29
KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MERESPON TANTANGAN GLOBALISASI Analisis pemikiran HAR. Tilaar Oleh: Muhammad Isnaini Email: [email protected] Abstrak : Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi masa depan akan pentingnya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemnusiaan dan pluralisme dalam pergaulan didalam masyarakat yang mempunyai latar belakang kultural yang beragam adalah dengan melalui penerapan pendidikan multikultural. Karena strategi dan konsep pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami dan ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi, juga bagaiman caranya agar siswa mempunnyai, sekaligus dapat mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada disekitar kita. Dengan diterapkannya konsep dan strategi pendidikan multikultural, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan ketidak adilan yang sebagian besar dilatar belakangi oleh adanya perbedaan kultural seper ti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, kemampuan, gender, umur dan kelas sosisal-ekonomi dapat diminimalkan. Kata Kunci : Pendidikan Multikultural, Tantangan Global dan Pluralisme. I. Pendahuluan Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ad diwilayah NKRI sekitar kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta jiwa,terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen protestan, hindu, budha, konghucu, serta bnerbagai macam kepercayaan (Diknas: 2004). Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan seperti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi,

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM · PDF filebagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki

  • Upload
    vanphuc

  • View
    234

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURALDALAM MERESPON TANTANGAN GLOBALISASI

Analisis pemikiran HAR. TilaarOleh: Muhammad Isnaini

Email: [email protected]

Abstrak : Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi masa depan akan pentingnya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemnusiaan dan pluralisme dalam pergaulan didalam masyarakat yang mempunyai latar belakang kultural yang beragam adalah dengan melalui penerapan pendidikan multikultural. Karena strategi dan konsep pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami dan ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi, juga bagaiman caranya agar siswa mempunnyai, sekaligus dapat mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada disekitar kita. Dengan d iterapkannya konsep dan strateg i pend id ikan multikultural, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan ketidak adilan yang sebagian besar dilatar belakangi oleh adanya perbedaan kultural seper ti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, kemampuan, gender, umur dan kelas sosisal-ekonomi dapat diminimalkan.

Kata Kunci : Pendidikan Multikultural, Tantangan Global dan Pluralisme.

I. Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia,

kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang

begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ad diwilayah NKRI sekitar kurang

lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta

jiwa,terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda.

Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam,

Katholik, Kristen protestan, hindu, budha, konghucu, serta bnerbagai macam

kepercayaan (Diknas: 2004).

Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam

persoalan seperti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi,

nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme,

perusakan lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai

hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh konkrit

terjadinya tragedy pembunuhan besar-besaran tehadap pengikut partai PKI pada

tahun 1965, kekerasan etnis cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antara

islam Kristen di maluku utara pada tahun 1999-2003.

Berdasarkan permasalahan seperti diatas maka pendidikan multikulturalisme

menawarkan satu altrnatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan

berbasis pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Khususnya yang ada pada

siswa seperti: keragaman etnis, budaya, bahasa ,agama, status sosial, gender,

kemampuan umur dan ras. Walaupun pendidikan multikultural merupakan

pendidikan relatif baru di dalam dunia pendidikan.

Sebelum perang dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal.

Malah pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan

yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok atau golongan tertentu.

Dengan kata lain pendidikan multikultural meupakan gejala baru dalam pergaulan

umat manusia yang mendambakan persaman hak, termasuk hak untuk mendapatkan

pendidikan yang sama untuk semua orang. Dalam penerapan strategi dan konsep

pendidikan multikultural yang terpenting dalam strategi ini tidak hanya bertujuan

agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajari, akan tetapi juga akan

menigkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluraklis dan

demokratis. Begitu juga seorang guru tidak hanya menguasai materi secra

professional tetapi juga harus mamapu meneanamkan nilai-nbilai inti dari

pendidikan multikultural sepreti : humanisme, demokratis dan pluralisme.

Wacana pendidikan multikultural salah satu isu yang mencuat kepermukan

di era globalisasi seperti saat ini mengandaikan, bahwa pendidikan sebagai ruang

tranformasi budaya hendaknya selalu mengedepankan wawasan multikultural,

bukan monokultural. Untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta

memebongkar praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Sebagaimana

yang masih kita ketahui peranginya dalam dunia pendidikan nasional kita,bahkan

hingga saat ini.

Dalam konteks ini, pendidikan multikultural merupakan pendekatan

progresif, pebendekatan ini sejalan dengan prinsif penyelenggaraan pendidikan

yang termaktub dalam undang undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun

2003 pasal 4 ayat 1,yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara

demokratis dan berkeadilan serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak

asai manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.

Pendidikan multikultural juga didasarkan pada keadilan sosial dan

persamaan hak dalam pendidikan. Dalam doktrin islam,ada ajaran kita tidak boleh

membeda-beda etnis, ras dan lain sebagainya. Manusia sama, yang membedakan

adalah ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam kaitanya dengan pendidikan

multikultural hal ini mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan islam

terhadap ilmu pengetahuan,dalam islam tidak ada pembedaan dan pembatasan

diantara manusia dalam haknya untuk menuntut atau memperoleh ilmu pengetahusn.

Wajah monokulturalisme didunia pendidikan kita masih kentara sekali bila

kita tilik dari berbagai dimensi pendidikan. Mulai dari kuirikulum, materi pelajaran,

hingga metode pengajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses belajar

mengajar (PBM) diruang kelas hingga penggalan-penggalan terakhir dari abad

ke-20 sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh

pendekatan keseragaman (Etatisme) lengkap dengan kekuassaan birokrasi yang

ketat, bahkan otoriter. Dalam kondisi seperti ini, tuntutan dari dalam dan luar negeri

akan pendekatan yang semakin seragam dan demokratis terus mendesak dan perlu

di implementasikan (Tilaar:2004: 24).

Pendidikan multikultural di Indonesia perlu mempertimbangkan kombinasi

model yang ada, agar seperti yang diajukan Groski (1990), “pendidikan

multicultural dapat mencakup tiga hal jenis tranformasi yaitu, trnformasi diri,

tranformasi sekolah dan proses belajar mengajar serta tranformasi masyarakat”.

Dengan menggunakan berbagai macam cara dan strategi pendidikan serta

mengimplementasikanya yang mempunyai visi dan misi yang selalu menegakan dan

menghargai pluralisme, demokrasi dan humanisme. Diharapkan para generasi

penerus menjadi ”Generasi Multikultural” yang menghargai perbedaan, selalu

menegakan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan yang akan datang.

II. Konsep Pendidikan Multikultural

A. Pengertian pendidikan Multikultural

Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di

dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural

maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk

salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang,

menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya

membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan

menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk

membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan

dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui

penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan

keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti

keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur

dan ras. (Tilaar: 2003). Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:

Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa

Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka

gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa

dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya

berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi.

Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya.

Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku

asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua,

suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di

antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian

besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses

inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan

multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik,

ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.

Kedua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam

mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan

multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai,

keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam

masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan

semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama,

berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.

Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi

bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi

berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang

mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan

kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa

pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan

keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis

kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple

intelligence).

Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang

mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran

kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari

akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas

dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah

prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan

munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku,

agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum,

ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan

direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan

mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu

mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran,

dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian,

kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.

(Tilaar: 2004: 67).

Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap

perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak

bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan

pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai

pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa.

(Ainurrafiq: 2003:24).

Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan

multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter

militeristik orde baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak

hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang

meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu

menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal semangat

primordialisme.(Yaqin: 2005: 56, Thoha: 2005: 134). Paradigma pendidikan

multikultural dalam konteks ini memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki

apresiasi respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka

penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal

untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya yang dibalut

semangat kerukunan dan perdamain. Paradigma multikultural secara implisit juga

menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun 2003 sistem pendidikan

nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara

demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan,

nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau

pemikiran yang tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes

politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya.

(Jamaluddin: 2005: 67). James Banks (1994) menjelaskan: bahwa pendidikan

multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang

lain”, yaitu: Pertama, Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya

dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori

dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction

process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah

mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode

pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik

siswa yang beragambaik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial. Keempat,

prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan

metode pengajaran mereka.

Menurut Tilaar (2004: 59), pendidikan multikulturalisme biasanya

mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:

1. Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat

berbudaya (berperadaban)”.

2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan

nilai-nilai kelompok etnis (cultural).

3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan

keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).

4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik

yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan

multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati

terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari

strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah

memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan

kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi. (Fajar:

2005: 88).

B. Kondisi Masyarakat

Ada pameo pada masa kolonial yang mengatakan bahwa bangsa jawa adalah

bangsa yang paling lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut, merupakan cirri

dari masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk masyarakat

yang relatif stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan tertutup.

Kehidupan masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik

moral etis bahkan teologis. Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat

tradisional baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan,

semuanya diatur, baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal

sampai kepada kekuatan supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi

lainnya.

Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat

terbatas, dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat

lambat. Masyarakat yang stabil tersebut kini menjadi berantakan didalam kehidupan

yang tidak menentu. Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini dengan lahirnya

masyarakat industri pada abad ke-18 di eropa. Dengan demikian munculah

gelombang modernisasi yang pertama.(Suyanto: 2000).

Gelombang modernisasi pertama seperti yang terlihat didalam masyarakat

barat yang sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier, perkembangan industri

yang menyerap lapangan kerja baru disamping pertanian.semua perubahan tersebut

terjadi didalam ruang lingkup negara dan bangsa.

Gelombang modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun

dengan demikian munculnya gelombang modernitas kedua, kepastian yang

dinikmati oleh manusia menghilang dan secara simultan lahirlah perubahan-

perubahan sosial yang dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi oleh manusia.modernisasi

gelombang kedua ini membawa manusia kepada apa yang disebut suatu masyarakat

penuh resiko. (Kompas: 15 Februari 2007 ditulis oleh Suwignyo).

Menurut Ulrich Beck’ mengemukakan “Lima proses yang secara simultan

menimpa masyarakat dunia dewasa ini, yaitu: “globalisasi, individualisme, revolusi

gender, pengangguran, dan resiko global karena krisis lingkungan dan krisis

moneter seperti yang terjadi dinegara kita pada tahun 1997”. (Suparlan: 2004).

Dalam perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan

yang tepat. Seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan masyarakat yang

dapat mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang

menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dibimbing oleh moral untuk

kemaslahatan masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia.

Seiring dengan perkembangan dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep

masyarakat individualitas yang baru, sehingga konsep-konsep yang lama tidak

dapat digunakan lagi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang

dahsyat didalam masyarakat dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut

hak-hak politik dari warga negara, diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan

untuk membangun suatu masyarkat sejahtera, dan lahirlah apa yang disebut

demokrasi cultural yang mengubah dasar-dasar hidup keluarga yang stabil didalam

masyarakat tradisional, perubahan peranan gender, perubahan relasi antar manusia

didalam membangun keluarga, hingga mudah retaknya struktur keluarga inti yang

dikenal didalam masyarakat tradisional.(Tholkhah: 2004: 8).

C. Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan

Telah kita lihat transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat

modern, antara lain disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam

masyarakat barat, peranan ilmu pengetahuan yang dimuali dari abad pencerahan

telah melepaskan masyarakat tradisioanal yang terkungkung oleh tradisi dan

kekuasaan Gereja yang koserfatif. Perkembangan ilmu pengetahuan yang

menyebabkan penerapan teknologi didalam pengembangan industri telah melahirkan

negara-negara industrsi pada abad ke-18. ilmu pengetahuan juga telah menyebabkan

tuntutan terhadap pendidikan rakyat yang berwujud wajib belajar pada negara-

negara maju dimulai pada abad ke-19 perkembangan ilmu pengetahuan pada negara-

negara tersebut telah memasuki kebijakan politik kolonial dari para penjajah.(Benny:

2005:234). Di Indonesia telah lahir apa yang disebut dengan “politik etis” yang

memaksa untuk secara moral penghisapan yang dilakukanya dinegara jajahanya.

Rakyat diberi pendidikan meskipun sangat terbatas untuk melepaskan diri dari

kungkungan kebodohan dan kemiskinan. Dengan pendidikan itu pulalah dilahirkan

benih-benih nasionalisme yang kemudian menjadi kekuatan yang menghancurkan

kolonialisme itu sendiri.

Kemajuan pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari

perkembangan demokrasi. Sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, terjadi

pencerahan kehidupan suatu bangsa dan negara. Perkembangan demokrasi berjalan

bersama-sama dengan kebangkitan nasionalisme, terutam didunia ke tiga. Didalam

pembukaan undang-undang dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama

kemerdekaan ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan kehidupan

bangsa antara lain berarti membangun suatu masyarakat yang berbasis ilmu

pengetahuan. (Firdaus:2005:129).

Di dalam hal ini, bukan berarti bahwa yang dipentingkan ialah rasionalisme,

melainkan peningakatan kemampuan analitis dari suatu bangsa untuk melihat

perkembangan masyarakatnya, karena kemajuan pendidikan suatu bangsa juga

merupakan dasar dari perkembangan demokrasi. Dengan pendidikan, maka kelas-

kelas didalam masyarakat seperti kelas penjajah yang mempunyai hak-hak istimewa

yang dibedakan dengan bangsa terjajah yang tidak mempunyai hak-hak seperti hak-

hak yang diberikan kepada kaum penjajah (kaum putih). Kesadaran terhadap harga

diri, kesadran terhadap tradisi dan kebudayaan sendiri terbuka karena pendidikan.

(Zubaedi:2005:10).

Salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasa arah

perkembangan masyarakat Indonesia untuk menjadikan masyarakat yang berbasis

ilmu pengetahuan ialah dengan mengedepankan pendidikan. Malahan PBB

menganggap program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam

pengembangan manusia. Masyarakat industri masa depan memberi peluang yang

besar bagi pengembangan manusia. Namun dapat menjadi “ pembunuh”

pengembangan manusia apabila masyarakat tidak dipersiapkan untuk hidup dan

menghidupi masyarakat industri tersebut. (Sumartana: 2001). Di dalam konteks

inilah dipertayakan tempat dan peranan lembaga pendidikan untuk ikut serta dalam

masyarakat industri masa depan.

III. Konsep Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas

Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik

(reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran

signifikan guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain masyarakat

multikultural dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk

mensukseskan fungsi dan peran pendidikan, itu berarti penguatan disatu sisi,

langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain.(Choerul:

2006: 76).

Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem dan

mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam membangun

masyarakat multikultural. Disisi lain, penguatan pada masyarakat multikultural,

yaitu dengan mengelola potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah

keberhasilan fungsi dan peran pendidikan umumnya. Implikasinya, dilakukannya

penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik

dari sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultural sendiri.

Dalam konteks membangun masyarakat multikultural selain berperan

meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi

dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat berbagai

perpedaan diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki

latar belakang budaya berbeda agar lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa

dan bernegara.

Adapun perekat pendidikan yang dipakai ialah pembangunan karakter dan

semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB). Dalam hal ini

karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa Indonesia yang

pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran, dan sebagainya.

Sedangakan semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat mendasar dari setiap

komponen masyarakat untuk berbangsa. Karakter dan semangat seperti itu akan

berkembang, baik secara natural maupun kultural, manuju tercapainya persatuan dan

kesatuan bangsa. (Muhyi: 2004:15 dan Imam: 2007 menulis Kompas tanggal 18

Januari 2007).

Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam

khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan

demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang

dihadapi oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka dan era

demokritisai kehidupan. (Tilaar: 2004:16).

Pendidikan merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia,

negara, maupun pemerintah pada era reformasi ini, pendidikan harus selalu

ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang

berwenang di negara ini. Transformasi dalam dunia pendidikan selalu harus

diupayakan agar pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang

signifikan dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah

diamanatkan oleh pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945.(BSNP:

2005:17), dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial

dan kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan masalah kebudayaan,

maka pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn suatu realitas sosial yang

akan dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa yang akan datang.

Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti

didalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti

disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah

posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar

dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atu

bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme.

Oreintasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:

Pertama, Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah

nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian

besifat universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.

Kedua, Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme

merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan

heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang

tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini adalah

kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif.

Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak

merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.

Ketiga, Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan

suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini

hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi

tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah

orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan

masyarakat.

Keempat, Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang

dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat

pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan

tepat tujuan.

Kelima, Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan

heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara

fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang

diyakini oleh orang banyak.

Keenam, Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan

dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas.

Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari

jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis.

Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan

terhadap masyarakat.(Dawam, Ainur Rafiq: 2003:18-26).

Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah

teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta

pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin.(Ali:2002:19), beberapa

pemikiran “ besar” dalam sejarah pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir

pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya “

pribumi” bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda yang beriorentasi

barat dan diskriminatif. Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni negara dalam

kebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasah counter dis

course bagi visi pendidikan penguasa.

Dalam alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan

berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam

reformasi tidak berkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan

kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan itu

terlibas dalam kebisingan “ pembaruan”. Akibatnya, pemetaan persoalan-persoalan

pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasatmata. (Muhyi: 2004:20).

Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia.

Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik

dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang

mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta

relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha

“politik” kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontropersi dan

kritik. Gelombang reaksi pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat

khususnya bagi para pelaku pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing

berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus mempertahankan aspirasinya. (Kartini:

2004:21).

A. Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional

Setelah kita ketahui, lahir dan berkembangnya multikulturalisme serta

praktik pendidikan multikultural dibeberapa negara yang telah melaksanakan

pendidikan multikultural, kini tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep

pendidikan multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai

dengan kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air.

Pendidikan multikultural mempunyai dimensi sebagai berikut (Tilaar 2004) dan

(Benni:2006) :

1. “Right to Culture” dan identitas budaya lokal.

Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan tergadap hak

asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga

kepada hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture).

Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia,

memang semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya

rasa kebangsaan dan persatuan indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena

apa yang disebut budaya indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi

kita semua. Identitas budaya makro, yaitu budaya indonesia yang sedang

menjadi memang harus terus menerus kita bangun atau merupakan suatu proses

yang tanpa ujung.

2. Kebudayaan indonesia yang menjadi.

Kebudayaan indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap

insan dan setiap identitas budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan

suatu sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang

mana perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional.

Oleh sebab itu ditengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus

ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke

indonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan

paradigm shift didalam proses pendidikan bangsa indonesia. Sebagai suatu

paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan

bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan

pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan republik indonesia

yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di

indonesia.

3. Konsep pendidikan multikultural yang normatif.

Kita tidak bisa menerima konsep pendidikan multikultural yang

deskriftif yaitu hanya sekedar mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku

bangsa di indonesia. Disamping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga

harus mampu mewujudkan kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh suatu

negara-bangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah

konsep yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk

mewujudkan semuanya jangan sampai konsep pendidikan multikultural

normatif sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman budaya-

budaya lokal. Akan tetapi konsep pendidikan multikultural normatif harus

mampu memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian dapat

menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki

oleh seluruh bangsa indonesia.

4. Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial.

Suatu rekontruksi sosial artinya, upaya untuk melihat kembalai

kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat

berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan maupun

suatu suku bangsa indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang

berlebihan. Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal

yang tidak dikenal sebelumnya.

5. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru.

Jelas kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural

didalam masyarakat pluralitas tapi sekaligus diarahkan kepada terwujdnya

masyarakat indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat kita

gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan didalam

ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan

kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan hati (Pedagogy of

hert) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang

pluralistiks.

6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdukan visi indonesia masa

depan serta etika berbangsa.

TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia

masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang

sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam

hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti

terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah

ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003. (UUSPN 2003).

B. Pendidikan Nasional

Pendidikan merupakan institusi yang sangat penting bagi proses penyiapan

dan peningkatan kualitas sumber daya manusia indonesia yang benar-benar

berkualitas. Mencerdaskan kehdupan bangsa, sebagaimana disebutkan dalam

pembukaan UUD 1945, pada hakekatnya merupakan konsepsi tentang tujuan

NKRI bidang pendidikan. Tujuan negara dalam pendidikan ini rumusannya telah

benar-benar selaras dengan konsepsi kecerdasan ganda (multiple intelligence) yang

dewasa ini sedang laris manis dibahas oleh para pakar psikologi dan pendidikan

sebasgai wacana hangat dalam dun ia ilmu pengetahuan.

Mengingat rumusan tujuan negara itu amat singkat dan filosofis akademis,

maka rumusan tujuan negara dalam bidang pendidikan itu barangkali dapat

dikategorikan sebagai filsafat pendidikan nasional, yang sejak tanggal 18 Agustus

1945 telah menjadi kesepakatan nasional. Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR),

sesbagai penjelmaan dari amanat rakyat, telah mengesahkanya menjadi satu dari

empat tujuan negara yang harus diusahakan atau diimplementasikan secara

operasional dalam kegiatan pembangunan bidang pendidikan.

Jika “mencerdaskan kehidupan bangsa” disepakati sebagai konsensus

nasional sebagai tujuan pendidikan nasinal jangka panjang, secara operasional

tujuan itu harus dijabarkan dalam rumusan tujuan pendidikan yang lebih operasional

yang akan disusun oleh pihak eksekutif, dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh

para penyelenggara negara dalam bidang pendidikan dalam rumusan kebijakan,

program, dan kegiatan. Jika mekanisme ini dapat diterima, kesimpang siuran tentang

siapa yang berhak merumuskan tujuan pendidikan menjadi agak jelas. Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) merumuskan filsafat pendidikan nasional,

sedangkan tujuan pendidikan nasional yang lebih operasional disusun oleh pihak

pelaksana (eksekutif), yakni presiden dan jajaranya bersama-sama dengan Dewan

Perwakian Rakyat (DPR), yang dituangkan dalam ketentuan hukum yang disebut

Undang-Undang tentang sistem pendidikan nasional. (Imam: 2007).

Dengan demikian kita perlu merenungkan kembali untuk menetapkan

agenda esensial pendidikan nasional agar dapat mengisi dan merespon abad-21

yang dimana kita kenal dengan arus globalisasi dengan tanpa keraguan dengan masa

depan anak muda penerus anak bangsa ini. Tanpa mempersiapkan masa depan

mereka untuk hidup dimasa depan mereka untuk hidup diabad-21 dengan berbagai

unggulan kompetitif yang harus dimiliki, bangsa kita akan tenggelam dalam setiap

percaturan dunia yang semakin global.

Saat ini pemerintah telah memiliki program pendidikan nasional yang amat

strategis, yaitu peningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Dari

program itu memang bisa diyakinkan bahwa pendidikan nasional kita secara makro

cukup menjanjikan penyediaan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki

kompetitif. Untuk dapat meningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan,

kita harus melakukan inovasi dunia pendidikan dalam arti yang luas secara terus

menerus. Tanpa inovasi yang sistematis, mustahil sistem pendidikan nasional akan

berhasil menyentuh dan memecahkan persoalan esensial yang berkaitan dengan

aspek relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Agar dapat melakukan inovasi,

kita juga memerlukan penelitian diberbagai bidang dan jenjang pendidikan.

Penyelenggara pendidikan negara yang memiliki tanggung jawab yang besar

dalam menata pendidikan sebagai bagian dari perencanaan sistem nasional. Berbagai

pertimbangan menjadi perhatian untuk mengembangkan sistem tersebut, sehingga

dalam penyelenggaraanya sisitem tersebut menjadi acuan secara nasional yang dapat

menghadapi tantangan global yang menuntut pendidikan dapat berperan

menyejahterakan umat manusia.

Sistem pendidikan nasional UUSPN No. 2 / 1989 pasal 3 adalah “untuk

mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat

manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional”. Maka

menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalah

untuk:

1. mengembangkan kemampuan manusia Indonesia,

2. meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesia,

3. meningkatkan martabat manusia Indonesia,

4. mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-manusia Indonesia

oleh karena itu pendidikan di selenggarakan untuk setiap manusia Indonesia

sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan

diri, meningkatkan mutu kehidupan, meningkatkan martabat dalam rangka

mencapai tujuan nasional. (UUSPN: 2003).

Upaya pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan

masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang menjunjung

tingggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis,

bertanggung jawab, berdisiplin, mnenguasai sumber informsi dalam bidang iptek

dan seni, budaya dan agama. Sisdiknas merupakan suatu sistem dari sistem

kehidupan nasional. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan nasional merupakan

subsistem dari pembangunan nasional.

IV. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas Di Indonesia

Wacana pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass

media dan banyak menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak

diikuti dengan sejumlah upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk

mempormulasikannya kedalam gagasan yang lebih aflikatif. Bahkan dapat

dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian

dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah

paham soal SARA belum berjalan secara signifikan.

Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan

kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan

budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari

segi materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan

masyarakat umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan

agama secara parsial (kulitnya saja).

Materi pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi

masalah keyakinan seorang hamba dengan tuhannya. Seakan-akan masalah surga

atau kebahagian hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah atau aqidah saja.

Sebaliknya pendidikan agama kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap

antikorupsi, wajibnya transformasi sosial, dan kepadulian terhadap sesama.

(Suharto: 2006:276).

Saat ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan

upaya internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras,

suku, adat dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan. Alasannya,

kondisi situasi bangsa saat ini belum benar-benar steril dari ancaman konplik etnis

dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa. Bahkan dapat

dikatakan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas seperti kasus

pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggauledo,

Kalimantan Barat (1996 dan1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit,

Kalimantan Timur (2000) sewaktu-waktu bisa dapat terjadi jika tanpa antisipatif

secara dini, untuk itu menghadirkan konsep pendidikan multikultural merupakan

bagian dari usaha komprensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik

bernuansa SARA.

Menurut Zakiyuddin Baidhawy (1999:123), menyatakan bahwa paradigma

pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek tentang ketidakadilan,

kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam

berbagai bidang sosial, budaya ekonomi, dan lain-lain. Pendidikan multikultural

yang mulai berkembang di Indonesia lebih diarahkan agar semua entitas bangsa

dapat masuk kedalam lembaga yang disebut pendidikan, tanpa memandang miskin,

kaya, priyayi, santri, dan seterusnya. Mengajarkan multikulturalisme lebih dari

memastikan bahwa peserta didik dalam suatu kelas atau sekolah belajar dar berbagai

latar belakang.

Menurut Franz Magnis Suseno, didalam masa kritis yang dilewati oleh

bngsa Indonesia pada akhir-akhir ini, dengan terjadinya berbagai gesekekan

horizontal, menunjukan gejala-gejala pengkhianatan terhadap tiga asas kehidupan

masyarakat bangsa Indonesia yaitu: Pertama, pengkhianatan terhadap sumpah

pemuda tahun 1928, yaitu keinginan untuk membangun satu bangsa, yaitu bangsa

Indonesia. Kedua, pengkhianatan terhadap kesepakatan untuk hidup bersama

dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlihat gejala-gejala

separatisme untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gerakan ini tentunya lahir karena kekhilafan-kekhilafan yang kita buat, antara lain

dengan meremehkan eksistensi kebhinekaan budaya bangsa Indonesia dan terlalu

mementingkan budaya dari satu-dua kelompok entis saja. Ketiga, penghianatan

terhadap ikrar bersama untuk hidup rukun, penuh toleransi, karena diikat oleh satu

tujuan yaitu ingin membangun satu masyarakat ynag adil dan makmur untuk

seluruh masyarakat. ( Choerul: 2005).

Menurut Azumardi azra pada level nasional, berakhirnya sentralisme

kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris

seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif pada

rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.” Berbarengan dengan

otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintah, juga terjadi peningkatan

fenomena atau gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan

“etnisitas.” Kecenderungan ini jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak

hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.

(Ali: 2002:3)

A. Pendidikan Multikultural dan Tantangan Globalisasi

Globalisai adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika,

Eropa dan jepang yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha

mendominir dunia dengan kekuatan, globalisa juga merupakan proses yang

berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramastis dalam kurun waktu

beberapa tahun terakhir ini, dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknolgi

baru dan bertambahnya arus modal secara bebas. (Zaenal: 2005).

Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, Maka

dunia pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan globalisasi

pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan

pendidikan yang bertarap internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh

pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum

pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan

formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk

badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat1).

Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan

pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian, badan hukum

pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggara

pendidikan dan satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam

menghadapi persaingan global.

Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan

ditentukan oleh kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan

yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat

yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3).

Kemajuan komunikasi yang global seperti internet, juga telah membawa dampak

terhadap pendidikan moral kita, lihat saja dengan adanya internet dengan mudahnya

gambar-gambarfornografi diakses oleh anak-anak usia sekolah melalui teknologi

informasi itu. Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang

diamana di satu sisi harus mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi disisi lain

berimplikasi kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai

budaya luar seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal.

Adapun dalam mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi

komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai

paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan

pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi

pelayanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti

pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2).

Menurut Chirzin, proses globalisasi dengan percepatan mengglindingnya

liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan

dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi

membuat dunia menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga

dunia untuk berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang

demikian mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ketempat lain

sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide

atau gagasan. (Sumartana: 2001:5).

Dalam perkembangannya pendidikan di Indonesia mengalami perubaha-

perubahan yang boleh dikatakan agak lumayan maju,walaupun belum sepenuhnya

memenuhi target dari tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Pendidikan hadir di

tengah-tengah masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdasan diri,

sosial, negara bangsa, bahkan dunia. Lebih khusus di Indonesia karena, Hal ini

sangat relefan sekali dengan konsep pendidikan multikultural yang dimana

pendidikan ini tidak mempeta-petakan baik itu bahasa, etnis, kultur, budaya, ras,

agama, status sosial, dan lain sebagainya. Fungsi pendidikan sedikit disinggung

pada babII pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan nasional

adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. (Tilaar: 2003:6).

Ada beberapa fungsi pendidikan sebagaimana tela dikemukakan diatas.

Setidaknya hal itu bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama, secara sempit,

pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan

rohani para peserta didik. Kedua, secara luas, pendidikan berfungsi sebagai

pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan

dan pengembangan bangsa. Dalam pemaparan diatas maka jelas pendidikan sangat

penting sekali untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makamur dan yang

inklusif bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan juga Selain berfungsi

sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pendidikan bisa juga berfungsi sebagai

investasi jangka panjang.

Menurut Nurkolis pendidikan sebagai investasi jangka panjang sumber daya

manusia (SDM) Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan

industri dan ekonomi. Penyebannya pemerintah selama ini tidak pernah

menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Masyarakat Indonesia, mulai

dari yanga awam hingga politisi hingga pejabat pemerintah, hanya berorientasi

mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang.

(Malik: 1999:34).

B. UU Sisdiknas Kearah Pendidikan Multikultural

Pameo masyarakat mengenai sistem pendidikan nasional kita yang

mengatakan, ganti mentri pendidikan, pasti bakal ganti peraturan, agaknya

mengandung kebenaran. Kenyataan yang muncul setiap ganti mentri biasanya

adalah berubahnya orientasi, alokasi anggaran, kurikulum baik mengenai volume

kurikulum muatan nasional (kurnas) dan kurikulum muatan lokal (kurlok), atau

mengenai prosentase jam mata pelajaran. Khususnya antara ilmu-ilmu agama dan

ilmu-ilmu umum, dan atau mengenai penekanan-penekanan khusus orientasi

kurikulum yang dibangun seperti metode CBSA, Manajemen Berbasis Sekolah

(Scool Based Management), Sekolah Berbasis Kompetensi (School Based

Competence), dan Sekolah Berbasis Masyarakat (Scool Based Community) dan

aturan-aturan lain kependidikan lainnya, seperti kepangkatan guru atau dosen,

karakteristik kelulusan, akreditasi, dan kelayakan sistem sekolah. Kebijakan yang

dikeluarkan tak pelak mengundang kritik dan sekaligus harapan bagi keberadaan

sistem pendidikan yang lebih baik.

Lebih lanjut Suyanto (2002), menyatakan UU Sisdiknas 2003, misalnya,

adalah salah satu Undang-Undang yang sarat kontroversi. Hal ini terlihat dari

proses pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut. Masyarakat pendidikan

terbelah antara yang pro dan yang kontra. Reaksi atas RUU Sisdiknas cukup

banyak, tidak saja dipusat (Jakarta), tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia

seperti Medan, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar,

dan Nusa Tenggara Timur. Semua sivitas akademika perguruan tinggi dan sekolah-

sekolah berdemontrasi berkenaan dengan RUU Sisdiknas itu sebagai usaha

memperjuangkan aspirasinya baik yang pro maupun yang kontra yang sesuai

dengan visi, misi, dan tradisi yang dianutnya. Bahkan para pemuka agama dan

mayarakat khususnya islam dan kristen tampil kepermukaan untuk menuarakan apa

yang seharusnya dikukuhkan dalam RUU Sisdiknas. Jika dipetakan secara terbuka

akan tersibak dua kubu yang kontroversial demikian, mayoritas penganut agama

Islam cenderung menyetujui dan sedangkan penganut agama Kristen cenderung

tidak setuju.

V. Penutup

Krisis multidimensi yang dialami negeri ini, diakui atau tidak merupakan

bagian dari problem kultural yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur

yang ada dalam masyasarakat kita. Keragaman itu sendiri adalah rahamat Tuhan

yang dianugerahkan pada bangsa dan negeri ini. Karena dengan begitu, semua kita

dapat saling mengenal dan bahu membahu dalam membangun sebuah negeri.

Namun disisi lain, apabila kita tidak dapat melihat sisi positif didalamnya,

keragaman itu dapat menjadi salah satu sumber malapetaka yang dapat

mengakibatkan adanya kecurigaan dan rasa saling tidak percaya dari satu kelompok

terhadap kelompok-kelompok yang lain. Diantaranya adalah diskriminasi, ketidak

adilan, dan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia (HAM) yang terus terjadi

hiangga hari ini dengan segala bentuknya seperti kriminalitas, korupsi, politik uang,

kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan anak,

pengesampingan hak-hak minoritas, pengesampingan terhadap nilai-nilai budaya

lokal,,kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari

problematika kultural yang ada.

Agar tujuan pendidikan multikultural ini dapat dicapai, maka diperlukan

adanya peran serta dan dukungan dari guru atau dosen, institusi pendidikan dan

para pengambil kebijakan pendidikan lainya. Guru atau dosen perlu memahami

konsep dan stategi pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang terkandung

dalam strategi dan konsep pendidikan tersebut seperti pluralisme, demokrasi,

humanisme, dan keadilan dapat juga diajarkan sekaligus dipraktekkan dihadapan

para siswa sedemikian rupa, seorang guru atau dosen tidak hanya bertanggung

jawab agar peser ta didik mempunyai pemahaman dan keahlian terhadap mata

pelajaran yang diajarkanya, akan tetapi juga bertanggung jawab untu k menanamkan

nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, keadilan dan pluralisme.

Harapan dari semua ini adalah bahwa institusi pendidikan kita, dari tingkat

dasar hingga perguruan tinggi, dapat menghasilkan lulusan sekolah atau universitas

yang tidak hanya mempunyai kemampuan kognitif (pengetahuan), dan

psikomotorik (keterampilan), melainkan juga mempunyai sikap (afektif) yang

demokratis, humanis, pluralis dan adil.

Bangunan Indonesia baru atau perombakan tatanan kehidupan orde baru

adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” yang didirikan diatas puing-

puing tatanan kehidupan orde baru yang bercorak “masyarakat majemuk ”(plural

society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika bukan

lagi keanekaragaman suku bangsa tetapi juga keanekaragaman kebudayaan yang ada

dalam masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia

yang multikutural yaitu, sebuah ideologi yang mengakui dan mengagumkan

perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual dan secara kebudayaan.

Oleh karena itu gambaran secara umum tentang konsep pendidikan dan

konsep multikulturalisme di Indonesia yang diantaranya adalah:

1. Pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial.

Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan

bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset,

bukan sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan multikultural mempunyai dua

tanggung jawab besar: menyaiapkan bangsa Indonesia untuk menghadapi arus

budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari

berbagai budaya.

2. pendidikan multikultural sebagai pembina agar sisiwa tidak tercerabut dari

akar budayanya selain sebagai sarana alternatif perpecahan konflik, pendidikan

multikultural juga signiifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercerabut

dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya tatkal berhadapan dengan realitas

sosial dan budaya di era globalisasi.

3. sebagai landasan pengembangan kurukulum penidikan nasional. Daam

melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar

mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isiu pelajaran yang harus

dikuasai siswa dengan ukuran atau tinfgakatan tertentu, maka pendidikan

multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat

penting.

4. menciptakan masyarakat multikultrural. Cita-cita reformasi untukl

membangun Indonesia baru harus dilakukan dengan cara membangun kembali

dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun

oleh orde baru. Inti dasri cita-cita tersebut adalah terwujudnya sebuah

masyarakat sipil yang demokratis, ditegakkanya hukum untuk supremasi

keadilan, pemerintah bebas KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman

dalam kehidupan masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga

madsyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia.

BIBLIOGRAFIAinul, Yaqin. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Arifin, Thoha, Zaenal. Kenylenehan Gusdur, Jakarta: Gama Media, 2005.

Batubara, Muhyi. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004.

Cahyono, Imam“Mandeknya Pemikiran Pendidikan”, Kompas, 18 Januari 2007.

Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press, 2003.

………, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal, 2006.

Fadjar, Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

………, Platform Reformasi Pendidikan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Idris, Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Pendidikan, Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah, 2005.

Imron, Ali. Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.

Kartono, Kartini. Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Mahfud Choerul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006

Setiawan, Benni. Manifesto Pendidikan Di Indonesia, yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.

Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2001.

Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2006.

Standar nasional Pendidikan, Bandung: Fokus Mrdia, 2005.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistempendidikan asional, Surabaya: Media Centre, 2005.

Suparlan. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Yogyakarta: Hikayat, 2004.

Susetyo, Benny. Politik Pendidikan penguasa, Yogyakarta: Lkis, 2005.

Suwignyo, Agus.“Menuntut Globalisasi Yang Manusiawi,” Kompas, 15 Februari 2007.

Suyanto. Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000.

Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformsi pendidikan nasional, Jakarta: Grasindo, 2004.

………, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

………, Pendidikan, Kebudayaan, dan masyarakat Madani Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Yunus Firdaus, M. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005.

Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.