Upload
others
View
27
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE DI DESA AYAH, KECAMATAN AYAH, KABUPATEN KEBUMEN, JAWA
TENGAH
SKRIPSI PROGRAM STUDI AGROBISNIS PERIKANAN
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DAN KELAUTAN
Oleh : CYNTHIA JUNE INDAH WIDIYASARI
NIM. 135080407113021
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE DI DESA AYAH, KECAMATAN AYAH, KABUPATEN KEBUMEN, JAWA
TENGAH
SKRIPSI PROGRAM STUDI AGROBISNIS PERIKANAN
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DAN KELAUTAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh : CYNTHIA JUNE INDAH WIDIYASARI
NIM. 135080407113021
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:Konflik dalam
Pengembangan Ekowisata Mangrove di Desa Ayah, Kecamatan Ayah,
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengahadalah benar merupakan hasil karya saya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana
pun.
Semua data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Apabila
dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Skripsi ini hasil jiplakan, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Malang, Juni 2017
Cynthia June I.W
135080407113021
UCAPAN TERIMAKASIH
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirabilalamin segala puji dan syukur senantiasa saya
panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang diberikan, pemilik
segala ilmu dan kekuatan yang tak terbatas, yang telah memberikan saya
kekuatan, kesabaran, ketenangan, dan kemampuan sehingga saya mampu
menyelesaikan penyusunan tugas akhir skripsi yang diberi judul ―Konflik dalam
Pengembangan Ekowisata Mangrove di Desa Ayah, Kecamatan Ayah,
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah”.
Selama proses penulisan skripsi ini, saya banyak mendapat dukungan dan
bantuan dari pihak – pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah
ikut menyumbangkan doa, pikiran, tenaga dan inspirasi bagi saya. Dengan
segala ikhlas dan tulus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. Kedua orang tua saya yaitu Bapak Edy Wijaya dan Ibu Sri Syahbaniawati beserta nenek dan kakek saya yang sudah seperti orangtua kandungIbu Siti Susiyah dan (alm) Engkong Patty Abdullah yang selalu mendoakan, mendukung dalam bentuk moral maupun materi.
2. Bapak Dr. Ir. Edi Susilo, MS selaku dosen pembimbing 1 yang telah sabar membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan saya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini diwaktu yang tepat.
3. Ibu Wahyu Handayani, S.Pi., MP., MBA selaku dosen pembimbing 2 yang senantiasa menerima sayauntuk berdiskusi, memberikan kritik dan saran yang membangun sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan baik hingga akhir.
4. Ibu Dr. Ir. Pudji Purwanti, MP selaku dosen wali serta ketua program studi Agrobisnis Perikanan UB Kampus III yang selalu memberikan motivasi, dorongan dan semangat selama di bangku kuliah.
5. Keluarga besar civitas akademika Universitas Brawijaya Kampus III, terimakasih untuk segala perjuangannya demi masa depan pendidikan yang lebih baik.
6. Keluarga besar 3B adik kandung saya Arython Senna Rizky Sunan adik kecil saya Anisa Rizkia Jaya yang menjadikan acuan saya untuk segera menyelesaikan skripsi ini dan segera lulus, Ses Lenny, Uwi dan Om Nurman terimakasih atas doa, dukungan dan bantuan materi selama ini.
7. Amelia Hudayana dan Atni Rachmawati, sahabat dari maba, yang sangat membantu sekali saat pengerjaan skripsi ini untuk menjadi teman bertukar pikiran saya dan editor saya.
8. Keluarga Agrobisnis Perikanan Kampus III yang selalu menemani di kala suka dan duka selama kurang lebih 3,5 tahun di bangku perkuliahan.
9. Ahmad Latief Hiwaman Ansor yang selalu mendukung, sabar menghadapi saya terutama dalam pengerjaan skripsi ini, memberikan motivasi dan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini
10. Teman-teman saya sejak sekolah di SMPN 77 Jakarta #1111000 11. Teman-teman waktu di SMAN 1 Jakarta angkatan 2011 terutama Izhar,
Taris, Pupe karena kalian sudah menulis nama saya di skripsi kalian kecuali Ais yang belum lulus juga
12. Teman-teman saya ketika Ronin di NF Kenari tahun 2011: Irwin, Nazwa, Esti, Nikita, Azhar, Azmil, dkk yang sudah sarjana duluan membuat saya segera ingin menyusul
13. Orang-orang yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini mulai dari proposal hingga saat turun lapang: Yhonandha, Alif, Bastian, Keluarga Besar Jatijajar, Masyarakat Desa Ayah
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Dengan
segala kekurangan yang ada, maka saya mengharapkan masukan serta
kritikan yang membangun. Namun dengan kekurangan tersebut saya
berharap semoga karya skripsi ini menjadi amal yang dapat memberikan
manfaat bagi penulis dan pembaca.
Malang, Juni 2017
Cynthia June I.W
135080407113021
RINGKASAN
CYNTHIA JUNE INDAH WIDIYASARI. Konflik dalam Pengembangan
Ekowisata Mangrove Ayah di Desa Ayah, Kecamatan Ayah, Kabupaten
Kebumen, Jawa Tengah .(Dibawah bimbingan Dr. Ir. Edi Susilo, MS dan
Wahyu Handayani, S.Pi., MP., MBA)
Konflik akan selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Konflik dalam
Pengembangan Ekowisata dapat terjadi dimana saja dan dengan siapa saja,
dalam penelitian ini kawasan yang diamati sebagai tempat penelitian adalah
Ekowisata Mangrove Ayah, tidak semua daerah memiliki kawasan mangrove
membuat pihak pengelola mengembangan ekowisata yang diselenggarakannya
sejak tahun 2014.
Tujuanpenelitianiniadalahuntuk memaparkan proses konflik, mencari
faktor-faktor penyebab konflik dan membuat model penyelesaian konflik
dalampengembangansumberdaya alam Ekowisata Mangrove Ayah. Penelitian Ini
dilakukan di wilayah Ekowisata Mangrove Ayah, Desa Ayah, Kecamatan Ayah,
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, mulai tanggal 4 April—14 April 2017.
Metode penelitian yang digunakanya yaitu metode Penelitian Kualitatif
dengan teknik pengambilan sampel menggunakan snowball sampling.
Pengambilan data dilakukan dengan melihat keadaan sekitar dan hubungan
antar masyarakat, wawancara mendalam terhadap informan, serta dokumentasi
data-data pendukung penelitian. Analisis data yang digunakan yaitu model Miles
and Huberman. Aktivitas Penelitian ini menggunakan model reduksi data,
penyajian data, dankesimpulanatauverifikasi data.
Pada penelitian ini diketahui berawal dari perbedaan cara berpikir dan
berpendapat dalam pengembangan hutan mangrove membuat masing-masing
pihak merasa kelompoknya lah yang telah mengelola hutan mangrove tersebut.
Pihak pengelola yaitu KPL Pansela yang mempunyai legalitas hukum terkait
kelembagaannya didukung oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan sementara
pihak Kelompok Masyarakat Desa menganggap bahwa mereka yang selama ini
telah mengelola tetapi tidak dianggap. Sementara dipihak lain ada Dinas
Pariwisata yang juga memperebutkan hak pengelolaan karena hutan mangrove
di Desa Ayah berpotensi untuk dijadikan destinasi wisata. Jenis konflik ini sudah
tergolong terbuka yang dikarenakan isu-isu permasalahan yang timbul ke
permukaan dan mulai melibatkan banyak pihak.
Penyelesaian konflik dalam pengembangan Ekowisata Mangrove Ayah
hanya sebatas pembicaraan saja, dari berulang kali mediasi yang dilakukan
kedua belah pihak hanya sepakat pada saat mediasi. Hal ini disebabkan oleh
ketidakjelasan status lahan dan pengelolaan yang membuat masing-masing
kubu tetap pada pendiriannya bahwa merekalah yang benar. Pihak yang
mempunyai kewenangan yaitu Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak belum
terlibat langsung dalam konflik ini sehingga Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kab. Kebumen yang sudah membantu pihak KPL Pansela untuk mengelola
hutan mangrove di Desa Ayah mengeluarkan surat keputusan menutup
sementara Ekowisata Mangrove Ayah untuk umum, hal ini merupakan
penyelesaian sementara untuk meredam konflik yang ada diantara masyarakat
dengan berbagai pihak.
Pada penelitian ini saran yang dapat diberikan adalah perlu diadakannya
Focus Group Discussion (FGD) yang meliputi pihak-pihak yang terlibat hingga
instansi-instansi yang memiliki kewenangan. Pihak KPL Pansela sebaiknya tetap
pada tujuan kelembagaannya untuk konservasi bukan untuk mencari
keuntungan, Kelompok Masyarakat Desa lebih memerhatikan aset desa yang
dimiliki juga merawat dan menjaganya, pihak pemerintah daerah juga lebih
memerhatikan aset yang dimiliki daerahnya terutama wilayah-wilayah yang
memiliki potensi untuk dikembangkan dan menambah pemasukan daerah dan
untuk pemerintah pusat lebih cepat tanggap terhadap masalah yang tidak bisa
diselesaikan oleh pemerintahan daerah.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
diberi judul“Konflik dalam Pengembangan Ekowisata Mangrove di Desa
Ayah, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa
Tengah”.Penelitianinidilakukanselama 10 hari, bulan April 2017, dan bertujuan
untuk memberikan gambaran kondisi konflik pengembangan Ekowisata
Mangrove Ayah. Tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi
Proses terjadinya konflik, faktor-faktor penyebab terjadinya konflik. penyelesaian
konflik dalam pengembangan ekowisata. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan metode snowball sampling. Situasi sosial dalam
penelitian ini adalah kawasan hutan mangrove yang dijadikan ekowisata.
Temuan-temuan hasil penelitianini saya mencoba menarik beberapa pelajaran
dan memberikan masukan bagi penanganan konflik khususnya di sekto
rpengembangan Ekowisata Mangrove Ayah
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Brawijaya.Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan dalam hal penyusunan, oleh karena itu penulis menerima segala
kritikan dan mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat
bagi yang membutuhkan.
Malang, Juni 2017
Cynthia June I.W
135080407113021
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. ii PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... iii UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................................... iv RINGKASAN ...................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 3 1.3. Tujuan ..................................................................................................... 3 1.4. Kegunaan ................................................................................................ 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 5 2.1. Penelitian Terdahulu .............................................................................. 5 2.2. Konflik ..................................................................................................... 6
2.2.1. Pengertian Konflik ......................................................................... 6 2.2.2. Penyebab Konflik .......................................................................... 6 2.2.3. Dampak Konflik ............................................................................. 7 2.2.4. Strategi Penyelesaian Konflik ...................................................... 8
2.3. Ekowisata .............................................................................................. 11 2.3.1. Definisi Ekowisata ....................................................................... 11 2.3.2. Pengembangan Ekowisata ......................................................... 13
2.4. Mangrove .............................................................................................. 14 2.4.1. Definisi Mangrove ....................................................................... 14 2.4.2. Fungsi dan Manfaat Mangrove ................................................... 14
2.5. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 15
III. METODE PENELITIAN ................................................................................. 18 3.1. Jenis Penelitian .................................................................................... 18 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 18 3.3. Populasi dan Sampel ........................................................................... 18 3.4. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 20 3.5. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 21
3.5.1. Observasi ..................................................................................... 21 3.5.2. Wawancara .................................................................................. 22 3.5.3. Dokumentasi ................................................................................ 22
3.6. Metode dan Analisa data ..................................................................... 23
IV. KEADAAN UMUM PENELITIAN .................................................................. 26 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 26
4.1.1. Letak Geografis ........................................................................... 26 4.1.2. Keadaan Topografis ........................................................................... 27 4.2. Kondisi Penduduk dan Ketenagakerjaan ........................................... 28
4.2.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ........................ 28 4.2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ................ 28 4.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian .................. 29 4.2.4. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja .............................. 30
4.3. Gambaran Umum Ekowisata Mangrove Ayah .................................... 31 4.3.1. Sejarah Ekowisata Mangrove Ayah............................................ 31 4.3.2. Aktivitas Ekowisata Mangrove Ayah .......................................... 34
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 37 5.1. Lokasi dan Cakupan Wilayah .............................................................. 37 5.1.1. Lokasi ................................................................................................. 37 5.1.2. Cakupan Wilayah ............................................................................... 38 5.2. Akar Masalah Konflik Ekowisata Mangrove ....................................... 40 5.3. Pihak Terlibat dalam Konflik Ekowisata Mangrove Ayah .................. 41 5.3.1. Kelompok Peduli Lingkungan Pantai Selatan (KPL Pansela) ......... 41 5.3.2. Kelompok Masyarakat Desa (Sri Rezeki) .......................................... 42 5.3.3. Dinas Pariwisata ................................................................................ 42 5.3.4. Dinas Kehutanan dan Perkebunan ................................................... 43 5.3.5. Instansi-instansi Pengairan ............................................................... 44 5.4. Proses Terjadi Konflik di Dalam Pengembangan Ekowisata
Mangrove .......................................................................................... 44 5.4.1. Pasca Tsunami Tahun 2006 .............................................................. 45 5.4.2. Perubahan Fungsi Menjadi Ekowisata Mangrove ............................ 46 5.4.3. Perebutan Hak Pengelolaan Berdasarkan Hasil Diskusi Dengan
Pihak-Pihak Yang Terlibat ............................................................... 48 5.5. Resolusi dan Pihak Terlibat di Dalamnya ........................................... 53 5.5.1. Resolusi dari pihak KPL Pansela ...................................................... 53 5.5.2. Peraturan di Kawasan Hutan Mangrove Desa Ayah ........................ 54 5.5.3. FGD (Focus Group Discussion) Antara Pihak Yang Terlibat
Langsung Maupun Tidak Langsung ............................................... 55 5.5.4. Model Penyelesaian Konflik Pengembangan Ekowisata di Desa
Ayah .................................................................................................. 56 5.6. Kondisi PerkembanganSetelah Terindikasi Ada Konflik ................... 58
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 59 6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 59 6.2 Saran ..................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 62
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Daftar Informan .............................................................................................. 20
2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin .............................................. 28
3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...................................... 29
4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ....................................... 30
5. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja ................................................... 31
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 17
Gambar 2. Komponen dalam Analisis Data : Model Alir ..................................... 24
Gambar 3. Kerangka Analisis Penelitian ............................................................ 25
Gambar 4. Peta Kabupaten Kebumen ............................................................... 26
Gambar 5. Denah Desa Ayah ............................................................................ 27
Gambar 6. Perkembangan Mangrove Ayah ....................................................... 33
Gambar 7. Pemberian Materi Tentang Mangrove .............................................. 35
Gambar 8. Penanaman Bibit Mangrove ............................................................. 35
Gambar 9. Wilayah Ekowisata ........................................................................... 37
Gambar 10. Wilayah Sigong .............................................................................. 38
Gambar 11. Papan Nama di Pintu Masuk Ekowisata Mangrove ........................ 39
Gambar 12. Peta Wilayah Mangrove ................................................................. 39
Gambar 13. Masterplan Ekowisata Mangrove ................................................... 43
Gambar 14. Pos Bantuan dari Dishubun Kab. Kebumen ................................... 46
Gambar 15. Wisata Menggunakan Perahu ........................................................ 47
Gambar 16. Model Penyelesaian Konflik ........................................................... 57
Gambar 17. Kondisi Ekowisata Mangrove Setelah Penutupan .......................... 58
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Dokumentasi Peneliti Selama di Lapang. ...................................................... 64
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konflik akan selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Manusia
memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum,
bangsa, suku,agama, kepercayaan, aliran politik, serta budaya dan tujuan
hidupnya. Perbedaan inilah yang seringkali menimbulkan konflik. Selama masih
ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindarkan dan selalu akan terjadi
(Wirawan, 2010). Konflik dapat terjadi antara individu-individu, antara kelompok-
kelompok dan antara organisasi-organisasi. Apabila dua orang individu masing-
masing berpegang pada pandangan yang sama sekali bertentangan tanpa ada
kompromi, kemudian menarik kesimpulan yang berbeda dan cenderung bersifat
tidak toleran, maka dapat dipastikan akan timbul konflik tertentu (Winardi, 2007).
Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan
lautan sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi,
sosial, dan lingkungan hidup namun semakin hari semakin kritis
ketersediaannya. Di beberapa daerah pesisir di Indonesa sudah terlihat adanya
pendegradasian ekosistem mangrove akibat penebangan mangrove yang
dilakukan secara berlebihan. Mangrove telah dirubah menjadi fungsi yang lain
dikarenakan berbagai kegiatan pembangunan (Dongoran, 2010). Luas ekosistem
mangrove di Indonesia mencapai 75 % dari luas ekosistem mangrove di Asia
Tenggara. Sebaran ekosistem mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir
Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Luas sebaran ekosistem mangrove terus
mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,24 juta
hektar pada tahun 1987, dan tinggal 2,50 hektar pada tahun 1990. Penurunan
2
luasan ekosistem mangrove tersebut menunjukan bahwa degradasi kawasan
mangrove cukup tinggi dengan laju 200 ribu hektar/tahun (Dahuri, 1996)
Kebumen merupakan sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.
Letaknya yang memanjang dibagian selatan Pulau Jawa menjadikan Kebumen
memiliki banyak pantai yang difungsikan sebagai tempat wisata maupun
kegiatan perikanan seperti contohnya Pantai Ayah yang terletak di Desa Ayah,
Kecamatan Ayah. Pantai Ayah merupakan salah satu daerah pantai di
Indonesia yang sedang berkembang dalam pariwisata dan perikanannya.
Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Logending Kabupaten Kebumen diadakan
untuk mendukung kegiatan tersebut (Kusuma, 2013).
Pada tahun 2006 mangrove di Pantai Ayah dikelola oleh kelompok
masyarakat yang menamakan dirinya sebagai Kelompok Peduli Lingkungan
Pantai Selatan atau disingkat KPL Pansela. Awal mula mangrove dikelola
berdasarkan inisiatif para pemuda sekitar yang sadar akan wilayah daerah
mereka yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan pertemuan
lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia yang sewaktu-waktu jika terjadi
perpatahan atau keretakan bisa mengakibatkan Tsunami. Oleh sebab itu mereka
mengelola mangrove dengan tujuan sebagai mitigasi bencana Tsunami seiring
perkembangan zaman KPL Pansela mendapatkan nilai ekonomis dari mangrove
itu sendiri, mangrove yang tadinya hanya dijadikan mitigasi bencana Tsunami
sekarang juga menjadi daerah ekowisata. Perubahan fungsi sumberdaya inilah
yang menimbulkan konflik antar KPL Pansela dengan nelayan, nelayan tidak
terima dengan dibangunnya mangrove disekitar Pantai Ayah karena menurut
mereka dengan adanya mangrove wilayah tangkapan mereka jadi terganggu
serta dianggap hanya ingin memonopoli. Setelah konflik dengan nelayan mulai
mereda timbul lah konflik baru dengan kelompok lain yang juga masyarakat
sekitar Pantai Ayah yang mengaku-ngaku sebagai pengelola Ekowisata
3
Mangrove Pantai Ayah, permasalahannya disini adalah lahan yang digunakan
oleh KPL Pansela adalah milik negara sehingga pemerintah akhirnya ikut andil
dalam konflik antara KPL Pansela dan kelompok masyarakat tersebut. Akan
tetapi pemerintah yang seharusnya menengahi perselisihan yang ada, malah
memperkeruh suasana dengan ingin ikut mengelola kawasan Ekowisata
Mangrove Ayah. Hal ini membuat kelompok masyarakat semakin geram merasa
aset desanya diperebutkan. Sampai saat ini permasalahan yang terjadi di
Ekowisata Mangrove Pantai Ayah belum menemukan titik terang. Dalam bidang
perikanan seringkali ditemukan konflik terutama tentang hak pengelolaan dan
hak kepemilikan, konflik tersebut akan menjadi penghambat perkembangan
perikanan, sebagai inisiasi pengembangan lebih lanjut ekowisata mangrove
maka penelitian dengan judul “Konflik dalam Pengembangan Mangrove di Desa
Ayah, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah” penting untuk
dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang maka perumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana proses terjadinya konflik di Ekowisata Mangrove Ayah?
2. Apa faktor penyebab terjadinya konflik di Ekowisata Mangrove
Ayah?
3. Bagaimana model penyelesaian konflik yang terjadi dalam
pengembangan Ekowisata Mangrove Ayah?
4
1.3. Tujuan
Merujuk pada perumusan permasalahan diatas penelitian ini bertujuan
untuk :
1. Memaparkan proses terjadinya konflik di Ekowisata Mangrove
Ayah
2. Mencari faktor-faktor penyebab terjadinya konflik di Ekowisata
Mangrove Ayah
3. Membuat model penyelesaian konflik berdasarkan akar masalah
yang menjadi penyebab terjadinya konflik.
1.4. Kegunaan
Penelitian ini dimaksudkan untuk dapat memberikan manfaat,
antara lain :
1) Pemerintah
Pemerintah Daerah dapat menjadikan bahan pertimbangan untuk
menentukan kebijakan dalam pengelolaan dan penetapan
kegiatan ekonomi yang berlangsung.
2) Masyarakat
Sebagai bahan informasi untuk tetap menjaga, memanfaatkan,
dan melestarikan sumberdaya mangrove sehingga dapat terus
dikembangkan.
3) Perguruan Tinggi, Mahasiswa dan Peneliti
Sebagai sarana informasi keilmuan untuk menambah wawasan
pengetahuan dan menjadi referensi yang dapat digunakan untuk
penelitian lebih lanjut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Menurut Sahlan (2015) faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
konflik di kecamatan lambu Kabupaten Bima adalah kurangnya sosialisasi dari
pemerintah terkait kebijakan yang dikeluarkannya; pemerintah kurang terbuka
terhadap masyarakat mengenai kebijakkan-kebijakkan yang di keluarkannya;
kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah kurang tepat, kebijakkan tersebut
banyak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang termuat dalam Undang-Undang
No. 4 Tahun 2009. Selain itu, kebijakan tersebut dapat mengganggu kepentingan
orang banyak, terutama masyarakat Lambu yang bermata pencaharian sebagai
petani; serta adanya perbedaan kepentingan antara pemerintah dengan
masayarakat terkait penggunaan lahan. Kemudian konflik tersebut mengalami
eskalasi konflik yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, seperti kurangnya
sosialisasi, kurang netralnya pemerintah maupun stakeholder lainnya;
komunikasi politik yang macet dan tidak berjalan dengan baik; serta penanganan
konflik yang lambat. Pemerintah maupun masyarakat telah melakukan beberapa
hal sebagai resolusi konflik seperti negosiasi, kosuliasi, mediasi, dan terakhir
arbitrasi.
Menurut Kadir (2013) konflik yang terjadi antara pemerintah dengan
masyarakat sekitar taman nasional disebabkan oleh perbedaan persepsi dan
pemberian informasi yang kurang benar dan lengkap terkait tata batas kawasan
hutan dan pemanfaatan sumberdaya alam hutan, belum efektifnya kegiatan
sosialisasi kebijakan taman nasional, serta rendahnya tingkat pendapatan
masyarakat sekitar kawasan TN Babul. Upaya yang dilakukan adalah menjaga
komunikasi dan dialog degan masyarakat, melakukan sosialisasi kebijakan
6
taman nasional dan mendetailkan kegiatan-kegiatan pada setiap zona TN Babul
dengan tetap memperhatikan kondisi dan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu
adalah adanya banyak aktor yang terlibat mulai dari pihak pengelola yaitu KPL
Pansela, Kelompok Masyarakat Desa (Sri Rezeki), Pemerintah daerah dalam hal
ini adalah Dinas Pariwisata, dengan berbagai macam kepentingan untuk
mengelola ekowisata sehingga menimbulkan konflik perebutan hak pengelolaan.
2.2. Konflik
2.2.1. Pengertian Konflik
Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin con yang berarti
bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan (Setiadi, 2011). Konflik
adalah relasi sosial antar aktor sosial yang ditandai oleh pertentangan atau
perselisihan dan kemarahan, baik dinyatakan secara terbuka ataupun tidak,
dalam rangka mencapai keinginan atau tujuan masing-masing (Kinseng, 2013).
Pendapat lain yang dikemukakan Putnam (1987) dalam Wijono (2012) Konflik
adalah interaksi antar individu, kelompok dan organisasi yang membuat tujuan
atau arti yang berlawanan, dan merasa bahwa orang lain sebagai pengganggu
yang potensial terhadap pencapaian tujuan mereka.
2.2.2. Penyebab Konflik
Penyebab timbulnya konflik itu dikarenakan kurangnya kontrol sosial yang
masyarakat tidak diikuti dengan tindakan para penegak hukum sehingga para
pelanggar peraturan ini tidak akan merasakan ketakutan karena telah memahami
ketika melakukan peanggaran tidak akan mendapatkan hukuman yang tercantum
dalam peraturan (Kurniawan,2014)
7
Menurut Wijono (2012) menjelaskan tentang sumber konflik
antarpribadi/kelompok melalui kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions)
yang meliputi:
a) Persaingan terhadap sumber-sumber (competition resources)
b) Ketergantungan terhadap tugas (task interdependence)
c) Kekaburan deskripsi tugas (jurisdictional ambiguity)
d) Masalah status (status problem)
e) Rintangan komunikasi (communication barriers)
f) Sifat-sifat individu (individual traits)
2.2.3. Dampak Konflik
Menurut Wijono (2012) dalam Kurniawan (2014)Dalam sebuah konflik
akan menimbulkan berbagai macam dampak. Dampak konflik antar warga yang
paling berbahaya adalah dampak terhadap psikologis, dampak terhadap
kehidupan sosial, ekonomi dan dampak terhadap budaya. Dari berbagai macam
dampak tersebut tidak selamanya bernilai negatif, namun juga ada dampak yang
bernilai positif, dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dampak Positif Konflik
a. Membawa masalah-masalah yang diabaikan sebelumnya secara
terbuka,
b. Memotovasi orang lain untuk memahami setiap posisi orang lain,
c. Mendorong ide-ide baru, memfasilitasi perbaikan dan perubahan,
d. Dapat meningkatkan kualitas keputusan dengan cara mendorong
orang untuk membuat asumsi melakukan perbuatan.
2) Dampak Negatif Konflik
a. Dapat menimbulkan emosi dan stress negatif,
b. Berkurangya komunikasi yang digunakan sebagai persyaratan
untuk kordinasi,
8
c. Timbulnya pertukaran gaya partisipasi menjadi gaya otoritatif,
d. Dapat menimbulkan prasangka-prasangka negatif,
e. Memberikan tekanan loyalitas terhadap sebuah kelompok.
2.2.4. Strategi Penyelesaian Konflik
Suatu upaya yang diharapkan pihak-pihak yang berkonflik untuk
menjalani kehidupan yang damai. Konflik adalah produk yang timbul dari sebuah
hubungan antar individu, timbulnya konflik karena adanya sebuah perselisihan
perselisihan, sehingga untuk menyelesaikan konflik dapat dilakukan dengan cara
meluruskan kembali perselisihan-perselisihan yang terjadi. Komunikasi yang baik
merupakan cara yang paling utama harus dilakukan untuk menjadikan konflik
yang ada bisa terselsesaikan dan terpecahkan secara baik.
Menurut Nasikun (1993) dalam Sahlan (2015), pola penyelesaian
konflik dapat dilakukan dalam beberapa pendekatan, di antaranya:
1. Negosiasi adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna
mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dengan pihak lain.
Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secaradamai
melalui perundingan antara pihak yang berperkara. Dalam hal ini,
negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk
mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai
kepentingan yang sama maupun yang berbeda.
2. Konsiliasi (Conciliation), Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi
terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan
tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-
pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi
secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal:
a. Harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa
campur tangan dari badan-badan lain,
9
b. Lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga
itulah yang berfungsi demikian,
c. Lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak
yang berkonflik,
d. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis.Konsiliator nantinya
memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara
terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu,
konsiliator tidak berhak untuk membuatputusan dalam sengketa untuk
dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses
konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang
dituangkan dalam bentuk kesempatan di antara mereka.
3. Mediasi (Mediation), pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk
menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan
dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. bahwa
mediasi merupakansalah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang
bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi
tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis. Sementara itu,
pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketadinamakan
sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung
unsur-unsur, antara lain:Merupakan sebuah proses penyelesaian
sengketa berdasarkan perundingan;Mediator terlibat dan diterima oleh
para pihak yang bersengketa di dalamperundingan; Mediator bertugas
membantu para pihak yang bersengketa untuk mencaripenyelesaian.
Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang
dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri
sengketa.Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh
mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak
10
yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan
dalam masyarakat.
4. Arbitrasi (Arbitration), pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk
menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan
keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda
dengan mediasi, cara arbitrasi mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik
untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak arbitrer.
Sedangkan menurut Pruitt dan Rubin (2009) mengembangkan
teori dasar strategi penyelesaian konflik yang disebut dengan dual
concern model (model kepedulian rangkap-dua). Model ini melacak
pemilihan strategi berdasarkan kekuatan kepedulian relatif atas hasil
yang diterima oleh diri sendiri dan hasil yang diterima oleh pihak lain.
Sifat dari masing-masing strategi tersebut di atas adalah sebagai
berikut:
1. Contending (bertanding); segala macam usaha untuk menyelesaikan
konflik menurut kemauan seseorang tanpa memperdulikan kepentingan
pihak lain. Pihak-pihak yang menerapkan strategi ini tetap
mempertahankan aspirasinya sendiri dan mencoba membujuk pihak lain
untuk mengalah, termasuk mengeluarkan ancaman kepada pihak lain.
2. Problem Solving (pemecahan masalah); meliputi usaha
mengidentifikasikan masalah dan mengembangkan serta mengarah pada
solusi yang memuaskan kedua belah pihak. Pihak-pihak yang
menerapkan strategi ini berusaha mempertahankan aspirasinya sendiri
tetapi sekaligus berusaha mendapatkan cara untuk rekonsiliasi dengan
aspirasi pihak lain. Hasilnya dapat berupa kompromi atau solusi integratif.
Problem Solving mencerminkan adanya keinginan untuk berkolaborasi.
11
3. Yielding (mengalah); pihak yang menerapkan strategi ini menurunkan
aspirasinya sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang
sebetulnya diinginkan. Memang menciptakan solusi, tetapi bukan solusi
yang berkualitas tinggi.
4. Inaction (diam); Tidak melakukan apa-apa. Strategi ini biasanya ditempuh
untuk mencermati perkembangan lebih lanjut. Inaction merupakan
tindakan temporer yang tetap membuka kemungkinan bagi upaya
penyelesaian kontroversi. Inaction dapat pula merupakan implikasi dari
sikap keras kepala kedua belah pihak yang tetap menginginkan adanya
status quo.
5. Withdrawing (menarik diri); pihak yang memilih strategi ini memilih untuk
meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis secara
permanen. Withdrawing Melibatkan pengabaian terhadap kontroversi.
Withdrawing dapat pula mempunyai konotasi pemaksaan yang jauh lebih
dalam, dimana situasi ketidakpastian sengaja diciptakan sehingga pihak
lain tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya dan diharapkan
akan mengalah.
Walaupun terdapat lima strategi yang berbeda dalam penyelesaian konflik
sebagaimana disebutkan di atas, akan tetapi pada kebanyakan situasi konflik
yang terjadi menuntut diterapkannya kombinasi dari beberapa strategi di atas.
Sangat jarang hanya digunakan satu macam strategi secara eksklusif.
2.3. Ekowisata
2.3.1. Definisi Ekowisata
Ekowisata menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.33 Tahun 2009,
adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan
memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-
12
usaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat
lokal. Jenis-jenis ekowisata di daerah antara lain:
a. Ekowisata bahari,
b. Ekowisata hutan,
c. Ekowisata pegunungan dan/atau,
d. Ekowisata karst.
Menurut Hakim (2004) dalam Saragih (2016) Ekowisata adalah
perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami ataupun buatan
serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan
untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Ekowisata menitikberatkan
pada tiga hal utama yaitu, keberlangsungan alam atau ekologi, memberi manfaat
ekonomi, dan secara psikologis dapat diterima dalam kehidupan sosial
masyarakat.
Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Namun, pada hakekatnva pengertian ekowisata adalah suatu bentuk
wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami
(natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan
budaya bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata
pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh
penduduk dunia (Saragih, 2016)
Menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia
(2009), ekowisata memiliki banyak definisi, yang seluruhnya berprinsip pada
pariwisata yang kegiatannya mengacu pada 5 (lima) elemen penting, yaitu:
1) Memberikan pengalaman dan pendidikan kepada wisatawan,
sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap
daerah tujuan wisata yang dikunjunginya. Pendidikan diberikan melalui
pemahaman tentang pentingnya 7 pelestarian lingkungan, sedangkan
13
pengalaman diberikan melalui kegiatankegiatan wisata yang kreatif
disertai dengan pelayanan yang prima.
2) Memperkecil dampak negatif yang bisa merusak karakteristik
lingkungan dan kebudayaan pada daerah yang dikunjungi.
3) Mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan dan
pelaksanaannya.
4) Memberikan keuntungan ekonomi terutama kepada masyarakat
lokal. Oleh karena itu, kegiatan ekowisata harus bersifat profit
(menguntungkan).
5) Dapat terus bertahan dan berkelanjutan.
Berdasarkan dari elemen ekowisata, terdapat beberapa cakupan
ekowisata yaitu untuk edukasi, pemberdayaan masyarakat, peningkatan
ekonomi, serta upaya dalam kegiatan konservasi.
2.3.2. Pengembangan Ekowisata
Pengembangan ekowisata di suatu kawasan erat kaitannya dengan
pengembangan obyek dan daya tarik wisata alamnya (ODTWA)
(Qomariah,2009) . Menurut Departemen Kehutanan (2007) keseluruhan potensi
ODTWA merupakan sumber daya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus
merupakan media pendidikan dan pelestarian lingkungan. Lebih rinci
Departemen Kehutanan (2007) menjelaskan pengembangan ODTWA sangat
erat kaitannya dengan peningkatan.
Usman (1999) mengemukakan bahwa pengembangan ekowisata
Indonesia, hal yang penting dan perlu diperhatikan adalah keikutsertaan
masyarakat setempat dalam setiap kegiatan kepariwisataan. Konsep
pengembangan wisata dengan melibatkan atau mendasarkan kepada peran
serta masyarakat (community based ecotourism), pada dasarnya adalah
memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tinggal di daerah-daerah
14
yang menjadi obyek dan daya tarik wisata untuk mengelola jasa-jasa pelayanan
bagi wisatawan.
2.4. Mangrove
2.4.1. Definisi Mangrove
Istilah mangrove tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang
mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari
bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon
mangrove sebagai mangue dan istilah Inggris grove, bila disatukan akan menjadi
mangrove atau mangrave. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Malay,
yang menyebut jenis tanaman ini dengan mangi-mangi atau mangin. Mangrove
adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut
dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali
ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian
menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan
air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh
air garam atau air payau (Irawanto, 2006).
Menurut Siswanto (2014) Mangrove adalah kelompok tumbuhan berkayu
yang tumbuh di sekeliling garis pantai dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap
salinitas payau dan harus hidup pada kondisi lingkungan yang demikian.
2.4.2. Fungsi dan Manfaat Mangrove
Setidaknya ada tiga fungsi utama ekosistem hutan mangrove yang di
kemukakan Nontji (2005) yaitu:
1) Fungsi fisis, meliputi: pencegah abrasi, perlindungan terhadap
angin, pencegah intrusi garam, dan sebagai penghasil energi serta hara.
2) Fungsi biologis, meliputi: sebagai tempat bertelur dan tempat
asuhan berbagai biota.
15
3) Fungsi ekonomis, meliputi: sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar dan
arang), bahan bangunan(balok, atap, dan sebagainya), perikanan, pertanian,
makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat
sintesis, penyamakan kulit, obat-obatan, dan lain-lain.
Menurut Purnobasuki (2005) manfaat dari mangrove sebagai berikut:
1) Tempat pemijahan (Nursery Ground)
2) Tempat berlindung fauna
3) Habitat alami yang membentuk keseimbangan ekologis
4) Perlindungan pantai dari bahaya abrasi
5) Perangkap sedimen
6) Penyerap bahan pencemaran
7) Penahan angin laut
8) Sumber obat
2.5. Kerangka Pemikiran
Pemanfaatan sumberdaya khususnya dibidang perikanan seringkali
menciptakan konflik, baik dalam hal pengelolaan hingga ke hak kepemilikan.
Pada awalnya Mangrove yang berada di Pantai Ayah hanya dimanfaatkan
sebagai wilayah mitigasi tsunami, namun seiring berjalannya waktu pengelola
yaitu KPL Pansela menemukan peluang untuk menjadikan Hutan Mangrove ini
sebagai wisata edukasi, semakin canggihnya teknologi membuat siapapun bisa
mengenal dunia dengan lebih dekat sampai akhirnya tempat yang awalnya
dibuat konsep sebagai wisata edukasi berubah fungsi menjadi tempat
pariwisata yang dikunjungi wisatawan umum, perubahan fungsi yang
menghasilkan nilai ekonomi lah yang akhirnya menimbulkan konflik antara KPL
Pansela dengan Kelompok Sri Rezeki. Kelompok Sri Rezeki adalah kelompok
16
masyarakat asli Desa Ayah. Mereka menganggap bahwa mangrove disana
warisan orang tuanya dan mereka juga mengklaim bahwa merekalah yang
meneruskan pengelolaan tetapi adanya LSM (KPL Pansela) dianggap merebut
pengelolaanhutan mangrove untuk mengambil keuntungan sepihak karena
pada pengelolaan hutan mangrove berbasis wisata edukasi tidak melibatkan
kelompok masyarakat tersebut ditambah lagi adanya dukungan dari pihak Dinas
Kehutanan dan Perkebunan. Kemudian melihat adanya peluang untuk dijadikan
pariwisata membuat instansi terkait dalam hal ini Dinas Pariwisata Kabupaten
Kebumen ingin ikut mengelola. Hal ini membuat Kelompok Sri Rezeki yang
notabene masyarakat Desa Ayah semakin geram, mereka tidak ingin
pengelolaan diserahkan kepada pemerintah karena mereka khawatir tidak
dilibatkan dalam pengelolaannya. Sementara lahan yang digunakan adalah
milik negara karena lahan yang ditanami adalah aliran sungai sehingga
kewenangan ada di Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu-Opak
Yogyakarta dan berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan, Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, tahapan persiapan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan oleh Gubernur,
sehingga dalam penyelesaian permasalahan ini juga harus melibatkan
Pemerintah Provinsi.
17
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Kelompok Sri
Rezeki
KPL Pansela
Dinas Pariwisata
Dishutbun
Mangrove
Ekowisata
Konflik Proses Penyebab
Analisis
Solusi Pemerintah
dan Instansi
Pengairan
III. METODE PENELITIAN
1.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan menggunakan tipe
deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsikan atau mengontruksi
wawancara mendalam terhadap sample penelitian. Penelitian disini bertindak
selaku fasilitator dan realitas dikontruksi oleh sampel penelitian, sampel itu
seperti nara sumber, informan, teman dan guru. Selanjutnya peneliti bertindak
sebagai aktivis yangikut memberi makna secara kritis pada realitas yang ada
dikontruksi sample peneliti Sugiyono (2011).
Pada penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan situasi, kondisi
dan berbagai kejadian yang terjadi dilapang berdasarkan fakta-fakta yang ada
dalam KPL Pansela, Kelompok Sri Rezeki, masyarakat desa dan instansi-
instansi terkait.
1.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dengan judul Konflik dalam Pengembangan Ekowisata
dilaksanakan di Mangrove Pantai Ayah atau Pantai Logending yang terletak di
Desa Ayah, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Penelitian ini
dilaksanakan pada 4 —14 April 2017.
1.3. Populasi dan Sampel
Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh
Spradley dinamakan social situation atau situasi sosial yang terdiri atas tiga
elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors) dan aktivitas (activity) yang
berinteraksi secara sinergis. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan
populasi karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada
19
situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi
tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan
dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari (Sugiyono, 2011). Situasi sosial
dalam konflik ini adalah lokasi hutan mangrove yang diperebutkan serta orang-
orang yang terlibat didalam pengelolaan hutan mangrove tersebut.
Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden tetapi
sebagai narasumber atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian.
Teknik pengambilan sampel sumber data menggunakan Snowball sampling,
sumber data yang awalnya sedikit lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan
karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu tersebut belum mampu
memberikan data yang memuaskan, maka mencari orang lain lagi yang dapat
digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sampel sumber data
akan semakin besar, seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi
besar (Sugiyono 2011).
Penelitian ini dalam mencari sampel yaitu mendatangi lokasi Ekowisata
Mangrove Ayah tujuannya agar nantinya akan mempermudah untuk mencari
sumber sampel. Setelah menemukan satu sampel dan kurang memperoleh data
lengkap atau tidak akurat maka terus mencari sampel sumber data lain hingga
data yang dibutuhkan sudah jenuh dan tidak perlu mencari data baru lagi.
Berikut data diri informan, yang digunakan bukan nama asli melainkan
nama inisial demi memberikan keamanan kepada informan, mengenai sampel
pertama sampai dengan sampel selanjutnya yaitu menggunakan teknik snowball
sampling bukan menentukan informan secara sendiri, melainkan melalui saran
dan petunjuk dari sample-sample sebelumnya, ada beberapa sample yang telah
ditemui yaitu:
20
Tabel 1. Daftar Informan
No. Informan Keterangan
1 Ka Pendiri KPL Pansela
2 Su Masyarakat Desa Ayah, umur 40 tahun tinggal di Ayah sejak 2002
3 Ms Ketua Kelompok Masyarakat Desa Ayah (Kelompok Sri Rezeki), umur 50 tahun, tinggal di Ayah sejak 1967
4 Bs Camat Ayah
5 Ta Ketua Kelompok Nelayan Pantai Ayah, umur 47 tahun, tinggal di Ayah sejak 1999
6 Ar Kepala Seksi Pengendalian dan Pendayagunaan Pengelolaan Sumber Daya Air Serayu Citanduy Purwokerto
7 Pt Sekertaris Kasubbag BMN Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak Yogyakarta
1.4. Jenis dan Sumber Data
Data pada dasarnya adalah kumpulan observasi atau pengamatan. Jenis
data yang digunakan adalah data teks, berupa alfabet dan data image, seperti
foto, dan diagram yang didapatkan selama penelitian (Fauzi, 2001). Berdasarkan
sumbernya, data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan sekunder.
a. Data primer
Menurut Arikunto (2010), data primer merupakan data dalam bentuk
verbal atau kata – kata yang diucapkan secara lisan, gerak – gerik atau perilaku
yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, yakni subjek penelitian atau
informan yang berkenaan dengan variabel yang diteliti atau data yang diperoleh
dari responden secara langsung. Data primer diperoleh melalui wawancara
langsung kepada responden.
Data hasil wawancara yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi
sejarah Ekowisata Mangrove Ayah, wawancara dari pihak KPL PanselaDan
Kelompok Sri Rezeki diantaranya, mendapat informasi tentang keberadaan
mangrove di Desa Ayah yang sudah ada sejak tahun 1975 tetapi masih belum
dimanfaatkan dengan baik keberadaan mangrove tersebut. Mendapat informasi
21
tentang permasalahan-permasalahan yang ada sehingga terjadinya konflik yaitu,
Kelompok Sri Rezeki yang ingin mengelola ekowisata mangrove tersebut serta
adanya perbedaan kepentingan. Cara penyelesaian yang di berikan dalam
permasalahan-permasalahan yang terjadi.
b. Data sekunder.
Menurut Arikunto (2010), data sekunder adalah data yang diperoleh dari
teknik pengumpulan data yang menunjang data primer. Dalam penelitian ini
diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan oleh penulis serta dari studi
pustaka. Dapat dikatakan data sekunder ini bisa berasal dari dokumen –
dokumen grafis seperti tabel, catatan, SMS, foto dan lain – lain.
Jenis data sekunder yang diambil meliputi: keadaan umum lokasi
penelitian (keadaan topografi dan geografis), jumlah penduduk, keadaan
penduduk.
1.5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang di gunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini
adalah dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi.
1.5.1. Observasi
Menurut Hadi (1986) dalam Sugiyono (2011) bahwa observasi
merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari
berbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah
proses – proses pengamatan dan ingatan.
Observasi dalam penelitian ini adalah peneliti melakukan pengamatan
secara langsung, serta merekam hasil wawancara dan dokumentasi berupa foto
agar memperoleh data yang diinginkan oleh peneliti.
22
1.5.2. Wawancara
Wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang salah
satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan
tertentu (Herdiyansyah, 2010).
Menurut Sugiyono (2011), macam – macam wawancara adalah :
1) Wawancara terstruktur
Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila
peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi
apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara, peneliti
telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan – pertanyaan tertulis
yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Wawancara terstruktur ini setiap
responden diberi pertanyaan yang sama dan peneliti mencatat.
2) Wawancara tak terstruktur
Wawancara yang bebas di mana tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan datanya. Pedoman wawancara hanya berupa garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan. Untuk memperoleh informasi yang lebih
dalam tentang responden maka penelitian dapat menggunakan wawancara tidak
terstruktur.
Sehingga dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara terstruktur
maupun tak terstruktur yang ditujukan kepada para pihak yang bersangkutan
yaitu Pengurus KPL Pansela, Kelompok Sri Rezeki, masyarakat desa dan
instansi-instansi terkait.
1.5.3. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data
kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh
subjek sendiri atau oleh orang lain oleh subjek. Dokumentasi merupakan salah
23
satu cara yang dapat dilakukan peneliti kualitatif untuk mendapatkan gambaran
dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya
yang ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan (Herdiyansyah,
2010). Dokumentasi penelitian ini menggunakan buku, jurnal, foto, serta internet
untuk menunjang penelitian ini yang di anggap berharga untuk dimasukkan ke
dalam metode.
1.6. Metode dan Analisa data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapang, dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan
kepadaorang lain. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak
sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di
lapangan (Sugiyono, 2011). Analisis data lapang yang digunakan yaitu model
Miles and Huberman. Aktivitas dalamanalisis data ini yaitu Reduksi data (data
reduction), Penyajian data (data display) dan Conclusion drawing/verification.
a. Reduksi data (Data reduction)
Data yang diperoleh jumlahnya cukup banyak untuk itu perlu dilakukan
reduksi data untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data-data
selanjutnya. Reduksi data adalah proses merangkum, menyeleksi hal-hal pokok
atau penting data-data yang diperoleh dari lapang.
b. Penyajian data (Data display)
Setelah mereduksi data kemudian data disajikan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, flowchart dan sejenisnya. Dalam penelitian kualitatif penyajian
data disajikan dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Menurut Maulidharta
(2016) Fenomena atau situasi social sangatlah kompleks dan dinamis, maka
data yang ditemukan dilapangan akan mengalami perkembangan. Bila temuan
24
penelitian menunjukkan keseragamanatau tidak ada yang berubah maka
selanjutnya dapat melakukan penulisan hasil penelitian.
c. Conclusion drawing/verification.
Penarikan kesimpulan dan verifikasi adalah langkah terakhir. Kesimpulan
masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat
yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid
dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang belum
pernah ada (Sugiyono, 2011).
Gambar 1. Komponen dalam Analisis Data : Model Alir
Sumber : Miles dan Huberman, 1992
Tahap pertama penelitian ini adalah pengumpulan data melalui
wawancara dengan informan yang dianggap mengetahui segalanya. Kemudian
informan memberikan informasi tertentu yang berisikan kode-kode untuk data
25
berikutnya. Konflik diawali dengan salah paham antara pengelola dengan
nelayan yang mana nelayan menganggap dengan dijadikan ekowisata mangrove
hanya akan menguntungkan salah satu pihak saja kemudian konflik semakin
berkembang dengan timbulnya kelompok lain yang berasal dari desa setempat
yang merasa tidak dilibatkan dalam pengelolaan ekowisata mangrove. Lalu dari
data yang didapat diidentifikasi, klasifikasi untuk disajikan bahwa konflik yang
ada di Ekowisata Mangrove Ayah dikarenakan kurangnya komunikasi antara
pengelola dengan nelayan dan masyarakat sekitar dengan dibangunnya
Ekowisata Mangrove Ayah. Setelah dirasa data cukup kemudian ditarik
kesimpulan bahwa konflik yang ada di Ekowisata Mangrove Ayah harus dicari
cara penyelesaiannya supaya tidak mengganggu pengembangan Ekowisata
Mangrove Ayah. Gambar. 3 menunjukan analogi analisis data yang digunakan.
Gambar 2. Kerangka Analisis Penelitian
Awal Pengumpulan Data
Wawancara langsung ke informan
Konflik terjadi antara pengelola, kelompok
masyarakat, pemkab
Konflik disebabkan oleh salah pahamnya
berbagai pihak
Dicari cara penyelesaian konflik
Hasil analisis temuan baru
IV. KEADAAN UMUM PENELITIAN
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak Geografis
Kebumen merupakan salah satu kabupaten yang berada di bagian selatan
Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kabupaten Purworejo di sebelah
selatan Kabupaten Cilacap dan Banyumas di sebelah barat serta Kabupaten
Wonosobo dan Banjarnegara di sebelah utara. Secara geografis Kabupaten
Kebumen terletak pada7°27' - 7°50' Lintang Selatan dan 109°22' - 109°50' Bujur
Timur.
Gambar 1. Peta Kabupaten Kebumen Sumber: Google (diakses tanggal 10 Mei 2017)
28
4.2. Kondisi Penduduk dan Ketenagakerjaan
4.2.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Keadaan Jumlah pendudukDesa Ayah. Berdasarkan jenis kelamin jumlah
penduduk laki-laki lebih besar dari perempuan. Akan tetapi selisihnya tidak terlalu
besar yaitu 935 jiwa untuk laki-laki dan 914 jiwa untuk
perempuan.Tabel.2menunjukkan jumlah penduduk Desa Ayah.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber: Balai Desa Ayah, 2017
Keadaan penduduk Desa Ayah relatif sedang. Sehingga jika dalam suatu
hubungan sosial terjadi masalah akan mudah diredam dan terorganisir.
4.2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu instrumen penting untuk peningkatan
kualitas dan kuantitas pendidikan. Di Desa Ayah masih terdapat 2,13 %
perempuan yang belum tamat SD dan 2,72 % laki laki yang belum tamat SD.
Sedangkan sedangkan yang menamatkan Akademi dan Perguruuan Tinggi baru
3 % untuk wanita dan 2,6 % untuk laki laki .
No. Jenis Kelamin Jumlah (jiwa)
1. Laki-Laki 935
2. Perempuan 914
Total 1.849
29
Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Sumber: Balai Desa Ayah, 2017
Mayoritas penduduk Desa Ayah menyelesaikan pendidikan dijenjang
wajib belajar 9tahun (SD-SMP-SMA). Pebedaan tingkat pendidikan di Desa Ayah
dapat mempengaruhi terjadinya konflik, karena adanya perbedaan status sosila
dimana tingkat pendidikan Desa Ayah lebih banyak pada lulusan SD, maka
tingkat pemikiran kurang berkembang,. Terlihat dari pola pendidikan dan
pemikiran akan menimbulkan perbedaan pendapat atau pemikiran sehingga
menimbulkan konflik dan perbedaan status sosial. Dalam hal kesediaan sumber
daya manusia (SDM) yang memadahi dan mumpuni, keadaan ini merupakan
tantangan tersendiri. Sebab ilmu pengetahuan setara dengan kekuasaan yang
akan berimplikasi pada penciptaan kebaikan kehidupan.
4.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Sebagian besar masyarakat Desa Ayah bermata pencaharian sebagai
Wiraswasta hal ini dikarenakan wilayah Desa Ayah yang berada di kawasan
wisata sehingga masyarakat membuka usaha-usaha yang ada di rumah mereka
masing-masing, lalu diikuti dengan Pertanian hal ini disebabkan wilayah tanah
sawah yang berada di Desa Ayah mencapai 50% dari total keseluruhan tanah
yang ada.
No. Tamat Pendidikan Laki-laki Perempuan
1 Tidak Tamat SD 20 25
2 Tamat SD 302 335
3 Tamat SLTP 200 195
4 Tamat SLTA 162 166
5 Diploma 6 7
6 Strata-1 25 28
7. Strata-2 2 -
30
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Sumber: Balai Desa Ayah, 2017
Perbedaan kepentingan Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia
memiliki kepentingan dan usaha yang berbeda, baik kebutuhan dasar maupun
kebutuhan sosial, yang dapat menimbulkan pertentangan antar individu atau
kelompok. Pada masyarakat nomaden sering terjadi pertikaian antar kelompok
untuk mendapatkan daerah yang subur, sedangkan pada masyarakat industri
sering terjadi perselisihan untuk mendapatkan bahan baku atau konsumen dan
dalam aspek kehidupan politik terjadi perselisihan antar kelompok untuk
mendapatkan partisipan. Jadi konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan
dapat terjadi pada setiap masyarakat dengan berbagai tingkatannya (Pasaribu,
2013dalam Maulidharta, 2016).
Pebedaan jenis pekerjaan dan sumber penghasilan di Desa Ayah dapat
mempengaruhi terjadinya konflik, karena adanya perbedaan pekerjaan dapat
menimbulkan perbedaan kepentingan karena Desa Ayah mayoritas
penduduknya adalah wiraswasta maka jika dilihat ada suatu peluang yang akan
menghasilkan rupiah pasti akan mengundang banyak orang untuk mengelolanya.
4.2.4. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah berkaitan dengan ketenagakerjaan, yaitu
untuk melihat bagaimana kondisi masyarakat yang ada dalam suatu wilayah dan
No. Mata Pencaharian 2014 2015 2016
L P L P L P
1. Pertanian 110 84 120 91 119 81
2. Perdagangan 10 20 6 21 12 27
3. Karyawan Swasta 81 68 88 73 82 69
4. Wiraswasta 245 206 255 210 259 221
5. PNS 18 19 18 19 18 19
31
bagaimana kualitas sumber daya manusia dalam suatu wilayah sehingga dapat
memperoleh kesempatan kerja.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja
No. Klasifikasi 2016
L P
1 Usia Kerja 102 96
2 Angkatan Kerja 562 590
3 Mencari Kerja 156 168
Sumber: Balai Desa Ayah, 2017
Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan sendirinya akan
mencerminkan laju pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi pula. Cepatnya laju
pertumbuhan angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan
kesempatan kerja akan menimbulkan berbagai persoalan contohnya adalah
pengangguran. Salah satu usaha untuk menghambat angkatan kerja muda
adalah melalui perluasan sarana pendidikan. Pendidikan memang dapat
menunda masuknya penduduk usia muda dalam pasar tenaga kerja. Di samping
memperluas sarana pendidikan, peningkatan mutu pendidikan juga perlu
dilakukan. Dengan demikian akan tercipta tenaga kerja yang terampil dan tepat
guna.
4.3. Gambaran Umum Ekowisata Mangrove Ayah
4.3.1. Sejarah Ekowisata Mangrove Ayah
Pada tahun 1975 ada seorang sahabat Kyai Wasil yang datang ke Desa
Ayah, Kyai Wasil adalah tokoh masyarakat yang tinggal di Desa Ayah, saat itu
rumah Kyai Wasil berada di bantaran sungai, lalu sahabat Kyai Wasil
mengatakan bahwa daerah ini bahaya jika airnya naik atau terjadi air rob, tak
lama kemudian sahabat Kyai Wasil tersebut datang kembali ke Desa Ayah
dengan membawa 40 bibit tanaman bakau lalu Kyai Wasil dengan beberapa
masyarakat desa saat itu menanam batang-batang tanaman bakau. Tiga tahun
32
kemudian tanaman bakau sudah berkembang dan menghasilkan buah dengan
inisiatif masyarakat desa yang pada waktu itu bernama Kelompok Sri Tani
Rezeki, buah-buah tanaman bakau tersebut ditanam kembali.
Seiring dengan perkembangan waktu tanaman bakau tersebut menghasilkan
nilai ekonomi yang bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar, banyak masyarakat
yang memanfaatkan kayu bakau menjadi kayu bakar untuk memasak, serta juga
menumbuhkan ekosistem baru dengan bermunculan hewan-hewan seperti
kepiting, udang dan buaya. Tahun 1982 ada pengusaha tambak udang yang
tertarik untuk membangun usaha diwilayah sekitar tanaman bakau namun
perusahaan tersebut berakhir dengan gulung tikar pada tahun 1984 karena
usaha tersebut tidak berkembang, setelah perusahaan gulung tikar, tambak
tersebut mendatangkan benih-benih ikan bandeng pada saat air pasang saat itu
banyak masyarakat yang memanfaatkan tambak tersebut akan tetapi tambak
yang dikelola masyarakat juga tidak berjalan lancar, jika air pasang akan
membawa kembali ikan-ikan bandeng tersebut ke habitatnya lalu oleh
masyarakat sebagian tambak-tambak tersebut ditanami tanaman bakau, saat itu
yang masyarakat manfaaatkan kayu-kayunya saja dan buahnya dijadikan bibit
untuk ditanami kembali.
Tsunami yang terjadi di Pangandaran tahun 2006 memberikan dampak
tsunami kecil pada Desa Ayah yang mengakibatkan beberapa tanaman bakau
dan ekosistem yang berada didalamnya juga ikut rusak. Dua tahun pasca
tsunami ada seseorang yang mengasuh mantan anak-anak jalanan dan biasa
memanfaatkan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan dan kepiting yang mereka
ambil dari akar-akar tanaman bakau untuk dijadikan lauk, beliau beserta anak-
anak asuhnya merasa kesulitan untuk mencari lauk pauk, sehingga beliau
berpikir untuk menanami kembali tanaman-tanaman bakau dengan membentuk
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bernama Kelompok Peduli
34
mencetak foto-foto tersebut menjadi banner lalu dipasang pada pos penyuluhan
yang berada didalam hutan mangrove.
4.3.2. Aktivitas Ekowisata Mangrove Ayah
Ekowisata Mangrove Ayah terletak di dalam kawasan Pantai Logending Desa
Ayah, Kebumen. Pada dasarnya Ekowisata Mangrove Ayah adalah wilayah
Muara Sungai Bodo. Lahan yang sudah tetanami pohon bakau sekitar 17 hektar
dari 50 hektar. Setelah dikembangkan hutan bakau tersebut memiliki nilai
ekonomi yang bisa diambil dengan menjadikannya daerah ekowisata. Sesuai
dengan pengertian ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang memperhatikan
unsur pendidikan, konservasi dan peningkatan pendapatan penduduk lokal,
berikut aktivitas yang ada di kawasan Ekowisata Mangrove Ayah.
a. Kegiatan Wisata Alam
Wisatawan yang berkunjung ke kawasan Ekowisata Mangrove rata-rata ingin
menikmati suasana teduh berjalan di kawasan hutan mangrove sekaligus sambil
mengabadikan momen dengan berfoto. Cukup dengan biaya Rp.15.000
pengunjung dapat menikmati berkeliling menggunakan perahu sembari
mengenal jenis-jenis dan manfaat dari mangrove itu sendiri.
b. Pendidikan dan Penelitian
Kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan contohnya kegiatan penyadaran
diri terhadap lingkungan yang biasanya diadakan oleh sekolah-sekolah yang
datang berkunjung. Mereka akan dibekali pemahaman tentang jenis-jenis
mangrove, manfaat mangrove, cara penanaman mangrove.
35
Gambar 7 menunjukan kegiatan pemberian materi tentang mangrove
yang dilakukan oleh KPL Pansela, pada saat kunjungan para pelajar Sekolah
Dasar. Selain dikunjungi pelajar ada juga kalangan mahasiswa atau peneliti
yang datang untuk melakukan penelitian di dalam hutan mangrove.
c. Konservasi
KPL Pansela adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap kegiatan
konservasi didalam kawasan Hutan Mangrove di Desa Ayah. Pengunjung juga
bisa ikut menanam mangrove karena pihak KPL Pansela juga menyediakan
sendiri bibit-bibit mangrove.
Gambar 5. Penanaman Bibit Mangrove Sumber: Dokumentasi Peneliti,2017
Gambar 4. Pemberian Materi Tentang Mangrove Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2017
36
Kegiatan penanaman bibit mangrove seperti pada Gambar.8 merupakan
bentuk penyadaran diri siswa-siswi Sekolah Dasar terhadap lingkungan
sebelumnya yang sudah dibekali materi tentang cara penanaman mangrove
sebelumnya.
d. Peningkatan Pendapatan Masyarakat Lokal
Disekitar pintu masuk juga terdapat warung-warung kecil yang dibangun
masyarakat untuk berjualan makanan dan minuman. Masyarakat sekitar juga
banyak yang memanfaatkan wilayah hutan mangrove untuk mencari kepiting,
ikan ataupun belut.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1. Lokasi dan Cakupan Wilayah
1.1.1. Lokasi
Lokasi yang terjadi konflik berada di bagian selatan Desa Ayah, Kabupaten
Kebumen tepatnya di hutan mangrove yang berada didalam kawasan Pantai
Logending. Lahan yang dijadikan hutan mangrove merupakan muara Kali Bodo
dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ijo. Dari sekitar 50 hektar sudah sekitar 17
hektar yang tertanami pohon bakau yang meliputi wilayah Sigong sedang
dikembangkan menjadi Kawasan Ekosistem Esensial dan wilayah yang sudah
menjadi ekowisata. Berikut pemaparan dari beberapa informan.
InformanCamat Ayah menyatakan: “total mangrove sekitar 10 hektar
ya sekitar segitu oh ini.. kalo luasan itu sekitar 17 hektar total 50
hektar yang sudah ditanami 17 hektar”
Sementara penuturan kelompok masyarakat sebagai berikut:
Informan kelompok masyarakat menyatakan: “kurang lebih 7
hektaran yang sudah ditanami yang untuk wisata”
Kawasan Ekowisata Mangrove jika dilihat dari sisi Pantai Logending
ditunjukan pada Gambar 9.
Gambar 1. Wilayah Ekowisata Sumber:Dokumentasi Peneliti,2017
40
Wilayah hutan mangrove terbagi menjadi dua bagian seperti yang tertera
pada Gambar. 12 (1) merupakan wilayah yang dijadikan tempat ekowisata
terletak di dalam kawasan Pantai Logending, Desa Ayah. Gambar.12 (2)
merupakan wilayah Sigong yang sedang dikembangkan menjadi Kawasan
Ekosistem Esensial (KEE). Menurut penuturan seorang masyarakat desa,
wilayah sigong merupakan suatu pulau yang wilayahnya berbatasan langsung
dengan Desa Jetis Kabupaten Cilacap.
1.2. Akar Masalah Konflik di Dalam Pengembangan Ekowisata Mangrove
Jika ditelusuri lebih lanjut akar permasalahan pada konflik ini hanya
ada satu yaitu tentang status. Status itu sendiri dibagi dua, yang
pertama status lahan dan kedua status pengelolaan yang sah dari
pemerintah. Berikut hasil wawancara dengan pihak KPL Pansela:
”pangkal permasalahannya hanya satu kalimat adalah penyebabnya adalah “status”. Status itu dibagi dua yang menjadi masalah, status lahan penetapan status lahan dan juga status pengelola yang sah dari pemerintah, ndak ada yang ditunjuk kalo andai ditunjuk status lahan ini milik negara ya mesti pemerintah atau pihak-pihak lain tidak akan ada yang mengganggu sudah terus status pengelola sah yang ditunjuk Pansela atau siapa ya kamipun tidak akan, tidak akan anu tidak akan mengclaim bahwa itu adalah ee.. lahan saya, nda usah”
Sampai saat ini belum ada kejelasan tentang hak pengelolaan karena pihak
yang berwenang yaitu Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak belum turun
langsung untuk menyelesaikan permasalahan ini. Hal ini yang menimbulkan
perbedaan pemahaman dan perbedaan kepentingan diantara para pihak karena
masing-masing pihak menganggap lahan yang digunakan adalah lahan timbul
sehingga banyak pihak yang merasa dapat memiliki lahan tersebut.
41
1.3. Pihak Terlibat dalam Konflik Pengembangan Ekowisata Mangrove Ayah
Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflik pengembangan di
Ekowisata Mangrove Ayah antara lain: pihak Kelompok Peduli Lingkungan
Pantai Selatan (KPL Pansela), kelompok masyarakat Desa Ayah, dan instansi
terkait dalam pengertian Dinas Pariwisata Kabupaten Kebumen, sementara pihak
yang hanya sebagai pengamat dan pihak yang terlibat tidak langsung seperti
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, instansi pengairan yaitu Pengelola Sumber
Daya Air (PSDA) Serayu-Citanduy dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)
Serayu-Opak. Hal tersebut tergantung pada intensitas hubungan yang dilakukan
antara masing-masing pihak terhadap konflik dan sample utama konflik.
Penjelasan tentang pihak-pihak yang terkait sebagai berikut:
1.3.1. Kelompok Peduli Lingkungan Pantai Selatan (KPL Pansela)
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini bergerak dibidang lingkungan dan
fokus terhadap kegiatan konservasi hutan. Pasca tsunami tahun 2006
terbentuklah kelompok ini yang kemudian dilegalkan di notaris pada tahun 2010
dengan tujuan untuk memulihkan kembali ekosistem hutan mangrove yang
diterjang gelombang tsunami. Lalu mereka mencoba untuk menggandeng
pemerintah yang waktu itu adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan untuk
mengadakan program penanaman mangrove hal tersebut ternyata mendapat
respon baik dari pemerintah. Selang beberapa tahun tepatnya tahun 2014
mangrove yang ditanam sudah semakin berkembang sehingga membentuk
hutan. Terlintaslah untuk membuka wisata edukasi lalu mereka swadaya
membangun tracking untuk mempermudah akses hutan mangrove tersebut.
Tahun 2015 mulai dikenalkan kepada masyarakat, hingga pejabat
pemerintahanpun mengunjungi lokasi tersebut dan akhirnya memberikan
bantuan untuk membangun pos-pos. Visi dan Misi KPL Pansela tidak dipaparkan
42
dengan jelas kepada masyarakat hal inilah yang membuat masyarakat
beranggapan bahwa KPL Pansela adalah LSM yang hanya memperdaya
masyarakat, ditambah adanya dukungan dari pemerintah dan dianggap
mengambil keuntungan sepihak yang menimbulkan rasa cemburu sosial
dikelompok masyarakat.
1.3.2. Kelompok Masyarakat Desa (Sri Rezeki)
Tidak semua masyarakat desa yang terlibat dalam konflik ini melainkan hanya
beberapa orang yang membentuk kelompok dan menamakan dirinya sebagai
Kelompok Sri Rezeki mereka beranggapan bahwa mereka sudah lama tinggal di
Desa Ayah, hutan mangrove yang sekarang ada adalah hasil penanaman orang
tua mereka dan merekalah yang meneruskan warisan orang tua tersebut tetapi
menurut pemahaman mereka ada LSM yang mengaku-ngaku bahwa hutan
mangrove yang sekarang ada dikelola serta dikembangkan menjadi wisata oleh
LSM. Serta dukungan pemerintah terhadap LSM tersebut yang menimbulkan
rasa cemburu sosial.
1.3.3. Dinas Pariwisata
Melihat adanya lokasi yang bisa dijadikan tempat pariwisata membuat Dinas
Pariwisata akhirnya menyadari hutan mangrove yang ada di Desa Ayah bisa
untuk dikembangkan dan dikelola lebih lanjut sesuai dengan visi misi Dinas
Pariwisata Kabupaten Kebumen sebagai berikut :
Visi : Kebumen Sebagai Daerah Tujuan Pariwisata Dengan Memelihara Nilai-nilai Budaya Misi : (1) Mengembangkan destinasi dan pemasaran pariwisata yang berdaya saing tinggi
(2) Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah yang berlandaskan nilai-nilai luhur
(3) Mengembangkan sumber daya industri pariwisata dan pemberdayaan masyarakat
(4) Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan pariwisata yang profesional
43
Sebelum dibuka ekowisata mangrove Dinas Pariwisata sama sekali tidak
melihat adanya peluang untuk dijadikan tempat wisata setelah mulai dikenal
khalayak umum Dinas Pariwisata semakin mengupayakan untuk mendapatkan
hak pengelolaan hutan mangrove tersebut. Dinas Pariwisata juga sudah
membuat masterplan dan mempunyai anggaran sebanyak 3,8 milyar untuk
mengelola kawasan tersebut.
(a) (b)
Gambar 13 (a) merupakan masterplan kawasan ekowisata mangrove
secara keseluruhan yang nantinya akan dibangun juga pondok-pondok
penginapan dikawasan hutan mangrove, gambar 12 (b) merupakan rancangan
pintu masuk hutan mangrove. Masterplan ini sudah dipaparkan ke masyarakat
sekitar bulan desember 2016.
1.3.4. Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Dinas Kehutanan dan Perkebunan atau yang biasa disingkat dengan
Dishutbun tidak terlibat langsung dalam konflik ini karena kontribusi Dishutbun
hanya sebatas memfasilitasi KPL Pansela dalam merawat dan menjaga kawasan
hutan mangrove. Sejak 2017 Dishutbun Kab.Kebumen sudah termasuk kedalam
Gambar 5. Masterplan Ekowisata Mangrove Sumber: KPL Pansela, 2016
44
Badan Lingkungan hidup sehingga KPL Pansela sekarang berjalan sendiri untuk
menjaga konservasi hutan mangrove di Desa Ayah.
1.3.5. Instansi-instansi Pengairan
Lahan yang digunakan untuk Kawasan Hutan Mangrove merupakan Daerah
Aliran Sungai Ijo sehingga melibatkan pihak instansi pengairan dalam hal ini
adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak yang berada di
Yogyakarta, supaya tidak mengganggu aktivitas yang ada di DAS perlu dilakukan
pengkajian tentang rekomendasi teknis tetapi BBWS tidak bisa berjalan sendiri
karena pihak BBWS belum bisa mengeluarkan izin untuk penyewaan lahan.
Pihak yang bisa mengeluarkan izin untuk penyewaan adalah Balai Pengendalian
Sumberdaya Air (PSDA) yang berpusat di Semarang dan memiliki cabang yang
berada di Purwokerto. Balai PSDA nantinya akan bekerjasama dengan BBWS
untuk membuat surat izin penyewaan yang akan diserahkan kepada pihak
Pemerintah Provinsi dalam hal ini adalah Gubernur sesuai dengan Peraturan
Daerah setempat.
1.4. Proses Terjadi Konflik di Dalam Pengembangan Ekowisata Mangrove
Awal mula terjadi konflik di Kawasan Hutan Mangrove Desa Ayah setelah ada
bencana Tsunami Pangandaran tahun 2006 yang memberikan dampak pada
Desa Ayah. Kemudian ada pihak yang merawat kembali pohon-pohon mangrove
yang berada disekitar kawasan dengan tujuan awal memulihkan ekosistem.
Seiring perkembangan zaman hutan mangrove berubah fungsi menjadi
ekowisata dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga banyak pihak yang
ingin memperebutkan hak pengelolaan. Visualisasi sederhana proses konflik
dapat dilihat pada Gambar 14.
45
Gambar 6. Visualisasi Proses Konflik
1.4.1. Pasca Tsunami Tahun 2006
Pasca Tsunami di Pangandaran tahun 2006 yang memberikan dampak
kerusakan Pantai Logending dan wilayah mangrove di Desa Ayah membuat
seseorang warga yang biasa memanfaatkan wilayah mangrove berinisiatif
membentuk suatu kelompok yang bernama Kelompok Peduli Lingkungan Pantai
Selatan (KPL Pansela) dengan tujuan awal untuk mengembalikan ekosistem
mangrove. Namun tujuan baik ini tidak mendapat respon baik dari pihak nelayan
Pantai Logending mereka menanggap dengan ditanamnya mangrove malah
membuat daerah parkir perahu mereka semakin terbatas. Selang beberapa
tahun tanaman bakau yang mereka tanam sudah semakin berkembang dan
membentuk hutan serta sudah banyak manfaat yang bisa diambil para nelayan
karena mulai banyak ikan yang hidup disekitaran mangrove membuat
permasalahan yang terjadi dengan nelayan mereda.
2006
Tsunami
2015
Ekowisata Mangrove
2016
Perebutan Hak Pengelolaan
46
1.4.2. Perubahan Fungsi Menjadi Ekowisata Mangrove
KPL Pansela yang dibentuk dengan tujuan untuk memelihara dan merawat
lingkungan Pantai Selatan mempunyai ide untuk menjadikan kawasan tersebut
menjadi tempat wisata edukasi, dengan swadaya kelompok tersebut mereka
mengumpulkan kayu-kayu untuk membangun tracking, ide tersebut ternyata
mendapat respon baik dari pemerintah kabupaten yaitu Dinas Kehutanan dan
Perkebunan yang akhirnya melakukan survey ke Ekowisata Mangrove Ayah dan
memberikan bantuan untuk membangun pos-pos yang bisa digunakan untuk
acara dan mushola serta dibangun juga toilet di dekat pos tersebut. Dinas
Kehutanan dan Perkebunan juga menyarankan untuk menjadikan hutan
mangrove tersebut menjadi Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).Hal ini
menimbulkan kecemburuan dari pihak kelompok masyarakat desa setempat
(Kelompok Sri Rezeki) mereka beranggapan bahwa mereka yang telah
mengelola hutan mangrove tersebut karena sebelumnya orang tua mereka yang
membawa bibit mangrove ke Desa Ayah, tetapi saat ada LSM yang mempunyai
embel-embel konservasi lingkungan langsung didukung penuh dan dipercaya
untuk mengelola hutan mangrove tersebut.
Gambar 7. Pos Bantuan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Kebumen
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2017
47
Lewat kunjungan dari para pejabat daerah akhirnya mengundang media
untuk meliput kawasan tersebut sehingga pada tahun 2016 mulai ramai
pengunjung yang hanya sekedar ingin berfoto-foto atau sekedar menikmati
suasana berjalan-jalan di bawah pohon mangrove. Gambar.16 menunjukkan foto
kegiatan menyusuri hutan mangrove menggunakan perahu, dengan membayar
Rp.15.000 pengunjung bisa mengelilingi hutan mangrove sekaligus diberikan
informasi tentang mangrove yang dipandu oleh KPL Pansela.
Belum usai permasalahan antara KPL Pansela dengan Kelompok
masyarakat (Sri Rezeki) timbul lah permasalahan baru tepatnya pada libur Hari
Raya Idul Fitri tahun 2016 jumlah wisatawan yang berkunjung meningkat,
membuat Dinas Pariwisata Kebumen menyadari untuk mengembangkan dan
mengelola Ekowisata Mangrove Ayah, hal ini semakin membuat kelompok
masyarakat desa setempat (Kelompok Sri Rezki) geram. Kelompok masyarakat
(Sri Rezeki) menanggap wilayah tersebut warisan dari orang tua mereka tetapi
mereka tidak diikutsertakan dalam pengelolaan hutan bakau tersebut. Mereka
tidak mau pengelolaan jatuh kepada instansi-instansi tertentu karena khawatir
tidak dilibatkan dalam pengelolaannya. Akhirnya mereka menuntut kepada
Gambar 8. Wisata Menggunakan Perahu Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2017
48
pemerintah desa untuk bertindak namun pemerintah desa juga tidak memiliki hak
kewenangan sepenuhnya lalu diserahkan kepada pemerintah kabupaten. Namun
Kelompok masyarakat (Sri Rezeki) kecewa dengan pihak pemerintahan
seharusnya Pemda turun kedalam konflik ini untuk menyelesaikan masalah
bukan menambah masalah dengan ikut ingin mengelola. Selain konflik antara
Kelompok Sri Rezeki dan Dinas Pariwisata timbul lagi masalah baru yaitu dugaan
pungutan liar yang dilakukan oleh Kelompok Sri Rezeki, Kelompok Sri Rezeki
yang ingin juga ikut mengelola dan merasakan hasilnya, membuat gardu di dekat
pintu masuk parkiran untuk menarik iuran masuk padahal jika wisatawan
menggunakan perahu dengan mengeluarkan uang Rp. 15.000 sudah termasuk
tiket masuk Ekowisata Mangrove. Hal ini akhirnya membuat masalah meluas lagi
dan ikut melibatkan pihak kepolisian, yang sampai sekarang masih diusut
kasusnya. Setelah ditelusuri lahan yang ditanami tanaman bakau tersebut milik
Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak Yogyakarta.
1.4.3. Perebutan Hak Pengelolaan Berdasarkan Hasil Diskusi Dengan
Pihak-Pihak Yang Terlibat
Berikut ini adalah hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik:
Informan 1 menyatakan bahwa: ” individu intinya kan „aku‟ aku tau
ya? Saya. Saya harus tampil saya harus bisa, saya harus bisa
memiliki bisa andil dan macem-macem itu secara individu nah
secara lembaga memang ada antara lembaga yang mengklaim
dulu pernah menanam dengan lembaga yang baru ya kami dirikan
juga terlibat yang namanya Pansela itu lembaga. Jadi lembaga
awalnya lembaga itu eee lembaga bayaran kalo menanam bakau
mangrove itu ya kalo mau dibayar baru nanam tidak ada
perawatan nah kalo kami Pansela selama ini ndak, entah dapet
program atau tidak sudah menjadi konsep kami dalam Pansela
tetep menanam, dirawat, kalo yang lembaga pertama merasa dulu
pernah menanam tapi konflik ini timbul kan setelah mangrove yang
diciptakan ini menghasilkan rupiah, dia tidak belajar ee.. proses
menghasilkan itu kayak bagaimana mereka itu tidak tahu, malah
dulu rusak ditebangi, kayu-kayunya ditebangi, keempatnya tadi
49
bicara masalah birokrat pemerintah, pemerintahpun sama setelah
tau dikelola oleh dikembangkan oleh Kelompok Pansela,
pemerintah ingin ikut dengan berdalih lahan itu milik lahan timbul,
lahan yang dibuat oleh negara, ingin menguasai juga nah seperti
itu, terus juga dari pihak lain ada pemilik modal besar ingin andil
menguasai ingin membangun, nah ini multiconflict yang kami lihat,
nah dan itu versi pandangan saya.”
Dari hasil wawancara dengan pihak KPL Pansela, ada 4 aktor yang terlibat
dalam konflik yaitu individu, lembaga, birokrat, dan pihak lain. Kemudian
informan juga memberikan petunjuk aktor-aktor yang bisa peneliti temui seperti
beberapa masyarakat desa untuk menemukan fakta-fakta lainnya.
Informan 2 selaku masyarakatDesa Ayah menyatakan: “ awal
mula masalah? Dulunya mangrove ini dikelola oleh Pansela ya
kan terus setelah dikelola Pansela terus dibuka tracking maksud
tujuan dari dibuat tracking menurut Pansela adalah mangrove
education ternyata setelah ada mangrove education ternyata
pengunjungnya tidak hanya anak-anak sekolah saja ternyata ada
umum juga ya kan, karena ada umum disitu timbul cemburu,
timbullah konflik antara masyarakat bahwa pengertiannya
masyarakat itu dibuka pariwisata pengertiannya seperti itu tapi
pengertiannya Pansela kan mangrove education tapi pengertian
masyarakat dia itu naik perahu bayar otomatis ada dana
pemasukan cemburunya masyarakat karena ada uang sih, tapi
tujuan Pansela sebenarnya arahannya nanti melibatkan
masyarakat juga sebenarnya Pansela tersebut juga sudah
melibatkan masyarakat cuman belum seluruhnya baru sebagian.
Itu sepengertian saya, saya dilingkungan sini, saya sih gatau
bagaimana tapi pengelihatan saya begitu.”
Masyarakat Desa Ayah ini mengetahui tentang adanya konflik yang terjadi
tetapi dari sini peneliti menemukan informasi terbaru bahwa ternyata masyarakat
Desa Ayah yang berseteru tidak seluruhnya namun hanya beberapa orang saja
atau membentuk suatu kelompok. Peneliti pun terus mencari kebenaran tersebut.
Informan 3:“setelah peristiwa tsunami itu ada proyekan dari dinas
pada waktu itu dinas kehutanan dan perkebunan (dishutbun) itu
turun kesini membikin kelompok masyarakat namanya kelompok
Sri Rezeki kalo saya itu ya Kelompok Peduli Lingkungan lah KPL
lah mendapat bantuan mungkin dari sana ada kucuran dana dari
pemerintah untuk ee.. membeli bibit dan untuk menanami lagi
50
pada waktu itu tahun 2006 setelah itu selang perjalan waktu laa..
singkat cerita lah ya mba perkembangan zaman dan program
pemerintah otomatis lah seperti masyarakat dari berita ke berita
isitlahnya pemikirannya lebih luas, masyarakat lebih tau lebih jauh,
laa.. mempunyai inisiatif mau dikembangkan permasalahan hutan
bakau terus dengan mau dibikin wisata, wisata desa karena
sekarang dianjurkan pemerintah tapi kenapa seperti pemerintahan
daerah tidak mendukung tidak mendukung kemauan masyarakat
yang mempunyai inovasi inisiatif untuk membangun daerahnya
sendiri malah mau istilahnya meminta aset masyarakat padahal itu
asli asal muasal jerih payah masyarakat desa kenapa seperti
pemerintah daerah desanya sendiri, ya kebetulan saya mbak yang
didepan yang dituakan disitu saya sampe sudah meminta izin ke
dinas-dinas terkait karena wilayah itu yang mempunyai
kepemilikan tanah tersebut itu adalah tanah milik negara artinya
yang mempunyai kewenangan instansi PSDA (Pengelola Sumber
Daya Air) kalo dipusat itu DAS itu pengelolanya yang
berketempatan di Purwokerto terus pusatnya di Semarang, sudah
membuka pintu lebar-lebar untuk mendukung kegiatan masyarakat
dan juga dari Dinas Lingkungan Hidup kaitannya dengan
kelestarian hutan mangrove juga mendukung atas dasar inisiatif
masyarakat tapi kenapa seperti pemda kok ngotot.”
Peneliti menyimpulkan narasumber ke-3 merupakan salah satu masyarakat
desa yang paham dan terlibat langsung dalam konflik yang terjadi.
Informan 4 “jadi dulu kawasan mangrove itu kan dulunya belum
seperti marak saat ini dulu warga masyarakat biasalah saat itu
tanamannya apa bahasa jawanya bakau ya. Warga masyarakat
bakau itu kan biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah
tanggalah, kemudian sejak 2006 atau 2008 ada LSM KPL Pansela
bikin LSM mengajukan program ke pemerintah waktu itukan
perkebunan kewenangan masih dipegang kabupaten, Pansela
sudah memiliki SK bahwa LSM itu yang akan mengelola
konservasi mangrove di kawasan Pantai Ayah termasuk wilayah
BBWS Serayu Opak. Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak itu
kan disana ada sungai, Sungai Bodo DAS Ijo, punya kewenangan
menanam, memelihara kemudian juga memberdayakan
masyarakat sekitar untuk ikut terlibat dalam pengelolaan,
penanaman dan pemeliharaan mangrove karena konservasi,
puncaknya pada tahun 2016 hari raya, mereka (kelompok
masyarakat) berinisiatif mengelola mangrove jadi saya ga tau
tanpa sepengetahuan desa atau bagaimana tapi ada kelompok
masyarakat yang memanfaatkan mangrove itu dengan
kepentingan untuk wisata dalam arti wisatawan yang datang ke
wilayah mangrove itu untuk apa ya membayar sewa perahu untuk
berkeliling disana lah itu yang menjadi kecemburuan karena
51
keuntungannya katakanlah bisa sampai ratusan juta sepanjang
liburan itu ya tentunya pihak Pansela selaku lembaga yang
diberikan kewenangan untuk melakukan konservasi itu merasa
jadi rusak karena banyaknya pengunjung yang dateng kesitu
kemudian mungkin iseng megang-megang mangrovenya, buang
sampah disitu. Pihak desa merasa ada kelompok yang
memanfaatkan, Pansela juga merasa terusik tapi kelompok
masyarakat itu juga tidak mau divonis ada dampak kerusakan
lingkungan disisi lain warga masyarakat cemburu karena disitu
ada uangnya sehingga kepentingan-kepentingan skala desa itu
sudah tidak akur lagi.”
Informan 4 ini merupakan Camat Ayah sehingga peneliti anggap sebagai wakil
suara dari pihak pemerintahan.
Informan 5 yaitu Ketua Kelompok Nelayan Pantai Ayah.
Mengatakan bahwasanya. orang-orang itulah ada yang nganu yaa
yang biasa kalo udah diliat uang ya segi berbagai instansi-instansi
terkait rasanya ngikut memiliki. ya tingkatnya dari provinsi, daerah,
sampai desa jadi asal-usulnya mangrove ini di tanahnya siapa sih?
Yang masih jadi pertanyaan sekarang. Instansi-instansi terkait
hanya melihat dari duitnya tapi tidak melihat menanam di
perkebunan siapa sih? Tapi sudah ada titik terang selama 3 bulan
kesana. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa yang bisa
menjamin adalah PSDA itu lah yang punya tanah
Awalnya peneliti ingin mewawancara pihak nelayan karena Pantai Ayah
merupakan Pangkalan Pendaratan Ikan sehingga banyak nelayan yang bukan
asli Ayah yang mendaratkan hasil tangkapannya sehingga sulit untuk menemui
pihak nelayan yang asli Desa Ayah dan akhirnya peneliti mewawancarai Ketua
Kelompok Nelayan Pantai Ayah. Dari hasil wawancara dengan informan 5
peneliti menyimpulkan bahwa beliau tidak mempermasalahkan tentang lahan
parkir perahu-perahu nelayan serta wilayah penangkapan ikan yang dahulu
dipermasalahkan melainkan beliau juga ikut tergabung mendukung kelompok Sri
Rezeki untuk mengelola lahan tersebut. Berdasarkan wawancara dengan Ketua
Kelompok Nelayan penulis juga menemukan ketidakkonsistenan informan dalam
memberikan informasi berikut kutipannya:
52
“ya awal mulanya ya masyarakat sini nanem cuma berapa pohon
ada itungannya terus ada kegiatan nganu ya bantuan biaya
nanem tapi ya nanemnya itu ditanahnya dulunya itu pengairan
sekarang PSDA”
“nanami bakau-bakau udah bilang belum, nanem di tanah orang
seperti apalah, kamu punya tanah ditanemin pohon pisang sama
orang gimana rasanya? Ya seperti itu.”
“dulunya gatau itu kepunyaan masyarakat cuma taunya tanah itu
tanah timbul gatau orang yang hak itu PSDA, masyarakat nanem
ya masyarakat gatau taunya tanah pengairan aja.
Berikut ini adalah hasil wawancara dari pihak PSDA Serayu-Citanduy:
Informan 6 yaitu Kepala Seksi Pengendalian dan Pendayagunaan
PSDA Serayu-Citanduy,“Ini mangrove awalnya ditanami
masyarakat kemudian setelah tumbuh itu dipake wisata para
remaja, itu masuk kesana menemukan suasana yang lain lah,
utamanya yang dijadikan wisata adalah Pantai Logending yang
sudah dikelola pemerintah. Setelah itu pemerintah melalui
kehutanan melakukan program penanaman dengan
menggandeng LSM, nah LSM ini berusaha menguasai, akhirnya
berebut gitu kan.”
Informan tersebut sudah tidak netral dalam menanggapi konflik yang terjadi
cenderung berpihak kepada kelompok masyarakat desa, hal ini disebabkan
karena beliau tidak terlalu sering menghadiri rapat yang membahas tentang
konflik yang terjadi sehingga beliau hanya mendengarkan keluhan dari
masyarakat desa yang datang ke PSDA Serayu-Citanduy.
Kemudian peneliti berusaha menemui pihak Balai Besar Wilayah Sungai
Serayu Opak tetapi peneliti hanya bertemu dengan seorang sekretaris Kepala
Subbagian Barang Milik Negarabeliau mengatakan:
Informan 7“wah kalo ada konflik itu saya baru tau mbak coba nanti saya tanyakan sama orang yang ada di lapangan ya tetapi kalo liat wilayahnya sih iya itu memang wewenang BBWS.”
Dari Informan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa pihak BBWS masih netral dalam kasus ini dan belum ikut turun langsungdalam penyelesaian konflik ini.
53
1.5. Resolusi dan Pihak Terlibat di Dalamnya
1.5.1. Resolusi dari pihak KPL Pansela
Pihak KPL Pansela yang merasa kegiatan konservasinya terusik karena
konflik semakin meluas sementara dari berulang kali mediasi yang dilakukan
tidak juga menyelesaikan masalah, akhirnya membicarakan hal ini ke Dinas
Kehutanan dan Perkebunan yang selama ini juga turut membantu dalam hal
pengelolaan Ekowisata Mangrove Ayah karena pada awal kegiatan penanaman
mangrove pasca tsunami pihak KPL Pansela tidak mengetahui lahan yang
digunakan kewenangan dari BBWS Serayu Opak Yogyakarta. KPL Pansela
mengusulkan menutup sementara Ekowisata Mangrove Ayah kecuali untuk
kunjungan dinas, penelitian, dan konservasi. Melalui Dinas Kehutanan dan
Perkebunan mengeluarkan surat keputusan tanggal 30 Desember 2016 yang
berisikan
“Penutupan kawasan hutan mangrove dilaksanakan sementara. Selama periode penutupan akan dilaksanakan kegiatan pemulihan kawasan dan pengamanan hutan mangrove, untuk kegiatan pemulihan dan pengamanan hutan, Dishutbun menunjuk Kelompok Tani Hutan (KTH), Pansela sebagai kelompok binaan yang terdaftar di Dinas, selaku koordinator pelaksana. KTH dan Pansela diberi kewenangan untuk menggunakan fasilitas milik dinas berupa Pos Penyuluhan, Pos Pantau, dan Perahu pengaman”
Periode penutupan dilaksanakan tanggal 9 Januari—9Maret 2017 namun
dalam 2 bulan tersebut tidak juga mendapatkan status pengelolaan yang jelas,
Pemerintah Provinsi memperpanjang masa penutupan Ekowisata Mangrove
Ayah sampai waktu yang belum ditentukan. Penutupan yang dimaksud teruntuk
wisatawan umum yang berkunjung, tidak ada penarikan biaya tiket masuk karena
hal ini dianggap sebagai pungutan liar.
Berikut merupakan penuturan Camat Ayah:
“jika sesuai aturan kawasan wisata itu dikelola dengan cara menarik tiket berarti harus ada ketentuannya ada pihak pengelola ada izinnya atau tidak kemudian ada jaminan keselamatan, kenyamanan atau
54
tidak lah ini tidak sehingga pada waktu itu Polri melihat ini adalah illegal pungutan liar”
1.5.2. Peraturan di Kawasan Hutan Mangrove Desa Ayah
Kawasan Hutan Mangrove di Desa Ayah menggunakan Daerah Aliran
Sungai sehingga untuk pengelolaannya harus memperhatikan beberapa
peraturan yang berkaitan dengan cara memanfaatkan sempandan sungai untuk
beraktivitas supaya tidak mengganggu aliran sungai dan menimbulkan masalah
baru serta perlu diperhatikan cara perizinan untuk membangun suatu bangunan
disuatu lokasi berdasarkan peraturan daerah setempat. Berikut adalah
pemaparan dari beberapa peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan
mangrove di Desa Ayah.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.
28/PRT/M/2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan sempandan
danau pasal 22 dan pasal 24 berbunyi
Pasal 22
(1) Sempadan sungai hanya dapat dimanfaatkan secara terbatas untuk: a. Bangunan prasarana sumber daya air; b. fasilitas jembatan dan dermaga; c. jalur pipa gas dan air minum; d. rentangan kabel listrik dan telekomunikasi; e.kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai, antara lain kegiatan menanam tanaman sayur-mayur; dan f. bangunan ketenagalistrikan.
(2) Dalam hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul untuk kepentingan
pengendali banjir, perlindungan badan tanggul dilakukan dengan larangan:
a.menanam tanaman selain rumput; b.mendirikan bangunan; dan c. mengurangi
dimensi tanggul.
Pasal 24
(1) Pemanfaatan sempadan sungai dan sempadan danau sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 dan Pasal 23 dilakukan berdasarkan izin dari Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber
daya air.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan
mempertimbangkan rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air pada
wilayah sungai yang bersangkutan.
Mengacu PERMEN PUPR No. 28/PRT/M/2015 pemanfaatan sempandan
sungai harus melalui izin dari gubernur dalam hal ini sebagai wakil dari
55
pemerintah pusat dengan pertimbangan rekomendasi teknis dari pihak pengelola
sumber daya air yaitu Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak.
Izin yang dikeluarkan gubernur berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa
Tengah No. 18 Tahun 2013 Pasal 3, 4, 32 yang berbunyi:
Pasal 3
Ruang lingkup Peraturan Gubernur ini meliputi: a. Persiapan pengajuan penetapan lokasi; b. Tata cara penetapan lokasi; c. Pendelegasian persiapan pengadaan tanah; d. Biaya operasioal dan Biaya pendukung; dan e. Pengawasan, pelaporan dan evaluasi.
Pasal 4
Persiapan pengajuan penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi: a. Pembentukan Tim persiapan pengadaan tanah; b. Pemberitahuan rencana pembangunan; c. Pendataan; d. Konsultasi publik; e. Tim kajian keberatan.
Pasal 32
Tata cara penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b sebagai berikut: a) Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada Gubernur, dilengkapi dengan Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah; b) Tim persiapan melakukan 1. pemberitahuan rencana pembangunan kepada masyarakat pada lokasi; 2. Pendataan awal lokasi rencana pembangunan; 3. Konsultasi publik rencana pembangunan; 4. konsultasi publik ulang dalam hal terdapat keberatan; 5. Melaporkan kepada Gubernur perlunya dilakukan kajian terhadapkeberatan atas lokasi rencana pembangunan; c) Tim Kajian keberatan melakukan kajian keberatan atas lokasi rencana pembangunan, yang hasil kajiannya dituangkan dalam bentuk rekomendasi untuk diterima atau ditolaknya keberatan; d. Dalam hal Gubernur berdasarkan rekomendasi Tim Kajian Keberatan memutuskan menerima keberatan maka instansi yang memerlukan tanah membatalkan rencana pembanguan atau memindahkan lokasi pembangunan ke tempat lain; e. Gubernur menetapkan lokasi pembangunan berdasarkan kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dalam konsultasi publik oleh Tim Persiapan atau berdasarkan rekomendasi ditolaknya keberatan oleh Tim KajianKeberatan.
1.5.3. FGD (Focus Group Discussion) Antara Pihak Yang Terlibat Langsung
Maupun Tidak Langsung
Sampai saat ini mediasi yang dilakukan hanya melibatkan pihak pihak yang
terlibat langsung belum melibatkan pihak-pihak yang terlibat secara tidak
langsung. Kedepannya mediasi yang dilakukan perlu melibatkan pihak-pihak
yang terlibat secara tidak langsung seperti pemerintahan provinsi dan instansi-
instansi terkait juga perlu diadakan terlebih dahulu FGD (Focus Group
56
Discussion) antara pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung untuk
membahas tujuan pengembangan hutan mangrove yang berkelanjutan serta
tetap memperhatikan peraturan-peraturan yang berkaitan pembangunan di
wilayah sempandan sungai.
1.5.4. Model Penyelesaian Konflik Pengembangan Ekowisata di Desa Ayah
Model penyelesaian konflik dalam pengembangan ekowisata di Desa Ayah
yang dihasilkan dari penelitian ini adalah seperti yang tertera pada Gambar 17
57
Gambar 9. Model Penyelesaian Konflik
Hutan Mangrove
Mitigasi Bencana
Tsunami
Ekowisata
Pihak yang Terlibat
Langsung:
1. KPL Pansela 2. Kelompok
Masyarakat 3. Dinas Pariwisata Pihak yang Terlibat
Tidak Langsung:
1. Instansi Pengairan
2. Pemerintah
Provinsi
3. Dinas Kehutanan
dan Perkebunan
Status Lahan
dan Status
Pengelolaan
Proses Penyelesaian
1. FGD dengan mengkaji
semua peraturan dan
perundangan yang mecakup
pengelolaan kawasan hutan
mangrove
2. Mediasi
3. Hasil mediasi, calon
pengelola membuat
rekomtek untuk kawasan
tersebut
Terwujudnya Pengembangan Ekoswisata Mangrove
Ayah
Instansi Pengairan
mengkaji rekomendasi
teknis yang diajukan oleh
calon pengelola
Pemerintah Provinsi
melalui Gubenur
mengeluarkan surat
keputusan untuk
pengelola
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Hasil uraian konflik pengembangan Ekowisata Mangrove Ayah maka dapat
diambil kesimpulan dalam penelitian ini adalah wilayah mangrove yang
tujuan awalnya untuk pemulihan ekosistem dan sebagai wilayah mitigasi
bencana tsunami berubah fungsi menjadi ekowisata. Akan tetapi sasaran
pengunjung hutan mangrove meleset dari perkiraan, wisatawan yang
berkunjung memanfaatkan hutan mangrove sebagai objek pariwisata untuk
berlibur bukan sebagai wisata edukasi yang akhirnya merusak ekosistem
yang berada di hutan mangrove tersebut. Perubahan fungsi hutan mangrove
yang dapat menghasilkan keuntungan dalam bentuk materi membuat
banyak pihak yang tadinya tidak sadar dalam pengelolaan hutan merasa
ingin terlibat atau ikut dalam pengelolaan hutan. Sementara pihak-pihak
yang terlibat dalam perebutan hak pengelolaan ini tidak tahu dengan status
kejelasan lahan tersebut sehingga pihak-pihak terkait tidak ada yang mau
mengalah.
2. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik yaitu;
a. Status lahan,
b. Status pengelolaan,
c. Perbedaan kepentingan,
d. Perbedaan pemahaman.
3. Penyelesaian konflik sementara dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan
adalah menutup sementara Ekowisata Mangrove Ayah untuk umum mulai
tanggal 9 Januari—9Maret 2017 dan diperpanjang oleh Pemerintah Provinsi
sampai hak pengelolaan sudah jelas.
60
6.2 Saran
Saran yang disampaikan terdiri dari dua yaitu implikasi yang berkaitan
dengan akademis dan implikasi praktis:
1. Proposisi yang didapat pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Jika didalam pengembangan ekowisata menghasilkan nilai ekonomi, maka
dapat timbul konflik.
b. Konflik dalam pengembangan ekowisata terjadi karena ketidakjelasan status
lahan, status pengelolaan, perbedaan kepentingan dan perbedaan pemahaman
Proposisi ini memberikan arti bahwa individu ataupun kelompok berusaha
memperebutkan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu untuk
mengatasi konflik yang terjadi perlu diadakan Focus Group Discussionantara
pihak-pihak yang terlibat seperti KPL Pansela, Kelompok Masyarakat Desa (Sri
Rezeki), Pemerintah Daerah dan pihak yang berwenang yaitu instansi-instansi
pengairan.
2. Saran yang bisa diberikan kepada para pihak yang terlibat konflik sebagai
berikut:
a) KPL Pansela
Sebaiknya KPL Pansela tetap berjalan pada kegiatan konservasi yang
memang tujuan awal mereka karena fungsi Lembaga Swadaya Masyarakat
memang bertujuan untuk membantu masyarakat tanpa memperoleh
keuntungan.
b) Kelompok Masyarakat (Sri Rezeki)
Masyarakat harus lebih sadar terhadap aset desa yang mereka miliki dan
juga harus memiliki rasa untuk menjaga serta merawat aset-aset tersebut
jangan sampai ada pihak-pihak dari luar desa yang mengelola dan merawat,
61
setelah hasilnya baik lalu ingin merebut kembali dengan mengclaim bahwa
aset tersebut milik desa.
c) Pemerintah
Pemerintah lebih memperhatikan aset-aset daerah yang mereka miliki,
jangan tunggu pihak lain yang membuka jalan untuk memberikan pemasukan
untuk daerah dan pemerintah pusat harus lebih tanggap tentang
permasalahan yang berada di daerah mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Ed Revisi. Jakarta : Rineka Cipta.
Dahuri, M. 1996.Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Dongoran, R.A. 2010. Partisipasi Masyarakat Kabupaten Simeulue dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami.Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Herdiansyah, H. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
Kadir, A. 2013. Konflik pada Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan dan Upaya Penyelesaiannya. Makassar : Balai Penelitian Kehutanan.
Kurniawan, D. 2014. Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Antar Warga di Kecamatan Way
Panji Kabupaten Lampung Selatan. Lampung : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Negeri Lampung.
Kusuma, N. 2013. Studi Lapis Lindung Pemecah Gelombang Hexapod, Tetrapod, dan Kubus Modifikasi. Yogyakarta : Fakultas Teknik. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Maulidharta, S. 2016. Konflik Pengembangan Ekowisata di Pantai Batu Bengkung, Desa Gajahrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Malang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya Malang.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 18 tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Persiapan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 33 tahun 2009 tentang
Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan
Danau.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan, Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Purwanti, P. E.Susilo, dan Erlinda. 2017. Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan. Malang: UB Press.
Qomariah. L. 2009. Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat Di Taman Nasional Meru Betiri ( Studi Kasus Blok Rajegwesi Sptn I Sarongan ). Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Sahlan. 2015. Konflik Antara Masyarakat dengan Pemerintah (Studi Kasus Pada Eksplorasi Tambang di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat). Makassar : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin.
Siswanto, Y.2014. Antara Merusak Dan Memanfaatkan Hutan Mangrove Pada Masyarakat
Pesisir (Studi Etnosains pada Hutan “Bakau” di Masyarakat Pesisir Desa Pematang Pasir, Lampung). Lampung: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: CV. Alfabeta. 2014.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Usman, M. 1999. Peluang Pengembangan Ekoturisme Indonesia sebagai Andalan Alternatif Kepariwisataan Nasional. Bogor: Departemen Kehutanan.
Winardi, J. 2007. Manajemen Konflik, (Konflik Perubahan Dan Pengembangan). Bandung: Mandar Maju
Wirawan. 2010. Konflik Dan Manajemen Konflik; Teori, Aplikasi Dan Penelitian. Jakarta : Salemba Humanika