35

Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas
Page 2: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

1

Konferensi internasional feminisme: Persilangan identitas, agensi dan PolitiK(20 tahun Jurnal PeremPuan)

PROSIDING

international ConferenCe on feminism: interseCting identities, agenCy & PolitiCs(20 years Jurnal PeremPuan)

PROCEEDING OF

Page 3: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

AgAmA dAn Feminisme

2

Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas, Agensi dan Politik(20 Tahun Jurnal Perempuan)

© Jurnal Perempuan, 2016

2655 hlm, 14,8 x 21 cm

ISBN 978-602-6789-33-4

Prosiding ini diterbitkan olehYayasan Jurnal Perempuan, Jakarta

Page 4: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

3

Kata Pengantar

Selamat datang di acara Konferensi Internasional tentang

Feminisme, pertama diadakan di Indonesia yang membahas

secara khusus feminisme dari berbagai bidang. Konferensi ini

dalam rangka memperingati 20 tahun Jurnal Perempuan yang

pertama kali terbit pada tahun 1996. Sejak itu, Jurnal Perempuan

sebagai jurnal feminis pertama di Indonesia telah membahas

secara konsisten ide-ide feminisme baik dalam ranah lokal

maupun global.

Perjalanan ide feminisme di Indonesia merupakan

perjalanan yang terjal. Awal ide feminisme bisa dikatakan

dibangun pada Kongres Ibu pertama di Yogyakarta pada tahun

1928 yang mebahas isu-isu penting pada masa itu, yaitu, isu

pendidikan dan perempuan. Selanjutnya, ide-ide feminisme

terus berlanjut setelah Indonesia merdeka pada tingkat akar

rumput yang secara gigih dipelopori oleh Gerwani (Gerakan

Wanita Indonesia) di tahun 1950-an. Setelah masa kepemimpinan

presiden Sukarno, gerakan perempuan memasuki masa kelam

di era presiden Suharto, yakni, dikooptasi dan didominasi oleh

negara. Baru pada masa Reformasi ide-ide feminisme tumbuh

subur dengan adanya demokrasi. Namun, pintu demokrasi

yang terbuka lebar mengundang berbagai kelompok seperti

kelompok agama konservatif yang juga menerabas masuk.

Dengan demikian, tantangan perempuan Indonesia semakin

besar memasuki abad ke-21. Meskipun demikian, wacana

kesetaraan dan keadilan untuk perempuan telah diterima luas

di berbagai daerah dan kesolidan gerakan perempuan tampak

menguat baik di pemerintahan, parlemen, LSM, akademisi dan

Page 5: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

AgAmA dAn Feminisme

4

profesional serta tokoh/organisasi berhaluan feminis Islam. Oleh

sebab itu, kami tetap optimis akan masa depan feminisme di

Indonesia.

Konferensi ini mencerminkan optimisme tersebut. Makalah

yang masuk ke panitia konferensi berjumlah 102 dan terseleksi

sebanyak 62 makalah. Pemakalah dan peserta datang dari

berbagai daerah seperti Aceh hingga Papua kecuali Maluku.

Peserta dari luar negeri terwakili oleh Thailand, Amerika,

Australia, Hong Kong, Filipina, Belanda, Jerman dan Malaysia.

Peserta yang aktif berpartisipasi dalam konferensi ini juga

beragam dari LSM, pemerintahan, akademisi, guru, profesional,

pengusaha dan ibu rumah tangga.

Terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada

ketua panitia konferensi, Sdr. Naufaludin Ismail beserta staff

YJP, mantan staff YJP, SJP dan para voluntir yang terdiri dari

mahasiswa, dosen dan umum. Demikian pula kepada Dewan

Pembina, Dewan Redaksi dan mitra-mitra YJP yang berkontribusi

pada acara ini. Terkhusus, terima kasih sedalamnya untuk Ford

Foundation, MAMPU dan ARROW yang telah mendanai dan

mendukung acara konferensi ini.

Gadis AriviaPendiri dan Acting Director YJP

Page 6: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

5

Preface

Welcome to the International Conference on Feminism,

organized for the first time in Indonesia discussing specifically

feminism from various perspectives. This conference is held to

commemorate the 20th Anniversary of Jurnal Perempuan whose

first edition was released in 1996. Since then, as the first feminist

journal in Indonesia, Jurnal Perempuan has been consistently

discussing feminism ideas, in local and global sphere.

The journey of feminism idea in Indonesia must pass a

difficult road. It can be said, that the initial idea was established

at the first Woman Congress in Yogyakarta in 1928 discussing

important issues, including education and women. Furthermore,

the feminism ideas continued after Indonesia proclaimed its

independence in the grassroots level pioneered by Gerwani

(Indonesian Women Movement) in 1950s.

Post-Suharto leadership, women movement entered its

dark era in the new order era presided by the then President,

as it was co-opted and dominated by the state. Than it came

the Reform era when feminism idea grew thank to democracy.

However, the door for democracy opened widely invaded also

by other groups, one of which was the conservative religious

groups.

With that, the challenge faced by Indonesian women

became bigger when entering the 21st century. Even though so,

the discourse about equality and justice for women had been

widely accepted in many regions and the women solidarity

movement seemed to strengthen either in the government

level, parliament, NGO, academicians and professionals as well

Page 7: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

AgAmA dAn Feminisme

6

as Islam-minded feminist organizations and figures. That is why

we are still optimistic about the future of feminism in Indonesia.

The conference reflects the optimism. The organizing

committee receives 102 papers and selects 62. The presenters

and participants come from various regions, such as Aceh and

even Papua, with Maluku province as an exception. Foreign

participants are also present in this seminar from Thailand,

the United States, Australia, Hong Kong, Philippines, Holland,

Germany and Malaysia. They come from diverse background such

as NGO, government, academic, teacher, student, professional,

businessmen and housewives.

I would like to thank the head of the conference organizing

committee, Naufaludin Ismail and all YJP staffs, former YJP staffs,

SJP and volunteers, including university students, lecturers and

general public. I would like also to express my sincere gratitude

to the Board of Steering Committee, Boar of Editor and YJP’s

partners that contribute to this event.

Special thanks to the Ford Foundation, MAMPU and ARROW

who fund and support this conference.

Gadis AriviaFounder and Acting Director of YJP

Page 8: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

7

daftar isi

AGAMA DAN FEMINISME

Islamic Feminist Reading on the Qur’an: A Comparative Study on Amina Wadud’s and Mohammed Talbi’s Interpretation of Q. 4:34 Afifur Rochman Sya’rani --23

Membaca Kontruksi Seksualitas: Sebuah Kajian Represi Mahasiswi Santri Terhadap FilmPerempuan Punya CeritaBruce Dame Laoera --52

Komodifikasi Filantropi Lokal Islam dan Eksploitasi Perempuan di Ruang Publik: Perempuan Pemungut Sumbangan Keagamaan di Jalan RayaJajang A Rohmana --93

Rekonstruksi Citra Perempuan dalam Alkitab pada Kumpulan Puisi Perempuan yang Dihapus Namanya Karya Avianti ArmandLanggeng Prima Anggradinata --123

Allah sebagai Kekasih: Narasi Perempuan Pedhotanakan Allah di Gunung KemukusOleh Mutiara Andalas --154

“Ombak Panggil Ombak” Pandangan Feminis Protestan Indonesia mengenai Pergulatan Agama, Tradisi dan Perubahan Sosial MasyarakatNancy Novitra Souisa --171

Page 9: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

AgAmA dAn Feminisme

8

Membebaskan Allah Dari Belenggu Patriarki(Sebuah Analisis Kritis Feminis Kristen Terhadap Konsep Allah Dalam Alkitab Perjanjian Lama)Suryaningsi Mila --198

BURUH DAN PEKERJAAN

Dualisme Peran Gender dalam Keluarga Buruh Migran IndonesiaAnggaunitakiranantika --226

Paradoks & Marginalisasi Home-Workers di Industri Berbasis “Putting-Out” System (Studi Kasus Jawa Tengah)Arianti Ina R. Hunga dan Tundjung Mahatma --243

Menggali Potensi Perempuan Akar Rumput dalam Upaya Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia: Kisah Paguyuban SeruniElisabeth Dewi dan Sylvia Yazid --276

Makna Kemandirian Pada Pekerja Lansia Perempuan di BaliMade Diah Lestari, Ni Putu Natalya, Ratna Dewi Santosa, Ni Putu Eka Yulias Puspitasari, Olvi Aldina Perry --310

Dilema Perempuan Buruh Migran dalam Peran Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Pinky Saptandari --334

Perempuan Dimensional: Tentang Ekonomi-Politik Perempuan Pesisir MuncarRizalatul Islamiyah --360

Page 10: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

9

Kehidupan Perempuan di Perkebunan Teh, Sebuah Kajian EkofenismeRoro Retno Wulan --384

Etika Fashion: Langkah Kritis Menghadapi Efek Ekploitasi Kapitalistik IndustrialSafina Maulida --406

Pengaruh Bias Gender pada Karakteristik Wirausaha terhadap Kinerja BisnisYusalina, Anita Primaswari Widhiani, Chairani Putri Pratiwi --421

FEMINISME LOKAL, GLOBAL DAN TRANSNASIONAL

Dampak dan Makna Resistensi Perempuan Balipada Sektor Industri Kreatif di Desa Paksebali, Kabupaten Klungkung, BaliAnak Agung Istri Putera Widiastiti --448

Perempuan dan Pegunungan Kendeng: Ekofinisme dalam Gerakan Sosial Baru di IndonesiaOkie Fauzi Rachman --474

Kebertahanan Perempuan Korban Kekerasan dalam Pacaran di Kota Salatiga (Kajian Psikoanalisa)Eunike Imaniar Yani Talise, Sutarto Wijono,Arianti Ina Hunga --511

Lingkar Tutur Perempuan: Women and the politics of memory in the aftermath of 1965 state violenceI Gusti Agung Ayu Ratih --538

Page 11: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

310

Buruh dan Pekerjaan

MAKNA KEMANDIRIAN PADA PEKERJA LANSIA PEREMPUAN DI BALI

Made Diah Lestari, Ni Putu Natalya, Ratna Dewi Santosa, Ni Putu Eka Yulias Puspitasari,

Olvi Aldina PerryProgram Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran,

Universitas [email protected]

ABSTRAKPerempuan mendapatkan kedudukan yang terhormat dalam

Masyarakat Bali. Perempuan tidak hanya menjalankan fungsinya dalam peran ekspresif rumah tangga, namun juga mengambil peran yang bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Sejak kemunculan pergerakan emansipasi perempuan di Bali pada tahun 1930, kehadiran perempuan mulai diakui dalam sektor pendidikan, sosial, dan perdagangan. Dewasa ini, jumlah perempuan di Bali yang bekerja mengalami peningkatan. Jumlah perempuan yang bekerja tidak hanya terbatas pada golongan usia produktif, namun juga perempuan lanjut usia (lansia). Bali adalah salah satu dari lima provinsi dengan jumlah lansia tertinggi di Indonesia. Tahun 2006 usia harapan hidup meningkat menjadi 70.5 tahun, melampui rata-rata usia harapan hidup nasional di angka 66.2 tahun. Lansia perempuan sebagian besar bekerja di sektor informal. Fakta ini menarik untuk diteliti lebih lanjut mengingat Bali, khususnya Denpasar tengah menuju pencanangan kota ramah lansia pada tahun 2030. Penelitian ini ingin melihat bagaimana pemaknaan kemandirian pada pekerja lansia perempuan di Bali menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode constructive realism. Hasilnya memperlihatkan empat kategori utama yang terkait dengan makna bekerja perempuan lansia, yakni alasan tetap bekerja, sikap kerja, dan hal yang dirasakan ketika tetap bekerja serta ketika tidak bekerja. Desakan tanggung jawab kepada pasangan dan anak menjadi sub kategori utama dalam alasan bekerja perempuan lansia.

Kata kunci: lansia perempuan, pekerja, kemandirian, successful ageing

Page 12: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

311

ABSTRACTIn Balinese Society, to be a woman is precious. Balinese

believes that women have a prestigious place in society. In patrilineal kinship system, women play expressive role and act like a partner of their husband in menyama braya activities. Nowdays, Balinese Women also play instrumental role through their career and occupation. Balinese women working class also consist of older women. Bali is one of the biggest five provinces in Indonesia with highest proportion of older people. Life expectancy was significantly increase to 70.5 years old in 2006. It was higher than national life expectancy rate in 66.2 years old. The fact is interesting to be examined because Bali, which is Denpasar will be a model of age friendly city in 2030. The aim of the study was finding the meaning of working in Balinese older women. The study used qualitative approach using constructive realism method. The result found that there were four categories which describe the meaning of working in Balinese Older Women. The categories were the working opportunities structures, working attitude, feeling in working time, and feeling during non working time. The responsibility to husband and family became main category which motivated older women still work in their late life.

Keywords: older women, working class, successful ageing.

PendahuluanKedudukan perempuan dalam Masyarakat Hindu

Bali dilandasi oleh Hukum Adat Bali yang sebagian besar

dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam Agama Hindu (Utari, 2006).

Posisi dan penghargaan terhadap kaum perempuan tercantum

dalam beberapa sloka di Kitab Suci Manawa Dharmasastra, yang

mewajibkan semua orang untuk menghormati perempuan.

Sebuah rumah tangga akan mengalami kehancuran jika

penghargaan terhadap perempuan dilanggar (Manawa

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 13: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

312

Buruh dan Pekerjaan

Dar ma sastra dalam Utari, 2006). Sistem kekeluargaan

patrilinealmembawa konsekuensi bagi peran dan kedudukan

Perempuan Bali di dalam keluarga. Peran Perempuan Bali dalam

lingkungan keluarga, masyarakat, dan bangsa.tercantum di

dalam Kitab Bhagawadgita Bab I Sloka 41 dan 42. Dalam Bab

tersebut dijelaskan bahwa perempuan menjadi tolok ukur

keberhasilan sebuah keluarga dan bangsa. Keruntuhan moral

seorang perempuan akan membawa keruntuhankeluarga dan

generasi selanjutnya (Bhagawadgita dalam Utari, 2006). Dalam

kenyataannya pada era sekarang ini, Perempuan Bali memiliki

peran dalam pengasuhan anak, menjadi role model bagi

generasi selanjutnya, dan menjadi sosok yang diperhitungkan

pemikirannya dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga.

Uraian di atas mengukuhkan peran Perempuan Bali di dalam

tugas-tugas domestik dan pengasuhan. Dalam kehidupan sosial,

Perempuan Bali adalah mitra suami dalam kehidupan banjar

dan menyama braya. Perempuan Bali menjadi perpanjangan

tangan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat (Geertz

dalam Kurniawati, 2009). Masyarakat Bali tergolong masyarakat

kolektif yang mengandalkan kerjasama dan bantuan krama

banjar dalam penyelesaian tugas-tugas adat dan keagamaan

(Meniarta, Mas’udi, & Dwipayana, 2009). Dalam konteks ini,

Perempuan Bali memegang peranan penting untuk mengabdi

pada banjar dan adat.

Sejak kemunculan pergerakan emansipasi perempuan di

Bali pada tahun 1930, kehadiran perempuan mulai diakui dalam

sektor pendidikan, sosial, dan perdagangan. Dewasa ini, jumlah

angkatan kerja perempuan di Bali mengalami peningkatan

setiap tahunnya. Jumlah angkatan kerja perempuan tertinggi

berada di Kota Denpasar dengan jumlah 189.782 orang, diikuti

Page 14: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

313

dengan Kabupaten Buleleng dengan jumlah 157.859 orang,

Kabupaten Badung dengan jumlah 133.463 orang, dan sejumlah

118.762 orang di Kabupaten Gianyar (Badan Pusat Statistik (BPS)

Provinsi Bali, 2011). Secara umum, memasuki dunia kerja menjadi

sebuah tantangan bagi perempuan. Beberapa pekerjaan bersifat

gender stereotype, dimana satu pekerjaan tertentu diidentikkan

dengan satu jenis kelamin. Contohnya pekerjaan yang

menampilkan kepemimpinan, biasanya diidentikkan dengan

laki-laki. Sejarah membuktikan bahwa perempuan mengalami

tantangan dalam peningkatan karir pada beberapa pekerjaan

yang didominasi oleh laki-laki, bahkan pada pekerjaan yang

stereotipe perempuan pun, laki-laki biasanya jauh lebih bisa

survive dibandingkan dengan perempuan (Brannon, 2011).

Kecenderungan perempuan untuk bekerja merupakan

potensi yang kuat dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan

keluarga (Suartha, 2015). Total jumlah perempuan bekerja di Bali

adalah 1.024.044 jiwa. Angka ini mencapai 50% dari keseluruhan

populasi penduduk bekerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak

100.383 perempuan yang bekerja, berasal dari golongan lanjut

usia (lansia) (BPS Provinsi Bali, 2015). Secara kultural, Perempuan

Hindu Bali terbiasa untuk menjalankan peran ganda dalam

berbagai bidang kehidupan, termasuk bertanggung jawab

dalam menjaga kelangsungan hidup anggota keluarga di

sepanjang hayatnya. Salah satunya adalah peran perempuan

dalam peningkatan kondisi ekonomi keluarga yang tidak

dibatasi oleh usia mereka. Suartha (2015) menyatakan bahwa

sektor ekonomi yang paling potensial melibatkan peran serta

perempuan adalah sektor informal. Sektor informal adalah sektor

yang paling fleksibel dalam menerima keluar masuknya pekerja,

dalam artian sektor ini tidak membutuhkan persyaratan formal

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 15: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

314

Buruh dan Pekerjaan

dan sangat terbuka bagi setiap individu sepanjang individu

tersebut memiliki kemampuan dan kemauan. Demikian halnya

kesempatan kerja bagi lansia perempuan. Fenomena tenaga

kerja lansia perempuan dapat dikaji melalui dua perspektif

psikologi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yakni

perspektif Psikologi Gerontologi dan Psikologi Perempuan.

Jika ditinjau dari sudut pandang Psikologi Gerontologi,

maka kemampuan lansia untuk tetap bekerja merupakan salah

satu indikator produktivitas dalam perspektif successful atau

active ageing. Saat ini paradigma terkait dengan lansia telah

mengalami perubahan. Jika sebelumnya lansia dipandang

sebagai kelompok yang memiliki keterbatasan dan kelemahan,

maka konsep successful ageing melihat lansia dalam kacamata

yang lebih positif dan optimis. Yakni sebagai kelompok yang

tetap berdaya, produktif, dengan kondisi fisik serta psikologis

yang tetap prima walaupun memasuki masa tua (Rowe &

Kahn dalam Papalia, Stern, Feldman, & Camp, 2007). Konsep ini

lahir dan berkembang pesat di era ageing population yaitu era

dimana populasi penduduk dunia mengarah kepada populasi

penduduk berstruktur tua dengan proporsi jumlah penduduk

lansia yang semakin meningkat setiap tahunnya. Dalam

tataran kehidupan sosial dan ekonomi sebuah negara, maka

proporsi lansia yang meningkat akan membawa dampak bagi

meningkatnya rasio ketergantungan penduduk (old dependency

ratio) yaitu suatu rasio yang menunjukkan perbandingan antara

jumlah penduduk usia tua dengan jumlah penduduk produktif.

Jika penduduk usia tua jumlahnya lebih besar daripada jumlah

penduduk usia produktif, maka angka ketergantungan di suatu

wilayah akan semakin besar (Suardiman, 2011)

Pada tahun 2014, rasio ketergantungan penduduk di Bali

Page 16: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

315

mencapai 0.45 dengan sumbangan kelompok lansia atau pasca

produktif mencapai 0.09. Bali adalah termasuk di dalam lima

besar provinsi di Indonesia dengan jumlah lansia tertinggi.

Jika di tahun 1995 proporsi penduduk lansia di Bali 8.93%,

maka di tahun 2007 proporsinya menjadi 11.02%. Diperkirakan

di tahun 2016, angkanya akan meningkat dua kali lipat dari

tahun 1995 (Suardiman, 2011). Bertambahnya jumlah lansia

seiring dengan peningkatan taraf sosial ekonomi masyarakat

yang bermuara pada meningkatnya usia harapan hidup. Tahun

2000 usia harapan hidup penduduk di Bali adalah 68.1 tahun

dan meningkat menjadi 70.5 tahun di tahun 2006. Angka ini

melampui rata-rata usia harapan hidup nasional di angka 66.2

tahun (Arimbawa, 2015). Lansia perempuan bekerja menjadi

sebuah fenomena yang kemudian di satu sisi memberikan

sumbangan yang positif bagi rasio ketergantungan penduduk di

Bali dan di sisi lain menjadi sebuah contoh dari konsep successful

ageing. Fakta ini menarik untuk diteliti lebih lanjut mengingat

Bali, khususnya Denpasar tengah menuju pencanangan kota

ramah lansia pada tahun 2030.

Ditinjau dari perspektif Psikologi Perempuan, fenomena

perempuan bekerja menjadi sebuah kajian yang mendukung

pergerakan emansipasi serta pemberdayaan perempuan. Ada

sejumlah alasan individu bekerja, yakni alasan ekonomi dan

alasan psikologis. Secara psikologis, individu bekerja untuk

sense of personal fulfillment, identitas personal, mencegah

kebosanan, melayani orang lain, dan untuk menadapatkan

status serta pengakuan (Atwater, 1983). Dalam semua strata

sosial, terindikasi bahwa peran dan status perempuan dalam

keberlangsungan keluarga lebih tinggi daripada laki-laki,

walaupun secara sosiokultural laki-laki dianggap sebagai kepala

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 17: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

316

Buruh dan Pekerjaan

keluarga. Dominasi ini menggambarkan tingginya potensi

perempuan untuk mengarahkan sebuah keluarga ke arah

yang lebih baik ataupun lebih buruk (Suartha, 2015). Terlebih

lagi hal ini didukung oleh sebaran penduduk Bali yang hampir

50% terdiri dari pendudukan perempuan. Kecenderungan

pengasuhan perempuan terhadap keluarga berlanjut hingga

pasca usiaproduktif, yakni lansia. Bali menganut sistem

kekeluargaan patrilineal. Dalam sistem kekeluargaan patrilineal,

sistem pengaturan tempat tinggal keluarga yang khas adalah

extended family, dimana setelah anak laki-laki menikah,

mereka dan keluarganya akan tetap tinggal bersama ayah

dan ibu. Sistem extended family kemudian menjadi semakin

mengukuhkan peran pengasuhan seorang perempuan atau

ibu hingga sepanjang hayat mereka. Termasuk dalam hal ini

pengasuhan secara ekonomi.

Berdasarkan dua perspektif tersebut, yakni Psikologi

Gerontologi dan Psikologi Perempuan, maka tulisan ini akan

membahas lebih jauh terkait dengan pemaknaan bekerja

perempuan lansia. Apa yang kemudian menjadi alasan

perempuan lansia tetap bekerja, bagaimana etos kerja mereka,

apa yang dirasakan ketika bekerja dan ketika tidak bekerja,

serta keputusan kapan akan berhenti bekerja. Dalam menjawab

pertanyaan penelitian, pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan kualitatif dengan metode constructive realism.

Metode ini digunakan dalam penelitian indigenous psychology.

Konsep dasar dalam penelitian ini adalah indigenization from

within yang berusaha untuk membangun teori, konsep, dan

metode baru melalui informasi-informasi dasar yang digali dan

dikumpulkan dari lingkungan atau konteks fenomena psikologi

muncul. Informasi awal ini diyakini sebagai sumber dari ilmu

Page 18: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

317

pengetahuan. Metode ini meyakini bahwa dalam ilmu psikologi,

konsep harus dipecah ke dalam pengalaman-pengalaman hidup

yang nyata. Ketika konsep tidak dipecah ke dalam pengalaman

nyata atau indikator perilaku yang khas, maka karakteristik

psikologisnya akan berkurang. Pemahaman akan konteks

menjadi penting dalam constructive realism.

Makna Bekerja Bagi Perempuan LansiaAlasan dan kemungkinan kelompok lansia untuk tetap

bekerja di masa tua mereka menjadi kajian beberapa penelitian.

Alasan dan keputusan untuk tetap bekerja dan beraktivitas

di masa tua dipengaruhi oleh beberapa faktor yang bersifat

sangat kontekstual (Henretta, Chan, & O’Rand dalam August &

Quintero, 2001). Keputusan untuk tetap bekerja pada golongan

lansia di antaranya adalah status sosial ekonomi, keterbatasan

fisik dan masalah kesehatan, kecemasan akanrasa bosan, dan

jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan lansia

(Hansson, dkk; Henretta, dkk; Talaga & Beehr, dalam August &

Quintero, 2001). Hansson, dkk (dalam August & Quintero, 2001)

mengistilahkan opportunity structures, yaitu variabel-variabel

situasional yang mendukung individu untuk bisa tetap bekerja,

salah satunya adalah ketika individu memasuki usia lanjut.

Saat konsep terkait opportunity structures ini diterapkan

pada populasi perempuan, maka ada sejumlah variabel mikro

dan makro dari komunitas atau konteks budaya dimana

lansia perempuan tersebut tumbuh dan berkembang yang

memberikan kontribusi bagi keputusan lansia perempuan

untuk bekerja. Dalam tataran mikro, bagaimana pandangan

suami terkait dengan istri yang bekerja, kondisi sosial ekonomi

keluarga,dan jumlah tanggungan dalam keluarga, menjadi

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 19: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

318

Buruh dan Pekerjaan

faktor penguat atau penghambat lansia perempuan untuk tetap

bekerja. Dalam tataran makro, kesempatan bekerja dan pasar

kerja, serta pengaruh budaya lokal menjadi faktor penentu

keputusan untuk bekerja pada lansia perempuan.

Tabel 1.Deskripsi Subyek Penelitian

Karakteristik Jumlah Persentase

Usia

60 – 70 Tahun 28 87.5%

71 – 80 Tahun 3 9.4%

>80 Tahun 1 3.1%

Lama Bekerja

0 – 10 tahun 4 12.6%

11 – 20 tahun 7 21.8%

21 – 30 tahun 7 21.8%

31 – 40 tahun 9 28.2%

41 – 50 tahun 3 9.4%

>50 tahun 2 6.2%

Pendidikan

SD 17 53.2%

SMP 3 9.4%

SMA 3 9.4%

Status Pernikahan

Janda 9 28.2%

Menikah 23 71.8%

Tipe pekerjaan

Buruh 2 6.3%

Pedagang 29 90.6%

Petugas parkir 1 3.1%

Page 20: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

319

Dalam konteks demografi di Bali, maka kesempatan

untuk menjadi agen ekonomi dalam sektor informal menjadi

sebuah variabel yang memberikan kesempatan bagi kelompok

perempuan lansia untuk dapat bekerja dan menghasilkan

pendapatan dari sektor tersebut. Sektor informal yang

tidak banyak menetapkan prasyarat bagi tenaga kerja,

cenderung terbuka dengan berbagai kelompok usia tanpa

mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan sejumlah

kompetensi tertentu. Dalam penelitian ini, seluruh subyek

penelitian menggeluti bidang sektor informal seperti menjadi

pedagang, buruh, dan juru parkir. Sektor ini tidak memerlukan

persyaratan latar belakang pendidikan tertentu. Sebagian besar

subyek dalam penelitian ini berpendidikan SD. Pekerjaan dalam

sektor informal sudah digeluti selama berpuluh-puluh tahun,

sebagian besar sudah bekerja selama 31 – 40 tahun. Sebanyak

71.8% subyek berstatus menikah dan masih tinggal serumah

dengan suami, anak, serta menantu.

Gb. 1. Aktivitas Perempuan Lansia Sebagai Pedagang

Konsep extended family atau dalam Budaya Bali dikenal

dengan istilah ngerob yang mengharuskan salah satu keluarga

batih junior (keluarga baru yang dibentuk seorang anak) masih

tetap tinggal bersama dengan keluarga batih senior (orangtua),

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 21: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

320

Buruh dan Pekerjaan

merupakan salah satu dasar terbentuknya peran dan tanggung

jawab pengasuhan Perempuan Bali hingga generasi berikutnya,

yakni generasi anak, menantu, dan cucu (Lestari, 2016). Secara

akar budaya, peran Perempuan Bali dibentuk melalui interaksinya

dalam konteks keluarga, adat, dan sosial kemasyarakatannya.

Lestari (2016) menyatakan bahwa terdapat sejumlah sikap

dasar bekerja yang dimiliki oleh Perempuan Bali. Sikap dasar

ini terbentuk melalui pengalaman yang berkaitan dengan

adat yang mengatur pola perilaku Perempuan Bali. Perempuan

Bali yang bekerja mampu menampilkan keseimbangan,

ketangguhan, serta kemampuan dalam menjalankan peran

yang beragam. Kemampuan dalam menjalankan peran yang

beragam dan menyelesaikan tugas-tugas dalam sekali waktu

adalah bagian dari kemampuan multitasking. Perempuan Bali

juga mendapatkan pembelajaran kecerdasan emosional dan

penyesuaian diri melalui pernikahan ngerob. Di samping itu

nilai-nilai melayani dan pengabdian kepada keluarga adalah

modal utama yang harus selalu dijaga sehingga bekerja dan

berkarir tidak semata-mata hanya untuk status dan pengakuan.

Gb.2. Aktivitas Perempuan Lansia

Sebagai Buruh Tukang Suun di

Denpasar

Page 22: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

321

Nilai melayani dan mengabdi kepada keluarga menjadi

salah satu variabel opportunity structures bagi Perempuan

Bali untuk tetap bekerja saat memasuki masa lansia.Melalui

metode constructive realism, didapatkan empat kategori yang

menggambarkan pemaknaan bekerja pada lansia perempuan,

yakni alasan bekerja, sikap dalam bekerja, yang dirasakan saat

bekerja, dan juga yang dirasakan ketika tidak bekerja. Kategori

ini didapatkan melalui pertanyaan terbuka terkait dengan

makna bekerja kepada 32 subyek penelitian. Pertanyaan terbuka

menghasilkan 331 respon, yang terdiri dari 81 respon yang

terkait dengan alasan bekerja, 69 respon yang terkait dengan

sikap dalam bekerja, 64 respon yang terkait dengan hal yang

dirasakan ketika tetap bekerja, dan 117 respon yang berkaitan

dengan hal yang dirasakan di saat tidak bekerja.

A. Alasan Bekerja Perempuan LansiaPenelitian ini menemukan sejumlah alasan perempuan

lansia bekerja yang dibagi ke dalam tiga sub kategori, yakni

alasan kesehatan, alasan ekonomi, dan desakan tanggung

jawab. Alasan kesehatan menyangkut kesehatan fisik dan

kesehatan psikologis. Alasan ekonomi mencakup pemenuhan

kebutuhan sehari-hari, persiapan masa depan, dan membantu

anak serta cucu. Alasan desakan tanggung jawab mencakup

tanggung jawab kepada pasangan dan anak. Jika ditinjau dari

variabel opportunity structures yang disampaikan oleh Hansson,

dkk (dalam August & Quintero, 2001), maka alasan perempuan

lansia tetap bekerja dapat ditinjau dari alasan yang bersifat

personal dan alasan yang didorong oleh keadaan di luar diri

lansia.

Alasan personal mencakup kondisi kesehatan yang masih

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 23: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

322

Buruh dan Pekerjaan

memungkinkan, menghilangkan rasa kebosanan dengan

mencari hiburan serta membina relasi dengan teman kerja.

Bekerja dilakukan sepanjang lansia perempuan merasa

tetap sehat. Pertanyaan terbuka terkait dengan kapan lansia

perempuan memutuskan untuk berhenti bekerja direspon

dengan jawaban ‘tidak tahu kapan akan berhenti bekerja’.

Sepanjang kondisi kesehatan memungkinkan, maka bekerja

tetap akan dijalani. Bekerja memungkinkan lansia perempuan

untuk tetap berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sejalan

dengan yang disampaikan oleh Atwater (1983), salah satu

alasan psikologis seseorang bekerja adalah menghilangkan

rasa bosan. Hal ini pun tampak dalam respon alasan personal

lansia perempuan memutuskan untuk tetap bekerja di masa

tua mereka. Levasseur, Desrosiers, dan Whiteneck (2010)

menyatakan bahwa tingkat dan kepuasan partisipasi sosial

pada lansia mampu meningkatkan kualitas hidup lansia.

Bekerja dalam hal ini adalah bentuk dari partisipasi sosial lansia

perempuan.

Alasan yang didorong oleh keadaan di luar diri lansia

mencakup pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga,

persiapan masa depan, membantu kebutuhan anak dan cucu,

serta desakan tanggung jawab terhadap pasangan serta anak,

menantu, dan cucu yang belum sepenuhnya mandiri. Temuan

ini yang kemudian menjadi khas pada Perempuan Bali yang

hidup di dalam sistem kekeluargaan patrilinieal. Nilai-nilai

Budaya Bali yang sebagian besar dipengaruhi oleh Hukum Adat

Bali membuktikan bahwa kedudukan istri dan suami dalam

keluarga adalah saling melengkapi satu dengan yang lainnya,

yang membedakan kemudian adalah tugas serta kewajibannya

(Rahmawati, 2016). Konsep saling melengkapi ini menjadi dasar

Page 24: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

323

bagi Perempuan Bali untuk turut bertanggung jawab akan

kelangsungan keluarga, termasuk hal-hal yang menyangkut

peran-peran instrumental, yaitu mencari nafkah untuk keluarga.

Suartha (2015) menambahkan bahwa perempuan memiliki

tiga peranan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, yaitu

perempuan sebagai istri, perempuan sebagai ibu rumah tangga,

dan perempuan sebagai pencari nafkah. Jika ditinjau dari

konsep siklus perkembangan keluarga, maka perempuan yang

mencapai lansia sejatinya sudah tidak memiliki tanggungan

lagi untuk bekerja, karena biasanya anak-anak sudah keluar

dari rumah dan membentuk keluarga sendiri yang disebut

dengan fase empty nest (Olson & Defrain, 2003). Di sisi lain

konsep pernikahan ngerob pada Budaya Bali melahirkan bentuk

tanggung jawab, pengabdian, dan layanan seorang perempuan

kepada keluarganya, sekalipun anak-anak sudah menikah serta

memiliki anak. Desakan tanggung jawab untuk tetap membantu

pasangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan tanggung

jawab terhadap anak menjadi alasan perempuan lansia untuk

tetap bekerja.

Tabel 2.

Alasan Perempuan Lansia BekerjaSub Kategori

Sub-sub Kategori Deskripsi

Kesehatan Fisik Kondisi fisik yang masih memungkinkan bagi individu untuk bekerja seperti kondisi sehat dan secara fisik masih merasa mampu bekerja.

Psikologis Tujuan psikologis yang ingin dicapai dengan bekerja, yakni mengisi waktu luang, mencari hiburan, membangun relasi, dan menjalankan hobby.

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 25: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

324

Buruh dan Pekerjaan

Ekonomi Pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari

Bekerja untuk pemenuhan hidup sehari-hari ini mencakup mendapatkan uang untuk biaya hidup, membeli kebutuhan pokok, keperluan hari raya, dan tidak ada sumber penghidupan yang lain selain bekerja.

Persiapan masa depan

Sumber tabungan bagi bekal di hari tua.

Membantu anak serta cucu

Penghasilan dari bekerja digunakan untuk membantu keluarga, anak, dan cucu.

Desakan tanggung jawab

Pasangan Membantu suami dalam menanggung beban keluarga.

Anak Masih ada tanggungan anak yang belum mandiri secara ekonomi. Bekerja untuk membantu biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan sehari-hari anak dan keluarganya.

B. Sikap Perempuan Lansia dalam BekerjaPengaruh budaya tercermin di dalam sikap kerja

perempuan lansia. Beberapa sikap kerja yang muncul antara

lain memiliki daya juang yang tinggi, energi yang berfokus

untuk mendapatkan penghasilan, energi yang berfokus untuk

memberikan penghasilan kepada orang-orang di sekitarnya,

bekerja sebagai sebuah keikhlasan kepada keluarga, dan sikap

melayani.

Page 26: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

325

Tabel 3

Sikap Kerja Perempuan Lansia

Sub Kategori Deskripsi

Daya juang Mencakup memiliki ketekunan serta rajin dalam aktivitas bekerja yang dijalani.

Energi Energi dibagi menjadi dua tipe, yakni semangat yang berfokus pada aktivitas utnuk mendapatkan penghasilan dalam bekerja dan energi yang berfokus untuk memberikan sesuatu kepada orang-orang di sekitarnya seperti semangat bekerja untuk cucu, anak, dan menantu.

Keikhlasan Senang bekerja, tidak merasa terpaksa dan selalu bersyukur dalam kondisi apa pun.

Melayani Termasuk di dalam kemampuan untuk ramah dan sabar dalam menghadapi individu-individu yang terkait di dalam pekerjaan mereka.

Kemampuan serta kedisplinan dalam mengelola waktu

menjadi sub kategori yang sulit untuk dikategorikan sebagai

sikap positif ataupun sikap negatif di dalam bekerja. Sebanyak

6 subyek melaporkan bahwa tepat waktu menjadi sikap dalam

bekerja, namun sebanyak 5 subyek melaporkan bahwa terdapat

situasi serta kondisi tertentu yang kemudian membuat mereka

sulit untuk disiplin dalam waktu kerja. Situasi dan kondisi

tersebut terkait dengan tanggung jawab mengurus rumah

tangga (termasuk di dalamnya menjalankan peran sebagai

karma banjar serta upacara keagamaan) dan pengasuhan

terhadap cucu. Vitalaya (dalam Suartha 2015) mengungkapkan

bahwa perempuan menghadapi sejumlah tantangan dalam

menjalankan peran gandanya. Terdapat beberapa tipe peran

perempuan, yakni:

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 27: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

326

Buruh dan Pekerjaan

1. Peran Tradisi.

Peran yang menempatkan perempuan pada fungsi rep-

roduksi. Sebagian besar dalam kehidupannya perem puan

berperan dalam pengasuhan anak, mengurus rumah

tangga dengan pembagian kerja yang lebih banyak pada

peran-peran domestik.

2. Peran Transisi.

Peran tradiri masih lebih menonjol dibandingkan dengan

peran lainnya. Pembagian kerja rumah tangga masih

sepe nuhnya menjadi tanggung jawab perempuan.

3. Dwiperan.

Memposisikan perempuan ke dalam dua peran sekaligus,

yakni peran domestic dan peran publik dengan tingkat

urgensi yang sama. Dukungan suami menjadi hal yang

sangat penting dalam dwiperan atau yang biasa disebut

dengan peran ganda. Dukungan pasangan mampu

menjadi faktor pendorong maupun menghambat bagi

perempuan dalam menjalankan dwiperan.

4. Peran egalitarian.

Pada tataran ini, peran dalam ruang publik lebih menyita

waktu perempuan dibandingkan dengan peran domestik.

Peran perempuan di ruang publik pun cenderung ber-

imbang dengan peran laki-laki di ruang publik.

5. Peran kontemporer.

Perempuan mandiri dalam kesendiriannya. Jumlah ke-

lom pok peran kontemporer tidak banyak dikarenakan

Page 28: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

327

pada berbagai budaya berbenturan dengan dominasi

laki-laki.

Pada subyek penelitian, tipe peran yang tampak adalah

peran transisi dan dwiperan. Pada bidang-bidang tertentu

seperti mengurus rumah tangga, pengasuhan cucu, dan

menjalan peran sebagai karma banjar dan upacara keagamaan,

perempuan masih memegang peranan dan tanggung jawab

utama dalam Masyarakat Bali sehingga hal ini membuat

perempuan untuk lebih mengutamakan peran domestik

dibandingkan dengan peran pencari nafkah. Penelitian yang

dilakukan Lestari (2013) membuka wawasan baru terkait dengan

interaksi keluarga pada Perempuan Bali yang bekerja, dimana

kompleksitas peran tidak serta merta membuat Perempuan

Bali mengabaikan keluarga dan hubungan dengan suami. Di

tengah kesibukan, fokus perhatian Perempuan Bali sebagian

besar adalah pada pernikahan dan keluarga. Suami tetap

dipandang sebagai figur utama dalam kehidupan Perempuan

Bali. Temuan ini sejalan dengan pemikiran Betty Friedan (dalam

Olson & DeFrain, 2003) yang menyatakan bahwa emansipasi

pada kaum perempuan jangan dipandang sebagai pertarungan

antara kekuasaan laki-laki dengan perempuan, namun sebagai

sebuah tantangan untuk membangun kerjasama antara laki-laki

dengan perempuan dalam sebuah lembaga pernikahan.

Nilai-nilai yang dianut oleh Perempuan Bali dalam bekerja

yang kemudian menjadi variabel yang mampu meminimalkan

konflik dan meningkatkan penerimaan keluarga, khususnya

suami bagi keputusan perempuan untuk tetap bekerja hingga

lansia. Seimbang dalam penyelesaian tugas-tugas domestik,

sosial kemasyarakatan, dan pekerjaan membuat penerimaan

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 29: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

328

Buruh dan Pekerjaan

masyarakat terhadap Perempuan Bali yang bekerja menjadi

meningkat hingga tidak menjadi hambatan bagi perempuan

untuk bekerja sepanjang masih mampu dan berdaya tanpa

dibatasi oleh usia.

C. Hal yang Dirasakan Ketika Perempuan Lansia BekerjaKesempatan bekerja bagi perempuan lansia memberikan

dampak yang positif, diantaranya perasaan senang karena

memiliki kesempatan utnuk bersosialisasi, adanya aktivitas untuk

mengisi waktu luang, tidak merasa beban dan senang dalam

menjalani kehidupan, rasa berharga karena masih berguna

untuk membantu perekonomian keluarga dan mendapatkan

hasil yang berupa uang. Di sisi lain, perasaan negatif sepertinya

persepsi akansubjective health dimana lansia merasa lebih

cepat lelah dibandingkan dengan periode usia sebelumnya

memunculkan gejala seperti mudah lelah, mengantuk, dan

mudah jenuh di saat kondisi fisik tidak mendukung.

Data demografi subyek penelitian menunjukkan sebanyak

68.8% subyek mengalami kondisi sakit tertentu dan sebanyak

87.5% subyek mengalami gangguan kesehatan seperti sakit

persendian, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan,

dan penurunan pendengaran ketika memasuki lansia. Data

yang cukup mengesankan adalah hanya 42.8% dari lansia

yang mengalami gangguan kesehatan merasa terhambat

menjalankan aktivitas keseharian mereka di dalam bekerja. Ini

menunjukkan bahwa kondisi sakit dan penurunan fisik tidak

menghalangi perempuan lansia di dalam bekerja.

Page 30: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

329

D. Hal yang Dirasakan Ketika Perempuan Lansia Tidak Bekerja

Tabel 4. menunjukkan hal yang dirasakan ketika perempuan

lansia tidak bekerja.

Tabel 4.

Hal yang Dirasakan Ketika Tidak Bekerja

Sub Kategori Sub sub Kategori Deskripsi

Keluhan Fisik Rasa lelah, sulit tidur, badan terasa sakit, pusing, dan mengantuk.

Psikologis rasa bosan, bingung, jenuh dan tidak senang di rumah, gelisah, cemas, sepi, sedih, dan ketakutan dan dihantui pikiran akan tidak adanya penghasilan.

Alasan Kebiasaan Merasa ada sesuatu yang berubah atau hilang ketika tidak bekerja karena terbiasa bekerja.

Himpitan atau desakan ekonomi

Kebutuhan akan uang dan penghasilan menumbuhkan pemikiran yang terokupasi pada pekerjaan di saat kondisi tertentu mengharuskan tidak berkerja.

Psikologis Pekerjaan merupakan hiburan sehingga tidak bekerja menjadi sepi dan bosan, dan menimbulkan penilaian yang buruk dari orang lain.

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 31: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

330

Buruh dan Pekerjaan

Keluhan fisik dan psikologis dirasakan oleh perempuan

lansia ketika mereka tidak bekerja untuk beberapa kurun waktu

tertentu. Keluhan tersebut pun muncul karena beberapa alasan

kebiasaan yang berubah, alasan himpitan ekonomi, maupun

alasan psikologis. Sebanyak 5 orang subyek menyatakan bahwa

tidak bekerja tidak berarti apa-apa bagi mereka karena suatu

alasan tertentu, yakni kesibukan di rumah dan pengasuhan cucu

yang kemudian mampu mengobati kondisi psikologis mereka

saat tidak bekerja.

KesimpulanKehadiran perempuan lansia dalam tenaga kerja di Bali

memberikan sumbangan yang berarti dalam menurunkan rasio

ketergantungan penduduk yang pada akhir tahun 2014 mencapai

0.09 dari penduduk pasca produktif. Kehadiran perempuan

bekerja dalam Masyarakat Bali sedikit banyak dipengaruhi oleh

semangat emansipasi perempuan yang berawal sejak tahun

1930 dan berasal dari akar Budaya Bali. Kedudukan perempuan

dan laki-laki dipandang sejajar dalam Hukum Adat Bali. Sistem

kekeluargaan patrilineal merupakan akar bagi beberapa

sikap kerja yang positif seperti daya juang yang tinggi, energi

yang berfokus untuk mendapatkan penghasilan, energi yang

berfokus untuk memberikan penghasilan kepada orang-

orang di sekitarnya, bekerja sebagai sebuah keikhlasan kepada

keluarga, dan sikap melayani. Perempuan Bali yang bekerja

tidak serta merta mendominasi dalam keluarga, keluarga

tetap menjadi fokus utama dalam kehidupan Perempuan Bali.

Sikap ini yang kemudian membuat status bekerja perempuan

menjadi diterima dan dihargai ditengah hegemoni Budaya

Patriarkhi pada sebagian golongan yang menyalahartikan

Page 32: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

331

sistem kekeluargaan patrilineal. Budaya pernikahan ngerob yang

mengharuskan anak laki-laki yang telah menikah tetap hidup

satu atap dengan orang tua, menyebabkan pengasuhan anak,

termasukan pengasuhan ekonoi seorang ibu kepada anak tetap

berlanjut walaupun perempuan telah memasuki masa lansia.

Desakan tanggung jawab kepada pasangan dan anak menjadi

inti alasan bekerja bagi perempuan lansia di Bali.

Secara demografi, sektor informal seperti perdagangan

memberikan kesempatan yang besar bagi perempuan

lansia untuk tetap bekerja tanpa dibatasi oleh usia. Bekerja

memberikan dampak positif berupa rasa berharga, rasa mampu

membantu anak dan keluarga, menghindari dari rasa bosan,

dan merasa senang dalam menjalani kehidupan. Kondisi sakit

dan penurunan fisik di masa lansia tidak memberikan pengaruh

yang berarti bagi lansia perempuan dalam menjalankan

aktivitas bekerja. Ketika tidak bekerja beberapa keluhan fisik

dan psikologis dirasakan yang diakibatkan oleh kehilangan

kebiasaan ruti, pemikiran akan desakan kebutuhan sehari-hari

dan ekonomi, dan kondisi psikologis seperti hilangnya hiburan

dan kebosanan. Bagi beberapa lansia, tidak bekerja tidak

membawa dampak yang berarti, kondisi ini disebabkan oleh

kehadiran cucu dan kegiatan rumah tangga yang memerlukan

perhatian perempuan lansia.

Daftar Pustaka

Atwater, E. (1983). Psyhology of adjustment: personal growth in a

changing world. 2nded. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

August, R.A., & Quintero, V.C. (2001). The role of opportunity

structures in older women workers’ careers. Journal of

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 33: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

332

Buruh dan Pekerjaan

Employment Counseling, 38(2), 62-81.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (2011). Keadaan ketenagakerjaan

di Provinsi Bali/ Labor force situation in Bali Province. Bali:

Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Bali.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (2011). Bali dalam Statistik 2015.

Bali: Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Bali.

Brannon, L. (2011). Gender psychological perspective. 6th ed. Boston:

Allyn & Bacon.

Kurniawati, D. (2009). Putri: Pemilihan identitas sebagai resistansi

terhadap dominasi patriarki. Skripsi: Universitas Indonesia

Lestari, M.D.(2013). Marital satisfaction, communication patterns,

and couple map perceived by Balinese Women in

their marriage. The Proceeding of The 1st International

Conference on Psychology in Health, Educational, Social,

and Organizational Settings, 69-74.

Lestari, M.D.(2016). Hidup di tengah sistem kekeluargaan

patrilineal: kekuatankah atau kelemahan bagi perempuan

Hindu Bali dalam era masyarakat ekonomi Asean

(MEA)?Proceeding Seminar Perempuan IHDN, 30 - 40.

Levasseur, M., Desrosiers, J., & Whiteneck, G. (2010).

Accomplishment level and satisfaction with social

participation of older adults: association with quality of

life and best correlates. Quality of Resipatory, 19, 665 – 675.

Meniarta, I.K., Mas’udi, W., & Dwipayana, A.A.G.N.A. (2009).

Dinamika sistem kesejahteraan dan modal sosial di

masyarakat banjar pakraman-Bali. Jurnal Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, 13(2): 231-248.

Olson, D.H., & DeFrain, J. (2003). Marriage and family: intimacy,

diversity, and strength (4thed). New York: McGraw Hill.

Papalia, D.E., Strerns, H.L., Feldman, R.D., & Camp, C.J. (2007). Adult

Page 34: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas

333

development and aging. 3rded. New York: The McGraw-Hill

Companies, Inc.

Rahmawati, N.N. (2016). Perempuan Bali dalam pergulatan

gender. Kajian Budaya, Tradisi, dan Agama Hindu. Jurnal

Studi Kultural, 1(1), 63-69.

Rimbawa, N.D. (2015). Profil lansia di Bali dan kaitannya dengan

pembangunan: Deskripsi berdasarkan hasil Supas 2005 dan

Sakernas 2007. Denpasar: Universitas Udayana.

Suardiman, S.P. (2011). Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Suartha, N. (2015). Kontribusi ibu rumah tangga dalam meningkatan

kesejahteraan keluarga. Sebuah studi kasus di Kabupaten

Badung Provinsi Bali. Jakarta: PT. Raja Grasindo Persada.

Utari, N.K.S. (2006). Mengikis ketidakadilan gender dalam Adat

Bali. Disajikan dalam Temu Ilmiah II Asosiasi Pengajar dan

Peminat Hukum Berspektif Gender se-Indonesia. Diakses

29 Maret 2016.

maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa

Page 35: Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas