Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.)
DI MANGROVE CENGKRONG DESA KARANGGANDU KECAMATAN
WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK
SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
Oleh :
BRILYAN HAFITYAN RAMADHAN NIM.135080101111038
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.)
DI MANGROVE CENGKRONG DESA KARANGGANDU KECAMATAN
WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK
SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh : BRILYAN HAFITTYAN RAMADHAN
NIM.135080101111038
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
iii
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Brilyan Hafityan Ramadhan
NIM : 135080101111038
Prodi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini
merupakan hasil karya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain
kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa Skripsi ini
adalah hasil plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 28 Juli 2017
Brilyan Hafityan Ramadhan
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan laporan penelitian skripsi ini tidak lepas dari segala bentuk
dukungan yang penulis peroleh dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Allah SWT yang senantiasa memberikan kesehatan, kesabaran, kemudahan
dan kelancaran untuk saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
2) Orang tua dan saudara – saudara saya yang selalu mendukung dan
mendoakan yang terbaik untuk saya.
3) Prof. Dr.Ir. Endang Yuli Herawati, MS dan Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing dan
memberikan nasihat.
4) Nanik Retno Buwono, S.Pi., MP. selaku dosen penguji yang telah memberikan
masukan dalam penelitian ini.
5) Mas Imam, Pak Nahrowi dan nelayan kepiting bakau yang lain yang telah
bersedia direpotkan selama proses penangkapan kepiting bakau.
6) Universitas Brawijaya, sebagai wahana dalam proses saya mengais ilmu dan
Bapak/Ibu Dosen serta seluruh staff di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
atas sumbangan ilmu dan pengalaman berharganya.
7) Farid, Fikri, Didik, Novan, Dika, Febriyanti, Randa, Alfian yang telah
mendukung dan membantu dalam proses penelitian.
8) Surya Widianto yang telah direpotkan dan menemani beberapa hari sampling
di Trenggalek.
9) Suryaningsih yang telah banyak memberi semangat dan selalu menemani
dalam pengerjaan laporan sampai larut malam.
10) Keluarga Asparaga dan Cendana yang telah banyak mendukung dan
membantu.
11) Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang secara
langsung maupun tidak langsung dan baik sengaja maupun tidak sengaja
telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.
Semoga Tuhan yang maha kuasa senantiasa membalas segala kebaikan
yang telah diberikan oleh pihak-pihak tersebut dengan pahala dan ilmu yang
bermanfaat. Semoga apa yang kita kerjakan dapat menjadi berkah. Aamiin.
vi
RINGKASAN
BRILYAN HAFITYAN RAMADHAN. Komunitas dan Analisis Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. (dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Endang Yuli Herawati, MS dan Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS)
Kawasan Ekosistem Mangrove Cengkrong Trenggalek terdapat berbagai organisme salah satunya ialah kepiting bakau. Melimpahnya kepiting bakau dan belum ada penelitian tentang kepiting bakau lebih lanjut maka diperlukan informasi tentang analisis bioekologi kepiting bakau dan komunitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi yang meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan hubungan lebar karapas dengan berat tubuh kepiting bakau. Aspek ekologi yang meliputi kualitas air dan sifat fisika dan kimia tanah serta komunitasnya yang meliputi kepadatan, keanekaragaman dan dominasi. Penelitian ini dilaksanakan di Mangrove Cengkrong Desa Krangmadu Trenggalek pada bulan Juni 2017.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan tehnik pengambilan sampel yaitu dengan random purposive sampling. Lokasi pengambilan sampel terdapat 3 stasiun dengan 6 titik sampling perstasiun, yaitu stasiun 1 berada di area mangrove, stasiun 2 berada di muara sungai, stasiun 3 merupakan daerah muara besar yang langsung terhubung ke laut. Pengambilan sampel dengan menggunakan metode transek kwadrat 1 x 1 m2 dengan masing-masing tiap stasiun 6 transek. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, pH, salinitas dan kedalaman. Analisa substrat yang diukur meliputi pH tanah, tekstur tanah dan bahan organik.
Jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh nelayan pada penelitian ini sebanyak 31 ekor (13 ekor jantan dan 18 ekor betina). Kisaran lebar karapas dan berat kepiting bakau jantan yaitu 7,97 – 11,81 mm dengan berat 95,74 – 248,70 gram dan kepiting betina 7,76 – 14,87 mm dengan berat 59,21 – 251,43 gram. Pola pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina yaitu allometrik negatif (b<3). Pengamatan tingkat kematangan gonad selama masa penelitian yang paling banyak tertangkap yaitu TKG I sebesar 61,29 % dan sisanya TKG II dan TKG III. Analisis nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1,39. Nilai kepadatan terbanyak pada stasiun 2 dengan tangkapan sebanyak 13 ind/m2. Nilai keanekaragaman tergolong rendah yaitu 1,05 dan nilai dominasi 0,27 yang berarti tidak ada yang mendominasi. Analisa habitat kepiting bakau dibagi 2 yaitu parameter kualitas air dan substrat tanah. Parameter kualitas air diperoleh nilai suhu berkisar 28,6-30,7 0C, salinitas berkisar 29-30 ppt, pH berkisar 7-8,
kedalaman berkisar 58-64 cm. Sedangkan analisa substrat habitat kepiting bakau diperoleh nilai pH tanah berkisar 6,85-7,23, bahan organik tanah berkisar 3,10-4,67 % dan tekstur tanah didominasi oleh lempung.
Kepiting bakau yang tertangkap di Kawasan Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Trenggalek masih belum sesuai dengan peraturan pemerintah (Nomor 1/Permen-KP/2015) yang melarang menangkap ukuran <15 cm. Sehingga masih perlu adanya pengawasan lebih lanjut dan sosialisasi tentang penangkapan kepiting bakau serta perlu disediakannya tempat pembesaran kepiting bakau untuk tangkapan yang belum memenuhi syarat.
vii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan skripsi dengan judul “Komunitas dan Analisis Biologi Kepiting Bakau
di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo
Kabupaten Trenggalek”. Laporan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Brawijaya.
Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam pembuatan
laporan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan penulis demi kesempurnaan tulisan ini. Penulis berharap semoga
proposal ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Malang, Juli 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................... v
RINGKASAN ...................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii
1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 4 1.3. Tujuan Penelitian................................................................................... 5 1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................................. 5 1.5. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 5
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6 2.1. Kepiting Bakau (Scylla spp.) .................................................................. 6
2.1.1 Klasifikasi .................................................................................. 6 2.1.2 Morfologi ................................................................................... 7 2.1.3 Siklus Hidup dan Proses Reproduksi ........................................ 9 2.1.4 Habitat dan Penyebaran ......................................................... 10 2.1.5 Kebiasaan Makan ................................................................... 12
2.2. Aspek Biologi ...................................................................................... 12 2.2.1. Pertumbuhan .......................................................................... 12 2.2.2. Nisbah Kelamin ....................................................................... 13 2.2.3. Tingkat Kematangan Gonad ................................................... 14
2.3. Aspek Ekologi Lingkungan Kepiting Bakau ......................................... 15 2.3.1. Substrat .................................................................................. 16 2.3.2. Tekstur Tanah......................................................................... 16 2.3.3. Derajat Keasaman (pH) Tanah ............................................... 17 2.3.4. Bahan Organik Tanah ............................................................. 17
3. METODE PENELITIAN .............................................................................. 20 3.1. Materi Penelitian ................................................................................. 20 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 20 3.3. Alat dan Bahan .................................................................................... 20 3.4. Metode Penelitian................................................................................ 21 3.5. Lokasi Pengambilan Data Jumlah Sampel Kepiting..............................21 3.6. Prosedur Pengambilan Sampel ........................................................... 22
3.6.1. Kepiting Bakau........................................................................ 22 3.7. Analisis Aspek Biologi Kepiting Bakau ................................................. 23
3.7.1. Pengukuran Lebar Karapas dan Bobot Individu ...................... 23
ix
3.7.2. Nisbah Kelamin ....................................................................... 24 3.7.3. Tingkat Kematangan Gonad ................................................... 24 3.7.4. Fekunditas .............................................................................. 27
3.9 Prosedur Pengambilan Sampel Substrat ............................................. 29 3.10 Analisis Data Komunitas Kepiting Bakau ............................................. 30
3.10.1 Kepadatan Kepiting Bakau ..................................................... 30 3.10.2 Indeks Keanekaragaman Kepiting .......................................... 30
3.11 Analisis Data Aspek Biologi ................................................................. 31 3.11.1 Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Individu ................... 31 3.11.2 Nisbah Kelamin ....................................................................... 32 3.11.3 Fekunditas .............................................................................. 33
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 34 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ....................................................... 34 4.2 Deskripsi Lokasi Penangkapan Kepiting Bakau ................................... 35 4.3 Alat Tangkap Kepiting Bakau .............................................................. 37 4.4 Aspek Biologi ...................................................................................... 38 4.5 Analisis Tingkat Kematangan Gonad................................................... 47 4.6 Analisis Hubungan Lebar Karapas dan Berat ...................................... 51 4.7 Analisis Nisbah Kelamin ...................................................................... 54 4.8 Fekunditas........................................................................................... 55 4.9 Komunitas Kepiting Bakau (Scylla spp.) .............................................. 55
4.11.1 Kepadatan Kepiting Bakau ..................................................... 55 4.11.2 Indeks Keanekaragaman Spesies Kepiting Bakau .................. 57 4.11.3 Indeks Dominasi Kepiting Bakau............................................. 59
4.10 Analisis Parameter Kualitas Air ........................................................... 59 4.9.1 Suhu ....................................................................................... 60 4.9.2 Salinitas .................................................................................. 60 4.9.3 Derajat Keasaman (pH) .......................................................... 61 4.9.4 Kedalaman ............................................................................. 62
4.11 Substrat Habitat Kepiting Bakau .......................................................... 63 4.10.1 pH Tanah ................................................................................ 63 4.10.2 Tekstur Tanah......................................................................... 64 4.10.3 Bahan Organik Tanah ............................................................. 65
5. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 67 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 67 5.2 Saran .................................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 69
LAMPIRAN ........................................................................................................ 74
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Jenis Kepiting Bakau yang Tergolong dalam (Scylla spp.) ............................... 8
2. Sebaran Geografis Kepiting Bakau ................................................................ 11
3. Siklus Rantai Makanan di Ekosistem Mangrove ............................................. 18
4. Pengukuran lebar karapas. ............................................................................ 23
5. Morfologi Kepiting Bakau .............................................................................. 23
6. Perbedaan Kepiting jantan (B) dan Betina (A) ............................................... 24
7. Lokasi Penangkapan 1 .................................................................................. 35
8. Lokasi Penangkapan 2 .................................................................................. 36
9. Lokasi Penangkapan 3 .................................................................................. 36
10. Alat Tangkap Bubu ...................................................................................... 37
11. Scylla transqubarica ..................................................................................... 39
12. Scylla seratta ............................................................................................... 40
13. Scylla Oceania ............................................................................................. 41
14. Scylla paramomasain ................................................................................... 42
15. Grafik Keseluruhan Sebaran Lebar Karapas Individu Kepiting Bakau .......... 43
16. Grafik Sebaran Lebar Karapas Kepiting Bakau Jantan ................................ 43
17. Grafik Keseluruhan Sebaran Lebar Karapas Individu Kepiting ..................... 44
18. Grafik Sebaran Lebar Karapas Kepiting Bakau Betina ................................. 44
19. Grafik Keseluruhan Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Jantan ............. 45
20. Grafik Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Jantan .................................. 45
21. Grafik Keseluruhan Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Betina .............. 46
22. Grafik Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Betina per-Stasiun ............... 46
23. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting ................. 48
24. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad ............................... 48
25. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting ................. 49
26. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting ................. 49
27. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting ................. 50
28. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting ................. 50
29. TKG 2 (a) dan TKG 3 (b).............................................................................. 51
30. Grafik Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Jantan ............. 52
31. Grafik Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Betina .............. 52
32. Kepadatan kepiting bakau stasiun 1 ............................................................ 56
33. Kepadatan kepiting bakau stasiun 2 ............................................................ 56
34. Kepadatan kepiting bakau stasiun 3 ............................................................ 56
35. Hasil Pengukuran pH tanah ......................................................................... 63
36. Grafik Kandungan Bahan Organik Tanah .................................................... 65
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Karakter tingkat kematangan gonad kepiting bakau (Scylla spp.) .................. 15
2. Kelas tekstur tanah ........................................................................................ 17
3. Tingkat kematangan testis kepiting bakau ..................................................... 25
4. Tingkat kematangan ovarium kepiting bakau ................................................. 26
5. Data hasil pengukuran suhu .......................................................................... 60
6. Data hasil pengukuran salinitas ..................................................................... 61
7. Data hasil pengukuran pH ............................................................................. 62
8. Data hasil pengukuran kedalaman air ............................................................ 62
9. Data Hasil Pengamatan Tekstur Tanah ......................................................... 64
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................. 74
2. Peta Lokasi dan Denah Pengamatan Mangrove Cengkrong .......................... 76
3. Data Biologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) ...................................................... 78
4. Perhitungan Selang Kelas Lebar Karapas Kepiting Bakau Jantan ................. 79
5. Perhitungan Selang Kelas Berat Karapas Kepiting Bakau Jantan .................. 82
6. Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau ................................................. 85
7. Perhitungan Hubungan Lebar Karapas dan Berat Tubuh Kepiting ................ 86
8. Hasil Perhitungan Nisbah Kelamin. ................................................................ 88
9. Data Hasil Pengukuran Kualitas Air ............................................................... 89
10. Data Hasil Perhitungan Kepiting Bakau (Ni/A) ............................................. 90
11. Indeks Keanekaragaman Kepiting Bakau .................................................... 91
12. Indeks Dominasi Kepiting Bakau.................................................................. 92
13. Dokumentasi lapang .................................................................................... 93
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepiting bakau termasuk salah satu komoditas perikanan ekonomis yang
penting. Penyebarannya hampir di seluruh kawasan pesisir Indonesia, yang
memiliki ekosistem mangrove. Komoditas ini sangat diminati oleh masyarakat
karena rasanya yang enak dan kandungan gizinya yang tinggi. Menurut Afrianto
dan Liviawaty (1992) dalam Herliany dan Zamdial (2015), tiap 100 gram daging
kepiting bakau (segar) mengandung 13,6 gram protein; 3,8 gram lemak; 14,1 gram
hidrat arang dan 68,1 gram air. Harga kepiting bakau terus meningkat khususnya
jika sudah masuk sebagai menu seafood di restoran dan hotel berbintang. Hal ini
menjadikan komoditas perikanan tersebut banyak ditangkap oleh nelayan.
Tingginya nilai jual kepiting bakau, mendorong peningkatan laju eksploitasi
(Perikanan WWF Indonesia, 2015). Laju eksploitasi ini dapat dilihat dari data
statistik perikanan tangkap. Data hasil perikanan tangkap Indonesia tahun 2011,
produksi kepiting bakau meningkat pada tahun 2001 - 2010 menjadi 13,75 %,
sedangkan pada tahun 2010 - 2011 menjadi 28,95 % (Kementerian Kelautan
Perikanan, 2012).
Kepiting bakau atau sering juga disebut kepiting lumpur (Mud crab) masuk
dalam genus Scylla, hidup pada habitat air payau, seperti area hutan mangove,
estuaria, secara menyeluruh terdapat pada laut pacifik dan samodra hindia.
Kepiting ini berasal dari Tahiti, Australia, dan Jepang sampai pada Afrika Selatan.
(Fushimi dan S. Watanabe, 2003) ”Mud crab in genus Scylla in habit brackish
waters, such as mangove areas and estuaries, throughout the pacific and Indian
Oceans, from Tahiti, Australia, and Japan to southern Africa”. Menurut Watanabe,
et al. (1996), Kepiting lumpur atau kepiting bakau merupakan sumberdaya
2
perikanan penting yang mempunyai nilai ekonomis penting yang ada di Australia,
Jepang, Indonesia, Taiwan, dan Philipina, di negara ini kepiting lumpur atau
kepiting bakau menjadi target produksi dalam kegiatan budidaya
perikanan.Kepiting Bakau Scylla serrata memiliki peranan yang cukup berarti
dalam ekosistem mangrove, dan merupakan salah satu komoditas perikanan yang
potensial yang memiliki nilai ekonomis penting. Kepiting bakau juga merupakan
jenis makanan laut yang digemari masyarakat karena rasa dagingnya yang lezat
juga memiliki nilai gizi yang tinggi (Rosmaniar, 2008).
Suatu komunitas terdiri atas banyak jenis dengan berbagai macam
fluktuasi populasi dan interaksi antara satu dengan lainnya. Komunitas juga terdiri
atas berbagai organisme dan saling berhubungan pada suatu lingkungan tertentu.
Secara ringkas komunitas adalah seluruh populasi yang hidup bersama di suatu
daerah tertentu dan sering disebut sebagai komunitas biotik (Irwan, 1992).
Hutan mangrove merupakan satu bentuk komunitas yang terdiri atas
vegetasi pantai yang memiliki karakteristik, tumbuh di daerah intertidal, jenis
tanahnya berlempung atau berpasir, daerahnya tergenang air laut secara berkala,
baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama, menerima
pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari gelombang arus besar
dan arus pasang surut. Hutan mangrove telah menyesuaikan diri dengan terpaan
ombak, dengan salinitas tinggi serta tanahnya senantiasa digenangi air. Hutan
pantai tersebut tumbuh baik di daerah tropis maupun sub tropis (Fachrul, 2007).
Salah satu kawasan hutan mangrove yang ada di Indonesia ialah hutan
mangrove cengkrong yang tepatnya di Desa Karanggandu, Kecamatan Watulimo,
Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Sekitar 42 km arah selatan kota Trenggalek
dan hanya 200 meter dari Pantai Cengkrong. Rute jalan ke tempat ecowista ini
mudah dilalaui sama dengan jalur ke Pantai Cengkrong, serta searah dengan
Pantai Prigi (sekitar 3 km sebelumnya).
3
Sebagai salah satu sumber daya alam di kawasan pesisir, komunitas hutan
mangrove memiliki manfaat yang sangat luas ditinjau dari aspek ekologi, fisik,
ekonomi dan sosial. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi menangkap dan
mengumpulkan sedimen yang terbawa arus pasang surut dari daratan lewat aliran
sungai. Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin, juga
sebagai tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi,
reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya.
Terkait dengan hal di atas, pengelolaan hutan mangrove haruslah
didukung oleh faktor ekologis salah satu diantaranya kondisi sumber daya hayati
dalam hal ini biota pada ekosistem mangrove tersebut yakni kepiting serta faktor
lingkungan pendukung kehidupannya. Di sisi lain, kegiatan penelitian yang
mengkaji tentang tersebut di kawasan ini masih sangat kurang. Hasil penelitian ini
diharapkan menjadi data dasar (data base) untuk penelitian lanjut guna
perlindungan satwa dan lingkungan, dan menjadi masukan untuk perencanaan
wilayah dan pengembangan sumberdaya alam berbasis ekologi. Berdasarkan
beberapa uraian di atas dapat dilakukan penelitian tentang Komunitas dan Analisis
Biologi Kepiting Bakau di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan
Watulimo Kabupaten Trenggalek.
Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana tingkat status komunitas kepiting bakau dilihat dari aspek biologi dan
ekologi. Sehingga akan diketahui hasil terebaru status komunitas kepiting bakau
di Mangrove Cengkrong Kabupaten Trenggalek. Melalui penelitian ini juga akan
diketahui tingkat kesuburan kondisi Mangrove dengan bioindikator yang
digunakan kepiting bakau.
4
1.2. Rumusan Masalah
Adapun pendekatan permasalahan penelitian adalah sebagi berikut :
a. Kepiting bakau di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu
Watulimo menjadi salah satu jenis kepiting yang melimpah.
b. Kepiting Bakau di Mangrove Cengkrong masih belum ada
penelitian lanjutan tentang bagaimana habitat alaminya dan
penyebarannya.
c. Hasil penelitian ini bertujuan untuk menganalisis habitat serta aspek
biologis dari kepiting tersebut.
d. Informasi tentang bagaimana komunitas dan analisis bioekologinya
di Mangrove Cengkrong dapat menjadi acuan dalam pengelolaan
Kepiting Bakau di Mangrove Cengkrong dan komunitasnya agar
habitatnya tetap alami dan terjaga populasinya.
RUMUSAN MASALAH
Kepiting Bakau Bakau Mangrove Cengkrong Desa
Karanggandu Trenggalek
a
Habitat dan Aspek Biologi
Penyebaran dan keragaman Komunitas dan Analisis
Bioekologi Kepiting Bakau
b d
c
5
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis aspek biologi kepiting bakau yang meliputi nisbah kelamin,
tingkat kematangan gonad, fekunditas dan hubungan lebar karapas
dengan berat tubuh kepiting bakau.
2. Mengetahui struktur komunitas kepiting bakau di Kawasan Mangrove
Cengkrong Trenggalek.
3. Menganalisis habitat Kepiting bakau yang meliputi kualitas air serta sifat
fisika dan kimia tanah.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian
lebih lanjut yang berkaitan dengan konservasi komunitas kepiting bakau (Scylla
Spp.) dan sebagai informasi dan rujukan untuk menentukan kebijakan pengelolaan
sumberdaya kepiting bakau yang berkelanjutan khususnya di Mangrove
Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek.
1.5. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu
Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek pada bulan Mei sampai Juni 2017.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kepiting Bakau (Scylla spp.)
2.1.1 Klasifikasi
Kepiting Bakau (Scylla spp.) merupakan jenis kepiting hijau yang
dapat ditemukan di daerah mangrove (hutan bakau). Klasifikasi kepiting
bakau menurut Motoh (1977) adalah sebagai berikut :
Filum : Arthrophoda
Subfilum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Subkelas : Malacostraca
Tribe : Eumalacostraca
Supertribe : Eucarida
Ordo : Decaphoda
Subordo : Pleocyemata
Suku : Brachyura
Famili : Portunidae
Subfamili : Portuninae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata (Forsskal, 1775)
Scylla tranquebarica (Fabricius, 1798)
Scylla paramamosain (Estampador, 1949)
Scylla olivacea (Herbst, 1796)
Nama Inggris : Mud Crab / Mangrove Crab
7
2.1.2 Morfologi
Bentuk badan kepiting secara umum adalah badan yang pendek dengan
abdomen yang tereduksi. Badan yang pendek diakibatkan oleh fusi antara kepala
dan toraks membentuk cefalotoraks dan ditutupi oleh karapas. Sedangkan
abdomen tereduksi menjadi tipis, rata dan terlipat di bawah cefalotoraks, karena
itu kepiting dinamakan brachyura atau ekor pendek (Garth dan Abbott 1980).
Secara umum morfologis kepiting bakau dapat dikenali dengan ciri sebagai
berikut :
1. Seluruh tubuhnya tertutup oleh cangkang.
2. Terdapat 6 buah duri diantara sepasang mata, dan 9 duri disamping kiri dan
kanan mata.
3. Mempunyai sepasang capit, pada kepiting jantan dewasa Cheliped (kaki
yang bercapit) dapat mencapai ukuran 2 kali panjang karapas.
4. Mempunyai 3 pasang kaki jalan.
5. Mempunyai sepasang kaki renang dengan bentuk pipih.
6. Kepiting jantan mempunyai abdoment yang berbentuk agak lancip
menyerupai segi tiga sama kaki, sedangkan pada kepiting betina dewasa
agak membundar dan melebar.
7. Scylla serrata dapat dibedakan dengan jenis lainnya, karena mempunyai
ukuran paling besar sehingga di Philipina jenis ini disebut sebagai kepiting
raja (Fortest, 1999), disamping itu Scylla serrata mempunyai pertumbuhan
yang paling cepat dibanding ketiga spesies lainnya.
8. Panjang karapas ± 2/3 dari lebarnya, permukaan karapas sedikit licin kecuali
pada lekuk yang berganula halus didaerah brancial.
Menurut Moosa,et al. (1995), menegaskan bahwa ketiga spesies tersebut
jika dilihat secara sepintas tidak tampak perbedaannya, namun jika diamati lebih
teliti akan tampak dengan jelas perbedaannya pada Gambar 1.
8
1. Scylla serata, memiliki warna relatif sama dengan warna lumpur, yaitu coklat
kehitam-hitaman pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada
abdomennya. Pada propudus bagian atas tedapat sepasang duri yang runcing
dan 1 buah duri pada propudus bagian bawah. Selain itu habitat kepiting bakau
spesies ini sebagian besar di hutan-hutan bakau di perairan Indonesia.
Gambar 1. Jenis Kepiting Bakau yang Tergolong dalam Scylla spp (Foto;
Kenan, 1998)
2. Scylla transquebarica, memiliki warna hijau tua dengan kombinasi kuning
sampai orange pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada bagian
abdomennya. Pada propudus bagian atas terdapat sepasang duri, tetapi tidak
runcing dan 1 buah duri yang tumpul pada abdomen bagian bawah.
3. Scylla oceanica, spesies ini lebih didominasi dengan warna cokelat-tua dan
ukuran badannya jauh lebih besar dari pada spesies yang lain. Dengan capit
yang lebih panjang, maka spesies ini lebih cepat memburu makanan. Namun
harga spesies ini lebih rendah dibandingkan dengan spesies lain, sehingga
petani tidak suka membudidayakannya. Kepiting ini biasa ditemukan di Perairan
Afrika dan Laut Merah.
9
2.1.3 Siklus Hidup dan Proses Reproduksi
Menurut Amir (1994) proses perkawinan kepiting tidak seperti pada udang
yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap). Dari hasil pengamatan di
lapangan, ternyata kepiting bakau juga melakukan perkawinan pada siang hari.
Proses perkawinan dimulai dengan induk jantan mendatangi induk betina akan
dipeluk dengan menggunakan kedua capitnya yang besar. Induk kepiting jantan
kemudian menaiki karapas induk kepiting betina, posisi kepiting betina dibalikkan
oleh yang jantan sehingga posisinya berhadapan, maka proses kopulasi akan
segera berlangsung.
Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan
pantai ke laut, kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara
sungai, atau berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, atau
membesarkan diri.
Kepiting bakau yang telah siap melakukan pekawinan akan memasuki
hutan bakau dan tambak. Setelah perkawinan berlangsung kepiting betina secara
perlahan-perlahan akan beruaya di perairan bakau, tambak, ke tepi pantai, dan
selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah
melakukan perkawinan atau telah dewasa berada diperairan bakau, tambak, di
sela-sela bakau, atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-
bagian yang berlumpur, dan ketersediaan pakan yang berlimpah (Kasry. 1996).
Menurut Boer (1993) kepiting bakau yang telah beruaya ke perairan laut
akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan
pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut . setelah telur menetas,
maka masuk pada stadia larva, dimulai pada zoea 1 (satu) yang terus menerus
berganti kulit sebanyak 5 (lima) kali, sambil terbawa arus ke perairan pantai sampai
pada zoea 5 (lima). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi
10
masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini, kepiting
mulai beruaya pada dasar perairan lempung menuju perairan pantai. Kemudian
pada saat dewasa kepiting berupaya ke perairan berhutan bakau untuk kembali
melangsungkan perkawinan.
2.1.4 Habitat dan Penyebaran
Menurut Gufron dan Kordi (2000), kepiting banyak ditemukan di daerah
hutan bakau, sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kepiting bakau
(mangove crab), jenis ini yang paling populer sebagai bahan makanan dan
memiliki harga jual yang sangat tinggi. Jenis lain yang banyak dijumpai adalah
rajungan.
Berbagai jenis krustasea hidup di mangrove menggali tanah sampai
permukaan air sebagai adaptasi terhadap pasang surut perairan dan juga
terhadap predator. Jenis-jenis Portunidae seperti S. serrata dapat menggali lubang
hingga 5 meter keluar dari sisi tebing sungai masuk ke mangrove. Lubang yang
digali bervariasi fungsinya, bergantung pada spesiesnya, yaitu sebagai tempat
menghindar dari predator, tempat menampung air, sumber bahan pakan organik,
sebagai rumah atau daerah teritorial dalam berpasangan dan kawin, tempat
pertahanan, dan tempat mengerami telur atau anaknya. Kepiting bakau dewasa
merupakan salah satu dari biota yang hidup pada kisaran kadar garam yang luas
(euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri (adaptasi) yang
cukup tinggi. Kepiting bakau juga memiliki kemampuan untuk bergerak dan
beradaptasi pada daerah teresterial serta pada tambak yang cukup tersedia pakan
bagi kelangsungan hidupnya (Wijaya, 2011).
11
Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang sangat luas, meliputi
pantai timur Afrika, India, Srilangka, Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, China,
Taiwan, Jepang, Papua Nugini, Australia, dan pulau pulau di utara Selandia Baru
(Asmara 2004). Menurut Sulistiono, et al. (1994) dalam Asmara (2004), kepiting
bakau ditemukan di perairan payau dan tertangkap di sebagian besar wilayah
pesisir Indonesia, yakni di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku
dan Irian Jaya. Sebaran geografis kepiting bakau pada Gambar 2.
Gambar 2. Sebaran Geografis Kepiting Bakau (Moosa, et al. 1985 dalam Retnowati, 1991).
Menurut Watanabe, et al. (2000), pada peraiaran hutan mengove banyak
ditemukan kepiting bakau jenis Scylla serrata, Scylla oceanica dan Scylla
tranquebarica. Secara umum jenis kepiting ini mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Lebih lanjut dikatakan ketiga jenis kepiting tersebut juga mendominasi pada areal
rawa mangove dan area persemaian mangove. Hal yang sama juga dikemukakan
oleh Tanod, et al.(2001), hasil penelitian yang dilakukan di Segara Anakan Cilacap
pada bulan Nopember 1999 – Mei 2000, jenis kepiting yang banyak ditemukan
adalah Scylla serrata, Scylla oceanica dan Scylla tranquebarica.
12
2.1.5 Kebiasaan Makan
Makanan kepiting dewasa dapat berupa sisa jasad makhluk hidup
(bangkai), ikan, udang dan kerang. Saat stadia larva makanan kepiting bakau
adalah plankton. Wilayah mangrove yang subur menyediakan banyak sumber
makanan bagi kepiting bakau. Perairan sekitar hutan mangrove sangat cocok
untuk kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya seperti benthos dan
serasah cukup tersedia (Triyanto, 2016).
Menurut Kasry (1996) dalam Siahainenia (2008), capit (chela) kepiting
bakau yang besar dan kuat memungkinkannya untuk menyerang musuh, atau
merobek-robek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut akan dibawa
ke mulut dengan bantuan kedua capitnya.Waktu makan kepiting bakau tidak
teratur, tetapi umumnya lebih aktif di malam hari daripada di siang hari. Sehingga
kepiting bakau tergolong sebagai hewan nokturnal. Dalam mencari makanan,
kepiting cenderung menyerang jika daerah kekuasaanya terganggu.
Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segalanya (omnivorous-
scavenger), bahkan bangunan bambu dan kayu yang ada ditambak mampu
dirusak dengan capitnya. Pakan yang sudah dicabik dengan capitnya akan
dimasukan kedalam mulutnya. Kepiting yang masih larva menyukai pakan berupa
kutu air, Artemia, Tetraselmis, Chlorella, Rotifera, Larva Echinodermata, Larva
Molusca, Cacing, dll (Afrianto dan Liviawati, 1992).
2.2. Aspek Biologi
2.2.1. Pertumbuhan
Secara fisiologis, pertumbuhan dan proses moulting kepiting bakau
dipengaruhi oleh faktor fisiologis baik secara langsung dan tak langsung.
Pengaruh langsung dilakukan dengan pemberian hormon (Bliss, 1983). Kontrol
hormon pada kepiting dipengaruhi oleh adanya hormon penghambat di antaranya
13
hormon penghambat metobolisme, hormon penghambat moulting (MIH) dan
hormon penghambat perkembangan gonad (GIH) (Carlisle, 1953). Sedangkan
cara fisiologi tak langsung dilakukan dengan metode autotomi atau ablasi (Kanna,
2000).
Menurut Shelley dan Lovatelli (2011), kepiting bakau dapat mencapai
ukuran lebar karapas 24 cm, namun umumnya mencapai 15–20cm. Pertumbuhan
kepiting bakau tergantung dari proses moulting (ganti kulit). Pertumbuhan anakan
kepiting bakau untuk mencapai ukuran lebar karapas 150 mm dapat mengalami
moulting sebanyak 15 kali. Selama masa pertumbuhan, kepiting menjadi dewasa
akan mengalami pergantian kulit antara 17 – 20 kali tergantung dengan kondisi
lingkungan dan pakan yang mempengaruhi pertumbuhannya. Proses moulting dari
zoea berlangsung relatif cepat yaitu sekitar 3 – 5 hari, sedangkan pada fase
megalopa, proses dan interval pergantian kulit berlangsung lama yaitu 17 – 26 hari.
Begitu juga pada fase megalopa dan lama instar sebagai megalopa adalah 7 – 12
hari. Setiap pergantian kulit, tubuh kepiting akan bertambah besar sekitar 1/3 kali
dari sebelumnya dan panjang karapas meningkat 5 – 10 mm pada kepiting dewasa
(sekitar dua kali dari ukuran semula), kepiting dewasa umur 12 bulan mempunyai
lebar karapas 170 mm dan berat sekitar 200 gram/ekor (Kordi, 1997).
2.2.2. Nisbah Kelamin
Menurut Pulungan (2015), nisbah kelamin merupakan perbandingan dalam
jumlah antara jantan dan betina di dalam populasi. Pemahaman nisbah kelamin
pada ikan di bulan dan musim yang berbeda adalah sangat penting untuk
mendapatkan informasi tentang perbedaan jenis kelamin secara musiman dan
kelimpahan relatipnya di musim pemijahan.
Menurut Tongdee, (1999); Potter and de Lestang, (2000); Aslan, et al,
(2003) dalam Hermanto (2004) kepiting bakau betina pada saat-saat tertentu
14
sebelum memijah tidak menetap di perairan atau muara-muara sungai seperti
kepiting bakau jantan, sehingga kalaupun tertangkap kemungkinan jumlahnya
tidak sebanyak kepiting bakau jantan. Sedangkan menurut Hill (1982) dalam
Tanod (2000) keadaan nisbah kelamin dari kepiting bakau (Scylla serrata) berubah
menurut musim, tempat, dan ukuran kepiting.
2.2.3. Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) adalah tahap perkembangan gonad
sejak awal hingga selesai memijah. Penentuan TKG dapat dilihat secara morfologi
dan histologi. Penentuan secara morfologi dapat dilihat dari bentuk, panjang,
berat, warna serta perkembangan isi gonad, sedangkan secara histologi dapat
dilihat dari anatomi perkembangan gonadnya (Effendi, 1997).
Tingkat kematangan gonad adalah suatu tingkatan yang menggambarkan
kemampuan bereproduksi hewan air termasuk kepiting. Perkembangan gonad
adalah proses pematangan sperma pada kepiting bakau jantan dan sel telur pada
kepiting bakau betina yang dapat ditandai oleh perubahan morfologi tubuh kepiting
bakau, perubahan morfologi gonad dan perubahan struktur jaringan gonad.
Tingkat kematangan gonad pada Tabel 1 adalah tahap perkembangan gonad yang
dimulai sejak awal pembentukan gonad hingga disalurkan/dikeluarkan.
Pada tingkat dewasa kepiting bakau masih mengalami perbesaran tubuh.
Karapas juga bertambah lebar sekitar 5 - 10 mm. Pada kondisi lingkungan yang
memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3 - 4 tahun.
Sementara itu, pada umur 12 - 14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan
dapat dipijahkan. Sekali memijah, kepiting mampu menghasilkan jutaan telur
2.000.000 - 8.000.000 telur, tergantung dari ukuran dan umur kepiting betina yang
memijah (Kasry, 1996 dalam Wijaya, 2011).
15
2.3. Aspek Ekologi Lingkungan Kepiting Bakau
Kualitas lingkungan adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi
keberadaan dan pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau hanya akan
menempati bagian – bagian perairan yang memiliki kondisi kualitas lingkungan
yang mampu ditolerir olehnya. Karakterisitik kualitas lingkungan yang menjadi
habitat kepiting bakau perlu diketahui untuk mengetahui habitat alami kepiting
bakau itu sendiri, bila kondisi ekologi mendukung kepiting bakau dapat hidup
mencapai umur 3 – 4 tahun. Karakter tingkat kematangan gonad dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Karakter tingkat kematangan gonad kepiting bakau (Scylla spp.) betina menurut John dan Sivadas (1978; 1979).
TKG Klasifikasi Struktur morfologis menurut
John dan Sivadas (1978) Struktur histologist menurut John dan Sivadas (1979)
I Belum Matang
Ovarium berbentuk sepasang filament yang mengarah ke punggung
berwarna kuning keputihan, seluruhnya ditutupi selaput
peritoneum yang tipis.
Epitel folikel yang menutupi sel telur tidak begitu jelas,
sitoplasma Nampak berwarna agak lemah mengelilingi inti yang
nampak padat, bundar dan berwarna gelap.
II Menjelang
Matang
Ukuran ovarium bertambah dan meluas baik kearah lateral maupun antero-
posterior, hampir memenuhi bagian punggung, warna
menjadi kuning keemasan.
Butir-butir kuning telur kecil mulai muncul. Butir-butir kuning telur yang lebh
besar terlihat terdapat pada bagian tepi dibandingkan
dengan pada bagian pusat sel telur.
III Matang
Ovarium penuh dengan sel-sel telur matang berwarna
orange terang. Bila karapas dibuka, ternyata seluruh
dada hanya berisi ovarium.
Butir-butir kuning telur berwarna gelap terlihat
pada seluruh sitoplasma. Perbedaan yang paling
jelas pada fase ini adalah deposisi kunng telur secara
total dalam sel telur.
IV Salin
Ovarium menciut menjadi sepasang filamen berwarna
orange pucat. Pada beberapa bagian filamen masih berisi telur matang tidak dikeluarkan sewaktu
pemijahan.
Kondisi sel telur nampak seperti pada betina dengan
ovarium yang belum matang.
16
2.3.1. Substrat
Fraksi substrat di sekitar hutan mangrove umumnya terdiri atas lempung
dan liat. Hal ini dimungkinkan karena partikel lempung dan liat dapat mengendap
cepat akibar gerakan air di sekitarnya yang relatif tenang dan terlindung (Clough,
et al. 1983). Substrat di hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting
bakau terutama untuk melangsungkan perkawinan. Menurut Snedaker dan Getter
(1985), habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal (dekat hutan mangrove)
yang bersubstrat lempung. Substrat di dalam dan di sekitar hutan mangrove yang
didominasi oleh kandungan lempung mengandung banyak bahan organik yang
berasal dari serasah mangrove, yang terurai membentuk partikel detitrus yang
kemudian akan mengendap pada substrat (Robertson, 1988).
2.3.2. Tekstur Tanah
Menurut Harahap, et al. (2014), tekstur tanah adalah proporsi relatif dari
partikel pasir, debu, dan liat (jumlahnya 100%). Proporsi tersebut dikelompokkan
dalam kelas tekstur. Komponen tanah yang ideal adalah: Bahan padat (50%) -
bahan mineral (45%) - bahan organik (5%) • Ruang antar bahan padat (50%) –air
(25%) - udara (25%) Semua makhluk hidup, baik manusia, hewan dan tumbuhan
tumbuh dan berkembang di atas tanah. Tanah merupakan suatu hal yang sangat
penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup.
Tekstur tanah ialah perbandingan relatif (dalam persen) fraksi-fraksi pasir,
debu dan liat. Tekstur tanah penting diketahui karena dari komposisi ketiga fraksi
butir-butir tanah tersebut akan menentukan sifat-sifat fisika dan kimia tanah
(Hakim, 1986). Menurut Kohnke (1980) dalam Indah, et al. (2008), tekstur tanah
dibagi menjadi 12 kelas, pada Tabel 2.
17
2.3.3. Derajat Keasaman (pH) Tanah
pH tanah merupakan suatu ukuran intensitas keasaman, bukan ukuran
total asam yang ada di tanah tersebut. Pada tanah-tanah tertentu, seperti tanah
liat berat, gambut yang mampu menahan perubahan pH atau keasaman yang lebih
besar dibandingkan dengan tanah berpasir (Mukhlis, 2007).
Derajat keasaman (pH) tanah penting dalam ekologi hewan tanah karena
kepadatan dan keberadaan hewan tanah sangat tergantung pada pH. Hewan
tanah ada yang memilih hidup pada tanah dengan pH rendah dan ada pula yang
meilih hidup pada pH tinggi. Fluktuasi pH tanah dapat disebabkan oleh variasi
komposisi vegetasi tegakan juga kandungan bahan organik (Peritika, 2010).
Tabel 2. Kelas tekstur tanah
2.3.4. Bahan Organik Tanah
Bahan organik pada tanah hutan merupakan komponen penting ditinjau
dari siklus hara, siklus hidrologi, produktivitas hutan, dan neraca karbon global.
Secara global, tanah mengandung cadangan karbon lebih besar daripada
kawasan daratan lainnya dan bahan organik pada tanah hutan merupakan
ekosistem yang sangat dinamis (Jobággy dan Jackson 2000). Kandungan bahan
No. Kelas Tekstur Tanah Proporsi (%) Fraksi Tanah
Pasir Debu Liat
1. Pasir (Sandy) > 85 < 15 < 10
2. Pasir berlempung (Loam Sandy) 70-90 < 30 < 15
3. Lempung berpasir (Sandy Loam) 40-87,5 < 50 < 20
4. Lempung (Loam) 22,5-52-5 3- -50 10-30
5. Lempung liat berpasir (Sandy-clay loam)
45-80 < 30 20-37,5
6. Lempung liat berdebu (Sandy-silt loam)
< 20 40-70 27,5-40
7. Lempung berliat (Clay loam) 20-45 15-52,5 27,5-40
8. Lempung berdebu (Silty Loam) < 47,5 50-87,5 < 27,5
9. Debu (Silt) < 20 > 80 < 12,5
10. Liat berpasir (Sandy Clay) 45-62,5 < 20 37,5-57,5
11. Liat berdebu (Silty-clay) < 20 40 -60 40-60
12. Liat (Clay) < 45 < 40 > 40
18
organik tanah dapat berubah sebagai akibat proses alami seperti suksesi dan
akumulasi biomassa dan adanya faktor antropogenik, seperti konversi spesies
penutup lahan (Sabaruddin et al., 2001)
Beberapa mikroorganisme yang berperan dalam dekomposisi bahan
organik adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Disamping mikroorganime tanah,
fauna tanah juga berperan dalam dekomposisi bahan organik antara lain tergolong
dalam protozoa, nematode, collembolan dan cacing tanah. Fauna tanah ini
berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan unsur hara,
bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah (Tian, G
1997 dalam Atmojo, 2003).
Bahan organik pada Gambar 3, merupakan sumber energi bagi mikro dan
makro fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan
aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang
berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.
Gambar 3. Siklus Rantai Makanan di Ekosistem Mangrove (Google Image, 2017)
19
Rantai makanan yang terjadi pada ekosistem mangrove adalah rantai
makanan detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun
mangrove yang jatuh ke perairan oleh bakteri dan fungi. Hancuran bahan organik
ini kemudian menjadi bahan makanan bagi cacing, crustacea, moluska dan hewan
lainnya (Muhammad, et al. 2013). Kandungan bahan organik dari daun mangrove
yang terdekomposisi oleh bakteri sangat mendukung bagi makanan organisme
tertentu seperti gastropoda. Gastropoda diketahui sebagai makanan alami kepiting
bakau (Opnai, 1986 dalam Tahmid, 2016).
20
3. METODE PENELITIAN
3.1. Materi Penelitian
Materi yang digunakan pada peneitian ini dibagi menjadi dua yaitu
komunitas dan beberapa aspek bioekologi kepiting bakau (Scylla spp.) di
Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo Kabupaten
Trenggalek. Materi yang digunakan dalam komunitas meliputi kepadatan kepiting
bakau dan keanekaragaman kepiting bakau. Aspek ekologi yang diamati yaitu
kualitas air meliputi suhu, pH, salinitas, kedalaman dan substrat tanah meliputi
bahan organik, pH tanah dan tekstur tanah. Sedangkan aspek biologi yang diamati
yaitu nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), fekunditas, dan hubungan
lebar karapas dengan bobot individu.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei 2017 dan lokasi penelitian di
daerah Ekowisata Mangrove Cengkrong, Kec. Trenggalek, Kab. Trenggalek.
Lokasi pengambilan sampel dibagi menjadi beberapa stasiun dan dibantu oleh
nelayan menggunakan alat tangkap bubu. Pengambilan sampel tanah
menyesuaikan dengan wilayah/stasiun pengambilan kepiting. Pengambilan data
tersebut dilakukan dengan cara ikut serta dalam kegiatan penangkapan.
3.3. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi parameter
komunitas, aspek bioekologi kepiting bakau. Aspek biologi kepiting bakau
meliputilebar karapas, berat, tingkat kematangan gonad, nisbah kelamin,
fekunditas, sedangkan aspek ekologi kepiting bakau meliputi pH tanah, tekstur
21
tanah dan bahan organik tanah. Alat dan bahan yang digunakan pada Lampiran
1.
3.4. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
survei. Metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh
fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan
secara faktual. Teknik pengambilan data yang digunakan yaitu teknik deskriptif.
Menurut Aditya (2009), metode deskriptif adalah kegiatan penelitian dengan tujuan
utama untuk memberikan gambaran atau deskripsi tentang suatu kedaaan secara
objektif.
Sumber data yang digunakan dikelompokkan menjadi dua macam yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau
yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer disebut juga data asli atau
data baru (Qomarudin, 2012). Data ini diperoleh secara langsung dengan
melakukan pengamatan dan pencatatan berdasarkan hasil observasi, wawancara
dan dokumentasi. Sedangkan Data sekunder adalah data yang diperoleh dari
dokumen/ publikasi/ laporan penelitian dari dinas, instansi atau sumber data
lainnya yang menunjang (Darmawan, 2013). Data sekunder diperoleh dari buku,
jurnal dan media internet yang berhubungan dengan penelitian ini. Data sekunder
meliputi keadaan umum lokasi penelitian dan letak geografis.
3.5. Penentuan Lokasi Pengambilan Data Jumlah Sampel Kepiting Bakau
Pengambilan data dilakukan berdasarkan pada lokasi penangkapan
kepiting bakau yang dilakukan di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu
Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. Penentuan titik sampling dilakukan
dengan “Random Purposive Sampling” dengan menentukan 3 stasiun utama dan
22
6 titik sampling setiap stasiunnya dengan dibantu menggunakan alat bantu Global
Posting System (GPS) untuk penentuan titik kordinatnya. Peta lokasi pengambilan
sampel disajikan pada Lampiran 2. Sampel kepiting bakau yang diambil berasal
dari tangkapan di masing-masing stasiun. Pengambilan sampel kepiting bakau
dilakukan setiap hari selama 1 minggu.
3.6. Prosedur Pengambilan Sampel
3.6.1. Kepiting Bakau
Pemasangan transek kuadrat diletakkan di setiap stasiun sampling secara
acak dan dihitung jumlah kepiting bakau. Jumlah seluruh transek yang digunakan
pada tiga stasiun pengamatan adalah 18. Lokasi penempatan transek ditentukan
dengan menelusuri daerah stasiun pengamatan yang dinaungi tumbuhan
mangrove dan muara sungai. Sampling kepiting bakau dilakukan dengan
menggunakan transek kuadrat yang berukuran 1x1 m2 dan alat penangkapan
menggunakan bubu serta umpan ikan sebagai alat pancingnya. Pengabilan
sampel dengan cara memasang transek 1x1 m2 dengan meletakkan satu bubu ke
dalam satu transek kemudian diambil setelah 3 – 4 jam kemudain. Penggunaan
transek 1x1 m2 bertujuan agar sampel yang ditangkap dapat merata dalam satu
lokasi stasiun.
Setiap jenis kepiting bakau diambil perwakilannya yaitu satu individu untuk
dapat diidentifikasi. Setiap kepiting bakau yang keluar di permukaan maupun yang
tertangkap oleh bubu dihitung menggunakan handtally counter, setelah selesai
dihitung lalu difoto dan dan diambil kepiting bakau. Cara pengambilan sampel
kepiting bakau adalah dengan menunggu di sekitar liangnya sampai kepiting
bakau keluar dari liang tempat habitatnya, karena sifat kepiting bakau yang selalu
kembali ke dalam liang ketika ada gangguan dari luar.
23
3.7. Analisis Aspek Biologi Kepiting Bakau
3.7.1. Pengukuran Lebar Karapas dan Bobot Individu
Kepiting bakau yang tertangkap diukur lebar total karapasnya
menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0.05 mm. Pengukuran panjang
total dimulai dari ujung duri karapas sebelah kanan hingga ujung duri karapas
sebelah kiri (Gambar 4). Sedangkan berat kepiting bakau ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.01 gram.
Gambar 4. Pengukuran lebar karapas (Google Images, 2015).
Gambar 5. Morfologi Kepiting Bakau (WWF, 2015)
24
3.7.2. Nisbah Kelamin
Pengamatan nisbah kelamin kepiting bakau dilakukan dengan melihat ciri
morfologinya yaitu bentuk abdomen kepiting bakau jantan dan kepiting bakau
betina seperti pada Gambar 6 dibawah.
Gambar 6. Perbedaan Kepiting jantan (B) dan Betina (A)
3.7.3. Tingkat Kematangan Gonad
Pengamatan tingkat kematangan gonad kepiting bakau dilakukan dengan
cara membuka karapas pada sampel kepiting, kemudian ditentukan tingkat
kematangan gonad kepiting bakau dengan melihat ciri morfologinya yaitu
berdasarkan bentuk, ukuran panjang, warna dan perkembangan gonad yang
diamati secara visual. Klasifikasi tingkat kematangan gonad jantan dan betina
dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
25
Tabel 3. Tingkat kematangan testis kepiting bakau (Castiglioni dan Fransozo, 2006 dalam Siahainenia, 2008)
TKG Klasifikasi Gambar Visual Testis
(Siahainenia, 2008) Ciri morfologi testis
I Belum Matang
Testis mulai Nampak terlihat berbentuk filament kecil dan tidak bewarna (transparan)
II Menjelang
Matang
Testis kecil, Nampak terlihat agak bergelung seperti
kumparan. Terlihat bewarna putih buram
III Matang
Sempurna
Testis semakin besar dengan gelungan yang semakin
banyak. Berwarna putih susu
IV Salin
Testis kembali berbentuk filamen, tipisd dan lembut
serta tidak bewarna (transparan)
26
Tabel 4. Tingkat kematangan ovarium kepiting bakau (John & Sivadas 1974 dalam Siahainenia, 2008)
TKG Klasifikasi Gambar Visual Ovarium
(Siahainenia, 2008) Ciri Morfologi Ovarium
I Belum Matang
Abdomen belum Nampak perbedaan dengan kepiting yang tidak bertelur. Pigmentasi pada tutup abdomen mulai nampak. Tubuh terlihat tipis bila diintip melalui celah karapas Nampak
ovarium berupa titik bewarna putih atau krem. Ovarium berbentuk filament tipis bewarna putih gading atau krem. Masih terlihat sebagian besar masa hepatopankreas.
II Menjelang
Matang
Karapas nampak mulai melebar dan mengembung, muncul pigmentasi kuat pada ujung atas thorachicsternum mauppun tutup abdomen. Tutup abdomen juga mulai melebar. Bagian
belakang bawah tubuh terlihat mulai tebal. Bila di intip melalui celah karapas nampak sebagian masa ovarium bewarna kuning tua sampai orange. Ovarium berwarna kuning tua
sampai orange muda. Ukuran ovarium nampak membesar perbandingan dengan hepatopankreas kira kira 1:5. Butiran telur belum terlihat jelas
III Menjelang
Matang
Karapas semakin melebar dan karapas nampak cembung. Tutup abdomen semakin melengkung dan bila abdomen ditekan terasa sangat keras danterlihat sangat padat. Bagian belakang bawah tubuh nampak terlihat tebal. Bila diintip melalui celah karapas maka terlihat hamper sebagian besar masa ovarium yang bewarna orange. Ukuran ovarium bertambah
hampr memenuhi seluruh rongga punggung. Perbandingan dengan hepatopankreas kira-kira 1:2. Butiran telur sudah terlihat tapi masih tampak menyatu bila ovarium disentuh terasa licin
dan berminyak.
IV Matang
Karapas semakin lebar dan tubuh nampak cembung dan tinggi. Abdomen semakin melengkung dan bila abdomen ditekan terasa sangat keras dan terlihat sangat padat. Bagian
belakng bawah tubuh sangat tebal bila diintip melalui celah karapas maka terlihat masa ovarium yang berwarna orange kemerahan menutupi seluruh bagian tersebut. Ovarium
berwarna orange kemerah merahan. Ukuran ovarium sangat besar dan memnuhi rongga punggung. Hepatopankreas tidak terlihat sama sekalikarena tertutup masa ovarium. Butiran
telur nampak jelas dan mudah dipisahkan. Bila ovarium disentuh terasa kasar karena terlepasnya butiran telur.
V Salin
Bentuk karapas masih seperti pada TKG IV tapi bila bagian punggung dan abdomen ditekan teras berongga. Bagian belakang bawah tubuh masih terlihat tebal bila diintip melalui celah
karapas, hanya nampak bagian kecil masa telur bewarna orange kemerahan. Ovarium kembali berbentuk tipis dan lembut, transparan sampai bewarna oranye kemerahan.
Perbandingan dengan hepatopankreas kira-kira 1:5
26
27
3.7.4. Fekunditas
Penghitungan fekunditas dilakukan dengan mengambil gonad kepiting
bakau yang sudah mencapai TKG IV, dalam hal ini butiran telur sudah terlihat jelas.
Cara menghitung fekunditas dilakukan dengan menggunakan metode volumetrik.
Wadah yang digunakan adalah gelas ukur 50 ml yang berisi air. Sampel gonad
yang diperiksa adalah 1 ml dan selanjutnya dihitung jumlah telur yang ada pada 1
ml tadi. Nilai fekunditas dapat diukur dengan membandingkan volume telur
seluruhnya dengan volume sampel telur dan dikalikan dengan jumlah telur yang
ada pada sampel.
3.8 Karakteristik Lingkungan Kepiting Bakau
Kualitas lingkungan adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi
keberadaan dan pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau hanya akan
menempati bagian – bagian perairan yang memiliki kondisi kualitas lingkungan
yang mampu ditolerir olehnya. Karakterisitik kualitas lingkungan yang menjadi
habitat kepiting bakau perlu diketahui untuk mengetahui habitat alami kepiting
bakau itu sendiri.
3.8.1 Suhu Perairan
Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan organisme
air. Menurut Fuad (2005) dalam Sagala, et al. (2013), suhu mempunyai peran
dalam kehidupan kepiting atau organisme akuatik lain, peran tersebut antara lain
adalah respirasi, kestabilan konsumsi pakan, metabolisme, pertumbuhan, tingkah
laku, reproduksi dan bioakumulasi serta mempertahankan kehidupan. Hampir
semua organisme sangat peka terhadap perubahan suhu lingkungan yang terjadi
secara drastis, perubahan suhu lingkungan sebesar 5oC secara tiba-tiba dapat
menimbulkan stress atau bahkan kematian pada beberapa jenis organisme (Kordi,
1997).
28
Suhu air mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan
aktivitas hewan-hewan yang dipelihara. Tingkat reaksi biologi kimia akan menjadi
dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10oC. Ini berarti bahwa
organisme air akan menggunakan oksigen terlarut sebanyak dua kali lipat dan
reaksi kimia juga akan meningkat dua kali lipat pada suhu 30oC apabila
dibandingkan dengan suhu 20oC (Chairunnisa, 2004). Menurut Mulya (2000)
kepiting bakau dapat bertoleransi hidup pada perairan yang mempunyai kisaran
suhu 12 – 35oC dan tumbuh dengan cepat pada perairan yang mempunyai kisaran
suhu 23 – 32oC. Kepiting bakau dapat tumbuh secara optimal pada kisaran suhu
20 – 42oC.
3.8.2 Salinitas
Menurut Sara (1994), salinitas perairan diduga mempengaruhi struktur dan
fungsi organ organisme perairan, melalui perubahan tekanan osmotik, proporsi
relative bahan pelarut, koefisien absorbsi dan kejenuhan kelarutan, perubahan
penyerapan sinar, pengantaran suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan
mengubah komposisi spesies pada situasi ekologis saat itu. Tiap fase dari siklus
hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salinitas yang berbeda (Clark, 1974).
Menurut Hill, et al. (1989), salinitas perairan berpengaruh terhadap tiap
fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat pergantian kulit. Secara umum
kisaran salinitas yang dapat ditolelir oleh kepiting bakau cukup luas. Menurut Kasry
(1996), kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15
ppt sampai lebih besar dari 30 ppt. Di Queensland, kepiting bakau dapat hidup
pada kisaran salinitas 2 – 50 ppt, walaupun belum diketahui pengaruh nilai salinitas
tersebut terhadap pertumbuhannya (Queensland Department of Primary Industry,
1989 dalam Siahainenia, 2008). Menurut Susanto (2007) dalam Habibi, et al.
(2013) Salinitas yang optimal untuk kehidupan kepiting bakau berkisar 10 - 32 ppt.
29
3.8.3 Kedalaman Air
Kedalaman air dipengaruhi salah satunya oleh peristiwa pasang surut.
Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi
perkawinan. Walau demikian, kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang
dangkal (Siahainenia, 2008). Menurut Wahyuni dan Ismail (1987) dalam
Siahainenia (2008), kepiting bakau dijumpai pada kedalaman 30 - 79 cm di
perairan dekat hutan mangrove dan 30 - 125 cm di muara sungai.
3.8.4 pH Perairan
Peningkatan CO2 di dalam air akan mengakibatkan menurunnya pH
perairan. Meningkatnya pH dapat menyebabkan daya racun ammonia meningkat,
sebaliknya dengan bertambahnya kandungan CO2 bebas,pH air akan menurun
sehingga pengaruhnya terhadap daya racun ammonia akan menurun. Kisaran pH
yang optimal bagi perikanan termasuk crustacean adalah 5 – 9 (Kordi, 1997).
Perairan yang mempunyai substrat lempung cenderung mempunyai pH
asam, sedangkan perairan yang substratnya banyak mengandung kalsium dalam
bentuk CaCO3 bersifat basa (Clough, et al. 1983) Dari hasil penelitian Sudiarta
(1988) dalam Siahainenia (2008), kisaran pH antara 7,9 - 8,3 dapat mendukung
kehidupan kepiting bakau yang dipelihara.
3.9 Prosedur Pengambilan Sampel Substrat
Sampel substrat tanah di ambil dari tiga lokasi stasiun penelitian, dengan
menentukan titik-titik pengambilan sampelnya. Pada setiap lokasi stasiun
ditentukan satu titik pengambilan sampel substrat sesuai dengan daerah tata letak
transek. Jumlah sampel substrat yang diambil dari tiga lokasi stasiun adalah tiga
sampel. Sampel substrat diambil dengan menggunakan cetok, dengan cara
menggali liang tanah sedalam ± 10 cm. Sampel substrat yang telah diambil
dimasukkan ke dalam plastik bening dan ditandai dengan label, lalu diikat. Sampel
30
substrat yang telah diberi nama dibawa ke Laboratorium Kimia Universitas
Muhammadiyah Malang untuk di analisa pH tanah, tekstur tanah dan bahan
organik tanah.
3.10 Analisis Data Komunitas Kepiting Bakau
3.10.1 Kepadatan Kepiting Bakau
Kepadatan kepiting dihitung berdasarkan banyaknya spesies kepiting
bakau yang didapatkan. Menurut Taqwa (2010), rumus kepadatan kepiting bakau
adalah sebagai berikut :
D = Ni
A
keterangan :
D = kepadatan I (individu/m2) Ni = total individu jenis ke-1 yang ditemukan A = luas total pengambilan contoh pada transek ke-I (m2)
3.10.2 Indeks Keanekaragaman Kepiting
Menurut Barus (2004) indeks keanekaragaman kepiting dihitung
menggunakan rumus Shannon-Wiener yaitu :
keterangan:
H = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = proporsi jumlah individu spesies ke-I (ni) terhadap total individu (N) : (n/N)
Dengan kriteria hasil keanekaragaman (H’) adalah sebagai berikut:
H’ < 1 = Kenakeragaman rendah artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitas rendah.
1 < H’ < 3 = Keanekaragaman sedang artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitas sedang
H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi artinya penyebaran individu tiap spesies dan kestabilan komunitas tinggi.
H’ = - (ni/N) In (ni/N)
31
3.11.3 Indeks Dominasi Kepiting Bakau
Hasil perhitungan Indeks dominasi digunakan sebagai jawaban untuk
mengetahui spesies kepiting bakau mana yang mendominasi di setiap stasiun
dengan kondisi substrat yang berbeda.
Indeks dominasi kepiting dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Odum, 1993) :
D = ∑(pi)2 = ∑ (Ni) 2
N
keterangan:
D = indeks dominasi simpson
Pi = proporsi spesies ke-I dalam komunitas
Ni = jumlah individu spesies ke-i
N = jumlah total individu
3.11 Analisis Data Aspek Biologi
3.11.1 Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Individu
Menurut Asmara (2004) untuk melihat bagaimana hubungan lebar kaparas
dengan berat tubuh, maka perlu dicari hubungan antara lebar karapas dengan
berat tubuh menggunakan pendekatan regresi linier. Untuk menduga laju
pertumbuhan, kedua parameter yang diamati dapat dilihat dari nilai b yang dapat
dihitung dengan rumus di bawah ini.
Keterangan :
N = Jumlah kepiting jantan atau betina L = Lebar Karapas (mm) W = Berat tubuh (gram)
Log a = (Log W/N) – b x (Log L/N)
32
Menurut Effendie (1997), korelasi hubungan lebar karapas dengan berat
tubuh dapat dilihat dari nilai konstanta b yaitu dengan hipotesis :
1. Bila b = 3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan lebar karapas
sama dengan pola pertumbuhan berat).
2. Bila b ≠3, dikatakan memiliki hubungan allometrik , yaitu :
a. Bila b < 3, allometrik negatif (pola pertumbuhan lebar karapas lebih
dominan dari pola pertumbuhan berat tubuh).
b. Bila b > 3, allometrik positif (pola pertumbuhan berat tubuh lebih
dominan dari pola pertumbuhan lebar karapas).
3.11.2 Nisbah Kelamin
Menurut Zahid dan Charles (2009), nisbah kelamin kepiting bakau dihitung
dengan cara membandingkan jumlah kepiting bakau jantan dan jumlah kepiting
bakau betina sebagai berikut :
Keterangan :
X = nisbah kelamin J = jumlah kepiting bakau berkelamin jantan (ekor) B = jumlah kepiting bakau berkelamin betina (ekor)
Selanjutnya dilakukan uji keseimbangan nisbah kelamin dengan
menggunakan uji Chi Kuadrat (α = 0.05).
33
3.11.3 Fekunditas
Menurut Tuhuteru (2004) perhitungan fekunditas kepiting bakau dengan
metode volumetrik menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan :
F = Fekunditas (butir) V = Volume total telur (ml) v = Volume sampel telur (ml)
N = Jumlah telur pada sampel (butir)
34
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Watulimo merupakan salah satu kecamatan yang berada di
Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Tepatnya berada di sebelah tenggara
Kabupaten Trenggalek. Secara geografis terletak diantara 111° 38’41’’-112°
46’41’’ BT dan 8° 8’31’’- 8° 23’01’’ LS. Kecamatan Watulimo berada di ketinggian
7 - 573 m dari permukaan laut. Batas-batas daerahnya, meliputi :
Utara : Kec. Gandusari
Timur : Kab. Tulungagung
Selatan : Samodera Indonesia
Barat : Kec. Munjungan
Kecamatan Watulimo meliputi 12 desa, yaitu Karanggandu, Prigi,
Tasikmadu, Watulimo, Margomulyo, Sawahan, Dukuh, Slawe, Gemaharjo, Pakel,
Ngembel dan Watuagung. Berdasarkan topografinya, desa yang berada di
Kecamatan Watulimo merupakan perbukitan dan pantai. Kecamatan Watulimo
memiliki luas 9.086 Ha. Terdiri dari 382 Ha tanah sawah, 8.335 Ha lahan kering,
dan 369 Ha lahan lainnya. Berdasarkan jenis tanahnya terdiri dari litosol 52,5 %
Komplek Litosol Mediteran dan Rensime 18,03 %, Aluvial Kelabu 15,26 %,
Kecamatan Watulimo adalah daerah berbukitan, maka desa yang berada
didataran tertinggi adalah desa Dukuh yaitu mencapai 573 m dari permukaan laut.
Sedangkan dataran terendah adalah desa Karanggandu yang ketinggiannya 7 m
dari permukaan laut. Di kecamatan Watulimo juga banyak gunung-gunungnya
mulai gunung Lanceng, gunung jegider, gunung kumbokarno, gunung suwur ,
gunung sepikul dll, selain gunung, watulimo juga memiliki sebuah telaga letaknya
di dusun ngrancah desa sawahan tetapi untuk pergi kesana harus mendaki
35
gunung, yang cukup tinggi bisa pakai sepeda motor maupun mobil, jalanannya
juga sudah baik. Gambar peta lokasi dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 2.
4.2 Deskripsi Lokasi Penangkapan Kepiting Bakau
Pada penelitian ini lokasi penangkapan kepiting bakau mengikuti lokasi
yang biasanya digunakan oleh nelayan yaitu di sepanjang daerah mangrove dan
muara sungai. Lokasi penangkapan terbagi menjadi 3 lokasi, hal ini dikarenakan
jarak antara lokasi penangkapan di sekitar 1, 2 dan 3 cukup jauh. Jadi, terdapat 3
stasiun tangkapan kepiting bakau oleh nelayan yaitu di daerah tempat wisata
mangrove cengkrong (lokasi 1), sepanjang aliran sungai (lokasi 2) dan muara
sungai besar (lokasi 3). Adapun deskripsi masing – masing lokasi penangkapan
sebagai berikut.
a. Lokasi 1
Lokasi 1 merupakan daerah tempat wisata mangrove cengkrong yang
terletak pada 111° 42’17,81’’- 111° 42’27,55’’ BT dan 8° 17’44,91”- 8° 18’56,60”
LS. Lokasi ini merupakan area wisata mangrove yang bersebrangan dengan
Pantai Cengkrong. Area ini di tumbuhi beberapa mangrove yang mendominasi
diantaranya Ceriops decandra. Lokasi pengambilan sampel sampling Stasiun 1
dapat dilihat pada Gambar 7
Gambar 7. Lokasi Penangkapan 1
36
b. Lokasi 2
Lokasi 2 merupakan daerah mangrove dan muara sungai yang terletak
pada 111° 42’07,66” - 111° 42’14,76” BT dan 8° 17’57,03’’- 8° 18’10,75’’ LS Bagian
tepi sungai sepanjang aliran sungai ditumbuhi berbagai jenis tanaman mangrove
diantaranya Sonneratia alba dan Avicennia alba Aliran sungai ini langsung
bermuara ke Samudra Indonesia Gambar 8.
.
Gambar 8. Lokasi Penangkapan 2
c. Lokasi 3
Keberadaan stasiun 3 terletak pada koordinat 111° 42’14,75’’ - 111°
42’22,70’’ BT dan 8° 18’08,42 - 8° 18’13,40’’ LS. Stasiun 3 merupakan lokasi yang
terletak pada muara sungai besar dan berbatasan langsung dengan laut. Area ini
juga ditumbuhi oleh beberapa jenis mangrove disekitar muara yang mendominasi
seperti Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba. Lokasi pengambilan sampel
pada stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Lokasi Penangkapan 3
37
4.3 Alat Tangkap Kepiting Bakau
Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Desa Karanggandu
Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek adalah bubu lipat. Bubu lipat
merupakan alat tangkap berupa jebakan, bersifat pasif dan dipasang menetap
ditempat yang diperkirakan akan dilewati oleh kepiting bakau dan bubu ini
termasuk kedalam jenis bubu hanyut. Alat ini berbentuk kurungan yang memiliki
memiliki 2 pintu masuk yang didalamnya terdapat pengait yang digunakan untuk
mengaitkan umpan. Umpan yang biasanya dipakai ialah ikan ikan yang sudah
busuk agar menghasilkan bau sehingga langsung tercium oleh kepiting bakau.
Gambar 10. Alat Tangkap Bubu (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi langsung yang saya lakukan
saat melakukan penelitian, jumlah bubu lipat yang ditebar nelayan dilokasi
pengambilan sampel berjumlah 18 buah dengan 6 bubu dipasang per stasiunnya
dan hasil penangkapan yang diperoleh berjumlah 31 ekor kepiting.
38
4.4 Aspek Biologi
Pengamatan aspek biologi Scylla spp. dari 3 stasiun diantaranya yaitu lebar
karapas, berat Scylla spp, Tingkat Kematangan Gonad (TKG), Sexratio, dan
Fekunditas. Data hasil pengamatan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Lampiran 3. Berikut akan dideskripsi masing-masing jenis kepiting bakau menurut
buku Panduan Penangkapan Dan Penanganan (Scylla spp.) tahun 2015 :
1. Scylla Transqubarica
Klasifikasi Menurut Buku Panduan Penangkapan Dan Penanganan Scylla
spp. (2015) adalah :
Filum : Athropoda
Sub Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Order : Decapoda
Family : Portunidae
Genus : Scylla ( De Haan, 1833)
Spesies : Scylla transqubarica
Ciri spesifik dari Scylla transqubarica ialah Chela dan dua pasang kaki
pertama berpola poligon serta dua pasang kaki terakhir dengan pola bervariasi.
Pola poligon juga terdapat pada abdomen betina dan tidak pada abdomen jantan.
Warna bervariasi mirip dengan S.serrata. Duri pada dahi Scylla transqubarica
Tumpul dan dikelilingi celah sempit, sedangkan duri pada bagian Luar Cheliped
ada dua duri tajam pada propudus dan sepasang duri tajam pada carpus (WWF,
2015).
Scylla transquebarica, memiliki warna hijau tua sampai kemerahan dengan
kombinasi kuning dan orange pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada
bagian abdomennya. Pada propudus bagian atas terdapat sepasang duri, tetapi
tidak runcing dan 1 buah duri yang tumpul pada abdomen bagian bawah
39
Gambar 11. Scylla transqubarica (Dokumentasi Pribadi, 2017)
2. Scylla Seratta
Klasifikasi Menurut Buku Panduan Penangkapan Dan Penanganan Scylla
spp. (2015) adalah :
Filum : Athropoda
Sub Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Order : Decapoda
Family : Portunidae
Genus : Scylla ( De Haan, 1833)
Spesies : Scylla seratta
Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua
jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari ungu, hijau sampai
hitam kecoklatan, Duri pada Dahi Tinggi, tipis agak tumpul dengan tepian
cenderung cekung dan membulat Duri pada Bagian Luar Cheliped Dua duri tajam
pada propudus dan sepasang duri tajam pada karpus (WWF, 2015).
Scylla serata, memiliki warna relatif sama dengan warna lempung, yaitu
coklat kehitam-hitaman pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada
abdomennya. Pada propudus bagian atas tedapat sepasang duri yang runcing dan
40
1 buah duri pada propudus bagian bawah. Selain itu habitat kepiting bakau spesies
ini sebagian besar di hutan-hutan bakau di perairan Indonesia.
Gambar 12. Scylla seratta (Dokumentasi Pribadi, 2017)
3. Scylla oceania
Klasifikasi Menurut Buku Panduan Penangkapan Dan Penanganan Scylla
spp. (2015) adalah :
Filum : Athropoda
Sub Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Order : Decapoda
Family : Portunidae
Genus : Scylla ( De Haan, 1833)
Spesies : Scylla oceania
Ciri spesifik Scylla ocenia ialah warna chela dan kaki-kakinya tanpa ada
pola polygon yang jelas untuk kedua jenis kelamin. Warna spesies ini cenderung
oranye sampai coklat kehitaman. Duri pada Dahi tumpul dikelilingi ruangruang
yang sempit, sedangkan pada luar dahi Tidak ada duri pada sisi luar karpus. Duri
pada propudus mengalami reduksi (WWF, 2015)
41
Gambar 13. Scylla Oceania (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Spesies ini lebih didominasi dengan warna cokelat-tua dan ukuran
badannya jauh lebih besar dari pada spesies yang lain. Dengan capit yang lebih
panjang, maka spesies ini lebih cepat memburu makanan. Namun harga spesies
ini lebih rendah dibandingkan dengan spesies lain, sehingga petani tidak suka
membudidayakannya. Kepiting ini biasa ditemukan di Perairan Afrika dan Laut
Merah.
4. Scylla paramomasain
Klasifikasi Menurut Buku Panduan Penangkapan Dan Penanganan Scylla
spp. (2015) adalah :
Filum : Athropoda
Sub Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Order : Decapoda
Family : Portunidae
Genus : Scylla ( De Haan, 1833)
Spesies : Scylla paramomasain
Ciri spesifik spesies ini adalah warna chela dan kaki-kakinya berpola
polygon untuk kedua jenis kelamin. Warna cenderung lebih bervariasi dari ungu
sampai coklat kehitaman. Duri pada dahi tajam berbentuk segitiga dengan tepian
yang bergaris lurus dan membentuk ruang yang kaku sedangkan untuk kepiting
42
dewasa tidak ada duri pada bagian luar cheliped dan sepasang duri agak tajam
yang berukuran sedang propudus (WWF, 2015)
Spesies ini memiliki warna hijau ke unguan, pada karapasnya dan putih
kekuning-kuningan pada abdomennya. Pada propudus bagian atas tedapat
sepasang duri yang runcing dan 1 buah duri pada propudus bagian bawah. Selain
itu habitat kepiting bakau spesies ini sebagian besar di hutan-hutan bakau di
perairan Indonesia.
Gambar 14. Scylla paramomasain (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Hasil dari 3 stasiun ini diperoleh kepiting bakau sebanyak 31 ekor yaitu 13
ekor jantan dan 18 ekor betina. Hasil pengukuran yang telah dilakukan kisaran
lebar karapas kepiting bakau jantan yaitu 7,97 – 11,81 mm dengan berat tubuh
berkisar antara 95,74 – 281,86 gram, sedangkan pada kepiting bakau betina
diperoleh kisaran lebar karapas antara 7,76 – 14,87 mm dengan berat tubuh
berkisar antara 59,21 – 251,43 gram. Untuk mengetahui sebaran frekuensi lebar
karapas kepiting bakau jantan dan betina yang tertangkap di Mangrove Cengkrong
dapat dilihat pada Lampiran 4. Sebaran frekuensi lebar karapas kepiting bakau
jantan dan betina yang tertangkap di Kawasan Mangrove Cengkrong disajikan
dalam bentuk grafik agar lebih mudah dipahami dapat dilihat pada gambar berikut
ini. Grafik sebaran lebar karapas dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.
43
Gambar 15. Grafik Keseluruhan Sebaran Lebar Karapas Individu Kepiting Bakau Jantan
Gambar 16. Grafik Sebaran Lebar Karapas Kepiting Bakau Jantan
Berdasarkan Tangkapan per-Stasiun
Berdasarkan grafik gambar 15 dan 16 dapat dilihat kelompok lebar karapas
kepiting bakau jantan yang paling banyak tertangkap pada kelompok lebar karapas
11,09 - 11,86 yaitu sebanyak 4 ekor, sedangkan yang paling sedikit tertangkap
pada kelompok lebar karapas 8,75 - 9,52 mm yaitu sebanyak 1 ekor. Banyaknya
kepiting bakau yang berukuran besar dapat disebabkan oleh pola distribusi
kepiting bakau yang luas. Menurut Siahainenia (2008) kepiting bakau yang
berukuran besar atau kepiting bakau dewasa memiliki distribusi wilayah yang luas,
selain untuk mencari makan karena kebutuhan makanan kepiting bakau dewasa
umumnya relative lebih banyak (dalam jumlah maupun variasi jenis makanan),
juga merupakan upaya membebaskan diri dari persaingan terhadap makanan,
3
1
2
3
4
0
1
2
3
4
5
7,97 - 8,74 8,75 - 9,52 9,53 - 10,30 10,31 - 11,08 11,09 - 11,86
Fre
kuensi
Selang Kelas Lebar (mm)
10
2
3
0
2
10
3
0 0 0 01
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
7,97 - 8,74 8,75 - 9,52 9,53 - 10,30 10,31 - 11,08 11,09 - 11,86
Fre
ku
en
si
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
44
tempat tinggal dan tempat berlindung serta upaya penguasaan wilayah kawin.
Grafik sebaran lebar karapas kepiting bakau betina dapat dilihat pada Gambar 17
dan 18.
Gambar 17. Grafik Keseluruhan Sebaran Lebar Karapas Individu Kepiting Bakau Betina
Gambar 18. Grafik Sebaran Lebar Karapas Kepiting Bakau Betina
Berdasarkan Tangkapan per-Stasiun
Berdasarkan grafik 17 dan 18 dapat dilihat kelompok lebar karapas kepiting
bakau betina yang paling banyak tertangkap pada kelompok lebar karapas 9,19 –
10,61 mm yaitu sebanyak 9 ekor, sedangkan yang paling sedikit tertangkap pada
kelompok lebar karapas 12,05 – 13,47 dan 13,48 – 14,90 mm yaitu sebanyak 1
ekor. Kepiting bakau betina berukuran besar yang tertangkap dalam jumlah sedikit
dapat disebabkan karena kepiting bakau betina berukuran besar yang matang
gonad dan telah terbuahi akan beruaya ke laut untuk melakukan pemijahan. Kasry
(1996) menyatakan bahwa setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-
4
9
3
1 1
0
2
4
6
8
10
Fre
kuensi
Selang Kelas Lebar (mm)
21 0 0 01
5
0 0 11
3 3
1 00
1
2
3
4
5
6
7,76-9,18 9,19-10,61 10,62-12,04 12,05-13,47 13,48-14,90
Fre
kuensi
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
45
lahan kepiting bakau betina akan bermigrasi dari perairan bakau atau tambak ke
tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut. Sebaran frekuensi berat kepiting bakau
jantan dan betina yang tertangkap di Mangrove Cengkrong dapat dilihat pada
Lampiran 6.
Sebaran frekuensi berat kepiting bakau jantan dan betina yang tertangkap
di Mangrove Cengkrong lebih jelas dapat dilihat dalam bentuk grafik agar lebih
mudah dipahami dapat dilihat pada Gambar 19 dan 20 berikut ini.
Gambar 19. Grafik Keseluruhan Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Jantan
Gambar 20. Grafik Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Jantan
per-Stasiun
Berdasarkan grafik 19 dan 20 dapat dilihat kelompok berat kepiting bakau
jantan yang paling banyak tertangkap pada kelompok berat 95,74 – 126,32 dan
218,11 - 248,70 gram yaitu sama sebanyak 5 ekor, sedangkan yang paling sedikit
tertangkap pada kelompok berat 187,51 – 218,11 sebanyak 1 ekor. Berdasarkan
5
0
2
1
5
0
1
2
3
4
5
6
Fre
kuensi
Selang Berat (gr)
2
1
33
1 1 1 10
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Fre
kuensi
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
46
wawancara langsung dengan nelayan, hasil tersebut tentu ada sebagian kepiting
yang tidak memenuhi syarat untuk ditangkap karena ukuran dan beratnya, tetapi
karena alasan ekonomi kepiting bakau yang tidak layak di tangkap tetap
didaratkan.
Gambar 21. Grafik Keseluruhan Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Betina
Gambar 22. Grafik Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Betina per-Stasiun
Berdasarkan grafik 21 dan 22 dapat dilihat kelompok berat kepiting bakau
betina yang paling banyak tertangkap pada kelompok berat 97,66 – 136,10 gram
yaitu sebanyak 11 ekor, sedangkan yang paling sedikit tertangkap pada kelompok
berat 213,01,01 – 251,45 gram yaitu sebanyak 1 ekor. Berdasarkan wawancara
langsung dengan nelayan, hasil tersebut tentu ada sebagian kepiting yang tidak
memenuhi syarat untuk ditangkap karena ukuran dan beratnya, tetapi karena
alasan ekonomi kepiting bakau yang tidak layak di tangkap tetap didaratkan.
4
11
0
21
0
2
4
6
8
10
12
Fre
kuensi
Selang Berat (gr)
3 1
5
1
6
1 10
2
4
6
8
Fre
kuensi
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
47
Berdasarkan grafik hasil tangkapan per-Stasiun dapat disimpulkan bahwa
tangkapan kepiting bakau pada stasiun 2 lebih banyak daripada stasiun 1 dan 3.
Hal ini jika ditinjau dari habitatnya pada lokasi stasiun 2 lebih optimal untuk
kehidupan kepiting bakau, karena lokasi ini terletak pada aliran sungai yang
dikelilingi mangrove disekitarnya. Kepiting bakau pada tangkapan stasiun 3
memiliki berat dan lebar tubuh yang lebih tinggi dari pada stasiun 1 dan 2, hal ini
dikarenakan pada stasiun 3 terletak pada muara besar yang terhubung langsung
ke laut sehingga kepiting bakau yang tertangkap pada stasiun 3 termasuk kepiting
yang sudah dewasa yang sebagian akan melakukan proses pemijahan.
4.5 Analisis Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahapan perkembangan gonad yang
dimulai sejak awal pembentukan gonad hingga disalurkan/dikeluarkan. Menurut
Effendie (1997) penentuan TKG dapat dilihat secara morfologi dan histologi.
Penentuan secara morfologi dapat dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna serta
perkembangan isi gonad, sedangkan secara histologi dapat dilihat dari anatomi
perkembangan gonadnya.
Penentuan tingkat kematangan gonad kepiting bakau betina disesuaikan
menurut John & Sivadas (1974) dalam Siahainenia (2008), sedangkan kepiting
bakau jantan disesuaikan menurut Castiglioni dan Fransozo (2006) dalam
Siahainenia (2008). Sebaran frekuensi tingkat kematangan gonad kepiting bakau
jantan yang tertangkap di Mangrove Cengkrong dapat dilihat pada Gambar 23 dan
24.
48
Gambar 23. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting
Bakau Jantan Berdasarkan Lebar Karapas
Gambar 24. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad
Kepiting Bakau Jantan Berdasarkan Selang Berat
Berdasarkan grafik 23 dan 24 didapatkan hasil tingkat kematangan gonad
kepiting bakau jantan yang tertangkap di Mangrove Cengkrong terbanyak yaitu
pada TKG 1 dan 2 sebanyak 5 ekor. TKG 1 terbanyak didapatkan pada lebar
sekitar 7,97 - 8,74 dan selang berat terbanyak didapatkan pada 95,74 - 126,32.
TKG 3 terbanyak didapatkan pada lebar 10,31 - 11,08 dan selang berat terbanyak
didapatkan pada 218,12 – 248,71 sedangkan TKG 3 didapatkan 3 ekor. Sebaran
frekuensi tingkat kematangan gonad kepiting bakau betina yang tertangkap di
Mangrove Cengkrong lebih jelas dapat dilihat pada pada Lampiran 6 dan pada
Gambar 25 dan 26 :
3
1 1
1 3
1
1
2
0
1
2
3
4
5
7,97 - 8,74 8,75 - 9,52 9,53 - 10,30 10,31 - 11,08 11,09 - 11,86
Fre
ku
en
si
TKG 1 TKG 2 TKG 3
4
1
1
1
3
3
0
2
4
6
8
Fre
ku
en
si
TKG 1 TKG 2 TKG 3
0
49
Gambar 25. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau Betina Berdasarkan Lebar Karapas
Gambar 26. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau Betina Berdasar Selang Berat
Berdasarkan grafik 25 dan 26 didapatkan hasil tingkat kematangan gonad
kepiting bakau betina yang tertangkap terbanyak di Mangrove Cengrong yaitu
pada TKG I sebanyak 13 ekor. TKG 1 terbanyak tertangkap pada lebar sekitar 9,19
– 10,61 mm dan selang berat terbanyak tertangkap pada 97,66 – 136,10,
sedangkan TKG 2 didapatkan 3 ekor dan TKG 3 didapatkan 2 ekor. Grafik
frekuensi sebaran tingkat kematangan gonad kepiting bakau jantan dapat dilihat
pada Gambar 27 dan 28.
4
8
1
1
2
1 10
2
4
6
8
10
7,76 - 9,18 9,19 - 10,61 10,62 - 12,04 12,05 - 13,47 13,48 - 14,50
Fre
kuesni
TKG 1 TKG 2 TKG 3
4
9
2
11
10
2
4
6
8
10
12
Fre
kuensi
TKG 1 TKG 2 TKG 3
0
50
Gambar 27. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau Jantan Berdasar Tangkapan per-Stasiun
Gambar 28. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau Betina Berdasar Tangkapan per-Stasiun
Berdasarkan hasil tangkapan kepiting bakau per-stasiun, dapat
disimpulkan bahwa kepiting bakau jantan pada stasiun 1 dan stasiun 2 masih
terdapat TKG 2 dan TKG 3, sedangkan pada kepiting bakau betina pada stasiun
1 dan stasiun 2 hanya terdapat TKG 1. Kepiting bakau betina yang terdapat TKG
2 dan TKG 3 lebih banyak di stasiun 3 hal ini dikarenakan stasiun 3 terletak pada
muara besar yang terhubung langsung ke laut sehingga pada lokasi ini menjadi
tempat bermigrasinya kepiting bakau betina untuk tempat melakukan pemijahan
menjelang TKG 4 nantinya.
2
4
0
3
1
0
1 1 1
0 0 00
1
2
3
4
5
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Fre
kuensi
TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4
3
6
4
0 0
3
0 0
2
0 00
1
2
3
4
5
6
7
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Fre
kuensi
TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4
51
a. b.
Gambar 29. TKG 2 (a) dan TKG 3 (b) (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berdasarkan dengan Permen Nomor 1/2015 yang melarang menangkap
kepiting bakau yang sedang betelur dan berdasarkan Buku Panduan
Penangkapan Kepiting bakau (Scylla spp.) 2015, bahwa kepiting bakau matang
gonad pertama kali menjelang dewasa yang memiliki lebar karapas >15 dan
kepiting bakau yang belum matang gonad memiliki lebar karapas <15, pada hasil
tangkapan ini tidak didapatkan kepiting bakau matang gonad (TKG IV) dan TKG 1
lebih banyak tertangkap tetapi pada tangkapan ini juga belum layak untuk
ditangkap karena ukuran dan beratnya yang belum memenuhi syarat dan masih
tergolong kepiting muda, hal ini dikarenakan wilayah tangkapan lebih banyak
dilakukan di sekitar mangrove dan di sepanjang aliran sungai serta diduga pada
saat penelitian belum mencapai puncak musim pemijahan. Menurut Siahainenia
(2008), sebaran kepiting betina TKG 1 dan TKG 2 berada di wilayah belakang
hutan sampai tengah, TKG 3 dan TKG 4 di zona depan hutan dan wilayah pesisir.
4.6 Analisis Hubungan Lebar Karapas dan Berat
Pengamatan hubungan lebar karapas dengan berat tubuh kepiting bakau
dipisahkan menurut jenis kelamin dan dianalisa secara terpisah. Hal ini di
karenakan lebar karapas dan berat kepiting bakau dipengaruhi oleh berat gonad
yang ada didalam tubuh kepiting bakau berdasarkan jenis kelamin. Analisa ini
bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan kepiting bakau dengan
menggunakan parameter lebar karapas dan berat tubuh kepiting bakau dan
52
dianalisa menggunkan analisis regresi. Berdasarkan hasil perhitungan pada
Lampiran 7 , diperoleh grafik pada Gambar 30 dan 31 sebagai berikut.
Gambar 30. Grafik Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Jantan
Gambar 31. Grafik Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Betina
Berdasarkan grafik diatas, hasil analisis hubungan lebar karapas dan berat
kepiting bakau (Scylla spp.) didapatkan nilai koefisien determinasi (R2) kepiting
bakau jantan sebesar 0,8555 atau 85,55 % dengan persamaan y = 0,00146782,3123x
dan kepiting betina 0,7651 atau 76,51 % dengan persamaan y = 0,167571,9365x.
Menurut Tahmid (2016) koefisien determinasi merupakan koefisien yang
menjelaskan seberapa besar kemampuan variable bebas (x) mampu menjelaskan
variable terikat (y), sehingga dapat ditentukan apakah individu dalam populasi
dapat diduga bobot tubuhnya dengan mengetahui ukuran lebar karapasnya. Nilai
koefisien determinasi kepiting bakau jantan kurang dari 0,5 % yang berarti ukuran
y = 14.678e2.3123x
R² = 0.8555
0
50
100
150
200
250
300
0 2 4 6 8 10 12 14
Ber
at (
w)
Panjang (x)
y = 16.757e1.9365x
R² = 0.7651
0
50
100
150
200
250
300
0 5 10 15 20
Ber
at (
w)
Panjang (x)
53
berat tubuh kepiting bakau jantan tidak mempengaruhi panjang tubuhnya
sedangkan betina lebih dari 0,5% menunjukan bahwa ukuran berat tubuh kepiting
bakau betina dapat diduga dari ukuran panjang karapasnya.
Nilai b yang diperoleh pada hubungan lebar karapas dan berat tubuh
kepiting bakau jantan dan betina yaitu b ≠ 3 yang berarti pertumbuhan lebar
karapas tidak sama dengan pertumbuhan beratnya (allometrik). Pada kepiting
bakau jantan, nilai b yang diperoleh yaitu 2,312 dan nilai b kurang dari 3 (b < 3).
Hal ini menunjukan bahwa kepiting bakau jantan memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif yang berarti pertumbuhan berat tubuh lebih lambat dari pada
pertumbuhan karapasnya. Sedangkan pada kepiting bakau betina nilai b yang
diperoleh yaitu 1,93 dan nilai b lebih kecil dari 3 (b < 3). Hal ini menunjukan bahwa
kepiting bakau betina memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yang berarti
pertumbuhan berat tubuh lebih rendah dari pada pertumbuhan karapasnya.
Menurut Effendie (2002), pola pertumbuhan tersebut menunjukkan
pertumbuhan lebar karapas kepiting bakau cenderung lebih cepat dari
pertumbuhan beratnya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan
pertumbuhan lebar karapas kepiting dengan berat tubuh antara lain yaitu habitat,
makanan, dan faktor lain meliputi kelamin, umur, waktu. Pola pertumbuhan
alometrik negatif tersebut bersesuaian dengan pola pertumbuhan kepiting bakau
di perairan Segara Anakan, Cilacap (Tanod, 2000) dan di perairan Ujung Pangkah,
Gresik (Tutuheru, 2004).
Berdasarkan hasil dari banyaknya kepiting bakau yang tertangkap
disimpulkan bahwa lebar karapas kepiting bakau jantan lebih besar dari pada
kepiting bakau betina dan tubuh kepiting jantan lebih berat dari pada tubuh kepiting
betina, hal ini dikarenakan tidak adanya kepiting bakau betina yang tertangkap
pada saat matang gonad (TKG IV) sehingga berat kepiting bakau betina tergolong
rendah, tetapi jika kepiting bakau betina mengalami pertumbuhan sampai dewasa
54
sehingga mencapai matang gonad tubuh kepiting bakau betina akan jauh lebih
berat dari pada kepiting bakau jantan, hal ini disebabkan karena pengaruh berat
telur yang ada dalam tubuh kepiting bakau betina.
Pada (Scylla spp.) jantan moulting lebih jarang terjadi, asupan makanan
cenderung digunakan untuk memanjangkan dan membesarkan chelae (capit),
yang berperan penting pada proses perkawinan (Wijaya, 2011). Menurut Onyango
(2002) dalam Wijaya (2011), Scylla serrata jantan biasanya memiliki capit sangat
besar dibandingkan dengan betina dengan ukuran yang sama dan lebih disukai
nelayan selama lebar karapas lebih dari 70 mm, hal ini bisa menghasilkan
perbedaan ukuran yang signifikan antara jantan dan betina. Oleh karena itu
apabila berada pada ukuran lebar karapas yang sama, kecenderungan kepiting
bakau jantan lebih besar beratnya karena capitnya menambah bobot tubuhnya.
4.7 Analisis Nisbah Kelamin
Kepiting bakau yang diperoleh dari hasil tangkapan di Mangrove
Cengkrong yaitu berjumlah 13 ekor kepiting bakau jantan dan 18 ekor kepiting
bakau betina. Dari jumlah kepiting bakau yang diamati perbandingan jenis kelamin
jantan dan betina adalah 1 : 1,38. Berdasarkan uji chi square yang dilakukan pada
selang kepercayaan 95% diperoleh bahwa Xhitung < Xtabel (Lampiran 8). Hal ini
berarti nisbah kelamin kepiting bakau jantan dan betina seimbang.
Kondisi nisbah kelamin yang seimbang antara jantan dan betina dengan
perbandingan 1 : 1,38 masih dalam keadaan yang baik. Menurut Phelan dan
Grubert (2007) dalam Wijaya (2011), jumlah individu betina yang mendominasi dari
sudut pandang reproduksi menguntungkan, karena kepiting betina hanya
memerlukan satu kali proses kopulasi untuk tiga kali lebih periode bertelur. Kepiting
bakau betina memiliki spermatecha yang dapat menyimpan sperma dari kepiting
bakau jantan hingga beberapa bulan.
55
4.8 Fekunditas
Hasil pengamatan fekunditas pada kepiting bakau betina di kawasan
Mangrove Cengkrong Kota Trenggalek yaitu tidak ditemukan sama sekali kepiting
bakau yang sedang membawa telur yang telah terbuahi dan melekat pada rambut-
rambut pleopod. Hal tersebut dikarenakan wilayah tangkapan nelayan kepiting
bakau hanya dilakukan di sekitar mangrove dan muara sungai. Menurut Arriolla
(1940 dan Brick (1974) dalam Siahanenia (2008) kepiting bakau bertelur akan
bermigrasi dari perairan payau ke perairan laut untuk memijah. Menurut Kasry
(1996) bahwa setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting
bakau betina akan bermigrasi dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai dan
selanjutnya ke tengah laut untu melakukan pemijahan. Migrasi kepiting bakau
betina matang gonad ke perairan laut merupakan upaya mencari perairan yang
kondisnya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan menetaskan telur.
4.9 Komunitas Kepiting Bakau (Scylla spp.)
4.11.1 Kepadatan Kepiting Bakau
Jenis kepiting bakau yang ditemukan di kawasan Mangrove Cengkrong
adalah Scylla transqubarica, Scylla seratta, Scylla oceania, Scylla paramomasain.
Setiap lokasi stasiun penelitian mempunyai jumlah jenis yang berbeda-beda untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 10, pada lokasi stasiun satu didapatkan
tiga jenis kepiting bakau, lokasi stasiun dua didapatkan tiga jenis kepiting bakau
dan lokasi stasiun tiga didapatkan empat jenis kepiting bakau. Gambar 32 - 34
merupakan grafik nilai kepadatan kepiting bakau pada masing-masing lokasi
stasiun penelitian di Mangrove Cengkrong.
56
Gambar 32. Kepadatan kepiting bakau stasiun 1 (ind/m2)
Gambar 33. Kepadatan kepiting bakau stasiun 2 (ind/m2)
Gambar 34. Kepadatan kepiting bakau stasiun 3 (ind/m2)
Berdasarkan lokasi 3 stasiun didapat kesamaan bahwa nilai kepadatan
jenis kepiting Scylla seratta dan Scylla oceania tertinggi pada stasiun 2. Nilai
kepadatan kepiting Scylla seratta dan Scylla oceania pada stasiun 2 didapatkan
hasil tangkapan sebanyak 6 ind/m2. Hal ini dikarenakan lokasi ini berada dekat
3 3 3
00
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
S. Transqubarica S. Seratta S. Oceania S. Paramomasain
Frek
uen
si in
d/m
2
1
6 6
00
1
2
3
4
5
6
7
S. Transqubarica S. Seratta S. Oceania S. Paramomasain
Frek
uen
si in
d/m
2
1 1
5
2
0
1
2
3
4
5
6
S. Transqubarica S. Seratta S. Oceania S. Paramomasain
Frek
uen
si in
d/m
2
57
dengan muara sungai dan kepiting jenis ini lebih menyukai jenis substrat lempung
beriliat untuk habitat hidupnya. Kepadatan Scylla transqubarica terbanyak didapat
pada lokasi stasiun satu yaitu 3 ind/m2, lokasi ini berada di wisata Mangrove
Cengkrong yang masih dipengaruhi pasang surut air laut dan memiliki kerapatan
mangrove yang rapat serta menyukai substrat lempung liat berpasir untuk habitat
hidupnya. Jenis kepiting Scylla paramomasain ditemukan pada stasiun 3, spesies
ini lebih menyukai hidup di muara besar yang berhubungan langsung ke laut
dengan kedalaman 64 cm dan bersubstrat lempung.
Berdasarkan hasil kepiting bakau yang tertangkap secara keseluruhan
terdapat jumlah yang berbeda-beda tiap lokasi stasiun. Lokasi stasiun satu
sebanyak 9 ind/m2, lokasi stasiun dua sebanyak 13 ind/m2, dan lokasi stasiun tiga
sebanyak 9 ind/m2. Kepadatan kepiting bakau terbanyak terdapat pada stasiun 2
dengan hasil tangkapan 13 ekor, hal tersebut dikarenakan lokasi stasiun 2 terletak
pada aliran sungai yang dikelilingi mangrove dan kepiting bakau cenderung lebih
senang dengan lingkungan mangrove yang terbuka daripada mangrove yang
tertutup dengan pohon-pohon mangrove yang lebat sehingga matahari kurang
optimal masuk sampai ke permukaan tanah.
4.11.2 Indeks Keanekaragaman Spesies Kepiting Bakau
Indeks keanekaragaman jenis (H’) merupakan nilai yang menggambarkan
keragaman jenis dalam suatu komunitas. Keanekaragaman jenis adalah suatu
karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya. Suatu
komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi, jika komunitas itu
disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan tiap jenis yang sama (Soegianti,
1994 dalam Taqwa, 2010). Nilai Keanekaragaman jenis dapat dilihat pada
Lampiran 11.
58
Nilai keanekaragaman spesies kepiting bakau di Mangrove Cengkrong
adalah sebesar 1,05. Keanekaragaman jenis kepiting bakau dari ketiga stasiun
relatif rendah, karena menurut Magurran (1988) dalam Suprayogi et al. (2014), jika
nilai H’ < 1 maka keanekaragaman jenis rendah; nilai 1 < H’ < 3 maka
keanekaragaman jenis sedang, serta nilai H’ > 3 maka keanekaragaman jenis
tinggi. Nilai keanekaragaman kepiting bakau di Mangrove Cengkrong disebabkan
karena vegetasi mangrove yang padat. Menurut Tahunalia (2010), nilai indeks
keragaman selain tergantung pada faktor lingkungan seperti tekstur tanah, pH
tanah dan bahan organik juga tergantung pada ada tidaknya masukan cahaya
matahari. Hal tersebut yang menyebabkan kepiting bakau lebih banyak di daerah
terbuka dari pada di bawah tegakan mangrove.
Nilai keanekaragaman yang rendah juga disebabkan karena ekosistem yang
secara fisik terkendali oleh faktor pembatas fisika dan kimia yang kuat. Hasil faktor
fisika dan kimia pada penelitian ini ada pada substrat tanah. Substrat tanah yang
mendominasi di Mangrove Cengkrong cenderung berlempung, hasil kimia tanah
yaitu pH tanah antara 6,85 sampai 7,23, bahan organik antara 3,10 sampai 4,67%.
Menurut Odum (1993), keanekaragaman cenderung akan rendah dalam
ekosistem yang secara fisik terkendali (yakni yang menjadi pembatas fisika-kimia
yang kuat) dan tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi.
Berdasarkan hal tersebut nilai keanekaragaman setiap lokasi stasiun
pengamatan, nilai keanekaragaman kepiting bakau di Mangrove Cengkrong
tergolong rendah. Jumlah nilai keanekaragaman di Ekosistem Mangrove
Cengkrong adalah 1,05. Menurut Magurran (1988) dalam Suprayogi et al. (2014)
nilai keanekaragaman tersebut tergolong tinggi karena jika nilai keanekaragaman
1 < H’ < 3 maka keanekaragaman jenis adalah rendah.
59
4.11.3 Indeks Dominasi Kepiting Bakau
Indeks dominasi kepiting bakau di kawasan Mangrove Cengkrong adalah
tergolong rendah. Nilai indeks dominasi kepiting bakau yang didapat dari ketiga
lokasi stasiun sebesar 0,27. Menurut Odum (1971) dalam Nadia (2002), nilai
indeks dominasi berkisar antara 0 - 1. Indeks dominasi 0 berarti hampir tidak ada
individu yang mendominasi, apabila indeks dominasi mendekati nilai 1 berarti ada
satu jenis yang mendominasi. Nilai indeks dominasi kepiting bakau di Mangrove
Cengkrong dapat dilihat pada Lampiran 12.
Menurut Heddy dan Kurniati (1994) harga H’ dan D besarnya berlawanan,
karena H’ yang besar menyatakan dominasi yang rendah. Dapat dikatakan bahwa
keanekaragaman yang tinggi menyatakan rantai makanan yang panjang dan
banyak simbiosis (mutualisme, parasitisme, komensal dan lain-lain). Kondisi
tekstur tanah dapat menyebabkan tingginya nilai dominasi pada 3 lokasi stasiun.
Pada 3 lokasi stasiun substrat yang mendominasi adalah lempung dengan tekstur
tanah liat berpasir dan persentase pasir mencapai 40,4 % lebih tinggi
dibandingkan kandungan liat. Sedikitnya kandungan liat di 3 lokasi stasiun
membuat hanya beberapa kepiting bakau saja yang dapat hidup dengan kondisi
tekstur tanah tersebut karena sifat dari kepiting bakau yang menggali tanah untuk
tempat berlindung sehingga memerlukan tanah berliat.
4.10 Analisis Parameter Kualitas Air
Data kualitas air sebagai parameter lingkungan pendukung kehidupan
kepiting bakau (Scylla spp.) di Mangrove Cengkrong (Lampiran 9) diperoleh dari
pengamatan sebanyak 1 kali selama 1 minggu pada lokasi penangkapan yang
dilakukan oleh nelayan.
60
4.9.1 Suhu
Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan organisme
air. Menurut Fuad (2005) dalam Sagala, et al. (2013), suhu mempunyai peran
dalam kehidupan kepiting atau organisme akuatik lain, peran tersebut antara lain
adalah respirasi, metabolisme, pertumbuhan, tingkah laku dan reproduksi serta
mempertahankan kehidupan. Hampir semua organisme sangat peka terhadap
perubahan suhu lingkungan yang terjadi secara drastis, perubahan suhu
lingkungan sebesar 5oC secara tiba-tiba dapat menimbulkan stress atau bahkan
kematian pada beberapa jenis organisme (Kordi, 1997). Data hasil pengukuran
suhu dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Data hasil pengukuran suhu
Berdasarkan data hasil pengamatan, kisaran nilai suhu yang diperoleh
pada lokasi 1 yaitu 28,6 0C, pada lokasi 2 yaitu 30,3 0C dan pada lokasi 3 yaitu
30,7 0C. Nilai tersebut dapat dikatakan cukup baik untuk kehidupan kepiting bakau.
Menurut Mulya (2000) kepiting bakau dapat bertoleransi hidup pada perairan yang
mempunyai kisaran suhu 12 – 35oC dan tumbuh dengan cepat pada perairan yang
mempunyai kisaran suhu 23 – 32oC. Kepiting bakau dapat tumbuh secara optimal
pada kisaran suhu 20 – 32oC.
4.9.2 Salinitas
Menurut Hill, et al. (1989), salinitas perairan berpengaruh terhadap tiap
fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat pergantian kulit. Menurut Sara
(1994), salinitas perairan diduga mempengaruhi struktur dan fungsi organ
organisme perairan, melalui perubahan tekanan osmotik, perubahan penyerapan
Parameter Suhu
Lokasi Suhu (°C)
1 28,6
2 30,3
3 30,7
61
sinar, pengantaran suara dan daya hantar listrik. Data hasil pengukuran salinitas
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Data hasil pengukuran salinitas
Parameter Salinitas
Lokasi Salinitas (ppt)
1 29
2 30
3 30
Berdasarkan data hasil pengamatan, kisaran nilai salinitas yang diperoleh
pada lokasi 1 yaitu 29 ppt, pada lokasi 2 yaitu 30 ppt dan pada lokasi 3 yaitu 30
ppt. Kisaran nilai salinitas tersebut masih dapat mendukung kehidupan kepiting
bakau. Menurut Susanto (2007) dalam Habibi, et al. (2013) salinitas yang optimal
untuk kehidupan kepiting bakau berkisar 10 - 32 ppt. Menurut Kasry (1996),
kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt
sampai lebih besar dari 30 ppt. Daerah Queensland, kepiting bakau dapat hidup
pada kisaran salinitas 2 – 50 ppt, walaupun belum diketahui pengaruh nilai salinitas
tersebut terhadap pertumbuhannya (Queensland Department of Primary Industry,
1989 dalam Siahainenia, 2008).
4.9.3 Derajat Keasaman (pH)
Peningkatan CO2 di dalam air akan mengakibatkan menurunnya pH
perairan. Meningkatnya pH dapat menyebabkan daya racun ammonia meningkat,
sebaliknya dengan bertambahnya kandungan CO2 bebas,pH air akan menurun
sehingga pengaruhnya terhadap daya racun ammonia akan menurun. Menurut
Boyd (1990), fluktuasi nilai pH dipengaruhi oleh aktivitas biologis misalnya
fotosintesis dan respirasi organisme, serta keberadaan ion-ion dalam perairan
tersebut. Data hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Tabel 7.
62
Tabel 7. Data hasil pengukuran pH
Parameter pH
Lokasi pH
1 7
2 8
3 8
Berdasarkan data hasil pengamatan, kisaran nilai pH yang diperoleh yaitu
6 – 8. Kisaran nilai tersebut masih dapat mendukung kehidupan kepiting bakau.
Kisaran pH yang optimal bagi perikanan termasuk crustacean adalah 5 – 9 (Kordi,
1997). Dari hasil penelitian Sudiarta (1988) dalam Siahainenia (2008), kisaran pH
antara 7,9 - 8,3 dapat mendukung kehidupan kepiting bakau yang dipelihara.
4.9.4 Kedalaman
Kedalaman air dipengaruhi salah satunya oleh peristiwa pasang surut.
Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi
perkawinan. Walau demikian, kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang
dangkal (Siahainenia, 2008). Data hasil pengukuran kedalaman air dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Data hasil pengukuran kedalaman air
Parameter Kedalaman
Lokasi Kedalaman (cm)
1 0
2 58
3 64
Berdasarkan data hasil pengamatan kedalaman air, nilai yang diperoleh
pada lokasi 1 yaitu 0 cm karena distasiun ini adalah tempat wisata yang
dipengaruhi pasang surut, pada lokasi 2 yaitu 58, pada lokasi 3 yaitu 64.
Perbedaan kedalaman pada lokasi 2 dan 3 tidak terlalu besar dikarenakan lokasi
ini merupakan muara sungai. Menurut Wahyuni dan Ismail (1987) dalam
Siahainenia (2008), kepiting bakau dijumpai pada kedalaman 30 - 79 cm di
perairan dekat hutan mangrove dan 30 - 125 cm di muara sungai.
63
4.11 Substrat Habitat Kepiting Bakau
4.10.1 pH Tanah
Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dengan nilai pH . Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
hydrogen (H+) di dalam tanah dan ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya
berbanding terbalik dengan ion H+. Pada tanah yang masam ion H+ lebih tinggi
dibanding OH-, sedang pada tanah alkalin kandungan OH- lebih banyak daripada
H+. Nilai pH berkisar antara 0 sampai 14, dengan pH 7 disebut netral, kurang dari
7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis (Mustafa et al, 2012). Hasil
pH tanah pada lokasi penangkapan kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35. Hasil Pengukuran pH tanah
Berdasarkan grafik diatas, pH tanah pada lokasi 1 memiliki nilai sebesar
7,23 pada lokasi 2 sebesar 7,11 dan lokasi 3 sebesar 6,85. Menurut Hakim (1986)
pH tanah antara 6 dan 8 merupakan pH terbaik. Suasana biologi dan penyediaan
hara umumnya berada pada tingkat terbanyak pada kisaran pH tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, pH tanah di lokasi penangkapan kepiting bakau di
Mangrove Cengkrong tergolong baik.
7.23
7.11
6.85
6.6
6.7
6.8
6.9
7
7.1
7.2
7.3
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
pH
Tan
ah
64
4.10.2 Tekstur Tanah
Berdasarkan hasil analisis tekstur tanah pada lokasi penangkapan kepiting
bakau di Mangrove Cengkrong didapatkan hasil yaitu di lokasi 1 memiliki jenis
tekstur tanah lempung liat berpasir, di lokasi 2 memiliki jenis tekstur tanah
lempung berliat dan di lokasi 3 memiliki jenis tekstur tanah lempung (Tabel 9).
Tabel 9. Data Hasil Pengamatan Tekstur Tanah
Hasil Pengamatan Tekstur Tanah
Lokasi Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Tekstur
1 55.3 21.7 23 Lempung liat berpasir
2 30.6 35.2 34.2 Lempung berliat
3 35.3 45.6 19.1 Lempung
Substrat di 3 lokasi penelitian didominasi oleh lempung yang termasuk
dalam kategori dapat digali oleh kepiting bakau untuk mencari makan, membuat
lubang sebagai tempat tinggal dan tempat bersembunyi. Menurut Webley et al.
(2009) dalam Tahmid (2016), kepiting bakau memanfaatkan lempung untuk
bersembunyi, mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan
melindungi diri dari predator. Kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap
perairan zona intertidal dan sering membenamkan diri dalam substrat lempung
atau menggali lubang pada substrat yang lunak dan merupakan habitat yang
cocok bagi kepiting bakau.
Menurut Sulingga dan Dermanti (2007) dalam Suprayogi (2013), tanah
berpasir terdiri atas partikel-partikel yang kurang dapat menahan air. Air dalam
tanah akan bergerak ke bawah melalui rongga tanah. Tanah ini juga memiliki
karakteristik lempung maka tanah agak melekat, agak lembab dan tidak terlalu
padat. Jenis tanah liat berdebu memiliki sifat lebih licin karena adanya partikel-
partikel debu. Tanah yang mengandung fraksi debu dapat memegang air,
sehingga tanah pada stasiun ini cenderung basah.
65
4.10.3 Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah merupakan hasil dekomposisi atau pelapukan bahan-
bahan mineral yang terkandung dalam tanah. Bahan organik tanah dapat berasal
dari timbunan mikroorganisme dan sisa-sisa tanaman, hewan yang telah mati dan
terlapuk selama jangka waktu tertentu (Soetjito, et al. 1992 dalam Mustafa, et al.
2012). Kandungan bahan organic yang terkandung di tanah Mangrove Cengkrong
berasal dari seresah jaringan tumbuhan mangrove, jasad-jasad organisme yang
ada (berbagai jenis ulat, kepiting, ikan juvenil), feses organisme dan kandungan
bahan organik air sungai yang masuk ke dalam tanah. Hasil bahan organik tanah
yang terdapat di wilayah tangkapan kepiting bakau di Mangrove Cengkrong dapat
dilihat pada Gambar 36. sebagai berikut.
Gambar 36. Grafik Kandungan Bahan Organik Tanah
Berdasarkan grafik diatas, kandungan bahan organik tanah pada lokasi 1
sebesar 3,842 %, pada lokasi 2 sebesar 46,71 % dan pada lokasi 3 sebesar 3,101
%. Menurut Djaenuddin et al. (1994) dalam Yeanny (2007), kriteria tinggi
rendahnya kandungan organik substrat atau tanah berdasarkan persentase
adalah sebagai berikut, < 1% (sangat rendah), 1 - 2 % (rendah), 2,01 - 3 %
(sedang), 3,01 - 5 % (tinggi), > 5,01 % (sangat tinggi). Berdasarkan hal tersebut,
kandungan bahan organik tanah di tiga lokasi penangkapan kepiting bakau
3.842
4.671
3.101
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
5.000
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Bah
an O
rgan
ik T
anah
(%
)
66
termasuk dalam kategori tinggi. Menurut Hidayat, et al. (2012), kandungan seresah
diyakini berkontribusi terhadap tingginya kandungan bahan organik.
Menurut Chairunnisa (2004) semakin tinggi kandungan bahan organik
pada substrat maka semakin semakin baik substrat tersebut untuk pertumbuhan
vegetasi mangrove, kandungan C-organik yang tinggi juga menandakan
banyaknya seresah daun mangrove yang terdekomposisi sehingga dapat diduga
persediaan makanan alami kepiting bakau juga cukup tersedia banyak. Salah satu
faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya bahan organik di substrat adalah
tekstur, tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang menghabiskan bahan
organik dengan cepat.
67
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Kepiting bakau (Scylla serrata) yang tertangkap nelayan selama penelitian
yaitu sebanyak 31 ekor (13 ekor jantan dan 18 ekor betina). Nisbah kelamin
jantan Kepiting bakau jantan dan betina 1 : 1,39. Pengamatan tingkat
kematangan gonad paling banyak tertangkap yaitu TKG 1 sebesar 61,29 %
dan sisanya TKG 2 dan 3. Kepiting bakau jantan dan betina memiliki pola
pertumbuhan allometrik negatif (b < 3).
2. Nilai kepadatan kepiting bakau di Mangrove Cengkrong Trenggalek terbanyak
terdapat pada stasiun 2 sebanyak 13 ekor kepiting. Nilai Keanekaragaman
kepiting bakau tergolong rendah yaitu sebesar 1,05 dan nilai dominasi kepiting
bakau sebesar 0,27 yang berarti tidak ada yang mendominasi pada 3 stasiun
3. Hasil pengukuran kualitas air didapatkan nilai rata rata yaitu suhu sebesar
29,8. Pengukuran salinitas diapatkan nilai sebesar 29,6. Pengukuran pH
didapatkan nilai 7, serta kedalaman diapatkan nilai sebesar 40,6 cm.
Pengamatan substrat didapatkan nilai rata rata yaitu pH tanah sebesar 21,19.
Tekstur tanah dari 3 lokasi stasiun didominasi oleh lempung. Kandungan
bahan organik tanah didapatkan nilai sebesar 3,87. Pengukuran kualitas air
dan substrat tanah didapatkan hasil yang normal sehingga kondisi habitat
kepiting bakau di Mangrove Cengkrong masih dalam keadaan cukup baik
untuk keberlangsungan hidup kepiting bakau.
68
5.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan dari penelitian ini adalah :
a) Perlunya pengawasan lebih lanjut tentang hasil tangkapan kepiting
mengenai ukuran minimal tangkapan yang boleh didaratkan
b) Perlu adanya tempat pembesaran kepiting bakau oleh Dinas Perikanan
untuk memberikan solusi agar kepiting bakau yang tertangkap dapat
dibesarkan terlebih dahulu sampai ukuranya memenuhi standar.
c) Bagi pengelola dan istansi terkait daerah Mangrove Cengkrong untuk tetap
menjaga keberadaan komunitas kepiting bakau dan habitat alaminya di
dengan cara tetap memelihara kelestarian hutan Mangrove Cengkrong
69
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, D. 2009. Metode Penelitian Deskriptif. Buku Pembelajaran Metode Ilmiah. Poltekkes. Surakarta.
Amir .1994. Penggemukan dan Peneluran Kepiting Bakau, TECHner. Jakarta. Asmara, H. 2004. Analisis Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla
Serrata) Di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. FPIK. IPB. Bogor.
Asmara, H., E. Riani., dan A. Susanto. 2011. Analisis Beberapa Aspek Reproduksi
Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi. Vol 12. (1). Hal. 31-36.
Atmojo, S. W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan
Upaya Pengelolaannya. Surakarta. Hlm 13. Barus, T. A. 2004. Faktor-Faktor Lingkungan Abiotik dan Keanekaragaman
Plankton Sebagai Indikator Kualitas Perairan Danau Toba. 11, (2), 64-72. Bliss, Dorothy. E. 1983. The Biology of Crustacea. Vol.8 Environmental
Adaptations. Academic Press, New York, 198 p. Boer, 1993. Studi pendahuluan Penyakit kunang-kunang pada larva kepiting
Bakau(Scylla serrata),Journal Penelitian Budidaya Pantai. Brower, J. E. dan J. H. Zar. 1989. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. Wm . c. Brown Company Publishers. Carlisle, D. B. 1953. Moulting hormone in Leander (Crustacea Decapoda). Mar.
biol., Ass. United Kingdom, 32:95-289 pp. Clough B.F., Boto K.G., dan Atwil P.M. 1983. Mangroves and Sewage: An
Evaluation. In H.J. Teas Biology and Ecology of Mangrove. Dr. W. Junk, the Hauge, Boston, Lancaster. 151 – 161.
Darmawan, D. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung. PT.Remaja
Rosdakarya. Kuntjojo. 2009. Metodologi Penelitian. Kediri. Effendie.M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
163 Hal. Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara.
Jakarta. 155 hal.
70
Fushimi, H and S. Watanabe.. 2003. Problem in Species Indentification of the Mud Crab Genus Scylla (Brachura : Portunidae), Department of Marine Biotechnology, Fukuyama University, Fukuyama Hiroshima Japan.
Garth, J.S and D. P. Abbott. 1980. Branchyura: The True Crabs. In Intertidal
Invertebrates of California. California: Stanford University Press. Page : 594 – 623.
Gufron, M., dan H. Kordi. 2000, Budidaya kepiting & Ikan Bandeng di tambak system polikultur, Semarang, Dahara Prize. Habibi, M.W., Dyah H., dan Nur K. 2013. Perbedaan Lama Waktu Moulting
Kepiting Bakau Scylla serrata Jantan dengan Metode Mutilasi dan Ablasi. Lentera Bio. 2 (3) : 265 – 270.
Harahap, E., Azizah, N., Affandi, A. 2014. Menentukan Tekstur Tanah Dengan
Metode Perasaan di Lahan Politani. Jurnal Nasional Ecopedon. 2 (2) : 13-15.
Hill, B.J. 1982. The Queensland Mud Crab Fishery. Queenland Department of
Primary Industry. Series FI 8201. Hunter, J. R., B. J. Macewicz., N. Chyanhuilo., C.A. Kimbrill.1992. Fecundity,
Spawning and Maturity of Female Dover Sole, Microstumus pacificus and Evaluations of Asumptions and Precisions. Fishery Bulletin, 90:101-128.
Heddy, S dan Metty, K. 1994. Prinsip-Prinsip ekologi Suatu Bahasan Tentang
Kaidah Ekologi dan Penerapannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Herliany, N. E., dan Zamdial. 2015. Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting
Bakau (Scylla spp.) Hasil Tangkapan Di Desa Kahyapu Pulau Enggano Provinsi Bengkulu. Jurnal Kelautan. 8 (2) : 89-94.
Hermanto, D. T. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi
Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Mayangan, Kabupaten Subang Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indah, R., Abdul A. dan Laga A. 2008. Perbedaan Substrat dan Distribusi Jenis
Mangrove (Studi Kasus: Hutan Mangrove di Kota Tarakan). Borneo University Library. Kalimantan Utara. Hlm 76.
Irwan, Zoer’aini Djamal. 1992. Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Bumi
Aksara. Jakarta. 210 hal. Jobággy E.G. and R.B Jackson. 2000. The vertical distribution of soil organic
carbon and its relation to climate and vegetation. Ecol. Appl. 10: 423-36. John, S and P. Sivades. 1978. Morphological Changes in The development of The
Ovary in The Eyestalk Abiated Estuarie Crab, Scylla Serata. Mahasgar Bulletin of the National Institude of Oceanography. (11) : 57-62
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau Dan Biologi Ringkas. Penerbit Bhatara. Jakarta.
71
Kanna, I. 2000. Hormon Penghambat Moulting (MIH dan GIH) dalam Pembenihan
dan Pembesaran Kepiting Bakau, Kanisius, Jakarta, 30-32 hlm. Kementerian Kelautan Perikanan. 2012. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia,
2011. Kementrian Kelautan Perikanan. Jakarta. Kordi, K. M. G. H. 1997. Budidaya Kepiting Dan Ikan Bandeng Di Tambak Sistem
Polikultur. Dahara prize. Semarang. Mukhlis, 2007. Analisis Tanah Dan Tanaman. USU press, Medan. 155 Hal Mulya, M. B. 2000. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla sp.) serta
Keterkaitannya dengan Karakteristik Biofisik Hutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Propinsi Sumatera Utara. Tesis Program Pascasarjana. IPB.
Mohapatra, A., Rajeeb K. M., Surya K. M., dan Dey S. K. 2010. Carapace width
and weight relationships, condition factor, relative condition factor and gonado somatic index (GSI) of mud crabs (Scylla spp.) from Chilika Lagoon, India. Indian Journal of Marine Science. 39(1). 120-127.
Mossa, K., I.Aswandy dan A.Kasry. 1995. Kepiting Bakau Scylla serrata dari
Perairan Indonesia. LON – LIPI. 18 hal. Motoh, H. 1977. Biological synopsis of Alimango, Genus Scylla. SEAFDEC
Aquaculture Department. Nadia, Y. 2002. Analisa Komunitas Krustasea Berukuran Kecil (Famili Ocypodidae
dan Grapsidae) di Habitat Mangrove Muara Sungai Bengawan Solo, Desa Pangkah Wetan Ujung Pangkah Gresik Jawa timur. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm 35.
Odum, E. 1993. Fundamentals of Ecology. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Pulungan, C. P. 2015. Nisbah Kelamin dan Nilai Kemontokan Ikan Tabingal (Puntioplites bulu Bikr) dari Siak, Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Universitas Riau.
Peritika, M. Z. 2010. Keanekaragaman Makrofauna Tanah Pada Berbagai Pola Agroforestri Lahan Miring di Kabupaten Wonogiri Jawa tengah. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hlm 44-54.
Qomaruddin, Q. 2012. Sumber Data. Diakses dari https://eprints.uny.ac.id/9391/3
pada tanggal 3 Februari 2015 Retnowati, T.1991. Menentukan Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau
Scylla serrata (FORSKAL) Secara Morfologis dan Kaitannya dengan Perkembangan Gamet. Institut Pertanian Bogor. (Skripsi).
Robertson, A. 1988. Decomposition of Mangrove Leaf Litter in Tropical Australia.
Journal Exploration Marine Ecology. 116 : 236 – 247.
72
Rosmaniar, 2008. Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Serta
Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang [Tesis]
Sabaruddin, S. Ishizuka, K. Sakurai, S. Tanaka, S. Kubota, M. Hirota, S.J. Priatna,
and Juairiah. 2001. Characteristics of Ultisols under different wildfire history in South Sumatra, Indonesia: I. Physicochemical properties. Tropics 10: 565-580.
Sagala, L.S.S., Muhammad I., dan Mohammad N.I. 2013. Perbandingan
Pertumbuhan Kepting Bakau (Scylla serrata) Jantan dan Betina pada Metode Kurungan Dasar. Jurnal Mina Laut Indonesia. 3 (12) : 46 - 54.
Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem
Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. (Disertasi).
Suprayogi, D. 2013. Keanekaragaman Kepiting Biola (Uca spp.) di Desa Tungkai
I Tanjung Jabung Barat. Jambi. Hlm 2-8.
Shelley C and Lovatelli, A. 2011. Mud crab aquaculture A practical manual. Fao Fisheries And Aquaculture Technical Paper 567.
Siburian, T. A. 2013. Metode Penelitian Manajemen Pendidikan. Universitas Negeri Medan. Medan.
Snedaker, S.C., dan Getter, C.D.1985. Coastal Resources Management
Guidelines. Research Planning Institute, Inc. Colombia, Melbourne, Sydney.
Tanod, A. L. 2000. Studi Perumbuhan dan Reproduksi Kepiting Bakau Scylla
serrata, S.tranquebarica, S.oceanica di Segara Anakan, Kab. Cilacap Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Tanod, A., M. Sulistiono, S. Watanabe,. 2001. Reproduction and Gowth of Mud
Crabs In Segara Anakan Lagoon Indonesia. JSPS – DGHE International Symposium. Sustainable in Asia in the New Millennium.
Tahmid, M. 2016. Kajian Ekologi-Ekonomi Kepiting Bakau (Scylla serrata –
Forsskal, 1775) Di Ekosistem Mangrove Teluk Bintan Kabupaten Bintan. Institut Pertanian Bogor. Tesis.
Tahunalia, A. 2010. Struktur Komunitas Kepiting Biola (Uca) di Kawasan
Mangrove Kelurahan Mangunharjo Kota Probolinggi Propinsi Jawa Timur. Universitas Brawijaya. Malang. Hlm 46-47.
Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Struktur
Komunitas Fauna Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan Kalimantan Timur. Universitas Diponegoro Semarang, Hlm 23.
73
Triyanto. 2016. Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tutuheru, A. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau Scylla serrata dan S. tranquebarica di Perairan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi: 84p.
Watanabe, S., M. Sulistiono, Yokota and R. Fuseya. 1996. The Fishing gear and
method of mud crab in Indonesia. Cancer, (5): 23-26. (In Japanese). Wijaya, N. I. 2011. Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Melalui
Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan timur. Institut Pertanian Bogor. (Disertasi)
WWF. 2015. panduan Penangkapan dan Penanganan Kepiting Bakau. Ebook
Yeanny, M. S. 2007. Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Muara Sungai Belawan. Jurnal Biologi Sumatra. ISSN 1907-5537. Vol 2. No 2
Zahid, A., dan Charles, P.H.S. 2009. Biologi Reproduksi dan Faktor Kondisi Ikan Ilat-ilat Cynoglossis bilineatus (Lac. 1820) (Pisces : Cynoglossidae) di Perairan Pantai Mayangan Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9 (1) : 85 – 95.