22
1 KOMERSIALISASI SUMBER DAYA DI SEKTOR INDUSTRI BIOTEKNOLOGI TERKAIT ACCESS AND BENEFIT SHARING PENDAHULUAN Konvensi Keanekaragaman Hayati adalah perjanjian multi lateral untuk mengikat para pihak (negara peserta konvensi) dalam menyelesaikan masalahmasalah global khususnya keanekaragaman hayati. Konvensi keanekaragaman hayati lahir sebagai wujud kekhawatiran umat manusia atas semakin berkurangnya nilai keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh laju kerusakan keanekaragaman hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk memadukan segala upaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat manusia selanjutnya. Secara singkat sejarah munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari hasil pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi deklarasi bahwa permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke2 Deklarasi Stockholm). Pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro ini telah merumuskan lima dokumen, yakni Deklarasi Rio; Konvensi Acuan tentang Perubahan Iklim; Konvensi Keanekaragaman Hayati; PrinsipPrinsip Pengelolan Hutan; dan Agenda 21. Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber – sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatankegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan d luar batas yuridiksi nasional. Kesadaran mengenai nilai penting sumber daya genetik bagi kemanusiaan sudah dikenal sejak jaman pra sejarah. Sejak manusia memasuki tahapan bercocok tanam dan beternak, kegiatan pemuliaan jenis tanaman dan ternak sudah

Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

1  

KOMERSIALISASI SUMBER DAYA DI SEKTOR INDUSTRI BIOTEKNOLOGI TERKAIT ACCESS AND BENEFIT SHARING 

 PENDAHULUAN 

Konvensi Keanekaragaman Hayati adalah perjanjian multi lateral untuk mengikat 

para  pihak  (negara  peserta  konvensi)  dalam  menyelesaikan  masalah‐masalah 

global khususnya keanekaragaman hayati. Konvensi keanekaragaman hayati lahir 

sebagai  wujud  kekhawatiran  umat  manusia  atas  semakin  berkurangnya  nilai 

keanekaragaman hayati  yang disebabkan oleh  laju  kerusakan  keanekaragaman 

hayati  yang  cepat  dan  kebutuhan masyarakat  dunia  untuk memadukan  segala 

upaya  perlindungannya  bagi  kelangsungan  hidup  alam  dan  umat  manusia 

selanjutnya.  

Secara singkat sejarah munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari 

hasil pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk 

penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm pada  tanggal 16  Juni Tahun 1972, 

terutama menyangkut  isi deklarasi bahwa permasalahan  lingkungan merupakan 

isu  utama  yang  berpengaruh  pada  kesejahteraan manusia  dan  pembangunan 

ekonomi di seluruh dunia (butir ke‐2 Deklarasi Stockholm). Pertemuan KTT Bumi 

Tahun  1992  di  Rio  de  Janeiro  ini  telah  merumuskan  lima  dokumen,  yakni 

Deklarasi  Rio;  Konvensi  Acuan  tentang  Perubahan  Iklim;  Konvensi 

Keanekaragaman Hayati; Prinsip‐Prinsip Pengelolan Hutan; dan Agenda 21.    

Prinsip  dalam  konvensi  keanekaragaman  hayati  adalah  bahwa  setiap  negara 

mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan  sumber –  sumber daya hayati 

sesuai  dengan  kebijakan  pembangunan  lingkungannya  sendiri  dan mempunyai 

tanggung  jawab  untuk  menjamin  bahwa  kegiatan‐kegiatan  yang  dilakukan  di 

dalam  yurisdiksinya  tidak menimbulkan  kerusakan  terhadap  lingkungan negara 

lain atau kawasan d luar batas yuridiksi nasional. 

Kesadaran mengenai nilai penting sumber daya genetik bagi kemanusiaan sudah 

dikenal  sejak  jaman  pra  sejarah.  Sejak manusia memasuki  tahapan  bercocok 

tanam  dan  beternak,  kegiatan  pemuliaan  jenis  tanaman  dan  ternak  sudah 

Page 2: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

dimulai.  Pemilihan  jenis  dan  persilangan  jenis  yang  semula  dilakukan  secara 

empiris,  sebenarnya  merupakan  titik  awal  dari  pengenalan  sifat‐sifat  unggul 

“preferable”  dan  sifat‐sifat  “un‐needed”  yang  sebenarnya merupakan  ekspresi 

fisiologis  dari  variabilitas  genetis  diantara  tanaman  dan  ternak  budidaya.  Baru 

kemudian pada abad 18 sampai awal abad 19, pada era Mendel, mulai dikenal 

pengetahuan  hibridisasi  yang  merupakan  titik  awal  upaya  manusia  untuk 

menseleksi ekspresi genetis dari variabilitas gen didalam suatu tumbuhan secara 

sistematis. Mulai saat itulah nilai sumber daya genetik secara empiris dikenal. 

Dengan berkembangnya bioteknologi di bidang pertanian dan farmasi, maka nilai 

sumber  daya  genetik  ini  semakin meningkat.  Pada  awalnya  nilai  sumber  daya 

genetik  ini  terikat  dengan  kesatuan  (entity)  kepemilikan  fisik  varietas  suatu 

komoditas  tanaman  dan/atau  ternak.  Dengan  berkembangnya  pengetahuan 

mengenai  ilmu  hayati  (biologi)  dan  semua  cabang‐cabangnya  (termasuk  ilmu 

genetika) maka mulai dikenal nilai‐nilai intrinsik suatu mahluk hidup yang dikenal 

dengan variabilitas gen. Perkembangan  ilmu pengetahuan biologi tersebut telah 

meningkatkan potensi pemanfaatan sumber daya genetik, dan dengan demikian 

juga meningkatkan  nilai  sumber  daya  tersebut.  Sejalan  dengan  perkembangan 

industri  pertanian  dan  farmasi  yang memanfaatkan  bioteknologi  serta  sumber 

daya  genetik  ini,  maka  eksplorasi  sumber‐sumber  daya  genetik  baru  juga 

meningkat. 

PEMBAHASAN 

Bioteknologi 

Istilah bioteknologi pertama kali dikemukakan oleh Karl Ereky, seorang  insinyur 

Hongaria  pada  tahun  1917  untuk mendeskripsikan  produksi  babi  dalam  skala 

besar  dengan  menggunakan  bit  gula  sebagai  sumber  pakan.  Pada 

perkembangannya  sampai  pada  tahun  1970,  bioteknologi  selalu  berasosiasi 

dengan  rekayasa  biokimia  (biochemical  engineering).  Definisi  bioteknologi 

apabila dapat dilihat dari akar katanya berasal dari “bio” dan “teknologi”, maka 

kalau digabung pengertiannya adalah penggunaan organisme atau sistem hidup 

untuk  memecahkan  suatu  masalah  atau  untuk  menghasilkan  produk  yang 

Page 3: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

berguna.  Pada  tahun  1981,  Federasi  Bioteknologi  Eropa  mendefinisikan 

bioteknologi  sebagai  berikut,  bioteknologi  adalah  suatu  aplikasi  terpadu 

biokimia, mikrobiologi,  dan  rekayasa  kimia dengan  tujuan  untuk mendapatkan 

aplikasi teknologi dengan kapasitas biakan mikroba, sel, atau  jaringan di bidang 

industri,  kesehatan,  dan  pertanian.  Definisi  bioteknologi  yang  lebih  luas 

dinyatakan  oleh  Bull,  et  al,  (1982),  yaitu  penerapan  prinsip‐prinsip  ilmiah  dan 

rekayasa  pengolahan  bahan  oleh  agen  biologi  seperti  mikroorganisme,  sel 

tumbuhan, sel hewan, manusia, dan enzim untuk menghasilkan barang dan jasa. 

(Goenadi & Isroi, 2003).  Bioteknologi merupakan aktivitas terpadu dari berbagai 

disiplin  ilmu yang relevan (biokimia, mikrobiologi, rekayasa, dan  lain‐lain) dalam 

pemanfaatan  agen  hayati  untuk  menghasilkan  barang  dan/atau  jasa  untuk 

kesejahteraan umat manusia (Amar et al, 2007). 

Pada masa  lalu gen ditransfer melalui persilangan biasa atau cara konvensional 

pada  tanaman sekerabat. Misalkan padi atau  jagung varietas yang satu dengan 

varietas padi atau  jagung varietas yang  lain. Perkembangan teknologi pertanian 

modern melalui bioteknologi dapat memindahkan gen dari  spesies apa  saja ke 

spesies  lain  melalui  berbagai  cara,  antara  lain  dengan  pemanfaatan  vektor 

pemindah gen. Teknik semacam  ini telah banyak dikembangkan untuk tanaman 

budidaya. Produk  rekayasa genetika  jagung, kedelai dan kapas  telah dihasilkan 

dan dijual oleh perusahaan agrokimia multinasional seperti Novartis, Monsanto, 

Zeneca  dan  lain‐lain. Melalui  bioteknologi  diharapkan muncul  tanaman  tahan 

terhadap hama dan penyakit, dapat tumbuh di  lahan yang mempunyai kendala 

cekaman fisik (tanah garaman, tanah masam, cekaman kekeringan dan lain‐lain) 

sesuai dengan harapan peneliti/pemulia tanaman. Bioteknologi manusia mampu 

melewati  batasan  biologi,  baik  itu  kelompok  hewan,  tumbuhan  maupun 

mikroorganisme dalam memasukkan sifat yang diinginkan. 

Bioteknologi  dan  industri  bioteknologi  dalam  dasawarsa  terakhir  berkembang 

sangat  pesat.  Tercatat  sampai  dengan  tahun  1997  tidak  kurang  dari  124 

"organisme baru"  terutama  tanaman‐tanaman  transgenik  (tanaman  yang  telah 

mengalami  rekayasa  genetik)  telah  dimintakan  izin  dan  dipatenkan  untuk 

Page 4: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

dibudidayakan  dan  dipasarkan  secara  global.  Ratusan  ribu  produk  hayati 

termasuk di dalamnya makhluk tanaman, hewan dan mikroba telah dipaten oleh 

negara‐negara maju,  termasuk  Amerika‐Serikat,  negara‐negara Uni  Eropa,  dan 

Jepang. 

Pengembangan  bioteknologi  melalui  rekayasa  genetika  berlandaskan  pada 

keanekaragaman  hayati  atau  dapat  dikatakan  bahwa  keanekaragaman  hayati 

merupakan  aset  pengembangan  bioteknologi.  Indonesia  merupakan  negara 

dengan kekayaan keanekaragaman hayati  terbesar di dunia, diikuti oleh Brazil, 

Zaire, dan negara‐negara berkembang  lainnya. Dapat dipastikan bahwa negara‐

negara  yang maju  teknologinya  adalah  negara‐negara miskin  keanekaragaman 

hayati,  sedang  negara  yang  kaya  keanekaragaman  hayatinya  terbatas 

kemampuan teknologinya. Diperkirakan di dunia  ini terdapat 5  ‐ 30  juta spesies 

(jenis  makhluk  hidup),  dan  hanya  sekitar  1,4  juta  yang  telah  terindentifikasi 

secara ilmiah. 

Penerapan dan Komersialisasi Bioteknologi 

Penerapan bioteknologi dalam skala industri secara umum dibagi dalam berbagai 

bidang,  yaitu  perawatan  kesehatan  (medis),  produksi  tanaman  dan  pertanian, 

industri non pangan menggunakan tanaman dan produk lainnya (misalnya plastik 

biodegradable, minyak sayur, biofuel),  lingkungan serta kelautan dan perikanan 

(Amar et al, 2007). 

Sebagai  contoh,  satu  aplikasi bioteknologi  adalah penggunaan organisme  yang 

diarahkan  untuk  pembuatan  produk  organik  (contoh meliputi  produk  bir  dan 

susu).    Contoh  lain  adalah  menggunakan  bakteri  alami  oleh  industri 

pertambangan (bioleaching).  Bioteknologi juga digunakan untuk mendaur ulang, 

mengolah  limbah,  membersihkan  lokasi  yang  terkontaminasi  oleh  kegiatan 

industri (bioremediasi), dan juga untuk memproduksi senjata biologi. 

Produk  rekayasa  genetika  ternyata  semakin meluas.  Di  Amerika  Serikat  areal 

pertanaman yang menggunakan varietas rekayasa genetika telah meningkat dari 

enam  juta  are  pada  tahun  1996 menjadi  30  juta  are  pada  tahun  1997.  Pada 

Page 5: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

tahun‐tahun mendatang  sekitar  40 persen  tanaman  kedelai di Amerika  adalah 

kedelai  yang  dimodifikasi  secara  genetik.  Bahkan  beberapa  perusahaan  besar 

telah mempunyai berbagai varietas rekayas genetika yang telah memperoleh hak 

paten. Perusahaan multinasional bioteknologi Monsanto telah mengembangkan 

benih Terminator, Novartis Swiss dengan Traitor dan Zeneca dengan Verminator 

yang  intinya  sama, benih  tersebut  akan membunuh  turunannya,  kecuali diberi 

pemicu bahan kimia yang diproduksi oleh perusahaan itu sendiri. Benih ini telah 

disusupi dengan gen "suicide seed/benih bunuh diri "sehingga petani tidak akan 

dapat  lagi menyisihkan  hasil  panennya  untuk  dijadikan  benih,  karena  turunan 

pertamanya  tidak  dapat  tumbuh.  Setiap  kali menanam,  petani  harus membeli 

benih  dari  perusahaan/agen,  sehingga  ketergantungan  petani  terhadap  benih 

tersebut makin besar. 

Komersialisasi merupakan  suatu  upaya  pengembangan  dan  usaha  pemasaran 

suatu  produk  dari  hasil  proses  dan  penerapan  proses  ini  dalam  kegiatan 

produksi.   Pemasaran produk bioteknologi di luar negeri telah berlangsung sejak 

beberapa tahun yang lalu, baik dengan pelabelan khusus maupun belum dilabel. 

Tanaman hasil produk bioteknologi yang paling banyak ditanam adalah  jagung, 

kedele  dan  kapas.  Amerika  Serikat  adalah  negara  paling  banyak  menanam 

produk bioteknologi. 

Data  dari USDA menyebutkan  bahwa  sejak  1976  –  2000  jumlah  paten  produk 

bioteknologi  telah  mencapai  11.073  buah.  Sepuluh  perusahaan  besar  yang 

menerima paten  terbanyak dalam bidang bioteknologi di AS  adalah Monsanto 

Co.,  Inc  (674 paten), Du Pont, E.I. De Nemours and Co.  (565 paten), Pioner Hi‐

Bred  International,  Inc.  (449  paten),  USDA  (315  paten),  Sygenta  (284  paten), 

Novartis  AG  (230  paten),  University  of  California  (221  paten),  BASF  AG  (217 

paten),  Dow  Chemical  Co.  (214  paten),  dan  Hoechast  Japan  Ltd.  (207  paten. 

Sebagian  dari  produk‐produk  bioteknologi  tersebut  juga  sudah  beredar  di 

Indonesia (Goenadi & Isroi, 2003). 

Page 6: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

Perkembangan  industri  di  sektor  bioteknologi  tidak  selalu  berjalan  dengan 

mulus,  masalah‐masalah  utama  yang  dihadapi  terutama  adalah  menyangkut 

paten, access and benefit sharing (ABS) dan keamanan hayati (biosafety). 

Masalah Paten dan ABS 

Paten  merupakan  suatu  bentuk  perlindungan  terhadap  Intelectual  Property 

Rights (IPR), Hak atas kekayaan  Intelektual (HAKI), seperti hak cipta atau merek 

dagang  sebagai  bentuk  insentif  dan  imbalan  terhadap  suatu  penemuan. 

Landasan  dari  paten  ini  adalah  untuk  mendorong  penemuan‐penemuan 

komersial, sementara pengetahuan yang melatar‐belakangi penemuan  tersebut 

disebarkan  kepada masyarakat. Pengetahuan  tersebut bebas bagi  setiap orang 

untuk  menggunakannya  dan  memanfaatkannya  secara  komersial,  tetapi  hasil 

penemuan tetap rahasia, dan ada insentif ekonomi terhadap hasil temuannya. 

Paten  dan  HaKI  lainnya  menyangkut  bioteknologi  sudah  lama  menjadi 

perdebatan. Pokok permasalahannya adalah bahwa paten  terhadap organisme, 

gen dan/atau sumber daya genetik adalah tidak dapat diterima, dengan alasan: 

(1) para petani pada umumnya menyimpan benih untuk masa tanam yang akan 

datang; (2) perusahaan multinasional sering melakukan klaim hak atas kakayaan 

intelektual terhadap gen atau tehadap rangkaian DNA tanpa melakukan  invensi 

yang sesungguhnya (biopiracy). 

Sumberdaya  genetik  (SDG  atau  GR),  sebagai  sesuatu  yang  ada  di  alam,  tidak 

seharusnya diberi perlindungan paten. Demikian pula, pengetahuan  tradisional 

(PT atau TK) juga tidak dapat dipatenkan. Namun keduanya perlu dilindungi dari 

penjarahan,  dan masyarakat  adat  terutama  perlu mendapatkan  perlindungan 

atas PT yang mereka kembangkan.  

Mereka  yang  sepaham  dengan  liberalisme  paten  berpendapat  bahwa  invensi 

apapun, termasuk yang tersambung dengan SDG dan PT selalu dapat dimintakan 

paten,  asalkan  memenuhi  semua  persyaratan  standar  berupa:  novelty 

(kebaruan),  non‐obvious  (bersifat  inventif),  and  useful  (kebergunaan). 

Persyaratan  tersebut  bersifat  universal,  seperti  misalnya  tercantum  dalam 

Page 7: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

perjanjian internasional TRIPs (Hak Kekayaan Intelektual terkait Perdagangan), di 

bawah  Organisasi  Perdagangan  Dunia  (WTO).  Doktrin  utamanya  adalah 

kepatuhan  terhadap  kesepakatan.  Prinsip  dasarnya  adalah  Pact  Sunt  Servanda 

(janji harus ditepati). 

Pendapat  yang  kedua  ada  di  posisi  berseberangan.  Pendapat  ini mendasarkan 

diri pada persyaratan novelty, namun dengan penafsiran  yang  terlampau  luas. 

Pengikut pendapat ini menyatakan bahwa invensi yang tersambung dengan SDG 

dan  PT  tidak  dapat  dipatenkan,  karena  tidak  memenuhi  syarat  kebaruan 

(novelty).  Acuan  utamanya  adalah  kasus  aplikasi  atau  pemberian  paten  atas 

tanaman  nimba,  kunyit  dan  beras  basmati.  Pada  kasus‐kasus  ini  paten  yang 

sudah diterbitkan kemudian dibatalkan karena syarat kebaruan tidak terpenuhi. 

Pendapat  yang  ketiga  lebih moderat. Menurut  pengikut  pendapat  ini,  invensi 

yang  tersambung  dengan  SDG  dan  PT  tetap  dapat  dipatenkan,  asalkan  ketika 

mengajukan  permohonan  paten  atas  invensi  tersebut  dinyatakan  secara 

transparan  bahwa  invensi  tersebut  terkait  dengan  SDG  dan  PT.  Pendapat  ini 

mengacu kepada keterbukaan  (disclosure) sistem perlindungan paten. Pengikut 

pendapat  ini menyadari bahwa hampir  tidak mungkin  ada  invensi  yang benar‐

benar  baru  (novel).  Pada  umumnya  invensi  yang  patentable  (bisa  diberikan 

paten) merupakan  hasil  pengembangan  dari  invensi‐invensi  sebelumnya,  atau 

sekurang‐kurangnya  hasil  perkembangan  dari  teknologi  yang  sudah  ada 

sebelumnya.  Termasuk  di  dalamnya  adalah  teknologi  yang  bersumber  dari 

pengetahuan  tradisional  tentang  pemanfaatan  sumberdaya  genetika  tertentu. 

Banyak riset di bidang farmasi yang melibatkan pengetahuan tradisional sebagai 

basis awalnya. 

Saat ini di forum internasional tengah berkembang wacana keterbukaan sumber 

invensi  (disclosure  requirements).  Wacana  ini  berkembang  sejalan  dengan 

terungkapnya kasus‐kasus paten obat‐obatan yang  terkait dengan SDG dan PT. 

Wacana  itu  berkembang  di  dalam  forum  resmi  seperti  pada  Convention  on 

Biological Diversity (CBD) dan WTO. 

Page 8: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

Tuntutan  disclosure  requirements  muncul  ketika  industri  farmasi  dari  negara 

maju  memperoleh  manfaat  dari  penggunaan  SDG  dan  PT  dari  negara 

berkembang  tanpa  adanya  pembagian  manfaat  yang  adil  (equitable  benefit 

sharing). Sementara itu di dalam sistem perlindungan paten memang belum ada 

ketentuan  tentang  keharusan  untuk  adanya  keterbukaan  informasi  tentang 

sumber  invensi.  Itu  sebabnya  negara‐negara  maju  yang  diuntungkan  dengan 

sistem  paten  yang  berlaku  sekarang  ini  cenderung  mempertahankan  kondisi 

yang ada. Sebaliknya, negara berkembang yang merasa diperlakukan  tidak adil 

menginginkan agar aturan hukum paten yang ada mencerminkan  rasa keadilan 

tersebut  dengan memasukkan  prinsip  keterbukaan  informasi  tentang  sumber 

invensi.  Adanya  keterbukaan  informasi  sumber  ini  akan  berdampak  bahwa 

negara‐negara  berkembang  mempunyai  landasan  yang  kuat  untuk  menuntut 

adanya pembagian yang adil atas pemanfaatan SDG dan PT oleh negara maju. 

Sesungguhnya,  wacana  tentang  keterbukaan  informasi  sumber  ini  lebih 

disebabkan karena ada perbedaan kepentingan dalam konteks paten atas obat‐

obatan  dan  tanaman  pangan.  Lebih  tepatnya  menyangkut  kepentingan  atas 

access and benefit sharing. Negara maju berkepentingan atas akses yang terbuka 

terhadap  GR  dan  TK.  Sebaliknya,  negara  berkembang  berkepentingan  untuk 

adanya  benefit  sharing  atas  pemanfaatan  SDG  dan  PT.  Boleh  dikatakan 

pergumulan tentang disclosure requirements berkisar pada persoalan access and 

benefit sharing ini. 

Negara‐negara maju mencoba bertahan pada aspek hukum berupa kesepakatan 

internasional yang  telah disepakati dalam  forum TRIPs. Mereka menuntut agar 

negara‐negara berkembang comply (patuh) terhadap TRIPs dengan memberikan 

perlindungan  paten  dengan  standard  internasional.  Sedangkan  Negara‐negara 

berkembang  menginginkan  sistem  yang  lebih  adil  yang  lebih  dekat  pada 

persoalan  etika moral. Namun  pada  kenyataannya  etika moral  seringkali  tidak 

efektif  untuk  melahirkan  kesadaran  manusia  agar  berlaku  adil.  Itu  sebabnya 

negara‐negara  berkembang  menuntut  agar  norma  etika  moral  itu  diperkuat 

dalam  bentuk  norma  hukum.  Tuntutan  itulah  yang  mengemuka  dalam 

Page 9: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

perdebatan  masuknya  disclosure  requirements  dalam  proses  permohonan 

paten. 

Masalah HAKI/Paten merupakan masalah nasional dan  internasional yang  terus 

berkembang dan menimbulkan pro‐kontra, dan dapat mempengaruhi kehidupan 

bangsa  dan  negara,  terutama  yang  berkaitan  dengan  globalisasi  perdagangan 

dan  masalah  pemanfaatan  kekayaan  keanekaragaman  hayati  dan  kehidupan 

dunia  iptek.  Ini  permasalahan  yang  sangat  kompleks  terutama  karena  adanya 

dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar. 

Di  tingkat  nasional,  masalah  akses  terhadap  sumberdaya  telah  dilontarkan 

terutama oleh kalangan LSM dalam kaitannya dengan kesepakatan Internasional 

yaitu  Konvensi  Keanekaragaman  Hayati  (Convention  on  Biological  Diversity, 

CBD), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Trade 

Related  Aspect  of  Intellectual  Property  Rights  (TRIPs),  dan  World  Trade 

Organization (WTO).  

Perkembangan  terakhir  dalam  masalah  IPR  adalah  bahwa  bahan  informasi 

genetik  (DNA)  yang  merupakan  bahan  hakiki  untuk  menunjang  kemampuan 

hidup mulai  dipatenkan.  Sampai  dengan  tahun  1995,  kurang  lebih  ada  1.200 

fragmen DNA telah dipatenkan. Proses pengajuan paten bukanlah suatu hal yang 

mudah  dilakukan. Namun  proses  tersebut  sangat  ditentukan  oleh  penyusunan 

legal  text dalam mengungkap  "kebaruan" proses atau produk yang dimintakan 

paten‐tanpa memberikan peluang bahwa "kebaruan" dapat disadap/dicuri oleh 

fihak  lain. Di  samping  itu, kesepakatan dalam CBD dicantumkan pula Access  to 

Genetic Resources di mana  saja oleh  siapa  saja. Hal  ini  sangat memungkinkan 

peluang untuk menang dalam berlomba memanfaatkan keanekaragaman hayati 

yang merupakan aset pengembangan bioteknologi melalui rekayasa genetik oleh 

negara‐negara  yang maju  teknologinya  ketimbang  negara‐negara  berkembang 

yang umumnya lebih kaya keanekaragaman hayati. 

Tercapainya  kesepakatan  dan  diadopsinya  Protokol  Akses  dan  Pembagian 

Keuntungan  atas  pemanfaatan  sumber  daya  genetik  dan  pengetahuan 

Page 10: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

tradisional  (Protocol  on  Access  and  Benefit  Sharing  of  Genetic  Resources  and 

Associated  Traditional  Knowledge),  sebagai  instrumen  penting  yang  akan 

memberikan  kepastian  hukum  atas  pemanfaatan  sumber  daya  genetik  secara 

global dan menghentikan pencurian sumber daya genetik  (biopiracy). Selain  itu 

juga  target  yang  tercapai  dan  terukur  serta  fokus  pada  upaya  penurunan  laju 

kemerosotan keanekaragaman hayati pada tataran nasional dan global. 

Kerangka Global Implementasi ABS 

Sebelum CBD  lahir, penguasaan perusahaan besar  atas  kekayaan  sumber daya 

hayati  menghasilkan  keuntungan  berlimpah.  Ini  karena  umumnya  kekayaan 

sumber  daya  hayati  tersebar  di  negara  berkembang  yang  belum  terjamah 

industrialisasi. 

Negara  maju  beranggapan,  kekayaan  sumber  daya  hayati  adalah  warisan 

peradaban manusia  (the  common  heritage  of mankind).  Semacam  konsep  res 

communis di hukum Romawi  yang merujuk  ke wilayah bukan milik  siapa‐siapa 

(belong to no one) yang bisa dimanfaatkan umum. Maka, perusahaan besar yang 

dapat mengembangkan  sumber hayati menjadi produk  teknologi  tinggi  seperti 

obat dan kosmetik bisa menjual produknya kembali ke negara asal sumber hayati 

dengan harga berlipat ganda. 

CBD adalah instrumen hukum internasional pertama yang merujuk pada konsep 

kedaulatan  negara  pada  kekayaan  sumber  daya  hayati,  sembari  mengatur 

konsep  prior  inform  consent  dan  berbagi  keuntungan  secara  adil  dan  setara 

sebagai  langkah  kelanjutannya.    Organisasi  Pangan  dan  Pertanian  (FAO) 

kemudian  memiliki  traktat  mengenai  kekayaan  sumber  daya  hayati  dari 

tanaman. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2007 berusaha merumuskan 

konsep  akses  dan  berbagi  keuntungan  secara  adil  dan  setara  dalam  kerangka 

Pandemic Influenza Preparedness. 

Pada dasarnya harus  ada  arah dan  kebijakan  yang harus diambil oleh masing‐

masing  negara  dalam  implementasi  ABS  di  tingkat  lokal  terhadap 

keanekaragaman  hayati,  penggunaan  sumber  daya  dan  berbagi manfaat  dari 

Page 11: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

penggunaan  tersebut,  tiga  proses  utama  yang mempengaruhi  implementasi  di 

tingkat  negara  adalah  Perjanjian  Internasional  mengenai    Convention  on 

Biological Diversity  (CBD),  the  International  Treaty on Plant Genetic Resources 

for Food and Agriculture  (ITPGRFA) and  the  Inter‐Governmental Committee on 

Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore 

(IGC) of the World Intellectual Property Office (WIPO) yang berhubungan dengan 

kepemilikan dan hak milik  isu‐isu  yang berkaitan dengan  sumber daya  genetik 

dan pengetahuan tradisional intelektual. 

Konvensi  tentang  Keanekaragaman  Hayati  (Convention  on  Biological  Diversiy, 

CBD) merupakan konvensi internasional yang dicetuskan pada tahun 1992 di Rio 

de Janeiro, Brazil. Konvensi ini mempunyai 3 tujuan utama: 

1. Konservasi keanekaragaman hayati, 

2. Kelestarian  penggunaan  dari  komponen‐komponen  sumber  daya  hayati 

tersebut, 

3. Adanya  kerja  sama  yang  adil  dan  saling menguntungkan  dari  sumber  daya 

genetik yang ada. 

Dengan  kata  lain,  tujuan  dari  konvensi  ini  adalah  untuk membangun  strategi‐

strategi  nasional  untuk  konservasi  dan  penjagaan  keberlangsungan  dari 

keanekaragaman  hayati.  Ada  beberapa  hal  dalam  CBD  yang  menjadi  pokok 

dalam  perjanjian  bilateral  yang  dapat  di  tuangkan  dalam MoU  kedua  negara. 

Seperti  yang  telah  tercantum  pada  CBD  yaitu  berkenaan  dengan  pasal‐pasal 

sebagai berikut: 

 

 

Pasal 15 tentang Akses ke Sumber Daya Genetik 

Negara yang akan mengambil sumber daya genetik dari negara lain harus 

mengakui  negara  asal  dari  sumber  daya  genetik  tersebut.  Selain  itu, 

perjanjian yang dibuat harus saling menguntungkan dan disepakati semua 

Page 12: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

pihak  yang  terlibat  (bilateral  maupun  multilateral).  Kerja  sama  saling 

menguntungkan  tersebut mencakup:  1. Penyediaan  fasilitas  sarana dan 

prasarana  untuk  kemudahan  akses  ke  sumber  daya  genetik  yang  telah 

disepakati,  2. Akses  tersebut  dibatasi  hanya  pada  sumber  daya  genetik 

yang  telah disepakati saja, 3. Semua pihak berusaha untuk membangun 

dan melaksanakan penelitian mengenai sumber daya genetik tersebut. 

Pasal 16 tentang Akses dan Transfer Teknologi 

Masing‐masing pihak yang  terkait harus menyadari bahwa  teknologi  itu 

mencakup bioteknologi dan akses serta transfer teknologi diantara pihak 

yang  terlibat merupakan elemen yang penting untuk pencapaian  tujuan 

sesuai  dengan  CBD  tanpa  merusak  lingkungan  dan  kelestarian  dari 

sumber  daya  genetik  tersebut.  Akses  dan  transfer  teknologi  yang 

diberikan kepada negara asal sumber daya genetik tersebut harus fair dan 

menghormati  hak‐hak  kekayaan  intelektual.  Pihak‐pihak  yang  terlibat 

sebaiknya menempuh jalur hukum, administratif, maupun kebijakan yang 

sesuai  sehingga negara penyedia  sumber daya mendapatkan  akses dan 

transfer  teknologi  dengan  kesepakatan  bersama,  termasuk  terknologi‐

teknologi yang dipatenkan atau hak kekayaan intelektual lainnya. 

Pasal 17 tentang Pertukaran informasi 

Pihak‐pihak  yang  memanfaatkan  sumber  daya  harus  memfasilitasi 

pertukaran  informasi  dari  berbagai  sumber  yang  tersedia  yang  relevan 

dengan konservasi dan kelangsungan penggunaan dari keanekaragaman 

hayati  yang  merupakan  kebutuhan  dari  negara  berkembang  yang 

merupakan  penyedia  sumber  daya  genetik.  Informasi‐informasi  yang 

diberikan  juga  sebaiknya  mencakup  hasil‐hasil  teknis  dari  penelitian, 

keilmuan,  dan  sosio‐ekonomi;  pengadaan  pelatihan‐pelatihan  dan 

program  survey;  serta  tukar  informasi  seputar  ilmu  pengetahuan  yang 

terkait. 

Pasal 18 tentang Kerja sama Teknik dan Keilmuan 

Page 13: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

Pihak‐pihak  yang  terlibat  kontrak  harus  mempromosikan  kerja  sama 

teknik  dan  keilmuan  internasional  terkait  dengan  konservasi  dan 

keberlangsungan  penggunaan  dari  keanekaragaman  hayati,  jika  perlu, 

melalui  institusi‐institusi  internasional  dan  nasional  yang  sesuai.  Kerja 

sama tersebut khususnya ditekankan pada pembangunan dan penguatan 

kapabilitas  nasional melalui  pengembangan  sumber  daya manusia  dan 

pembangunan  institusi. Pihak yang memanfaatkan sumber daya  (negara 

maju)  harus  mendorong  pemanfaatan  teknologi,  baik  teknologi 

tradisional  maupun  modern  untuk  mencapai  tujuan  konvensi.  Untuk 

tujuan  ini, pihak negara maju  tersebut diharapkan bekerja  sama dalam 

pengadaan pelatihan‐pelatihan SDM dan pertukaran ahli. 

Pasal 19 tentang Penanganan Bioteknologi dan Pembagian Keuntungan 

Pihak‐pihak  yang  terlibat  kontrak  harus  menempuh  jalur  hukum, 

administratif,  maupun  kebijakan  lain  yang  sesuasi  untuk  mendukung 

partisipasi yang efektif dalam aktivitas penelitian di bidang bioteknologi 

oleh  pihak‐pihak  tersebut,  terutama  negara  yang  berkembang  yang 

menyediakan  sumber  daya  genetik.  Semua  pihak  harus 

mempertimbangkan  kebutuhan  akan  protokol  untuk  menetapkan 

prosedur  yang  sesuai  terkait  dengan  transfer  yang  aman,  penanganan 

dan penggunaan organisme hidup yang telah dimodifikasi (living modified 

organism)  yang  dihasilkan  dari  rekayasa  bioteknologi  yang  mungkin 

memiliki efek samping pada konservasi dan keberlangsungan penggunaan 

keanekaragaman hayati. 

 

 

Pasal 20 tentang Sumber Dana 

Setiap  pihak  yang  terlibat,  sesuai  dengan  kapabilitasnya,  harus 

memberikan  dukungan  finansial  dan  insentif,  terkait  dengan  kegiatan 

yang  telah disepakati bersama untuk pencapaian  tujuan konvensi. Pihak 

Page 14: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

dari negara maju harus menyediakan  sumber dana baru dan  tambahan 

sehingga  memungkinkan  negara  berkembang  untuk  memenuhi  biaya‐

biaya tambahan yang telah disepakati bersama. Pihak negara maju harus 

memenuhi  semua  kebutuhan  dana  dan  transfer  teknologi  yang 

diperlukan oleh negara berkembang. 

Protokol Nagoya 

Pertemuan Negara‐negara  Pihak  (COP)  Konvensi  Sumber Daya Hayati  Ke‐10  di 

Nagoya  menghasilkan  tiga  kesepakatan  utama.  Kesepakatan  dari  pertemuan 

yang  berakhir  pada  30  Oktober  2010  itu  meliputi  Protokol  Nagoya,  Revisi 

Rencana Strategis Pencapaian Tujuan Konvensi Sumber Daya Hayati (CBD) 2011‐

2020 dan Rencana Pelaksanaan Strategi Mobilisasi Dana. 

Selama  ini  gagasan  CBD  sulit  diimplementasikan  karena  petunjuk 

pelaksanaannya berupa protokol belum ada. Maka, kelahiran Protokol Nagoya, 

yang  lengkapnya  adalah  The Nagoya  Protocol  on Access  to Genetic Resources 

and  the  Fair  and  Equitable  Sharing  of  Benefits  Arising  from  Their  Utilization, 

sangat penting secara substantif.  Protokol Nagoya berisi aturan pemberian akses 

dan  kemauan  berbagi  keuntungan  secara  adil  dan  setara  atas  pemanfaatan 

kekayaan  sumber  daya  hayati.  Ini  merupakan  kesepakatan  kedua  setelah 

Protokol Cartagena mengenai keamanan hayati  (biosafety), yang mulai berlaku 

2003. 

Protokol Nagoya merumuskan aturan pelaksanaan CBD terkait pemberian akses 

dan pembagian keuntungannya. Penyedia kekayaan sumber daya hayati bekerja 

sama dengan pengguna dalam mekanisme pembagian keuntungan yang adil dan 

setara.    Agar  Protokol  Nagoya  dapat  berlaku  sah  sesuai  hukum  internasional, 

dibutuhkan  ratifikasi  dari  50  negara  anggota  COP  CBD.  Naskah  asli  Protokol 

Nagoya  akan  mulai  terbuka  untuk  ditandatangani  2  Februari  2011  sampai  1 

Februari 2012 di Markas Besar PBB, New York. 

Protokol Nagoya merumuskan mekanisme pemanfaatan kekayaan sumber daya 

hayati  yang  berasal  dari  tanaman,  hewan,  dan  mikrobiologi  untuk  produk 

Page 15: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

industri, kosmetik, makanan, obat‐ obatan, dan keperluan  lain.  Intinya, terbuka 

akses pada sumber daya hayati untuk pemanfaatan, tetapi juga dalam semangat 

yang sama mengatur bagaimana manfaat atau keuntungan juga dapat dinikmati 

oleh negara asal sumber daya hayati itu. 

Kesepakatan  diharapkan  dapat  membuat  transparan  pergerakan  lalu  lintas 

sumber‐sumber  daya  hayati  sehingga  pembajakan  hayati  (biopiracy)  dapat 

ditekan seminimal mungkin. Selama  ini biopiracy kerap  terjadi saat perusahaan 

multinasional  diam‐diam  memanfaatkan  pengetahuan  tradisional  ataupun 

kekayaan  sumber  daya  hayati  negara  berkembang,  dan  keuntungannya  juga 

sama sekali tidak dibagi. 

Pembahasan  mengenai  upaya  mendeteksi  biopiracy  memakan  waktu  lama. 

Negara  berkembang  ingin  aturan  monitoring  yang  bersifat  mandatory  dan 

mencakup  informasi rinci dan  lengkap dari riset sampai pengembangan produk. 

Negara maju menginginkan aturan lebih longgar dan bersifat sukarela. 

Kasus‐Kasus Pembelajaran 

Kasus Hoodia gordonii di Afrika Selatan 

Suku‐suku San Kalahari merupakan masyarakat tertua di Afrika Selatan.  Mereka 

telah memiliki  pengetahuan  tradisional  tentang  penggunaan  Hoodia  gordonii, 

pohon yang ditemukan di gurun Kalahari, yang  secara historis dikonsumsi oleh 

suku San Kalahari untuk menahan rasa lapar apabila melakukan perjalanan jauh.  

Masyarakat  San  awalnya  tidak menyadari  bahwa Dewan Penelitian  Ilmiah  dan 

Industri  Afrika  Selatan  (South  African  Council  for  Scientific  and  Industrial 

Research / CSIR), sebuah lembaga pemerintah Afrika Selatan, telah diberikan hak 

paten  pada  P57,  obat  penekan  nafsu makan  yang  berasal  dari  ekstrak Hoodia 

lezat  melalui  penelitian  dilakukan  oleh  CSIR,  dan  memiliki  rencana  untuk 

mengkomersialisasikan produk tersebut tanpa sepengetahuan suku San Kalahari.  

CSIR  kemudian menegosiasikan  lisensi hak eksklusif  komersial  tersebut  kepada 

perusahaan  farmasi  Phytopharm,    untuk  pengembangan  produk Hoodia,  yang 

Page 16: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

kemudian  memberikan  izin  kepada  perusahaan  farmasi  Pfizer  dan  ke  

perusahaan makanan multinasional Unilever. 

Dengan  keterlibatan  LSM  The  Working  Group  on  Indigenous  Minorities  in 

Southern  Africa  (WIMSA),  masyarakat  San  melakukan  negosias  dengan  CSIR 

untuk menyusun perjanjian pembagian keuntungan dari royalti yang berasal dari 

penjualan produk yang mengandung paten P57.  

Masalah utama dalam perundingan tersebut adalah kurangnya kerangka hukum 

di  Afrika  Selatan  untuk  perlindungan  terhadap  keanekaragaman  hayati  dan 

pengetahuan  tradisional.    Dalam  kasus  Hoodia  sulit  untuk menegaskan  klaim 

orang‐orang San mengenai paten P57 dan komersialisasi produk Hoodia di masa 

depan karena kurangnya kerangka peraturan yang  jelas yang menetapkan hak‐

hak suku San Kalahari.   

Akhirnya  perjanjian  dalam  bentuk Nota  Kesepahaman  dicapai  antara CSIR  dan 

Dewan San Kalahari Afrika Selatan.  Perjanjian ini dianggap sebagai langkah maju 

yang  signifikan  untuk  menegosiasikan  kesepakatan  pembagian  keuntungan 

dengan  Dewan  San  Kalahari  Afrika  Selatan  sebagai  pengakuan  atas  hak‐hak 

kolektif  suku  San,  termasuk  mendapatkan  manfaat  moneter  atas  eksploitasi 

komersial  terhadap  paten  P57.    Perundingan  tentang  syarat‐syarat  perjanjian 

antara CSIR dan Dewan  San Kalahari Afrika  Selatan berlanjut hingga perjanjian 

pembagian  keuntungan  yang  ditandatangani  pada  tanggal  24  Maret  2003.  

Perjanjian  ditentukan  persentase  jumlah  pembayaran,  termasuk  pembayaran 

royalti sejumlah 8%. 

Kasus Golden Rice 

Golden  Rice  adalah  varietas  padi  yang  telah  diperkaya  dengan  betacarotene, 

untuk mengatasi defisiensi Vitamin A.  Penelitian dasar dilakukan di Swiss public 

research  institutes  ETH  Zurich  &  University  of  Freiburg.    Perusahaan  Zeneca 

(yang  kemudian  berubah  nama  menjadi  Syngenta  seletah  merger  dengan 

Novartis  Agribusiness)  mendapatkan  hak  penelitian  dasar  tersbut,  kemudian 

dipadukan dengan penelitian perusahaan tersebut, didapatkan Golden Rice yang 

Page 17: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

lebih baik.    Pada  saat pengurusan paten, diketahui  sampai didapatnya Golden 

Rice ternyata melibatkan 70 proses dan material yang berbeda yang berasal dari 

32  perusahaan  dan  universitas  baik  swasta  maupun  pemerintahan.    Sygenta 

kemudian menyerahkan  pengembangan  Golden  Rice  kepadaInternational  Rice 

Research Institute (IRRI) untuk kepentingan kemanusiaan. 

Kerjasama Pemerintah Nigeria dengan Shaman Pharmaceutical Inc. 

Pada  tahun  1990  Shaman  Pharmaceuticals  Inc.  menjalin  kerjasama  lembaga 

penelitian ilmiah Nigeria.   Manfaat langsung dan jangka menengah yang didapat 

oleh  pemerintah  Nigeria  dari  ekspedisi  tersebut  berupa  program  pelatihan 

tentang  kesehatan  masyarakat,  botani,  konservasi  dan  etnobotani,  dukungan 

untuk  cadangan  tanaman  obat  negara,  dukungan  pendidikan;  pasokan  koleksi 

botani  untuk  herbarium,  peralatan  laboratorium  untuk  penelitian  ilmiah  dan 

dukungan bagi para  ilmuwan Nigeria untuk penerapan  teknik  analisis modern.  

Kemudian didirikan pula  lembaga bernama Healing Forest Conservancy sebagai 

alat pembagian keuntungan. Uang sejumlah   US $ 2.000 diberikan oleh Shaman 

Pharmaceuticals  Inc.  pada  tahun  1994  untuk  komunitas  dan  organisasi 

penyembuh  tradisional,  untuk  hutan  konservasi  tumbuhan  obat  berbasis 

masyarakat. 

Pada  awal  tahun  1999  Shaman  Pharmaceutical  mengambil  alih  salah  satu 

penemuan melalui proses  regulasi  Food  and Drug Administration, waktu masa 

depan  dan  biaya  untuk  uji  klinis  tambahan  terbukti  mahal.    Shaman 

Pharmaceutical  memanfaatkan  penelitian  dan  pengembangan  perusahaan 

dengan  meluncurkan  suplemen  makanan  botani  yang  pertama.    Produk  ini 

merupakan  ekstrak  dari  getah  sangre  de  Drago,  pohon  Croton  lechleri,  yang 

bermanfaat untuk mencegah kehilangan cairan dan merangsang   pembentukan 

tinja yang normal pada sindrom usus bowel. 

 

Kasus Suku Kani di India 

Page 18: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

Suku  Kani  merupakan  salah  satu  suku  asli  di  India  yang  memakan  buah 

Trichophus  zeylanicus,  yang  membuat  mereka  tetap  gesit  dan  enerjik  dalam 

perjalanan.    Tropical Botanic Garden  and Research  Institute  (TBGRI)  kemudian 

melakukan penelitian  terhadap  kandungan  tanaman  tersebut dan menemukan 

bahwa  dalam  buahnya  terdapat  zat  anti  kelelahan,  daunnya  mengandung 

berbagai glycolipids dan beberapa non‐steroid lainnya senyawa dengan anti‐stres 

dan anti‐hepatoxic.  Tim TBGRI kemudian mengembangkan formulasi polyherbal 

dan diberi nama "Jeevni".   Setelah evaluasi klinis yang memuaskan obat herbal 

tersebut dirilis untuk produksi komersial.  

Kemudian  banyak  perusahaan  farmasi  yang  mendekati  TBGRI  untuk 

mendapatkan  lisensi  produksi  “Jeevni”.  Setelah  berbagai  negosiasi  dengan 

berbagai pihak, lisensi produksi masal “Jeevni” dialihkan ke Aryavaidya Pharmacy 

Coimbatore  Ltd  selama  7  tahun.    Dalam  proses  konsultasinya,  TBGRI  sepakat 

dengan komunitas suku Kani untuk membagi  licence  fee dan royaltinya sebesar 

50%.  

Organisasi Industri 

Keterlibatan organisasi‐organisasi  industri juga perlu mendapat perhatian dalam 

keikutsertaannya  dalam  implementasi  CBD  salah  satunya  adalah  The 

Biotechnology  Industry  Organization    (BIO),  yang  merupakan  salah  satu 

organisasi  industri Bioteknologi,  didirikan  tahun  1993 melalui  penggabungan  2 

buah organisasi yaitu Association of Biotechnology Companies dan the Industrial 

Biotechnology Association. Anggotanya  terdiri dari  sektor‐sektor yang bergerak 

dalam bidang penelitian dan pengembangan inovasi produk‐produk bioteknologi 

kesehatan, agrikultur, industri dan lingkungan.  

The  Biotechnology  Industry  Organization  sejak  tahun  2005  telah  menyusun 

sebuah petunjuk teknis terkait bioprospeksi yang memberikan arahan bagi para 

anggotanya  dalam  kegiatan‐kegiatan  bioprospeksi.   BIO  juga  telah mempunyai 

model Material Transfer Agreements, yang diacu oleh seluruh anggotanya.   

Isu Strategis Implementasi ABS bagi Industri Bioteknologi 

Page 19: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

Implementasi  CBD  di  bidang  industri  bioteknologi  saat  ini  belum  sepenuhnya 

dapat  terlaksana, diperlukan  instrumetasi yang dapat mendukungnya  terutama 

ditingkal  lokal  (negara),   diantaranya adalah aturan akses sumber daya disetiap 

negara.   Beberapa negara  seperti  Jepang  telah pula mempunyai Guidelines  on 

Access  to  Genetic  Resources  for  Users  in  Japan.    Dokumen  ini  dipublikasikan 

pertama  kali  pada  tanggal  1  April  2005  dalam  bahasa  Jepang,  kemudian 

diterjemahkan  ke  dalam  bahasa  Inggris  kemudian  disebarluaskan  pada  bulan 

Pebruari 2006. Dokumen dalam versi English berisi 28 halaman lengkap memuat 

segala aturan yang diperlukan untuk akses sumber daya genetik untuk pengguna 

di Jepang. Sebagai pengantar, di dalam dokumen dijelaskan kronologi dibuatnya 

aturan  ini  sebagai  inplementasi  CBD  yaitu  didasari  adanya  Bonn  Giudelines 

diadopsi  pada  COP6  pada  bulan  Pebruari  2002.  Pada  bulan  September  2002 

Bonn  Guidelines  tersebut  telah  diterjemahkan  ke  dalam  bahasa  Jepang.  Pada 

tahun 2003‐2004 Bonn Guidelines didesiminasikan di Jepang melalui seminar dan 

internasional  simposium.  Secara  paralel  Bonn  Guidelines  diproposikan  oleh 

Ministry  of  Economy,  Trade  and  Industry  (METI)  yang  kemudian  membahas 

secara  rtinci  dengan  Japan  Bioindustry  Association  (JBA).  Pada  tahun  2005 

Guidelines Access  to Genetic Resources  for Users  in  Japan  telah  selesai dibuat 

pada bulan Maret dan dipublikasi pada tanggal 1 April 2005 dalam versi Bahasa 

Jepang. Pada bulan Pebruari 2006 versi bahasa Inggris disebarluaskan.  

Salah  satu hal penting  yang berkaitan erat dengan  akses  sumber daya  genetik 

adalah manakala  biodiversitas  negara  asal  akan  dimanfaatkan  oleh  pihak  lain. 

Perjanjian  antara  kedua  belah  pihak  harus  jelas  sehubungan  dengan 

pemanfaatan  bahan  genetik  yang  akan  dikirimkan.  Dokumen  penting  yang 

diperlukan  tersebut  disebut  dengan Material  Transfer Agreement  (MTA). MTA 

sering  didefinisikan  sebagai  suatu  terminologi  umum  untuk  suatu  dokumen 

pengiriman yang sangat singkat dan sederhana, merupakan catatan pengiriman 

suatu bahan  yang  sudah baku,  atau  suatu  catatan  resmi berisikan persyaratan 

minimum yang harus dibuat atau dapat merupakan dokumen yang rinci tentang 

persetujuan pengiriman dan penggunaan bahan yang telah disetujui bersama.  

Page 20: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

Di  dalam  MTA  biasanya  tercantum  jenis  dan  jumlah  bahan  genetik  yang 

ditransfer,  waktu  terjadinya  pengiriman,  ijin  penggunaan  bahan  genetik  yang 

dikirimkan  (misalnya  untuk  keperluan  riset,  komersial,  dan  lain‐lain)  dan 

pernyataan  apabila  bahan  tersebut  dimanfaatkan  oleh  pihak  lain.  Bonn 

Guidelines  merupakan  bahan  acuan  yang  telah  dibakukan.  Hal‐hal  lain  yang 

berhubungan  dengan  pengelolaan  dan  kepentingan  bersama  atas  bahan  yang 

dikirimkan  dapat  dituliskan  pula  dalam  perjanjian  tersebut.  Seharusnya  tidak 

terjadi  hal‐hal  yang  dpat  dinegosiasikan  di  luar  MTA.  Artinya  bahwa  segala 

sesuatu  yang  harus  dipatuhi  oleh  negara  asal  sumber  genetik  dan  negara 

penerima semuanya harus tertulis pada MTA. 

Bioteknologi  merupakan  suatu  proses  yang  relatif  panjang,  seringkali 

memerlukan waktu bertahun‐tahun dan biaya riset pengembangan yang sangat 

mahal  sampai  menghasilkan  produk  yang  dapat  dikomersialisasi,  dalam 

perjalanan proses  tersebut  juga selain sumberdaya asli  juga melibatkan banyak 

orang,  organisasi  dan  bahan‐bahan  lain  selain  sumberdaya  aslinya,  sehingga 

perumusan ABS‐nya menjadi rumit. 

KESIMPULAN 

Saat  ini  implementasi ABS di  sektor  industri  lebih banyak  terjadi  karena  reaksi 

pihak  yang  merasa  dirugikan  atau  kebijakan  pengembang  (perusahaan)  yang 

sifatnya lebih “voluntary”.  Tersedianya aturan lokal (negara) mengenai hak akses 

terhadap  sumber daya  terutama  sumberdaya genetik merupakan  syarat utama 

legalisasi  implementasi ABS di  sektor  industri bioteknologi, meskipun demikian 

dari berbagai kasus yang terjadi, pendekatan terhadap hak ABS dapat dilakukan 

dengan berbagai cara, baik melalui mekanisme penyusunan MTA, dan yang lebih 

penting lagi adalah pendokumentasian sumberdaya tersebut ditingkat lokal.   

 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Page 21: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

Amar, A.,   Malik, A., Prasetya, B., Chasanah, E.,  Irianto, H.E., Loedin,  I,S., Mulya, 

K.,  Lisdiyanti,  P.,  Setyahadi,  S.,  Soeharsono,  dan  T.E.  Ermayanti.  2007.  

Strategi  Pengembangan  Bioteknologi  di  Indonesia.    Konsorsium 

Bioteknologi  Indonesia  dan  Kementerian  Negara  Riset  dan  Teknologi, 

Jakarta, 118 hal. 

Artuso, A. 2002.   Bioprospecting, Benefit Sharing, and Biotechnological Capacity 

Building.  World Development Vol. 30, No. 8, pp. 1355–1368. 

Barizah,  N.2009.  Kebijakan  Di  Tingkat  Nasional  Dan  Internasional  Upaya 

Perlindungan  HKI  Yang  Terkait  Dengan  Pendayagunaan  Sumber  Daya 

Genetik Dan Pengetahuan. Media HKI Vol.VI/No.3/Juni 2009. 

Bonn Guidelines on Accesss to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing 

of the Benefit Arising out of their Utilization. UNEP/CBD/COP/6/6. 

Bridge,  G.,  McManus,  P.  And  T.  Marsden.  2003.    The  next  new  thing? 

Biotechnology and  its discontents.   Guest Editorial/Geoforum 34  (2003) 

165–174. 

Chambers, W.B,  Greena,  J,  and  A.  Kambu.    2004.    Trade,  biotechnology  and 

sustainable development: a  report on  the Southeast Asia Workshop  for 

policymakers.  Global Environmental Change 14 (2004) 185–188. 

Finston, S.K. 2009.     Public/Private Partnership for Development of Golden Rice 

Intellectual Property (IP) & Innovation: Promoting Global Competitiveness 

in  the  Americas.    INPI/OMPI/OAS  Rio  de  Janeiro,  Brasil  December  16, 

2009.  BayhDole25 Inc. 

Goenadi,  D.H.  &  Isroi.  2003.  Aplikasi  Bioteknologi  dalam  Upaya  Peningkatan 

Efisiensi  Agribisnis  yang  Berkelanjutan.  Makalah  Lokakarya  Nasional 

Pendekataan  Kehidupan  Pedesaan  dan  Perkotaan  dalam  Upaya 

Membangkitkan  Pertanian  Progresif,  UPN  “Veteran”  Yogyakarta,  8‐9 

Desember 2003. 

Guidelines  for  BIO  Members  Engaging  in  Bioprospecting 

(http://www.bio.org/ip/international/200507guide.asp). 

Guidelines on Access to Genetic Resources for Users  in Japan. 2006. Ministry of 

Economy,  Trade  and  Industry  (METI),  Japan  and  Japan  Bioindustry 

Association (JBA). Tokyo, Japan. 

Makarim Wibisono Anggota Delegasi RI dari Kementerian Kesehatan ke COP 10 

Nagoya 

Page 22: Komersialisasi Sumber Daya Di Sektor Industri Bioteknologi Terkait Access and Benefit Sharing

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/22/03211740/selamat.datang.pr

otokol.nagoya 

Ministry of Environment & Forests Government of India.  2002.  Biotechnology & 

Bioprospecting For Sustainable Development,  India’s presentation for the 

Ministerial  Meeting  of  Megabiodiversity  Countries  Cancun,  Mexico 

February 16‐18, 2002. 

Moran, K.   1998.   Mechanisms For Benefit Sharing: Nigerian Case Study  for the 

Convention  on  Biological  Diversity,  The  Healing  Forest  Conservancy.  

Washington. 

Suneetha, M.S and B. Pisupati.  Benefit Sharing in ABS: Options and Elaborations.  

United Nations University  Institute of Advanced Studies. United Nations 

Environment Programme (UNEP). 30pp. 

The  International  Institute  for Sustainable Development  (IISD), Stratos  Inc. and 

Jorge Cabrera. 2007.   ABS‐Management Tool Best Practice Standard and 

Handbook for Implementing Genetic Resource Access and Benefit‐sharing 

Activities.   State Secretariat for Economic Affairs SECO.