Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
0
Kode/Nama Rumpun Ilmu : 251/Ilmu Kedokteran Hewan
LAPORAN HASIL
PENELITIAN HIBAH BERSAING
POTENSI PENGEMBANGAN METODE DIAGNOSIS BERBASIS GLIKOPROTEIN
VIRUS RABIES ISOLAT BALI SEBAGAI ANTIGEN
Tim Peneliti
Prof. Drh. Nyoman Mantik Astawa, Ph.D./ 000101048
Prof. Dr. Drh. GA Yuniati Kencana, MP/0005065911
Drh. Ida Bagus Kade Suardana, M.Kes /0007106304
Fakultas Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana
April 2015
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
RINGKASAN 2
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1. Latar belakang 3
1.2. Tujuan Khusus Penelitian 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Penyakit rabies 5
2.2. Virus Rabies dan Protein Penyusunannya 5
2.3. Propagasi Virus rabies pada kultur sel dan hewan Coba 7
2.4. Antibodi Monoklonal terhadap virus rabies 8
2.5 Diagnosis Laboratorium Penyakit Rabies 9
BAB III METODE PENELITIAN 9
3.1. Alur kerja Penelitian 9
3.2 Imunisasi Mencit 10
3.3. Pembuatan dan Pemurnian AbMo anti-glikoprotein Virus rabies 10
3.4 Karakterisasi AbMo 11
3.5 Pelabelan AbMo dengan FITC 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 12
4.1. Imunitas mencit terhadap antigen Rabies 12
4.2. Hasil Fusi Sel Mieloma dan Limfosit mencit kebal antigen rabies 12
4.3. Karakteristik AbMo 13
4.4. Pelacakan Virus Rabies pada otak anjing terinfeksi 15
BAB V RENCANA PENELTIAN PADA TAHUN KE II 17
5.1. Ttujuan peneltian 17
5.2. Metode penelitian 18
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 19
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 19
DAFTAR PUSTAKA 19
LAPORAN PENGGUNAAN ANGGARAN 24
2
RINGKASAN
Rabies merupakan penyakit zoonosis tertua di dunia dan sampai sekarang belum
dapat diatasi secara tuntas. Salah satu faktor penting yang menghambat upaya
pembertantasan dan pengendalian rabies di Indonesia tersedianya metode diagnosis yang
akurat dan cepat untuk penyakit rabies. Metode diagnosis berbasis glikoprotein virus rabies
isolat Bali diharapkan mmampu meningkatkan spesifisitas dan sensitivitas diagosis rabies
pada hewan. Tujuan penelitian pada tahun pertama adalah membuat dan memurnikan AbMo
terhadap glikoprotein virus rabies serta melabel AbMo untuk melacak virus rabies pada
hewan yang terinfeksi. Pembuatan bMo terhadap glikoprotein virus rabies dilakukan dengan
memfusikan antara sel mieloma dan limfosit pengahsil antibodi antirabies. Sel hibridoma
yang menghailkan AbMo terhadap glikoprotein virus rabies kemudian diperbanyak dengan
pada kultur sel hibridoma. Pemurnian AbMo dilakukan dengan dimurnikan dengan protein
A-sepharose, dan AbMo yang telah dimurnikan kemudian dilabelkan ke sepharose 4B.
Sepharose , 2). Sepharose 4B yang telah dilabel dengan AbMo anti-glikoprotein dipakai
sebagai matriks dalam kromatografi affinitas untuk memurnikan gikoprotein virus rabies
isolat bali tersebut. AbMo yang telah dimurnikan juga dilabel dengan flourescein
isotyocyanate (FITC) dan dipakai sebagai konjugat untuk melacak virus rabies pada otak
anjing yang terinfeksi. Dari 3 kali Fusi sel mieloma dan dan limfosist mencit yang kebal anjing yang terinfeksi. Dari 3 kali Fusi sel mieloma dan dan limfosist mencit yang kebal
terhadap virus rabies telah dihasilkan 542 klon sel hibridima dan 10 klon (CH9, AE7, AG9,
BB5, EE9, DB8, AE11, AF6, DA2 dan EA12) di antaranya menghasilkan antibodi terhadap
virus rabies. Pada uji ELISA dan imunohistokimia, semua AbMo bereaksi dengan virus
rabies dan tidak bereaksi dengan jaringan normal. Pada uji imunohistokimia menh\ggunakan
dengan sepharose 4B-Protein A yang selanjutnya akandipakai untuk memurnikan
glikoprotein virus rabies yang dipropagasi pada mencit atau pada kutltur sel dan peneltian ini
akan dikerjakan pada tahun kedua. Peneltian yang belum dikerjakan pada tahun pertama
adalah pelabelan AbMo dengan FITC untuk dipakai melacak virus pada jaringan otak yang
adalah pelabelan AbMo dengan FITC untuk dipakai melacak virus pada jaringan otak yang
terinfeksi.
.
Kata Kunsi: glikoprotein, rabies, virus, antigen, diagnosis
3
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang dan Keutamaan Penelitian
Rabies merupakan penyakit zoonosis tertua di dunia dan sampai sekarang belum
dapat diatasi secara tuntas. Menurut WHO, lebih dari 3 juta orang di dunia berisiko tertular
rabies. Diperkirakan bahwa penyakit ini membunuh sekitar 50 000 60 000 manusia di sekitar
85 negara yang masih endemik rabies (WHO, 2005). Berbagai upaya telah dilakukan untuk
membrantas penyakit rabies di Dunia, tetapi sampai sekarang penyakit ini belum dapat
diberantas secara tuntas. Upaya pemberantasan penyakit ini masih terus dilakukan seperti
dengan vaksinasi, pengendalian populasi hewan penular rabies, dan tindakan lainnya. Namun,
pada kenyataannya rabies masih tetap ada dan bahkan di beberapa Negara berkembang,
penyebarannya cenderung makin meluas.
Di Indonesia, penyakit rabies telah ada sejak tahun 1889 dan penyebarannya
cenderung meluas. Beberapa daerah yang dulunya bebas historis kini menjadi daerah tertular
seperti Flores sejak tahun 1997, Pulau Bali (2008), dan Pulau Nias (2010) yang kini menjadi
daerah endemis. Selain itu, pada akhir tahun 2011 rabies muncul di Kabupaten Morotai,
Provinsi Maluku Utara dan Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku.
Dengan demikian, wilayah Indonesia yang masih bebas rabies secara historis tinggal 5 daerah Dengan demikian, wilayah Indonesia yang masih bebas rabies secara historis tinggal 5 daerah
yaitu, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka
Belitung. Di beberapa daerah rabies berhasil diberantas seperti Jawa Timur, Jawa Tengah
dan DI Yogyakarta pada tahun 1997 serta DKI Jakarta yang dibebaskan pada tahun 2004,
sehingga saat ini tercatat ada 9 (sembilan) provinsi di Indonesia yang berstatus bebas rabies
(Anonim, 2012)
Penyakit rabies disebabkan oleh lyssavirus dari familia Rhabdoviridae dan
menyerang hewan berdarah panas (Balaul dan Lafon, 2003). Di Indonesia, penyakit ini
ditularkan melalui gigitan hewan tertular seperti anjing, kucing, dan kera. Namun, anjing
merupakan hewan penular rabies yang paling penting karena lebih dari 90% kasus rabies
pada manusia di Indonesia ditularkan melalui gigitan anjing. Keberadaan anjing liar yang
pada manusia di Indonesia ditularkan melalui gigitan anjing. Keberadaan anjing liar yang
tidak ada pemiliknya merupakan masalah besar dalam upaya pemberantasan penyakit rabies
di Indonesia. Ketersediaan metode diagnostik yang cepat, akurat, murah, dan sesuai dengan
konsdisi rabies di Indonesia sangat penting dalam upaya pencegahan dan pembrantasan
rabies di Indonesia. Metode diagnosis yang diperlukan meliputi, 1). penentuan status
kekebalan hewan pascavaksinasi yang dapat dipakai untuk membedakan hewan yang telah
kebal dan belum kebal setelah dilakukan vaksinasi, dan 2). Penentuan adanya virus rabies
4
pada hewan terinfeksi sehingga tindakan yang perlu dilakukan dapat diputuskan dengan
cepat.
Sampai saat ini diagnosis rabies di Indonesia, kebanyakan masih mengandalkan
produk luar negeri. Misalnya, kit untuk melacak virus rabies pada hewan terinfeksi masih
menggunakan produk luar negeri, yaitu : berupa konjugat antibodi yang dilabel dengan
Flourescein isotyocyanate (FITC). Selain mahal penggunaan kit semacam ini juga tidak
sepenuhnya sesuai dengan virus rabies yang ada di Indonesia karena konjugat tersebut dibuat sepenuhnya sesuai dengan virus rabies yang ada di Indonesia karena konjugat tersebut dibuat
menggunakan isolat bukan asli Indonesia. Jika konjugate seperti itu dapat dibuat di Indonesia
dan menggunakan virus rabies isolat lokal, maka akan tersedia metode pelacakan yang lebih
murah dan lebih sesuai dengan virus rabies yang ada di indonesia.
Sementara itu, kit untuk melacak status kekebalan (antibodi) hewan pascavaksinasi,
meskipun ada yang mengembangkan, kit tersebut masih menggunakan virus utuh sebagai
antigen, serta berupa isolat virus rabies yang bukan asli Indonesia. Penggunaan antigen utuh
dalam kit untuk melacak antibodi mempunyai kelemahan karena melacak antibodi terhadap
semua protein yang menyusun virus rabies. Sementara itu, protein virus rabies yang paling
penting dalam infeksi adalah glikoprotein karena protein inilah yang menginisiasi infeksi
virus ke dalam sel inang. Karena itu, hanya antibodi terhadap protein inilah yang dapat virus ke dalam sel inang. Karena itu, hanya antibodi terhadap protein inilah yang dapat
mencegah infeksi karena mampu menetralisir virus. Jika glikoprotein virus rabies dipakai
sebagai antigen untuk melacak antibodi, maka antibodi yang dilacak hanya antibodi yang
menetrlisasi virus (Zhang et al, 2011). Dengan begitu, hasilnya langsung mencerminkan
tingkat kekebalan hewan terhadap virus rabies..
Oleh karena itu perlu dikembangkan metode diagnosis berbasis glikoprotein dan
menggunakan virus rabies isolat lokal Bali. Metode diagnosis yang dapat dikembangkan
meliputi 1). Uji enzim linked immunosorbant assay (ELISA) dan Uji Agglutinasi latex
menggunakan glikoprotein virus rabies isolat Bali untuk melacak antibodi (status kekebalan)
pada hewan pasca vaksinasi dan 2) Uji Capture ELISA dan monoklonal antibodi-FITC
berbasis glikoprotein glikoprotein virus rabies isolat lokal bali untuk melacak virus rabies
berbasis glikoprotein glikoprotein virus rabies isolat lokal bali untuk melacak virus rabies
pada hewan terinfeksi.
Dengan demikian luaran yang diharapkan adalah tersedianya kit diagnosis rabies yang
murah, akurat, cepat dan berbasis glikoprotein virus rabies isolat lokal Bali. Selain itu,
temuan ini juga dapat dipublikasikan dalam jurnal nasional/internasional. Produk yang
diperoleh dari hasil penelitian ini juga berpotensi untuk mendapatkan HAKI
5
1.2.Tujuan khusus penelitian
Tujuan khusus penelitian ini meliputi
Tahun I :
1. Untuk memproduksi antibodi monoklonal terhadap glikoprotein virus rabies isolat
lokal yang selanjutnya dapat dilabel dengan flourescein (FITC) dan dapat dipakai
melacak virus rabies pada hewan terinfeksi.
2. Memproduksi dan memurnikan antibodi monoklonal anti-glikoprotein yang dapat
dipakai untuk memurnikan glikoprotein virus rabies isolat Bali dengan cara
melabelkannya ke matriks sepharose 4B
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
1.1.Penyakit Rabies
Rabies merupakan penyakit menular yang akut dan menyerang jaringan syaraf. Bahaya
rabies bagi manusia berupa kematian dan gangguan ketenteraman hidup masyarakat. Hewan
seperti anjing, kucing dan kera yang menderita rabies akan menjadi ganas dan biasanya
cenderung menyerang atau menggigit manusia. Penderita rabies dapat menunjukkan gejala
syaraf yang mengerikan dan biasanya diakhiri dengan kematian. Karena itu, di daerah syaraf yang mengerikan dan biasanya diakhiri dengan kematian. Karena itu, di daerah
tertular, rabies menimbulkan rasa cemas dan ketakutan, baik bagi orang yang digigit hewan
terinfeksi rabies maupun bagi masyarakat pada umumnya. Pada hewan yang menderita
penyakit ini biasanya ditemukan virus dengan konsentrasi tinggi pada air ludahnya, oleh
karena itu penularan umumnya terjadi melalui melalui suatu luka gigitan. Infeksi rabies pada
hewan ditandai dengan mencari tempat yang dingin diikuti dengan sikap curiga dan
menyerang apa saja yang ada disekitarnya, hipersalivasi, paralisa dan mati. Gejala rabies
pada manusia yang menyolok berupa rasa takut air (hydrophobia) dan gejala-gejala
encephalitis.
1.2.Virus rabies dan protein penysusunnya
Virus penyebab penyakit rabies adalah lyssavirus dari familia Rhabdoviridae. Virus
ini berbentuk peluru dan mempunyai genom RNA berserat tunggal (Consales 2008). Virus ini
mempunyai amplop. Partikel virus rabies tersusun atas beberapa protein seperti protein
nucleocapsid (N), phosphoprotein (P) dan Matriks (M), glikoprotein (G) dan large (L).
Kelima protein itu disandi oleh lima mRNA yang ditranskripsi dari genom virus (Bradame
dan Tordo, 2001). Protein G membentuk spike pada permukaan virus dan berperan dalam
6
perlekatan vrrus pada sel inang. Antibodi terhadap protein ini mampu menetralkan virus dan
merupakan protein virus yang dipakai dalam pembuatan vaksin rabies atau serum anti-rabies
(Consales, 2008).
Asam nukleat virus rabies adalah RNA serat tunggal polarisasi negatif. Panjang basa
asam nukleatnya adalah sekitar 12 kb yang mengandung sandi genetik untuk berbagai protein
yang menyusun virus rabies. Panjang masing-masing gen untuk setiap protein adalah N
(1424 basa), P (991 basa), M (805 basa), G (1075 basa) dan L (6475 basa). Semua gen (1424 basa), P (991 basa), M (805 basa), G (1075 basa) dan L (6475 basa). Semua gen
tersebut menyandi protein yang berperan penting dalam infeksi.
Glikoprotein (G) yang merupakan protein perlekatan (attachment) berfungsi
menginisiasi infeksi dengan cara melekatkan virus pada permukaan sel target. Jika
glikoprotein virus rabies ini melekat pada permukaan sel target (umumnya sel syaraf), maka
virus dapat menginfeksi sel tersebut (Kuzmina et al, 2013, Mori dan Marimoto, 2014).
Keberadaan antibodi yang mengikat protein G (antibodi anti-glikoprotein virus rabies) dapat
mencegah perlekatan virus pada permukaan sel target sehingga dapat mencegah infeksi
(mentralisasi virus). Karena itu, protein inilah yang mengandung antigen pemicu antibodi
netralisasi virus yang dapat melindungi tubuh dari infeksi virus rabies. Banyak vaksin rabies
yang dibuat hanya dengan hanya menggunakan protein G virus rabies. yang dibuat hanya dengan hanya menggunakan protein G virus rabies.
Secara molekul, glikoprotein virus rabies terbagai menjadi 3 bagian, yaitu bagian
yang berada di luar permukaan envelope virus (ektodomain), bagian yang ada pada amplop
(transmembrane domain), dan bagian yang berada di sebelah dalam amplop
(intracytoplasmic domain). Bagian yang mampu menginduksi kekebalan yang protektif
adalah bagian ektodomain . Bagian ini yang merupakan bagian yang paling konservatif
(tingkat kesamaan sekuen asam amino) tinggi di antara berbagai isolat virus rabies dan
bahkan di antara genotipe dari Lyssavirus (Badrane dan Tordo, 2001; Soesetyo, 2008). Dua
Lyssaviruses akan mentralisasi silang bila mempunyai tingkat kesamaan sekuen asam amino
lebih dari 72% pada daerah ektodomain (Badrane et al., 2001). Karena itu protein G
tertutama daerah ektodomain yang konservatif menentukan kekerabatan imunlogis di antara
tertutama daerah ektodomain yang konservatif menentukan kekerabatan imunlogis di antara
berbagai lyssavirus dan di antara berbagai isolat virus rabies. Tingkat kesamaan sekuen asam
amino di daerah tersebut selanjutnya dapat dipakai untuk menentukan efektivitas suatu
vaksin. Misalnya, di antara virus rabies di Asia, seperti Thailand, Jepang, China dan
Indonesia, tingkat kesamaan sekuen asam amino daerah ektodomain tersebut adalah 92-93%
(Susetya et al, 2005) yang menunjukkan bahwa vaksin yang dibuat nenggunakan virus rabies
7
isolat Jepang (isolate Jepang) masih efektif untuk mengatasi rabies di Indonesia, Thailand
dan China. Vaksin rabies yang dibuat menggunakan virus rabies strain PV, SAD B19, ERA
dan HEP Flury, juga efektif mengatasi rabies di Thailand dan Indonesia karena tingkat
keidetikan sekuen asam amino di daerah ektodomain protein G adalah sebesar 94-96%
Susetya et al, 2005, Susetyo et al, 2006).
Di luar daerah ektodomain, protein G mempunyai tingkat keragaman yang tinggi..
Karena itu, sekuen gen G di luar daerah ektodomain dapat digunakan untuk menentukan Karena itu, sekuen gen G di luar daerah ektodomain dapat digunakan untuk menentukan
tingkat kekerabatan genetik virus rabies di berbagai Negara. Bersama dengan gen N dan
mungkin juga penyandi protein lainnya, gen G dapat dipakai untuk menganalisis asal muasal
dan kekerabatan virus rabies di berbagai kawasan di dunia dan di berbagai daerah dalam
suatu negara negara. Dengan menganalisis tingkat homologi sekuen gen G virus lapangan
(street virus), virus rabies di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand dan Indonesia) dan China
tampak membentuk 1 cluster genetic. Bahkan, salah satu isolat virus rabies asal Sumatera
juga tampak berkerabat lebih dekat dengan virus rabies strain CNX8601 dari Ningxia di
bagian Barat laut China (Tang et al., 2000) dibanding virus rabies dari Malaysia yang secara
geografis sebenarnya lebih dekat dengan Indonesia. Karena itu, virus rabies yang ada di
Sumatera diduga beasal dari China bukan dari Malaysia. Sumatera diduga beasal dari China bukan dari Malaysia.
1.3. Propagasi Virus rabies pada hewan coba dan Kultur Sel
Virus rabies umumnya menyerang jarigan otak atau kultur sel syaraf. Karena itu,
untuk memperbanyak virus, baik untuk kepentingan studi biologis maupun kepentingan
praktis seperti pembuatan vaksin dan kit diagnosis, virus rabies biasanya diperbanyak pada
otak hewan coba seperti kelinci dan mencit. Mencit paling sering dipakai sebagai hewan
coba di laboratorium karena hampir semua virus rabies dapat tumbuh dengan baik bila
disuntikan pada jaringan otak mencit terutama mencit muda yang belum disapih. Virus rabies
isolat Bali yang diisolasi dari otak anjing terinfeksi hampir semuanya tubuh dengan baik bila
disuntikan pada mencit muda belum disapih dan disuntikan secara intraserbral. Kematian
biasnya terjadi pada hari ke-9-21 pasca inokulasi dengan gajala yang khas penyakit rabies
biasnya terjadi pada hari ke-9-21 pasca inokulasi dengan gajala yang khas penyakit rabies
seperti exitasi, paralisis (lumpuh) dan kematian (data belum dipublikasikan).
Sementara itu, pada kultur sel, virus rabies umumnya tumbuh baik pada kultur sel asal
otak seperti sel neuroblastoma asal mencit (Yamada et al, 2012). Selain pada kultur sel asal
otak, virus rabies juga umumnya dapat diperbanyak pada kultur sel lestari asal ginjal seperti
Baby hanster kidney (BHK)-21 asal ginjal bayi hamster (Kalel et al, 2002) dan sel Vero asal
8
ginjal kera hijau Afrika. Virus rabies yang tumbuh pada kultur sel tersebut biasanya tidak
menimbulkan kerusakan sel. Namun, penggunaan kultur sel yang bukan berasal dari sel otak
biasanya menghasilkan virus lebih banyak yang pada gilirannya dapat dipakai sebagai
sumber antigen untuk pembuatan vaksin maupun kit diagnosis. Virus rabies isolat bali dapat
tumbuh dengan baik pada kultur sel neurobalstoma mencit. Selain itu, secara terbatas virus
rabies isolat bali juga dapat tumbuh pada kultur sel BHK-21, meskipun masih perlu adaptasi
yang lebih lama agar diperoleh virus yang lebih banyak (data belum dipublikasikan).
1.4.Antibodi monoklonal terhadap virus rabies
Teknologi antibodi monoklonal merupakan salah satu teknologi yang sangat
berpotensi untuk dipakai dalam pengembangan metode diagnosis rabies yang akurat, cepat
dan murah. Hal ini dimungkinkan karena antibodi monoklonal mempunyai beberapa
keungulan. AbMo hanya bereaksi dengan satu jenis epitop sehingga dapat melacak virus
rabies pada inang dengan tingkat keakuratan yang tinggi (Ohnishi et al,2005). Selain itu,
teknologi juga telah memungkinkan untuk memproduksi AbMo dalam jumlah yang besar
secara in vitro bahkan dalam jumlah yang tidak terbatas karena sel penghasil AbMo dapat
ditumbuhkan secara in vitro dan dapat disimpan sebagai sel penghasil antibodi. Penggunaan
AbMo untuk melacak antigen dari berbagai jenis patogen telah banyak dilaporkan (Astawa et AbMo untuk melacak antigen dari berbagai jenis patogen telah banyak dilaporkan (Astawa et
al 2006; Astawa et al, 2012). Selain untuk diagnosis, AbMo juga sangat berpotensi untuk
dikembangkan untuk imunterapi rabies pada hewan dan manusia. Karena itu, jika antibdi
monokonal antivrus rabies dapat diproduksi di Indonesia, maka tidak saja bermanfaat untuk
pengembangan metode diagnosis, tetapi juga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai
reagensia imunoterapi untuk mengatasi rabies di Indonesia.
Berbagai konjugat untuk melacak virus rabies pada jaringan/organ (terutama otak)
juga dibuat menggunakan antibodi monoklonal terhadap virus rabies. Namun kebanyakan
konjugat tersebut dibuat menggunakan virus rabies standar yang bukan asli Indonesia seperti
antibodi monoklonal menggunakan virus vaksin rabies yang bukan isolat Indonesia, dan telah
antibodi monoklonal menggunakan virus vaksin rabies yang bukan isolat Indonesia, dan telah
dapat digunakan sebagai antibodi untuk melacak virus rabies pada otak anjing dengan uji
immunoflourescein dan imunoperoksidase (Astawa et al, 2010). Namun, pemnggunaan
antibodi monoklonal anti-glikoprotein (yang dibuat menggunakan virus rabies isolat lokal
bali) untuk melacak virus rabies pada hewan terinfeksi, dan untuk mermurnikan glikoprotein
yang digunakan sebagai antigen dalam uji (ELISA dan agglutinasi latex) juga belum dikaji.
9
2.5. Diagnosis Rabies di Laboratorium
Diagnosis rabies dengan cepat pada hewan sangat diperlukan dalam upaya
penanganan hewan terangka atau manusia yang digigit oleh hewan tersebut (Hemachuda et
al, 1988). Di negara negara maju metode diagnosis telah dikembangkan dengan baik
sehingga sangat membantu upaya penanggulangan dan pencegahan rabies di negara tersebut.
Namun, di negara-negara berkembang pengembangan metode diagnosis masih dihadapkan
pada berbagai kendala seperti terbatasnya fasilitas dan sumber daya yang ada.
Uji cepat rabies biasanya dilakukan dengan mebuat sediaan ulas otak dari hewan
terangka di atas gelas obyek dan pewarnaan seller untuk menemukan negri bodies. Untuk
melacak antigen virus rabies dalam jaringan terinfeksi dapat dilakukan uji imunoflouresen
(FAT) pada sediaan sentuh otak hewan yang tersangka rabies. Uji ini merupakan uji klasik
yang telah dipakai sejak lama (Lima et al, 2005). Selain itu untuk lebih memastikan
diagnosis, dapat dilakukan isolasi virus, baik menggunakan kultur sel neuroblas maupun
menggunakan mencit baru lahir. Semntara itu, uji berbesis genetik molekuler seperti PCR dan
uji genetik lainnya tidak dianjurkan (WHO, 2004).
BAB. III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alur Kerja Penelitian Tahun Pertama
Pembuatan AbMo anti-
glikoprotein virus rabies
isolate Bali
Labelling AbMo dengan-
Purifikasasi AbMo dengan
sepharose 4B-Protein A
Labelling AbMo dengan-
Flourescein
isotyocyanate (FITC)
Konjugat AbMo-
anti-glikoprotein -
FITC
Labelling CnBr activated
sepharose 4B dengan AbMo
antiglikoprotein virus rabies
10
3.2. Imunisasi mencit dengan antigen rabies
AbMo anti gkoprotein virus rabies dibuat dengan mengimunisasi mencit Balb/c
dengan vaksin rabies yang tersedia secara komersial dan virus rabies isolate bali. Skema
imunisasi dilakukan sesuai dengan prosedur yang dijabarkan oleh Astawa et al, 2012. Dalam
hal ini, mencit diimunisasi 4 kali dengan interval waktu 10 hari. Satu minggu setelah
imunisasi teakhir, mencit diimunisai setiap hari selama 3 hari secara berturut-turut. Mencit imunisasi teakhir, mencit diimunisai setiap hari selama 3 hari secara berturut-turut. Mencit
kemudian siap dipakai untuk pembuatan sel hibridoma.
3.3.Pembuatan dan pemurnian AbMO anti-glikoprotein virus rabies
Hibridoma dibuat dengan cara mefusikan sel myeloma dengan limfosit asal limpa
mencit yang telah kebal terhadap virus rabies. Sebanyak 108 sel limfosit asal mencit yang
kebal (menghasilkan antibodi) terhadap virus rabies diusikan dengan 2 x 107 sel mieloma
(NS1) menggunakan polyethylene glycol (PEG) 45 %. Sel hasil fusi kemudian disuspensikan
dengan medium selektif DMEM-HAT (dulbeco modified essential medium-hypxanthine
amainopterin thymine) yang mengandung 106
dibiakan dalam plat mikro biakan sel 96 sumuran pada suhu 37oC. Media selektif akan dibiakan dalam plat mikro biakan sel 96 sumuran pada suhu 37 C. Media selektif akan
membunuh sel mieloma, tetapi tidak membunuh sel mieloma yang berfusi dengan limfosit.
Sel yang berfusi ini menghasilkan sel hybrid yang disebut sel hibridoma. Tujuh hari setelah
fusi, sel hibridoma dibiakan dalam media HT sampai muncul klon hibridoma yang
menghasilkan antibodi terhadap antigen virus rabies.
Skrining klon hibridoma yang menghasilkan AbMo terhadap glikoprotein virus rabies
dilakukan dengan uji ELISA menggunakan glikoprotein virus rabies sebagai antigen.
Hibridoma yang terbukti menghasilkan AbMo terhadap glikprotein kemudian diisolasi dan
dipakai untuk menyiapkan AbMo dalam jumlah besar. AbMo stok ini dibuat dengan cara
menumbuhkan hibridoma dalam media HT sampai terlihat tanda-tanda kematian sel. Cairan
supernatannya kemudian ditampung, disimpan dalam -20oC dan dipakai sebagai AbMo stok.
supernatannya kemudian ditampung, disimpan dalam -20oC dan dipakai sebagai AbMo stok.
Selain itu, AbMo stok juga dibuat dengan penyuntikan sel hibridoma pada mencit
Balb/c. Pertama, mencit jantan dewasa disuntik dengan dengan 0,5 ml pristane. Dua minggu
setelah penyuntikan pristane, sebanyak 1 juta sel hibridoma penghasil antibodi disuntikkan ke
dalam rongga abdomen mencit. Cairan ascites dipanen setelah perut mencit mengalami
pembengkakan.
11
3.4. Karakterisasi AbMo
Protein khas virus rabies yang bereaksi dengan AbMo ditentukan dengan metode
western blotting. Pertama, protein virus rabies diencerkan dalam sample reducing buffer
(SDS 2,3 %, mercaptoethanol 5%, Tris-HCl 0,0625 M. pH. 6,0, gliserol 10%, bromophenol
blue 0,001%) dan dianalisis dengan SDS-PAGE (sodium dedocylsulphate- polyacrylamide
gel electropjoresis). Protein virus rabies yang telah dipisahkan dalam gel kemudian ditransfer
ke membran nitroselulosa. Membran nitroselulosa dipotong kecil-kecil dan direaksikan ke membran nitroselulosa. Membran nitroselulosa dipotong kecil-kecil dan direaksikan
dengan AbMo. Adanya ikatan antara AbMo dengan protein virus AI divisualisasikan dengan
penambahan anti-mouse IgG-alkaline phosphatase dan substrat BCIP/NBT.
Penentuan epitop AbMo dilakukan dengan teknik ELISA kompetitif. Pertama , AbMo
dimurnikan dengan affinity chromatography menggunakan sepharose 4B- protein A. AbMo
murni tersebut kemudian sebagian dilabel dengan biotin dan sebagian lagi tidak dilabel.
ELISA kompetitif dilakukan dengan cara berikut. Ke dalam plat mikro ELISA yang telah
dilapisi dengan antigen virus rabies ditambahkan AbMo yang tidak dilabel. Setelah
diinkubasikan selama 30 menit pada suhu 37o C, ke dalamnya kemudian ditambahkan AbMo
yang sama atau yang berberda tetapi telah dilabel dengan biotin. Banyaknya AbMo yang
masih mampu berikatan dengan protein ditentukan dengan cara menambahkan streptavidin-masih mampu berikatan dengan protein ditentukan dengan cara menambahkan streptavidin-
HRP dan subsatrat TMB. Jika 2 AbMo mengenali epitop yang sama, maka AbMo yang
ditambahkan berikutnya tidak akan berikatan sehingga reaksinya menjadi negatif atau positif
lemah. Namun, jika 2 AbMo menganali epitop yang berbeda, maka AbMo yang ditambahkan
berikutnya akan berikatan dengan antigen sehingga memberikan reaksi positip.
3.5. Pemurnian dan pelabelan AbMo dengan FITC
AbMo pertama dimurnikan dengan affinity chromatography menggunakan sepharose
4B yang dilabel dengan protein A/protein G. Abmo yang telah dimurnikan didialisis dalam
larutan karbonat pH 8,6 selama 1 malam pada suhu 4oC. FITC kemudian ditambahkan ke
dalam antibodi yang telah dimurnikan. AbMo yang telah berlabelFITC kemudian dipisahkan
dalam antibodi yang telah dimurnikan. AbMo yang telah berlabelFITC kemudian dipisahkan
dengan molekul bitotin atau FITC yang tidak terkonjugasi menggunakan kromoatografi
kolom. Pelebelan dilakukan dengan coupling buffer (0.1 M NaHCO3, 0.5 M NaCl pH.
9,0) pada suhu kamar selama 2 jam sambil digoyang). FITC kemudian ditambahkan ke
dalam antibodi yang telah dimurnikan. AbMo yang telah berlabel biotin/FITC kemudian
dipisahkan dengan molekul bitotin atau FITC yang tidak terkonjugasimenggunakan
kromoatografi kolom.
12
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Imunitas mencit terhadap antigen Virus rabies
Dalam penelitian ini, 4 ekor mencit betina umur 7-8 minggu diimunisasi dengan
antigen virus rabies. Antigen virus rabies yang dipakai berasal dari vaksin rabies yang
diperoleh dari dinas peternakan propinsi bali. Imunisasi dilakukan dilakukan 4 kali
masing masing dengan antigen dosis 0.2 ml per mencit dengan interval waktu 10 hari.
Seminggu setelah imunisasi terakhir titer antibodi terhadap virus rabies diukur dengan ada Seminggu setelah imunisasi terakhir titer antibodi terhadap virus rabies diukur dengan ada
uji ELISA. Hasil menunjukkan bahwa titer antibodi anti- virus rabies dalam serum
mencit berkisar antara 216 -217 OD50 (Tabel 1).
Tabel 1. Titer antibodi antivirusrabies isolat Bali dalam serum mencit yang diimunisasi
No Mencit Titer antibodi anti virus rabies
1 Mencit 1 215
2 Mencit 2 217
3 Mencit 3 216
4 Mencit 4 218
4.2. Hasil Fusi sel mieloma dengan limfosit mencit yang diimunisasi dengan antigen
virus rabies isolat Bali
Dari 3 kali percobaan fusi diperoleh 563 klon sel hibridoma dengan rincian 51 klon dari
fusi pertama, 203 klon dari fusi 2 dan 238 dari fusi ke tiga. Skrining dengan uji Uji ELISA
menunjukkan bahwa 1 klon sel hibridoma dari fusi pertama (klon CH9), 5 klon hibridoma
dari fusi ke-2 (AE7, BB5, DB8, EE9 dan AG9) dan 4 klon AE11, AF6, DA2 dan EA9)
dari fusi ke-3 yang menghasilkan antibdi terhadap antigen virus rabies isolat Bali (Tabel
2). Contoh sel hibridoma yang menghasilkan AbMo terhadap virus rabies disajikan pada
Gambar 1
Gambar 1
13
.
Gambar 1. Contoh sel hibridima pengahsil antibodi terhadap virus rabies
Tabel 2. Fusi sel myleoma dengan sel limfosit asal mencit yang kebal terhadap virus
rabies Fusi
Fusi ke- Jumlah hibroma ELISA
Antigen
rabies
Antigen jaringan normal
I 51 1 0
II 203 5 0
III 238 4 0 III 238 4 0
Jumlah 542 10 0
4.3. Karakteristik AbMo antivirus rabies hasil Fusi
Dari 10 AbMo anti- virus rabies yang diproduksi oleh sel hibridoma, semuanya
bereaksi hanya dengan virus rabies pada uji ELISA. Semua AbMo yang telah diproduksi
masih harus dikarakterisasi lebih lanjut seperti penentuan berat molekul protein virus rabies
yang berekasi dengan AbMo, isotypenya dan lainnya. Contoh hasil uji ELISA terhadap media
penumbuh sel hibridoma ditampilkan pada tabel 3 dan Gambar 2). Sementara untuk fusi
lainnya di tampilkan pada Lampiran. Karakterisasi AbMo yang dihasilkan oleh sel hibridoma
lainnya di tampilkan pada Lampiran. Karakterisasi AbMo yang dihasilkan oleh sel hibridoma
yang telah dilakukan meliputi pengujian dengan uji ELISA secara berulang untuk mengetahui
stabilitas sel hibridoma dalam menghasilkan AbMo dan uji imunohistokimia. Sementara itu
karakterisasi yang masih harus dilakukan meliputi penentuan isotipe Imunoglobulin dan
penetuan protein yang bereaksi dengan AbMo (Tabel 4).
14
Tabel 3. Uji ELISA terhadap hididoma pada Fusi ke-2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A 0.149 0.227 0.144 0.126 0.146 0.177 0.157 0.416 0.182 0.041 0.042 0.043
B 0.133 0.859 0.135 0.111 0.121 0.124 0.125 0.126 0.156 0.042 0.041 0.04
C 0.136 0.144 0.129 0.129 0.124 0.141 0.138 0.132 0.825 0.041 0.041 0.041
D 0.134 0.206 0.145 0.141 0.154 0.132 0.13 0.146 2.55 0.041 0.04 0.04
E 0.129 0.129 3.393 0.138 0.158 0.64 0.157 0.142 0.172 0.049 0.041 0.042
F 0.145 0.129 0.144 0.393 0.114 0.111 0.131 0.119 0.513 0.041 0.041 0.041 F 0.145 0.129 0.144 0.393 0.114 0.111 0.131 0.119 0.513 0.041 0.041 0.041
G 0.137 0.144 0.139 0.134 0.131 0.177 0.128 0.12 0.429 0.042 0.04 0.04
H 0.128 0.065 0.105 0.096 0.089 0.093 0.102 0.241 0.306 0.042 0.041 0.042
Gambar 1 Uji ELISA terhadap hididoma pada Fusi ke-2
15
Tabel 4. Karakteristik AbMo anti-virus rabies hasil fusi
AbMo Isotipe Protein bereaksi IHK
CH9 Belum dites Belum ditentukan +++
AE7 Belum dites Belum ditentukan +++
AG9 Belum dites Belum ditentukan +++ AG9 Belum dites Belum ditentukan +++
BB5 Belum dites Belum ditentukan +++
DB8 Belum dites Belum ditentukan ++
EE9 Belum dites Belum ditentukan +++
AE11 Belum dites Belum ditentukan +++
AF6 Belum dites Belum ditentukan +++
DA2 Belum dites Belum ditentukan ++
EA12 Belum dites Belum ditentukan +++
4.4. Pelacakan virus rabies pada jaringan otak anjing terinfeksi rabies
Salah cara untuk mengetahui apakah AbMo yang dihasilkan oleh sel hibridoma
berekasi secara khas dengan virus rabies adalah dengan melacak virus tersebut pada jaringan
otak anjing yang terinfeksi virus rabies. Ke-sepuluh AbMo yang dihasilkan dalam penelitian
ini telah diuji dengan uji imunohitokimia. Semuanya bereaksi dengan virus rabies yang
ditanadai dengan adanya warna coklat pada sitoplasma dari sebagian kecil sel otak.
merupakan ciri dari infeksi virus rabies pada sel terinfeksi (Gambar3).
16
Gambar 3. Contoh hasil uji Imunohistokimia menggunakan AbMo BB5. Tampak bahwa sel
terinfeksi virus rabies tercat dengan adanya negri bodi (tanda panah)
Sebanyak 10 antibodi monoklonal terhadap virus rabies telah dapat dibuat dengan
memfusikan sel mieloma mencit dengan limfosit mencit yang telah dikebalkan dengan
antigen virus rabies . AbMo yang telah berhasil masih harus dites untuk menentukan protein
yang bereaksi. Dalam penelnelitian ini AbMo yang dicari adalah AbMo yang bereaksi
dengan glikoprotein virus rabies. Satu AbMo (BB5) telah diproduksi dalam cairan ascites
mencit dan telah dimurnikan dengan afinity chromatography yang nantinya akan dipakai
untuk memurnikan glikoprotein virus rabies.
Partikel virus rabies tersusun atas beberapa jenis protein yang semuanya berperan
dalam aktivitasnya dalam sel terinfeksi. Sekurantg-kurangnya 5 protein telah diketahui yang
teridir atas nucleocapsid (N), phosphoprotein (P) dan Matriks (M), glikoprotein (G) dan large
(L). Gen yang menyandi kelima protein tersebut memiliki panjang basa sekitar 12 Kb yang
teridiri atas gen N (1424 basa), P (991 basa), M (805 basa), G (1075 basa) dan L (6475
basa) (Gonsales, 2008).
Abmo yang dicari dalam penelitian ini adalah yang berekasi dengan glikoprotein (G)
yang merupakan protein perlekatan (attachment) dari virus rabies (Kuzmina et al, 2013,
yang merupakan protein perlekatan (attachment) dari virus rabies (Kuzmina et al, 2013,
Mori dan Marimoto, 2014). AbMo yang mengikat protein G telah dimunrnikan dan
selanjutnya dapa dipakai untuk memurnikan protein G virus rabies yang dipropagasi pada
kultur sel atau jaringan otak mencit. Penggunaan protein G sebaga atigen untuk melacak
antibody pascavaksinasi diharapkan memeilki tingkat akurasi yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kit ELISA yang tersedia yang umumnya menggunakan virus utuh
sebagai antigen (antibodi anti-glikoprotein virus rabies) dapat mencegah perlekatan virus
17
pada permukaan sel target sehingga dapat mencegah infeksi (mentralisasi virus). Karena itu,
protein inilah yang mengandung antigen pemicu antibodi netralisasi virus yang dapat
melindungi tubuh dari infeksi virus rabies. Banyak vaksin rabies yang dibuat hanya dengan
hanya menggunakan protein G virus rabies.
Dalam penelitian ini sebanyak 10 klon (1,8%) dari 542 klon sel hibridoma
menghasilkan AbMo terhadap virus rabies. Selain 10 klon hibridoma tersebut, ada bebarapa
klon dengan nilai OD-nya di atas rata-rata nilai negatif , tetapi lebih rendah dibanding klon dengan nilai OD-nya di atas rata-rata nilai negatif , tetapi lebih rendah dibanding
dengan yang menghasilkan AbMo terhdap virus rabies. Sel tersebut tampaknya bereaksi
dengan antigen asal sel sehingga propagasinya tidak dilanjutkan. Dalam pembuatan AbMo,
beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilannya. Pemilihan antigen yang dipakai
untuk imunisasi mencit, metode skrining yang dipakai untuk melacak sel hibridoma yang
menghasilkan antibodi terhadap antigen virus rabies sangat berperan dalam produksi AbMo.
Sampai saat ini sebagai besar (805) penelitian pada tahun pertama telah selesai.
Pekerjaan yang terbesar pada tahun pertama adalah pembuatan AbMo itu sendiri yang
memakan waktu lama dan tingkat kesulitan yang tinggi karena melibatkan teknik kultur sel
yang selain rumit juga memerlukan perhatian yang tinggi. Beberapa pekerjaan yang masih
harus dikerjakan pada tahun pertama adalah pelebelan AbMo dengan FITC dan penentuan
protein yang bereaksi dengan AbMo masih berlangsung dan dharapkan akan selesai pada
waktunya. Beberapa reagen kimia masih dipesan untuk menuntaskan penelitian ini
BAB V. RENCANA PENELITIAN TAHUUN KEDUA
5.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mempropagasi virus rabies isolat lokal bali pada kultur sel BHK-21 atau
hewan coba mencit sebagai sumber glikoprotein yang dapat dikembangkan sebagai
antigen dalam uji ELISA dan uji aglutinasi latex untuk melacak antibodi terhadap
virus rabies pada hewan pascavaksinasi.
2. Untuk memurnikan antibodi monoklonal anti-glikoprotein yang dilabelkan ke
2. Untuk memurnikan antibodi monoklonal anti-glikoprotein yang dilabelkan ke
sepharose-4B yang selanjutnya dapat dipakai sebagai matriks untuk memurnikan
glikoprotein virus rabies isolat bali.
3. Glikoprotein virus rabies isolat Bali dipakai sebagai antitgen untuk melacak status
kekebalan hewan pasca vaksinasi
18
5.2. Metode Penelitian
Propagasi virus rabies isolat Bali pada otak mencit /kultur sel BHK-21
Propagasi virus rabies isolat bali dilakukan dengan menyuntikan virus rabies asal otak
anjing yang telah terbukti positif rabies dengan uji FAT komersial. Otak anjing
dihomogenisasi dengan mortar dan kemudian dibuat suspensi 10% disuspesnsikan dalam
PBS. Sebanyak 0.1 ml suspensi jaringan otak tersebut kemudian disuntukan secara
intraserebral ke dalam otak mencit yang belum disapih. Gejala klinis rabies biasanya muncul
9-21 pasca inokulasi dengan gejala eksitasi, paralisis dan kematian. Mencit yang
menunjukkan gejala klinis rabies kemudian diperiksa dengan uji FAT
Propagasi pada kultur sel dilakukan dengan menumbuhkan sel BHK-21 pada media
DMEM yang mengandung 10 serum fetus sapi sampai pertumbuhan sel mencapai konfluen.
Setelah sel BHK tumbuh secara konfluen, media diatasnya dibuang dan diinokulasi dengan
suspensi otak anjing 10% (sama seperti di atas) yang sebelumnya telah disaring dengan filter
0.45 um. Sel BHK-21 dengan inokulum kemudian dibiarkan pada suhu 37derajat selama 1
jam. Inokulum kemudian dibuang dan diganti dengan media DMEM yang mengandung 3%
serum fetus sapi. Sel diikubasi pada suhu 37oC selama 4-6 hari. Adanya infeksi virus
kemudian dilacak dengan uji FAT. kemudian dilacak dengan uji FAT.
Penyiapan Matriks Sepharose-4B-anti-glikoprotein AbMo untuk memurnikan
glikoprotein virus Rabies isolat bali
Antibodi monoclonal terhadap glkoprotein virus rabies dilabel ke sepahrose 4B
dengan cara berikut. Sepharose 4B dimasukkan ke dalam larutan 1 mM HCl selama 15
menit sampai butiran gel mengembang. Gel kemudian dicuci dengan 200 ml of 1 mM HCl
dan kemudian dengan coupling buffer (0.1 M NaHCO3, 0.5 M NaCl pH. 9,0). Gel
sepharose kemudian dimasukan ke dalam cairan yang mengandung antibody dengan
perbandingan (4 mg antibody/0.286 g gel). Biarkan pada suhu kamar selama 2 jam sambil
digoyang). Sentrifugasi gel pada kecepatan 2000 rpm selama 1 menit dan cuci 3 kali
dengan coupling buffer dan inkubasikan dalam blocking buffer (1 M ethanolamine dalam
dengan coupling buffer dan inkubasikan dalam blocking buffer (1 M ethanolamine dalam
coupling buffer) selama 2 jam pada suhu kamar. Cuci 4 kali silih berganti dengan low pH
wash buffer (4x), coupling buffer (2x low pH) dan 2x coupling buffer (normal). Tuangkan
gel ke dalam kolum dan cuci dengan sterile-filtered PBS-azide dan simpan dalam Store
column in sterile-filtered PBS-azide
Pemurnian dan pengunnaan glikoprotein virus rabies untuk indirek ELISA.
19
Glikoprotein virus rabies asal otak mencit atau kultur sel BHK-21 dimurnikan dengan
matriks sepharose-4B yang dilabel dengan monoklonal antibodi anti glikoprotein virus rabies
mengkuti metode Qu et al 2011 yang dimodifikasi. Pertama, virus rabies asal otak mencit
atau kultur sel BHK-21 diekstrak dengan penambahan larutan triton X 100 1% selama 30
menit pada suhu 4oC untuk memecah virus dan melepaskan glikoproteinnya dari partikel
virus. Exstrak sel yang mengandung virus rabies kemudian dibersihkan dengan cara
sentrifugasi. Virus rabies dalam cairan supernatan kemudian dinaktifkan dengan beta-
propiolaction 0.01 % selama 18 jam pada suhu 37oC. Kedua, sebanyak 2 ml matriks
sepharose 4B-AbMo dituangkan ke dalam kolom dan dicuci dengan 10 ml binding buffer
(0.1 M NaHPO4). Kedalam kolom kemudian dituangkan cairan supernatan yang
mengandung virus rabies dan glikoprotein yang telah lepas dari partikel virus rabies.
Glikoprotein akan berikatan dengan antibodi monklonal yang telah dilabelkan dalam matiks.
Matriks kemudian dicuci 15 ml washing buffer hingga yang tersisa dalam matiks hanya
glikoprotein. Glikoprotein kemudian dielusi dengan elution buffer (larutan HCl 0,01 M) dan
protein dalam larutan 0,01% Hcl segara dengan menambahkan NaOH sehingga pHnya
kembali mencapai 7,2. Kemurnian protein kemudian diuji dengan uji Western blot.
Glikoprotein virus rabies yang murni kemudian disimpan pada suhu -20oC
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
Sebanyak 10 AbMo telah dihasilkan dalam peneltian ini dan semuanya tampaknya
berekasi dengan virus rabies baik pada uji ELISA maupun uji Imunohistokimia untuk
melacak virus rabies pada jaringan/organ hewan terinfeksi rabies. Dengan AbMo tersebut,
protein khas virus rabies diharapkan dapat diisolasi yang nantinya diharapakn dapat dipakai
sebagai antigen untuk pengembangan kit diagnosis rabies terutama untuk melacak respons
antibodi pascavaksinasi rabies pada anjing. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat
sampai saat ini rabies masih belum dapat diberantas dari Indonesia terutama di Bali.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Rakornas Rabies. Arahan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pertemuan Koordinasi Pengendalian Rabies Nasional Bali, 28 Maret 2012
Astawa NM, Suardana, IBK, Kencana GAY. (2012). Production and use of monoclonal antibodies for detection of avian influenza virus infection in duck. Jurnal Veteriner 13 : 284-292
Baloul L, Lafon M. 2003. Apoptosis and rabies virus neuroinvasion. Biochem 85: 777-788.
20
Bradame H., Tordo N. 2001. Host switching in Lyssavirus history from the chiroptera to the carnivora orders. J. Virol. 75: 8096-8104.
Consales CA, Bolzan VL 2008. Rabies review: immunopathology, clinical aspects and treatment. J. Venom. Anim. Toxins incl. Trop. Dis., 2007, 13, 1, p. 33
Fishbein DE., Robinson LE. 1994.Rabies. Brit. Med. J., , 330, 1088-9.
Hemachudha T, Laothamatas J, Rupprecht CE. 2002 Human rabies: a disease of complex neuropathogenic mechanism and diagnostic challenges. Lancet Neurol., 2002, 1:101-109.
Hemachudha T., Phanuphak P., Sriwanthana B. 1988. Immunologic study of human encephalitic and paralytic rabies: preliminary report of 16 patients. Am J Med 84: 673-7
Hemachudha T., Wacharapluersadee S. 2004. Antemortem diagnosis of human rabies. Clin Infect Dis 39: 1085-1086.
Kuzmina NA, Kuzmin IV, Ellison JA, Rupprecht CE, 2013. Coservation of Binding Epitopes for Monoclonal Antibodies on the Rabies Virus Glycoprotein. J Antivir Antiretrovir 5:2 037-043
Kallel H, Rourou S, Majoul S, Loukil H. 2003, A novel process for the production of a veterinary rabies vaccine in BHK-21 cells grown on microcarriers in a 20-l bioreactor Appl Microbiol Biotechnol 61:441 446
Lang J, Gravenstein S, Briggs D, et al 1998. Evaluation of the safety and immunogenicity of a new, heat-treated human rabies immune globulinusing a sham, postexposure prophylaxis of rabies. Biologicals 26: 7 15. prophylaxis of rabies. Biologicals 26: 7 15.
Lima Er., Riet-Correa F., Castro RS., Gomes AAB, Lima FS. 2005. Sinais clínicos, distribuição das lesões no sistema nervoso e epidemiologia da raiva em herbívoros na região Nordeste do Brasil. Braz J Vet Res 25: 250-264.
Lodish H, Berk A, Zipursky LS, Matsudaira P, Baltimore D, Darnell J, 2000 Molecular Cell Biology 4th Ed . Madisohn Avenue, New York, New York 10010 and Houndsmills, online E-book available at http://www.1cro.com/mcb/
bv.fcgi@call=bv.view..showsection&rid=mcb. iggrp.d1e21167.htm
Mori T, Morimoto K, 2004. Rabies virus glycoprotein variants display different patterns in rabies monosynaptic tracing Frontiers in Neuroanatomy 47 :1-12
Qu J, Lin Y, Ma R, Wang H. 2011. Immunoaffinity purification of polyepitope proteins against Plasmodium falciparum with chicken IgY specific to their C-terminal epitope
against Plasmodium falciparum with chicken IgY specific to their C-terminal epitope tag. Protein Expression and Purification, 75, 225-229
Susetya H, Sugiyama M, Inagaki A, Ito N, Mudiarto, MinamotoN. 2008. Molecular epidemiology of rabies in Indonesia. Virus Research 135:144-149
Susetya H, Sugiyama M, Inagaki A, Ito N, Oraveerakul K, Traiwanatham N, et al. Genetic characterization of rabies field isolates from Thailand. Microbiol Immunol 2003;47:653 9.
21
Wong HB, Lim GH, 2011, Measures of Diagnostic Accuracy: Sensitivity, Specificity, PPV and NPVProceedings of Singapore Healthcare 20 : 316-318
World Health Organization (WHO). 2002. Current WHO GUIDE for rabies pre and post-exposure treatment in humans. WHO Department of Communicable Surveillance and Response, 23p.
World Health Organization (WHO), 2004 Expert Consultation on Rabies. 1. Report. Geneva: WHO Tech. Rep. Series, 931. 121p.
World Health Organization (WHO). 2005. Current WHO GUIDE for rabies pre and post-exposure treatment in humans. WHO Department of Communicable Surveillance and Response, 23p.
World Health Organization (WHO) 2004. Expert Consultation on Rabies. 1. Report. Geneva: WHO Tech. Rep. Series, 931. 121p.
Zhang K, Guo J, Xu Z, Xiang M, Wu B, Chen H (2011) 2Diagnosis and molecular characterization of rabies virus from a buffalo in China: a case report, . Virology Journal 11, 8:101
LAMPIRAN- LAMPIRAN
Lampiran 1. Titrasi antibodi rabies pada mencit pascaimunisasi
1 2 3 4 5 6 A 1.772 2.452 1.756 1.847 1/210
B 1.547 1.629 1.621 1.636 1/211 B 1.547 1.629 1.621 1.636 1/2
C 1.644 1.629 1.628 1.644 1/212
D 1.813 1.784 1.726 1.636 1/213
E 2.073 1.835 1.858 1.631 1/214
F 1.71 1.736 1.572 1.641 1/215
G 1.616 1.673 1.502 1.525 1/216
H 0.824 0.946 1.042 1.337 1/217
Lampiran 2. Beberapa hasil skrining sel hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap
virus rabies
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A 0.19 1.593
1 9 17 25 33 41 49 57 65 73 81 89
B
2 10 18 26 34 42 50 58 66 74 82 90
C 35 0.467
C 35 0.467
3 11 19 27 0.259 43 51 59 67 75 83 91
D 36 0.168
4 12 20 28 44 52 60 68 76 84 92
E 37
5 13 21 29 45 53 61 69 77 85 93
F 38 6 14 22 30 46 54 62 70 78 86 94
G 39
7 15 23 31 1.094 47 55 63 71 79 87 95
H
22
8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A 0.19 0.068 0.088 0.095 0.095 0.097 0.078 1.593 0.081 0.081 0.074 0.087
B 0.091 0.082 0.084 0.077 0.079 0.095 0.072 0.09 0.121 0.096 0.073
C 0.077 0.076 0.08 0.076 0.108 0.084 0.084 0.074 0.076 0.077 0.085 0.467
D 0.097 0.082 0.071 0.078 0.259 0.075 0.074 0.083 0.168 0.075 0.08 0.112
E 0.077 0.076 0.069 0.069 0.079 0.075 0.072 0.085 0.101 0.094 0.134 0.117
F 0.071 0.086 0.101 0.074 0.177 0.08 0.059 0.081 0.077 0.081 0.083 0.095
G 0.087 0.075 0.082 0.074 1.094 0.082 0.072 0.071 0.223 0.081 0.084 0.098 G 0.087 0.075 0.082 0.074 1.094 0.082 0.072 0.071 0.223 0.081 0.084 0.098
H 0.085 0.104 0.085 0.081 0.1 0.081 0.099 0.096 0.091 0.088 0.088 0.1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A 1 9 17 25 33 41 49 57 65 73 81
B 2 10 18 26 34 42 50 58 66 74 82
C 3 11 19 27 35 43 51 59 67 75 83
D 4 12 20 28 36 44 52 60 68 76 84
E 5 13 21 29 37 45 53 61 69 77 85
F 6 14 22 30 38 46 54 62 70 78 86
G 7 15 23 31 39 47 55 63 71 79 87
H 8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A 0.069 0.101 0.082 0.076 0.069 0.141 0.075 0.07 0.073 0.066 0.064 3.076 A 0.069 0.101 0.082 0.076 0.069 0.141 0.075 0.07 0.073 0.066 0.064 3.076
B 0.061 0.065 0.078 0.067 0.07 0.067 0.069 0.095 0.061 0.061 0.064 3.271
C 0.064 0.063 0.073 0.146 0.065 0.063 0.067 0.07 0.068 0.121 0.06 2.904
D 0.067 0.064 0.072 0.066 0.588 0.067 0.072 0.071 0.063 0.065 0.064 2.562
E 0.068 0.103 0.066 0.066 0.697 0.069 0.068 0.065 0.063 0.064 0.071 3.122
F 0.062 0.063 0.067 0.07 0.064 0.076 0.068 0.067 0.07 0.065 0.56 3.031
G 2.067 0.067 0.065 0.067 0.067 0.078 0.097 0.068 0.067 0.064 0.086 2.942
H 1.933 0.071 0.079 0.072 0.074 0.091 0.073 0.079 0.077 0.067 0.064 2.471
Lampiran 3. Contoh beberapa gambar uji ELISA hasil skrining sel hibridoma penghasil
antibodi monoklonal.
23
Lampiran 4. Contoh klon sel hibridoma penghasil antibodi virus rabies yang sedang tumbuh
24
Laporan Penggunaan Anggaran
. Pembelian barang Habis Pakai
1. Foetal Bovine Serum (Sigma) Rp. 9.072.000
2. HAT media dan PEG/DMSO Rp. 4.648.00
3. TMB Substrate dan Streptavidin HRP Rp. 6.574.000
4. DMEM 10x1L (Sigma) Rp. 2.100.000
5. Parablot NCL Rp. 7.336.000
6. Aquades 10 L Rp.400.000
7. Spite 10 ml 5 box Rp.450.000
8. Spuit 5 ml 5 box Rp.300.000
9. Methanol 2,5 L Rp. 450.000
10. Alkohol 5 l Rp.150.000
11. Yellow dan blue tips Rp. 550.000
12. Centrifuge tubes Rp. 250.000
13. Lab pipet Rp. 850.000
Total. Rp.33.150.000