional, akan menjelma

menjadi pribadi yang memiliki kadar ketaatan dalam bekerja dan bertanggung jawab

terhadap pekerjaannya, mampu mengendalikan dan mengelola emosinya, serta mampu

menjalin kehidupan sosial yang harmonis dengan sesama guru, masyarakat sekitar

lingkungan kerja serta masyarakat dimana mereka tinggal. Mampu mengelola diri

sendiri, memiliki inisiatif, optimisme, mampu mengkoordinasi emosi dalam diri, serta

melakukan pemikiran yang tenang tanpa terbawa emosi (Boyatzis, 2001). Melalui

risetnya, Goleman (2001) membuktikan bahwa Emotional Quotient (EQ) yang

dicerminkan oleh kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol

desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama,

menyumbang 80% bagi kesuksesan seseorang.

Selain kecerdasan emosional, perilaku yang diharapkan oleh sekolah dalam

upaya meningkatkan kinerja guru adalah perilaku extra-role atau sering disebut

Organizational Citizenship Behavior (OCB). OCB berperan penting untuk

meningkatkan kinerja guru karena OCB dapat mengurangi kebutuhan akan berbagai

sumber daya yang langka atau mahal untuk fungsi-fungsi perawatan atau perbaikan

dalam organisasi, meningkatkan produktifitas hubungan kerja atau manajerial (Organ

dalam Podsakoff, 2000). Fakta menunjukkan bahwa organisasi yang mempunyai guru

yang memiliki OCB yang baik akan memiliki kinerja yang lebih baik (Robbins, 2008).

Selain itu menurut Podsakoff dkk, (2000) menyatakan bahwa OCB berpengaruh

terhadap prestasi organisasi. Selanjutnya OCB, guru yang menolong rekan kerja akan

mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya dan pada gilirannya meningkatkan

kinerja rekan tersebut. Selanjutnya Podsakoff dan McKenzie (1997), menyatakan

bahwa OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi dan guru yang

conscientiousness cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara

konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada unit kerja.

Guru yang berperilaku OCB bisa dikenali dari cara mereka bekerja dengan

menampilkan sikap mau membantu meringankan pekerjaan rekan mereka (altruism),

7

mencegah timbulnya masalah yang berhubungan dengan pekerjan dengan cara memberi

konsultasi dan informasi (courtesy), lebih bersikap toleran pada situasi yang kurang

ideal di tempat kerja dan tanpa mengeluh (sportsmanship), sangat peduli pada

kelangsungan hidup organisasi (civic virtue), serta melakukan hal-hal yang

menguntungkan organisasi (conscientiousness).

Walaupun budaya kerja, kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship

Behavior (OCB) penting dalam menentukan peningkatan kinerja guru, dan prestasi

akademik siswa, tetapi tingkat budaya kerja, kecerdasan emosional dan OCB guru tidak

menunjukkan peningkatan yang memuaskan.

Berdasarkan uraian di atas, diduga bahwa faktor budaya kerja, kecerdasan

emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dapat meningkatkan mutu

kinerja mengajar guru, sehingga peneliti mengambil fokus penelitian sebagai variable

pengaruh adalah budaya kerja, kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship

Behavior (OCB).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebagaimana pada bagian terdahulu maka rumusan masalah

dalam dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Bagaimana gambaran budaya kerja, kecerdasan emosional, Organizational

Citizenship Behavior (OCB) dan kinerja mengajar guru Sekolah Dasar di Kecamatan

Banjarmasin Utara?

2. Apakah ada hubungan langsung budaya kerja dengan kecerdasan emosional guru

sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?

3. Apakah ada hubungan langsung budaya kerja dengan Organizational Citizenship

Behavior (OCB) guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?

4. Apakah ada hubungan langsung kecerdasan emosional dengan kinerja mengajar guru

sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?

5. Apakah ada hubungan langsung Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan

kinerja mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?

6. Apakah ada hubungan langsung Budaya kerja dengan kinerja mengajar guru sekolah

dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?

8

7. Apakah ada hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru

melalui kecerdasan emosional guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara?

8. Apakah ada hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru

melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru sekolah dasar di

Kecamatan Banjarmasin Utara?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui gambaran tentang

budaya kerja, kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB),

serta kinerja mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara, serta

memperoleh kejelasan hubungan struktural antara masing-masing variabel, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui:

1. Gambaran budaya kerja, kecerdasan emosional, Organizational Citizenship

Behavior (OCB) dan kinerja mengajar guru Sekolah Dasar di Kecamatan

Banjarmasin Utara.

2. Hubungan langsung budaya kerja dengan kecerdasan emosional guru sekolah dasar di

Kecamatan Banjarmasin Utara.

3. Hubungan langsung budaya kerja dengan Organizational Citizenship Behavior

(OCB) guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.

4. Hubungan langsung kecerdasan emosional dengan kinerja mengajar guru sekolah

dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.

5. Hubungan langsung Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan kinerja

mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.

6. Hubungan langsung Budaya kerja dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar di

Kecamatan Banjarmasin Utara.

7. Hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru melalui

kecerdasan emosional guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.

8. Hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru melalui

Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru sekolah dasar di Kecamatan

Banjarmasin Utara.

9

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka dirumuskan hipotesis

sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan kecerdasan emosional guru

sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.

2. Terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan Organizational Citizenship

Behavior (OCB) guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.

3. Terdapat hubungan langsung kecerdasan emosional dengan kinerja mengajar guru

sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.

4. Terdapat hubungan langsung Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan

kinerja mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.

5. Terdapat hubungan langsung Budaya kerja dengan kinerja mengajar guru sekolah

dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara

6. Terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru

melalui kecerdasan emosional guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.

7. Terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru

melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru sekolah dasar di

Kecamatan Banjarmasin Utara.

E. Manfaat/Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan sumbangan pemikiran

bagi perkembangan Ilmu Pendidikan, khususnya tentang kinerja dan variable-variabel

yang dapat membentuknya dengan latar sekolah dasar. Secara khusus manfaat teoritik

dan praktis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Kegunaan teoritik.

Hasil penelitian menjadi salah satu referensi guna memperkaya bagi pengembangan

konsep dan teori dalam peningkatan efektivitas pembelajaran melalui kinerja guru,

budaya kerja, kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB).

Dengan demikian akan dapat diketahui dan di deskripsikan secara jelas model teoritik

10

yang diprediksi akan dapat membentuk kinerja dan atau akan meningkatkan kinerja

guru dalam melaksanakan proses pembeajaran di sekolah, khususnya di sekolah dasar.

2) Kegunaan praktis.

Secara parktis penelitian ini sangat bermanfaat bagi pemangku kepantingan dalam

bidang Pendidikan, khususnya sekolah dasar yaitu:

1. Bagi Dinas Pendidikan sebagai masukan dalam merumuskan kebijakan pembinaan

guru-guru di sekolah dasar dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan

kinerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.

2. Bagi Pengawas sekolah sebagai informasi dan masukan tentang kinerja guru, budaya

kerja, kecerdasan emosional dan OCB. Dengan demikian maka pembinaan guru

akan lebih fokus pada faktor pembentuk kinerja.

3. Bagi kepala sekolah hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan dan self

evaluasi tentang kinerja pembelajaran, sehingga dapat memberikan masukan untuk

perbaikan proses pembelajaran selanjutnya atau untuk memperbaiki dan

meningkatkan efektivitas pembelajaran.

F. Defenisi Operasional

a. Budaya Kerja

Budaya kerja merupakan suatu organisasi komitmen yang luas dalam upaya

untuk membangun sumber daya mnusia, proses kerja dan hasil kerja yang lebih baik.

Untuk mencapai tingkat kualitas yang makin baik tersebut diharapkan bersumber

dari perilaku setiap individu yang terkait dalam organisasi kerja itu sendiri. Triguno

(1977) menyatakan bahwa warna budaya kerja adalah suatu produktiviti yang berupa

perilaku kerja yang dapat diukur seperti kerja keras, disiplin, produktif, tanggung

jawab, bermotivasi, kreatif, inovatif, responsif dan mandiri. Ini berarti bahwa budaya

kerja seperti tersebut merupakan dasar yang akan menghasilkan kualitas proses

kerja. Dengan demikian maka apabila seseorang ingin menghasilkan kerja

berkualitas maka dia harus memiliki proses kerja yang berkualitas dan proses kerja

yang berkualitas hanya akan lahir dari seseorang yang memiliki budaya kerja yang

kuat.

11

Dalam penelitian ini dimensi budaya organisasi dapat dibagi kepada dua

dimensi yaitu (1) Dimensi lingkungan luar (external environments); yang di

dalamnya terdapat lima hal pokok yaitu: mission and strategy; goals; means to

achieve goals; measurement; correction), (2) Dimensi integrasi internal (internal

integration) yang mencakup: common language; group boundaries for inclusion and

exclusion; distributing power and status; developing norms of intimacy, friendship,

and love; reward and punishment; explaining and explainable: ideaology and

religion)

b. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan,

meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan

dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu

perkembangan emosi dan intelektual.

Kecerdasan Emosional dalam penelitian ini diambil dari teori yang

dikemukakan oleh Robbins (2006: 144) yang merujuk kecerdasan emosional pada

keanekaragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi kognitif, yang

mempengaruhi seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan

lingkungan. Sementara itu, indikator yang digunakan untuk mengukur variabel

kecerdasan emosional didasarkan pada teori yang dikemukakan Goleman (McPheat,

2010: 24) menguraikan kompetensi dalam kecerdasan emosi ke dalam empat

kompetensi, antara lain:

1) Self-Awareness (Kesadaran Diri) yang terdiri dari: (1) emotional self-awareness

(kesadaran emosi diri), (2) accurate self-assessment (ketepatan penilaian diri),

dan (3) self-confidence (kepercayaan diri).

2) Self-Management (Pengelolaan Diri) yang terdiri dari: (1) self-control (kontrol

diri), (2) trustworthiness (kepercayaan), (3) conscentiousness (mendengarkan

kata hati), (4) adabtability (kemampuan menyesuaikan diri), (5) achievement

orientation (tujuan pencapaian), (6) initiative (inisiatif).

3) Social Awareness (Kesadaran Sosial) yang terdiri dari: (1) empathy (empati), (2)

organizational awareness (kesadaran berorganisasi), (3) service orientation

(bertujuan untuk melayani).Social Skills (Keterampilan Sosial) yang terdiri dari:

12

(1) influence (mempengaruhi orang lain); (2) leadership (kepemimpinan), (3)

developing others (mengembangkan orang lain), (4) communication

(komunikasi), (5) change catalyst (katalisator perubahan), (6) conflict

management (pengelolaan konflik), (7) building bonds (ikatan untuk

memberdayakan), (8) teamwork and collaboration (kerjasama dan kolaborasi).

c. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah tinggi rendahnya

kontribusi seseorang dalam melaksanakan tugasnya, melebihi tuntutan yang diakui

oleh perolehan kerja dan ditunjukkan melalui perilaku membantu orang lain

(altruisme), partisipasi dukungan secara sukarela terhadap organisasi baik secara

profesional maupun sosial alamiah (civic virtue), kinerja dari prasyarat peran yang

melebihi standart minimum (conscientiousness), perilaku membantu memecahkan

problem yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain (courtesy), dan

kemauan untuk bertoleransi tanpa mengeluh (sportmanship).

d. Kinerja guru

Kinerja guru adalah suatu hasil yang dicapai oleh guru dalam melaksanakan

tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan,

pengalaman dan kesungguhan serta penggunaan waktu. Alat ukur yang akan

digunakan dalam penelitian ini, adalah InstrumenPenilaian Kinerja Guru (PKG)

yang terdiri dari empat komponen, yaitu 1) perencanaan pembelajaran, 2)

pelaksanaan pembelajaran, 3) penilaian pembelajaran, 4) hubungan antar pribadi.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kinerja Mengajar Guru

Kinerja atau sering juga di sebut dengan performansi pada saat ini menjadi

perhatian semua orang pada semua institui termasuk institusi Pendidikan hingga di

tingkat paling rendah seperti sekolah dasar. Oleh sebab itu kinerja selalu menjadi fokus

perhatian oleh pimpinan di setiap sekolah dan selalu menjadi obyek monitoring dan

evaluasi (monev) setiap tahun bahkan setiap semester karena dari kinerja yang baik dan

berkualitaslah akan lahir kualitas Pendidikan yang dapat memenuhi harapan semua

orang.

Lawler dan Porter (dalam Sutrisno, 2011) menyatakan bahwa kinerja adalah

kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugas. Menurut Miner (dalam Sutrisno,

2011) kinerja adalah bagaimana seseorang diharapkan dapat berfungsi dan berperilaku

sesuai dengan tugas yang telah dibebankan kepadanya. Irianto (dalam Sutrisno, 2011)

mengemukakan kinerja karyawan adalah prestasi yang diperoleh seseorang dalam

melakukan tugas. Kinerja menurut Mangkunegara (2007) adalah hasil kerja secara

kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya

sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

1. Mutu Kinerja Mengajar Guru

Konsep mutu perlu dipahami dengan baik dan jelas agar rencana program

peningkatan mutu dapat terarah dan memberikan hasil yang optimal.Para ahli

mendefinisikan mutu dari berbagai sudut pandangnya masing-masing. Usman (2014:

541) mengutip beberapa definisi mengenai mutu sebagai berikut: (1) Deming,

mendefinisikan mutu sebagai satu tingkat yang dapat diprediksi dari keseragaman

dan ketergantungan pada biaya yang rendah sesuai pasar, (2) Juran, mengartikan

mutu sebagai kemampuan untuk digunakan (fitness for use), (3) Crosby, menyatakan

bahwa mutu sesuai persyaratan.Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, yang

disebut mutu adalah sifat-sifat produk atau jasa yang sesuai persyaratan dan memiliki

kemampuan dalam memenuhi kebutuhan penggunanya.

14

Berbicara tentang mutu berarti berbicara tentang suatu produk atau layanan

(jasa). Dari sisi penyelenggaraannya, pendidikan termasuk kategori layanan jasa

(service). Jasa menurut Kotler (dalam Syamsi, 2008) adalah setiap tindakan atau

unjuk kerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip

intangible dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Dari pernyataan

Kotler tersebut dapat dipahami bahwa jasa merupakan kinerja yang diberikan oleh

penyedia layanan kepada konsumen.Bersifat intangible maksudnya jasa tidak

berwujud, berbeda dengan barang atau benda. Jasa merupakan suatu kinerja

(performance), tindakan, proses, atau usaha yang tidak bisa dilihat, dirasa, maupun

didengar sebelum dibeli atau dikonsumsi.

Mengenai kinerja, Supardi (2013: 47) berpendapatbahwa kinerja adalah hasil

kerja yang telah dicapai oleh seseorang dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan

berdasarkan standardisasi atau ukuran dan waktu yang disesuaikan dengan jenis

pekerjaannya dan sesuai dengan norma dan etika yang telah ditetapkan. Pernyataan

tersebut mengindikasikan bahwa kinerja sebagai proses dan hasil akhir dari suatu

kegiatan yang dilakukan seorang pegawai dalam mencapai tujuan organisasi harus

berdasarkan kepada standar atau ukuran yang telah ditentukan.

Menurut Maier dalam Junaedi (2013) kinerja merupakan kesuksesan

seseorang dalam melaksanakan pekerjaan”. Pandangan ini menjelaskan bahwa

kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang menurut kriteria dan alat ukur yang

berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Suharsaputra (2010) juga menyatakan

bahwa guru dalam pengelolaan pembelajaran harus memiliki kemampuan antara lain,

kemampuan menyusun rencana pembelajaran, kemampuan melaksanakan

pembelajaran, kemampuan mengadakan evaluasi pembelajaran.

Husdarta (2009) menyebutkan secara umum terbentuknya kinerja disebabkan

oleh tiga faktor yaitu: (1) faktor kemampuan (ability) merupakan fungsi dari

pengetahuan, keterampilan dan kemampuan teknologi karena faktor tersebut dapat

memberikan indikasi terhadap batas kemungkina, kinerja yang dapat dicapai; (2)

faktor upaya (effort) merupakan fungsi dari kebutuhan sarana, harapan dan ganjaran.

Beberapa banyak kemampuan individu yang dapat direalisasikan sangat tergantung

dari tingkatan individu dan atau kelompok motivasi, sehingga dapat mencurahkan

15

upaya atau usaha sebesar mungkin; dan (3) faktor kesempatan/peluang (opportunity)

kepada individu atau bawahan agar dapat menggunakan temampuan dan upaya

mereka ditempat-tempat yang berarti dalam pekerjaannya.Adapunkegiatan kinerja

mengajar guru dijelaskan dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang standart

proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang mengungkapkan bahwa

Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan

pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.

Sedangkan, mengajar menurut Usman dan Setiawati (1993), mengajar pada

prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Howard

(dalam Slameto, 1995) memberikan definisi mengajar lebih lengkap, menurutnya

mengajar adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang

untuk mendapatkan, mengubah atau mengembangkan skills, attitude, ideals (cita-

cita), appreciations (penghargaan) dan knowledge.

Pemahaman secara umum mengajar seringkali diartikan sebagai usaha guru

untuk menyampaikan dan menanamkan pengetahuan kepada siswa atau transfer of

knowledge. Padahal tugas guru dalam mengajar bukan sekedar memindahkan

pengetahuan kepada siswanya, meminta siswa mencatat dan menghapalkan bahan

pelajaran sehingga siswa tidak berpikir dan berbuat sesuatu, hanya mendengarkan

dan menerima saja apa yang diberikan guru. Mengajar yang hanya menekankan

intelektual saja tidak akan membentuk kreativitas di dalam diri siswa, jiwanya

menjadi tidak kritis, kurang inisiatif, dan daya kreasi yang rendah. Menjadi tugas

berat bagi guru untuk membawa perubahan tingkah laku siswa ke arah yang lebih

baik. Guru perlu memikirkan bagaimana bentuk penyajian pembelajaran yang tepat

untuk mencapai tujuan tersebut.

Konsep mengajar apabila dikaitkan dengan kinerja guru akan mengandung

pengertian bahwa kinerja mengajar guru adalah suatu kemampuan guru dalam

melaksanakan tugas mengajar yaitu membimbing siswa dalam belajar dengan

menciptakan proses pembelajaran yang sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan

pembelajaran. Untuk dapat menampilkan kinerja yang bagus, guru harus profesional

dalam menjalankan tugasnya. Guru yang memiliki kinerja yang baik dan profesional

dalam implementasi kurikulum menurut Basyirudin dan Usman (dalam Supardi,

16

2013) memiliki ciri-ciri yaitu mendesain program pembelajaran, melaksanakan

pembelajaran dan menilai hasil belajar peserta didik.

Dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran, guru perlu merencanakan dan

menyiapkan pembelajaran yang bermutu yaitu dengan mengkondisikan berbagai

aspek pembelajaran. Menurut Sulthon (2013) untuk menuju pembelajaran yang

berkualitas dibutuhkan pengkondisian berbagai aspek pembelajaran diantaranya:

metode, strategi, pendekatan, pengelolaan pembelajaran, manajemen kelas,

pemanfaatan media, dan penguasaan materi pembelajaran. Sulthon menambahkan

bahwa dalam paradigma pendidikan modern, pembelajaran yang bermutu adalah

pembelajaran yang di desain dengan subyek (siswa) dijadikan sebagai pelaku

pembelajaran, dengan demikian dalam pembelajaran yang aktif melakukan belajar

adalah siswa sedang guru sebagai fasilitator dan motivator dalam belajar. Hal ini

bertolak belakang dengan proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak guru saat

ini. Guru terbiasa mendominasi kegiatan pembelajaran. Dalam menyampaikan

materi, guru terbiasa menggunakan metode ceramah, sementara siswa hanya duduk,

mencatat, dan mendengarkan, sehingga siswa menjadi pasif dan suasana

pembelajaran tidak kondusif.

Mengajar pada intinya adalah melayani kebutuhan siswa dalam belajar.Untuk

itu guru perlu memperhatikan kondisi siswa yang diajarnya, memahami latar

belakang, kemampuan, minat, dan potensi yang dimiliki siswa. Pemenuhan terhadap

kebutuhan belajar siswa akan memberi kepuasan bagi siswa yang ditandai dengan

meningkatnya prestasi belajar yang dicapainya. Oleh karena itu, pelayanan yang

diberikan guru harus terencana dan sistematis dengan memperhatikan dimensi

kualitas pelayanan jasa dari Parasuraman, Zeithaml dan Berry (dalam Tjiptono, 2012)

yang meliputi: (1) reliabilitas (reliability), (2) daya tanggap (responsiveness), (3)

jaminan (assurance), (4) empati (empathy), dan (5) bukti fisik (tangibles).

Penilaian terhadap mutu kinerja mengajar guru memerlukan sumber informasi

data dari berbagai pihak, terutama yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran

yaitu siswa. Pandangan siswa mengenai kemampuan guru mengajar dan pelayanan

yang diterimanya adalah faktor yang menentukan penilaian dan pengukuran kepuasan

pelanggan.

17

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa mutu kinerja mengajar

guru merupakan serangkaian perilaku atau kegiatan yang dilaksanakan oleh guru

berdasarkan kemampuannya dalam memberikan layanan pengajaran yang sesuai

dengan kebutuhan dan harapan siswa serta tujuan pembelajaran yang hendak dicapai

secara efektif dan efisien.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Bernardin (dalam Mahesa, 2010) menyatakan bahwa terdapat enam kriteria

yang digunakan untuk mengukur sejauh mana kinerja secara individu, yaitu:

1) Kualitas, tingkat dimana hasil aktivitas yang dilakukan mendekati sempurna,

dalam arti menyelesaikan beberapa cara ideal dan penampilan aktivitas ataupun

memenuhi tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas.

2) Kuantitas, jumlah yang dihasilkan, dinyatakan dalam istilah jumlah unit, jumlah

siklus aktivitas yang diselesaikan.

3) Ketepatan waktu, tingkat suatu aktivitas yang diselesaikan pada waktu awal yang

dinginkan, dilihat dari sudut koordinasi yang dengan hasil output serta

memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.

4) Efektivitas, tingkat penggunaan sumber daya organisasi dimaksimalkan dengan

maksud menghasilkan keuntungan dan mengurangi kerugian setiap penggunaan

sumber daya.

5) Kemandirian, tingkat dimana seorang karyawan dapat melakukan fungsi kerjanya

tanpa meminta bantuan, bimbingan dan pengawasan atau meminta turut

campurnya pengawas.

6) Komitmen kerja, tingkat dimana karyawan mempunyai komitmen kerja dengan

perusahaan dan tanggung jawab kerja terhadap perusahaan.

Secara lebih ringkas, Mangkunegara (dalam Darmawan, 2009) menetapkan

dimensi-dimensi yang mempengaruhi kinerja guru, yakni:

a. Kualitas yang berarti hasil pekerjaan yang dapat dilakukan mendekati sempurna

atau memenuhi tujuan yang diharapkan dari pekerjaan tersebut. Kualitas kerja,

meliputi ketepatan, ketelitian, keterampilan, dan kebersihan. Ketepatan dalam hal

ini adalah ketepatan waktu yang diartikan sebagai jumlah pekerjaan yang

18

dilaksanakan apakah sesuai dengan waktu yang direncanakan. Ketelitian diartikan

jumlah kesalahan yang dilakukan pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya.

Keterampilan merupakan tingkat kemampuan pegawai dalam bekerja.

b. Kuantitas yang berarti jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat

diselesaikan dalam periode waktu tertentu. Kuantitas kerja juga berhubungan

dengan output serta seberapa cepat seseorang dapat menyelesaikan kerja secara

ekstra. Output dapat diartikan jumlah pekerjaan yang mampu dikerjakan pegawai

dalam jangka waktu tertentu. Dan kecepatan dapat diartikan sebagai waktu rata-

rata yang digunakan untuk menyelesaikan satu unit pekerjaan.

c. Kehandalan atau dapat diartikan kemampuan seorang pegawai yang digunakan

dan dapat dipercaya dalam mengikuti instruksi yang diberikan oleh pimpinan;

memiliki inisiatif diartikan sebagai kemampuan pegawai dalam mengemukakan

gagasan, metode, dan pendekatan baru dalam pekerjaannya; sifat kehati-hatian

yang tepat, dan faktor kerajinan dalam pekerjaan yang juga dapat diartikan

sebagai kerapian dalam bekerja.

d. Sikap dalam hal ini diartikan sebagai tindakan pegawai dalam melakukan segala

sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya, baik berkenaan dengan sikap

terhadap organisasi, maupun sikap dengan pegawai lain, serta kerjasama dalam

menyelesaikan suatu tugas untuk mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan

organisasi.

B. Budaya Kerja

Triguno (1977) menyatakan bahwa warna budaya kerja adalah suatu produk yang

berupa perilaku kerja yang dapat diukur seperti kerja keras, disiplin, produktif, tanggung

jawab, bermotivasi, kreatif, inovatif, responsif dan mandiri. Ini bererti bahwa budaya

kerja seperti tersebut merupakan dasar yang akan menghasilkan kualitas proses kerja.

Dengan demikian maka apabila seseorang ingin menghasilkan kerja yang berkualitas

maka dia harus memiliki proses kerja yang berkualitas, dan proses kerja yang

berkualitas hanya mungkin berlaku apabila seseorang memiliki budaya kerja.

Schien (1997), budaya kerja ialah satu budaya dalam organisasi yang mengarah

kepada suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang

19

membezakan organisasi itu dengan organisasi lain. Robbins (2001) menyatakan bahwa

sebuah sistem yang didukung dan dibentuk bersama oleh warganya sekaligus

menjadikan organisasinya berbeza dengan organisasi lain. Budaya juga dapat dilihat

sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian

dan sekaligus cara untuk melihat persoalan dan menyelesaikannya (Zamroni, 2003).

Budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi

dan dijadikan sebagai falsafah kerja staf/anggota-anggota dalam suatu organisasi

(Moelyono, 2003).

Budaya organisasi adalah budaya yang ada di dalam organisasi. Budaya dapat

dilihat dari tiga sudut, iaitu idea/gagasan, kelakuan dan ada fisik (Koentjaraningrat,

1982). Sementara Glinow dan McShane (2007) melihat budaya organisasi sebagai nilai,

asumsi bersama daripada anggota-anggota organisasi. Gibson, Ivanicevic dan Donelly

(2000) menekankan bahwa budaya organisasi merupakan asumsi, keyakinan, nilai-nilai

dan persepsi bersama anggota-anggota organisasi yang membentuk dan memberi kesan

ke atas sikap, perilaku, serta petunjuk dalam menyelesaikan masalah. Selari dengan

perkara tersebut oleh Luthans (2007) menyatakan bahwa budaya organisasi mencakup

keteraturan perilaku, norma, nilai, falsafah dan aturan seperti asas/panduan bagi

anggota-anggota untuk bekerja dalam organisasi. Stoner (1995) mendefenisi budaya

sebagai gabungan asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora dan pelbagai idea lain

yang manjadi amalan anggota-anggota untuk menentukan apa ertinya menjadi anggota

masyarakat tersebut. Grave (1986) pula menyatakan budaya adalah suatu pola material

mahupun perilaku yang sudah diterima pakai oleh masyarakat sebagai cara hidup dalam

menyelesaikan masalah-masalah anggotanya. Budaya di dalamnya juga termasuk semua

cara yang telah diterima pakai seperti: kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit

serta premis-premis dasar dan peraturan oleh organisasi berkenaan. Cowling dan James

(1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai cara kita melakukan

sesuatu perkara. Schein (2004), kata kunci pengertian budaya iaitu asumsi asas yang

diamati bersama (shared basic assumptions). Ndraha (1997) mengemukakan bahwa

asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value. Beliefs merupakan asumsi dasar tentang

dunia dan bagaimana dunia bergerak.

20

Dengan memahami konsep asas budaya di atas, anggota-anggota organisasi akan

berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut sebagai budaya

organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan

kepada pengertian organisasi formal. Dalam erti kata lain, kerja sama yang terjalin

antara anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan

anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Nevizond, 2007).

Schein (2004) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibahagikan kepada

dua dimensi iaitu (1) Dimensi persekitaran luaran (external environments); yang

didalamnya terdapat lima perkara asas iaitu: (a) misi dan strategi (mission and

strategy); (b) tujuan (goals); (c) cara untuk mencapai ) tujuan (means to achieve goals);

(d) pengukuran (measurement); dan (e) pembetulan (correction), dan (2) Dimensi

integrasi internal (internal integration) yang di dalamnya terdapat enam aspek utama,

iaitu: (a) bahasa umum (common language); (b) kumpulan (group boundaries for

inclusion and exclusion); (c) penyebaran kekuasaan dan status (distributing power and

status); (d) pengembangan norma keakraban (developing norms of intimacy, friendship,

and love); (e) penghargaan dan hukuman (reward and punishment); dam (f)

menjelaskan falsafah dan keagamaan (explaining and explainable: ideaology and

religion).

Schein (1997) menjelaskan sepuluh ciri budaya organisasi, mencakup: (1) tingkah

laku yang nampak (observe behavior): bahasa, adat, tradisi; (2) norma kelompopk

(groups norms): standard dan nilai (standards and values); (3) espoused values:

published, publicly announced values; (4) falsafah formal (formal philosophy): misi; (5)

aturan main (rules of the game): aturan untuk semua orang dalam organisasi; (6) iklim

(climate): iklim interaksi dalam kelompok (climate of group in interaction); (7)

keterampilan tertanam (embedded skills); (8) kebiasaan berfikir, paradigma,

pengetahuan bersama untuk disosialisasikan (habits of thinking, acting, paradigms:

shared knowledge for socialization); (9) makna bersama kepada kelompok (shared

meanings of the group); dan (10) bahasa kiasan atau simbol (metaphors or symbols).

Luthans (2007) mengetengahkan enam ciri penting budaya organisasi, iaitu: (1)

obeserved behavioral regularities; yakni peraturan cara bertindak daripada para anggota

yang boleh diamati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya,

21

mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms;

norma yakni pelbagai standard perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang

panduan sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; nilai

dominan iaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota

organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, ketidak hadiran yang rendah

atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; falsafah iaitu adanya dasar dan garis panduan

yang berkenaan dengan keyakinan organisasi semasa melayani pelanggan dan

staf/anggota-anggota (5) rules; peraturan iaitu adanya peraturan yang ketat, dikaitkan

dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; iklim organisasi merupakan

perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang digambarkan dan disampaikan

melalui keadaan tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota

organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain.

McNamara (2002) mengemukakan pendapat bahwa dari sudut input, budaya

organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum,

kompetensi dan sebagainya. Dari sudut proses, budaya organisasi menjurus kepada

asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang: uang, waktu, manusia, kemudahan dan

ruang. Apabila dilihat dari sudut output berhubungan dengan impak budaya organisasi

kepada perilaku organisasi, teknologi, strategi, produk dan sebagainya (Kreitner &

Kinicki, 2007).

Berkaitan dengan budaya organisasi dan prestasi organisasi, Gomez-Gras dan

Verdu-Jove (2005) mengidentifikasi empat elemen pembentuk oraganisasi pembelajaran

yang menuju ke arah perubahan budaya kualitas yaitu (1) Komitmen pimpinan.

Dukungan dan komitmen pimpinan perlu untuk melahirkan budaya kerja, (2) Perspektif

sistem. Berfikir secara sistem, di mana anggota-anggota organisasi melihat organisasi

sebagai satu sistem, (3) Keterbukaan; iklim keterbukaan yang mengakui pengetahuan

individu yang selalu diperbaharui, diperluas dan ditingkatkan, dan (4) Pemindahan

pengetahuan dan integrasi. Tim kerja atau anggota organisasi sentiasa belajar dan

menyebarkan pengetahuan secara terintegrasi kepada anggota-anggota organisasi.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Irani et al. (2004) telah menyarankan

sebuah model mengintegrasikan TQM dan OL untuk mencapai kecemerlangan

22

organisasi. Mereka menekankan bahwa kekuatan budaya TQM dan OL merupakan

kunci yang boleh meningkatkan organisasi dalam dunia yang kompetetif.

Kotter dan Haskett (1992) setelah melakukan kajian selama 14 tahun di pelbagai

organisasi terbaik di Amerika telah menyimpulkan bahwa organisasi-organisasi tersebut

meningkat prestasinya karena didukung oleh budaya organisasi yang kuat. Budaya

organisasi perusahaan atau budaya korporat pada dasarnya adalah budaya organisasi

yang berasaskan budaya kerja berkualitas dari individu-individu yang terlibat dalam

organisasi perusahaan tersebut.

Sartika (1999) dalam kajiannya tentang impak budaya organisasi yang berorientasi

TQM, kepuasan kerja dan prestasi menyimpulkan bahwa; 1) Prestasi adalah disebabkan

oleh faktor-faktor budaya organisasi, kepuasan kerja dan pengurusan kualitas, 2)

variabel budaya oraganisasi dalam kalangan pimpinan memberi pengaruh kepada

prestasi dan kepuasan kerja, 3) TQM memberi pengaruh kepada budaya organisasi.

Ambroz (2004) juga membuat kajian yang mempunyai tema yang sama yaitu untuk

menemukan budaya organisasi yang dapat menyumbang kepada keberhasilan

pelaksanaan TQM dalam tiga organisasi perkilangan di Slovenia. Sebanyak 670 pekerja

telah mengambil bagian dalam kajian ini dengan menjawab angket untuk mengukur

budaya korporat. Kajian ini mendapati bahwa budaya korporat yang terbuka dan

berorientasikan kemanusiaan menyumbang kepada kebehasilan pelaksanaan TQM.

Hasil kajian Jabnoun dan Sedrani (2005) hanya menyatakan budaya mempunyai

hubungan dengan pelaksanaan TQM.

Kualitas merupakan isu yang menjadi perhatian setiap orang dari pelbagai bidang

pekerjaan dan pelayanan di seluruh dunia, termasuk dunia pendidikan. Bagi masyarakat

Indonesia sekarang harapan kepada kualitas menjadi begitu nampak karena masalah

kualitas pendidikan di pelbagai jenis dan peringkat pendidikan masih belum memenuhi

harapan semua pihak.

Walau apapun usaha untuk meningkatkan kualitas, peningkatan kualitas di sesuatu

institusi sangat dipengaruhi oleh kebiasaan kerja, budaya kerja dan budaya organisasi

yang saling brhubungan. Tanpa budaya kerja dan budaya organisasi yang mengarah

kepada budaya kerja berkualitas maka usaha peningkatan kualitas secara optimal tidak

akan tercapai sebagaimana yang diharapkan (Suriansyah, 2014).

23

Keterlibatan dan keterikatan semua anggota organisasi dalam proses pengelolaan

yang mengarah kepada penciptaan budaya kerja dan budaya kualitas merupakan

prasyarat utama dalam pelaksanaan kualitas menyeluruh (Bafadal, 2007).

Kualitas kerja sangat erat kaitannya dengan budaya kerja yang dimiliki serta

mendasari para pelakunya. Kualitas tidak akan berhasil tanpa proses yang berkualitas.

Oleh karena itu proses yang berkualitas merupakan suatu yang harus dibentuk melalui

kebiasaan kerja yang berkualitas. Untuk mencapai kebiasaan kerja yang berkualitas

harus dimulai dari adanya kesepakatan semua anggota organisasi tentang budaya kerja

institusi. Suyata (1996) menyatakan bahwa ciri-ciri budaya kerja institusi pendidikan

yang dapat meningkatkan kualitas adalah: 1) Disiplin diri, 2) mengontrol kemajuan

belajar siswa, 3) Harapan yang tinggi kepada siswa, 4) Fokus perhatian warga institusi

pendidikan kepada proses pembelajaran. Hickman dan Silva (1984) menyatakan bahwa

budaya yang kuat dimiliki oleh anggota-anggota institusi memberi pengaruh kepada

keberhasilan institusi. Budaya yang kuat ini memerlukan suatu model tertentu. TQM

adalah budaya kerja dalam organisasi yang kuat untuk menghasilkan kualitas kerja yang

optimal (Kekale, 1999; Lam & Chin, 2008; Irani et al., 2004).

Ciampa (1991) pula menyarankan bahwa budaya organisasi dapat diubah secara

tetap oleh satu orang atau melalui program perbaikan secara terus menerus. Walaupun

begitu pada prakteknya, perubahan ini tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat.

Budaya organisasi bukan sesuatu yang diciptakan oleh seorang pemimpin secara

sendirian, ataupun sesuatu yang dapat dikawal dan diramalkan oleh pengurus oragnisasi.

Budaya merupakan sesuatu yang dirangkai dan dibentuk hasil dari setiap pegawai dalam

organisasi, sehingga perubahan budaya jauh dari kemustahilan, walaupun dia adalah

suatu proses yang lambat dan sukar untuk mencapai perubahan (Montes et al., 2003).

C. Kecerdasan Emosi

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Salovey dan Mayer dalam Goleman (2000) menjelaskan bahwa kecerdasan

emosional merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan

membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya

serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan

24

emosi dan intelektual. Cooper dan Sawaf (1999) juga mengatakan bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan

daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Disisi

lain, Robbins dan Judge (2008) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan

kemampuan seseorang untuk mendeteksi dan mengelola isyarat-isyarat emosional dan

informasi.

Goleman, Boyatzis, dan McKee (2004) mengatakan bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,

ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, dan menunda kepuasan,

serta mengatur keadaan jiwa. Goleman (2000) juga menjelaskan bahwa setiap individu

dalam suatu organisasi yang memiliki emosi yang baik cenderung memiliki kemauan

untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya. Edwardin (2006) menyatakan hal

yang sama bahwa karyawan yang secara emosional cerdas dapat memahami bagaimana

emosi terjadi, dapat mengatur emosinya, mengurangi emosi tidak produktif yang

menjadi penghalang dalam bekerjasama, serta mengambil langkah-langkah proaktif

untuk mencapai keberhasilan dalam bekerja.

Sementara itu, kata emosional sendiri mendapatkan penekanan khusus karena

secara terminologis berasal dari kata emosi. Emosi pada dasarnya adalah dorongan

untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang ditanamkan secara

berangsur-angsur yang berkaitan dengan pengalaman dari waktu ke waktu. Emosi

merupakan reaksi terhadap rangsangan dari dalam dan luar individu yang

diimplementasikan melalui tindakan. Pendapat didukung Goleman (2009) yang merujuk

emosi pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis

dan rangkaian kecenderungan untuk bertindak. Sementara itu, Anthony (2007) merujuk

emosi sebagai energi dahsyat yang kekuatannya melampaui batas kesadaran dan fisik.

Singkatnya, pikiran mempengaruhi emosi dan emosi mempengaruhi kualitas tindakan.

Selain itu, Emosi berperan dalam peningkatan proses konstruksi pikiran dalam

berbagai bentuk pengalaman kehidupan manusia. Salovey dan Mayers (Goleman, 2009:

7) mengungkapkan bahwa emosi sebagai respon terorganisasi, termasuk sistem

fisiologis, yang melewati berbagai batas subsistem psikologis, misalnya kognisi,

motivasi, dan pengalaman. Pengertian ini menunjukkan bahwa emosi merupakan respon

25

atas stimulus yang diperoleh dari lingkungan sekitar yang terorganisasi dengan baik

melewati subsistem psikologis. Hal senada juga diungkapkan oleh Campos dan Saarni

(Santrock, 2007) mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau afek yang terjadi ketika

seorang manusia berada pada sebuah keadaan atau sedang berinteraksi sebagai makhluk

sosial. Sementara itu, Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan emosi sebagai

perasaan-perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu serta melabeli

emosi sebagai reaksi terhadap seseorang atau kejadian.

Lebih jauh, McPheat (2010) menyatakan bahwa basis fisik emosi berasal dari

otak. Hal senada juga diungkapkan Folkerts (1999) seperti diungkapkan Wahyono

(2001) mengungkapkan bahwa emosi manusia dikoordinasikan oleh otak. Bagian otak

yang mengatur emosi adalah sistem limbik. Struktur-struktur dalam sistem limbik

mengelola beberapa aspek emosi, yaitu pengamalan emosi melalui ekspresi wajah,

tendensi dan penyimpanan memori emosi. Sistem limbik terdiri atas empat unsur, yaitu

thalamus, hypothalamus, amigdala, hipokampus, dan lobus frontalis.

2. Indikator Kecerdasan Emosional

Berdasarkan teori Salovey dan Mayer dalam Goleman (2000), indikator

kecerdasan emosional terdiri dari lima hal, yaitu:

a) Kesadaran diri (mengenali emosi diri) atau self-awareness merupakan kemampuan

untuk mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya

untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, serta memiliki tolok ukur yang

realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

b) Pengaturan diri (mengelola emosi) atau self-regulation merupakan kemampuan

untuk menangani emosi diri sendiri sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan

tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum

tercapainya suatu sasaran, serta mampu pulih dari tekanan emosi.

c) Motivasi diri sendiri atau self-motivation merupakan kemampuan untuk

menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun

menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan

untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi.

26

d) Empati (mengenali emosi orang lain) atau empathy merupakan kemampuan untuk

merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka,

menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai

tipe orang.

e) Keterampilan sosial (membina hubungan antar pribadi) atau interpersonal skill

merupakan kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan

dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial,

berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan ini untuk mempengaruhi

dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, serta untuk

bekerja sama dalam tim.

Kecerdasan emosional menurut Robbins dan Judge (2008) terdiri dari lima

dimensi, yaitu (a) kesadaran diri sendiri (self-awareness); (b) pengelolaan diri sendiri

(self-management); (c) motivasi diri sendiri (self-motivation); (d) empati (empathy); dan

(e) kecakapan sosial (social skills).

3. Dimensi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional seperti diuraikan sebelumnya secara harfiah didefinisikan

sebagai serangakaian kemampuan yang digunakan untuk mengelola dan memanfaatkan

emosi secara cerdas. Terkait dengan hal tersebut, berikut akan diuraikan tentang

komponen-komponen kecerdasan emosional yang berupa keterampilan yang

dikembangkan menurut para ahli, diantaranya menurut Robbins dan Judge (2008)

membagi kecerdasan emosional ke dalam lima dimensi yaitu: a) Self-awareness

(Kesadaran Diri) - selalu sadar terhadap apa yang dilakukan dan dirasakan, b) Self-

management (Pengaturan Diri) - Kemampuan mengelola emosi dan dorongan-dorongan

anda sendiri, c) Self-motivation (Motivasi Diri), merupakan kemampuan bertahan dalam

menghadapi kemunduran dan kegagalan, d) Empathy (Empati) merupakan kemampuan

untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, serta e) Social Skills (Keterampilan

Sosial), merupakan kemampuan untuk mengendalikan emosi terhadap orang lain.

27

Sementara itu, Peter Salovey (Goleman, 2009) dengan berlandaskan pada teori

Gardner (1983) membagi kecerdasan emosional ke dalam lima wilayah utama, antara

lain:

a) Mengenali emosi diri.

Merupakan pondasi kecerdasan emosional yang didefinisikan sebagai

kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Terdapat tiga

indikator dalam aspek mengenali diri ini, antara lain: (1) mengenal dan merasakan

emosi sendiri, (2) memiliki kepercayaan diri, (3) mengenal kelemahan dan kelebihan

sendiri.

b) Mengelola Emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan terungkap dengan

tepat. Aspek mengelola emosi ini memilii enam indikator, antara lain: (1) bersikap

toleran terhadap toleransi, (2) mampu mengendalikan marah secara lebih baik, (3) dapat

mengendalikan perilaku agresif yang dapat merusak diri dan orang lain, (4) memiliki

perasaan positif tentang diri sendiri dan orang lain, (5) memiliki kemampuan untuk

mengatasi stress, dan (6) dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas.

c) Memotivasi Diri

Memotivasi diri berarti mampu mengendalikan kecemasan, memiliki pola pikir

yang positif, optimisme, mampu mencapai keadaan flow yaitu keadaan ketika seseorang

sepenuhnya terserap dan memusatkan perhatiannya ke dalam apa yang sedang

dikerjakannya, serta kesadaran menyatu dengan tindakan. Aspek motivasi diri sendiri

memuat tiga indikator, yaitu: (1) mengendalikan impuls, (2) bersikap optimis, (3)

mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan.

d) Mengenali Emosi Orang Lain

Mengenali emosi orang lain merupakan kemampuan untuk membaca perasaan

orang lain yang ditampilkan melalui isyarat-isyarat yang ditangkap. Kemampuan ini

diidentikkan dengan kemampuan berempati yang diartikan sebagai “keterampilan

bergaul” dasar. Aspek mengenali meosi ini memiliki tiga indikator, yaitu: (1) mampu

menerima sudut pandang orang lain, (2) memiliki sikap empati atau kepekaan terhadap

orang lain, dan (3) mampu mendengarkan orang lain.

e) Membina Hubungan dengan Orang Lain

28

Membina hubungan dengan orang lain merupakan kecakapan emosional yang

mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan orang lain. Aspek ini memiliki sembilan

indikator antara lain: (1) memahami pentingnya membina hubungan dengan orang lain,

(2) mampu menyelesaikan konflik dengan orang lain, (3) memiliki kemampuan untuk

berkomunikasi dengan orang lain, (4) memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul

dengan teman sebaya, (5) memiliki sikap tenggang rasa, (6) memiliki perhatian terhadap

kepentingan orang lain, (7) dapat hidup selaras dengan kelompok, (8) bersikap senang

berbagi dengan kelompok, dan (9) bersikap demokratis.

Adapun untuk mengukur variabel kecerdasan emosional yang digunakan dalam

penelitian ini, peneliti merujuk komponen kecerdasan emosional yang dikemukakan

oleh Goleman (McPheat, 2010) menguraikan kompetensi dalam kecerdasan emosi ke

dalam empat kompetensi, antara lain:

a) Self Awareness (Kesadaran Diri) yaitu mengetahui apa yang kita rasakan pada saat

itu, dan menggunakan pengungkapan perasaaan itu untuk membantu menarik

kesimpulan; memiliki pemahaman yang realistis terhadap kemampuan diri kita serta

memiliki sebuah kepercayaan diri yang kuat. Adapun kemampuan ini meliputi: (a)

emotional self-awareness (kesadaran emosi diri), (b) accurate self-assessment

(ketepatan penilaian diri), dan (c) self-confidence (kepercayaan diri).

b) Self-Management (Pengelolaan Diri) merupakan kemampuan untuk menangani

emosi sehingga emosi tidak ikut campur melainkan memfasilitasi; memiliki

kemampuan untuk menunda kesenangan dalam pencapaian tujuan; bangkit dari

tekanan emosional (keterpurukan); menanggulangi kesedihan dan memilih tindakan

yang benar untuk meraih kesuksesan. Pengelolaan diri ini terdiri atas: (a) self-

control (kontrol diri), (b) trustworthiness (kepercayaan), (c) conscentiousness

(mendengarkan kata hati), (c) adabtability (kemampuan menyesuaikan diri), (d)

achievement orientation (tujuan pencapaian), (e) initiative (inisiatif).

c) Social Awareness (Kesadaran Sosial) merupakan kemampuan untuk merasakan

perasaan orang lain; memahami situasi dari sudut pandang orang lain; menjalin

hubungan dengan orang yang berbeda-beda. Adapun kesadaran sosial ini meliputi:

(a) empathy (empati), (b) organizational awareness (kesadaran berorganisasi), (c)

service orientation (bertujuan untuk melayani).

29

d) Social Skills (Keterampilan Sosial) didefinisikan sebagai kemampuan untuk

mengelola emosi dalam rangka sebagai penghormatan kepada orang lain; mampu

membaca intrik yang terjadi dari interaksi sosial; mampu berinteraksi di lingkungan

sosial dengan baik; serta mampu menggunakan serangkaian keahlian ini untuk

mempengaruhi, membujuk, menegosiasikan, bahkan memimpin. Adapun yang

termasuk dalam keahlian sosial ini meliputi: (a) influence (mempengaruhi orang

lain); (b) leadership (kepemimpinan), (c) developing others (mengembangkan orang

lain), (d) communication (komunikasi), (e) change catalyst (katalisator perubahan),

(f) conflict management (pengelolaan konflik), (g) building bonds (ikatan untuk

memberdayakan), (h) teamwork and collaboration (kerjasama dan kolaborasi).

Berdasarkan uraian teori-teori yang mendukung tentang kecerdasan emosional,

maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional diperlukan sebagai penyeimbang

kehidupan yang memuat kesadaran terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain,

bersikap empati, kasih sayang, motivasi, dan kemampuan untuk merespon suasana

kegembiraan dan kesedihan secara tepat sehingga dapat menunjang keberhasilan dan

kesuksesan hidup seseorang.

D. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan Organizational Citizenship Behavior

(OCB) sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal

seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.

Organ (2006) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang bersifat bebas, yang

tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem imbalan formal dan dapat

meningkatkan efektivitas fungsi-fungsi organisasi.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu

yang mendalam yang melebihi tuntutan peran di tempat keja dan ganjaran oleh

perolehan pelaksanaan tugas. Organizational Citizenship Behavior (OCB) melibatkan

beberapa perilaku seperti perilaku menolong orang lain, menjadi sukarelawan untuk

tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan atau prosedur-prosedur di tempat kerja,

30

perilaku ini menggambarkan nilai tambah pegawai, ia merupakan salah satu bentuk

perilaku pro sosial yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna

membantu (Aldag & Resekhe,1997; Ackfeldt & Coote, 2003; Organ, 1988;

Schnake,1991).

Berdasarkan definisi seperti yang telah diuraikankan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa OCB merupakan (1) Perilaku yang bersifat sukarela, bukan

tindakan terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi; (2)

Perilaku individu sebagai perwujudan dari kepuasan berdasarkan prestasi yang tidak

diperintahkan secara formal; dan (3) Tidak berkaitan secara langsung dan terang-

terangan dengan sistem dan reward yang formal.

Selanjutnya Organizational Citizenship Behavior (OCB) pertama kali di ajukan

oleh Organ (1997) yang menyatakan bahwa terdapat lima dimensi yaitu (1) Altruism,

yaitu perilaku membantu pegawai lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang

berkaitan erat dengan kegiatan organisasional; (2) Civic Virtue yaitu hal yang

menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi

baik seccara profesional maupun secara sosial alamiah; (3) Cortesya, ialah perilaku

meringankan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain; dan

(4) Sportmanship, ialah berisi tentang pantangan yang membuat issue yang merusak.

2. Dimensi- Dimensi OCB

Pengukuran Organizational Citizenship Behavior (OCB) telah dikembangkan,

satu di antaranya ialah yang telah disempurnakan dan memiliki kemampuan

psikometrik yang baik adalah skala yang dikembangkan Aldag dan Resekhe (1997),

yang mengukur kelima dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) seperti

berikut.

a. Altruisme, yaitu menggantikan rekan kerja yang tidak masuk seperti membantu

orang lain yang pekerjaannya overload; membantu orientasi pegawai baru;

membantu tugas orang lain pada saat mereka tidak masuk; dan meluangkan waktu

membantu orang lain berkaitan dengan masalah pekerjaan.

b. Civic virtue, yaitu partisipasi atau dukungan secara profesional maupun sosial

alamiah seperti tidak menyimpan informasi/ kejadian maupun perubahan dalam

31

organisasi; mengikuti perubahan dan perkembangan dalam organisasi; membaca

danmengikuti pengumuman organisasi; dan membuat pertimbangan dan menilai apa

yan terbaik untuk organisasi.

c. Conscientioueness, yaitu kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standard

minimum, seperti tiba lebih awal sehingga siap bekerja pada saat di mulai; tepat

waktu setiap hari tidak peduli pada musim dan lalu lintas; berbicara seperlunya

dalam percakapan telpon; tidak menghabiskan waktu untuk berbicara di luar

pekerjaan dan datang segera jika diperlukan.

d. Coertesy, yaitu perilaku meringankan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan

yang dihadapi orang lain seperti menberi perhatian terhadap fungsi yang menbantu

pencitraan organisasi; memberikan perhatian terhadap pertemuan yang dianggap

penting; dan membantu mengatur kebersamaan dalam organisasi.

e. Sportmanship, yaitu kemauan untuk bertoleransi tanpa mengeluh seperti tidak

mencari-cari kesalahan dalam organisasi; tidak mengeluh tentang segala sesuatu;

dan tidak membesar-besarkan masalah diluar proporsinya.

3. Manfaat OCB

Organisasi yang berfungsi efektif membutuhkan karyawan yang tidak hanya

bekerja sesuai tugasnya, tetapi juga melakukan hal-hal diluar deskripsi pekerjaan. Hal

ini dapat dicapai apabila organisasi dapat mengembangkan Organzational Citizenship

Behavior (OCB).

OCB merupakan konsep yang penting karena memberikan keuntungan kepada

organisasi, yaitu membuat organisasi tempat menarik untuk bekerja dan rekan kerja. Hal

ini disebabkan rekan kerja yang ramah dan penuh pertimbangan.

Podsakoff dkk. (2000) menyatakan bahwa Organizational Citizenship Behavior

(OCB) berpengaruh terhadap prestasi organisasi yaitu (1) Karyawan yang menolong

rekan kerja akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya dan pada gilirannya

meningkatkan produktivitas rekan tersebut dan (2) Seiring dengan berjalannya waktu

perilaku membantu yang ditunjukkan oleh pegawai akan menyebarkan best practice

keseluruh organisasi (kelompok unit kerja) yaitu:

32

Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan produktivitas

pimpinan organisasi atau manager, yaitu (1) pegawai yang menampilkan civic akan

membantu pimpinan mendapatkan saran dan umpan balik yang berharga dari pegawai

tersebut untuk meningkatkan efesiensi organisasi; (2) pegawai yang sopan yang

menghindari terjadinya konflik dengan rekan kerja akan membantu pimpinan terhindar

dari krisis pengeloaan

Organizational Citizenship Behavior (OCB) menghemat sumber daya yang

dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan, yaitu (1) jika pegawai saling

tolong menolong dalam menyelesaikan masalah dalam pekerjaan, maka tidak perlu

melibatkan pimpinan, konsekuensinya pimpinan dapat memakai waktu untuk tugas

lainnya, seperti membuat perencanaan; (2) pegawai yang menampilkan

consentioussness yang tinggi hanya memerlukan pengawasan minimal dari pengawas

dan pimpinan sehingga pimpinan dapat mengelegasikan tanggung jawab yang lebih

besar; (3) pegawai lama yang membantu pegawai baru dalam berbagai hal dalam

melakukan orientasi akan membantu organisasi berjalan lebih efektif dan efisien; (4)

pegawai baru yang memperlihatkan sportsmanship akan dapat menolong pimpinan,

tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan–keluhan

karyawan.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) dapat menjadi sarana yang efektif

untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja yaitu (1) keuntungan dari

perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril (morale) dan kerekatan

(cohesiveness) kelompok sehingga anggota kelompok tidak perlu menghabiskan energi

dan waktu untuk memelihara fungsi kelompok; dan (2) pegawai yang menampilkan

courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok kerja, sehingga

organisasi berjalan lebih efektif.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan stabilitas kinerja

organisasi yaitu (1) membantu tugas pegawai lain yang tidak masuk kerja atau yang

mempunyai beban kerja akan meningkatkan stabilitas (dengan cara mengurangi

variabilitas) dari kinerja dalam kelompok; (2) pegawai yang conscientiousness cendrung

mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi

variabilitas pada unit kerja.

33

Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan kemampuan adaptasi

dengan perubahan lingkungan yaitu: (1) Pegawai yang mempunyai hubungan dekat

dengan rekan kerja dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi

di lingkungannya dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan tersebut,

sehingga pegawai lain dapat beradaptasi dengan cepat; (2) Pegawai yang aktif hadir

dalam rapat organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting yang

berkembang dalam organisasinya; dan (3) Pegawai yang menampilkan concentiousness

misalnya kesediaan memikul tanggung jawab baru di luar walaupun dia harus

mempelajari keahlian baru yang dapat meningkatkan kemampuan organisasi.

4. Karakteristik Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Ada bebrbagai karakteristik yang dapat menggambarkan organizational

citizenship behaviour. Menurut Organ (2006), OCB memiliki lima dimensi primer,

yaitu:

1. Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-

tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi organisasi.

2. Courtesy, yaitu perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan dengan

pekerjaan yang dihadapi orang lain.

3. Sportsmanship berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu-isu yang

merusak meskipun merasa jengkel.

4. Conscientiousness, yaitu kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standar

minimum.

5. Civic Virtue menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-

fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial ilmiah.

Dimensi altruism dan courtesy berkaitan dengan hubungan langsung individu

dengan individu dan berhubungan pula dengan perusahaan secara tidak langsung.

Sementara dimensi conscientiousness, sportsmanship, dan civic virtue berhubungan

langsung dengan masalah-masalah perusahaan.

Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan Organizational Citizenship Behavior

(OCB) sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal

seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.

34

Podsakoff et al (dalam Rahmi, 2013) menjelaskan OCB mempengaruhi keefektifan

organisasi karena beberapa alasan diantaranya yaitu OCB dapat membantu

meningkatkan produktivitas rekan kerja dan manajerial, serta dapat meningkatkan

stabilitas kinerja organisasi.

D. Kerangka Penelitian

Berdasarkan kajian teori di atas, maka kerangka penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Variabel budaya kerja, kecerdasan

emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB), serta kinerja mengajar guru.

Hubungan antara masing-masing variabel diberikan pada gambar seperti berikut:

Gambar 2.2: Model Hubungan Budaya Kerja, Kecerdasan Emosional, dan

Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan Kinerja Guru

Secara Teoritis

Berdasarkan model kerangka konseptual pada gambar 2.2 tersebut dapat

dijelaskan beberapa pola hubungan, yaitu: a) budaya kerja berhubungan langsung

dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan kecerdasan emosional, b)

kecerdasan emosional berhubungan langsung dengan kinerja guru, c) Organizational

Citizenship Behavior (OCB) berhubungan langsung dengan kinerja guru, d) budaya

kerja berhubungan tidak langsung dengan kinerja guru melalui OCB, e) budaya kerja

berhubungan tidak langsung dengan kinerja guru melalui kecerdasan emosional.

Berdasarkan kerangka mnodel teoritik sebagaimana tergambarkan diatas

(gambar 2.2) maka model tersebut menjadi model awal penelitian ini yang akan diuji

melalui penelitian ini.

Budaya Kerja

Kecerdasan Emosional

Organizational

Citizenship Behavior

(OCB)

Kinerja Mengajar

Guru

35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara budaya kerja,

kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan kinerja

mengajar guru-guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara. Untuk mencapai

tujuan tersebut penelitian ini menggunakan metode deksriptif-kuantitatif. Metode

deskriptif artinya metode ini digunakan untuk menggambarkan fakta (expost facto) yang

sedang berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan dapat membuat tafsiran yang

tepat (Nazir, 2005). Metode deskriptif dapat memberikan gambaran fenomena-

fenomena, menunjukkan hubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan serta

mendapatkan makna implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan (Nazir, 2005).

Sedangkan kuantitatif artinya jenis data yang dikumpulkan dan diolah melalui

perhitungan struktur teori untuk membangun model penelitian serta hipotesis-

hipotesisnya, dan memerlukan pengujian secara kuantitatif dan statistik (Hartono,

2004).

Penelitian ini termasuk penelitian korelasional, yakni menjelaskan hubungan

antara variabel berdasarkan teori dan penelitian-penelitian terdahulu dan data empiris

(Cooper & Schindler, 2003). Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini termasuk

penelitian survei, dan dilihat dari pengendalian variabel termasuk penelitian bukan

eksperimen (Sukarmin, 2010).

Variabel-variabel yang akan diuji hubungannya dalam penelitian ini meliputi :

Kinerja guru (Y), budaya kerja (X1), Kecerdasan emosional (X2), dan Organizational

Citizenship Behavior (OCB) (X3). Variabel-variabel tersebut terdiri dari empat variabel

eksogen (variabel bebas) dan satu varibel endogen (variabel terikat). Variabel eksogen

adalah variabel yang tidak dipengaruhi atau tidak diprediksi oleh variabel lain dalam

suatu model, sedangkan variabel endogen adalah variabel yang dipengaruhi (diprediksi)

oleh satu atau beberapa variabel eksogen dalam satu model. (Ferdinand, 2002).

36

Variabel endogen dalam penelitian ini adalah kinerja guru (Y), sedangkan

variabel eksogen adalah kepemimpinan instruksional budaya kerja (X1), Kecerdasan

emosional (X2), dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) (X3).

Penelitian ini, untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu, budaya

kerja (X1), Kecerdasan emosional (X2), dan Organizational Citizenship Behavior

(OCB) (X3) dengan variabel terikat, yaitu kinerja guru (Y). Karena penelitian ini

difokuskan untuk mengetahui kemampuan prediksi variabel-variabel eksogen (varibel

bebas) terhadap variabel endogen (variabel terikat), dan juga untuk mengetahui model

konstruk variabel yang memiliki hubungan signifikan, maka tehnik analisis data yang

digunakan adalah tehnik analisis SEM ( Structural Equation Model).

Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1 Rancangan Penelitian

B. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh subjek yang dikaji (Arikunto, 2002) atau

dengan kata lain seluruh penduduk yang dimaksudkan akan diteliti (Hadi, 1984), atau

dapat pula diartikan sebagai kelompok yang menjadi sasaran penelitian dalam usaha

untuk memperolehi informasi dan menarik kesimpulan (Abdulla, 1964). Oleh karena

itu, populasi pada penelitian ini adalah seluruh guru sekolah dasar negeri di Kecamatan

Banjarmasin Utara sebanyak 634 orang yang tersebar di 48 sekolah dasar.

Sampel penelitian adalah sebagian populasi yang dapat mewakili seluruh

populasi yang ada (Arikunto, 2002). Hadi (1984) menyatakan sampel adalah bagian dari

populasi atau jumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi, dapat juga disebut

Budaya Kerja

(X1)

Kecerdasan Emosional

(X2)

Organizational

Citizenship Behavior

(OCB) (X3)

(X3)

Kinerja Mengajar

Guru (Y)

37

sebagai kelompok representatif dari populasi. Selain itu, menurut Sudjana (1990),

jumlah anggota sampel tidak ada ketetapan yang pasti. Namun Hadi (1984) menyatakan

pada umumnya sampel minimum untuk penelitian deskriptif adalah 10 sehingga 20

persen dari populasi. Mengingat karakteristik sampel, heterogenitas populasi dan

penyebarannya serta tujuan penelitian, maka teknik penarikan sampel yang digunakan

adalah proporsional random sampling.

Proporsional digunakan untuk mendapatkan subjek sampel yang mempunyai

proporsi yang sama untuk masing-masing wilayah dengan ketentuan, responden adalah:

(1) Guru yang mengajar di sekolah dasar negeri. Sekolah dan guru-guru di sekolah

negeri mendapat kemudahan dan fasiltas dari Negara dan memiliki kesempatan yang

sama dalam pengembangan kariernya; (2) Guru yang telah mengajar di sekolahnya

sekurang-kurangnya 1 tahun. Waktu 1 tahun merupakan masa yang dianggap cukup

untuk mengenal tingkah laku kepemimpinan kepala sekolah di sekolahnya (Kingstrom

& Mainstone, 1985); (3) Guru yang berada di sekolah yang kepala sekolahnya telah

mengabdi sekurang-kurangnya 2 tahun. Masa 2 tahun merupakan masa yang dianggap

cukup bagi kepala sekolah untuk menjalankan kepemimpinan di sekolahnya.

Sampel diambil berdasarkan beberapa ketentuan yang disarankan oleh Hair dkk.

(2006) yaitu (1) Model SEM yang memilikii ≤ 5 konstuk terdiri dari 3 item indikator

atau lebih, dan memiliki komunaliti yang tinggi (≥ .60), maka jumlah sampel yang

diperlukan ialah 100-150; (2) jika nilai komunaliti sederhana (.40-.45), atau model SEM

memiliki konstruk dengan jumlah indikator kurang dari 3 item, maka jumlah sampel

yang diperlukan adalah sekitar 200; (3) jika nilai komunaliti rendah, atau model SEM

memiliki konstruk dengan jumlah indikator kurang dari 3 item, maka jumlah sampel

yang diperlukan adalah 300 atau lebih; dan (4) jika nilai komunaliti besar (≥ 6),

beberapa konstruk yang memiliki jumlah indikator kurang dari 3 item, dan nilai

komunaliti rendah, maka jumlah sampel yang diperlukan 500 atau lebih.

C. Instrumen Penelitian

Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka diperlukan

alat pengumpul data yang disebut instumen. Semua data dari variabel di atas

dikumpulkan dengan instrumen dalam bentuk angket/kuesioner dan instrument

pengamatan/ lembar observasi.

38

1. Pengembangan Instrumen

a. Angket Variabel Budaya Kerja

Angket untuk variable budaya kerja di rancang sesuai dengan definis

oeparasional yang mengacu pada teori Dimensi budaya organisasi dapat dibahagikan

kepada dua dimensi yaitu (1) Dimensi lingkungan luar (external environments); yang

didalamnya terdapat lima perkara asas yaitu: mission and strategy; goals; means to

achieve goals; measurement; correction), (2) Dimensi integrasi internal (internal

integration) yang mencakup: common language; group boundaries for inclusion and

exclusion; distributing power and status; developing norms of intimacy, friendship, and

love; reward and punishment; explaining and explainable: ideaology and religion)

(Schein, 2004). Hal sama juga dikemukakan oleh Luthans (2007) mengetengahkan enam

ciri penting budaya organisasi, yaitu: (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms;

(3) dominant values; (4) philosophy; (5) rules; (6) organization climate; (an overall

“feeling”). Komponen-komponen budaya tersebut pada dasarnya sama dengan apa yang

dikemukakan oleh McNamara (2002) mengemukakan pendapat bahwa dari sudut input,

budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum,

kompetensi dan sebagainya. Dari sudut proses, budaya organisasi menjurus kepada

asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang: uang, waktu, manusia, kemudahan dan

ruang. Apabila dilihat dari sudut output berhubungan dengan impak budaya organisasi

kepada perilaku organisasi, teknologi, strategi, produk dan sebagainya (Kreitner &

Kinicki, 2007).

Dengan konsep tersebut maka pengembangan instrumen budaya kerja disusun

kisi-kisi sebagai berikut:

Tabel 3.1 Pengembangan Instrumen Variabel Budaya Kerja

Variabel Sub Variabel Indikator

Budaya Kerja

1) external environments

a) mission and strategy;

b) goals; means to achieve goals;

c) measurement; correction)

2) internal integration

a) common language;,

b) group boundaries for inclusion and

exclusion;

39

c) distributing power and status;

d) developing norms of intimacy

e) friendship, and love;

f) reward and punishment;

a) explaining and explainable:

b) ideaology and religion

b. Angket Variabel Kecerdasan Emosional

Angket ini dibuat peneliti sendiri dengan mengacu kepada definisi operasional

yang diperoleh dari uraian teori kecerdasan emosional seperti diuraikan pada bagian

kajian pustaka penelitian ini. Sementara itu, tujuan penyusunan angket ini adalah untuk

mendapatkan data-data terkait gambaran kecerdasan emosional guru SD yang dijadikan

responden, oleh karena itu dalam penyusunannya menggunakan skala Likert yang terdiri

dari empat opsi penilaian dari positif sampai negatif yaitu Selalu dengan skor 4, Sering

dengan skor 3, Kadang-Kadang dengan skor 2, dan Tidak Pernah dengan skor 1.

Tabel 3.2 Pengembangan Instrumen Variabel Kecerdasan Emosi

Variabel Sub Variabel Indikator

Kecerdasan

Emosional

3) Self-Awareness

(Kesadaran Diri

d) Kesadaran emosi diri

e) Ketepatan penilaian diri

f) Percaya diri

4) Self-Management

(Pengelolaan Dri)

g) Kontrol diri

h) Kepercayaan

i) Mendengarkan kata hati

j) Adaptabilitias

k) Tujuan pencapaian

l) Inisiatif

5) Social-Awareness

(Kesadaran Sosial)

c) Empati

d) Kesadaran berorganisai

e) Bertujuan melayani

6) Social Skills

(Keterampilan Sosial

a) Mempengaruhi orang lain

b) Kepemimpinan

40

c) Mengembangkan orang lain

d) Komunikasi

e) Katalisator perubahan

f) Pengelolaan konflik

g) Ikatan untuk memberdayakan

h) Kerja sama dan kolaborasi

(dikembangkan dari teori Goleman, dan dimodifikasi dari Uno, 2005)

c. Angket Variabel Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

Angket Organizational Citizenship Behaviour dikembangkan berdasarkan pada

teori yang dikembangkan oleh Aldag & Resekhe (1997); Ackfeldt & Coote )2003);

Organ, (1988); dan Schnake, (1991) yang pada prinsipnya menyatakan bahwa

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu yang

mendalam yang melebihi tuntutan peran di tempat keja dan ganjaran oleh perolehan

pelaksanaan tugas. Organizational Citizenship Behavior (OCB) melibatkan beberapa

perilaku seperti perilaku menolong orang lain, menjadi sukarelawan untuk tugas-tugas

ekstra, patuh terhadap aturan-aturan atau prosedur-prosedur di tempat kerja, perilaku ini

menggambarkan nilai tambah pegawai, ia merupakan salah satu bentuk perilaku pro

sosial yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu.

Selanjutnya dinyatakan bahwa terdapat lima dimensi OCB yaitu (1) Altruism, yaitu

perilaku membantu pegawai lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan

erat dengan kegiatan organisasional; (2) Civic Virtue yaitu hal yang menunjukkan

partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi baik seccara

profesional maupun secara sosial alamiah; (3) Cortesya, ialah perilaku meringankan

masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain; dan (4)

Sportmanship, yang berisi tentang pantangan yang membuat issue yang merusak.

Berdasarkan konsep OCB yang dikemukakan oleh ahli tersebut maka

dikembangkan kisi-kisi Instrumen untuk variabel Organizational Citizenship Behaviour

dalam penelitian ini sebagaimana terlihat pada table di bawah ini.

41

Tabel 3.3 Pengembangan Instrumen Variabel

Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

No. Variabel Indikator

1 Organizational

Citizenship

Behaviour (X4)

Altruism

Courtecy

Conscientiousness

Sportmanship

Civic Virtue

d. Angket Variabel Kinerja Guru

Instrument variable kinerja guru dikembangkan dengan mengacu pada alat

penilaian yang sudah di berlakukan di lingkungan Pendidikan/sekolah yaitu yang

dikenal dengan nama Alat Penilaian Kompetensi Guru (APKG). Berdasarkan APKB

tersebut disusun kisi-kisi instrument variable kinerja sebagai berikut:

Tabel 3. Pengembangan Instrumen Variabel Kinerja Guru

No. Variabel Indikator

1 Kinerja Guru

(Y)

Perencanaan Pembelajaran (Y1)

Pelaksaanaan Kegiatan Pembelajaran (Y2)

Penilaian Pembelajaran ( Y3)

Hubungan Antar Pribadi (Y4)

2. Uji coba Instrumen

Angket yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini terdiri

dari empat komponen. Angket yang digunakan dalam mengumpulkan data harus sahih

(valid) dan dapat dipercayai (reliable). Oleh karena itu perlu dilakukankan uji coba

instrumen. Uji coba akan dilakukan kepada 50 guru sekolah dasar. Untuk menguji

42

kesahihan instrument (instrument validity) digunakan kesahihan isi (content validity)

dan kesahihan item (item validity).

a. Validitas Instrumen

Untuk mengukur validitas instrumen digunakan validitas isi dan kontruk,

validitas isi merujuk pada derajad ketercakupan konsep yang akan di ukur (Babbie,

1986).

Kesahihan isi (content validity) instrument diuji konsep teoritik yang menjadi

acuan penyusunan instrumen. Instrumen akan benar-benar memiliki validitas isi, jika

terpenuhi prinsip-prinsip variable dan sub variable sesuai dengan konsep teori yang

diacu.

Untuk menguji kesahihan item (item vadility) digunakan statistic product

moment correlation dengan melihat nilai item-total correlation. Sebuah item didalam

konstruk dikatakan sahih (valid) apabila memiliki nilai item-to-total correlation di atas

.50 dan inter-item correlation di atas .30 (Nunnally, 1979; Azwar, 1986).

Pengujian validitas dilakukan dengan teknik korelasi Product Moment yang

dikemukakan oleh Pearson dengan rumus angka kasar sebagai berikut.

( )( )2222 )()(

))((

ååååå å å

--

-=

YYNXXN

YXXYNrxy

dengan:

rxy = koefisien korelasi

N = jumlah responden

X = skor butir

Y = skor total

Adapun perhitungan validitas instrumen dihitung menggunakan bantuan aplikasi

SPSS 21. Sementara hasil validitas dapat dilihat dengan membandingkan hasil yang

terdapat pada kolom corrected item-total correlation dengan nilai r tabel untuk jumlah

sampel uji try out sebanyak 30 orang dan taraf signifikansi 5% yaitu 0,361. Berdasarkan

acuan tersebut, sebuah item dikatakan valid apabila nilai corrected item-total

correlation lebih besar serta bertanda positif dari 0,361.

43

b. Uji Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas menurut Singarimbun, et al (2008: 57) adalah suatu istilah yang

dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten

apabila pengukuran dilakukan dua kali atau lebih. Reliabilitas instrumen dalam

penelitian ini didasarkan atas internal consistency, yang dihitung dengan menggunakan

rumus Koefisien Alpha dari Cronbach. Hal ini dilakukan karena data dari instrumen

menggunakan skala Likert. Adapun pengujian reliabilitas kuisioner menggunakan rumus

alpha dari Cronbach yaitu ÷÷

ø

ö

çç

è

æ-÷

ø

öçè

æ

-=

å2

2

1 11

t

i

s

s

k

kr

yang dianalisis menggunakan

bantuan aplikasi SPSS 21.0, dimana:

1r = Reliabilitas tes

k = mean kuadrat antara subjek

∑ 2

is = mean kuadrat kesalahan

2

ts = variansi total

Sementara itu, Salimun (2002:143) menyatakan bahwa instrumen dapat

dikatakan andal (reliabel) apabila memiliki koefisien keandalan reliabilitas (Cronbach

Alpha) hitung ≥ 0.600. Sehingga perhitungan reliabilitas dilakukan setelah perhitungan

validitas. Oleh karena itu, hanya butir ítem yang valid yang dianalisis.

Uji reliabilitas instrumen dimaksudkan untuk mengetahui adanya konsistensi

alat ukur, atau dengan kata lain alat ukur tersebut memiliki konsistensi apabila

digunakan berkali-kali pada waktu yang berbeda tetapi hasilnya sama.

Sedangkan untuk menguji tingkat keterandalan (reliability) angket digunakan

Cronbach’s alpha Coefficiency Test. Angket dikatakan keterandalan (reliable) apabila

memiliki nilai Koefisyen alpha Cronbach di atas .70 (Nunnally, 1979; Azwar, 1986).

Untuk memudahkan dalam perhitungan digunakan software statistic SPSS 15. Angka

1 sampai dengan 5 merupakan jenjang skor setiap pernyataan. Artinya, jika responden

untuk suatu pernyataan memilih jawaban angka 5, maka skor jawaban tersebut 5. Jika

responden memilih angka jawaban 1 maka skor jawaban tersebut 1, begitu seterusnya.

Sehingga, jika responden menjawab keseluruhan pernyataan (20 butir) yang diberikan,

maka skor indek berkisar antara 20 dan 100.

44

D. Pengumpulan Data

Pengumpulkan data penelitian tentang budaya kerja, kecerdasan emosional dan

Organizational Citizenship Behavior (OCB) digunakan angket (kuesioner) sedangkan

untuk mengumpulkan data tentang kinerja guru digunakan tehnik observasi. Penelitian

deskriptif, konsep atau kontruk variabelnya harus dijabarkan kedalam pertanyaan-

pertanyaan dalam bentuk kuesioner (Gay,1987). Kuesioner adalah metode pengumpulan

data dengan menggunakan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh orang yang

menjadi responden dalam penelitian.

Angket (kuesioner) yang digunakan berbentuk skala likert yang meenyediakan

alternatif jawaban yang mendapat skor 1 sampai dengan 5, yang dibagikan kepada

responden untuk dijawab/diisi oleh guru-guru yang menjadi responden. Untuk

menghindari subjektivitas responden terhadap kuesioner, maka sebelum kuesioner

dibagikan terlebih dahulu dijelaskan bahwa pernyataan yang diberikan tidak akan

mempengaruhi statusnya sebagai guru, dan diminta menyebutkan identitas diri.

Observasi digunakan untuk menggali data tentang kinerja guru, lembar observasi

diisi oleh kepala sekolah dengan asumsi bahwa kepala sekolah sebagai atasan dari

responden yang memiliki pekerjaan melekat dalam tugas kesehariannya memiliki

kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap kinerja guru dalam pembelajaran yang

menjadi bawahannya.

Pemberian skor tentang kinerja guru dalam pembelajaran dalam penelitian ini

menggunakan lembar observasi yang penilaiannya diisi oleh kepala sekolah dengan

skor penilaian sebagai berikut:

Ya = 1

Tidak = 0

a. Jenis Data

Penelitian ini menggunakan data interval yang diperoleh melalui instrument atau

alat ukur dengan skala likert, yaitu data tentang budaya kerja, kecerdasan emosional dan

Organizational Citizenship Behavior (OCB), dan kinerja guru.

45

Gerungan (1991) menyatakan bahwa cara-cara yang dapat dipakai untuk

mengukur sikap antara lain: (1) keadaan langsung dimana orang secara langsung

diminta pendapat atau tanggapan mengenai objek tertentu, biasanya disampaikan secara

lisan pada waktu wawancara. (2) metode tak langsung, yaitu orang diminta supaya

menyatakan dirinya mengenai objek sikap yang diselidiki, tetapi secara tidak langsung,

misalnya menggunakan tes psikologi. (3) metode tes terstruktur, yaitu metode

pengukuran yang menggunakan skala sikap yang dikembangkan terlebih dahulu

menurut prinsip-prinsip tertentu, seperti metode Limkert, Thurstone atau Guttman. (4)

metode tes tak terstruktur, yaitu dengan wawancara, daftar pertanyaan biasanya untuk

pentelidikan bibliografi atau karangan (Gerungan, 1991).

Sedangkan Azwar (1986) berpendapat bahwa, metode pengukuran sikap yang

dianggap dapat diandalkan dan dapat memberikan penafsiran terhadap sikap manusia

adalah pengukuran melalui skala sikap (attitude scale). Skala sikap bertujuan untuk

menentukan kepercayaan, respons, atau perasaan seseorang. Terhadap suatu objek.

Suatu skala sikap merupakan suatu kumpulan pernyataan sikap yang berkenaan dengan

objek sikap. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat mengenai objek sikap yang

diukur (Azwar, 1986). Pada penelitian ini data diambil dengan menggunakan skala (skal

likert), karena mudah dianalisis secara kauantitatif (Azwar, 1986).

b. Memasukkan Data

Setelah pengumpulan data selesai, tahap berikutnya adalah memasukkan (entry)

data hasil entry dan tabulasi data, kemudian digunakan untuk uji lebih lanjut dengan

menggunakan software Amos 6.0 untuk mengetahui hasil model pengukuran

(measurement model) dan model structural (structural model) SEM.

E. Analisis Data

Prosedur analisis data meliputi deskriptif data, pengukuran model/ measurement

model, dan statistik infrensial seperti diuraikan berikut:

1. Analisis Deskriptif

46

Analis deskriptif digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang

deskripsi masing-masing variabel, yaitu gambaran tentang budaya kerja, kecerdasan

emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan kinerja guru sekolah

dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara.

Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan

fenomena-fenomena yang ada dari suatu data.

Data yang terkumpul dideskripsikan dengan menyajikan persentasi jawaban

responden terhadap masing-masing butir dan membuat tabulasi data untuk masing-

masing variabel yang dilakukan terhadap skor data yang diperoleh. Kemudian langkah

selanjutnya data diproses dengan program The Statistical Packages For Social Sciences

(SPSS) untuk mendapat mean, distribusi frekuensi, dan statistik standar deviasi

(standard deviation statistics) (Nazir, 2005). Analisis deskriptif digunakan untuk

mendeskripsikan data-data variabel penelitian dalam bentuk nilai rata-rata (X), rata-rata

ideal (Mi), simpangan baku ideal (Sdi), serta visualisasi data berupa tabel dan grafik.

Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

b. Median

Rumus yang digunakan untuk menghitung median adalah:

Median =

Jika nilai rata-rata aktual lebih besar atau sama dengan median, berarti pada

konstruk tersebut tergolong tinggi atau baik. Sebaliknya apabila nilai rata-rata lebih

kecil dari nilai median berarti konstruk tersebut dinilai kurang. Gambaran distribusi data

masing-masing konstruk dilakukan dengan menggunakan histogram. Perhitungan

histogram dibantu dengan software SPSS.

Distribusi data akan dicocokkan ( fitted) dengan distribusi normal. Apabila

terpenuhi maka, maka dapat diberikan interpretasi bahwa peluang skor di sekitar rata-

rata adalah tinggi atau baik.

c. Persentasi

Rumus yang digunakan adalah:

Persentasi = x 100%

47

Keterangan:

F= Frekuensi responden dalam satu katagori

N= Jumlah keseluruhan responden

Penentuan kriteria, setiap konstruk mengacu pada ketentuan berikut:

Skor Kategori

0% - 24% Sangat rendah

25% - 49% Rendah

50% - 69% Sedang

70% - 89% Tinggi

90% - 100% Sangat tinggi ( Sugiono, 2000)

d. Rerata

Untuk memperoleh skor rerata bagi sekelompok responden digunakan

rumus sebagai berikut: Me =

Keterangan :

Me = Mean (Rerata)

= Sigma (baca jumlah)

Xi = Nilai x ke i ( i = 1,2,...n )

N = Jumlah individu/responden (Sudjana, 1998; Sugiono, 2000).

2. Model Pengukuran dan Model Struktur

Measurement Model adalah proses pemodelan dalam penelitian yang diarahkan

untuk menyelidiki unidemensionaliti indikator-indikator yang menjelaskan sebuah

ondica atau sebuah ondicato laten (Ferdinand, 2002). Teknik pengujian model

pengukuran adalah melalaui Confirmatory Faktor Analysis (CFA) untuk konstruk

masing-masing.

Tujuan analisis model pengukuran adalah untuk mengetahui model yang

sepadan/fit yaitu yang dapat menjelaskan item-item dalam kuesioner tersebut sesuai

dengan kontruk variabel yang diteliti. Konstruk yang hendak diuji secara konfirmatori

dalam penelitian ini adalah konstruk yang terdiri atas lebih dari satu variabel, yaitu:

48

budaya kerja, kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB),

dan kinerja guru.

Pedoman yang dipakai dalam Confirmatory Faktor Analysis adalah nilai

Loading Faktor lebih beasar 0.4 atau lambda value yang lebih kecil dari 0.05

(Ferdinand, 2002). Nilai yang tidak memenuhi kedua syarat tersebut tidak digunakan

dalam analisis berikutnya.

Konstruk yang hendak diuji secara konfirmatori dalam penelitian ini digambar

dalam ondicat jalur. Beberapa ketentuan yang ada pada penggambaran diagram jalur

adalah:

a. Anak panah satu arah digunakan untuk melambangkan hubungan sebab akibat yang

biasanya merupakan hipotesis penelitian.

b. Anak panah dua arah digunakan untuk melambangkan korelasi antara dua variabel

eksogen dan mungkin juga korelasi antara dua indicator.

c. Bentuk elips, digunakan untuk melambangkan suatu konstruk yang tidak diukur

secara langsung.

d. Bentuk kotak, melambangkan variabel yang diukur langsung.

e. Huruf e, melambangkan ralat pada masing-masing pengamatan.

49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Analisis Deskriptif

Kuesioner diberikan kepada guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara. Jumlah

kuesioner yang kembali ke peneliti adalah 89 dari 100 ekslemplar, dengan response

rate sebesar 89%. Kuesioner yang kembali tersebut kemudian disaring dan diteliti

kelengkapan datanya. Terdapat sembilan buah kuesioner yang tidak lengkap dan

tidak sesuai dengan kriteria responden yang ditetapkan dalam penelitian ini. Jadi,

jumlah kuesioner yang digunakan (usable rate sebanyak 80%) untuk pengolahan data

adalah 80 eksemplar.

Berdasarkan hasil survei, menunjukkan bahwa responden laki-laki

mendominasi paling banyak, yaitu 42 responden (52,5%), dibandingkan dengan

responden perempuan yang hanya berjumlah 38 responden (47,5%). Tingkat usia

produktif 20-35 tahun (60%) dan responden berusia 36-44 tahun (22,5%), serta

responden yang berusia 44 tahun keatas (17,5%), dapat disimpulkan bahwa mayoritas

responden relatif berusia muda dan produktif, yaitu di antara usia 20-35 tahun

sehingga kinerja yang ditampilkan cenderung lebih baik.

Pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan, wawasan, dan tingkat

kepercayaan diri dari responden dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal tersebut

dikarenakan faktor pendidikan sangat penting untuk meningkatkan kemampuannya.

Berdasarkan hasil survey, tingkat pendidikan responden D2 sebanyak 13 orang

(16,2%), S1 mendominasi sebanyak 61 responden (76,3%), dan S2 sebanyak 6

responden (7,5%). Mayoritas responden berpendidikan sarjana sehingga akan

cenderung mampu bekerja dengan tingkat kesulitan dan tanggung jawab yang lebih

tinggi.

50

60%

82.80%

72%64.30%

39.70%

76.41%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

Usia Muda S1/S2 Budaya K.Emosi OCB Kiner ja

Gambar 4.1 Karakteristik Responden dan Persepsinya

Dari gambar tersebut di atas Nampak bahwa kecenderungan yang searah yaitu

pada guru yang usia nya muda dan masih tergolong produktif ternyata juga rata-rata

memiliki Pendidikan yang lebih baik. Kondisi tersebut juga berkaitan dengan budaya

kerja mereka juga cenderung tinggi, demikian juga pada kecerdasan emosi yang pada

gilirannya memberi dampat pada kinerja mengajar juga cenderung tinggi. Secara

kualitatif dapat dilihat bahwa data usia produktif memiliki potensi untuk

dikembangkan kompetensinya melalui Pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan yang

tinggi memiliki kecenderungan kemampuan untuk memiliki kompetensi dan

kebiasaan kerja yang membentuk budaya kerja yang baik serta kemampuan

mengendalikan emosinya dalam komunikasinya di tempat kerja. Kemampuan budaya

kerja dan pengendalian emosi inilah yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap

kinerjanya dalam mengajar. Hal ini sudah diyakin oleh para ahli dan berbagai

penelitian bahwa Pendidikan menjadi cara yang strategis dalam mengembangkan

kecerdasan emosi dan social serta kompetensi kerja yang baik.

Budaya kerja guru berdasarkan prilaku di lingkungan SD Kecamatan

Banjarmasin Utarayang dipersepsikan oleh guru-guru menghasilkan skor minimum

40, skor maksimum 75, skor total sebanyak 5.028, skor rata-rata sebesar 60,84

51

standar deviasi skor sebesar 8,424, dan variasi skor sebesar 70,971. Dengan

mengkonversikan dalam tiga skala tingkatan (tinggi, sedang dan rendah).

Berdasarkan rataan hitung yang diperoleh dari skor budaya kerja dilihat dari prilaku

orientasi tugas pada guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara diketahui sebagian kecil

responden (55 orang atau 28%) beraktegori sedang dan sebagian besar responden (64

orang 72%) berkategori tinggi. Hal tersebut terlihat dalam grafik sebagaimana

tergambar di bawah :

Gambar 4.2 Kategori Budaya Kerja Guru

Kecerdasan emosional guru berdasarkan prilaku di lingkungan SD Kecamatan

Banjarmasin Utara yang dipersepsikan oleh guru-guru menghasilkan skor minimum

39, skor maksimum 75, skor total sebanyak 4.833, skor rata-rata sebesar 60,05

standar deviasi skor sebesar 8,997, dan variasi skor sebesar 80,944. Dengan

mengkonversikan dalam tiga skala tingkatan (tinggi, sedang dan rendah).

Berdasarkan rataan hitung yang diperoleh dari skor kecerdasan emosional dilihat dari

prilaku orientasi tugas pada guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara diketahui

sebagian kecil responden (30 orang atau 33,7%) berkategori sedang dan sebagian

besar responden (59 orang 64,3%) berkategori tinggi. Hal tersebut terlihat dalam

grafik sebagaimana tergambar di bawah ini.

52

Gambar 4.3 Kategori Kecerdasan Emosional Guru

Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru berdasarkan prilaku di

lingkungan SD Kecamatan Banjarmasin Utara yang dipersepsikan oleh guru-guru

menghasilkan skor minimum 49, skor maksimum 82, skor total sebanyak 5.332, skor

rata-rata sebesar 70,05 standar deviasi skor sebesar 10,267, dan variasi skor sebesar

105,410. Dengan mengkonversikan dalam tiga skala tingkatan (tinggi, sedang dan

rendah). Berdasarkan rataan hitung yang diperoleh dari skor Organizational

Citizenship Behavior (OCB) dilihat dari prilaku orientasi tugas pada guru SD

Kecamatan Banjarmasin Utara diketahui sebagian kecil responden (54 orang atau

60,7%) berkategori sedang dan sebagian besar responden (35 orang 39,3%)

berkategori tinggi. Hal tersebut terlihat dalam grafik sebagaimana tergambar di

bawah ini.

53

Gambar 4.4 Kategori OCB Guru

Kinerja guru berdasarkan prilaku di lingkungan SD Kecamatan Banjarmasin

Utara yang dipersepsikan oleh guru-guru menghasilkan skor minimum 149, skor

maksimum 236, skor total sebanyak 25.719, skor rata-rata sebesar 185,10 standar

deviasi skor sebesar 18,68, dan variasi skor sebesar 349,137. Dengan

mengkonversikan dalam tiga skala tingkatan (tinggi, sedang dan rendah).

Berdasarkan rataan hitung yang diperoleh dari skor kinerja guru dilihat dari prilaku

orientasi tugas pada guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara diketahui sebagian kecil

responden (21 orang atau 23,59%) berkategori sedang dan sebagian besar responden

(68 orang 76,41%) berkategori tinggi. Hal tersebut terlihat dalam grafik sebagaimana

tergambar di bawah ini.

54

Gambar 4.5 Kategori Kinerja Guru

B. Hasil Uji Asumsi Structural Equation Model (SEM)

Pada analisis data dengan SEM menggunakan software AMOS 21.0, harus

dipenuhi persyaratan asumsi-asumsi, antara lain ukuran sampel, normalitas data dan

outlier. Untuk ukuran sampel, tidak boleh terlalu kecil (minimal 75) dan tidak boleh

terlalu besar (maksimum 400).

Uji normalitas data dapat dilakukan baik menggunakan software SPSS 17.0

atau AMOS 21.0. pada perhitungan menggunakan AMOS 21.0, harga nilai z dapat

dilihat pada output di kolom critical ratio (c.r) yang dinilai tidak boleh lebih besar

dari +/-2,58. Dari hasil analisa data, untuk semua indicator memliki harga critical

ratio (c.r) yang masih dalam rentang -2,58 sampai dengan +2,58 sehingga dapat

disimpulkan data berdistribusi normal. Dengan data berdistribusi normal ini

kemudian dapat diteruskan untuk diolah lebih lanjut.

Pada uji outlier, diketahui apakah ada nilai-nilai ekstrim baik secara univariant

maupun multivariant. Untuk univariant dari hasil analisis data, tidak ada z-score

dengan nilai ≥4,0, sehingga dapat dinyatakan bahwa data bebas outlier secara

univariant. Sedangkan untuk multivariant, dari hasil analisis data, dihasilkan jarak

mahalanobis terendah 39,152 dan tertinggi 67,501 (lebih kecil dari chi-square tabel

69,364) yang menunjukkan bahwa tidak ada responden yang termasuk outlier

55

multivariant, sehingga tidak bias dilakukan interprestasi terhadap hasil pengujian

lebih lanjut.

C. Hasil Uji Unidimensionalitas Konstruk dengan Indikator

Uji Unidimensionalitas ini merupakan analisis untuk validitas isi (content

validity) dari masing-masing item dari indicator terhadap konstruk atau variable laten

melalui confirmatory faktor analysis (CFA). Analisis ini dengan melihat nilai-nilai

hasil analisis untuk bobot regresi yang standarisasi (loading faktor) yang diestimasi

harus >0,5 dan nilai p-value yang harus <0,05. Bila hasil analisis nilai loading faktor

< 0,5 maka perlu dibuang atau dihilangkan.

Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh item instrument

yang menjadi indicator-indikator dari variable budaya kerja, kecerdasan emosional,

Organizational Citizenship Behavior (OCB), dan kinerja guru adalah signifikan

(bermakna), dengan nilai p (p-value) di bawah 0,05. Artinya seluruh item

instrumentasi yang menjadi indicator-indikator dari variable budaya kerja, kecerdasan

emosional, Organizational Citizenship Behavior (OCB), dan kinerja guru tersebut

dapat dipakai dalam pengujian dan tidak ada yang dihilangkan/dibuang, karena

mempunyai nilai loading faktor < 0,5.

Hasil confirmatory faktor analysis (CFA) pada analisis undimensionalitas

untuk semua konstruk dalam penelitian ini telah memenuhi persyaratan nilai-nilai

cut-off goodness of fit yang direkomendasikan, yang meliputi nilai-nilai untuk chi-

square Probabilitas, CMIN/DF, GFI, AGFI, CFI, TLI, dan RMSEA. Dengan

demikian konstruk variable budaya kerja, kecerdasan emosional, Organizational

Citizenship Behavior (OCB), dan kinerja guru memiliki unidimensionalitas yang

dapat diterima.

Hasil uji analisis konfirmatori untuk ke empat variable yang digunakan dalam

penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

56

1. Budaya Kerja (X1)

Gambar 4.6 Analisis Faktor Konfirmatori Variabel Budaya Kerja

Gambar di atas menunjukan bahwa keunggulan hubungan (X1.1); external

environments dan (X1.2); internal integration memiliki dimensi yang sama dalam

membentuk konstruk budaya kerja (BK). Hal tersebut dapat dilihat pada nilai lambda

yang ditunjukkan oleh masing-masing variabel dimensi harus lebih besar atau sama

dengan 0.40 (Ferdinand, 2002), karena apabila nilai lambda kurang dari 0.40 maka

variabel dipandang tidak berdimensi sama dengan variabel lainnya untuk menjelaskan

sebuah variabel laten.

2. Kecerdasan Emosional

Gambar 4.7 Analisis Faktor Konfirmatori Variabel Kecerdasan Emosional

57

Gambar di atas menunjukan bahwa keunggulan hubungan (X2.1); Kepercayaan

diri (self-Awareness), (X2.2); Pengelolaan Diri (Self-Management, (X2.3) Kesadaran

Sosial (Social Awareness), dan (X2.4) Keterampilan Sosial (Social Skills) memiliki

dimensi yang sama dalam membentuk konstruk budaya kerja (BK). Hal tersebut dapat

dilihat pada nilai lambda yang ditunjukkan oleh masing-masing variabel dimensi harus

lebih besar atau sama dengan 0.40 (Ferdinand, 2002), karena apabila nilai lambda

kurang dari 0.40 maka variabel dipandang tidak berdimensi sama dengan variabel

lainnya untuk menjelaskan sebuah variabel laten.

3. OCB

Gambar 4.8 Analisis Faktor Konfirmatori Variabel OCB

Gambar di atas menunjukan bahwa keunggulan hubungan (X3.1); Altuism, (X3.2);

Courtecy, (X3.3) Concientiousness, (X3.4) Sportmanship dan (X3.5) Civic Virtue

memiliki dimensi yang sama dalam membentuk konstruk budaya kerja (BK). Hal

tersebut dapat dilihat pada nilai lambda yang ditunjukkan oleh masing-masing variabel

dimensi harus lebih besar atau sama dengan 0.40 (Ferdinand, 2002), karena apabila

nilai lambda kurang dari 0.40 maka variabel dipandang tidak berdimensi sama dengan

variabel lainnya untuk menjelaskan sebuah variabel laten

58

4. Kinerja Guru

Gambar 4.9 Analisis Faktor Konfirmatori Variabel Kinerja Guru

Gambar di atas menunjukan bahwa keunggulan hubungan (X4.1);

Perencanaan Pembelajaran, (X4.2); Pelaksanaan Pembelajaran, (X4.3) Penilaian

Pembelajaran, dan (X4.4) hubungan antar pribadi memiliki dimensi yang sama

dalam membentuk konstruk budaya kerja (BK). Hal tersebut dapat dilihat pada nilai

lambda yang ditunjukkan oleh masing-masing variabel dimensi harus lebih besar

atau sama dengan 0.40 (Ferdinand, 2002), karena apabila nilai lambda kurang dari

0.40 maka variabel dipandang tidak berdimensi sama dengan variabel lainnya untuk

menjelaskan sebuah variabel laten

D. Hasil Uji Model Struktural

Hasil uji goodness of fit model untuk model structural awal menunjukkan

bahwa sebagian besar criteria yang dihasilkan mempunyai kategori kurang baik.

Hasil ini terutama dikarenakan nilai chi-square yang dihasilkan masih terlalu tinggi

yaitu sebesar 1533,098 padahal untuk derajat kebebasan 317 yang ada pada model

awal tersebut, cut-off value untuk chi-square adalah 1533, 09. Sedangkan untuk nilai

probabilitasnya diperoleh hasil kurang dari 0,05 yaitu sebesar 0,0000 (prob < 0,05),

sedangkan nilai cut-off yang direkomendasikan adalah p≥0,05.

59

Tabel 4.1: Analisis SEM Terhadap Model Struktur Penelitian

Hubungan Antar Variabel Estimate Critical Ratio P Ket

Kecerdasan

Emosional <-- Budaya Kerja 6.018 0.705 .000 Signifikan

OCB <-- Budaya Kerja 7.006 0.638 .000 Signifikan

Kinerja guru <-- Kecerdasan

Emosional 6.743 0.631 .000 Signifikan

Kinerja guru <-- OCB 5.571 0.639 .000 Signifikan

Kinerja guru <-- Budaya kerja 6.065 0.528 .000 Signifikan

Penafsiran terhadap hasil analisis SEM di atas didasarkan pada tiga kriteria, yaitu

Estimates, Critical Ratio, dan Probability. Untuk keperluan pengujian hipotesis

dilakukan dengan kriteria critical ratio lebih dari 2.58 pada taraf signifikansi 1%

persentasi atau 1.96 untuk signifikansi sebesar 5%.

E. Hasil Uji Hipotesis

Berikut adalah laporan hasil uji statistik SEM, untuk menguji keenam hipotesis

dalam penelitian ini.

1. Hipotesis Pertama

Uji regresi dalam model struktur SEM digunakan untuk menguji hipotesis H1.

Maka hipotesis tersebut adalah seperti berikut:

H01: : Tidak terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan kecerdasan

emosional guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara

Analisis uji regresi dalam model struktur SEM menunjukkan bahwa nilai critical

ratio yaitu 0.705. Oleh karena nilai p ≤ .05, yaitu .0,000. Berdasarkan analisis ini, maka

hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan

kecerdasan emosional guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara adalah

ditolak. Ini berarti terdapat hubungan yang positif dan signifikan budaya kerja dengan

kecerdasan emosional guru.

60

2. Hipotesis Kedua

Uji regresi dalam model struktur SEM digunakan untuk menguji hipotesis Ha2.

Maka hipotesis tersebut adalah seperti berikut:

H02 : Tidak terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan

Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru sekolah dasar di

Kecamatan Banjarmasin Utara.

Analisis uji regresi dalam model struktur SEM menunjukkan bahwa nilai critical

ratio pada hubungan ini 0,638 dan nilai p > 0.05, yaitu 0.000. Berdasarkan analisis ini,

maka hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan budaya kerja dengan

Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru adalah ditolak. Ini berarti terdapat

hubungan yang positif dan signifikan budaya kerja dengan Organizational Citizenship

Behavior (OCB).

3. Hipotesis Ketiga

Uji regresi dalam struktur SEM digunakan untuk menguji hipotesis Ha3.

Ho3 : Tidak terdapat hubungan langsung kecerdasan emosional dengan

kinerja mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara

Analisis uji regresi dalam model struktur SEM menunjukkan bahwa nilai critical

ratio 0.631 dan nilai p > 0.05 yaitu 0.000. Berdasarkan analisis ini, maka hipotesis yang

berbunyi tidak terdapat hubungan kecerdasan emosional dengan kinerja mengajar guru

adalah ditolak. Ini berarti bahwa terdapat hubungan yang positif dan kecerdasan

emosional dengan kinerja mengajar guru.

4. Hipotesis Keempat

Uji regresi dalam model struktur SEM digunakan untuk menguji hipotesis:

H04 : Tidak terdapat hubungan langsung Organizational Citizenship

Behavior (OCB) dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar di

Kecamatan Banjarmasin Utara

Berdasarkan hasil uji regresi dalam model struktur SEM menunjukkan bahwa

nilai critical ratio 0,639 dan nilai p ≤ .05, yaitu 0,000. Berdasarkan analisis ini, maka

hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan Organizational Citizenship

Behavior (OCB) dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar negeri ditolak. Ini berarti

61

bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan Organizational Citizenship

Behavior (OCB) dengan kinerja mengajar guru.

5. Hipotesis kelima

Uji regresi dalam model struktur SEM digunakan untuk menguji hipotesis:

H04 : Tidak terdapat hubungan langsung Budaya Kerja dengan kinerja

mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara

Berdasarkan hasil uji regresi dalam model struktur SEM menunjukkan bahwa

nilai critical ratio 0,528 dan nilai p ≤ .05, yaitu 0,000. Berdasarkan analisis ini, maka

hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan Budaya Kerja dengan kinerja

mengajar guru sekolah dasar negeri ditolak. Ini berarti bahwa terdapat hubungan yang

positif dan signifikan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan kinerja

mengajar guru.

6. Hipotesis Keenam

Pengaruh langsung dari tiap tiap variabel yang terlibat dalam model struktur

SEM yaitu pengaruh langsung budaya kerja dengan kecerdasan emosional dan pengaruh

langsung budaya kerja dengan kinerja guru serta pengaruh langsung kecerdasan

emosional dengan kinerja yang digambarkan melalui diagram jalur seperti dalam

Gambar berikut.

Gambar 4.10: Hubungan budaya kerja, kecerdasan emosional dan kinerja guru

Ketiga-tiga hubungan langsung di atas seperti ditunjukkan pada Gambar 4.5 di

atas digunakan untuk menguji hipotesis Ha6. Hipotesis tersebut adalah seperti berikut:

62

H 06 : Tidak terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja

mengajar guru melalui kecerdasan emosional guru sekolah dasar di

Kecamatan Banjarmasin Utara.

Selanjutnya berdasarkan Gambar 4.9 di atas pengaruh total

budaya kerja terhadap OCB dengan formula Baron dan Kenny (1986)

seperti berikut:

Pengaruh tidak langsung = 0.705 x 0.631

= 0.445

Pengaruh langsung = 0.528

Pengaruh total = 0.973

Jika pengaruh langsung (0.705) dibandingkan nilai koefisien pengaruh total

budaya kerja dan kecerdasan emosional guru (0.973), terdapat perbedaan koefisien yang

signifikan (≥.08), maka hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan tidak

langsung budaya kerja dengan kinerja guru melalui kecerdasan emosional adalah

ditolak.

7. Hipotesis Ketujuh

Pengaruh langsung dari tiap tiap variabel yang terlibat dalam model struktur

SEM yaitu pengaruh langsung budaya kerja dengan OCB dan pengaruh langsung

budaya kerja dengan kinerja guru digambarkan melalui diagram jalur seperti dalam

Gambar berikut.

Gambar 4.11: Hubungan Budaya Kerja, OCB dengan kinerja guru

63

Ketiga-tiga hubungan langsung seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.6 di atas

digunakan untuk menguji hipotesis H07. Maka hipotesis tersebut adalah seperti berikut:

H 07 : Terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja

mengajar guru melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB)

guru sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara

Selanjutnya berdasarkan Gambar 4.9 di atas pengaruh total budaya kerja

terhadap OCB dengan formula Baron dan Kenny (1986) seperti berikut:

Pengaruh tidak langsung = 0.638 x 0.639

= 0.408

Pengaruh langsung = 0.529

Pengaruh total = 0.938

Jika pengaruh langsung (0.528) dibandingkan dengan nilai koefisien pengaruh

total budaya kerja dan OCB (0.936), terdapat perbedaan koefisien yang signifikan

(≥.08), maka maka hipotesis yang berbunyi bahwa tidak terdapat hubungan tidak

langsung budaya kerja dengan kinerja guru melalui Organizational Citizenship

Behavior (OCB di tolak.

Hasil uji hipotesis sebagaimana di uraikan tersebut di atas dapat di rangkum

sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1 Rangkuman Hasil Uji Hipotesis

No Hipotesis H0 Ha

1 Tidak terdapat hubungan langsung budaya kerja

dengan kecerdasan emosional guru sekolah dasar

di Kecamatan Banjarmasin Utara

Ditolak Diterima

2

Tidak terdapat hubungan langsung budaya kerja

dengan Organizational Citizenship Behavior

(OCB) guru sekolah dasar di Kecamatan

Banjarmasin Utara

Ditolak Diterima

3 Tidak terdapat hubungan langsung kecerdasan

emosional dengan kinerja mengajar guru sekolah

dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara

Ditolak Diterima

64

4

Tidak terdapat hubungan langsung

Organizational Citizenship Behavior (OCB)

dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar di

Kecamatan Banjarmasin Utara

Ditolak Diterima

5 Tidak terdapat hubungan langsung Budaya Kerja

dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar di

Kecamatan Banjarmasin Utara

Ditolak Diterima

6

Tidak terdapat hubungan tidak langsung budaya

kerja dengan kinerja mengajar guru melalui

kecerdasan emosional guru sekolah dasar di

Kecamatan Banjarmasin Utara

Ditolak Diterima

7

Tidak terdapat hubungan tidak langsung budaya

kerja dengan kinerja mengajar guru melalui

Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru

sekolah dasar di Kecamatan Banjarmasin Utara

Ditolak Diterima

F. Model Akhir Penelitian

Berdasarkan hasil analisis dan uji hipotesis dalam penelitian sebagaimana

digambarkan pada tabel di atas, maka model akhir sebagai temuan penelitian ini dapat

digambarkan sebagai berikut:

Kecerdasan

Emosional

(X2)

X2.1 X2.2 X2.3 X2.4

0.712 0.644 0.851 0.802

Budaya Kerja

(X1)

X1.1

X1.2

Kinerja

Mengajar

(Y)

Y1

Y2

Y3

Y4

0.850

0.797

0.874

0.882OCB

(X3)

X3.1 X3.2 X3.3 X3.4

0.721 0.563 0.664 0.741

X3.5

0.630

0.705

0.638

0.631

0.639

0.528

Gambar 4.12 Model Akhir Temuan Penelitian

65

Dari gambar akhir temuan hasil penelitian tersebut di atas jelas tergambar bahwa

budaya kerja memiliki hubungan langsung dengan kecerdasan emosional dan OCB. Dan

hubungan langsung budaya kerja dengan kinerja guru. Di samping itu ditemukan juga

bahwa kecerdasan emosional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB)

berhubungan langsung dengan kinerja. Sementara itu hasil lainnya adalah budaya kerja

berhubungan tidak langsung dengan kinerja melalui kecerdasan emosional dan

Organizational Citizenship Behavior (OCB).

G. Pembahasan

1. Budaya kerja dan kinerja

Budaya Kerja mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja

guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara. Hal ini disimpulkan karena dari hipotesis yang

dilakukan diperoleh persamaan regresi yaitu Y 2,852 + 0,256 X yang berarti nilai

konstanta sebesar 2,852 menunjukkan bahwa jika budaya tidak diperhatikan masih

terdapat kinerja pegawai walaupun kecil dalam ukuran satuan oleh faktor-faktor lain

yang tidak diteliti dalam penelitian ini, sedangkan koefisien regresi sebesar 0,256

menunjukkan bahwa jika budaya kerja diperhatikan atau terjadi peningkatan nilai

budaya kerja maka kinerja pegawai akan mengalami perubahan atau peningkatan.

Dengan demikian analisis ini menunjukkan bahwa variabel budaya kerja (X)

mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel kinerja (Y).

Pengaruh budaya kerja dengan kinerja guru SD Kecamatan Banjarmasin Utara ternyata

positif.

Hal ini dibuktikan dengan perhitungan nilai r sebesar 40% dimana pedoman

untuk memberikan interpretasi yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto berada pada

interval 0,0600 – 0,0800 yang termasuk dalam kategori cukup. Hal ini berarti bahwa

kenaikan atau penurunan nilai variabel X mengakibatkan peningkatan atau penurunan

nilai variabel Y. Nilai r tabel untuk taraf kesalahan 5% dengan n = 45 diperoleh 0,404.

Dan karna nilai rhitung > rtabel maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang positif

dan signifikan sebesar 40% antara Budaya Kerja dan Kinerja guru SD Kecamatan

Banjarmasin Utara.

66

Seperti yang dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:113) yang dikutip dari

Edgar H Schein mendefinisikan bahwa: Budaya Kerja adalah seperangkat asumsi atau

system keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang

dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah

adaptasi eksternal dan integrasi internal. Dengan kesadaran dan kesediaan seseorang

untuk mentaati semua peraturan, diharapkan pegawai yang bersangkutan akan

meningkat kinerjanya, dengan demikian Budaya Kerja harus ditegakkan dalam suatu

organisasi.

Temuan kajian ini juga mendukung pernyataan Kreitner dan Kinicki (2007)

bahwa budaya kerja sebagai perekat organisasi yang mengikat anggota organisasi

melalui nilai-nilai yang ditaati, peralatan simbol dan cita-cita sosial yang ingin dicapai.

Hal ini dipertegas Mondy (1993) bahwa budaya kerja sebagai sistem nilai, keyakinan

dan kebiasaan menghasilkan norma. Norma membentuk kebasaan kerja dalam bentuk

komitmen dan kebiasaan kerja berbasis norma, nilai, aturan organisasi termasuk standar

kerja organisasi. Hal inilah yang membntuk kinerja berkualitas sesuai harapan

organisasi. Hasil kajian lainnya yang selaras dengan temuan penelitian ini dinyatakan

oleh Sikorska-Simons (2005) yang menyatakan bahwa budaya organisasi menjadi

penentu komitmen organisasi anggota apabila organisasi dapat merealisasikan visi dan

misi organisasi yang memiliki kesesuaian dengan visi dan misi anggota organisasi. Hal

ini senada dengan temuan Domiri (2001) bahwa budaya organisasi yang dapat membuat

anggota-anggota senang, tertarik atau menyukai akan mendukung anggota organisasi

tersebut untuk menghasilkan performansi yang tinggi, sebagaimana diperkuat oleh

kajian Xenikou dan Simosi (2006) bahwa budaya organisasi memberikan pengaruh yang

positif dan signifikan terhadap performansi karyawan. Seperti juga ditegaskan oleh

Robbin dan Timothy (2008) budaya organisasi dapat meningkatkan komitmen dan

memiliki hubungan positif dengan kinerja seseorang. Oelh karena itu temuan penelitian

ini juga mendukung temuan Siburian (2013) bahwa budaya organisasi secara langsung

mempengaruhi komitmen guru, budaya organisasi yang baik akan tinggi pula komitmen

kerja guru.

67

Sehubungan dengan hal tersebut Schien (1997), menyatakan budaya kerja ialah

satu budaya dalam organisasi yang mengarah kepada suatu sistem makna bersama yang

dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan organisasi lain.

Budaya juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap dan cara hidup untuk

melakukan penyesuaian dan sekaligus cara untuk melihat persoalan dan

menyelesaikannya (Zamroni, 2003). Karena itu sebenarnya budaya kerja merupakan

nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan dijadikan sebagai

falsafah kerja staf/anggota-anggota dalam suatu organisasi (Djokosantoso Moelyono,

2003). Sementara Glinow dan McShane (2007) melihat budaya organisasi sebagai nilai,

asumsi bersama anggota-anggota organisasi. Hal ini senada dengan pernyataan Gibson,

Ivanicevic dan Donelly (2000) bahwa budaya organisasi merupakan asumsi, keyakinan,

nilai-nilai dan persepsi bersama anggota-anggota organisasi yang membentuk dan

memberi kesan ke atas sikap, perilaku, serta petunjuk dalam menyelesaikan masalah.

Dengan kata lain, kerja sama yang terjalin antara anggota yang memiliki unsur visi dan

misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka

mencapai tujuan tertentu (Nevizond, 2007). Sementara Luthans (2007) menyatakan

bahwa budaya organisasi mencakup keteraturan perilaku, norma, nilai, falsafah dan

aturan seperti asas/panduan bagi anggota-anggota untuk bekerja dalam organisasi.

Dengan demikian penelitian memperkuat penelitian-penelitian dan teori

sebelumnya yang telah dilakukan oleh para ahli seperti: Mondy (1993), Domiri (2001)

Domiri (2001), Sikorska-Simons (2005), Xenikou dan Simosi (2006), Kreitner dan

Kinicki (2007), Glinow dan McShane (2007), Luthans (2007), Robbin dan Timothy

(2008), Siburian (2013), Suriansyah (2010, 2017).

Oleh sebab itu dapat dinyatakan bahwa budaya kerja adalah kunci keberhasilan

suatu organisasi dalam mencapai tujuan sehingga dapat dikatakan bahwa Budaya Kerja

mempengaruhi kinerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang bermuara

pada peningkatan hasil belajar siswa.

2. Kecerdasan emosional dan kinerja

Hasil penelitian ini menunjukkan seluruh variabel independen berpengaruh

signifikan ter-hadap kinerja, hipotesis 1 didukung (β = 0,307; p <0,05). Kecerdasan

68

emosional memiliki banyak fungsi dengan mengetahui kapan dan bagaimana

mengekspresikan emosi sehingga hal tersebut dapat menjadi kontrol untuk setiap

individu dalam menjalankan aktivitas dan tuntutan pekerjaan pada organisasi.

Kecerdasan emosi juga merupakan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan

mengekspresikan emosi dengan tepat. Jika seorang karyawan mempunyai emosional diri

atau self awareness yang tinggi, maka akan bekerja dengan lebih baik dan bahkan

cenderung sesuai dengan standar yang ditetapkan organisasi, sehingga pada akhirnya

akan mencapai kinerja yang lebih baik.

Kecerdasan emosional dan kinerja memiliki hubungan dan saling terkait. Setiap

individu dalam suatu organisasi yang memiliki emosi baik, cenderung memiliki

kemauan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya, seperti yang dinyatakan

oleh Goleman (2000). Kecerdasan emosional merujuk pada kemam-puan mengenali

perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan

kemampuan mengelola emosi dengan baik serta dalam membina hubungan dengan

orang lain. Kerangka kerja kecerdasan emosional adalah kesadaran diri, pengaturan,

motivasi, empati dan ketrampilan sosial.

Hasil pengujian terbukti ada pengaruh signifikan kecerdasan emosional terhadap

kinerja. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dari aspek

self motivation atau kemampuan memotivasi diri sendiri (indikator dominan) perawat

rumah sakit, berdampak signifikan terhadap kualitas dan kuantitas (indikator dominan)

kinerja. Membuktikan teori yang mengatakan bahwa salah satu aspek dalam kecerdasan

emosi adalah motivasi. Memotivasi diri sendiri merupakan landasan keberhasilan dan

terwujudnya kinerja yang tinggi di segala bidang (Salovey dalam Goleman, 2001).

Sependapat dengan penelitian Boyatzis (1999) dan Chermiss (1998) dalam Trihandini

(2005) bahwa karyawan yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan

menghasilkan kinerja yang lebih baik yang dapat dilihat dari bagaimana kualitas dan

kuantitas yang diberikan karyawan tersebut terhadap tempat mereka bekerja.

Self motivation atau motivasi intrinsic yang dimiliki perawat mereka lebih totalitas

dalam memerankan tugas mereka, sekaligus membenarkan pernyataan Ormrod (2006)

bahwa seseorang yang memiliki motivasi intrinsic terhadap suatu aktivitas akan lebih

melibatkan diri sepenuhnya dalam aktivitas tersebut sehingga hasil kerja yang diperoleh

69

akan lebih maksimal. Bisa jadi disebabkan oleh ketertarikan mereka terhadap rutinitas

(asuhan keperawatan) yang berulang-ulang sehingga mendorong motivasi untuk

memahami dan menghayati aktivitas tersebut (Deci dalam Elliot dkk., 2000).

Penelitian ini juga memberikan makna bahwa para perawat sejauh ini mampu

mengenali perasaan (self awareness) dalam dirinya dan efeknya serta menggunakannya

untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, serta relatif memiliki tolak ukur yang

realistis mengenai kemampuan kerja, yang menjadikan mereka mempunyai kepercayaan

diri yang kuat. Kepercayaan diri yang kuat para perawat, realistis karena ditunjang oleh

tingkat kontrol diri mumpuni yang terbentuk melalui pengalaman pribadi dalam

merawat pasien dan learning proces lebih luas.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa apa yang ditemukan memperkuat teori

yang dibangun sebelumnya oleh para ahli serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang

ternyata memiliki konsistensi dan juga kesamaan sehingga hasil penelitian ini

memperkuat justifikasi penelitian terdahulu yang dilakukan oleh para ahli (Wong, 2002;

Lyons & Schneider, 2005; Trihandini, 2005). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

Edwardin (2006), (Salovey dalam Goleman, 2001). Sependapat dengan penelitian

Boyatzis (1999) dan Chermiss (1998) dalam Trihandini (2005), Ormrod (2006), Deci

dalam Elliot dkk (2000)

Penelitian ini juga menguatkan secara empirik temuan penelitian Dyan (2010),

dimana kecerdasan emosional yang dinyatakan dalam lima indikator yaitu kesadaran diri

(self awareness), pengaturan diri (self regulation), motivasi diri (self motivation),

kesadaran sosial (social awareness), dan ketrampilan sosial (social skill) secara

signifikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan

3. Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan kinerja

Hasil pengujian hipotesis ketiga menun-jukkan bahwa OCB berpengaruh positif

terha-dap kinerja, hipotesis 3 didukung (β = 0.220; p <0,05). Aktivitas menolong

rekan kerja lain akan mempercepat penyelesain tugas rekan kerjanya, dan pada

gilirannya meningkatkan produktivi-tas kinerja rekan tersebut. Seiring dengan ber-

jalannya waktu, kar-yawan dapat saling tolong menolong dalam menyelesaikan

masalah dalam pekerjaannya sehingga tidak mengganggu ki-nerjanya. Perilaku

70

membantu yang ditunjukkan karyawan akan berkontribusi meningkatkan ki-nerja

karyawan. Sebagai contoh, karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam

pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya

untuk keperluan tersebut. Selain itu, dapat juga membantu kar-yawan baru untuk

cepat mencapai target kinerja yang sudah di tentukan oleh Organisasi.

Perilaku menolong dapat meningkat-kan kedekatan emosional serta perasaan

saling memiliki diantara anggota organisasi, sehingga akan mempe-ngaruhi kinerja

karyawan. Selain itu, pengaruh tidak langsung bagi organisasi adalah membantu

organisasi mempertahankan karyawan yang memiliki kinerja baik. OCB juga

meningkatkan stabilitas kinerja karyawan. Karyawan yang menampilkan perilaku

conscien-tiousness diidentifikasi memiliki kesediaan untuk memikul tanggung jawab

baru dan mempelajari keahlian baru dengan meningkatkan kemampu-annya

beradaptasi dengan perubahan yang ter-jadi di lingkungannya. Hal tersebut

dikarenakan OCB sebagai perilaku dan sikap yang mengun-tungkan organisasi dan

tidak bisa ditumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal maupun dengan bentuk

kontrak atau rekompensasi. Jika dilihat lebih jauh, OCB merupakan faktor yang

memberikan sumba-ngan pada hasil kerja orga-nisasi secara keseluruhan (Organ,

1988).

Hasil analisis dan pembahasan di atas me-nunjukkan bahwa OCB mampu

meningkatkan kinerja karyawan. Hal ini mengindikasikan, bah-wa karyawan telah

membentuk perilaku OCB dalam dirinya, dapat dilihat dari sikap karyawan yang

berperilaku mengantikan orang lain dalam bekerja, berperilaku melebihi persyaratan

mini-mal, kemauan bertoleransi, terlibat dalam fung-si organisasi dan dapat

menyimpan informasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Khazaei dan

Khalkhali (2011) yang melakukan penelitian pada responden guru di Iran dengan

sampel sebanyak 358 orang. Penelitian tersebut menunjukkan, bahwa konstruk-

konstruk pembentuk variabel OCB berpengaruh signifikan pada kinerja. Konsisten

dengan penelitian Sani (2013), menyatakan adanya pengaruh positif antara keadilan

prosedural, komitmen organi-sasional dan kepuasan kerja terhadap kinerja, yang

dimediasi oleh OCB. Hal ini mendukung temuan, bahwa OCB memiliki peran yang

sig-nifikan untuk meningkatkan kinerja karyawan.

71

Hasil pengujian membuktikan adanya pengaruh signifikan OCB terhadap kinerja.

Hal ini memberikan makna bahwa OCB melalui sikap altruism atau sikap yang lebih

mementingkan orang lain (sebagai indikator dominan) yang dimiliki para perawat,

berkontribusi positif terhadap kinerja. Altruism perawat ini direpsentasikan dengan kerja

sukarela dalam meringankan tugas rekan kerja mereka, sehingga tidak ada tugas-tugas

keperawatan yang terbaikan meskipun perawat jaga sedang istrahat atau tidak berada di

tempat sekalipun. Selain itu dimanifestasikan dengan kesedian mereka membantu

perawat lain yang pekerjaannya overload, meskipun bukan menjadi bagian dari

kewajiban kerja formal yang harus mereka kerjakan. Salah satunya yang biasa dilakukan

yaitu memposisikan diri menjadi volunteer dari tugas perawat lainnya tanpa banyak

berharap pada reward.

Kepedualian sesama perawat tersebut untuk saling meringankan beban kerja,

memperlihatkan bahwa perawat di kedua rumah sakit penelitian cenderung

mengesampingkan sifat egosentrik, yang selama ini dilekatkan oleh masyarakat. Dalam

tataran inilah argumentasi Bolino dalam Sarwono dan Soeroso (2001) mengenai

pentingnya perawat “good citizen” (istilah lain dari OCB) dapat dijustifikasi, sebab

keberadaannya memberikan dampak positif pada organisasi atau kinerja kelompok,

paling tidak pada seting penelitian ini.

Sikap altruism juga mendorong partisipasi fungsional perawat melebihi standar

kerja yang diwajibkan sehingga menjadikan rumah sakit tempat mereka bekerja,

berfungsi secara efektif dalam menjalankan pelayanan kesehatan pada masyarakat.

Perawat benar-benar mendukung fungsi organisasi dengan menampilkan perilaku

altruistic (menolong) yang diekspresikan dalam bentuk tindakan-tindakan yang

menunjukkan sikap tidak mementingkan diri sendiri dan perhatian pada kesejahteraan

orang lain (Purba, 2003).

Podsakoff dkk. (2000) menyatakan bahwa Organizational Citizenship Behavior

(OCB) berpengaruh terhadap prestasi organisasi yaitu (1) Karyawan yang menolong

rekan kerja akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya dan pada gilirannya

meningkatkan produktivitas rekan tersebut dan (2) Seiring dengan berjalannya waktu

perilaku membantu yang ditunjukkan oleh pegawai akan menyebarkan best practice

72

keseluruh organisasi (kelompok unit kerja). Lebih lanjut dinyatakan Organizational

Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan produktivitas pimpinan organisasi atau

manager, yaitu (1) pegawai yang menampilkan civic akan membantu pimpinan

mendapatkan saran dan umpan balik yang berharga dari pegawai tersebut untuk

meningkatkan efesiensi organisasi; (2) pegawai yang sopan yang menghindari terjadinya

konflik dengan rekan kerja akan membantu pimpinan terhindar dari krisis pengeloaan

Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan stabilitas kinerja

organisasi yaitu (1) membantu tugas pegawai lain yang tidak masuk kerja atau yang

mempunyai beban kerja akan meningkatkan stabilitas (dengan cara mengurangi

variabilitas) dari kinerja dalam kelompok; (2) pegawai yang conscientiousness cendrung

mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi

variabilitas pada unit kerja.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan kemampuan adaptasi

dengan perubahan lingkungan yaitu: (1) Pegawai yang mempunyai hubungan dekat

dengan rekan kerja dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi

di lingkungannya dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan tersebut,

sehingga pegawai lain dapat beradaptasi dengan cepat; (2) Pegawai yang aktif hadir

dalam rapat organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting yang

berkembang dalam organisasinya; dan (3) Pegawai yang menampilkan concentiousness

misalnya kesediaan memikul tanggung jawab baru di luar walaupun dia harus

mempelajari keahlian baru yang dapat meningkatkan kemampuan organisasi.

Temuan dari studi ini sejalan kesimpulan dari studi-studi sebelumnya, salah

satunya yang dilakukan Podsakoff dan MacKenzie dalam Purba (2003), dimana OCB

dapat meningkatkan stabilitas kinerja dengan cara membantu tugas perawat yang tidak

hadir di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan

stabilitas (dengan cara mengurangi variabilitas) kinerja dari unit kerja. Serta linear

dengan kesimpulan penelitian Ariani (2008), dimana OCB merupakan perilaku positif di

tempat kerja yang mendukung kinerja individu dan keefektifan organisasi.

73

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan sebagaimana diuraikan pada bagian

terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Budaya kerja dan kinerja guru-guru yang menjadi sampel penelitian ini

tergolong tinggi, yaitu 72.3% guru-guru sampel penelitian ini memiliki budaya

kerja tinggi, sedangkan 74.41% guru-guru memiliki kinerja yang tergolong

tinggi. Tingkat kecerdasan emosi guru-guru dalam sampel penelitian ini

tergolong tinggi (64.3%) sedangkan OCB guru-guru masih tergolong sedang

yaitu 60.7%.

2. Terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan kecerdasan emosional guru

sekolah dasar

3. Terdapat hubungan langsung budaya kerja dengan Organizational Citizenship

Behavior (OCB) guru sekolah dasar

4. tTerdapat hubungan langsung kecerdasan emosional dengan kinerja mengajar

guru sekolah dasar

5. Terdapat hubungan langsung Organizational Citizenship Behavior (OCB)

dengan kinerja mengajar guru sekolah dasar

6. Terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru

melalui kecerdasan emosional guru sekolah dasar

7. Terdapat hubungan tidak langsung budaya kerja dengan kinerja mengajar guru

melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru sekolah dasar

74

B. Saran-saran

Berdasarkan hasil kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini, maka disarankan

hal-hal sebagai berikut:

1. Dinas pendidikan disarankan apabila menginginkan adanya peningkatan kinerja guru

dalam melaksanakan proses pembelajaran, maka hal yang harus menjadi perhatian

adalah menumbuh kembangkan budaya kerja melalui penciptaan dan pengkondisian

kecerdasan emosi dan organizational citizenship behaviour di sekolah. Untuk itu

maka segala kebijakan yang lahir dalam peningkatan kinerja diharapkan didasari

oleh penciptaan kondisi untuk tumbuh dan berkembangnya budaya kerja, kecerdasan

emosi dan organizational citizenship behaviour bagi guru-guru.

2. Pengawas sekolah disarankan untuk melakukan pembinaan dan pengembangan

budaya kerja, kecerdasan emosi dan organizational citizenship behaviour. Untuk itu

diperlukan pembinaan yang mengarah pada upaya menumbuh kembangkan suasan

yang mampu melahirkan ke tiga faktor tersebut. Hal ini penting karena berbagai

penelitian telah membuktikan pentingnya budaya kerja, kecerdasan emosi dan

organizational citizenship behaviour dalam mebentuk kinerja yang tinggi.

3. Kepala sekolah disarankan untuk selalu memberikan suasana untuk tumbuh dan

berkembangnya budaya kerja, kecerdasan emosi dan OCB bagi guru-guru dalam

kegiatan sekolah. Untuk itu maka pembinaan yang intensif dan menciptakan Susana

yang kondusif bagi guru dalam proses pembelajaran sangat penting untuk

menunjang peningkatan kinerja guru.

4. Bagi guru disarankan untuk memelihara dan menumbuhkembangkan budaya kerja,

dan OCB dalam rangka meningkatkan kinerja proses pembelajaran yang optimal,

sehingga dapat meningkatkan mutu hasil belajar.

75

DAFTAR RUJUKAN

Acar, A.Z. (2012). Organizational culture. Leadership style and organizational

commitment in Turkish logistics industry. Social and behavior sciences journal,

58, pp 217-226

Allen, N. J.&Meyer, J. P. (1990). The measurement and antecedents of affective,

continuance, and normative commitment to the organization, Journal of

Occupational and Organizational Psychology, 63, 1– 8.

Armstrong, M. & Baron. (2006). A Handbook of human resource management

practice 10th

edition. London dan Philadelphia: Kogan Page

Boyatzis, R,E, Ron, S. 2001. Unleashing the Power of Self Directed Learning,

Case Western Reserve University. USA: Cleveland, Ohio.

Cooper, R. K., dan Sawaf, A. 1999. Executive Emotional Intelligence: Kecerdasan

Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Darmawan, Didit. 2009. Motivasi dan Kinerja (Studi Sumber Daya Manusia).

Jakarta: Metromedia Printing.

Domiri. (2001). Pengaruh budaya perusahaan terhadap kepuasan kerja, komitmen

organisasi dan kinerja karyawan. Tesis program Studi Magister Manajemen,

Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Dyan S., Catarina. 2010. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Kecerdasan

Emosional terhadap Kinerja Karyawan (Studi pada Proyek Konversi Energi

Batubara PT Petrokimia Gresik). Tesis. Program Magister Manajemen

Universitas Brawijaya Malang.

Edwardin, Laras Tris A. S. 2006. Analisis Pengaruh Kompetensi Komunikasi,

Kecerdasan Emosional, dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan

(Studi pada PT POS Indonesia (Persero) se Kota Semarang). Tesis. Program

Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Elzbieta, S. Simons. (2005). Predictors of organizational commitment among staff in

assisted living, vol 45, no 2 pp 196-205

Fitriastuti, Triana. 2013. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Komitmen Organisasional

dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) terhadap Kinerja Karyawan.

Jurnal Dinamika Manajemen, Vol 4, No 2, hal 103-114.

76

Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intellegence: Kecerdasan Emosi

Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, D., Boyatzis, R., dan McKee, A. 2004. Primal Leadership: Realizing The

Power of Emotional Intelligence. Boston: Harvard Business School Press.

Hanzaee, Kanbiz Heidarzadeh dan Majid Mirvaisi. 2013. A Survey On Impact Of

Emotional Intelligence, Organizational Citizenship Behaviors And Job

Satisfaction On Employees' Performance In Iranian Hotel Industry.

Management Science Letters 3.

Hackman, J.R. & Oldham, G.R. (1976) Motivation through the Design of Work: Test

of a Theory. Organizational Behavior and Human Performance, 16, 250-279.

Huselid, M. A., & Day, N. E. (1991). Organizational commitment, job involvement,

and turnover: A substantive and methodological analysis. Journal of Applied

Psychology, 76, 380-391.

Jogiyanto, H.M. 2011. Konsep dan Aplikasi Structural Equation Modeling Berbasis

Varian dalam Penelitian Bisnis. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Khazaei, K. & Khalkhali, A. 2011. Relationship Be-tween Organizational Citizenship

Behavior and Performance of School Teachers in West of Mazandaran

Province. World Applied Sci-ences Journal. 13 (2): 324-330.

Kreitner, R. & Kenicki, A. (2007). Organizational behavior. New York: McGraw-

Hill International.

Lee, H.Y., & Ahmad, Bin K.Z. (2009). The moderating effects of organizational

culture on the relationships between leadership behavior and organizational

commitment and between organizational commitment and job satisfaction and

performance. Journal of leadership and organization development, vol 30 no 1

pp 53-86

Luthans, F. (2007). Organizational behavior. 11th

edition, New York USA: McGraw-

Hill International.

Lyons, J. B & Schneider, T. R. 2005. The Influence Of Emotional Intelligence On

Performance. Personality and Individual Differences. 39, Is-sue 4: 693-703.

McNamara, C. (2002). Organizational culture, the Management Assistance Program for

Nonprofits. (http://www.mapnp.org/library/orgthry /culture/culture.htm)

77

Mahesa, Deewar. 2010. Analisis Pengaruh Motivasi dan Kepuasan Kerja terhadap

Kinerja Karyawan dengan Lama Kerja sebagai Variabel Moderating (Studi

pada PT Coca Cola Amatil Indonesia Central Java). Skripsi. Fakultas Ekonomi

Universitas Diponegoro Semarang.

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2007. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia.

Bandung: PT Refika Aditama.

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Perilaku dan Budaya Organisasi

Cetakan Pertama. Malang : Remaja Rosda Karya.

Moeljono, D. (2003). Budaya korporat dan keunggulan korporasi. Jakarta: PT Elex

Media Komputindo

Mondy, R. W., & Noe, R. M. (1993). Human resource management. Massachusetts:

Allyn & Bacon.

Mowday, R.T., Porter, L.W. & Steers, R.M. (1982). Employee organizational

linkages. Academy Press, New York.

Navizond, C. (2007). Profil budaya organisasi. Bandung: Alfabito.

Nien, W. L & Hung, T. K. 2013. The effect of Emo-tional Intelligence on Job

Performance- Pro-fessional Commitment as a Moderator. Busi-ness and

Information. Bali

Nugroho, Agung Adityo. (2011). Pengaruh Kompensasi dan Budaya Kerja Terhadap

Kinerja Karyawan Pada PT. Pura Barutama Unit Offset Kudus. Jurnal.

Universitas Diponegoro.

Ormrod, J. E. 2006. Educational Psychology Developing Learners (5th ed).

USA: Merill Prentice Hall.

Organ, D. W., et all. 2006. Organizational Citizenship Behavior: Its Nature,

Antecedents,Consequences. California: Sage Publication.

Podsakoff, P.M., et all. 2000. Organizational Citizenship Behavior: A Critical Review

of Theoretical Empirical Literature and Suggestions for Future Research.

Journal of Management. 26, 3, 513-563.

Purba, Eflina, Debora dan Seniati, Liche, Nina, Ali. 2004. “Pengaruh Kepribadian

dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenzhip Behavior”.

Makara, Sosial Humaniora. Vol. 8, No. 3, Desember 2004: 105-111.

Rahmi, B. Maptuhah. 2013. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap

Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan Komitmen Organisasional

dengan Mediasi Kepuasan Kerja (Studi pada Guru Tetap SMA Negeri di

78

Kabupaten Lombok Timur). Tesis. Program Pascasarjana Universitas Udayana

Denpasar Bali.

Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.

Robbins, S. P., dan Judge, T. A. 2008. Perilaku Organisasi Edisi Ke-Duabelas.

Jakarta: Salemba Empat.

Robbins, S.P. (2007). Perilaku organisasi. Edisi translate. Jakarta: Prelindo

Sani, A. 2013. Role of Procedural Justice, Organizational Commitment, and Job

Satisfaction On Job Performance: The Mediating Effects of OCB. International

Journal of Business and Mangement. 8 (15): 57-67.

Schein, E.H. (2004). The Role of Foundation in creating organizational culture,

organizational dynamic. Summer:2004.

Siburian, T.A. (2013). The effect of interpersonal communication, organizational

culture, job satisfaction, and achievement motivation to organizational

commitment of state high school teacher in the district humbang hasunudan,

north sumatera. International journal of humanities and social science. Vol 3

Nomor 12 (special issu-Juni 2013)

Sarwono, Slamet S. dan Soeroso, Amiluhur. 2001. “Determinasi Demografi terhadap

Perilaku Karitatif Keorganisasian”. Jurnal Siasat Bisnis. JSB No. 6 Vol. 1 Th.

2001.

Soltani, Mahdi dan Hossein Rezai Dolat Abadi. 2015. Investigation The Influence Of

Emotional Intelligence And Organizational Citizenship Behavior On Labor

Productivity With Emphasis On The Mediator Role Of The Spiritual

Intelligence. International Research Journal Of Management Science. Vol 3

(3). 118-123.

Suriansyah, A. (2010). Quality work Culture: Case Study at Lambung Mangkurat

University, Banjarmasin Indonesia: Disertation: University Utara Malaysia

Suriansyah, A. (2014). Hubungan Budaya Sekolah, Komunikasi Dan Komitmen

Kerja Terhadap Kinerja Guru Sekolah Dasar Negeri. Jurnal Ilmu Pendidikan,

Malang: FIP UN Malang.

Suriansyah, A. (2018). Membangun Pendidikan Berkualitas Berbasis Budaya Kerja

Bermutu. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Lambung Mangkurat,

Tanggal 3 Desember 2018. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.

Sutrisno, Edy. 2011. Budaya Organisasi. Jakarta: Kencana.

79

Suyata. (1996). Budaya kualitas kerja dan penerapannya di lembaga pendidikan.

Jurnal Dinamika Pendidikan, 2(VIII), Yogyakarta: FIP.

Trigono. (1977). Budaya kerja. Jakarta: PT. Golden Terayon Press.

Tang, K. N. (2011). The effect of transformational leadership on school culture in

male primary school Maldives, Social and behavior sciences journal, vol 30, pp

2575-2580

Trihandini, Meirnayati, R.A Fabiola. 2005. “Analisis Pengaruh

Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap

Kinerja Karyawan (Studi Kasus di Hotel Horison Semarang)”. Tesis. Semarang:

Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas

Diponegoro. Melalui www.google.co.id/.

Wong, C. S., Wong, P. M & Law, K. S. 2005. The interaction effect of emotional

intelligence and emotional labor on job satisfaction: A test of Holland’s

classification of occupations. In C. E. J. Härtel, W. J. Zerbe, & N. M.

Ashkanasy (Eds.), Emotions in Organizational Behavior. Mah-wah, NJ:

Lawrence Erlbaum Associates, Inc

Xenikou. A. & Simosi. M (2006). Organizational culture and transformational

leadership as predictors of business unit performance. Journal of managerial

psychology, Vol 1 no 6 pp 566-579