91
i LAPORAN PENELITIAN KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI PERAIRAN MAUMERE, KABUPATEN SIKKA COREMAP-CTI PUSAT PENELITIAN OSEANOGRAFI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA DAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO 2017

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

i

LAPORAN PENELITIAN

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DAN EKOSISTEM TERKAIT

DI PERAIRAN MAUMERE, KABUPATEN SIKKA

COREMAP-CTI

PUSAT PENELITIAN OSEANOGRAFI

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

DAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2017

Page 2: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

ii

LAPORAN PENELITIAN

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DAN EKOSISTEM TERKAIT

DI PERAIRAN MAUMERE, KABUPATEN SIKKA

Penyusun:

Agus Sabdono

Munasik

Rudhi Pribadi

Ita Riniatsih

Denny Nugroho Sgiyanto

Andy Achmad Romadhoni

Sukron Alfi Rintiantoto

Aditya Sukma Bahari

Abdul Madjid Al Hanif

Julian Aditya Ghaffar

Rinto Setyawan

Dwi Indra Bagus Nugroho

Arya Muhammad

Fawzia L H Nasution

COREMAP-CTI

PUSAT PENELITIAN OSEANOGRAFI

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

DAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2017

Page 3: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

i

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH Yang Maha Kuasa,

karena atas rahmat dan hidayah-Nya maka laporan “Kondisi Ekosistem Terumbu

Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Maumere, Kabupaten Sikka”, dapat

diselesaikan. Kegiatan yang dilaksanakan pada akhir Bulan Juli 2017 ini merupakan

kerjasama tahun kedua dari program kegiatan COREMAP-CTI yang dilaksanakan

oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang bekerjasama dengan Universitas

Diponegoro.

Peyusunan laporan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

kondisi ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait di perairan Maumere,

Kabupaten Sikka dimana pendataan ini adalah pendataan tahun ketiga dalam program

Coremap-CTI fase III. Perairan Sikka merupakan wilayah yang mendapatkan manfaat

dari program Coremap-CTI, dan sejak tahun 2015 menjadi daerah binaan dari

program tersebut, sehingga perlu adanya upaya untuk mengetahui tingkat kesehatan

terumbu karang dan ekosistem terkait di wilayah ini. Adapun aspek penelitian yang

dilaksanakan meliputi pengamatan terhadap kesehatan terumbu karang, ikan karang,

megabenthos, ekosistem lamun, dan mangrove, dengan didukung oleh pemetaan

menggunakan penginderaan jauh.

Dengan terselesaikannya laporan ini kami menyampaikan ucapan terima

kasih kepada semua pihak. Puslit Oseanografi LIPI, Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Sikka, dan masyarakat Maumere yang telah membantu kelancaran

pelaksanaan kegiatan ini. Laporan penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi

dan dapat bermaanfaat upaya pelestarian lingkungan hidup serta dapat menjadi acuan

bagi para pemangku kepentingan dan semua pihak yang membutuhkan.

Semarang, Nopember 2017

Tim Peneliti

Page 4: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

ii

ABSTRAK

Perairan pesisir Teluk Maumere di Kabupaten Sikka, NTT, memiliki keanekaragaman

hayati yang relatif tinggi. Ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun banyak

ditemukan di pesisir daerah tersebut. Wilayah Kabupaten Sikka dengan Ibukota

Maumere terletak di sebelah timur Pulau Flores Provinsi Nusa tenggara Timur

Wilayah Kabupaten Sikka yang luasnya 7.553,24 km². Wilayahnya terdiri dari laut

yang luasnya mencapai 5.821,33 km² atau 77,07 % merupakan perairan laut.

Didalamnya terdapat 17 buah pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 444,50 km.

Luas terumbu karang di kabupaten ini ± 104,92 km2 yang terdiri dari terumbu karang

tepi (fringing reef) yang terdapat di pesisir daratan pulau utama (Pulau Flores)

maupun di pesisir.

Penilaian kondisi ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait ini dilakukan pada

tanggal 23-31 Juli 2017 di perairan Maumere, Kabupaten Sikka dan kepulauan di

sekitarnya. Kegiatan monitoring kedua ini dilakukan dengan penilaian kondisi

ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove, serta pengamatan terhadap biota-

biota asosiasinya seperti ikan karang dan megabenthos yang didukung dengan metode

penginderaan jauh untuk pemetaan wilayahnya. Monitoring terumbu karang, ikan

karang dan megabenthos terdiri dari 14 stasiun, sedangkan lamun dan mangrove

masing-masing berjumlah 8 dan 13 stasiun. Lokasi pengambilan data tersebar di

pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di utara Kab. Sikka antara lain Pulau Babi,

Pulau Besar, Pulau Dambilah, Pulau Pangabatang, dan Pulau Pemana Kecil.

Hasil monitoring kondisi terumbu karang pada tahun 2017 menunjukkan peningkatan

tutupan karang keras hidup dari sebelumnya 15,76% (hasil pengamatan tahun 2016)

menjadi 18,71%. Hasil pengamatan ikan karang di seluruh lokasi stasiun di perairan

Kabupaten Sikka dengan luas transek sabuk 350 m2 ditemukan total 63 jenis ikan

karang yang berasal dari 6 famili ikan diantaranya 17 jenis ikan Famili

Chaetodontidae. Terjadi penurunan kelimpahan ikan karang di satu stasiun MMRC 05

secara signifikan dibandingkan pada tahun sebelumnya. Hasil pengamatan

Megabentos pada 14 stasiun ditemukan 7 jenis megabenthos target dengan jumlah

total 502 individu. Sedangkan kondisi ekosistem Lamun dalam kondisi yang baik

dengan rata-rata penutupan sebesar 64,8 % dengan kisaran antara 42,8 -79,2 %.

Prosentase penutupan lamun tertinggi terdapat di stasiun MMRSG08 (pesisir Pulau

Babi) dan penutupan terendah pada stasiun MMRSG01 (Wuring). Terdapat perbedaan

kondisi kategori kesehatan lamun, namun masih dalam katagori baik. Perbedaaan ini

diduga karena adanya pengaruh aktivitas kegiatan masyarakat pesisir yang bermukim

berdekatan di beberapa stasiun monitoring. Hasil penilaian kondisi mangrove yang

terdiri dari 13 stasiun tersebar di pantai Kabupaten Sikka, menunjukkan bahwa

spesies paling banyak ditemukan adalah Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba.

Kerapatan tertinggi berada di Stasiun MMRM 13 sebesar 3133 ind/ha dan yang

terendah terdapat di stasiun MMRM 06 dengan nilai 1033 ind/ha.

Page 5: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

ABSTRAK ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix

I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1

1.2 Rumusan Permasalahan .......................................................... 2

1.3 Tujuan dan Sasaran .................................................................. 2

II. METODE DAN ANALISIS DATA ......................................................... 3

2.1 Pelaksanaan dan Lokasi Penelitian .......................................... 3

2.2 Metode Setiap Substansi Penelitian ......................................... 3

2.2.1 Penginderaan Jauh ........................................................... 3

2.2.2 Terumbu Karang ............................................................. 8

2.2.3 Ikan karang ...................................................................... 11

2.2.4 Megabenthos.................................................................... 12

2.2.5 Lamun ............................................................................. 13

2.2.6 Mangrove ........................................................................ 16

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 19

3.1 Penginderaan Jauh .................................................................... 19

3.1.1 Pra-pemrosesan Citra Landsat ....................................... 19

3.1.2 Klasifikasi Habitat Perairan Dangkal ............................ 20

3.1.3 Pemetaan Ekosistem Mangrove ...................................... 22

3.2 Peta Habitat Perairan Dangkal ................................................. 22

3.3 Karang ...................................................................................... 24

3.3.1 Tutupan karang................................................................ 24

3.3.2 Kondisi Umum Lokasi .................................................... 27

Page 6: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

iv

3.3.2.1 Stasiun MMRC 01 ................................................... 27

3.3.2.2 Stasiun MMRC 02 ................................................... 28

3.3.2.3 Stasiun MMRC 03 ................................................... 29

3.3.2.4 Stasiun MMRC 04 ................................................... 30

3.3.2.5 Stasiun MMRC 05 ................................................... 31

3.3.2.6 Stasiun MMRC 06 ................................................... 32

3.3.2.7 Stasiun MMRC 07 ................................................... 32

3.3.2.8 Stasiun MMRC 08 ................................................... 33

3.3.2.9 Stasiun MMRC 09 ................................................... 34

3.3.2.10 Stasiun MMRC 10 .................................................. 35

3.3.2.11 Stasiun MMRC 11 .................................................. 36

3.3.2.12 Stasiun MMRC 12 .................................................. 37

3.3.2.13 Stasiun MMRC 13 .................................................. 37

3.3.2.14 Stasiun MMRC 14 .................................................. 38

3.4. Ikan Karang .............................................................................. 40

3.4.1. Jumlah Jenis ................................................................... 40

3.4.2. Kelimpahan Ikan Karang ............................................... 42

3.4.3. Biomassa Ikan Karang ................................................... 43

3.5 Megabenthos ............................................................................ 45

3.5.1. Komposisi dan Kepadatan Megabenthos ....................... 46

3.5.1.1 Teripang .................................................................. 48

3.5.1.2 Kima ........................................................................ 49

3.5.1.3 Lobster .................................................................... 49

3.5.1.4 Drupella ................................................................... 50

3.5.1.5 Bulu Babi ................................................................ 51

3.5.1.6 Linckia Laevigata .................................................... 52

3.5.1.6 Acanthaster Planci ................................................... 53

3.6 Lamun ...................................................................................... 53

3.7 Mangrove ................................................................................. 58

IV. KESIMPULAN......... ............................................................................... 72

Page 7: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

v

DAFTAR PUSTAKA...... ............................................................................... 75

Page 8: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta habitat perairan dangkal di wilayah Kabupaten Sikka...................... 3

Gambar 2. Kenampakan vegetasi mangrove pada Daerah Darat Pantai................... 5

Gambar 3. Kenampakan habitat perairan laut dangkal pada Pulau Kambing............ 6

Gambar 4. Peta sebaran titik ground truth (uji akurasi pemetaan habitat

perairan dangkal)..................................................................................... 8

Gambar 5. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT....................................... 9

Gambar 6. Peta lokasi stasiun penelitian monitoring terumbu karang, ikan karang,

dan megabenthos (MMRC) di perairan Kabupaten Sikka........................ 10

Gambar 7. Skema Transek Kuadrat............................................................................ 15

Gambar 8. Peta sebaran stasiun permanen untuk pemantauan ekosistem mangrove

Kabupaten Sikka....................................................................................... 18

Gambar 9. Pergeseran nilai histogram. (kiri) sebelum dikoreksi radiometri,

(kanan) setelah koreksi radiometri............................................................... 19

Gambar 10. Grafik regresi linier sampel piksel objek pasir pada pasangan

saluran (band) tampak (red untuk Band 4, green untuk Band 3,

blue untuk Band 2) yang sudah di transformasi menggunakan

natural logaritma (Ln)............................................................................... 20

Gambar 11. Klasifikasi Tidak terbimbing Citra hasil koreksi kolom air (kiri),

dengan acuan citra kenampakan habitat perairan laut dangkal (kanan),

pada Pulau Pomana................................................................................... 21

Gambar 12. Citra kombinasi RGB band 5, band 6, dan band 4 (kiri), kombinasi

Citra true color (kanan)............................................................................. 22

Gambar 13. Peta habitat perairan dangkal Perairan Maumere, Sikka 2017............... 23

Gambar 14. Peta persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing stasiun..... 26

Gambar 15. Persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing

stasiun pengamatan................................................................................ 26

Gambar 16. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC01...............................,........ 28

Gambar 17. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC02...............................,........ 29

Page 9: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

vii

Gambar 18. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC03...............................,........ 30

Gambar 19. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC04...............................,........ 30

Gambar 20. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC05...............................,........ 31

Gambar 21. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC06...............................,........ 32

Gambar 22. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC07...............................,........ 33

Gambar 23. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC08...............................,........ 34

Gambar 24. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC09...............................,........ 34

Gambar 25. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC10...............................,........ 35

Gambar 26. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC11...............................,........ 36

Gambar 27. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC12...............................,........ 37

Gambar 28. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC13...............................,........ 38

Gambar 29. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC14...............................,........ 39

Gambar 30. Peta persentasi tutupan substrat dasar di stasiun monitoring, perairan

Maumere, Sikka, 2017.......................................................................... 39

Gambar 31. Plectorhinchus vittatus pada stasiun MMRC 08................................,... 40

Gambar 32. Variasi jumlah jenis ikan karang dari 5 suku ikan ekonomis yang

ditemukan berdasarkan lokasi penelitian di Sikka, Flores,2017............ 41

Gambar 33. Jumlah jenis ikan kepe-kepe dari kelompok suku Chaetodontidae

menurut lokasi penelitian di perairan Sikka Flores,2017..................... 41

Gambar 34. Tingkat kelimpahan ikan karang dari 5 suku ekonomis penting menurut

lokasi penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2017......... 43

Gambar 35. Biomassa ikan karang dari 5 suku ikan ekonomis penting di

stasiun monitoring di perairan Maumere, Kabupaten Sikka, 2017........ 44

Gambar 36. Diagram perbandingan jumlah individu megabenthos di Perairan

Sikka Maumere tahun 2017................................................................. 46

Gambar 37. Kepadatan Megabenthos di Perairan Sikka Maumere (ind/m2).............. 47

Gambar 38. Teripang yang ditemukan di Perairan Sikka........................................... 48

Gambar 39. Kima di Perairan Kabupaten Sikka......................................................... 49

Gambar 40. Lobster yang ditemukan di Perairan Sikka ............................................ 49

Gambar 41. Siput Drupella diantara Karang Hidup.................................................... 50

Page 10: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

viii

Gambar 42. Bulu babi di stasiun MMRC 14.............................................................. 51

Gambar 43. Linckia laevigata di Stasiun MMRC 01................................................. 52

Gambar 44. Acanthaster Planci ................................................................................. 53

Gambar 45. Peta Lokasi monitoring Lamun di Kabupaten Sikka tahun 2017........... 54

Gambar 46. Grafik rata-rata % Penutupan lamun di setiap Stasiun Monitoring di

Kabupaten Sikka................................................................................... 57

Gambar 46. Pemasangan plat dan penyemprotan batang (atas); contoh bentuk plat

yang digunakan dalam pengamatan dan posisi pemasangan ditahun

2016 (bawah)......................................................................................... 60

Gambar 47. Peta sebaran lamun di Kabupaten Sikka hasil monitoring tahun 2017... 58

Gambar 48. (A) Plat yang terlepas dari batang mangrove yang diamati (B)

Tali transek yang hilang dilakukan pemasangan ulang (C) Plat transek

lebih bertahan lama, terbukti tidak ada kerusakan maupun hilang........ 59

Gambar 49. (A) Pemasangan plat dengan warna kuning dan merah (B)

Pemasangan plat tetap mengikuti kaidah penomeran dan penentuan

plot dari LIPI (C) Pemasangan plat di pohon sejati (D) Tanda

diluar transek untuk memudahkan menuju titik pengamatan................ 60

Gambar 50. Peta sebaran persen tutupan di setiap stasiun pengamatan Kabupaten

Sikka tahun 2017.................................................................................... 63

Gambar 51. Kondisi Sonneratia alba yang sudah terpangkas ranting dan daunnya

di stasiun MMRM 01 (A), stasiun MMRM 09 (B), dan stasiun

MMRM 12 (C)....................................................................................... 64

Gambar 52. Grafik sebaran kerapatan mangrove (ind/ha) tahun 2016 (biru)

dan tahun 2017 (merah) di Kabupaten Sikka........................................ 65

Gambar 53. Pengukuran diameter batang dan pencatatan data di lapangan (atas);

pengukuran parameter lingkungan (bawah)............................................ 67

Gambar 54. Sketsa pola penggelaran plot serta denah lokasi setiap stasiun

pengamatan tahun 2017 di Kabupaten Sikka.......................................... 71

Page 11: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 01. Kode masing-masing biota dan subtrat....................................................... 9

Tabel 02. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase

tutupan karang hidup.................................................................................... 10

Tabel 03. Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang menjadi objek

monitoring................................................................................................... 13

Tabel 04. Kategori tutupan lamun............................................................................... 15

Tabel 05. Posisi geografis dan tipe substrat stasiun permanen pemantauan

mangrove di wilayah KKPD Kabupaten Sikka tahun 2017......................... 17

Tabel 06. Tabel Matrik Uji Akurasi pemetaan habitat perairan dangkal.................... 21

Tabel 07. Luasan habitat perairan dangkal dan ekosistem Mangrove pada

tahun 2016 dan 2017.................................................................................... 24

Tabel 08. Jumlah individu, kepadatan dan jumlah jenis ikan kepe-kepe menurut

stasiun penelitian di perairan Sikka, Flores, 2017....................................... 42

Tabel 09. Komposisi jenis ikan karang dari 5 suku terpilih....................................... 44

Tabel 10. Jumlah individu Megabenthos yang ditemukan......................................... 46

Tabel 11. Pola kehadiran Megabenthos di perairan Sikka Maumere tahun 2017...... 49

Tabel 12. Komposisi Jenis Lamun di Setiap Lokasi Pengamatan Monitoring......... 55

Tabel 13. Hasil Perhitungan % Penutupan Lamun di setiap Stasiun Monitoring di

Pesisir Maumere Kabupaten Sikka Periode Tahun 2017........................... 55

Tabel 14. Koordinat pengamatan mangrove tahun 2017 di Kabupaten Sikka........... 61

Tabel 15. Jumlah jenis dalam plot permanen, persentase tutupan kanopi dan stasus

kerapatan pada 13 stasiun pemantauan mangrove COREMAP CTI di

wilayah KKPD Teluk Maumere tahun 2016 dan tahun 2017..................... 62

Tabel 16. Perbandingan kerapatan mangrove (ind/ha) tahun 2016 dan tahun

2017 (merah) di Kabupaten Sikka.............................................................. 66

Page 12: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

x

Page 13: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

xi

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan COREMAP Fase III kali ini yang diberi nama COREMAP CTI yang

direncanakan berlangsung selama 5 tahun (2015-2019), dilakukan di 15 lokasi

COREMAP. Tahun ini merupakan tahun ke 3 dari 5 tahun yang telah direncanakan,

dan merupakan tahun kedua kerjasama antara LIPI dan Universitas Diponegoro dalam

kegiatan penelitian ini.

Ekosistem terumbu karang, padang lamun, serta mangrove merupakan

ekosistem yang memiliki peranan penting sebagai sumber nutrisi serta tempat hidup

bagi banyak biota laut. Ketiga ekosistem tersebut memiliki nilai ekologis dan

ekonomis yang sangat tinggi yang dapat menunjang kehidupan di wilayah pesisir.

Oleh karena itu, ketiga ekosistem tersebut dijadikan panduan didalam pengelolaan

laut dan pesisir (Dahuri, 1996). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengenai

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga mengatur pemanfaatan yang

tidak merusak serta perlindungan terhadap ketiga ekosistem tersebut. Ketiga

ekosistem tersebut dapat ditemukan di wilayah pesisir Kabupaten Sikka. Adanya

pemanfaatan sumber daya alam di ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan

mangrove, serta aktifitas manusia yang bersinggungan langsung dengan ketiga

ekosistem tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi kelestarian dan keberadaan

ekosistem ini di masa yang akan datang.

Kabupaten Sikka merupakan salah satu lokasi COREMAP dengan Ibukota

Maumere yang terletak di sebelah timur Pulau Flores. Wilayah Kabupaten Sikka yang

luasnya 7.553,24 km², wilayahnya terdiri dari laut yang luasnya mencapai 5.821,33

km² atau 77,07 % merupakan perairan laut. Didalamnya terdapat 17 buah pulau dan

dikelilingi garis pantai sepanjang 444,50 km. (www.sikkakab.go.id). Luas terumbu

karang di kabupaten ini ± 104,92 km2 yang terdiri dari terumbu karang tepi (fringing

Page 14: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

2

reef) yang terdapat di pesisir daratan pulau utama (Pulau Flores) maupun di pesisir

(Winardi & Manuputty, 2007).

Ekosistem terumbu karang, padang lamun, serta mangrove merupakan

ekosistem yang memiliki peranan penting sebagai sumber nutrisi serta tempat hidup

bagi banyak biota laut. Oleh karena itu, ketiga ekosistem tersebut dijadikan panduan

didalam pengelolaan laut dan pesisir (Dahuri, 1996). Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga

mengatur pemanfaatan yang tidak merusak serta perlindungan terhadap ketiga

ekosistem tersebut. Keanekaragaman ekosistem pesisir dan laut yang terdapat di

perairan Sikka merupakan sumberdaya yang penting untuk dilindungi mengingat

besarnya ketergantungan masyarakat terhadap ekosistem tersebut.

1.2 Rumusan Permasalahan

Keanekaragaman hayati di perairan pesisir teluk Maumere di Kabupaten

Sikka, NTT, relatif sangat tinggi. Ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun

banyak ditemukan di pesisir daerah tersebut. Pengamatan di lokasi ini sudah beberapa

kali dilaksanakan namun belum ada pendataan dan monitoring yang dilaksanakan

secara berkala. Ketersediaan data dari tahun ke tahun sangat dibutuhkan guna menjadi

bahan evaluasi mengenai kondisi kesehatan perairan dan ekosistem terumbu karang

agar diketahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh aktifitas yang sudah

berlangsung.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data berkelanjutan

mengenai kesehatan terumbu karang yang meliputi penelitian karang, ikan karang dan

megabenthos, serta data lanjutan mengenai ekosistem terkait yakni ekosistem padang

lamun dan ekosistem mangrove di perairan Sikka untuk COREMAP CTI agar

nantinya diketahui perkembangan dan perubahan yang terjadi selama masa program

ini berlangsung.

Page 15: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

3

II. METODE DAN ANALISIS DATA

2.1 Pelaksanaan dan Lokasi Penelitian

Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait tahun kedua di

wilayah Kabupaten Sikka dilaksanakan di perairan pesisir Maumere dan pulau –

pulau kecil disekitarnya. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 hingga 31 Juli

2017 pada lokasi pendataan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya (Gambar 1).

Gambar 1. Peta habitat perairan dangkal di wilayah Kabupaten Sikka.

2.2 Metode setiap Substansi Penelitian

2.2.1 Penginderaan Jauh

Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena dengan jalan analisis data yang

diperoleh melalui alat perekam (sensor) yang menggunakan gelombang

elektromagnetik sebagai media perantaranya tanpa menyentuh objek tersebut.

Penginderaan jauh merupakan teknologi yang menjadi sumber informasi dalam

pengumpulan data secara efektif untuk pengolahan data-data di bidang kelautan, salah

satunya adalah pemetaan habitat perairan dangkal. Habitat perairan dangkal memiliki

Page 16: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

4

peran penting sebagai habitat biota laut selain itu sebagai pelindung garis pantai dari

gelombang laut dan tempat pengadukan sedimen tersuspensi. Penginderaan jauh dapat

merekam permukaan bumi pada wilayah yang luas serta sulit dijangkau dan juga

menyediakan data citra terbaru dengan waktu perekaman yang berbeda, sehingga

memungkinkan analisis secara multi-waktu (Lillesand dan Kiefer, 1999). Teknologi

penginderaan jauh ini dianggap efektif karena Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau

yang masih sulit dijangkau sehingga informasi tentang habitat perairan dangkal ini

sangat sedikit, dengan bantuan teknologi penginderaan jauh maka kebutuhan akan

informasi habitat perairan dangkal di Indonesia dapat terpenuhi.

Metode ground truth, yakni mendeskripsikan secara visual jenis substrat dasar

perairan meliputi komposisi persentase material penyusun pada resolusi 15 m x 15 m

yang di tandai dengan koordinat geografis menggunakan GPS. Peralatan lapangan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah: GPS Garmin Tipe Oregon 650, peralatan

snorkling, kamera underwater jenis Canon G10, dan catatan lapangan.

Metode analisis penginderaan jauh untuk pemetaan mangrove dilakukan

dengan menggunakan citra Landsat-8 path/row 122/66 perekaman Februari 2017.

Citra dipilih pada bulan tersebut karena hasil perekaman bulan januari tertutup oleh

awan di daerah pesisir perairan Maumere. Citra satelit terlebih dahulu dikoreksi

radiometri untuk menghilangkan haze atau hamburan pada citra akibat gangguan di

atmosfer dan dilakukan koreksi geometri untuk membenarkan posisi objek di citra

dengan keadaan sebenarnya. Identifikasi vegetasi mangrove dilakukan melalui

komposit band Red Green Blue (RGB) saluran (band) 5, 6, dan 4 (Khairuddin et al.

2016). Melalui komposit band tersebut akan terlihat vegetasi mangrove yang

berwarna orange lebih pekat dibandingkan vegetasi lainnya, hal tersebut dikarenakan

vegetasi mangrove memiliki kandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain

di sekitarnya. Selanjutnya dilakukan teknik digitasi manual untuk memperoleh

sebaran dan luasan vegetasi mangrove.

Page 17: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

5

Gambar 2. Kenampakan vegetasi mangrove pada Daerah Darat Pantai

Metode analisis penginderaan jauh untuk pemetaan habitat perairan dangkal

dilakukan dengan menggunakan citra Landsat-8 path/row 122/66 perekaman Februari

2017. Koreksi dilakukan terhadap citra untuk menghilangkan gangguan dari atmosfer

yang berupa haze atau hamburan awan. Metode koreksi radiometri menggunakan

metode pergeseran histogram, yaitu dengan mengurangi seluruh nilai piksel pada

liputan / saluran (band) citra dengan nilai bias atau nilai bias citra atau lebih dikenal

dengan dark pixel substraction. Asumsi pada metode ini adalah jika pengaruh

atmosferik tidak ada, maka nilai digital (ND) pada liputan citra pasti ditemui nilai

piksel dengan nilai nol. Proses pemetaan habitat perairan dangkal dilanjutkan dengan

proses masking dan cropping bertujuan untuk membatasi area analisis citra pada area

dengan koordinat 122°03'25,20" BT hingga 122°34'19,20" BT dan 8°16'37,20" LS

hingga 8°39'50,20" LS. Pada analisis citra untuk habitat perairan laut dangkal perlu

dilakukan pemisahan daratan dan perairan, agar proses analisisnya hanya dilakukan

pada wilayah perairan. Selanjutnya menyusun citra komposit RGB di perairan laut

dangkal, masukkan spektrum merah warna merah (Red) ke dalam kolom Red,

spektrum hijau (Green) ke dalam kolom Green, serta spektrum biru (Blue) ke dalam

kolom Blue. Hasil eksekusi ke tiga spektrum citra tersebut merupakam citra komposit

Page 18: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

6

RGB true color yang memberikan warna sesungguhnya di alam seperti warna air laut

yang biru, pasir pantai putih. Citra komposit RGB dapat memperlihatkan gambaran

yang jelas pada obyek obyek di perairan dangkal seperti terumbu karang, pasir dan

lainnya. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk berpenetrasi ke

dalam kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas pada

perairan dangkal (Campbell, 1996).

Pemetaan habitat perairan dangkal dilanjutkan dengan proses koreksi kolom

air. Koreksi kolom air dilakukan untuk memperbaiki kualitas citra dengan jalan

mengurangi gangguan yang berada di kolom air. Teknik yang umum digunakan untuk

koreksi kolom air adalah berdasarkan pada algoritma yang dikembangkan oleh

Lyzenga (1981). Dasar asumsi untuk koreksi kolom air tersebut adalah sinar yang

masuk ke dalam kolom air berkurang secara eksponensial dengan semakin

bertambahnya kedalaman air (atenuasi). Tujuan dari koreksi kolom air adalah untuk

mendapatkan Ki/Kj atau Rasio koefisien atenuasi pada pasangan band i dan j

(merupakan pasangan saluran (band) memiliki regresi linier yang tinggi dibanding

pasangan antar band lainnya di daerah habitat perairan dangkal). Rasio koefisien

atenuasi didapatkan dengan mengumpulkan beberapa logaritma nilai digital (ND)

pada masing-masing saluran tampak pada perairan dangkal.

Gambar 3. Kenampakan habitat perairan laut dangkal Pulau Kambing ( P.Pomana )

Page 19: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

7

Selanjutnya nilai Ki/Kj diaplikasikan ke dalam formula Lyzenga :

Depth Invariant Index = ln(Li) – [(Ki/Kj).ln(Lj)]

Li : Nilai digital pada band i.

Lj : Nilai digital pada band j.

Ki/Kj : Rasio koefisien atenuasi pada pasangan band i dan j.

Proses pemetaan habitat perairan dangkal selanjutnya adalah interpretasi citra

yaitu proses deteksi, klasifikasi, identifikasi dan analisis, serta delineasi (Sutanto,

1994). Proses utama dalam interpretasi citra yang dilakukan secara digital adalah

klasifikasi citra. Klasifikasi citra dilakukan dengan metode klasifikasi tidak

terbimbing (unsupervised classification). Unsupervised classification dilakukan

dengan mengelompokkan piksel citra menjadi beberapa kelas hanya berdasarkan pada

perhitungan statistik tertentu tanpa menentukan sampel piksel (training) yang

digunakan oleh komputer sebagai acuan untuk melakukan klasifikasi. Identifikasi

ulang dilakukan untuk memberikan identitas kelas pada citra hasil klasifikasi. Proses

interpretasi ulang dapat dibantu secara visual dengan menggunakan citra komposit

warna berdasarkan pada pengetahuan interpreter, atau berdasarkan pada data hasil

kerja lapangan sebagai dasar pengkelasan. Kelas yang digunakan sebagai acuan

klasifikasi yakni sebanyak 3 kelas, yaitu habitat karang, lamun, dan substrat terbuka.

Berdasarkan peta tentatif yang diperoleh dari hasil klasifikasi, ditentukan

lokasi sampel uji lapangan untuk verifikasi kebenaran. Penentuan sampel dilakukan

dengan metode purposive dan proportional random sampling sebanyak 20 titik pada

masing-masing kelas. Purposive sampel mempertimbangkan keragaman kelas habitat

dasar perairan laut dangkal.

Page 20: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

8

Gambar 4. Peta sebaran ground truth (uji akurasi pemetaan habitat perairan dangkal)

2.2.2 Terumbu Karang

Pengamatan terumbu karang yang dilakukan di Kabupaten Sikka dimulai dari

pengamatan visual secara bebas mulai dari bagian pinggir pantai hingga ke bagian

terumbu tempat dilakukannya transek di masing-masing stasiun penelitian. Hal ini

dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum tentang stasiun penelitian. Selain itu

juga dilakukan pengambilan data menggunakan metode UPT (Underwater Photo

Transect) (Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a; Giyanto, 2012b) . Metode transek

foto bawah air dengan transek permanen adalah suatu metode untuk pemantauan

kondisi terumbu karang, terutama untuk memantau tutupan karang hidup dari suatu

area. Metode ini merupakan pengembangan dari metode Point Intercept Transect

(PIT), Line Intercept Transect (LIT) dan Permanent Quadrat Method (PQM) (Hill &

Wilkinson, 2004; English et al, 1997). Pada titik stasiun dipasang garis transek

permanen di kedalaman antara 3-10 meter dengan panjang transek 50 meter dimana

pada setiap interval jarak 1 meter diletakkan frame dengan cakupan luas 58 x 44 cm.

Dimulai pada titik 1 meter (angka ganjil) frame diletakkan disebelah kiri atau sebelah

atas garis transek dan pada setiap angka genap berada disebelah kanan meter atau

Page 21: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

9

berada di bawah garis transek dan seterusnya, sehingga ada sebanyak 50 frame foto

yang diperoleh pada setiap stasiun. (Gambar 5)

Gambar 5. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT.

Selanjutnya data yang dihasilkan sebanyak 50 foto tersebut dianalisa

menggunakan piranti lunak (software) CPCe versi 4.1. (Coral Point Count with Excel

extension) (Kohler & Gill, 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap

frame foto, dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing

kategori dan biota dan substrat yang berada pada titik acak tersebut (Tabel 1).

Tabel 1. Kode masing-masing biota dan subtrat

Data hasil analisa software CPCe tersebut dapat diperoleh besaran nilai

persentase tutupan untuk setiap kategori biota dan substrat yang berada di sepanjang

garis transek pada masing-masing stasiun pengamatan.

Page 22: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

10

Berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup dapat ditentukan kondisi

kondisi terumbu karang seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Oseanografi-LIPI)

Tabel 2. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai

persentase tutupan karang hidup.

Tutupan Karang Hidup (%) Kriteria Penilaian

75 – 100

50 – 74,9

25 – 49,9

0 – 24,9

Sangat baik

Baik

Cukup

Kurang

Pada kegiatan monitoring kesehatan terumbu karang di wilayah Kabupaten

Sikka ini, ditentukan 14 stasiun pengamatan yang digunakan tidak hanya untuk

pengamatan terumbu karang, namun juga digunakan untuk pengamatan ikan karang

dan megabenthos (Gambar 6).

Gambar 6.Peta lokasi stasiun penelitian monitoring terumbu karang, ikan karang, dan

megabenthos (MMRC) di perairan Kabupaten Sikka.

Page 23: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

11

2.2.3 Ikan Karang

Pengambilan data ikan karang dilakukan dengan metode sensus visual.

Metode ini dianggap sebagai pelebaran dari transek garis untuk membentuk sabuk

terus menerus atau serangkaian kuadrat (English et al,1994). Pengambilan data

dilakukan dengan menggunakan alat selam (SCUBA) pada transek sabuk dengan luas

area sensus 70 m x 5 m. Unit analisa mencakup kelompok Coralivora (Chetodontidae)

dan kelompok ikan ekonomis penting. Data yag dikumpulkan adalah jumlah jenis,

panjang ikan (dalam centimeter) dan jumlah individu. Jenis, jumlah individu ikan dan

perkiraan panjang dicatat dalam data sheet kedap air. Identifikasi jenis ikan

menggunakan buku petunjuk bergambar/field guide ikan karang (Allen et al. 2009;

Allen & Steene, 1996; Kuiter & Tonozuka, 2001). Pendekatan yang digunakan dalam

menaksir panjang ikan dalam air adalah metode “sticks” (Wilson & Green, 2009),

yaitu mencoba untuk menaksir panjang total ikan dari mulai ujung mulut ikan sampai

ujung sirip ekor dan jumlah ikan yang tersensus dikelompokan ke dalam panjang

taksiran (cm) dengan kelipatan 5.

Keanekaragaman jenis adalah jumlah spesies ikan karang yang teridentifikasi

selama penyelaman. Kepadatan (D) adalah jumlah individu seluruh spesies ikan

karang per luas area pengamatan. Berikut ini rumus jumlah individu seluruh spesies

ikan karang per luas area pengamatan

Biomassa ikan diperoleh melalui penggunaan rumus hubungan panjang berat,

dimana dengan menyiapkan konstanta “a” dan ‘b” dari setiap species, maka melalui

jalan subsitusi nilai panjang pada rumus W = a x Lb akan didapat data berat ikan.

Nilai “a” dan “b” dapat dicari di situs web “fishbase” untuk setiap jenis ikan target

Froese & Pauly (2014).

Page 24: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

12

Sediaan ikan dalam satuan biomassa (B) adalah berat individu ikan target (W) per luas

area pengamatan. Rumus berat individu ikan ekonomis penting (W) per luas area

pengamatan

2.2.4 Megabentos

Monitoring megabenthos dilaksanakan di 14 stasiun pengamatan yang tersebar

di pulau-pulau kecil maupun pesisir daratan induk Kabupaten Sikka. Pengamatan

pengembangan dari belt transect method untuk monitoring megabenthos (Loya,

1978). Pengamatan mencakup sepuluh stasiun tersebut dengan bantuan peralatan

SCUBA (Brower & Zar, 1997). Transek disingkronisasikan dengan transek untuk

pengamatan karang dan ikan karang pada sebuah transek permanen. Metode ini

dilakukan dengan cara menarik garis sejajar garis pantai pada kedalaman 3-7 meter

dengan panjang transek 70 meter dan lebar pengamatan satu meter ke arah kiri dan ke

arah kanan garis transek (140m2).

Semua jenis megabenthos dalam transek dicatat nama spesies atau kelompok

spesiesnya, terutama spesies dan kelompok spesies megabenthos yang menjadi target

monitoring serta jumlah individunya. Megabenthos terget merupakan biota yang

memiliki nilai ekonomis penting dan memiliki nilai ekologis penting yang

keberadaanya sangat berkaitan erat dengan kondisi kesehatan karang. Megabenthos

target monitoring terdiri dari 8 kelompok biota seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Identifikasi terhadap spesies dan kelompok spesies merujuk pada Abbott & Dance

(1990). Matsuura et al. (2000). Clark & Rowe (1971), Neira & Cantera (2005) dan

Colin & Arneson (1995).

Page 25: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

13

Tabel 3. Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang menjadi objek

monitoring.

No Megabenthos Target Nama Spesies Ordo

1 Bintang Laut berduri Acanthaster planci Echinodermata

2 Bulu babi Echinodea Echinodermata

3 Teripang Holothuroidea Echinodermata

4 Bintang Laut Biru Linckia laevigata Echinodermata

5 Kima Tridacna spp., Hipposus

spp.

Mollusca

6 Drupella Drupella spp. Mollusca

7 Lola Trochus spp., Tectus spp. Mollusca

8 Lobster Lobsters Crustacea

2.2.5 Lamun

Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir

yang mempunyai produktivitas primer yang relative tinggi. Sebagai salah satu

ekosistem pesisir padang lamun mempunyai fungsi secara fisik sebagai sedimen trap

sehingga masukan sedimen dari daratan dapat terperangkap di ekosistem padang

lamun. Kondisi ini sangat membantu untuk menjernihkan dan meningkatkan

kecerahan perairan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan terumbu karang

sebagai ekosistem yang terletak di depannya (Tomaschick et al, 1997 ; Chute et al

(2001) dan Helfman et al, (2009).

Keterkaitan antara tiga ekosistem pesisir di laut dangkal, yaitu ekosistem

hutan mangrove, ekosistem padang lamun dan terumbu karang sangat kuat, terutama

terhadap pengaruh masukan dari daratan. Apabila salah satu ekosistem tersebut

mengalami gangguan atau menurun kondisinya akibat dampak dari aktiiivitas

masyarakat pesisir , maka dapat mempengaruhi kondisi ekosistem yang lainnya

(Tomaschick et al, 1997 : Dahuri et al, 2003). Misalkan hutan mangrove mengalami

perusakan karena aktifitas penebangan atau alih fungsi lahan, diduga akan

Page 26: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

14

mengakibatkan banyaknya sedimen dari daratan yang terlepas menuju laut karena

menurunnya kemampuan mangrove untuk menahan sedimen. Dengan meningkatnya

sedimentasi di laut akan menurunkan kecerahan perairan di ekosistem padang lamun,

yang juga akan mempengaruhi kesehatan ekosistem padang lamun. Hal ini sangat

merugikan karena penutrunan kondisi ekosistem padang lamun diduga dapat

mempengaruhi kesehatan ekosistem terumbu karang yang terdapat di depan

ekosistem padang lamun, terkait dengan transport sedimen yang mengakibatkan

keruhnya perairan. Untuk itu pengelolaan ekosistem padang lamun sangat diperlukan

untuk menjaga keseimbangan kondisi ekosistem dan sumber daya alam di daerah

pesisir.

Ekosistem padang lamun di Indonesia banyak terancam baik secara alami

maupun oleh aktifitas manusia di wilayah pesisir yang dapat menyebabkan

penurunan luasan padang lamun. Melihat dampak kerusakan yang dialami pada

padang lamun secara alami maupun karena akibat aktivitas manusia dan belum

tersedianya data tentang kondisi ekosistem padang lamun, maka perlu dilakukan

berbagai usaha pengelolaan, diantaranya melalui kegiatan monitoring kesehatan

padang lamun sebagai ekosistem pendukung terkait kesehatan terumbu karang guna

perencanaan zonasi sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Metode yang dipergunakan dalam kegiatan monitoring ke-2 kerjasama anatara

LIPI dan Universitas Diponegoro ini masih sama dengan metoda yang dipergunakan

untuk kegiatan monitoring tahun pertama, yaitu berdasar dari Panduan Monitoring

Padang Lamun (Rachmawati et al, 2014). Kegiatan ini sebagai kegiatan monitoring

tahun ke dua sebagai lanjutan dari monitoring yang telah dilakukan pada tahun

sebelumnya . Kegiatan monitoring ini dilakukan di 8 lokasi (MMRSG01 hingga

MMRSG08) di perairan pesisir Maumere Kabupaten Sikka.

Metoda pengamatan lamun yang digunakan pada lokasi monitoring

COREMAP – CTI yang ke-2 ini sama dengan metoda monitoring yang dilakukan

pada monitoring yang pertama, yaitu dengan metoda transek kuadrant (garis transek

secara tegak lurus garis pantai ke arah laut) yang dimodifikasi dari metode Seagrass

Page 27: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

15

Watch (Rachmawati et al, 2014). Transek kuadran ukuran 0,5 x 0,5 m diletakkan di

setiap 10 meter untuk pengamatan lamun.

Gambar 7. Skema Transek Kuadrat

Penutupan lamun dalam satu kuadrat dihitung dengan menjumlahkan nilai

tutupan lamun pada setiap kotak kecil (4 kotak), dan hasilnya kemudian dikali dengan

100. Rumus penutupan lamun (%) adalah sebagai berikut:

Tabel 4: Kategori tutupan lamun

Page 28: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

16

Kriteria status padang lamun

2.2.6 Mangrove

Pengamatan ekosistem mangrove di Kabupaten Sikka dilakukan di 13 stasiun,

8 stasiun berada dataran utama yaitu Pulau Flores, sementara 4 stasiun tersebar di

pulau – pulau yang berada diwilayah administrasi Kabupaten Sikka meliputi Pulau

Besar dan Pulau Dambila. Berdasarkan Buku “Panduan Monitoring Status Kesehatan

Komunitas Mangrove” hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah Persiapan

Tim, Persiapan Administrasi dan Perijinan, Persiapan Peralatan, kemudian Penentuan

Stasiun dan Pembuatan Peta. Untuk stasiun pengamatan ditahun 2017, stasiun

pengamatan ekosistem mangrove mengacu pada stasiun yang sudah dilakukan

pengamatan pada tahun 2015 dan 2016.

Setiap stasiun dilakukan penggelaran plot transek 10 x 10 m. Setiap stasiun

dilakukan tiga kali pengulangan penggelaran plot transek baik itu sejajar garis pantai

maupun tegak lurus dengan garis pantai. Dalam setiap plot dilakukan pengukuran

diameter batang pohon mangrove (diameter >4 cm atau keliling batang >16 cm)

(Ashton & McIntosh, 2002). Pengukuran keliling pohon menggunakan acuan

Diameter Breast High (DBH) atau ketinggian ±1,3 m (Keputusan Menteri

Lingkungan Hidup RI No. 201 tahun 2004 tentang kriteria Baku dan Pedoman

Penentuan Kerusakan Mangrove).

Identifikasi spesies dilapangan menggunakan acuan dari Kitamura et al

(1999). Apabila terdapat keragu – raguan dalam identifikasi lapangan, maka

dilakukan pengambilan contoh spesies serta dilakukan pemotretan habitus spesies

tersebut meliputi tipe perakaran, batang, daun, pembungaan, buah dan pemotretan

Page 29: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

17

habitat untuk dilakukan identifikasi lanjutan berdasarkan acuan Tomlinson (1986) dan

Giesen et al. (2006). Setiap data yang diperoleh dicatat dalam data sheet yang telah

disiapkan pada kertas tahan air.

Tabel 5. Posisi geografis dan tipe substrat stasiun permanen pemantauan mangrove di

wilayah KKPD Kabupaten Sikka tahun 2017.

No Lokasi Stasiun Koordinat

Tipe Substrat BT LS

1 P. Besar Selatan MMRM 01 122˚ 22” 23,6’ 8˚ 29” 45,0’ Pasir

2 P. Besar Selatan MMRM 02 122˚ 21” 10,9’ 8˚ 29” 9,0’ Pasir Lumpuran

3 P. Besar Selatan MMRM 03 122˚ 24” 50,1’ 8˚ 28” 22,5’ Pasir Lumpuran

4 P. Dambila MMRM 04 122˚ 26” 14,7’ 8˚ 28” 23,6’ Pasir

5 P. Besar Utara MMRM 05 122˚ 24” 20,0’ 8˚ 26” 52,2’ Pasir Lumpuran

6 Nebe MMRM 06 122˚ 32” 58,3’ 8˚ 27” 38,2’ Pasir Lumpuran

7 Darat Pantai MMRM 07 122˚ 29” 35,1’ 8˚ 30” 38,3’ Pasir Lumpuran

8 Darat Pantai MMRM 08 122˚ 29” 5,3’ 8˚ 29” 9,8’ Pasir Lumpuran

9 Darat Pantai MMRM 09 122˚ 29” 1,0’ 8˚ 29” 59,9’ Pasir

10 Nangahale MMRM 10 122˚ 29” 50,8’ 8˚ 34” 27,4’ Pasir Lumpuran

11 Kampung Buton MMRM 11 122˚ 12” 50,3’ 8˚ 36” 31,7’ Pasir Lumpuran

12 Talibura MMRM 12 122˚ 30” 56,9’ 8˚ 32” 37,3’ Pasir

13 Magepanda MMRM 13 122˚ 3” 43,2’ 8˚ 31” 33,5’ Lumpur Pasiran

Persentase tutupan mangrove dihitung menggunakan metode Hemispherical

Photography. Pemantauan persentase tutupan kanopi mangrove dilakukan dalam 13

stasiun permanen di area KKPD Teluk Maumere Kabupaten Sikka. Sebaran dan

deskripsi stasiun penelitian disajikan dalam Tabel 5. Stasiun permanen terdiri dari tiga

plot (total 39 plot) dibuat berdasarkan persyaratan dalam Dharmawan & Pramudji

(2014). Setiap plot dibagi menjadi 4 kuadran dimana setiap kuadran diambil satu kali

foto berdasarkan persyaratan yang sudah ditentukan, dan kemudian dilakukan

pengulangan sebanyak satu kali. Pengambilan foto dilakukan dengan menggunakan

Page 30: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

18

kamera depan Samsung Galaxy Grand Prime dengan resolusi 5 megapixel dan kamera

depan Iphone 5s dengan resolusi 1.2 megapixel.

Gambar 8. Peta sebaran stasiun permanen untuk pemantauan ekosistem mangrove

Kabupaten Sikka.

Foto dianalisis dengan menggunakan software ImageJ dan Microsoft Excel

untuk dihitung persentase tutupannya. Kondisi rata-rata tutupan mangrove

dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu padat (>75%); sedang (antara 50 – 75%)

dan jarang (<50%) berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun

2004. Analisa vegetasi dihitung dengan menggunakan olahan data di Microsoft Excel

yang defaultnya didapatkan dari LIPI. Perhitungan meliputi kerapatan, frekuensi,

dominansi, frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan indeks nilai

penting.

Page 31: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

19

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Penginderaan Jauh

3.2.1. Pra-pemrosesan Citra Landsat

Citra yang digunakan dalam pemetaan habitat perairan dangkal dan ekosistem

mangrove terlebih dahulu di koreksi radiometri dan koreksi geometri. Koreksi

radiometri sangat perlu dilakukan karena citra Landsat-8 yang digunakan merupakan

level 1T yang masih dipengaruhi oleh gangguan atau bias atmosfer, gangguan

tersebut ditandai dengan nilai pada objek tergelap seperti laut dalam dan bayangan

awan tidak nol “0”. Maka dari hal tersebut nilai bias tersebut dihilangkan dengan cara

menggeser nilai histogram hingga nilai minimumnya menjadi nol “0” atau

mengurangi DN seluruh liputan citra dengan DN minimum. Metode tersebut dikenal

dengan dark substraction.

Gambar 9. Pergeseran nilai histogram. (kiri) sebelum dikoreksi radiometri, (kanan)

setelah koreksi radiometri

Page 32: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

20

3.2.2. Klasifikasi Habitat Perairan Dangkal

Citra yang telah dikoreksi radiometri dan geometri selanjutnya dikoreksi

kolom air. Koreksi kolom air dengan menampilkan regresi linier ND pasir perairan

dangkal pada saluran (band) tampak disajikan dalam grafik pada Gambar 5. Pasangan

yang memiliki regresi linier (R2) paling maksimum terdapat pada band 2 dan band 3

dengan nilai R2 0,9799. Yang selanjutnya nilai slope dari garis linier atau rasio

koefisien atenuasi dari pasangan band (Ki/Kj) diaplikasikan pada formula yang

dikembangkan Lyzenga (1981).

Depth Invariant Index = ln(Li) – [0,548 x ln(Lj)]

Li : Nilai digital pada Band 2.

Lj : Nilai digital pada Band 3.

Ki/Kj : Rasio koefisien atenuasi pada pasangan band 2 dan 3.

Gambar 10. Grafik regresi linier sampel piksel objek pasir pada pasangan saluran

(band) tampak (red untuk Band 4, green untuk Band 3, blue untuk Band 2)

yang sudah di transformasi menggunakan natural logaritma (Ln).

Page 33: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

21

Proses klasifikasi habitat perairan dangkal dikelompokan menjadi 3 kelas

yaitu, habitat karang, ekosistem lamun, dan substrat terbuka yang ditampilkan pada

Gambar 11.

Gambar 11. Klasifikasi Tidak terbimbing Citra hasil koreksi kolom air (kiri), dengan

acuan citra kenampakan habitat perairan laut dangkal (kanan), pada Pulau

Pomana.

Hasil klasifikasi tidak terbimbing haitat perairan selanjutnya dilakukan uji

akurasi dengan data ground truth yang didapat dari lapangan. Berdasarkan

perhitungan tabel matrix uji akurasi hasil pemetaan citra dengan data lapangan

didapat nilai akurasi dari pemetaan habitat perairan dangkal sebesar 0,72. Nilai 72%

tersebut sesuai dengan batas akurasi yang dapat diterima untuk peta habitat dasar

perairan dangkal berdasarkan pada SNI 7716:2011 tentang Pemetaan Habitat dasar

perairan laut dangkal, yaitu sebesar 60%.

Tabel 6. Tabel Matrik Uji Akurasi pemetaan habitat perairan dangkal.

Uji Lapangan Substrat Lain Lamun Coral Total

Hasil Klasifikasi

Substrat Lain 16 1 3 20

Lamun 5 12 3 20

Karang 3 2 15 20

Total 24 15 21 60

Akurasi 0.72

Page 34: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

22

Berdasarkan nilai uji akurasi terlihat nilai akurasi data sangat baik hal ini

terjadi karena data citra landsat tahun 2017 memiliki kualitas yang lebih baik

sehingga memudahkan untuk interpretasi hasil klasifikasi. Berdasarkan hasil uji

lapangan, kesalahan paling banyak terjadi pada ekosistem lamun dengan 6 lokasi titik

yang salah dalam interpretasi, hal tersebut diduga karena dominan ekosistem lamun

yang terdapat di Perairan Maumere tidak memiliki hamparan yang luas dan banyak

terdapat pada perairan yang mengandung material padatan tersuspensi yang tinggi dan

kondisi perairan yang keruh. Selain itu beberapa lokasi atau titik ditemukan padang

lamun dengan kedalaman hingga 5 meter sehingga hal ini akan mempengaruhi proses

klasifikasi.

3.2.3. Pemetaan Ekosistem Mangrove

Pemetaan ekosistem mangrove dengan metode digitisi manual berdasarkan

kombinasi RGB band 5, band 6, dan band 4 menghasilkan daerah daerah yang

memiliki ekosistem mangrove (Khairuddin et al, 2016). Ekosistem mangrove yang

dapat diinterpretasi pada citra adalah mangrove yang memiliki hamparan minimal 30

m x 30 m, hal tersebut dikarenakan resolusi spasial dari citra landsat sebesar 30 m x

30 m. Kenampakan citra hasil kombinasi band 5, band 6, dan band 4 untuk

identifikasi mangrove disajikan pada gambar 12.

Gambar 12. Citra kombinasi RGB band 5, band 6, dan band 4 (kiri), kombinasi citra

true color (kanan).

Page 35: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

23

Berdasarkan kombinasi band 564 tersebut dapat terlihat jelas ekosistem

mangrove yang berwarna lebih gelap dibandingkan vegetasi lain disekitar mangrove.

3.2. Peta Habitat Perairan Dangkal

Berdasarkan hasil analisis citra satelit dengan dibantu 60 titik ground truth,

dibuat peta habitat perairan dangkal dengan 3 klasifikasi, yaitu habitat karang,

ekosistem lamun, dan substrat terbuk, beserta tutupan lahan ekosistem mangrove. Peta

habitat perairan dangkal Perairan Maumere disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Peta habitat perairan dangkal Perairan Maumere, Sikka 2017

Hasil pemetaan habitat perairan dangkal pada citra tahun 2017 dibandingkan

dengan hasil pengolahan data citra Landsat-8 path/row 112/66 perekaman Juni 2015

dan Mei 2016, memiliki perubahan luasan pada masing-masing kelas substrat ataupun

ekosistem. Perubahan luasan habitat perairan dangkal pada tahun 2015, tahun 2016

dan tahun 2017 disajikan pada Tabel 7.

Page 36: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

24

Tabel 7. Luasan habitat perairan dangkal dan ekosistem Mangrove pada tahun 2015,

tahun 2016, dan tahun 2017

Tahun Deskripsi 2015

ha

2016

ha

2017

ha

Mangrove Ekosistem mangrove dengan tutupan area minimal

30x30m. Ekosistem mangrove yang dapat

diidentifikasi pada peta adalah mangrove dengan

persentase kerapatan sebesar 64,2 %.

562,81 753,93 698,76

Karang Habitat karang umumnya berada pada ujung rataan

terumbu yang menghadap ke laut, mulai dari reef

crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (slope

reef). Terumbu karang terdiri atas karang hidup dan

karang mati dimana pada setiap lokasi ditempati

oleh ikan dan biota laut.

543,74 451,44 478,23

Substrat

Terbuka

Habitat yang sebagian besar didominasi oleh substrat

pasir, pecahan karang, batu, maupun campuran dari

substrat-substrat dasar perairan. Substrat terbuka

umumnya berada di dekat gosong pasir dan berada

di beberapa tempat jauh dari pantai.

97,67 106,45 122,57

Lamun Habitat tersebut tersusun atas hamparan padang

lamun yang cukup luas, serta biasanya ditemui pada

daerah tepi pantai. Perairan yang memiliki habitat

lamun dapat diinterpretasi dari citra satelit pada

kondisi sedikit material padatan tersuspensi atau

memiliki hamparan yang luas diatas 30 m x 30 m.

235,04 274,86 283,39

3.3 Karang

3.3.1 Tutupan Karang

Hasil analisa dengan menggunakan CPCe versi 4.1. (Coral Point Count with

Excel extension) diperoleh nilai persentase tutupan karang batu bervariasi dari kondisi

kategori kurang hingga kategori cukup (5-43,62%) dengan rata – rata sebesar 18,71%.

Page 37: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

25

Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berada pada angka 15,76%.

Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun MMRC 08 (43,62%) yang

mengalami sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 0,62% di angka 43%.

Stasiun yang memiliki tutupan karang terendah di stasiun MMRC 14 (5%) berubah

dari tahun sebelumnya di stasiun MMRC05 (3,6%) yang mengalami peningkatan

menjadi 11,93%. Kondisi tutupan karang kategori cukup (25,00 - 49,9%) terdapat

pada stasiun MMRC 06 dan 08. Sedangkan yang masuk dalam kategori kurang (<

25,0%) terdapat pada stasiun MMRC 01, MMRC 02, MMRC 03, MMRC 04, MMRC

05, MMRC 07, MMRC 09, MMRC 10, MMRC 11, MMRC 12, MMRC 13 dan

MMRC 14. Hasil pengamatan kondisi karang hidup dengan metode CPCe pada

masing-masing stasiun di perairan Kabupaten Sikka dan sekitarnya disajikan dalam

Gambar 14. Nilai persentase tutupan substrat yang dicatat pada setiap stasiun

merupakan gabungan jenis-jenis karang dari kelompok biotik dan abiotik (Gambar

15). Terumbu karang perairan Kabupaten Sikka dan sekitarnya merupakan tipe

terumbu karang tepi yang memiliki keragaman jenis karang dan luas tutupan yang

cukup variatif. Luas tutupan karang hidup sangat tergantung dari perilaku manusia

dalam memanfaatkan sumberdaya laut.

Dari kategori abiotik, tutupan DCA (dead coral with algae) dan rubble

merupakan kategori tutupan yang paling dominan, persentase tutupan DCA tertinggi

ada di stasiun MMRC 14 (55,20%). Nilai ini mengalami penurunan dari tahun

sebelumnya pada angka 70,47%. Tutupan terendah untuk DCA berada di stasiun

MMRC 05 (15,13%) dengan rata – rata sebesar 36,82% yang menurun dari tahun

sebelumnya. Sedangkan persentase tutupan tertinggi dari Rubble (patahan karang)

terdapat di stasiun MMRC 09 (55,33%) dengan rata – rata sebesar 25,54%. Tingginya

nilai persentase tutupan karang mati dapat saja disebabkan oleh faktor alam maupun

akibat aktivitas manusia. Akibat dari faktor alam adalah berupa ombak besar atau

badai sedangkan kerusakan yang disebabkan oleh ulah manusia berupa penggunaan

bom dalam menangkap ikan dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan.

Kegiatan seperti ini masih sering ditemui pada beberapa daerah di perairan Indonesia.

Page 38: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

26

Gambar 14. Peta persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun

Gambar 15. Persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing stasiun

pengamatan.

Page 39: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

27

Secara keseluruhan, lokasi monitoring Kabupaten Sikka memiliki perairan

yang jernih hingga mencapai lebih dari 20 meter, namun kondisi persentase tutupan

karang batu disemua stasiun pengamatan berada dalam kondisi kurang hingga cukup.

Walaupun demikian, kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sikka memiliki

peluang yang sangat besar untuk dapat berkembang menjadi lebih baik. Tutupan

karang yang cukup variatif, komponen abiotik lainnya serta substrat yang beragam

memberi tempat yang cukup besar bagi kehadiran ikan maupun biota megabentos

lainnya. Terlihat dari kondisi pendataan tahun 2017 yang secara umum tutupan

karang keras hidupnya mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya..

3.3.2 Kondisi Umum Lokasi

3.3.2.1 Stasiun MMRC 01

Stasiun MMRC01 berada di Desa Hewuli, Kecamatan Alok, pesisir Pulau

Flores . Lokasi berada pada gosong sekitar 500 meter dari daratan. Vegetasi daratan

ditemui beberapa pohon kelapa dan mangrove. Subtrat rataan terumbu berupa pasir

putih dan pecahan karang yang ditumbuhi alga. Rataan karang memiliki luas antara

50-100m yang dilanjutkan dengan rataan tubir yang berupa karang gundus (rampart

reef). Substrat dasar berupa pasir berseling dengan karang mati yang ditumbuhi oleh

alga. Jarak pandang di lokasi ini relatif jernih berkisar pada jarak 15 meter dengan

kemiringan yang landai antara 15 - 20° dengan kedalaman lokasi stasiun 10 meter.

Persentase tutupan karang pada lokasi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya

dimana pada tahun sebelumnya sebesar 5,93% dan pada tahun ini berada pada angka

11,73%. Persentase tutupan Dead Coral with Algae (DCA) tercatat sebesar 32,40%,

tutupan DCA ini menurun dari monitoring tahun sebelumnya yaitu 45,33%. Nilai ini

berbanding terbalik dengan jumlah tutupan Pecahan karang yang meningkat dari

tahun sebelumnya sebesar 9,67% menjadi 34,60%. Hal ini mempengaruhi juga

tutupan pasir dari 31.80% menjadi 16,20%. Persentase tutupan alga tetap pada angka

0,07%, biota lain (other biota) menurun dari 0,4% menjadi 0,2%. Senada dengan

tahun sebelumnya, lokasi ini ditemukan karang lunak jenis Lobophytum sp., Xenia

sp., Sarcophyton sp. dan Sinularia sp dengan tutupan sebesar 3,8%. Karang

Page 40: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

28

Acroporidae dan Pocilloporidae mendominasi pada lokasi ini dengan bentuk

pertumbuhan tabulate dan branching.

Gambar 16. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC01 (Foto Andy Achmad R.)

3.3.2.2 Stasiun MMRC02

Stasiun pengamatan MMRC 02 berjarak sekitar 300 meter dari bibir pantai

dengan rataan terumbu berupa “patches” dari marga Acroporidae, Fungiidae,

Pocilloporidae dan Poritidae. Pesisir terdiri dari pasir putih dengan vegetasi berupa

pohon kelapa dan tumbuhan asosiasi mangrove yang merupakan properti dari Wailiti

Beach & Resort. Lokasi stasiun ini terletak di pesisir Pulau Flores tapatnya di desa

Wailiti, Kecamatan Alok Barat. Terumbu karang di lokasi pengamatan ini merupakan

tipe terumbu karang tepi dengan daerah tubir yang didominasi oleh karang dari

keluarga Acroporidae dan Fungiidae dengan tingkat kemiringan 45°. Lokasi transek

berada di kedalaman 7 meter dengan jarak pandang sekitar 5 m dan memiliki substrat

dasar berupa pecahan karang mati dengan pasir bercampur lumpur berwarna coklat.

Secara umum tutupan karang hidup pada lokasi ini masuk dalam kategori “Kurang”

yakni 18,47% meningkat dari kondisi tahun sebelumnya pada angka 12.47% dan 2

tahun sebelumnya di angka 7,8%. Substrat yang mendominasi di lokasi pengamatan

ini adalah DCA (37,93%) yang turun 6,4% dari tahun sebelumnya, disusul dengan

Rubble (33,27%) yang meningkat 7,47% dari tahun sebelumnya dan Silt (5,33%).

Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan berasal dari Genus

Acropora sp, Fungia sp dan Seriatopora sp. Kondisi terumbu karang di lokasi ini

mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dengan ditemukannya banyak

Page 41: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

29

rekruitmen – rekruitmen baru, hanya saja kondisi substrat yang didominasi lumpur

mengakibatkan hanya karang jenis – jenis tertentu yang dapat berkembang dengan

baik.

Gambar 17. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC02 (Foto Andy Achmad R.)

3.3.2.3 Stasiun MMRC 03

Lokasi stasiun pengamatan MMRC 03 terletak di pesisir Pulau Flores tapatnya

Desa Waiara, Kecamatan Kewapante. Kondisi pesisir pantai tidak berubah dari tahun

sebelumnya yang terdiri dari pasir putih dengan vegetasi berupa pohon kelapa dan

tumbuhan asosiasi mangrove dan terdapat rumah penduduk serta stasiun Depo BBM

Pertamina. Rataan terumbu cukup lebar kurang lebih mencapai 100 – 200 meter

dengan substrat yang terdiri dari pasir, pecahan karang dan karang mati yang telah

ditumbuhi oleh alga. Pertumbuhan karang yang dominan berupa “patches” dari

keluarga Poritidae dan Fungidae. Lokasi transek berada sekitar 200 meter dari bibir

pantai dan dilakukan pada kedalaman 10 meter dengan jarak pandang sekitar 7 meter.

Tutupan karang keras hidup di lokasi ini berada pada angka 9,67% sedikit menurun

dari tahun sebelumnya pada angka 10,53%. Dari seluruh tutupan karang keras hidup

tersebut tidak ditemukan family karang acroporidae dan didominasi oleh karang

jamur dan karang massive berjenis Porites. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA”

sebesar 68,98% sedikit menurun dari tahun sebelumnya pada angka 69,53%. Tutupan

terbesar kedua yang mendominasi adalah Rubble sebesar 13,21% yang juga sedikit

menurun dari tahun sebelumnya pada angka 14,53%. Persen tutupan yang lain pada

lokasi ini adalah Soft Coral 1,2%, Sponge 1%, Fleshy seaweed 0,07%, dan sand

Page 42: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

30

5,87%. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi ini adalah Porites lutea,

Porites lobata dan Fungia danai.

Gambar 18. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC03 (Foto Andy Achmad R.)

3.3.2.4 Stasiun MMRC 04

Lokasi terletak di pesisir utara Pulau Flores tepatnya berada di desa Weigete,

Kecamatan Kewapante. Pesisir terdiri dari pasir putih dengan vegetasi berupa pohon

kelapa dan tumbuhan asosiasi mangrove. Lokasi transek berada di kedalaman 6-9 m

dengan jarak pandang sekitar 10 meter. Substrat dasar didominasi oleh karang mati

yang ditumbuhi oleh alga. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat

kemiringan 5°. Rataan karang mencapai luas hingga 100 meter dengan pertumbuhan

karang berupa “patches” diselingi dengan pasir. Pada lokasi MMRC 04 ini, terjadi

penurunan presentase tutupan ”DCA” dibandingkan tahun sebelumnya, dari 69,20%

menjadi 46,20%. Karang hidup pada lokasi ini juga meningkat dari 11,13%, menjadi

18,00% namun masih termasuk dalam kategori “kurang”. Karang keras yang dijumpai

pada lokasi pengamatan dari keluarga Poritidae, Acroporidae dan Pociloporidae.

Gambar 19. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 04 (Foto Andy Achmad R.)

Page 43: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

31

3.3.2.5 Stasiun MMRC 05

Lokasi pengamatan terletak di Pulau Flores berada di daerah selat antara Pulau

Flores dan Pulau Dambilah. Secara administrasi masuk kedalam desa Darat Pantai,

Kecamatan Talibura. Lokasi berada sekitar 300 meter dari pelabuhan tradisional

dengan vegetasi mangrove di bibir pantai. Pengamatan dilakukan pada pagi hari pukul

9.36 dengan kondisi cuaca yang cerah dengan angin yang kuat. Lokasi pengamatan

didominasi oleh substrat rubble dan silt. Lokasi transek berada pada slope dengan

tingkat kemiringan 50°. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan

dari marga Acropora sp.dan Seriatopora sp. Hasil transek menunjukkan tutupan

”DCA” di lokasi ini sebesar 15,13% yang mengalami penurunan yang signifikan dari

tahun sebelumnya dari angka 47,27%. kemudian diikuti oleh tutupan substrat lumpur

sebesar 17,60%. Tutupan karang hidup pada lokasi ini yaitu 11,93%, dan masuk

dalam kondisi “kurang”. Namun tutupan karang keras mengalami peningkatan dari

presentase pada tahun sebelum nya yaitu pada angka 3,6% yang masuk dalam

kategori “kurang”. Rendah-nya presentase tutupan karang keras kemungkinan besar

diakibatkan adanya longsoran pada terumbu yang diakibatkan oleh alam seperti badai

atau ulah manusia seperti kegiatan penangkapan tidak ramah lingkungan

menggunakan bom. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya hamparan pecahan

karang yang cukup luas.

Gambar 20. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 05 (Foto Andy Achmad R.)

Page 44: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

32

3.3.2.6 Stasiun MMRC 06

Lokasi pengamatan stasiun MMRC 06 terletak di Pulau Flores sebelah timur

yang secara administrasi masuk kedalam desa Wailamung, Kecamatan Talibura.

Lokasi berada pada sekitar 300 meter dari daratan berpasir putih dengan vegetasi

daratan berupa pohon kelapa dan mangrove asosiasi. Lokasi ini berada pada lokasi

yang jauh dari pemukiman sehingga jauh dari pencemaran dan limbah rumah tangga.

Substrat dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang mati dengan rataan

terumbu yang cukup lebar dengan dominasi dari marga Acroporidae, Pocilloporidae

dan Poritidae. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O dan

berada di kedalaman 10 m dengan jarak pandang sekitar 15 meter. Dari hasil transek

tercatat tutupan ”DCA” sebesar 40,96%, tutupan ”Rubble” sebesar 11,94%. Tutupan

karang hidup pada lokasi ini sebesar 30,15% yang masuk dalam kategori “cukup”

namun mengalami penurunan 5,14% dari tutupan tahun lalu sebesar 35,29% yang

masuk dalam kondisi “cukup”. Peningkatan terjadi pada tutupan karang lunak yang

pada tahun lalu sebesar 1,27% menjadi 2,94% Karang keras yang sering dijumpai

pada lokasi pengamatan ini adalah dari jenis Porites lutea, Seriatopora hystrix dan

Favites sp.

Gambar 21. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 06 (Foto Andy Achmad R.)

3.3.2.7 Stasiun MMRC 07

Lokasi stasiun pengamatan MMRL 07 terletak di Pulau Babi sebelah timur

dan secara administrasi masuk kedalam desa Pemaan, Kecamatan Alok Timur. Lokasi

transek berada pada sekitar 100 meter dari bibir pantai yang berpasir putih dengan

Page 45: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

33

vegetasi daratan berupa mangrove asosiasi. Rataan terumbu relatif lebar dengan

dominasi substrat dasar pasir putih dan pecahan karang dengan tubir yang memiliki

kemiringan 45°. Lokasi transek berada di kedalaman 8 meter dengan jarak pandang

sekitar 20 meter. Lokasi transek berada pada rataan tepat sebelum tubir dengan

tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat tutupan ”Rubble” sebesar 37,00%

menjadi tutupan yang paling dominan diikuti oleh tutupan ”DCA” sebesar 22,80%.

Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar 19,60% dan mengalami peningkatan

dari tahun sebelumnya sebesar 16,20% dan masih masuk dalam kondisi “kurang”.

Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Fungia danai,

Acropora formosa dan Seriatopora caliendrum.

Gambar 22. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 07 (Foto Andy Achmad .)

3.3.2.8 Stasiun MMRC 08

Lokasi pengamatan terletak disebelah selatan Pulau Besar desa Ujung Karang,

Kecamatan Alok Timur. Pengamatan dilakukan pada pagi hari pada pukul 9.45 . Pada

saat pengamtan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut yang cukup tenang.

Kondisi perairan relatif jernih dengan jarak pandang lebih dari 8 meter. Karang

tumbuh berupa spot-spot yang mengelompok. Tutupan karang hidup pada lokasi ini

sama dari pengamatan pada tahun sebelumnya, yaitu 43,62% dan masuk dalam

kategori ”cukup”. Karang lunak jenis Xenia sp. ditemukan pada lokasi ini, tutupan

karang lunak pada lokasi ini hanya 3,40 %. Kategori bentik ”DCA” tercatat sebesar

34,14 % ,presentase nya menurun dari tahun sebelumnya pada angka 46,00 % .

Karang yang mendominasi lokasi ini adalah marga Acropora, karang jenis Porites sp.

dan Seriatopora hystrix juga dijumpai pada lokasi ini.

Page 46: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

34

Gambar 23. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 08 (Foto Andy Achmad R.)

3.3.2.9 Stasiun MMRC 09

Lokasi terletak di Pulau Besar sebelah selatan di dekat ujung bagian barat di

desa Waylago, Kecamatan Alok Timur. Lokasi transek berada sekitar 300 meter dari

pemukiman penduduk. Pengamatan dilakukan pada siang hari pukul 10.53 dengan

cuaca pada saat pengambilan data mendung dan berangin. Kondisi perairan cukup

tenang dan relatif jernih jarak pandang mencapai ± 20 meter. Pengambilan data

dilakukan pada kedalaman 6 meter. Subtrat dasar didominasi oleh pecahan karang

diselingi dengan pasir. Dari hasil transek tercatat tutupan ”Rubble” yang paling

mendominasi pada lokasi ini yaitu sebesar 55,33 %, diikuti dengan presentase "DCA "

yaitu sebesar 23,53%, namun terjadi penurunan yang sangat signifikan pada lokasi

pengamatan yang pada tahun sebelumnya tutupan “DCA” sebesar 76,60%. Tutupan

karang hidup tercatat hanya sebesar 7,47%, meskipun meningkat dari pengamatan

tahun lalu yang tercatat sebesar 5,07 %, namun masih termasuk kategori ”kurang”.

Gambar 24. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 09 (Foto Andy Achmad R.)

Page 47: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

35

3.3.2.10 Stasiun MMRC 10

Stasiun pengamatan MMRC 10 terletak di Pulau Besar bagian selatan dekat

dengan lokasi Desa Kojadoi, Kecamatan Alok Timur. Daratan berjarak sekitar 500

meter dari lokasi transek dengan kondisi pantai berbatu dan memiliki vegetasi

mangrove dan mangrove asosiasi. Disekitar Lokasi pengamatan berdekatan dengan

pemukiman yang cukup kecil berjarak ± 1km dari lokasi. Cuaca pada saat

pengamatan dalam keadaan mendung dengan gelombang yang sedang. Pengamatan

dilakukan pada kedalaman 6 meter dengan kondisi perairan yang jernih dengan jarak

pandang mencapai ± 20 meter. Rataan terumbu memiliki luasan yang lebar dengan

dominasi substrat berupa karang massive dari jenis Porites sp dan karang lunak.

Lokasi pendataan berada di lereng landai dengan kemiringan sekitar 30O dan

bersubstrat pasir berseling dengan pecahan karang dan karang mati yang ditumbuhi

alga. Karang keras didominasi keras jenis Porites sp. dengan bentuk tumbuh boulder

kecil dan Pocillopora sp. Bercabang dengan total tutupan karang keras hidup sebesar

24,35% yang masuk dalam kategori “kurang”. Tutupan karang keras hidup ini

mengalami penurunan dari tahun sebelumnya dimana tutupan sebesar 23,60% .

Tutupan substrat di stasiun ini didominasi oleh “DCA” sebesar 38,03%, “Rubble”

sebesar 4,87% dan soft coral sebesar 8,94% yang terdiri dari jenis Lobophytum sp

dan Sinularia sp .

Gambar 25. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 10 (Foto Andy Achmad R.)

Page 48: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

36

3.3.2.11 Stasiun MMRC 11

Stasiun MMRC 11 berada di Pulau Dambilah sebelah timur berada dekat

dengan selat antara Pulau Dambilah dan daratan utama (Pulau Flores). Secara

administrasi masuk kedalam desa Pangabatang, Kecamatan Alok Timur Daratan

Pulau Dambilah memiliki vegetasi pantai berpasir putih dengan beberapa pohon

mangrove berjenis Rizhopora, dan Mangrove asosiasi. Kondisi site di lokasi ini

merupakan perairan berarus kencang sehingga perlu perencanaan yang matang untuk

melakukan pendataan. Pengamatan sempat ditunda karena arus yang terlalu kencang.

Pendataan hari berikutnya dilakukan lebih pagi yaitu pukul 09.00 WITA dengan

kondisi arus yang cukup tenang pada awalnya, namun pada pertengahan survey

kondisi arus yang kencang mulai muncul. Substrat dasar di lokasi ini berupa pasir

putih dengan pecahan karang. Pada lokasi banyak ditemui karang lunak dari marga

Sarcophyton sp., Xenia sp. dan Dendronephthya sp. Karang keras yang sering

dijumpai pada lokasi transek adalah dari marga Acropora,dan Pocillopora, Dari hasil

transek tercatat tutupan ”DCA” yang paling mendominasi dengan tutupan sebesar

44,60%, turun dari tutupan tahun sebelumnya pada angka 54,33%. kemudian diikuti

dengan tutupan pecahan karang sebesar 19,13%, dan Karang Lunak 16%.. Kondisi

perairan sangat di lokasi ini sangat jernih dan terlihat menarik, namun tutupan karang

hidup pada lokasi ini hanya sebesar 10,87% lebih besar dari tahun sebelumnya pada

angka 6,53% yang termasuk dalam kondisi “kurang”. Pada lokasi ini juga ditemukan

karang biru (CHL) dan karang api (CME) yang dapat menyengat.

Gambar 26. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 11 (Foto Andy Achmad R.)

Page 49: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

37

3.3.2.12 Stasiun MMRC 12

Lokasi pengamatan terletak di Pulau Dambilah sebelat barat berbatasan

dengan Pulau Besar. Secara administrasi masuk kedalam desa Parumaan, Kecamatan

Alok Timur. Pengamatan dilakukan pada siang hari yaitu pukul 2.13. Pantai berbatu

dengan vegetasi mangrove di bibir pantai. Cuaca pada saat pengambilan cerah dan

angin tidak terlalu kencang. Kondisi permukaan air laut maupun dasar laut cukup

tenang. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 6-10 meter dengan kondisi

perairan yang jernih. Jarak pandang mencapai ± 20 meter. Subtrat dasar didominasi

oleh pecahan karang .Karang keras yang dijumpai di lokasi sebagian besar dari marga

Porites dan Acropora. Terdapat boulder karang jenis Leptoria sp. pada lokasi ini.

Pengamatan sebelumnya, tercatat tutupan ”DCA” sebesar 68,53%% , namun pada

pengamatan kali ini, tutupan “DCA” meningkat hingga mencapai 31,73% Karang

tumbuh berupa spot-spot, tutupan karang hidup pengamatan sebelumnya tercatat

sebesar 11,93 %, pada pengamatan kali ini tutupan karang hidup meingkat menjadi

13,47%, namun masih termasuk dalam kategori ”kurang”. Karang lunak jenis

Lobophytum sp. ditemukan pada lokasi ini. Tutupan karang lunak pada lokasi ini

sebesar 2,40 %.

Gambar 27. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 12 (Foto Arya Muhammad.)

3.3.2.13 Stasiun MMRC 13

Stasiun pengamatan terletak di bagian timur Pulau Pemana Kecil tepatnya di

desa Pemana, Kecamatan Alok. Lokasi pengamatan merupakan pulau kecil tidak

berpenghuni dengan pantai berbatu yang ditumbuhi semak. Cuaca pada saat

Page 50: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

38

pengambilan data dalam kondisi cerah dan arus yang cukup tenang dengan jarak

pandang sekitar 20 meter. Lokasi transek berada pada slope dengan kemiringan

hampir 90O yang berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai dengan rataan terumbu

didominasi oleh pasir putih dan pecahan karang dan karang mati yang ditumbuhi

algae. Pertumbuhan karang berupa boulder yang dijumpai dengan koloni yang kecil

dengan jenis karang yang mendominasi berupa Acropora sp dan Pocillopora sp

dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Tutupan karang keras hidup sebesar 10,13%

yang masuk dalam kategori “kurang” dan mengalami sedikit penurunan dari tahun

sebelumnya sebesar 3,93%. Substrat yang mendominasi berupa “DCA” 37,33%

“sand” 17,47 % dan “rubble” sebesar 9,47%. Selain itu juga ditemukan karang lunak

sebesar 7,20%. Karang lunak yang ditemukan pada lokasi adalah Sarcophyton sp. dan

Lobophytum sp. Substrat lain yang cukup mencolok adalah banyaknya “Bulu ayam”

yang berkompetisi dengan karang keras hidup di lokasi ini.

Gambar 28. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 13 (Foto Arya Muhammad.)

3.3.2.14 Stasiun MMRC 14

Stasiun pengamatan ini merupakan lokasi yang dekat dengan gosong kecil

yang berada sekitar 1 km dari lampu suar dan masuk di wilayah desa Gunungsari,

Kecamatan Alok. Substrat dasar di lokasi ini berupa pasir putih dan tumpukan

pecahan karang mati yang telah ditumbuhi alga. Kondisi perairan jernih dengan jarak

pandang sekitar 20 meter. Lokasi transek berada pada kedalaman 10 meter dan berada

pada dasar laut yang cukup rata dengan sudut kemiringan sekitar 5O. Tutupan substrat

yang sangat mendominasi di lokasi ini adalah “DCA” dengan tutupan sebesar 55,20%

Page 51: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

39

disusul dengan tutupan substrat pasir putih (sand) sebesar 16,40%. Tutupan karang

keras hidup sebesar 5% mengalami penurunan dari tahun sebelumnya dimana pada

tahun 2016 tutupan karang keras hidup berada pada angka 11,60% dan masih dalam

kondisi “kurang”. Umumnya karang di lokasi ini memiliki bentuk pertumbuhan

karang seperti bongkahan (massive) didominasi oleh Porites sp dan banyak dijumpai

recruitmen – recruitmen karang dengan bentuk pertumbuhan menjalar / encrusting.

Karang lunak didominasi oleh jenis Sarcophyton sp. dan Sinularia sp dan memiliki

tutupan sebesar 6,73 % yang meningkat dari tahun lalu yang hanya sebesar 3%.

Gambar 29. Kondisi tutupan karang di stasiun MMRC 14 (Foto Andy Achmad R.)

Gambar 30. Peta persentasi tutupan substrat dasar di stasiun monitoring,

perairan Maumere, Sikka, 2017

Page 52: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

40

3.4 Ikan Karang

3.4.1 Jumlah Jenis

Hasil sensus visual yang dilakukan di seluruh lokasi stasiun di perairan

Kabupaten Sikka dengan transek sabuk seluas 350 m2 ditemukan 63 jenis ikan karang

dari 6 famili yang terbagi kedalam katagori ikan koralivora, herbivora dan karnivora.

Kelompok ikan karnivora dan herbivora yang dijumpai diseluruh lokasi stasiun tahun

2017 hanya ditemukan 5 famili yang terdiri dari Acanthuridae (butana), Lutjanidae

(kakap), Scaridae (kakatua), Serranidae (kerapu), dan Siganidae (baronang). Jenis

Haemulidae (bibir tebal/kaneke) ditemukan pada stasiun MMRC 08, namun jauh dari

jangkau transek, sehingga pengamat tidak mencatat data Haemulidae.

Gambar 31. Plectorhinchus vittatus pada stasiun MMRC 08

Jumlah jenis ikan karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun

penelitian ternyata bervariasi cukup lebar (Gambar 32). Jumlah jenis terendah 7 dan 8

jenis ditemukan masing masing pada stasiun MMRC 02 dan 03. Jumlah tertinggi

ditemukan pada stasiun MMRC 11 dengan jumlah 21 jenis dan MMRC 07 dengan 20

jenis.

Kelompok ikan pemakan karang (Coralivores) yang dalam hal ini diwakili

oleh satu famili yaitu Chaetodontidae, ditemukan sedikitnya ada 17 jenis ikan famili

Chaetodontidae, tapi tidak semua lokasi dapat dijumpai ikan famili Chaetodontidae

dengan jenis sebanyak itu. Lokasi stasiun yang memiliki kelimpahan ikan Famili

Chaetodontidae yang relatif tinggi adalah MMRC 10 dengan jumlah individu yang

dijumpai sebanyak 27 individu. Lokasi penelitian yang memiliki kelimpahan terendah

Page 53: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

41

adalah MMRC 05 dengan jumlah individu yang dijumpai sebanyak 1 individu. Jadi

dapat diprediksi bahwa stasiun MMRC 10 memiliki kondisi kompleksitas dasar

terumbu karang yang relatif baik. Perbandingan data 2016 dan 2017 mengalami

perubahan yang tidak signifikan.

Gambar 32. Variasi jumlah jenis ikan karang dari 5 suku ikan ekonomis yang

ditemukan berdasarkan lokasi penelitian di perairan Sika, Flores, 2017.

Gambar 33. Jumlah jenis ikan kepe-kepe dari kelompok suku Chaetodontidae

menurut lokasi penelitian di perairan Sikka, Flores, 2017

Page 54: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

42

Tabel 8. Jumlah individu, kepadatan dan jumlah jenis ikan kepe-kepe menurut stasiun

penelitian di perairan Sikka, Flores, 2017

N

o

Spesies

Kode Stasiun Penelitian

MM

RC

06

MM

RC

13

MM

RC

21

MM

RC

37

MM

RC

47

MM

RC

55

MM

RC

65

MM

RC

78

MM

RC

80

MM

RC

88

MM

RL

69

MM

RL

74

MM

RL

75

MM

RL

79

1 Chaetodon adiergastos 8

2 Chaetodon auriga 3 8 4 3 5 5 8

3 Chaetodon baronessa 2 1 2 4

4 Chaetodon lineolatus 9 4

5 Chaetodon lunulatus 7 6 4 2 10

6 Chaetodon mertensii 1

7 Chaetodon octofasciatus 2 5 4 10

8 Chaetodon rafflesi 2

9 Chaetodon trifasciatus 4 3 2 5 2 3

10 Chaetodon ulietensis 8 5 4 5 3 8 3 12

11 Chaetodon vagabundus 7 3

12 Chaetodon decussatus 5

13 Chelmon rostratus 2 2 2 3

14 Heniochus acuminatus 2 1

15 Heniochus varius 2 3 2 4 4 1 4

16 Heniochus chrysostomus 4

17 Forcipiger longiristris 3

Jumlah Individu/350m2 14 24 20 19 1 23 19 8 13 18 20 19 27 15

Jumlah Jenis Menurut

Stasiun

3 5 5 4 1 8 5 2 4 4 2 5 5 4

3.4.2 Kelimpahan Ikan Karang

Kelimpahan ikan karang yang termasuk ke dalam 5 famili ikan ekonomis

penting yaitu Acanthuridae (butana), Lutjanidae (kakap), Scaridae (kakatua),

Serranidae (kerapu), dan Siganidae (baronang) berkisar anatara 7-79 individu/350m2.

Kelimpahan ikan terkecil berada pada stasiun MMRC 13 dengan nilai kelimpahan

sebesar 7 individu/350m2, sedangkan pada tahun 2016 nilai kelimpahan sebesar 5

individu/350m2 dan nilai kelimpahan ikan terbesar pada tahun 2017 berada pada

stasiun MMRC 47 dengan nilai kelimpahan sebesar 79 individu/350m2, berbeda

dengan tahun 2016 nilai kelimpahan terbesar berada pada stasiun MMRC 65 dengan

nilai kelimpahan 337 individu/350m2.

Page 55: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

43

Gambar 34. Tingkat kelimpahan ikan karang dari 5 suku ekonomis penting menurut

lokasi penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2017

3.4.3 Biomassa Ikan Karang

Hasil analisa data sediaan ikan karang menurut jenis dan biomassanya untuk

ikan ekonomis penting yang terdiri dari 5 famili ikan yaitu Acanthuridae (butana),

Lutjanidae (kakap), Scaridae (kakatua), Serranidae (kerapu), dan Siganidae

(baronang) dari masing-masing lokasi penelitian berkisar anatara 55 Kg/ha hingga

597 Kg/ha. Lokasi yang memiliki nilai biomassa tertinggi adalah stasiun MMRC 78

dengan nilai biomassa sebesar 597 Kg/ha mengalami penurunan dari data tahun 2016

dengan nilai biomassa sebesar 745 Kg/ha. Nilai biomassa terendah terdapat di stasiun

MMRC 21 dengan nilai biomassa sebesar 55 Kg/ha, mengalami penurunan dengan

data tahun 2016, dimana data tahun 2016 nilai biomassa sebesar 94 Kg/ha.

Page 56: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

44

Gambar 35. Biomassa ikan karang dari 5 suku ikan ekonomis penting berdasarkan

lokasi penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2017

Tabel 9. Komposisi jenis ikan karang dari 5 suku terpilih

No Jenis Suku

Berat

(Kg/ha) Persen Individu

1 Acanthurus blochii Acanthuridae 640,7378907 14,34 70

2 Acanthurus fowleri Acanthuridae 172,0934451 3,28 16

3 Acanthurus leucocheilus Acanthuridae 50,57615125 1,43 7

4 Acanthurus nigricans Acanthuridae 22,72562354 0,82 4

5 Acanthurus olivaceus Acanthuridae 326,7360035 6,15 30

6 Acanthurus pyroferus Acanthuridae 42,61574571 6,76 33

7 Acanthurus tristis Acanthuridae 106,5093029 1,84 9

8 Acanthurus tenneti Acanthuridae 105,7792926 3,89 19

9 Acanthurus auranticavus Acanthuridae 248,5217068 4,30 21

10 Acanthurus albipectoralis Acanthuridae 11,83436699 0,20 1

11 Naso hexacanthus Acanthuridae 13,41694854 0,20 1

12 Naso unicornis Acanthuridae 40,38734355 0,41 2

13 Zebrasoma scopas Acanthuridae 38,12227835 2,66 13

14 Zebrasoma desjardinii Acanthuridae 2,863798615 0,41 2

15 Ctenochaetus striatus Acanthuridae 170,560926 4,10 20

16 Aethaloperca rogaa Serranidae 23,06571429 0,61 3

17 Anyperodon leucogrammicus Serranidae 23,40561793 0,61 3

18 Cephalopholis boenack Serranidae 91,27936345 5,53 27

19 Cephalopholis miniata Serranidae 115,1243495 1,43 7

20 Cephalopholis argus Serranidae 10,96762455 1,64 8

Page 57: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

45

No Jenis Suku

Berat

(Kg/ha) Persen Individu

21 Cephalopholis urodeta Serranidae 56,42446479 2,46 12

22 Gracila albomarginata Serranidae 27,1256991 0,20 1

23 Cetoscarus bicolor Scaridae 77,78851476 0,61 3

24 Chlorurus bleekeri Scaridae 53,37565978 0,82 4

25 Chlorurus japanensis Scaridae 16,86985052 0,20 1

26 Chlorurus sordidus Scaridae 40,86565936 0,41 2

27 Hipposcarus longiceps Scaridae 117,8185034 1,64 8

28 Scarus dimidiatus Scaridae 18,1337855 1,02 5

29 Scarus flavipectoralis Scaridae 11,8961418 0,20 1

30 Scarus ghobban Scaridae 8,405266081 0,20 1

31 Scarus niger Scaridae 79,5777141 1,02 5

32 Scarus psittacus Scaridae 13,0883272 0,20 1

33 Scarus rivulatus Scaridae 17,36363873 0,20 1

34 Scarus rubroviolaceus Scaridae 54,04811035 1,23 6

35 Scarus schlegeli Scaridae 18,66628176 0,41 2

36 Scarus tricolor Scaridae 74,536447 1,43 7

37 Lutjanus decussatus Lutjanidae 184,1048171 12,91 63

38 Lutjanus fulvus Lutjanidae 103,719192 3,89 19

39 Lutjanus kasmira Lutjanidae 20,11989185 1,02 5

40 Macolor niger Lutjanidae 6,007142857 1,02 5

41 Siganus argenteus Siganidae 3,18992359 0,41 2

42 Siganus corallinus Siganidae 105,01536 1,84 9

43 Siganus puellus Siganidae 17,19637731 0,41 2

44 Siganus punctatussimus Siganidae 4,893569217 0,82 4

45 Siganus unimaculatus Siganidae 50,99202496 0,82 4

46 Siganus virgatus Siganidae 25,72785377 0,82 4

47 Siganus vulpinus Siganidae 107,08544 3,07 15

3.5 Megabenthos

Hasil pengamatan megabenthos menunjukkan bahwa tujuh dari delapan biota

target ditemukan pada seluruh lokasi monitoring. Biota target yang ditemukan hampir

di seluruh lokasi monitoring adalah bulu babi, keberadaan bulu babi tidak terlepas

dari adanya alga yang menempel pada substrat sebagai makanan dari bulu babi

tersebut. Biota yang paling sedikit ditemukan adalah teripang, biota ini sedikit

ditemukan di mungkinkan adanya eksploitasi mengingat bahwa teripang adalah biota

ekonomis.

Page 58: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

46

Tabel 10. Jumlah individu megabenthos yang ditemukan

No Megabenthos Stasiun MMRC

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14

1 Teripang - - 2 - - - 1 - - - - 1 - -

2 Kima 1 - 1 1 - - - 1 8 15 3 23 - 2

3 Lobster - - - 1 3 - - - - 1 - 4 - -

4 Lola - - - - - - - - - - - - - -

5 Acanthaster

planci - - - - 2 - - - - - - 1 1 -

6 Drupella spp. 6 - - - - - 2 3 3 - - - - 1

7 Bulu Babi - 20 1 2 64 10 2 4 3 3 3 5 - 236

8 Linckia Spp. 12 - 2 3 - 2 2 - 1 7 21 5 6 1

Gambar 36. Diagram perbandingan jumlah individu megabenthos di Perairan Sikka

Maumere tahun 2017

Page 59: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

47

3.5.1 Komposisi dan Kepadatan Megabenthos

Dari hasil pengamatan di 14 lokasi monitoring ditemukan 7 jenis megabenthos

target. Total terdapat 502 individu megabenthos target memiliki pola persebaran

seperti yang disajikan pada tabel dibawah ini :

Tabel 11. Pola kehadiran Megabenthos di perairan Sikka Maumere tahun 2017

Megabenthos Stasiun MMRC

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Teripang

+

+

+

Kima +

+ +

+ + + + +

+

Lobster

+ +

+

+

Lola

Acanthaster planci

+

+ +

Siput Drupella +

+ + +

+

Bulu Babi

+ + + + + + + + + + +

+

Linckia laevigata + + + + + + + + + + +

Dari data yang diperoleh dari pengamatan megabenthos, menunjukkan bahwa

stasiun yang diamati memiliki keberagaman yang berbeda, keberagaman memiliki

mulai dari 1 jenis oraganisme sampai dengan 6 organisme target. Yang paling rendah

keberagamannya adalah stsiun MMRC 02 yaitu hanya terdapat 1 organisme target,

sedangkan stasiun yang paling tinggi keberagamannya adalah MMRC 12 yaitu 6

organisme terget ditemukan.

Page 60: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

48

Gambar 37. Kepadatan Megabenthos di Perairan Sikka Maumere (ind/m2)

3.5.1.1. Teripang

Gambar 38. Teripang yang ditemukan di perairan Kabupaten Sikka

Jumlah teripang yan ditemukan sama pada setiap stasiun sekitar satu sampai

dua organisme dimana ditemukanya pada stasiun MMRC 07, 12 dan 14. Chen (2003)

mengungkapkan bahwa dari sejak jaman dinasti Ming masyarakat Cina

mengumpulkan Teripang untuk memnuhi kebutuhan mereka. Sedikitnya jumlah

teripang yang ditemui pada setiap stasiun pengamatan diduga dikarenakan adanya

penangkapan yang berlebih terhadap organisme ini. Penangkapan berlebih terjadi

karena adanya permintaan yang tinggi. Menurut Purwati (2005) teripang mengandung

Page 61: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

49

banyak protein dan rendah lemak, diramu dengan komponen yang lain teripang

dipakai sebagai obat untuk memelihara kesehatan darah, penyembuh penyakit ginjal

dan sistem reproduksi. Sedikitnya jumlah teripang yang ditemui dikhawatirkan

memberikan efek yang buruk terhadap kondisi kesehatan ekositem terumbu karang,

mengingat fungsi ekologis teripang sebagai deposit feeder dan susspensi feeder dalam

rantai makanan (Elfidasari, 2012). Sedikitnya jumlah teripang yang ditemui juga

diduga disebabkan Karena teripang sendiri bergerak dan aktif pada malam hari,

sehingga pada siang hari pada saat dilakukan monitoring tidak ditemukan banyak

teripang yang muncul.

3.5.1.2 Kima

Gambar 39. Kima di perairan Kabupaten Sikka

Kima ditemukan pada stasiun MMRC 01, 03, 04, 08, 09, 11, 12, 10, dan 14.

Jumlah yang paling banyak ditemukan pada stasiun MMRC 12 sebanyak 23

organisme. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun pendataan sebelumnya sebanyak

26 Kima ditemukan di stasiun ini. Jumlah Kima keseluruhan juga sedikit menurun

dari 56 individu pada tahun lalu menjadi 54 individu pada tahun ini. Masih banyaknya

jumlah kima yang ditemukan di sepuluh stasiun pengamatan menunjukkan tanda

recovery kima yang masih bagus dan jumlah exploitasi kima yang masih terkendali.

Page 62: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

50

3.5.1.3 Lobster

Gambar 40. Lobster yang ditemukan di perairan Sikka

Lobster hanya ditemukan pada tasiun MMRL 37, 47, 79 dan 75. Sedikitnya

jumlah lobster yang dijumpai dimungkinkan karena adanya tekanan yang tinggi atau

tingkat penangkapan yang tinggi pada organisme ini, mengingat organisme ni

memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Pada stasiun MMRC 12 sebenarnya

ditemukan banyak lobster kecil namun tidak berada di jangkauan pendataan

megabenthos sehingga pendata tidak memasukannya dalam hitungan. Kemungkinan

lain dari tidak ditemukannya lobster adalah sifat alami lobster sebagai hewan noktunal

atau hewan yang aktif bergerak di malam hari, sehingga pada siang hari sulit

ditemukan.

3.5.1.4 Drupella Spp.

Gambar 41. Siput Drupella diantara Karang Hidup

Page 63: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

51

Druppela merupakan predator hewan karang yang keberadaannya jika

berlebihan akan sangat merugikan ekositem terumbu karang. Druppela ditemukan

pada stasiun MMRC 01, 07, 08, 09, 14. Drupella paling banyak ditemukan pada

stasiun MMRC 01 dengan jumlah 6 organisme. Keberadaan biota ini terhadap

terumbu karang harus diwaspadai karena banyaknya jumlah individu yang ditemukan

menjadi peringatan yang berpotensi memicu kerusakan karang. Pada karang yang

terlihat mengalami pemutihan, siput ini biasanya ditemukan hidup secara berkoloni

dalam kelompok kecil yang terdiri dari 5 – 10 individu. Sedangkan pada karang yang

tidak terlihat mengalami pemutihan, siput ini ditemukan hidup secara soliter atau

sendirian. Beberapa individu siput ini ditemukan berada di karang mati atau substrat

batu yang ditumbuhi oleh algae, dan kemungkinan microalgae mengjadi sumber

makanannya. Drupella. merupakan kelompok siput yang memiliki kebiasaan

memakan polip karang, terutama pada karang bercabang (terutama dari kelompok

Acropora dan Pocillopora) maupun karang masif (kelompok Porites) (Arbi, 2009).

Namun demikian, terlihat siput ini juga memakan polip karang pada jenis karang

dengan tipe pertumbuhan karang submasif.

3.5.1.5 Bulu babi

Gambar 42. Bulu babi di stasiun MMRC 14

Bulu babi ditemukan pada semua stasiun, namun paling banyak ditemukan

pada stasiun MMRC 14 sebanyak 236 individu, hal ini terlihat meningkat

Page 64: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

52

dibandingkan tahun pendataan sebelmnya yang ditemukan sebanyak 188 ekor.

Ditemukannya bulu babi, terutama jenis Diadema setosum menunjukkan bahwa

karang di wilayah tersebut relatif dalam kondisi tidak sehat. Bulu babi adalah

indikator kesehatan karang, dimana kehadiran dalam jumlah besar mengindikasikan

karang yang tidak sehat. Yang dimaksud adalah, ketika diadema muncul banyak di

perairan hal ini disebabkan karena makanan diadema yaitu algae melimpah di lokasi

tersebut, oleh karena itu diadema yang berperan sebagai grazer membantu karang

dalam membersihkan algae-algae tersebut. Munculnya alga dalam jumlah yang besar

di periran dapat mengakibatkan kompetisi tempat bagi karang dan mengancam

kesehatan ekosistem terumbu karang. Banyaknya jumlah diadema yang ditemukan

dikarenakan berkurangnya jumlah predtor alami diadema yang dapat mengontrol

populasi diadema. Predator alami diadema antara larger wrasses, triggerfishes, puffers

dan porcupinefishes.. Menurut Nystrom et al., (2000), bulu babi adalah salah satu

spesies penting bagi ekosistem terumbu karang diamana dia bertugas mengontrol

mikroalga yang ada di ekosistem tersebut.

3.5.1.6 Linckia laevigata

Gambar 43. Linckia laevigata di stasiun MMRC 01

Linckia laevigata atau bintang laut biru ditemukan di semua stasiun kecuali

MMRC 02, 05, dan 08. Jumlah individu yang didapatkan pada masing-masing stasiun

relatif beragam, yaitu antara 1 – 21 individu yang ditemukan dalam transek, paling

Page 65: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

53

banyak ditemukan di stasiun MMRC 11 dengan jumlah individu sebanyak 11 individu

kemudian disusul MMRC 01 dengan jumlah 12 individu. Untuk ukuran individu, rata-

rata hampir semuanya seragam. Bintang laut ini ditemukan berasosiasi dengan

berbagai tipe pertumbuhan karang maupun di atas substrat pasir maupun batu.

Kekehadiran dan peran maupun ketidakhadiran bintang laut biru Linckia

laevigata ini bagi terumbu karang memang belum diketahui secara pasti, namun biota

ini berpotensi sebagai bioindikator untuk mengukur kesehatan ekosistem. Selain tidak

dimanfaatkan oleh nelayan sehingga keberadaannya relatif tidak terganggu, biota ini

sebarannya merata di seluruh perairan tropis.

3.5.1.7 Acanthaster plancii

Gambar 44. Acanthaster plancii

Acanthaster planci yang ditemukan pada stasiun tahun 2017 sebnayak 4 ekor

pada stasiun MMRC 05, 12 dan 13. Paling bayak ditemukan pada stasiun 05 yaitu

sebanyak 2 ekor pada transek. Sudah banyak yang mengetahui mengenai keberadaan

biota ini akan merugikan ekosistem karang karena biota ini memakan polip karang

serta menyebabkan kematian pada suatu koloni karang. Untuk itu biota ini menjadi

salah satu indikator kesehatan terumbu karang karena jika keberadaanya banyak

kemungkinan akan mempengaruhi ekosistem terumbu karang di daerah tersebut.

Page 66: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

54

3.6 Lamun

Hasil pengamatan tentang ekosistem padang lamun di Teluk Maumere

perairan pesisir Kabupaten Sikka masih sama seperti pada hasil monitoring

sebelumnya. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa di lokasi monioring terdapat

delapan jenis lamun yang ditemukan menyebar di delapan lokasi pengamatan, yaitu:

Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea

rotundata, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule pinifolia dan

Thalasodendron ciliatum. Namun untuk distribusi jenis lamun disetiap lokasi terlihat

mengalami perubahan di beberapa lokasi pengamatan. Lamun jenis Enhalus

acoroides dan Thalassia hemprichii ditemukan di semua stasiun pengamatan,

demikian juga jenis Cymodocea rotundata, terlihat kehadirannya di semua stasiun

pengamatan. Keberadaan lamun jenis Cymodocea serrulata hampir sama dengan hasil

monitoring tahun sebelumnya namun mengalami sedikit perbedaan, yaitu yang

semula hanya ditemukan di stasiun MMRSG04 (Pulau Dampilah), untuk pengamatan

tahun 2017 ini juga ditemukan di stasiun MMRSG08 (P. Babi). Sedangkan lamun

jenis Halophila ovalis ditemukan di stasiun MMRSG03 (Pantai Darat Panambatang),

MMRSG05 (P. Besar Selatan - Margajong), MMRSG06 (P. Besar Selatan –

Wailogo)) dan MMRSG08 (P. Babi). Sedangkan lamun jenis Syringodium

isoetifolium yang semula ditemukan di stasiun MMRSG03 masuk ke dalam transek,

untuk hasil pengamatan monitoring 2017 ini ditemukan mengelompok di beberapa

tempat, namun tidak masuk dalam transek pengamatan. Sedangkan di stasiun

MMRSG04 (P. Dampilah) di beberapa titik pengamatan, lamun jenis Syringodium

isoetifolium ditemukan masuk di transek kuadran. Adapun peta lokasi monitoring

lamun untuk tahun 2017 ini di sajikan pada Gambar 45 berikut ini.

Page 67: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

55

Gambar 45. Peta lokasi monitoring lamun di Kabupaten Sika tahun 2017

Tabel 12. Komposisi Jenis Lamun di Setiap Lokasi Pengamatan Monitoring

Jenis Lamun

Stasiun Monitoring (MMRSGOx)

1 2 3 4 5 6 7 8

Enhalus acoroides - + + + + + + +

Thalassia hemprichii + + + + + + + +

Cymodocea serrulata - - - + - - - +

Cymodocea rotundata + + + + + + + +

Halodule pinifolia + - - + - - - +

Halodule uninervis + - - + + - + +

Halophila ovalis - - + - + + - -

Syringodium isoetifolium - - - + + + + +

Page 68: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

56

Tabel 13. Hasil Perhitungan % Penutupan Lamun di setiap Stasiun Monitoring di

Pesisir Maumere Kabupaten Sikka Periode Tahun 2017

N

o

Lokasi/

Pulau

Stasiun

Rata-

Rata

Penutup

an

Lamun

(%)

Dominansi Jenis (%)

Ea Th Cr Cs Hp Hu Ho Si

1 Wuring

MMRSG

01 42.7884 0

17.307

6 7.2115 0

1.923

0

0.480

8 0

15.865

3

2 Wailiti

MMRSG

02 66.6667

3.645

8

22.916

6

20.833

3 0 0 0 0

19.270

8

3

Darat

Pantai

MMRSG

03 59.7222

0.694

4 15.625 31.25 0 0

2.083

3

10.069

4 0

4

P.

Dambil

ah

MMRSG

04 61.3095

5.654

7

15.178

5

16.369

0

3.869

0 0

4.166

7 0

16.071

4

5

P.

Besar

Selatan

MMRSG

05 65.7895

7.236

8

19.078

9

20.394

7 0 0 0 0.3289 18.75

6

P.

Besar

Selatan

MMRSG

06 63.8889

19.79

16

12.847

2

15.277

8 0 0 0 1.0416

14.930

5

7

P.

Besar

Utara

MMRSG

07 78.9772

7.386

3

24.431

8

21.969

7 0 0

0.757

6 0

24.431

8

8 P. Babi

MMRSG

08 79.2339

18.95

16

15.120

97

16.129

0

2.016

1

1.612

9

3.225

8 1.6129

20.564

5

Rata -

Rata 64.7970

7.920

1

17.813

36

18.679

4

0.735

6

0.441

9

1.339

2 1.6316

16.235

5

STDEV 10.8230

Kondisi % penutupan lamun di perairan pesisir Kabupaten Sikka untuk tahun

2017 ini secara umum memperlihatkan kondisi yang baik dengan rata-rata sebesar

64,797% dengan kisaran antara 42,788 -79,233%. Penutupan tertinggi terlihat di

stasiun MMRSG08 (pesisir Pulau Babi) dan penutupan terendah pada stasiun

MMRSG01 (Wuring).

Kondisi % penutupan lamun di stasiun MMRSG01 (Wuring) dan MMRSG03

(darat pantai Panambatang) relative lebih rendah dibandingkan dengan stasiun

lainnya. Rendahnya % penutupan ini diduga karena di lokasi MMRSG01 berdekatan

pemukiman penduduk dengan industri perahu nelayan dan MMRSG03 merupakan

lokasi yang biasa dipergunakan untuk penambatan perahu wisata. Sehingga lebih

banyak mengalami tekanan dengan adanya aktivitas lalu lintas kapal nelayan dan

aktivitas penduduk di sekitarnya. Khusus untuk kondisi lamun di Stasiun MMRSG01

Page 69: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

57

(Wuring), walaupun % penutupannya relatif kurang baik, tetapi mempunyai

keanekaragaman jenis lamun tertinggi. Lokasi yang berdekatan dengan pemukiman

penduduk dengan aktivitas nelayan dan industri perahu nelayan tersebut jenis

lamunnya relative beragam dengan ditemukan lamun jenis Thalasodendron ciliatum

walaupun tidak masuk dalam transek pengamatan.

Sebaliknya, terjadi peningkatan % penutupan untuk lokasi MMRSG06 (Pulau

Besar Selatan – Wailogo) yang pada tahun 2016 hanya sebesar 42,968%, pada tahun

2017 ini meningkat menjadi 63,888%. Terlihat kerapatan lamun dilokasi ini

meningkat apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Kondisi % penutupan lamun di stasiun MMRSG07 (Pulau Besar Utara) dan

MMRSG08 (Pesisir Pulau Babi) merupakan lokasi dengan % penutupan tertinggi.

Kondisi substrat dasar pasir bercampur pecahan karang yang berbatasan langsung

dengan terumbu karang, perairan yang jernih dengan kedalaman antara 1,5-3,5 meter

sangat mendukung untuk pertumbuhan lamun.

Gambar 46. Grafik rata-rata % Penutupan lamun di setiap Stasiun Monitoring

di Kabupaten Sikka

Keterangan: Ea = Enhalus acoroides Hp = Halodule pinifolia

Th = Thalassia hemprichii Ho = Halophila ovalis

Cs = Cymodocea serrulata Si = Syringodium isoetifolium

Cr = Cymodocea rotundata

Page 70: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

58

Grafik di atas menunjukkan bahwa sebaran jenis lamun dan % penutukan

sangat beragam. Biota laut yang berasosiasi di ekosistem selama pengamatan

menunjukkan keragaman yang relative tinggi. Makro alga banyak ditemukan hidup

berasosiasi di ekosistem padang lamun, antara lain jenis Padina sp., Caulerpa sp.,

Ampiroa sp., Turbinaria sp., Halimeda sp., dan Dyctyota sp. Selama pengamatan

sering ditemukan berbagai jenis ikan maupun juvenile ikan, tunicata, bulu babi,

teripang (Holothuria sp), teripang sabuk raja, bivalvia (Anadara sp), kima, gastropoda

(Conus sp.), belut murray, dan ular laut. Pada waktu pengambilan data di stasiun

MMRSG02 (Wailiti) dan stasiun MMRSG06 (Pulau Besar Selatan) beberap kali

ditemukan ular laut yang terlihat melintas melewati transek kuadran. Untuk stasiun 6

(MMRSG6) dan stasiun 8 (MMRSG8) beberapa stasiun, lamun terlihat hidup

berasosiasi dengan terumbu karang bercabang (Acropora sp.), karang massif, sub

massif dan banyak ditemukan ikan dari jenis Chaetodontidae.

Peta tentang sebaran lamun hasil monitoring di perairan Kabupaten Sikka

disajikan pada Gambar 47 berikut ini.

Gambar 47. Peta sebaran lamun di Kabupaten Sikka hasil monitoring tahun 2017

Page 71: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

59

Berdasarkan peta sebaran lamun hasil monitoring tahun 2017 di atas terlihat

bahwa kondisi lamun di lokasi MMRSG07 (P. Besar Utara) dan MMRSG08 (P. Babi)

mempunyai kondisi lamun yang tergolong kaya atau sehat (> 75%). Sedangkan pada

lokasi MMRSG02 (Wailiti) dan MMRSG06 (P. Besar Selatan) mempunyai % tutupan

lamun yang relative baik (>50%).

3.7 Mangrove

Pada pengamatan status kesehatan mangrove tahun 2017 titik pengamatan

mengacu pada titk pengamatan tahun 2016, dan tidak ada perubahan sama sekali pada

transek dan plat yang dipasang dilokasi pengamatan. Pengambilan data lapangan

didampingi sekaligus dibantu oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka

serta masyarakat lokal. Berbeda dengan pengamatan di tahun 2016 yang kesulitan

untuk mencari titik lokasi sebelumnyua, pada tahun ini titik pengamatan lebih mudah

ditemukan dan diidentifikasi dikarenakan terdapat plat warna, tali transek permanen,

dan koordinat yang tepat. Hanya sedikit plat transek yang terlepas namun tidak ada

yang hilang, hal ini diuduga dikarenakan pertumbuhan batang mangrove yang optimal

dan beberapa batang ada yang memang sudah lapuk kemudian tumbang, dan

ditemukanya tali yang terputus maupun hilang. Pada pengamatan tahun 2017 ini tidak

dilakukanya penggelaran transek ulang dikarenakan bentuk transek masih bisa terbaca

mengikuti plat transek dan tali transek permanen pada tahun lalu.

Page 72: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

60

A B

C

Gambar 48. (A) Plat yang terlepas dari batang mangrove yang diamati (B) Tali

transek yang hilang dilakukan pemasangan ulang (C) Plat transek

lebih bertahan lama, terbukti tidak ada kerusakan maupun hilang.

Selain itu sketsa pola transek yang dibuat seperti pada Gambar 8.

memudahkan untuk mengetahui pola transek di masing masing titik pengamatan.

Pemasangan plat ini juga mengikuti metode yyang digunakan pada pengamatan tahun

2016 yaitu tim melakukan pemasangan plat disetiap sudut plot guna mempermudah

penemuan plot pengamatan di tahun mendatang. Pemasangan plat tetap mengikuti

kaidah penomeran dan penentuan plot dari LIPI. Plat menggunakan 2 warna yaitu

warna merah untuk nomer ganjil (1 dan 3) dan warna kuning untuk nomer genap (2

dan 4) (Gambar 3). Plot dipasang di pohon sejati serta posisi yang diperkirakan tidak

terkena pasang surut air laut. Selain itu untuk beberapa lokasi yang jaraknya jauh dari

darat maupun laut biasanya akan diberikan tanda berupa warna untuk memudahkan

peneliti menuju ke titik lokasi pengamatan

Page 73: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

61

A B

C D

Gambar 49. (A) Pemasangan plat dengan warna kuning dan merah (B) Pemasangan

plat tetap mengikuti kaidah penomeran dan penentuan plot dari LIPI

(C) Pemasangan plat di pohon sejati (D) Tanda diluar transek untuk

memudahkan menuju titik pengamatan

Berbeda dengan pengamatan tahun lalu yang memliki perbedaan lokasi

pengamatan dengan tahun 2015, tahun ini lokasi sesuai dengan marking pada tahun

2016. Pada pengamatan tahun 2016 tim menggunakan tali nylon untuk transek

permanen, walaupun dibeberapa lokasi ditemukan tali yang hilang maupun terputus,

namun plat yang digunakan sebagai patokan di ujung transek masih ditemukan

semua, sehingga tidak merubah posisi dan juga lokasi dari semua titik penelitian.

Berikut merupakan koordinat pengamatan mangrove tahun 2017 di Kabupaten Sikka.

Page 74: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

62

Tabel 14. Koordinat pengamatan mangrove tahun 2017 di Kabupaten Sikka.

No Lokasi Stasiun

Tahun 2017

Koordinat

BT LS

1 P. Besar Selatan MMRM 01 122˚ 22” 23,6’ 8˚ 29” 45,0’

2 P. Besar Selatan MMRM 02 122˚ 21” 10,9’ 8˚ 29” 9,0’

3 P. Besar Selatan MMRM 03 122˚ 24” 50,1’ 8˚ 28” 22,5’

4 P. Dambila MMRM 04 122˚ 26” 14,7’ 8˚ 28” 23,6’

5 P. Besar Utara MMRM 05 122˚ 24” 20,0’ 8˚ 26” 52,2’

6 Nebe MMRM 06 122˚ 32” 58,3’ 8˚ 27” 38,2’

7 Darat Pantai MMRM 07 122˚ 29” 35,1’ 8˚ 30” 38,3’

8 Darat Pantai MMRM 08 122˚ 29” 5,3’ 8˚ 29” 9,8’

9 Darat Pantai MMRM 09 122˚ 29” 1,0’ 8˚ 29” 59,9’

10 Nangahale MMRM 10 122˚ 29” 50,8’ 8˚ 34” 27,4’

11 Kampung Buton MMRM 11 122˚ 12” 50,3’ 8˚ 36” 31,7’

12 Talibura MMRM 12 122˚ 30” 56,9’ 8˚ 32” 37,3’

13 Magepanda MMRM 13 122˚ 3” 43,2’ 8˚ 31” 33,5’

Page 75: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

63

Pengamatan yang dilakukan pada tahun 2017 ini terdapat perubahan fisik

mangrove maupun kondisi lingkungan vegetasi mangrove tersebut. Beberapa lokasi

mengalami pertumbuhan diameter batang dan juga persen cover, namun beberapa

lokasi lainya juga ada yang mengalami sedikit degradasi. Pengamatan kesehatan

mangrove pada tahun 2017 didapatkan hasil analisa foto untuk menghitung persentase

tutupan kanopi mangrove dalam 13 stasiun permanen KKPD Teluk Maumere

ditunjukkan pada Tabel 15. Pada tabel 15 diketahui perbandingan persen cover pada

tahun 2016 dan 2017 dan tidak terdapat perubahan jumlah pada spesies mangrove

disana. Terdapat perubahan persen cover, namun masih dalam status tutupan yang

sama. Sementara peta sebaran persen tutupan disajikan di Gambar 4. Di tahun 2016,

persentase tutupan terendah diperoleh stasiun MMRM 09 dengan tutupan 22,42% dan

persentase tutupan tertinggi diperoleh stasiun MMRM 02 sebesar 85,62%. Untuk

hasil pengamatan di tahun 2017 tutupan terendah diperoleh stasiun MMRM 01

sebesar 6,88 % dengan tutupan tertinggi pada stasiun MMRM 02 sebesar 83,87 %.

Tabel 15. Perbandingan jumlah jenis dalam, rata - rata persentase tutupan kanopi dan

stasus kerapatan pada 13 stasiun pemantauan mangrove COREMAP CTI

di wilayah KKPD Teluk Maumere tahun 2016 dan tahun 2017.

No Lokasi Stasiun Tahun 2016 Tahun 2017

∑ Jenis % Tutupan Status ∑ Jenis % Tutupan Status

1 P. Besar Selatan MMRM 01 2 36.75 Jarang 2 6.88 Jarang

2 P. Besar Selatan M RM 02 2 85.62 Padat 2 83.87 Padat

3 P. Besar Selatan MMRM 03 3 84.29 Padat 3 81.67 Padat

4 P. Dambila MMRM 04 2 58.75 Sedang 2 53.19 Sedang

5 P. Besar Utara MMRM 05 2 81.91 Padat 2 82.31 Padat

6 Nebe MMRM 06 2 80.59 Padat 2 79.10 Padat

7 Darat Pantai MMRM 07 2 80.03 Padat 2 79.22 Padat

8 Darat Pantai MMRM 08 2 79.51 Padat 2 79.02 Padat

9 Darat Pantai MMRM 09 1 22.42 Jarang 1 23.07 Jarang

10 Nangahale MMRM 10 2 74.43 Sedang 2 51.60 Sedang

11 Kampung Buton MMRM 11 4 62.64 Sedang 4 77.46 Padat

12 Talibura MMRM 12 1 63.26 Sedang 1 59.56 Sedang

13 Magepanda MMRM 13 5 62.59 Sedang 5 57.15 Sedang

Page 76: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

64

Gambar 50. Peta sebaran persen tutupan di setiap stasiun pengamatan Kabupaten

Sikka tahun 2017.

Perbedaan persen tutupan di setiap tahun bisa terjadi beberapa faktor seperti

penjarangan pohon akbiat penebangan ataupun faktor pengambilan posisi foto yang

sedikit beberbeda. Dari 13 stasiun permanen, persen tutupan yang berstatus padat

lebih mendominasi dibandingkan dengan status yang lain. Terdapat 7 stasiun dengan

status padat yaitu stasiun MMRM 02, MMRM 03, MMRM 05, MMRM 06, MMRM

07, MMRM 08, dan MMRM 11. Pengurangan tutupan mangrove di Kabupaten Sikka

seharusnya menjadi bahan diskusi lanjutan antar masyarakat, pemerintah dan tim

pengamatan.

Menurut hasil pengamatan di tahun 2017, stasiun MMRM01, MMRM09 dan

MMRM12 merupakan salah satu stasiun yang unik dengan persentase tutupan yang

rendah (jarang). Hal ini disebabkan karena pemanfaatan mangrove di daerah tersebut

untuk pakan ternak kambing. Hal ini menyebabkan rendahnya tutupan kanopi. Jenis

Sonneratia alba di lokasi tersebut memiliki tegakan dengan diameter 4 – 30 cm

namun ketinggiannya hanya 2 m dan terpangkas. Berbeda dengan stasiun MMRM12

yang mempunyai tinggi lebih besar dibandingkan dengan MMRM01 dan MMRM09.

Page 77: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

65

Namun tetap terlihat ranting ranting bekas terpangkas. Jika dibandingkan dengan

stasiun MMRM07 yang mempunyai diameter batang lebih kecil dari stasiun

MMRM01, MMRM09 dan MMRM12 namun persentase tutupan pada stasiun

MMRM07 lebih besar. Ini dikarenakan perbedaan spesies yang mengacu pada

pemanfaatanya. Pada stasiun MMRM07 spesies didominasi oleh Ceriops tagal dan

Rhizophora lamarckii sedangkan pada stasiun MMRM01, MMRM09 dan MMRM12

ditemukan mangrove spesies Sonneratia alba. Dalam pengamatan mangrove banyak

sekali pohon yang terpotong di tiga lokasi tersebut, berdasarkan informasi dari warga

setempat jenis mangrove Sonneratia sp. yang biasa digunakan sebagai pakan ternak

disana, namun tidak hanya jenis Sonneratia sp. yang terpotong beberapa spesies

seperti Avicennia sp. dan Rhizophora sp. juga ditemukan namun lebih sedikit.

A B

C

Gambar 51. Kondisi Sonneratia alba yang sudah terpangkas ranting dan daunnya di

stasiun MMRM 01 (A), stasiun MMRM 09 (B), dan stasiun MMRM 12

(C)

Page 78: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

66

Struktur vegetasi kerapatan mangrove di 13 lokasi di Kabupaten Sikka

terdapat di Gambar 5. Pengamatan mangrove menggunakan metode transek 10 m x 10

m ini diperoleh nilai kerapatan tertinggi di stasiun MMRM 01 sebesar 3133 ind/ha

sedangkan nilai kerapatan terendah terdapat pada stasiun MMRM 06 dengan nilai

1033 ind/ha. Pada stasiun MMRM 01 ditemukan 2 spesies mangrove yaitu Avicennia

marina dan Sonneratia alba dan pada stasiun MMRM 06 ditemukan mangrove

spesies Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata. Pada pengamatan tahun 2017

komposisi mangrove yang ditemukan paling banyak pada stasiun MMRM 13 yaitu 5

spesies mangrove diantaranya Avicennia marina, Rhizophora apiculata, Rhizophora

mucronata, Ceriops Tagal dan Sonneratia alba. Berbeda dengan pengamatan di tahun

2016 stasiun tertinggi diperoleh pada stasiun MMRM 01 dan MMRM 13. Namun

pada tahun 2017 nilai kerapatanya berkurang menjadi 2100 ind/ha yang sebelumnya

mencapai 3133,33 ind/ha. Setelah dilakukan perhitungan nilai rata rata kerapatan di

Kabupaten Sikka mencapai 2233,33 ind/ha. Diduga peningkatan nilai kerapatan

akibat bertambahnya ukuran mangrove di kabupaten Sikka yang sebelumnya

merupakan kategori anakan masuk kedalam kategori pohon.

Gambar 52. Grafik perbandingan sebaran kerapatan mangrove (ind/ha) tahun 2016

(biru) dan tahun 2017 (merah) di Kabupaten Sikka.

Page 79: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

67

Tabel 16. Perbandingan kerapatan mangrove (ind/ha) tahun 2016 (biru) dan tahun

2017 (merah) di Kabupaten Sikka.

NO Stasiun Lokasi Kerapatan

(ind/ha) 2016

Kerapatan

(ind/ha) 2017

1 MMRM 01 P. Besar Selatan 3133.33 3133.33

2 MMRM 02 P. Besar Selatan 2600.00 2666.67

3 MMRM 03 P. Besar Selatan 1733.33 2366.67

4 MMRM 04 P. Dambila 2300.00 2966.67

5 MMRM 05 P. Besar Utara 1633.33 1766.67

6 MMRM 06 Nebe 866.67 1033.33

7 MMRM 07 Darat Pantai 2966.67 2833.33

8 MMRM 08 Darat Pantai 2766.67 2500.00

9 MMRM 09 Darat Pantai 1666.67 2166.67

10 MMRM 10 Nangahale 2733.33 2866.67

11 MMRM 11 Kampung Buton 1200.00 1366.67

12 MMRM 12 Talibura 1166.67 1266.67

13 MMRM 13 Magepanda 3133.33 2100.00

Total 27900 29033.33

Dari 13 lokasi pengamatan yang tersebar di kabupaten Sikka, spesies paling

banyak ditemui adalah Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba, selain menganalisa

nilai (K) kerapatan template perhitungan dari LIPI juga mencari nilai F (Frekuensi), D

(Dominansi), FR (Frekuensi Relatif), DR (Dominansi Relatif), dan INP (Indeks Nilai

Penting).

Selain melakukan analisa mangrove pada pengamatan ini juga dilakukan

pengamtan terhadap parameter lingkungan yang meliputi suhu udara, suhu air,

salinitas, dan pH. Suhu udara berkisar 26oC – 32oC, suhu air berkisar antara 26oC –

30oC, untuk salinitas 32 – 42 ppt, dan untuk pH berkisar 7 - 8. Penggelaran plot

Page 80: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

68

transek dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan, sedangkan untuk parameter

lingkungan di setiap plot dilakukan 3 kali pengulangan jadi diperoleh 9 data di setiap

stasiun. Penggelaran transek permanen menggunakan tali nylon. Tali nylon dinilai

lebih mudah dan lebih kuat terbukti tali nylon pengamatan pada tahun 2016 masih

ditemukan utuh di sebagian besar lokasi.

Gambar 53. Pengukuran diameter batang dan pencatatan data di lapangan (atas);

pengukuran parameter lingkungan (bawah).

Untuk mempermudah pengamatan tahun selanjutnya, tim juga membuat sketsa

penggelaran plot setiap stasiun di Kabupaten Sikka. Sketsa ini merupakan sketsa yang

digunakan pada tahun 2016 dikarenakan tidak ada perubahan posisi sedikitpun baik

koordinat maupun transek maka tim pengamat menggunakan sketsa ini dan

diharapkan menjadi acuan pada pengamatan selanjutnya. Isi dari sketsa berupa posisi

stasiun di daratan ataupun pulau, pola gelaran serta informasi khusus disetiap stasiun.

Informasi lengkap tentang sketsa ada di Gambar 54.

Page 81: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

69

Stasiun: MMRM 01; Lokasi: Pulau Besar Stasiun: MMRM 02; Lokasi: Pulau Besar

Stasiun: MMRM 03; Lokasi: Pulau Besar Stasiun: MMRM 04; Lokasi: Pulau

Dambila

Page 82: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

70

Stasiun: MMRM 05; Lokasi: Pulau Besar Stasiun: MMRM 06; Lokasi: Wailamu,

Nebe

Stasiun: MMRM 07; Lokasi: Darat Pantai Stasiun: MMRM 08; Lokasi: Darat Pantai

Page 83: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

71

Stasiun: MMRM 09; Lokasi: Darat Pantai Stasiun: MMRM 10; Lokasi: Nangahale

Stasiun: MMRM 11; Lokasi: Kampung

Buton

Stasiun: MMRM 12; Lokasi: Talibura

Page 84: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

72

Stasiun: MMRM 13; Lokasi: Magepanda

Gambar 54. Sketsa pola penggelaran plot serta denah lokasi setiap stasiun

pengamatan tahun 2017 di Kabupaten Sikka.

Page 85: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

73

IV. KESIMPULAN

1. SIG

Citra landsat 8 berresolusi 15 x 15 meter telah mampu dipergunakan dalam

pemetaan substrat dasar perairan yang didukung data ground truth yang memadai.

Jumlah data ground truth akan membantu dalam meningkatkan ketelitian peta.

Klas lamun yang terpetakan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh

hanya hamparan lamun yang mempunyai tingkat kerapatan > 40%, sementara pada

lamun yang mempunyai kerapatan < 40%, yang terekam adalah substrat dasarnya.

2. Karang

Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sikka

dalam kondisi kurang baik (15,76) dan mengalami penurunan dari pendataan tahun

sebelumnya sebesar 17,98% meskipun ada beberapa lokasi yang mengalami

peningkatan dan memiliki kondisi yang cukup baik. Pengamatan di lapangan

mayoritas ditemukan adanya juvenile karang yang memberikan harapan adanya

proses pemulihan.

3. Ikan Karang

1. Hasil pengamatan di seluruh lokasi stasiun di perairan Kabupaten Sikka

dengan luas transek sabuk 350 m2 ditemukan total 63 jenis ikan karang yang

berasal dari 6 famili ikan.

2. Kelompok ikan pemakan karang (Coralivores) yang dalam hal ini diwakili

oleh satu famili yaitu Chetodontidae, ditemukan sedikitnya ada 17 jenis ikan

Famili Chaetodontidae, tetapi tidak semua lokasi dapat dijumpai ikan Famili

Chaetodontidae.

3. Kelimpahan ikan karang yang termasuk kedalam 5 famili lainnya yaitu

Acanthuridae (butana),Lutjanidae (kakap),Scaridae (kakatua), Serranidae

(kerapu), dan Siganidae (baronang) berkisar antara 7-79 individu/350m2.

Page 86: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

74

4. Biomassa ikan karang yang terdiri dari 7 famili ikan yaitu Acanthuridae

(butana),Lutjanidae (kakap), Scaridae (kakatua), Serranidae (kerapu), dan

Siganidae (baronang) berkisar antara 55 Kg/ha hingga 597 Kg/ha.

4. Megabenthos

Megabenthos pada perairan Kabupaten Sikka, Maumere sangat beragam

namun kebanyakan di dominasi oleh bulu babi sebanyak 502 individu. Bulu babi

merupakan organisme dominan yang ditemukan dalam seluruh stasiun pengamatan.

Drupella ditemukan sebanyak 15 individu, Linckia laevigata ditemukan sebanyak 62

individu dan kima ditemukan sebanyak 55 individu, Acanthaster planci sebanyak 4.

Sedikit ditemukananya teripang dan lobster pada seluruh stasiun juga

mengindikasikan akan adanya penangkapan secara berlebih terhadap biota ekonomis

tinggi ini.

5. Lamun

Hasil pengamatan selama kegiatan monitoring lamun di Kabupaten Sikka

secara rata-rata menunjukkan % penutupan lamun dalam kondisi baik atau sehat.

Hasil pengamatan menunjukkan terjadi penurunan di beberapa lokasi dibandingkan

data tahun 2016, tetapi juga terjadi kenaikan % penutupan di beberapa lokasi

penelitian. Terdapat perbedaan kondisi kategori kesehatan lamun, namun masih dalam

katagori baik. Perbedaaan ini diduga karena adanya pengaruh aktivitas kegiatan

masyarakat pesisir yang bermukim berdekatan di beberapa stasiun monitoring.

6. Mangrove

Kerapatan tertinggi di Stasiun MMRM 13 sebesar 3133 ind/ha dan yang

terendah terdapat di stasiun MMRM 06 dengan nilai 1033 ind/ha.

Persentase tutupan kanopi mangrove terendah pada stasiun MMRM 01 sebesar 6,88

% dengan tutupan tertinggi pada stasiun MMRM 02 sebesar 83,87 %.

Terdapat 7 (tujuh) stasiun yang berstatus padat untuk persen tutupan mangrove

sehingga status padat merupakan status yang mendominasi persen tutupan kanopi

mangrove di Kabupaten Sikka.

Page 87: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

75

Jumlah spesies mangrove mayor yang ditemukan terdapat 6 jenis yaitu Sonneratia

alba, Rhizophora apiculata, Avicennia marina, Bruguiera gymnorizha, Rhizophora

lamarckii, Ceriops tagal. Spesies yang paling sering ditemui adalah Sonneratia alba

dan Rhizophora apiculata.

Page 88: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

76

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, U.Y. 2009. Drupella spp. (Muricidae: Mollusca): Siput pemakan karang.

Oseana XXXIV (3): 19-24.

Arbi, U.Y. 2009. Drupella spp. (Muricidae: Mollusca): Siput pemakan karang.

Oseana XXXIV(3): 19-24.

Brower, J.E. and J.H. Zar. 1997. Field and Laboratory Method for General Ecology.

MWC Brawn Company Publishing, lowa: 194pp.

Campbell, J.B. 1996. Introduction to Remote Sensing. London: Taylor & Francis. 622

p.

Chen, J. 2003. Overview of seacucumber farming and sea ranching practices inChina.

SPC Beche-de-mer Info. Bull. 18: 18-23.

Chute, A.S. & J.T. Turner. 2001. Plankton Studies in Buzzards Bay Massachusetts,

USA. V. Ichtyoplankton. 1987 to 1993. Mar Ecol, Prog. Ser, 224: 45-54.

Clark, A.M. and F.E.W. Rowe. 1971. Monograph of Shallow Water Indo-West Pacific

Echinoderms. British Musseum (Natural History), London: 238 pp.

Colin, P.L. and C. Arneson. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. Coral Reef Press.

California: 341 pp.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Penerbit PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta XXXIII + 412 hlm.

Elfidasari, Dewi. et al. 2012. Identifikasi Jenis Teripang Genus Holothuria Asal

Perairan Sekitar Kepulauan Seribu Berdasarkan Perbedaan Morfologi. Al-

Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi, Vol. 1, No. 3

English, S., C. Wilkinson and V. Baker.1994. Survey Manual for Tropical Marine

Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia.

Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren, dan L. Scholten, 2007. Mangrove Guidebook for

Southeast Asia. FAO and Wetlands International.

Giyanto. 2012a. Kajian tentang panjang transek dan jarak antar pemotretan pada

penggunaan metode transek foto bawah air. Oseanologi dan Limnologi di

Indonesia 38 (1): 1-18.

Giyanto. 2012b. Penilaian Kondisi Terumbu Karang Dengan Metode Transek Foto

Bawah Air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (3): 377-390.

Page 89: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

77

Giyanto; B.H. Iskandar; D. Soedharma & Suharsono. 2010. Effi siensi dan akurasi

pada proses analisis foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu karang. 41

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36 (1): 111-130.

Harvey, J.T. (2008) Abundance. Encyclopedia of Ecology (ed. by S.E.J. Fath and D.

Brian), pp. 4-10. Academic Press, Oxford.

Helfman, G.S., B.B. Collete, D.E. Facey dan B.W. Bowen 2009. Diversity of Fishes:

Biology, Evoluation and Ecology. 2nd. Eds. Wiley-Blacwell: John Wiley

and Sons Ltd. Chichester. UK.737 pp.

Jumanto. 2013. Struktur Komunitas Echinodermata di Padang Lamun Perairan Desa

Pengudang Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan Provinsi

Kepulauan Riau, Skripsi, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang.

Khairuddin, B., F Yulianda, Kusmana, C Yonvitner. 2016. Degradation mangrove by

using Landsat 5 TM and Landsat 8 OLI image in Mempawah Regency,

West Kalimantan Province year 1989 – 2014. Procedia Environmental

Sciences 33 (2016) 460 – 464

Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in

Indonesia. Bali and Lombok. International Society for Mangrove

Ecosystem. Denpasar.

Kohler, K.E. and S.M. Gill. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe):

A Visual Basic program for the determination of coral and substrate

coverage using random point count methodology. Computers and

Geosciences. 32(9) : 1259-1269Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of

Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water

Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing

2, pp. 71-82.

Kusmana, C., A. Suryani, Y. Hartati dan P. Oktadiyani. 2009. Pemanfaatan jenis

pohon Mangrove api - api (Avicennia spp.) sebagai bahan pangan dan Obat

- obatan. IPB, Bogor.

Larkum, AWD.,AJ. Mc Comb and SA. Shepard. 2000. Biology of Seagrasses.

Elsevier. Amsterdam

Lillesand, dan Kiefer, 1999. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Loya, Y. 1978. Plotless And transect Method, in: Stoddart, D.R., and R.E.Johannes,

Coral Reef Research Methods, Paris (UNESCO): 22-32.

Page 90: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

78

Lyzenga, D.R., 1981, Remote sensing of bottom reflectance and water attenuation

parameters in shallow water using aircraft and Landsat data. International

Journal of Remote Sensing 2:71–82

Matsuura, K., O.K. Sumadiharga and K. Tsukamoto. 2000. Field Guide to Lombok

Island Identification Guide to Marine Organism in seagrass Beds of Lombok

Island, Indonesia. Bogor of Tokyo: 449 pp.

Moran, P. J.,1990. The Acanthaster planci (L); Biographical data.Coral Reefs 9; 95-

96.

Neira, R.O. and J.R.K. Cantera. 2005. Composición Taxonómica y Distribución de las

Asociaciones de Equinodermos en los Ecosistemas Litorales del Pacifico

Colombiano. Rev. Biol. Trop. 53 (3): 195-206.

Nyebaken, J.W.1993. Marine Biology: An Ecological approach (Third Edition).

Harper Collins College Publishers. New York. 435pp

Nyström, M., C. Folke and F. Moberg, 2000. Coral Reef Disturbance and Resilience

in A Human-Dominated Environment. Trends in Ecology and Evolution

Purwati, Pradina. 2005. Teripang Indonesia: Komposisi Jenis dan Sejarah Perikanan.

Oseana. Vol XXX No 2. 11 – 18

Rachmawati. S., A. Irawan, I.H. Supriyadi, M.H. Azkab. 2014. Panduan Monitoring

Padang Lamun. (Editor: M. Hutomo & A. Nontji). Pusat Penelitian

Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Riniatsih, I., dan Widianingsih. 2007. Kelimpahan dan Pola sebaran Kerang-kerangan

(Bivalvia) di Ekosistem Padang Lamun Perairan Jepara. Jurnal Ilmu

Kelautan. Vol 12 (1) Maret 2007.

Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tomascick, T., A.J. Mah, A. Nontji & M.K. Kasim Moosa. 1997. The Ecology of the

Indonesia Seas. Part One. Periplus Edition (HK) Ltd., Singapore.

Tomlison, P.B. 1994. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press. New

York.

Wilson J.R. & Green A.L. 2009. Metode Pemantauan Biologi Untuk Menilai

Kesehatan Terumbu Karang dan Efektivitas Pengelolaan Kawasan

Konservasi Laut di Indonesia (Terjemahan). Versi 1.0. Laporan TNC

Indonesia MarineProgram No 1/09. 46 hal.

Page 91: KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …

79

Winardi & A.E.W. Manuputty. 2007. Monitoring Ekologi Sikka. Laporan

COREMAP II-LIPI, Jakarta, 68 hal.