112
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini disajikan kajian teori dan kajian empirik yang relevan dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka ini digunakan sebagai landasan dalam menyusun suatu hipotesa. Selanjutnya penelitian ini dirancang untuk menguji secara empiris pengaruh variabel-variabel yang terdiri dari gaya kepemimpinan yang merupakan variabel eksogen yang berpengaruh terhadap variabel self- efficacy, kelelahan emosional, dan komitmen organisasi dan komitmen organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan penyimpangan organisasi sebagai variabel endogen. Teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Tinjauan Teoritis 1. Akuntansi Keperilakuan Akuntansi, biasanya hanya terpusat pada pelaporan informasi keuangan. Pada beberapa dekade terekhir para manajer dan akuntan professional mulai mengetahui 21

Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

  • Upload
    aditiyo

  • View
    783

  • Download
    62

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini disajikan kajian teori dan kajian empirik yang relevan

dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka ini digunakan sebagai landasan

dalam menyusun suatu hipotesa. Selanjutnya penelitian ini dirancang untuk

menguji secara empiris pengaruh variabel-variabel yang terdiri dari gaya

kepemimpinan yang merupakan variabel eksogen yang berpengaruh

terhadap variabel self-efficacy, kelelahan emosional, dan komitmen

organisasi dan komitmen organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja

dan penyimpangan organisasi sebagai variabel endogen. Teori yang

mendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

A. Tinjauan Teoritis

1. Akuntansi Keperilakuan

Akuntansi, biasanya hanya terpusat pada pelaporan informasi

keuangan. Pada beberapa dekade terekhir para manajer dan akuntan

professional mulai mengetahui kebutuhan akan tambahan informasi

ekonomi yang dihasilkan oleh sistem akuntansi. Oleh karena itu informasi

ekonomi dapat ditambahkan dengan tidak hanya melaporkan data-data

keuangan saja, tetapi juga data-data non keuangan yang terkait dengan

proses pengambilan keputusan. Berdasarkan kondisi ini adalah wajar jika

akuntansi sebaiknya memasukkan dimensi-dimensi keperilakuan dari

berbagai pihak yang terkait dengan informasi yang dihasilkan oleh sistem

akuntansi.

21

Page 2: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Akuntansi keperilakuan berada di balik peran akuntansi tradisional

yang berarti mengumpulkan, mengukur, mencatat dan melaporkan

informasi keuangan. Dengan demikian, dimensi akuntansi berkaitan

dengan perilaku manusia dan juga dengan desain, konstruksi, serta

penggunaan suatu sistem informasi akuntansi yang efisien. Akuntansi

keperilakuan, dengan mempertimbangkan hubungan antara perilaku

manusia dan sistem akuntansi, mencerminkan dimensi sosial dan budaya

manusia dalam suatu organisasi.

Ruang lingkup akuntansi keperilakuan cukup luas, antara lain

berupa aplikasi dari konsep ilmu keperilakuan terhadap desain dan

konstruksi sistem akuntansi, studi reaksi manusia terhadap format dan isi

laporan akuntansi, bagaimana cara informasi diproses untuk membantu

dalam pengambilan keputusan, pengembangan teknik pelaporan yang

dapat mengkomunikasikan perilaku para pemakai data dan

pengembangan strategi untuk memotivasi dan mempengaruhi perilaku,

cita-cita, serta tujuan dari orang-orang yang menjalankan organisasi.

Lingkup dari akuntansi keperilakuan dapat dikategorikan kedalam,

pengaruh perilaku manusia berdasarkan desain, konstruksi dan

penggunaan sistem akuntansi. Bidang dari akuntansi keperilakuan ini

mempunyai kaitan dengan sikap dan filosofi manajemen yang

mempengaruhi sifat dasar pengendalian akuntansi yang berfungsi dalam

organisasi. Pengaruh sistem akuntansi terhadap perilaku manusia, lingkup

ini berkenaan dengan bagaimana sistem akuntansi mempengaruhi

22

Page 3: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

motivasi, produktivitas, pengambilan keputusan, kepuasan kerja serta

kerjasama. Metode untuk memprediksi dan strategi untuk mengubah

perilaku manusia, lingkup dari akuntansi keperilakuan ini mempunyai

hubungan dengan cara sistem akuntansi digunakan sehingga

mempengaruhi perilaku (Arfan Ikhsan Lubis ; 2010) .

Pengambilan keputusan dengan menggunakan laporan akuntansi

akan dapat menjadi lebih baik jika laporan tersebut banyak mengandung

informasi yang relevan. Akuntan mengakui adanya fakta ini melalui prinsip

akuntansi yang dikenal dengan pengungkapan penuh (full disclosure).

Prinsip ini memerlukan penjelasan yang tidak hanya berfungsi sebagai

pengganti dan penambah informasi guna mendukung laporan data

keuangan perusahaan, tetapi juga sebagai laporan yang menjelaskan

kritik terhadap kejadian-kejadian non keuangan. Informasi tambahan ini

dilaporkan baik dalam satu kerangka laporan keuangan maupun dalam

catatan atas laporan keuangan perusahaan.

Gambaran ekonomi suatu perusahaan secara logis memerlukan

aplikasi dari prinsip pengungkapan penuh. Untuk itu, diperlukan suatu

masukan informasi keperilakuan guna melengkapi data keuangan dan

data lain yang segera dilaporkan. Sukar untuk dipahami jika dikatakan

bahwa pengambilan keputusan tidak tertarik terhadap informasi tambahan

yang relevan karena menganggap bahwa informasi tersebut tidak memiliki

nilai tambah. Tekanan-tekanan atas bisnis juga memberikan informasi

mengenai implikasi dari gejala keperilakuan ini terhadap keberhasilan

23

Page 4: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

perusahaan di masa depan. Tekanan yang bersumber dari laporan

keuangan perusahaan juga didasarkan pada implikasi dari fenomena

keperilakuan bagi keberhasilan organisasi di masa depan.

Beberapa ahli membantah pernyataan bahwa informasi pada

dimensi perilaku organisasi adalah tidak berguna bagi pengambil

keputusan internal dan eksternal. Kekuatan para akuntan telah diakui

bahwa mereka memiliki pengalaman selama berabad-abad, di mana

mereka telah menjadi terbiasa dengan kebutuhan informasi dari pemakai

eksternal dan para manajer internal, proses keputusan bisnis yang dibuat,

dan berbagai data keuangan yang dilaporkan yang terkait dengan

berbagai jenis situasi keputusan. Oleh karena itu, para akuntan yang

berkualitas akan memilih gejala keperilakuan untuk melakukan

penyelidikan, karena mereka mengetahui bahwa data keperilakuan sangat

berarti untuk melengkapi data keuangan. Lebih lanjut lagi, para akuntan

menjadi satu-satunya kelompok yang secara logis mampu mengikut

sertakan informasi keperilakuan ke dalam laporan keuangan bisnis yang

ada.

2. Teori Motivasi

Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang

untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan, atau dapat dikatakan

sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan

menghindari kegagalan hidup. Dengan kata lain motivasi adalah sebuah

proses untuk tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai

24

Page 5: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh

kesuksesan dalam kehidupan.

Teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli yang dimaksudkan

untuk memberikan uraian yang menuju pada apa sebenarnya manusia

dan manusia akan dapat menjadi seperti apa. Landy dan Becker (1987)

mengelompokan pendekatan teori motivasi ini menjadi 5 kategori yaitu

teori kebutuhan, teori penguatan, teori keadilan, teori harapan, teori

penetapan sasaran.

2.1 Teori kebutuhan

Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow (1943

– 1970) pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai

lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal

(physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2)

kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan

tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih

sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang

pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5)

aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi

seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya

sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.

2.2 Teori Penguatan

Menurut Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong

seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari

25

Page 6: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktor higiene (faktor ekstrinsik)

dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi

seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah

hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya

(faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang

untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah

achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dsb (faktor

intrinsik).

2.3 Teori Keadilan

Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan manusia yaitu

teori X (negative) dan teori Y (positif), Menurut teori X empat pengandaian

yang dipegang manajer, yaitu :

a. karyawan secara inheren tertanam dalam dirinya tidak menyukai

kerja

b. karyawan tidak menyukai kerja mereka harus diawasi atau

diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.

c. Karyawan akan menghindari tanggung jawab.

d. Kebanyakan karyawan menaruh keamanan di atas semua faktor

yang dikaitkan dengan kerja.

Kontras dengan pandangan negatif ini mengenai kodrat manusia ada

empat menurut teori Y :

a. karyawan dapat memandang kerjasama dengan sewajarnya seperti

istirahat dan bermain.

26

Page 7: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

b. Orang akan menjalankan pengarahan diri dan pengawasan diri jika

mereka komit pada sasaran.

c. Rata rata orang akan menerima tanggung jawab.

d. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif.

2.4 Teori Harapan

Teori dari Vroom (1964) tentang cognitive theory of motivation

menjelaskan mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang di

yakini tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat

dapat di inginkan. Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang

ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: Ekspektasi (harapan) keberhasilan

pada suatu tugas, Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan

terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas

untuk mendapatkan outcome tertentu), dan Valensi, yaitu respon

terhadap outcome seperti perasaan positif, netral, atau negatif. Motivasi

tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi harapan dan

motivasi rendah jika usahanya menghasilkan kurang dari yang

diharapkan.

2.5 Teori Penetapan Sasaran

Teori ini dikemukakan oleh Mc Clelland (1961), menyatakan bahwa

ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu : Need for

achievement (kebutuhan akan prestasi), Need for afiliation (kebutuhan

akan hubungan sosial/hampir sama dengan social need-nya Maslow) dan

Need for Power (dorongan untuk mengatur). Kelima teori motivasi tersebut

27

Page 8: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

memiliki keterkaitan dengan teori gaya kepemimpinan jalur tujuan (path-

goal theory), teori-teori tersebut menekankan pada bagaimana gaya

kepemimpinan mempengaruhi ekspektasi karyawannya, meningkatkan

kinerjanya. Dengan perkataan lain bahwa persepsi ekspektasi (harapan)

karyawan sebagai sumber motivasi dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan

manajer dalam rangka meningkatkan kinerja karyawan.

3. Kepemimpinan

Masalah kepemimpinan sama tuanya dengan sejarah manusia.

kepemimpinan adalah merupakan persoalan yang penting bagi umat

manusia. Kelangsungan hidup atau tenggelamnya suatu bangsa atau

negara dalam sejarah itu ternyata amat dipengaruhi oleh para pemimpin–

pemimpinnya, yaitu pemimpin negara, pemimpin agama dan pemimpin–

pemimpin lainnya dalam masyarakat.

Kepemimpinan adalah kemampuan memperoleh konsensus dan

keikatan pada sasaran bersama, melalui syarat–syarat organisasi yang

dicapai dengan sumbangan pengalaman dan kepuasan dipihak kelompok

kerja. Kepemimpinan juga dapat dibatasi sebagai suatu proses

mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan

dalam situasi tertentu.

Bagi orang awam kepemimpinan berarti suatu hubungan antara

seorang yang disebut atasan dan para bawahannya. Kepemimpinan

merupakan salah satu kemampuan untuk mendorong (motivating) dan

menggerakkan (actuating) orang lain. Berpedoman pada pengertian

28

Page 9: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

tersebut maka kepemimpinan mengacu pada pemberian penekanan

kepada kepribadian, kemampuan dan kesanggupan pemimpin, pemberian

penekanan pada kegiatan, kedudukan dan perilaku pemimpin dan

pemberian penekanan pada proses interaksi antara pemimpin, bawahan

dalam situasi tertentu. Pengertian ini memberikan gambaran bahwa

proses kepemimpinan adalah fungsi dari pemimpin, pengikut dan situasi.

Kepemimpinan adalah esensi dari manajemen dengan alasan

bahwa manajemen terutama berhubungan dengan manusia (getting the

work done through others), kepemimpinan adalah kemampuan untuk

mempengaruhi, menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan orang

lain. Kepemimpinan adalah pola–pola perilaku yang konsisten yang

mereka terapkan dalam bekerja dengan dan melalui orang lain seperti

yang dipersepsikan oleh orang– orang itu. Sedangkan konsep efektivitas

dapat dipilah dalam 3 pandangan, yaitu : efektivitas individual, kelompok

dan organisasional.

3.1 Beberapa Teori Kepemimpinan

Kepemimpinan sebagai titik proses yang terjadi dalam suatu

kelompok (Leadership of fokus of group processes). Kepemimpinan

merupakan titik pusat dari suatu perubahan, kegiatan dan proses yang

terjadi dalam kelompok. Cooley (1930) menyatakan bahwa pemimpin itu

selalu merupakan titik pusat dari suatu kecenderungan, dan sebaliknya,

semua gerakan sosial, kalau diamat–amati secara cermat, akan

29

Page 10: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

ditemukan didalamnya kecenderungan–kecenderungan yang mempunyai

titik– titik pusat.

Stogdill (1974) menyatakan bahwa kepemimpinan manajerial

sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan

dengan tugas dari anggota kelompok yang terorganisir dalam usaha

menetapkan tujuan dan pencapaian tujuan tersebut. Ada empat implikasi

dari pengertian tersebut, yaitu: 1). Kepemimpinan melibatkan orang lain

(karyawan atau Pengikut), dengan kemauan mereka menerima

pengarahan dari pimpinan, membuat proses kepemimpinan menjadi

mungkin tanpa orang yang dipimpin. 2). Kepemimpinan melibatkan

distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pemimpin dengan anggota

kelompok. Anggota kelompok bukannya tanpa kekuasaan, mereka dapat

membentuk aktivitas kelompok dengan berbagai cara. Sekalipun demikian

pemimpin biasanya mempunyai kekuasaan yang lebih besar. 3).

Kepemimpinan adalah kemampuan menggunakan berbagai bentuk

kekuasaan untuk mempengaruhi tingka laku pengikut dengan berbagai

cara. 4). Kepemimpinan menggabungkan tiga aspek pertama dan

mengakui bahwa kepemimpinan adalah menyangkut masalah nilai.

3.2 Profil Perilaku Pemimpin Menurut Yukl (1981)

Yukl (1981) telah mengembangkan profil perilaku dan katagori

perilakunya, dengan maksud untuk menyajikan katagori perilaku

pemimpin yang dapat terukur dan penuh arti dan dapat membantu

pemimpin untuk mengetahui aspek-aspek kepemimpinan yang harus

30

Page 11: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

dimiliki dan perlu dikembangkan. Katagori tersebut berupa perhatian

terhadap prestasi, tenggang rasa, jiwa inspirasi, penghargaan berupa

pengakuan, merancang kemungkinan pemberian penghargaan, partisipasi

dalam pengambilan keputusan, pendelegasian otonomi, penjelasan

peranan, pentingnya penetapan tujuan, pemberian pelatihan, penyebaran

informasi, pemecahan masalah, perencanaan dan pengkoordianasian,

fasilitas kerja dan interaksi serta pengelolaan konflik dan kedisiplinan.

3.3 Teori Perilaku (Behavioral Theory)

Pendekatan dengan model perilaku membahas suatu cara untuk

mengindentifikasi pemimpin yang efektif melalui profil perilaku pemimpin,

antara lain model perilaku yang disebut : 1). Teori X dan Teori Y oleh

McGregor, 2). Teori Z. William Ouchi, 3). Teori Model Geradi manajerial

(managerial grid) oleh Blake dan Mouton. Berikut penjelasannya.

3.3.1 Teori X dan Teori Y (McGregor)

Teori X mengatakan pemimpin percaya bawahannya termotivasi

semata-mata karena uang, tidak mau bekerja sama, dan mempunyai

kebiasaan bekerja yang buruk, sehingga pemimpin harus menggunakan

gaya kepemimpinan yang memberi pengarahan. Sebaliknya teori Y

mengatakan bahwa pemimpin percaya bawahannya tidak sekedar

termotivasi oleh uang, mau bekerja sama dan sebagai pekerja yang baik,

oleh karenanya dalam kondisi seperti itu, pemimpin akan menggunakan

gaya kepemimpinan komunikasi yang baik dengan bawahan dalam

pengambilan keputusan

31

Page 12: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

3.3.2 Teori Z William Ouchi (dalam Sujak, 1990).

Teori Z ini dikembangkan pada tahun 1979 di Jepang oleh William

Ouchi, teori Z tentang perilaku pemimpin membahas tentang

(Graham,1985) adanya komitmen terhadap pegawai seumur hidup

(comitment to lifetime employment). Misalnya ketika organisasi

mempekerjakan karyawannya, maka organisasi tersebut harus

bertanggung jawab dan berjanji untuk mempekerjakan sampai karyawan

tersebut pensiun. Penilaian dan promosi yang lambat (slow evaluation and

promotion), penilaian terhadap karyawan dilakukan setelah dalam periode

waktu yang relatif lama, demikian juga promosi dilaksanakan secara

lambat. Pengambilan keputusan atas dasar konsensus (consensus

decision making), manajer selalu mendorong suasana timbulnya berbagai

masukan dari pihak yang akan dikenai oleh keputusan yang akan diambil,

disamping itu keputusan yang ada diusahakan secara konsensus dan

didukung oleh semua pihak. Tanggung jawab secara kolektif (collektive

responsibility), ini berarti tanggung jawab atas kesuksesan dan kegagalan

organisasi menjadi tanggung jawab bersama dan dibebankan kepada

kelompok sepenuhnya. Produktivitas yang berlebihan bukan merupakan

tanggung jawab perseorangan, melainkan tanggung jawab kelompok dan

atas nama kelompok. Kontrol secara implisit dan bersifat informal

(informal, implisitt control), secara formal, pegawai yang lebih muda tidak

diharapkan untuk menyetujui/melawan manajer-manajer senior.

32

Page 13: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Manajer seringkali membawa pegawai-pegawainya kedalam

berbagai situasi sosial secara kekeluargaan, sehingga dalam kondisi

seperti itu manajer akan dapat mengetahui berbagai keresahaan yang

dihadapai pegawainya, pada saat itu pula manajer dapat mengadakan

kontrol secara informal. Perhatian sepenuhnya kepada pegawai (whollstic

concernfor employees), organisasi berperan penuh dalam mempengaruhi

hampir semua aspek kehidupan para pegawainya, organisasi

mensponsori berbagai aktivitas sosial yang dilakukan oleh kelompok-

kelompok dalam organisasinya seringkali memberi subsidi terhadap upaya

pemilikan perumahan dan transportasi pegawai.

3.3.3 Teori Geradi Manajerial (Managerial Grid)

Model Geradi Manajerial yang dikemukakan oleh Blake dan

Mouton (1969) mengidentifikasikan variasi gaya kombinasi antara

orientasi hasil dengan orientasi pada orang yang menghasilkan lima

macam gaya kepemimpinan, meliputi: 1). Gaya yang kurang efektif yang

ditandai dengan rendahnya hubungan dengan orang dan hasil, 2). Gaya

moderat yang ditandai dengan memperhatikan keseimbangan terhadap

orientasi hubungan dengan orang dan hasil kerja pada tingkat yang cukup

memuaskan, 3). Gaya yang menekankan kepuasan pegawai dengan

mengorbankan penyelesaian tugas, 4). Gaya yang menekankan hasil

kerja dengan mengorbankan orientasi pada hubungan orang, dan 5).

Gaya berorientasi tinggi terhadap pencapaian hasil kerja dan gaya yang

tinggi terhadap hubungan sesama orang.

33

Page 14: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

3.4 Gaya Kepemimpinan

Kepemimpinan manajer berkaitan dengan kemampuan manajer

untuk mempengaruhi dan menggerakkan tindakan seseorang atau

sekelompok orang pada sebuah organisasi dalam upaya pendayagunaan

sumber daya manusia, sumber daya materil, teknologi, dan sumber daya

keuangan dalam rangka tercapainya tujuan organisasi secara efektif

(Sujak, 1990).

Likert (1961) New patten of Management menekankan konsep

gaya kepemimpinan exploitive-authoritative yaitu manajer yang sangat

otokratis, hanya mempunyai sedikit kepercayaan terhadap bawahannya,

suka mengesploitasi bawahan, dan bersikap paternalistik. Cara pemimpin

seperti ini dalam memotivasi bawahannya dengan memberi ketakutan dan

hukuman-hukuman, diselang selingi pemberian penghargaan yang secara

kebetulan (Occasional Rewards), gaya pemimpin seperti ini hanya mau

memperhatikan komunikasi yang turun ke bawah, dan membatasi proses

pengambilan keputusan ditingkat atas.

Konsep berikutnya menurut Likert adalah Gaya otokratis yang

setengah hati (Benepelent authoritative) manajer atau pemimpin seperti ini

mempunyai kepercayaan yang terselubung, percaya pada bawahan, mau

memotivasi dengan hadiah-hadiah serta hukuman-hukuman,

memperbolehkan adanya komunikasi ke atas, mendengarkan ide-ide dan

pendapat dari bawahan, memperbolehkan adanya delegasi wewenang

dalam proses pengambilan keputusan, bawahan merasa tidak bebas

34

Page 15: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

untuk membicarakan sesuatu yang bertalian dengan tugas pekerjaan

dengan atasannya.

Gaya manajer konsultatif adalah suatu konsep yang ditekankan

oleh Likert dimana manajer yang mempunyai sedikit kepercayaan pada

bawahan biasanya kalau ia membutuhkan informasi, ide atau pendapat

bawahan, pemimpin dengan gaya seperti itu mau melakukan motivasi

dengan penghargaan dan hukuman yang kebetulan.

Kepemimpinan yang bergaya kelompok berpartisipatif (partisipative

group) pemimpin mempunyai kepercayaan yang sempurna terhadap

bawahannya, memberikan penghargaan yang bersifat ekonomis, dengan

berdasar pada partisipasi kelompok dan keterlibatanya dalam setiap

kegiatan dalam penentuan tujuan bersama. Konsep gaya kepemimpinan

yang terakhir dari Likert ini yang banyak memberi inspirasi bagi pemimpin

untuk di aplikasikan dalam organisasi yang dipimpinnya.

Gaya kepemimpinan, menurut Luthan (1995), adalah “deal whit the

way leader influence follower”. Gaya kepemimpinan berkenaan dengan

cara–cara yang digunakan oleh manejer untuk mempengaruhi

bawahannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang

digunakan seorang manejer pada saat ia mempengaruhi perilaku

bawahannya. Jika kepemimpinan tersebut terjadi pada suatu organisasi

formal tertentu, dimana para manajer perlu mengembangkan karyawan,

membangun iklim motivasi, menjalankan fungsi-fungsi manejerial dalam

35

Page 16: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

rangka menghasilkan kinerja yang tinggi dan meningkatkan kinerja

perusahaan, maka manejer perlu menyesuaikan gaya kepemimpinannya .

Gaya kepemimpinan partisipatif adalah merupakan gaya

kepemimpinan dimana pihak yang lebih rendah dari pimpinan dapat

mempengaruhi keputusan tentang situasi kerja mereka dengan tingkat

yang signifikan. Tipe kepemimpinan ini sejalan dengan manajemen

partisipatif dimana bawahan bisa memiliki kekuatan yang yang signifikan

dalam memutuskan yang akan diambil oleh atasannya (House dan

Mitchell, 1974, Robbins, 1996).

Gaya kepemimpinan suportif adalah merupakan gaya

kepemimpinan dimana pemimpin membuat lingkungan kerja yang fasilitatif

yang dapat memberikan dukungan secara psikologis, kepercayaan, rasa

hormat, saling membantu dan kesetiakawanan (Gibson et.al, 1988),

Kepemimpinan suportif akan memperhatikan partner, menunjukkan

perhatian kepada partner lainnya secara baik, membuat suasana yang

baik untuk bisa berintraksi, menekankan prestasi, menjaga keselamatan

diri mereka, berusaha untuk membangun kepentingan bersama serta

membangun iklim tiem yang baik.

Gaya kepemimpinan direktif merupakan gaya kepemimpinan yang

lebih banyak mengacu kepada tingkat sejauh mana aktivitas-aktivitas

yang dapat dilakukan oleh pemimpin dalam mengelola aktivitas partner

mereka. Pemimpin dengan gaya direktif memberitahukan kepada

bawahan apa yang diharapkan pemimpinnya, memberitahukan jadwal

36

Page 17: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

kerja yang harus diselesaikan sesuai standar yang ditetapkan dengan

memberikan bimbingan secara detail tentang bagaimana menyelesaikan

tugas-tugas yang diberikan termasuk di dalamnya aspek perencanaan,

organisasi, koordinasi dan pengendalian. Karakteristik pribadi bawahan

mempengaruhi gaya kepemimpinan yang efektif. Jika bawahan merasa

mempunyai kemampuan yang kurang baik, kepemimpinan direktif akan

lebih sesuai. Sebaliknya apabila bawahan merasa mempunyai

kemampuan yang baik maka gaya direktif akan dirasakan berlebihan,

bawahan cenderung memusuhi pemimpinnya

Teori kepemimpinan perilaku (behavioral) mengatakan bahwa gaya

kepemimpinan seorang manejer akan berpengaruh langsung terhadap

efektivitas kelompok kerja (Kreitner & Kinichi, 1998). Kelompok kerja

dalam perusahaan merupakan pengelompokan kerja dalam bentuk unit

kerja dan masing-masing unit kerja itu dipimpin oleh seorang manajer.

Gaya manajer untuk mengelola sumber daya manusia (karyawan) dalam

suatu unit kerja akan berpengaruh pada peningkatan kinerja unit, yang

pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja perusahaan secara

keseluruhan. Selanjutnya, teori kepemimpinan perilaku (behavioral)

berasumsi bahwa gaya kepemimpinan oleh seorang manejer dapat

dikembangkan dan diperbaiki secara sistematik (Kreitner & kinichi, 1998).

Dengan perkataan lain bahwan manajer dapat merubah dan mempelajari

gaya kepemimpinan secara sistematik.

37

Page 18: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Fiedler (dalam kreitner & Kinichi, 1998, Robbin, 1997) mengatakan

bahwa keberhasilan manejer mempengaruhi bawahannya (karyawannya)

ditentukan oleh motivasi dasar yang dimiliki oleh manajer yang

bersangkutan. Fiedler beranggapan bahwa seorang manajer hanya

memiliki dua motivasi dasar yaitu gaya orientasi tugas (task oriented) dan

atau orientasi hubungan (relationship oriented). Orientasi tugas

merupakan gaya kepemimpinan seorang manejer yang menekankan pada

pencapaian target produksi atau disebut dengan gaya orientasi pada

tugas. Sedangkan orientasi hubungan (relationship oriented) merupakan

gaya kepemimpinan seorang manajer yang menekankan pada hubungan

yang harmonis dengan bawahannya atau disebut dengan gaya orientasi

pada bawahan. Fiedler mengatakan bahwa kedua gaya tersebut dapat

mempengaruhi kinerja bawahan. Fiedler menekankan bahwa efektivitas

gaya kepemimpinan itu ditentukan oleh faktor situasi yang mengontrol

manajer yang bersangkutan Robbin, (1995).

Perkembangan penggunaan istilah gaya kepemimpinan mulai dari

studi-studi klasik sampai ke teori kepemimpinan modern dapat

digambarkan pada sebuah garis kontinum, yang oleh Tannenbaum dan

Schmidt dinamakan sebagai garis kontinum dari boss-centered (fokus

pemimpin) ke subordinate-centered (fokus bawahan). Diantara kedua titik

dalam garis kontinum ini (titik ekstrim kanan ke titik ekstrim kiri), para

pakar teori kepemimpinan menggunakan istilah gaya kepemimpinan yang

bervariasi. Misalnya, McGregor menggunakan gaya :

38

Page 19: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Teori X Teori Y; Hersey & Blanchrad membagi gaya;

Task Directed Human relations;

Blake & Mounton menggunakan gaya:

Production-centered employee centered;

Likert menggunakan istilah Gaya

Initiating Sturucture Consideration,

House dengan Path-goal teorinya membagi gaya dari:

Supportive rective ( Luthan, 1995:Yukl,1989).

Penelitian mutakhir tentang jenis gaya kepemimpinan telah

dilakukan oleh Goleman pada sejumlah manajer perusahaan di tahun

2000, pada 3.871 manajer perusahaan berkesimpulan gaya

kepemimpinan dapat berpengaruh pada peningkatan kinerja karyawan.

Goleman (2000) menyatakan bahwa ada enam karakteristik atau dimensi

gaya kepemimpinan, yaitu:

1. Coercive Style (Gaya Paksaan), gaya kepemimpinan ini ekuivalen

dengan gaya exploitative-authoritative dari Likert (dalam Thoha, 1999).

Manajer dalam hal ini sangat otokratis. Manajer suka mengeksploitasi

bawahan dan bersikap paternalistik. Bawahan dipaksa untuk

mengerjakan apa yang telah diperintahkan oleh pimpinan tanpa

mereka diberi kesempatan untuk bernegosiasi pendapat dan saran

terlebih dahulu. Pengambilan keputusan dilakukan secara top-down.

Pemimpin memotivasi bawahannya dengan memberi ketakutan dan

hukuman, dan hanya sekali-kali memberi penghargaan yang secara

39

Page 20: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

kebetulan (occasional reward). Bawahan merasa tertekan dan

kehilangan rasa tanggungjawab serta mereka kehilangan rasa inisiatif.

Bawahan kehilangan sense of ownership (rasa kepemilikan) dan

akuntibilitas terhadap kinerja mereka.

2. Authorotative Style (Gaya Otokrasi), gaya kepemimpinan ini yang oleh

Likert dan Reddin dikategorikan dalam gaya otokratis yang baik

(benevolent authoritative) (dalam Luthan 1995). Pemimpin yang

bergaya otokrasi ini adalah pemimpin yang mempunyai pola

pandangan kedepan (visionary). Pemimpin memotivasi bawahannya

dengan jalan memberi pemahaman dan pola pemikiran secara jelas

kepada bawahan perihal apa yang harus mereka kerjakan dan

bagaimana seharusnya mereka bekerja sedemikian rupa sehingga

sejalan dengan visi dan misi organisasinya. Pemimpin yang otokratis

memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan strategi dan tujuan

perusahaan. Dalam memformat tugas-tugas individual ke dalam

tatanan visi organisasi, pemimpin otokratis mendefinisikan dan

menentukan standar-standar kinerja disekitar visi organisasi tersebut.

Dalam melakukan penilaian dan umpan balik (feedback) terhadap

kinerja karyawan, mereka selalu menggunakan kriteria standar yaitu

sejauh mana kinerja tersebut sejalan dengan misi organisasi.

3. Affiliative Style (Gaya Afiliasi), pemimpin yang bergaya afiliasi lebih

berorientasi pada hubungan dengan bawahan dari pada perhatian

mereka kepada tugas dan tujuan organisasi. Gaya ini yang oleh teori

40

Page 21: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

kepemimpinan Harsey dan Blanchard dikategorikan sebagai gaya

kepemimpinan partisipatif (Sujak, 1990) sementara Blake dan Mouton

memposisikan gaya tersebut ke dalam gaya kepemimpinan klub (The

Country Club Management) (Thoha, 1999). Manajer yang penuh

perhatian terhadap kebutuhan karyawan dan memimpinnya ke

suasana organisasi yang bersahabat, menyenangkan dan kecepatan

kerja yang rileks. Pimpinan membangun hubungan yang harmonis

dengan karyawan dan antara sesama karyawan. Atas usahanya

membangun hubungan yang akrab, bersemangat, menciptakan

suasana karyawan yang selalu senang pimpinan mendapatkan suatu

keuntungan terhadap apa yang disebut loyalitas yang hangat (fierce

loyality). Pimpinan berbagi idea (sharing ideas) dan berbagi inspirasi

(sharing inspiration) serta membangun saling kepercayaan diantara

sesama karyawan dalam menumbuhkan sikap inovatif dan peka

terhadap resiko.

4. Democratic Style (Gaya Demokratis), menurut Likert dalam hal ini

pimpinan mempunyai kepercayaan yang sempurna kepada

bawahannya. Untuk memancing timbulnya ide-ide dan gagasan-

gagasan dari bawahan, pimpinan membangun rasa kepercayaan, rasa

hormat dan tanggung jawab. Untuk mengarahkan setiap karyawan,

supaya mereka dapat menentukan suatu keputusan yang berakibat

pada pencapaian tujuan kerja bagaimana mereka melaksanakan

pekerjaannya. pimpinan yang bergaya demokratik ini mendekati

41

Page 22: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

mereka dengan memberikan fleksibilitas dan responsibilitas. Dengan

mendengarkan apa-apa yang menjadi concern karyawan, maka

pemimpin demokratik mempunyai semboyan “what to do keep morale

high” bagaimana dapat bekerja dengan tetap menjaga moralitas tinggi.

Manajer demokratik memberikan penghargaan yang bersifat

ekonomis, dengan berdasarkan partisipasi kelompok dan

keterlibatannya pada setiap urusan terutama dalam menentukan

tujuan bersama dan penilaian atas kemajuan pencapaian tujuan

tersebut. Bawahan merasa mutlak mendapatkan kebebasan untuk

membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan tugasnya bersama

atasannya (Thoha, 1999). Dalam pengambilan keputusan yang krusial,

biasanya pemimpin yang bergaya seperti ini menunda keputusan

tersebut sampai mereka merasa bahwa semua ide dan gagasan yang

berkait dengan masalah yang akan diputuskan itu terakomodasi

semuanya.

5. Pacesetting Style (Gaya Pemimpin Kecepatan). Gaya kempemimpinan

“ pacesetter” yang menurut House dalam path-goal theory-nya mirip

dengan gaya echievement oriented leadership, yaitu kepemimpinan

yang berorientasi pada prestasi (Yukl, 1981). Pimpinan menetapkan

standar kinerja yang tinggi dan ia sendiri sebagai aktor dalam

pencapaian kinerja tinggi tersebut. Manajer mempunyai obsesi bekerja

lebih baik dan lebih cepat. Obsesi pimpinan tersebut juga dibebankan

kepada bawahannya. Pimpinan dapat menunjukkan dengan cepat

42

Page 23: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

kinerja karyawan yang jelek dan meminta mereka untuk memperbaiki

kinerjanya. Jika bawahan tidak mampu untuk memperbaiki kinerjanya

pada suatu pekerjaan tertentu, maka sang pimpinan mengganti

karyawan itu dengan karyawan lain yang dianggap lebih mampu

berkinerja tinggi untuk pekerjaan tersebut. Banyak karyawan merasa

kewalahan menghadapi tuntutan berkinerja tinggi (excellent) dari

pimpinan yang bergaya pacesetter.

6. Coaching Style (Gaya Pelatih). Pimpinan yang bergaya pelatih selalu

membantu bawahan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan

bawahan. Manajer mendorong bawahan untuk menentukan tujuan

jangka panjang dan membantu mereka membuat perencanaan kerja

dalam upaya pencapaian tujuan tersebut. Mereka membuat perjanjian

dengan bawahan tentang aturan kerja dan pertanggungjawaban

membuat perencanaan kerja itu. Di samping itu, pimpinan juga

memberikan instruksi yang memadai dan umpan balik. Pimpinan

bergaya pelatih juga melakukan pendelegasian wewenang. Ia

memberikan tugas-tugas yang menantang kepada bawahan, walaupun

ia tidak mengharuskan pencapaian tugas itu dengan cepat. Walaupun

pemimpin yang bergaya pelatih lebih berfokus pada pengembangan

personal bawahan dan tidak secara langsung berkaitan dengan tugas,

tapi pemimpin ini dapat memperbaiki kinerja perusahaan. Alasannya

adalah pemimpin dialog secara inten dan berkesinambungan dapat

menumbuhkan suasana kondusif dan cair. Di samping itu, jika

43

Page 24: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

karyawan ,mengetahui bahwa dirinya diperhatikan oleh atasannya

terhadap apa yang mereka kerjakan, maka bawahan merasa bebas

melakukan percobaan-percobaan kerja. Dengan kata lain dengan

melakukan dialog kontinu antara pimpinan dan bawahan maka dapat

dipastikan bahwa bawahan akan tahu apa yang mereka harapkan dan

mengetahui bagaimana mereka dapat melakukan pekerjaan sejalan

dengan visi dan strategi perusahaan.

Locke (1991:3) dan Ackoff (1999:23), mengemukakan bahwa

kepemimpinan adalah upaya memandu, mendorong dan memfasilitasi

orang lain dalam rangka pencapaian tujuan dengan menggunakan cara-

cara tertentu dimana tujuan tersebut ditentukan atau disepakati.

Kepemimpinan berkaitan erat dengan pekerjaan yang harus diselesaikan

(task function) dan kekompakan orang-orang yang dipimpinnya

(relationship function).

Penelitian yang memusatkan pada konsep kepemimpinan teori jalur

tujuan (Path Goal Theory) dikembangkan oleh Robert House (1971.1974)

menyatakan bahwa pemimpin mendorong kinerja yang lebih tinggi dengan

cara memberikan kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi bawahannya

agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan usaha yang

serius. Kepemimpinan yang berlaku secara universal menghasilkan

tingkat kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi. Dalam situasi yang

berbeda mensyaratkan gaya kepemimpinan yaitu karakteristik personal

dan kekuatan lingkungan. Teori ini juga menggambarkan bagaimana

44

Page 25: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

persepsi harapan dipengaruhi oleh hubungan kontijensi diantara empat

gaya kepemimpinan dan berbagai sikap dan perilaku karyawan. Perilaku

pemimpin memberikan motivasi sampai tingkat (1) mengurangi halangan

jalan yang mengganggu pencapaian tujuan, (2) memberikan panduan dan

dukungan yang dibutuhkan oleh para karyawan, dan (3) mengaitkan

penghargaan yang berarti terhadap pencapaian tujuan.

Menurut model teori jalur tujuan (path-goal theory), perilaku

pemimpin dapat diterima ketika para karyawannya memandangnya

sebagai suatu sumber kepuasan, dimana bawahan secara aktif akan

mendukung pemimpinnya selama dia memandang bahwa tindakan

pemimpin dapat meningkatkan tingkat kepuasannya (Hughes et al., 1999).

Selain itu perilaku pemimpin adalah memberikan motivasi sampai tingkat

mengurangi halangan jalan yang mengganggu pencapaian tujuan,

memberikan panduan dan dukungan yang dibutuhkan oleh para karyawan

dan mengaitkan penghargaan yang berarti terhadap pencapaian tujuan

(Hughes et al., 1999). Gaya kepemimpinan yang diidentifikasi oleh House

(1971) pertama adalah Kepemimpinan yang direktif (mengarahkan),

memberikan panduan kepada para karyawan mengenai apa yang

seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, menjadwalkan

pekerjaan, dan mempertahankan standar kinerja. Kedua kepemimpinan

yang suportif (mendukung), menunjukkan kepedulian terhadap

kesejahteraan dan kebutuhan karyawan, bersikap ramah dan dapat

didekati, serta memperlakukan para pekerja sebagai orang yang setara

45

Page 26: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

dengan dirinya. Ketiga Kepemimpinan partisipatif, berkonsultasi dengan

para karyawan dan secara serius mempertimbangkan gagasan mereka

pada saat mengambil keputusan. Keempat Kepemimpinan yang

berorientasi pada pencapaian (achievement oriented leadership),

mendorong para karyawan untuk berprestasi pada tingkat tertinggi mereka

dengan menetapkan tujuan yang menantang, menekankan pada

kesempurnaan, dan memperlihatkan kepercayaan diri atas kemampuan

karyawan.

Hubungan antara perilaku pemimpin dalam menggunakan gaya

kepemimpinannya dengan variabel situasional dan efektivitas

kepemimpinan dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada gambar 3.1

di bawah ini:

Gambar. 3.1. Model efektivitas kepemimpinan Robert House.Sumber. Sujak (1990)

46

Efektifitas Kepemimpian

Produktifitas kerja tinggi Kepuasan kerja tinggi Pergantian pegawai rendah Keluhan sedikit

Perilaku Pemimpin

Orientasi presatasiDirektifPartisipatifSuportif

Kontigensi/SituasionalCiri-siri tugas

Terstruktur Tidak Terstruktur

Kontigensi/SituasionalCiri-ciri pegawai

Kebutuhan Kemampuan

Page 27: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Teori path-goal menjelaskan dampak perilaku pemimpin pada

motivasi bawahan, kepuasan dan kinerjanya (Luthans, 2006) dan

pemimpin diharapkan dapat mengubah perilakunya agar sesuai dengan

situasi, dimana pemimpin tidak hanya menggunakan gaya yang berbeda

kepada bawahan yang berbeda tetapi menggunakan gaya yang berbeda

kepada bawahan yang sama pada situasi yang berbeda.

Penelitian House (dalam Kreitner & Kinichi, 1998; Robbin, 1997)

berfokus pada bagaimana seorang manajer (pimpinan) dapat

mempengaruhi bawahannya. Teori path goal didasarkan atas teori

ekspektasi (pengharapan). Path goal theory menekankan pada

bagaimana gaya kepemimpinan mempengaruhi ekspektasi karyawanya,

meningkatkan kinerjanya. Dengan perkataan lain bahwa persepsi

ekspektasi (harapan) karyawan sebagai sumber motivasi dipengaruhi oleh

gaya kepemimpinan manajer dalam rangka meningkatkan kinerja

karyawan. Model hubungan antara gaya kepemimpinan dengan motivasi

dan kepuasan kinerja karyawan berdasarkan teori path goal dapat

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3.2. Hubungan Gaya Kepemimpinan, Motivasi dan Kinerja Karyawan

Sumber : Diadaptasi dari Teori path-goal; (dalam Kreitner & Kinichi, 1998, Gary Yukl,1984, Sujak (1990)

Gambar di atas menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan oleh

manajer dapat mempengaruhi kepuasan kinerja karyawan dengan melalui

47

Gaya Kepemimpinan

Motivasi Kinerja karyawan

Page 28: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

variable motivasi sebagai variable antara (interverning variable). Robert

House mengatakan bahwa gaya kepemimpinan oleh manajer dapat

menumbuhkan motivasi dan kinerja karyawan yang tinggi. Pendapat

House (1977) mengatakan peningkatan kinerja karyawan dipengaruhi oleh

faktor motivasi kerja dan kemampuan kerja.

Manajer sebagai pengambil keputusan dalam pengelolaan sumber

daya perusahaan bukan hanya berpengaruh langsung terhadap kinerja

sumber daya manusia tapi secara implisit juga berpengaruh pada

pencapaian kinerja karyawan perusahaan. Hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh Bower & Seashore, 1960 (dalam Yukl, 1989) pada 40

perusahaan Asuransi Jiwa menyatakan bahwa gaya kepemimpinan

mempengaruhi kinerja karyawan perusahaan.

Bower dan Seashore mengkategorikan tiga jenis gaya

kepemimpinan, yang merupakan eksistensi dari gaya :”consideration” dan

“initiating structure”, Ohio State University Studies, yaitu pertama gaya

support yang menekankan pada peningkatan rasa percaya diri karyawan

untuk menyelesaikan tugasnya. Kedua, gaya interaction facilitation yaitu

gaya yang menekankan pada hubungan yang erat antar karyawan, dan

ketiga gaya goal emphasis, yaitu gaya yang menekankan pada

pencapaian tujuan dengan standar kinerja yang tinggi.

Bower dan Seashore berkesimpulan bahwa perusahaan yang

memiliki tingkat kinerja karyawan perusahaan yang paling tinggi adalah

perusahaan dimana manajernya menerapkan gaya goal emphasis.

48

Page 29: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Sementara itu, Langley (1992) melakukan penelitian yang berjudul;

Concept and Style of Leadership as Faktor in The Performance of The

Property/Causality Insurance Industry”. Langley mengkategorikan dua

jenis gaya kepemimpinan yaitu gaya initiating structure dan consideration.

Kesimpulan penelitian Langley adalah bahwa gaya kepemimpinan

mempengaruhi tingkat kinerja karyawan perusahaan industri dan asuransi.

Dan manajer yang menggunakan gaya initiating structure menunjukkan

tingkat kinerja karyawan perusahaan yang lebih tinggi daripada manajer

yang bergaya consideration.

Luthan (1995) mengutip hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

Likert (1967) tentang hubungan gaya kepemimpinan dan kinerja karyawan

perusahaan Likert membagi tiga kelas variabel dalam menjelaskan

hubungan gaya kepemimpinan dengan kinerja karyawan perusahaan.

Pertama, variabel penyebab, yang terdiri dari variabel gaya

kepemimpinan. Kedua, variabel antara (intervening) yang terdiri dari

motivasi, loyalitas dan sikap. Ketiga, variabel akibat (end-result) yang

terdiri dari kinerja yang tinggi, kualitas dan profit yang tinggi.

Likert (1967) membagi gaya kepemimpinan menjadi empat gaya

yaitu;1) gaya exploitive authocratic yaitu gaya kepemimpinan yang sangat

otoriter. 2). gaya benevolent authocratic yaitu gaya kepemimpinan yang

agak otoriter atau otoriter lunak. 3). gaya participative yaitu gaya

kepemimpinan yang melibatkan bawahan untuk berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan. 4). gaya demo yaitu gaya kepemimpinan yang

49

Page 30: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

menekankan pada pengambilan keputusan dengan suara mayoritas.

Menurut Likert, variabel intervening hanya dapat memperbesar atau

memperkecil pengaruh variabel penyebab terhadap variabel akibat. Gaya

kepemimpinan dapat menaikkan kinerja karyawan perusahaan apabila

didukung oleh motivasi, sikap dan loyalitas yang tinggi, sebagai variabel

intervening. Dan sebaliknya, kinerja karyawan perusahaan akan menurun

akibat gaya kepemimpinan bila motivasi, sikap dan loyalitas rendah.

Namun demikian, secara implisit hasil penelitian Likert menyatakan bahwa

gaya kepemimpinan mempengaruhi kinerja karyawan perusahaan.

4. Self-efficacy

Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri

individu. Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura.

Self-efficacy mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk

mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan

kecakapan tertentu (Bandura, 1986; 391). Pervin memberikan pandangan

yang memperkuat pernyataan Bandura di atas. Pervin menyatakan bahwa

self-efficacy adalah kemampuan yang dirasakan untuk membentuk

perilaku yang relevan pada tugas atau situasi yang khusus (Pervin, 1984

dikutip oleh Smet, 1994, h. 189-190).

Pandangan para ahli tersebut memiliki persamaan dalam

memberikan batasan mengenai self-efficacy. Dapat disimpulkan bahwa

self-efficacy adalah perasaan individu mengenai kemampuan dirinya

untuk membentuk perilaku yang relevan dalam situasi-situasi khusus yang

50

Page 31: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

mungkin tidak dapat diramalkan dan mungkin menimbulkan stres. Self-

efficacy yang dimiliki individu berkaitan dengan tugas yang spesifik

(Bandura, 1997, h. 56), di antaranya dalam bidang akademik. Akademik

dalam kamus ilmiah popular berarti keilmuan, tentang pengajaran di

perguruan tinggi, bersifat ilmu pengetahuan, berteori tidak praktis (Barry,

1994, h. 15).

Dalam kehidupan manusia memiliki self-efficacy itu merupakan hal

yang sangat penting. Self-efficacy mendorong seseorang untuk

memahami secara mendalam atas situasi yang dapat menerangkan

tentang mengapa seseorang ada yang mengalami kegagalan dan atau

yang berhasil. Dari pengalaman itu, seseorang akan mampu untuk

mengungkapkan self-efficacy, yang menurut Kurniawan (2004) self-

efficacy merupakan panduan untuk tindakan, yang telah dikonstruksikan

dalam perjalanan pengalaman interaksi sepanjang hidup individu. Self-

efficacy yang berasal dari pengalaman tersebut yang akan digunakan

untuk memprediksi perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri.

Salah satu karakteristik dari individu adalah self-efficacy, menurut

Bandura, 1997 menyatakan bahwa self-efficacy sebagai keyakinan

seseorang mengenai kemampuannya untuk memberikan kinerja atas

aktivitas atau perilaku dengan sukses. Ada 4 sumber self-efficacy yaitu

performance accomphisment, vicarious experience, verbal persuasion dan

emotional arousal. Individu self-efficacy tinggi akan mencapai suatu

kinerja yang lebih baik karena individu memiliki motivasi yang kuat, tujuan

51

Page 32: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

yang jelas, emosi yang stabil dan kemampuannya untuk memberikan

kinerja atas aktivitas atau perilaku dengan sukses. Pernyataan ini juga

didukung oleh Hill, Smit dan Mann, 1987 dalam Ford (1992) bahwa

individu dengan self-efficacy yang tinggi maka akan tertarik dengan

kesempatan aktivitas untuk mengembangkan diri dan aktif untuk mencoba

hasil dari pelatihan serta mencoba pekerjaan yang sulit dan komplek. Gist

(1987) dan Latham (1989) dalam Tannenbaum, Mathieu, Salas dan

Bowers (1991) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan inti dan hasil

yang penting dalam pelatihan. Tracey, Hinkin, Tannenbaum dan Mathieu

(2001) menyatakan bahwa pre training self-efficacy tentang sesuatu

kepercayaan individu untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan

selama pelatihan. Apabila individu percaya bahwa mereka memiliki

kapasitas untuk belajar, mereka akan berusaha untuk memperoleh

pengetahuan dan ketrampilan yang relevan.

Dalam konsep self-efficacy dijelaskan terjadi proses intrepretasi

individu terhadap situasi spesifik yang pada gilirannya dapat

mempengaruhi perilaku seseorang. Hal tersebut juga menjelaskan bahwa

self-efficacy merupakan cara pandang seseorang terhadap kualitas dirinya

sendiri, baik atau buruk, dan self-efficacy tersebut dapat dibangun sesuai

karakteristik seseorang dan bersifat khusus (Ratna, 2008). Cara pandang

individu dalam usaha untuk memunculkan keyakinan dalam diri dapat

dipengaruhi pula oleh kepercayaan yang ada pada diri individu. Dimana

menurut self-efficacy merupakan himpunan kepercayaan atau bagaimana

52

Page 33: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

melihat diri kita sendiri. Kepercayaan dan juga bagaimana melihat diri

sendiri pula dipengaruhi oleh motivasi, sikap dan tingkah laku seseorang.

Bagaimana individu itu bersikap, bertingkah laku, dan memotivasi diri

dapat menjadi salah satu sumber kekuatan individu dalam memunculkan

self-efficacy, sehingga dijelaskan pula oleh Wicaksono (2008) self-efficacy

adalah sebuah unsur yang bisa mengubah getaran pemikiran biasa; dari

pikiran yang terbatas, menjadi suatu bentuk padanan yang masuk ke

dalam koridor spiritual; dan merupakan dasar dari semua "mukjizat", serta

misteri yang tidak bisa dianalisis dengan cara-cara ilmu pengetahuan.

Keyakinan itu merupakan sebuah media tunggal dan satu-satunya, yang

memungkinkan untuk membangkitkan suatu kekuatan dari sumber energi

tanpa batas di dalam diri dan mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi

kebaikan manusia itu sendiri, serta merupakan suatu keadaan pikiran,

yang bisa dirangsang atau diciptakan oleh perintah peneguhan secara

terus menerus lewat pikiran dan perkataan positif, sampai akhirnya

meresap ke dalam pikiran bawah sadar.

McGillicuddy-DeLisi (dalam Kurniawan, 2004) mendefinisikan self-

efficacy merupakan alat dalam menetapkan prioritas, mengevaluasi

kesuksesan, maupun alat untuk memelihara self-efficacy. Tidak jauh

berbeda Nuron, dkk (Kurniawan, 2004) menyatakan bahwa self-efficacy

mencakup self-efficacy dan kontrol diri, dimana self-efficacy merupakan

mereka memiliki keterampilan-keterampilan yang dituntut dalam

memenuhi kebutuhan-kebutuhan spesifik. Self-efficacy sendiri menurut

53

Page 34: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Robbin (Hambawany, 2007) adalah keyakinan atau kemampuan yang

dimiliki seseorang untuk meraih sukses dalam tugas.

4.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy

Berdasarkan teori dari Spears dan Jordon (Ferdyawati, 2007) yang

mengistilahkan keyakinan sebagai self-efficacy yaitu keyakinan seseorang

bahwa dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan

dalam suatu tugas. Pikiran individu terhadap self-efficacy menentukan

seberapa besar usaha yang akan dicurahkan dan seberapa lama individu

akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang

tidak menyenangkan. Menurut Greenberg dan Baron (Hambawany, 2007)

mengatakan ada dua faktor yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu

pengalaman langsung, sebagai hasil dari pengalaman mengerjakan suatu

tugas dimasa lalu (sudah pernah melakukan tugas yang sama dimasa

lalu) dan pengalaman tidak langsung, sebagai hasil observasi

pengalaman orang lain dalam melakukan tugas yang sama (pada waktu

individu mengerjakan sesuatu dan bagaimana individu tersebut mener-

jemahkan pengalamannya tersebut dalam mengerjakan suatu tugas).

Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan pula oleh Bandura

(Hambawany, 2007) bahwa self-efficacy seseorang dipengaruhi pula oleh

pencapaian prestasi, faktor ini didasarkan oleh pengalaman-pengalaman

yang dialami individu secara langsung. Apabila seseorang pernah

mengalami keberhasilan dimasa lalu maka dapat meningkatkan self-

efficacynya. Pengalaman orang lain, individu yang melihat orang lain

54

Page 35: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

berhasil dalam melakukan aktivitas yang sama dan memiliki kemampuan

yang sebanding dapat meningkatkan self-efficacynya. Individu yang pada

awalnya memiliki self-efficacy yang rendah akan sedikit berusaha untuk

dapat mencapai keberhasilan seperti yang diperoleh orang lain. Bujukan

lisan, individu diarahkan dengan saran, nasehat, bimbingan sehingga

dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang

dimiliki dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan. Kondisi

emosional, seseorang akan lebih mungkin mencapai keberhasilan jika

tidak terlalu sering mengalami keadaan yang menekan karena dapat

menurunkan prestasinya dan menurunkan keyakinan akan kemampuan

dirinya.

Faktor-faktor di atas didukung oleh pendapat Ivancevich dan

Matteson (dalam Damayanti, 2006) yang menyatakan bahwa pencapaian

prestasi, pengalaman orang lain, bujukan lisan, kondisi emosional

memegang peranan penting didalam mengembangkan self-efficacy, faktor

tersebut dianggap penting sebab ketika seseorang melihat orang lain

berhasil maka akan berusaha mengikuti jejak keberhasilan orang tersebut.

4.2 Aspek-aspek self-efficacy

Selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy adapula

aspek-aspek yang terdapat dalam self efficacy. Menurut Bandura

(Hambawany, 2007) aspek self-efficacy terdiri atas aspek Magnitude,

aspek ini berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang

dibebankan pada individu disusun menurut tingkat kesulitannya, maka

55

Page 36: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

perbedaan self-efficacy secara individual mungkin terbatas pada tugas-

tugas yang sederhana, menengah atau tinggi. Individu akan melakukan

tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan tugas-

tugas yang diperkirakan diluar batas kemampuan yang dimilikinya. Aspek

Generality, aspek ini berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah

laku. Beberapa pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan

terhadap pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus

sedangkan pengalaman yang lain membangkitkan keyakinan yang

meliputi berbagai tugas. Terakhir aspek Strength, aspek ini berkaitan

dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap

keyakinannya. Tingkat self-efficacy yang lebih rendah mudah digoyangkan

oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahnya, sedangkan orang

yang memilki self-efficacy yang kuat akan tekun dalam meningkatkan

usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahnya.

Hal lain diungkapkan oleh Abdullah (2003) dimana aspek-aspek

dalam self-efficacy ada empat, yaitu pertama Keyakinan terhadap

kemampuan mengahadapi situasi yang tidak menentu yang mengandung

unsur kekaburan, tidak dapat diprediksikan, dan penuh tekanan. Individu

dengan self-efficacy yang tinggi akan mempunyai keyakinan serta

kemampuan dalam menghadapi tantangan dan akan berusaha lebih keras

untuk mencapai keberhasilan meskipun situasi tersebut terdapat unsur

kekaburan, tidak dapat diprediksi dan penuh tekanan. Kedua Keyakinan

terhadap kemampuan menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif dan

56

Page 37: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil.Self-

efficacy yang ada pada diri individu mampu mempengaruhi aktivitas serta

usaha yang dilakukan dalam menghadapi kesulitan untuk mencapai dan

menyelesaikan tugas. Individu dengan self-efficacy yang tinggi mampu

menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif dan melakukan tindakan-

tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil. Ketiga Keyakinan

mencapai target yang telah ditetapkan, Individu menetapkan target untuk

keberhasilannya dalam melakukan setiap tugas. Individu dengan efikasi

diri yang tinggi apabila gagal mencapai target, justru akan berusaha lebih

giat lagi untuk meraih target dan cara belajarnya, dan keempat adalah

Keyakinan terhadap kemampuan mengatasi masalah yang muncul,

Individu dengan self-efficacy yang tinggi memiliki keyakinan mampu

mengatasi masalah atau kesulitan dalam bidang tugas yang ditekuninya.

Selain dari beberapa aspek di atas ada pula aspek-aspek lain yang

dikemukakan Corsini (Hambawany, 2007) yaitu aspek Kognitif,

kemampuan seorang untuk memikirkan cara-cara yang digunakan dan

merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang

diharapkan. Asumsi yang timbul dari aspek kognitif ini adalah semakin

efektif kemampuan berfikir dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide

atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung seseorang

bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Selanjutnya aspek Motivasi, kemampuan seseorang untuk memotivasi diri

melalui pikirannya untuk melakukan suatu tindakan dan keputusan dalam

57

Page 38: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi seseorang timbul dari

pemikiran optimis dalam diri untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan.

Motivasi dalam self-efficacy digunakan untuk memprediksi kesuksesan

dan kegagalan individu. Aspek berikutnya adalah Afeksi, kemampuan

mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan

yang diharapkan. Afeksi terjadi secara alami dalam diri seseorang dan

berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi

ditunjukkan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang

menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan. Aspek

terakhir adalah Seleksi, kemampuan seseorang untuk menyeleksi tingkah

laku dan lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang

diharapkan. Asumsi yang timbul dalam aspek ini yaitu ketidakmampuan

orang dalam melakukan seleksi, tingkah laku membuat orang tidak

percaya diri, bingung dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah

atau situasi yang sulit.

4.3 Dimensi Self-efficacy

Bandura (1997, h. 42-43) mengemukakan bahwa self-efficacy

individu dapat dilihat dari dimensi tingkat (level), dimensi keluasan

(generality), dan dimensi kekuatan (strength). Dimensi Tingkat, Self-

efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat

kesulitan tugas. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang

mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan

membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki self-efficacy

58

Page 39: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai

dengan kemampuannya. Dimensi keluasan, dimensi ini berkaitan dengan

penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu

dapat menyatakan dirinya memiliki self-efficacy pada aktivitas yang luas,

atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan self-

efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus

untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki self-efficacy

yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam

menyelesaikan suatu tugas. Diemensi Kekuatan (strength), dimensi yang

ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan

individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy bahwa tindakan yang

dilakukan akan memberikan hasil sesuai yang diharapkan individu

menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika

menemui hambatan sekalipun.

4.4 Sumber-Sumber Self-efficacy

Bandura (1986, h. 399-401) menjelaskan bahwa self-efficacy

individu didasarkan pada empat hal, yaitu:

a. Pengalaman akan kesuksesan

Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar

pengaruhnya terhadap self-efficacy individu karena didasarkan pada

pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan

keyakinan diri individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang

mengakibatkan menurunnya self-efficacy, khususnya jika kegagalan

59

Page 40: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

terjadi ketika self-efficacy individu belum benar-benar terbentuk secara

kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan self-efficacy individu jika

kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau

pengaruh dari keadaan luar.

b. Pengalaman individu lain

Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang

kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber self-efficacynya. Self-

efficacy juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan

individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan

meningkatkan self-efficacy individu tersebut pada bidang yang sama.

Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika

individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu

tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik..

Ada dua keadaan yang memungkinkan self-efficacy individu mudah

dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya

pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya

pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.

c. Persuasi verbal

Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa

individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk

meraih apa yang diinginkan.

60

Page 41: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

d. Keadaan fisiologis

Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu

tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan

keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat

terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang

menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti

jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi

individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas

kemampuannya.

4.5 Pengaruh Self-efficacy

Self-efficacy individu bukan sekedar prediksi tentang tindakan yang

akan dilakukan oleh individu di masa yang akan datang. Keyakinan

individu akan kemampuannya merupakan determinan tentang bagaimana

individu bertindak, pola pemikiran, dan reaksi emosional yang dialami

dalam situasi tertentu. Pervin (1997; 412-414) mengemukakan bahwa

self-efficacy dapat berpengaruh terhadap seleksi, usaha dan ketekunan,

emosi dan coping.

Pengaruh terhadad seleksi (Pemilihan tindakan) dapat diartikan

bahwa dalam kehidupan sehari-hari individu harus membuat keputusan

setiap saat mengenai apa yang harus dilakukan dan seberapa lama

individu melakukan tindakan tersebut. Keputusan yang dibuat sebagian

dipengaruhi oleh self-efficacy individu. Individu akan menghindari tugas

atau situasi yang diyakini di luar kemampuan individu, sebaliknya individu

61

Page 42: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

akan mengerjakan aktivitas yang diyakini mampu untuk diatasi (Bandura,

1986 ;394). Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan

cenderung memilih tugas yang lebih sukar dan mengandung tantangan

dari pada individu yang memiliki self-efficacy yang rendah (Pervin, 1997;

412).

Pengaruh terhadap Usaha dan ketekunan, Self-efficacy juga

menentukan seberapa banyak usaha yang dilakukan individu dan

seberapa lama individu akan tekun ketika menghadapi hambatan dan

pengalaman yang kurang menyenangkan. Individu yang memiliki self-

efficacy yang kuat lebih giat, bersemangat, dan tekun dalam usaha yang

dilakukannya untuk menguasai tantangan. Individu yang tidak yakin

dengan kemampuannya mengurangi usahanya atau bahkan menyerah

ketika menghadapi hambatan (Bandura, 1986; 394).

Pengaruh terhadap Pola pemikiran dan reaksi emosional, penilaian

individu akan kemampuannya juga mempengaruhi pola pemikiran dan

reaksi emosional. Individu yang merasa tidak yakin akan kemampuannya

mengatasi tuntutan lingkungan akan mempersepsikan kesukaran lebih

hebat daripada yang sesungguhnya. Individu yang memiliki self-efficacy

yang kuat akan kemampuannya melakukan usaha untuk memenuhi

tuntutan lingkungan, sekalipun menghadapi hambatan (Bandura 1986;

394). Self-efficacy juga membentuk pemikiran tentang sebab-akibat

(Collins, 1982 dalam Bandura 1986; 395). Ketika mencari penyelesaian

masalah, individu dengan self-efficacy tinggi cenderung mengatribusikan

62

Page 43: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

kegagalannya pada kurangnya usaha, sementara individu dengan

kemampuan yang sama tetapi self-efficacy lebih rendah menganggap

kegagalan tersebut berasal dari kurangnya kemampuan. Individu yang

memiliki self-efficacy yang tinggi memiliki suasana hati yang lebih baik,

seperti rendahnya tingkat kecemasan atau depresi ketika mengerjakan

tugas daripada individu yang self-efficacynya rendah (Pervin, 1997; 413).

Pengaruh terhadap Strategi penanggulangan masalah (coping),

Self-efficacy yang dimiliki individu mempengaruhi bagaimana coping yang

dilakukan individu ketika menghadapi masalah. Individu dengan tingkat

self-efficacy yang tinggi lebih mampu untuk mengatasi stres dan

ketidakpuasan dalam dirinya daripada individu dengan tingkat self-efficacy

yang rendah (Pervin, 1997; 414).

5. Kelelahan Emosional

Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh terhindar

dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat.

Kelelahan diatur secara sentral oleh otak (Amrizal, 2004). Menurut

Suma’mur (1982) kelelahan adalah reaksi fungsionil dari pusat kesadaran

yaitu cortex cerebri yang dipengaruhi oleh 2(dua) sistem antagonistik yaitu

sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi) tetapi

semuanya bermuara kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan

tubuh. Kelelahan kerja (job bournout) adalah sejenis stres yang banyak

dialami oleh orang – orang yang bekerja dalam pekerjaan – pekerjaan

63

Page 44: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

pelayanan terhadap manusia lainnya seperti perawat kesehatan,

transportasi, kepolisian, pendidikan dan sebagainya (Schuler et.al, 1999).

Semenjak Freudenberger pada tahun 1974 mengenalkan istilah

burnout. Sejak itu pula terminologi burnout berkembang menjadi

pengertian yang meluas dan digunakan untuk memahami gejala kejiwaan

pada diri seseorang. Berbagai tinjauan dari penggunaan terminologi

hingga menyimpulkan sindroma yang kronik yang dialami oleh seseorang

(Turnipseed & Moore, 1997). Menurut Freudenberger (1974), kelelahan

emosional adalah respons individual yang unik terhadap stress yang

dialami di luar kelaziman pada hubungan inter personal karena dorongan

emosional yang kuat, timbulnya perasaan seakan-akan tak ada orang

yang membantunya, depresi, perasaan terbelenggu dan putus asa

(Tumipseed & Moore, 1997). Selain itu selalu merasa membatalkan

pekerjaan, kehilangan pasanan kerja, pudarnya ilusi sebagai simpton lain

dari kelelahan emosional dalam situasi yang kronik, yang dapat

mendorong seseorang mengalami sakit mental bahkan bunuh diri. Potensi

negatif kelelahan emosional ini melicinkan seseorang kearah putus asa

dan depresi, dua karakteristik yang berpotensi kuat untuk melakukan

bunuh diri (Turnipseed & Moore, 1997).

Kelelahan emosional selalu didahului oleh satu gejala umum, yaitu

timbulnya rasa cemas setiap ingin memulai bekerja. Kabiasaan buruk ini

mengubah individu menjadi frustasi, atau marah pada diri sendiri

(Babakus, Cravens, Johnstan & Moncrif, 1999). Selanjutnya ditegaskan

64

Page 45: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

bahwa rasa cemas setiap ingin memulai bekerja itu merupakan suatu

proses kelelahan emosional, sebagai dimensi sentral proses lain, yaitu

yang menjelaskan prilaku dalam menyikapi perasaan stress yang tinggi di

diri seorang tenaga penjual (Bebakus et.al.,1999:58). Selama ini kelelahan

emosional kerapkali diujikan dengan menggunakan tenaga penjual di

lapangan sebagai sampel, Analog dengan itu tenaga penjual di lapangan

sebagai ujung tombak pemasaran, adalah setiap individu yang bekerja di

dalam organisasi dan berfungsi sebagai pegawai garis depan yang

berhadapan langsung dengan pihak-pihak yang harus dilayani. Misalnya,

tenaga pendidik di perguruan tinggi yang berhadapan langsung dengan

mahasiswa ketika memberi kuliah. Contoh lain, para perawat atau tenaga

paramedik yang berhadapan langsung dengan pasiennya. Pekerja-

pekerja garis depan itulah yang acapkali mengalami kelelahan emosional,

dan jika itu terjadi maka seluruh rangkaian pekerjaan menjadi terganggu,

tidak dapat mencapai sasaran secara tepat waktu, di samping

pemborosan anggaran.

Burnout itu sendiri sebagai pangkal kelelahan emosional masih

merupakan isu yang krusial dalam komitmen bisnis yang membicarakan

persoalan kualitas dan organisasi yang menuntut adanya inovasi yang

konstan dan kebutuhan kinerja tinggi dari setiap orang yang bekerja.

Dalam hal pembicaraan tentang emosional, Qui (1999), dalam The

Academy of Manajement Review, mengemukakan gagasan yang

menyangkut kecakapan emosional, kecerdasan emosional dan perubahan

65

Page 46: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

radikal. Kelelahan emosional ditempatkan sebagai salah satu aspek

perubahan radikal berdasar kecakapan emosional dan kecerdasan

emosional.

Menurut Qui (1999), akar kata emosi berasal dari kata kerja bahasa

latin, movere, yang berarti "bergerak" (to move), atau yang mendorong

yang terpicunya gerakan tiba-tiba untuk beraksi. Emosi menjadi dualistik,

seperti pada gerak reflek sebagai karakter bawaan yang menghubungkan.

Psikologikal dan proses-proses psikodinamik, sebagaimana sering terjadi

pada struktur sosial. Pada perkembangan psikologikal yang sama,

menjadi pertanda perbedaan emosional, yang dikenal sebagai "kesukaan"

(joy) dan sebagai "keramahan" dan senantiasa terikat dengan penilaian

kognitif pada situasi sosialisasi yang terkunci (Schachter & Singer 1962,

dalam Qui, 1999). Kemarahan pada sltusasl sosialisasi yang terkunci

itulah yang memunculkan kelelahan emosional, karena individu seakan

tidak menemukan jalan tentang apa yang seharusnya dikerjakan. Qui

tidak secara spesifik membahas kelelahan emosional dan hubungannya

dengan sumberdaya manusia, tetapi lebih menekankan pada perubahan

radikal. Secara teoritik pembahasan tentang kelelahan emosional selalu

dihubungkan dengan dua peran yang melatar belakanginya, yaitu: (i)

konflik peran, dan (ii) mendua peran.

Dalam penelitian ini, kelelahan emosional adalah “perasaan dimana

seseorang tertekan dan kelelahan karena suatu pekerjaan” (Maslach dan

Jackson, 1981; 101). Hal ini sering muncul ketika karyawan menyediakan

66

Page 47: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

pelayanan (Cordes dan Dougherty, 1993). Jasa profesional dibutuhkan

untuk mempromosikan kesejahteraan dari klien-klien mereka dimana

mengandung keragaman permintaan kognitif, emosional dan perilaku

(Jonge dan Dorman, 2003). Sebenarnya, para pekerja jasa secara berkala

sering mengalami reaksi negatif konsumen dan serangan verbal, hal ini

dapat membuat mereka semakin cepat merasakan kelelahan emosional

(Cordes dan Dougherty, 1993).

Penelitian ini menggunakan conservation resources theory (COR)

untuk menggali dampak dari self efficacy seseorang dan gaya

kepemimpinan pada kelelahan emosional. Teori COR menunjukkan

bahwa kelelahan emosional muncul ketika pekerja melihat kurangnya

sumberdaya untuk melakukan pekerjaan mereka (Halbesleben dan

Buckley, 2004; Janssen et al., 2004). Ketika pekerja tahu kalau

sumberdaya tidak cukup untuk memenuhi permintaan pekerjaan atau

ketika tambahan dukungan personil tidak menyediakan hasil yang

diinginkan, kelelahan emosional dapat muncul (Lee dan Ashforth, 1996;

Wright dan Hofboll, 2004). Pembahasan tersebut mengatakan bahwa ada

dua faktor yang menyebabkan kelelahan emosional menjadi rendah: (1)

persepsi pekerja bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bekerja baik

– ketepatan pekerjaan seseorang, dan (2) pekerja percaya bahwa gaya

kepemimpinan dapat bernilai pada alokasi sumberdaya dan menyediakan

sumberdaya yang sama untuk memenuhi permintaan pekerjaan mereka.

67

Page 48: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

5.1 Jenis-jenis Kelelahan

Berdasarkan pendapat para ahli sebagaimana yang dikutip oleh

Silaban (1996) bahwa kelelahan dibedakan berdasarkan 3 (tiga) bagian

yaitu :

1. Berdasarkan proses dalam otot yang terdiri atas ; Kelelahan otot,

menurut Wignjoesoebroto (2000) ialah disebabkan munculnya gejala

kesakitan yang amat sangat ketika otot harus melakukan beban.

Kelelahan umum, menurut Grandjean (1985) ialah suatu perasaan

yang menyebar yang disertai dengan adanya penurunan kesiagaan

dan kelambatan pada setiap aktivitas. Astrand dan Rodahl (1986)

menyatakan bahwa kelelahan umum dapat menjadi gejala penyakit

juga berhubungan dengan faktor psikologis (motivasi menurun, kurang

tertarik) yang mengakibatkan menurunnya kapasitas kerja. Sebab -

sebab kelelahan umum adalah monotoni, intensitas dan lamanya kerja

fisik dan mental, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental (tanggung

jawab, kekhawatiran dan konflik) serta penyakit-penyakit.

2. Berdasarkan waktu terjadinya Kelelahan berupa Kelelahan akut,

terutama disebabkan oleh kerja suatu organ atau seluruh tubuh secara

berlebihan dan Kelelahan kronis, menurut Grandjean dan Kogi (1972)

terjadi bila kelelahan berlangsung setiap hari, berkepanjangan dan

bahkan kadang-kadang telah terjadi sebelum memulai suatu pekerjaan

3. Berdasarkan penyebabnya, Menurut Singleton (1972) disebabkan oleh

faktor fisik dan psikologis di tempat kerja seperti kebisingan dan suhu

68

Page 49: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

ruangan. Menurut McFarland (1972) disebabkan oleh faktor fisiologis

yaitu akumulasi dari substansi toksin (asam laktat) dalam darah dan

faktor psikologis yaitu konflik yang menyebabkan stres emosional yang

berkepanjangan serta Menurut Phoon (1988) disebabkan oleh

kelelahan fisik yaitu kelelahan karena kerja fisik, kerja patologis

ditandai dengan menurunnya kerja, rasa lelah dan ada hubungannya

dengan faktor psikososial.

5.2 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kelelahan

Kelelahan terjadi karena terkumpulnya produk-produk sisa dalam

otot dan peredaran darah dimana produk-produk sisa ini bersifat bisa

membatasi kelangsungan aktivitas otot. Atau mungkin bisa dikatakan

bahwa produk-produk sisa ini mempengaruhi serat-serat syaraf dan

sistem syaraf pusat sehingga menyebabkan orang menjadi lambat bekerja

jika sudah lelah ( Sutaklaksana, 1979).

Timbulnya rasa lelah dalam diri manusia merupakan proses yang

terakumulasi dari berbagai faktor penyebab dan mendatangkan

ketegangan (stres) yang dialami oleh tubuh manusia ( Wignjosoebroto,

2000). Green (1992) dan Suma’mur (1997) dari proceeding

mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan ada dua yaitu

faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk faktor internal antara

lain : faktor somatis atau fisik, gizi, jenis kelamin, usia, pengetahuan dan

sikap atau gaya hidup sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah

keadaan fisik lingkungan kerja (kebisingan, suhu, pencahayaan), faktor

69

Page 50: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

kimia (zat beracun), faktor biologis (bakteri, jamur), faktor ergonomi,

kategori pekerjaan, sifat pekerjaan, disiplin atau peraturan perusahaan,

upah, hubungan sosial dan posisi kerja atau kedudukan.

Barnes (1980) dari proceeding mengatakan ada beberapa faktor

yang mempengaruhi tingkat kelelahan antara lain jam kerja, periode

istiarahat, kondisi fisik lingkungan kerja yang berpengaruh terhadap

kenyamanan fisik, sikap dan mental tenaga kerja sejauh mungkin

dikurangi atau dihilangkan agar tercipta kondisi kerja yang menyenangkan

( Wignjosoebroto, 2000).

Konsekuensi kelelahan kerja menurut Randalf Schuler (1999)

berupa Pekerja yang mengalami kelelahan kerja akan berprestasi lebih

buruk lagi daripada pekerja yang masih “penuh semangat”, Memburuknya

hubungan si pekerja dengan kerja yang lain dapat mendorong terciptanya

tingkah laku yang menyebabkan menurunnya kualitas hidup seseorang.

Menurut Suma’mur (1996) ada 30 gejala kelelahan yang terbagi

dalam 3 kategori yaitu : pertama menunjukkan terjadinya pelemahan

kegiatan, perasaan berat di kepala, menjadi lelah seluruh badan, kaki

merasa berat, sering menguap, merasa kacau pikiran, menjadi

mengantuk, merasakan beban pada mata, kaku dan canggung dalam

gerakan, tidak seimbang dalam berdiri, mau berbaring. Kedua

menunjukkan terjadinya pelemahan motivasi, akibatnya merasa susah

berpikir, lelah berbicara, menjadi gugup, tidak berkonsentrasi, tidak dapat

mempunyai perhatian terhadap sesuatu, cenderung untuk lupa, kurang

70

Page 51: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

kepercayaan, cemas terahadap sesuatu, tidak dapat mengontrol sikap,

tidak dapat tekun dalam pekerjaan. Dan yang ketiga menujukkan

gambaran kelelahan fisik akibat keadaan umum, seperti sakit kepala,

kekakuan di bahu, merasa nyeri di punggung, terasa pernafasan tertekan,

haus, suara sesak, terasa pening, spasme dari kelopak mata, tremor pada

anggota badan, merasa kurang sehat.

5.3 Cara Mengatasi Kelelahan

Untuk menghindari rasa lelah diperlukan adanya keseimbangan

antara masukan sumber datangnya kelelahan tersebut (faktor-faktor

penyebab kelelahan) dengan jumlah keluaran yang diperoleh lewat proses

pemulihan (recovery). Proses pemulihan dapat dilakukan dengan cara

antara lain memberikan waktu istirahat yang cukup baik yang terjadwal

atau terstruktur atau tidak dan seimbang dengan tinggi rendahnya tingkat

ketegangan kerja. Dengan memperpendek jam kerja harian akan

menghasilkan kenaikan output per jam sebaliknya dengan

memperpanjang jam kerja harian akan menjurus memperlambat

kecepatan (tempo) kerja yang akhirnya berakibat pada penurunan prestasi

kerja per jamnya.

Kelelahan dapat dikurangi dengan berbagai cara yang ditunjukkan

kepada keadaan umum dan lingkungan fisik di tempat kerja. Misalnya,

banyak hal dapat dicapai dengan jam kerja, pemberian kesemnpatan

istirahat yang tepat, kamar-kamar istirahat, masa-masa libur dan rekreasi,

dan lain-lain. Pengetrapan ergonomi dalam hal pengadaan tempat duduk

71

Page 52: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

meja dan bangku-bangku kerja sangat membantu. Demikian pula

organisasi proses produksi yang tepat. Selanjutnya usaha-usaha perlu

ditujukkan kepada kebisingan, tekanan panas, pengudaraan dan

penerangan yang baik.

5.4 Burnout

Istilah Burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada

masyarakat oleh Herbet Freudenberger pada tahun 1974. Freudenberger

adalah seorang ahli psikologis klinis pada lembaga pelayanan sosial di

New York yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan

perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil

pengamatannya, ia laporkan dalam sebuah jurnal psikologi professional

pada tahun 1973 yang disebut sebagai sindrom burnout (Faber,1991).

Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan mental,

kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya

waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang

dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung

yang terbakar habis (burned-out).

Freudenberger (1974) menggunakan istilah burnout yang pada

awalnya digunakan pada tahun 1960-an untuk merujuk pada efek-efek

penyalahgunaan obat-obat terlarang yang kronis (dalam Sutjipto, 2001).

Freudenberger (dalam Sutjipto, 2001) menjelaskan burnout sebagai suatu

keadaan lelah atau frustrasi yang disebabkan oleh karena cara hidup atau

72

Page 53: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

hubungan yang gagal untuk mendapatkan apa yang diharapkan. Jenis

individu yang seperti ini pada awalnya memiliki komitmen penuh dan

berdedikasi tinggi kepada pekerjaannya. Ketika individu berusaha untuk

mencapai harapan-harapan yang ideal dan kadang kurang realistik,

individu lalu bekerja amat keras untuk orang lain, sedangkan yang ia

peroleh dari kerja kerasnya hanya sedikit sekali dan juga harapannya itu

tidak semuanya dapat terpenuhi, bahkan mungkin jauh dari yang

diharapkan. Bila individu tersebut memaksakan untuk memenuhinya

harapannya, maka gejala seperti hilangnya vitalitas, energy maupun

gangguan lainnya akan timbul dan hal tersebut bisa mengakibatkan

burnout.

Cherniss (1980) mendefinisikan burnout sebagai tindakan

penarikan diri secara psikologis sebagai respon terhadap stres yang

berlebihan atau ketidakpuasan dalam pekerjaan. Individu memandang

pekerjaanya sebagai sesuatu yang mulia dan berharga pada awalnya,

juga antusiasme tinggi dalam bekerja, tetapi akibat ketidakpuasan yang

menghasilkan stres yang berlebihan mempengaruhi langsung terhadap

perubahan motivasi, menurunnya antusiasme dan berkurangnya

ketertarikan terhadap pekerjaan. Menarik diri dari pekerjaan, seperti

menghindar dari klien yang seharusnya ditangani, sikap menyalahkan

klien, maupun menurunnya sikap positif terhadap klien merupakan salah

satu gambaran perubahan tingkah laku dan sikap menurut Cherniss.

Tokoh lainnya yang merupakan salah satu ahli yang mempelajari tentang

73

Page 54: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

burnout lebih lanjut melalui penelitian-penelitian yang dilakukannya oleh

Maslach (1993).

Maslach mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang terdiri atas

kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi, dan

penurunan pencapaian prestasi diri (reduced personal accomplishment ),

yang dialami oleh individu yang bekerja memberikan pelayanan bagi

orang lain. Menerangkan juga bahwa burnout merupakan respon terhadap

ketegangan-ketegangan emosional yang muncul karena berhubungan

secara intensif dengan orang lain.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan

burnout sebagai suatu gejala yang terjadi pada tingkat individu, yang

merupakan pengalaman internal yang bersifat psikologis karena

melibatkan perasaan, sikap, motif, dan harapan-harapan yang

menyebabkan keadaan kelelahan secara fisik, emosi, dan mental yang

disebabkan oleh keterlibatan seseorang dalam pekerjaan pelayanan

akibat hubungan yang tidak seimbang antara pemberi dan penerima

pelayanan.

Menurut Maslach (dalam Farber, 1991) bahwa burnout merupakan

suatu pengertian yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom

psikologi yang terdiri atas tiga dimensi, yaitu kelelahan emosional,

depersonalisasi dan reduced personal accomplishment atau penurunan

pencapaian diri individu.

74

Page 55: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Emotional exhaustion (kelelahan emosional). Kelelahan emosional

merupakan inti dari sindrom burnout. Kelelahan emosional ditandai

dengan terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya perasaan

frustrasi, putus asa, sedih, dan tidak berdaya, tertekan, mudah

tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas. Depersonalisasi,

merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Gambaran

depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, kasar, menjaga jarak,

dengan penerima pelayanan, menjauhnya seseorang dari lingkungan

sosial, dan cenderung tidak peduli dengan lingkungan serta orang-orang

disekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan idealisme,

berpendapat negatif dan bersikap sinis. Reduced Personal

Accomplishment (penurunan hasrat pencapaian diri). Disebabkan

perasaan bersalah karena telah memberi pelayanan yang tidak baik,

karena sebagai pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku

yang positif.

Proses burnout sendiri merupakan suatu proses transaksional yang

meliputi hubungan (transaksi) antara stres pekerjaan, ketegangan (Strain),

dan coping (Cherniss, 1980). Proses terjadinya burnout sendiri melalui

tahap stress, dimana adanya hubungan yang tidak seimbang antara

sumber daya yang dimiliki individu dengan tuntutan dari lingkungan akan

menyebabkan ketegangan, dan tarhadap strain pada tahap ini individu

biasanya secara tidak sadar memilah ketegangan (strain), dilihat

sejauhmana sumber ketegangan tersebut dirasa mengancam.

75

Page 56: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Caputo (1991) menjelaskan proses terjadinya burnout juga bisa

dijelaskan dengan mengunakan teori GAS ( General Adaptation

Syndrome ) dari Selye’s diantaranya : a). Alarm reaction dari system saraf

otonom, termasuk peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan

darah dan otot menegang. Tahap bisa diartikan sebagai pertahanan

tubuh. b). Resistance (adaptasi yang didalamnya termasuk berbagai

macam respon coping secara fisik). c). Exhaustion (kelelahan) akan terjadi

kemudian apabila secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup

lama, dan jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan

secara kuat disinilah burnout muncul.

Maslach (1998) menjelaskan dampak-dampak burnout secara

umum berpengaruh pada individu, orang lain dan orang terdekat,

penjelasannya adalah :

a. Dampak burnout pada individu tampak secara fisik, seperti penurunan

kekebalan tubuh individu sehingga rentan terhadap penyakit antara

lain demam dan sakit kepala. Sedangkan dampak secara psikis

menyebabkan individu menilai dirinya rendah dan bila berlanjut dapat

menyebabkan depresi. Mereka juga menarik diri dari kehidupan sosial

dan terlibat dalam penyalahgunaan obat-obatan untuk mengatasi

masalah. Sedangkan fungsi kognitif mengalami penurunan dalam

konsentrasi dan kemampuan pemecahan masalah (Maslach, 1998).

b. Dampak burnout pada orang lain disarankan oleh penerima pelayanan

dan keluarga. Perubahan sikap memberi pelayanan ternyata

76

Page 57: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

berdampak negatif terhadap kondisi penerima pelayanan. Sedangkan

terhadap keluarga dampak burnout dapat mempengaruhi hubungan

individu dengan keluarga, sehingga konflik perkawinan dengan

keluarga meningkat, bahkan pada situasi tertentu dapat menyebabkan

perceraian.

c. Dampak burnout menurut Cherniss (1980) mempengaruhi efektifitas

dan efisiensi orang yang mengalami burnout, misalnya ketidakhadiran

individu yang terlampau sering sehingga menghambat penerapan

program pelayanan pada akhirnya terjadi pemborosan financial

d. Muldary (1983) mengemukakan bahwa dampak dari burnout antara

lain angka kehadiran kerja yang rendah, terjadinya pergantian kerja,

sering beristirahat pada jam kerja. Saat pulang ke rumah sering terjadi

percekcokan dalam keluarga. Pekerja mengalami insomnia,

penyalahgunaan obat-obatan, alkohol dan mudah mengalami

psikomatik. Dengan demikian, pekerja yang mengalami burnout

menghabiskan waktu serta biaya yang tinggi baik institusi maupun

individu itu sendiri.

6. Komitmen Organisasi

Studi awal mengenai loyalitas yang diharapkan dimiliki oleh

komitmen karyawan terhadap organisasi saat ini mendapat perhatian dari

manajer maupun ahli perilaku organisasi yang berkembang setiap

karyawan terhadap organisasi. Komitmen karyawan pada organisasi

merupakan dimensi perilaku yang penting yang dapat digunakan untuk

77

Page 58: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

mengukur dan mengevaluasi kekuatan karyawan dalam bertahan dan

melaksanakan tugas dan kewajibannya pada suatu organisasi, dimana

dengan mengetahui komitmen yang dimiliki organisasi dapat menentukan

arah kebijaksanaannya dengan modal sumber daya manusia yang

tangguh dan berdaya guna. Komitmen merupakan salah satu senjata

yang paling kompetitif dan ampuh dalam kesuksesan suatu organisasi.

Karyawan yang mempunyai komitmen yang tinggi mempunyai peluang

yang lebih besar untuk mencapai tujuan yang diharapkannya. Oleh karena

itu organisasi akan lebih mudah mencapai sasaran dan tujuannya jika

karyawan mempunyai komitmen terhadap organisasi. Keberhasilan

karyawan dalam mencapai tujuannya menggambarkan keberhasilan

organisasi secara keseluruhan. Sheldon (dalam Mowday 1992)

menyebutkan bahwa komitmen organisasional adalah suatu sikap atau

suatu orientasi terhadap organisasi yang mengaitkan identitas pribadi

orang tersebut terhadap organisasi. Dalam hal ini Sheldon menekankan

pada identitas pribadi dengan identitas organisasi.

Membahas tentang komitmen, dapat dikaji menjadi komitmen

profesional maupun organisasional. Suatu komitmen profesional pada

dasarnya merupakan persepsi yang berintikan loyalitas, tekad dan

harapan seseorang dengan dituntun oleh sistem nilai atau norma yang

akan mengarahkan orang tersebut untuk bertindak atau bekerja sesuai

prosedur-prosedur tertentu dalam upaya menjalankan tugasnya dengan

tingkat keberhasilan yang tinggi (Larkin : 1990 dalam Trisnaningsih :

78

Page 59: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

2004). Hall (1968) dalam Khikmah (2005), kemudian dirumuskan lagi

oleh Kalbers dan Forgarty (1995) dalam Palma (2006) mengemukakan

lima aspek profesionalisme antara lain: (1). Hubungan dengan sesama

profesi (community affiliation). Elemen ini berkaitan dengan pentingnya

menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya

organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sumber ide

utama pekerjaan, (2). Kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand), yaitu

suatu pandangan menyatakan seseorang yang profesional harus mampu

membuat keputusan sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak lain

(pemerintah, klien atau yang bukan anggota profesi), (3). Keyakinan

terhadap peraturan sendiri atau profesi (belief self regulation), maksudnya

bahwa yang paling berwenang dalam penilaian pekerjaan profesional

adalah rekan sesama profesi, bukan ”orang luar” yang tidak mempunyai

kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka, (4). Dedikasi pada

profesi (dedication). Elemen ini merupakan pencerminan dari dedikasi

profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang

dimiliki untuk tetap teguh dalam melaksanakan pekerjaannya meskipun

imbalan ekstrinsik yang diterima dikurangi, (5). Kewajiban sosial (social

obligation). Elemen ini menunjukkan pandangan tentang pentingnya

profesi serta manfaat yang didapatkan baik oleh masyarakat maupun

profesional karena ada pekerjaan tersebut.

Komitmen profesional pada dasarnya dapat dijadikan gagasan

yang mendorong motivasi seseorang dalam bekerja. Gibson et. al (1993 :

79

Page 60: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

94) mengutarakan bahwa motivasi adalah suatu konsep yang kita

gunakan jika kita menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap

atau di dalam diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku.

Motivasi juga dapat diartikan sebagai dorongan yang timbul pada diri

seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan

dengan tujuan tertentu atau usaha yang dapat menyebabkan seseorang

atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin

mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan

perbuatannya. Meskipun bukan satu-satunya determinan tetapi motivasi

dapat dikatakan sebagai determinan yang penting bagi prestasi seorang

individu. Komitmen profesional akan mengarahkan pada motivasi kerja

secara profesional juga. Seorang profesional yang secara konsisten

dapat bekerja secara profesional dan dari upayanya tersebut

mendapatkan penghargaan yang sesuai, tentunya akan mendapatkan

kepuasan kerja dalam dirinya. Oleh karena itu, motivasi tidak dapat

dipisahkan dengan kepuasan kerja yang seringkali merupakan harapan

seseorang (Trisnaningsih : 2004).

Komitmen yang tak kalah pentingnya untuk dimiliki oleh seseorang

adalah komitmen organisasional. Suatu komitmen organisasional

menunjukkan suatu daya dari seseorang dalam mengidentifikasikan

keterlibatannya dalam suatu bagian organisasi (Modway et al : 1982

dalam Trisnaningsih : 2004). Trisnaningsih (2004) mengemukakan jika

seseorang yang bergabung dengan suatu organisasi tentunya membawa

80

Page 61: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

keinginan-keinginan, kebutuhan dan pengalaman masa lalu yang

membentuk harapan kerja baginya, bersama-sama dengan organisasinya

berusaha mencapai tujuan bersama dan untuk bekerja sama dan

berprestasi kerja dengan baik, seorang karyawan harus mempunyai

komitmen yang tinggi pada organisasinya. Komitmen organisasional dapat

didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak

pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat

memelihara keanggotaan dalam oganisasi itu. Komitmen pada organisasi

yang tinggi berarti pemihakan pada organisasi yang mempekerjakannya

(Robbins, 2001 : 140).

Meyer dan Allen (1991,1997) dalam Ikhsan dan M Ishak (2005 : 36)

mengemukakan tiga komponen mengenai komitmen organisasi antara

lain: (1). Komitmen Afektif (affective commitment), terjadi apabila

karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan

emosional (emotional attachment) atau psokologis terhadap organisasi.

(2). Komitmen Kontinu (continuance commitment), muncul apabila

karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji

dan keuntungan-keuntungan lain atau karena karyawan tersebut tidak

menemukan pekerjaan lain. Dengan kata lain, karyawan tersebut tinggal

di organisasi itu karena dia membutuhkan organisasi tersebut. (3).

Komitmen Normatif (normative commitment), timbul dari nilai-nilai diri

karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena

memiliki kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal

81

Page 62: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

yang memang seharusnya dilakukan. Jadi, karyawan tersebut tinggal di

organisasi itu karena dia merasa berkewajiban untuk itu.

Sama halnya dengan komitmen profesional, komitmen

organisasional seseorang dapat tumbuh saat pengharapan kerjanya dapat

terpenuhi oleh organisasi dengan baik yaitu saat seseorang merasa

bahwa organisasi dimana ia bekerja telah memperhatikan kebutuhan dan

pengharapan mereka atas pekerjaan yang telah mereka laksanakan yang

tercermin dengan diberikannya penghargaan kepadanya entah dalam

bentuk misalnya seperti gaji atau promosi jabatan.

Komitmen yang tinggi menjadikan individu lebih mementingkan

organisasi daripada kepentingan pribadi dan berusaha menjadikan

organisasi menjadi lebih baik. Komitmen organisasi yang rendah akan

membuat individu untuk berbuat untuk kepentingan pribadinya.. Selain itu,

komitmen organisasi dapat merupakan alat bantu psikologis dalam

menjalankan organisasinya untuk pencapaian kinerja yang diharapkan

(Nouri dan Parker, 1996; McClurg, 1999; Chong dan Chong, 2002;

Wentzel, 2002). Komitmen organisasi yang tinggi akan meningkatkan

kinerja yang tinggi pula (Randall ,1990) dalam Nouri dan Parker (1996).

7. Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah tingkat perasaan seseorang setelah

membandingkan hasil yang dirasakan atau didapatkannya dengan apa

yang menjadi harapannya. Smith et.al (2000) mendefinisikan kepuasan

kerja sebagai serangkaian perasaan senang atau tidak senang dan emosi

82

Page 63: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

seorang pegawai yang berkanaan dengan pekerjaannya sehingga

merupakan penilaian pegawa terhadap perasaan menyenangkan, positif

atau tidak terhadap pekerjaannya. Catatan-catatan hasil penelitian tentang

kepuasan kerja, dapat dilihat antara pemberdayaan sistim dalam

lingkungan kerja dengan keinginan karyawan, yang dinyatakan dengan

kepuasan yang dapat diungkapkan seperti: menyenangkan atau bentuk

pernyataan positif yang dihasilkan dari catatan pengamatan dari suatu

pekerjaan dalam jangka waktu tertentu dan dari pengalaman bekerja

seseorang karyawan, mulai bekerja sampai waktu penilaian. Terjadinya

pengayaan atas suatu nilai dari situasi di dalam pekerjaan, dapat

dinyatakan sebagai suatu emosi dalam bentuk kesenangan yang diketahui

dan dirasakan, dikatakan sebagai kepuasan kerja.

Karakteristik kepuasan adalah ciri-ciri tertentu suatu pekerjaan,

yang merupakan pengaruh yang dibedakan di antara pencatatan dari

beberapa nilai yang dihasilkan dan diperoleh seseorang, serta pencatatan

dari apa yang diharapkan akan diperoleh seseorang. Kebutuhan fisik

menurut Maslow adalah, pemenuhan kebutuhan fisiologis atau kebutuhan

dasar (basic needs) seperti; makan-minum, pakaian, perumahan, dan

biologis atau seks. Pemenuhan rasa keamanan dan pemenuhan

kebutuhan rohani atau psikologis antara lain; rasa aman dan

bermasyarakat (safety and social needs), serta kebutuhan ingin dihargai

dan menghargai (pride needs) dan terakhir kebutuhan untuk

mengaktualisasikan diri (selfactualization needs).

83

Page 64: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Intisari hirarki kebutuhan Maslow (1943) menjadi kebutuhan akan

eksistensi, ketergantungan dan perkembangan yang dinamakan teori

ERG (Existence, Relackted, and Growth). Kebutuhan ketergantungan

mencakup kategori kebutuhan sosial dan penghargaan dari Maslow.

Kebutuhan perkembangan mencakup keinginan orang untuk memiliki

kepercayaan pada diri sendiri dan keinginan dapat bekerja produktif. Jadi

kebutuhan perkembangan meliputi juga kebutuhan penghargaan dan

realisasi diri dari Maslow. Dengan kata lain, sesuai dengan tingkatan

kebutuhan ini, seseorang dikatakan memperoleh kepuasan apabila dapat

memenuhi kebutuhannya.

Dilanjutkan oleh Elton Mayo (1880 -1949) yang membandingkan

pendapat Weber yang sangat relevan dengan teori manajemen. Sebagai

penerapan dijelaskan di dalam teori hubungan antar manusia (human

relation theory) yang menjadi dasar inspirasi perkembangan teori-teori

motivasi di dalam mencapai kepuasan kerja.

Elton Mayo menguraikan keberhasilan peningkatan produktivitas

karyawan dapat dicapai apabila hubungan antar karyawan, dan dengan

atasannya dapat berlangsung dan berjalan dengan baik, sehingga tingkat

produktivitas di sini sebagai motivasi karyawan untuk memenuhi

kepuasannya dari hasil pekerjaannya. Motivasi disini adalah untuk

rnenciptakan kepuasan yang merupakan konsep yang dipakai di dalam

menjelaskan intensitas dan ketepatan arah tujuan dari perilaku orang.

84

Page 65: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

7.1 Teori-teori Kepuasan Kerja

Menurut teori McClelland (1985), untuk memenuhi kebutuhan dasar

manusia (basic needs) yang membuat orang terdorong untuk melakukan

suatu pekerjaan adalah; pertama, suatu keinginan untuk mengatasi dan

mengalahkan suatu tantangan yang berguna bagi kemajuan dan

pertumbuhan atau kebutuhan untuk berprestasi (needs for achievement).

Kedua, dorongan untuk melakukan hubungan dengan orang lain (needs

.for affiliation). Ketiga, sebagai dorongan untuk mengendalikan suatu

keadaan dan permasalahan yang dihadapi atau kebutuhan akan

kekuasaan (needs for power). Apabila seseorang mempunyai keinginan

yang menjadi dasar untuk memenuhi perihal di atas secara nyata serta

dapat terpenuhi, maka orang itu dikatakan memperoleh kepuasannya.

Teori dua faktor dari Hezrberg mengemukakan tentang motivasi

yang membuat orang merasa puas dan membuat orang merasa tidak

puas (ekstrinsik dan intrinsiik). Penelitian Hezrberg melahirkan dua

kesimpulan khusus mengenai teori tersebut.

Pertama, ada serangkaian kondisi ekstrinsik yang merupakan faktor-faktor

yang membuat orang dapat menilai suatu kondisi kerja seperti; keadaan

pekerjaan yang menyebabkan rasa tidak puas di antara para karyawan,

apabila kondisi ini tidak ada. Jika kondisi ini ada maka hal itu tidak perlu

memotivasi karyawan. Faktor-faktor tersebut meliputi ; upah (reward),

keamanan kerja (safety of job), kondisi kerja (work of condition), status,

prosudur perusahaan (standart procedure), mutu supervisi teknis (quality

85

Page 66: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

of supervision) dan mutu dari hubungan interpersonal diantara teman

sejawat, antara atasan dengan bawahan (quality of human relation)

Kedua, merupakan serangkaian kondisi instrinsik seperti; kepuasan

pekerja, yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan

tingkat motivasi yang kuat, yang menghasilkan prestasi pekerjaan yang

baik. Jika kondisi ini tidak ada maka tidak menimbulkan rasa

ketidakpuasan yang berlebihan yang dinamakan pemuas atau motivator,

yang meliputi, antara lain ; prestasi (achievement), pengakuan

(recognation), prestasi, pengakuan (recognation), tanggung jawab

(responsibility), kemajuan (advancement), pekerjaan itu sendiri (the work

it self), dan Kemungkinan berkembang (the posible of growth)

Dengan demikian dapat dikatakan, apabila kondisi pertama, yaitu

karyawan secara otomatis termotivasi karena terpenuhinya kondisi-kondisi

tersebut, yang dapat menciptakan kepuasan bagi karyawan. Serta faktor

kedua, yaitu rangkaian kondisi instrinsik terpenuhi, maka karyawan

memperoleh motivator untuk pemuas.

7.2 Faktor-Faktor Kepuasan Kerja Karyawan

Pada dasarnya faktor-faktor kepuasan kerja adalah perasaan orang

terhadap pekerjaannya. Masalah perasaan adalah menyangkut sifat

mental rohani seseorang. Perasaan ini sangat erat hubungannya dengan

gejala-gejala jiwa yang sifatnya internal dan beraspek aktif maupun pasif.

Dikatakan aktif karena yang bersangkutan berusaha untuk memberikan

86

Page 67: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

nilai atau merasakan, sedangkan dikatakan pasif karena dikenakan nilai-

nilai yang lain.

Kotler et.al (1985) mengatakan pendapat tentang perasaan yang

terdiri dari tiga hal, yakni (1) suasana hati, (2) perasan dalam arti sempit,

(3) emosi. Suasana hati ialah perasaan yang terkandung di dalam situasi

kejiwaan yang dapat berlangsung lama. Suasana hati ditentukan oleh

situasi, dimana situasi dapat dibedakan: (a) Euphoor, yaitu rasa gembira,

(b) Netral, yaitu rasa acuh tak acuh, dan (c) Disphoor, yaitu rasa murung.

Perasaan dalam arti sempit yaitu suatu rasa yang selalu bersangkut

paut dengan situasi tertentu yang di dalamnya terdapat hasil konfrontasi

harga diri dengan harga yang lain sehingga timbul banyak ragam

perasaan, misalnya; heran, dan cinta, puas dan tidak puas.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:

(1) Penghasilan yang diterima secara adil (equity) dibandingkan dengan

yang diterima oleh orang lain, (2) penerimaan yang diterima tidak sesuai

dengan seharusnya diterima (discrepancy), (3) kondisi kerja yang kondusif

dan menyenangkan, (4) hubungan antar karyawan yang serasi, (5)

hubungan atasan dan bawahan, (6) adanya promosi yang terencana

dengan balk, (7) pengakuan dan penghargaan atas prestasi kerja, (8)

rendahnya tingkat keluar masuk karyawan dalam pekerjaan (turn-over),

dan (9) tidak masuk kerja (absen).

Kepuasan kerja seseorang tergantung karakteristik individu dan

situasi pekerjaan. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang

87

Page 68: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

berbeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Semakin

banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan kepentingan dan

harapan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang

dirasakannya dan sebaliknya. Menurut Lawler III (1998), ukuran kepuasan

kerja sangat didasarkan atas kenyataan yang dihadapi dan diterima

sebagai kompensasi usaha dan tenaga yang diberikan. Kepuasan kerja

tergantung kesesuaian atau keseimbangan (equity) antara yang

diharapkan dan kenyataan.

Kepuasan kerja dapat dipahami melalui tiga aspek. Pertama,

kepuasan kerja merupakan bentuk respon pekerja terhadap kondisi

lingkungan pekerjaan. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh hasil

pekerjaan atau kinerja. Ketiga, kepuasan kerja terkait dengan sikap

lainnya dan dimiliki oleh setiap pekerja (Luthans,2006). Smith et.al.(1996)

secara lebih rinci mengemukakan berbagai dimensi dalam kepuasan kerja

yang kemudian dikembangkan menjadi instrument pengukur variable

kepuasan terhadap (1) menarik atau tidaknya jenis pekerjaan yang

dilakukan oleh pekerja, (2) jumlah kompensasi yang diterima pekerja, (3)

kesempatan untuk promosi jabatan, (4) kemampuan atasan dalam

memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku dan dukungan rekan

kerja.

8. Penyimpangan Organisasi

Menurut pendekatan fungsionalis, profesionalisme dikaitkan

dengan pandangan bahwa pekerjaan yang menunjukkan sejumlah

88

Page 69: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

karakteristik yang diperlukan profesi (Kalbers dan Fogarty, 1995). Rhode

(1978) melaporkan bahwa lebih dari 50% (lima puluh persen) anggota

AICPA mengakui bahwa mereka telah menerima dan melakukan sign off

terhadap langkah audit atau melakukan audit dengan kualitas dibawah

standar.

Hasil penelitian Lightner (1983), teori harapan (expectancy theory)

menemukan bahwa sejumlah akuntan secara signifikan menerima dan

melakukan under-reporting time. Under-reporting time adalah melaporkan

waktu yang dibutuhkan untuk audit lebih pendek daripada waktu yang

sesungguhnya. Perilaku ini terjadi karena auditor tidak melaporkan dan

tidak membebankan seluruh waktu yang digunakan untuk melakukan

tugas audit tertentu. Tindakan ini dilakukan auditor dengan cara

mengerjakan program audit dengan menggunakan waktu personal, dan

tidak melaporkan waktu lembur yang digunakan dalam pengerjakan

program audit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lebih dari

65% (enam puluh lima persen) auditor melakukan audit tanpa melaporkan

waktu yang sesungguhnya.

Berbagai bukti empiris dari penelitian-penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa ada masalah penyimpangan

organisasi yang disebabkan penerimaan perilaku audit disfungsional yang

dihadapi oleh akuntan publik dalam rangka memenuhi tanggungjawab

profesinya. Salah satu faktor penyebab penerimaan perilaku audit

disfungsional adalah faktor internal individu auditor (Irawati, dkk. 2005).

89

Page 70: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

Pernyataan serupa disampaikan oleh Donnelly dkk., (2003). Mereka

menyatakan, faktor internal individu auditor mempunyai potensi

mempengaruhi penerimaan perilaku audit disfungsional. Menurut literatur

perilaku organisasi, faktor internal individu dapat mempengaruhi individu

untuk mempertahankan pekerjaan (Donnelly dkk., 2003).

Pemahaman tentang pentingnya faktor internal individu dalam

penyimpangan organisasi yang disebabkan penerimaan perilaku audit

disfungsional berguna bagi pimpinan Instansi/organisasi sebagai masukan

dalam membuat kebijakan untuk mengurangi penerimaan perilaku audit

disfungsional oleh auditor dalam pelaksanaan program audit. Hal ini

memberi motivasi bagi peneliti untuk melakukan pengkajian yang lebih

mendalam mengenai pengaruh faktor internal individu auditor (gaya

kepemimpinan, self efficacy, kelelahan emosional) terhadap

penyimpangan organisasi yang disebabkan penerimaan perilaku audit

disfungsional yang dilakukan oleh auditor. Penelitian di bidang psikologi

menemukan bahwa perilaku individu menggambarkan personalitas

individu tersebut dan faktor-faktor situasional saat itu ketika membuat

keputusan tindakan tertentu. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui

bahwa kecenderungan auditor untuk memilih perilaku disfungsional dalam

audit berkaitan dengan berbagai faktor internal individu auditor .

Dalam melaksanakan tugasnya, auditor harus mengikuti standar

audit yang terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan dan

standar pelaporan serta kode etik akuntan. Dalam kenyataan di lapangan,

90

Page 71: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

auditor banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap

standar audit dan kode etik. Perilaku ini diperkirakan sebagai akibat dari

karakteristik personal yang kurang bagus yang dimiliki seorang auditor.

Dampak negatif dari perilaku ini adalah terpengaruhnya kualitas audit

secara negatif dari segi akurasi dan reliabilitas. Pelanggaran yang

dilakukan auditor dalam audit dapat dikategorikan sebagai sebuah

Penyimpangan organisasi dalam hal ini berupa Penyimpangan Perilaku

Dalam Audit (PPA).

Robinson dan Bennett (1995) mendefinisikan penyimpangan

tempat kerja sebagai kurangnya pemenuhan akan norma organisasi dan

ekspektasinya. Perilaku menyimpang dapat dikaitkan dengan persepsi

pekerja akan tekanan pekerjaan yang dapat menciptakan frustasi dan

perasaan terhina (Colbert et al., 2004). Bennett dan Robinson (2000)

meneliti dua jenis penyimpangan tempat kerja: (1) penyimpangan

interpersonal langsung terhadap pekerja lain dan (2) penyimpangan

organisasi yang terjadi di tempat kerja. Penyimpangan interpersonal dapat

berbentuk perilaku langsung terhadap rekan kerja yang mengandung

kekerasan, penghinaan, kegiatan fisikal lainnya (Robinson dan Bennett,

1995). Penyimpangan perilaku terhadap organisasi diwujudkan dalam

bentuk ketidak setujuan, tidak menjalankan norma organisasi, atau

melanggar kebijakan organisasi.

Kelelahan emosional dihasilkan dari kurangnya kepemimpinan f,

direktif dan supportif yang secara langsung lebih terkait kepada organisasi

91

Page 72: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

ketimbang antar rekan kerja. Ini dikarenakan karyawan seringkali melihat

supervisor mengubah perusahaan yang seringkali mempengaruhi

kehidupan mereka (Strutton et al., 1993). Jadi, baik tindakan supervisor

dan kurangnya tindakan yang berpengaruh terhadap sikap pekerja

(kepuasan kerja dan komitmen organisasi) dan perilaku organisasi.

Peneliti juga mengatakan bahwa pekerja yang tidak puas seringkali

berperilaku menyimpang untuk menyalurkan rasa frustasi mereka (Judge.,

2004). Sebaliknya, ketika pekerja senang dengan pekerjaannya, mereka

membalasnya dengan membantu perusahaan mencapai tujuannya.

B. Tinjauan Empiris

Penelitian yang berkaitan dengan kualitas kepemimpinan telah

lama diteliti dan sudah banyak dilakukan, salah satu peneliti yang

melakukan penelitian antara lain Thorlakson dan Murray (1996) yang

membuktikan bahwa ada hubungan yang didapat kualitas kepemimpinan

suatu organisasi atau pemimpin organisasi akan dapat membawa

organisasi ke arah yang lebih baik dan dapat mengembangkan potensi

yang dimiliki oleh organisasi. Penelitian ini juga mengevaluasi efek

pengenalan pemberdayaan yang terkontrol dengan kekuatan, fungsi,

manajerial dan gaya kepemimpinan serta motivasi kerja. Indikator sebagai

pertimbangan kualitas kepemimpinan seperti tingkat inisiatif, tingkat

keyakinan, tingkat pertanggung jawaban, dan tingkat komunikasi dalam

meta analisisnya menemukan bahwa pemimpin yang berkualitas dalam

92

Page 73: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan tingkat kepuasan

kerja yang diterima oleh pegawai dilingkungan organisasinya.

Penelitian tentang motivasi kerja yang berkaitan dengan kepuasan kerja

antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Kinman, et.al. (2001)

motivasi kerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap kepuasan kerja.

Penelitian ini mengukur efek dari pemberdayaan di tempat kerja, hasil

yang didapat tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemberdayaan

yang diberi pemberdayaan dan yang dikontrol dan dapat diketahui dari

gaya kepemimpinan yang dilaksanakan secara baik dengan kemampuan

seorang pemimpin yang berani mengambil sikap terhadap bawahannya

maka akan mempercepat sukses bawahan dari program kerja yang akan

dilaksanakannya. Adapun indikator yang digunakan untuk melihat

seberapa besar motivasi itu dikerjakan dengan baik melalui persaingan

yang sehat, evaluasi kerja yang baik, dan dalam wujud uang atau

penghargaan lainnya.

Low et. al. (2000) dalam penelitiannya terhadap 148 tenaga kerja

terutama tenaga penjualan menemukan hasil motivasi berpengaruh positif

terhadap kepuasan kerja. Ini berarti semakin tinggi motivasi para

karyawan akan semakin tinggi pula kepuasan kerja mereka peroleh.

Disamping itu penelitian ini juga menemukan hasil bahwa kepuasan kerja

berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi dan komitmen

organisasi berpengaruh negatif terhadap intention to leave. Penelitian ini

93

Page 74: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

juga menemukan hasil bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif

terhadap komitmen organisasi, dan komitmen organisasi berpengaruh

negatif terhadap intensitas untuk tetap tinggal sebagai pegawai.

Penelitian yang dilakukan oleh Karina Nielsen et.al (2008), dengan

judul “The mediating effects of team and self-efficacy on the relationship

between transformational leadership, and job satisfaction and

psychological well-being in healthcare professionals: A cross-sectional

questionnaire survey”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kegunaan dari

kepemimpinan transformasional pada kesehatan dan keberlangsungan

staf pada sektor layanan kesehatan semakin meningkat, meski begitu,

hanya terdapat sedikit pengetahuan mengenai mekanisme yang dapat

menjelaskan hubungan antara kepemimpinan transformasional dan

karyawan yang sehat dan sejahtera. Penelitian ini bertujuan untuk

memeriksa dua kemungkinan mekanisme psikologis yang

menghubungkan perilaku kepemimpinan tradisional untuk kepuasan kerja

karyawan dan kesejahteraan. Desain penelitian menggunakan cross-

sectional. Penelitian ini mengambil tempat di pusat kesehatan tua pada

pemerintah lokal Danish. Staf dominannya adalah asisten layanan

kesehatan tetapi juga perawat dan profesi lain yang terkait layanan

kesehatan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Partisipan 274

karyawan layanan tua mengisi kuesioner. Survey dikirim kepada seluruh

pekerja yang bekerja di pusatnya. 91% adalah perempuan, usia rata-rata

adalah 45 tahun. Sebuah kuesioner didistribusikan kepada seluruh

94

Page 75: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

anggota staf pada pusat layanan kesehatan tua ini dan karyawan diminta

untuk menilai gaya kepemimpinan manajer mereka dan diminta untuk

mengevaluasi tingkat kemandirian mereka sesuai dengan tingkat

kemandirian dalam kelompok (kemandirian kelompok) dan kepuasan kerja

mereka dan kesejahteraan psikologis. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa baik kelompok maupun mandiri ditemukan sebagai mediator,

meskipun, dampak mereka berbeda. Kemandirian ditemukan secara

penuh memediasi hubungan antara kepemimpinan transformasional dan

kesejahteraan dan kemandirian kelompok ditemukan secara parsial

memediasi hubungan antara kepemimpinan transformasional dan

kesejahteraan. Kesimpulannya dengan dihadapkan pada lingkungan

penuh tekanan oleh karyawan pada sektor layanan kesehatan ini

kepemimpinan transformasional mungkin membantu meningkatkan

kepuasan kerja karyawan dan kesejahteraan psikologis. Mereka

melakukan ini untuk menyeimbangkan perasaan terkontrol sebagai

individu tetapi juga sebagai bagian dari kelompok kompeten.

Cecilia Engko dan Gudono.(2007) menguji hubungan antara gaya

kepemimpinan dan kepuasan kerja auditor dengan kompleksitas tugas

dan locus of control sebagai variabel moderat. Hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa kompleksitas tugas tidak dapat memoderasi

hubungan antara gaya kepemimpinan direktif dan kepuasan kerja dan

kompleksitas tugas yang rendah maka gaya kepemimpinan suportif akan

meningkatkan kepuasan kerja serta locus of control eksternal maupun

95

Page 76: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

internal dengan gaya kepemimpinan yang direktif maupun suportif akan

memiliki kepuasan kerja yang sama.

Penelitian yang dilakukan oleh Thio Anastasia dan Yuke (2006)

dengan judul Hubungan Karkteristik Personal Auditor Terhadap Tingkat

Penerimaan Penyimpangan Perilaku Dalam Audit memberi kesimpulan

bahwa terdapat hubungan positif antara locus of control dan

keinginan untuk berhenti bekerja dengan penerimaan penyimpangan

perilaku audit sedangkan tingkat kinerja pribadi karyawan dan harga

diri dalam kaitannya dengan ambisi memiliki hubungan positif yang

tidak signifikan terhadap penyimpangan perilaku dalam audit.

Penelitian yang dilakukan oleh Jay Prakash Mulki et.al (2006),

dengan judul “Emotional exhaustion and organizational deviance: Can the

right job and a leader's style make a difference?”. Penelitian ini

menggambarkan Kelelahan emosional dan penyimpangan organisasi

mendapat perhatian lebih karena efek negatif yang mereka berikan pada

hilangnya produktivitas sektor bisnis, penurunan kepuasan pekerjaan,

komitmen organisasi yang rendah, dan penurunan kinerja. Dalam

penelitian ini, difokuskan pada kombinasi dampak dari gaya

kepemimpinan dan tepatnya pekerjaan seseorang terhadap kelelahan

emosional menggunakan sebuah sampel pekerja yang menyediakan

layanan kesehatan dan sosial pada suatu kota metropolitan. Selain itu

penelitian ini juga meneliti dampak kelelahan emosional pada perilaku

96

Page 77: Konsep Akuntansi Dan Hipotesis Keperilakuan

penyimpangan organisasi yang dimediasi oleh kepuasaan pemberi kerja

dan komitmen organisasi. Hasilnya menunjukkan bahwa kelelahan

emosional dan perilaku pekerjaan yang memediasi dampak dari

kepemimpinan partisipatif dan ketepatan pekerjaan seseorang pada

penyimpangan organisasi.

Sigiro dan Cahyono (2005) melakukan penelitian terhadap

karyawan non produksi PT Kusumahadi Santoso Surakarta. Tujuan

penelitiannya adalah ingin mengetahui perbedaan kepuasan kerja ditinjau

dari locus of control, tipe kepribadian dan self efficacy. Hasil penelitiannya

adalah bahwa kaum eksternal mengalami kepuasan kerja yang tinggi

dibandingkan dengan kaum internal. Kemudian orang yang memiliki tipe

kepriabdian A mengalami kepuasan kerja yang lebih tinggi daripada orang

yang berkepribadian tipe B. Sedangkan orang yang memiliki self efficacy

tinggi cenderung mengalami kepuasan kerja yang tinggi daripada orang

yang memiliki self efficacy yang rendah.

97