Upload
vudieu
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KONSEP PENGEMBANGAN CO-MANAGEMENT UNTUK MELESTARIKAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU
SAHARIA KASSA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi ”Konsep Pengembangan Co-Management Untuk Melestarikan Taman Nasional Lore Lindu” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Pebruari 2009
Saharia Kassa P062030081
3
ABSTRACT
SAHARIA KASSA. Concept of Co-Management Development to Sustain Lore Lindu National Park. Under Supervision of HADI S. ALIKODRA, BUNASOR SANIM, and SAMBAS BASUNI.
This research aimed to: 1) analyze the stakeholder interests in affecting conflict at Lore Lindu National Park (LLNP); 2) analyze the community participation in management of the park; 3) analyze the co-management principles application in LLNP management; 4) determine key factor for co-management of LLNP; 5) formulate co-management concept for LLNP management. The study was conducted at LLNP, Central Sulawesi Province in the period of November 2006- August 2007. The village sample determined using Stratified Random Sampling, while the 90 local community respondents determined with a Systematic Random Sampling, in which 45 people were sampled each from villages with conservation community agreement (KKM Villages) and without KKM Villages. Whereas others respondents from BTNLL, local cultural leaders, village leaders, regional government, NGO, business man, and researcher/academician determined for each six people using Purposive Sampling. Data were analyzed with stakeholder interests, participative, co-management and prospective analyses. The results of study showed that conflict in area LLNP caused by different interest among stakeholders showed by encroachment, illegal logging, destroyed of pole boundary, and burning of jagawana office. This conflict is related to low income, lack of education and lack of awareness on sustainability of the park. There are different community participation between KKM villages and non-KKM villages in their effort to sustain, secure the park areas, and engage in training/extension for the community because interest of KKM villages to use their customary right has been accommodated by BTNLL. This research also shown that co-management concepts has been well applied by KKM villages, such as stakeholder participation, custom land right recognition, custom punishment applying, territory boundary, clarity of right and responsibility, and consensus in national park management at KKM village, except negotiation has not been fulfill co-management principle. Whereas, there have not been applied co-management concepts at the non-KKM villages, as fulfill co-management principle. The key factors that can determine success of co-management are stakeholder participation, negotiation, and consensus, but its factors have not been applied properly. Finally, target of concept of co-management, i.e. may initiate conflict solving at LLNP, sustainability of the park, and economic increase of the community, can be achieved through guided process and fixed law products.
Keywords: Co-management, conflict, national park, stakeholder.
4
RINGKASAN
SAHARIA KASSA. Konsep Pengembangan Co-management Untuk Melestarikan Taman Nasional Lore Lindu. Dibawah bimbingan HADI S. ALIKODRA, BUNASOR SANIM, dan SAMBAS BASUNI.
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang ditunjuk melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 593/KPts-II/1993 tanggal 5 Oktober 1993 cenderung mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut terutama diakibatkan oleh; 1) desakan kebutuhan lahan, baik untuk kegiatan pertanian sebagai sumber penghidupan maupun untuk pemukiman, 2) masyarakat merasa bahwa kawasan TNLL tidak memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup mereka, dan 3) proses penetapan batas kawasan yang dilakukan sepihak tanpa penjelasan memadai kepada masyarakat yang telah memanfaatkan sumberdaya yang terdapat pada kawasan ini jauh sebelumnya. Dalam upaya mengatasi masalah dan mengantisipasi kerusakan TNLL, dibutuhkan suatu konsep pengelolaan yang intinya dibangun atas dasar partisipasi, komitmen, dan kerjasama dari seluruh stakeholder yang dikenal dengan pendekatan co-management. Pengelolaan dengan pendekatan co-management bertujuan untuk mengakhiri konflik tanpa ada pihak yang merasa dikalahkan.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis kepentingan stakeholder dalam kaitannya dengan konflik yang terjadi di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL); 2) menganalisis partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan taman nasional; 3) menganalisis penerapan prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL saat ini; dan 4) menganalisis faktor kunci penentu keberhasilan co-management sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan TNLL, dan 5) merumuskan konsep co-management.
Penelitian dilaksanakan di TNLL Propinsi Sulawesi Tengah dengan pertimbangan bahwa: 1) TNLL memiliki flora dan fauna endemik Sulawesi yang perlu dipertahankan kelestariannya, 2) di lokasi tersebut hingga kini terus berlangsung upaya-upaya penyusunan Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) terhadap pengelolaan dan pemanfaatan TNLL; 3) tersedianya data penunjang yang dapat membantu dalam pelaksanaan penelitian. Penelitian berlangsung dari Nopember 2006 sampai dengan Agustus 2007. Penentuan desa sampel dilakukan dengan Stratified Random Sampling, sementara responden masyarakat lokal sebanyak 90 orang ditentukan dengan Systematic Random Sampling masing-masing 45 orang dari desa yang telah memiliki kesepakatan konservasi masyarakat (Desa KKM) dan 45 orang dari desa yang belum memiliki kesepakatan konservasi masyarakat (Desa Non-KKM). Responden selain masyarakat lokal yakni: BTNLL sebanyak 6 orang, Lembaga Adat 6 orang, Kepala Desa 6 orang, Pemda 6 orang, LSM 6 orang, pelaku bisnis 6 orang, dan akademisi/peneliti 6 orang yang ditentukan secara Purposive Sampling. Analisis data yang digunakan yakni: analisis kepentingan, analisis partisipatif, analisis co-management, dan analisis prospektif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepentingan stakeholder terkait dengan TNLL yakni: 1) masyarakat lokal berkisar pada keinginan untuk tetap mengolah lahan adatnya yang terdapat dalam kawasan, memanen hasil tanaman kopi/kakaonya, serta tetap dapat mengambil rotan dan damar baik untuk masyarakat yang ada di desa KKM maupun masyarakat di desa non-KKM; 2) BTNLL mengharapkan untuk tetap mempertahankan pal batas TNLL, perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, kegiatan illegal logging dihentikan, perluasan kebun dalam kawasan tidak terjadi, penangkapan anoa,
5
rusa, dan babi rusa juga dihentikan, serta penggunaan dana hibah untuk pengelolaan daerah penyangga; 3) lembaga adat terfokus pada keinginan untuk memberlakukan sanksi adat bagi setiap pelanggaran, dan pengakuan terhadap wilayah hak adat; 4) Kepala desa berkepentingan dalam hal terpeliharanya keamanan di sekitar kawasan yang didukung oleh adanya pengakuan BTNLL terhadap hak adat/hak kelola masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan, terutama masyarakat di desa non-KKM; 5) Kepentingan Pemda terkait dengan taman nasional adalah selain memfasilitasi masyarakat untuk tidak merusak kawasan juga memiliki kepentingan dalam hal peningkatan produksi tanaman pangan dan perkebunan, peningkatan produksi perikanan air tawar, dan pengembangan objek wisata; 6) LSM memiliki kepentingan dalam hal menumbuhkan kesadaran pentingnya kelestarian taman nasional bagi semua pihak yang aktivitasnya cenderung merusak kawasan, berkepentingan dalam hal konservasi flora dan fauna, serta mengadvokasi hak-hak tradisional masyarakat lokal; 7) Kepentingan pelaku bisnis terkait dengan TNLL adalah mendapatkan keuntungan dari berbagai peluang bisnis dengan adanya pengambilan hasil hutan oleh masyarakat, dan memperoleh keuntungan bisnis dari hasil pertanian; 8) Kepentingan utama dari akademisi/peneliti terkait dengan TNLL adalah adanya jaminan keamanan dalam pelaksanaan penelitian, terbangunnya pusat informasi untuk kebutuhan pendidikan/penelitian, dan kemudahan akses untuk pendidikan/penelitian.
Berbagai kepentingan stakeholder terkait dengan TNLL menyebabkan terjadinya konflik kepentingan terutama antara masyarakat lokal dengan pihak BTNLL yang ditunjukkan dengan adanya perambahan kawasan, illegal logging, pengrusakan pal batas, dan pembakaran pos polisi hutan. Konflik ini terkait dengan penghasilan masyarakat yang rendah, pendidikan, dan partisipasi masyarakat yang rendah terhadap pelestarian taman nasional. Ada perbedaan partisipasi masyarakat lokal dalam upaya pelestarian kawasan, pengamanan kawasan, dan keaktifan masyarakat dalam mengikuti pelatihan/penyuluhan antara desa KKM dan desa non-KKM; hal ini terkait dengan kepentingan masyarakat di desa KKM untuk tetap memanfaatkan hak adatnya: mengolah sumberdaya lahan yang terdapat dalam kawasan, memetik hasil tanaman kopi/kakaonya, serta mengambil rotan dan damar telah diakomodir oleh pihak BTNLL, sementara kepentingan masyarakat di desa non-KKM belum mendapatkan pengakuan dari pihak BTNLL. Penelitian ini menunjukkan pula bahwa penerapan prinsip-prinsip co-management yaitu partisipasi stakeholder, konsensus, batas teritori, kejelasan hak dan tanggung jawab, pengakuan terhadap hak lahan adat, dan penerapan sanksi adat di desa KKM berada pada kategori tinggi atau telah dilaksanakan dengan baik sementara proses negosiasi pelaksanaannya masih pada kategori sedang; untuk desa non-KKM penerapan prinsip-prinsip co-management masih berada pada kategori rendah. Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kunci yang tidak mendukung keberhasilan co-management di TNLL adalah rendahnya partisipasi stakeholder, negosiasi yang tidak melibatkan seluruh stakeholder, dan ketidakjelasan untuk mendapatkan akses sumberdaya. Konsep co-management bertujuan untuk menyelesaikan konflik berbagai stakeholder untuk mencapai kelestarian taman nasional, ekonomi masyarakat meningkat, dengan cara peningkatan partisipasi stakeholder, proses negosiasi yang jelas untuk menghasilkan konsensus serta kejelasan hak dan tanggung jawab sesuai dengan batas teritori masing-masing serta harus ada produk hukum yang mengikat.
Kata kunci : Co-management, konflik, stakeholder, taman nasional.
6
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
7
KONSEP PENGEMBANGAN CO-MANAGEMENT UNTUK MELESTARIKAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU
SAHARIA KASSA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2009
8
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Ahli Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan
Sumberdaya Alam pada Fakultas Kehutanan IPB.
2. Dr. Ir. Etty Riani, MS Sekertaris Eksekutif Program Khusus PSL-IPB
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. ING. Ir. Hadi Daryanto, D.E.A Dirjen Bina Produksi Kehutanan Departemen
Kehutanan RI, Jakarta
2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo Dosen pada Fakultas Ekologi Manusia IPB.
9
Judul : Konsep Pengembangan Co-management untuk Melestarikan Taman Nasional Lore Lindu
Nama : Saharia Kassa
NRP : P062030081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 12 Pebruari 2009 Tanggal Lulus:
10
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang
telah memberikan nikmat kesehatan sehingga dapat menyelesaikan penulisan
disertasi yang berjudul ”Konsep Pengembangan Co-management Untuk
Melestarikan Taman Nasional Lore Lindu”. Disertasi ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada semua pihak
yang telah memberikan berbagai masukan dalam penyelesaian disertasi ini,
khususnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS selaku ketua komisi
pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc dan Bapak Prof. Dr. Ir.
Sambas Basuni, MS masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang
selama ini telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan
mengarahkan serta memberikan motivasi bagi penulis sejak dari penyusunan
proposal penelitian sampai pada penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih
kepada Bapak Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS
yang telah bersedia sebagai dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup serta
Bapak Dr. ING.Ir. Hadi Daryanto, DEA dan Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, melalui saran-saran yang diajukan
telah memperkaya konsep dan teori dalam penyusunan disertasi ini untuk lebih
baik.
Terima kasih lepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut
Pertanian Bogor beserta staf atas dukungan yang diberikan selama ini, serta
ucapan tarima kasih kepada Ir. Agus Priyambudi, MSc selaku Kepala Balai
Taman Nasional Lore Lindu beserta staf atas dukungan yang diberikan selama
pelaksanaan penelitian.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Rektor, Dekan Fakultas
Pertanian, dan Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis, Universitas
Tadulako atas izin dan bantuan yang diberikan selama mengikuti pendidikan
pada program doktor di Institut Pertanian Bogor. Kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi melalui Beasiswa BPPS yang diberikan, Joint Management
Board program BMZ-STORMA Universitas Tadulako atas bantuan biaya
penelitian yang diberikan. Kepada Prof. Dr. Ir. Marhawati Mappatoba, MT atas
11
kesediaannya membimbing dan mengarahkan penulis dalam pelaksanaan
penelitian di lapangan melalui kerjasama penelitian ”Stability of Rainforest
Margins in Indonesia” (STORMA) antara Universitas Tadulako, Institut Pertanian
Bogor, Gottingen University, dan Kassel University, German serta kesediaannya
meluangkan wuktu untuk berdiskusi terkait dengan penulisan disertasi ini
diucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya.
Secara khusus ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis
sampaikan kepada kedua orang tua Ayahanda R. Kassa (Almarhum) dan Ibunda
Ade (Almarhumah) yang semasa hidupnya tak henti-hentinya memanjatkan doa
untuk penulis, semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau dan menerima
segala
amal ibadahnya, amien. Juga kepada kakak Hasmiaty, Hj. Dra. Norma, H. Drs.
Abd. Aries dan adik Amiruddin, Sabaria, SE, Fahruddin, SH, dan Sriyani, SE
yang senantiasa berdoa serta memberikan semangat kepada penulis sejak awal
menempuh studi di IPB,semoga Allah SWT berkenan memberikan balasan yang
setimpal. Kepada teman-teman yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa
Pascasarjana Sulawesi Tengah (HIMPAST) terutama teman-teman
seperjuangan seasrama HIMPAST, juga kepada teman-teman PSL-2003 terima
kasih atas kebersamaannya selama ini dan mudah-mudahan kerjasama yang
telah terjalin tersebut, senantiasa terjaga sampai kapanpun Insya Allah.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kritik dan saran dari berbagai pihak agar bisa menjadi lebih
baik, senantiasa diharapkan. Harapan penulis semoga disertasi ini memiliki nilai
ibadah di mata Allah, amien.
Bogor, Pebruari 2009
Saharia Kassa
12
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palopo Kabupaten Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 2 Mei 1958, sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari Ayah R. Kassa (Almarhum) dan Ibu Ade (Almarhumah). Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan di Palopo dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) diselesaikan di Makassar. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1990, penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam, Program Pascasarjana di universitas yang sama atas bantuan Beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan lulus pada tahun 1993. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor diperoleh pada tahun 2003 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dengan bantuan beasiswa BPPS Ditjen Pendidikan Tinggi.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako sejak 1986. Sebelumnya, penulis pernah bekerja pada Proyek Pengembangan Kelapa Hybrida Propinsi Sulawesi Tengah (1985-1986), sebagai Sekertaris Bidang Minat Sosial Ekonomi Pertanian pada priode 1993-1997, dan sebagai Ketua Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis 1997-2001, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.
Selama mengikuti Program S3, artikel yang berjudul Partisipasi Stakeholder Pada Kesepakatan Konservasi Masyarakat di Taman Nasional Lore Lindu telah diterbitkan pada jurnal ”Agrokultur” Volume 4 No.6. Juni 2007. Artikel lain yang berjudul Analysing Stakeholders Needs at Community Conservation Agreement in Lore Lindu National Park telah diterbitkan pada Proceedings International Symposium Tropical Rainforests and Agroforests under Global Change (5-9 Oktober 2008, Kuta Bali, Indonesia). Selain itu artikel yang berjudul Co-management Untuk Menginisiasi Penyelesaian Konflik Di Taman Nasional Lore Lindu akan diterbitkan pada jurnal “Agroland” Volume 15 No. 4 Desember 2008. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
13
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………… ii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………… v DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………. vii
I. PENDAHULUAN 1.1. Larar Belakang ……………………………………………………… 1 1.2. Kerangka Pemikiran ………………………………………………... 4 1.3. Rumusan Masalah ………………………………………………….. 6 1.4. Tujuan Penelitian …………………………………………………… 6 1.5. Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 6 1.6. Novelty (Kebaruan) …………………………………………………. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya
Alam ………………………………………………………………….. 8 2.2. Taman Nasional …………………………………………………….. 10 2.3. Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional ……………………. 13 2.4. Teori Co-management ……………………………………………... 15 2.5. Konsep untuk Mengembangkan Co-management ……………… 25 2.6. Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) ……………………. 35
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………. 39 3.2. Jenis dan Sumber Data ……………………………………………. 39 3.3. Metode Pengumpulan Data ……………………………………….. 40 3.4. Teknik Pengambilan Sampel ……………………………………… 41 3.5. Metode Analisis Data ………………………………………………. 42
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Deskripsi TNLL ……………………………………………………… 51 4.2. Kondisi Sosial Ekonomi …………………………………………… 60
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Responden …………………………………………… 68 5.2. Proses Terbentuknya KKM dan Implementasinya ……………… 71 5.3. Kepentingan Stakeholder ………………………………………… 73 5.4. Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Pengelolaan Taman
Nasional ...................................................................................... 118 5.5 Penerapan Prinsip Dasar co-management dalam
Pengelolaan TNLL pada Kondisi Saat Ini ………………………... 129 5.6. Konsep Co-management untuk TNLL ………………………… 142
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan …………………………………………………………….. 150 6.2. Saran ………………………………………………………………… 151
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 152 LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………………… 160
14
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Tipe hak kepemilikan .............................................................................. 34
2 Jenis dan sumber data berdasarkan tujuan penelitian 2007 .................. 40
3 Perincian jumlah sampel penelitian 2007 ............................................... 42
4 Kepentingan stakeholder terkait dengan TNLL 2007 ............................. 43
5 Matriks pengaruh langsung antar faktor ................................................. 48
6 Pedoman penilaian antar faktor dengan skoring .................................... 48
7 Tahapan penetapan TNLL 2007 ............................................................. 52
8 Jumlah wisatawan yang berkunjung ke TNLL …………………………… 58
9 Jumlah penduduk disetiap wilayah kecamatan yang ada dalam dua wilayah kabupaten pada kawasan TNLL…………………………………. 61
10 Jumlah penduduk di sekitar TNLL menurut kelompok umur 2007 ......... 62
11 Tingkat pertumbuhan penduduk di sekitar TNLL 2007 …………………. 62
12 Jenis mata pencaharian penduduk di sekitar TNLL 2007 ..................... 64
13 Umur responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM ........................................................................................................ 68
14 Tingkat pendidikan responden di desa KKM dan desa non-KKM .... 69
15 Intensitas penyuluhan yang diikuti responden pada dua tahun terakhir 70
16 Pendapatan rata-rata masyarakat lokal dalam sebulan di desa KKM dan non-KKM 2007 ................................................................................ 70
17 Persentase kepentingan masyarakat pada dua kelompok desa terkait dengan TNLL 2007 ................................................................................ 74
18 Jumlah dan alasan responden masyarakat lokal di desa non-KKM yang merasakan ketidak nyamanan terkait dengan sumberdaya yang terdapat di dalam TNLL 2007 ................................................................. 76
19 Persentase masyarakat lokal yang pernah mengalami tindakan yang dinilai kurang manusiawi dari polisi hutan di desa non-KKM 2007 ..... 78
20 Prosentase masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM berdasarkan manfaat keberadaan TNLL yang dikemukakan 2007 ........ 81
21 Dana yang digunakan dalam implementasi proyek konservasi dan
pembangunan daerah penyangga di kawasan TNLL 2007 .................... 88
22 Kepentingan untuk stakeholder lembaga adat terkait dengan pengelolaan TNLL 2007 ......................................................................... 89
23 Kepentingan untuk stakeholder kepala desa terkait dengan pengelolaan TNLL 2007 .........................................................................
91
15
24 LSM lokal dan internasional yang memiliki kepentingan terkait dengan TNLL 2007 ............................................................................................. 94
25 Kepentingan dari stakeholder LSM terkait dengan pengelolaan TNLL 95
26 Jumlah dan persentase pelaku bisnis berdasarkan komoditi utama yang diperdagangkan 2007 ................................................................... 96
27 Kepentingan dari stakeholder pelaku bisnis terkait dengan pengelolaan TNLL 2007 ......................................................................... 97
28 Jumlah peneliti dan negara asal peneliti yang melaksanakan penelitian di sekitar TNLL 2004 sampai dengan 2006 ........................................... 99
29 Kepentingan dari stakeholder akademisi/peneliti terkait dengan pengelo-laan TNLL 2007 ....................................................................... 100
30 Jumlah perambah yang telah melakukan aktivitas pertanian di dalam kawasan TNLL 2007 .............................................................................. 104
31 Perambahan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di beberapa bagian kawasan TNLL 2007 ......................................................................................... 107
32 Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan hak nya terkait dengan TNLL ....................................................................... 108
33 Persentase masyarakat yang lahan kebunnya masuk dalam kawasan TNLL di desa KKM dan non-KKM 2007 ............................................. 117
34 Persentse partisipasi masyarakat lokal pada kegiatan pelestarian kawasan TNLL 2007 .............................................................................. 119
35 Partisipasi masyarakat lokal pada pengamanan kawasan ................... 122
36 Partisipasi masyarakat lokal pada kegiatan pelatihan/penyuluhan ........ 125
37 Partisipasi masyarakat di desa KKM dan desa non-KKM pada upaya pengelolaan taman nasional 2007 .............................................. 127
38 Alasan yang dikemukakan masyarakat lokal di desa non-KKM terkait dengan pengelolaan TNLL pada kondisi saat ini 2007 .......................... 131
16
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian .............................................................. 5
2 Tahapan dari co-management .............................................................. 19
3 Prinsip Dasar dari co-management …………………………………… 19
4 Tahapan dari Partisipasi …………………………………………………… 26
5 Bagan alir analisis partispasi masyarakat pada kegiatan pelestarian ... 45
6 Bagan alir analisis partisipasi masyarakat pada kegiatan pengamanan
Kawasan ................................................................................................ 46
7 Bagan alir analisis partisipasi masyarakat pada kegiatan pelatihan/
Penyuluhan ............................................................................................ 46
8 Diagram untuk menemukan faktor kunci penentu keberhasilan co-management .......................................................................................... 49
9 Persentase rencana zonasi TNLL 2007 ................................................ 55
10 Struktur organisasi Balai TNLL .............................................................. 59
11 Persentase jumlah penduduk di sekitar TNLL berdasarkan tingkat pendidikan 2007 .................................................................................... 63
12 Persentase tingkat pendapatan masyarakat di sekitar TNLL 2007 ....... 66
13 Persentase masyarakat lokal dan alasan penjualan lahan di desa KKM dan desa non-KKM 2007 ........................................................... 78
14 Masyarakat berkebun dan bermukim dalam kawasan TNLL ................ 80
15 Persentase kepentingan masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM 2007 ....................................................................................... 80
16 Kerusakan jalan akibat banjir dan kayu hasil tebangan liar di sekitar TNLL ................................................................................................................. 86
17 Sebagian besar dari kebun kakao masyarakat yang terbawa banjir dan kayu illegal dari TNLL .................................................................... 86
18 Persentase kepentingan TNLL terkait dengan pengelolaan TNLL ........ 87
19 Kepentingan stakeholder Pemda propinsi/kabupaten terkait dengan pengelolaan TNLL ................................................................................. 92
20 Persentase masyarakat lokal berdasarkan luas kepemilikan lahan di desa KKM dan non-KKM 2007 ............................................................ 102
21 Kegiatan pembukaan lahan di bagian kawasan TNLL .......................... 105
22 Perambahan dan pemukiman di bagian kawasan TNLL ....................... 106
23 Kayu illegal yang ditemukan di dalam kawasan TNLL .......................... 112
24 Salah satu pal batas TNLL yang terdapat di dalam kebun masyarakat ............................................................................................ 116
25 Persentase luas lahan masyarakat di desa KKM dan desa non- 118
17
KKM yang terdapat dalam kawasan TNLL 2007 ...................................
26 Bagian kawasan TNLL yang sudah menjadi kebun kakao .................... 120
27 Anggota Tondo Ngata melakukan persiapan sebelum menjalankan tugasnya ................................................................................................ 123
28 Anggota Tondo Ngata berangkat ke dalam hutan ................................ 123
29 Pembakaran pondok dan damar hasil pungutan masyarakat di dalam kawasan yang disita oleh Polhut .......................................................... 128
30 Rotan hasil pungutan masyarakat yang disita oleh polhut .................... 128
31 Persentase partisipasi stakeholder sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007 ............................................................. 129
32 Persentase pengakuan terhadap hak lahan adat sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007 .................................. 132
33 Persentase pelaksanaan negosiasi sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007 ............................................................. 134
34 Persentase penerapan sanksi adat sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007 ............................................................. 136
35 Persentase pendapat responden tentang batas teritori dalam pengelo-laan TNLL 2007 ..................................................................................... 137
36 Persentase pendapat responden tentang kejelasan hak dan tanggung-jawab dalam pengelolaan TNLL 2007 ................................... 138
37 Persentase pendapat responden tentang adanya konsensus dalam pengelolaan TNLL 2007 ........................................................................ 140
38 Salah seorang angota Totua Ngata menyerahkan piagam kesepakatan kepada Kepala Balai TNLL .............................................. 141
39 Masyarakat Adat Toro berpose bersama di sekeliling prasasti pengakuan .................................................................................................................. 141
40 Tingkat kepentingan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan co-management dalam pengelolaan TNLL ............. 145
41 Konsep co-management untuk pengelolaan TNLL ........................... 146
18
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta lokasi penelitian ............................................................................. 160
2 Nama desa KKM dan desa non-KKM yang terdapat di sekitar TNLL 2007 ....................................................................................................... 161
3 Peta partisipatif Wilayah Adat Toro ........................................................ 162
4 Matriks hasil penilaian pengaruh antar faktor ........................................ 163
5 Kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat lokal di beberapa bagian kawasan TNLL ........................................................... 164
6 Kesepakatan konservasi masyarakat Desa Wuasa Kec. Lore Utara Kab. Poso ............................................................................................... 167
7 Kesepakatan konservasi sumberdaya alam Masyarakat Adat Ngata Toro ........................................................................................................ 167
8 Surat pernyataan Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu ................. 168
19
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumberdaya alam dan lingkungan saat ini mengalami kerusakan dan
pencemaran terutama disebabkan oleh eksploitasi yang tidak memperhatikan
kemampuan tumbuh sumberdaya alam tersebut dan kegiatan yang mencemari
lingkungannya. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat
penting untuk mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan, yang
fungsinya untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan sosial ekonomi
masyarakat di sekitar, mencegah erosi dan banjir, menyerap emisi CO2,
mempertahankan iklim mikro, dan kelestarian biodiversity.
Menurut Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2003) bahwa
dari total kawasan hutan yang luasnya ± 120,35 juta ha, telah rusak seluas
kurang lebih 59,7 juta ha atau 49,6% dari total luas kawasan dengan laju
kerusakan antara tahun 1997-2003 diperkirakan sebesar 2,83 juta ha per tahun.
Upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya hutan, Pemerintah Republik
Indonesia telah menetapkan sejumlah kawasan konservasi dengan luasan ±
27.624.925 ha yang terdiri dari kawasan suaka alam seluas 9.558.427,82 ha dan
kawasan pelestarian alam seluas 17.840.505,46 ha (Dephut 2004). Selanjutnya,
Taman Nasional (TN) dinyatakan sebagai salah satu bentuk dari kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (UU No. 5 tahun 1990), dengan
luas sekitar 14.972.690,33 ha (Dephut, UNESCO dan CIFOR 2004), dan saat
ini telah mencapai 16.694.195,78 yang terdiri dari 12.475.335,78 ha wilayah
daratan dan 4.218.860,00 ha wilayah perairan (Dephut 2005).
Pengelolaan taman nasional dengan sistem zonasi untuk tujuan
konservasi, penelitian, pendidikan, dan kepariwisataan yang masih sentralistik
sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala (Alikodra 1987). Kendala
yang masih dihadapi dalam pengelolaan taman nasional dikemukakan oleh
Wiratno et al. (2004) antara lain: 1) Keterbatasan anggaran; 2) sumberdaya
pengelola masih belum memadai, 3) kelemahan infrastruktur, dan 4) hubungan
yang belum harmonis dengan masyarakat di sekitar kawasan. Oleh karena itu
agar pengelolaan kawasan tersebut dapat berjalan dengan baik diperlukan
20
jaringan kerja dan komitmen bersama dengan para pemangku kepentingan
terhadap sumberdaya alam di dalam maupun di sekitar kawasan. Untuk itu sejak
pertengahan tahun 1990-an terjadi pergeseran paradigma pengelolaan taman
nasional yang semula masih bersifat parsial dan hanya berorientasi pada
pelestarian, menjadi terintegrasi dengan mulai memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan ekonomi, sosial, dan kepentingan pelestarian yang melibatan
seluruh stakeholder (Sembiring dan Husni 1999; Bappenas 2002).
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) seluas 217.991,18 ha, yang ditunjuk
melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 593/KPts-II/1993 tanggal 5
Oktober 1993 dan kemudian dikukuhkan atau ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
dan Perkebunan dengan No.464/Kpts-II/1999, memiliki potensi berupa flora dan
fauna endemik Sulawesi yang sangat unik dan menarik. Potensi flora yang
dimaksud antara lain leda (Eucalyptus deglupta), palem wangi (Pigapetta elata),
damar (Agathis celebica), rotan tai manu’ (Korthalsia celebica), anggrek (Vanda
celebica), dan terdapat minimal 287 jenis tanaman berkhasiat (tanaman obat).
Jenis fauna diantaranya adalah anoa (Bubalus quarlesi), babirusa (Babyrousa
babyrussa), monyet hitam (Macaca tonkeana), tarsius (Tarsius spectrum),
kuskus (Palanger sp), biawak (Varanus sp), burung maleo (Macrocephalon
maleo), dan burung alo (Rhyticeros cassidix). Kekayaan lain yang terdapat pada
kawasan tersebut antara lain ekosistem danau (Danau Lindu), ekosistem air
panas (Sungai Rawa), dan ekosistem pegunungan (Gunung Lore Katimbo)
dengan ketinggian 2.610 m dpl. Disamping itu terdapat potensi budaya berupa
Batuan Megalit, adat istiadat Suku Lore, Rumah Adat Tambi, musik bambu, dan
Dero (Tarian Daerah Sulawesi Tengah) (BTNLL, TNC, dan Ditjen PHKA 2004).
Mengingat potensi dan keunikan yang dimiliki oleh TNLL tersebut, maka
TNLL diberikan status istimewa: 1) sebagai lokasi warisan dunia oleh Pemerintah
Republik Indonesia, 2) sebagai kawasan burung endemik dengan ditemukannya
42 jenis yang terdapat di dalam kawasan TNLL dari 47 jenis burung endemik
yang ada, 3) sebagai suaka biosfer, UNESCO, dan 4) sebagai pusat
keanekaragaman jenis tanaman oleh WWF dan IUCN. Potensi yang dimiliki
TNLL tersebut, seyogianya dikelola dengan seksama dan bijaksana agar sasaran
pengelolaan dapat dicapai. Sasaran pengelolaan TNLL adalah: (1) konservasi
berbagai ekosistem hutan, serta berbagai jenis satwa yang hidup di dalamnya;
(2) pengatur tata air, pencegah erosi, dan pengendali banjir; (3) sebagai tempat
penelitian, pendidikan, wisata dan rekreasi; (4) sebagai tempat pengembangan
21
wisata dan rekreasi; (5) sebagai tempat yang dapat memberikan andil dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat yang ada di
sekitarnya (BTNLL 2003).
Sasaran pengelolaan TNLL sampai saat ini, belum sepenuhnya tercapai.
Kondisi ini ditunjukkan dengan kerusakan taman nasional seluas 14.770 ha
(6,8%) dari total luas kawasan, selain itu laju deforestasi TNLL memperlihatkan
kecenderungan yang meningkat 75 Ha/tahun pada kurun waktu 1983 – 1999,
340 Ha/tahun pada tahun 1999-2001, dan 4.000 Ha/tahun pada 2001-2002 (TNC
2002). Kerusakan taman nasional tersebut tersebar di beberapa lokasi yang
disebabkan oleh kegiatan perambahan, termasuk perambahan di Wilayah Dongi-
Dongi yang dirambah dan dijadikan pemukiman oleh 1.030 KK yang berasal dari
desa di sekitar TNLL (Awang 2003). Kasus perambahan dan pemukiman
penduduk di Wilayah Dongi-Dongi tersebut, berpotensi pula menimbulkan konflik
horisontal antar masyarakat adat yang masing-masing merasa bahwa lahan
tersebut adalah tanah adat mereka.
Selain konflik pemanfaatan lahan, kondisi faktual yang terlihat di lapangan
adalah masih terdapat kegiatan pengambilan hasil hutan yang tidak terkontrol,
perburuan satwa yang dilindungi, plot-plot penelitian yang masih sering
terganggu, dan kondisi kehidupan masyarakat di sekitar TNLL sebagian besar
masih berpendapatan rendah yang ditunjukkan oleh pendapatan perkapita
sebesar Rp5.229.492/tahun atau hanya sekitar Rp435.791/bulan1) dengan
tingkat pendidikan penduduk yang bermukim di sekitar kawasan sebagian besar
hanya berpendidikan SD (38,54%) bahkan 41,6% yang tidak sekolah dan tidak
tamat SD (BPS 2006).
Permasalahan TNLL yang telah diuraikan sebelumnya terutama
diakibatkan oleh; 1) desakan kebutuhan lahan, baik untuk kegiatan pertanian
sebagai sumber penghidupan maupun untuk pemukiman, 2) masyarakat merasa
bahwa Kawasan TNLL tidak memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup
mereka, dan 3) proses penetapan batas kawasan yang dilakukan sepihak tanpa
penjelasan memadai kepada masyarakat yang telah memanfaatkan sumberdaya
yang terdapat pada kawasan ini jauh sebelumnnya (Khaeruddin et. al. 2002).
Dalam upaya mengatasi masalah dan mengantisipasi kerusakan TNLL
lebih lanjut, dibutuhkan suatu konsep pengelolaan yang diharapkan dapat
mengakomodir aspirasi dan keinginan dari semua stakeholder. Konsep yang
1)
Upah Minimum Propinsi (UMP) Sulawesi Tengah Rp685.000/bulan.
22
dimaksud pada intinya dibangun atas dasar partisipasi, komitmen, dan kerjasama
dari seluruh stakeholder yang dikenal dengan pengelolaan secara kolaborasi.
Pengelolaan dengan pendekatan kolaborasi telah banyak dibahas dan bahkan
telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-
II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan
Pelestarian Alam yang bertujuan untuk mewujudkan efektivitas pengelolaan
kawasan yang dilindungi, terpenuhinya kebutuhan kesetaraan, keadilan dan
demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam, serta terpenuhinya keinginan
para pihak untuk mengakhiri konflik tanpa ada pihak yang merasa dikalahkan
(Dephut 2005). Oleh sebab itu untuk melindungi dan melestarikan TNLL
sekaligus bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri terjadinya konflik di
kawasan taman nasional maka diperlukan konsep co-management dalam
pengelolaan TNLL.
1.2. Kerangka Pemikiran
Pengelolaan TNLL selama ini masih dikelola dengan kebijakan yang
sentralistik sehingga seringkali keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak
otoritas taman nasional tidak sesuai dengan keiinginan masyarakat. Sebagai
konsekuensi dari kebijakan tersebut, memicu munculnya konflik kepentingan
yang mengakibatkan terjadinya degradasi sumberdaya alam di dalam
pengelolaan kawasan taman nasional. Konflik tersebut berimplikasi pada
terjadinya degradasi TNLL. Untuk mengatasi berbagai masalah dan
mengantisipasi konflik agar tidak semakin meluas, telah dibangun kesepakatan
konservasi masyarakat (KKM) di beberapa desa di sekitar TNLL. Namun
demikian, kondisi faktual menunjukkan bahwa upaya itupun belum mampu
mengatasi konflik yang terjadi di TNLL.
Claridge & O”Callaghan (1995); Fisher (1995); Nikijuluw (1999); Borrini-
Feyerabend et al. (2000); dan Alikodra (2004) berpendapat bahwa banyak
permasalahan yang perlu diselesaikan atas dasar kejelasan peran dan tanggung
jawab, sehingga perlu dibangun pengelolaan dengan menerapkan co-
management. Selajutnya keberhasilan co-management harus didukung oleh
komponen-komponen penting yakni: 1) partisipasi stakeholder, 2) pengakuan
terhadap hak lahan adat, 3) ada proses negosiasi, 4) penerapan sanksi adat, 5)
batas teritori, 6) ada kejalasan hak dan tanggung jawab dari stakeholder, serta 7)
ada konsensus yang disepakati. Ke tujuh komponen ini merupakan parameter
yang akan dikaji sejauhmana penerapannya dalam pengelolaan TNLL. Selain itu
23
penelitian ini akan mengkaji pula kepentingan dari stakeholder kaitannya dengan
konflik yang terjadi di kawasan taman nasional. Untuk menentukan faktor kunci
keberhasilan pengembangan co-management TNLL dilakukan analisis prospektif
(Hardjomidjoyo 2004). Secara skematis kerangka pemikiran penelitian disajikan
pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian.
Upaya Pengelolaan Kawasan TNLL
Kebijakan Sentralistik
Kepentingan stakeholder
- Konflik Kepenting-an
- Degradasi sumber- daya alam
CO-MANAGEMENT: Stakeholder, pengakuan terhadap hak lahan adat, negosiasi, penerapan sanksi adat, batas teritori,
kejelasan hak dan tanggungjawab, serta konsensus (diadaptasi dari: Claridge O” Callaghan 1995; Fisher
1995; Nikijuluw 1999; Borrini-Feyerabend 2000; Alikodra 2004)
Kesepakatan konservasi masyarakat (KKM)
Pengelolaan TNLL
24
1.3. Rumusan Masalah
Pengelolaan TNLL belum mampu mengatasi berbagai masalah yang
timbul akibat konflik kepentingan berbagai stakeholder. Fokus dari pertanyaan
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kepentingan stakeholder terkait dengan konflik yang terjadi di
kawasan TNLL
2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan TNLL
3. Bagaimana penerapan prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL
saat ini
4. Faktor-faktor kunci yang mana, penentu keberhasilan pengembangan co-
management dalam pengelolaan TNLL.
5. Konsep co-management yang bagaimana untuk pengelolaan TNLL.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis kepentingan stakeholder dalam kaitannya dengan konflik yang
terjadi di taman nasional
2. Menganalisis partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan taman
nasional
3. Menganalisis penerapan prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL
saat ini (existing condition)
4. Menganalisis faktor kunci penentu keberhasilan co-management dalam
pengelolaan TNLL.
5. Merumuskan konsep co-management untuk pengelolaan taman nasional
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah:
1. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang pola co-management
sebagai salah satu pola pendekatan pengelolaan kawasan konservasi yang
sustainable
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah (BTNLL), tentang
pentingnya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi
3. Keterlibatan multistakeholder dalam pengelolaan kawasan konservasi
terutama masyarakat yang ada di sekitar kawasan diharapkan dapat
memperoleh nilai ekonomi yang seimbang dengan kepentingan konservasi.
25
1.6. Novelty (Kebaruan)
Co-management dikenal sebagai suatu bentuk pengelolaan sumberdaya
alam yang diharapkan dapat mengakomodir semua kepentingan stakeholder.
Berkaitan dengan itu kebaharuan (novelty) dari penelitian ini adalah menemukan
faktor kunci yang paling kuat pengaruhnya terhadap keberhasilan co-
management, dan menghasilkan konsep co-management untuk penyelesaian
konflik dalam pengelolaan TNLL yang akhirnya diharapkan kelestarian taman
nasional dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan taman
nasional dapat tercapai.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Pelaksanaan kegiatan pembangunan memunculkan dua benturan
kepentingan yakni pembangunan dari sisi ekonomi dan pelestarian lingkungan
pada sisi yang lain. Kedua benturan kepentingan tersebut akan menimbulkan
dampak positif maupun negatif, demikian pula halnya dalam upaya pengelolaan
TNLL di satu sisi ingin melestarikan sumberdaya alam yang ada, tapi di sisi lain
bagaimana masyarakat yang ada di sekitarnya dapat terpenuhi kebutuhannya,
terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan sumberdaya yang bernilai
ekonomi dari kawasan taman nasional. Oleh sebab itu upaya pengelolaan TNLL
secara berkelanjutan perlu dilaksanakan.
Pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan pada tahun 1987 melalui
laporan Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) yang digagas oleh
World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang
Lingkungan dan Pembangunan) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland
sehingga dikenal dengan Komisi Brundtland. Fokus dari laporan yang disusun
oleh Komisi Brundtland (Brundtland Report) tersebut, adalah pembangunan
berkelanjutan yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini
tanpa mengorbankan atau mengurangi peluang generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya (Soemarwoto 2004).
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan
yang bertujuan untuk mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam agar
tidak mengalami kerusakan atau kepunahan. Konsep pembangunan
berkelanjutan harus mengacu pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya.
Pada berbagai kajian disebutkan pula bahwa untuk mencapai pengelolaan
26
sumberdaya alam yang berkelanjutan dibutuhkan sinergi yang baik antara fungsi
ekonomi, ekologi, dan sosial (Hanna et al. 1995; Sardjono 2004; Bohensky
2005). Sejalan dengan konsep kelestarian atau keberlanjutan, Suhendang (2004)
mengemukakan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya hutan yang sustainable
mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat terhadap fungsi-fungsi ekonomis
(produksi), ekologis (lingkungan), dan sosial dari sumberdaya hutan secara
optimal dan lestari.
Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep
pembangunan yang diterima olah semua negara di dunia untuk mengelola
sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan.
Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan
sektor kehutanan. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin
karena banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain
aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum dan kelembagaan.
Barbier (1989) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan lebih
ditekankan pada pembangunan ekonomi dimana pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan (suatainable economic development) adalah konsep pembangunan
yang merujuk pada tingkat interaksi yang optimal antara tiga sistem yaitu biologi,
ekonomi, dan sosial, yang dicapai melalui satu proses trade-offs yang adaptif dan
dinamis. Sementara Pearce (1986) menekankan konsep pembangunan
berkelanjutan pada adanya kompromi antara sistem-sistem atau antara
kebutuhan generasi kini dan generasi yang akan datang.
Selanjutnya Yakin (1997) mengemukakan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya atau dengan kata lain pembangunan berkelanjutan merupakan
suatu proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi
pengembangan teknologi, dan perubahan institusi, yang kesemuanya berada
dalam keselarasan dan meningkatkan potensi masa kini dan yang akan datang
untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia. Dalam hal ini,
pembangunan ekonomi harus berjalan selaras dengan kepentingan lainnya
sehingga pertumbuhan ekonomi tidak hanya memenuhi kepentingan generasi
sekarang tetapi juga generasi yang akan datang.
Munasinghe dan McNelly (1992) mengidentifikasi tiga konsep dari
pembangunan berkelanjutan yakni konsep pendekatan ekonomi, ekologi, dan
27
sosial budaya. Aspek ekonomi pembangunan berkelanjutan dicapai apabila
dapat menghasilkan pendapatan yang maksimum dengan tetap
mempertahankan stok sumberdaya atau aset yang menghasilkan benefit
tersebut. Aspek ekologi menjelaskan stabilitas fisik dan biologi suatu sistem atau
ekosistem sementara aspek sosial budaya dari pembangunan berkelanjutan
menyangkut stabilitas sistem sosial budaya, termasuk mengurangi konflik yang
biasa terjadi.
Identifikasi tiga konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan di
atas, sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan oleh
Munasinghe (1993) bahwa pembangunan berkelanjutan apabila memenuhi tiga
dimensi yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial
berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Makna
pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada
pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah
kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil
berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk estetika. Hal lain
yang tidak kalah pentingnya adalah konsep pemanfaatan sumberdaya yang
berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna bahwa eksploitasi
atau pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau
dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.
2.2. Taman Nasional MacKinnon et.al (1993) mengemukakan bahwa taman nasional adalah
kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai
alam yang spesifik dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi objek rekreasi
yang besar, mudah dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah
tersebut. Sementara IUCN (1994) merumuskan bahwa taman nasional adalah
areal yang cukup luas, dimana ada satu atau beberapa ekosistem tidak berubah
oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan lahan spesies flora dan fauna, kondisi
geomorfologi dan kondisi habitatnya memiliki nilai landskape alam dengan
keindahan tinggi.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya merumuskan bahwa taman
nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.
28
Fungsi pokok taman nasional adalah: 1) sebagai kawasan perlindungan; 2)
sebagai kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa;
dan 3) sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya.
Pengelolaan kawasan taman nasional, dilakukan dengan sistem zonasi
agar kawasan tersebut dapat dikelola dengan baik. Sistem zonasi yang dimaksud
adalah zona inti, zona pemanfaatan, dan zona rimba atau zona lainnya yang
ditetapkan berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya. Untuk zona inti tidak diperkenankan adanya campur tangan
manusia baik dari pihak pengelola maupun pengunjung karena. Setiap kegiatan
atau aktivitas makhluk hidup pada zona inti dibiarkan berjalan dengan sendirinya.
Pada zona rimba, campur tangan manusia secara terbatas diperkenankan
misalnya pendidikan, penelitian, wisata terbatas serta kegiatan yang menunjang
budidaya. Sedangkan pada zona pemanfaatan, diperkenankan adanya kegiatan
pendidikan, penelitian, penunjang budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa,
serta wisata alam atau ekoturisme (PP No.68 tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam).
Berkaitan dengan pengelolaan taman nasional maka masyarakat atau
pihak swasta diperkenankan untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk kemitraan
dengan membangun sarana dan prasarana penunjang wisata misalnya bungalow
atau pusat penjualan cinderamata. Namun demikian sarana dan prasarana yang
dibangun harus menggunakan pola arsitektur setempat serta bahan-bahan yang
ramah lingkungan serta diupayakan untuk tidak terjadinya kerusakan alam.
Antara kawasan taman nasional dengan kawasan pemukiman biasanya
dipisahkan oleh suatu kawasan yang dikenal dengan daerah penyangga. Daerah
penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang
berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan
perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan (PP No. 68 tahun
1998)
Alikodra (1998) mengemukakan pula bahwa daerah penyangga adalah
wilayah yang berada di luar kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan,
tanah negara bebas maupun tanah negara yang dibebani hak dan diperlukan
serta mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Pada prinsipnya daerah
penyangga dapat berfungsi sebagai penyangga terhadap berbagai macam
29
kegiatan yang dapat merusak potensi sumberdaya alam taman nasional dan juga
berfungsi untuk melindungi manusia dari binatang liar pemangsa. Daerah
penyangga taman nasional adalah suatu kawasan yang berfungsi melindungi
taman nasional dari gangguan manusia atau juga melindungi kehidupan manusia
dari gangguan yang berasal dari taman nasional.
Selanjutnya MacKinnon et al. (1993) memberikan batasan bahwa daerah
penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang
dilindungi dan berfungsi sebagai lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan
yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Daerah
penyangga bertujuan untuk: 1) menyelamatkan potensi kawasan dari berbagai
macam gangguan baik oleh manusia, ternak ataupun pencemaran lingkungan; 2)
mengembangkan dan membina hubungan tradisional antara masyarakat dengan
alam, sehingga tercipta adanya integrasi antara manusia dan alam pada kondisi
yang lebih baik; 3) memberikan perlindungan terhadap masyarakat daerah
pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dari gangguan satwa liar yang
berasal dari kawasan konservasi; 4) meningkatkan produktivitas lahan melalui
pola usahatani yang lebih intensif; 5) meningkatkan kesadaran dan partisipasi
masyarakat terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan; 6)
mengembangkan jenis-jenis kebutuhan pokok yang berasal dari kawasan
konservasi dengan pengembangan pola budidaya baik untuk protein hewani
maupun protein nabati; 7) mengembangkan sistem jasa yang berkaitan dengan
kegiatan pengelolaan kawasan konservasi.
MacKinnon et al. (1993) mengemukakan pula bahwa dasar umum yang
digunakan dalam penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional adalah: 1)
karakteristik atau keunikan ekosistem, 2) mempunyai keanekaragaman spesies
atau spesies khusus yang “bernilai”, 3) mempunyai landskap dengan ciri geofisik
atau estetika yang “bernilai”, 4) mempunyai fungsi perlindungan hidrologi (tanah,
air, iklim), 5) mempunyai sarana untuk rekreasi alam atau kegiatan wisata dan 6)
mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan
megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun 1998 tentang KSA
KPA pada Pasal 31 dikatakan bahwa suatu kawasan ditunjuk sebagai suatu
kawasan taman nasional apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelangsungan proses ekologis secara alami;
30
2) memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis
tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang
masih utuh dan alami;
3) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
4) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam; dan
5) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena kepentingan
rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan
dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Umar (2004) mengemukakan
bahwa CSIAD-CP telah memfasilitasi pembentukan Forum Konservasi sebagai
Forum Wilayah Penyangga Taman Nasional Lore Lindu pada lima wilayah
kecamatan (Kecamatan Palolo, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Lore Utara,
Kecamatan Lore Tengah, dan Kecamatan Lore Selatan) dimana TNLL berada.
Persoalan penting yang perlu diketahui menyangkut daerah penyangga adalah
berimpitnya batas TNLL dengan halaman rumah penduduk pada beberapa
daerah yang berbatasan langsung dengan TNLL sehingga penetapan daerah
penyangga pada wilayah tersebut dibutuhkan fleksibilitas posisi atau situasi
daerah penyangga relatif terhadap kawasan konservasi (Ebregt dan Greve
2000).
2.3. Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional
Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan
pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial ekonomi
masyarakat di sekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan kawasan
konservasi yang salah arah (misleading policy). Hal ini disebabkan karena
pengelolaan kawasan konservasi yang sentralistik dengan perencanaan dan
keputusan-keputusan yang bersifat topdown akibatnya nilai dan kepentingan dari
pengelolaan kawasan konservasi tidak searah dengan nilai dan kepentingan
masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Implikasi dari kondisi ini adalah
terjadinya ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan
antara pengelola kawasan dengan stakeholder lainnya terutama komunitas-
komunitas lokal yang berada di sekitar kawasan tersebut.
31
Fisher et al. (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua
pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki
sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Dikemukakan pula bahwa
konflik timbul karena adanya kesenjangan status sosial, akses yang tidak
seimbang terhadap sumberdaya, kekuasaan yang tidak seimbang yang
kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran,
kemiskinan, penindasan, dan kejahatan.
Berkaitan dengan itu, Priscoli (1997) membedakan lima penyebab utama
terjadinya konflik, yakni: 1) data, 2) kepentingan, 3) nilai, 4) hubungan, dan 5)
struktural. Konflik akibat data disebabkan oleh keterbatasan informasi, informasi
yang keliru, interpretasi yang berbeda serta perbedaan pandangan terhadap
data. Konflik kepentingan terjadi karena adanya kepentingan atau kebutuhan
yang saling bertentangan atau tidak cocok diantara pihak-pihak yang bertikai.
Konflik nilai terjadi karena adanya penggunaan kriteria yang berbeda untuk hasil
(outcome) yang disebabkan oleh perbedaan ideologi, kepercayaan agama,
pandangan hidup, dan gaya hidup. Sementara itu, konflik bisa juga karena
hubungan-hubungan yang tidak harmonis, biasanya menyangkut emosi yang
kuat, komunikasi yang mandeg, dan prilaku negatif yang terus berulang. Konflik
struktural berkaitan dengan bagaimana sesuatu yang di set-up, batasan peran,
kendala waktu dan ruang, serta ketimpangan dalam kekuatan/kekuasaan atau
kontrol terhadap sumberdaya.
Winardi (1994), membedakan tiga wujud konflik, yakni konflik bersifat
tertutup (latent), mencuat (emerging) atau terbuka (manifest). Konflik laten
dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya
berkembang, atau belum terangkat ke puncak-puncak kutub konflik. Seringkali
salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik. Konflik mencuat
adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi,
diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses
penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka merupakan
konflik dimana pihak-pihak terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,
mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan
buntu.
Selanjutnya Tadjudin (2000) mengemukakan bahwa sumber konflik
adalah karena adanya perbedaan pada berbagai tataran yakni: 1) perbedaan
persepsi, 2) perbedaan pengetahuan, 3) perbedaan tata nilai, 4) perbedaan
32
kepentingan, dan 5) perbedaan akuan hak kepemilikan. Kemudian Fuad dan
Maskanah (2000) berpendapat bahwa konflik adalah benturan yang terjadi antara
dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh perbedaan nilai, status, kekuasaan,
dan kelangkaan sumberdaya, dimana masing-masing pihak mempunyai
kepentingan yang sama terhadap sumberdaya. Fuad dan Maskanah (2000)
menyatakan pula bahwa akhir-akhir ini wujud konflik sumberdaya alam telah
menjadi konflik yang mencuat, tumpang tindihnya kepentingan pada suatu
wilayah hutan yang sama pada akhirnya menimbulkan konflik yang tidak
terhindarkan.
Terkait dengan konflik, maka konflik antara pengelola kawasan
konservasi dengan masyarakat ditandai dengan sifat benci, saling tidak percaya
(mistrust), dan terjadinya hambatan-hambatan psikologis dan komunikasi
diantara mereka (miscommunication each others). Konflik yang tidak segera
ditangani akan mencuat dan akhirnya akan menjadi konflik terbuka (open
conflict). Konflik ini ditandai dengan terjadinya benturan-benturan fisik,
pengambilalihan otoritas kawasan yang disertai dengan ”pencurian” dan bahkan
”penjarahan” besar-besaran terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan.
Salah satu aspek penting dalam menganalisis dinamika konflik adalah
perbedaan kekuatan (power) yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Kekuatan yang dimiliki pihak pengelola kawasan konservasi dalam
mempertahankan kawasannya karena adanya topangan legal, dukungan dari
pihak-pihak keamanan, dukungan dana, serta tingkat pendidikan. Sementara itu,
masyarakat setempat biasanya mengandalkan pada alasan kesejarahan,
kedekatan sumberdaya kawasan dengan mereka, dukungan dari pihak-pihak luar
yang peduli dengan kehidupan masyarakat.
Wilardjo dan Budi (2000) mengemukakan bahwa perubahan dan
pergeseran kekuatan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik akan
berpengaruh terhadap intensitas konflik. Salah satu faktor eksternal yang paling
besar pengaruhnya terhadap terjadinya perubahan dan pergeseran kekuatan
antara pihak-pihak yang berkonflik karena adanya perubahan iklim sosial,
ekonomi, dan politik (reformasi). Dalam konteks pengelolaan kawasan
konservasi di Indonesia, keberanian komunitas lokal dalam melakukan
penjarahan massal atas sumberdaya di dalam kawasan merupakan indikasi
meningkatnya power yang dimiliki masyarakat di satu sisi dan di sisi lain adalah
33
melemahnya power yang dimiliki oleh pihak pengelola kawasan, akhirnya
memicu intensitas terjadinya konflik pengelolaan kawasan.
2.4. Teori Co-management
Borrini-Feyerabend et al. (2000), memberikan pengertian bahwa co-
management adalah suatu kondisi dimana dua atau lebih stakeholder
bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka serta
membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggungjawab dari
suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu. Stakeholder adalah mereka
yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan.
Conservation Union dalam Resolusinya tahun 1996 menjelaskan dasar
dari co-management, atau joint participatory atau multistakeholder management
adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna
sumberdaya, lembaga non-pemerintah dan kelompok yang berkepentingan
lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang
kewenangan dan tanggungjawab untuk mengelola daerah spesifik atau
sumberdaya (IUCN 1997).
Knight dan Tighe (2003) mendefinisikan bahwa co-management adalah
suatu bentuk kerjasama yang dikembangkan bersama oleh pemerintah dan
masyarakat dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam.
Konsep co-management antara masyarakat dan pemerintah merupakan mitra
yang bekerja bersama-sama dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu
kawasan. Pengembangan konsep kerjasama antara pemerintah dan masyarakat
dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam, memiliki
peran dan fungsi yang jelas antara masing-masing pihak. Co-management dalam
pengelolaan sumberdaya alam adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya
yang kegiatannya didasarkan pada kerjasama antara masyarakat dan
pemerintah yang berorientasi pada optimalisasi pencapaian tujuan organisasi.
Co-management tidak saja dilihat dari hubungan kerjasama antara pemerintah
dengan masyarakat, namun lebih luas lagi pada lingkup stakeholders dalam
pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan bersama.
Selanjutnya Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan bahwa co-
management adalah partisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya oleh
masyarakat baik secara individu maupun kelompok yang mempunyai keterkaitan
atau kepentingan dengan sumberdaya tersebut. Dikemukakan pula bahwa ada
tiga elemen penting dari co-management yakni:
34
1) Pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan
sumberdaya berdasarkan rencana yang dipahami dan disetujui oleh
semua pihak;
2) Tujuan sosial, budaya, dan ekonomi merupakan bagian yang terintegrasi
dari strategi pengelolaan; dan
3) Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya merupakan tujuan utama.
Berkaitan dengan itu Borrini-Feyerabend et al. (2000) mengemukakan
bahwa co-management memiliki pula prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para pihak yang
terlibat dalam mengelola wilayah atau kesatuan sumberdaya alam, baik di
luar maupun di dalam komunitas lokal;
2) Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan sumberdaya alam selain
pengelolaan yang secara legal telah ada dimiliki oleh pemerintah atau
pihak yang berkepentingan;
3) Mengusahakan terciptanya transparansi dan kesetaraan dalam
pengelolaan sumberdaya alam;
4) Memperkenankan masyarakat sipil untuk mendapatkan peranan dan
tanggungjawab yang lebih nyata;
5) Mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan keunggulan
komparatif dari berbagai aktor yang terlibat;
6) Lebih menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil produk fisik
jangka pendek; dan
7) Memetik pelajaran melalui kaji ulang secara terus menerus dan
memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam;
Co-management adalah suatu kesepakatan dimana tanggung jawab
pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan stakeholders
di sisi lain dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam
(National Round Table on the Environment and the Economy = NRTEE 1999).
Co-management memiliki pula beberapa prinsip dasar yakni: 1) pemberdayaan
dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan
tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan,
5) akuntabel dan transparan, 6) pelestarian lingkungan sumberdaya, 7)
pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight &
Tighe 2003).
35
Selanjutnya Sen dan Nielsen (1996) mengajukan lima tahapan co-
management yakni:
1) Instruktif; pada tipe co-management ini hampir sama dengan pengelolaan oleh
pemerintah. Perbedaannya sedikit sekali yakni adanya sedikit dialog antara
pemerintah dan masyarakat akan tetapi proses dialog yang terjadi bisa
dipandang sebagai suatu instruksi karena pemerintah lebih dominan
perannya, dimana pemerintah menginformasikan kepada masyarakat
rumusan-rumusan pengelolaan sumberdaya alam yang pemerintah
rencanakan untuk dilaksanakan;
2) konsultatif; pada tipe ini ada mekanisme yang mengatur sehingga pemerintah
berkonsultasi dengan masyarakat, hanya saja sekalipun masyarakat bisa
memberikan berbagai masukan kepada pemerintah, keputusan bahwa apakah
masukan itu harus digunakan tergantung sepenuhnya pada pemerintah, atau
dengan kata lain pemerintahlah yang berperan dalam merumuskan
pengelolaan sumberdaya alam;
3) kooperatif; tipe ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang
sama; dengan demikian semua tahapan manajemen sejak pengumpulan
informasi, perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi dan pemantauan
institusi co-management menjadi tanggung jawab kedua belah pihak. Pada
bentuk ini masyarakat dan pemerintah adalah mitra yang sama
kedudukannya;
4) pendampingan atau advokasi; pada bentuk ini, peran masyarakat cenderung
lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat memberi masukan kepada
pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Masyarakat dapat pula
mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh
pemerintah. Kemudian pemerintah mengambil keputusan resmi berdasarkan
usulan atau inisiatif masyarakat. Pemerintah lebih banyak bersifat
mendampingi masyarakat atau memberikan advokasi kepada masyarakat
tentang apa yang sedang dikerjakan oleh mereka; dan
5) informatif; pada bentuk ini, peran pemerintah makin berkurang dan di sisi lain
peran masyarakat lebih besar dibandingkan dengan empat bentuk co-
management sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan
informasi kepada masyarakat tentang apa yang sepantasnya dikerjakan.
Dalam kontribusi yang lebih nyata, pemerintah menetapkan delegasinya untuk
bekerja- sama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan
36
sumberdaya alam, mulai dari pengumpulan data, perumusan kebijakan,
implementasi, serta pemantauan dan evaluasi.
Hasil kerjasama tersebut dilaporkan atau diinformasikan oleh delegasi
pemerintah kepada pemerintah. Dari kelima kategori co-management tersebut
disajikan pada Gambar 2.
Fisher (1995) menekankan pula bahwa konsep dasar dari co-
management yang berkaitan dengan sektor kehutanan adalah tercapainya
kesepakatan tentang pengelolaan hutan antara pihak pengelola dengan
masyarakat lokal. Masyarakat lokal berperan dalam hal pengelolaan dan
perlindungan, sebagai imbalannya, masyarakat lokal mempunyai akses untuk
memanfaatkan hasil-hasil hutan, dan memperoleh keuntungan dengan
peningkatan pendapatan. Penyederhanaan dari definisi co-management oleh
Fisher dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2 Tahapan dari Co-management (Sen & Nielsen1996; Pomeroy 2001).
Nationa
Gambar 3 Prinsip Dasar dari Co-management (Fisher 1995).
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan maka dapat
diartikan bahwa pengelolaan dengan pola co-management untuk kawasan
Stated-based management
Community-based management
Co-management
Instructive – Consultative – Cooperative – Advisory -Informative
National Park
Authority
CONSENSUS Access/benefit/income
Responsible for
protection
COLLABORATIVE MANAGEMENT
Local People
37
konservasi adalah kemitraan di antara berbagai pihak yang berkepentingan yang
menyetujui berbagi fungsi, wewenang dan tanggung-jawab dalam pengelolaan
suatu kawasan konservasi. Co-management berbeda dengan pengelolaan
partisipatori lainnya atau dengan pengelolaan berbasis masyarakat (community-
based resources management), karena menuntut adanya kesadaran dan
distribusi tanggung-jawab pemerintah secara formal (Borrini-Feyerabend et al.
2000). Dalam konteks ini, konsultasi masyarakat dan perencanaan partisipatori
ditujukan untuk menetapkan bentuk-bentuk peranserta yang lebih tahan lama,
terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan
terkait dan sah (legitimate) dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam.
Co-management atau pengelolaan kolaboratif (collaborative mana-
gement), disebut juga sebagai pengelolaan kooperatif (cooperative
management), round-table management, share management, pengelolaan
bersama (joint management) atau pengelolaan multi-pihak (multistakeholder
management). Co-management telah diterapkan dalam bidang perikanan, taman
nasional, kawasan dilindungi (protected area), kehutanan, satwa liar (wildlife),
lokasi pengembalaan, dan sumberdaya air (Conley & Moote 2001).
Co-management dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia
memang diperlukan, karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi,
budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan
banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Co-
management menjadi penting ketika tidak adanya kesepakatan yang dapat
dibangun secara sederhana dan universal untuk mendapatkan solusi terbaik dari
konflik yang terjadi. Kerjasama dari seluruh stakeholder dalam pengelolaan
kawasan konservasi akan meringankan beban biaya yang dibutuhkan karena
para pihak yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan
sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun
finansial.
Transformasi pola pengelolaan sumberdaya alam oleh negara, swasta,
dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya
merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India
telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumberdaya alam, khususnya
hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan sekarang kolaborasi,
sementara di Nepal terjadi tiga tahap evolusi yakni privatisasi, nasionalisasi, dan
populisme (David et al. 2003). Bahkan pergeseran juga terjadi di beberapa
38
negara bagian Amerika Serikat tempat asal muasal pengelolaan eksklusif
kawasan konservasi yang mulai bergeser menuju co-management. Peranserta
masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik ternyata menunjukkan hasil
yang baik dimana produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan
kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat lokal. Pemerintah di Negara
India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat lokal berkemampuan, memiliki
pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumberdaya alam
secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat lokal merupakan
kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai
secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi
konflik yang interaktif dan dialogis (Means et al. 2002).
Beberapa contoh co-management yang telah berhasil dilaksanakan
dalam pengelolaan taman nasional ( Merrill dan Effendi 2001) diantaranya
adalah:
1. Co-management di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara yang wadahnya
dikenal dengan DPTNB (Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken).
Salah satu hasil rumusannya adalah penentuan tarif masuk TN Bunaken dan
pendistribusian hasil pungutan tarif masuk tersebut yang diperkirakan sekitar
Rp750 juta per tahun. Pendistribusian tersebut yakni: 5% untuk dana
pembangunan propinsi, 5% untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota,
5% untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan
ekosistemnya melalui Dephut cq. Ditjen PKA), dan 85% untuk dana
pendukung pengelolaan TN Bunaken.
2. Co-management di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur yang dikenal
dengan Mitra Kutai, berhasil memberikan kontribusi bantuan keuangan bagi
pengelolaan TN Kutai melalui rencana kerja tahunan senilai US$ 100.000 –
US$150.000 per tahun.
3. Co-management di Great Barrier Reef Marine Park, Australia yang dikelola
oleh badan otorita khusus dengan mempekerjakan ratusan orang dan
memperoleh lebih dari 1 (satu) juta Dollar Australia setiap tahunnya. Dalam
pengelolaan taman nasional ini Kepala Taman Nasional selalu berkonsultasi
dengan kelompok-kelompok yang berkepentingan termasuk masyarakat di
sekitar taman nasional yang kehidupannya tergantung dari sumberdaya
taman nasional tersebut. Selain itu workshop diantara para kelompok yang
berkepentingan sering pula dilaksanakan untuk menyetujui keputusan
39
pengelolaan yang spesifik seperti pengaturan peruntukan (zoning).
Keberhasilan co-management tersebut akhirnya diikuti oleh Kakadu National
Park dan Coburg National Park.
Gagasan dasar dari Acheson (1989) dapat dijadikan acuan mengapa
pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan pengelolaan yang
bergotongroyong. Menurut Acheson konsep pengelolaan sumberdaya publik,
seperti halnya kawasan konservasi menunjukkan kombinasi derajat intensitas
keterlibatan pemerintah di satu pihak dan masyarakat di pihak lain serta dampak
yang ditimbulkan.
Atas dasar kombinasi tersebut, dihasilkan 4 alternatif pola pengelolaan
sumberdaya alam sebagai berikut:
Pertama, apabila masyarakat lokal dan pemerintah bersama-sama tidak
melakukan kontrol secara intensif terhadap pengelolaan sumberdaya, akan
menjadikan sumber daya tersebut didayagunakan secara terbuka sebagaimana
halnya suatu sumberdaya terbuka (open access). Dalam pola pengelolaan yang
tidak jelas pengelolanya justru akan mengundang terjadinya the tragedy of the
common yang berujung pada pemusnahan sumberdaya tersebut, karena
adanya pemanfaatan yang berlebihan oleh manusia melampaui daya dukung.
Kedua, apabila pemerintah melakukan kontrol mutlak terhadap pengelolaan
sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis pemerintah
(state-based management). Pola inilah yang selama ini berlangsung di
Indonesia. Dalam pola ini, peranan masyarakat dikesampingan, kalau pun ada
hanya bersifat simbolik dan dengan demikian masyarakat kehilangan rasa
memiliki dan rasa bertanggung-jawab. Padahal masyarakat juga mempunyai
kapasitas tertentu dalam mengelola sumberdaya. Karena itu, masyarakat merasa
tidak mempunyai kepentingan membantu pemerintah melakukan upaya-upaya
pemeliharaan sumberdaya dan disamping itu pemerintah juga mempunyai
keterbatasan kapasitas mengelola. Pada akhirnya, pola ini akan terjebak pada
pola pertama.
Ketiga, apabila masyarakat melakukan kontrol sepenuhnya terhadap
pengelolaan sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis
masyarakat (community-based management). Masyarakat itu sendiri sebenarnya
terdiri dari fragmen-fragmen yang cukup luas, ada masyarakat pengguna dan
ada masyarakat di luar pengguna. Ketika masyarakat pengguna melakukan
tindakan pengelolaan yang arif bijaksana, seringkali terdapat gangguan dari
40
masyarakat lain di luar teritorialnya. Jika intensitas gangguan itu meningkat,
masyarakat pengguna tidak mampu lagi menanggulanginya secara berdikari
serta ditambah dengan tidak ada dukungan kebijakan dari pemerintah dan pada
akhirnya pola ini pun akan kembali terperangkap pada pola pertama.
Keempat, apabila kontrol pemerintah dan masyarakat itu sangat besar dan
dalam posisi yang setara dan seimbang dalam proses pengambilan keputusan,
maka akan menghasilkan pola pengelolaan kolaboratif atau co-management.
Secara empirik, inilah pola pengelolaan yang ideal. Co-management merupakan
pilihan pola pengelolaan kawasan konservasi yang paling masuk akal. Pilihan ini
akan menciptakan perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap
sumberdaya kawasan konservasi, yang memungkinkan kawasan konservasi
tidak terdegradasikan menjadi suatu sumberdaya terbuka.
Borrini-Feyerabend et al. (2000) secara gamblang memberikaan
argumentasi mengapa co-management penting dilaksanakan: 1) Pengelolaan
yang efektif memerlukan adanya pengetahuan, kemampuan, sumberdaya dan
keunggulan komparatif dari berbagai pihak yang berkepentingan dan hanya
melalui co-management hal tersebut dapat dipenuhi, 2) Kebutuhan kesetaraan,
keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat
adalah pembayar pembangunan konservasi, sehingga wajar kalau
diperhitungkan dalam pengambilan keputusan, 3) Keinginan untuk mengakhiri
konflik di antara para pihak berkepentingan tanpa adanya pihak yang dikalahkan
dalam pengelolaan sumberdaya alam, 4) Interaksi antara masyarakat dan
lingkungan adalah bagian dari alam dan keanekaragaman hayati, sehingga
keduanya tidak dapat dipisahkan, 5) Seiring dengan tuntutan akan kemandirian
daerah dalam mengurus dan mengelola sumberdaya alam mereka dalam
semangat otonomi daerah dan desentralisasi, 6) Sebagai salah satu cara untuk
mencapai pengelolaan yang profesional, mandiri dan bertanggungjawab pada
publik, 7) Otoritas tunggal terbukti tidak efektif dalam mengelola kawasan
konservasi, khususnya dalam mengurangi kerusakan kawasan dan menggalang
dukungan para pihak lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi, 8) Otoritas
tunggal yang sentralistik berada pada posisi terjepit oleh realitas lokal mengenai
upaya pemda dan masyarakat lokal meningkatkan kesejahteraan serta
pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai penerima manfaat jasa ekologis dari
kawasan konservasi, para pihak lokal turut bertanggungjawab untuk menjaga
41
dan melestarikan kawasan konservasi yang dapat dibangun dengan pola co-
management.
Nikijuluw (1999) mengemukakan bahwa pada dasarnya tujuan utama
yang ingin dicapai dari setiap pelaku dalam pengelolaan sumberdaya melalui co-
management adalah pengelolaan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil
dan merata. Tujuan utama tersebut menjadi lebih konkrit dan lebih nyata ukuran
keberhasilannya bila dikaitkan dengan beberapa tujuan sekunder sebagai
berikut:
1) Co-management merupakan suatu cara untuk mewujudkan proses
pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan
hasil yang lebih efektif
2) Co-management adalah mekanisme atau cara untuk mengurangi konflik antar
masyarakat melalui proses demokrasi partisipatif
3) Co-management mempunyai tugas-tugas dalam hal perumusan kebijakan,
estimasi potensi sumberdaya, penentuan hak-hak pemanfaatan, pengaturan
cara-cara eksploitasi, pengaturan pasar, pemantauan, pengendalian, dan
penegakan hukum.
Berkaitan dengan itu ada beberapa karakteristik dari keberhasilan co-
management yakni (Claridge & O”Callaghan 1995; Alikodra 2004):
1) Keuntungan integrasi konservasi dan pembangunan diakui oleh
pemerintah dan stakeholders lain
2) Pemerintah mendukung dan memfasilitasi secara aktif ”involment”
masyarakat setempat dalam manajemen sumberdaya alam dan
konservasi
3) Para pihak memberikan perhatian dan berpartisipasi secara penuh
4) Terselenggaranya ”appropriate sharing” (sumberdaya, informasi,
kedudukan/kemampuan, dan keputusan)
5) Para pihak mengerti secara penuh dan saling percaya, dan mempunyai
peran yang jelas
6) Akar permasalahan dimengerti dan disetujui untuk ditindak lanjuti
7) Keuntungan yang jelas diantara para pihak
8) Para pihak memiliki kemampuan yang cukup (skills, financial, capability).
The Worldwide Fund for Nature of Indonesia (WWF-Indonesia) telah
melakukan upaya konservasi dengan pendekatan co-management dan
mendorong mutual respect, mutual trust, dan mutual benefit dalam pengelolaan
42
sumberdaya alam diantara para pihak. Pengelolaan kawasan konservasi dengan
pola co-management melibatkan para stakeholder inti dengan menganut prinsip
kesetaraan, keterbukaan, dan partisipatif (WWF-Indonesia 2008). Pada
prinsipnya ada dua aspek esensial dari pendekatan co-management:
menciptakan hubungan antara konservasi dan pembangunan, dan menyatakan
pentingnya melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dalam mengelola taman
nasional sebagai sumber perolehan manfaat ekonomi sekaligus
mempertahankan keberlanjutan fungsi taman nasional untuk konservasi,
perlindungan, dan pemanfaatan.
2.5. Konsep untuk Mengembangkan Co-management
2.5.1. Konsep Partisipasi
Terminologi dari partisipasi memiliki arti yang luas. Berdasarkan
pandangan politik partisipasi berkaitan dengan keterlibatan seseorang dalam
proses pengambilan keputusan, sedangkan dari sudut pandang sosial partisipasi
merupakan cerminan interaksi diantara kelompok-kelompok masyarakat (Mueller,
1975). Sebagian ahli mendefenisikan partisipasi sebagai keikutsertaan
masyarakat, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan
terbentuk sebagai akibat dari terjalinnya interaksi sosial antar individu atau
kelompok masyarakat yang lain (Wardoyo et al. 2000). Demikian halnya Craig
dan Mayo (1995) menyebutkan partisipasi sebagai keterlibatan mental,
pemikiran, dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok, yang
mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok
tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama, dan turut bertanggung jawab
terhadap usaha yang dimaksud.
Mubyarto (1984) mengartikan partisipasi sebagai suatu bentuk kesediaan
membantu berhasilnya setiap kegiatan, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap
individu tanpa mengorbankan diri sendiri. Lebih jauh, Slamet (2003) memaknai
partisipasi masyarakat sebagai wujud keikutsertaan masyarakat dalam setiap
tahapan kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya ikut memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan. Jadi, bukan hanya menyumbangkan input
ke dalam pembangunan, namun lebih jauh ikut serta memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan.
Partisipasi dalam manajemen taman nasional memiliki arti dengan
spektrum yang luas mulai dari memberikan informasi kepada masyarakat tentang
43
desain taman nasional hingga pelibatan masyarakat secara penuh dalam
pengelolaan. Partisipasi di bidang pembangunan biasanya mencakup
keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan memberikan
kontribusi dalam pembangunan dan kesediaan turut bertanggung jawab.
Partisipasi diartikan pula sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa
penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda di dalam proses pengambilan
keputusan untuk pengalokasian sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan,
pelaksanaan program dan proyek secara sukarela, dan pemanfaatan hasil-hasil
dari suatu program atau suatu proyek (Slamet 1989). Kemudian Rahardjo (2003)
mengemukakan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
hutan akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya
hutan sebagai sumber matapencaharian, dengan demikian pengelolaan
sumberdaya hutan akan mengangkat status kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan.
Cohen dan Uphoff (1977) berpendapat bahwa partisipasi adalah: a)
keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tentang tindakan
yang dilakukan, b) bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan
program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam
suatu organisasi atau kegiatan khusus, c) berbagi manfaat dari program
pembangunan, atau d) keterlibatan dalam eveluasi program. Terkait dengan itu
Cohen dan Uphoff (1977) mengidentifikasi pula beberapa karakteristik penting
dari masyarakat perdesaan yang kemungkinan besar menentukan partisipasi
mereka dalam proyek-proyek pembangunan pedesaan. Karakteristik yang
dimaksud adalah umur dan jender, status keluarga, pendidikan, status sosial,
pekerjaan, tingkat dan sumber pendapatan, lama bermukim dan jarak
pemukiman dari proyek, kepemilikan dan masa kepemilikan lahan.
Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Wilcox (1994)
telah mengembangkan partisipasi ke dalam lima tahap yakni: informasi,
konsultasi, keputusan bersama, bekerja sama, dan mendukung kepentingan
masyarakat (Gambar 4 ).
44
Gambar 4 Tahapan dari Partisipasi (Wilcox 1994).
Model ini telah dikembangkan dalam pengertian partisipasi secara umum yang
erat kaitannya dengan pola co-management. Menurut model Wilcox, tingkatan
yang paling rendah dalam mengontrol sumberdaya alam secara keseluruhan
adalah tingkatan informasi, dimana masyarakat diberitahu apa yang
direncanakan dengan maksud untuk mendidik partisipan. Tingkatan selanjutnya
dari partisipasi adalah konsultasi yang berarti menawarkan beberapa opsi atau
pilihan dan menerima umpan balik. Selanjutnya, keputusan bersama berarti
masyarakat didorong untuk memberikan beberapa ide tambahan atau pilihan,
dan secara bersama-sama memutuskan hal yang terbaik ke depan. Tingkat
partisipasi yang lebih tinggi adalah bertindak secara bersama-sama, untuk
mencapai keputusan yang terbaik diantara kepentingan yang beragam atau
berbeda kemudian melaksanakannya. Tahapan yang tertinggi dari kontrol adalah
ketika masyarakat mendapatkan bantuan berdasarkan apa yang mereka
inginkan, berupa dukungan dari pemegang otoritas sumberdaya.
Terkait dengan partisipasi, Nanang dan Devung (2004) lebih rinci
mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa item, di antaranya:
Tingkat 6: Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization): masyarakat
mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan
pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan
pemanfaatan sumberdaya; pihak luar memfasilitasi mereka.
Tingkat 5. Kemitraan (partnership): masyarakat mengikuti seluruh proses
pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi
kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi, dll. Partisipasi
Degree of
control
Supporting
Acting together
Deciding together
Consultation
Information
Substantial
Participation
45
merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai
sesuatu Ini disebut “partisipasi interaktif.”
Tingkat 4. Plakasi/konsiliasi (Placation/Conciliation): masyarakat ikut dalam
proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan
sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting.
Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dll.
Tingkat 3. Perundingan (consultation): pihak luar berkonsultasi dan berunding
dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan
sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta
dalam menganalisis atau mengambil keputusan.
Tingkat 2. Pengumpulan informasi (information gathering): masyarakat
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi
searah dari masyarakat ke luar.
Tingkat 1. Pemberitahuan (informing): hasil yang diputuskan oleh orang luar
(pakar, pejabat, dll.) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi
terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.
Tingkat-tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk
menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang
sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.
Oakley (1991) menjelaskan bahwa partisipasi sebagai fasilitas atau
perbaikan sistem atau sebagai suatu proses yang dimaksudkan untuk memberi
penguatan pada kemampuan masyarakat desa agar mereka berinisiatif terlibat
secara langsung dalam pembangunan. Cernea (1985) menekankan bahwa
partisipasi berimplikasi pada pemberdayaan masyarakat lokal untuk
menggerakkan kemampuan mereka sebagai aktor-aktor sosial dan bukan
sebagai subjek yang pasif, pengelola sumberdaya, pembuat keputusan dan
mengontrol aktivitas yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kemudian Borrini-
Feyerabend (1996) mengemukakan bahwa partisipasi yang efektif di dalam
pengelolaan sumberdaya alam dapat dipandang sebagai suatu kondisi yang
dengan kondisi tersebut kearifan lokal, keterampilan, dan sumberdaya lainnya
dimobilisasi dan dimanfaatkan secara totalitas. Untuk mencapai partisipasi dalam
pengembangan kapasitas, maka pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi
prioritas.
Lebih jauh Borrini-Feyerabend (1996) mengemukakan pula bahwa
sebagian orang mungkin berargumen kalau keterwakilan yang ditunjuk pada
46
berbagai tingkatan merupakan wakil yang mewakili kepentingan lokal. Ada
kebenaran dalam hal ini, sepanjang prosedur formal demokrasi dihormati, tetapi
ada juga keterbatasan yang jelas terlihat. Sebagai contoh: sistem perwakilan
tidak langsung, jarang sekali cocok untuk menyampaikan kekuatiran/keprihatinan
secara khusus atau terinci dari kelompok kecil stakeholder, dan tentu saja tidak
dapat menyampaikan secara sempurna cakupan pengetahuan dan ketrampilan
dari pengguna sumberdaya lokal. Secara umum, keterwakilan yang sesuai
adalah sangat penting untuk meyakinkan partisipasi stakeholder yang tidak dapat
menikmati status sosial yang tinggi. Secara terinci, Borrini-Feyerabend (1996)
menunjukkan tiga bentuk keterwakilan:
1. Perwakilan diri sendiri; saling berhadapan: masyarakat secara pribadi
mengemukakan opininya, mendiskusikan, memilih, bekerja, menawarkan
kontribusi material, menerima manfaat, dan lain-lain atau dengan kata lain
masyarakat mewakili diri mereka sendiri.
2. Perwakilan langsung; masyarakat mendelegasikan kepada yang lain, sanak
famili, teman atau anggota masyarakat diantara mereka yang dihormati,
pemimpin masyarakat yang berbasis kelompok untuk mewakili mereka dalam
segala macam aktivitas, tetapi memelihara hubungan lansung dengan
perwakilan mereka.
3. Perwakilan tidak langsung; masyarakat mendelegasikan kepada yang lainnya,
para ahli, orang yang memiliki posisi dalam suatu perkumpulan besar,
organisasi swadaya masyarakat (LSM), partai atau pegawai pemerintah untuk
mewakili mereka dalam segala macam aktivitas, tetapi mereka jarang sekali
berinteraksi dengan perwakilan mereka secara langsung.
Penelitian tentang partisipasi telah banyak dilakukan diantaranya oleh
Goldhamer (1943) pada 5.500 penduduk di Chicago yang mengacu pada Skala
Chapin dengan menggunakan lima variabel yakni: 1) jumlah asosiasi yang
dimasuki, 2) frekuensi kehadiran, 3) jumlah asosiasi dimana dia memangku
jabatan, 4) lamanya menjadi anggota, dan 5) tipe asosiasi yang dimasuki.
Duncan dan Artis (1952) melakukan pula penelitian pada 15 organisasi kaum
laki-laki dan 15 organisasi kaum wanita juga mengacu pada skala Chapin.
Sistem penilaian dilakukan dengan cara: 0) jika tidak pernah menjadi anggota, 1)
jika pernah menjadi anggota, 2) jika anggota tapi tidak pernah menghadiri
pertemuan, 3) jika anggota dan aktif menghadiri pertemuan, 4) jika pernah
menjadi pengurus organisasi dan sekarang tidak aktif, 5) jika pernah menjadi
47
pengurus dan sekarang masih aktif, dan 6) jika sekarang menjadi pengurus
(Goldhamer 1943; Duncan dan Artis 1952 dalam Slamet 1989). Penelitian lain
yang dilakukan oleh Kaufman di Kentucky (1949) yang mengukur partisipasi
dalam organisasi formal di masyarakat pedesaan dengan menggunakan dua
variabel yakni: 1) keanggotaan, dan 2) jabatan yang dipegang.
Selanjutnya Slamet (1989) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi
(pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan) berkaitan erat dengan tahapan
partisipasi, lapisan penduduk dengan status sosial lebih tinggi lebih banyak
terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelas sosial menengah
lebih banyak dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelas sosial yang lebih
rendah lebih banyak hanya dalam proses pemanfaatan.
2.5.2. Konsep Negosiasi
Pendekatan negoisasi dalam co-management adalah kata kunci untuk
mencapai kesepakatan. Sebagaimana yang ditunjukkan sebelumnya, Borrini-
Feyerabend et al. (2000) mendefinisikan co-management sebagai suatu situasi
dimana dua atau lebih stakeholder bernegosiasi, menetapkan dan menjamin
diantara mereka sendiri suatu pembagian yang adil mengenai fungsi manajemen,
kepemilikan dan tanggung jawab untuk suatu teritori tertentu, wilayah atau
seperangkat sumberdaya alam. Leeuwis (2000) menjelaskan bahwa proses
negosiasi merupakan suatu strategi untuk penyelesaian konflik. Lebih jauh lagi
Leeuwis (2000) membagi proses negosiasi kedalam dua kategori. Pertama,
distributif: Berbagai stakeholders berpegang pada persepsi dan posisi mereka
sendiri, dan pada dasarnya menggunakan negosiasi untuk membagi
sumberdaya, keuntungan salah satu pihak merupakan kerugian bagi pihak lain.
Kedua, integratif: Stakeholder mengembangkan suatu definisi dan persepsi
masalah yang baru dan sering kali lebih luas yang berubah berdasarkan proses
pembelajaran kolektif yang kreatif dan berujung pada win-win solution atau
pemecahan yang menguntungkan semua pihak.
Dalam rangka memfasilitasi negosiasi integratif, Venema dan van Den
Breemer (2000) mengidentifikasi sejumlah hal yang secara khas mendasari
suatu proses negosiasi, termasuk persiapan, kesepakatan tentang proses
desain, eksplorasi bersama, analisis situasi, pencarian fakta bersama, menyusun
kesepakatan, berkomunikasi dengan perwakilan, dan memonitor pelaksanaanya.
Jika mengadopsi suatu pendekatan negosiasi membantu terciptanya hasil yang
secara mutual dapat disetujui dalam manajemen sumberdaya alam.
48
Menurut Fisher (1995) ada tiga hal yang harus dipenuhi sebelum
negosiasi dapat dilaksanakan yakni: 1) keragaman kepentingan: konflik
kepentingan kemungkinan timbul dimana saja ketika masyarakat berjuang untuk
perubahan yang berarti; 2) saling ketergantungan: stakeholder harus merasa
saling bergantung satu dengan lainnya dalam menyelesaikan suatu masalah.
Suatu pendekatan negosiasi menjadi mustahil jika stakeholder kunci tidak
percaya kalau mereka saling membutuhkan dalam rangka pencapaian
kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak; 3) kemampuan komunikasi:
stakeholder yang terkait harus mampu berkomunikasi satu dengan lainnya.
Berkaitan dengan negosiasi sebagai pendekatan pencapaian
kesepakatan negosiasi, suatu hal yang penting untuk dicatat adalah pencapaian
sebuah kesepakatan yang dinegosiasi sangat dipengaruhi oleh nilai orientasi dari
fasilitator. Pada kenyataannya, menerapkan pendekatan negoisasi mungkin
merupakan strategi terbaik untuk mendorong terciptanya keharmonisan diantara
stakeholder. Pengakuan terhadap berbagai stakeholder yang terlibat dalam
manajemen sumberdaya alam merupakan basis pendekatan co-management.
Dalam pengaruhnya, co-management berbasis pada identifikasi kepentingan,
hak dan masalah sosial yang terkait dengan sumberdaya alam tertentu,
mempublikasikan semua ini kepada semua pihak yang berkepentingan dan
memulai debat publik untuk mencapai sebuah kesepakatan umum atau kontrak
legal diantara para pihak yang dijalankan oleh pemerintah bila diminta (Venema
dan van Den Breemer 2000).
Sejalan dengan itu, Borrini-Fayerabend (1996) lebih khusus
mengemukakan bahwa posisi stakeholder berdasarkan pada kapasitas dan
kepentingan mereka untuk terlibat dalam negosiasi, dengan kriteria sebagai
berikut:
1) Hak-hak yang telah ada terhadap tanah atau sumberdaya alam dan
pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki untuk manajemen
sumberdaya alam yang berada dalam sengketa;
2) Kehilangan dan kerusakan yang terjadi dalam proses manajemen dan
pentingnya hubungan historis dan kultural dengan sumberdaya alam yang
disengketakan;
3) Tingkat ketergantungan ekonomi dan sosial terhadap sumberdaya alam,
tingkat usaha dan kepentingan dalam manajemen dan keadilan dalam
49
akses terhadap sumberdaya dan distribusi keuntungan dari sumberdaya
alam; dan
4) Kompatibilitas antara kepentingan dan aktivitas stakeholder dengan
kebijakan konservasi, yang mengakui keberadaan atau potensi akibat dari
aktivitas stakeholder terhadap basis sumberdaya.
Banyak kasus menunjukkan kalau masyarakat cenderung bertindak untuk
kepentingan pribadi bukan karena mereka tidak peduli terhadap yang lain, tetapi
karena mereka kurang percaya terhadap institusi dan peraturan dan/atau
informasi menyebabkan mereka memilih opsi kooperatif (Aarts 1998). Terkait
dengan itu, dibutuhkan ruang untuk pembelajaran sosial dan kooperatif yang
tergantung pada kondisi awal dan jenis institusi, hal ini mungkin membutuhkan
negosiasi strategi terlebih dahulu (Baland dan Plateau 1996).
2.5.3. Konsep Property Rights
Bromley (1991) mendefinisikan hak properti sebagai kapasitas untuk
menyatakan kolektifitas yang mendukung klaim seseorang akan suatu manfaat.
Konsep properti yang sejauh ini hanya didefinisikan dalam istilah ekonomi yang
terkait dengan kondisi yang diperlukan untuk berfungsinya pasar secara efisien
seperti objek fisik yaitu tempat tinggal, lahan atau properti lainnya. Terkait
dengan konsep ini, properti bukan suatu obyek, tetapi suatu hubungan sosial
yang membatasi hak-hak pemilik properti yang terkait dengan keuntungan.
Sebagai hubungan sosial, properti akan menghubungkan antara orang yang satu
dengan lainnya yang terkait dengan lahan dan sumberdaya lainnya. Oleh karena
itu, hubungan properti adalah pengaturan kontrak yang terkonstruksi secara
sosial diantara sekelompok orang yang terkait dengan nilai obyek dan lingkungan
mereka (Bromley 1998).
Agrawal dan Ostrom (1999) menggambarkan hak properti sebagai
otoritas yang dapat dilaksanakan untuk mengambil aksi tertentu pada domain
spesifik, dengan demikian hak properti dapat dianggap sebagai institusi atau
peraturan institusi untuk membuat individu-individu menginternalisasi
eksternalitas produksi mereka atau membangun dan memfasilitasi penggunaan
dan pertukaran sumberdaya dan komoditas dalam suatu masyarakat. Salah satu
posisi teoritis mengenai hak properti adalah kalau mereka mengembangkan
untuk internalisasi-ekternalitas ketika perolehan internalisasi menjadi lebih besar
daripada biaya internalisasi (Baland dan Platteu 1996). Institusi seperti itu
berguna untuk meregulasi interaksi perilaku dan sosial terkait dengan obyek
50
yang memiliki nilai, karena institusi ini adalah suatu bentuk hambatan dan
perizinan yang memberi kemampuan kepada individu untuk mengaplikasikannya
dalam situasi ketika nilai obyek tertentu adalah jarang, diskriminasi yang
konsisten, dapat diprediksi dan diterima secara sosial (Challen 2000).
Demsetz (1967) menyatakan bahwa fungsi utama hak properti adalah
memandu insentif dalam rangka menyadari internalisasi-eksternalisasi yang lebih
besar. Terkait dengan sumberdaya alam, hak properti memainkan peranan
dalam menentukan pola kesamaan dan ketidaksamaan akses, dan juga kreasi
insentif untuk keseluruhan manajemen dan perbaikan yang berkelanjutan.
Meinzen-Dick dan Knox (1999) membuat ringkasan mengenai pentingnya hak
properti sebagai berikut: ketetapan insentif untuk manajemen, menyediakan
otorisasi yang diperlukan dan mengontrol sumberdaya, dan memperkuat aksi
kolektif.
Agrawal dan Ostrom (1999) menyatakan ada lima macam hak propeti
yang relefan terhadap eksploitasi sumberdaya alam: hak akses terhadap
sumberdaya, hak mengeluarkan atau memperoleh produk sumberdaya, hak
untuk mengelola sumberdaya, hak untuk pengecualian terhadap yang lain, dan
hak untuk mengalihkan hak kepada orang lain. Eggertsson (1990) juga
menyatakan hal yang serupa yaitu mendefinisikan hak properti sebagai hak
individual untuk memanfaatkan sumberdaya. Sebagai konsep operasional,
sistem hak properti terdiri dari dua komponen: hak properti yaitu sekumpulan hak
kepemilikan yang menetapkan hak dan kewajiban dalam pemanfaatan sumber-
daya alam, dan peraturan properti yang menentukan cara pelaksanaan hak dan
kewajiban (Bromley 1991). Aspek penting dari hak properti adalah apakah hak
properti ini penerapannya telah sesuai atau dibiarkan tidak terdefiniskan atau
spesifikasinya tidak sesuai.
Selanjutnya, hak properti bisa dianggap efisien apabila hak properti ini
memenuhi beberapa hak dasar termasuk di dalamnya kepemilikan, dapat
ditransfer, dan dapat dilaksanakan. Hak properti dan pemenuhan insentif,
merangsang pengguna untuk bekerja sama dalam manajemen sumberdaya
alam. Rezim properti merupakan bagian dari institusi masyarakat, kendala
organisasi yang menyusun struktur interaksi dan bentuk insentif bagi manusia
(North, 1990). Bromley (1998) menyatakan bahwa sebagai suatu institusi hak
properti bisa merupakan kendala dan juga bisa sebagai penunjang.
51
Perbedaan rezim hak properti akan tergantung pada kondisi kepemilikan,
hak dan kewajiban pemilik, peraturan penggunaan, dan tempat pengawasan.
Tabel 1 menunjukkan klasifikasi sederhana dari empat tipe rezim hak properti
dan kewajibannya (McCay dan Acheson 1987; Bromley 1989; Hanna et al.
1995).
Private property mewajibkan pemberian nama kepemilikan individu,
jaminan terhadap pemiliknya untuk mengontrol akses dan hak pemanfaatan
sosial yang dapat diterima (Black 1968). Hal ini mengharuskan pemiliknya untuk
menghindari pemanfaatan khusus yang tidak diterima secara sosial, seperti
polusi air sungai. Common property dimiliki oleh sekelompok orang yang memi-
liki hak untuk mengeluarkan mereka yang bukan pemilik dan berkewajiban
memelihara penggunaan properti sesuai dengan batasan-batasan yang ada
(McCay dan Acheson 1987; Stevenson 1991). Rezim seperti ini seringkali
Tabel 1 Tipe hak kepemilikan
No. Hak kepemilikan Pemilik Hak kepemilikan Kewajiban pemilik
1. Private property perorangan kepemilikan perorangan, pemiliknya dengan mudah untuk meng-akses dan me-ngontrol pemanfaatan sumberdaya
menghindari pemanfaatan yang tidak dapat diterima secara sosial
2. Common property kelompok tidak melibatkan mereka di luar kelompok
pemeliharaan, pemanfaatan sumberdaya terbatas sesuai dengan batasan-batasan yang ada
3. State property negara memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan aturan
pemanfaatan untuk tujuan sosial
4. Open access (non-property)
tidak ada pemilik
diperebutkan tidak ada
Sumber: McCay dan Acheson 1987; Bromley 1989; Hanna et al. 1995.
diimplementasikan untuk sumberdaya publik yang sulit untuk dibagi (Ostrom
1990). State property dimiliki oleh negara dalam unit politik yang memberikan
kewenangan kepada agen publik untuk membuat aturan (Black 1968). Agen
publik tersebut memiliki kewajiban untuk memastikan kalau aturan-aturan yang
dibuat mempromosikan tujuan-tujuan sosial. Negara memiliki hak untuk
52
memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan aturan. Open access tidak ada
pemiliknya dan terbuka untuk umum. Dinamika dari open access merupakan
dasar dari apa yang disebut “tragedy of the commons”. Dibawah rezim open
access, pemilik tidak memiliki kawajiban untuk memelihara sumberdaya atau
membatasi penggunaannya. Penting untuk diketahui bahwa keempat sistem ini
tidak berlawanan satu dengan lainnya melainkan merupakan sebuah kombinasi
sepanjang spektrum dari open access hingga kepemilikan pribadi (Hanna et al.
1995).
Para ahli hak properti tetap menganggap sistem properti publik lebih
disukai dari pada yang lainnya dalam situasi ketika muncul kegiatan kolektif yang
cukup untuk mengelola sumberdaya alam (Ostrom 1990; Meinzen-Dick dan Knox
1999). Rezim hak properti harus menampilkan fungsi tertentu dengan
penggunaan terbatas, koordinasi pengguna, dan respon terhadap perubahan-
perubahan lingkungan. Aktivitas ini membutuhkankan biaya transaksi untuk
koordinasi, pengumpulan informasi, monitoring dan pelaksanaan (Eggerstsson
1990; Hanna 1995). Semakin langkahnya sumberdaya, maka rezim hak properti
harus semakin memperhitungkan peraturan yang mengatur distribusi
sumberdaya dan pemanfaatan yang menaikkan biaya. Suatu hal yang mungkin
adalah terciptanya suatu sistem dengan biaya pelaksanaan tinggi sehingga jauh
melebihi manfaat yang diperoleh dari pengawasan. Gerakan untuk merubah
rezim hak properti seringkali digerakkan oleh usaha-usaha untuk mengurangi
biaya transaksi.
Hal yang penting dari analisis penelitian ini adalah kenyataan bahwa
sistem co-manajement merupakan kombinasi dari berbagai sistem yang berbeda.
Apabila institusi pemerintah dan masyarakat lokal terlibat maka hal ini
merupakan kombinasi state property dan private property, sehingga dalam
perencanaannya harus memasukkan otoritas pembuat keputusan. Suatu sistem
akan berfungsi dengan baik bila peraturan yang ditetapkan konsisten dengan
kepemilikan misalnya ketika sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat dikelola
melalui pengaturan common property. Tidak peduli apapun jenis sistem properti,
keputusan-keputusan yang berdasarkan pengetahuan tentang kondisi lokal dan
akomodasi pengetahuan lokal merupakan suatu sistem yang paling sesuai dapat
diadaptasi (Tietenberg 1988). Mekanisme yang sesuai untuk mengatasi konflik
harus tersedia. Hal lain yang dibutuhkan adalah sistem monitoring dan
53
pelaksanaan yang tepat untuk penegakan hukum yang sesuai dengan tingkat
pelanggaran untuk melindungi hak klaim (Ostrom 1990).
2.6. Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM)
Konflik kepentingan dalam pengelolaan taman nasional yang terjadi
antara pihak pengelola dan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan
pada beberapa tahun belakangan ini semakin mengemuka. Konflik tersebut
sering muncul ke permukaan akibat dari perbedaan kepentingan untuk
memanfaatkan sumberdaya guna memenuhi kebutuhan di satu sisi dan
konservasi sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan taman nasional di
sisi yang lain. Salah satu konsep konservasi yang banyak diterapkan akhir-akhir
ini adalah Integrated Conservation and Development Program (ICDP).
Pendekatan ini mulai diterapkan pada awal 1980-an di Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone yang bertujuan untuk menjembatani kegiatan konservasi
dengan kegiatan pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat dengan
melibatkan masyarakat lokal (Wells dan Brandon 1995).
Konsep ICDP yang diharapkan dapat mengakhiri kontroversi antara
kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi yang dalam
pelaksanaannya, konsep ini kemudian mengalami perkembangan ke arah
penyusunan kesepakatan antara pengelola kawasan konservasi dan
masyarakat. Kesepakatan tersebut pada prinsipnya mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang
terdapat di dalam kawasan taman nasional. Kesepakatan konservasi pada
prinsipnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat di sekitar
taman nasional dalam menggunakan sumberdaya alam di dalam kawasan.
Kesepakatan semacam ini di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dikenal
dengan istilah Kesepakatan Konservasi Desa (KKD), sementara di TNLL dikenal
sebagai Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) (Adiwibowo et al. 2009).
Menurut Manullang (1998) KKM/KKD diperlukan karena beberapa
alasan: 1) masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud
kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka; 2) masyarakat
menyangka mereka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di
daerah mereka; 3) pihak pengelola tidak atau belum mengenal sepenuhnya
keadaan dan aspirasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Selanjutnya
Manullang (1998) mengemukakan pula bahwa dengan tercapainya kesepakatan
formal antara masyarakat dan pengelola taman nasional, maka KKM/KKD dapat
54
membawa fungsi dan manfaat yakni: 1) alat untuk melaksanakan dan
mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan sumberdaya alam
dari pemerintah kepada masyarakat; 2) media dan proses dimana pihak-pihak
yang berkepentingan bertemu untuk saling mengakui dan menghormati
kehadiran masing-masing; 3) alat yang menunjukkan keterbukaan dan
transparansi antar semua pihak; 4) alat untuk menjamin diakuinya hak-hak
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak-pihak yang
berkepentingan; 5) alat untuk membagi tanggung jawab pengelolaan
sumberdaya alam di antara para pihak; 6) sarana untuk meredam konflik di
lapangan dengan membawanya ke meja perundingan; 7) alat pengendali
perilaku dari pihak-pihak yang terkait
Melalui KKM diharapkan kepentingan masyarakat terhadap sumberdaya
yang terdapat di dalam kawasan TNLL berdasarkan pada kesejarahan, pola
pengelolaan tradisional dan hukum adat atau hukum masyarakat setempat yang
disepakati untuk mendapat pengakuan dari Balai TNLL sebagai otoritas dalam
pengelolaan TNLL. Selain itu KKM diharapkan dapat meminimalisir dampak yang
terjadi akibat perambahan di sekitar kawasan TNLL, dengan keikutsertaan
masyarakat secara aktif dalam pengelolaan TNLL terutama dalam kegiatan
pengamanan kawasan. Kesepakatan tersebut dikenal dengan kesepakatan
konservasi masyarakat (KKM) yang disebut juga dengan community
conservation agreement (CCA).
Hasil studi dari kelompok peneliti STORMA (Stability of Rainforest Margin
in Indonesia), mengkaji KKM di TNLL yang difasilitasi oleh tiga LSM
memperlihatkan bahwa ketiga LSM tersebut memiliki sasaran masing-masing
yaitu: 1) CARE, lebih mengutamakan pada penguatan ekonomi masyarakat
desa, 2) TNC, mengutamakan aspek-aspek konservasi flora dan fauna, dan 3)
YTM memfokuskan diri pada advokasi hak tradisional. Ketiga sasaran tersebut
mengarah pada upaya penyusunan kesepakatan konservasi yang melibatkan
masyarakat. Selain itu, program CSIAD-CP (Central Sulawesi Integrated Area
Development Conservation Project), yang didanai oleh ADB juga dilakukan
dengan pelibatan masyarakat (Mappatoba 2004).
Kesepakatan konservasi berbasis masyarakat yang telah dibangun dan
sudah diterapkan dalam pengelolaan TNLL diantaranya adalah kesepakatan
55
konservasi Masyarakat Adat Katu, dimana mereka mampu menyusun peta
partisipatif pengelolaan kawasan konservasi secara tradisional. Komunitas Adat
Toro melalui kelembagaan adatnya juga telah menerapkan kesepakatan
konservasi dalam pengelolaan TNLL berbasis masyarakat yang ditandai oleh
adanya pengakuan pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu (BLTNLL) selaku
pemegang otoritas TNLL terhadap eksistensi Lembaga Adat Ngata Toro dalam
mengelola dan mengamankan TNLL (Sangadji 2003); lebih spesifik masyarakat
Toro telah mengenal sistem kategori lahan secara tradisional sejak dahulu
dengan menentukan bentuk-bentuk akses atas lahan dan hasil hutan (Golar
2007).
Berkaitan dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan TNLL, maka
LSM telah memfasilitasi terbangunnya kesepakatan konservasi masyarakat
(KKM) pada 31 desa dari 65 desa di sekitar TNLL. Kesepakatan konservasi
tersebut yang oleh Mappatoba (2004) disebut sebagai cikal bakal dari co-
management. Namun demikian, dengan melihat berbagai masalah yang terjadi
di TNLL dan sampai saat ini belum mampu diselesaikan dengan baik, maka
perlu dikembangkan suatu konsep pengelolaan yang diharapkan dapat
mengakomodir aspirasi dan keinginan dari semua stakeholder dalam mencapai
tujuan pengelolaan TNLL.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Pelaksanaan kegiatan pembangunan memunculkan dua benturan
kepentingan yakni pembangunan dari sisi ekonomi dan pelestarian lingkungan
pada sisi yang lain. Kedua benturan kepentingan tersebut akan menimbulkan
dampak positif maupun negatif, demikian pula halnya dalam upaya pengelolaan
TNLL di satu sisi ingin melestarikan sumberdaya alam yang ada, tapi di sisi lain
bagaimana masyarakat yang ada di sekitarnya dapat terpenuhi kebutuhannya,
terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan sumberdaya yang bernilai
ekonomi dari kawasan taman nasional. Oleh sebab itu upaya pengelolaan TNLL
secara berkelanjutan perlu dilaksanakan.
Pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan pada tahun 1987 melalui
laporan Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) yang digagas oleh
World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang
Lingkungan dan Pembangunan) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland
56
sehingga dikenal dengan Komisi Brundtland. Fokus dari laporan yang disusun
oleh Komisi Brundtland (Brundtland Report) tersebut, adalah pembangunan
berkelanjutan yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini
tanpa mengorbankan atau mengurangi peluang generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya (Soemarwoto 2004).
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan
yang bertujuan untuk mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam agar
tidak mengalami kerusakan atau kepunahan. Konsep pembangunan
berkelanjutan harus mengacu pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya.
Pada berbagai kajian disebutkan pula bahwa untuk mencapai pengelolaan
sumberdaya alam yang berkelanjutan dibutuhkan sinergi yang baik antara fungsi
ekonomi, ekologi, dan sosial (Hanna et al. 1995; Sardjono 2004; Bohensky
2005). Sejalan dengan konsep kelestarian atau keberlanjutan, Suhendang (2004)
mengemukakan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya hutan yang sustainable
mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat terhadap fungsi-fungsi ekonomis
(produksi), ekologis (lingkungan), dan sosial dari sumberdaya hutan secara
optimal dan lestari.
Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep
pembangunan yang diterima olah semua negara di dunia untuk mengelola
sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan.
Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan
sektor kehutanan. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin
karena banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain
aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum dan kelembagaan.
Barbier (1989) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan lebih
ditekankan pada pembangunan ekonomi dimana pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan (suatainable economic development) adalah konsep pembangunan
yang merujuk pada tingkat interaksi yang optimal antara tiga sistem yaitu biologi,
ekonomi, dan sosial, yang dicapai melalui satu proses trade-offs yang adaptif dan
dinamis. Sementara Pearce (1986) menekankan konsep pembangunan
berkelanjutan pada adanya kompromi antara sistem-sistem atau antara
kebutuhan generasi kini dan generasi yang akan datang.
Selanjutnya Yakin (1997) mengemukakan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
57
kebutuhannya atau dengan kata lain pembangunan berkelanjutan merupakan
suatu proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi
pengembangan teknologi, dan perubahan institusi, yang kesemuanya berada
dalam keselarasan dan meningkatkan potensi masa kini dan yang akan datang
untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia. Dalam hal ini,
pembangunan ekonomi harus berjalan selaras dengan kepentingan lainnya
sehingga pertumbuhan ekonomi tidak hanya memenuhi kepentingan generasi
sekarang tetapi juga generasi yang akan datang.
Munasinghe dan McNelly (1992) mengidentifikasi tiga konsep dari
pembangunan berkelanjutan yakni konsep pendekatan ekonomi, ekologi, dan
sosial budaya. Aspek ekonomi pembangunan berkelanjutan dicapai apabila
dapat menghasilkan pendapatan yang maksimum dengan tetap
mempertahankan stok sumberdaya atau aset yang menghasilkan benefit
tersebut. Aspek ekologi menjelaskan stabilitas fisik dan biologi suatu sistem atau
ekosistem sementara aspek sosial budaya dari pembangunan berkelanjutan
menyangkut stabilitas sistem sosial budaya, termasuk mengurangi konflik yang
biasa terjadi.
Identifikasi tiga konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan di
atas, sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan oleh
Munasinghe (1993) bahwa pembangunan berkelanjutan apabila memenuhi tiga
dimensi yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial
berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Makna
pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada
pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah
kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil
berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk estetika. Hal lain
yang tidak kalah pentingnya adalah konsep pemanfaatan sumberdaya yang
berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna bahwa eksploitasi
atau pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau
dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.
2.2. Taman Nasional MacKinnon et.al (1993) mengemukakan bahwa taman nasional adalah
kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai
alam yang spesifik dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi objek rekreasi
yang besar, mudah dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah
58
tersebut. Sementara IUCN (1994) merumuskan bahwa taman nasional adalah
areal yang cukup luas, dimana ada satu atau beberapa ekosistem tidak berubah
oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan lahan spesies flora dan fauna, kondisi
geomorfologi dan kondisi habitatnya memiliki nilai landskape alam dengan
keindahan tinggi.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya merumuskan bahwa taman
nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.
Fungsi pokok taman nasional adalah: 1) sebagai kawasan perlindungan; 2)
sebagai kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa;
dan 3) sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya.
Pengelolaan kawasan taman nasional, dilakukan dengan sistem zonasi
agar kawasan tersebut dapat dikelola dengan baik. Sistem zonasi yang dimaksud
adalah zona inti, zona pemanfaatan, dan zona rimba atau zona lainnya yang
ditetapkan berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya. Untuk zona inti tidak diperkenankan adanya campur tangan
manusia baik dari pihak pengelola maupun pengunjung karena. Setiap kegiatan
atau aktivitas makhluk hidup pada zona inti dibiarkan berjalan dengan sendirinya.
Pada zona rimba, campur tangan manusia secara terbatas diperkenankan
misalnya pendidikan, penelitian, wisata terbatas serta kegiatan yang menunjang
budidaya. Sedangkan pada zona pemanfaatan, diperkenankan adanya kegiatan
pendidikan, penelitian, penunjang budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa,
serta wisata alam atau ekoturisme (PP No.68 tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam).
Berkaitan dengan pengelolaan taman nasional maka masyarakat atau
pihak swasta diperkenankan untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk kemitraan
dengan membangun sarana dan prasarana penunjang wisata misalnya bungalow
atau pusat penjualan cinderamata. Namun demikian sarana dan prasarana yang
dibangun harus menggunakan pola arsitektur setempat serta bahan-bahan yang
ramah lingkungan serta diupayakan untuk tidak terjadinya kerusakan alam.
Antara kawasan taman nasional dengan kawasan pemukiman biasanya
dipisahkan oleh suatu kawasan yang dikenal dengan daerah penyangga. Daerah
59
penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang
berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan
perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan (PP No. 68 tahun
1998)
Alikodra (1998) mengemukakan pula bahwa daerah penyangga adalah
wilayah yang berada di luar kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan,
tanah negara bebas maupun tanah negara yang dibebani hak dan diperlukan
serta mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Pada prinsipnya daerah
penyangga dapat berfungsi sebagai penyangga terhadap berbagai macam
kegiatan yang dapat merusak potensi sumberdaya alam taman nasional dan juga
berfungsi untuk melindungi manusia dari binatang liar pemangsa. Daerah
penyangga taman nasional adalah suatu kawasan yang berfungsi melindungi
taman nasional dari gangguan manusia atau juga melindungi kehidupan manusia
dari gangguan yang berasal dari taman nasional.
Selanjutnya MacKinnon et al. (1993) memberikan batasan bahwa daerah
penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang
dilindungi dan berfungsi sebagai lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan
yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Daerah
penyangga bertujuan untuk: 1) menyelamatkan potensi kawasan dari berbagai
macam gangguan baik oleh manusia, ternak ataupun pencemaran lingkungan; 2)
mengembangkan dan membina hubungan tradisional antara masyarakat dengan
alam, sehingga tercipta adanya integrasi antara manusia dan alam pada kondisi
yang lebih baik; 3) memberikan perlindungan terhadap masyarakat daerah
pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dari gangguan satwa liar yang
berasal dari kawasan konservasi; 4) meningkatkan produktivitas lahan melalui
pola usahatani yang lebih intensif; 5) meningkatkan kesadaran dan partisipasi
masyarakat terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan; 6)
mengembangkan jenis-jenis kebutuhan pokok yang berasal dari kawasan
konservasi dengan pengembangan pola budidaya baik untuk protein hewani
maupun protein nabati; 7) mengembangkan sistem jasa yang berkaitan dengan
kegiatan pengelolaan kawasan konservasi.
MacKinnon et al. (1993) mengemukakan pula bahwa dasar umum yang
digunakan dalam penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional adalah: 1)
karakteristik atau keunikan ekosistem, 2) mempunyai keanekaragaman spesies
60
atau spesies khusus yang “bernilai”, 3) mempunyai landskap dengan ciri geofisik
atau estetika yang “bernilai”, 4) mempunyai fungsi perlindungan hidrologi (tanah,
air, iklim), 5) mempunyai sarana untuk rekreasi alam atau kegiatan wisata dan 6)
mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan
megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun 1998 tentang KSA
KPA pada Pasal 31 dikatakan bahwa suatu kawasan ditunjuk sebagai suatu
kawasan taman nasional apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
6) kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelangsungan proses ekologis secara alami;
7) memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis
tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang
masih utuh dan alami;
8) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
9) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam; dan
10) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena kepentingan
rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan
dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Umar (2004) mengemukakan
bahwa CSIAD-CP telah memfasilitasi pembentukan Forum Konservasi sebagai
Forum Wilayah Penyangga Taman Nasional Lore Lindu pada lima wilayah
kecamatan (Kecamatan Palolo, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Lore Utara,
Kecamatan Lore Tengah, dan Kecamatan Lore Selatan) dimana TNLL berada.
Persoalan penting yang perlu diketahui menyangkut daerah penyangga adalah
berimpitnya batas TNLL dengan halaman rumah penduduk pada beberapa
daerah yang berbatasan langsung dengan TNLL sehingga penetapan daerah
penyangga pada wilayah tersebut dibutuhkan fleksibilitas posisi atau situasi
daerah penyangga relatif terhadap kawasan konservasi (Ebregt dan Greve
2000).
2.3. Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional
Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan
pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial ekonomi
masyarakat di sekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan kawasan
61
konservasi yang salah arah (misleading policy). Hal ini disebabkan karena
pengelolaan kawasan konservasi yang sentralistik dengan perencanaan dan
keputusan-keputusan yang bersifat topdown akibatnya nilai dan kepentingan dari
pengelolaan kawasan konservasi tidak searah dengan nilai dan kepentingan
masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Implikasi dari kondisi ini adalah
terjadinya ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan
antara pengelola kawasan dengan stakeholder lainnya terutama komunitas-
komunitas lokal yang berada di sekitar kawasan tersebut.
Fisher et al. (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua
pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki
sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Dikemukakan pula bahwa
konflik timbul karena adanya kesenjangan status sosial, akses yang tidak
seimbang terhadap sumberdaya, kekuasaan yang tidak seimbang yang
kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran,
kemiskinan, penindasan, dan kejahatan.
Berkaitan dengan itu, Priscoli (1997) membedakan lima penyebab utama
terjadinya konflik, yakni: 1) data, 2) kepentingan, 3) nilai, 4) hubungan, dan 5)
struktural. Konflik akibat data disebabkan oleh keterbatasan informasi, informasi
yang keliru, interpretasi yang berbeda serta perbedaan pandangan terhadap
data. Konflik kepentingan terjadi karena adanya kepentingan atau kebutuhan
yang saling bertentangan atau tidak cocok diantara pihak-pihak yang bertikai.
Konflik nilai terjadi karena adanya penggunaan kriteria yang berbeda untuk hasil
(outcome) yang disebabkan oleh perbedaan ideologi, kepercayaan agama,
pandangan hidup, dan gaya hidup. Sementara itu, konflik bisa juga karena
hubungan-hubungan yang tidak harmonis, biasanya menyangkut emosi yang
kuat, komunikasi yang mandeg, dan prilaku negatif yang terus berulang. Konflik
struktural berkaitan dengan bagaimana sesuatu yang di set-up, batasan peran,
kendala waktu dan ruang, serta ketimpangan dalam kekuatan/kekuasaan atau
kontrol terhadap sumberdaya.
Winardi (1994), membedakan tiga wujud konflik, yakni konflik bersifat
tertutup (latent), mencuat (emerging) atau terbuka (manifest). Konflik laten
dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya
berkembang, atau belum terangkat ke puncak-puncak kutub konflik. Seringkali
salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik. Konflik mencuat
adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi,
62
diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses
penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka merupakan
konflik dimana pihak-pihak terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,
mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan
buntu.
Selanjutnya Tadjudin (2000) mengemukakan bahwa sumber konflik
adalah karena adanya perbedaan pada berbagai tataran yakni: 1) perbedaan
persepsi, 2) perbedaan pengetahuan, 3) perbedaan tata nilai, 4) perbedaan
kepentingan, dan 5) perbedaan akuan hak kepemilikan. Kemudian Fuad dan
Maskanah (2000) berpendapat bahwa konflik adalah benturan yang terjadi antara
dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh perbedaan nilai, status, kekuasaan,
dan kelangkaan sumberdaya, dimana masing-masing pihak mempunyai
kepentingan yang sama terhadap sumberdaya. Fuad dan Maskanah (2000)
menyatakan pula bahwa akhir-akhir ini wujud konflik sumberdaya alam telah
menjadi konflik yang mencuat, tumpang tindihnya kepentingan pada suatu
wilayah hutan yang sama pada akhirnya menimbulkan konflik yang tidak
terhindarkan.
Terkait dengan konflik, maka konflik antara pengelola kawasan
konservasi dengan masyarakat ditandai dengan sifat benci, saling tidak percaya
(mistrust), dan terjadinya hambatan-hambatan psikologis dan komunikasi
diantara mereka (miscommunication each others). Konflik yang tidak segera
ditangani akan mencuat dan akhirnya akan menjadi konflik terbuka (open
conflict). Konflik ini ditandai dengan terjadinya benturan-benturan fisik,
pengambilalihan otoritas kawasan yang disertai dengan ”pencurian” dan bahkan
”penjarahan” besar-besaran terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan.
Salah satu aspek penting dalam menganalisis dinamika konflik adalah
perbedaan kekuatan (power) yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Kekuatan yang dimiliki pihak pengelola kawasan konservasi dalam
mempertahankan kawasannya karena adanya topangan legal, dukungan dari
pihak-pihak keamanan, dukungan dana, serta tingkat pendidikan. Sementara itu,
masyarakat setempat biasanya mengandalkan pada alasan kesejarahan,
kedekatan sumberdaya kawasan dengan mereka, dukungan dari pihak-pihak luar
yang peduli dengan kehidupan masyarakat.
Wilardjo dan Budi (2000) mengemukakan bahwa perubahan dan
pergeseran kekuatan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik akan
63
berpengaruh terhadap intensitas konflik. Salah satu faktor eksternal yang paling
besar pengaruhnya terhadap terjadinya perubahan dan pergeseran kekuatan
antara pihak-pihak yang berkonflik karena adanya perubahan iklim sosial,
ekonomi, dan politik (reformasi). Dalam konteks pengelolaan kawasan
konservasi di Indonesia, keberanian komunitas lokal dalam melakukan
penjarahan massal atas sumberdaya di dalam kawasan merupakan indikasi
meningkatnya power yang dimiliki masyarakat di satu sisi dan di sisi lain adalah
melemahnya power yang dimiliki oleh pihak pengelola kawasan, akhirnya
memicu intensitas terjadinya konflik pengelolaan kawasan.
2.4. Teori Co-management
Borrini-Feyerabend et al. (2000), memberikan pengertian bahwa co-
management adalah suatu kondisi dimana dua atau lebih stakeholder
bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka serta
membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggungjawab dari
suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu. Stakeholder adalah mereka
yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan.
Conservation Union dalam Resolusinya tahun 1996 menjelaskan dasar
dari co-management, atau joint participatory atau multistakeholder management
adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna
sumberdaya, lembaga non-pemerintah dan kelompok yang berkepentingan
lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang
kewenangan dan tanggungjawab untuk mengelola daerah spesifik atau
sumberdaya (IUCN 1997).
Knight dan Tighe (2003) mendefinisikan bahwa co-management adalah
suatu bentuk kerjasama yang dikembangkan bersama oleh pemerintah dan
masyarakat dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam.
Konsep co-management antara masyarakat dan pemerintah merupakan mitra
yang bekerja bersama-sama dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu
kawasan. Pengembangan konsep kerjasama antara pemerintah dan masyarakat
dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam, memiliki
peran dan fungsi yang jelas antara masing-masing pihak. Co-management dalam
pengelolaan sumberdaya alam adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya
yang kegiatannya didasarkan pada kerjasama antara masyarakat dan
pemerintah yang berorientasi pada optimalisasi pencapaian tujuan organisasi.
Co-management tidak saja dilihat dari hubungan kerjasama antara pemerintah
64
dengan masyarakat, namun lebih luas lagi pada lingkup stakeholders dalam
pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan bersama.
Selanjutnya Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan bahwa co-
management adalah partisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya oleh
masyarakat baik secara individu maupun kelompok yang mempunyai keterkaitan
atau kepentingan dengan sumberdaya tersebut. Dikemukakan pula bahwa ada
tiga elemen penting dari co-management yakni:
1) Pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya
berdasarkan rencana yang dipahami dan disetujui oleh semua pihak;
2) Tujuan sosial, budaya, dan ekonomi merupakan bagian yang terintegrasi dari
strategi pengelolaan; dan
3) Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya merupakan tujuan utama.
Berkaitan dengan itu Borrini-Feyerabend et al. (2000) mengemukakan
bahwa co-management memiliki pula prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para pihak yang terlibat
dalam mengelola wilayah atau kesatuan sumberdaya alam, baik di luar maupun
di dalam komunitas lokal;
2) Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan sumberdaya alam selain
pengelolaan yang secara legal telah ada dimiliki oleh pemerintah atau pihak
yang berkepentingan;
3) Mengusahakan terciptanya transparansi dan kesetaraan dalam pengelolaan
sumberdaya alam;
4) Memperkenankan masyarakat sipil untuk mendapatkan peranan dan
tanggungjawab yang lebih nyata;
5) Mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan keunggulan
komparatif dari berbagai aktor yang terlibat;
6) Lebih menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil produk fisik
jangka pendek; dan
7) Memetik pelajaran melalui kaji ulang secara terus menerus dan memperbaiki
pengelolaan sumberdaya alam;
Co-management adalah suatu kesepakatan dimana tanggung jawab
pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan stakeholders
di sisi lain dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam
(National Round Table on the Environment and the Economy = NRTEE 1999).
Co-management memiliki pula beberapa prinsip dasar yakni: 1) pemberdayaan
65
dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan
tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan,
5) akuntabel dan transparan, 6) pelestarian lingkungan sumberdaya, 7)
pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight &
Tighe 2003).
Selanjutnya Sen dan Nielsen (1996) mengajukan lima tahapan co-
management yakni:
1) Instruktif; pada tipe co-management ini hampir sama dengan pengelolaan oleh
pemerintah. Perbedaannya sedikit sekali yakni adanya sedikit dialog antara
pemerintah dan masyarakat akan tetapi proses dialog yang terjadi bisa
dipandang sebagai suatu instruksi karena pemerintah lebih dominan
perannya, dimana pemerintah menginformasikan kepada masyarakat
rumusan-rumusan pengelolaan sumberdaya alam yang pemerintah
rencanakan untuk dilaksanakan;
2) konsultatif; pada tipe ini ada mekanisme yang mengatur sehingga pemerintah
berkonsultasi dengan masyarakat, hanya saja sekalipun masyarakat bisa
memberikan berbagai masukan kepada pemerintah, keputusan bahwa apakah
masukan itu harus digunakan tergantung sepenuhnya pada pemerintah, atau
dengan kata lain pemerintahlah yang berperan dalam merumuskan
pengelolaan sumberdaya alam;
3) kooperatif; tipe ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang
sama; dengan demikian semua tahapan manajemen sejak pengumpulan
informasi, perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi dan pemantauan
institusi co-management menjadi tanggung jawab kedua belah pihak. Pada
bentuk ini masyarakat dan pemerintah adalah mitra yang sama
kedudukannya;
4) pendampingan atau advokasi; pada bentuk ini, peran masyarakat cenderung
lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat memberi masukan kepada
pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Masyarakat dapat pula
mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh
pemerintah. Kemudian pemerintah mengambil keputusan resmi berdasarkan
usulan atau inisiatif masyarakat. Pemerintah lebih banyak bersifat
mendampingi masyarakat atau memberikan advokasi kepada masyarakat
tentang apa yang sedang dikerjakan oleh mereka; dan
66
5) informatif; pada bentuk ini, peran pemerintah makin berkurang dan di sisi lain
peran masyarakat lebih besar dibandingkan dengan empat bentuk co-
management sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan
informasi kepada masyarakat tentang apa yang sepantasnya dikerjakan.
Dalam kontribusi yang lebih nyata, pemerintah menetapkan delegasinya untuk
bekerja- sama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan
sumberdaya alam, mulai dari pengumpulan data, perumusan kebijakan,
implementasi, serta pemantauan dan evaluasi.
Hasil kerjasama tersebut dilaporkan atau diinformasikan oleh delegasi
pemerintah kepada pemerintah. Dari kelima kategori co-management tersebut
disajikan pada Gambar 2.
Fisher (1995) menekankan pula bahwa konsep dasar dari co-
management yang berkaitan dengan sektor kehutanan adalah tercapainya
kesepakatan tentang pengelolaan hutan antara pihak pengelola dengan
masyarakat lokal. Masyarakat lokal berperan dalam hal pengelolaan dan
perlindungan, sebagai imbalannya, masyarakat lokal mempunyai akses untuk
memanfaatkan hasil-hasil hutan, dan memperoleh keuntungan dengan
peningkatan pendapatan. Penyederhanaan dari definisi co-management oleh
Fisher dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2 Tahapan dari Co-management (Sen & Nielsen1996; Pomeroy 2001).
Stated-based management
Community-based management
Co-management
Instructive – Consultative – Cooperative – Advisory -Informative
67
Nationa
Gambar 3 Prinsip Dasar dari Co-management (Fisher 1995).
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan maka dapat
diartikan bahwa pengelolaan dengan pola co-management untuk kawasan
konservasi adalah kemitraan di antara berbagai pihak yang berkepentingan yang
menyetujui berbagi fungsi, wewenang dan tanggung-jawab dalam pengelolaan
suatu kawasan konservasi. Co-management berbeda dengan pengelolaan
partisipatori lainnya atau dengan pengelolaan berbasis masyarakat (community-
based resources management), karena menuntut adanya kesadaran dan
distribusi tanggung-jawab pemerintah secara formal (Borrini-Feyerabend et al.
2000). Dalam konteks ini, konsultasi masyarakat dan perencanaan partisipatori
ditujukan untuk menetapkan bentuk-bentuk peranserta yang lebih tahan lama,
terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan
terkait dan sah (legitimate) dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam.
Co-management atau pengelolaan kolaboratif (collaborative mana-
gement), disebut juga sebagai pengelolaan kooperatif (cooperative
management), round-table management, share management, pengelolaan
bersama (joint management) atau pengelolaan multi-pihak (multistakeholder
management). Co-management telah diterapkan dalam bidang perikanan, taman
nasional, kawasan dilindungi (protected area), kehutanan, satwa liar (wildlife),
lokasi pengembalaan, dan sumberdaya air (Conley & Moote 2001).
Co-management dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia
memang diperlukan, karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi,
budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan
banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Co-
management menjadi penting ketika tidak adanya kesepakatan yang dapat
dibangun secara sederhana dan universal untuk mendapatkan solusi terbaik dari
konflik yang terjadi. Kerjasama dari seluruh stakeholder dalam pengelolaan
National Park
Authority
CONSENSUS Access/benefit/income
Responsible for
protection
COLLABORATIVE MANAGEMENT
Local People
68
kawasan konservasi akan meringankan beban biaya yang dibutuhkan karena
para pihak yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan
sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun
finansial.
Transformasi pola pengelolaan sumberdaya alam oleh negara, swasta,
dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya
merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India
telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumberdaya alam, khususnya
hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan sekarang kolaborasi,
sementara di Nepal terjadi tiga tahap evolusi yakni privatisasi, nasionalisasi, dan
populisme (David et al. 2003). Bahkan pergeseran juga terjadi di beberapa
negara bagian Amerika Serikat tempat asal muasal pengelolaan eksklusif
kawasan konservasi yang mulai bergeser menuju co-management. Peranserta
masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik ternyata menunjukkan hasil
yang baik dimana produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan
kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat lokal. Pemerintah di Negara
India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat lokal berkemampuan, memiliki
pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumberdaya alam
secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat lokal merupakan
kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai
secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi
konflik yang interaktif dan dialogis (Means et al. 2002).
Beberapa contoh co-management yang telah berhasil dilaksanakan
dalam pengelolaan taman nasional ( Merrill dan Effendi 2001) diantaranya
adalah:
1. Co-management di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara yang wadahnya
dikenal dengan DPTNB (Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken).
Salah satu hasil rumusannya adalah penentuan tarif masuk TN Bunaken dan
pendistribusian hasil pungutan tarif masuk tersebut yang diperkirakan sekitar
Rp750 juta per tahun. Pendistribusian tersebut yakni: 5% untuk dana
pembangunan propinsi, 5% untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota,
5% untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan
ekosistemnya melalui Dephut cq. Ditjen PKA), dan 85% untuk dana
pendukung pengelolaan TN Bunaken.
69
2. Co-management di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur yang dikenal
dengan Mitra Kutai, berhasil memberikan kontribusi bantuan keuangan bagi
pengelolaan TN Kutai melalui rencana kerja tahunan senilai US$ 100.000 –
US$150.000 per tahun.
3. Co-management di Great Barrier Reef Marine Park, Australia yang dikelola
oleh badan otorita khusus dengan mempekerjakan ratusan orang dan
memperoleh lebih dari 1 (satu) juta Dollar Australia setiap tahunnya. Dalam
pengelolaan taman nasional ini Kepala Taman Nasional selalu berkonsultasi
dengan kelompok-kelompok yang berkepentingan termasuk masyarakat di
sekitar taman nasional yang kehidupannya tergantung dari sumberdaya
taman nasional tersebut. Selain itu workshop diantara para kelompok yang
berkepentingan sering pula dilaksanakan untuk menyetujui keputusan
pengelolaan yang spesifik seperti pengaturan peruntukan (zoning).
Keberhasilan co-management tersebut akhirnya diikuti oleh Kakadu National
Park dan Coburg National Park.
Gagasan dasar dari Acheson (1989) dapat dijadikan acuan mengapa
pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan pengelolaan yang
bergotongroyong. Menurut Acheson konsep pengelolaan sumberdaya publik,
seperti halnya kawasan konservasi menunjukkan kombinasi derajat intensitas
keterlibatan pemerintah di satu pihak dan masyarakat di pihak lain serta dampak
yang ditimbulkan.
Atas dasar kombinasi tersebut, dihasilkan 4 alternatif pola pengelolaan
sumberdaya alam sebagai berikut:
Pertama, apabila masyarakat lokal dan pemerintah bersama-sama tidak
melakukan kontrol secara intensif terhadap pengelolaan sumberdaya, akan
menjadikan sumber daya tersebut didayagunakan secara terbuka sebagaimana
halnya suatu sumberdaya terbuka (open access). Dalam pola pengelolaan yang
tidak jelas pengelolanya justru akan mengundang terjadinya the tragedy of the
common yang berujung pada pemusnahan sumberdaya tersebut, karena
adanya pemanfaatan yang berlebihan oleh manusia melampaui daya dukung.
Kedua, apabila pemerintah melakukan kontrol mutlak terhadap pengelolaan
sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis pemerintah
(state-based management). Pola inilah yang selama ini berlangsung di
Indonesia. Dalam pola ini, peranan masyarakat dikesampingan, kalau pun ada
hanya bersifat simbolik dan dengan demikian masyarakat kehilangan rasa
70
memiliki dan rasa bertanggung-jawab. Padahal masyarakat juga mempunyai
kapasitas tertentu dalam mengelola sumberdaya. Karena itu, masyarakat merasa
tidak mempunyai kepentingan membantu pemerintah melakukan upaya-upaya
pemeliharaan sumberdaya dan disamping itu pemerintah juga mempunyai
keterbatasan kapasitas mengelola. Pada akhirnya, pola ini akan terjebak pada
pola pertama.
Ketiga, apabila masyarakat melakukan kontrol sepenuhnya terhadap
pengelolaan sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis
masyarakat (community-based management). Masyarakat itu sendiri sebenarnya
terdiri dari fragmen-fragmen yang cukup luas, ada masyarakat pengguna dan
ada masyarakat di luar pengguna. Ketika masyarakat pengguna melakukan
tindakan pengelolaan yang arif bijaksana, seringkali terdapat gangguan dari
masyarakat lain di luar teritorialnya. Jika intensitas gangguan itu meningkat,
masyarakat pengguna tidak mampu lagi menanggulanginya secara berdikari
serta ditambah dengan tidak ada dukungan kebijakan dari pemerintah dan pada
akhirnya pola ini pun akan kembali terperangkap pada pola pertama.
Keempat, apabila kontrol pemerintah dan masyarakat itu sangat besar dan
dalam posisi yang setara dan seimbang dalam proses pengambilan keputusan,
maka akan menghasilkan pola pengelolaan kolaboratif atau co-management.
Secara empirik, inilah pola pengelolaan yang ideal. Co-management merupakan
pilihan pola pengelolaan kawasan konservasi yang paling masuk akal. Pilihan ini
akan menciptakan perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap
sumberdaya kawasan konservasi, yang memungkinkan kawasan konservasi
tidak terdegradasikan menjadi suatu sumberdaya terbuka.
Borrini-Feyerabend et al. (2000) secara gamblang memberikaan
argumentasi mengapa co-management penting dilaksanakan: 1) Pengelolaan
yang efektif memerlukan adanya pengetahuan, kemampuan, sumberdaya dan
keunggulan komparatif dari berbagai pihak yang berkepentingan dan hanya
melalui co-management hal tersebut dapat dipenuhi, 2) Kebutuhan kesetaraan,
keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat
adalah pembayar pembangunan konservasi, sehingga wajar kalau
diperhitungkan dalam pengambilan keputusan, 3) Keinginan untuk mengakhiri
konflik di antara para pihak berkepentingan tanpa adanya pihak yang dikalahkan
dalam pengelolaan sumberdaya alam, 4) Interaksi antara masyarakat dan
lingkungan adalah bagian dari alam dan keanekaragaman hayati, sehingga
71
keduanya tidak dapat dipisahkan, 5) Seiring dengan tuntutan akan kemandirian
daerah dalam mengurus dan mengelola sumberdaya alam mereka dalam
semangat otonomi daerah dan desentralisasi, 6) Sebagai salah satu cara untuk
mencapai pengelolaan yang profesional, mandiri dan bertanggungjawab pada
publik, 7) Otoritas tunggal terbukti tidak efektif dalam mengelola kawasan
konservasi, khususnya dalam mengurangi kerusakan kawasan dan menggalang
dukungan para pihak lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi, 8) Otoritas
tunggal yang sentralistik berada pada posisi terjepit oleh realitas lokal mengenai
upaya pemda dan masyarakat lokal meningkatkan kesejahteraan serta
pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai penerima manfaat jasa ekologis dari
kawasan konservasi, para pihak lokal turut bertanggungjawab untuk menjaga
dan melestarikan kawasan konservasi yang dapat dibangun dengan pola co-
management.
Nikijuluw (1999) mengemukakan bahwa pada dasarnya tujuan utama
yang ingin dicapai dari setiap pelaku dalam pengelolaan sumberdaya melalui co-
management adalah pengelolaan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil
dan merata. Tujuan utama tersebut menjadi lebih konkrit dan lebih nyata ukuran
keberhasilannya bila dikaitkan dengan beberapa tujuan sekunder sebagai
berikut:
1) Co-management merupakan suatu cara untuk mewujudkan proses
pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan
hasil yang lebih efektif
2) Co-management adalah mekanisme atau cara untuk mengurangi konflik antar
masyarakat melalui proses demokrasi partisipatif
3) Co-management mempunyai tugas-tugas dalam hal perumusan kebijakan,
estimasi potensi sumberdaya, penentuan hak-hak pemanfaatan, pengaturan
cara-cara eksploitasi, pengaturan pasar, pemantauan, pengendalian, dan
penegakan hukum.
Berkaitan dengan itu ada beberapa karakteristik dari keberhasilan co-
management yakni (Claridge & O”Callaghan 1995; Alikodra 2004):
1) Keuntungan integrasi konservasi dan pembangunan diakui oleh pemerintah
dan stakeholders lain
2) Pemerintah mendukung dan memfasilitasi secara aktif ”involment” masyarakat
setempat dalam manajemen sumberdaya alam dan konservasi
3) Para pihak memberikan perhatian dan berpartisipasi secara penuh
72
4) Terselenggaranya ”appropriate sharing” (sumberdaya, informasi,
kedudukan/kemampuan, dan keputusan)
5) Para pihak mengerti secara penuh dan saling percaya, dan mempunyai
peran yang jelas
6) Akar permasalahan dimengerti dan disetujui untuk ditindak lanjuti
7) Keuntungan yang jelas diantara para pihak
8) Para pihak memiliki kemampuan yang cukup (skills, financial, capability).
The Worldwide Fund for Nature of Indonesia (WWF-Indonesia) telah
melakukan upaya konservasi dengan pendekatan co-management dan
mendorong mutual respect, mutual trust, dan mutual benefit dalam pengelolaan
sumberdaya alam diantara para pihak. Pengelolaan kawasan konservasi dengan
pola co-management melibatkan para stakeholder inti dengan menganut prinsip
kesetaraan, keterbukaan, dan partisipatif (WWF-Indonesia 2008). Pada
prinsipnya ada dua aspek esensial dari pendekatan co-management:
menciptakan hubungan antara konservasi dan pembangunan, dan menyatakan
pentingnya melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dalam mengelola taman
nasional sebagai sumber perolehan manfaat ekonomi sekaligus
mempertahankan keberlanjutan fungsi taman nasional untuk konservasi,
perlindungan, dan pemanfaatan.
2.5. Konsep untuk Mengembangkan Co-management
2.5.1. Konsep Partisipasi
Terminologi dari partisipasi memiliki arti yang luas. Berdasarkan
pandangan politik partisipasi berkaitan dengan keterlibatan seseorang dalam
proses pengambilan keputusan, sedangkan dari sudut pandang sosial partisipasi
merupakan cerminan interaksi diantara kelompok-kelompok masyarakat (Mueller,
1975). Sebagian ahli mendefenisikan partisipasi sebagai keikutsertaan
masyarakat, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan
terbentuk sebagai akibat dari terjalinnya interaksi sosial antar individu atau
kelompok masyarakat yang lain (Wardoyo et al. 2000). Demikian halnya Craig
dan Mayo (1995) menyebutkan partisipasi sebagai keterlibatan mental,
pemikiran, dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok, yang
mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok
tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama, dan turut bertanggung jawab
terhadap usaha yang dimaksud.
73
Mubyarto (1984) mengartikan partisipasi sebagai suatu bentuk kesediaan
membantu berhasilnya setiap kegiatan, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap
individu tanpa mengorbankan diri sendiri. Lebih jauh, Slamet (2003) memaknai
partisipasi masyarakat sebagai wujud keikutsertaan masyarakat dalam setiap
tahapan kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya ikut memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan. Jadi, bukan hanya menyumbangkan input
ke dalam pembangunan, namun lebih jauh ikut serta memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan.
Partisipasi dalam manajemen taman nasional memiliki arti dengan
spektrum yang luas mulai dari memberikan informasi kepada masyarakat tentang
desain taman nasional hingga pelibatan masyarakat secara penuh dalam
pengelolaan. Partisipasi di bidang pembangunan biasanya mencakup
keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan memberikan
kontribusi dalam pembangunan dan kesediaan turut bertanggung jawab.
Partisipasi diartikan pula sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa
penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda di dalam proses pengambilan
keputusan untuk pengalokasian sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan,
pelaksanaan program dan proyek secara sukarela, dan pemanfaatan hasil-hasil
dari suatu program atau suatu proyek (Slamet 1989). Kemudian Rahardjo (2003)
mengemukakan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
hutan akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya
hutan sebagai sumber matapencaharian, dengan demikian pengelolaan
sumberdaya hutan akan mengangkat status kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan.
Cohen dan Uphoff (1977) berpendapat bahwa partisipasi adalah: a)
keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tentang tindakan
yang dilakukan, b) bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan
program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam
suatu organisasi atau kegiatan khusus, c) berbagi manfaat dari program
pembangunan, atau d) keterlibatan dalam eveluasi program. Terkait dengan itu
Cohen dan Uphoff (1977) mengidentifikasi pula beberapa karakteristik penting
dari masyarakat perdesaan yang kemungkinan besar menentukan partisipasi
mereka dalam proyek-proyek pembangunan pedesaan. Karakteristik yang
dimaksud adalah umur dan jender, status keluarga, pendidikan, status sosial,
74
pekerjaan, tingkat dan sumber pendapatan, lama bermukim dan jarak
pemukiman dari proyek, kepemilikan dan masa kepemilikan lahan.
Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Wilcox (1994)
telah mengembangkan partisipasi ke dalam lima tahap yakni: informasi,
konsultasi, keputusan bersama, bekerja sama, dan mendukung kepentingan
masyarakat (Gambar 4 ).
Gambar 4 Tahapan dari Partisipasi (Wilcox 1994).
Model ini telah dikembangkan dalam pengertian partisipasi secara umum yang
erat kaitannya dengan pola co-management. Menurut model Wilcox, tingkatan
yang paling rendah dalam mengontrol sumberdaya alam secara keseluruhan
adalah tingkatan informasi, dimana masyarakat diberitahu apa yang
direncanakan dengan maksud untuk mendidik partisipan. Tingkatan selanjutnya
dari partisipasi adalah konsultasi yang berarti menawarkan beberapa opsi atau
pilihan dan menerima umpan balik. Selanjutnya, keputusan bersama berarti
masyarakat didorong untuk memberikan beberapa ide tambahan atau pilihan,
dan secara bersama-sama memutuskan hal yang terbaik ke depan. Tingkat
partisipasi yang lebih tinggi adalah bertindak secara bersama-sama, untuk
mencapai keputusan yang terbaik diantara kepentingan yang beragam atau
berbeda kemudian melaksanakannya. Tahapan yang tertinggi dari kontrol adalah
ketika masyarakat mendapatkan bantuan berdasarkan apa yang mereka
inginkan, berupa dukungan dari pemegang otoritas sumberdaya.
Terkait dengan partisipasi, Nanang dan Devung (2004) lebih rinci
mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa item, di antaranya:
Tingkat 6: Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization): masyarakat
mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan
Degree of
control
Supporting
Acting together
Deciding together
Consultation
Information
Substantial
Participation
75
pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan
pemanfaatan sumberdaya; pihak luar memfasilitasi mereka.
Tingkat 5. Kemitraan (partnership): masyarakat mengikuti seluruh proses
pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi
kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi, dll. Partisipasi
merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai
sesuatu Ini disebut “partisipasi interaktif.”
Tingkat 4. Plakasi/konsiliasi (Placation/Conciliation): masyarakat ikut dalam
proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan
sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting.
Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dll.
Tingkat 3. Perundingan (consultation): pihak luar berkonsultasi dan berunding
dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan
sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta
dalam menganalisis atau mengambil keputusan.
Tingkat 2. Pengumpulan informasi (information gathering): masyarakat
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi
searah dari masyarakat ke luar.
Tingkat 1. Pemberitahuan (informing): hasil yang diputuskan oleh orang luar
(pakar, pejabat, dll.) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi
terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.
Tingkat-tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk
menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang
sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.
Oakley (1991) menjelaskan bahwa partisipasi sebagai fasilitas atau
perbaikan sistem atau sebagai suatu proses yang dimaksudkan untuk memberi
penguatan pada kemampuan masyarakat desa agar mereka berinisiatif terlibat
secara langsung dalam pembangunan. Cernea (1985) menekankan bahwa
partisipasi berimplikasi pada pemberdayaan masyarakat lokal untuk
menggerakkan kemampuan mereka sebagai aktor-aktor sosial dan bukan
sebagai subjek yang pasif, pengelola sumberdaya, pembuat keputusan dan
mengontrol aktivitas yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kemudian Borrini-
Feyerabend (1996) mengemukakan bahwa partisipasi yang efektif di dalam
pengelolaan sumberdaya alam dapat dipandang sebagai suatu kondisi yang
dengan kondisi tersebut kearifan lokal, keterampilan, dan sumberdaya lainnya
76
dimobilisasi dan dimanfaatkan secara totalitas. Untuk mencapai partisipasi dalam
pengembangan kapasitas, maka pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi
prioritas.
Lebih jauh Borrini-Feyerabend (1996) mengemukakan pula bahwa
sebagian orang mungkin berargumen kalau keterwakilan yang ditunjuk pada
berbagai tingkatan merupakan wakil yang mewakili kepentingan lokal. Ada
kebenaran dalam hal ini, sepanjang prosedur formal demokrasi dihormati, tetapi
ada juga keterbatasan yang jelas terlihat. Sebagai contoh: sistem perwakilan
tidak langsung, jarang sekali cocok untuk menyampaikan kekuatiran/keprihatinan
secara khusus atau terinci dari kelompok kecil stakeholder, dan tentu saja tidak
dapat menyampaikan secara sempurna cakupan pengetahuan dan ketrampilan
dari pengguna sumberdaya lokal. Secara umum, keterwakilan yang sesuai
adalah sangat penting untuk meyakinkan partisipasi stakeholder yang tidak dapat
menikmati status sosial yang tinggi. Secara terinci, Borrini-Feyerabend (1996)
menunjukkan tiga bentuk keterwakilan:
1. Perwakilan diri sendiri; saling berhadapan: masyarakat secara pribadi
mengemukakan opininya, mendiskusikan, memilih, bekerja, menawarkan
kontribusi material, menerima manfaat, dan lain-lain atau dengan kata lain
masyarakat mewakili diri mereka sendiri.
2. Perwakilan langsung; masyarakat mendelegasikan kepada yang lain, sanak
famili, teman atau anggota masyarakat diantara mereka yang dihormati,
pemimpin masyarakat yang berbasis kelompok untuk mewakili mereka dalam
segala macam aktivitas, tetapi memelihara hubungan lansung dengan
perwakilan mereka.
3. Perwakilan tidak langsung; masyarakat mendelegasikan kepada yang lainnya,
para ahli, orang yang memiliki posisi dalam suatu perkumpulan besar,
organisasi swadaya masyarakat (LSM), partai atau pegawai pemerintah untuk
mewakili mereka dalam segala macam aktivitas, tetapi mereka jarang sekali
berinteraksi dengan perwakilan mereka secara langsung.
Penelitian tentang partisipasi telah banyak dilakukan diantaranya oleh
Goldhamer (1943) pada 5.500 penduduk di Chicago yang mengacu pada Skala
Chapin dengan menggunakan lima variabel yakni: 1) jumlah asosiasi yang
dimasuki, 2) frekuensi kehadiran, 3) jumlah asosiasi dimana dia memangku
jabatan, 4) lamanya menjadi anggota, dan 5) tipe asosiasi yang dimasuki.
Duncan dan Artis (1952) melakukan pula penelitian pada 15 organisasi kaum
77
laki-laki dan 15 organisasi kaum wanita juga mengacu pada skala Chapin.
Sistem penilaian dilakukan dengan cara: 0) jika tidak pernah menjadi anggota, 1)
jika pernah menjadi anggota, 2) jika anggota tapi tidak pernah menghadiri
pertemuan, 3) jika anggota dan aktif menghadiri pertemuan, 4) jika pernah
menjadi pengurus organisasi dan sekarang tidak aktif, 5) jika pernah menjadi
pengurus dan sekarang masih aktif, dan 6) jika sekarang menjadi pengurus
(Goldhamer 1943; Duncan dan Artis 1952 dalam Slamet 1989). Penelitian lain
yang dilakukan oleh Kaufman di Kentucky (1949) yang mengukur partisipasi
dalam organisasi formal di masyarakat pedesaan dengan menggunakan dua
variabel yakni: 1) keanggotaan, dan 2) jabatan yang dipegang.
Selanjutnya Slamet (1989) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi
(pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan) berkaitan erat dengan tahapan
partisipasi, lapisan penduduk dengan status sosial lebih tinggi lebih banyak
terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelas sosial menengah
lebih banyak dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelas sosial yang lebih
rendah lebih banyak hanya dalam proses pemanfaatan.
2.5.2. Konsep Negosiasi
Pendekatan negoisasi dalam co-management adalah kata kunci untuk
mencapai kesepakatan. Sebagaimana yang ditunjukkan sebelumnya, Borrini-
Feyerabend et al. (2000) mendefinisikan co-management sebagai suatu situasi
dimana dua atau lebih stakeholder bernegosiasi, menetapkan dan menjamin
diantara mereka sendiri suatu pembagian yang adil mengenai fungsi manajemen,
kepemilikan dan tanggung jawab untuk suatu teritori tertentu, wilayah atau
seperangkat sumberdaya alam. Leeuwis (2000) menjelaskan bahwa proses
negosiasi merupakan suatu strategi untuk penyelesaian konflik. Lebih jauh lagi
Leeuwis (2000) membagi proses negosiasi kedalam dua kategori. Pertama,
distributif: Berbagai stakeholders berpegang pada persepsi dan posisi mereka
sendiri, dan pada dasarnya menggunakan negosiasi untuk membagi
sumberdaya, keuntungan salah satu pihak merupakan kerugian bagi pihak lain.
Kedua, integratif: Stakeholder mengembangkan suatu definisi dan persepsi
masalah yang baru dan sering kali lebih luas yang berubah berdasarkan proses
pembelajaran kolektif yang kreatif dan berujung pada win-win solution atau
pemecahan yang menguntungkan semua pihak.
Dalam rangka memfasilitasi negosiasi integratif, Venema dan van Den
Breemer (2000) mengidentifikasi sejumlah hal yang secara khas mendasari
78
suatu proses negosiasi, termasuk persiapan, kesepakatan tentang proses
desain, eksplorasi bersama, analisis situasi, pencarian fakta bersama, menyusun
kesepakatan, berkomunikasi dengan perwakilan, dan memonitor pelaksanaanya.
Jika mengadopsi suatu pendekatan negosiasi membantu terciptanya hasil yang
secara mutual dapat disetujui dalam manajemen sumberdaya alam.
Menurut Fisher (1995) ada tiga hal yang harus dipenuhi sebelum
negosiasi dapat dilaksanakan yakni: 1) keragaman kepentingan: konflik
kepentingan kemungkinan timbul dimana saja ketika masyarakat berjuang untuk
perubahan yang berarti; 2) saling ketergantungan: stakeholder harus merasa
saling bergantung satu dengan lainnya dalam menyelesaikan suatu masalah.
Suatu pendekatan negosiasi menjadi mustahil jika stakeholder kunci tidak
percaya kalau mereka saling membutuhkan dalam rangka pencapaian
kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak; 3) kemampuan komunikasi:
stakeholder yang terkait harus mampu berkomunikasi satu dengan lainnya.
Berkaitan dengan negosiasi sebagai pendekatan pencapaian
kesepakatan negosiasi, suatu hal yang penting untuk dicatat adalah pencapaian
sebuah kesepakatan yang dinegosiasi sangat dipengaruhi oleh nilai orientasi dari
fasilitator. Pada kenyataannya, menerapkan pendekatan negoisasi mungkin
merupakan strategi terbaik untuk mendorong terciptanya keharmonisan diantara
stakeholder. Pengakuan terhadap berbagai stakeholder yang terlibat dalam
manajemen sumberdaya alam merupakan basis pendekatan co-management.
Dalam pengaruhnya, co-management berbasis pada identifikasi kepentingan,
hak dan masalah sosial yang terkait dengan sumberdaya alam tertentu,
mempublikasikan semua ini kepada semua pihak yang berkepentingan dan
memulai debat publik untuk mencapai sebuah kesepakatan umum atau kontrak
legal diantara para pihak yang dijalankan oleh pemerintah bila diminta (Venema
dan van Den Breemer 2000).
Sejalan dengan itu, Borrini-Fayerabend (1996) lebih khusus
mengemukakan bahwa posisi stakeholder berdasarkan pada kapasitas dan
kepentingan mereka untuk terlibat dalam negosiasi, dengan kriteria sebagai
berikut:
1) Hak-hak yang telah ada terhadap tanah atau sumberdaya alam dan
pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki untuk manajemen sumberdaya
alam yang berada dalam sengketa;
79
2) Kehilangan dan kerusakan yang terjadi dalam proses manajemen dan
pentingnya hubungan historis dan kultural dengan sumberdaya alam yang
disengketakan;
3) Tingkat ketergantungan ekonomi dan sosial terhadap sumberdaya alam,
tingkat usaha dan kepentingan dalam manajemen dan keadilan dalam akses
terhadap sumberdaya dan distribusi keuntungan dari sumberdaya alam; dan
4) Kompatibilitas antara kepentingan dan aktivitas stakeholder dengan kebijakan
konservasi, yang mengakui keberadaan atau potensi akibat dari aktivitas
stakeholder terhadap basis sumberdaya.
Banyak kasus menunjukkan kalau masyarakat cenderung bertindak untuk
kepentingan pribadi bukan karena mereka tidak peduli terhadap yang lain, tetapi
karena mereka kurang percaya terhadap institusi dan peraturan dan/atau
informasi menyebabkan mereka memilih opsi kooperatif (Aarts 1998). Terkait
dengan itu, dibutuhkan ruang untuk pembelajaran sosial dan kooperatif yang
tergantung pada kondisi awal dan jenis institusi, hal ini mungkin membutuhkan
negosiasi strategi terlebih dahulu (Baland dan Plateau 1996).
2.5.3. Konsep Property Rights
Bromley (1991) mendefinisikan hak properti sebagai kapasitas untuk
menyatakan kolektifitas yang mendukung klaim seseorang akan suatu manfaat.
Konsep properti yang sejauh ini hanya didefinisikan dalam istilah ekonomi yang
terkait dengan kondisi yang diperlukan untuk berfungsinya pasar secara efisien
seperti objek fisik yaitu tempat tinggal, lahan atau properti lainnya. Terkait
dengan konsep ini, properti bukan suatu obyek, tetapi suatu hubungan sosial
yang membatasi hak-hak pemilik properti yang terkait dengan keuntungan.
Sebagai hubungan sosial, properti akan menghubungkan antara orang yang satu
dengan lainnya yang terkait dengan lahan dan sumberdaya lainnya. Oleh karena
itu, hubungan properti adalah pengaturan kontrak yang terkonstruksi secara
sosial diantara sekelompok orang yang terkait dengan nilai obyek dan lingkungan
mereka (Bromley 1998).
Agrawal dan Ostrom (1999) menggambarkan hak properti sebagai
otoritas yang dapat dilaksanakan untuk mengambil aksi tertentu pada domain
spesifik, dengan demikian hak properti dapat dianggap sebagai institusi atau
peraturan institusi untuk membuat individu-individu menginternalisasi
eksternalitas produksi mereka atau membangun dan memfasilitasi penggunaan
dan pertukaran sumberdaya dan komoditas dalam suatu masyarakat. Salah satu
80
posisi teoritis mengenai hak properti adalah kalau mereka mengembangkan
untuk internalisasi-ekternalitas ketika perolehan internalisasi menjadi lebih besar
daripada biaya internalisasi (Baland dan Platteu 1996). Institusi seperti itu
berguna untuk meregulasi interaksi perilaku dan sosial terkait dengan obyek
yang memiliki nilai, karena institusi ini adalah suatu bentuk hambatan dan
perizinan yang memberi kemampuan kepada individu untuk mengaplikasikannya
dalam situasi ketika nilai obyek tertentu adalah jarang, diskriminasi yang
konsisten, dapat diprediksi dan diterima secara sosial (Challen 2000).
Demsetz (1967) menyatakan bahwa fungsi utama hak properti adalah
memandu insentif dalam rangka menyadari internalisasi-eksternalisasi yang lebih
besar. Terkait dengan sumberdaya alam, hak properti memainkan peranan
dalam menentukan pola kesamaan dan ketidaksamaan akses, dan juga kreasi
insentif untuk keseluruhan manajemen dan perbaikan yang berkelanjutan.
Meinzen-Dick dan Knox (1999) membuat ringkasan mengenai pentingnya hak
properti sebagai berikut: ketetapan insentif untuk manajemen, menyediakan
otorisasi yang diperlukan dan mengontrol sumberdaya, dan memperkuat aksi
kolektif.
Agrawal dan Ostrom (1999) menyatakan ada lima macam hak propeti
yang relefan terhadap eksploitasi sumberdaya alam: hak akses terhadap
sumberdaya, hak mengeluarkan atau memperoleh produk sumberdaya, hak
untuk mengelola sumberdaya, hak untuk pengecualian terhadap yang lain, dan
hak untuk mengalihkan hak kepada orang lain. Eggertsson (1990) juga
menyatakan hal yang serupa yaitu mendefinisikan hak properti sebagai hak
individual untuk memanfaatkan sumberdaya. Sebagai konsep operasional,
sistem hak properti terdiri dari dua komponen: hak properti yaitu sekumpulan hak
kepemilikan yang menetapkan hak dan kewajiban dalam pemanfaatan sumber-
daya alam, dan peraturan properti yang menentukan cara pelaksanaan hak dan
kewajiban (Bromley 1991). Aspek penting dari hak properti adalah apakah hak
properti ini penerapannya telah sesuai atau dibiarkan tidak terdefiniskan atau
spesifikasinya tidak sesuai.
Selanjutnya, hak properti bisa dianggap efisien apabila hak properti ini
memenuhi beberapa hak dasar termasuk di dalamnya kepemilikan, dapat
ditransfer, dan dapat dilaksanakan. Hak properti dan pemenuhan insentif,
merangsang pengguna untuk bekerja sama dalam manajemen sumberdaya
alam. Rezim properti merupakan bagian dari institusi masyarakat, kendala
81
organisasi yang menyusun struktur interaksi dan bentuk insentif bagi manusia
(North, 1990). Bromley (1998) menyatakan bahwa sebagai suatu institusi hak
properti bisa merupakan kendala dan juga bisa sebagai penunjang.
Perbedaan rezim hak properti akan tergantung pada kondisi kepemilikan,
hak dan kewajiban pemilik, peraturan penggunaan, dan tempat pengawasan.
Tabel 1 menunjukkan klasifikasi sederhana dari empat tipe rezim hak properti
dan kewajibannya (McCay dan Acheson 1987; Bromley 1989; Hanna et al.
1995).
Private property mewajibkan pemberian nama kepemilikan individu,
jaminan terhadap pemiliknya untuk mengontrol akses dan hak pemanfaatan
sosial yang dapat diterima (Black 1968). Hal ini mengharuskan pemiliknya untuk
menghindari pemanfaatan khusus yang tidak diterima secara sosial, seperti
polusi air sungai. Common property dimiliki oleh sekelompok orang yang memi-
liki hak untuk mengeluarkan mereka yang bukan pemilik dan berkewajiban
memelihara penggunaan properti sesuai dengan batasan-batasan yang ada
(McCay dan Acheson 1987; Stevenson 1991). Rezim seperti ini seringkali
Tabel 1 Tipe hak kepemilikan
No. Hak kepemilikan Pemilik Hak kepemilikan Kewajiban pemilik
1. Private property perorangan kepemilikan perorangan, pemiliknya dengan mudah untuk meng-akses dan me-ngontrol pemanfaatan sumberdaya
menghindari pemanfaatan yang tidak dapat diterima secara sosial
2. Common property kelompok tidak melibatkan mereka di luar kelompok
pemeliharaan, pemanfaatan sumberdaya terbatas sesuai dengan batasan-batasan yang ada
3. State property negara memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan aturan
pemanfaatan untuk tujuan sosial
4. Open access (non-property)
tidak ada pemilik
diperebutkan tidak ada
Sumber: McCay dan Acheson 1987; Bromley 1989; Hanna et al. 1995.
diimplementasikan untuk sumberdaya publik yang sulit untuk dibagi (Ostrom
1990). State property dimiliki oleh negara dalam unit politik yang memberikan
82
kewenangan kepada agen publik untuk membuat aturan (Black 1968). Agen
publik tersebut memiliki kewajiban untuk memastikan kalau aturan-aturan yang
dibuat mempromosikan tujuan-tujuan sosial. Negara memiliki hak untuk
memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan aturan. Open access tidak ada
pemiliknya dan terbuka untuk umum. Dinamika dari open access merupakan
dasar dari apa yang disebut “tragedy of the commons”. Dibawah rezim open
access, pemilik tidak memiliki kawajiban untuk memelihara sumberdaya atau
membatasi penggunaannya. Penting untuk diketahui bahwa keempat sistem ini
tidak berlawanan satu dengan lainnya melainkan merupakan sebuah kombinasi
sepanjang spektrum dari open access hingga kepemilikan pribadi (Hanna et al.
1995).
Para ahli hak properti tetap menganggap sistem properti publik lebih
disukai dari pada yang lainnya dalam situasi ketika muncul kegiatan kolektif yang
cukup untuk mengelola sumberdaya alam (Ostrom 1990; Meinzen-Dick dan Knox
1999). Rezim hak properti harus menampilkan fungsi tertentu dengan
penggunaan terbatas, koordinasi pengguna, dan respon terhadap perubahan-
perubahan lingkungan. Aktivitas ini membutuhkankan biaya transaksi untuk
koordinasi, pengumpulan informasi, monitoring dan pelaksanaan (Eggerstsson
1990; Hanna 1995). Semakin langkahnya sumberdaya, maka rezim hak properti
harus semakin memperhitungkan peraturan yang mengatur distribusi
sumberdaya dan pemanfaatan yang menaikkan biaya. Suatu hal yang mungkin
adalah terciptanya suatu sistem dengan biaya pelaksanaan tinggi sehingga jauh
melebihi manfaat yang diperoleh dari pengawasan. Gerakan untuk merubah
rezim hak properti seringkali digerakkan oleh usaha-usaha untuk mengurangi
biaya transaksi.
Hal yang penting dari analisis penelitian ini adalah kenyataan bahwa
sistem co-manajement merupakan kombinasi dari berbagai sistem yang berbeda.
Apabila institusi pemerintah dan masyarakat lokal terlibat maka hal ini
merupakan kombinasi state property dan private property, sehingga dalam
perencanaannya harus memasukkan otoritas pembuat keputusan. Suatu sistem
akan berfungsi dengan baik bila peraturan yang ditetapkan konsisten dengan
kepemilikan misalnya ketika sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat dikelola
melalui pengaturan common property. Tidak peduli apapun jenis sistem properti,
keputusan-keputusan yang berdasarkan pengetahuan tentang kondisi lokal dan
akomodasi pengetahuan lokal merupakan suatu sistem yang paling sesuai dapat
83
diadaptasi (Tietenberg 1988). Mekanisme yang sesuai untuk mengatasi konflik
harus tersedia. Hal lain yang dibutuhkan adalah sistem monitoring dan
pelaksanaan yang tepat untuk penegakan hukum yang sesuai dengan tingkat
pelanggaran untuk melindungi hak klaim (Ostrom 1990).
2.6. Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM)
Konflik kepentingan dalam pengelolaan taman nasional yang terjadi
antara pihak pengelola dan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan
pada beberapa tahun belakangan ini semakin mengemuka. Konflik tersebut
sering muncul ke permukaan akibat dari perbedaan kepentingan untuk
memanfaatkan sumberdaya guna memenuhi kebutuhan di satu sisi dan
konservasi sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan taman nasional di
sisi yang lain. Salah satu konsep konservasi yang banyak diterapkan akhir-akhir
ini adalah Integrated Conservation and Development Program (ICDP).
Pendekatan ini mulai diterapkan pada awal 1980-an di Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone yang bertujuan untuk menjembatani kegiatan konservasi
dengan kegiatan pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat dengan
melibatkan masyarakat lokal (Wells dan Brandon 1995).
Konsep ICDP yang diharapkan dapat mengakhiri kontroversi antara
kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi yang dalam
pelaksanaannya, konsep ini kemudian mengalami perkembangan ke arah
penyusunan kesepakatan antara pengelola kawasan konservasi dan
masyarakat. Kesepakatan tersebut pada prinsipnya mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang
terdapat di dalam kawasan taman nasional. Kesepakatan konservasi pada
prinsipnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat di sekitar
taman nasional dalam menggunakan sumberdaya alam di dalam kawasan.
Kesepakatan semacam ini di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dikenal
dengan istilah Kesepakatan Konservasi Desa (KKD), sementara di TNLL dikenal
sebagai Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) (Adiwibowo et al. 2009).
Menurut Manullang (1998) KKM/KKD diperlukan karena beberapa
alasan: 1) masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud
kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka; 2) masyarakat
menyangka mereka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di
daerah mereka; 3) pihak pengelola tidak atau belum mengenal sepenuhnya
keadaan dan aspirasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Selanjutnya
84
Manullang (1998) mengemukakan pula bahwa dengan tercapainya kesepakatan
formal antara masyarakat dan pengelola taman nasional, maka KKM/KKD dapat
membawa fungsi dan manfaat yakni: 1) alat untuk melaksanakan dan
mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan sumberdaya alam
dari pemerintah kepada masyarakat; 2) media dan proses dimana pihak-pihak
yang berkepentingan bertemu untuk saling mengakui dan menghormati
kehadiran masing-masing; 3) alat yang menunjukkan keterbukaan dan
transparansi antar semua pihak; 4) alat untuk menjamin diakuinya hak-hak
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak-pihak yang
berkepentingan; 5) alat untuk membagi tanggung jawab pengelolaan
sumberdaya alam di antara para pihak; 6) sarana untuk meredam konflik di
lapangan dengan membawanya ke meja perundingan; 7) alat pengendali
perilaku dari pihak-pihak yang terkait.
Melalui KKM diharapkan kepentingan masyarakat terhadap sumberdaya
yang terdapat di dalam kawasan TNLL berdasarkan pada kesejarahan, pola
pengelolaan tradisional dan hukum adat atau hukum masyarakat setempat yang
disepakati untuk mendapat pengakuan dari Balai TNLL sebagai otoritas dalam
pengelolaan TNLL. Selain itu KKM diharapkan dapat meminimalisir dampak yang
terjadi akibat perambahan di sekitar kawasan TNLL, dengan keikutsertaan
masyarakat secara aktif dalam pengelolaan TNLL terutama dalam kegiatan
pengamanan kawasan. Kesepakatan tersebut dikenal dengan kesepakatan
konservasi masyarakat (KKM) yang disebut juga dengan community
conservation agreement (CCA).
Hasil studi dari kelompok peneliti STORMA (Stability of Rainforest Margin
in Indonesia), mengkaji KKM di TNLL yang difasilitasi oleh tiga LSM
memperlihatkan bahwa ketiga LSM tersebut memiliki sasaran masing-masing
yaitu: 1) CARE, lebih mengutamakan pada penguatan ekonomi masyarakat
desa, 2) TNC, mengutamakan aspek-aspek konservasi flora dan fauna, dan 3)
YTM memfokuskan diri pada advokasi hak tradisional. Ketiga sasaran tersebut
mengarah pada upaya penyusunan kesepakatan konservasi yang melibatkan
masyarakat. Selain itu, program CSIAD-CP (Central Sulawesi Integrated Area
Development Conservation Project), yang didanai oleh ADB juga dilakukan
dengan pelibatan masyarakat (Mappatoba 2004).
Kesepakatan konservasi berbasis masyarakat yang telah dibangun dan
sudah diterapkan dalam pengelolaan TNLL diantaranya adalah kesepakatan
85
konservasi Masyarakat Adat Katu, dimana mereka mampu menyusun peta
partisipatif pengelolaan kawasan konservasi secara tradisional. Komunitas Adat
Toro melalui kelembagaan adatnya juga telah menerapkan kesepakatan
konservasi dalam pengelolaan TNLL berbasis masyarakat yang ditandai oleh
adanya pengakuan pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu (BLTNLL) selaku
pemegang otoritas TNLL terhadap eksistensi Lembaga Adat Ngata Toro dalam
mengelola dan mengamankan TNLL (Sangadji 2003); lebih spesifik masyarakat
Toro telah mengenal sistem kategori lahan secara tradisional sejak dahulu
dengan menentukan bentuk-bentuk akses atas lahan dan hasil hutan (Golar
2007).
Berkaitan dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan TNLL, maka
LSM telah memfasilitasi terbangunnya kesepakatan konservasi masyarakat
(KKM) pada 31 desa dari 65 desa di sekitar TNLL. Kesepakatan konservasi
tersebut yang oleh Mappatoba (2004) disebut sebagai cikal bakal dari co-
management. Namun demikian, dengan melihat berbagai masalah yang terjadi
di TNLL dan sampai saat ini belum mampu diselesaikan dengan baik, maka
perlu dikembangkan suatu konsep pengelolaan yang diharapkan dapat
mengakomodir aspirasi dan keinginan dari semua stakeholder dalam mencapai
tujuan pengelolaan TNLL.
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Deskripsi TNLL 4.1.1. Letak dan Luas TNLL
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) terletak sekitar 20 km arah tenggara
dari Kota Palu. Secara geografis, terletak antara 119° 58’-120° 16’ Bujur Timur
dan 1° 3’ - 1° 8’ Lintang Selatan. Secara administratif, TNLL terletak di Propinsi
Sulawesi Tengah dalam Wilayah Kabupaten Donggala yakni Kecamatan Palolo,
Kecamatan Kulawi, Kecamatan Sigibiromaru dan Wilayah Kabupaten Poso
yakni pada Kecamatan Lore Utara, Kecamatan Lore Tengah, dan Kecamatan
Lore Selatan.
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan gabungan dari tiga
kawasan konservasi yaitu Suaka Margasatwa Lore Kalamanta dengan luas
131.000 ha (60%) dari luas Kawasan TNLL (SK Menteri Pertanian No.
522/Kpts/Um/10/1973 tanggal 20 Oktober 1973; Hutan Wisata Danau Lindu
dengan luas 31.000 ha (15%) dari total luas TNLL (SK Menteri Pertanian
86
No.46/Kpts/Um/1/1978 tanggal 25 Januari 1978); dan Suaka Margasatwa Sungai
Sopu – Sungai Gumbasa dengan luas 67.000 ha (25%) dari luas Kawasan TNLL
(SK Menteri Pertanian No. 1012/Kpts/Um/12/1981 tanggal 10 Desember 1981).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal
14 Oktober 1982 tentang pengumuman gabungan dari tiga kawasan konservasi
tersebut sebagai calon taman nasional, ditetapkan seluas 231.000 ha.
Selanjutnya sesudah pengumuman Menteri Pertanian tersebut, Menteri
Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan No. 593/Kpts-II/1993 pada tanggal 5
Oktober 1993 tentang penunjukan Kawasan TNLL dengan luas ± 229.000 ha.
Penunjukan itulah yang dijadikan dasar untuk melakukan tata batas definitif yang
kemudian dilaksanakan pengukuran penataan batas oleh BIPHUT (Balai
Inventarisasi dan Perencanaan Hutan) dan sesudah temu gelang, TNLL
ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.
464/Kpts-II/1999 pada tanggal 23 Juni 1999 tentang penetapan kawasan TNLL
seluas 217.991,18 ha. Tahapan penetapan kawasan TNLL membutuhkan proses
yang cukup lama yakni sekitar 23 tahun. Untuk jelasnya tahapan penetapan
Kawasan TNLL dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Tahapan penetapan TNLL 2007
No. Diskripsi Dokumen
Kementrian Tahun
Luas
Areal (ha)
1. Usulan - 1976 250.000,00
2. Deklarasi calon taman nasional
No.736/Mentan/X/1982 14 Oktober
1982 231.000,00
3. Penunjukan No.593/Kpts-II/1993 5 Oktober
1993 229.000,00
4. Peresmian/
Penetapan No.464/Kpts-II/1999
22 Juni
1999 217.991,18
Sumber: TNLL 2006.
Dikemukakan bahwa TNLL memiliki potensi (BTNLL dan TNC 2003)
diantaranya :
1. Potensi flora berupa leda (Eucalyptus deglupta), palem wangi (Pigapetta
elata), damar (Agathis celebica), rotan tai manu’ (Korthalsia celebica), anggrek
(Vanda celebica), dan terdapat minimal 287 jenis tanaman obat;
2. Potensi fauna, adanya burung yang khas yakni burung maleo (Macrocephalon
maleo), burung alo (Rhyticeros cassidix), dan jenis fauna lainnya adalah anoa
87
(Bubalus sp), babirusa (Babyrousa babyrussa), monyet hitam (Macaca
tonkeana), tarsius (Tarsius spectrum), kuskus (Palanger sp), dan biawak
(Varanus sp); dan
3. Potensi pendidikan dan kebudayaan dengan adanya peninggalan Megalith
dan nilai-nilai budaya tradisional masyarakat suku asli Sulawesi Tengah
diantaranya Adat Kulawi, musik bambu, dan Tarian Dero (tarian daerah).
4.1.2. Zonasi Taman Nasional
Sistem pengelolaan Taman Nasional sesuai dengan Undang-Undang.
No. 5 Tahun 1990, adalah sistem zonasi. Dalam rangka menjaga efektivitas
pengelolaan TNLL dimana tujuan pelestarian dan pemanfaatannya dapat
dilaksanakan dan dikembangkan secara optimal atas dasar pertimbangan
ekologis, ekonomis, dan sosial serta sesuai dengan rencana pembangunan
wilayah maupun kebijaksanaan nasional/regional. Pembagian zonasi di kawasan
TNLL didasarkan beberapa kriteria pembentukan dan sistem pengelolaan.
Zonasi kawasan TNLL terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan
(tradisional, intensif), dan zona rehabilitasi.
Meskipun telah dibuat konsep penunjukkan zona-zona pengelolaan
TNLL (zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, zona pemanfaatan
tradisional), namun sampai saat ini belum ada realisasi penataan batas dari
zona-zona tersebut. Penataan zonasi akan ditentukan berdasarkan: 1) penilaian
potensi kawasan, 2) penentuan kriteria zonasi, dan 3) pembagian zona dan tata
batas zona-zona yang bersangkutan.
1) Penilaian Potensi Kawasan
Zonasi suatu kawasan sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki
kawasan dan arah pengembangan yang diinginkan. Potensi kawasan yang
dimaksud disini lebih ditekankan pada kepentingan pelestarian sumberdaya alam
yang ada dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang selama ini
punya ketergantungan pada areal TNLL. Potensi yang telah dimanfaatkan oleh
masyarakat adalah hasil hutan non kayu, pengolahan lahan secara tradisional
untuk kebun kopi dan cacao, pemanenan madu alam, dan penangkapan kupu-
kupu, serta pariwisata yang belum dikembangkan secara optimal.
Potensi-potensi yang lain adalah potensi sumberdaya alam baik hayati
maupun non hayati yang dimiliki oleh TNLL yang dapat menarik wisatawan
maupun untuk kepentingan ilmiah. Perlu ditambahkan bahwa sumberdaya alam
88
hayati baik flora maupun fauna yang terdapat di dalam TNLL merupakan
endemik Sulawesi sehingga perlu dikelola dengan seksama agar tetap lestari.
2) Penentuan Kriteria
Penetapan zonasi didasarkan pada UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 68
Tahun 1998 serta pedoman Penataan Zonasi Taman Nasional dari Ditjen PHPA.
Kriteria-kriteria yang digunakan dalam penetapan zonasi pengelolaan TNLL
disesuaikan dengan tujuan pengelolaan. Penentuan zona didasarkan pada
potensi sumberdaya alam yang ada di dalam bagian kawasan tersebut: ciri
spesifiknya, kuantitas dan kualitasnya, nilai ekologisnya, nilai sosial-budayanya,
dan ancaman terhadapnya. Zona inti ditentukan berdasarkan kriteria: ciri
spesifiknya sangat tinggi, kuantitas dan kualitasnya sangat tinggi, nilai
ekologisnya sangat tinggi, nilai sosial-budaya sedang, dan ancaman
terhadapnya sedang (ancaman yang dimaksud diantaranya adalah perburuan,
perambahan, pemungutan hasil hutan, penanaman eksotik). Kriteria untuk zona
rimba: ciri spesifiknya tinggi, kuantitas dan kualitasnya tinggi, nilai ekologisnya
sangat tinggi, nilai sosial-budayanya sedang, dan ancaman terhadapnya tinggi.
Zona pemanfaatan: ciri spesifiknya rendah, kuantitas dan kualitasnya sedang,
nilai ekologisnya sedang, nilai sosial-budaya sangat tinggi, dan ancaman
terhadapnya sangat tinggi. Zona rehabilitasi: ciri spesifiknya sangat tinggi,
kuantitas dan kualitasnya sangat tinggi, nilai ekologisnya juga sangat tinggi, nilai
sosial-budayanya sedang, dan ancaman terhadapnya sangat tinggi pula
(Kerjasama BTNLL; TNC; dan Ditjen PHKA 2004).
Kriteria yang mendasari penetapan zona pemanfaatan intensif didasarkan
pada intensitas pemanfaatan lahan maupun sumberdaya alam yang ada di
dalam dan di sekitar TNLL selama ini, termasuk penyesuaiannya dengan
rencana tata ruang daerah. Zona pemanfaatan intensif diarahkan pada
pengembangan dan dukungan terhadap ekonomi wilayah terutama bagi
masyarakat di sekitarnya. Zona pemanfaatan tradisional dan penilaian terhadap
pemanfaatan dilaksanakan berdasarkan kajian historis maupun pertimbangan
aspek sosial budaya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat selama ini.
Penilaian terhadap pemanfaatan tradisional akan mempengaruhi ancaman
terhadap perambahan kawasan. Kriteria penetapan daerah penyangga
didasarkan kepada upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat di sekitar TNLL
dengan penanaman pohon untuk kayu bakar dan penanaman tanaman buah-
buahan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga
89
ketergantungan masyarakat terhadap TNLL akan berkurang. Daerah penyangga
sekaligus berfungsi sebagai batas yang dapat mengamankan potensi
sumberdaya alam yang terdapat di dalam areal TNLL.
Zona rehabilitasi adalah zona peralihan untuk dirubah menjadi zona lain
sesuai dengan karakteristik kawasan setelah dilakukan perbaikan. Kawasan
yang termasuk dalam zona rehabilitasi adalah kawasan yang rusak akibat
gangguan kebakaran, perambahan atau bencana alam. Usaha rehabilitasi yang
akan dilaksanakan diprioritaskan pada daerah yang diperuntukkan untuk zona
inti. Rehabilitasi yang dilakukan hendaknya dengan pola suksesi alami agar
karakteristik yang timbul sesuai dengan kriteria awal sebelum mengalami
kerusakan.
3) Pembagian Zona
Berdasarkan penilaian terhadap kriteria yang digunakan dalam penentuan
zonasi, maka rencana pembagian luas areal zonasi TNLL ditunjukkan pada
Gambar 9.
44.26%
35.42%
7.3%13.02%
Zona inti Zona rimba Zona pemanfaatan Zona rehabilitasi
Gambar 9 Persentase rencana zonasi TNLL 2007 (Sumber: Rencana Pengelolaan TNLL 2004-2029).
Gambar 9 menunjukkan rencana pembagian zona untuk kawasan TNLL
yakni zona inti seluas 35%, zona rimba 45%, zona pemanfaatan 13,%, dan zona
rehabilitasi 7% dari total luas TNLL (217.991,18 ha). Lebih spesifik khusus untuk
zona pemanfaatan akan dibagi ke dalam zona: (1) zona penangkapan kupu-
kupu, (2) zona pemanenan madu alam, (3) zona pemanfaatan tradisional, (4)
90
zona wisata, dan (5) zona budaya. Hanya saja luasan dari zona-zona tersebut
belum diketahui secara pasti.
TNLL yang mengalami kerusakan sampai pada tahun 2004 sekitar
14.770 Ha yang tersebar di beberapa lokasi di dalam areal TNLL yang
disebabkan oleh perambahan dan pengambilan hasil hutan yang tidak terkontrol.
Kerusakan terparah terjadi di kawasan Dongi-dongi dengan luasan kurang lebih
4000 ha. Kerusakan tersebut disebabkan oleh perambahan lahan dan okupasi
penduduk yang berasal dari desa sekitar taman nasional (sebagaimana yang
telah diuraikan pada latar belakang). Kondisi ini memberikan indikasi bahwa
banyak kegiatan terkait dengan TNLL yang memang membutuhkan
partisipasi dari semua pihak untuk saling bekerjasama agar kepentingan dari
pihak yang terkait dengan TNLL dapat diakomodir, sehingga konflik yang terjadi
dapat dieliminir dan diharapkan akan berdampak pada menurunnya kerusakan
taman nasional.
4.1.3. Potensi Pariwisata
Potensi parawisata di sekitar TNLL dapat dikelompokkan kedalam kondisi
biofisik alamnya, keutuhan hutan dan keragaman hayatinya, serta keadaan sosial
budayanya. Jika ingin menarik wisatawan maka sistem dan struktur tertentu
perlu dibenahi, seperti kegiatan petualangan yang terencana, lokasi-lokasi yang
menarik dan fasilitas yang layak. Pariwisata di dalam dan sekitar TNLL
mempunyai tiga (3) tujuan dasar:
Budaya (megalith, kegiatan pertanian, kerajinan tangan);
Basis-alam (pengamatan burung, pengamatan satwa, studi botani, studi geologi);
dan
Basis-aktifitas (arung jeram, jalan kaki, dan berkemah).
1) Pariwisata berbasis budaya
Budaya yang terdapat di sekitar kawasan TNLL diantaranya adalah
Budaya Kulawi, Pekurehua, dan Budaya To Besoa yang memerlukan beberapa
perbaikan agar dapat menarik perhatian pengunjung, misalnya rumah adat dan
megalith, diperlukan pula bahan penunjang untuk dapat membantu interpretasi,
dan menyusunnya dalam konteks/kerangka sejarah. Pembuatan baju dari kulit
kayu melalui pemukulan merupakan suatu proses yang menarik, juga kegiatan
pertanian mempunyai potensi untuk menarik wisatawan, namun memerlukan
91
petunjuk menyangkut metoda dan teknik serta arti dari adat/kebiasaan yang
dilakukan masyarakat.
2) Pariwisata berbasis-alam
Kekayaan alam TNLL seperti mamalia besar misalnya anoa (Bubalus sp),
babi rusa (Babyrousa babyrussa), bahkan monyet hitam (Macaca tonkeana) tidak
secara langsung dapat dilihat, sehingga bantuan dan interpretasi sangat
diperlukan. Pengamatan burung merupakan jenis ekowisata yang memiliki
jaringan tersendiri seperti Oriental Bird Clubs; dengan adanya jenis burung
endemik diantaranya: burung alo (Rhyticeros cassidix) yang dapat diamati, akan
merupakan daya tarik tersendiri bagi pengamat burung dan peniru suara burung
untuk berkunjung ke kawasan ini (BLTNLL 2001).
Bentuk lain dari pariwisata berbasis alam yang telah dikembangkan dan
cukup menarik untuk dinikmati serta juga bisa menunjukkan bagaimana manusia
dapat memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari, seperti peternakan kupu-
kupu dan produksi madu, yang keduanya dapat menarik wisatawan.
3) Pariwisata berbasis-aktifitas
Wisata yang berbasis aktivitas dan cukup menarik yakni kegiatan arung
jeram di Sungai Lariang. Sungai Lariang adalah sungai terpanjang di Sulawesi
yang mengitari sebagian besar dan merupakan batas TNLL di Bagian Barat,
memiliki potensi yang sangat baik bagi aktivitas arung jeram karena memiliki
variasi tingkatan tantangan untuk peruntukan olahragawan arung jeram yang
ahli, maupun pemula. Pengembangan aktivitas arung jeram seharusnya
mempertimbangkan peralatan keamanan yang digunakan dan diawasi oleh
instruktur yang berpengalaman. Pengembangan potensi wisata arung jeram
diperlukan koordinasi dengan sektor pariwisata terutama dalam aktivitas
pemasaran dan pemberdayaan masyarakat agar terlibat dalam pengelolaan
arung jeram.
4.1.4. Jumlah Wisatawan
Jumlah wisatawan tertinggi yang berkunjung ke TNLL terjadi pada tahun
1991-1992 baik domestik maupun mancanegara menurut versi BTNLL, namun
yang perlu diperhatikan adalah beberapa jalur perjalanan yang masuk ke TNLL
yang tidak terpantau baik melalui jalur yang tidak memiliki izin seperti jalur
Tentena – Bada atau Poso-Napu juga jalur yang melalui Palu di mana kantor
BLTNLL berada. Banyak wisatawan yang masuk tanpa izin sehingga perlu
92
peningkatan fasilitas agar kontrol pengunjung yang masuk ke daerah ini dapat
diketahui mengingat areal ini sangat rentan dengan pencurian yang akhirnya
akan mangancam kelestarian TNLL. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke
TNLL baik domestik maupu wisatawan asing ditunjukkan pada Tabel 8.
Kondisi yang menyebabkan wisatawan sangat minim berkunjung ke TNLL
sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 8, kemungkinan disebabkan karena
waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai ke taman nasional tersebut cukup
lama (setidaknya memakan waktu selama tiga hari dari Jakarta baru bisa
sampai ke sana). Berangkat dari Jakarta-Palu, mengurus surat izin dan mengatur
transportasi menuju TNLL butuh waktu dua hari. Kembali ke Jakarta akan
menghabiskan waktu satu hari lagi dan biaya penerbangan sekitar US$250 (kurs
US1$ =Rp9.500,-).
Tabel 8 Jumlah wisatawan yang berkunjung ke TNLL
Tahun Wisatawan Domestik
Wisatawan Asing
Jumlah
1984-1985 99 34 133
1985-1986 28 23 51
1986-1987 15 3 19
1987-1988 4 79 83
1988-1989 189 26 215
1989-1990 403 33 436
1990-1991 771 57 828
1991-1992 3.153 259 3.406
(1992 sampai dengan 1996*) - - -
1997 870 189 1.059
1998 1.238 191 1.429
1999 225 85 310
2000 858 69 927
(2001 sampai dengan 2006*) - - -
Jumlah 7.853 1.048 8.901
Sumber: Laporan BTNLL 2005.
Keterangan: *) Data belum tersedia.
Keberhasilan pengelolaan TNLL pada masa akan datang sangat
ditentukan oleh besar kecilnya peranan dan partisipasi masyarakat dalam
berbagai aktifitas yang dilaksanakan di dalam dan di sekitar areal TNLL,
sehingga pola pengelolaan bersama atau collaborative management sangat
diperlukan. Untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
93
pengelolaan TNLL diperlukan upaya-upaya pembinaan khusus yang disesuaikan
dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Pembinaan partisipasi masyarakat akan dengan mudah dilaksanakan jika
kegiatan-kegiatan yang dilakukan langsung menyentuh kepentingan masyarakat
setempat atau sekurang-kurangnya akan mempengaruhi kegiatan mereka secara
tidak langsung. Perlu pula diidentifikasi hal-hal yang merupakan daya tarik
wisata ataupun daya tarik kearah kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi
ekonomi rumah tangga/keluarga.
4.1.5. Organisasi
4.1.5.1. Struktur Organisasi
Struktur organisasi dibutuhkan untuk mengatur pelaksanaan kegiatan
yang terkait dengan pengelolaan TNLL dan disesuaikan dengan kondisi wilayah
dan kebutuhan setempat. Struktur organisasi TNLL berdasarkan SK. Kepala
BTNLL No: SK.01/IV.T-15/Peg/2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang Bagan
Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, dapat
dilihat pada Gambar 10.
Struktur organisasi TNLL yang ditunjukkan pada Gambar 10 terdiri dari
kepala taman nasional yang sehari-hari dibantu dengan staf tata usaha dan seksi
konservasi wilayah. Dalam menjalankan tugasnya, kepala balai melakukan kerja
sama dengan instansi terkait seperti perguruan tinggi dan dinas terkait lainnya
untuk membantu pelaksanaan program–program yang sifatnya spesifik. Selain
itu melalui Direktur Jenderal PHKA, mitra lembaga penelitian asing dapat
melakukan kerjasama dengan TNLL yang hasilnya dapat diadopsi oleh BTNLL.
Kepala Balai Taman Nasional dalam melaksanakan tugas secara
operasional di lapangan, areal TNLL di bagi dalam Seksi konservasi wilayah :
yaitu Seksi Konservasi Wilayah I Kulawi, Seksi Konservasi Wilayah II Kamarora,
Seksi Konservasi Wilayah III Wuasa. Penempatan pondok kerja berdasarkan
atas jenis pekerjaan yang akan di kembangkan di bagian kawasan taman
nasional.
94
Gambar 10 Struktur organisasi Balai TNLL.
4.1.5.2. Tugas, Tanggung Jawab dan Wewenang
Pelaksanaan tugas, tanggung jawab dan wewenang dari masing-masing
unsur dalam struktur organisasi TNLL, telah di buat Job Description secara jelas
dan tegas yaitu dalam tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) berdasarkan SK Menteri
Kehutanan No. 6168/Kpts-II/2003. Pada tingkat Balai Taman Nasional yang
berkedudukan di Kota Palu bersama bidang-bidang terkait menyusun kegiatan-
kegiatan strategis yang dilakukan di dalam TNLL. Kegiatan ini mencakup
pemantauan dan evaluasi, pembinaan, pengawasan dan kerja sama dengan
instansi terkait. Selanjutnya operasional kegiatan–kegiatan lapangan menjadi
tanggung jawab Seksi Konservasi Wilayah. Untuk kegiatan yang lebih spesifik
KEPALA BALAI
KEPALA SATUAN TUGAS
KEPALA SEKSI KONSERVASI WILAYAH
KEPALA SATUAN UNIT
KEPALA SUB BAG TU
KEPALA RESORT
Garis Komando ---------- Garis Koordinasi
95
lagi, dilakukan di pondok kerja dan pos jaga yang di tempatkan di desa–desa
terpilih. Resort-resort yang berada di bawah Seksi Konservasi Wilayah,
bertanggung jawab langsung kepada Kepala Seksi Konservasi Wilayah dan
dapat melakukan koordinasi kegiatan dengan Seksi Konservasi Wilayah lain atau
instansi terkait di wilayah tersebut.
4.2. Kondisi Sosial Ekonomi
4.2.1. Kependudukan
Penduduk yang bermukim di sekitar Kawasan TNLL saat ini adalah
perpaduan antara penduduk asli dan penduduk migran. Jumlah penduduk di
sekitar TNLL adalah 70.449 jiwa dengan 17.121 KK. Perincian total populasi
tersebut pada masing-masing wilayah kecamatan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah penduduk disetiap wilayah kecamatan yang ada dalam dua wilayah
kabupaten pada kawasan TNLL.
No. Kabupaten/Kecamatan Jumlah Desa
Jlh Penduduk (Jiwa)
Jumlah KK
I. Kabupaten Donggala:
1. Sigibiromaru 12 24.984 6.221
2. Palolo 10 12.215 2.882
3. Kulawi 19 19.077 4.408
II. Kabupaten Poso:
1. Lore Utara 10 7.669 1.908
2. Lore Tengah 8 3.824 1.070
3. Lore Selatan 6 2.680 632
Jumlah 65 70.449 17.121
Sumber: TNC 2004; BPS Kabupaten Donggala 2006; BPS Kabupaten Poso 2006.
Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang bermukim di sekitar
TNLL sebanyak 70.449 jiwa atau sebanyak 17.121 KK. Apabila setiap KK
membutuhkan lahan seluas 2 Ha/KK maka total luas lahan yang dibutuhkan oleh
penduduk di sekitar kawasan TNLL seluas 34.242 Ha. Pertambahan jumlah
penduduk di sekitar TNLL dengan laju pertumbuhan rata-rata 3,08%/tahun
berdampak pada kelestarian TNLL sebab peningkatan jumlah populasi berarti
peningkatan kebutuhan akan sumberdaya lahan yang pada akhirnya akan
mengakibatkan pula meningkatnya tekanan terhadap Kawasan TNLL. Upaya
yang dapat dilakukan untuk menghindari tekanan terhadap kawasan taman
96
nasional akibat dari pertambahan jumlah penduduk adalah suatu pola
pendekatan pengelolaan yang melibatkan stakeholder terkait.
Selanjutnya, komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin yang ada di
sekitar TNLL terdiri atas 34.309 orang pria (48,7%) dan 36.140 orang wanita
(51,3%). Sementara komposisi umur penduduk di sekitar TNLL ditunjukkan pada
Tabel 10.
Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang berada pada usia
produktif (16-65 tahun) atau masuk dalam kategori tenaga kerja2 (manpower)
sebanyak 46.145 orang (65,50%). Penduduk yang masuk dalam kelompok bukan
tenaga kerja berjumlah 21.902 orang (31,09%) sedang yang berusia lanjut (>65
tahun) berjumlah 2.402 orang (3,41%).
Tabel 10 Jumlah penduduk di sekitar TNLL menurut kelompok umur 2007
No. Kelompok umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)
1. 0 - 5 1.613 2,29
2. 6 - 15 20.289 28,80
3. 16 - 30 21.248 30,16
4. 31 - 50 19.522 27,71
5. 51 - 65 5.375 7,63
6. >65 2.402 3,41
Jumlah 70.449 100,00
Sumber : TNC 2004; BPS Kab. Donggala 2006; BPS Kab. Poso 2006.
4.2.2. Pertumbuhan dan Tekanan Penduduk
Angka pertumbuhan penduduk menunjukan rata-rata pertambahan
penduduk per tahun pada periode tertentu yang dinyatakan dalam persen (%).
Pertumbuhan penduduk biasanya dihitung dengan menggunakan metode
pertumbuhan eksponensial3 (Yasin 2004). Berdasarkan metode ini diketahui
bahwa tingkat pertumbuhan penduduk di sekitar TNLL pada periode 2001 - 2006
rata-rata sebesar 2,32% per tahun. Pertumbuhan penduduk di sekitar TNLL
disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Tingkat pertumbuhan penduduk di sekitar TNLL 2007
2 Tenaga kerja adalah jumlah seluruh penduduk yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada
permintaan terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau berpartisiasi dalam aktivitas tersebut (Kusmosuwidho 2004)
3 Dalam penelitian ini digunakan metode Pertumbuhan Eksponensial, dengan formulasi: Pt = Po .
e r n
di mana Pt = banyaknya penduduk pada tahun terakhir,Po= jumlah penduduk pada tahun awal, dan e = angka eksponensial 2,71828.
97
Tahun Jumlah penduduk
(jiwa) Jumlah
KK Laju pertumbuhan
(%/tahun)
2001 62.508 12.501 -
2002 64.785 15.744 3,51
2003 66.100 16.525 2,03
2004 68.420 17.105 3,10
2005 69.515 17.379 1,60
2006 70.449 17.121 1,34
Sumber : BPS Kab. Donggala 2006; BPS Kab. Poso 2006.
Tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi pada periode 2001-2002
sebesar 3,51%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata
pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 2,32%. Lonjakan ini terkait erat
dengan kerusuhan yang terjadi di Poso, di mana wilayah di sekitar TNLL menjadi
salah satu lokasi penampungan pengungsi. Keadaan ini berlangsung hingga
akhir tahun 2002. Kemudian setelah kondisi di Poso sudah relatif aman,
sebagian pengungsi kembali ke Poso dan selebihnya memilih untuk tetap tinggal
di desa-desa sekitar TNLL. Bagi yang menetap dipinjamkan lokasi oleh
pemerintah desa untuk tempat bermukim dan lahan-lahan yang dapat dikelola
untuk bercocok tanam.
4.2.3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk yang bermukim di desa-desa pada Wilayah
TNLL masih relatif rendah. Rata-rata tingkat pendidikan penduduk adalah
sekolah dasar dan hanya sebagian kecil saja yang berpendidikan Sekolah
Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas. Salah satu masalah yang
menyebabkan keterbasan pendidikan adalah sarana sekolah yang ada di desa-
desa umumnya Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Pertama berada di ibukota-
ibukota kecamatan sehingga untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi, penduduk harus keluar dari desanya dan pergi ke ibukota kabupaten atau
ke ibukota propinsi. Selain itu biaya pendidikan untuk sampai ke jenjang
pendidikan tinggi tergolong mahal. Gambar 11 menunjukkan tingkat pendidikan
penduduk yang ada di sekitar TNLL pada setiap tingkatan.
98
41.6
36.54
13.25
6.23
0.38
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Pers
en
tas
e (
%)
1
TS/tidak tamat SD Tamat SD SLTP SLTA PT (Diploma & S1)
Gambar 11. Persentase jumlah penduduk di sekitar TNLL berdasarkan tingkat pendidikan 2007.
(Sumber : TNC 2004; BPS Kab. Donggala 2006; BPS Kab. Poso 2006.
Gambar 11 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk di sekitar
TNLL masih tergolong rendah, yang ditandai dengan sebagian besar penduduk
(41,6%) tidak tamat SD. Apabila tingkat pendidikan penduduk di sekitar TNLL
dikaitkan dengan program wajib belajar 9 tahun, maka total penduduk yang
berhasil menamatkan pendidikannya sampai pada jenjang SLTP hanya 13,25%.
4.2.4. Mata Pencaharian
Mayoritas penduduk yang hidup di sekitar TNLL mempunyai mata
sebagai petani dan pengumpul hasil hutan antara lain: pengumpul rotan dan
getah damar. Selain itu terdapat sejumlah pedagang dan pegawai negeri sipil.
Secara keseluruhan, mata pencaharian penduduk yang ada di sekitar TNLL
ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12 menunjukkan bahwa mata pencaharian sebagai petani
mendominasi sumber mata pencaharian penduduk yang ada di sekitar TNLL.
Sebagian besar hasil pertanian digunakan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-
hari dan sisanya dijual di pasar desa atau ke Palu. Pendapatan yang dihasilkan
selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar juga untuk membayar uang
sekolah anak-anak mereka. Beras adalah makanan pokok penduduk yang hidup
di sekitar TNLL. Akan tetapi, beberapa desa di sekitar Lembah Kulawi tidak
memiliki akses pada lahan datar yang cocok untuk pertanian lahan basah dan
hampir bergantung sepenuhnya pada pertanian lahan kering.
99
Tabel 12 Jenis mata pencaharian penduduk di sekitar TNLL 2007
No. Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Petani 25.098 54,39
2. Buruh tani 5.565 12,06
3. Pengumpul rotan 678 1,47
4. Pengumpul getah damar 378 0,82
5. Peternak 78 0,17
6. Pengrajin 92 0,20
7. Pedagang hasil bumi 89 0,19
8. Pedagang kayu 14 0,03
9. Pedagang rotan 32 0,07
10. Pertukangan 328 0,71
11. PNS dan (Peg. Pemerintah) 157 0,34
12 Lain-lain 13.636 29,55
Jumlah 46.145 100,00
Sumber : TNC 2004; BPS Kab. Donggala 2006; BPS Kab. Poso 2006.
Di beberapa desa, padi ditanam di sawah tadah hujan yang dipanen
sekali dalam setahun, sementara untuk lahan sawah yang beririgasi dipanen dua
kali dalam setahun. Penggunaan pestisida serta pupuk sangat jarang bahkan
ada petani yang sama sekali tidak menggunakannya dalam kegiatan
pertaniannya. Mata pencaharian penduduk di sekitar TNLL lainnya adalah
sebagai pengrajin dalam pembuatan gula aren merupakan pula sumber
pendapatan yang penting bagi beberapa keluarga yang bermukim di sekitar
TNLL. Air yang disadap dari pohon enau (Arenga pinnata, Merr) selain dapat
dibuat gula aren juga dapat diminum langsung atau difermentasi untuk
menghasilkan minuman sejenis anggur (saguer).
Sejak krisis ekonomi 1997, terlihat peningkatan tanaman tahunan untuk
perdagangan khususnya cacao dan dianggap sebagai salah satu ancaman
terbesar bagi TNLL. Tanaman semusim terutama jagung dan singkong juga
ditanam pada lahan hutan yang telah digunduli.
Sapi dan kerbau dipelihara untuk tenaga penarik dalam transportasi,
sumber daging, dan disimpan sebagai modal. Kuda secara umum dapat ditemui
di beberapa wilayah, khususnya Lembah Bada dan jalan setapak ke Lindu, dan
digunakan sebagai alat transportasi untuk penduduk dan barang. Sebagian
besar keluarga di wilayah ini juga memelihara beberapa ekor ayam untuk
dimanfaatkan daging dan telurnya. Rotan dan kayu dari hutan merupakan
100
sumber pendapatan bagi sejumlah keluarga untuk menunjang kebutuhan hidup
mereka.
4.2.5. Pendapatan
Tingkat pendapatan penduduk yang bermukim di sekitar TNLL masih
tergolong rendah bila dibandingkan dengan UMP-Sulawesi Tengah. Tingkat
pendapatan penduduk di sekitar TNLL ditunjukkan pada Gambar 12.
Gambar 12 menunjukkan bahwa lebih dari 50% KK yang ada di sekitar
TNLL berpendapatan kurang Rp500.000,- dan hanya 9,10% dari total KK yang
berpendapatan lebih dari Rp2.000.000,- per bulan. Hal ini memberikan gambaran
bahwa rata-rata pendapatan masyarakat di sekitar TNLL memang masih rendah.
52.13
27.45
11.32 9.10
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
Pe
rse
nta
se (
%)
<500,000 500,000-
1,000,000
1,000,000-
2,000,000
>2,000,000
Gambar 12 Persentase tingkat pendapatan masyarakat di sekitar TNLL 2007.
Sumber : BPS Kab. Donggala 2006; BPS Kab. Poso 2006, diolah.
4.2.6. Pemanfaatan Lahan
Tekanan yang disebabkan oleh pemanfaatan lahan dan pemukiman
penduduk terhadap TNLL terus meningkat jumlahnya, bahkan penyerobotan
Kawasan TNLL untuk kegiatan pertanian belum bisa teratasi pada beberapa
desa yang berbatasan langsung dengan TNLL diantaranya Desa Sintuwu, Desa
Kamarora, Desa Rahmat, dan Desa Kadidia. Terlihat pula pembukaan lahan
pada kedua enclave (Besoa dan Lindu) serta konversi lahan di sekitar Bagian
Utara TNLL. Untuk membatasi pembukaan lahan baru di wilayah ini diperlukan
penegakan hukum yang ketat, terutama dengan adanya jalan setapak yang
diidentifikasi bahwa rute-rute ini merupakan akses utama untuk perburuan,
pengambilan hasil hutan lainnya, dan hasil bumi untuk perdagangan.
101
4.2.7. Hidrologi
Wilayah TNLL sangat penting bagi pembangunan Provinsi Sulawesi
Tengah karena daerah ini merupakan daerah tangkapan hujan bagi dua sungai
besar, yakni Sungai Gumbasa di Bagian Utara yang bergabung dengan Sungai
Palu di Bagian Barat serta Sungai Lariang di Bagian Timur dan Selatan serta
sebagian Bagian Barat (BTNLL 2001). Ditinjau dari posisi TNLL, areal ini adalah
salah satu daerah yang sangat penting karena di samping merupakan daerah
tangkapan hujan, juga sebagai lokasi yang dapat menunjang peningkatan
ekonomi mengingat air merupakan komponen dasar peningkatan produksi
pertanian, pembangunan industri, dan pesatnya pertumbuhan urbanisasi
tergantung pada terjaminnya pasokan air bersih yang berasal dari wilayah
tangkapan di TNLL dan juga pegunungan-pegunungan sekitarnya.
Ketergantungan pada TNLL sebagai sumber air secara berkesinambungan
menjadi aspek penting bagi pertumbuhan ekonomi dan infrastuktur di Palu dan
sekitarnya.
Kota Palu sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah sering disebut
sebagai kota yang relatif kering di Indonesia dengan menerima kurang dari 500
mm curah hujan dalam setahun dengan beberapa bulan kering yang memiliki
curah hujan kurang dari 100 mm. Data yang diperoleh dari BTNLL, TNC, dan
Ditjen PHKA (2004) ternyata bahwa air dari TNLL ditaksir bernilai sekitar US$
900 juta dalam setahun yang dapat diberikan kepada ibu kota Provinsi Sulawesi
Tengah.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Fokus kajian yang dibahas pada bab ini dimulai dengan karakteristik
responden, bagaimana proses terjadinya KKM, bagaimana kepentingan masing-
masing stakeholder terkait dengan TNLL, partisipasi masyarakat dalam upaya
pengelolaan taman nasional terutama yang berkaitan dengan kegiatan
pelestarian kawasan, pengamanan kawasan, dan kegiatan pelatihan/
penyuluhan. Selanjutnya diuraikan pula tentang bagaimana penerapan prinsip
dasar co-management dalam pengelolaan TNLL, dan konsep co-management
untuk TNLL.
102
5.1. Karakteristik Responden
5.1.1. Umur Responden
Umur mempengaruhi kemampuan fisik seseorang untuk bekerja dan cara
berpikir dalam menerima sesuatu yang baru. Umur muda dan sehat mempunyai
kemampuan fisik lebih besar dibanding umur tua, akan tetapi umur yang muda
biasanya masih kurang memiliki pengalaman. Umur responden dalam penelitian
ini ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13 Umur responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM 2007
Umur (tahun)
Kelompok Desa
Desa KKM Desa Non-KKM
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)
15-65 35 77,78 38 84,44
>65 10 22,22 7 15,56
Jumlah 45 100,00 45 100,00
Keterangan: - Rata-rata umur responden di desa KKM= 42 tahun
- Rata-rata umur responden di desa non-KKM = 41 tahun
Tabel 13 menunjukkan bahwa umur responden di wilayah penelitian pada
umumnya berada pada kelompok umur produktif (15-65 tahun) baik yang
bermukim di desa KKM (77,78%) maupun di desa non-KKM (84,44%). Rata-rata
umur responden di desa KKM adalah 44 tahun sementara untuk desa non-KKM
umur responden rata-rata 42 tahun.
5.1.2. Tingkat Pendidikan
Pendididikan akan mempengaruhi pola pikir seseorang untuk lebih cepat
tanggap terhadap keadaan lingkungan. Pendidikan responden dalam penelitian
ini diukur berdasarkan tingkat pendidikan yang pernah ditempuh secara formal.
Tingkat pendidikan responden di desa KKM dan desa non-KKM ditunjukkan pada
Tabel 14.
103
Tabel 14 Tingkat pendidikan responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa Non-KKM 2007
Pendidikan Kelompok Desa
Desa KKM Desa Non-KKM
Jumlah responden
(orang)
Persentase (%)
Jumlah responden
(orang)
Persentase (%)
Tidak tamat SD 18 40,00 22 48,89
Tamat SD 17 37,78 16 35,56
Tamat SLTP 7 15,56 5 11,11
Tamat SLTA 3 6,67 2 2,22
Jumlah 45 100,00 45 100,00
Sumber : Data Primer setelah diolah 2007.
Tabel 14 menunjukkan bahwa ada 40% masyarakat lokal yang ada di
desa KKM yang tidak tamat SD sementara masyarakat di desa non-KKM sekitar
48,89% yang tidak tamat SD. Apabila mengacu pada program wajib belajar 9
tahun, maka hanya 15,56% masyarakat di desa KKM yang tamat SLTP dan
hanya 11,11% di desa non-KKM. Tabel 14 menunjukkan pula bahwa masyarakat
lokal yang ada di desa KKM maupun di desa non-KKM pada umumnya masih
berpendidikan rendah.
5.1.3. Intensitas Penyuluhan
Intensitas`penyuluhan yang pernah diikuti oleh masyarakat lokal
diharapkan dapat meningkatkan keterampilan dalam berusahatani, terutama
diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
kelestarian taman nasional. Intensitas penyuluhan yang pernah diikuti oleh
masing-masing responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM
dalam 2 (dua) tahun terakhir ditunjukkan pada Tabel 15.
104
Tabel 15 Intensitas penyuluhan yang dikuti oleh masyarakat lokal dalam dua tahun terakhir di desa KKM dan desa non-KKM 2007
Intensitas penyuluhan yang
diikuti Kelompok Desa
Desa KKM Desa Non-KKM
Jumlah responden
(orang)
Persentase (%)
Jumlah responden
(orang)
Persentase (%)
Rendah 4 8,89 25 55,56
Sedang 13 28,89 11 24,44
Tinggi 28 62,22 9 20,00
Jumlah 45 100,00 45 100,00
Keterangan : Rata-rata penyuluhan yang dilaksanakan setiap tahun = 6 kali.
Tabel 15 menunjukkan bahwa jumlah responden masyarakat lokal di
desa KKM dengan intensitas penyuluhan yang tinggi sebesar 62,22% sementara
masyarakat yang bermukim di desa non-KKM hanya 20% dari jumlah responden
dengan intensitas penyuluhan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa antusias
masyarakat di desa KKM untuk mengikuti penyuluhan lebih tinggi dibanding
dengan masyarakat yang bermukim di desa non-KKM.
5.1.4. Pendapatan
Pendapatan responden masyarakat lokal yang bermukim di desa KKM
dan desa non-KKM dalam sebulan ditunjukkan pada Tabel 16.
Tabel 16 Pendapatan masyarakat lokal dalam sebulan di desa KKM dan desa non-KKM 2007
Pendapatan (Rp) Kelompok Desa
Desa KKM Desa Non-KKM
Jumlah responden
(orang)
Persentase (%)
Jumlah responden
(orang)
Persentase (%)
<500.000 22 48,89 26 57,78
500.000-1.000.000 13 28,89 12 26,67
1.000.000-2.000.000 6 13,33 5 11,11
>2.000.000 4 8,89 2 4,44
Jumlah 45 100,00 45 100,00
Keterangan : - Rata-rata pendapatan masyarakat lokal di desa KKM sebesar Rp442.365/bulan.
- Rata-rata pendapatan masyarakat lokal di desa non-KKM sebesar Rp416.217/bulan.
105
Tabel 16 menunjukkan bahwa sekitar 48,89% masyarakat di desa KKM
yang pendapatannya kurang dari Rp500.000/bulan. Sementara pendapatan
masyarakat di desa non-KKM menunjukkan bahwa lebih dari 50% masyarakat
lokal yang berpendapatan kurang Rp500.000,-.
Berdasarkan pendapatan rata-rata masyarakat yang ada di desa KKM
(Rp442.365/bulan) maka dapat dikatakan bahwa pendapatan yang diterima
masyarakat di desa KKM lebih tinggi sekitar 6,3% dibanding dengan pendapatan
yang diterima oleh masyarakat di desa non-KKM (Rp416.217). Hal ini
disebabkan karena jumlah masyarakat yang berpendidikan SLTP maupun SLTA
di desa KKM lebih banyak dibanding dengan jumlah masyarakat yang bermukim
di desa non-KKM (Tabel 14), begitu pula dengan jumlah masyarakat yang
intensitas penyuluhannya tinggi lebih banyak di desa KKM dibanding dengan
jumlah masyarakat yang bermukim di desa non-KKM (Tabel 15).
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Soekartawi et al. (1985) bahwa pendidikan pada umumnya mempengaruhi cara
berpikir dan keterampilan seseorang (petani) untuk lebih dinamis, berani
menerima dan mencoba suatu hal baru dibanding dengan petani yang
berpendidikan rendah. Selanjutnya dikemukakan bahwa pendidikan yang tinggi
kemungkinan akan lebih mudah menangkap dan mencerna materi penyuluhan
sehingga menyebabkan petani lebih menguasai pekerjaannya (Soekartawi et
al.1985).
5.2. Proses terbentuknya KKM dan Implementasinya
Kesepakatan konservasi masyarakat (KKM) dibangun untuk
menjembatani kepentingan konservasi dan kepentingan ekonomi masyarakat
yang didasarkan pada kesejarahan dan hukum adat masyarakat setempat.
Penyusunan draf kesepakatan pada beberapa desa yang ada di sekitar TNLL
menunjukkan peran LSM yang cukup besar dalam memformulasi atau
menghasilkan draf kesepakatan. Berikut ini akan diuraikan bagaimana proses
terbentuknya KKM di beberapa desa yang terdapat di sekitar TNLL (diskusi
pribadi dengan ketua lembaga adat ; kepala desa; LSM April 2007).
Kesepakatan yang telah dibangun di beberapa desa di sekitar TNLL
dengan keterlibatan LSM sebagai fasilitator, diformulasi atau disusun secara
langsung oleh masyarakat bersama-sama dengan lembaga adat dan kepala
desa. LSM sebagai fasilitator dalam penyusunan kesepakatan percaya bahwa
masyarakat lokal merupakan orang yang terbaik dalam menjaga sumberdaya
106
alam mereka, sehingga perwakilan masyarakat lokal memiliki tanggung jawab
untuk menyusun draf kesepakatan.
Konsep kesepakatan konservasi (KKM) yang telah disusun oleh
penduduk lokal (wakil dari masyarakat, lembaga adat, dan kepala desa)
diserahkan kepada pihak LSM, memuat tentang sistem kepemilikan tanah dan
sanksi adat yang kemudian menjadi poin yang esensial dalam pengakuan
kesepakatan itu. Pada prinsipnya, fokus dari ide kesepakatan tersebut adalah
masalah pengakuan hak-hak tanah adat mereka yang terdapat di dalam
kawasan taman nasional. Mengacu pada konsep kesepakatan yang diterima oleh
LSM tersebut, maka final kesepakatan konservasi tersebut diformulasi oleh pihak
LSM.
Berdasarkan kesepakatan yang telah disusun, maka otoritas taman
nasional mengakui naskah kesepakatan tersebut. Selanjutnya implementasi dari
kesepakatan ini berdampak positif pada kecenderungan kelestarian taman
nasional dengan adanya partisipasi masyarakat lokal dalam mengawasi
masyarakat luar agar tidak memanfaatkan atau mengambil sumberdaya yang
terdapat dalam kawasan.
Proses penyusunan draf kesepakatan lainnya yang juga difasilitasi oleh
LSM, masyarakat tidak terlibat langsung dalam penyusunan kesepakatan tetapi
berperan penting dalam memberikan informasi kepada LSM yang kemudian draf
kesepakatan diformulasi oleh LSM. Jadi draf kesepakatan tersebut lebih
mengarah pada hasil pemikiran LSM ketimbang sebagai wujud dari hasil diskusi
masyarakat desa. Pihak LSM juga menyatakan bahwa penduduk lokal tidak
secara langsung bertanggung jawab terhadap penyusunan draf kesepakatan,
tetapi semua informasi dari masyarakat digunakan dalam penyusunan draf
kesepakatan. Laporan yang dihasilkan dalam waktu dua bulan terakhir sebelum
proyek tersebut berakhir juga menunjukkan keterbatasan partisipasi masyarakat
dalam penyusunan kesepakatan tersebut.
Kesepakatan yang dihasilkan tersebut lebih cenderung untuk mengejar
target terbangunnya kesepakatan konservasi di beberapa desa sekitar kawasan,
dibanding dengan bagaimana proses yang seyogyanya dilaksanakan untuk
membangun suatu kesepakatan. Implementasi dari kesepakatan ini
memperlihatkan bahwa masih ditemukan kegiatan perambahan maupun kegiatan
illegal logging.
107
5.3. Kepentingan Stakeholder
Masyarakat di sekitar TNLL merupakan stakeholder utama dengan
kepentingan yang berbeda terhadap taman nasional dibandingkan dengan
stakeholder lainnya, khususnya otoritas TNLL.
5.3.1. Kepentingan Masyarakat lokal
Kepentingan masyarakat lokal akan lahan adat (kebun) yang telah
dikelola sebelum penetapan kawasan, menimbulkan konflik dengan pihak BTNLL
yang menginginkan agar masyarakat lokal tidak berkebun di dalam kawasan
taman nasional. Kepentingan masyarakat yang ada di desa KKM dan desa non-
KKM terkait dengan TNLL ditunjukkan pada Tabel 17.
Tabel 17 menunjukkan bahwa kepentingan masyarakat lokal terkait
dengan taman nasional diantaranya adalah bahwa masyarakat berkepentingan
untuk tetap dapat memetik hasil tanaman kopi/kakaonya baik untuk desa KKM
maupun masyarakat yang ada di Desa Nono-KKM. Selain itu 55,56% masyarakat
di desa KKM mengharapkan tetap dapat mengambil rotan sebagai sumber
pendapatan dan untuk desa non-KKM 64,44% diantaranya yang masih
mengharapkan tetap dapat mengambil rotan, dan masyarakat juga menginginkan
ketersediaan kayu untuk konstruksi rumah tinggal, dan ketersediaan kayu untuk
pembangunan sarana sosial seperti rumah ibadah, lobo dan bantaya.
Pengambilan kayu untuk bahan bangunan rumah tinggal dan atau bangunan
rumah ibadah sesuai dengan yang tertuang dalam naskah Kesepakatan
Konservasi Masyarakat (KKM) pada Pasal 9 antara masyarakat pada kelompok
desa KKM dengan pihak BTNLL, hanya dapat dilakukan oleh masyarakat dengan
seizin lembaga adat. Mekanisme pengambilan kayu dilakukan oleh anggota
masyarakat dengan mengajukan surat permohonan kepada lembaga adat
dengan mencamtumkan berapa m3 yang akan diambil, jenis kayu apa, dan
lokasinya di mana. Selanjutnya lembaga adat bersama kepala desa meniliti surat
permohonan yang diajukan oleh anggota masyarakat tersebut, kemudian surat
izin untuk mengambil kayu dalam kawasan dikeluarkan oleh lembaga adat
dengan tetap mencamtumkan berapa m3 yang akan diambil, jenis kayu apa,
diperuntukkan untuk apa, dan lokasinya di mana.
108
Tabel 17 Persentase kepentingan masyarakat pada dua kelompok desa terkait dengan TNLL 2007
Kepentingan stakeholder
Persentase masyarakat lokal berdasarkan pilihan kepentingan (%)
Desa KKM Desa Non-KKM
MMSK MYTP Total MMSK MYTP Total
Hak adat/hak kelola dari lahan di dalam kawasan yang telah dijadikan kebun sebelum penetapan kawasan diakui dan tetap dapat dimanfaatkan atau diolah
82,22
17,78
100,00 93,33 6,67 100,00
Masyarakat tetap dapat memungut hasil tanaman kopi/kakaonya
71,11 28,89 100,00 86,67 13,33 100,00
Masyarakat tetap dapat memungut rotan dan damar sebagai sumber pendapatan
55,56 44,44 100,00 64,44 35,56 100,00
Ketersediaan kayu untuk konstruksi rumah tinggal
31,11 68,89 100,00 42,22 57,78 100,00
Ketersediaan kayu untuk pembangunan sarana sosial (rumah ibadah, lobo, dan bantaya)
22,22 77,78 100,00 20,00 80,00 100,00
Rata-rata 52,44 47,56 100,00 61,31 38,69 100.00
Keterangan : -Jumlah responden untuk desa KKM dan desan non-KKM masing-masing = 45 orang
-MMSK = masyarakat yang memilih sebagai suatu kepentingan
- MYTP = masyarakat yang tidak memberikan pilihan.
Terkait dengan masalah kayu, sama sekali tidak diperkenankan meng-
ambil kayu untuk tujuan komersil baik di desa KKM maupun pada desa non-
KKM. Namun demikian kondisi faktual yang terlihat di lapangan ditemukan
adanya pengangkutan kayu secara illegal yang diperkirakan 5 m3 (satu mobil
truk) ditemukan di desa KKM yang kemudian digagalkan oleh pihak Tondo Ngata
(kelompok pengamanan kawasan).
Kasus lain yang juga terjadi di desa KKM, pada tahun 2005 penebangan
kayu yang diperkirakan sebanyak 3 m3 dilakukan oleh salah satu anggota
masyarakat tanpa seizin lembaga adat sekalipun alasan yang dikemukakan oleh
pelaku bahwa untuk kepentingan membangun rumah kost anaknya di Kota Palu.
Menurut pelaku pengambilan kayu tersebut untuk tujuan domestik akan tetapi
oleh lembaga adat tetap dikategorikan sebagai pelanggaran kesepakatan yang
telah dibangun dan telah dituangkan dalam naskah KKM. Kasus ini disidangkan
di lembaga adat, dan kemudian lembaga adat memberikan sanksi adat berupa:
109
tolu ungu, tolo mpulu, tolu ngkau (tiga ekor hewan kerbau atau sapi, tiga puluh
dulang/piring, dan tiga lembar kain mbesa/kain adat), yang apabila dikonversi ke
nilai rupiah, kurang lebih senilai Rp6.500.000,00 (enam juta lima ratus ribu
rupiah). (hasil diskusi dengan anggota Kelompok Tondo Ngata dan Ketua
Lembaga Adat 2007). Sanksi adat tersebut dikenakan pada pelaku pelanggaran
yang terkait dengan hasil hutan berupa; kayu, rotan, gaharu, damar, dan
perburuan hewan yang dilindungi diantaranya anoa dan babi rusa (hasil diskusi
dengan anggota kelompok Tondo Ngata dan Ketua Lembaga Adat 2007).
Sementara untuk desa non-KKM, perambahan kawasan diawali dengan illegal
logging yang dilakukan oleh masyarakat lokal kemudian hasil tebangan illegal
tersebut di serahkan kepada cukong kayu yang berasal dari Kota Palu.
Tabel 17 menunjukkan pula bahwa pilihan kepentingan masyarakat lokal
yang ada di sekitar TNLL untuk tetap mempertahankan hak adat/hak kelola dari
lahan yang terdapat di dalam taman nasional memperlihatkan persentase
tertinggi dibanding kepentingan lainnya. Hal ini berindikasi bahwa kepentingan
utama dari masyarakat lokal adalah pemanfaatan lahan adat mereka yang
berada di dalam kawasan taman nasional yang telah menjadi sumber mata
pencaharian mereka secara turun temurun baik pada kelompok desa KKM
maupun pada desa non-KKM. Kepentingan akan lahan adat tersebut di desa
KKM telah terakomodir melalui kesepakatan yang dibangun dan disetujui oleh
pihak BTNLL, akan tetapi pada desa non-KKM masih berkisar pada keinginan
untuk memperjelas status kepemilikan lahan atau sumberdaya yang ada dalam
kawasan taman nasional.
Menurut masyarakat lokal di desa non-KKM ketidak jelasan status lahan
di dalam kawasan yang masyarakat telah olah sebelum penetapan kawasan,
memberikan dampak ketidak nyamanan dalam pemanfaatan sumberdaya yang
merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Ketidak nyamanan yang
dirasakan oleh masyarakat lokal sejak adanya Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993 pada tanggal 5 Oktober 1993 tentang
penunjukan Kawasan TNLL (baca Sub Bab Diskripsi TNLL), yang pada saat itu
mulai pemberlakukan aturan yang melarang masyarakat lokal untuk mengambil
atau memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan tanaman
nasional. Pemberlakuan aturan ini didukung pula Pemerintah Daerah Propinsi
Sulawesi Tengah dengan keluarnya SK Gubernur No.592/1993 tentang tidak
diakuinya keberadaan lahan adat di Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah.
110
Kebijakan yang melarang masyarakat lokal untuk tidak lagi melakukan
kegiatan di dalam kawasan TNLL, membuat masyarakat tidak nyaman dalam
beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya. Alasan ketidak nyamanan tersebut
diungkapkan oleh masyarakat bahwa: apabila polisi hutan menemukan
masyarakat membawa rotan yang berasal dari kawasan taman nasional maka
anggota masyarakat yang ditemukan tersebut di tahan oleh polisi hutan dan
rotan yang dibawahnya akan dirusak (dipotong-potong). Selain itu polisi hutan
juga menebang tanaman kopi atau tanaman kakao masyarakat lokal yang
ditemukan di dalam kawasan taman nasional. Jumlah responden masyarakat
lokal di desa non-KKM yang merasakan ketidak nyamanan dalam beraktivitas
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terkait dengan sumberdaya yang terdapat
dalam kawasan TNLL ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Jumlah dan alasan responden masyarakat lokal di desa non-KKM yang merasakan ke tidak nyamanan terkait dengan sumberdaya yang terdapat di dalam TNLL 2007
No. Alasan yang dikemukakan
Jumlah dan persentase responden
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1. Takut kalau rotan yang diambil dipotong-potong oleh polisi hutan
25 55,56
2. Takut tanaman kopi/kakaonya ditebang oleh polisi hutan
12 26,67
3. Takut ditangkap oleh polisi hutan 8 17,77
Total 45 100,00
Sumber: Data Primer setelah diolah 2007.
Tabel 18 menunjukkan ketidak nyamanan yang dirasakan oleh
masyarakat lokal di desa non-KKM dalam memanfaatkan sumberdaya alam
yang terdapat di dalam kawasan TNLL. Masyarakat merasa tidak aman karena
takut tanaman kopi/kakaonya ditebang oleh polisi hutan (55,56%) dan ada
26,67% dari responden yang merasa tidak aman sebab takut kalau rotan yang
diambil dipotong-potong atau dicincang oleh polisi hutan. Selain itu masyarakat
lokal merasa takut, berusaha jangan sampai tertangkap oleh polisi hutan. Kondisi
ini berlangsung kurang lebih 5 tahun (sejak 1993) sampai akhirnya masyarakat
mulai melakukan perlawanan pada 1998 (zaman reformasi). Salah satu bentuk
perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat adalah dengan memasang jerat
untuk menangkap anoa di dalam kawasan dan kemudian konflik secara terbuka
terjadi pada tahun 2001 dimana masyarakat yang bermukim di desa non-KKM
melakukan perlawanan terhadap tindakan polisi hutan yang menurut masyarakat
111
lokal tidak dapat lagi ditolerir, sebab selain polisi hutan menebang tanaman
kopi/cacao masyarakat, polisi hutan juga membakar dangau yang dibuat oleh
masyarakat. Bentuk perlawanan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat di desa
non-KKM adalah dengan mebakar dua unit pos penjagaan polisi hutan dan
selanjutnya sebanyak 1.030 KK masyarakat masuk ke dalam kawasan taman
nasional menebang kayu, berkebun dan sekaligus bermukim di dalam kawasan.
Perlawanan masyarakat lokal terhadap polisi hutan atau konflik terbuka
yang terjadi antara masyarakat lokal dengan polisi hutan (pihak BTNLL) di desa
non-KKM lebih diakibatkan karena perbedaan kepentingan dan perbedaan
akuan hak kepemilikan. Masyarakat lokal merasa bahwa lahan yang terdapat di
dalam kawasan TNLL yang dikelola atau dimanfaatkan masyarakat selama ini
merupakan hak adat/hak kelola masyarakat yang telah menjadi sumber mata
pencaharian masyarakat secara turun temurun. Disisi lain pihak BTNLL melalui
polisi hutan merasa memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan tugasnya
untuk mengamankan kawasan TNLL.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Priscoli (1997) bahwa ada lima penyebab utama terjadinya konflik diantaranya
adalah kepentingan, sementara Tadjudin (2000) berpendapat pula bahwa
sumber konflik karena adanya perbedaan pada berbagai tataran diantaranya
adalah perbedaan kepentingan dan perbedaan akuan kepemilikan, kemudian
Fuad dan Maskanah (2000) mengemukakan bahwa konflik yang mencuat akhir-
akhir ini lebih disebabkan karena tumpang tindihnya kepentingan pada suatu
wilayah hutan yang sama.
Selanjutnya konflik antara polisi hutan (pihak BTNLL) dengan masyarakat
lokal juga disebabkan karena masyarakat lokal merasa sudah berulangkali
diperlakukan dengan cara yang kurang manusiawi oleh polisi hutan. Perlakuan
yang dinilai kurang manusia dari tindakan polisi hutan yang dirasakan oleh
masyarakat di desa non-KKM ditunjukkan pada Tabel 19.
Tabel 19 menunjukkan bahwa masyarakat yang pernah mengalami
tindakan polisi hutan yang dinilai oleh masyarakat kurang manusiawi yakni rotan
miliknya dipotong-potong oleh polisi hutan 24,44%, sedang yang pernah
ditebang kopi/kakaonya sebesar 17,78%, dan yang dibakar dangaunya sebanyak
6,67%. Apabila mengacu pada kepentingan masyarakat lokal di desa non-KKM
untuk memanfaatkan sumberdaya yang terdapat di dalam TNLL terutama
pemanfaatan sumberdaya lahan yang merupakan sumber mata pencaharian
112
masyarakat tidak terpenuhi, maka konflik tentang pemanfaatan sumberdaya
lahan antara masyarakat dengan pihak BTNLL belum dapat terselesaikan.
Karena itu prioritas yang harus dipenuhi adalah penyelesain masalah lahan yang
diklaim sebagai lahan adat oleh masyarakat yang terdapat di dalam kawasan
TNLL.
Tabel 19. Persentase masyarakat lokal yang pernah mengalami tindakan yang dinilai kurang manusiawi dari polisi hutan di desa non-KKM 2007
N0. Uraian Persentase (%)
1. Masyarakat yang pernah dipotong-potong rotannya 24,44
2. Masyarakat yang pernah ditebang kopi/kakaonya 17,78
3. Masyarakat yang dibakar dangaunya 6,67
4. Masyarakat terhindar dari perlakuan yang dinilai kurang manusiawi 51,11
Total 100,00
Sumber: Data Primer setelah diolah 2007.
Berkaitan dengan masalah lahan, masyarakat lokal yakni penduduk asli
cenderung untuk menjual lahannya demi memperoleh uang guna memenuhi
kebutuhannya terutama pada acara-acara pesta kematian atau acara pernikahan
anaknya, sehingga kebanyakan dari penduduk asli justru memiliki lahan yang
relatif sempit. Pada saat yang sama, tidak ada sumber pendapatan lain yang
signifikan kecuali dari pertanian, peternakan dan pemanfaatan hasil hutan.
Penjualan lahan yang dilakukan oleh responden masyarakat lokal di desa KKM
dan desa non-KKM untuk memenuhi kebutuhannya pada acara kematian dan
acara pernikahan pada wilayah penelitian ditunjukkan pada Gambar 13.
0
5
10
15
20
25
30
Pe
rsen
tase P
enju
ala
n
lahan
Menjual lahan
untuk biaya
pesta kematian
Menjual lahan
untuk biaya
pernikahan anak
Menjual lahan
untuk membayar
hutang
Alasan penjualan lahanDesa KKM Desa Non-KKM
Gambar 13 Persentase masyarakat dan alasan penjualan lahan di desa KKM dan desa non-KKM 2007.
113
Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa penjualan lahan yang dilakukan
oleh masyarakat yang bermukim di desa non-KKM untuk memenuhi
kebutuhannya pada acara pesta kematian menunjukkan persentase yang tinggi
(26,67%) dibanding dengan penjualan lahan yang dilakukan oleh masyarakat
lokal pada desa KKM (15,56%). Total masyarakat yang melakukan penjualan
lahan pada desa KKM untuk kebutuhan acara pesta kematian, biaya pernikahan
anak, dan untuk membayar hutang sebesar 26,67%, sementara untuk
masyarakat yang bermukim di desa non-KKM sebanyak 51,12%. Tingginya
penjualan lahan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di desa non-KKM
menyebabkan masyarakat yang ada di desa non-KKM terutama penduduk asli
memiliki lahan yang relatif sempit (rata-rata 0,8 Ha) bahkan ada diantara
penduduk asli yang sudah menjadi buruh tani pada lahannya sendiri (24,44%),
sementara penduduk migran (terutama etnis Bugis) justru memiliki lahan yang
relatif lebih luas (rata-rata >2 Ha) .
Munculnya masalah pemanfaatan lahan juga disebabkan tingginya harga
pasar untuk beberapa komoditi ekspor terutama kakao yakni rata-rata seharga
Rp11.000/kg bahkan harga kakao pernah mencapai Rp20.000/kg, sehingga
masyarakat lokal terutama pada desa non-KKM memiliki semangat yang tinggi
untuk menanam kakao sebagaimana yang dilakukan oleh para pendatang
(terutama Etnis Bugis). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Sitorus (2002) yang mengemukakan bahwa laju konversi
hutan menjadi kebun kakao disebabkan karena tingginya harga komoditi
tersebut.
Luasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat di desa non-KKM yang relatif
sempit plus semangat untuk menanam kakao yang tinggi, mengakibatkan
masalah kelangkaan lahan tidak dapat terhindarkan. Kondisi ini memicu konversi
hutan menjadi kebun kakao, termasuk kawasan TNLL yang akhirnya
menimbulkan konflik pemanfaatan lahan antara penduduk lokal dengan pihak
otoritas taman nasional. Konflik pemanfaatan lahan ini ditandai dengan adanya
sejumlah masyarakat yang berkebun di dalam kawasan taman nasional (55,56%
dari total responden). Kalau situasi ini tidak diantisipasi akan menyebabkan
rusaknya fungsi kawasan sebagai pencegah banjir, pencegah erosi, pengatur
tata air, dan sumber plasma nuftah. Kerusakan fungsi kawasan tersebut akan
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat luas dibanding
dengan manfaat yang diterima oleh segelintir orang yang mengkonversi lahan
114
hutan menjadi kebun kakao. Masyarakat lokal yang ada di desa non-KKM selain
masuk ke dalam taman nasional berkebun kakao (55,56%), ada pula diantara
masyarakat yang mendirikan bangunan rumah di dalam kawasan taman nasional
(15,56%) dari total responden (Gambar 14).
Masalah penting lainnya yang menarik pula untuk diketahui adalah para
keluarga migran atau pendatang berupaya untuk tidak merambah kawasan, atau
mengkonversi lahan hutan yang belum mereka beli. Namun demikian, Sitorus
(2002) mengemukakan bahwa Migran Bugis juga memiliki lahan pertanian illegal
di dalam taman nasional yang mereka dapatkan dengan membeli dari penduduk
asli.
Secara ringkas pilihan kepentingan masyarakat lokal yang bermukim di
desa KKM dan desa non-KKM disajikan pada Gambar 15.
82.2
2
71
.11
55.5
6
31
.11
22
.22
93.3
3
86
.67
64.4
4
42
.22
20.0
0
0102030405060708090
100
Pe
rsen
tas
e (
%)
Desa KKM Desa Non-KKM
Kepentingan masyarakat
tanah adat kopi,kakao rotan,damar kayu rumah kayu sosial
Gambar 15 Persentase kepentingan masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM 2007.
Gambar 14. Masyarakat berkebun dan bermukim dalam kawasan TNLL (Dokumentasi penulis 2007).
115
Selain kepentingan masyarakat lokal yang telah diuraikan di atas
beberapa manfaat dari keberadaan taman nasional yang dikemukakan oleh
masyarakat di desa KKM dan desa non-KKM diantaranya: air bersih tersedia
sepanjang waktu, terhindar dari tanah longsor, dan banjir tidak terjadi. Untuk
mengetahui prosentase masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM yang
mengemukakan manfaat dari keberadaan taman nasional ditunjukkan pada
Tabel 20.
Tabel 20 Prosentase masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM berdasarkan manfaat keberadaan TNLL yang dikemukakan 2007
No. Manfaat keberadaan TNLL
Persentase masyarakat lokal (%)
Desa KKM
Desa Non-KKM
1. Air bersih tersedia sepanjang waktu 57,78 51,11
2. Terhindar dari tanah longsor 24,44 28,89
3. Mencegah terjadinya banjir 17,78 20,00
Total 100,00 100,00
Sumber: Data Primer setelah diolah 2007.
Tabel 20 menunjukkan bahwa lebih dari 50% masyarakat yang bermukim
di desa KKM maupun desa non-KKM yang mengatakan bahwa salah satu
manfaat dari keberadaan kawasan TNLL adalah ketersediaan air bersih
sepanjang waktu, kemudian manfaat lain dari keberadaan TNLL yakni
masyarakat dapat terhindar dari tanah longsor, dan mencegah terjadinya banjir.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mappatoba
(2004) mengemukakan bahwa beberapa indikasi tentang kepentingan
masyarakat lokal terhadap taman nasional dapat dibagi menjadi: (1) hutan
sebagai sumber penghasilan dan pemungutan bahan makanan tambahan dan
tanaman obat; (2) hutan sebagai simbol kepercayaan dan inspirasi; (3) hutan
sebagai sumber air, pencegah banjir, dan penyimpanan kayu; (4) hutan sebagai
faktor produksi untuk membangun ekonomi desa, dan (5) hutan sebagai
cadangan lahan untuk generasi yang akan datang.
Masyarakat adat di desa KKM diidentifikasi sebagai pemegang kuat adat
tradisional yang telah mengklaim hak-hak tanah adat mereka yang berada di
dalam TNLL untuk mereka kelola. Sistem pengelolaan lahan yang dilakukan
oleh masyarakat adat di desa KKM dilakukan dengan sistem kategorisasi lahan
secara tradisional. Sistem kategorisasi menentukan bentuk-bentuk akses atas
116
lahan dan hasil hutan di wilayah desa KKM. Ada kategori lahan hutan yang
sama sekali tidak bisa dikelola dan hanya bisa dimanfaatkan hasil hutannya.
Ada pula kategori lahan hutan yang dapat dikelola, biasanya yang belum ada
hak penguasaan di dalamnya. Selain itu ada pula kategori lahan hutan dan jenis-
jenis hasil hutan yang sudah ada hak penguasaan, sehingga tidak bisa diakses
oleh sembarang orang tanpa seijin pemiliknya (Golar 2007).
Sebagai salah satu contoh kategorisasi lahan di desa KKM yakni areal
seluas ±18.360 Ha telah dikategorikan menurut status tanah adat yang memiliki
kecenderungan setara dengan sistem pengelolaan taman nasional. Kesetaraan
sistem pengelolaan tradisional dengan sistem pengelolaan taman nasional
adalah (1) zona inti yang disebut dengan wanangkiki seluas ±2.300 ha, (2) zona
rimba yang sistem tradisionalnya dikenal dengan wana seluas 11.290 ha, tempat
dimana kegiatan pertanian dilarang tetapi hasil kayu dan non kayu dimungkinkan
dapat diambil untuk kebutuhan sehari-hari dan pengambilannya tergantung dari
izin lembaga adat, (3) zona tradisional yakni hutan sekunder yang disebut
pangale seluas 2.950 ha adalah hutan yang pernah digunakan untuk
perladangan berpindah dan sekarang sebagai cadangan untuk berbagai macam
kegiatan non pertanian menurut peraturan adat tradisional, dan (4) zona
pemanfaatan intensif dikenal dengan istilah oma 1.820 ha yakni areal hutan
yang dialokasikan untuk pertanian lahan kering baik untuk tanaman semusim
maupun untuk tanaman tahunan. Total rincian berdasarkan kategori adat/zoning
taman nasional tersebut digambarkan secara rinci pada Peta partisipatif wilayah
adat di salah satu desa KKM yang dapat dilihat pada Lampiran 3.
Kategorisasi lahan adat yang telah diuraikan di atas diperjelas oleh
Lagimpu (2002) bahwa salah satu masyarakat adat di desa KKM membagi
kawasan hutan di wilayah adatnya ke dalam 6 (enam) kategori yakni:
a. Wana Ngkiki, merupakan kawasan hutan yang berada di puncak-puncak
gunung, jauh dari pemukiman penduduk, merupakan kawasan inti yang
sangat penting karena dianggap sebagai sumber udara segar (winara).
Kawasan hutan ini tidak dibebani hak kepemilikan individu (dodoha) dan tidak
dapat dikelola. Secara tradisional, mereka mencirikan kawasan hutan ini
dengan pohon-pohon yang tidak terlalu besar, tidak banyak rerumputan,
namun banyak dijumpai lumut pada lantai hutan dan batang-batang pohon
hingga ke dahan pohon, serta hawanya dingin dan merupakan habitat
117
beberapa jenis burung. Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif luas kawasan
wana Ngkiki ini sekitar 2.300 Ha, dengan ketinggian di atas 1000 m dpl.
b. Wana, merupakan kawasan hutan rimba, di mana tidak dijumpai adanya
aktivitas pertanian di dalamnya. Bagi masyarakat adat, wana merupakan
habitat tumbuhan dan berkembangbiaknya hewan langka seperti, Anoa
(Lupu), Babi rusa (dolodo), serta berfungsi sebagai penyangga kandungan air
(sumber air). Selama ini, wana hanya dimanfaatkan untuk mengambil hasil
hutan non kayu seperti: getah damar, obat-obatan, rotan serta bahan
wewangian. Kepemilikan pribadi (dodoha) di dalam kawasan ini hanya
berlaku terhadap pohon damar yang tumbuh di dalamnya, di mana
kepemilikannya tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya.
Selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif, sebagai bagian ruang hidup
dan wilayah kelola tradisional masyarakat (huaka). Kawasan wana ini
merupakan kawasan hutan yang paling luas (11. 290 Ha).
c. Pangale, merupakan kawasan hutan yang terletak di pegunungan dan
dataran, serta termasuk kategori kawasan peralihan antara hutan primer dan
sekunder. Sebagian dari lahan kawasan hutan ini pernah diolah oleh generasi
pendahulu mereka dan kini telah mengalami suksesi secara alamiah.
Masyarakat di desa KKM menganggap pangale sebagai lahan cadangan,
yang dipersiapkan untuk kebun pada daerah berlereng dan sawah pada
daerah yang datar. Atas izin dari lembaga adat atau pemerintah desa,
masyarakat dapat memanfaatkan kawasan ini untuk mengambil kayu, rotan,
damar, dan wewangian yang sebatas digunakan untuk keperluan rumah
tangga. Kawasan ini memiliki luas 2.950 Ha.
d. Pahawa Pongko, termasuk dalam kategori kawasan pangale, merupakan
hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan lebih dari 25 tahun sehingga
hampir menyerupai hutan sekunder. Pohon-pohonnya sudah tumbuh besar
dan bila ingin menebangnya harus menggunakan “pongko”. Pongko adalah
tempat pijakan kaki yang terbuat dari kayu, diletakkan agak tinggi dari tanah
agar dapat menebang batang pohon dengan leluasa. Hal yang menarik
adalah dengan tonggak bekas tebangan yang agak tinggi ini diharapkan akan
tumbuh tunas baru. Sedangkan pahawa berarti mengganti atau ganti.
Kawasan ini tidak termasuk dalam hak kepemilikan pribadi, terkecuali pohon
damar yang ada di dalamnya.
118
e. Oma, merupakan lahan bekas kebun yang sering diolah dan banyak
dimanfaatkan untuk tanaman kopi, kakao, dan tanaman tahunan lainnya.
Dalam kawasan ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi (dodoha) dan tidak
bisa diklaim sebagai kepemilikan kolektif (huaka). Oma diklasifikasikan
berdasarkan usia pemanfaatannya yang terdiri atas 3 (tiga) jenis yaitu :
−−−− Oma ntua, berarti bekas lahan kebun tua yang telah ditinggalkan
selama 16 - 25 tahun. Usia suksesinya tergolong tua sehingga tingkat
kesuburan tanahnya sudah pulih kembali. Oma ntua telah siap dan
dapat diolah kembali menjadi kebun.
−−−− Oma Ngura, berarti bekas lahan kebun muda yang telah ditinggalkan
selama 3 – 15 tahun. Tingkatan suksesinya masih merupakan tipe
hutan yang lebih muda dibandingkan dengan oma ntua. Pohon-
pohonnya belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas hanya dengan
parang. Oma ngura masih merupakan belukar dan dicirikan dengan
masih banyaknya rerumputan.
−−−− Oma Ngkuku, merupakan lahan bekas kebun yang usianya 1 - 2 tahun
dan dicirikan oleh adanya dominasi tumbuhan rerumputan.
f. Balingkea, adalah lahan bekas kebun yang usianya 0,5 –1 tahun, sehingga
tingkat kesuburan tanahnya sudah berkurang. Namun lahan ini masih sering
aktif diolah kesuburan tanahnya cukup untuk ditanami jenis palawija seperti
jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe, dan sayur-sayuran. Kategori lahan
oma dan balingkea sudah termasuk dalam hak kepemilikan pribadi (dodoha).
Mengacu pada upaya masyarakat lokal untuk mempertahankan hak adat/hak
kelola atas lahan yang terdapat di dalam kawasan TNLL yang merupakan
salah satu penyebab terjadinya konflik di sekitar TNLL, maka hal ini penting
sekali untuk dijadikan acuan kaitannya dengan pelibatan masyarakat lokal
dalam pengelolaan taman nasional dengan pendekatan co-management.
Pendekatan Co-management yang berupaya mensinergikan kepentingan dari
berbagai stakeholder terutama stakeholder masyarakat lokal dan pihak BTNLL
dalam pengelolaan TNLL diharapkan dapat menginisiasi penyelesaian konflik
yang terjadi terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat
dalam kawasan taman nasional terutama sumberdaya lahan.
119
5.3.2. Kepentingan Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL)
BTNLL sebagai Unit Implementasi Teknik untuk manajemen hutan
dibawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, belum
efektif dalam mengelola Taman Nasional Lore Lindu. Ketidak efektifan BTNLL
sebagai ototritas tunggal dalam mengelola taman nasional, ditandai dengan
kerusakan TNLL dari tahun ke tahun yang cenderung meningkat, sementara
masyarakat yang hidup di sekitar taman nasional sebagian besar masih
berpendapatan rendah (baca Latar Belakang disertasi ini). Meskipun
desentralisasi atau otonomi daerah telah diimplementasikan sejak 1999 melalui
Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian
direvisi menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
pemerintah pusat masih memiliki kontrol dan tanggung jawab terhadap
manajemen taman nasional.
Kepentingan pihak BTNLL yang terkait dengan taman nasional saat ini
diantaranya adalah perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, dan tidak
terjadi kegiatan illegal logging yang mungkin memberikan keuntungan sesaat
bagi si pelaku tapi justru sebaliknya mengakibatkan kerugian bagi orang banyak
dengan terjadinya banjir yang berdampak pada kerusakan lingkungan dengan
kerugian yang tidak sedikit nilainya untuk ekologi, ekonomi, maupun sosial,
dengan rusaknya sarana dan prasarana. Kerusakan yang diakibatkan oleh
banjir dan dirasakan langsung oleh masyarakat di sekitar taman nasional
ditunjukkan pada Gambar 16 dan Gambar 17. Selain itu BTNLL juga sangat
konsen dalam mencegah terjadinya perburuan satwa yang dilindungi (hasil
diskusi pribadi dengan Ka BTNLL 2007) .
Upaya yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi semakin meningkatnya
kerusakan yang terjadi di sekitar TNLL sebagaimana yang ditunjukkan pada
Gambar 16 dan Gambar 17 adalah menghindari pengelolaan dengan
pendekatan sentralistik dan sudah saatnya pengelolaan TNLL ke depan
dilaksanakan dengan pendekatan co-management yang melibatkan stakeholder
terkait dengan TNLL terutama masyarakat lokal yang terkena dampak langsung
dari kebijakan pengelolaan taman nasional. Berkaitan dengan perspektif proses
co-management maka upaya yang telah dilakukan adalah membangun
Kesepakatan Konservasi Masyarakat yang berfokus pada pengakuan hak-hak
tradisional dan pengetahuan lokal yang merupakan pokok dari rencana
pengelolaan yang saling menguntungkan. Kesepakatan konservasi masyarakat
120
(KKM) yang telah terbentuk di beberapa desa KKM, pertama kali digagas dan
telah ditandatangani pada tahun 1999, yang difasilitasi oleh Yayasan Tanah
Merdeka (YTM).
Gambar 16 Kerusakan jalan akibat banjir dan kayu illegal di sekitar TNLL
(Dokumentasi Penulis 2007)
Gambar 17 Sebagian besar dari kebun kakao masyarakat yang terbawa banjir dan kayu illegal dari TNLL (Dokumentasi Penulis 2007).
Kesepakatan konservasi masyarakat (KKM) menghasilkan suatu
kesepakatan yang mengakui hak-hak tradisional masyarakat yang diwujudkan
dengan pengakuan BTNLL terhadap hak-hak adat masyarakat untuk tetap
memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di wilayah adatnya di dalam
kawasan TNLL. Gagasan KKM yang dibangun dan telah ditandatangani serta
diakui oleh pihak BTNLL menjadi inspirasi untuk membangun KKM pada desa
lainnya yang ada di sekitar TNLL.
121
Pengelolaan TNLL didukung oleh LSM lokal maupun LSM internasional
yang memiliki kepentingan dalam konservasi taman nasional seperti TNC dan
CARE, serta dana yang berasal dari bantuan USAID untuk bantuan manajemen
sumberdaya alam, dan ADB melalui CSIAD-CP (pinjaman lunak). Terkait
dengan pengelolaan taman nasional, pihak otoritas TNLL mengemukakan bahwa
dana pinjaman seharusnya dihindari dalam mengelola TNLL karena kawasan
lindung juga memberikan keuntungan bagi masyarakat internasional, dan inilah
yang merupakan justifikasi untuk mendapatkan dana bantuan dari lembaga
internasional berupa dana hibah. Berdasarkan hal itu maka hal-hal penting yang
diharapkan oleh otoritas taman nasional dalam pengelolaan kawasan TNLL
ditunjukkan pada Gambar 18.
Pada Gambar 18, terlihat bahwa hal penting yang diharapkan oleh BTNLL
terkait dengan pengelolaan taman nasional adalah selain melaksanakan
tugas`sebagai otoritas taman nasional, juga berkepentingan dalam hal
perlindungan terhadap keanekaragaman hayati. Selain itu pihak BTNLL juga
berkepentingan untuk mengajak masyarakat lokal agar tidak lagi melakukan
kegiatan illegal logging, juga mengharapkan agar masyarakat tidak memperluas
kebun di dalam kawasan taman nasional.
83
.33
83
.33
83
.33
83
.33
83
.33
50
.00
0
20
40
60
80
100
Pe
rsen
tas
e (
%)
1
Kepentingan BTNLL
Keanekaragaman
Pal batas
Illegal logging
Masy-kebun
Masy. Satwa
Dana hibah
Gambar 18 Persentase kepentingan BTNLL terkait dengan pengelolaan TNLL 2007.
BTNLL juga mengharapkan kepada masyarakat yang bermukim di sekitar
TNLL untuk tidak menghilangkan pal batas taman nasional. Harapan lainnya
yang tidak kalah pentingnya menurut stakeholder BTNLL adalah sumber dana
yang digunakan dalam pengelolaan daerah penyangga seyogiyanya bukan dana
pinjaman melainkan dana hibah yang penggunaannya dikoordinasikan dengan
122
BTNLL agar penggunaan dana dapat lebih efektif. Namun, selama ini sejumlah
dana yang digunakan dalam implementasi proyek konservasi dan pembangunan
bagi daerah penyangga di sekitar TNLL belum dikoordinasikan kepada pihak
BTNLL. Indikator yang dapat dilihat dari adanya koordinasi yang belum jalan
antara lain bahwa pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Pemda Propinsi
untuk pembangunan daerah penyangga pada saat dikonfirmasi dengan Kepala
Balai TNLL, ternyata bahwa informasi tentang pelaksanaan kegiatan tersebut
belum banyak diketahui oleh pihak BTNLL. Beberapa kegiatan yang
dilaksanakan dan sejumlah dana yang digunakan dalam melaksanakan berbagai
proyek di sekitar TNLL ditunjukkan pada Tabel 21.
Tabel 21 Dana yang digunakan dalam implementasi proyek konservasi dan pembangunan daerah penyangga di kawasan TNLL 2007
No. Proyek Pelaksana Nilai US$ Nilai Rupiah
1. Central Sulawesi
Integrated Area
Development and
Conservation Project
(1998-2005)
Pemerintah RI cq Pemda Sulteng
47.800.000 (Loan ADB
23.100.000)
382.400.000.000
2. Management of a GIS unit for Environmental Monitoring of Lore Lindu National Park
(2002-2004)
TNC 64.650 517.200.000
3. Protection of Tropical
Forest Through
Ecological Conservation of Marginal Land Phase II (2001-2005)
CARE 3.390.441 27.123.528.000
Total 51.255.091 410.040.728.000
Sumber: Seputar Rakyat, Edisi 06 Agustus 2003. Keterangan: Kurs US$1 = Rp8.000.
Tabel 21 memperlihatkan salah satu kegiatan proyek dengan total dana
pinjaman pemerintah pusat yang dikelola oleh Pemda untuk pembangunan
daerah penyangga melalui Proyek CSIAD-CP (1998-2005) sebesar US$23,1 juta
atau setara dengan Rp184.800.000.000 (kurs US$1=Rp8.000). Pelaksanaan
proyek dengan sejumlah dana yang cukup besar tersebut tidak dikoordinasikan
secara baik dengan pihak BTNLL, sementara salah satu tujuan dari proyek
tersebut adalah untuk pengelolaan taman nasional dan daerah penyangga yang
seyogianya melibatkan pihak BTNLL agar tujuan proyek dan kegiatan yang telah
diprogramkan oleh pihak BTNLL dapat disinergikan. Tapi kenyataan di lapangan
bahwa koordinasi tersebut tidak dilakukan (hasil diskusi pribadi dengan BTNLL
2007). Kondisi tersebut dapat merupakan salah satu indikator bahwa
pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan TNLL belum dilaksanakan secara
123
terintegrasi, sehingga berpeluang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman
yang pada akhirnya memunculkan konflik diantara stakeholder TNLL.
5.3.3. Kepentingan Lembaga Adat
Keterlibatan stakeholder lembaga adat dalam pengelolaan taman
nasional terutama dalam pemanfaatan lahan dan hasil hutan hingga
pengawasan terhadap wilayah hukum adat diharapkan kelestarian kawasan
TNLL akan lebih terjamin. Hasil wawancara dengan para ketua lembaga adat,
terungkap bahwa agar kawasan taman nasional terlindungi, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan yakni: kejelasan tentang batas`kawasan, pengakuan
atas wilayah hukum adat, dan pemberlakuan sanksi adat bagi setiap
pelanggaran. Porsi dari masing-masing kepentingan tersebut pada dua
kelompok desa dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Kepentingan untuk stakeholder lembaga adat terkait dengan pengelolaan TNLL 2007
No. Kepentingan stakeholder
Persentase jumlah stakeholder lembaga adat berdasarkan pilihan
kepentingan (%) Total (%)
LAMSK LAYTP
1. Kejelasan tata batas kawasan 83,33 16,67 100,00
2. Pemberlakuan sanksi adat bagi setiap pelanggaran
83,33 16,67 100,00
3. Pengakuan terhadap wilayah hak adat/hak kelola
66,67 33,33 100,00
Rata-rata 77,78 22,22 100,00
Keterangan: - LAMSK = lembaga adat yang memilih sebagai suatu kepentinga
- LAYTP = Lembaga adat yang tidak memberikan pilihan.
Kepentingan lembaga adat yang ditunjukkan pada Tabel 22, memper-
lihatkan bahwa kejelasan tata batas kawasan taman nasional berada pada
urutan pilihan kepentingan yang tertinggi dibanding dengan kepentingan yang
lain sebab menurut lembaga adat, kejelasan tata batas merupakan wujud
kepastian hak masyarakat terhadap wilayah hak adatnya dan hak kelola yang
selama ini diklaim sebagai wilayah TNLL. Kejelasan hak tersebut masyarakat
adat tahu sumberdaya mana yang dapat diakses oleh mereka dan mana yang
dilarang.
Selanjutnya hal lain yang diharapkan oleh lembaga adat dalam upaya
pelestarian TNLL adalah dengan pemberlakuan sanksi adat bagi setiap
pelanggaran yang didasarkan pada nilai yang berkembang di kalangan
masyarakat lokal. Menurut ketua lembaga adat, sanksi adat yang dijatuhkan bagi
124
anggota masyarakat yang melanggar lebih dirasakan sebagai “pantangan”
sehingga anggota masyarakat akan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan hal-
hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat. Hal ini
didukung oleh McKean (1992) dan Li (2000) yang mengemukakan bahwa sanksi
adat terkait erat dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu komunitas
masyarakat adat tertanam pada setiap individu, sehingga lebih bertahan dan
lebih dipatuhi bila dibandingkan sanksi-sanksi formal bentukan pemerintah. Oleh
karena itu, apabila sanksi-sanksi adat tersebut dipatuhi dan diterapkan secara
konsisten, akan menjadi “garansi” terhadap kelestarian TNLL.
Terkait dengan pemberlakuan sanksi adat maupun kejelasan dari wilayah
hukum adat yang diperjuangkan oleh masyarakat lokal untuk diakui hak-hak
tradisionalnya maka keterlibatan Lembaga Adat dalam penetapan batas kawasan
sebagai lembaga yang banyak mengetahui tentang sejarah para leluhurnya
dalam memanfaatkan “areal” (sebutan masyarakat untuk kawasan TNLL)
sebelum ditunjuk sebagai taman nasional pada tahun 1993, merupakan salah
satu faktor yang diharapkan memberikan dukungan dalam mewujudkan taman
nasional yang sustainable.
5.3.4. Kepentingan Kepala Desa
Kepala desa merupakan kelompok stakeholder yang terkait dengan
pengelolaan TNLL. Konflik yang terjadi di sekitar taman nasional dalam hal
pemanfaatan sumberdaya terutama sumberdaya lahan, juga dipicu oleh
penetapan pal batas yang ditetapkan secara sepihak oleh petugas dari
Departemen Kehutanan tanpa penjelasan yang memadai kepada masyarakat
yang bermukim di sekitar kawasan taman nasional. Menurut kepala desa, untuk
mengatasi konflik yang setiap saat dapat terjadi di sekitar taman nasional ada
beberapa komponen kepentingan yang perlu diperhatikan. Komponen
kepentingan yang dimaksud ditunjukkan pada Tabel 23.
Tabel 23 menunjukkan bahwa hal penting yang diharapkan oleh para
kepala desa yang ada di sekitar TNLL untuk mengantisipasi konflik yang setiap
saat dapat terjadi adalah adanya pengakuan dari pihak BTNLL terhadap lahan
adat yang terdapat dalam kawasan. Lahan adat tersebut diklaim sebagai
kawasan taman nasional, sehingga masyarakat lokal yang merasa memiliki hak
atas lahan tersebut menuduh bahwa pihak BTNLL-lah yang menyerobot lahan
masyarakat yang sudah dimanfaatkan secara turun temurun jauh sebelum
kawasan taman nasional ditetapkan. Indikator yang bisa dilihat adalah umur
125
tanaman kopi masyarakat diperkirakan 12 tahun lebih tua dari umur TNLL
(berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982
tanggal 14 Oktober 1982 tentang pengumuman gabungan dari tiga kawasan
konservasi sebagai calon taman nasional). Namun demikian, sejak penetapan
kawasan taman nasional, masyarakat yang masuk ke dalam kawasan untuk
mengolah lahan, maupun untuk memetik hasil tanaman kopinya di tuduh sebagai
perambah.
Tabel 23 Kepentingan untuk stakeholder kepala desa terkait dengan pengelolaan TNLL 2007
No. Kepentingan stakeholder
Persentase jumlah stakeholder kepala desa berdasarkan pilihan kepentingan
(%) Total (%)
KDMSK KDYTP
1. Pengakuan atas lahan adat masyarakat untuk tetap dapat diolah
83,33 16,67 100,00
2. Terjaminnya keamanan di sekitar kawasan dengan adanya pengakuan terhadap hak adat/hak kelola
66,67 33,33 100,00
3. Anggota masyarakat yang turut aktif dalam pengamanan kawasan diberikan insentif
33,33 66,67 100,00
Rata-rata 61,11 33,89 100,00
Keterangan: - KDMSK = Kepala desa yang memilih sebagai suatu kepentingan
- KDYTP = Kepala desa yang tidak memberikan pilihan.
Selanjutnya pemberian insentif bagi masyarakat yang turut aktif dalam
kegiatan pengamanan kawasan merupakan salah satu faktor yang diharapkan
dapat berpengaruh pada kelestarian kawasan taman nasional sekaligus
diharapkan mengeliminir terjadinya konflik. Menurut kepala desa, pemberian
insentif ini akan cenderung memberikan motivasi pada kelompok masyarakat
yang aktif dalam pengamanan kawasan terutama masyarakat yang bermukim di
desa KKM, sebab apabila masyarakat yang turut serta dalam kegiatan
pengamanan kawasan tidak mendapatkan konpensasi dari tenaga yang mereka
sumbangkan, akan berpeluang besar menimbulkan kecemburuan sosial
terhadap polisi hutan yang memang secara otomatis mendapatkan gaji/honor
dari setiap kegiatan yang mereka lakukan.
5.3.5. Kepentingan Pemda Propinsi/Kabupaten
Perbaikan kondisi kehidupan masyarakat yang berada di sekitar taman
nasional memerlukan penguatan infrastruktur dan lembaga. Beberapa badan
126
pemerintah memiliki fungsi yang saling terkait, diantaranya BAPPEDA di tingkat
propinsi yang memiliki fungsi untuk mengintegrasikan semua informasi dan
program pembangunan diantara berbagai badan pemerintah yang berbeda.
Selain upaya konservasi sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan
taman nasional, Pemda juga mengakui adanya kepentingan lain di sekitar taman
nasional dimana Pemda merasa berkepentingan sekaligus merupakan bagian
dari tanggungjawab Pemda untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Hal penting
menurut Pemda yang perlu diperhatikan terkait dengan TNLL dapat dilihat pada
Gambar 19.
83.3
3
83.3
3
83.3
3
66
.67
50.0
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Pe
rsen
tas
e (
%)
1
Kepentingan Pemda
MemfasilIitasi masy tidakmerusak
Peningkatan produksipangan/perkebunan
Peningkatan produksiperikanan
Pembangunan/perbaikanjalan/irigasi
Pengembangan objekwisata
Gambar 19 Kepentingan dari stakeholder Pemda Propinsi/Kab. terkait dengan pengelolaan TNLL 2007.
Gambar 19 menunjukkan bahwa kepentingan Pemda terkait dengan
TNLL antara lain bahwa Pemda berkepentingan untuk memfasilitasi masyarakat
agar tidak merusak kawasan, selain itu pemerintah daerah berkepentingan untuk
meningkatkan produksi tanaman pangan dan perkebunan di sekitar taman
nasional, peningkatan produksi perikanan air tawar, pembangunan/perbaikan
sarana jalan dan irigasi, pengembangan objek wisata. Untuk mewujudkan
kepentingan tersebut, Pemda telah melakukan kegiatan pertanian di wilayah
ini, seperti distribusi bibit, pupuk dan pestisida untuk meningkatkan budidaya
padi, jagung, kacang tanah, kopi, dan kakao. Kegiatan lain yang dilakukan oleh
Pemda melalui dinas terkait antara lain Dinas Pertanian menempatkan para
penyuluh pertanian langsung di desa-desa untuk memfasilitasi aktifitas petani,
Dinas Perikanan melakukan penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat
127
yang bermukim di sekitar Danau Lindu untuk melakukan penangkapan ikan
dengan sistem rotasi yang bertujuan untuk meningkatkan nilai jual dari hasil
tangkapan, yang tentunya diharapkan dapat berpengaruh pada peningkatan
pendapatan petani ikan dan juga untuk mempertahankan populasi ikan agar
produksi ikan danau tetap lestari dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat antar
generasi. Sementara Departemen Kehutanan ikut bertanggung jawab dalam
mencegah illegal logging agar kelestarian kawasan dapat terjaga.
Selanjutnya Dinas Pariwisata telah membangun tempat untuk rekreasi
pada bagian kawasan taman nasional di desa non-KKM dimana terdapat sumber
air panas, dengan tujuan untuk menciptakan sumber pendapatan alternatif bagi
masyarakat yang ada di sekitarnya (misalnya masyarakat lokal dapat menjual
makanan khas daerah antara lain: singkong/jagung rebus yang dipadankan
dengan kaledo, jagung rebus dipadankan dengan kelapa parut, dan kue-kue
tradisional). Selain itu masyarakat dapat menyiapkan fasilitas lainnya yang
dibutuhkan oleh pengunjung seperti: penginapan bagi pengunjung yang ingin
menginap untuk menikmati udara sejuk, bagi para peneliti dari luar terutama para
peneliti luar negeri yang cenderung ingin menikmati kondisi alam pedesaan di
sekitar kawasan hutan. Akan tetapi objek rekreasi tersebut tidak dipelihara dan
dijaga dengan baik maka pada saat penelitian ini dilaksanakan terlihat bahwa
objek rekreasi tersebut belum memberikan kontribusi pendapatan bagi
masyarakat sekitar sesuai peruntukannya.
Pendapatan masyarakat yang diharapkan dari keberadaan objek rekreasi
tersebut minimal sama dengan UMP (Rp685.000/bulan) agar masyarakat tidak
lagi sepenuhnya menggantungkan hidupnya hanya dari sumberdaya yang
terdapat dalam kawasan taman nasional, melainkan juga dari sektor pariwisata.
Hanya saja upaya tersebut belum memberikan manfaat apa-apa sehingga
masyarakat sekitar masih tetap memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan taman nasional (rata-rata
pendapatan masyarakat di sekitar kawasan masih rendah yakni hanya
Rp435.791/bulan). Instansi yang bertanggungjawab dalam pembangunan
infrastruktur adalah Dinas Pekerjaan Umum yang secara tidak langsung
bertujuan untuk perbaikan taraf hidup masyarakat.
Berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing instansi
pemerintah dan kondisi faktual yang dapat dilihat di lapangan pada beberapa
jenis kegiatan yang dilakukan, kelihatannya belum memberikan kontribusi yang
128
nyata terhadap peningkatan pendapatan masyarakat; sehingga dapat dikatakan
bahwa masing-masing instansi melakukan kegiatannya tanpa ada koordinasi
antara instansi terkait. Pelaksanaan kegiatan untuk masing-masing instansi
belum terintegrasi antara satu instansi dengan instansi lainnya, sehingga
dibutuhkan suatu upaya untuk mengintegrasikan semua kelompok dalam upaya
pelaksanaan kegiatan atau program yang terkait dengan TNLL.
5.3.6. Kepentingan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Pada situasi lemahnya penegakan hukum oleh badan pemerintah
termasuk di wilayah konservasi, LSM yang peduli tentang masalah lingkungan
seringkali memainkan peran yang cukup penting terutama untuk mengetahui
persoalan mendasar dari masyarakat lokal, yang kurang disentuh oleh berbagai
program pemerintah meskipun telah menggunakan pendekatan partisipatori
(Lindayati 2001). LSM lokal dan LSM internasional yang memiliki kepentingan
terhadap kawasan konservasi TNLL beserta aktivitas yang dilakukan ditunjukkan
pada Tabel 24.
Tabel 24 LSM lokal dan internasional yang memiliki kepentingan terkait dengan TNLL 2007
No. LSM Aktivitas yang dilakukan
1. LSM lokal:
a. Yayasan Katopasa Pendidikan dan penyuluhan tentang lingkungan
b. Gerakan Sahabat Maleo Pendidikan dan penyuluhan tentang lingkungan
c. Ever Green Mengadvokasi hak-hak masyarakat adat
d. YTM (Yayasan Tanah Merdeka)
- mengadvokasi masyarakat untuk menghentikan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Lore Lindu yang tidak mendapat respon positif dari masyarakat lokal di sekitar Danau Lindu.
- memfasilitasi penduduk lokal di Desa Katu yang menolak rencana relokasi melalui proyek CSIAD-CP
- memfasilitasi masyarakat lokal untuk membangun Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) yang diharapkan dapat menjadi kontrol dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang terkait dengan taman nasional.
2. LSM Internasional:
a. TNC Konservasi flora dan fauna
b. CARE Penguatan ekonomi masyarakat
Sumber: Data Primer 2007.
129
Tabel 24 menunjukkan bahwa berbagai aktivitas telah dilakukan oleh
LSM lokal maupun internasional terkait dengan taman nasional bertujuan untuk
kelestarian TNLL, hanya saja kegiatan tersebut tidak memberikan manfaat tanpa
dukungan dari stakeholder lainnya terutama masyarakat lokal di sekitar TNLL.
Terkait dengan aktivitas LSM yang telah ditunjukkan pada Tabel 23, maka
kepentingan LSM terkait dengan TNLL dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25 Kepentingan dari stakeholder LSM terkait dengan pengelolaan TNLL 2007
No. Kepentingan stakeholder
Persentase jumlah stakeholder LSM berdasarkan pilihan
kepentingan (%) Total (%)
LSMMSK LSMYTP
1. Menumbuhkan kesadaran pentingnya kelestarian taman nasional bagi semua pihak
83,33 16,67 100,00
2. Kemudahan akses untuk pendidikan/penelitian
83,33 16,67 100,00
3. Konservasi flora dan fauna 66,67 33,33 100,00
4. Advokasi hak-hak tradisional
66,67 33,33 100,00
5. Penguatan ekonomi masyarakat
66,67 33,33 100,00
Rata-rata 73,33 26,67 100,00
Keterangan: - LSMMSK = LSM yang memilih sebagai suatu kepentingan
- LSMYTP = LSM yang tidak memberikan pilihan.
Tabel 25 memperlihatkan bahwa kepentingan LSM yang memiliki
kegiatan di sekitar TNLL diantaranya adalah menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya kelestarian taman nasional bagi semua pihak, konservasi flora dan
fauna, advokasi hak-hak tradisional, dan penguatan ekonomi masyarakat.
Kegiatan yang telah dilakukan oleh para LSM khusus untuk kegiatan advokasi
hak-hak tradisional terkait dengan pengelolaan TNLL adalah berperan dalam
memfasilitasi Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) pada beberapa desa
yang berbatasan langsung dengan TNLL. Kesepakatan konservasi yang telah
terbentuk pada 31 desa (Lampiran 2) di sekitar TNLL diharapkan menjadi dasar
untuk pengembangan co-management dalam pengelolaan TNLL.
5.3.7. Kepentingan Pelaku Bisnis
Secara umum, stakeholder pelaku bisnis yang memiliki hubungan
dengan masyarakat lokal di sekitar taman nasional dapat dibagi menjadi: pelaku
130
bisnis yang fokus kegiatannya pada perdagangan kayu, pelaku bisnis untuk
komoditi rotan, dan komoditi pertanian. Perdagangan kayu merupakan bisnis
illegal, jika kayu yang diperdagangkan tersebut merupakan hasil tebangan yang
berasal dari kawasan taman nasional. Jumlah Pelaku bisnis berdasarkan
komoditi utama yang diperdagangkan secara rinci ditunjukkan pada Tabel 26.
Tabel 26 Jumlah dan persentase pelaku bisnis berdasarkan komoditi utama yang diperdagangkan 2007.
No. Uraian Jumlah (orang)
Persentase (%)
1. Pelaku bisnis untuk kayu 14 10,37
2. Pelaku bisnis untuk rotan 32 23,70
3. Pelaku bisnis untuk komoditi pertanian (sayuran, kopi, dan kakao)
89 65,93
Total 135 100,00
Sumber : BPS Kab. Donggala 2006; BPS Kab. Poso 2006, setelah diolah.
Tabel 26 menunjukkan bahwa pelaku bisnis untuk komoditi pertanian
berjumlah lebih banyak dibanding dengan pelaku bisnis lainnya. Rotan
merupakan pula hasil hutan yang memiliki nilai pasar yang cukup penting dengan
harga rata-rata (Rp800/kg) dan telah berkembang sejak adanya jalan yang dapat
menghubungkan daerah di sekitar kawasan taman nasional dengan Kota Palu
(Ibu Kota Propinsi Sulawesi Tengah). Pedagang rotan sebagian besar adalah
para pendatang yakni etnis Cina sebanyak 19 orang dan etnis Bugis berjumlah
13 orang, sementara kegiatan pengambilan rotan merupakan pekerjaan
tradisional dari masyarakat lokal untuk sekedar memenuhi kebutuhannya. Akan
tetapi aktifitas ini telah meluas sejak rotan memiliki nilai pasar dan menjadi
alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat lokal dengan pendapatan
sebesar Rp400.000/bulan/KK. Hubungan antara masyarakat lokal sebagai
perotan dengan pembeli dalam kegiatan bisnis untuk komoditi rotan tersebut
cenderung sebagai pekerja ketimbang sebagai pemilik. Hal ini dapat dilihat dari
cara pebisnis rotan membangun sistem yang sangat solid pada tingkat desa
supaya dengan mudah pemungutan rotan dapat dikontrol. Sistem yang dibangun
oleh pedagang rotan (sebagai pemilik modal) yakni: mempekerjakan penduduk
lokal sekitar 20 orang berdasarkan kontrak sebelumnya dimana pengumpul rotan
menerima uang muka yang besarnya disesuaikan dengan permintaan
pengumpul rotan. Uang muka ini seringkali digunakan untuk membeli barang-
131
barang seperti: beras, gula, minyak goreng, ikan asin, dan sabun, sehingga
hampir semua pedagang rotan memiliki warung untuk memenuhi kebutuhan
harian pengumpul rotan.
Stakeholder pelaku bisnis lainnya yang terkait dengan komoditas
pertanian seperti kakao juga sebagian adalah pendatang yakni Etnis Bugis
(38 orang). Hal ini disebabkan karena masyarakat lokal yang ada di sekitar
TNLL tidak memiliki pengalaman dalam kegiatan bisnis, sehingga sebagian
besar dari mereka tidak terlibat dalam aktifitas ini. Dampak lain dari kurangnya
pengalaman masyarakat lokal dalam dunia bisnis adalah lemahnya posisi tawar
penduduk asli terhadap pemasaran produk pertaniannya juga terhadap
pembelian barang-barang konsumsi. Kondisi ini berpeluang menciptakan konflik
antara penduduk asli dengan para pedagang yang mayoritas bukan penduduk
asli (pendatang).
Sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya konflik yang justru akan
berdampak pada kerugian materi yang tidak sedikit nilainya, maka perlu adanya
pendekatan yang dapat mempertemukan kepentingan masing-masing
stakeholder terkait dengan kegiatan di TNLL termasuk kepentingan dari pelaku
bisnis. Kepentingan stakeholder pelaku bisnis terkait dengan TNLL ditunjukkan
pada Tabel 27.
Tabel 27 Kepentingan dari stakeholder pelaku bisnis terkait dengan pengelolaan TNLL 2007
No. Kepentingan stakeholder
Persentase jumlah stakeholder pelaku bisnis
berdasarkan pilihan kepentingan (%)
Total (%)
PBMSK PBYTP
1. Mendapatkan keuntungan dari berbagai peluang bisnis dengan pengambilan hasil hutan oleh masyarakat
83,33 16,67 100,00
2. Memperoleh keuntungan bisnis dari hasil pertanian
66,67 33,33 100,00
Rata-rata 75,00 25,00 100,00
Keterangan: - PBMSK = Pelaku bisnis yang memilih sebagai suatu kepentingan
- PBYTP = Pelaku bisnis yang tidak memberikan pilihan.
132
Tabel 27 memperlihatkan bahwa kepentingan pelaku bisnis terkait
dengan TNLL adalah mendapatkan keuntungan dari berbagai peluang bisnis
dengan pengambilan hasil hutan oleh masyarakat dan keuntungan bisnis yang
diperoleh dari hasil pertanian. Keinginan lain dari pelaku bisnis yakni
menginginkan adanya peluang usaha hendaknya diakomodir oleh pihak BTNLL
yang dipadukan dengan keinginan Pemda untuk mengembangkan sumberdaya
yang berpotensi untuk dijadikan sebagai objek wisata dengan melibatkan pelaku
bisnis yang tertarik untuk mengembangkan usaha di bidang pariwisata.
Pengembangan objek wisata di wilayah TNLL dengan melibatkan pengusaha
(pelaku bisnis) sebagai pemilik modal, diharapkan memberikan kesempatan kerja
bagi masyarakat lokal yang ada di sekitar taman nasional agar ketergantungan
masyarakat terhadap sumberdaya hutan diharapkan dapat berkurang,
sehingga pada suatu saat TNLL akan terhindar dari perambahan. Terhindarnya
kawasan taman nasional dari perambahan, merupakan salah satu jaminan
kelestarian kawasan TNLL.
5.3.8. Kepentingan Akademisi/Peneliti
Keunikan TNLL telah menarik perhatian para akademisi/peneliti dari
berbagai daerah dan bidang keilmuan termasuk Gottingen University dan Kassel
University dari Jerman, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Tadulako. Daya
tarik TNLL selain dikenal oleh peneliti dari berbagai Perguruan Tinggi di dalam
negeri, juga dikenal oleh para peneliti asing yang tertarik dengan satwa
endemik maupun adat istiadat masyarakat yang ada di sekitar TNLL.
Keanekaragaman hayati yang tinggi dan keanekaragaman adat istiadat
masyarakat yang hidup di sekitar TNLL mempunyai keunikan tersendiri untuk
dikaji oleh para akademisi/peneliti sehingga sejak tahun 2000 Universitas
Tadulako dan Institut Pertanian Bogor (keduanya dari Indonesia) dengan
Gottingen University dan Kassel University (dari Jerman) telah dilakukan
kerjasama penelitian dalam berbagai bidang ilmu. Jumlah peneliti dan asal
peneliti serta bidang yang diteliti di sekitar TNLL ditunjukkan pada Tabel 28.
Tabel 28 menunjukkan bahwa rata-rata 57 orang peneliti yang
melaksanakan penelitian di sekitar TNLL. Para peneliti tersebut 63% diantaranya
berasal dari mancanegara yang didominasi oleh para paneliti dari Gottingen
University dan Kassel University. Peneliti Indonesia berasal dari berbagai
universitas terutama Universitas Tadulako dan Institut Pertanian Bogor.
133
Tabel 28 Jumlah peneliti dan negara asal peneliti yang melaksanakan penelitian di sekitar TNLL 2004 sampai dengan 2006.
Tahun Jumlah peneliti (orang)
Negara asal Beberapa judul penelitian yang dilaksanakan
2004 27
Indonesia (UNTAD, IPB, UGM, dan ITB)
- Stabilisasi Dan Hak Kepemilikan Lahan Di Wilayah Taman Nasional Lore Lindu
- Konservasi Rotan Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu)
- Analisis Keseimbangan Air Untuk Memprediksi Aliran Permukaan Di DAS Palu.
- Aliran Energi Dynamic pada Pemanfaatan lahan yang Berbeda Di Taman Nasional Lore Lindu.
- Curah Hujan dan Karakter Vegetasi Terkait dengan Hilangnya Intersepsi Pada Hutan Hujan Tropis.
36
German (Gottingen University dan Kassel University)
- Cacao Agroforestry: an Ecological Perspective on Synergy Potentials Between Agriculture and Conservation.
- Differences in Power Structures regarding Access to Natural Resources at the Village Level in Central Sulawesi (Indonesia)
- The Impact of Economic Vulnerability on Deforestation at the Rainforest Margin
1 Austria Six Years of Rainforest Margin Modification does not
Affect Bird Diversity But Endemic Species on Sulawesi.
2005 17
Indonesia (UNTAD, IPB, UGM, ITB, dan Pajajaran)
- Potensi Nutrisi pada Agroforestry Cacao di Sulawesi Tengah.
- Kajian Tentang Arbuscular Mycorrhizal pada Hutan Alam dan Agroforestry Cacao di Sulawesi Tengah.
- Efek dari Percobaan drought pada Agroforestry Cacao, Sulawesi, Indonesia.
- Struktur dan Komposisi Floristic pada Hutan Sekunder di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, Indonesia.
- Management Konservasi Anoa untuk Peningkatan Sosial Ekonomi Penduduk Asli di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu.
32
German (Gottingen University dan Kassel University
- Yield Determinants in Cacao Agroforestry Systems in Central Sulawesi: Is shade tree cover a good predictor for intensification?
- Risk Management and land use change in the face of ENSO-Events-coping strategies of rural poor in Central Sulawesi, Indonesia.
- Spider diversity and their relation to cacao agroecosystem management in Sulawesi, Indonesia.
- Determinants of Rural Income Generation at the Rainforest Margin.
2006
19
Indonesia (UNTAD, IPB, UGM, dan ITB)
- Sebaran Spasial dan Keanekaragaman Jenis Reptil Pada Beberapa Habitat di TNLL
- Keanekaragaman Beberapa Jenis Burung Pada Beberapa Habitat di TNLL
- Akselerasi Reproduksi Burung Maleo (Macrocepalon maleo) Melalui Sinergi Pakan dan Pola Pemeliharaan di TNLL
- Potensi Ekowisata Pada Ekosistem Hutan di Danau Kalimpa’a
- Prospek dan Tantangan Kesepakatan Konservasi Masyarakat Di Taman Nasional Lore Lindu
32
German (Gottingen University dan Kassel University)
Insect Diversity and Tropic Interactions in Relation to Agroforestry Management and ENSO Droughts - Walfare Economic Assessment of Forest
Encroachment and ENSO Effects in the Face of Personal Capital and Social Capital Dynamics
- Hydrological Model (WASIM-ETH) for the Gumbasa Catchment Area
1
Kanada Carbon Dioxide Production in Soil Under Cacao Agroforestry and Natural Forest: Effects of Drought and Lanscape Variability.
Sumber : Tscharntke T et al 2007; BTNLL 2007, setelah diolah.
134
Pada tanggal 20 April 2008 yang lalu dilakukan pula penandatanganan
kerjasama penelitian antara Indonesia dan Jerman dalam hal ini Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan DFG Jerman dengan topik yang diteliti
diantaranya: 1) Ecological and sosio-economic impacts of different forest use
intensities, 2) Sustainable management of agroforestry systems, dan 3)
Integrated concepts of land use in tropical forest margins. Namun, kerjasama
yang telah dibangun tersebut tidak dapat berjalan dengan baik tanpa dukungan
dari semua stakeholder terkait. Menurut para peneliti ada beberapa hal penting
yang diharapkan oleh para peneliti terkait dengan kegiatan penelitian di TNLL
ditunjukkan pada Tabel 29.
Tabel 29 Kepentingan dari stakeholder akademisi/peneliti terkait dengan pengelolaan TNLL 2007
No. Kepentingan stakeholder
Persentase jumlah stakeholder akademisi/peneliti berdasarkan
pilihan kepentingan (%) Total (%)
APMSK APYTP
1. Pemda menjamin keamanan peneliti dalam pelaksanaan penelitian
83,33 16,67 100,00
2. BTNLL membangun pusat informasi untuk kebutuhan pendidikan/ penelitian
83,33 16,67 100,00
3. Kemudahan akses untuk pendidikan/ penelitian
66,67 33,33 100,00
4. Tersedianya petugas lapangan yang terampil
33,33 66,67 100,00
Rata-rata 66,67 33,34 100,00
Keterangan: - APMSK = Akademisi/peneliti yang memilih sebagai suatu kepentingan
- APYTP = Akademisi/peneliti yang tidak memberikan pilihan.
Tabel 29 menunjukkan bahwa kepentingan dari kelompok akademisi/
peneliti terkait dengan pelaksanaan penelitian di TNLL adalah adanya jaminan
keamanan dalam pelaksanaan penelitian baik pada penelitinya sendiri maupun
pada objek yang diteliti. Harapan ini terungkap dari pengalaman peneliti yang
dijadikan responden yang merasa bahwa ada ketidak nyamanan dalam
pelaksanaan penelitian. Plot-plot penelitian yang telah di desain ternyata tidak
135
dapat diamati dengan baik karena plotnya sudah tidak lengkap atau bahkan
sudah rusak yang menurut peneliti kejadian tersebut akibat dari ulah manusia
yang tidak bertanggungjawab. Peneliti yang melaksanakan penelitian di kawasan
TNLL dan pernah tidak dapat mengamati objek yang diteliti karena plotnya sudah
tidak lengkap dan bahkan sudah rusak, kurang lebih 33,33% dari total
responden.
Selanjutnya kepentingan lain dari para peneliti yakni ketersediaan
informasi atau data yang mendukung terlaksananya penelitian. Kelengkapan
data pendukung diharapkan penelitian yang dilakukan akan memberikan hasil
yang maksimal, sebaliknya dengan tidak tersedianya data pendukung
kemungkinan akan menghasilkan penelitian yang tidak efektif dan tidak efisien
baik tenaga, waktu, maupun biaya yang harus dialokasikan untuk suatu jenis
penelitian tertentu. Beberapa hal yang telah dikemukakan tidak akan terjadi
apabila semua kelompok saling bekerjasama dan punya pemahaman yang sama
terhadap setiap kegiatan yang dilaksanakan di sekitar TNLL.
Terkait dengan kepentingan dari masing-masing kelompok stakeholder
yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa konflik yang
terjadi di kawasan TNLL diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan. Hasil
penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Tadjudin (2000)
yang mengemukakan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya perbedaan
pada berbagai tataran diantaranya adalah perbedaan kepentingan dan
perbedaan akuan kepemilikan, kemudian Fuad dan Maskanah (2000)
mengemukakan pula bahwa konflik yang mencuat akhir-akhir ini lebih
disebabkan karena tumpang tindihnya kepentingan pada suatu wilayah hutan
yang sama.
Konflik kepentingan yang terjadi di kawasan TNLL ditunjukkan dengan
adanya: perambahan kawasan, illegal loging, pengrusakan pal batas, dan
pembakaran pos polisi hutan. Selain itu kegiatan lain yang terjadi di sekitar
taman nasional sebagai indikator terjadinya konflik kepentingan yakni:
penyitaan/pengrusakan rotan dan damar milik masyarakat, penebangan
tanaman kopi/kakao, dan pembakaran pondok atau dangau masyarakat.
Kegiatan tersebut masih ditemukan di desa KKM, akan tetapi ditemukan
terutama pada desa non-KKM. Beberapa kegiatan yang terjadi di TNLL akibat
dari konflik kepentingan akan diuraikan sebagai berikut diantaranya adalah:
136
- Perambahan kawasan
Budidaya di dalam taman nasional dikategorikan sebagai “perambahan
hutan”, sekalipun hal itu terjadi di dalam tanah adat. Ada beberapa alasan yang
mendorong penduduk desa untuk melakukan kegiatan budidaya dalam kawasan,
diantaranya adalah penduduk tidak lagi memiliki lahan untuk memperluas usaha
pertanian mereka kecuali di dalam kawasan taman nasional. Hasil studi
terindentifikasi bahwa luas kepemilikan lahan masyarakat yang ada di desa KKM
dan desa non-KKM ditunjukkan pada Gambar 20.
8.89
31.11 44.44
15.56
28.89
46.67
13.33
11.11
0
10
20
30
40
50
Pe
rse
nta
se
(%
)
Desa KKM Desa Non-KKM
Kepemilikan lahan
Tidak memiliki lahan ≤0.5 - 1 ha 1 - 2 ha >2 ha
Gambar 20 Persentase masyarakat lokal berdasarkan luas kepemilikan lahan di desa KKM dan non-KKM di sekitar TNLL 2007
Gambar 20 memperlihatkan bahwa persentase masyarakat di desa KKM
yang memiliki lahan ≤0,5-1 ha berkisar 31,11%, di desa non-KKM sebesar
46,67% dan yang memiliki lahan >2 ha 15,56% di desa KKM dan hanya 11,11%
di desa non-KKM. Selanjutnya yang tidak memiliki lahan di desa KKM sekitar
8,89% dan di desa non-KKM sebesar 28,89%. Hasil studi ini sejalan dengan hasil
survei yang dilakukan oleh Li (2002) menunjukkan bahwa begitu banyaknya
keluarga di Desa Rahmat yang tidak memiliki lahan (80 dari 177 KK). Sangaji
dan Lumeno (2001) mengemukakan pula bahwa persentase petani yang tidak
memiliki lahan di wilayah sekitar TNLL relatif tinggi: Desa Kolori 22% dari 144
rumah tangga, di Desa Kengkeka 22% dari 152 rumah tangga, dan di Desa
Tuare 62% dari 104 rumah tangga. Sebagian dari tanah adat pada beberapa
desa tersebut telah dikonversi menjadi kawasan TNLL, sehingga hal ini
137
merupakan salah satu penyebab sempitnya luasan lahan yang dikelola oleh
masyarakat di sekitar TNLL pada saat ini.
Seiring dengan pembangunan, perolehan lahan oleh pendatang merubah
struktur kepemilikan lahan terutama di desa non-KKM dan sebagian terjadi di
desa KKM. Keberadaan para pendatang terutama yang berasal dari Sulawesi
Selatan, merupakan awal dari perubahan kepemilikan lahan melalui sistem gadai
yang akhirnya lahan milik penduduk asli berpindah tangan menjadi lahan milik
penduduk migran. Perubahan struktur kepemilikan lahan tersebut didukung pula
oleh meningkatnya kebiasaan penduduk asli untuk menjual lahannya dalam
rangka menutupi kebutuhannya seperti acara-acara adat: upacara kematian dan
perkawinan (baca Gambar 13). Kebiasaan penduduk asli untuk menjual lahannya
dan keaktifan para pendatang terutama Etnis Bugis untuk mendapatkan lahan
dengan jalan membeli merupakan salah satu penyebab sempitnya lahan yang
dikelola oleh penduduk asli, serta sebagian tanah adat yang telah dikonversi
menjadi kawasan TNLL merupakan pula penyebab sempitnya lahan yang
dikelola oleh penduduk asli di sekitar TNLL pada saat ini. Hal ini sejalan dengan
penelitian Acciaioli (2001) yang mengemukakan bahwa pendatang yang paling
aktif dalam mencari peluang ekonomi untuk mendapatkan lahan adalah yang
berasal dari Sulawesi Selatan, terutama Etnis Bugis. Jumlah Etnis Bugis yang
bermukim di sekitar TNLL diperkirakan sekitar 15% dari total penduduk yang
berdiam di sekitar batas taman nasional (Yayasan Kayu Riva 2005).
Selanjutnya keaktifan para pendatang untuk mendapatkan lahan di
sekitar taman nasional didukung pula oleh hasil survey yang dilaksanakan oleh
TNC (2004) mengemukakan bahwa alasan para pendatang untuk memilih desa
yang menjadi target tujuannya adalah: (1) di Kecamtan Palolo, 88% dari
pendatang berpindah ke lokasi tertentu untuk membeli dan mencari tanah. (2) di
Kecamatan Lore Utara, hampir 65% pendatang membeli lahan. (3) di Biromaru,
sekitar 59% pendatang tiba untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. (4) di
Kulawi, 47 % pendatang mencari pekerjaan yang lebih baik. (5) Di Kecamatan
Lore Selatan, 63% pendatang karena menikah di wilayah ini. Gambaran ini
menunjukkan bahwa masalah perambahan kawasan juga dipicu oleh penjualan
lahan terutama di wilayah desa non-KKM.
Sugiharto dan Aryanto (2002) menyatakan pula bahwa pada salah satu
dusun di Desa Non-KKM ada 7 KK Etnis Bugis yang menguasai lahan pertanian
seluas 82 ha, walaupun desa ini merupakan desa di wilayah terpencil. Wilayah ini
138
hanya bisa diakses dengan berjalan kaki atau berkuda. Hasil SCP (site
conservation plan) di wilayah taman nasional yang dilakukan oleh TNC pada
tahun 2001 menunjukkan bahwa penduduk lokal yang tinggal di sekitar hutan
dan bergantung pada hasil hutan merupakan kelompok utama yang merambah
kawasan. Diantara sejumah perambah yang masuk ke dalam kawasan TNLL,
jumlah terbesar terdapat di Kawasan Dongi-Dongi. Untuk mengetahui sejumlah
perambah yang telah melakukan aktivitas pertaniannya di dalam kawasan TNLL
ditunjukkan pada Tabel 30.
Tabel 30. Jumlah perambah yang telah melakukan aktivitas pertanian di dalam kawasan TNLL 2007
Tahun Jumlah
Perambah (KK) Luas Rambahan
(ha) Tempat Perambahan
1998 161) 24,02) Siliwanga
611) 92,02) Watumaeta
2001 20 30,0 Dodolo
1.030 4.000,0 Dongi-Dongi
Total 1.127 4.146,0 -
Rata-rata 282 1.036,5 -
Keterangan : 1)Pengungsi asal Poso; 2)Angka perkiraan.
Tabel 30 menunjukkan bahwa jumlah perambah yang telah melakukan
aktivitas pertanian di dalam kawasan taman nasional sebanyak 1.127 KK,
dimana 77 KK diantaranya adalah pengungsi dari Poso pada saat terjadi konflik
tahun 1998. Total kawasan yang dirambah seluas 4.146 ha, dengan demikian
rata-rata perambah yang masuk ke dalam kawasan TNLL untuk priode 1998
sampai dengan 2001 berjumlah 282 KK/tahun dengan luas kawasan TNLL yang
dirambah rata seluas 1.036,5 ha/tahun.
Dongi-Dongi yang merupakan wilayah di dalam taman nasional, yang
menjadi terkenal pada pertengahan tahun 2001, ketika penduduk lokal dari 4
desa di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala mulai menebang pohon yang
ada dalam TNLL. Dongi-Dongi terletak di wilayah administrasi Kabupaten Poso,
dan sebagian masuk kedalam wilayah TNLL. Berdasarkan batas administrasi,
wilayah ini merupakan Wilayah Desa Sedoa Kecamatan Lore Utara Kabupaten
Poso. Wilayah Dongi-Dongi diakui sebagai milik masyarakat Adat Sedoa, tetapi
telah menjadi bagian dari TNLL. Dalam periode 12 bulan diperkirakan areal
seluas 4.000 ha telah mengalami deforestasi, dan lebih dari 1.030 keluarga
139
masuk ke wilayah ini (sebagaimana yang dikemukakan pada Bab Pendahuluan).
Dari perspektif konservasi, deforestasi di wilayah ini merupakan suatu masalah
serius karena merusak beberapa habitat spesies endemik yang ada pada bagian
kawasan taman nasional di Wilayah Dongi-Dongi.
Sebelum deklarasi TNLL pada tahun 1982, Pemerintah Daerah Sulawesi
Tengah telah mengeluarkan izin HPH yang meliputi Wilayah Dongi-Dongi kepada
PT Kebun Sari untuk mengeksploitasi Agathis lorantifolia pada tahun 1976. Pada
saat PT Kebun Sari menguasai Dongi-Dongi, masyarakat lokal memiliki akses
untuk mengumpulkan rotan, menanam kopi dan memanen tanaman lainnya.
Namun demikian ketika wilayah ini dirubah dari hutan konsesi menjadi TNLL
pada tahun 1993, masyarakat tidak dapat lagi mengakses sumberdaya yang
terdapat dalam taman nasional. Pada saat penetapan taman nasional, batas dari
areal konsesi langsung ditetapkan sebagai batas taman nasional. Akibatnya,
penduduk lokal dengan kebun mereka yang berada di dalam taman nasional
dituduh sebagai petani liar oleh pemerintah, sehingga penduduk lokal melakukan
protes dengan tetap memanfaatkan sumberdaya yang terdapat di dalam
kawasan taman nasional yang sering disebut sebagai kegiatan perambahan.
Bagian kawasan taman nasional yang dirambah oleh masyarakat, ditunjukkan
pada Gambar 21 dan Gambar 22.
Gambar 21 Kegiatan pembukaan lahan dibagian kawasan TNLL (Dokumentasi 2006).
140
Gambar 22 Perambahan dan pemukiman di bagian kawasan TNLL (Dokumentasi BTNLL 2001).
Perambahan yang dilakukan sebagai bentuk dari protes masyarakat lokal
setelah perambahan di Kawasan Dongi-Dongi sebagaimana yang telah
ditunjukkan pada Tabel 30, maka kegiatan perambahan lainnya yang dilakukan
di kawasan TNLL ditunjukkan pada Tabel 31.
Tabel 31 menunjukkan bahwa kegiatan perambahan yang dilakukan oleh
masyarakat lokal baik yang bermukim di desa KKM maupun di desa non-KKM
masih berlangsung sampai saat ini hanya saja kegiatan perambahan yang
dilakukan di desa KKM memperlihatkan persentase yang lebih kecil (22,22%)
dibanding dengan kegiatan perambahan yang dilakukan di desa non-KKM
(77,78%. Apabila mengacu pada persentase perambahan yang dilakukan baik di
desa KKM maupun di desa non-KKM maka semakin kuat dugaan bahwa
memang dibutuhkan suatu pendekatan pengelolaan taman nasional agar
kepentingan para stakeholder utamanya masyarakat lokal dapat diakomodir
untuk menghindari semakin rusaknya kawasan TNLL.
141
Tabel 31 Perambahan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di beberapa bagian kawasan TNLL 2007
Tahun Desa KKM Desa Non-KKM Sanksi
Banyak-nya
pelaku (orang)
Luas yang dirambah
(ha)*)
Banyak-nya
pelaku (orang)
Luas yang dirambah
(ha)*)
Pebruari 2006 - - 3 4,5
Sanksi : Menghijaukan kembali lokasi perambahan.
Maret 2006
- - 2 3,0 Satu tahun penjara
3 4,53 - -
Sanksi Adat: Denda 2 (dua) ekor kerbau dan menghi-jaukan kembali lokasi peram-bahan
- - 1 1,5
Sanksi: Memusnahkan tanaman yang telah ditanam di dalam kawasan taman nasional dan menghi-jaukan kembali lokasi peram-bahan
Novem-ber 2006
- - 2 3,0
Sanksit: Memusnahkan tanaman kakao yang telah ditanam di dalam kawasan taman nasional, memus-nahkan pondok kerja yang terdapat di dalam kawasan taman nasional, dan menghi-jaukan kembali lokasi peram-bahan
- - 1 1,5
Sanksi: Memusnahkan tanaman kakao yang telah ditanam di dalam kawasan taman nasional, dan menghijaukan kembali lokasi perambahan
Maret 2007
- - 1 1,5
Sanksi: Memusnahkan tanaman kakao yang telah ditanam di dalam kawasan taman nasional, dan menghi-jaukan kembali lokasi perambahan
1 1,5 - - Proses pembinaan berupa surat pernyataan
Juli 2007 - - 2 3,0 Proses pembinaan berupa surat pernyataan
Sumber : Hasil Operasi Fungsional BTNLL 2007, diolah.
*)Angka perkiraan berdasarkan rata-rata luas rambahan per orang : 1,5 ha.
142
Selanjutnya Sangaji (2001) mengemukakan bahwa masyarakat lokal
telah empat kali melakukan protes untuk mempertahankan hak-hak
kepemilikannya. Keempat kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal
tersebut ditunjukkan pada Tabel 32.
Tabel 32 Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan hak- nya terkait dengan TNLL
No. U r a i a n
1. Pertama, masyarakat Desa Bunga melakukan protes pada tahun 1981
2. Kedua, masyarakat Desa Kamarora mencoba menyiapkan areal permukiman pada tahun 1982.
3. Berikutnya ditahun 1998, kurang lebih 450 KK dari Desa Rahmat, Kamamora dan Kadidia menebang hutan seluas 50 ha,
4. Pada tahun 1999 sekitar 40 orang merambah 50 ha taman nasional
Tabel 32 menunjukkan berbagai upaya untuk melakukan perambahan di
Kawasan Dongi-Dongi sebelum tahun 2001 tapi semua upaya tersebut
digagalkan oleh polisi hutan. Delapan puluh orang ditahan di Palu, tetapi
kemudian mereka dilepaskan dari penjara kecuali satu orang yang tetap berada
dipenjara hingga 4 bulan tanpa adanya proses hukum.
Masyarakat yang terlibat perambahan di Dongi-Dongi berasal dari
kelompok Etnis Da’a dan Kulawi. Mereka tinggal di desa-desa dekat dengan
taman nasional setelah mereka direlokasi oleh Departemen Sosial dan
Kehutanan melalui Proyek Relokasi yang berlangsung pada tahun 1974 hingga
1983. Mereka direlokasi karena tempat tinggal asal mereka dinyatakan sebagai
kawasan hutan lindung.
Pada tahun 1997, penduduk desa meminta pemerintah daerah untuk
merelokasi mereka kembali untuk memperoleh lahan pertanian yang cukup dan
pemerintah berjanji untuk memenuhi permintaan mereka. Pada tahun 1999 dan
2000, penduduk desa mengulangi permintaan mereka untuk direlokasi dibawah
koordinasi Kepala Kecamatan Palolo tetapi inipun tidak dipenuhi sehingga pada
tahun 2001 sejumlah 1.030 KK masyarakat yang bermukim di desa non-KKM
merambah sekaligus bermukim di dalam kawasan TNLL. Keberadaan
masyarakat di wilayah Dongi-Dongi sampai sekarang belum mendapat
pengakuan dari pihak Pemerintah Daerah maupun pihak BTNLL.
Menurut Kepala BTNLL kalau Dongi-Dongi diakui sebagai sebuah desa
maka itu berarti bahwa telah ada pengakuan hak milik kepada masyarakat yang
bermukim di Dongi-Dongi. Sementara pernyataan dari masyarakat yang ada di
143
Wilayah Dongi-Dongi tidak bersedia lagi dipindahkan ke tempat lain karena
mereka telah menanam kakao, kemiri, vanili, durian, mangga, dan tanaman
semusim lainnya seperti ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Selain itu tanaman yang
mereka tanam juga sebagian sudah bisa dinikmati hasilnya terutama untuk hasil
tanaman kakao.
Terkait dengan perambahan di Dongi-Dongi telah beberapa kali
pertemuan dan diskusi dilaksanakan dalam rangka penyelesaian masalah di
Dongi-Dongi, antara lain rapat yang diadakan di tingkat propinsi pada Juni 2003
yang menetapkan tiga satgas untuk menangani masalah Dongi-Dongi. Satgas
pertama menangani masalah illegal logging, satgas kedua menangani masalah
penggergajian, dan satgas yang ketiga menangani masalah relokasi. Kemudian
dialog antara masyarakat Dongi-Dongi dengan Ketua dan sejumlah anggota
DPRD Kabupaten Donggala yang didampingi oleh sejumlah Kepala Dinas, dan
Kepala Wilayah Kecamatan Palolo. Dalam dialog tersebut, Pemda melalui Dinas
Transmigrasi menawarkan kepada masyarakat untuk relokasi pada beberapa
tempat yakni Ue Nuni berada di Wilayah Kecamatan Palolo, Ongulara dan
Malino di Wilayah Kecamatan Marawola. Namun, dari hasil dialog tersebut
masyarakat tetap tidak bersedia dipindahkan ke tempat lain dengan alasan yang
dikemukakan bahwa:
1) Tanaman kakao mereka sudah mulai berbuah,
2) Lokasi dimana mereka akan dipindahkan sulit untuk dijangkau karena belum
dijangkau kenderaan umum. Selanjutnya masyarakat di Dongi-Dongi
bersedia dipindahkan ke tempat yang kondisinya relatif sama dengan Dongi-
Dongi (Tanahnya subur dan setiap hari dilalui oleh kenderaan umum).
Menyimak hasil dialog tersebut memberikan indikasi bahwa masyarakat
bersedia untuk diatur oleh pemerintah tapi bukan di tempat lain melainkan
tetap tinggal di Dongi-Dongi. Ketidak inginan masyarakat di Dongi-Dongi
untuk dipindahkan ke tempat lain disebabkan pula karena masyarakat sudah
telanjur mengeluarkan banyak biaya untuk membuka lahan di Dongi-Dongi.
Biaya yang dikeluarkan untuk membuka lahan per hektarnya sekitar 2 juta
rupiah (hasil diskusi dengan beberapa anggota masyarakat di Bantaya Dongi-
Dongi 2007).
Masalah Dongi-Dongi sampai sekarang belum bisa terselesaikan dengan
baik sehingga berpotensi untuk menimbulkan masalah yang serius karena dapat
memicu masyarakat lainnya untuk mengikuti aktivitas yang dilakukan oleh
144
masyarakat di Dongi-Dongi. Apabila masyarakat lainnya yang hidup di sekitar
TNLL ikut merambah kawasan TNLL sama dengan yang dilakukan oleh
masyarakat di Dongi-Dongi maka tidak menutup kemungkinan kawasan TNLL ke
depan semakin rusak yang selain mengakibatkan spesies endemik yang terdapat
dalam kawasan TNLL akan langkah bahkan punah sebagai akibat dari rusaknya
ekosistem alami di kawasan taman nasional tersebut, juga akan menyebabkan
kerugian materi yang tidak sedikit nilainya.
Aspek lain dari perambahan taman nasional adalah pengaruh negatif dari
perdagangan rotan. Bagi penduduk asli, pengumpulan rotan dikenal sebagai
aktivitas tradisional untuk tujuan domestik. Berkembangnya pasar untuk rotan,
maka banyak masyarakat lokal yang terlibat dalam aktivitas ini. Strategi pasar
yang diterapkan pedagang rotan dan rendahnya pengetahuan masyarakat lokal
sebagai pengumpul rotan tentang harga, menempatkan penduduk asli pada
posisi yang lemah dalam melakukan transaksi komoditi rotan. Kebiasaan yang
dilakukan oleh masyarakat yang ada di sekitar TNLL dalam hal penjualan rotan
adalah sebagai berikut:
1) setiap pekerja atau pengumpul rotan menerima uang muka (biasanya
Rp50.000,- atau Rp 100.000,-) ataukah berdasarkan permintaan mereka
yang pada umumnya diterima dalam bentuk barang seperti rokok, beras,
gula, minyak goreng, ikan asin dan sabun (sebagaimana yang telah diuraikan
pada kebutuhan/kepentingan pelaku bisnis
2) setelah total harga rotan yang dikumpulkan oleh masyarakat lokal dihitung
oleh pedagang, maka sejumlah uang yang diterima oleh pengumpul rotan
adalah total harga rotan dikurangi dengan besarnya nilai barang atau
kebutuhan yang telah diambil oleh pengumpul sebelumnya.
Total pendapatan dari pengumpul rotan berkisar Rp160.000 sampai
dengan Rp200.000 untuk 10 hari kerja mengumpulkan rotan di hutan. Kadang-
kadang rotan yang dikumpulkan nilainya kurang dari nilai barang yang sudah
diambil oleh pengumpul sebelumnya, dengan demikian maka pengumpul rotan
masih memiliki hutang pada pedagang rotan. Nilai rotan dihitung berdasarkan
banyaknya rotan yang dikumpulkan oleh setiap pemungut rotan dihitung dalam
kg dikali dengan harga rotan rata-rata per kg (harga rotan rata-rata: Rp900/kg).
Berdasarkan sistem yang dibangun oleh pedagang rotan dengan jalan
menyiapkan kebutuhan sehari-hari bagi pengumpul rotan dan keluarganya,
maka hubungan tersebut lebih cenderung dikatakan sebagai hubungan antara
145
pemilik modal dan pekerja bukan hubungan antara penjual dan pembeli sebab
nilai atau harga rotan tidak disepakati melalui transaksi antara pedagang rotan
dengan pemungut rotan, melainkan ditentukan sepihak oleh pedagang rotan.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa kecil sekali kemungkinan bagi pengumpul
rotan untuk mencari alternatif harga rotan yang lebih menguntungkan, sehingga
dapat dikatakan bahwa pengambilan rotan di dalam kawasan justru akan
memberikan keuntungan yang lebih besar kepada pelaku bisnis. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tellu (2007) bahwa saluran
pemasaran rotan di Sulawesi Tengah dengan harga yang berlaku di lapangan,
nampaknya perotan memperoleh keuntungan paling rendah yang ditunjukkan
dengan margin sebesar Rp150/kg dengan beban kerja paling berat, sedangkan
pelaku bisnis (pedagang pengumpul) memiliki beban kerja yang relatif kecil
dengan perolehan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan perotan yang
ditunjukkan dengan margin sebesar Rp350/kg.
Mengacu pada kegiatan perambahan sebagaimana yang ditunjukkan
pada Tabel 30 dan Tabel 31, serta rendahnya nilai ekonomi yang diperoleh
masyarakat lokal dari pemanfaatan sumberdaya misalnya pengambilan rotan di
dalam taman nasional dibanding dengan pelaku bisnis sebagai bagian dari
stakeholder yang terkait dengan TNLL, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan
kawasan konservasi tersebut kecuali dengan pendekatan multipihak. Pendekatan
multipihak dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang mempunyai
kepentingan dengan kawasan TNLL duduk bersama, memikirkan bagaimana
mensinergikan kepentingan dari masing-masing stakeholder sehingga konflik
yang terjadi dapat dieliminir.
- Illegal loging
Illegal loging, terutama yang dilakukan oleh penduduk lokal di sekitar
taman nasional merupakan kegiatan yang sering terjadi. Beberapa kasus illegal
loging yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan TNLL ditunjukkan pada
Lampiran 5.
Lampiran 5 menunjukkan bahwa kegiatan illegal loging yang dilakukan
oleh masyarakat di kawasan TNLL frekuensi tertinggi terjadi pada Maret 2006
yakni 5 buah kasus dengan total kayu illegal sebanyak 10,2 m3. Menyusul
Pebruari 2006 dan Juni 2006 dengan jumlah kasus masing 3 buah dan total kayu
illegal masing-masing 4,3 m3 dan 4,0 m3, lalu kemudian menyusul 2 buah kasus
pada Maret 2007 dengan total kayu illegal sebanyak 10,0 m3. Kegiatan illegal
146
logging yang sampai saat ini masih ditemukan di sekitar TNLL terjadi baik di desa
KKM maupun di desa non-KKM.
Kasus illegal loging yang ditemukan di sekitar TNLL yang ditunjukkan
pada Lampiran 5 memperlihatkan bahwa persentase kegiatan illegal loging yang
terjadi di desa non-KKM sebesar 82,35 % dari jumlah kasus. Angka ini jauh lebih
besar dibanding dengan kasus illegal loging di desa KKM yakni 17,65% dari total
kasus yang ditemukan.
Apabila besaran persentase tersebut dijadikan acuan, maka dapat
dikatakan bahwa kecenderungan kelestarian kawasan di wilayah desa KKM lebih
baik dibanding dengan wilayah desa non-KKM. Beberapa penggal kayu illegal
yang ditemukan di dalam kawasan TNLL ditunjukkan pada Gambar 23.
Gambar 23 Kayu illegal yang ditemukan di dalam kawasan TNLL (Dokumentasi BTNLL 2007.
Kasus illegal loging lainnya yang ditemukan oleh jaringan LSM WALHI
memperlihatkan bahwa dari Januari sampai dengan Desember 2000, hampir
119 kasus kayu dan rotan illegal yang berasal dari TNLL. Terkait dengan
kegiatan illegal logging, otoritas TNLL bersama-sama dengan petugas kepolisian
menyelidiki illegal loging yang terjadi dalam taman nasional mulai dari bulan Juni
hingga Desember 2001. Kerjasama tersebut menyita 302 m3 kayu illegal atau
setara dengan 55 mobil truk. Insiden tertinggi terjadi dalam periode 27 Juni
hingga 16 Juli 2002, dengan 92 m3 kayu (20 truk) yang berasal dari kawasan
taman nasional. Dalam masa tiga minggu dari masa enam bulan pengamatan,
jumlah kasus kayu mencapai 30%. Situasi ini nampaknya erat kaitannya dengan
147
awal terjadinya kasus perambahan di Dongi-Dongi. Kasus Dongi-Dongi adalah
perambahan sekaligus kegiatan illegal loging yang dilakukan oleh sejumlah
1.030 KK dari desa sekitar TNLL (sebagaimana yang telah dikemukakan pada
Latar Belakang), sebagai salah satu bentuk protes dari masyarakat lokal yang
merasa tidak lagi memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya yang terdapat
di dalam kawasan TNLL.
Masalah illegal loging yang terjadi di TNLL, seringkali pihak otoritas
taman nasional sulit untuk membuktikan kalau kayu yang dibawa dengan truk
adalah illegal, karena jaringan bisnis untuk komoditi kayu memperoleh izin yang
resmi. Izin sawmill dikeluarkan oleh Departeman Perindustrian setelah bahan
mentahnya tersedia, sementara izin sawmill harus didasarkan pada izin
penggunaan kayu (IPK) yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. IPK
hanya dikeluarkan untuk digunakan selama 1 tahun, sedangkan izin sawmill yang
dikeluarkan oleh Kantor Perindustrian Daerah berlaku selama usaha sawmill
tersebut masih melakukan kegiatannya. Hal ini berimplikasi pada sawmill untuk
terus beroperasi ketika IPK telah habis, sehingga menimbulkan permintaan kayu
secara illegal.
Salah satu faktor yang juga memiliki kontribusi terhadap praktek illegal
loging adalah lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap setiap bentuk pelanggaran sehingga kegiatan illegal yang
menyebabkan kerusakan kawasan taman nasional meningkat secara signifikan
seluas 75 ha/tahun pada priode 1983-1999 menjadi 340 ha/tahun pada priode
1999-2001 (353%) dan kerusakan TNLL lebih meningkat lagi seluas 4.000
ha/tahun pada priode 2001-2002 atau meningkat sebesar 1.076% kalau
dibanding dengan priode sebelumnya sebagaimana yang telah diuraikan pada
latar belakang dari disertasi ini. Kerusakan TNLL dikhawatirkan akan lebih
meningkat lagi pada beberapa tahun yang akan datang, kecuali semua
stakeholder terkait memiliki keinginan yang kuat untuk menyelesaikan masalah
illegal loging guna mempertahankan kawasan taman nasional.
- Pengrusakan pal batas taman nasional
Proses pendirian TNLL bermula dari integrasi dua kawasan suaka
margasatwa dan satu kawasan Hutan Wisata Danau Lindu (Deskripsi TNLL),
yang memerlukan waktu kurang lebih 23 tahun (Tabel 7). Konflik antara BTNLL
dan penduduk lokal mulai terjadi pada saat aturan pelarangan pemanfaatan
sumberdaya di dalam kawasan dilaksanakan sebab lahan yang dimiliki
148
masyarakat lokal dari berbagai macam kelompok etnis (Kaili, Lindu, Pekurehua,
dan Bada) ditetapkan sebagai bagian dari TNLL tanpa ada kesepakatan.
Masyarakat lokal mengkalim bahwa taman nasional yang mengambil lahan
masyarakat, sementara pihak BTNLL mengatakan bahwa masyarakat lokal yang
merambah kawasan taman nasional. Hal ini terjadi karena sebelum penetapan
kawasan taman nasional, masyarakat sudah memanfaatkan sumberdaya lahan
yang terdapat di dalam kawasan taman nasional jauh sebelum penetapan
kawasan taman nasional.
Pemasangan pal batas yang dilakukan oleh petugas Departemen
Kehutanan tanpa penjelasan yang memadai kepada masyarakat yang bermukim
di sekitar TNLL, mulai mendapat protes dari masyarakat setelah diberlakukannya
aturan yang melarang masyarakat untuk mengakses sumberdaya yang terdapat
dalam kawasan. Pelibatan masyarakat dalam pemasangan pal batas hanya
sebagai pekerja atau buruh tanpa mengerti apa tujuan dari pemasangan pal
batas tersebut sehingga ada pal yang ditanam di dalam kebun masyarakat, di
dalam sawah, dan bahkan ada yang ditanam pas dibelakang rumah penduduk
(hasil diskusi pribadi dengan tokoh masyarakat di desa KKM dan desa non-
KKM).
Berkaitan dengan penetapan kawasan TNLL maka kelompok stakeholder
yang paling terkena dampak dari penetapan kawasan taman nasional tersebut
adalah kelompok masyarakat lokal karena kehidupan mereka banyak
bergantung pada sumberdaya hutan. Kegiatan mereka yang telah berlangsung
lama seperti mengambil kayu, rotan, bambu, tanaman obat, atau untuk memanen
tanaman kopinya tidak lagi diizinkan. Tanpa penjelasan yang memadai, staf
Departemen Kehutanan langsung memasang patok sebagai batas taman
nasional, walaupun patok tersebut berada di dalam tanah adat masyarakat,
sehingga tanaman kopi yang telah ditanam sebelum dilakukan penetapan batas
kawasan mudah sekali ditemukan di dalam kawasan taman nasional.
Pemasangan patok yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, pada
awalnya tidak mendapatkan protes dari penduduk desa karena mereka tidak tahu
apa sesungguhnya tujuan pemasangan patok tersebut. Penduduk lokal terlibat
sebagai buruh yang dibayar untuk membawa dan memasang patok sesuai
instruksi dari staf Departemen Kehutanan. Penduduk lokal dengan senang
melakukannya atas dukungan kepala desa (kepala desapun tidak mengetahui
secara jelas apa tujuan pemasangan patok tersebut).
149
Setelah patok pembatas selesai dipasang, peraturan tentang taman
nasional kemudian diterapkan pada tahun 1993, yang menyebabkan tidak ada
lagi ruang bagi penduduk lokal untuk mengumpulkan hasil hutan dari tanah adat
mereka. Pada awalnya penduduk lokal diizinkan untuk memanen kopi tapi tidak
dibolehkan melakukan pemeliharaan terhadap tanaman kopi yang ada di dalam
kebun mereka. Selain itu apabila masyarakat lokal tertangkap membawa rotan
maka mereka ditahan oleh polisi hutan dan rotan mereka dipotong-potong. Di
beberapa desa, polisi hutan menebang tanaman kopi dan bahkan membakar
dangau penduduk lokal.
Peletakan pal batas tersebut menjadi hal yang sangat serius, karena
ketergantungan masyarakat sekitar kawasan terhadap sumberdaya hutan. Salah
satu contoh ketergantungan masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan yakni
adanya tanaman kopi mereka yang berada di dalam kawasan taman nasional.
Aditjondro (1979) mengamati bahwa untuk merelokasi mereka jauh dari hutan
sama saja dengan memaksa pelaut untuk mendarat dan menggantung jala
mereka. Disisi lain, polisi hutan harus melakukan tugasnya sehingga
pertentangan atau konflik antara polisi hutan dan penduduk lokal merupakan hal
yang sering terjadi di sekitar taman nasional.
Pengrusakan pal batas yang dilakukan oleh masyarakat dengan alasan
bahwa pada saat pemasangan patok beton sebagai pal batas taman nasional
dilakukan secara sepihak oleh staf Departemen Kehutanan dan banyak diantara
patok tersebut yang berada di dalam tanah adat masyarakat. Jumlah patok beton
yang dipasang di dalam tanah adat, di dalam sawah, maupun di belakang rumah
penduduk tidak diketahui secara pasti. Pemasangan patok beton dilaksanakan
pada tahun 1982 dan pada saat itu belum ada larangan bagi masyarakat yang
ada di desa KKM maupun masyarakat yang bermukim di desa non-KKM untuk
memanfaatkan sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan (hasil diskusi
dengan tokoh masyarakat dan ketua lembaga adat). Peraturan yang melarang
masyarakat untuk mengambil sumberdaya di dalam kawasan taman nasional
mulai diberlakukan pada tahun 1993 bersamaan dengan penunjukan kawasan
konservasi tersebut sebagai TNLL (Tabel 7).
Selanjutnya data tentang jumlah pal batas yang dipasang maupun yang
telah hilang dikonfirmasi ke pihak BTNLL (Kantor BTNLL), juga tidak diperoleh
data tersebut. Penjelasan yang diperoleh dari pihak BTNLL bahwa pemasangan
patok dilakukan pada tahun 1982 (pada saat deklarasi TNLL) sementara Kantor
150
BTNLL baru diresmikan pada tahun 1997 (empat tahun setelah penetapan
kawasan TNLL 1993). Jadi arsip tentang data yang terkait dengan pengelolaan
TNLL sebelum tahun 1997 masih ditangani langsung oleh pemerintah pusat
(Departement Kehutanan).
Kasus lain yang masih terkait dengan batas taman nasional adalah
masyarakat di desa KKM yang setelah penetapan kawasan, kebun masyarakat
masuk dalam kawasan dan jarak antara pal batas dengan pemukiman penduduk
hanya kurang lebih 500 meter. Salah satu pal batas TNLL yang masih ada dan
ditanam di dalam kebun milik masyarakat ditunjukkan pada Gambar 24.
Gambar 24 Salah satu pal batas TNLL yang terdapat di dalam kebun masyarakat (Dokumentasi Penulis 2007).
Gambar 24 menunjukkan salah satu pal batas TNLL yang dipasang di
dalam kebun masyarakat di desa KKM yang menyebabkan masyarakat
melakukan protes kepada pihak BTNLL dan pada akhirnya antara pihak
masyarakat dengan pihak taman nasional dibangun suatu kesepakatan yang
mengakomodir kepentingan masyarakat lokal sekaligus diharapkan sebagai alat
kontrol di dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan
taman nasional. Wujud dari kesepakatan tersebut yakni masyarakat yang
kebunnya masuk dalam kawasan TNLL (masyarakat di desa KKM) tetap dapat
mengolah lahannya dengan ketentuan bahwa luas lahan yang telah dikelola
tersebut tidak boleh sama sekali ditambah atau diperluas. Persentase
masyarakat yang lahan kebunnya masuk dalam kawasan taman nasional setelah
pemasangan pal batas ditunjukkan pada Tabel 33.
151
Tabel 33 Persentase masyarakat yang lahan kebunnya masuk dalam kawasan TNLL di desa KKM dan non-KKM 2007
Uraian Persentase masyarakat lokal (%)
Desa KKM Desa Non-KKM
Kebun sayuran 28,89 11,11
Kebun kopi/kakao 22,22 55,56
Total 51,11 66,56
Sumber : Data Primer setelah diolah 2007.
Tabel 32 menunjukkan bahwa kebun masyarakat lokal yang masuk dalam
kawasan setelah pemasangan pal batas lebih dari 50%, baik kebun masyarakat
yang ada di desa KKM maupun kebun masyarakat yang terdapat di desa non-
KKM. Keadaan ini memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pihak
BTNLL terutama masyarakat yang bermukim di desa non-KKM karena kebun
mereka yang menjadi sumber mata pencaharian utama tidak bisa diolah lagi.
Penetapan batas taman nasional menuai berbagai protes yang dilakukan oleh
masyarakat adat terhadap BTNLL melalui polisi hutan. Mereka meminta agar
diizinkan untuk mengolah lahan adatnya yang berada di dalam kawasan taman
nasional. Namun demikian, mereka merasa kecewa dengan respon pemerintah
yang tidak mengakomodir keinginan masyarakat, terutama masyarakat di desa
non-KKM yang akhirnya terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dengan
pihak BTNLL dalam hal pemanfaatan lahan. Luas lahan masyarakat di desa KKM
dan desa non-KKM yang terdapat di dalam kawasan TNLL ditunjukkan pada
Gambar 25.
Konflik antara masyarakat lokal di desa non-KKM dengan polisi hutan
setelah pemasangan pal batas taman nasional yang sebagian lahan masyarakat
masuk di dalam kawasan taman nasional sebagaimana yang ditunjukkan pada
Gambar 25, maka Mappatoba (2004) mengemukakan pula bahwa wujud dari
konflik terkait dengan pengelolaan TNLL yakni pada 1997, masyarakat Desa
Tongoa melakukan protes ke Kantor Balai TNLL di Palu sebab polisi hutan
mebakar dangau dan menghancurkan tanaman kakao yang berada di hutan adat
mereka. Situasi ini sangat mencekam karena penduduk desa yang marah
bermaksud membunuh polisi hutan yang menghancurkan kebun mereka. Sejak
era reformasi tahun 1998, penduduk lokal melakukan protes tentang masalah
yang sama dengan berbagai cara untuk mengklaim hutan adat mereka.
Beberapa kasus tentang perlawanan penduduk lokal terhadap polisi hutan di
kelompok desa non-KKM diberitakan di berbagai media cetak. Bahkan semua
152
pos penjagaan hutan yang terdapat di desa non-KKM pada saat penelitian ini
dilaksanakan, telah dirusak oleh masyarakat lokal.
28.89
22.22
11.11
55.58
0
10
20
30
40
50
60
Pe
rse
nta
se (
%)
Desa KKM Desa Non-KKM
Kebun sayuran Kebun kopi/kakao
Gambar 25 Persentase luas kebun masyarakat di desa KKM dan desa non-KKM yang terdapat dalam kawasan TNLL 2007.
5.4. Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Pengelolaan Taman Nasional
Partisipasi merupakan kunci sukses dalam mewujudkan pengelolaan
TNLL dengan pola co-management. Partisipasi yang dimaksud dalam penelitian
ini dikaji pada partisipasi masyarakat lokal dalam melaksanakan kegiatan
pelestarian, partisipasi pada kegiatan pengamanan kawasan, dan partisipasi
pada kegiatan penyuluhan.
5.4.1. Partisipasi Masyarakat pada Kegiatan Pelestarian Kawasan
Partisipasi masyarakat pada kegiatan yang dilaksanakan dalam upaya
pelestarian kawasan taman nasional akan diukur berdasarkan partisipasi
masyarakat lokal dalam hal: 1) tidak memindahkan hak milik/hak adat/hak kelola
lahan yang terdapat di luar maupun di dalam kawasan taman nasional
(disewakan, digadaikan, dan atau diperjualbelikan, 2) tidak menambah luas
kebun dalam kawasan, 3) tidak menghilangkan pal batas taman nasional, 4)
mengambil rotan hanya yang berumur di atas tiga tahun, 5) mengambil rotan
dalam kawasan dengan mengikuti wilayah kerja (ra-ombo), dan 6) penanaman
tanaman pengganti untuk setiap pohon yang ditebang untuk kebutuhan
konstruksi rumah tinggal dan pembangunan sarana sosial (rumah ibadah, lobo,
dan bantaya) dengan perbandingan tebang : tanaman = 1 : 10. Partisipasi
153
masyarakat pada setiap jenis kegiatan yang telah disebutkan ditunjukkan pada
Tabel 34.
Tabel 34 Persentse partisipasi masyarakat lokal pada kegiatan pelestarian kawasan TNLL 2007
Jenis Kegiatan Tingkat Partisipasi masyarakat lokal pada dua kelompok desa (%) Desa KKM Desa Non-KKM
PA PP PN Total PA PP PN Total
Tidak memindahkan hak adat/hak kelola lahan yang terdapat di dalam kawasan taman nasional (disewakan, dan atau digadaikan)
71,11 2,22 26,67 100,00 28,89 20,00 51,11 100,00
Tidak menambah luasan kebun dalam kawasan
68,89 22,22 8,89 100,00 17,78 13,33 68,89 100,00
Tidak menghilangkan pal batas taman nasional
62,22 13,34 24,44 100,00 15,56 17,78 66,66 100,00
Mengambil rotan hanya yang berumur di atas tiga tahun
57,78 33,33 8,89 100,00 24,44 17,78 57,78 100,00
Mengambil rotan dalam kawasan dengan mengikuti rotasi wilayah kerja (ra-ombo)
55,56 28,88 15,56 100,00 20,00 28,89 51,11 100,00
Menanam tanaman pengganti dengan perbandingan tebang : tanaman = 1 : 10
51,11 42,22 6,67 100,00 13,33 33,34 53,33 100,00
Rata-rata 61,11 23,70 15,19 100,00 20,00 21,85 58,15 100,00
Keterangan : - PA = Partisipasi Aktif; PP = Partisipasi Pasif; PN = Partisipasi Negatif.
- Jumlah responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM masing-masing: 45 orang.
Tabel 34 menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat yang ada di desa
KKM pada kegiatan untuk tidak memindahkan hak adat/hak kelola lahan yang
terdapat di dalam kawasan taman nasional memperlihatkan persentase tinggi
sementara partisipasi masyarakat yang ada di desa non-KKM justru
memperlihatkan partisipasi negatif yang tinggi dengan melakukan penjualan
lahan sebagaimana yang telah ditunjukkan pada Gambar 13.
Apabila mengacu pada partisipasi masyarakat di desa non-KKM dalam
hal mempertahankan hak adatnya maka dapat dikatakan bahwa kebiasaan
154
masyarakat di desa non-KKM untuk menjual lahan atau memindahkan haknya
pada orang lain memberikan indikasi yang tinggi. Indikasi ini merupakan salah
satu pemicu bagi masyarakat yang sudah tidak memiliki lahan masuk ke dalam
kawasan taman nasional untuk berkebun dengan menanam kakao. Terbukti di
lapangan bahwa sebagian besar kawasan taman nasional di desa non-KKM
sudah menjadi kebun kakao. Kondisi sebagian kawasan taman nasional di desa
non-KKM dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Bagian kawasan TNLL yang sudah menjadi kebun kakao (Dokumentasi Penulis 2007).
Selanjutnya pengambilan rotan yang berumur di atas tiga tahun oleh
masyarakat yang berada di desa KKM masih dilakukan di wilayah desa tersebut,
sementara masyarakat yang ada di desa non-KKM kegiatan tersebut dilakukan
di luar wilayah desa mereka, sebab ketersediaan rotan di wilayah desa non-KKM
sudah tidak ada akibat dari sebagian besar kawasan taman nasional yang
terdapat di desa tersebut sudah berubah fungsi dari kawasan konservasi menjadi
kebun kakao masyarakat.
Kegiatan lain yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dalam upaya
pelestarian TNLL diantaranya: Apabila anggota masyarakat yang melakukan
penebangan pohon untuk kebutuhan konstruksi rumah tinggal dan pembangunan
sarana sosial (rumah ibadah, lobo, dan bantaya) dengan izin lembaga adat,
diharuskan menanam anakan pohon yang ditebang dengan perbandingan 1:10.
Dari hasil analisis data ada sekitar 51,11% masyarakat di desa KKM yang
melaksanakan kegiatan tersebut. Ini berarti bahwa masyarakat yang bermukim di
kelompok desa KKM memiliki keinginan agar TNLL tetap lestari.
155
Lain halnya dengan masyarakat yang bermukim di desa non-KKM
memperlihatkan partisipasi secara aktif yang rendah dalam melakukan
penanaman pohon yang telah ditebang. Hal ini disebabkan karena masyarakat
lokal yang ada di desa non-KKM lebih cenderung memanfaatkan sumberdaya
lahan yang terdapat dalam kawasan dengan menanam tanaman kakao. Selain
itu rendahnya partisipasi aktif masyarakat yang ada di desa non-KKM untuk
menanam pohon sebagai tanaman pengganti dari pohon yang ditebang karena
merasa kepentingannya belum terpenuhi (kepentingan akan pengakuan dari
sumberdaya lahan yang terdapat dalam kawasan yang selama ini masyarakat di
desa non-KKM kelola sebagai sumber pendapatan). Oleh sebab itu agar
masyarakat di desa non-KKM dapat berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan
TNLL, maka masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan tersebut seyogyanya
memperoleh manfaat dari kegiatan yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Soekmadi (2002) bahwa apabila partisipasi
dipandang sebagai meningkatnya tanggung jawab yang diberikan kepada
penduduk lokal, tetapi tidak diiringi dengan meningkatnya hak-hak atau akses
yang dapat memberikan manfaat bagi mereka, maka partisipasi seperti itu akan
menjadi beban yang biasanya ditolak atau diterima dengan pasif.
5.4.2. Partisipasi Masyarakat pada Pengamanan Kawasan
Partisipasi masyarakat pada pengamanan kawasan dilihat pada
partisipasi masyarakat dalam mengawasi masyarakat luar agar tidak mengambil
kayu, rotan, anggrek hutan, pandan hutan, dan tanaman obat, yang terdapat
dalam kawasan, melindungi anoa, rusa, babi rusa, tarsius, burung alo, dan maleo
yang terdapat dalam kawasan dari pemburu/penjerat. Keterlibatan masyarakat
dalam kelompok pengamanan kawasan sebagai Tondo Ngata, Panimpu Ngata,
dan Hondohanua ditunjukkan pada Tabel 35.
Tabel 35 menunjukkan bahwa partisipasi aktif masyarakat pada kelompok
desa KKM dalam mengawasi masyarakat luar agar tidak mengambil kayu, rotan,
anggrek hutan, pandan hutan, dan tanaman obat yang terdapat dalam kawasan
taman nasional, berada pada kategori tinggi. Hal ini disebabkan karena keinginan
masyarakat yang berada di desa KKM untuk tetap mengelola lahan adat mereka
di dalam kawasan sudah diakomodir oleh pihak BTNLL melalui kesepakatan
konservasi yang telah dibangun. Terakomodirnya keinginan masyarakat untuk
mengolah lahan adatnya memberikan rasa aman bagi masyarakat untuk dapat
156
Tabel 35 Partisipasi masyarakat lokal pada pengamanan kawasan
Jenis Kegiatan Partisipasi masyarakat lokal pada dua kelompok desa (%) Desa KKM Desa Non-KKM
PA PP PN Total PA PP PN Total
Mengawasi masyarakat luar agar tidak membuka kebun dalam kawasan, mengambil kayu, rotan, anggrek hutan, pandan hutan, dan tanaman obat, yang terdapat dalam kawasan
86,67 11,11 2,22 100,00 13,33 15,56 71,11 100,00
Mengawasi para pemburu/penjerat anoa, rusa, babi rusa, burung alo, dan maleo yang terdapat dalam kawasan
73,33 22,22 4,45 100,00 22,22 11,11 66,67 100,00
Terlibat dalam kelompok pengamanan kawasan (Tondo Ngata, Panimpu Ngata, dan Hondohanua)
53,33 37,78 8,89 100,00 8,89 24,44 66,67 100,00
Rata-rata 71,11 23,70 5,19 100,00 14,81 17,04 68,15 100,00
Keterangan : - PA = Partisipasi Aktif; PP = Partisipasi Pasif; PN = Partisipasi Negatif.
- Jumlah responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM masing-masing: 45 orang.
mengakses sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhannya (memungut hasil
tanaman kopi, rotan, pandan hutan sebagai bahan kerajinan, dan tanaman obat
untuk dijadikan ramuan). Selain itu pengakuan BTNLL terhadap lahan adat
masyarakat yang ada di desa KKM berarti memberikan kejalasan hak bagi
masyarakat sesuai dengan kepentingannya.
Konsekuensi dari pemenuhan kebutuhan tersebut maka tanggungjawab
yang harus dilaksanakan oleh masyarakat di desa KKM yakni keikut sertaan
mereka secara aktif dalam pengamanan kawasan baik secara individu maupun
secara berkelompok. Partisipasi masyarakat di desa KKM dalam pengamanan
kawasan ditandai pula dengan adanya kelompok pengamanan kawasan yang
dibentuk oleh masyarakat lokal dikenal dengan Tondo Ngata, Panimpu Ngata,
dan Hondohanua. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok pengamanan
kawasan (Tondo Ngata) dapat dilihat pada Gambar 27 dan Gambar 28.
157
Gambar 27 dan 28 memperlihatkan kegiatan yang akan dilakukan oleh
Tondo Ngata untuk pengamanan kawasan diantaranya: kegiatan illegal loging
dan perambahan hutan, baik yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di desa
KKM itu sendiri maupun anggota masyarakat yang berasal dari desa di luar
desa KKM. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Golar (2007) dalam suatu
penelitian tentang penangkapan seorang warga desa KKM yang sedang
membuka lahan kebun di dalam kawasan TNLL. Ketika ditanya oleh petugas
Tondo ngata bahwa mengapa melakukan perambahan? Alasan yang
dikemukakan bahwa anggota masyarakat tersebut tidak memiliki lahan garapan,
dan menurutnya ia tidak tahu kalau yang diolah sebagai kebun itu merupakan
kawasan pangale.
Kejadian tersebut sangat mengejutkan bagi pihak Tondo ngata, sebab
selama ini perambahan hutan hanya dilakukan oleh warga di luar desa KKM.
Tapi kini mereka mendapati warga desa KKM yang merambah hutan. Atas
kesepakatan Totua ngata, warga yang melakukan perambahan disidang secara
adat, dan dijatuhi sanksi sesuai mekanisme penjatuhan sanksi yang telah diatur
dalam aturan main pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan
di desa KKM.
Salah satu faktor yang turut mendukung keberhasilan Tondo ngata dalam
menjaga kelestarian hutan di wilayah hukum adat adalah kepedulian dan
komitmen masyarakat dalam membantu tugas Tondo ngata. Misalnya dengan
memberikan laporan apabila mereka menjumpai pelanggaran di dalam hutan,
walaupun yang melakukan pelanggaran adalah warga masyarakat desa KKM
Gambar 27 Anggota Tondo ngata melakukan persiapan sebelum menjalankan tugasnya (Foto: Golar 2005).
Gambar 28 Anggota Tondo ngata berangkat ke dalam hutan (Foto: Golar 2005).
158
sendiri. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut merupakan
gambaran partisipasi masyarakat yang ada di desa KKM sangat tinggi. Hal ini
memberikan indikasi bahwa pemenuhan kebutuhan atau adanya manfaat yang
dinikmati dari suatu kegiatan akan mendorong seseorang atau kelompok untuk
berpartisipasi pada kegiatan tersebut termasuk kegiatan konservasi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan Rahardjo (2003) dan Slamet (2003) yang
mengemukakan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam setiap kegiatan
pembangunan bukan hanya keikutsertaannya dalam menyumbangkan input,
akan tetapi lebih kepada manfaat yang dapat dinikmati dari hasil pembangunan.
Masyarakat yang ada di desa non-KKM memperlihatkan partisipasi yang
rendah pada kegiatan untuk mengawasi masyarakat luar agar tidak mengambil
kayu, rotan, anggrek hutan, pandan hutan, dan tanaman obat yang terdapat
dalam kawasan diakibatkan oleh karena masyarakat yang ada di desa non-KKM
masih berkisar pada keinginan untuk memperjelas status kepemilikan lahan atau
sumberdaya yang ada dalam kawasan taman nasional. Menurut mereka ketidak
jelasan tersebut memberikan dampak ketidak nyamanan dalam pemanfaatan
sumberdaya yang merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat lokal. Apabila
kebutuhan dasar tersebut tidak terpenuhi maka konflik antara masyarakat lokal
dengan pihak BTNLL belum dapat terselesaikan. Karena itu prioritas kepentingan
yang harus dipenuhi adalah penyelesain masalah lahan yang merupakan
kebutuhan dasar bagi masyarakat.
Selanjutnya Tabel 35 memperlihatkan pula bahwa partisipasi masyarakat
pada desa KKM dalam mengawasi para pemburu/penjerat satwa endemik yang
dilindungi seperti anoa, rusa, babi rusa, tarsius, burung alo, dan maleo
memperlihatkan partisipasi yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan tidak
ditemukannya pemasangan jerat lagi di dalam kawasan tanaman nasional baik
yang dilakukan oleh masyarakat di desa KKM sendiri maupun anggota
masyarakat yang berasal dari luar desa KKM. Sementara partisipasi masyarakat
di desa non-KKM dalam mengawasi satwa endemik dari para pemburu/penjerat
memperlihatkan partisipasi negatif yang tinggi. Salah satu indikator yang dapat
dilihat dari tingginya partisipasi negatif masyarakat di desa non-KKM dalam
melindungi satwa endemik yakni: kondisi faktual yang dapat dilihat dilapangan
tentang rusaknya ekosistem dari satwa endemik yang dilindungi di desa non-
KKM adalah rusaknya ekosistem air panas yang sebelumnya merupakan habitat
maleo (Macrocephalon maleo Sall Muller) dan sekarang telah berubah menjadi
159
kebun cacao. Perlu ditambahkan pula bahwa tingkat partisipasi masyarakat di
desa non-KKM dalam kelompok pengamanan kawasan juga masih rendah.
5.4.3. Partisipasi pada Kagiatan Pelatihan/Penyuluhan
Partisipasi masyarakat pada kegiatan pelatihan/penyuluhan diharapkan
dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian
taman nasional dan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya.
Partisipasi masyarakat di dua kelompok desa yang ada di sekitar taman nasional
pada kegiatan pelatihan/penyuluhan dilihat dari keikut sertaannya pada
penyuluhan tentang dampak yang ditimbulkan dari kerusakan hutan, mengikuti
training tentang upaya pencegahan kerusakan hutan, dan keikut sertaannya
pada penyuluhan tentang cara bercocok tanam tanaman semusim maupun
tanaman tahunan, dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 36 Partisipasi masyarakat lokal pada kegiatan pelatihan/penyuluhan
Jenis Kegiatan Tingkat Partisipasi masyarakat lokal pada dua kelompok desa (%) Desa KKM Desa Non-KKM
PA PP PN Total PA PP PN Total
P Mengikuti penyuluhan tentang dampak yang ditimbulkan dari kerusakan hutan
77,78 8,89 13,33 100,00 20,00 24,24 55,56 100,00
P Mengikuti training tentang upaya pencegahan kerusakan hutan
71,11 22,22 6,67 100,00 15,56 22,22 62,22 100,00
Mengikuti penyuluhan tentang cara bercocok tanam tanaman semusim (padi dan jagung) maupun tanaman tahunan (kakao, kopi, dan vanili)
55,56 33,33 11,11 100,00 37,78 53,33 8,89 100,00
Rata-rata 68,15 21,48 10,37 100,00 24,45 33,26 42,29 100,00
Keterangan : - PA = Partisipasi Aktif; PP = Partisipasi Pasif; PN = Partisipasi Negatif.
- Jumlah responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM masing-masing: 45 orang.
160
Tabel 36 menunjukkan bahwa partisipasi aktif masyarakat lokal di desa
KKM dalam mengikuti penyuluhan tentang cara bercocok tanam tanaman
semusim dan tanaman tahunan, berada pada kategori tinggi dan untuk
masyarakat yang bermukim di desa non-KKM berada pada kategori rendah.
Animo masyarakat yang tinggi untuk mengikuti kegiatan penyuluhan pada desa
KKM, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat dalam mengelola usahatani mereka baik yang mengusahakan
tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Meningkatnya keterampilan
masyarakat di desa KKM diharapkan dapat meningkatkan produksi usataninya
yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat.
Meningkatnya pendapatan masyarakat akan mengurangi akses mereka untuk
memanfaatkan sumberdaya yang terdapat dalam kawasan dan bagi masyarakat
yang telah memanfaatkan sumberdaya lahan di dalam kawasan, diharapkan
cenderung untuk tidak memperluas kebun yang sudah ada, agar kerusakan dari
bagian kawasan taman nasional yang terdapat pada kelompok desa KKM dapat
dihindari, sehingga ekosistem flora maupun satwa endemik dapat dipertahankan
yang akhirnya sustainability dari TNLL dapat dipertahankan.
Keikut sertaan masyarakat di desa KKM untuk kegiatan penyuluhan
tentang dampak yang ditimbulkan dari kerusakan hutan maupun partisipasi
masyarakat dalam mengikuti training tentang upaya pencegahan kerusakan
hutan berada pada kategori tinggi. Sementara partisipasi masyarakat di desa
non-KKM berada pada kategori rendah. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat
pendidikan dari masyarakat yang bermukim di kedua kelompok desa tersebut.
Rendahnya partisipasi masyarakat di desa non-KKM pada setiap kegiatan
penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat memberikan indikasi bahwa masyarakat di desa tersebut masih
memfokuskan kegiatannya pada upaya untuk menuntut hak pemanfaatan lahan
yang dijanjikan oleh pemerintah seluas 2 ha untuk setiap kepala keluarga. Dari
hasil wawancara dengan masyarakat yang bermukim di desa non-KKM
terungkap bahwa setiap kepala keluarga di desa non-KKM hanya memiliki lahan
rata-rata 0,8 ha untuk setiap kepala keluarga atau hanya sekitar 40% dari luas
lahan yang pernah dijanjikan oleh pemerintah pada saat mereka akan
dipindahkan dari desa asal mereka pada pertengahan tahun 1970an (desa asal
mereka saat ini menjadi kawasan hutan lindung). Secara umum partisipasi
161
masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM pada upaya pengelolaan
TNLL ditunjukkan pada Tabel 37.
Tabel 37 Partisipasi masyarakat di desa KKM dan desa non-KKM pada upaya pengelolaan taman nasional 2007.
Jenis Kegiatan
Tingkat Partisipasi masyarakat lokal pada dua kelompok desa (%)
Desa KKM Desa Non-KKM
PA PP PN Total PA PP PN Total P Pelestarian
kawasan 61,11 23,70 15,19 100,00 20,00 21,85 58,15 100,00
P Pengamanan kawasan
71,11 23,70 5,19 100,00 14,81 17,04 68,15 100,00
Pelatihan/pe-nyuluhan
68,15 21,48 10,37 100,00 24,45 33,26 42,29 100,00
Rata-rata 66,69 23,56 9,72 100,00 19,75 24,05 56,20 100,00
Keterangan : - PA = Partisipasi Aktif; PP = Partisipasi Pasif; PN = Partisipasi Negatif.
- Jumlah responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM masing-masing: 45 orang.
Tabel 37 menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat di desa KKM pada
tiga komponen kegiatan dalam upaya pengelolaan kawasan: kegiatan pelestarian
kawasan, pengamanan kawasan, dan kegiatan pelatihan/penyuluhan
memperlihatkan partisipasi yang tinggi sementara partisipasi masyarakat yang
bermukim di desa non-KKM secara umum berada pada kategori rendah.
Penyebab utama dari rendahnya partisipasi masyarakat di desa non-KKM yakni
masyarakat merasa bahwa keberadaan taman nasional belum memberikan
manfaat bagi mereka, tapi justru sebaliknya masyarakat merasa tidak lagi
memiliki hak untuk mengakses sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan
yang selama ini mereka manfaatkan terutama mengambil rotan dan damar yang
merupakan salah satu kepentingan masyarakat lokal. Kondisi faktual yang dapat
dilihat dari kepentingan masyarakat yang belum terakomodir dari keberadaan
taman nasional dapat dilihat pada Gambar 29 dan Gambar 30.
Gambar 29 memperlihatkan pembakaran pondok dan hasil damar yang
dipungut oleh masyarakat di dalam kawasan taman nasional disita oleh polhut di
salah satu bagian kawasan taman nasional yang terdapat di desa non-KKM dan
Gambar 30, rotan hasil pungutan masyarakat yang disita oleh polhut di salah
satu bagian kawasan taman nasional juga terjadi di desa non-KKM. Kondisi
seperti ini akan memicu terjadinya konflik yang lebih besar kalau para
stakeholder terkait tidak mengantisipasinya dengan cara duduk bersama untuk
162
Gambar 29 Pembakaran pondok dan damar hasil pungutan masyarakat di dalam kawasan yang disita oleh Polhut (Dokumentasi BTNLL 2006).
mensinergikan perbedaan kepentingan diantara para stakeholder. Hasil
penelitian ini sejalan dengan Fisher (1995) yang mengemukakan bahwa dalam
pengelolaan sumberdaya hutan dibutuhkan suatu kesepakatan antara pihak
pengelola dengan masyarakat lokal agar masyarakat lokal berperan dalam hal
pengelolaan sumberdaya hutan, sebagai imbalannya masyarakat mempunyai
akses untuk memanfaatkan hasil-hasil hutan.
Gambar 30 Rotan hasil pungutan masyarakat yang disita oleh polhut (Dokumentasi BTNLL 2006)
163
5.5. Penerapan Prinsip Dasar Co-management dalam Pengelolaan TNLL pada Kondisi Saat ini
Pengelolaan kawasan konservasi terutama taman nasional dengan
pendekatan co-management ditentukan oleh beberapa faktor penting yang
sangat bervariasi sesuai dengan kondisi masing-masing taman nasional. Untuk
penelitian ini khusus mengkaji sejauhmana prinsip dasar dari co-management
telah diterapkan dalam pengelolaan TNLL pada kondisi saat ini (existing
condition). Prinsip dasar yang dimaksud yakni: 1) partisipasi stakeholder, 2)
pengakuan terhadap wilayah hak adat, 3) ada proses negosiasi, 4) Penerapan
sanksi adat, 5) ada batas teritori, 6) kejelasan hak dan tanggungjawab dari
stakeholder, serta 7) ada konsensus yang disepakati oleh stakeholder inti.
Penerapan dari ke tujuh prinsip dasar co-management tersebut di desa KKM dan
desa non-KKM dalam pengelolaan TNLL pada kondisi saat ini diuraikan sebagai
berikut:
1) Partisipasi stakeholder
Partisipasi stakeholder sebagai salah satu prinsip dari co-management
dianalisis penerapannya dalam pengelolaan TNLL pada kondisi sekarang.
Partisipasi stakeholder dalam pengelolaan TNLL berdasarkan pendapat dari
responden masyarakat lokal di desa KKM dan desa non-KKM ditunjukkan pada
Gambar 31.
Gambar 31 Persentase partisipasi stakeholder sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007.
Partisipasi stakeholder di Desa KKM (%)
57.78%17.78%
24.44%
Belum dilibatkantidak memberikan pendapattelah dilibatkan
Partisipasi stakeholder di Desa NKKM (%)
71.11%
20%
8.89%
Belum dilibatkan
tidak memberikan pendapat
telah dilibatkan
164
Gambar 31 menunjukkan bahwa pengelolaan TNLL saat ini menunjukkan
partisipasi masyarakat lokal di desa KKM tergolong tinggi (66,67%), untuk desa
non-KKM memperlihatkan partisipasi yang rendah (8,89%). Partisipasi
stakeholder yang tinggi di desa KKM mengindikasikan bahwa prinsip dasar dari
co-management dalam pengelolaan taman nasional pada kondisi saat ini di desa
KKM telah memperlihatkan penerapan yang tinggi akan tetapi sebaliknya pada
desa non-KKM penerapannya masih rendah. Hal ini memberikan indikator bahwa
masyarakat yang ada di desa KKM menilai bahwa mereka telah dilibatkan dalam
pengelolaan TNLL terutama pada pengawasan/pengamanan kawasan sehingga
kawasan taman nasional diharapkan dapat terhindar dari kegiatan masyarakat
yang berpeluang mengancam kelestarian taman nasional baik masyarakat yang
berada di desa KKM sendiri maupun masyarakat yang berasal dari luar desa
KKM. Kegiatan yang dimaksud antara lain pengambilan kayu secara illegal,
pemasangan jerat dalam kawasan, dan pengambilan rotan secara illegal.
Menurut masyarakat yang ada di desa KKM bahwa kegiatan yang
dilakukan secara illegal tersebut akan merugikan masyarakat sendiri terutama
yang bermukim di sekitar kawasan kalau seandainya terjadi tanah longsor akibat
dari penebangan liar. Akan tetapi masyarakat yang bermukim di desa non-KKM
masih relatif sedikit yang merasa bahwa mereka sudah mulai dilibatkan dalam
pengelolaan TNLL saat ini. Partisipasi sejumlah masyarakat lokal pada desa non-
KKM baru pada taraf dialog dan masih pada kategori rendah (8,89%). Dialog
yang dilaksanakan pada Juni 2003 tentang apa yang masyarakat inginkan terkait
dengan TNLL, namun keinginan masyarakat lokal di desa non-KKM saat ini
masih belum diakomodir terutama dalam hal keinginan masyarakat untuk diakui
hak adat/hak kelola dari lahan masyarakat yang terdapat dalam kawasan (baca
kepentingan masyarakat lokal).
Tingginya persentase (71,11%) masyarakat lokal di desa non-KKM yang
berpendapat bahwa pengelolaan TNLL saat ini belum melibatkan masyarakat di
sekitar kawasan, memberikan indikator bahwa partisipasi masyarakat lokal di
desa non-KKM dalam pengelolaan TNLL masih rendah. Alasan yang
dikemukakan oleh masyarakat di desa non-KKM yang merasa belum dilibatkan
dalam pengelolaan TNLL diantaranya: bahwa dengan keberadaan taman
nasional justru masyarakat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan hak
adat/hak kelola lahan yang terdapat dalam kawasan, kehilangan kesempatan
untuk mengumpul rotan sebagai sumber pendapatan, akan terjadi kelangkaan
165
lahan untuk anak-anak mereka di masa depan, kesulitan memperoleh kayu untuk
bahan bangunanan, dan kesulitan memperoleh kayu bakar. Persentase
masyarakat lokal di desa non-KKM berdasarkan alasan yang dikemukakan
ditunjukkan pada Tabel 38.
Tabel 38 Alasan yang dikemukakan masyarakat lokal di desa non-KKM terkait dengan pengelolaan TNLL pada kondisi saat ini 2007
No. Alasan yang dikemukakan Jumlah (org)
Persentase (%)
1. Masyarakat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan hak adat/hak kelola lahan yang terdapat dalam kawasan
24 53,33
2. Kehilangan kesempatan untuk mengumpul rotan sebagai sumber pendapatan
9 20,00
3. Akan terjadi kelangkaan lahan untuk anak cucu mereka di masa depan
7 15,56
4. Kesulitan memperoleh kayu untuk bahan bangunan
5 11,11
Total 45 100,00
Sumber : Hasil analisis 2007.
Tabel 38 menunjukkan bahwa terkait dengan pengelolaan TNLL pada
kondisi sekarang, maka masyarakat lokal yang bermukim di desa non-KKM yang
merasa kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan hak adat/hak kelola lahan
yang terdapat dalam kawasan masih berada pada kategori tinggi. Kemudian
menyusul masyarakat yang merasa kehilangan kesempatan untuk
mengumpulkan rotan sebagai sumber pendapatan, dan yang tidak kalah
pentingnya menurut masyarakat yang ada di desa non-KKM adalah kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya kelangkaan lahan bagi anak cucu mereka di masa
yang akan datang. Hal ini semakin memberikan gambaran yang kuat bahwa
partisipasi masyarakat di desa non-KKM pada tahap dialog terkait dengan
pengelolaan TNLL saat ini belum dapat dikatakan sebagai bentuk co-
management sebab masih berpeluang untuk menimbulkan konflik sebagai akibat
dari kepentingan masyarakat yang belum terakomodir. Partisipasi masyarakat di
desa non-KKM pada tahap dialog tersebut, oleh (Sen & Nielsen 1996; Pomeroy
2001) masih dikategorikan ke dalam tahap yang sifatnya baru pertukaran
informasi antara pemerintah dan pengguna yang dikenal dengan taraf instruktif,
belum pada tataran co-management. Sementara Fisher (1995) mengemukakan
bahwa konsep dasar dari co- management adalah partisipasi masyarakat lokal
166
dalam pengelolaan dan perlindungan suatu kawasan konservasi, sebagai
imbalannya masyarakat mempunyai akses untuk memanfaatkan sumberdaya
yang terdapat dalam kawasan hutan.
Mengacu pada pendapat (Sen & Nielsen 1996; Pomeroy 2001; Fisher
1995) maka dapat dikatakan bahwa penerapan prinsip dasar co-management
untuk partisipasi stakeholder di desa KKM sudah pada kategori tinggi atau telah
teraplikasi dengan baik sedang di desa non-KKM penerapannya masih rendah
atau belum pada tataran co-management.
2) Pengakuan terhadap hak lahan adat
Salah satu prinsip dasar dari co-management yang dianalisis sejauhmana
penerapannya dalam penelitian ini adalah pengakuan terhadap hak lahan adat.
Penerapan dari prinsip dasar tersebut akan mengacu pada pendapat yang
dikemukakan oleh stakeholder masyarakat lokal yang ditunjukkan pada Gambar
32.
Gambar 32 Persentase pengakuan terhadap wilayah hak adat sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007.
Gambar 32 menunjukkan bahwa di dalam pengelolaan taman nasional,
telah ada pengakuan terhadap hak lahan adat yang bermukim di desa KKM
dengan persentase masyarakat yang menyatakan bahwa telah ada pengakuan
terhadap hak lahan adat di desa KKM tergolong tinggi (82.22). Pengakuan
terhadap hak lahan adat bagi masyarakat yang ada di desa KKM tersebut
memberikan dampak yang positif terhadap kelestarian kawasan taman nasional,
dengan berkurangnya kegiatan perambahan bahkan dapat dikatakan bahwa
kegiatan perambahan di desa KKM sudah tidak ada. Hasil penelitian ini sejalan
Pengakuan lahan adat di Desa KKM (%)
13.33%
4.44%
82.22%
Belum diakui
Tidak memberikan pendapat
Telah diakui
Pengakuan lahan adat di Desa NKKM (%)
77.78%
13.33%
8.89%
Belum diakui
Tidak memberikan pendapat
Telah diakui
167
dengan pendapat yang dikemukakan oleh NRTEE (1999) bahwa untuk menjaga
integritas ekologi sumberdaya alam dengan pendekatan co-management, maka
prinsip dasar yang harus dimiliki diantaranya adalah: 1) pengakuan terhadap
kearifan dan pengelolaan tradisional, dan 2) perbaikan hak masyarakat lokal.
Hasil penelitian ini sejalan pula dengan David et al. (2003)
mengemukakan bahwa peranserta masyarakat yang meluas dan tidak sekedar
simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik dimana produktifitas tercapai
tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi
masyarakat lokal. Sementara di desa non-KKM persentase masyarakat masih
tergolong rendah (13,33) yang mengatakan bahwa hak masyarakat terhadap
sumberdaya alam (terutama sumberdaya lahan) yang terdapat di dalam kawasan
telah diakui oleh pihak BTNLL. Hal ini dapat dilihat dengan berbagai upaya yang
sedang dilakukan oleh masyarakat di desa non-KKM untuk memperjuangkan
haknya agar dapat diakui minimal sama dengan pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat di desa KKM yang telah mendapat pengakuan dari pihak BTNLL.
Salah satu upaya yang sedang digagas oleh masyarakat di desa non-KKM agar
mendapat pengakuan terhadap hak adat/hak kelola mereka diantaranya adalah
membangun kesepakatan antara masyarakat dengan pihak BTNLL, tapi belum
ada pengakuan secara resmi terhadap hak masyarakat untuk tetap
memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah adatnya yang terdapat di dalam
kawasan.
Pengakuan hak yang belum diperoleh masyarakat di desa non-KKM
sebagaimana yang telah diuraikan, merupakan implikasi dari keputusan yang
bersifat topdown sehingga kepentingan dari pengelolaan kawasan taman
nasional tidak searah dengan kepentingan masyarakat di sekitar kawasan.
Akibatnya terjadi ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik
kepentingan antara pengelola kawasan dengan komunitas lokal yang bermukim
di sekitar kawasan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Fisher et al. (2001) bahwa konflik akan terjadi apabila hubungan antara dua
pihak atau lebih yang merasa memiliki sasaran yang satu dengan yang lain tidak
sejalan. Sasaran yang tidak sejalan inilah yang membutuhkan suatu pendekatan
agar kepentingan masig-masing pihak dapat disinergikan untuk menghindari
terjadinya konflik yang dapat berimplikasi negatif terhadap kelestarian taman
nasional. Oleh sebab itu untuk menjaga kelestarian TNLL maka pengakuan
terhadap hak masyarakat yang bermukim di desa non-KKM seyogyanya
168
diberikan oleh pihak BTNLL sama dengan pengakuan terhadap hak masyarakat
yang bermukim di desa KKM tentunya lewat suatu negosiasi untuk mendapatkan
suatu kesepakatan.
3) Pelaksanaan negosiasi
Prinsip dasar co-management lainnya yang dianalisis sejauhmana
penerapannya dalam penelitian ini adalah pelaksanaan negosiasi. Negosiasi
merupakan salah satu faktor kunci untuk mencapai kompromi atau kesepakatan
atas konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan terkait dengan
sumberdaya alam. Penerapan atau pelaksanaan negosiasi dalam pengelolaan
taman nasional pada dua kelompok desa yang ada di sekitar TNLL ditunjukkan
pada Gambar 33.
Gambar 33. Persentase pelaksanaan negosiasi sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007.
Gambar 33 menunjukkan bahwa di dalam pengelolaan taman nasional,
pelaksanaan negosiasi khusus di desa KKM memperlihatkan persentase yang
sedang sementara di desa non-KKM hanya sekitar 13,33% masyarakat yang
menyatakan bahwa telah dilakukan upaya untuk mempertemukan kepentingan
dari stakeholder yang terkait dengan TNLL. Proses negosiasi yang dilaksanakan
di desa KKM untuk mewujudkan kesepakatan antara masyarakat lokal dengan
pihak TNLL tidak dilakukan dengan duduk bersama antar stakeholder (terutama
stakeholder inti) melainkan hanya dilakukan melalui mediasi oleh LSM yang
memfaslitasi terbangunnya KKM.
Proses negosiasi yang dilaksanakan di desa KKM untuk membentuk
suatu kesepakatan dilakukan dengan cara melibatkan beberapa tokoh
masyarakat kemudian oleh LSM yang memfasilitasi terbentuknya KKM tersebut
Pelaksanaan negosiasi di Desa KKM (%)
22.22%
35.56%42.22%
Belum dilaksanakan
Tidak memberikan pendapat
Telah dilaksanakan
Pelaksanaan negosiasi di Desa NKKM
(%)
15.56%
13.33%
71.11%
Belum dilaksanakan
Tidak memberikan pendapat
Telah dilaksanakan
169
mendapat informasi dari tokoh masyarakat tentang hak-hak yang masyarakat
lokal inginkan terkait dengan TNLL kemudian LSM memformulasi keinginan-
keinginan masyarakat tersebut termasuk membuat Peta Partisipatif tentang
lahan adat masyarakat yang terdapat di dalam kawasan TNLL. Selanjutnya
naskah KKM yang telah diformulasi tersebut diajukan ke pihak BTNLL untuk
dipelajari kemudian disetujui atau diakui oleh pihak BTNLL.
Mengacu pada pelaksanaan negosiasi yang dilakukan di desa KKM
maka dapat dikatakan bahwa proses negosiasi yang dilaksanakan tersebut,
belum memenuhi syarat dari co-management dimana stakeholder terkait harus
duduk bersama untuk membicarakan konflik kepentingan diantara stakeholder
dengan satu pemahaman: ”saling memberi dan menerima” untuk mencapai suatu
kesepakatan. Hal ini didukung oleh Borrini-Feyerabend et al. (2000) yang
mengemukakan bahwa co-management adalah dua atau lebih stakeholder
bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka untuk
secara adil membagi hak dan tanggungjawab dari suatu daerah teritori atau
sumberdaya alam tertentu. Selain itu dikatakan pula bahwa salah satu prinsip
yang menentukan keberhasilan dari co-management adalah lebih menghargai
dan mementingkan proses ketimbang produk fisik jangka pendek . Oleh sebab itu
negosiasi sebagai salah satu prinsip dasar dari pendekatan co-management
haruslah benar-benar dilaksanakan dengan melibatkan stakeholder terkait untuk
menghasilkan suatu kesepakatan yang legitimate.
Lain halnya dengan masyarakat yang bermukim di desa non-KKM, hanya
13,33% diantara mereka yang mengatakan bahwa telah dilakukan proses
negosiasi dengan Pemda melalui dialog dengan Ketua dan anggota DPRD Kab.
Donggala serta para kepala dinas terkait, hanya saja pelaksanaan dialog
tersebut tidak dihadiri oleh pihak BTNLL. Pelaksanaan proses negosiasi di desa
non-KKM tersebut juga belum memenuhi syarat dari co-management, dimana
dalam proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan harus melibatkan
stakeholder inti: masyarakat lokal dan BTNLL (WWF-Indonesia 2008). Jadi
pelaksanaan negosiasi telah dilakukan baik di desa KKM maupun di desa non-
KKM hanya saja pelaksanaan negosiasi pada ke dua desa tersebut belum
memenuhi tataran co-management.
170
4) Penerapan sanksi adat
Penerapan Prinsip dasar co-management lainnya yang dianalisis
penerapannya dalam penelitian ini adalah penerapan sanksi adat. Seberapa
besar penerapan dari sanksi adat dalam pengelolaan TNLL ditunjukkan pada
Gambar 34.
Gambar 34. Persentase penerapan sanksi adat sebagai prinsip co-management dalam pengelolaan TNLL 2007.
Gambar 34 menunjukkan bahwa penerapan sanksi adat dalam
pengelolaan TNLL di desa KKM telah dilaksanakan dan memperlihatkan hasil
yang efektif, sebab anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran dan
kemudian disidangkan di lembaga adat, di yakini oleh masyarakat di desa KKM
sebagai suatu pantangan yang akan dirasakan oleh keluarga tersebut secara
turun temurun, sehingga sanksi adat akan cenderung lebih efektif dibanding
dengan hukum formal. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
McKean (1992) dan Li (2000) bahwa sanksi adat terkait erat dengan nilai-nilai
yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat adat tertanam pada setiap
individu, sehingga lebih bertahan dan lebih dipatuhi bila dibandingkan sanksi-
sanksi formal bentukan pemerintah.
Sejalan dengan pendapat McKean (1992) dan Li (2000) sebagaimana
yang telah dikemukakan, maka kajian yang dilakukan oleh Basuni (2003); Flint &
Lulof (2005); Pagdee et al. (2006) bahwa aturan-aturan lokal yang disepakati,
diimplementasikan dengan baik, serta didukung oleh identitas komunal yang
kuat, terbukti mampu menunjang kelestarian fungsi hutan. Oleh karena itu
penerapan sanksi adat secara konsisten, akan berdampak positif terhadap
kelestarian TNLL.
Penerapan sanksi adat di Desa KKM (%)
84.44%
15.56%0%
Belum diterapkan
Tidak memberikan pendapat
Telah diterapkan
Penerapan sanksi adat di Desa NKKM (%)
86.67%
4.44%8.89%
Belum diterapkan
Tidak memberikan pendapat
Telah diterapkan
171
Masyarakat yang bermukim di desa non-KKM, hanya 4,44% diantara
mereka yang mengatakan bahwa sudah pernah dilakukan sidang adat terkait
dengan keberadaan kawasan taman nasional. Menurut masyarakat di desa non-
KKM perhatian mereka lebih mengarah pada keinginan akan adanya pengakuan
dari pihak BTNLL atas lahan masyarakat yang dijadikan sebagai sumber mata
pencaharian yang terdapat dalam kawasan. Apabila penerapan sanksi adat yang
dilakukan di desa KKM dijadikan sebagai acuan dalam memberikan sanksi bagi
siapapun pelaku kegiatan yang cenderung mengancam kelestarian kawasan
taman nasional, maka dapat dikatakan bahwa penerapan sanksi adat dalam
pengelolaan TNLL ke depan cenderung akan lebih efektif.
5) Batas teritori
Salah satu prinsip dasar dari co-management yang dianalisis dalam
penelitian ini adalah adanya batas teritori. Sejauhmana keberadaan batas teritori
pada masing-masing kelompok desa ditunjukkan pada Gambar 35.
Gambar 35 Persentase pendapat responden tentang batas teritori dalam pengelolaan TNLL 2007.
Gambar 35 menunjukkan bahwa persentase pendapat responden tentang
adanya penetapan batas teritori dalam pengelolaan TNLL di desa KKM telah ada
dan telah disepakati serta mendapat pengakuan dari pihak BTNLL yang
sebelumnya diklaim sebagai bagian dari wilayah TNLL. Pengakuan tersebut,
secara sosial-ekonomi memberikan rasa aman kepada masyarakat untuk
menjaga dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat dalam wilayah
taman nasional untuk memenuhi kebutuhan mereka. Penetapan batas teritori
yang juga telah disepakati antara masyarakat di desa KKM dan pihak BTNLL
memberikan gambaran bahwa penerapan salah satu prinsip co-management
yakni adanya batas teritori dalam pengelolaan TNLL di bagian kawasan yang
Batas Teritori di Desa KKM (%)
4.44% 8.89%
86.67%
Belun ada batas
Tidak memberikan pendapat
Telah ada batas
Batas Teritori di Desa NKKM (%)
88.89%
4.44%6.67%
Belun ada batas
Tidak memberikan pendapat
Telah ada batas
172
terdapat di kelompok desa KKM telah diterapkan dan sekitar 86,67% responden
masyarakat lokal yang mengakui keberadaannya. Penetapan batas teritori dalam
pengelolaan TNLL di desa KKM dapat dikatakan telah memenuhi salah satu
prinsip dari co-management sesuai dengan yang dikemukakan oleh Borrini-
Feyerabend et al. (2000) bahwa batas teritori merupakan salah satu prinsip dasar
dari keberhasilan co-management.
Masyarakat yang bermukim di desa non-KKM, hanya 4,44% diantara
mereka yang mengatakan bahwa telah ada batas teritori yang memberikan
kewenangan kepada masyarakat untuk dapat mengakses sumberdaya yang
telah dimanfaatkan sebelum penetapan kawasan TNLL. Sedang 88,89%
masyarakat di desa non-KKM yang menyatakan bahwa belum ada batas teritori
Situasi demikian, berpeluang besar terjadinya konflik terbuka sama dengan yang
terjadi pada tahun sebelumnya (2001), karena masyarakat di desa non-KKM
menuntut adanya pemberian hak yang relatif sama dengan hak yang diterima
oleh masyarakat di desa KKM. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu pendekatan
pengelolaan yang dapat mengantisipasi terjadinya konflik secara vertikal maupun
konflik horizontal.
6) Kejelasan hak dan tanggung jawab
Kejelasan hak dan tanggungjawab dari stakeholder merupakan salah satu
prinsip dasar dari co-management yang dianalisis dalam penelitian ini.
Sejauhmana aplikasinya dalam pengelolaan taman nasional pada masing-
masing kelompok desa ditunjukkan pada Gambar 36.
Gambar 36 Persentase pendapat responden tentang kejelasan hak dan tanggungjawab
dalam pengelolaan TNLL 2007.
Kejelasan hak dan tanggungjawab di Desa
KKM (%)
82.22%
6.67%
11.11%
Belum ada kejelasan
Tidak memberikan pendapat
Ada kejelasan
Kejelasan hak dan tanggungjawab di Desa
NKKM (%)
86.67%
8.89%4.44%
Belum ada kejelasan
Tidak memberikan pendapat
Ada kejelasan
173
Gambar 36 menunjukkan bahwa 82,22% masyarakat yang menyatakan
bahwa hak dan tanggung jawab stakeholder dalam pengelolaan TNLL di desa
KKM telah jelas dan diatur dalam kesepakatan konservasi masyarakat (KKM).
Berdasarkan hasil diskusi dengan LSM dan ketua lembaga adat, ternyata bahwa
pada saat ini masyarakat berupaya melaksanakan tanggung jawabnya untuk ikut
dalam pengamanan kawasan. Tanggung jawab yang diperlihatkan oleh
masyarakat di desa KKM tersebut memberikan gambaran bahwa keterlibatan
masyarakat di sekitar kawasan terutama dalam kegiatan pengamanan kawasan
merupakan implikasi dari kejelasan hak yang diberikan kepada masyarakat yang
bermukim di desa KKM. Keterlibatan masyarakat tersebut akan meringankan
beban biaya yang dibutuhkan karena para pihak yang terkait akan saling bahu
membahu menyumbangkan sumberdaya termasuk informasi maupun tenaga
yang dimilikinya. Hal ini merupakan salah satu sasaran yang diharapkan dalam
pendekatan pengelolaan kawasan konservasi dengan pendekatan co-
management agar kelestarian kawasan dapat terjaga dengan keterlibatan
stakeholder terkait. Kondisi ini didukung oleh Claridge & O”Callaghan (1995);
Alikodra (2004) yang mengemukakan bahwa salah satu karakteristik dari
keberhasilan co-management adalah para pihak mengerti secara penuh dan
saling percaya, serta mempunyai peran yang jelas.
Selanjutnya dari hasil diskusi terungkap pula bahwa seharusnya ada
dana operasional untuk mendukung kegiatan yang dilakukan oleh kelompok
pengamanan kawasan (Tondo Ngata, Panimpu Ngata, dan Hondohanua).
Apabila kejelasan hak dan tanggung jawab yang harus diemban oleh masing-
masing stakeholder terkait dengan pengelolaan TNLL sudah dipahami oleh
setiap kelompok stakeholder, maka dana opersional untuk kelompok
pengamanan kawasan yang dimaksud, tidak akan menjadi beban dalam
pengelolaan taman nasional dengan pendekatan co-management.
Terkait dengan kejelasan hak dan tanggung jawab dari stakeholder
sebagai salah satu prinsip dasar co-managment dalam pengelolaan TNLL desa
non-KKM terlihat bahwa ada 86,67% masyarakat yang menyatakan bahwa
prinsip dasar dari co-management tersebut belum teraplikasi di dalam kegiatan
pengelolaan taman nasional. Ketidak jelasan tersebut, berpeluang untuk
menimbulkan konflik kepentingan antara masyarakat lokal dengan pihak BTNLL.
Oleh sebeb itu semakin kuat dugaan bahwa co-management merupakan
pendekatan yang tepat untuk pengelolaan TNLL.
174
7) Konsensus yang disepakati
Prinsip dasar dari co-management yang dianalisis dalam penelitian ini
adalah konsensus yang telah disepakati. Analisis dari prinsip dasar tersebut
mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh stakeholder masyarakat lokal
yang ditunjukkan pada Gambar 37.
S
Gambar 37 Persentase pendapat responden tentang adanya konsensus dalam pengelolaan TNLL 2007.
Gambar 37 menunjukkan bahwa di dalam pengelolaan taman nasional,
telah ada konsensus yang disepakati antara masyarakat yang bermukim di desa
KKM dengan pihak BTNLL yang dikenal dengan kesepakatan konservasi
masyarakat (KKM). Persentase masyarakat di desa KKM yang menyatakan
bahwa telah ada konsensus/kesepakatan yang disepekati bersama antara
masyarakat dengan pihak BTNLL dan pernyataan masyarakat tersebut berada
pada kategori tinggi (91,11%). Pendapat yang dikemukakan oleh masyarakat
tentang keberadaan konsensus/kesepakatan di desa KKM didukung oleh
pernyataan dari key informan yakni To Tua Ngata yang mengemukakan bahwa
memang telah ada kesepakatan yang dibangun dan bahkan telah ditandatangani
bersama antara Kepala BTNLL dengan salah satu tokoh masyarakat yakni To
Tua Ngata. Naskah kesepakatan yang telah ditandatangani di desa KKM dan
pengakuan pihak BTNLL terhadap wilayah hukum adat ditunjukkan pada Gambar
38 dan Gambar 39.
Konsensus di Desa KKM (%)
91.11%
2.22%6.67%
Belum ada konsensus
Tidak memberikan jawaban
Telah ada konsensus
Konsensus di Desa NKKM (%)
84.44%
4.44%11.11%
Belum ada konsensus
Tidak memberikan jawaban
Telah ada konsensus
175
Naskah kesepakatan yang telah dibangun di Desa KKM dan telah
mendapat pengakuan dari pihak BTNLL akan lebih legitimate seandainya
Naskah kesepakatan yang telah dibangun di Desa KKM dan telah
Naskah kesepakatan yang telah dibangun di desa KKM dan telah
mendapat pengakuan dari pihak BTNLL akan lebih legitimate seandainya
dibangun dengan proses negosiasi yang juga melibatkan Pemda terutama untuk
membicarakan masalah yang terkait dengan SK Gubernur No.592/1993 tentang
tidak diakuinya keberadaan lahan adat di Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah. SK
Gubernur tersebut mendukung Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
593/Kpts-II/1993 pada tanggal 5 Oktober 1993 tentang penunjukan Kawasan
TNLL (baca Sub Bab Diskripsi TNLL), yang pada saat itu mulai pemberlakukan
aturan yang melarang masyarakat lokal untuk mengambil atau memanfaatkan
sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan taman nasional sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya.
Apabila dilihat dari proses pencapaian konsensus/kesepakatan yang telah
terbangun antara msyarakat yang bermukim di desa KKM dengan pihak BTNLL
dapat dikatakan bahwa konsensus/kesepakatan yang dicapai tersebut tidak
sejalan dengan prinsip dasar dari co-management yang dikemukakan oleh
Borrini- Feyerabend et al. (2000) yakni lebih mementingkan proses ketimbang
produk yang dihasilkan. Sementara konsensus/kesepakatan yang dicapai di desa
KKM dibangun melalui keterlibatan LSM (YTM dan TNC) yang memformulasi
point-point kesepakatan berdasarkan pada keinginan-keinginan masyarakat lokal
terkait dengan hak adatnya. Kemudian naskah kesepakatan yang telah
diformulasi tersebut, diajukan ke pihak BTNLL melalui LSM untuk disetujui atau
diakui (hasil diskusi dengan tokoh adat 2007).
Gambar 38 Salah seorang angota Totua Ngata menyerahkan piagam kesepakatan kepada Kepala Balai TNLL (Foto: Dokumentasi masyarakat Toro 2000).
Gambar 39 Masyarakat Adat Toro berpose bersama di sekeliling Prasasti Pengakuan (Foto: Dokumentasi masyarakat Toro 2000).
176
Menurut Borrini-Feyerabend et al. (2000) bahwa konsensus/
kesepakatan yang dihasilkan seharusnya melalui proses negosiasi yang
melibatkan minimal stakeholder inti (masyarakat lokal dan BTNLL) untuk duduk
bersama membicarakan perbedaan kepentingan untuk mencapai konsensus/
kesepakatan yang dipahami dan dapat dijadikan kontrol oleh masing-masing
pihak dalam pengelolaan taman nasional. Akan tetapi pendapat Fisher (1995)
mengemukakan bahwa konsep dasar dari co-management yang berkaitan
dengan sektor kehutanan adalah tercapainya kesepakatan tentang pengelolaan
hutan antara pihak pengelola dengan masyarakat lokal. Oleh sebab itu
konsensus/kesepakatan yang telah dibangun dan telah disepakati di desa KKM
antara masyarakat lokal dengan pihak BTNLL dikaitkan dengan pendapat Fisher
(1995) sebagaimana yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa
konsensus/kesepakatan yang telah dicapai di desa KKM tersebut telah sejalan
dengan konsep dasar dari co-management dan akan lebih legitimate lagi kalau
konsensus yang disepakati tersebut dihasilkan melalui proses negosiasi yang
sesuai dengan tataran co-management.
Sementara masyarakat yang bermukim di desa non-KKM, 84,44%
diantara mereka yang mengatakan bahwa belum ada konsensus/kesepakatan
yang dibangun antara masyarakat dengan pihak BTNLL. Menurut masyarakat di
desa non-KKM, sudah beberapa kali dilakukan dialog dengan pihak BTNLL
hanya saja belum ada satupun kesepakatan yang dihasilkan dari kegiatan dialog
tersebut. Bukti bahwa belum ada kesepakatan yang berhasil dibangun yakni
pada saat penelitian ini dilaksanakan, masyarakat di desa non-KKM
mengemukakan bahwa kami telah melakukan pengukuran dan membuat patok
sebagai batas wilayah yang kami bisa manfaatkan dan batas tersebut telah
disetujui oleh Kepala BTNLL. Namun, ketika pemasangan patok tersebut
dikonfirmasi dengan Kepala BTNLL, hal itu tidak dibenarkan oleh Kepala Balai.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsensus/kesepakatan antara
stakeholder masyarakat lokal dengan pihak BTNLL di desa non-KKM memang
belum ada.
5.6. Konsep Co-management untuk TNLL
Berdasarkan hasil analisis kepentingan stakeholder, analisis partisipatif,
dan analisis co-management maka teridentifikasi lima belas faktor yang diduga
sebagai faktor penentu keberhasilan pengembangan co-management untuk
pengelolaan TNLL . Kelima belas faktor yang dimaksud yakni:
177
A) Partisipasi stakeholder adalah peran atau kegiatan yang dilaksanakan
oleh stakeholder masyarakat lokal terkait dengan upaya pengelolaan
TNLL.
B) Batas teritori adalah bagian wilayah TNLL yang dapat diakses oleh
masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumberdaya yang bernilai
ekonomi.
C) Negosiasi adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan dengan
melibatkan minimal stakeholder masyarakat lokal dan pihak BTNLL untuk
membicarakan hal-hal yang terkait dengan perbedaan kepentingan.
D) Kejelasan hak dan tanggung jawan adalah semua hak masyarakat lokal
yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan TNLL
diketahui oleh stakeholder masyarakat lokal maupun pihak BTNLL dan
masyarakat mengerti serta mau melaksanakan tanggungjawab yang
harus diemban terkait dengan kelestarian taman nasional.
E) Pengakuan terhadap hak lahan adat adalah pengakuan terhadap hak
adat/hak kelola masyarakat terhadap sumberdaya yang terdapat di dalam
kawasan TNLL (pemanfaatan sumberdaya lahan, pemetikan hasil
tanaman kopi/kakaonya, serta pengambilan rotan dan damar).
F) Terbangun pusat informasi adalah pembangunan pusat informasi yang
terkait dengan TNLL untuk memudahkan akses yang terkait dengan
pendidikan/penelitian.
G) Pengambilan rotan dengan sistem rotasi yakni pengambilan rotan di
bagian kawasan yang telah ditentukan bersama dengan melibatkan
masyarakat lokal, lembaga adat, kepala desa, dan BTNLL melalui polisi
hutan.
H) Masyarakat tidak melakukan kegiatan illegal loging yakni masyarakat
hanya menebang kayu di dalam wilayah adat untuk kebutuhan konstruksi
rumah tinggal dan kegiatan sosial dengan izin lembaga adat.
I) Konsensus (kesepakatan) adalah point-point yang disepakati oleh
stakeholder melalui proses negosiasi.
J) Penerapan sanksi adat adalah pemberlakuan sanksi bagi setiap
pelanggaran terkait dengan TNLL berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat lokal.
178
K) Masyarakat tidak memperluas kebun dalam kawasan yakni masyarakat
dengan sadar hanya mengelola kebun yang telah disepakati dan
mendapat pengakuan dari pihak BTNLL.
L) Penataan kembali pal batas adalah pemindahan pal batas dari posisi
semula ke tempat yang disepakati oleh stakeholder yang mempunyai
kepentingan terkait dengan pal batas TNLL
M) Dana hibah untuk pengelolaan kawasan adalah dana yang diharapkan
dari negara donor untuk kelestarian kawasan TNLL sebagai warisan
dunia.
N) Pengembangan objek wisata adalah pembangunan objek-objek wisata
yang terdapat di sekitar TNLL agar dapat menjadi sumber pendapatan
bagi masyarakat sekitar.
O) Pemberian insentif bagi anggota masyarakat adalah sejumlah uang yang
diharapkan diperoleh dari dana monitoring BTNLL untuk anggota
masyarakat yang aktif dalam pengamanan kawasan TNLL.
Sebelum dilakukan analisis prospektif terlebih dahulu dilakukan penilaian antar
faktor yang hasilnya ditunjukkan pada Lampiran 4. Mengacu pada nilai pengaruh
antar faktor (Lampiran 4), maka untuk menentukan faktor kunci keberhasilan
konsep co-management untuk pengelolaan TNLL, dilakukan analisis prospektif
yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 40.
Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 40 terlihat bahwa ada tiga faktor
yang berada pada kuadran I dan merupakan faktor input yang mempunyai
pengaruh tinggi terhadap keberhasilan co-management dengan ketergantungan
yang rendah antar elemen. Ketiga faktor yang terdapat pada kuadran I yang
dimaksud adalah: partisipasi stakeholder dalam pengelolaan taman nasional, ada
proses negosiasi, dan ada konsensus yang disepakati. Sementara empat faktor
yang terdapat pada kuadran II yakni: batas teritori, kejelasan hak dan tanggung
jawab stakeholder, pengakuan terhadap hak lahan adat, dan penerapan sanksi
adat, merupakan faktor penghubung yang mempunyai pengaruh tinggi dan
ketergantungan antar elemen yang tinggi pula dalam pendekatan co-
management.
Ketujuh faktor yang terdapat pada kuadran I dan kuadran II yakni :
partisipasi stakeholder dalam pengelolaan taman nasional, ada proses negosiasi,
ada konsensus yang disepakati, ada batas teritori, ada kejelasan hak dan
tanggung jawab stakeholder, pengakuan terhadap hak lahan adat dan
179
penerapan sanksi adat merupakan faktor kunci keberhasilan co-management
dalam pengelolaan TNLL. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Claridge & O”Callaghan (1995); Fisher (1995); IUCN (1997);
Borrini-Feyerabend et al. (2000); Nikijuluw (1999); Knight Tighe (2003); Alikodra
(2004), mengemukakan beberapa prinsip dasar atau karakteristik dari
keberhasilan co-management termasuk tujuh faktor kunci keberhasilan co-
management untuk pengelolaan TNLL.
Gambar 40 Tingkat kepentingan faktor-faktor yang menentukan keber-hasilan pengembangan co-management dalam pengelolaan TNLL.
Selanjutnya faktor yang terdapat pada kuadran III dengan pengaruh yang
rendah akan tetapi keterkaitannya tinggi dengan elemen-elemen yang lain,
merupakan pula faktor yang perlu mendapat perhatian sebagai penentu output
keberhasilan pengembangan co-management. Sedang faktor yang terdapat pada
kuadran IV merupakan faktor yang dapat diabaikan (unused factor) karena
pengaruh maupun ketergantungannya rendah terhadap faktor lain, sehingga
membutuhkan dana yang besar apabila dijadikan sebagai driven factor dalam
merumuskan kebijakan.
Mengacu pada ke tujuh faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan
pengembangan co-management dalam pengelolaan TNLL sebagaimana yang
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Menentukan
Keberhasilan Co-management untuk Pengelolaan TNLL
Masy. tidak melakukan illegal loging
Negosiasi
Partisipasi SH
Konsensus
Batas teritori
Terbangun pusat informasi
Masyarakat tidak memperluas kebun
Pengakuan hak lahan adat
Pengembangan objek wisata
Kejelasan hak dan t. jawab
Penerapan sanksi adat
Penataan kembali pal batas
Dana hibah untuk pengelolaan
Pengambilan rotan dg. rotasi
Pemberian insentif bagi anggota masy.
---------0.0
1.0
2.0
0.0 1.0 2.0
Ketergantungan
P e n g a r u h
180
ditunjukkan pada Gambar 40, maka konsep co-management yang akan
diterapkan pada pengelolaan TNLL ke depan sekaligus diharapkan dapat
menginisiasi penyelesaian konflik yang terjadi di sekitar kawasan, agar TNLL
tetap lestari dan ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional dapat menigkat,
ditunjukkan pada Gambar 41.
Gambar 41 Konsep co-management TNLL.
Gambar 41 menunjukkan bahwa konsep co-management untuk TNLL
memperlihatkan bahwa dalam pengelolaan TNLL seyogyanya ada partisipasi
stakeholder dan ada konsensus atau kesepakatan yang dicapai melalui proses
negosiasi. Selanjutnya ditunjukkan pula bahwa pendekatan co-management
dalam pengelolaan TNLL seharusnya ada batas teritori yang disepakati,
kejelasan hak dan tanggung tanggung jawab stakeholder, pengakuan terhadap
hak lahan adat, dan ada penerapan sanksi adat.
Konsep co-management yang dihasilkan dari penelitian ini sejalan
dengan pendapat Borrini-Feyerabend et al. (2000) yang intinya bahwa prinsip
dasar dari keberhasilan co-management adalah partisipasi stakeholder,
negosiasi, kejelasan hak dan tanggung jawab, serta lebih menghargai dan
mementingkan proses ketimbang hasil atau produk jangka pendek. Implementasi
dari konsep co-management ini, membutuhkan adanya produk hukum yang
mengikat para stakeholder berupa peraturan desa tentang faktor-faktor kunci
Penerapan sanksi adat
Partisipasi SH
Negosiasi
Konsensus
Batas teritori
Kejelasan hak dan t. jawab
Pengakuan terhadap hak lahan adat
Penyele-saian konflik
- Proses yang
dikawal - Produk Hukum
yang mengikat
-Kelesta-rian
taman nasional
- Pening-katan
ekonomi masya-
rakat
181
keberhasilan co-management untuk TNLL serta pengawalan atas proses
penerapannya dengan melibatkan masyarakat lokal, pihak BTNLL, dan
akademisi melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat.
Deskripsi masing-masing faktor kunci yang menentukan keberhasilan
konsep co-management dalam pengelolaan TNLL sebagaimana yang telah
ditunjukkan pada Gambar 41 diuraikan sebagai berikut.
1) Partisipasi stakeholder
Partisipasi stakeholder merupakan faktor kunci dalam penerapan konsep co-
management pada pengelolaan kawasan konservasi. Konsep pengelolaan
taman nasional yang diterapkan sebelumnya lebih memandang masyarakat
lokal sebagai musuh daripada sebagai mitra; pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan keamanan yang tujuannya untuk memelihara ekosistem
kawasan konservasi agar tetap utuh. Kenyataan yang terjadi di lapangan
memperlihatkan bahwa, sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan
TNLL tetap rusak dan masyarakat lokal melakukan perlawanan terhadap
otoritas taman nasional. Hal ini disebabkan karena adanya aturan yang
melarang masyarakat lokal mengakses sumberdaya yang terdapat di dalam
kawasan, yang secara turun temurun telah menjadi sumber penghidupan
mereka jauh sebelum penetapan kawasan taman nasional. Di sisi lain konsep
konservasi keragaman hayati sulit dipahami oleh masyarakat lokal terutama
tentang fungsi dan manfaat konservasi. Keadaan ini mengakibatkan semakin
rusaknya kawasan taman nasional, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan
baru yang didukung oleh partisipasi stakeholder. Partisipasi stakeholder
terutama masyarakat lokal dalam pengelolaan TNLL diharapkan bahwa tujuan
pengelolaan taman nasional untuk perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
dapat tercapai .
2) Negosiasi
Negosiasi dalam co-management merupakan kata kunci untuk mencapai
kesepakatan. Negosiasi dibutuhkan dalam pengembangan co-management
untuk TNLL karena adanya perbedaan kepentingan dari berbagai stakeholder.
Penyelesaian berbagai kepentingan tersebut dapat diselesaikan melalui
pendekatan negosiasi dengan syarat bahwa stakeholder terkait saling
membutuhkan dan saling percaya untuk take and give.
3) Konsensus
182
Konsensus atau kesepakatan merupakan faktor kunci yang harus dicapai
dalam pengembangan co-management untuk pengelolaan kawasan
konservasi. Kesepakatan hanya dapat dicapai apabila tujuan pengelolaan
kawasan konservasi dipahami oleh seluruh stakeholder yang terkait.
Konsensus atau kesepakatan yang dicapai tanpa melibatkan stakeholder inti
(masyarakat lokal dan BTNLL), maka kesepakatan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai bentuk dari co-management.
4) Batas teritori
Batas teritori dibutuhkan sebagai salah satu kunci dalam pengembangan co-
management untuk kawasan TNLL, sebab ketidak jelasan batas teritori
memberikan gambaran ketidak jelasan hak teritori yang akan dikolaborasikan
oleh para stakeholder. Dalam pengelolaan taman nasional, tidak mungkin
setiap aspek akan melibatkan pula semua stakeholder. Oleh sebab itu batas
teritori dalam pengembangan co-management untuk pengelolaan TNLL ke
depan merupakan salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan co-
management. Ketidak jelasan batas teritori akan menghasilkan ketidak jelasan
kepentingan yang akan dikolaborasikan. Kalau kondisi ini yang terjadi maka
tujuan akhir dari co-management untuk menginisiasi penyelesaian konflik
kepentingan tidak dapat tercapai.
5) Kejelasan hak dan tanggung jawab stakeholder
Kejalasan hak dan tanggungjawab stakeholder dalam konsep co-management
akan memperjelas status kepemilikan lahan atau sumberdaya yang ada dalam
kawasan taman nasional serta akan memperjelas pula tanggungjawab yang
akan dilaksanakan oleh stakeholder yang bersangkutan, terkait dengan hak
yang melekat pada masing-masing stakeholder. Menurut stakeholder
masyarakat lokal ketidak jelasan hak maupun tanggungjawab yang akan
diemban dalam pengelolaan TNLL akan memberikan dampak ketidak
nyamanan dalam pemanfaatan sumberdaya (terutama sumberdaya lahan),
yang merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat lokal. Apabila kebutuhan
dasar tersebut tidak terpenuhi maka konflik antara masyarakat lokal dengan
pihak BTNLL belum dapat terselesaikan. Karena itu salah satu kunci
keberhasilan co-management dalam pengelolaan TNLL adalah kejelasan hak
dan tanggungjawab dari stakeholder. Kejelasan hak dan tanggungjawab
stakeholder diharapkan dapat memberikan kejelasan bagi masyarakat bahwa
183
di bagian kawasan mana mereka dapat mengakses sumberdaya alam untuk
memenuhi kebutuhannya (memungut hasil tanaman kopi, rotan, pandan hutan
sebagai bahan kerajinan, dan tanaman obat untuk dijadikan ramuan). Selain
itu kejelasan hak dan tanggungjawab akan memperjelas pula tugas dan
kewenangan dari stakeholder lainnya dalam menangani permasalahan
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
6) Pengakuan terhadap hak lahan adat
Salah satu faktor yang paling sering menyebabkan konflik di sekitar TNLL
adalah masalah pemanfaatan lahan. Hal ini terjadi karena adanya hak akuan
dari masing-masing pihak yang merasa memiliki hak atas kawasan taman
nasional. Pihak masyarakat lokal, dengan alasan kesejarahan mengklaim
lahan adat mereka yang terdapat dalam kawasan taman nasional. Sementara
pihak BTNLL dengan mengacu pada SK. Menteri Pertanian No. 593/Kpts-
II/1993 pada tanggal 5 Oktober 1993 tentang penunjukan kawasan TNLL
mengklaim bahwa masyarakat yang berkebun di dalam kawasan dikategorikan
sebagai perambah. Kondisi ini memicu terjadinya konflik yang akhirnya pada
suatu saat, TNLL unsustainable. Oleh sebab itu untuk menghindari terjadinya
konflik kepentingan antar stakeholder dan diharapkan dapat meningkatkan
kinerja pengelolaan maka dibutuhkan suatu paradigma pengelolaan dengan
mengembangkan co-management. Salah satu faktor kunci keberhasilan dari
pengembangan co-management untuk TNLL ke depan, adalah pengakuan
terhadap wilayah hak adat.
7). Penerapan sanksi adat
Pengelolaan kawasan konservasi dengan pendekatan hukum negara atau
hukum formal bentukan pemerintah, kelihatannya ada beberapa hal yang
agak sulit dilakukan termasuk masalah konflik pemanfaatan lahan yang terjadi
di sekitar TNLL. Oleh karena itu diperlukan alternatif penyelesaian konflik atau
alternative conflict resolution (ACR) yang dapat diterapkan untuk tujuan
kelestarian TNLL. Alternatif yang dimaksud adalah penerapan sanksi adat
sebagai salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan
pengembangan co-management, karena sanksi adat terkait erat dengan nilai-
nilai yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat adat sehingga lebih
bertahan dan lebih dipatuhi bila dibandingkan sanksi-sanksi formal bentukan
pemerintah. Untuk itu diharapkan menjadi jaminan terhadap kelestarian
TNLL.
184
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
1. Kepentingan stakeholder terkait dengan TNLL yakni masyarakat lokal
berkeinginan untuk tetap memanfaatkan lahan adatnya yang terdapat dalam
kawasan taman nasional baik masyarakat yang ada di desa KKM maupun
desa non-KKM; BTNLL lebih ke perlindungan kawasan; lembaga adat
berkepentingan dalam hal pengakuan terhadap hak adat dan kejelasan batas
TNLL; kepala desa menginginkan pula pengakuan terhadap hak adat dan
jaminan keamanan; Pemda berkepentingan dalam peningkatan produksi
pertanian, ekowisata, dan pembangunan infrastruktur; LSM lebih kepada
penyadaran dan edukasi, pelestarian, dan peningkatan ekonomi masyarakat;
pelaku bisnis berorientasi pada objek usaha baik hasil hutan maupun hasil
pertanian; akademisi/peneliti berkepentingan dalam hal pendidikan dan
penelitian.
2. Konflik di TNLL terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara
masyarakat lokal dengan pihak BTNLL, ditunjukkan dengan adanya kegiatan
perambahan, Illegal logging, pengrusakan pal batas, dan pembakaran pos
polisi hutan. Konflik ini terkait dengan penghasilan masyarakat yang rendah,
pendidikan, dan respon masyarakat yang rendah terhadap pelestarian taman
nasional.
3. Ada perbedaan partisipasi masyarakat lokal dalam upaya pelestarian
kawasan, pengamanan kawasan, dan keaktifan masyarakat dalam mengikuti
pelatihan/penyuluhan antara desa KKM dan desa non-KKM; hal ini terkait
dengan kepentingan masyarakat di desa KKM untuk tetap memanfaatkan
hak adatnya: mengolah sumberdaya lahan yang terdapat dalam kawasan,
memetik hasil tanaman kopi/kakaonya, serta mengambil rotan dan damar
telah diakomodir oleh pihak BTNLL, sementara kepentingan masyarakat di
desa non-KKM belum mendapatkan pengakuan dari pihak BTNLL.
4. Penerapan prinsip-prinsip co-management yaitu partisipasi stakeholder,
konsensus, batas teritori, kejelasan hak dan tanggung jawab, pengakuan
terhadap hak lahan adat, dan penerapan sanksi adat di desa KKM berada
pada kategori tinggi atau telah dilaksanakan dengan baik sementara proses
negosiasi pelaksanaannya masih pada kategori sedang; untuk desa non-KKM
185
penerapan prinsip-prinsip co-management masih berada pada kategori
rendah.
5. Faktor kunci yang tidak mendukung keberhasilan co-management di TNLL
adalah rendahnya partisipasi stakeholder, negosiasi yang tidak melibatkan
seluruh stakeholder, dan ketidakjelasan untuk mendapatkan akses
sumberdaya.
6. Konsep co-management bertujuan untuk menyelesaikan konflik berbagai
stakeholder untuk mencapai kelestarian taman nasional, ekonomi masyarakat
meningkat, dengan cara peningkatan partisipasi stakeholder, proses
negosiasi yang jelas untuk menghasilkan konsensus serta kejelasan hak dan
tanggung jawab sesuai dengan batas teritori masing-masing.
6.2. Saran
1. Peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar taman nasional dapat
dilakukan pada bidang perikanan dengan sistem rotasi penangkapan dan
bidang pertanian dengan intensifikasi kakao di luar kawasan pada lahan-lahan
masyarakat sebagai alternatif sumber pendapatan di luar sumberdaya hutan
atas dukungan dari Dinas perikanan dan Dinas Pertanian.
2. Penyuluhan oleh BTNLL bekerjasama dengan instansi terkait:
Dinas Perikanan, Dinas Pertanian, dan Dinas Kehutanan untuk meningkatkan
partisipasi dan pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional.
3. Penerapan konsep co-management dalam pengelolaan TNLL dengan fokus
perhatian pada peningkatan partisipasi stakeholder, proses negosiasi untuk
menghasilkan konsensus, serta kejelasan hak dan tanggungjawab sesuai
dengan batas teritori dari masing-masing stakeholder.
4. Agar konsep co-management yang dihasilkan dari penelitian ini dapat
diimplementasikan, maka perlu adanya produk hukum yang mengikat para
stakeholder berupa peraturan desa tentang faktor-faktor kunci keberhasilan
co-management untuk TNLL serta pengawalan atas proses penerapannya
dengan melibatkan masyarakat lokal, pihak BTNLL, dan akademisi melalui
kegiatan pengabdian pada masyarakat.
186
DAFTAR PUSTAKA
Acheson JM. 1989. Manajemen of Common Property Resources. In S. Paltter (ed). Economic Anthropology. Stanford Univ. Press. Stanford, Cal.
Acciaioli, Greg. (2001): Ground of Conflict, Idioms of Harmony: Custom, Religion, and Nationalism in Violence Avoidance at the Lindu Plain, Central Sulawesi.
Aditjondro G. (1979): Angin Pantai di Lembah Pegunungan: Adakah yang Bakal Terbang? Prisma, No. 2 Pebruari, Tahun VIII.
Adiwibowo S, Shohibuddin M, Savitri LA, Sjaf M, Yusuf M. 2009. Analisis Isu Permukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia. SAINS Sayogyo Institute.
Agrawal A, Ostrom E. (1999): Collective Action, Property Rights, and Devolution of Forest and Protected Area Management. In: Proceedings of the International Conference 1999 in Puetro Azul, Paper Presented at the Workshop "Structuring the Devolution of Natural Resource Management to Local Users", June 21-25 1999, in the Philippine, http://www.cgiar.org/capri/agrawal.pdf.
Alikodra HS. 1987. Manfaat Taman Nasional Bagi Masyarakat Sekitarnya. Media Konservasi I(3):13-20.
____________. 1998. Daerah Penyangga Taman Nasional dalam Sistem Pengembangan Konsep ICDP. Makalah disampaikan pada Seminar Daerah Penyangga; 16 Oktober 1998 Cisarua. Bogor.
___________. 2004. Co-Manajemen Suatu Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat. Bahan Kuliah: Pengembangan Institusi Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasi).
Awang SA. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
[BTNLL] Balai Taman Nasional Lore Lindu. 2001. Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Palu.
_______. 2003. Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Palu.
_______, The Nature Conservancy (TNC). 2003. Laporan Pelaksanaan Kegiatan di Taman Nasional Lore. Palu-Sulawesi Tengah.
_______. 2004. Rencana Pengelolaan TNLL 2002-2007 Volume 4.
[TNC] The Nature Conservancy, Ditjen PHKA. 2004. Rencana Pengelolaan TNLL 2004-2029. Buku II: Data Proyeksi dan Analisis.
_____. 2006. Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Palu.
_____. 2007. Laporan Hasil Operasi Fungsional 2005-2007.
_____ . 2007. Laporan Hasil Pengamanan Hutan BTNLL Tahun 2007.
Baland JJP, Platteau. 1996. Halting degradation of natural resources: Is there a role for rural communities? Di dalam: Pagde A, Kim Y, Daugherty PJ. 2006. What Makes Community Forest Management Successful: A Meta-
187
Study From Community Forests Throughout the World. Society and Natural Resources, 19.
BAPPENAS. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Alam dengan Strategi Kemitraan; Naskah Kebijakan.
Barbier E. 1989. Economic Natural Resource Scarcity and Development. Eaqrtscan Publications.
Basuni S. 2003. Inovasi Institusi untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyangga Kawasan Konservasi (Studi kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat). (Disertasi) tidak Dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanain Bogor.
Black HC. 1968. Black’s Law Dictionary, Revised 4th Edition. St. Paul. Minnesota, West Publishing.
Bohensky E, T. Lynam. 2005. Evaluating responses in complex adaptive systems: insights on water management from the Southern African Millennium Ecosystem Assessment (SAfMA). Ecology and Society 10 (1): 11. [online] http://www.ecologyandsociety.org/vol10/iss1/art11/ (diakses: tanggal 24 September 2006).
Borrini-Feyerabend G. 1996. Collaboratif Management of Protected Areas: Tailoring the Approach to the Context. Issues in Social Policy, IUCN. Gland Switzerland.
Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Co-management of Natural resources: Organising, Negotiating and Learning-by-Doing. GTZ Germany.
[BPS] Biro Pusat Statistik Kabupaten Donggala. 2006. Kabupaten Donggala Dalam Angka. Palu, Sulawesi Tengah.
_____ Kabupaten Poso. 2006. Kabupaten Poso Dalam Angka. Palu, Sulawesi Tengah.
Byl R, Trainmar, Guadeloupe. 2002. Strategic Planning Using Scenario. Paper to be Presented at IAME 2002 Confrence. Panama City. Panama.
Bromley DW. 1989. Making the commons work (Ed). San Francisco, CA: Institute for Contemporary Studies.
Bromley DW. (1991): Environment and Economy: Property Right and Public Policy. Blackwell, Cambridge.
Bromley DW. (1998): Property Rights in Economic Development: Lesson and Policy Implication. In: Lutz, E. (Eds), Agriculture and Environment: Perspectives on
Challen R. 2000. Institution, Transaction Costs and Environmental Policy: Institutional Reform for Water Resources (New Horizon in Environmental Economics), Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham, UK.
Claridge G, O’Callaghan, editor. 1995. Community Involment in Wetland Management: Lessons from the Field. Incorporating the Proceedings of Workshop 3: Wetlands, Local People and Development, of the International Conference on Wetlands and Development held in Kuala Lumpur. Malaysia.
188
Cernea MM. 1985. Putting People First: Sociological Variables in Rural Development, World Bank, Oxford University Press, UK.
Cochran WG. Rudiansyah (Penerjemah). 1991. Teknik Penarikan Sampel. Edisi Ketiga. Ui-Press. Jakarta.
Cohen JM, Uphoff. 1977. Rural Development Participation. Ithaca. New York.
Conley A, Moote A. 2001. Colaborative Conservation in Theory and Practice: A. Literature Revieu . Udall Centre for Studies in Public Policy. University of Arizona. Tuscon Arizona.
Craig G. dan M. Mayo (ed). 1995. Community Empowerment: A Reader in Participation and Development. London: Zed Books.
David E, Wollenberg E, Dachang L. 2003. Introduction. Di dalam: Local Forest management, The Impacts of Devolution Policies. Earthscan London. Sterling VA.
Davis LS et al. 2001. Forest Management To Sustain Ecological, Economic, and Social Values. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Higher Education.
Demsetz H. (1967): Toward a Theory and Property Right: American Economic Review 57 (May).
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang No.5. 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnnya.
_______. 1998. Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
_______. 2003. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Informasi Kawasan Konservasi.
_______, UNESCO, dan CIFOR. 2004. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization and Centre for International Forestry Research. Bogor.
_______. 2004. Sebaran Kawasan Konservasi di Indonesia/Up to Year : 2004 www.dephut.go.id
_______. 2005. Pengelolaan Kolaboratif. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004.
Ebregt A, de Greve P. 2000. Buffer Zones and Their Management: Policy and Best Practices for Terrestrial Ecosystems in Developing. National Reference Centre for Nature Management Wageningen. the Netherlands.
Eggertsson T. (1990): Economic behaviour and institutions. Cambridge, U.K. Cambridge University Press.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen Jilid Satu. IPB Press.
Fisher, RJ. 1995. Collaborative Management of Forest for Conservation and Development. Issues in Forest Conservation. IUCN-The World Conservation Union, World Wide Fund for Nature, Valserine-France.
Fisher RJ. Ludin. S. Williams, I.D. Abdi, dan R. Smith. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak (Edisi Bahasa Indonsia). The British Council Indonesia.
189
Flint CG, Luloff AE. 2005 Natrural Resource-Based Communities, Risk, and Disater: An Intersection of Theories. Di dalam: Society and Natural Resources, 18: hlm 399- 412.
Fuad FH, Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor : Pustaka Latin.
Golar 2007. Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro: Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah [Disertasi] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Grimble R, Chan MK. 1995. Stakeholder Analysis for Natural Resource Management in Developing Countries: Some Practical Guidelines for Making Management More Participatory and Effective. Natural Resources Forum. Vol 19. No. 2. hlm: 274-293.
Hamdin, Sugiharto. 2003. Menakar Keinginan Warga Dongi-Dongi. Seputar Rakyat. Edisi 06. Tahun I Agustus 2003. hlm: 11-14.
Hanna S, Folke C, Maler K-Goran. 1995. Property Rights and Environmental Resources. in Hanna S, Munasinghe M (Eds.): Property Rights and the Environment: Social Ecological Issues. pp. 15-29. The Beijer Institute of Ecological Econ. and The World Bank.
Hardjomidjoyo H. 2004. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
IUCN. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories. WCMC-IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge UK.
IUCN. 1997. Resolutions and Recommendations: World Conservation Congress. 12-13 October 1996. Montreal, Canada.
Kaufman HF. 1949. Participation in Organized Activities in Selected Kentucky Localities. Kentucky Agricultural Experiment Station Bulletin.
Khaeruddin I et al. 2002. Kesepakatan Konservasi Masyarakat di Lima Desa Sekitar Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. The Nature Conservancy-Lore Lindu Field Office. Palu.
Knight M, Tighe S. editor. 2003. Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003. Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA.
Kusumosuwidho S. 2004.Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Lagimpu A. 2002. Revitalisasi Kelembagaan Tradisional Masyarakat Adat. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Masyarakat Adat Ngata Toro, 25-30 Oktober 2002.
Leeuwis C. (2000): Reconceptualizing Participation for Sustainable Rural Development: Toward A Negotiation Approach. Development and Change Vol. 31, pp:931-954.
Li T. 2000. Articulating indigenous identity in Indonesia: resource politics and the tribal slot. Working Paper (WP-007). Berkeley Workshop On Environmental Politics. Institute Of International Studies, University Of California, Berkeley.
190
Lindayati R. 2001. Ideas and Institutions in Social Forestry Policy. In: Colfer, C.J.P., and Resosudarmo, I.A.P (Eds): Which Way Forward? People, Forests, and Policy Making in Indonesia. Resources for the Future, CIFOR, and Institute of Souteast Asian Studies, Singapore.
MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika Edisi 2. Gadjah Mada University Press. Penerjemah. Hari Harsono Amir. Terjemahan dari: Managing Protected Areas in the Tropics. 1986.
Manullang, Sastrawan. 1998. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Discussion Paper. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan Natural Resources Management Program.
Mappatoba M. 2004. Co-Management of Protected Areas The Case of Community Agreements on Conservation in the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi-Indonesia (Dissertation). Institute of Rural Development, Georg-August University of Gottingen.
McCay BJ, Acheson JM. 1987. The Question of the Commons; The Culture and Ecology of Communal Resources. Tuscon, University of arizona Press.
McKean MA. 1992. Management of Traditional Common Lands (Iriaichi) in Japan. Di dalam: D.W. Bromley, editor. Making the Commons Work: Theory, Practice, and Policy. San Francisco, California: Institute for Contemporary Studies Press.
Means K, C. Josayma, E. Nielsen, dan Vitoonviriyasakultorn. 2002. Kolaborasi Dan Konflik. Dalam: Suporahardjo (editor). 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Pustaka Latin. Bogor.
Meinzen-Dick R, Knox A. 1999. Collective Action, Property Rights and Devolution of Natural Resource Management: A Conceptual Framework, Paper presented at the International Workshop on Collective Action, Property Rights and Devolution of Natural Resource Management, Exchange of Knowledge and Implications for Policy, June 21-25, Philippines.
Merrill dan Effendi. editor. 2001. Memperkuat Pendekatan Partisipatif dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Era Transisi dan Otonomi Daerah. Beberapa Pelajaran Menarik dari Program NRM/EPIQ. Natural Resources Management Program. Jakarta.
Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Mueller JO. 1975. Soziale Participation Konzept, Probleme und Bedingungen eines entwicklungspolitischen Ideals in Rurale Entwiklung zur Ueberwindung von Massenarmut. Hans Wilbrant zum 75. Geburtstag: Groeneveld, Sigmar und Meliczek, SSIP Verlag.Saarbruecken.
Munasinghe M, McNelly. 1992. Key Concept and Terminology of Sustainable Development. UNO Converence on Sustainability. Washington DC.
Munasinghe M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. The World Bank. Washington DC. 20433. U.S.A.
191
Nanang N, Devung GS. 2004. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Center for Social Forestry (CSF), Universitas Mulawarman Institute for Global Environmental Strategies (IGES), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Nikijuluw VPH. 1999. Establishment of a Local Foshery Co-management. Lessons Gained from Bali Island. Puslit Sosial Ekonomi. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
North DC. (1990): Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press, Cambridge.
[NRTEE] National Round Table on the Environment and the Economy. 1999. Sustainable Strategies for Oceans: A Co-Management Guide, Canada.
Oakley P. 1991. Project with People. The Practice of Participation in Rural Development, ILO. Genewa.
Ostrom E. 1990. Governing the Common: The Evolution of Institutions for Collective Action. New York: Cambridge University Press.
Pagde A, Kim Y, Daugherty PJ. 2006. What Makes Community Forest Management Successful: A Meta-Study From Community Forests Throughout the World. Society and Natural Resources, 19: hlm: 33–52
Pearce D. 1986. The Sustainable Use of Natural resource in Developing Countries. Paper to the Economics and Social Research. Council University of East Anglia.
Pomeroy RS. 2001. Devolution and Fisheries Co-management. In: Meinzen-Dick R., Knox, A., and M.Di Gregorio (eds), 111-146 (2001). Collective Action, Property Rights and Devolution of Natural Resource Management-Exchange of Knowledge and Implication for Policy, CAPRi, ICLARM, ZEL/DSE, Eurasburg.
Priscoli J. 1997. Participation and Conflict Management in Rural Resources Decision Making. EFI Proceeding No. 14. 1997. Eropean Forest Institute.
Rahardjo. 2003. Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Makalah yang disampaikan pada PIKNAS di IPB. Bogor.
Sangaji A. 2001. Konflik Agraria di Taman Nasional Lore Lindu: Tersungkurnya Komunitas-Komunitas Asli. Makalah disampaikan pada Dialog Kebijakan tentang Hak dan Pengetahuan dari Kebiasaan Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu. YTM dan NRM/EPIQ, Palu.
Sangaji A, Lumeno F. 2001. Masyarakat Adat dan Taman Nasional Lore Lindu: Pelajaran dari Pekurehua dan Bada, YTM & BSP Kemala, Palu.
________. 2003. Politik Konservasi: Orang Katu di Behoa Kakau. Editor. San Afri Awang. KpSHK Bogor.
Sardjono MA. 2004. Mosaik Sosiologi Kehutanan: masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Jogyakarta: Debut press.
Sembiring SN, F. Husni. 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia; Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia.
192
Sen S, Nielsen JR. 1996. Fisheries Co-management: a Comparative Analysis. Marine Policy 5:405-418.
Sitorus MT. 2002. Land, Ethnicity and the Competing Power Agrarian Dynamics in Forest Margin Communities in Central Celebes, Indonesia. STORMA, Discussion Paper Series on Social and Economic Dynamics in Rainforest Margins No. 5.
Slamet M. 2003. Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press Bogor.
Slamet Y. 1989. Konsep-Konsep Dasar Partisipasi Sosial. Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Soekartawi, Soehardjo A, Dillon JL, Hardaker JB. 1985. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia. Bandung.
Soemarwoto O. 2000. Atur-Diri-Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Stevenson GG. 1991. Common Property Economics ; A General Theory and Land Use Applications. Cambridge, Cambridge University Press.
Sugiharto, Sangadji A. 2002. Laporan Studi Pemilikan dan Penguasaan Tanah di dataran Lindu, Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
Suharto E. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta. Bandung.
Suhendang E. 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan: Sejarah Panjang
Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Bogor: Fakultas Kehutanan Intitut Pertanian Bogor
Soekmadi R. 2002. National park Management in Indonesia, Focused on the Issues of Decentralization and Local Participation. Dissertation. Faculty of Forestry Science and Forest Ecology, Georg-August University of Goettingen.
Tadjudin D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor : Pustaka Latin
Teguh M. 2001. Metodologi Penelitian Ekonomi: Teori Dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tellu AT. 2007. Karakteristik Rotan Dan Saluran Pemasarannya Di Provinsi Sulawesi Tengah. (Disertasi) tidak Dipublikasikan. Makassar: Universitas Hasanuddin.
[TNC] The Nature Conservancy. 2002. Kesepakatan Konservasi Masyarakat (Desa Sidoa, Wuasa, Kaduwaa, Watutau, dan Betue. Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso.
______________________. 2004. Survey Demografi: Pola Perubahan Populasi dan Pengaruhnya Terhadap manajemen Tanam Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Tietenberg TH. 1988. Environmental and Natural resources Economics, Second Edition. Boston. Scott, Foresman and Company.
Tscharntke T, Leuschner C, Zeller M, Guhardja E, Bidin A. 2007. Stability of Tropical Rainforest Margins; Linking Ekological, Economic and Social
193
Constraints of Land Use and Conservation. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Umar S. 2004. Agroforestry Sebagai Teknologi Tradisional Untuk Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional Lore Lindi: Suatu Pendekatan Valuasi Ekosistem (Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Venema B, Hvd Breemer. 2000. Toward Negotiated Co-management of Natural Resources in Africa. Munater, etc., Lit Verlag.
Wardoyo WA, Sarsito Y, Rusli, Hartono Y, Mulyana EH, Zehrfeld R, Merrill, Effendi E. 2000. Laporan Gugus Tugas Kelembagaan Kehutanan dalam rangka Desentralisasi (Hasil Kerja Desember 1999-Pebruari 2000). Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Wells M, Katerina Eadie Brandon. 1995. People and Parks: Linking Protected Area Management with Local Communities (3rd Ed.). The World Bank, WWF, dan USAID. Washington D.C
Wilardjo, Budi. 2000. Konflik, Bahaya atau Peluang?: Panduan Latihan Menghadapi dan Menangani Konflik Sumberdaya Alam (Edisi Baru) Mitra-Mitra BSP Kemala. Jakarta.
Wilcox D. 1994. The Guide of Effective Participation. http://www.partnership.org.uk/guide/index.html.
Winardi. 1994. Manajemen Konflik: Konflik Perubahan dan Pengembangan. Mandar Maju. Bandung.
Wiratno D, Indriyo A, Syarifuddin A, Kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. FOReST Press, The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan, PILI-NGO Movement. Jakarta.
[WWF-Indonesia] The Worldwide Fund for Nature of Indonesia. 2008. Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi. Policy Paper-WWF-Indonesia.
Yakin A. 1997. Ekonomi Sumberdaya Dan Lingkungan: Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Akademika Presindo. Jakarta.
Yasin M. 2004. Arti dan Tujuan Demografi. Di dalam Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
[YKR] Yayasan Kayu Riva. 2005. Survei Demografi: Pola Perubahan Populasi dan Pengaruhnya Terhadap Manajement Taman Nasional Lore Lindu, Palu. The Nature Conservancy/Balai Taman Nasional Lore Lindu.
Young V, Pauline, Calvin F. Schmid. 1965. Scientific Social Survey and Research with chapters on Statistics, Scaling Techniques, Graphic Presentation, and Human Ecology.
194
LAMPIRAN
195
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian.
Sumber : STORMA 2005.
196
Lampiran 2 Nama Desa KKM dan Desa Non-KKM yang terdapat di sekitar TNLL 2007
No. N a m a D e s a
No. Desa KKM Jumlah KK Desa Non-KKM Jumlah KK
1. Desa Toro 542 Desa Sidondo I 1.193
2. Desa Puroo 210 Desa Sibowi 860
3. Desa Langko 173 Desa Sibalaya Utara 633
4. Desa Tomado 430 Desa Sibalaya Selatan 189
5. Desa Anca 141 Desa Omu 354
6. Desa Salua 229 Desa Tuva 299
7. Desa Matauwe 132 Desa Lembara 298
8. Desa Sungku 211 Desa Kalawara 402
9. Desa Watukilo 156 Desa Pandere 560
10. Desa Lawua 342 Desa Pakuli 762
11. Desa Salutome 157 Desa Simoro 150
12. Desa Tompi Bugis 120 Desa Bolapapu 721
13. Desa Pili Makujawa 94 O’oparese 220
14. Desa Sedoa 168 Desa Tomua 160
15. Desa Watumaeta 345 Desa Gimpu 145
16. Desa Wuasa 574 Desa Lempelero 176
17. Desa Kaduaa 240 Desa Moa 90
18. Desa Dodolo 76 Desa Bora 149
19. Desa Wanga 108 Desa Sigimpu 208
20. Desa Siliwanga 172 Desa Bakubakulu 228
21. Desa Watutau 161 Desa Sintuwu 314
22. Desa Talabosa 113 Desa Kapiroe 289
23. Desa Betue 64 Desa Bobo 265
24. Desa Katu 72 Desa Rahmat 691
25. Desa Doda 206 Desa Tongoa 338
26. Desa Rompo 119 Desa Kamarora A 361
27. Desa Torire 89 Desa Kamarora B 317
28. Desa Bariri 342 Desa Kadidia 212
29. Desa Baleura 78 Desa Lelio 82
30. Desa Hanggira 200 Desa Koliri 128
31. Lempe 67 Desa Tuare 114
32. - - Desa Lengkeka 154
33. - - Desa Kageroa 80
34. - - Desa Tomehepi 74
Total 6.131 11.216
Sumber: Survei Demografi YKR 2001; BTNLL 2004.
197
Lampiran 3 Peta partisipatif wilayah adat Toro (Sumber: Arsip Desa Toro 2005).
198
Lampiran 4 Matriks hasil penilaian pengaruh langsung antar faktor
Dari Terhadap
A B C D E F G H I J K L M N O
A 2 3 0 3 0 2 1 2 3 3 1 0 3 3 B 0 1 2 0 3 3 2 2 3 3 3 0 3 0 C 1 3 2 3 3 3 2 1 2 2 2 2 2 2 D 0 1 0 3 0 1 0 0 3 2 2 0 3 0 E 0 2 0 3 1 1 3 3 0 2 0 2 3 0 F 0 2 2 2 3 2 0 2 2 2 0 0 3 0 G 1 1 1 1 1 1 2 0 0 2 2 0 2 1 H 1 1 2 0 3 0 0 2 2 1 1 0 3 0 I 3 2 2 3 1 3 2 3 3 2 3 2 3 3 J 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 K 1 2 1 2 2 2 1 2 3 1 2 0 3 2 L 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 2 3 2 3 M 0 0 1 1 2 0 0 2 2 3 0 0 2 1 N 0 0 0 1 2 0 3 0 2 0 3 0 1 0 O 0 0 0 0 0 0 1 1 1 2 1 0 3 2
Keterangan :
A : Partisipasi stakeholder I : Batas teritori 0 : tidak ada pengaruh langsung
B : Konsensus J : Penerapan sanksi adat 1 : pengaruhnya kecil
C : Negosiasi K : Masyarakat tidak memperluas kebun 2 : pengaruhnya sedang
D : Kejelasan hak dan tanggungjawab L : Penataan kembali pal batas 3 : pengaruhnya sangat kuat
E : Pengakuan terhadap hak lahan adat M : Dana hibah untuk pengelolaan
F : Terbangunnya pusat informasi N : Pengembangan objek wisata
G : Pengambilan rotan dg rotasi O : pemberian insentif
H : Masyarakat tidak melakukan illegal loging
200
Lampiran 5 Kegiatan illegal loging yang dilakukan oleh masyarakat lokal di beberapa bagian kawasan TNLL 2007
Tahun Tempat kejadian Jumlah pelaku (orang)
Banyaknya kayu illegal
(m3)
Pelanggaran yang dilakukan Keterangan
Januari 2006
Desa Non-KKM 1
2,0 Mengambil hasil hutan (kayu) di dalam kawasan TNLL
LK/01/I/2006/Polhut BTNLL. Tanggal 30
Januari 2006.
Pebruari 2006
-Desa Non-KKM 1 2,5 Mengambil hasil hutan (kayu) di dalam kawasan TNLL
LK/02/II/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 8 Pebruari 2006.
-Desa Non-KKM 3 1,5 Pengambilan hasil hutan berupa kayu dalam kawasan taman nasional
LK No : LK/03/II/2006/ Polhut BTNLL
Tanggal 8 Pebruari 2006.
-Desa Non-KKM 1 0,3 Pengambilan hasil hutan berupa kayu dalam kawasan taman nasional
LK No : LK/05/II/2006/ Polhut BTNLL
Tanggal 20 Pebruari 2006.
201
Lanjutan Lampiran 5
Maret 2006
-Desa Non-KKM 1 3,0 Mengangkut hasil hutan (kayu) tanpa dilengkapi Dokumen SKSHH
LK/07/III/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 02 Maret 2006.
-Desa KKM 1 2,0
Menebang kayu di dalam kawasan TNLL tanpa izin
LK/08/III/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 09 Maret 2006.
-Desa KKM 2 2,5 Mengangkut hasil hutan (kayu) tanpa dilengkapi Dokumen SKSHH
LK/09/III/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 15 Maret 2006.
-Desa Non-KKM 1 0,2 Mengambil hasil hutan (kayu) di dalam kawasan TNLL
LK/10/III/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 16 Maret 2006.
-Desa Non-KKM 2 2,5 Mengangkut hasil hutan (kayu) tanpa dilengkapi Dokumen SKSHH
LK/11/III/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 17 Maret 2006.
Mei 2006
Desa Non-KKM 3 1,0
Mengambil hasil hutan (kayu) di dalam kawasan TNLL
LK/13/V/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 19 Mei 2006.
202
Lanjutan Lampiran 5.
Juni 2006
-Desa Non-KKM 2 1,0 Mengambil hasil hutan (kayu) di dalam kawasan TNLL
LK/16/VI/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 4 Juni 2006.
-Desa Non-KKM 2 2 Mengambil hasil hutan (kayu) di dalam kawasan TNLL
LK/17/VI/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 7 Juni 2006.
-Desa Non-KKM 1 1 Mengambil hasil hutan (kayu) di dalam kawasan TNLL
LK/18/VI/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 23 Juni 2006.
Juli 2006 Desa Non-KKM 2 4,0 Mengangkut hasil hutan (kayu) tanpa dilengkapi Dokumen SKSHH
LK/22/VII/2006/ Polhut BTNLL Tanggal 16 Juli 2006.
Maret 2007
Desa KKM 2 5,0 Mengangkut hasil hutan (kayu) tanpa dilengkapi Dokumen SKSHH
Laporan Polisi No:LP/17/III/2007/Sel-Klwi Tanggal 02 Maret 2007.
Desa Non-KKM 1 5,0 Mengambil hasil hutan (kayu) di dalam kawasan TNLL LK/04/VII/2007/ Polhut BTNLL Mei 2007.
Mei 2007 Desa Non-KKM 2 3,0 Mengangkut hasil hutan (kayu) tanpa dilengkapi Dokumen SKSHH dan membawa mesin chain saw
LK/05/V/2007/ Polhut BTNLL Tanggal 12 Mei 2007.
Sumber : BTNLL 2007, diolah.