26
1 KOLITIS ULSERATIF (Farina Dwinanda, Novita, Isdiana Kaelan) I. PENDAHULUAN Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu kolitis ulseratif (KU, Ulcerative Colitis), penyakit Crohn (PC, Crohn’s disease), dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori inderteminate colitis. 1 Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit inflamasi pada usus besar, ditandai oleh kerusakan mukosa yang difus yang disertai ulserasi. Reaksi inflamasi terbatas pada mukosa dan submukosa. Keadaan autoimun tampaknya merupakan faktor penyebab, namun etiologi pasti dari penyakit ini tetap belum diketahui. 2 Penyakit ini terjadi di rektum pada 95% kasus dan mungkin dapat meluas ke arah proksimal dan melibatkan beberapa bagian atau seluruh bagian dari usus besar. Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen. 3 II. INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI Insidensi kejadian kolitis ulseratif bervariasi antara 0,5 dan 24,5 per 100.000 penduduk dan prevalensi penyakit ini dilaporkan hingga 246 per 100.000 penduduk. Angka insidensi yang tinggi dilaporkan di Eropa Utara dan Barat serta Amerika Utara, sedangkan angka insidensi yang lebih rendah tercatat di Afrika, Amerika Selatan dan Asia. Terjadinya kolitis ulseratif paling umum antara 15 dan 40 tahun, dengan puncak insiden kedua antara 50 dan 80 tahun. Penyakit ini menyerang pria dan wanita pada rasio yang sama. 4-6 Di Indonesia belum dapat dilakukan studi epidemiologi. Disini diperlukan suatu konsensus profesi agar kasus IBD di Indonesia dapat teridentifikasi secara lebih baik dan mendapat pengobatan lebih optimal. Di lain pihak proses pencatatan dan pelaporan akan lebih seragam dan dapat lebih dipertanggung jawabkan untuk suatu penilitian epidemiologik, baik dalam populasi maupun data Rumah Sakit. 1

KOLITIS ULSERATIF

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Medicine

Citation preview

Page 1: KOLITIS ULSERATIF

  1  

KOLITIS ULSERATIF

(Farina Dwinanda, Novita, Isdiana Kaelan)

I. PENDAHULUAN

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang

melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum jelas.

Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu kolitis ulseratif (KU, Ulcerative

Colitis), penyakit Crohn (PC, Crohn’s disease), dan bila sulit membedakan kedua

hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori inderteminate colitis.1

Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit inflamasi pada usus besar, ditandai

oleh kerusakan mukosa yang difus yang disertai ulserasi. Reaksi inflamasi

terbatas pada mukosa dan submukosa. Keadaan autoimun tampaknya merupakan

faktor penyebab, namun etiologi pasti dari penyakit ini tetap belum diketahui.2

Penyakit ini terjadi di rektum pada 95% kasus dan mungkin dapat meluas

ke arah proksimal dan melibatkan beberapa bagian atau seluruh bagian dari usus

besar. Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen.3

II. INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI

Insidensi kejadian kolitis ulseratif bervariasi antara 0,5 dan 24,5 per

100.000 penduduk dan prevalensi penyakit ini dilaporkan hingga 246 per 100.000

penduduk. Angka insidensi yang tinggi dilaporkan di Eropa Utara dan Barat serta

Amerika Utara, sedangkan angka insidensi yang lebih rendah tercatat di Afrika,

Amerika Selatan dan Asia. Terjadinya kolitis ulseratif paling umum antara 15 dan

40 tahun, dengan puncak insiden kedua antara 50 dan 80 tahun. Penyakit ini

menyerang pria dan wanita pada rasio yang sama.4-6

Di Indonesia belum dapat dilakukan studi epidemiologi. Disini diperlukan

suatu konsensus profesi agar kasus IBD di Indonesia dapat teridentifikasi secara

lebih baik dan mendapat pengobatan lebih optimal. Di lain pihak proses

pencatatan dan pelaporan akan lebih seragam dan dapat lebih dipertanggung

jawabkan untuk suatu penilitian epidemiologik, baik dalam populasi maupun data

Rumah Sakit.1

Page 2: KOLITIS ULSERATIF

  2  

III. ANATOMI

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan

panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani.

Kaliber kolon berubah secara perlahan, mulai dari sekum (±8,5 cm) sampai

sigmoid (±2,5 cm). Panjang kolon sangat bervariasi untuk tiap individu, berkisar

antara 91-125cm, bahkan lebih. 6,7

Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Normal sekum

menunjukkan kontur yang rata dan licin. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan

apendiks yang melekat pada ujung sekum. Katup ileosekal mengendalikan aliran

kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan

fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi menjadi kolon asenden,

transversum, desenden, dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam

pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatika

dan fleksura linealis. Kolon desenden dimulai dan fleksura linealis ke arah bawah

sampai persambungannya dengan sigmoid. Batas yang tegas antara kolon

desenden dengan sigmoid sukar ditentukan, namun krista iliaka mungkin dapat

dianggap sebagai batas peralihannya. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka

dan membentuk lekukan berbentuk S. Bentuknya yang demikian itu seringkali

menyukarkan penilaian radiografik proyeksi antero-posterior. Proyeksi oblik dan

lateral merupakan cara terbaik untuk mengatasinya. Lekukan bagian bawah

membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, dan hal ini

merupakan alasan anatomis mengapa memosisikan penderita ke sisi kiri saat

pemberian enema. Pada posisi ini, gaya gravitasi membantu mengalirkan air dari

rektum ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang terakhir disebut

sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke

bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan

dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum kanalis

ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci). 6,7

Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul

dalam tiga pita yang disebut sebagai taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid

Page 3: KOLITIS ULSERATIF

  3  

distal, sehingga rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap.

Panjang taenia lebih pendek dari usus, sehingga usus tertarik dan berkerut

membentuk kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra. Apendises

apiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan

melekat di sepanjang taenia. 6

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan

berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior

mendarahi belahan kanan (sekum, kolon asendens, dan duapertiga proksimal

kolon transversum), dan arteria mesenterika inferior mendarahi belahan kiri

(sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian

proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri

hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteria iliaka inerna dan

aorta abdominalis. 6

Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena

mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan vena hemoroidalis superior

(bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media

dan inferio mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi

sistemik. 6

Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan

pengecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut

parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum,

dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal.

Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf splangnikus.

Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian

serabut pascaganglion menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi

dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis

mempunyai efek yang berlawanan. 6

Page 4: KOLITIS ULSERATIF

  4  

IV. ETIOLOGI

Etiologi kolitis ulseratif tidak diketahui namun telah ada beberapa teori

mengenai penyebab kolitis ulseratif, namun tidak ada yang terbukti. Teori yang

paling terkenal adalah teori reaksi sistem imun tubuh terhadap virus atau bakteri

yang menyebabkan terus berlangsungnya peradangan dalam dinding usus.

Penderita kolitis ulseratif memang memiliki kelainan sistem imun, tetapi tidak

diketahui hal ini merupakan penyebab atau akibat defek ini; kolitis ulseratif tidak

disebabkan oleh distres emosional atau sensitifitas terhadap makanan. Tetapi

faktor-faktor ini mungkin dapat memicu timbulnya gejala pada beberapa orang.5,6

V. PATOGENESIS

Penyebab pasti dari kolitis ulseratif tidak diketahui, tetapi penyakit ini

tampaknya multifaktor dan poligenik. Terdapat beberapa usulan penyebab

Gambar 1. Anatomi normal pada usus besar (diambil dari kepustakaan no.8)

Gambar 2. Gambaran pemeriksaan Colon in Loop pada kolon normal dengan metode kontras ganda (diambil dari kepustakaan no.9)

Page 5: KOLITIS ULSERATIF

  5  

diantaranya genetik, kecenderungan intoleransi terhadap mikrobiologik, dan

disfungsi kekebalan tubuh.10

1. Genetik

Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh genetik terhadap

kolitis ulseratif. Suatu meta-analisis dari 6 penelitian membenarkan adanya

47 lokus yang terkait dengan kolitis ulseratif, dengan 19 lokus yang spesifik

untuk ulseratif kolitis dan 28 lokus yang dapat juga berpengaruh pada

penyakit Crohn . 10,11

Lokus ECM1, HNF4A, CDH1, dan LAMB1 terlibat pada disfungsi

pertahanan epitel; asosiasi dengan DAP (death associated protein)

menunjukkan hubungan apoptosis dan autofagi; dan asosiasi dengan PRDM1,

IRF5 (interferon regulatory factor-5), dan NKX2-3 menunjukkan adanya

kelainan pada regulasi transkripsi.10

2. Karakteristik mikrobiologik

Sistem imun pada usus biasanya mempunyai toleransi terhadap kumpulan

mikroba, namun jika toleransi ini terganggu maka ini bisa menjadi penyebab

patogenesis Inflammatory Bowel Disease (IBD), sehingga flora normal pun

dianggap sebagai patogen. Telah dikemukakan juga bahwa kemungkinan

perubahan komposisi dari mikrobiota usus dan adanya kelainan pada imunitas

mukosa atau kombinasi dari dua faktor ini dapat menyebabkan kolitis ulseratif,

namun bukti yang mendukung belum banyak ditemukan.10,11

Pada suatu konsensus juga dikemukakan bahwa kepadatan mikrobiota

pada pasien kolitis ulseratif lebih banyak dibanding subyek kontrol yang sehat.

Fakta bahwa terapi antibiotik tidak memiliki efek klinis pada kolitis ulseratif

membantah teori peranan penting dari bakteria pada penyakit ini.10

3. Respon imun pada mukosa10

Saat ini, tidak ada bukti yang spesifik, adanya kelainan pada sistem imun

natural (innate immune system). Produksi sitokin pro-inflamasi, seperti

Page 6: KOLITIS ULSERATIF

  6  

interleukin-1β, interleukin-6, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan tumor

necrosis factor-like ligand 1 (TL1A), secara universal meningkat pada pasien

dengan IBD tetapi hal ini tidak memungkinkan untuk membedakan antara

kolitis ulseratif dan penyakit Crohn.

Abnormalitas imunitas humoral dan adaptif selular terjadi pada kolitis

ulseratif. Peningkatan nilai IgM, IgA, IgG sangat umum terjadi pada IBD,

namun pada ulseratif kolitis ada peningkatan yang tidak proporsional dalam

antibodi IgG1. Pada kolitis ulseratif , glikolipid dari sel epitel, bakteria atau

dari keduanya dapat meningkatkan regulasi dari Interleukin-13 receptor α2 (IL-

13 α 2) dan juga dapat terjadi respon Th2, seperti yang ditunjukkan oleh

kehadiran sel T sitotoksik pada usus besar, kedua hal ini dapat merangsang

pembentukan interleukin-13 yang berlimpah, yang kemudian memediasi

epithelial-cell cytotoxicity, apoptosis dan epithelial barrier dysfunction.

4. Sel epitel dan Autoimun10

Abnormalitas yang terjadi pada kolitis ulseratif termasuk kelainan pada

pertahanan epitel dan gangguan pada ekspresi peroxisome proliferator

activated receptor y (PPAR-Y), suatu reseptor nuklear yang mengatur gen-gen

inflamasi. Pada ulseratif kolitis dan penyakit crohn, sel epitel mengalami

penurunan kemampuan untuk mengaktifkan supresor sel T CD8+.

Autoimunitas mungkin memilki peran pada kolitis ulseratif. Selain P-anca,

penyakit ini juga ditandai dengan sirkulasi antibodi IgG1 terhadap antigen

epitel kolon.

Beberapa teori diatas kemungkinan akan menyebabkan terjadinya lesi

patologis awal yang terbatas pada lapisan mukosa berupa pembentukan abses

dalam kriptus, yang berbeda dengan lesi pada penyakit Crohn yang menyerang

seluruh tebal dinding usus, pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti

mukosa. Edema dapat mengakibatkan kerapuhan hebat sehingga dapat terjadi

pendarahan akibat trauma ringan, seperti gesekan pada permukaan.6

Page 7: KOLITIS ULSERATIF

  7  

Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kripte pecah menembus

dinding kripte dan menyebar dalam lapisan submukosa, menimbulkan terowongan

dalam mukosa. Mukosa kemudan terkelupas menyisakan area yang tidak

bermukosa (tukak atau ulkus). Tukak mula-mula tersebar dan dangkal, tetapi pada

stadium lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi luas sekali sehingga

mengakibatkan hilangnya jaringan, protein, dan darah dalam jumlah banyak.6

Gambar 3. Konsep mengenai patogenesis pada ulseratif colitis (diambil dari kepustakaan no.10)

Page 8: KOLITIS ULSERATIF

  8  

VI. DIAGNOSIS 1. Manifestasi klinis

Diare berdarah dengan atau tanpa lendir merupakan ciri khas dari kolitis

ulseratif. Onset biasanya bertahap, sering diikuti oleh periode remisi yang spontan

dan dapat kambuh. Penyakit ini diawali dengan peradangan mukosa yang dimulai

di rektum (proktitis) dan pada beberapa kasus dapat menyebar ke seluruh usus

besar. Walaupun proktitis sering dikaitkan dengan urgensi defekasi dan adanya

darah segar pada feses, konstipasi dapat juga terjadi.10

Proktosigmoiditis, kolitis pada sisi kiri, kolitis yang ekstensif dan

pankolitis dapat menyebabkan diare, adanya darah dan mukus pada feses, urgensi

atau tenesmus, sakit perut, demam, malaise dan penurunan berat badan,

tergantung pada luas dan keparahan penyakitnya.10

Derajat klinis kolitis ulseratif dapat dibagi atas ringan, sedang, berat

berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang

terjadi dan laju endap darah. Pada derajat ringan, frekuensi diare kurang dari 4

perhari, dengan darah atau tidak, tidak ada tanda-tanda toksisitas sistemik, dan

laju endap darah dalam batas nomal. Derajat sedang ditandai dengan frekuensi

diare lebih dari 4 kali perhari dan dengan tanda-tanda toksisitas minimal. Derajat

berat ditandai dengan adanya frekuensi diare yang berdarah lebih dari 6 kali

perhari, dan adanya bukti dari toksisitas yang dilihat dari adanya demam,

takikardi, anemia dan peningkatan LED.1,5

Tabel 1. Derajat klinis pada ulseratif klinis. 5

Page 9: KOLITIS ULSERATIF

  9  

2. Pemeriksaan laboratorium

Pada pasien dengan suspek kolitis ulseratif, pemeriksaan yang penting

adalah pemeriksaan tinja untuk melihat parasit dan ova dan kultur tinja untuk

mengeliminasi penyebab lain yang bisa menyebabkan diare kronik. Terdapat juga

beberapa tes yang mendukung adanya inflamasi sistemik, seperti erythrocyte

sedimentation rate dan C-Reactive protein yang mungkin meningkat.

Pemeriksaan darah lengkap mungkin menunjukkan adanya anemia dari

kehilangan darah kronik dan pemeriksaan basic metabolic profile (BMP) bisa

menunjukkan adanya abnormalitas kadar elektrolit seperti hipokalemia karena

diare yang persisten.5

3. Pemeriksaan radiologi

a) AXR (abdominal X ray)

Foto polos mungkin menunjukkan adanya : 12,13

o Keterlibatan rektum yang kemudian menyebar secara kontinu kearah

proksimal.

o Dinding usus yang udem dan menunjukkan gambaran "thumbprinting".

o Adanya pseudopolip yang terlihat karena penebalan mukosa yang

menonjol ke dalam lumen.

Gambar 4. Pasien dengan ulserative kolitis dengan edema mukosa yang dilihat pada AXR sebagai "thumbprinting" (diambil dari kepustakaan no.12)

Gambar 4. Pasien dengan ulseratif kolitis dengan edema mukosa yang dilihat pada AXR sebagai "thumbprinting" (diambil dari kepustakaan no.13)

Page 10: KOLITIS ULSERATIF

  10  

b) Colon in loop (barium enema)

Barium enema dapat digunakan untuk mendiagnosis kolitis ulseratif,

membedakannya dengan penyakit Crohn, dan untuk melihat perluasan dan

fase penyakitnya.

1. Fase akut : mungkin menunjukkan penyempitan dan pengisian yang tidak

komplit hingga spasme. Tipe-tipe ulkus yang bervariasi mungkin terlihat,

ulkus yang dalam, ulkus yang dangkal atau ulserasi submukosa yang

"longitudinal" yang memperlihatkan barium dua traktus. Pada ulkus yang

dangkal, tampak kumpulan barium yang terlihat padat , seperti titik-titik

(stippling pattern) yang terbatas pada mukosa . Ulkus yang meluas ke arah

lateral dan ke dalam daerah submukosa akan membentuk gambaran "collar

button"Edema pada haustra mungkin mengakibatkan "thumb printing".

Pseudopolips mungkin terjadi karena adanya area edema dari mukosa.12, 14

2. Fase kronik : mungkin memperlihatkan kaliber lumen yang menyempit

atau yang biasa disebut sebagai kolon "Hose pipe". Pembentukan

malignan mungkin terlihat. 12

Gambar 5. Kolitis ulseratif fase akut yang melibatkan rektosigmoid. Pada bagian distal rektosigmoid, mukosa terlihat bergranular (panah putih) dibandingkan dengan mukosa normal (panah hitam) pada bagian proksimal. (diambil dari kepustakaan no.15)

Gambar 6. Pemeriksaan barium enema pada kolitis ulseratif yang menunjukkan ulkus yang seperti titik-titik (stippling ulcers) (diambil dari kepustakaan no.14)

Page 11: KOLITIS ULSERATIF

  11  

c) Computed Tomography (CT) Scan

CT adalah alat diagnosis yang paling baik digunakan untuk evaluasi kolitis

ulseratif karena kemampuannya untuk memperlihatkan lesi pada mukosa,

penebalan dinding kolon, komplikasi intraperitoneal (abses dan fistula) dan

limfadenopati. Pemeriksaan ini bisa dilakukan jika diduga adanya perforasi

pada usus. Penemuan yang paling penting pada ulseratif kolitis adalah : 12,16,17

o Penebalan dinding kolon yang simetris dan berlanjut. Biasanya

sikumferensial kolon >10 mm.

o Distribusi ulkus yang berlanjut dari rektum mengacu pada kolitis ulseratif.

o Stratified appearance pada loop usus yang terkena, terlihat seperti target

atau halo sign, dengan lapisan mukosa dan muskularis propria

mengelilingi submukosa yang hipodens.

o Adanya striktur yang jinak (fibrosis) atau ganas (seperti apple core).

Gambar 8. Kolitis ulseratif fase kronik. Single-contrast enema memperlihatkan hilangnya haustra yang ekstensif pada kolon, penyempitan lumen, dan mukosa yang iregular pada kolon transversum. (diambil dari kepustakaan no.12)

Gambar 7. Pemeriksaan barium enema pada kolitis ulseratif dengan pseudopolyps. (diambil dari kepustakaan no.14)

Page 12: KOLITIS ULSERATIF

  12  

d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI sangat berguna sebagai alat untuk mengevaluasi IBD karena memiliki

resolusi jaringan yang tinggi. MRI colonography dapat menunjukkan

karakteristik perubahan kolon pada stadium akut dan kronis IBD, ulkus,

edema, penebalan dinding, fistula dan juga komplikasi ekstraluminal. Hasil

penemuan gambaran dari MRI, membagi kolitis ulseratif menjadi tiga

stadium yaitu:18

o Stadium aktif ringan

Penebalan dari dinding usus yang ringan, perubahan jaringan mukosa yang

jarang, dan distensibilitas dinding usus yang menurun.

o Stadium sedang- berat

Dinding dalam usus yang terlihat bergelombang, penebalan dari dinding

usus yang sedang atau edema mural, ulkus, hilangnya haustra, dan dilatasi

vaskular.

o Stadium kronik inaktif

Tidak ada perubahan mukosa, hilangnya haustra, penyempitan dan

kekakuan lumen.

Gambar 9. Penebalan dinding kolon pada ulseratif kolitis (diambil dari kepustakaan no.12)

Gambar 10. Ulseratif kolitis akut. Pada CT terlihat ulserasi yang dalam. (diambil dari kepustakaan no.17)

Page 13: KOLITIS ULSERATIF

  13  

4. Kolonoskopi

Pemeriksaan endoskopi mempunyai peran penting dalam diagnosis dan

penatalaksanaan kasus IBD. Proktosigmoidoskopi atau kolonoskopi akan

memperlihatkan perubahan mukosa pada kolitis ulseratif, yang terdiri atas

hilangnya pola vaskular yang khas, granularitas, dan ulserasi. Perubahan ini

melibatkan rektum bagian distal dan dapat berlanjut ke arah proksimal dengan

pola simetris dan melingkar hingga semua bagian dari usus besar terlibat.1,4

Dari gambaran pemeriksaan kolonoskopi, kolitis ulseratif terbagi menjadi

tiga stadium yaitu:18

o Stadium aktif ringan : terlihat eritem, mukosa yang rapuh, hilangnya pola

vaskular mukosa.

o Stadium sedang-berat : mukosa yang bergranular, ulkus dengan kedalaman

yang bervariasi (collar button configuration), eritem dan eksudat purulent.

o Stadium kronik inaktif : tidak ada perubahan mukosa, hilangnya haustra,

penyempitan dan kekakuan lumen, pseudopolips.

Gambar 11 : Gambaran kolonogram MR yang diperoleh setelah pemberian kontras intravena menunjukkan perubahan mukosa, penebalan dari dinding usus yang ringan, dan lipatan haustra yang memendek. (diambil dari kepustakaan no. 18)

Gambar 12 : Gambaran kolonogram MR yang diperoleh setelah pemberian kontras intravena menunjukkan menunjukkan dinding dalam usus yang terlihat bergelombang karena ulkus superfisial dan adanya pseudopolip pada mukosa kolon. (diambil dari kepustakaan no. 18)

Page 14: KOLITIS ULSERATIF

  14  

5. Histopatologi

Pada kolitis ulseratif peradangan terbatas pada lapisan mukosa dengan

infiltrat yang kepadatan dan komposisinya bervariasi selama tahap aktif dan

remisi penyakit ini. Infiltrat terutama terdiri dari limfosit, sel plasma dan

granulosit, granulosit umumnya sangat menonjol pada tahap aktif dan

terakumulasi pada abses kripte.10

Fitur yang khas lainnya adalah deplesi dari sel-sel goblet, kripte yang

terdistorsi, kepadatan kripte yang berkurang dan ulserasi. Namun, granuloma

epiteloid yang khas dari penyakit Crohn, tidak ditemukan pada kolitis ulseratif.

Mencari displasia epithel sangat penting, mengingat adanya resiko kanker dengan

kolitis ulseratif yang lama, namun, displasia dapat juga terjadi tanpa menunjukkan

transformasi maligna. 10.20

Gambar 13. Pada pemeriksaan kolonoskopi, tampak eritem yang difuse, granularitas, dan hilangnya pola vaskular kolon pada penyakit kolitis ulseratif. (diambil dari kepustakaan no. 18)

Gambar 14. Gambaran kolonoskopi menunjukkan adanya ulkus, eritem, dan mukosa yang rapuh dari rektum hingga ke fleksura splenik. (diambil dari kepustakaan no. 17)

Gambar 15. A. Terlihat proses inflamasi pada ulseratif kolitis yang melibatkan mukosa, submukosa dan muskularis propria. B. Terlihat lamina propria yang membesar dan beberapa abses kripte. C. Tampak adanya distorsi dan atrofi kripte pada kronik ulseratif kolitis (diambil dari kepustakaan no.19)

Page 15: KOLITIS ULSERATIF

  15  

VII. DIAGNOSIS BANDING

1. Penyakit Crohn

Kondisi inflamasi yang dapat menyerang daerah mana saja sepanjang

traktus gastrointestinal dan dapat merusak semua lapisan-lapisan penyusun traktus

GI. Terdapat skip lesions atau daerah sehat yang terputus-putus diantara

lesi/daerah inflamasi yang dapat membantu untuk membedakannya dengan

penyakit kolitis ulseratif. Penyakit Crohn ini paling sering menyerang area ileum

terminal. Gejala klinis dari penyakit Crohn adalah diare yang rekuren, anemia,

penururan berat badan, nyeri pada perut, abses dan malabsorpsi.12

Ada beberapa pemeriksaan radiologi pada penyakit crohn :12

• AXR : memperlihatkan adanya penebalan pada dinding usus, yang berkaitan

dengan proses inflamasi, perforasi dan toksik megakolon pun dapat terlihat.

• Pemeriksaan barium : 12

1. Pada gambaran awal penyakit crohn dapat ditemukan ulser apthoid yang

dangkal , pembesaran dari nodul limfoid dan penebalan dan distorsi dari

valvula conniventes dari usus kecil

2. Gambaran lanjut penyakit crohn dapat dijumpai adanya cobble-stoning

pada mukosa, ulkus serpiginosa, loop usus kecil yang menjadi kaku dan

lurus, hal-hal ini disebabkan karena spasme dan udem. pseudopolip bisa

juga terlihat. Penetrasi fisura yang lebih dalam dan melewati submukosa

akan menghasilkan gambaran duri mawar "rose thorns" yang tampak pada

bagian tepi dari mukosa.

3. Pada gambaran stadium akhir, bagian-bagian stenosis akan terlihat seperti

senar dengan barium yang mengalir di dalamnya. Biasanya ini ditemukan

pada daerah ileum terminal dan bagian proximal dari loops biasanya

terlihat dilatasi.

Page 16: KOLITIS ULSERATIF

  16  

Gambar 16. Penyakit Crohn fase awal. Adanya beberapa ulkus yang dangkal pada cecum. (diambil dari kepustakaan no.12)

Gambar 17. Penyakit Crohn fase kronis. Terlihat adanya striktur yang panjang dan irregular pada ileum terminalis. (diambil dari kepustakaan no.12)

Gambar 18. Tampak penyakit crohn dengan fisure dan ulkus yang panjang dan linear pada pemeriksaan barium enema. (diambil dari kepustakaan nomor. 14)  

Page 17: KOLITIS ULSERATIF

  17  

Gambar 19. Pemeriksaan CT pada penyakit Crohn terlihat adanya striktur pada ileum terminalis. (diambil dari kepustakaan no.12)

• CT : penebalan dinding usus mungkin memperlihatkan adanya double-halo

configuration, halo adalah daerah yang dikeliling oleh densitas rendah dari

mukosa yang udem, yang kemudian dikelilingi oleh densitas yang lebih tinggi

karena penebalan dan fibrosis dari jaringan muskularis. Dapat juga terlihat

adanya striktur dan abses.

3. Kolitis Iskemik

Kolitis iskemik disebabkan oleh gangguan terhadap suplai darah ke kolon.

Etiologinya termasuk trombosis, obstruksi usus dan trauma. Manifestasi klinis

yang dapat ditemukan pada kolitis iskemik adalah nyeri perut. Nyeri perut yang

kemudian diikuti dengan keinginan untuk berdefekasi dan biasanya dalam waktu

24 jam, feses akan bercampur darah yang merah terang atau merah tua. Mual

muntah, distensi abdomen, anoreksia dan ileus mungkin dapat ditemukan.

Biasanya menyerang bagian sisi kiri dari kolon, khususnya pada bagian

arteri mesentrika superior dan inferior.12

Pemeriksaan radiologi :12,21

• AXR dan barium enema : Kegunaan foto polos sangat terbatas untuk

mendiagnosis iskemik kolitis. Foto polos biasanya terlihat normal. Pada

20% pasien , dapat ditemukan tanda-tanda spesifik seperti

Gambar 20. Penebalan dan hiperemik pada ileum terminalis pada penyakit Crohn. (diambil dari kepustakaan no.12)

Page 18: KOLITIS ULSERATIF

  18  

Gambar 21. Perhatikan adanya "thumb printing", edema pada lipatan-lipatan pada bagian distal kolon tranversum. (diambil dari kepustakaan no.12)

Gambar 22. Stadium lanjut kolitis iskemik. Barium enema single-contrast menunjukkan adanya zona transisi antara kolon normal dan abnormal pada pertemuan tranversum kolon)media dan 1/3 distal. Mukosa dan haustra yang normal pada kolon proksimal dan pada bagian distal terlihat penyempitan pada segmen kolon. (diambil dari kepustakaan no.12)

"thumbprinting", penebalan mural dan adanya pneumatosis coli.

Pemeriksaan barium enema dapat digunakan pada kolitis iskemik tetapi

biasanya sangat sulit untuk mengeklusi bentuk-bentuk kolitis yang lain

seperti IBD dan kolitis pseudomembran. Pada barium enema bisa terlihat

penebalan (thumbprinting) dari dinding kolon, kadang bisa ditemukan

adanya striktur.

• CT scan : CT bisa menjadi tes yang sangat berguna digunakan untuk

menyingkirkan kondisi-kondisi lain yang dapat menyebabkan gejala yang

mirip dengan kolitis iskemik, namun belum terlalu efektif untuk

mendiagnosis kolitis iskemik. Namun CT dapat memberikan bukti tidak

langsung adanya iskemik kolitis seperti penebalan mural dan asites. Area

kolon yang abnormal terlihat menebal dan menunjukkan peningkatan

kontras.

Page 19: KOLITIS ULSERATIF

  19  

• USG (Ultrasonography) : Color doppler ultrasound juga berguna

membedakan IBD dan iskemik kolitis. Ketika sinyal arterial atau aliran

color doppler tidak terdeteksi, iskemik kolitis menjadi pertimbangan

diagnosis yang kuat dan proses inflamasi dapat dieksklusi. Namun hanya

50% pasien iskemik kolitis yang mempunyai gambaran seperti ini,

walaupun USG memiliki spesifisitas yang adekuat, namun dari

sensitivitas , ini tidak boleh menjadi suatu alat diagnostik primer.

Gambar 24. Nekrosis pada usus. Adanya vena porta gas karena nekrosis yang terjadi (diambil dari kepustakaan no.12)

Gambar 23. Trombosis vena mesentrika pada penyakit iskemik kolitis (diambil dari kepustakaan no.12)

Gambar 25. Sonogram menunjukkan penebalan nonstratified dari dinding usus desenden dan sigmoid (S) dan perubahan lemak perikolik (tanda panah putih). Aliran warna doppler nyaris tak terlihat(hanya satu piksel warna) terlihat (panah hitam). Juga perhatikan pembengkakan pembuluh darah (ujung panah). (diambil dari kepustakaaan no. 22)

Page 20: KOLITIS ULSERATIF

  20  

VIII. PENATALAKSANAAN 1.Medikamentosa

Tidak ada pengobatan spesifik untuk kolitis ulseratif. Tujuan terapi adalah

untuk mengurangi pendarahan dan mempercepat penyembuhan klinis. Pengobatan

yang paling utama adalah pemberian obat 5-aminosalicylic acid (5-ASA), yang

bekerja secara topikal pada lumen kolon dan menekan pembentukan mediator

proinflamasi. Pasien yang tidak bisa mentoleransi adanya iritasi anus karena

penggunaan 5-ASA topikal maka dapat diberikan preparat oral. Dosis rata-rata 5-

ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram perhari, yang kemudian dilanjutkan

dengan dosis pemeliharaan sesuai dengan kondisi pasien. 1,5,6

Predsnison diberikan pada pasien dengan dosis 40-60 mg/ hari,

pengobatan dengan dosis penuh diteruskan sampai gejala benar-benar terkontrol

(biasa 10 sampai 14 hari) dosis pun kemudian diturunkan 5 mg per minggu dan di

berhentikan secepatnya bila memungkinkan. Jika pasien tidak berespon terhadap

pemberian steroid oral, maka pasien harus dirujuk ke rumah sakit untuk

mendapatkan pemberian kortikosteroid secara intravena, seperti metil

prednisolone sodium (solu-medrol), 40 mg perhari. 5

Tabel 2. Pengobatan pada pasien dengan ulseratif kolitis

Obat Dosis Harian Efek Samping

5-aminosalicylic acid Sulfasalazine Mesalamine Mesalamin Enema

2 sampai 6 g Asacol, 2.4 sampai 4.8 g 2 sampai 4 g

Agranulositosis, diare, sakit kepala, ,nausea, dan gangguan ginjal

Prednisone 40 sampai 60 mg Insufiensi adrenal, hiperglikemia, osteoporosis

Steroid enema 100 mg Diare

Azathioprine 1.5 sampai 25 mg per kg

Sakit kepala, diare, hepatotoksisitas , leukopenia, mialgia

Mercaptopurine 0.75 samapai 1.5 mg per kg

Sakit kepala, diare, hepatotoksisitas, leukopenia, mialgia

Page 21: KOLITIS ULSERATIF

  21  

Pemberian steroid oral jangka panjang tidak di rekomendasikan karena

adanya efek samping yang signifikan. Pasien yang tidak berespon terhadap

kortikosteroid dapat diberikan infliximab(ramicade), obat ini menetralisasikan

pro-inflammatory cytokine tumor necrosis factor-a .5

2.Pembedahan

Bila tindakan medis tidak berhasil dan penyakit tidak dapat teratasi, maka

diindikasikan pembedahan. Operasi yang paling sering dilakukan adalah

kolektomi total dan pembuatan ileostomi permanen. Beberapa ahli juga

menganjurkan kolektomi pada semua pasien yang seluruh kolonnya telah terkena

selama beberapa tahun. Ada beberapa indikasi untuk pembedahan selain hal yang

disebutkan diatas, seperti adanya toksik megakolon, perforasi , pendarahan yang

tidak terkontrol, striktur, kanker dan petumbuhan yang terhambat pada anak.6,10

3.Non Medikamentosa

Diet residu rendah menyebabkan berkurangnya masa feses sehingga

membuat pasien merasa lebih nyaman. Diet juga harus mengandung protein tinggi

untuk mengkompensasi kehilangan protein dalam lesi eksudatif, dan juga harus

tinggi kandungan vitamin dan mineral dengan pembatasan laktosa untuk

menghindari terjadinya intoleransi laktosa yang berkaitan dengan diare. Pasien

malnutrisi membutuhkan pemberian nutrisi parenteral total (TPN). Dukungan

emosional dan menentramkan hati penderita merupakan aspek pengobatan yang

penting.6

IX. KOMPLIKASI

1.Keterlibatan usus10

• Pendarahan: suatu komplikasi yang umum, dapat menjadi parah pada sekitar

10% dari pasien, tersering menyebabkan anemia defisiensi besi.

• Kolitis beracun atau fulminant: Biasanya berkembang pada kolitis ekstensif

dengan peradangan yang parah, dapat menyebabkan ileus paralitik dengan

distensi perut, perforasi juga mungkin terjadi.

Page 22: KOLITIS ULSERATIF

  22  

• Megakolon toksik : Distensi pada kolon yang parah (6 cm atau lebih) disertai

demam, leukositosis, nyeri, perforasi dapat terjadi, dengan risiko kematian

yang tinggi, dapat disebabkan oleh endoskopi pada pasien dengan kolitis

berat atau fulminan

• Displasia atau kanker kolorektal: dikhawatirkan terjadi pada pasien dengan

durasi penyakit lebih dari 8 tahun, terutama pada mereka dengan kolitis luas

dan pankolitis.

2.Keterlibatan ekstraintestinal10

• Musculoskeletal sistem: artritis peripheral, paling sering bermigrasi, arthritis

nondestruktif sendi yang besar, yang biasanya sejajar aktivitas penyakit,

arthritis aksial: ankylosing spondylitis dan sakroiliitis (sering HLAB27-

positif), yang biasanya independen dari aktivitas penyakit, osteoporosis,

osteopenia, osteonekrosis, fraktur

• Pada kulit: eritema nodosum, pioderma gangrenosum, ulkus pada mulut

• Sistem hepatobiiliari: sklerosing cholangitis (risiko cholangiocarcinoma),

infiltrasi lemak, penyakit hati autoimun

• Pada mata : kondisi yang paling umum terjadi di ruang anterior mata seperti

episkleritis, skleritis, uveitis, iritis, konjungtivitis

• Sistem hematopoietik: anemia dari penyakit kronis, dan anemia dengan

defisiensi besi.

• Koagulasi sistem: kelainan pembekuan, abnormal fibrinolisis, trombositosis,

kelainan endotel, kejadian tromboemboli, terutama di pembuluh darah

perifer.

X. PROGNOSIS

Prognosis untuk pasien dengan kolitis ulseratif telah sangat berubah

selama beberapa dekade terakhir. Pada awal 1900-an kolitis ulseratif dianggap

sebagai penyakit yang fatal karena lebih dari 75% pasien meninggal dalam waktu

beberapa tahun setelah onset akut. Pada tahun 1950, angka kematian dilaporkan

menjadi 22% pada tahun pertama setelah diagnosis. Adanya terapi steroid sangat

Page 23: KOLITIS ULSERATIF

  23  

meningkatkan prognosis yang baik pada pasien dengan ulseratif kolitis yang

berat.20

Studi epidemiologi saat ini menunjukkan bahwa pasien yang menderita

ulseratif kolitis memiliki harapan hidup yang sama dengan masyarakat umum,

prognosis pada pasien dengan kolitis ulseratif umumnya baik pada dekade

pertama setelah diagnosis walaupun masih ada beberapa penilitian yang

menunjukkan ada sedikit peningkatan angka mortalitas. Kolitis ulseratif dapat

mengancam nyawa saat terjadi serangan yang berat karena adanya komplikasi

pada kolon dan sistemik dan penyakit ini pun dapat berkembang menjadi kanker

kolorektal.10,23

Page 24: KOLITIS ULSERATIF

  24  

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat D. Inflammatory bowel disease alur diagnosis dan

pengobatannya di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setyohadi W, Alwi K,

Setiadi S,editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: Interna

publishing; 2004. p. 591-7

2. Patel PR. Saluran pencernaan. In : Umami V, Safitri A, editors. Lecture

notes radiologi. Edisi kedua. Indonesia : Penerbit erlangga; 2007. p.123

3. Kornbluth A, Sachar DB. Ulcerative colitis practice guidelines in adults

(update): american college of gastroenterology, practice parameters

committee. Am. coll of gastroenterology. 2004.

4. Zhang Z, Kennedy H. Ulcerative colitis: current medical therapy and

strategies for improving medication adherence. Eur J Gastroenterol

Hepatol. 2009.21:1–8 .Wolters kluwer health | Lippincott williams &

wilkins.

5. Langan RC, Gotsch PB, Krafczyk MA. Ulcerative Colitis: Diagnosis and

Treatment. American Family Physician. 2007: 76:9.

6. Lindseth GN. Gangguan usus besar. In: Price SA, WIlson LM, editors.

Patofisiologi : konsep klinis dasar-dasar penyakit 1. 6 ed. Jakarta: Penerbit

buku kedokteran ECG; 2003. p. 456-64.

7. Tony KS. Kolon. In: Radiologi diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit

FKUI; 2005. p. 256-63.

8. Abdomen. In: Netter FH, editor. Atlas of human anatomy. 5 ed.

Philadelphia: Saunders elsevier; 2011. p. 262-3.

9. Putz R & Pabst R. In: Suryo J.Atlas Anatomi Manusia Sobotta jilid 2.

Jakarta: ECG. 2005. p. 141

10. Danese S, Fiocchi C. Ulcerative colitis.N Engl J Med. 2011;365:1713-25.

11. Fauci SA, Longo DL. Inflammatory bowel disease. In: Fauci SA, Kasper

DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et. al. Harrison's

principles of internal medicine. 17th ed. New york: Mcgraw-hill

companies; 2008. p. 5122-47

Page 25: KOLITIS ULSERATIF

  25  

12. Conder G, Rendle J, Kidd S, Misra RR. In: Misra RR, editor. A-Z

abdominal radiology. Cambridge: Cambridge university press; 2009.p.

96-103.

13. Chowdury R, Wilson L, Rofe C, Lloyd-Jones G. AXR classic cases II. In:

Chowdury R, Wilson L, Rofe C, Lloyd-Jones G., editors. Radiology at a

glance. Oxford: Blackwell publishing; 2010. p. 44-5

14. Mutch MG, Binbaum EH, Menias CO. Diagnostic evaluation- radiology,

nuclear, scans,PET, CT colography. In: Fleshman JW, Wolff BG, editors.

The ASCRS textbook of colon and rectal surgery. Springer: New york;

2007. p.69-100.

15. Eisenberg RL. Ulcerative lesion in colon. In : Eisenberg RL, editor.

Gastrointestinal radiology: a pattern approach. Philadelphia: Lippincott

william & wilkins; 2003. p. 587-624.

16. Harisinghani MG, Mueller PR. Ulcerative colitis. In: Harisinghani MG,

Mueller PR, Heffes AM. Teaching atlas of abdominal imaging. New York:

Thieme; 2009. p. 305-8.

17. Stooker J, Gore RM. Imaging of the colon and rectum: Inflammatory and

infectious disease. In: Hodler J, Schulthess GV, Zolikofer CL, editors.

Diseases of the abdomen and pelvis 2010-2013. Italia : Springer; 2010. p.

37-46.

18. Rinola F, Rodriquez S, Garcia-Bosch O, Ricart E, Pages M, Pellise M, et

al. Role of 3.0-T MR Colonography in the Evaluation of Inflam- matory

Bowel Disease. RadioGraphics 2009; 29:701–719

19. Differentiating ulcerative colitis from crohn disease in children and young

adults: report of a working group of the north american society for

pediatric gastroenterology, hepatology, and nutrition and the crohn’s and

colitis foundation of america. Journal of pediatric gastroenterology and

nutrition. 2007;44:653–674.

20. Mitros FA, Rubin E. The gastrointestinal tract. In : Rubin E, Reisner HM,

editors. Essential of rubin's pathology. Philadelphia: Lippincot williams &

wilkins; 2009. p. 274-340.

Page 26: KOLITIS ULSERATIF

  26  

21. Sun MY, Maykel JA. Ischemic Colitis. Clin Colon Rectal Surg. 2007

February; 20(1): 5–12.

22. Ripolles T, Simo L, Perez MJ, Pastor MR, Igual A, Lopez A. Sonographic

findings in ischemic colitis in 58 patients. American Journal of

Roentgenology. 2005;184:777-785

23. Caprilli R, Viscido A, Latella G. Current management of severe ulcerative

colitis. Nature clinical practice gastroenterology & hepatology. 2007;4;2.