Upload
wenda-yandra-komara
View
176
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
KOMERSIALISASI SUMBER DAYA DI SEKTOR INDUSTRI BIOTEKNOLOGI TERKAIT ACCESS AND BENEFIT SHARING
PENDAHULUAN
Konvensi Keanekaragaman Hayati adalah perjanjian multi lateral untuk mengikat
para pihak (negara peserta konvensi) dalam menyelesaikan masalah‐masalah
global khususnya keanekaragaman hayati. Konvensi keanekaragaman hayati lahir
sebagai wujud kekhawatiran umat manusia atas semakin berkurangnya nilai
keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh laju kerusakan keanekaragaman
hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk memadukan segala
upaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat manusia
selanjutnya.
Secara singkat sejarah munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari
hasil pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk
penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972,
terutama menyangkut isi deklarasi bahwa permasalahan lingkungan merupakan
isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan manusia dan pembangunan
ekonomi di seluruh dunia (butir ke‐2 Deklarasi Stockholm). Pertemuan KTT Bumi
Tahun 1992 di Rio de Janeiro ini telah merumuskan lima dokumen, yakni
Deklarasi Rio; Konvensi Acuan tentang Perubahan Iklim; Konvensi
Keanekaragaman Hayati; Prinsip‐Prinsip Pengelolan Hutan; dan Agenda 21.
Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara
mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber – sumber daya hayati
sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai
tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan‐kegiatan yang dilakukan di
dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara
lain atau kawasan d luar batas yuridiksi nasional.
Kesadaran mengenai nilai penting sumber daya genetik bagi kemanusiaan sudah
dikenal sejak jaman pra sejarah. Sejak manusia memasuki tahapan bercocok
tanam dan beternak, kegiatan pemuliaan jenis tanaman dan ternak sudah
dimulai. Pemilihan jenis dan persilangan jenis yang semula dilakukan secara
empiris, sebenarnya merupakan titik awal dari pengenalan sifat‐sifat unggul
“preferable” dan sifat‐sifat “un‐needed” yang sebenarnya merupakan ekspresi
fisiologis dari variabilitas genetis diantara tanaman dan ternak budidaya. Baru
kemudian pada abad 18 sampai awal abad 19, pada era Mendel, mulai dikenal
pengetahuan hibridisasi yang merupakan titik awal upaya manusia untuk
menseleksi ekspresi genetis dari variabilitas gen didalam suatu tumbuhan secara
sistematis. Mulai saat itulah nilai sumber daya genetik secara empiris dikenal.
Dengan berkembangnya bioteknologi di bidang pertanian dan farmasi, maka nilai
sumber daya genetik ini semakin meningkat. Pada awalnya nilai sumber daya
genetik ini terikat dengan kesatuan (entity) kepemilikan fisik varietas suatu
komoditas tanaman dan/atau ternak. Dengan berkembangnya pengetahuan
mengenai ilmu hayati (biologi) dan semua cabang‐cabangnya (termasuk ilmu
genetika) maka mulai dikenal nilai‐nilai intrinsik suatu mahluk hidup yang dikenal
dengan variabilitas gen. Perkembangan ilmu pengetahuan biologi tersebut telah
meningkatkan potensi pemanfaatan sumber daya genetik, dan dengan demikian
juga meningkatkan nilai sumber daya tersebut. Sejalan dengan perkembangan
industri pertanian dan farmasi yang memanfaatkan bioteknologi serta sumber
daya genetik ini, maka eksplorasi sumber‐sumber daya genetik baru juga
meningkat.
PEMBAHASAN
Bioteknologi
Istilah bioteknologi pertama kali dikemukakan oleh Karl Ereky, seorang insinyur
Hongaria pada tahun 1917 untuk mendeskripsikan produksi babi dalam skala
besar dengan menggunakan bit gula sebagai sumber pakan. Pada
perkembangannya sampai pada tahun 1970, bioteknologi selalu berasosiasi
dengan rekayasa biokimia (biochemical engineering). Definisi bioteknologi
apabila dapat dilihat dari akar katanya berasal dari “bio” dan “teknologi”, maka
kalau digabung pengertiannya adalah penggunaan organisme atau sistem hidup
untuk memecahkan suatu masalah atau untuk menghasilkan produk yang
berguna. Pada tahun 1981, Federasi Bioteknologi Eropa mendefinisikan
bioteknologi sebagai berikut, bioteknologi adalah suatu aplikasi terpadu
biokimia, mikrobiologi, dan rekayasa kimia dengan tujuan untuk mendapatkan
aplikasi teknologi dengan kapasitas biakan mikroba, sel, atau jaringan di bidang
industri, kesehatan, dan pertanian. Definisi bioteknologi yang lebih luas
dinyatakan oleh Bull, et al, (1982), yaitu penerapan prinsip‐prinsip ilmiah dan
rekayasa pengolahan bahan oleh agen biologi seperti mikroorganisme, sel
tumbuhan, sel hewan, manusia, dan enzim untuk menghasilkan barang dan jasa.
(Goenadi & Isroi, 2003). Bioteknologi merupakan aktivitas terpadu dari berbagai
disiplin ilmu yang relevan (biokimia, mikrobiologi, rekayasa, dan lain‐lain) dalam
pemanfaatan agen hayati untuk menghasilkan barang dan/atau jasa untuk
kesejahteraan umat manusia (Amar et al, 2007).
Pada masa lalu gen ditransfer melalui persilangan biasa atau cara konvensional
pada tanaman sekerabat. Misalkan padi atau jagung varietas yang satu dengan
varietas padi atau jagung varietas yang lain. Perkembangan teknologi pertanian
modern melalui bioteknologi dapat memindahkan gen dari spesies apa saja ke
spesies lain melalui berbagai cara, antara lain dengan pemanfaatan vektor
pemindah gen. Teknik semacam ini telah banyak dikembangkan untuk tanaman
budidaya. Produk rekayasa genetika jagung, kedelai dan kapas telah dihasilkan
dan dijual oleh perusahaan agrokimia multinasional seperti Novartis, Monsanto,
Zeneca dan lain‐lain. Melalui bioteknologi diharapkan muncul tanaman tahan
terhadap hama dan penyakit, dapat tumbuh di lahan yang mempunyai kendala
cekaman fisik (tanah garaman, tanah masam, cekaman kekeringan dan lain‐lain)
sesuai dengan harapan peneliti/pemulia tanaman. Bioteknologi manusia mampu
melewati batasan biologi, baik itu kelompok hewan, tumbuhan maupun
mikroorganisme dalam memasukkan sifat yang diinginkan.
Bioteknologi dan industri bioteknologi dalam dasawarsa terakhir berkembang
sangat pesat. Tercatat sampai dengan tahun 1997 tidak kurang dari 124
"organisme baru" terutama tanaman‐tanaman transgenik (tanaman yang telah
mengalami rekayasa genetik) telah dimintakan izin dan dipatenkan untuk
dibudidayakan dan dipasarkan secara global. Ratusan ribu produk hayati
termasuk di dalamnya makhluk tanaman, hewan dan mikroba telah dipaten oleh
negara‐negara maju, termasuk Amerika‐Serikat, negara‐negara Uni Eropa, dan
Jepang.
Pengembangan bioteknologi melalui rekayasa genetika berlandaskan pada
keanekaragaman hayati atau dapat dikatakan bahwa keanekaragaman hayati
merupakan aset pengembangan bioteknologi. Indonesia merupakan negara
dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, diikuti oleh Brazil,
Zaire, dan negara‐negara berkembang lainnya. Dapat dipastikan bahwa negara‐
negara yang maju teknologinya adalah negara‐negara miskin keanekaragaman
hayati, sedang negara yang kaya keanekaragaman hayatinya terbatas
kemampuan teknologinya. Diperkirakan di dunia ini terdapat 5 ‐ 30 juta spesies
(jenis makhluk hidup), dan hanya sekitar 1,4 juta yang telah terindentifikasi
secara ilmiah.
Penerapan dan Komersialisasi Bioteknologi
Penerapan bioteknologi dalam skala industri secara umum dibagi dalam berbagai
bidang, yaitu perawatan kesehatan (medis), produksi tanaman dan pertanian,
industri non pangan menggunakan tanaman dan produk lainnya (misalnya plastik
biodegradable, minyak sayur, biofuel), lingkungan serta kelautan dan perikanan
(Amar et al, 2007).
Sebagai contoh, satu aplikasi bioteknologi adalah penggunaan organisme yang
diarahkan untuk pembuatan produk organik (contoh meliputi produk bir dan
susu). Contoh lain adalah menggunakan bakteri alami oleh industri
pertambangan (bioleaching). Bioteknologi juga digunakan untuk mendaur ulang,
mengolah limbah, membersihkan lokasi yang terkontaminasi oleh kegiatan
industri (bioremediasi), dan juga untuk memproduksi senjata biologi.
Produk rekayasa genetika ternyata semakin meluas. Di Amerika Serikat areal
pertanaman yang menggunakan varietas rekayasa genetika telah meningkat dari
enam juta are pada tahun 1996 menjadi 30 juta are pada tahun 1997. Pada
tahun‐tahun mendatang sekitar 40 persen tanaman kedelai di Amerika adalah
kedelai yang dimodifikasi secara genetik. Bahkan beberapa perusahaan besar
telah mempunyai berbagai varietas rekayas genetika yang telah memperoleh hak
paten. Perusahaan multinasional bioteknologi Monsanto telah mengembangkan
benih Terminator, Novartis Swiss dengan Traitor dan Zeneca dengan Verminator
yang intinya sama, benih tersebut akan membunuh turunannya, kecuali diberi
pemicu bahan kimia yang diproduksi oleh perusahaan itu sendiri. Benih ini telah
disusupi dengan gen "suicide seed/benih bunuh diri "sehingga petani tidak akan
dapat lagi menyisihkan hasil panennya untuk dijadikan benih, karena turunan
pertamanya tidak dapat tumbuh. Setiap kali menanam, petani harus membeli
benih dari perusahaan/agen, sehingga ketergantungan petani terhadap benih
tersebut makin besar.
Komersialisasi merupakan suatu upaya pengembangan dan usaha pemasaran
suatu produk dari hasil proses dan penerapan proses ini dalam kegiatan
produksi. Pemasaran produk bioteknologi di luar negeri telah berlangsung sejak
beberapa tahun yang lalu, baik dengan pelabelan khusus maupun belum dilabel.
Tanaman hasil produk bioteknologi yang paling banyak ditanam adalah jagung,
kedele dan kapas. Amerika Serikat adalah negara paling banyak menanam
produk bioteknologi.
Data dari USDA menyebutkan bahwa sejak 1976 – 2000 jumlah paten produk
bioteknologi telah mencapai 11.073 buah. Sepuluh perusahaan besar yang
menerima paten terbanyak dalam bidang bioteknologi di AS adalah Monsanto
Co., Inc (674 paten), Du Pont, E.I. De Nemours and Co. (565 paten), Pioner Hi‐
Bred International, Inc. (449 paten), USDA (315 paten), Sygenta (284 paten),
Novartis AG (230 paten), University of California (221 paten), BASF AG (217
paten), Dow Chemical Co. (214 paten), dan Hoechast Japan Ltd. (207 paten.
Sebagian dari produk‐produk bioteknologi tersebut juga sudah beredar di
Indonesia (Goenadi & Isroi, 2003).
Perkembangan industri di sektor bioteknologi tidak selalu berjalan dengan
mulus, masalah‐masalah utama yang dihadapi terutama adalah menyangkut
paten, access and benefit sharing (ABS) dan keamanan hayati (biosafety).
Masalah Paten dan ABS
Paten merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap Intelectual Property
Rights (IPR), Hak atas kekayaan Intelektual (HAKI), seperti hak cipta atau merek
dagang sebagai bentuk insentif dan imbalan terhadap suatu penemuan.
Landasan dari paten ini adalah untuk mendorong penemuan‐penemuan
komersial, sementara pengetahuan yang melatar‐belakangi penemuan tersebut
disebarkan kepada masyarakat. Pengetahuan tersebut bebas bagi setiap orang
untuk menggunakannya dan memanfaatkannya secara komersial, tetapi hasil
penemuan tetap rahasia, dan ada insentif ekonomi terhadap hasil temuannya.
Paten dan HaKI lainnya menyangkut bioteknologi sudah lama menjadi
perdebatan. Pokok permasalahannya adalah bahwa paten terhadap organisme,
gen dan/atau sumber daya genetik adalah tidak dapat diterima, dengan alasan:
(1) para petani pada umumnya menyimpan benih untuk masa tanam yang akan
datang; (2) perusahaan multinasional sering melakukan klaim hak atas kakayaan
intelektual terhadap gen atau tehadap rangkaian DNA tanpa melakukan invensi
yang sesungguhnya (biopiracy).
Sumberdaya genetik (SDG atau GR), sebagai sesuatu yang ada di alam, tidak
seharusnya diberi perlindungan paten. Demikian pula, pengetahuan tradisional
(PT atau TK) juga tidak dapat dipatenkan. Namun keduanya perlu dilindungi dari
penjarahan, dan masyarakat adat terutama perlu mendapatkan perlindungan
atas PT yang mereka kembangkan.
Mereka yang sepaham dengan liberalisme paten berpendapat bahwa invensi
apapun, termasuk yang tersambung dengan SDG dan PT selalu dapat dimintakan
paten, asalkan memenuhi semua persyaratan standar berupa: novelty
(kebaruan), non‐obvious (bersifat inventif), and useful (kebergunaan).
Persyaratan tersebut bersifat universal, seperti misalnya tercantum dalam
perjanjian internasional TRIPs (Hak Kekayaan Intelektual terkait Perdagangan), di
bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Doktrin utamanya adalah
kepatuhan terhadap kesepakatan. Prinsip dasarnya adalah Pact Sunt Servanda
(janji harus ditepati).
Pendapat yang kedua ada di posisi berseberangan. Pendapat ini mendasarkan
diri pada persyaratan novelty, namun dengan penafsiran yang terlampau luas.
Pengikut pendapat ini menyatakan bahwa invensi yang tersambung dengan SDG
dan PT tidak dapat dipatenkan, karena tidak memenuhi syarat kebaruan
(novelty). Acuan utamanya adalah kasus aplikasi atau pemberian paten atas
tanaman nimba, kunyit dan beras basmati. Pada kasus‐kasus ini paten yang
sudah diterbitkan kemudian dibatalkan karena syarat kebaruan tidak terpenuhi.
Pendapat yang ketiga lebih moderat. Menurut pengikut pendapat ini, invensi
yang tersambung dengan SDG dan PT tetap dapat dipatenkan, asalkan ketika
mengajukan permohonan paten atas invensi tersebut dinyatakan secara
transparan bahwa invensi tersebut terkait dengan SDG dan PT. Pendapat ini
mengacu kepada keterbukaan (disclosure) sistem perlindungan paten. Pengikut
pendapat ini menyadari bahwa hampir tidak mungkin ada invensi yang benar‐
benar baru (novel). Pada umumnya invensi yang patentable (bisa diberikan
paten) merupakan hasil pengembangan dari invensi‐invensi sebelumnya, atau
sekurang‐kurangnya hasil perkembangan dari teknologi yang sudah ada
sebelumnya. Termasuk di dalamnya adalah teknologi yang bersumber dari
pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya genetika tertentu.
Banyak riset di bidang farmasi yang melibatkan pengetahuan tradisional sebagai
basis awalnya.
Saat ini di forum internasional tengah berkembang wacana keterbukaan sumber
invensi (disclosure requirements). Wacana ini berkembang sejalan dengan
terungkapnya kasus‐kasus paten obat‐obatan yang terkait dengan SDG dan PT.
Wacana itu berkembang di dalam forum resmi seperti pada Convention on
Biological Diversity (CBD) dan WTO.
Tuntutan disclosure requirements muncul ketika industri farmasi dari negara
maju memperoleh manfaat dari penggunaan SDG dan PT dari negara
berkembang tanpa adanya pembagian manfaat yang adil (equitable benefit
sharing). Sementara itu di dalam sistem perlindungan paten memang belum ada
ketentuan tentang keharusan untuk adanya keterbukaan informasi tentang
sumber invensi. Itu sebabnya negara‐negara maju yang diuntungkan dengan
sistem paten yang berlaku sekarang ini cenderung mempertahankan kondisi
yang ada. Sebaliknya, negara berkembang yang merasa diperlakukan tidak adil
menginginkan agar aturan hukum paten yang ada mencerminkan rasa keadilan
tersebut dengan memasukkan prinsip keterbukaan informasi tentang sumber
invensi. Adanya keterbukaan informasi sumber ini akan berdampak bahwa
negara‐negara berkembang mempunyai landasan yang kuat untuk menuntut
adanya pembagian yang adil atas pemanfaatan SDG dan PT oleh negara maju.
Sesungguhnya, wacana tentang keterbukaan informasi sumber ini lebih
disebabkan karena ada perbedaan kepentingan dalam konteks paten atas obat‐
obatan dan tanaman pangan. Lebih tepatnya menyangkut kepentingan atas
access and benefit sharing. Negara maju berkepentingan atas akses yang terbuka
terhadap GR dan TK. Sebaliknya, negara berkembang berkepentingan untuk
adanya benefit sharing atas pemanfaatan SDG dan PT. Boleh dikatakan
pergumulan tentang disclosure requirements berkisar pada persoalan access and
benefit sharing ini.
Negara‐negara maju mencoba bertahan pada aspek hukum berupa kesepakatan
internasional yang telah disepakati dalam forum TRIPs. Mereka menuntut agar
negara‐negara berkembang comply (patuh) terhadap TRIPs dengan memberikan
perlindungan paten dengan standard internasional. Sedangkan Negara‐negara
berkembang menginginkan sistem yang lebih adil yang lebih dekat pada
persoalan etika moral. Namun pada kenyataannya etika moral seringkali tidak
efektif untuk melahirkan kesadaran manusia agar berlaku adil. Itu sebabnya
negara‐negara berkembang menuntut agar norma etika moral itu diperkuat
dalam bentuk norma hukum. Tuntutan itulah yang mengemuka dalam
perdebatan masuknya disclosure requirements dalam proses permohonan
paten.
Masalah HAKI/Paten merupakan masalah nasional dan internasional yang terus
berkembang dan menimbulkan pro‐kontra, dan dapat mempengaruhi kehidupan
bangsa dan negara, terutama yang berkaitan dengan globalisasi perdagangan
dan masalah pemanfaatan kekayaan keanekaragaman hayati dan kehidupan
dunia iptek. Ini permasalahan yang sangat kompleks terutama karena adanya
dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar.
Di tingkat nasional, masalah akses terhadap sumberdaya telah dilontarkan
terutama oleh kalangan LSM dalam kaitannya dengan kesepakatan Internasional
yaitu Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity,
CBD), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs), dan World Trade
Organization (WTO).
Perkembangan terakhir dalam masalah IPR adalah bahwa bahan informasi
genetik (DNA) yang merupakan bahan hakiki untuk menunjang kemampuan
hidup mulai dipatenkan. Sampai dengan tahun 1995, kurang lebih ada 1.200
fragmen DNA telah dipatenkan. Proses pengajuan paten bukanlah suatu hal yang
mudah dilakukan. Namun proses tersebut sangat ditentukan oleh penyusunan
legal text dalam mengungkap "kebaruan" proses atau produk yang dimintakan
paten‐tanpa memberikan peluang bahwa "kebaruan" dapat disadap/dicuri oleh
fihak lain. Di samping itu, kesepakatan dalam CBD dicantumkan pula Access to
Genetic Resources di mana saja oleh siapa saja. Hal ini sangat memungkinkan
peluang untuk menang dalam berlomba memanfaatkan keanekaragaman hayati
yang merupakan aset pengembangan bioteknologi melalui rekayasa genetik oleh
negara‐negara yang maju teknologinya ketimbang negara‐negara berkembang
yang umumnya lebih kaya keanekaragaman hayati.
Tercapainya kesepakatan dan diadopsinya Protokol Akses dan Pembagian
Keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan
tradisional (Protocol on Access and Benefit Sharing of Genetic Resources and
Associated Traditional Knowledge), sebagai instrumen penting yang akan
memberikan kepastian hukum atas pemanfaatan sumber daya genetik secara
global dan menghentikan pencurian sumber daya genetik (biopiracy). Selain itu
juga target yang tercapai dan terukur serta fokus pada upaya penurunan laju
kemerosotan keanekaragaman hayati pada tataran nasional dan global.
Kerangka Global Implementasi ABS
Sebelum CBD lahir, penguasaan perusahaan besar atas kekayaan sumber daya
hayati menghasilkan keuntungan berlimpah. Ini karena umumnya kekayaan
sumber daya hayati tersebar di negara berkembang yang belum terjamah
industrialisasi.
Negara maju beranggapan, kekayaan sumber daya hayati adalah warisan
peradaban manusia (the common heritage of mankind). Semacam konsep res
communis di hukum Romawi yang merujuk ke wilayah bukan milik siapa‐siapa
(belong to no one) yang bisa dimanfaatkan umum. Maka, perusahaan besar yang
dapat mengembangkan sumber hayati menjadi produk teknologi tinggi seperti
obat dan kosmetik bisa menjual produknya kembali ke negara asal sumber hayati
dengan harga berlipat ganda.
CBD adalah instrumen hukum internasional pertama yang merujuk pada konsep
kedaulatan negara pada kekayaan sumber daya hayati, sembari mengatur
konsep prior inform consent dan berbagi keuntungan secara adil dan setara
sebagai langkah kelanjutannya. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
kemudian memiliki traktat mengenai kekayaan sumber daya hayati dari
tanaman. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2007 berusaha merumuskan
konsep akses dan berbagi keuntungan secara adil dan setara dalam kerangka
Pandemic Influenza Preparedness.
Pada dasarnya harus ada arah dan kebijakan yang harus diambil oleh masing‐
masing negara dalam implementasi ABS di tingkat lokal terhadap
keanekaragaman hayati, penggunaan sumber daya dan berbagi manfaat dari
penggunaan tersebut, tiga proses utama yang mempengaruhi implementasi di
tingkat negara adalah Perjanjian Internasional mengenai Convention on
Biological Diversity (CBD), the International Treaty on Plant Genetic Resources
for Food and Agriculture (ITPGRFA) and the Inter‐Governmental Committee on
Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore
(IGC) of the World Intellectual Property Office (WIPO) yang berhubungan dengan
kepemilikan dan hak milik isu‐isu yang berkaitan dengan sumber daya genetik
dan pengetahuan tradisional intelektual.
Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversiy,
CBD) merupakan konvensi internasional yang dicetuskan pada tahun 1992 di Rio
de Janeiro, Brazil. Konvensi ini mempunyai 3 tujuan utama:
1. Konservasi keanekaragaman hayati,
2. Kelestarian penggunaan dari komponen‐komponen sumber daya hayati
tersebut,
3. Adanya kerja sama yang adil dan saling menguntungkan dari sumber daya
genetik yang ada.
Dengan kata lain, tujuan dari konvensi ini adalah untuk membangun strategi‐
strategi nasional untuk konservasi dan penjagaan keberlangsungan dari
keanekaragaman hayati. Ada beberapa hal dalam CBD yang menjadi pokok
dalam perjanjian bilateral yang dapat di tuangkan dalam MoU kedua negara.
Seperti yang telah tercantum pada CBD yaitu berkenaan dengan pasal‐pasal
sebagai berikut:
Pasal 15 tentang Akses ke Sumber Daya Genetik
Negara yang akan mengambil sumber daya genetik dari negara lain harus
mengakui negara asal dari sumber daya genetik tersebut. Selain itu,
perjanjian yang dibuat harus saling menguntungkan dan disepakati semua
pihak yang terlibat (bilateral maupun multilateral). Kerja sama saling
menguntungkan tersebut mencakup: 1. Penyediaan fasilitas sarana dan
prasarana untuk kemudahan akses ke sumber daya genetik yang telah
disepakati, 2. Akses tersebut dibatasi hanya pada sumber daya genetik
yang telah disepakati saja, 3. Semua pihak berusaha untuk membangun
dan melaksanakan penelitian mengenai sumber daya genetik tersebut.
Pasal 16 tentang Akses dan Transfer Teknologi
Masing‐masing pihak yang terkait harus menyadari bahwa teknologi itu
mencakup bioteknologi dan akses serta transfer teknologi diantara pihak
yang terlibat merupakan elemen yang penting untuk pencapaian tujuan
sesuai dengan CBD tanpa merusak lingkungan dan kelestarian dari
sumber daya genetik tersebut. Akses dan transfer teknologi yang
diberikan kepada negara asal sumber daya genetik tersebut harus fair dan
menghormati hak‐hak kekayaan intelektual. Pihak‐pihak yang terlibat
sebaiknya menempuh jalur hukum, administratif, maupun kebijakan yang
sesuai sehingga negara penyedia sumber daya mendapatkan akses dan
transfer teknologi dengan kesepakatan bersama, termasuk terknologi‐
teknologi yang dipatenkan atau hak kekayaan intelektual lainnya.
Pasal 17 tentang Pertukaran informasi
Pihak‐pihak yang memanfaatkan sumber daya harus memfasilitasi
pertukaran informasi dari berbagai sumber yang tersedia yang relevan
dengan konservasi dan kelangsungan penggunaan dari keanekaragaman
hayati yang merupakan kebutuhan dari negara berkembang yang
merupakan penyedia sumber daya genetik. Informasi‐informasi yang
diberikan juga sebaiknya mencakup hasil‐hasil teknis dari penelitian,
keilmuan, dan sosio‐ekonomi; pengadaan pelatihan‐pelatihan dan
program survey; serta tukar informasi seputar ilmu pengetahuan yang
terkait.
Pasal 18 tentang Kerja sama Teknik dan Keilmuan
Pihak‐pihak yang terlibat kontrak harus mempromosikan kerja sama
teknik dan keilmuan internasional terkait dengan konservasi dan
keberlangsungan penggunaan dari keanekaragaman hayati, jika perlu,
melalui institusi‐institusi internasional dan nasional yang sesuai. Kerja
sama tersebut khususnya ditekankan pada pembangunan dan penguatan
kapabilitas nasional melalui pengembangan sumber daya manusia dan
pembangunan institusi. Pihak yang memanfaatkan sumber daya (negara
maju) harus mendorong pemanfaatan teknologi, baik teknologi
tradisional maupun modern untuk mencapai tujuan konvensi. Untuk
tujuan ini, pihak negara maju tersebut diharapkan bekerja sama dalam
pengadaan pelatihan‐pelatihan SDM dan pertukaran ahli.
Pasal 19 tentang Penanganan Bioteknologi dan Pembagian Keuntungan
Pihak‐pihak yang terlibat kontrak harus menempuh jalur hukum,
administratif, maupun kebijakan lain yang sesuasi untuk mendukung
partisipasi yang efektif dalam aktivitas penelitian di bidang bioteknologi
oleh pihak‐pihak tersebut, terutama negara yang berkembang yang
menyediakan sumber daya genetik. Semua pihak harus
mempertimbangkan kebutuhan akan protokol untuk menetapkan
prosedur yang sesuai terkait dengan transfer yang aman, penanganan
dan penggunaan organisme hidup yang telah dimodifikasi (living modified
organism) yang dihasilkan dari rekayasa bioteknologi yang mungkin
memiliki efek samping pada konservasi dan keberlangsungan penggunaan
keanekaragaman hayati.
Pasal 20 tentang Sumber Dana
Setiap pihak yang terlibat, sesuai dengan kapabilitasnya, harus
memberikan dukungan finansial dan insentif, terkait dengan kegiatan
yang telah disepakati bersama untuk pencapaian tujuan konvensi. Pihak
dari negara maju harus menyediakan sumber dana baru dan tambahan
sehingga memungkinkan negara berkembang untuk memenuhi biaya‐
biaya tambahan yang telah disepakati bersama. Pihak negara maju harus
memenuhi semua kebutuhan dana dan transfer teknologi yang
diperlukan oleh negara berkembang.
Protokol Nagoya
Pertemuan Negara‐negara Pihak (COP) Konvensi Sumber Daya Hayati Ke‐10 di
Nagoya menghasilkan tiga kesepakatan utama. Kesepakatan dari pertemuan
yang berakhir pada 30 Oktober 2010 itu meliputi Protokol Nagoya, Revisi
Rencana Strategis Pencapaian Tujuan Konvensi Sumber Daya Hayati (CBD) 2011‐
2020 dan Rencana Pelaksanaan Strategi Mobilisasi Dana.
Selama ini gagasan CBD sulit diimplementasikan karena petunjuk
pelaksanaannya berupa protokol belum ada. Maka, kelahiran Protokol Nagoya,
yang lengkapnya adalah The Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources
and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization,
sangat penting secara substantif. Protokol Nagoya berisi aturan pemberian akses
dan kemauan berbagi keuntungan secara adil dan setara atas pemanfaatan
kekayaan sumber daya hayati. Ini merupakan kesepakatan kedua setelah
Protokol Cartagena mengenai keamanan hayati (biosafety), yang mulai berlaku
2003.
Protokol Nagoya merumuskan aturan pelaksanaan CBD terkait pemberian akses
dan pembagian keuntungannya. Penyedia kekayaan sumber daya hayati bekerja
sama dengan pengguna dalam mekanisme pembagian keuntungan yang adil dan
setara. Agar Protokol Nagoya dapat berlaku sah sesuai hukum internasional,
dibutuhkan ratifikasi dari 50 negara anggota COP CBD. Naskah asli Protokol
Nagoya akan mulai terbuka untuk ditandatangani 2 Februari 2011 sampai 1
Februari 2012 di Markas Besar PBB, New York.
Protokol Nagoya merumuskan mekanisme pemanfaatan kekayaan sumber daya
hayati yang berasal dari tanaman, hewan, dan mikrobiologi untuk produk
industri, kosmetik, makanan, obat‐ obatan, dan keperluan lain. Intinya, terbuka
akses pada sumber daya hayati untuk pemanfaatan, tetapi juga dalam semangat
yang sama mengatur bagaimana manfaat atau keuntungan juga dapat dinikmati
oleh negara asal sumber daya hayati itu.
Kesepakatan diharapkan dapat membuat transparan pergerakan lalu lintas
sumber‐sumber daya hayati sehingga pembajakan hayati (biopiracy) dapat
ditekan seminimal mungkin. Selama ini biopiracy kerap terjadi saat perusahaan
multinasional diam‐diam memanfaatkan pengetahuan tradisional ataupun
kekayaan sumber daya hayati negara berkembang, dan keuntungannya juga
sama sekali tidak dibagi.
Pembahasan mengenai upaya mendeteksi biopiracy memakan waktu lama.
Negara berkembang ingin aturan monitoring yang bersifat mandatory dan
mencakup informasi rinci dan lengkap dari riset sampai pengembangan produk.
Negara maju menginginkan aturan lebih longgar dan bersifat sukarela.
Kasus‐Kasus Pembelajaran
Kasus Hoodia gordonii di Afrika Selatan
Suku‐suku San Kalahari merupakan masyarakat tertua di Afrika Selatan. Mereka
telah memiliki pengetahuan tradisional tentang penggunaan Hoodia gordonii,
pohon yang ditemukan di gurun Kalahari, yang secara historis dikonsumsi oleh
suku San Kalahari untuk menahan rasa lapar apabila melakukan perjalanan jauh.
Masyarakat San awalnya tidak menyadari bahwa Dewan Penelitian Ilmiah dan
Industri Afrika Selatan (South African Council for Scientific and Industrial
Research / CSIR), sebuah lembaga pemerintah Afrika Selatan, telah diberikan hak
paten pada P57, obat penekan nafsu makan yang berasal dari ekstrak Hoodia
lezat melalui penelitian dilakukan oleh CSIR, dan memiliki rencana untuk
mengkomersialisasikan produk tersebut tanpa sepengetahuan suku San Kalahari.
CSIR kemudian menegosiasikan lisensi hak eksklusif komersial tersebut kepada
perusahaan farmasi Phytopharm, untuk pengembangan produk Hoodia, yang
kemudian memberikan izin kepada perusahaan farmasi Pfizer dan ke
perusahaan makanan multinasional Unilever.
Dengan keterlibatan LSM The Working Group on Indigenous Minorities in
Southern Africa (WIMSA), masyarakat San melakukan negosias dengan CSIR
untuk menyusun perjanjian pembagian keuntungan dari royalti yang berasal dari
penjualan produk yang mengandung paten P57.
Masalah utama dalam perundingan tersebut adalah kurangnya kerangka hukum
di Afrika Selatan untuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dan
pengetahuan tradisional. Dalam kasus Hoodia sulit untuk menegaskan klaim
orang‐orang San mengenai paten P57 dan komersialisasi produk Hoodia di masa
depan karena kurangnya kerangka peraturan yang jelas yang menetapkan hak‐
hak suku San Kalahari.
Akhirnya perjanjian dalam bentuk Nota Kesepahaman dicapai antara CSIR dan
Dewan San Kalahari Afrika Selatan. Perjanjian ini dianggap sebagai langkah maju
yang signifikan untuk menegosiasikan kesepakatan pembagian keuntungan
dengan Dewan San Kalahari Afrika Selatan sebagai pengakuan atas hak‐hak
kolektif suku San, termasuk mendapatkan manfaat moneter atas eksploitasi
komersial terhadap paten P57. Perundingan tentang syarat‐syarat perjanjian
antara CSIR dan Dewan San Kalahari Afrika Selatan berlanjut hingga perjanjian
pembagian keuntungan yang ditandatangani pada tanggal 24 Maret 2003.
Perjanjian ditentukan persentase jumlah pembayaran, termasuk pembayaran
royalti sejumlah 8%.
Kasus Golden Rice
Golden Rice adalah varietas padi yang telah diperkaya dengan betacarotene,
untuk mengatasi defisiensi Vitamin A. Penelitian dasar dilakukan di Swiss public
research institutes ETH Zurich & University of Freiburg. Perusahaan Zeneca
(yang kemudian berubah nama menjadi Syngenta seletah merger dengan
Novartis Agribusiness) mendapatkan hak penelitian dasar tersbut, kemudian
dipadukan dengan penelitian perusahaan tersebut, didapatkan Golden Rice yang
lebih baik. Pada saat pengurusan paten, diketahui sampai didapatnya Golden
Rice ternyata melibatkan 70 proses dan material yang berbeda yang berasal dari
32 perusahaan dan universitas baik swasta maupun pemerintahan. Sygenta
kemudian menyerahkan pengembangan Golden Rice kepadaInternational Rice
Research Institute (IRRI) untuk kepentingan kemanusiaan.
Kerjasama Pemerintah Nigeria dengan Shaman Pharmaceutical Inc.
Pada tahun 1990 Shaman Pharmaceuticals Inc. menjalin kerjasama lembaga
penelitian ilmiah Nigeria. Manfaat langsung dan jangka menengah yang didapat
oleh pemerintah Nigeria dari ekspedisi tersebut berupa program pelatihan
tentang kesehatan masyarakat, botani, konservasi dan etnobotani, dukungan
untuk cadangan tanaman obat negara, dukungan pendidikan; pasokan koleksi
botani untuk herbarium, peralatan laboratorium untuk penelitian ilmiah dan
dukungan bagi para ilmuwan Nigeria untuk penerapan teknik analisis modern.
Kemudian didirikan pula lembaga bernama Healing Forest Conservancy sebagai
alat pembagian keuntungan. Uang sejumlah US $ 2.000 diberikan oleh Shaman
Pharmaceuticals Inc. pada tahun 1994 untuk komunitas dan organisasi
penyembuh tradisional, untuk hutan konservasi tumbuhan obat berbasis
masyarakat.
Pada awal tahun 1999 Shaman Pharmaceutical mengambil alih salah satu
penemuan melalui proses regulasi Food and Drug Administration, waktu masa
depan dan biaya untuk uji klinis tambahan terbukti mahal. Shaman
Pharmaceutical memanfaatkan penelitian dan pengembangan perusahaan
dengan meluncurkan suplemen makanan botani yang pertama. Produk ini
merupakan ekstrak dari getah sangre de Drago, pohon Croton lechleri, yang
bermanfaat untuk mencegah kehilangan cairan dan merangsang pembentukan
tinja yang normal pada sindrom usus bowel.
Kasus Suku Kani di India
Suku Kani merupakan salah satu suku asli di India yang memakan buah
Trichophus zeylanicus, yang membuat mereka tetap gesit dan enerjik dalam
perjalanan. Tropical Botanic Garden and Research Institute (TBGRI) kemudian
melakukan penelitian terhadap kandungan tanaman tersebut dan menemukan
bahwa dalam buahnya terdapat zat anti kelelahan, daunnya mengandung
berbagai glycolipids dan beberapa non‐steroid lainnya senyawa dengan anti‐stres
dan anti‐hepatoxic. Tim TBGRI kemudian mengembangkan formulasi polyherbal
dan diberi nama "Jeevni". Setelah evaluasi klinis yang memuaskan obat herbal
tersebut dirilis untuk produksi komersial.
Kemudian banyak perusahaan farmasi yang mendekati TBGRI untuk
mendapatkan lisensi produksi “Jeevni”. Setelah berbagai negosiasi dengan
berbagai pihak, lisensi produksi masal “Jeevni” dialihkan ke Aryavaidya Pharmacy
Coimbatore Ltd selama 7 tahun. Dalam proses konsultasinya, TBGRI sepakat
dengan komunitas suku Kani untuk membagi licence fee dan royaltinya sebesar
50%.
Organisasi Industri
Keterlibatan organisasi‐organisasi industri juga perlu mendapat perhatian dalam
keikutsertaannya dalam implementasi CBD salah satunya adalah The
Biotechnology Industry Organization (BIO), yang merupakan salah satu
organisasi industri Bioteknologi, didirikan tahun 1993 melalui penggabungan 2
buah organisasi yaitu Association of Biotechnology Companies dan the Industrial
Biotechnology Association. Anggotanya terdiri dari sektor‐sektor yang bergerak
dalam bidang penelitian dan pengembangan inovasi produk‐produk bioteknologi
kesehatan, agrikultur, industri dan lingkungan.
The Biotechnology Industry Organization sejak tahun 2005 telah menyusun
sebuah petunjuk teknis terkait bioprospeksi yang memberikan arahan bagi para
anggotanya dalam kegiatan‐kegiatan bioprospeksi. BIO juga telah mempunyai
model Material Transfer Agreements, yang diacu oleh seluruh anggotanya.
Isu Strategis Implementasi ABS bagi Industri Bioteknologi
Implementasi CBD di bidang industri bioteknologi saat ini belum sepenuhnya
dapat terlaksana, diperlukan instrumetasi yang dapat mendukungnya terutama
ditingkal lokal (negara), diantaranya adalah aturan akses sumber daya disetiap
negara. Beberapa negara seperti Jepang telah pula mempunyai Guidelines on
Access to Genetic Resources for Users in Japan. Dokumen ini dipublikasikan
pertama kali pada tanggal 1 April 2005 dalam bahasa Jepang, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kemudian disebarluaskan pada bulan
Pebruari 2006. Dokumen dalam versi English berisi 28 halaman lengkap memuat
segala aturan yang diperlukan untuk akses sumber daya genetik untuk pengguna
di Jepang. Sebagai pengantar, di dalam dokumen dijelaskan kronologi dibuatnya
aturan ini sebagai inplementasi CBD yaitu didasari adanya Bonn Giudelines
diadopsi pada COP6 pada bulan Pebruari 2002. Pada bulan September 2002
Bonn Guidelines tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Pada
tahun 2003‐2004 Bonn Guidelines didesiminasikan di Jepang melalui seminar dan
internasional simposium. Secara paralel Bonn Guidelines diproposikan oleh
Ministry of Economy, Trade and Industry (METI) yang kemudian membahas
secara rtinci dengan Japan Bioindustry Association (JBA). Pada tahun 2005
Guidelines Access to Genetic Resources for Users in Japan telah selesai dibuat
pada bulan Maret dan dipublikasi pada tanggal 1 April 2005 dalam versi Bahasa
Jepang. Pada bulan Pebruari 2006 versi bahasa Inggris disebarluaskan.
Salah satu hal penting yang berkaitan erat dengan akses sumber daya genetik
adalah manakala biodiversitas negara asal akan dimanfaatkan oleh pihak lain.
Perjanjian antara kedua belah pihak harus jelas sehubungan dengan
pemanfaatan bahan genetik yang akan dikirimkan. Dokumen penting yang
diperlukan tersebut disebut dengan Material Transfer Agreement (MTA). MTA
sering didefinisikan sebagai suatu terminologi umum untuk suatu dokumen
pengiriman yang sangat singkat dan sederhana, merupakan catatan pengiriman
suatu bahan yang sudah baku, atau suatu catatan resmi berisikan persyaratan
minimum yang harus dibuat atau dapat merupakan dokumen yang rinci tentang
persetujuan pengiriman dan penggunaan bahan yang telah disetujui bersama.
Di dalam MTA biasanya tercantum jenis dan jumlah bahan genetik yang
ditransfer, waktu terjadinya pengiriman, ijin penggunaan bahan genetik yang
dikirimkan (misalnya untuk keperluan riset, komersial, dan lain‐lain) dan
pernyataan apabila bahan tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain. Bonn
Guidelines merupakan bahan acuan yang telah dibakukan. Hal‐hal lain yang
berhubungan dengan pengelolaan dan kepentingan bersama atas bahan yang
dikirimkan dapat dituliskan pula dalam perjanjian tersebut. Seharusnya tidak
terjadi hal‐hal yang dpat dinegosiasikan di luar MTA. Artinya bahwa segala
sesuatu yang harus dipatuhi oleh negara asal sumber genetik dan negara
penerima semuanya harus tertulis pada MTA.
Bioteknologi merupakan suatu proses yang relatif panjang, seringkali
memerlukan waktu bertahun‐tahun dan biaya riset pengembangan yang sangat
mahal sampai menghasilkan produk yang dapat dikomersialisasi, dalam
perjalanan proses tersebut juga selain sumberdaya asli juga melibatkan banyak
orang, organisasi dan bahan‐bahan lain selain sumberdaya aslinya, sehingga
perumusan ABS‐nya menjadi rumit.
KESIMPULAN
Saat ini implementasi ABS di sektor industri lebih banyak terjadi karena reaksi
pihak yang merasa dirugikan atau kebijakan pengembang (perusahaan) yang
sifatnya lebih “voluntary”. Tersedianya aturan lokal (negara) mengenai hak akses
terhadap sumber daya terutama sumberdaya genetik merupakan syarat utama
legalisasi implementasi ABS di sektor industri bioteknologi, meskipun demikian
dari berbagai kasus yang terjadi, pendekatan terhadap hak ABS dapat dilakukan
dengan berbagai cara, baik melalui mekanisme penyusunan MTA, dan yang lebih
penting lagi adalah pendokumentasian sumberdaya tersebut ditingkat lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Amar, A., Malik, A., Prasetya, B., Chasanah, E., Irianto, H.E., Loedin, I,S., Mulya,
K., Lisdiyanti, P., Setyahadi, S., Soeharsono, dan T.E. Ermayanti. 2007.
Strategi Pengembangan Bioteknologi di Indonesia. Konsorsium
Bioteknologi Indonesia dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi,
Jakarta, 118 hal.
Artuso, A. 2002. Bioprospecting, Benefit Sharing, and Biotechnological Capacity
Building. World Development Vol. 30, No. 8, pp. 1355–1368.
Barizah, N.2009. Kebijakan Di Tingkat Nasional Dan Internasional Upaya
Perlindungan HKI Yang Terkait Dengan Pendayagunaan Sumber Daya
Genetik Dan Pengetahuan. Media HKI Vol.VI/No.3/Juni 2009.
Bonn Guidelines on Accesss to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing
of the Benefit Arising out of their Utilization. UNEP/CBD/COP/6/6.
Bridge, G., McManus, P. And T. Marsden. 2003. The next new thing?
Biotechnology and its discontents. Guest Editorial/Geoforum 34 (2003)
165–174.
Chambers, W.B, Greena, J, and A. Kambu. 2004. Trade, biotechnology and
sustainable development: a report on the Southeast Asia Workshop for
policymakers. Global Environmental Change 14 (2004) 185–188.
Finston, S.K. 2009. Public/Private Partnership for Development of Golden Rice
Intellectual Property (IP) & Innovation: Promoting Global Competitiveness
in the Americas. INPI/OMPI/OAS Rio de Janeiro, Brasil December 16,
2009. BayhDole25 Inc.
Goenadi, D.H. & Isroi. 2003. Aplikasi Bioteknologi dalam Upaya Peningkatan
Efisiensi Agribisnis yang Berkelanjutan. Makalah Lokakarya Nasional
Pendekataan Kehidupan Pedesaan dan Perkotaan dalam Upaya
Membangkitkan Pertanian Progresif, UPN “Veteran” Yogyakarta, 8‐9
Desember 2003.
Guidelines for BIO Members Engaging in Bioprospecting
(http://www.bio.org/ip/international/200507guide.asp).
Guidelines on Access to Genetic Resources for Users in Japan. 2006. Ministry of
Economy, Trade and Industry (METI), Japan and Japan Bioindustry
Association (JBA). Tokyo, Japan.
Makarim Wibisono Anggota Delegasi RI dari Kementerian Kesehatan ke COP 10
Nagoya
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/22/03211740/selamat.datang.pr
otokol.nagoya
Ministry of Environment & Forests Government of India. 2002. Biotechnology &
Bioprospecting For Sustainable Development, India’s presentation for the
Ministerial Meeting of Megabiodiversity Countries Cancun, Mexico
February 16‐18, 2002.
Moran, K. 1998. Mechanisms For Benefit Sharing: Nigerian Case Study for the
Convention on Biological Diversity, The Healing Forest Conservancy.
Washington.
Suneetha, M.S and B. Pisupati. Benefit Sharing in ABS: Options and Elaborations.
United Nations University Institute of Advanced Studies. United Nations
Environment Programme (UNEP). 30pp.
The International Institute for Sustainable Development (IISD), Stratos Inc. and
Jorge Cabrera. 2007. ABS‐Management Tool Best Practice Standard and
Handbook for Implementing Genetic Resource Access and Benefit‐sharing
Activities. State Secretariat for Economic Affairs SECO.