KONFLIK SOSIAL

Embed Size (px)

Citation preview

KONFLIK SOSIAL

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Contoh Konflik Sosial:

1. Konflik Ambon Seperti Api dalam Sekam Kota Ambon pecah lagi. Ibukota Maluku, Ambon, kembali dilanda bentrokan antar dua kelompok warga. Peristiwa itu terjadi, pada Kamis (20/10/2011) pagi, sekira pukul 04.00 WIT melibatkan warga dari Pohon Pule dan Jalan Baru, Kota Ambon.

Konflik Ambon

Berdasarkan penyelidikan polisi, bentrokan yang terjadi di Ambon, Maluku, disebabkan provokasi yang dilakukan dua orang. Persoalan itu tentu mengingatkan masyarakat akan peristiwa lama, pada tahun 1999 hingga 2002 yang menewaskan ribuan orang. Ambon tahun-tahun belakangan boleh dikatakan tenang. Kini, kota tenang nan damai itu, mulai digerogoti lagi dengan isu-isu perpecahan. Pemerhati konflik sosial dan budaya Universitas Indonesia, Donny Gahral Adian mengatakan, kerusuhan Ambon yang baru terjadi, dimungkinkan masalah lama yang kerap dimunculkan ke permukaan. Konflik ini, lanjut Donny ibarat api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa membakar kembali. Semua itu harus segera digarisbawahi, tidak bisa terus menerus dibiarkan konflik-konflik yang kecil-kecil ini bisa besar, lantaran permainan elit politik yang didiamkan aparat Tidak hanya itu, pemerintah harus sadar, konflik internal yang kerap terjadi erat juga kaitannya dengan kesenjangan ekonomi, sosial yang kemudian memicu perbedaan kultural dan pecah konflik agama.

2. Konflik Poso Kerusuhan Poso muncul sejak 1998. Perang SARA telah menewaskan ratusan orang dan menyebabkan lebih 5.000 rumah hangus. Pada 2002 dan 2003 saja telah terjadi beberapa kali penyerangan. Kronologi konflik Poso: 1 Januari 2002 Gereja Advent di Kota Palu dibom. Pelakunya adalah salah satu tokoh yang menandatangani Deklarasi Malino.

23 Maret 2002 Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Poso di Jalan Pulau Kalimantan dibom. Ruang kantor itu hancur berantakan, namun tak ada korban jiwa dalam ledakan ini.

4 April 2002 Dua buah bom rakitan meledak di kantor Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Desa Rdatulene, Kecamatan Poso Pesisir, Poso, Sulawesi Tengah. Tak ada korban jiwa karena kantor dalam keadaan kosong.

28 Mei 2002 Bom meledak di tiga lokasi di kota Poso.

5 Juni 2002 Bom meledak di dalam bus PO Antariksaa jurusan Palu - Tentena di sekitar Desa Toini Kecamatan Poso Pesisir. Empat penumpang tewas dan 16 lainnya lukaluka. 9 Oktober 2003 Terjadi penyerangan di Desa Beteleme, tetangga Desa Bintagor dan Desa Pawaru di Kecamatan Lembo, Kamis (9/10) tengah malam. Penyerangan itu mengakibatkan tiga warga sipil tewas, dua luka berat, serta 35 rumah musnah terbakar. 18 Oktober 2003 Lima belas perusuh (empat di antaranya ditembak mati) tertangkap dalam penyisiran lanjutan yang dilakukan aparat di hutan Desa Pawaru, Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Kelompok perusuh ini diduga kuat pelaku penyerangan di Desa Beteleme. 16 November 2003 Sedikitnya 1.000 orang mengepung Mapolres Poso menyusul penembakan dan penangkapan empat warga Desa Tabalo Kecamatan Poso Pesisir. Mereka menuntut pembebasan Irwan, Darwis, dan Sukri, serta penegakan hukum atas tewasnya Amisuddin. Keempat warga Desa Tabalo oleh polisi diduga terlibat kasus penyerangan bersenjata di wilayah Poso Pesisir pada 12 Oktober 2003

Konflik Poso

3. Konflik Tanjung Priuk

Konflik Tanjung Priuk

Pada tahun 1984 silam Tanjung Priok menjadi ajang pembantaian aparat terhadap umat Islam, hingga seorang pemadam kebakaran harus membersihkan darah umat Islam yang tingginya hampir se-mata kaki (sabili). Lagi-lagi umat Islam di dzalimi oleh bobroknya system negeri ini, lagi-lagi umat Islam lah yang notabene penduduk mayoritas negeri ini harus menjadi korban. Bukan hanya di Tj Priok tetapi pembantaian seperti itu terjadi di darah-daerah lain seperti Lampung, Ambon, Poso dll. 14 April 2010 umat Islam harus menelan kejamnya system ini. Ribuan warga kembali bentrok dengan aparat yang memakan 2 korban tewas dan ratusan luka-luka. Penyebabnya hampir sama dengan tragedy Tj. Priok pertama pada tahun 1984, yaitu pelecehan agama oleh aparat. Kalau Tj Priok I disebabkan oleh seorang aparat yang masuk ke mesjid tanpa membuka alas kaki, kalau Tj. Priok II aparat atas izin pemerintah membongkar makam leluhur salah satu penyebar agama Islam di Jakarta yaitu makam Mbah Priok atau Habib Hassan Bin Muhammad Al Hadad untuk dijadikan taman. Tanah makam Mbah Priok itu menjadi sengketa antara pihak ahli waris dengan PT. Pelindo. Pihak ahli waris memberikan bukti sertifikat kepemilikan tanah tersebut, namun hakim berbicara lain. Di persidangan pihak ahli waris dinyatakan kalah, dan diketuklah palu bahwa tanah itu milik Pt. Pelindo. PT. Pelindo mengirim pasukan POL-PP ke lokasi untuk melakukan penggusuran atas areal makam tersebut. Dan pada saat itu pula warga tersulut amarahnya atas kehadiran aparat POL-PP puluhan truk dan alat-alat berat di lokasi makam yang mereka keramatkan tersebut. Warga menolak keputusan pengadilan yang memenangkan PT. Pelindo atas kepemilikan areal tersebut. Situasi makin memanas ketika Ulama yang berada di lokasi menawarkan perundingan kembali dengan POL-PP, namun salah satu petinggi POL-PP menolak hal itu dan berbicara dengan nada menantang. Tidak mau, kami mau perang . Perkataan itu di

perkuat oleh Habib Rizieq Sihab Ketua FPI pusat dalam sebuah acara berita petang di Tv One. Beliau juga mengatakan akan memberi identitas oknum POL-PP tersebut jika dibutuhkan.

4. Konflik Mesuji Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji dinilai melupakan akar masalah. Pemerintah diharapkan proaktif mengambil langkah-langkah penyelesaian agar persoalan tidak terulang di masa depan. Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, tim hanya fokus pada kekerasan. Padahal, kekerasan hanya dampak dari kasus. Akar kasus itu adalah konflik agraria, perebutan lahan antara warga dan

perusahaan perkebunan besar, ujarnya kepada Kompas, Selasa (3/1/2012). Jika pemerintah serius, penyelesaian harus dimulai dari akar masalah, yakni persoalan agraria. Salah satu penyelesaian untuk agraria adalah dengan mencabut HGU perkebunan sawit PT SWA dan PT BSMI, plus SK HTI Silva Inhutani, ujarnya. Selanjutnya, dibutuhkan proses rekonstruksi di lokasi tersebut dengan membangun kebun dan hutan. Pembangunan itu harus memperkuat hak-hak rakyat di bidang pertanahan dan tata cara produksi yang adil dan menjadi model ke depan di berbagai wilayah. Iwan juga mengatakan, penyelesaian komprehensif dapat dilakukan dengan mengesahkan rancangan peraturan pemerintah reforma agraria. Tanpa peraturan itu, konflik agraria dikhawatirkan akan terus terjadi.

Konflik Mesuji