71
Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010 MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan Dan Luas Penutupan Lamun

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Padang lamun berperan penting di ekosistem laut dangkal, karenamerupakan habitat bagi ikan dan biota perairan lainnya. Pentingnya peran padanglamun di ekosistem laut dangkal tidak menjamin ekosistem ini tetap terjaga, dibeberapa daerah telah mengalami gangguan berupa kerusakan dan penguranganluas yang diduga akibat pengaruh aktivitas manusia. Salah satu daerah yangbanyak dilaporkan mengalami kerusakan padang lamun adalah Teluk Banten.Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi jenis, kerapatan, persenpenutupan dan perubahan luas tutupan lamun di Pulau Panjang pada kurun waktu1990 – 2010.Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2010 diPerairan Pulau Panjang, Teluk Banten dan pengambilan data lapang dilakukan padatanggal 3 – 5 Juli 2010. Pengamatan lamun dilakukan di setiap sub-stasiun mulaidari tepi pantai sampai batas tubir dengan menggunakan metode transek garis.Pengamatan lamun di lapangan meliputi identifikasi jenis lamun, menghitung jumlahtegakan, pengukuran persen penutupan lamun, dan pengamatan terhadap vegetasiasosiasi. Data Fisika Kimia yang diukur adalah suhu, salinitas, kedalaman,kecerahan, dan Total Suspended Solid (TSS). Analisis data TSS dilakukan diLaboratorium Produktivitas dan Lingkungan, FPIK - IPB. Analisis data lamunmeliputi komposisi jenis lamun, kerapatan jenis lamun dan persen penutupan lamun.Perubahan luasan lamun dihitung dengan menggunakan metode klasifikasi takterbimbing pada Citra Landsat rekaman tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010.Berdasarkan hasil identifikasi didapatkan tiga spesies lamun di wilayahperairan Pulau Panjang, yaitu Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium danCymodocea serrulata. Kerapatan total lamun tertinggi ditemukan di Stasiun IIIdengan nilai kerapatan total 110 ind/m2 dibandingkan dengan nilai kerapatan diStasiun II sebesar 45 ind/m2 dan di Stasiun I sebesar 13 ind/m2. Kerapatan jenistertinggi pada Stasiun III adalah Enhalus acoroides sebesar 8 ind/m2, Cymodoceaserrulata 12 ind/m2, dan Syringodium isoetifolium 89 ind/m2. Kondisi perairan yangcukup baik di Stasiun III diduga karena rendahnya nilai TSS dan perairan relatifdalam sehingga lamun tetap terendam walaupun dalam kondisi surut rendah.Persen penutupan lamun tertinggi ditemukan pada Stasiun III sebesar 23,3%dan terendah pada Stasiun I sebesar 14,6%. Persen penutupan lamun dipengaruhioleh kerapatan pada masing-masing stasiun.Hasil analisis citra memperlihatkan terjadinya pengurangan luasan arealpadang lamun dari tahun ke tahun. Kerusakan parah terlihat dari tahun 2000 – 2005dengan luas perubahan 22,9 ha, sedangkan pada tahun 1990 – 2000 terjadiperubahan luas 12,7 ha, dan tahun 2005 – 2010 terjadi luas perubahan 7,2 ha.Adanya penambangan dan reklamasi pantai menjadi penyebab berkurangnyaluasan lamun di daerah Teluk Banten.

Citation preview

  • Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010

    MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN

    SKRIPSI

    DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

  • ii

    PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

    Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010 adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

    Bogor, Januari 2011

    MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN NRP. C54062195

  • iii

    RINGKASAN

    MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN. Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan, dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan INDARTO HAPPY SUPRIYADI.

    Padang lamun berperan penting di ekosistem laut dangkal, karena merupakan habitat bagi ikan dan biota perairan lainnya. Pentingnya peran padang lamun di ekosistem laut dangkal tidak menjamin ekosistem ini tetap terjaga, di beberapa daerah telah mengalami gangguan berupa kerusakan dan pengurangan luas yang diduga akibat pengaruh aktivitas manusia. Salah satu daerah yang banyak dilaporkan mengalami kerusakan padang lamun adalah Teluk Banten. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan perubahan luas tutupan lamun di Pulau Panjang pada kurun waktu 1990 2010. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2010 di Perairan Pulau Panjang, Teluk Banten dan pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 3 5 Juli 2010. Pengamatan lamun dilakukan di setiap sub-stasiun mulai dari tepi pantai sampai batas tubir dengan menggunakan metode transek garis. Pengamatan lamun di lapangan meliputi identifikasi jenis lamun, menghitung jumlah tegakan, pengukuran persen penutupan lamun, dan pengamatan terhadap vegetasi asosiasi. Data Fisika Kimia yang diukur adalah suhu, salinitas, kedalaman, kecerahan, dan Total Suspended Solid (TSS). Analisis data TSS dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, FPIK - IPB. Analisis data lamun meliputi komposisi jenis lamun, kerapatan jenis lamun dan persen penutupan lamun. Perubahan luasan lamun dihitung dengan menggunakan metode klasifikasi tak terbimbing pada Citra Landsat rekaman tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010. Berdasarkan hasil identifikasi didapatkan tiga spesies lamun di wilayah perairan Pulau Panjang, yaitu Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serrulata. Kerapatan total lamun tertinggi ditemukan di Stasiun III dengan nilai kerapatan total 110 ind/m2 dibandingkan dengan nilai kerapatan di Stasiun II sebesar 45 ind/m2 dan di Stasiun I sebesar 13 ind/m2. Kerapatan jenis tertinggi pada Stasiun III adalah Enhalus acoroides sebesar 8 ind/m2, Cymodocea serrulata 12 ind/m2, dan Syringodium isoetifolium 89 ind/m2. Kondisi perairan yang cukup baik di Stasiun III diduga karena rendahnya nilai TSS dan perairan relatif dalam sehingga lamun tetap terendam walaupun dalam kondisi surut rendah. Persen penutupan lamun tertinggi ditemukan pada Stasiun III sebesar 23,3% dan terendah pada Stasiun I sebesar 14,6%. Persen penutupan lamun dipengaruhi oleh kerapatan pada masing-masing stasiun. Hasil analisis citra memperlihatkan terjadinya pengurangan luasan areal padang lamun dari tahun ke tahun. Kerusakan parah terlihat dari tahun 2000 2005 dengan luas perubahan 22,9 ha, sedangkan pada tahun 1990 2000 terjadi perubahan luas 12,7 ha, dan tahun 2005 2010 terjadi luas perubahan 7,2 ha. Adanya penambangan dan reklamasi pantai menjadi penyebab berkurangnya luasan lamun di daerah Teluk Banten.

  • iv

    Hak Cipta milik IPB tahun 2011 Hak Cipta dilindingi Undang-Undang

    Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

  • v

    Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan, dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010

    MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN

    SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

    pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

    DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

  • SKRIPSI

    Judul Penelitian : KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, PERSEN PENUTUPAN, DAN LUAS PENUTUPAN LAMUN DI PERAIRAN PULAU PANJANG TAHUN 1990 2010.

    Nama Mahasiswa : Muhammad Ismail Sakaruddin Nomor Pokok : C54062195 Departemen : Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

    Menyetujui,

    Dosen Pembimbing Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Drs. Indarto Happy Supriyadi, M.Si NIP. 19651213 199403 2 002 NIP. 19620428 199003 1 004

    Mengetahui, Kepala Departemen

    Ilmu dan Teknologi Kelautan

    Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc NIP. 19580909 198303 1 003

    Tanggal Lulus : 26 Januari 2011

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Dinamika perubahan luasan suatu lingkungan di perairan dangkal sangat

    menarik untuk diteliti terutama topik yang terkait dengan lamun. Lamun merupakan

    salah satu komunitas penting di perairan dangkal. Perubahan luasan lamun saat ini

    terus mengalami degradasi baik disebabkan oleh faktor alam atau aktifitas manusia,

    untuk itu topik yang diajukan adalah mengenai Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen

    Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990

    2010. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat

    untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

    Penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan

    skripsi ini, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

    1. Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Mujizat Kawaroe M.Si selaku Pembimbing I dan

    Drs. Indarto Happy Supriyadi M.Si selaku Pembimbing II yang bersedia

    berdiskusi dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

    2. Keluarga di Makassar yang senantiasa menjadi inspirasi, terutama bagi kedua

    Orang Tua H. Sakaruddin dan Hj. Jumriah Umar, yang selalu mendukung

    secara moril dan finansial, serta ketiga saudara, Ilham, Iksan, dan Reski atas

    kasih sayang dan doa yang diberikan.

    3. Staff Pengajar dan Staff Pembantu Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

    FPIK-IPB yang memberikan ilmu dan mendukung berjalannya proses belajar

    mengajar di Departemen.

    4. Sri Hutri Madela yang turut membantu penulis, dalam pengambilan data dan

    semangat yang selalu diberikan.

  • viii

    5. Keluarga Pak Hasbullah di Pulau Panjang yang telah membantu penulis dalam

    menyiapkan segala akomodasi di lokasi penelitian.

    6. Penulis juga ingin mengungkapkan apresiasi yang sedalam-dalamnya kepada

    semua rekan-rekan di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB,

    khususnya angkatan 43, untuk semua pengalaman yang tidak akan

    terlupakan.

    7. Penghuni Wisma Mahasiswa Latimojong serta sahabat-sahabat IKAMI Bogor.

    8. Seluruh pihak-pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

    Mudah-mudahan skripsi ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembaca dan

    memberikan suatu informasi yang dapat memajukan dan melestarikan dunia

    kelautan Indonesia.

    Bogor, Januari 2011

    Muhammad Ismail Sakaruddin

  • ix

    DAFTAR ISI

    Halaman

    RINGKASAN ................................................................................................. iii

    KATA PENGANTAR .................................................................................... vii

    DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi

    DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii

    1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2. Tujuan ................................................................................................ 3

    2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4

    2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Lamun ......................................................... 4 2.2. Kondisi Lamun di Teluk Banten ........................................................... 5 2.3. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun .... 7

    2.2.1. Suhu ........................................................................................ 7 2.2.2. Salinitas ................................................................................... 7 2.2.3. Kedalaman .............................................................................. 8 2.2.4. Kecerahan ............................................................................... 8 2.2.5. Total suspended Solid .............................................................. 9 2.2.6. Substrat ................................................................................... 9

    2.4. Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografi ................. 10 2.5. Pemetaan Lamun dengan Menggunakan Penginderaan Jauh ........... 11

    3. BAHAN DAN METODE ............................................................................ 13

    3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................. 13 3.2. Alat dan Bahan ................................................................................. 14 3.3. Metode Perolehan Data .................................................................... 15

    3.3.1. Penentuan Stasiun Pengamatan ........................................... 15 3.3.2. Pengamatan Lamun .............................................................. 16 3.3.3. Pengambilan dan Pengawetan Contoh Air .............................. 16 3.3.4. Pengukuran Fisika dan Kimia Air ............................................ 17

    3.3.4.1. Suhu ......................................................................... 17 3.3.4.2. Salinitas ................................................................... 17 3.3.4.3. Kedalaman ................................................................ 18 3.3.4.4. Sedimen .................................................................... 18 3.3.4.4. Kecerahan ................................................................ 19 3.3.4.5. Total Suspended Solid (TSS) .................................... 19

    3.3.5. Analisis Data .......................................................................... 19 3.3.5.1. Komposisi Jenis Lamun ............................................ 19 3.3.5.2. Kerapatan Jenis Lamun ............................................. 20 3.3.5.3. Persentase Penutupan Lamun .................................. 20

    3.4. Pengolahan Data Citra ...................................................................... 21

  • x

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 25

    4.1. Parameter Fisika dan Kimia air ......................................................... 25 4.2. Perubahan Komposisi Jenis Lamun ................................................. 27 4.3. Kerapatan Jenis Lamun .................................................................... 31 4.4. Persen Penutupan Lamun ................................................................ 34 4.5. Perubahan Luas Lamun ................................................................... 36 4.6. Uji Akurasi Citra Hasil Klasifikasi ....................................................... 39

    5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 41 5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 41 5.2. Saran ............................................................................................... 42

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 43

    LAMPIRAN ................................................................................................... 46 RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... 57

  • xi

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian ................................................................. 13

    Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Citra .................................................... 23

    Gambar 3. Komposisi Jenis Lamun di Tiap Stasiun .................................... 28

    Gambar 4. Kerapatan Total Lamun .............................................................. 31

    Gambar 5. Kerapatan Rata-rataJenis Lamun ................................................ 32

    Gambar 6. Kerapatan Rata-rata Lamun Teluk Banten pada Tahun 2000 ........ 34

    Gambar 7. Persen Penutupan Lamun ......................................................... 35

    Gambar 8. Peta perubahan luas lamun di Pulau Panjang ............................ 38

  • xii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Klasifikasi lamun di Indonesia menurut Phillips

    & Menez (1988) ............................................................................... 5

    Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian ............................................................... 14

    Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air

    Pulau Panjang ............................................................................... 25

    Tabel 4. Komposisi jenis lamun pada tahun 1989, 2008, dan 2010 .............. 30

    Tabel 5. Perubahan luas lamun 1990 2010 ............................................... 36

    Tabel 6. Hasil Uji Akurasi .............................................................................. 39

  • xiii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1. Data Lapang ............................................................................. 46

    Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan ............................................................. 49

    Lampiran 3. Data Ground Truth untuk Uji Akurasi ........................................ 52

    Lampiran 4. Data Pasang Surut .................................................................... 54

  • 1

    1. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Padang lamun di Indonesia memiliki luas sekitar 30.000 km2 dan berperan

    penting di ekosistem laut dangkal, karena merupakan habitat bagi ikan dan biota

    perairan lainnya (Nontji, 2009). Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang

    lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground), pengasuhan larva (nursery

    ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan penahan

    sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat

    terjadinya siklus nutrien (Philllips dan Menez, 1988), dan fungsinya sebagai

    penyerap karbon di lautan (Kawaroe, 2009).

    Pentingnya peran padang lamun di ekosistem laut dangkal tidak menjamin

    ekosistem ini tetap terjaga, diperkirakan kerusakan padang lamun di Indonesia telah

    mencapai 30 40%. Sekitar 60% padang lamun di perairan pesisir Pulau Jawa

    telah mengalami gangguan berupa kerusakan dan pengurangan luas yang diduga

    akibat pengaruh aktivitas manusia (Fortes, 1994 dalam Nontji, 2009). Salah satu

    daerah yang banyak dilaporkan mengalami kerusakan padang lamun yang

    disebabkan oleh aktivitas manusia adalah Teluk Banten. Beberapa penelitian telah

    dilakukan di perairan Teluk Banten untuk melihat kerusakan dan dampak terhadap

    ekosistem sekitarnya. Kiswara (2004) melaporkan bahwa dampak perluasan industri

    dapat menyebabkan penurunan luas padang lamun dan sumberdaya perikanan di

    Teluk Banten. Kerusakan padang lamun di Teluk Banten juga dapat diakibatkan

    karena perubahan tata guna lahan (Yunus, 2008).

  • 2

    Kondisi padang lamun diduga terus mengalami kerusakan dari tahun ke tahun,

    sehingga perlu dilakukan pengamatan secara temporal, terutama terkait masalah

    perubahan komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan luas tutupan lamun

    agar dapat diketahui luas perubahan dan dapat dilakukan perencanaan rahabilitasi.

    Laporan perubahan luas lamun secara temporal tidak mudah untuk diperoleh,

    dibutuhkan banyak data dengan penggunaan biaya yang tidak sedikit, sehingga

    diperlukan suatu metode yang lebih efisien. Salah satu metode yang dapat

    digunakan adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh (Remote

    Sensing). Kelebihan Remote Sensing adalah mampu merekam area yang luas dan

    sulit dijangkau sekalipun serta secara temporal merekam objek atau fenomena pada

    suatu wilayah (Lillesand dan Kiefer, 1994). Hasil dari pengolahan data citra akan

    ditumpang tindihkan sehingga diperoleh data temporal yang dapat memberikan

    informasi mengenai tutupan padang lamun dari waktu ke waktu.

    Satelit sumberdaya alam yang banyak digunakan untuk mengolah vegetasi

    adalah Landsat, beberapa kelebihan Landsat adalah memiliki resolusi spasial 30

    meter dengan resolusi temporal 16 hari yang mengorbit secara polar. Hasil

    pengolahan citra satelit akan dilihat akurasinya dengan ground check sehingga

    didapatkan hasil yang cukup valid untuk melihat perubahan luas dan

    membandingkannya dengan data lapang yang terbaru dengan data lapang

    sebelumnya untuk melihat perubahan luas tutupan lamun.

    Hasil penelitian perubahan komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan

    luas tutupan lamun di Teluk Banten dapat memberikan informasi tentang faktor-

    faktor penyebab berubahnya komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan luas

    tutupan lamun pada kurun waktu 1990 2010 sehingga dapat dijadikan sebagai

  • 3

    informasi dalam pengambilan kebijakan dalam pengembangan dan pemanfaatan

    wilayah pesisir di wilayah tersebut.

    1.2. Tujuan

    Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi jenis, kerapatan, persen

    penutupan dan perubahan luas tutupan lamun di Pulau Panjang pada kurun waktu

    1990 2010.

  • 4

    2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Lamun

    Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki

    kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas

    tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati.

    Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai padang

    lamun (seagrass bed). Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan

    yang produktif dan penting, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai stabilitas dan

    penahan sedimen, mengembangkan sedimentasi, mengurangi dan memperlambat

    pergerakan gelombang, sebagai daerah feeding, nursery, dan spawning ground,

    sebagai tempat berlangsungnya siklus nutrient (Philips dan Menez, 2008), dan

    fungsi lain dari padang lamun yang tidak kalah penting dan banyak diteliti saat ini

    adalah perspektifnya dalam menyerap CO2 (carbon sink) (Kawaroe, 2009).

    Terdapat 60 jenis jenis lamun di seluruh dunia (Kuang, 2006 dalam Supriyadi,

    2008), 20 jenis di ditemukan di Asia Tenggara 12 diantaranya dapat dijumpai di

    perairan Indonesia (Nontji, 2005). Penyebaran padang lamun di Indonesia cukup

    luas, mencakup hampir seluruh perairan nusantara yakni Jawa, Sumatera, Bali,

    Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Lamun dapat

    tumbuh pada daerah perairan dangkal yang agak berpasir atau berlumpur dan

    masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang

    masih baik (Hemminga dan Duarte, 2000).

    Terdapat 12 jenis lamun di Indonesia, tergolong ke dalam dua suku yaitu

    Hydrocharitaceae dan Cymodoceaceae/Potamogetonaceae, lamun termasuk ke

  • 5

    dalam divisi Magnoliophyta dan merupakan kelas Angiospermae, klasifikasi jenis

    lamun di Indonesia secara lengkap disajikan dalam Tabel 1. Sebagian besar lamun

    berumah dua, yang artinya hanya terdapat satu jantan dan satu betina saja dalam

    satu individu. Sistem perkembangbiakannya tergolong khas karena melalui

    penyerbukan dalam air (hydrophillous pollination) (Kawaroe, 2009).

    Tabel 1. Klasifikasi lamun di Indonesia menurut Phillips & Menez (1988)

    Divisi Magnoliophyta

    Kelas Angiospermae

    Sub Kelas Monocotyledonae

    Bangsa Helobiae

    Suku (1) Hydrocharitaceae

    Marga Enhalus Thalassia Halophila

    Jenis Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Halophila decipiens

    Halophila ovalis

    Halophila minor

    Halophila spinulosa

    Suku (2) Cymodoceaceae/Potamogetonaceae

    Marga Cymodocea Halodule Syringodium Thalassodendron

    Jenis

    Cymodocea

    rotundata

    Halodule

    pinifolia

    Syringodium

    isoetifolium

    Thalassodendron

    ciliatum

    Cymodocea

    serrulata

    Halodule

    uninervis

    2.2. Kondisi Lamun di Teluk Banten

    Secara geografis Teluk Banten terletak pada posisi 5 55 6 5 LS dan 106

    5 106 15 BT, terletak sekitar 175 km sebelah barat Jakarta, dengan batas

    sebelah timur Tanjung Pontang dan sebelah barat Tanjung Kapo. Luas Teluk

    Banten adalah 120 km2 dengan kedalaman tidak lebih dari 10 meter, dasarnya

  • 6

    terdiri dari lumpur serta pasir (Kiswara, 1995). Lamun dijumpai di rataan terumbu

    pulau dan gosong karang serta perairan pantai sebelah barat yang tumbuh pada

    dasar lumpur, pasir, dan pecahan karang mati. Zonasi sebaran lamun di Teluk

    Banten terdapat dari pantai sampai dengan tubir, dengan perbedaan yang dijumpai

    hanyalah dalam bentuk vegetasi tunggal atau vegetasi campuran dan luas

    tutupannya terdiri dari kelompok jarang, sedang, tinggi atau sangat tinggi (Kiswara,

    2004).

    Kiswara (2004) melaporkan bahwa pada tahun 1998 - 2001 di daerah Teluk

    Banten terdapat tujuh jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata,

    C. serrulata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan

    Thalassia hemprichii, sedangkan Zulkarnain (2009) melaporkan bahwa pada tahun

    2008 di daerah Pulau Panjang hanya terdapat 4 jenis lamun yaitu Enhalus

    acoroides, Thalassis hemprichii, Cymodocea serrulata, Halophila spinullosa.

    Habitat padang lamun di Teluk Banten mempunyai karakteristik yang

    berbeda. Sebaran lamun yang terdapat pada bagian barat Teluk Banten tumbuh di

    pantai yang memiliki substrat dasar lumpur yang bersifat terrigenous (materi yang

    berasal dari daratan) (Kiswara, 2004), dipengaruhi oleh muara sungai sehingga

    memiliki tingkat fluktuasi salinitas yang tinggi dan penetrasi cahaya yang relatif

    kurang turun ke dalam. Sebaran lamun yang tumbuh di rataan terumbu pulau dan

    gosong karang terdapat pada substrat pasir, salinitasnya cenderung stabil dan

    penetrasi cahaya yang dalam. Luas padang lamun di Teluk Banten pada tahun

    1999 diperkirakan sekitar 366,9 ha yang tersebar sekitar 247 ha di perairan barat

    Teluk Banten dan sekitar 119,9 ha di rataan terumbu karang dan gosong karang.

    Berdasarkan penelitian Yunus (2008) disebutkan bahwa dari hasil klasifikasi

    data citra satelit di Teluk Banten memperlihatkan kerusakan areal padang lamun

  • 7

    yang terus meningkat dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2002, kemudian

    mengalami penurunan pada tahun 2006. Penurunan luas padang lamun di pantai

    barat Teluk Banten dari tahun 1989 sampai tahun 2006 seluas 23,9 hektar atau telah

    terjadi pengurangan luasan padang lamun rata-rata seluas 1,4 hektar/tahun. Diduga

    hal ini dipengaruhi oleh terjadinya pertambahan luas daratan seluas 6,3 hektar atau

    rata-rata 0,4 hektar/tahun. Selain karena perubahan tata guna lahan, kegiatan lain

    yang mengancam keberadan ekosistem padang lamun di Teluk Banten antara lain

    disebabkan oleh kegiatan reklamasi pantai, penambangan batu, perusakan

    terumbu karang, perusakan mangrove, lalu lintas kapal dan penggunaan alat

    tangkap yang merusak.

    2.3. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun

    2.3.1. Suhu

    Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan

    khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun

    perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi

    yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada

    kisaran 5 35 C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 30 C (Marsh et

    al, 1986) sedangkan pada suhu di atas 45 C lamun akan mengalami stres dan

    dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008).

    2.3.2. Salinitas

    Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur, lamun akan

    mengalami kerusakan fungsional jaringan sehingga mengalami kematian apabila

  • 8

    berada di luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran

    salinitas 10 45 (Hemminga dan Duarte, 2000), dan dapat bertahan hidup pada

    daerah estuari, perairan tawar, perairan laut, maupun di daerah hipersaline sehingga

    salinitas menjadi salah satu faktor distribusi lamun secara gradien (Mckenzie, 2008).

    Thalassia dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas 24-35 , namun dapat juga

    ditemukan hidup pada salinitas 3.5 60 dengan waktu toleransi yang singkat

    (Zieman, 1986 dalam Hemminga dan Duarte, 2000).

    2.3.3. Kedalaman

    Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun

    hidup pada daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman

    40 meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik (Humminga dan Duarte, 2000).

    Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai

    kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi

    oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, sedangkan

    Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997).

    Semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus

    dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis

    lamun di dalam air.

    2.3.4. Kecerahan

    Kecerahanan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan lamun karena

    berpengaruh terhadap penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang dibutuhkan

    oleh lamun untuk berfotosintesis. Kecerahan perairan dipengaruhi oleh adanya

  • 9

    partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton

    maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan

    sebagainya. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun

    di perairan pantai yang keruh (Hutomo 1997). Umumnya lamun membutuhkan

    kisaran tingkat kecerahan 4 29% untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11%

    (Hemminga dan Duarte, 2000).

    2.3.5. Total Suspended Solid (TSS)

    Total Suspended Solid (TSS) menunjukkan banyaknya bahan-bahan

    tersuspensi (diameter > 1m) yang tertahan pada saringan milipore dengan

    diameter pori 0.45 m (Effendi, 2003). Total Suspended Solid terdiri dari lumpur,

    pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab tingginya kandungan TSS yang

    utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Nilai TSS

    yang berlebih akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan

    terganggunya proses fotosintesis.

    2.3.6. Substrat

    Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Padang lamun

    di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe

    substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir

    berlumpur, puing karang dan batu karang. Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh

    pada berbagai substrat, kecuali pada Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat

    hidup pada substrat karang batu (Kiswara, 1997). Terdapat perbedaan antara

    komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam

  • 10

    hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa lamun (Humminga dan Duarte,

    2000).

    2.4. Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografi

    Penginderaan jauh (Remote Sensing) didefenisikan sebagai ilmu, teknologi,

    dan seni dalam mendeteksi dan/atau mengukur objek atau fenomena di bumi tanpa

    menyentuh objek itu sendiri (Lillesand dan Kiefer, 1994). Kelebihan teknologi

    penginderaan jauh diantaranya adalah : 1) Pengambilan data dilakukan dalam

    cakupan wilayah yang luas dan serentak. 2) Jumlah data yang banyak dalam sekali

    pengambilan data. 3) Pengambilan data berulang-ulang sehingga dapat dianalisis

    variasinya secara temporal. 4) Dapat menjangkau lokasi yang sulit dijangkau oleh

    manusia.

    Sistem penginderaan jarak jauh secara umum terdiri dari objek permukaan

    bumi yang diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yang diletakkan

    pada wahana satelit atau kapal yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatan

    yang berulang dan liputan yang luas (Thomas dan Ralph, 2000). Banyak satelit

    yang digunakan untuk memantau objek-objek di permukaan bumi yang disesuaikan

    dengan informasi yang dibutuhkan pengguna, salah satunya adalah satelit Landsat.

    Satelit Landsat terdiri dari beberapa generasi, generasi pertama diluncurkan

    pada tahun 1972 dengan membawa sensor Returned Beam Vidicion (RBV) dan

    sampai generasi ke tiga saat ini yang membawa sensor Enhanced Thematic Mapper

    Plus (ETM+). Satelit Landsat generasi ketiga memiliki resolusi temporal 16 hari dan

    resolusi spasial 30 meter. Sehingga untuk memantau suatu objek secara temporal

    satelit Landsat sangat cocok digunakan, karena tersedia dari tahun 1972 sampai

    saat ini.

  • 11

    Burough (1986) dalam Dewayani (2000), menjelaskan bahwa Sistem Informasi

    Geografis (SIG) sebagai suatu perangkat alat untuk mengoreksi, menyimpan,

    menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek-aspek

    permukaan bumi. Sistem Informasi Geografis tidak hanya data yang berbeda yang

    dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan, sehingga

    memperoleh lebih banyak informasi baru dan dapat dianalisa sesuai dengan

    parameter yang diinginkan.

    2.5. Pemetaan Lamun dengan Menggunakan Penginderaan Jauh

    Berkembangnya berbagai jenis sensor dan metode pengolahan data citra saat

    ini telah meningkatkan penggunaan penginderaan jauh dalam memantau dan

    memetakan lingkungan pesisir. Asumsi dasar yang digunakan pada pemetaan

    dengan menggunakan penginderaan jauh adalah setiap energi yang dipantulkan

    oleh objek berbeda-beda, relatif terhadap besarnya energi yang diterima (Lillesand

    dan Kiefer, 1994). Berbeda dengan daratan, pada perairan energi gelombang

    elektromagnetik yang dapat menembus perairan hanya energi yang memiliki

    panjang gelombang yang relatif kecil, dalam konteks penginderaan jarak jauh pasif

    hanya spektrum sinar tampak (400-700 nm), sedangkan pada spektrum yang lebih

    tinggi dari sinar tampak (>700 nm) hampir semua energinya diserap oleh air.

    Lamun menyerap energi pada panjang gelombang biru (sekitar 400 nm) dan

    merah (sekitar 700 nm) untuk berfotosintesis, serta memantulkan energi pada

    panjang gelombang hijau (sekitar 500 nm) hal inilah yang menjadi alasan mengapa

    lamun berwarna hijau. Berbeda dengan vegetasi yang memiliki pigmen karotenoid

    seperti makro alga yang menyerap maksimal energi pada panjang gelombang 450

    nm (Fyfe, 2004). Reflektansi sinar tampak pada vegetasi lamun memiliki

  • 12

    karakteristik yang berbeda-beda tergantung dari bentuk morfologi dan juga

    kerapatan dari padang lamun tersebut. Lamun yang memiliki densitas tinggi (>80

    g/m2) memiliki karakteristik pantulan yang tinggi jika dibandingkan dengan lamun

    yang memiliki densitas rendah (

  • 13

    3. METODOLOGI

    3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

    Penelitian Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas

    Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010 dilakukan dari

    bulan Maret sampai dengan Juli 2010 dengan waktu pengambilan data lapang

    pada tanggal 3 5 Juli 2010. Lokasi penelitian bertempat di daerah perairan

    Pulau Panjang, Teluk Banten, Provinsi Banten yang ditampilkan pada Gambar 1.

    Gambar 1. Peta lokasi penelitian

    Secara geografis Teluk Banten terletak pada posisi 5o 55 6o 5 LS dan

    106o 5 106o 15 BT, terletak sekitar 175 km sebelah barat Jakarta, dengan

    batas sebelah timur Tanjung Pontang dan muara Sungai Ciujung, bagian barat

  • 14

    berbatasan dengan Tanjung Kopo dan Pelabuhan Grenyang, sedangkan bagian

    utara Pulau Panjang berhadapan langsung dengan Laut Jawa.

    3.2. Alat dan Bahan

    Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah beberapa alat

    untuk penentuan posisi, pengukuran lamun, dan pengambilan contoh air. Jenis

    peralatan, jumlah dan fungsinya dijelaskan pada Tabel 2.

    Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian

    Jenis Peralatan Jumlah Keterangan Unit

    Transek Kuadrat ukuran 1x1m

    1 buah Sebagai batasan pengamatan

    meter

    Roll Meter 2 buah Mengukur jarak tiap transek meter

    Global Positioning System (GPS)

    1 buah Menentukan posisi meter (UTM)

    Data Sheet 5 lembar Menuliskan data hasil pengamatan dan Nomor tagging foto

    -

    Papan Jalan, pensil penggaris 30cm

    2 set Menuliskan data hasil pengamatan

    -

    Lembaran/kertas identifikasi lamun

    2 lembar Sebagai acuan literatur -

    Termometer 1 buah Mengukur suhu perairan C

    Refraktometer 1 buah Mengukur salinitas ppt

    Botol Contoh 5 buah Media Penyimpanan Air Contoh

    -

    Tongkat ukur 1 buah Mengukur Kedalaman Perairan

    meter

    Pipa Paralon 1 buah Mengambil contoh sedimen -

    Seichi Disk 1 buah Mengukur kecerahan meter

    Ayakan bertingkat 1 set Mensortir ukuran sedimen mm

  • 15

    Data citra yang digunakan adalah Citra Landsat 4 (TM dan MSS) tahun

    1990 dan Citra Landsat 7 (+ETM) tahun 2000, 2005, dan 2010. Citra Landsat

    diperoleh dari http://glovis.usgs.gov yang merupakan Citra Landsat Level 1 yang

    telah terkoreksi secara radiometrik dan juga distorsi terkait sensor . Informasi

    kondisi pasang surut saat pengukuran data citra oleh satelit dapat dilihat pada

    Lampiran 4. Alat yang digunakan untuk mengolah data citra adalah perangkat

    laptop, perangkat lunak Er Mapper 6.4, dan Arc GIS 9.3.

    3.3. Metode Pengambilan Data

    3.3.1. Penentuan Stasiun Penelitian

    Metode pengambilan data yang digunakan adalah transek garis yang tegak

    lurus terhadap garis pantai dengan jarak antar stasiun 100 m dengan membagi

    lokasi penelitian ke dalam tiga stasiun yang tiap stasiunnya terbagi lagi menjadi 3

    - 4 sub-stasiun. Pengambilan plot/titik dilakukan di setiap sub-stasiun

    pengamatan dari tepi pantai sampai batas tubir.

    Stasiun I terletak di sebelah timur Pulau Panjang dimana terdapat aliran air

    yang merupakan hasil buangan dari limbah rumah tangga, limbah pencucian

    rumput laut, buangan limbah kapal, dan pada stasiun ini juga terdapat vegetasi

    mangrove. Stasiun II terletak di sebelah selatan Pulau Panjang dimana terdapat

    vegetasi mangrove, sedangkan Stasiun III terdapat di sebelah barat daya Pulau

    Panjang. Lokasi ini cukup representatif karena karakteristik wilayah yang banyak

    dipengaruhi oleh masukan dari daratan terutama dari kegiatan reklamasi pantai,

    kegiatan pelabuhan dan aktivitas budidaya rumput laut. Sebagai contoh,

    perairan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh masukan materi dari daratan

    yang ditunjukkan dengan kondisi yang keruh dan umumnya akibat dari reklamasi

    pantai di wilayah Bojonegara sehingga mempengaruhi kekeruhan di wilayah

    http://glovis.usgs.gov/

  • 16

    barat Pulau Panjang. Hal ini tercermin dengan gradasi kekeruhan di wilayah

    perairan barat Pulau Panjang. Kegiatan di wilayah pesisir seperti pelabuhan

    perikanan diduga juga memberikan pengaruh pada perairan permukaan

    khususnya pada daerah Pelabuhan Grenyang, Pelabuhan Peres dan Pelabuhan

    Pasir Putih. Kondisi di masing-masing stasiun ini diharapkan dapat memberikan

    gambaran terhadap perubahan luasan dan komposisi jenis lamun di Pulau

    Panjang.

    Berbeda dengan stasiun pengamatan lamun, stasiun untuk pengukuran

    padatan tersuspensi dilakukan di lima lokasi. Tiga stasiun pertama di stasiun

    pengamatan lamun, stasiun ke empat berada di lepas pantai, dan stasiun kelima

    berada di Pelabuhan Grenyang, Bojonegara. Hal ini dilakukan untuk melihat

    pengaruh masukan padatan tersuspensi dari berbagai sumber yang terdapat di

    Pulau Panjang dan Bojonegara. Kondisi lokasi di tiap stasiun ditampilkan pada

    Lampiran 1.

    3.3.2. Pengamatan Lamun

    Pengamatan lamun di lapangan meliputi identifikasi jenis lamun,

    menghitung jumlah tegakan, pengukuran persen penutupan lamun dan

    pengamatan terhadap vegetasi asosiasi. Pengamatan lamun ini dibatasi hanya

    pada transek kuadrat dan pengamatan dilakukan dengan cara snorkeling di

    permukaan air mengikuti jalur dari transek garis. Hasil data pengamatan lamun

    disajikan pada Lampiran 1.

    3.3.3. Pengambilan, Preservasi Contoh Air dan Sedimen

    Contoh air untuk pengukuran Total Suspended Solid diambil dengan

    menggunakan botol poliethylene ukuran 250 ml, sebelumnya botol dibilas

  • 17

    dengan aquades dan contoh air. Contoh air diambil pada lapisan permukaan

    pada kedalaman 1 m 2 m. Contoh air ditutup kemudian diberi label seterusnya

    dipreservasi dengan dimasukkan ke kotak pendingin dan dijaga agar tetap dalam

    suhu dibawah 10 oC selama transportasi ke laboratorium untuk dilakukan analisis

    lebih lanjut.

    Sedimen diambil dengan menggunakan pipa paralon yang ditancapkan

    pada substrat dan disimpan dalam plastik satu kilogram. Contoh sedimen ditutup

    rapat dan tidak dilakukan preservasi khusus karena pada penelitian ini hanya

    mengukur jenis sedimen berdasarkan ukurannya.

    3.3.4. Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Air

    3.3.4.1. Suhu

    Suhu perairan permukaan diukur dengan menggunakan termometer air

    raksa dari atas perahu. Termometer dimasukkan ke dalam air selama kurang

    lebih 1 menit, pembacaan nilai suhu dilakukan sesaat setelah termometer

    diangkat ke permukaan agar menghindari perubahan nilai akibat pengaruh suhu

    permukaan udara. Pengukuran suhu dilakukan pada setiap sub-stasiun dengan

    tiga kali ulangan serta mencatat waktu pengukuran. Pada Stasiun I dan stasiun

    II suhu diukur pada pagi hari sedangkan pada Stasiun III suhu diukur pada siang

    hari.

    3.3.4.2. Salinitas

    Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer. Sebelum diukur

    terlebih dahulu refraktometer dibilas dengan aquades yang bertujuan untuk

    mensterilkan kaca objek dan sebagai kalibrasi. Setelah dikalibrasi dilap dengan

    tisue sampai bersih, lalu mulai dilakukan pengukuran dengan meletakkan air

  • 18

    contoh pada kaca objek. Pengukuran dilakukan setiap substasiun dengan tiga

    kali ulangan.

    3.3.4.3. Kedalaman Perairan

    Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan tongkat berskala.

    Tongkat berskala dimasukkan secara tegak lurus ke dalam perairan sampai

    mencapai dasar perairan. Kemudian diukur tinggi muka air pada skala dan juga

    waktu pengukuran.

    3.3.4.4. Sedimen

    Pemantauan jenis sedimen berdasarkan ukuran butir sedimen dilakukan di

    Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, FPIK IPB pada tanggal 23 24

    Agustus 2010. Sebelum mengambil contoh sedimen terlebiih dahulu dikeringkan

    dan ditimbang berat awalnya, sampel sedimen yang diukur sebanyak 100 gr.

    Pengayakan sedimen dilakukan dengan menggunakan ayakan dengan bukaan

    mesh 8 mm, 4 mm, 2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,250 mm, 0,125 mm, dan 0,063 mm.

    Setelah disaring maka akan dikelompokkan menjadi 3 jenis berdasarkan

    ukurannya 2 mm 0,05 mm untuk pasir, debu dengan ukuran 0,05 mm 0,002

    mm dan lempung dengan ukuran < 0,002 mm. Sedimen yang telah diayak dan

    dikelompokkan dipindahkan ke kertas aluminium foil untuk dikeringkan, setelah

    dikeringkan selama 24 jam dilakukan pengukuran dengan menggunakan

    timbangan digital. Tujuan dari penimbangan adalah untuk mengetahui

    prosentase berat dan penamaan jenis dari sedimen dengan menggunakan

    segitiga Shepard. Persentase perhitungan ukuran sedimen didapatkan dari

    perbandingan antara bobot kering dengan bobot awal.

  • 19

    (1)

    .. (2)

    3.3.4.5. Kecerahan

    Alat yang digunakan untuk mengukur kecerahan adalah seichi disk. Seichi

    disk dibenamkan ke dalam air kemudian diamati saat seichi disk mulai tidak

    terlihat dan diukur sebagai kedalaman pertama (L1). Seichi disk kemudian

    diangkat perlahan, sampai terlihat kembali dan diukur sebagai kedalaman kedua

    (L2). Selain itu diukur pula kedalaman perairan (Lo). Nilai kecerahan (C)

    didapatkan dari rumus :

    3.3.4.5. Total Suspended Solid (TSS)

    Pengukuran TSS dilakukan dengan menggunakan metode gravimetrik di

    Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, FPIK-IPB pada tanggal 6 7 Juli

    2010. Sebelumnya kertas saring miliopore 0.45 m ditimbang terlebih dahulu

    sebagai berat filter (A mg), kemudian air contoh yang diambil 100ml dan disaring

    dengan menggunakan filter miliopore 0.45 m melalui vacuum pump, kemudian

    dikeringkan pada suhu 105 C dan ditimbang sebagai berat filter+residu (B mg).

    Setelah didapatkan berat filter dan filter+residu, kemudian dihitung dengan

    menggunakan rumus :

    3.3.5. Analisis Data

    3.3.5.1. Komposisi Jenis Lamun

    Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu

    jenis terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Komposisi jenis lamun

    dihitung dengan menggunakan rumus (English et al, 1997).

  • 20

    . (3)

    . (3)

    Keterangan :

    Ki = Komposisi jenis ke-i (%)

    ni = Jumlah individu jenis ke-i (ind)

    N = Jumlah total individu (ind)

    3.3.5.2. Kerapatan Jenis Lamun

    Kerapatan jenis lamun yaitu jumlah total individu suatu jenis lamun dalam

    unit area yang diukur. Kerapatan jenis lamun ditentukan berdasarkan rumus

    (English et al., 1997) :

    Keterangan :

    Ki = Kerapatan Jenis ke i (ind/m2)

    ni = Jumlah individu atau tegakan dalam transek ke i (ind)

    A = Luas total pengambilan sampel (m2)

    3.3.5.3. Persentase Penutupan Lamun

    Penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh tumbuhan

    lamun. Persentase penutupan lamun ditentukan berdasarkan rumus (English et

    al., 1997)

    .. (4)

  • 21

    Keterangan :

    C = nilai persentase penutupan lamun (%)

    Mi = nilai tengah kelas penutupan ke i

    Fi = Frekuensi munculnya kelas penutupan ke i

    = Jumlah total frekuensi penutupan kelas

    3.4. Pengolahan Data Citra

    Proses pengolahan data citra menggunakan perangkat lunak Er Mapper

    6.4 untuk melakukan proses klasifikasi dan ArcView 3.3 untuk menampilkan hasil

    klasifikasi. Tahapan-tahapan pengolahan data citra ditampilkan seperti pada

    Gambar 2.

    Pengolahan data citra terdiri dari beberapa tahap yaitu pengolahan awal

    dan proses klasifikasi. Pengolahan awal terdiri dari pemotongan daerah kajian,

    koreksi geometrik, koreksi radiometrik, dan menghilangkan nilai darat (masking).

    Citra satelit Landsat yang telah diperoleh tidak sepenuhnya digunakan dalam

    analisis, untuk itu perlu adanya pemotongan citra yang membatasi daerah sesuai

    lokasi penelitian.

    Koreksi radiometrik bertujuan menghilangkan faktor-faktor yang

    menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah

    penyesuaian histrogram (histogram adjustment). Respon spektral terendah pada

    setiap band pada metode ini bernilai nol, sehingga perlu dilakukan pengurangan

    nilai digital setiap piksel pada semua band sehingga nilai minimumnya sama.

    Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokan nilai pantulan dari

    setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Penelitian

    ini menggunakan metode klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification)

    untuk mengklasifikasikan substrat dasar. Parameter statistik yang digunakan

  • 22

    pada metode ini adalah jumlah kelas, standar deviasi dan jumlah ulangan dalam

    merata-ratakan kelas. Klasifikasi tak terbimbing mengelompokkan data dengan

    menganalisa kelas secara otomatis berdasarkan standar deviasi dan jumlah

    kelas, kemudian menghitung kembali rata-rata kelas tersebut sebanyak jumlah

    ulangan yang kita berikan. Klasifikasi citra dilakukan pada perangkat lunak Er

    Mapper 6.4 dengan membagi kelas sebanyak dua puluh kelas, menggunakan

    nilai standar deviasi tiga dan menggunakan lima ratus kali ulangan.

    Hasil klasifikasi yang didapatkan perlu dilakukan uji ketelitian atau validasi

    data, karena hasil uji ketelitian mempengaruhi besarnya tingkat kepercayaan

    pengguna terhadap hasil analisis data. Hal ini juga dilakukan untuk membuktikan

    kesesuaian antara klasifikasi citra dengan data lapangan yang didapatkan. Data

    uji akurasi disajikan pada Lampiran 3.

  • 23

    Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Citra

    Perhitungan akurasi citra hasil klasifikasi dilakukan dengan membuat

    matriks kontingensi, yang juga disebut confusion matrix. Matriks ini didapat

    dengan cara membandingkan antara jumlah pixel hasil klasifikasi unsupervised

  • 24

    (5)

    . (6)

    citra dengan data lapang (ground truth). Menurut Congalton (1991) untuk

    menguji akurasi tiap kelas hasil klasifikasi dibutuhkan minimal lima puluh titik

    sampel untuk satu kelas. Akurasi lamun dan akurasi total dihitung dengan

    menggunakan rumus (Congalton. 1991).

  • 25

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Parameter Fisika-Kimia Air

    Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air di perairan Pulau

    Panjang didapatkan hasil yang disajikan seperti pada Tabel 3.

    Tabel 3. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air di perairan Pulau Panjang

    Parameter Stasiun LIPI

    (2001) Stasiun I Stasiun II Stasiun III

    Suhu (C) 29,0 29,5 29,0 29,5 29,5 30,0 29,4 30,5

    Salinitas () 28,5 29,0 29,5 30,0 30,0 31,0 30,7 31,6

    Kecerahan (%) 100 100 100 Sangat Keruh

    Kedalaman (m) 0,38 1,0 0,6 1,3 0,4 1,5

    Sedimen (%)

    Pasir (50,16), Debu (28,62), Lempung (21,22)

    Pasir (98,22), Debu (1,78), Lempung (0)

    Pasir (98,41), Debu (5,19), Lempung (0)

    Lumpur & Pasir (Bag. Barat), Kerikil dan Lempung (Bag. Timur)

    TSS (mg/L) 13 7 9 32

    Suhu yang terukur selama penelitian cenderung homogen, hanya pada

    Stasiun III yang memiliki nilai yang relatif lebih tinggi karena diukur pada waktu siang

    hari. Menurut LIPI (2001) suhu perairan di Teluk Banten pada bulan Juni berkisar

    antara 29,4 oC 30,5 oC. Hal ini tidak berbeda jauh dari hasil pengukuran lapang

    dan dapat disimpulkan bahwa perubahan suhu di daerah Teluk Banten belum

    memiliki perubahan yang cukup besar. Kisaran suhu seperti ini merupakan kondisi

    yang optimum bagi lamun untuk melakukan fotosintesis, karena suhu yang optimal

    bagi lamun untuk berfotosintesis menurut Marsh et al (1986) berkisar 25,0 oC

    30,0 C.

  • 26

    Kisaran salinitas yang terukur selama penelitian berkisar 28,5 30,0 ,

    nilai salinitas di wilayah ini banyak dipengaruhi oleh pengenceran akibat masukan air

    dari darat, hal yang serupa dilaporkan Hadikusumah (2008) bahwa nilai salinitas di

    Teluk Jakarta (0,5 33,46 ) banyak dipengaruhi oleh masukan air dari darat.

    Berdasarkan laporan LIPI (2001) kisaran distribusi salinitas di perairan Teluk Banten

    pada Bulan Juni 2001 berkisar 30,7 31,6 , dimana pada perairan teluk bagian

    barat massa air terlihat relatif lebih tawar. Masukan air dari darat yang

    mempengaruhi salinitas di Pulau Panjang banyak berasal dari Tanjung Kapo dan

    Pulau Panjang sendiri.

    Hasil pengukuran sedimen pada semua stasiun umumnya didominasi oleh

    fraksi pasir, dominasi fraksi pasir tertinggi terdapat pada Stasiun II dan Stasiun III

    dengan persentase 98,22% pada Stasiun III dan 94,81% pada Stasiun II. Jenis

    fraksi debu relatif banyak terdapat di Stasiun I sebesar 28,62% jika dibandingkan

    dengan stasiun lainnya. Tinginya fraksi debu pada Stasiun I diakibatkan oleh

    banyaknya masukan dari darat yang diduga berasal dari limbah rumah tangga dan

    akumulasi serasah mangrove yang jatuh ke perairan. Penyebaran sedimen di Teluk

    Banten dipengaruhi oleh energi arus pada bulan-bulan tertentu, berdasarkan

    pengukuran sedimen yang dilakukan oleh LIPI (2001) didapatkan bahwa fraksi

    lumpur dan pasir mendominasi fraksi sedimen pada perairan Pulau Panjang bagian

    barat pada bulan Juli, sedangkan pada bagian timur Pulau Panjang terdiri dari

    kerikil dan lempung berpasir.

    Nilai kecerahan di semua stasiun penelitian yang didapatkan adalah 100%

    dengan kisaran kedalaman yang dangkal 0,38 m 1,5 m. Kedalaman perairan

    cenderung bertambah dengan semakin bertambahnya jarak dari pantai. Kedalaman

    tertinggi ditemukan di Stasiun III mencapai 1,5 m dengan tingkat kecerahan 100%.

  • 27

    Kondisi perairan dengan tingkat kecerahan seperti ini sangat baik bagi pertumbuhan

    lamun karena mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan. Lamun

    membutuhkan rata-rata radiasi cahaya 11% untuk dapat tumbuh (Hemminga dan

    Duarte, 2000). Hal ini sangat berbeda dengan kondisi kecerahan perairan Teluk

    Banten pada tahun 1990, dilaporkan bahwa pada tahun tersebut perairan Teluk

    Banten termasuk dalam kategori kecerahan yang sangat keruh (lKiswara, 1997).

    Hal ini disebabkan karena adanya perubahan tata guna lahan dan reklamasi pantai

    untuk dijadikan daerah pelabuhan dan industri yang dilakukan pada tahun 1989

    2006 (Yunus, 2008).

    Nilai kecerahan perairan secara langsung dipengaruhi oleh nilai total

    suspended solid, semakin tinggi nilai TSS maka semakin rendah persentase nilai

    kecerahan di perairan tersebut. Nilai kecerahan di tiga stasiun pengamatan cukup

    rendah berkisar 7 mg/L 11 mg/L jika dibandingkan dengan nilai TSS yang diukur

    pada daerah Grenyang yang mencapai 30 mg/L. Berdasarkan Laporan LIPI tentang

    Studi Perairan Teluk Banten (2001), pada tahun 2001 nilai padatan tersuspensi di

    Pulau Panjang mencapai 32 mg/L dan digolongkan sangat keruh.

    4.2. Perubahan Komposisi Jenis Lamun

    Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di tiga stasiun penelitian

    didapatkan tiga jenis spesies lamun di wilayah perairan Pulau Panjang. Diantara

    tiga jenis spesies yang ditemukan dua diantaranya merupakan suku

    Potamogetonaceae, yaitu Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serrulata,

    sedangkan satu jenis lagi berasal dari suku Hydrocharitaceae, yaitu Syringodium

    isoetifolium. Komposisi jenis lamun di setiap stasiun pengamatan ditampilkan pada

    Gambar 3.

  • 28

    (a) (b)

    (c)

    Gambar 3. Komposisi jenis lamun di tiap stasiun (a). Stasiun I (b) Stasiun II (c) Stasiun III

    Ditemukan dua jenis lamun pada Stasiun I, yaitu Enhalus acoroides dan

    Cymodocea serrulata dengan komposisi terbesar adalah jenis lamun Enhalus

    acoroides mencapai 66% dibandingkan Cymodocea serrulata yang hanya 34%.

    Jenis lamun Syringodium isoetifolium tidak ditemukan di Stasiun I seperti dua

    stasiun lainnya, hal ini diduga karena relatif tingginya TSS di daerah tersebut 13

    mg/L dan kedalaman perairan yang tergolong dangkal sehingga sering tersingkap

    saat surut, menurut Kuriandewa (2009) lamun jenis ini tidak dijumpai di daerah yang

  • 29

    mengalami pemaparan saat surut. Hal yang sama pernah diteliti oleh Terrados et al

    (1998) dalam Hemminga dan Duarte (2000) dengan melakukan pengukuran di

    daerah Asia Tenggara, dalam laporannya disebutkan bahwa hilangnya jenis lamun

    Syringodium isoetifolium yang disebabkan karena mendangkalnya perairan akibat

    tingginya padatan tersuspensi (TSS) sehingga terjadi sedimentasi di perairan

    tersebut. Larkum et al. (2006) melaporkan bahwa kemungkinan hanya jenis lamun

    Enhalus acoroides dan jenis lamun yang memiliki pertumbuhan stem secara vertikal

    yang cepat (Cymodocea nodosa dan C. serrulata) yang dapat beradaptasi di

    perairan yang memiliki karakteristik seperti ini. Pendapat ini diperkuat oleh Kiswara

    (1997) yang melaporkan bahwa lamun jenis Syringodium isoetifolium dapat tumbuh

    subur pada perairan yang selalu tergenang oleh air, dan sulit tumbuh di daerah yang

    dangkal. Stasiun I merupakan daerah yang dekat dengan perumahan padat

    penduduk, diduga tingginya TSS akibat dari masukan limbah rumah tangga dan

    akumulasi serasah yang dihasilkan oleh mangrove.

    Berbeda dengan Stasiun I, pada Stasiun II dan Stasiun III didominasi oleh

    jenis lamun Syringodium isoetifolium. Komposisi terbesar ditemukan di Stasiun III

    dengan persentase 81% sedangkan pada Stasiun II sebesar 60%. Jenis lamun

    Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata juga ditemukan di stasiun ini tetapi

    dengan persentase yang sedikit.

    Berdasarkan hasil penelitian dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2010

    telah terjadi pengurangan dan perubahan jumlah dan jenis lamun di perairan Pulau

    Panjang, perbandingan komposisi jenis lamun pada tahun 1989, 2008, dan 2010

    dapat dilihat pada Tabel 4.

  • 30

    Tabel 4. Komposisi jenis lamun pada tahun 1989, 2008, dan 2010

    Jenis

    Tahun

    1989* 2008* 2010

    (Kiswara, 1997)

    Zulkarnain, 2009)

    (data penelitian)

    Enhalus acoroides x x x

    Cymodocea rotundata x - -

    C. serrulata x x x

    Halophila decipiens - - -

    H. minor - - -

    H. ovalis x - -

    H. spinulosa - - -

    Halodule pinifolia - x -

    H. uninervis x - -

    Syringodium isoetifolium x - x

    Thalassia hemprichii x x -

    Thalassodendron ciliatum - - -

    Jumlah 7 4 3

    *Ket : (x) = Terdapat Lamun Kiswara (1997) mengambil data di perairan Teluk Banten pada tahun 1989,

    sedangkan Zulkarnain pengambilan data dilakukaan perairan Pulau Panjang pada tahun 2008.

    Kiswara (1997) melaporkan pada tahun 1989 di Teluk banten terdapat 7 jenis

    lamun antara lain Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halophila

    ovalis, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii.

    Tahun 1998 2001 jumlah lamun yang ditemukan pada daerah yang sama

    bertambah menjadi 8 jenis dengan ditemukannya spesies Halophila ovata. Daerah

    perairan Pulau Panjang sendiri menurut Zulkarnain (2009) pada tahun 2008 hanya

    terdapat 4 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassis hemprichii, Cymodocea

    serrulata, dan Halophila spinullosa. Hal ini berbeda dengan lamun yang ditemukan

  • 31

    pada tahun 2010 dimana hanya ditemukan tiga jenis lamun yaitu jenis Enhalus

    acoroides, Cymodocea serrulata, dan Syringodium isoetifolium. Lamun jenis

    Thalassia hemprichi tidak ditemukan lagi di Pulau Panjang, berdasarkan laporan

    Kiswara (1997) jenis lamun Thalassia hemprichi tidak dapat tumbuh dengan baik di

    daerah yang berasosiasi dengan mangrove, sedangkan daerah Pulau Panjang

    memiliki komunitas mangrove yang cukup luas di bagian barat dan selatan.

    4.3. Kerapatan Jenis Lamun

    Kerapatan jenis lamun mempunyai ketergantungan terhadap jenisnya, lamun

    jenis Syringodium isoetifolium akan lebih rapat jika dibandingkan dengan lamun jenis

    Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata karena berhubungan dengan ukuran

    daun dan letak pertumbuhan daun. Kerapatan total lamun di Pulau Panjang

    digambarkan pada grafik yang disajikan dalam Gambar 4, sedangkan kerapatan

    jenis lamun digambarkan pada Gambar 5.

    Gambar 4. Kerapatan total lamun

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

  • 32

    Kerapatan lamun tertinggi ditemukan di Stasiun III yang mencapai 110 ind/m2,

    sedangakan terendah pada Stasiun I mencapai 13 ind/m2. Tidak ditemukannya jenis

    Syringodium isoetifolium pada Stasiun I menjadi penyebab rendahnya nilai

    kerapatan total di wilayah ini. Pertumbuhan lamun yang kurang baik di Stasiun I

    diantaranya disebabkan oleh tingginya nilai TSS yang disebabkan oleh buangan

    limbah rumah tangga, kapal dan serta serasah mangrove, dangkalnya perairan

    sehingga tersingkap pada saat surut yang diduga dapat mengakibatkan tidak

    optimalnya pertumbuhan lamun dan tidak terdapatnya beberapa jenis lamun yang

    didapatkan di Stasiun lain.

    Gambar 5. Kerapatan rata-rata jenis lamun

    Jenis lamun Enhalus acoroides dapat ditemukan di Stasiun I, Stasiun II, dan

    stasiun III, namun kerapatan tertinggi ditemukan di Stasiun II (10 ind/m2)

    dibandingkan dengan Stasiun I (9 ind/m2) dan Stasiun III (8 ind/m2). Sulitnya lamun

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    100

    Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

    Enhalus

    Cymodocea

    Syringodium

  • 33

    berkembang di Stasiun I diduga karena relatif dangkalnya perairan pada saat surut

    rendah serta merupakan perairan yang relatif banyak mendapat dampak

    antropogenous yang berasal dari limbah rumah tangga, kapal, limbah pencucian

    rumput laut, buangan kapal, serta serasah mangrove sehingga memiliki padatan

    tersuspensi yang relatif tinggi, yaitu 13 mg/L.

    Jenis lamun Syringodium isoetifolium merupakan jenis lamun yang memiliki

    nilai kerapatan yang tinggi di Stasiun III maupun di Stasiun II. Syringodium

    isoetifolium dapat tumbuh dengan baik pada Stasiun II dan Stasiun III, karena

    tumbuh pada perairan yang relatif dalam walaupun sedang surut dangkal dan sedikit

    mendapat dampak antropogenous sehingga tidak terlalu mengalami sedimentasi.

    Wilayah perairan yang memiliki padatan tersuspensi yang tinggi dapat mengalami

    sedimentasi dan menyebabkan Syringodium isoetifolium sulit untuk berkembang

    (Hemminga dan Duarte, 2000). Tinginya kerapatan Syringodium isoetifolium di

    Stasiun III disebabkan karena substrat yang cocok untuk habitatnya, yang sebagian

    besar merupakan pasir berlumpur dengan nilai TSS 9 mg/L. Jenis lamun Enhalus

    acoroides dan Cymodocea serrulata juga tumbuh dengan baik dan membentuk

    komunitas campuran yang berasosiasi dengan beberapa jenis alga, seperti

    Sargassum, Padina, dan Halimeda.

    Laporan Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Perairan Teluk Banten 1998 -

    2001 (Kiswara, 2004) mendapatkan kerapatan jenis Enhalus acoroides berkisar (40

    80) ind/m2, untuk lamun jenis Cymodocea serrulata berkisar (60 190) ind/m2,

    sedangkan untuk lamun jenis Syringodium isoetifoilium berkisar (1230 3920)

    ind/m2 seperti yang ditampilkan pada Gambar 6.

  • 34

    Gambar 6. Kerapatan rata-rata lamun Teluk Banten pada tahun 2000 (Kiswara, 2004)

    Hal ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang, diduga banyak disebabkan

    karena meningkatnya aktifitas penggerukan wilayah daratan pada kisaran tahun

    1989 - 2002 sehingga meningkatnya nilai kekeruhan di perairan (Yunus, 2008).

    Faktor lain yang diduga mempengaruhi adalah tingginya nilai padatan tersuspensi

    yang masuk ke perairan yang mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke

    perairan dan juga perubahan struktur komposisi sedimen.

    4.4. Persen Penutupan Lamun

    Persen penutupan lamun menggambarkan luas daerah yang tertutupi oleh

    lamun. Mengukur persen penutupan lamun merupakan suatu metode untuk melihat

    0

    500

    1000

    1500

    2000

    2500

    3000

  • 35

    status dan untuk mendeteksi perubahan dari sebuah vegetasi (Humminga dan

    Duarte, 2000). Hasil persentase penutupan lamun di berbagai stasiun ditampilkan

    seperti pada Gambar 7.

    Gambar 7. Persen penutupan lamun

    Persen penutupan lamun tertinggi berada pada Stasiun III sebesar 23,3% dan

    terendah pada Stasiun I sebesar 14,6%. Tingginya persen penutupan lamun di

    Stasiun III dipengaruhi oleh tingginya kerapatan jenis lamun di stasiun ini. Telah

    dijelaskan sebelumnya bahwa, pada Stasiun III merupakan habitat yang ideal bagi

    beberapa jenis lamun untuk tumbuh dan berkembang. Tingginya kerapatan jenis

    lamun Syringodium isoetifolium danCymodocea serrulata menjadi alasan mengapa

    persen penutupan lamun di Stasiun III menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan

    Stasiun I dan Stasiun II.

    14,6

    17,8

    23,3 Stasiun I

    Stasiun II

    Stasiun III

  • 36

    4.5. Perubahan Luas Lamun

    Berdasarkan hasil pengolahan citra didapatkan nilai perubahan luas lamun

    dari tahun 1990 sampai dengan 2010 yang tercantum pada Tabel 5.

    Tabel 5. Perubahan luas lamun 1990 2010

    Tahun Luas Lamun (ha) Perubahan Luas (ha) Perubahan Luas (%)

    1990 67,0 - -

    2000 54,3 -12,7 - 19,0

    2005 31,4 -22,9 - 53,2

    2010 24,2 -7,2 - 63,9

    Hasil analisis citra memperlihatkan pengurangan luas padang lamun dari

    tahun ke tahun terus bertambah. Selama kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi

    pengurangan luas lamun sebesar 63,9 % dari tahun 1990. Pengurangan terbesar

    terjadi pada selang waktu 2000 - 2005 dengan penurunan sekitar 22,9 ha.

    Kerusakan padang lamun terus bertambah di daerah Teluk Banten pada selang

    waktu 1989 2002 akibat dari aktifitas penambangan batu alam, perataan bukit dan

    reklamasi pantai untuk dijadikan daerah industri dan pelabuhan (Yunus, 2008).

    Meningkatnya aktivitas tersebut mengakibatkan tingginya padatan tersuspensi yang

    terkandung di perairan, pada pengukuran TSS di wilayah barat Teluk Banten dan

    Pulau Panjang pada tahun 2000 adalah 37,8 mg/L dan 33,3 mg/L (LIPI, 2001)

    sedangkan data yang didapatkan dari hasil pengukuran pada tahun 2010 di daerah

    yang sama adalah 9 mg/L dan 30 mg/L.

    Padatan tersuspensi mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan

    dan juga menutupi daun lamun. Tingginya padatan tersuspensi pada tahun 2000

    merupakan indikasi penyebab banyaknya lamun yang hilang di daerah Teluk

    Banten, khususnya di wilayah perairan Pulau Panjang yang berhadapan langsung

  • 37

    dengan daerah reklamasi. Hal yang serupa juga pernah terjadi di beberapa negara

    lain seperti Australia bagian selatan pada tahun 1990 dan Eropa Selatan akibat

    tingginya materi tersuspensi yang masuk ke perairan karena sedimentasi yang

    dihasilkan oleh kegiatan industri dan pelabuhan (Cambridge dan McComb, 1984).

    Selain itu Peres dan Pickard (1975) dalam Hemminga dan Duarte (2000)

    melaporkan bahwa limbah dan sedimentasi merupakan faktor penting dalam

    hilangnya Posidonia oceanica dari perairan pesisir laut Tengah Perancis.

    Masalah lain yang dapat menimbulkan hilangnya lamun akibat aktivitas

    manusia adalah peletakan jangkar perahu, baling-baling motor, dan pemakaian alat

    tangkap yang tidak ramah lingkungan. Faktor alami yang turut mengancam

    keberadaan lamun adalah bencana alam seperti tsunami dan badai, gelombang

    pantai, komunitas ikan, overgrazing oleh bulu babi, dan sedimentasi.

    Pola perubahan luas tutupan padang lamun pada tahun 1990, 2000, 2005,

    dan 2010 ditampilkan seperti pada Gambar 8. Wilayah yang mengalami kehilangan

    padang lamun terbanyak adalah di bagian barat dan timur Pulau Panjang.

    Hilangnya padang lamun di bagian barat Pulau Panjang diduga diakibatkan karena

    aktifitas penambangan batu alam, perataan bukit dan reklamasi pantai untuk

    dijadikan daerah industri dan pelabuhan di bagian barat Teluk Banten (Bojonegara).

    Wilayah ini berhadapan langsung dengan bagian barat Pulau Panjang sehingga

    mengakibatkan tingginya padatan tersuspensi barat Pulau Panjang yang

    berimplikasi terhadap berkurangnya penetrasi cahaya yang masuk ke perairan.

  • 38

    Gambar 8. Peta perubahan luas lamun di Pulau Panjang

    38

    U

  • 39

    Kehilangan lamun di wilayah timur Pulau Panjang diduga diakibatkan oleh

    arus dan padatan tersuspensi masukan dari limbah rumah tangga. Wilayah timur

    Pulau Panjang berhadapan langsung dengan Laut Jawa sehingga rata-rata

    kecepatan arusnya relatif tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh

    LIPI (2001) kecepatan arus di wilayah ini berkisar 1,0 cm/det 35 cm/det pada

    bulan April dan 1,1 cm/det 19,4 cm/det pada bulan Oktober sehingga sedimen

    yang ditemukan pada bulan-bulan ini berupa kerikil, pasir dan pasir lanau.

    Pengukuran padatan terlarut (TSS) pada bagian tenggara Pulau Panjang adalah 28

    mg/L, tingginya nilai padatan terlarut ini diduga merupakan masukan dari limbah

    rumah tangga dan serasah mangrove. Perairan yang dangkal dan tingginya laju

    sedimentasi akibat masukan dari darat dan serasah mangrove, menjadikan wilayah

    ini tersingkap pada saat terjadi air surut rendah.

    4. 6. Uji Akurasi Citra Hasil Klasifikasi

    Perhitungan akurasi citra hasil klasifikasi dilakukan dengan membuat matriks

    kontingensi. Matriks ini didapat dengan cara membandingkan antara jumlah pixel

    hasil klasifikasi unsupervised citra dengan data lapang (ground truth). Hasilnya

    didapatkan nilai akurasi total, sebesar 57 % dan akurasi lamun sebesar 60%, seperti

    yang ditampilkan pada Tabel 6.

    Tabel 6. Hasil Uji Akurasi

    Peta Klasifikasi Survey Lapang

    Jumlah Akurasi

    Lamun (%)

    Akurasi

    Total (%) Lamun Substrat Lain

    Lamun 30 20 50 60 57

    Substrat Lain 23 27 50

    Jumlah 53 47 100

  • 40

    Hasil dari uji akurasi lamun menggambarkan 60% dari kelas lamun hasil

    klasifikasi terkelaskan dengan benar di lapangan. Relatif rendahnya nilai akurasi

    yang didapatkan berhubungan dengan resolusi spasial citra dan tipe GPS yang

    digunakan pada saat ground truth. Shepard (1995) dalam Green et al. (2000) yang

    melakukan uji akurasi Citra Landsat TM di Pulau Caicos, Turki mendapatkan nilai

    akurasi sebesar 59% untuk lamun dan 73% untuk akurasi total. Penelitian lain yang

    dilakukan oleh Dekker (2005) dalam Yang dan Chaoyu (2009) meneliti perubahan

    luas lamun di wilayah Australia dari tahun 1988 2002 mendapatkan akurasi

    sebesar 76%. Green et al. (2000) menyatakan bahwa citra yang digunakan

    mempengaruhi besarnya nilai akurasi yang didapatkan, semakin baik resolusi

    spasial sebuah citra semakin baik nilai akurasi yang bisa didapatkan. Hal lain yang

    juga dapat mempengaruhi akurasi citra hasil klasifikasi adalah kekeruhaan perairan

    dan kedalaman ojek.

    Kedalaman dapat mempengaruhi hasil pengkelasan karena semakin dalam

    suatu perairan maka semakin banyak energi elektromagnetik yang terserap oleh

    perairan, salah satu yang mempengaruhi kedalaman perairan adalah pasang surut.

    Koreksi pasang surut terhadap waktu perekaman citra satelit perlu dilakukan untuk

    melihat kedalaman perairan. Kedalaman perairan pada saat perekaman data citra

    Landsat MSS (1990), Landsat TM (2000), dan Landsat +ETM (2005 dan 2010) yang

    digunakan adalah 0,5 m 0,9 m (Lampiran 4). Kisaran kedalaman tersebut tidak

    terlalu berpengaruh signifikan, hal ini terlihat dari relatif tinggi dan beragamnya nilai

    digital pada citra sehingga masih dapat dibedakan ke dalam beberapa kelas.

  • 41

    5. KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1. Kesimpulan

    Pulau Panjang merupakan daerah yang cukup baik untuk ditumbuhi oleh

    jenis lamun tertentu terutama jenis lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea

    serrulata, kecuali Syringodium isoetifolium yang tidak dapat tumbuh di Stasiun I

    (sebelah tenggara Pulau Panjang) tetapi tumbuh baik di Stasiun II (sebelah selatan

    Pulau Panjang) dan Stasiun III (sebelah Barat Pulau Panjang).

    Komposisi jenis lamun yang ditemukan terdiri dari Enhalus acoroides,

    Cymodocea serrulata, dan Syringodium isoetifolium. Kerapatan jenis Syringodium

    isoetifolium tertinggi di Stasiun III. Jenis lamun Syringodium isoetifolium tertinggi

    ditemukan di Stasiun III, dan terendah pada Stasiun I. Komposisi jenis lamun dan

    kerapatan jenis lamun di Pulau Panjang dan Teluk Banten berkurang mulai dari

    tahun 1989 sampai dengan tahun 2010, yang diduga akibat dari aktivitas manusia

    berupa reklamasi pantai dan pembangunan industri.

    Persen penutupan lamun tertinggi didapatkan di Stasiun III (23,3 %) dan

    terendah ditemukan di Stasiun I (14,6 %), tinggi dan rendahnya kerapatan lamun

    jenis Enhalus acoroides dan Syringodium isoetifolium dapat mempengaruhi persen

    penutupan di wilayah tersebut.

    Terjadi perubahan luas lamun di Pulau Panjang dalam kurun waktu sepuluh

    tahun mulai dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2010 sebesar 63,9%, perubahan

    luas yang besar terjadi pada kurun waktu 2000 2005 mencapai 22,9 ha. Wilayah

    yang banyak mengalami kehilangan lamun adalah di bagian barat dan timur Pulau

    Panjang.

  • 42

    5.2. Saran

    Stasiun III merupakan tempat yang cocok untuk diadakan rehabilitasi lamun,

    karena tingginya komposisi, kerapatan, dan persen penutupan di wilayah tersebut

    yang menjadi indikasi bahwa lamun jenis Syringodium isoetifolium dan Cymodocea

    serrulata tertentu tumbuh baik di wilayah ini. Sebagai rekomendasi Pemerintah

    Daerah, perlunya dilakukan rehabilitasi transplantasi lamun di daerah Pulau

    Panjang, sehingga penurunan luas daerah lamun dapat dikurangi. Selain itu perlu

    adanya kajian sosial ekonomi masyarakat setempat akibat dari berkurangnya

    komunitas lamun di daerah tersebut.

    Ketelitian hasil klasifikasi citra juga tergantung dari akurasi spasial citra dan

    akurasi GPS yang digunakan. Peneliti disarankan menggunakan citra yang

    beresolusi tinggi untuk klasifikasi dan menggunakan GPS yang memiliki akurasi

    yang tinggi untuk uji akurasi. Selain itu dalam proses klasifikasi diperlukan koreksi

    pasang surut sesuai pada saat perekaman citra dilakukan untuk membantu dalam

    interpretasi.

  • 43

    DAFTAR PUSTAKA

    Cambridge, M. L., dan McComb, A. J. (1984). The Loss of Seagrasses in Cockburn

    Sound, Western Australia, the Time Courseand Magnitude of Seagrass Decline in Relation to Industrial Development. Aquat Bot. 20: 229243.

    Congalton, R.G. 1991. A Review of Assessing the Accuracy of Classifications of

    Remotely Sensed Data. Remote Sensing of Environment. 37 : 3546. Dewayani, S. 2000. Manfaat Inderaja SIG untuk Pengembangan Perikanan Laut:

    Potensi Pengembangan Budidaya Ikan dalam Keramba Apung. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor : 29 Oktober 3 November 2001. Hal : 226-235.

    Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius : Yogyakarta. English, S., Wilkinson, C., dan Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine

    Resources, 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Fyfe, S. K. 2004. Hyperspectral studies of New South Wales Seagrass with

    Particular Emphasis on the Detection of Light Stress in Eelgrass Zostera capricorni. PhD thesis. School of Earth and Environment Science, University of Wollungong. New South Wales, Australia.

    Green, P. E., Peter, J. M., dan Clark, K. 2000. Remote Sensing Handbook for

    Tropical Coastal Management. UNESCO Publishing. Paris. Hadikusumah. 2008. Variabilitas Suhu dan Salinitas di Perairan Cisadane. Makara

    Sains. 12 (2) : 82-88. Hemminga, M. A. dan Duarte. C. M. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge :

    Cambridge University Press. Australia. Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia : Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal

    yang belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta, Indonesia.

    Kawaroe, M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Lokakarya

    Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.

    Kiswara, W. 1994. Dampak Perluasan Kawasan Industri Terhadap Luas Penutupan

    Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Seminar Nasional Dampak Pembangunan Terhadap Wilayah Pesisir. 2-3 Februari 1994. Jakarta, Indonesia.

  • 44

    Kiswara, W, 1995. Degradasi Padang Lamun di Teluk Banten: Pengaruhnya Terhadap Sumberdaya Perikanan. Prosiding pada Simposium Perikanan I. 25-27 Agustus 1993. Jakarta, Indonesia.

    Kiswara, W. 1997. Inventarisasi dan evaluasi Sumberdaya Pesisir : Struktus

    Komunitas Padang Lamun di Teluk Banten. Makalah Kongres Biologi Indonesia XV. Jakarta, Indonesia.

    Kiswara, W. 2004. Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Teluk Banten 1998 2001.

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

    Kuriandewa, T. E. 2009. Tinjauan Tentang Lamun di Indonesia. Lokakarya Nasional

    I Pengelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia. Larkum, A. W., Roberth, J. O., dan Duarte, C. M. 2006. Seagrasses: Biology,

    Ecology and Conservation. Springer. Dordrecht, Netherlands. Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia. 2001. Laporan Penelitian Wilayah

    Pesisir Teluk Banten Tahap Kedua. Jakarta, Indonesia. Lillesand, T. M., dan Kiefer, R. W. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra,

    Edisi Ketiga., Alih Bahasa : Dulbahri, S., Hartono, P., Suharyadi. Gajah Mada Press.

    Marsh J. A, Dennison, W. C. dan Alberte, R. C. 1986. Effects of Temperature on

    Photosynthesis and Respiration in Eelgrass (Zostera marina L.) Journal Exp Mar Biol Ecol. 101: 257267.

    McKenzie, L. 2008. Seagrass Watch. Prosiding of Workshop for Mapping Seagrass

    Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory. 18 - 20 Oktober. Cairns, Australia. Hal : 9 16.

    Nontji. A. 2005. Laut Nusantara Edisi Ke-4. Jakarta: Djambatan. Nontji. A. 2009. Rehabilitasi Ekosistem Lamun dalam Pengelolaan Sumberdaya

    Pesisir. Lokakarya Nasional I Penelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.

    Phillips, R.C. and Menez, E. G. 1988. Seagrasses. Smithsonian Contributions to the

    Marine Sciences, No. 34. Smithsonian Institution Press, Washington, D. C.

    Supriyadi, I. H. 2008. Pemetaan Kondisi Lamun dan Bahaya Ancamannya dengan

    Menggunakan Citra satelit Alos di Pesisir Selatan, Bitung-Manado, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 34(3):445-459.

  • 45

    Thomas M. L., dan Ralph W. K. 2000. Remote Sensing and Image Interpretation. John Willey & Sons Inc. New York.

    Yang, D. dan Chaoyu, Y. 2009. Detection of Seagrass Distribution Changes from

    1991 to 2006 in Xincun Bay, Hainan, with Satellite Remote Sensing. Sensors. 9 : 830-844

    Yunus. S. 2008. Penilaian Dampak Aktivitas Manusia Pada Kerusakan Ekosistem

    Padang Lamun di Pantai Barat Teluk Banten. Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.

    Zulkarnain, I. 2009. Ekotipologi Padang Lamun di Teluk Banten. Skripsi.

    Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor, Bogor.

  • LAMPIRAN

  • 46

    Lampiran 1. Data Hasil Pengukuran

    Stasiun

    Lintang S

    Bujur E

    Kerapatan Jenis (Ind/m

    2) Penutupan

    (%) Vegetasi Asosiasi

    Kedalaman (m

    2)

    Kecerahan

    Ea Cr Si

    Stasiun 1

    1.1.1 9343065 628339 5 5,38 Alga 0,62 100%

    1.1.2 9343060 628340 9 13,63

    0,69 100%

    1.1.3 9343052 628346 4 3,75 Alga 0,77 100%

    1.1.4 9343043 628355 11 20,63

    0,82 100%

    1.1.5 9343040 628358 18 22,13

    0,82 100%

    1.1.6 9343027 628367 3 28 12,63 Alga 0,83 100%

    1.1.7 9343020 628370 10 17,25

    0,52 100%

    1.1.8 9343013 628380 5 10 10,50 Alga 0,45 100%

    1.1.9 9343009 628387 8 9,38

    0,55 100%

    1.2.1 9343020 628443 20 30,75

    0,51 100%

    1.2.2 9343023 628445 16 16 36,38 Alga 0,42 100%

    1.2.3 9343033 628440 5 37 39,75 Alga 0,38 100%

    1.2.4 9343037 628436 10 18,00

    0,38 100%

    1.2.5 9343049 628431 13 5 13,63 Alga 0,44 100%

    1.2.6 9343056 628426 14 14,25 Alga 0,56 100%

    1.2.7 9343064 628417 19 27,38

    0,62 100%

    1.2.8 9343072 628411 21 31,50 Alga 0,66 100%

    1.2.9 9343082 628403

    1 100%

    1.2.10 9343092 628396 5 3,88

    0,85 100%

    1.2.11 9343102 628387

    0,94 100%

    1.2.12 9343144 628441

    0,9 100%

    1.3.1 9343136 628445

    0,9 100%

    1.3.2 9343136 628445

    1 100%

    1.3.3 9343121 628455 Alga 1 100%

    1.3.4 9343107 628463 12 20,25

    0,77 100%

    1.3.5 9343096 628471 22 28,88

    0,55 100%

    1.3.6 9343087 628481 5 33 21,00 Alga 0,44 100%

    1.3.7 9343079 628493 17 24,00

    0,6 100%

    1.3.8 9343072 628501 0 0

    0,63 100%

    Stasiun 3

    3.1.1 9342912 627283 14 15,38

    0,87 100%

    3.1.2 9342907 627283 12 20 26,88 Alga 0,6 100%

    3.1.3 9342902 627283 13 18,75

    0,84 100%

    3.1.4 9342881 627282 11 14,63 Alga 0,95 100%

    3.1.5 9342870 627280 15 22,50

    0,95 100%

    3.1.6 9342865 627279 14 13,50

    1 100%

    3.1.7 9342850 627280 16 15,75 Alga 0,95 100%

    3.1.8 9342841 627283 7 6,75

    0,95 100%

    3.1.9 9342828 627286 19 20,25 Alga 0,91 100%

    3.1.10 9342819 627287 8 35 53 34,75 Alga 0,76 100%

  • 47

    Lanjutan

    Stasiun

    Bujur S

    Lintang E

    Kerapatan Jenis (Ind/m

    2) Penutupan

    (%) Vegetasi Asosiasi

    Kedalaman (m

    2)

    Kecerahan

    Ea Cr Si

    3.1.11 9342804 627286 8 31 272 54,75 Alga 0,85 100%

    3.1.12 9342793 627285 17 28 20,25 Alga 0,97 100%

    3.1.13 9342782 627281 23 12 44,63 Alga 1 100%

    3.1.14 9342774 627280 20 5 40,00 Alga 1,2 100%

    3.1.15 9342762 627279 13 16,88 Alga 1,1 100%

    3.1.16 9342753 627279 Alga 1,32 100%

    3.2.1 9342919 627194 9 14,25

    0,7 100%

    3.2.2 9342910 627193 8 11,63

    0,7 100%

    3.2.3 9342901 627191 3 1,50

    0,75 100%

    3.2.4 9342891 627188 10 16,50 Alga 0,86 100%

    3.2.5 9342877 627184 8 10,50 Alga 0,87 100%

    3.2.6 9342864 627179 7 3,00 Alga 0,92 100%

    3.2.7 9342854 627170 8 10,50 Alga 0,94 100%

    3.2.8 9342841 627160 2 31 21,38 Alga 0,9 100%

    3.2.9 9342831 627154 7 3,00 Alga 1,2 100%

    3.2.10 9342825 627154 Alga 1,3 100%

    3.3.1 9342940 627105 3 1,88

    0,7 100%

    3.3.2 9342939 627105 10 9,00

    0,71 100%

    3.3.3 9342928 627102 4 1,63

    0,76 100%

    3.3.4 9342915 627096 8 3,75 Alga 0,68 100%

    3.3.5 9342906 627090 11 11,63

    0,65 100%

    3.3.6 9342895 627080 15 10,50 Alga 0,7 100%

    3.3.7 9342886 627073 15 10,50

    0,78 100%

    3.3.8 9342878 627063 29 31,50 Alga 0,91 100%

    3.3.9 9342870 627054 18 25,88 Alga 0,91 100%

    3.3.10 9342859 627042 Alga 1,15 100%

    3.4.1 9343012 626965 15 16,88

    0,63 100%

    3.4.2 9343009 626957 5 4,13

    0,6 100%

    3.4.3 9343000 626950 2 0,75 Alga 0,72 100%

    3.4.4 9342988 626943 6 73 240 50,50 Alga 0,72 100%

    3.4.5 9342978 626934 5 66 176 37,13 Alga 0,72 100%

    3.4.6 9342971 626927 11 35 280 60,63 Alga 0,7 100%

    3.4.7 9342961 626914 7 11 208 45,00 Alga 0,66 100%

    3.4.8 9342957 626904 16 14 23,25 Alga 0,85 100%

    3.4.9 9342951 626894 Alga 0,96 100%

    Stasiun 2

    2.1.1 9343449 626307 5 53 400 75,00 Alga 0,65 100%

    2.1.2 9343442 626301 6 35 400 75,00 Alga 0,65 100%

    2.1.3 9343435 626293 7 14 450 75,00 Alga 0,77 100%

    2.1.4 9343422 626283 15 18,00 Alga 0,78 100%

    2.1.5 9343417 626279 Alga 0,87 100%

  • 48

    Lanjutan

    Stasiun

    Bujur S

    Lintang E

    Kerapatan Jenis (Ind/m

    2) Penutupan

    (%) Vegetasi Asosiasi

    Kedalaman (m

    2)

    Kecerahan

    Ea Cr Si

    2.1.6 9343415 626274 5 6 4,50 Alga 0,96 100%

    2.1.7 9343398 626256 Alga 1,02 100%

    2.2.1 9343311 626348 18 18,38

    0,44 100%

    2.2.2 9343305 626344 3 21 31 21,38 Alga 0,6 100%

    2.2.3 9343295 626333 10 10,13

    0,61 100%

    2.2.4 9343291 626325 7 68 53,25 Alga 0,65 100%

    2.2.5 9343283 626310 10 24 23,63 Alga 0,8 100%

    2.2.6 9343275 626295 20 19,13

    1,2 100%

    2.2.7 9343265 626285

    1,5 100%

    2.3.1 9343257 626381 7 53 34,88 Alga 0,62 100%

    2.3.2 9343253 626378 5 27 425 Alga 0,51 100%

    2.3.3 9343244 626372 16 37 15,63 Alga 0,6 100%

    2.3.4 9343232 626364 21 150 21,38 Alga 0,61 100%

    2.3.5 9343219 626357 3 37 350 72,38 Alga 0,62 100%

    2.3.6 9343211 626351 8 21 400 75,00 Alga 0,4 100%

    2.3.7 9343198 626343 21 17 144 37,50 Alga 0,34 100%

    2.3.8 9343189 626333 Alga 1,5 100%

    2.4.1 9343178 626490

    1,25 100%

    2.4.2 9343171 626487

    1,2 100%

    2.4.3 9343159 626477 7 6,00

    0,75 100%

    2.4.4 9343152 626475 12 16,13

    0,76 100%

    2.4.5 9343143 626467 7 4,50 Alga 0,72 100%

    2.4.6 9343135 626457 7 11 13,50 Alga 0,68 100%

    2.4.7 9343123 626453 14 13,50

    0,83 100%

    2.4.8 9343113 626449 17 16,88

    1 100%

    2.4.9 9343106 626446 2 1,50 Alga 1,5 100%

  • 49

    Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan

    Transek Kuadrat Roll Meter

    Seichi disck Termometer

    Salinorefraktometer Pelabuhan Peres

  • 50

    Stasiun I Kondisi Lamun St. I

    Stasiun II Kondisi Lamun St. II

    Stasiun III Kondisi Lamun St. III

  • 51

    Daerah Industri di Grenyang Perbukitan Hasil Penggerukan

  • 52

    Lampiran 3. Data Ground Truth untuk Uji Akurasi

    Waypoint Klasifikasi Lapang No. Tematik Lapang

    1 Substrat Lain Substrat Lain 51 Lamun Lamun

    2 Substrat Lain Substrat Lain 52 Lamun Lamun

    3 Substrat Lain Substrat Lain 53 Lamun Lamun

    4 Lamun Lamun 54 Lamun Lamun

    5 Substrat Lain Substrat Lain 55 Lamun Substrat Lain

    6 Substrat Lain Lamun 56 Lamun Substrat Lain

    7 Substrat Lain Lamun 57 Lamun Lamun

    8 Lamun Lamun 58 Lamun Lamun

    9 Lamun Lamun 59 Lamun Lamun

    10 Lamun Lamun 60 Lamun Lamun

    11 Lamun Lamun 61 Lamun Substrat Lain

    12 Lamun Lamun 62 Lamun Lamun

    13 Substrat Lain Lamun 63 Lamun Substrat Lain

    14 Substrat Lain Substrat Lain 64 Lamun Substrat Lain

    15 Substrat Lain Lamun 65 Lamun Lamun

    16 Substrat Lain Substrat Lain 66 Substrat Lain Substrat Lain

    17 Substrat Lain Substrat Lain 67 Substrat Lain Substrat Lain

    18 Substrat Lain Substrat Lain 68 Substrat Lain Substrat Lain

    19 Substrat Lain Substrat Lain 69 Substrat Lain Substrat Lain

    20 Substrat Lain Substrat Lain 70 Substrat Lain Lamun

    21 Substrat Lain Substrat Lain 71 Lamun Lamun

    22 Substrat Lain Substrat Lain 72 Lamun Lamun

    23 Substrat Lain Lamun 73 Lamun Lamun

    24 Lamun Lamun 74 Lamun Lamun

    25 Substrat Lain Substrat Lain 75 Lamun Lamun

    26 Substrat Lain Lamun 76 Lamun Lamun

    27 Lamun Substrat Lain 77 Lamun Substrat Lain

    28 Lamun Lamun 78 Lamun Lamun

    29 Lamun Substrat Lain 79 Lamun Lamun

    30 Lamun Substrat Lain 80 Lamun Lamun

    31 Lamun Substrat Lain 81 Lamun Lamun

    32 Lamun Lamun 82 Lamun Lamun

    33 Lamun Substrat Lain 83 Lamun Substrat Lain

    34 Lamun Lamun 84 Lamun Lamun

    35 Lamun Lamun 85 Substrat Lain Lamun

  • 53

    Lanjutan

    Waypoint Klasifikasi Lapang No. Tematik Lapang

    36 Lamun Substrat Lain 86 Substrat Lain Substrat Lain

    37 Lamun Lamun 87 Substrat Lain Lamun

    38 Lamun Lamun 88 Substrat Lain Substrat Lain

    39 Lamun Substrat Lain 89 Substrat Lain Substrat Lain

    40 Lamun Lamun 90 Lamun Substrat Lain

    41 Lamun Substrat Lain 91 Lamun Substrat Lain

    42 Lamun Substrat Lain 92 Lamun Substrat Lain

    43 Lamun Substrat Lain 93 Lamun Substrat Lain

    44 Lamun Substrat Lain 94 Lamun Substrat Lain

    45 Lamun Substrat Lain 95 Lamun Substrat Lain

    46