17
1 MAKALAH FILSAFAT HUKUM DISUSUN OLEH: FIDELIS HAREFA

Konsistensi Menjalankan Hukum Yang Benar Dalam Perspektif Filsafat Hukum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Anda sudah memahami hukum? Akan menjadi lebih baik bila memahami Konsistensi.

Citation preview

  • 1

    MAKALAH FILSAFAT HUKUM

    DISUSUN OLEH:

    FIDELIS HAREFA

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Keadilan merupakan nilai ideal yang selalu diperjuangkan oleh umat

    manusia. Sebagai nilai ideal, cita-cita menggapai keadilan tidak pernah tuntas

    dicari, dan tidak pernah selesai dibahas. Keadilan akan menjadi diskursus panjang

    dalam sejarah peradaban manusia. Dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia,

    upaya untuk mencapai keadilan tidak bisa diabaikan.

    Negara hukum tidak boleh apatis terhadap perjuangan dan setiap upaya untuk

    menegakkan keadilan. Konsepsi tentang keadilan sangat penting agar sebuah

    negara hukum menjadi pijakan semua pihak baik warga negara maupun pemimpin

    negara sebagai kepastian dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang

    dihadapi. Sebuah negara hukum dituntut sebuah konsep keadilan yang dapat

    menyentuh dan memulihkan berbagai persoalan hukum untuk memuaskan rasa

    keadilan semua pihak. Oleh karena itu, untuk menegaskan kepastiannya sebagai

    sarana untuk mencapai keadilan, sebuah negara hukum harus mampu

    merumuskan konsep hukumnya dalam suatu afirmasi yang bersifat konstitusional.

    Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian afirmasi sebuah negara

    hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

  • 3

    Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3). Penegasan tersebut mengharuskan bahwa dalam

    sebuah negara hukum persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum harus

    diselesaikan melalui jalur hukum. Prosedur penyelesaian terhadap semua

    persoalan hukum melalui jalur hukum tersebut merupakan penegasan terhadap

    superioritas hukum. Hukum yang superior tidak pernah tunduk di bawah

    kepentingan apa pun selain kepentingan hukum itu sendiri yaitu mencapai

    keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang merupakan tujuan utama

    hukum. Tetapi hukum tidak pernah bekerja secara otomatis. Hukum dalam sebuah

    negara hukum selalu berhubungan dan berkaitan erat dengan aparat penegak

    hukum. Superior dan tegaknya keadilan hukum membutuhkan aparat penegak

    hukum sebagai pihak yang berperan sangat penting untuk menegakkan keadilan

    agar hukum memiliki kekuatan untuk mengatur ketertiban sosial, keteraturan, dan

    keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum yang tegas dan berlaku adil

    membuat hukum tersebut menjadi superior; memiliki keunggulan, kelebihan yang

    dapat diandalkan dan kredibel bagi semua pihak.

    Hukum yang mengarahkan diri pada keadilan tidak saja membutuhkan aparat

    penegak hukum tetapi lebih pada aparat penegak hukum yang bermoral dan

    berintegritas tinggi. Aparat penegak hukum yang bermoral tersebut diharapkan

    dapat menegakkan hukum sebaik mungkin sebagai upaya mencapai tujuan-tujuan

    hukum termasuk untuk mencapai keadilan. Tanpa aparat penegak hukum yang

    bermoral, sebaik apapun hukum dibuat dapat saja sia-sia (nirmakna) karena tidak

    mampu memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak. Oleh

    karena itu, kiprah aparat penegak hukum yang baik sangat dibutuhkan agar hukum

  • 4

    tetap superior, tidak mudah diperjualbelikan dan tidak berada di bawah

    penindasan kepentingan politik dan ekonomi. Sesungguhnya superioritas hukum

    dalam sebuah negara hukum terletak pada konsistensi aparat penegak hukum

    untuk berpegang teguh pada aspek moralitas demi menegakkan keadilan dan

    kepastian hukum. Konsistensi aparat penegak hukum dapat menciptakan

    keunggulan (superioritas) hukum untuk lebih responsif dan mampu menuntaskan

    berbagai persoalan hukum.

    Hukum yang superior tersebut tidak berlaku diskriminatif karena hukum

    tersebut berlaku adil bagi semua warga negara tanpa memandang posisi, jabatan

    atau status sosial tertentu. Hukum yang superior tersebut tidak boleh

    disalahgunakan untuk kepentingan kepentingan yang menyesatkan hukum karena

    hukum adalah sarana memperjuangkan keadilan bagi semua pihak. Hukum yang

    superior tersebut harus tetap dilindungi oleh benteng kokoh bernama moralitas

    aparat penegak hukum. Semua aparat penegak hukum harus memiliki komitmen

    yang teguh agar hukum tetap dijaga keluhurannya sebagai sarana untuk mencapai

    keadilan sosial. Moralitas aparat yang kokoh, otentik dan kredibel dibutuhkan

    sebagai upaya untuk membangun kembali hukum yang dipercaya dan dihargai

    oleh semua pihak. Oleh karena itu, jika moralitas aparat penegak hukum semakin

    baik, maka hukum akan semakin superior dan kredibel dalam upaya untuk

    memenuhi tujuan-tujuan hukum termasuk upaya untuk mencapai keadilan.

    Moralitas aparat penegak hukum sangat menentukan ke mana arah kepastian

    hukum dan keadilan akan bermuara.

  • 5

    Aparat penegak hukum yang tidak bermoral menyebabkan hukum berada

    dalam posisi yang inferior, tidak mempunyai keunggulan dan tidak dapat

    dipercaya oleh para pencari keadilan. Nilai keadilan dan kepastian hukum akan

    terdegradasi dan tidak memiliki kekuatan yang bisa diandalkan kalau hukum tidak

    dikendarai oleh aparat penegak hukum yang bermoral baik. Pertanyaannya, apa

    yang yang menyebabkan hukum di Indonesia belum bisa menggapai nilai idealnya

    yakni keadilan? Mengapa aparat penegak hukum mengabaikan nilai keadilan dan

    moralitas sehingga membuat hukum menjadi inferior dan meragukan kehendak

    baik para pencari keadilan? Pertanyaanpertanyaan tersebut menurut penulis

    bermuara pada persoalan aparat penegak hukum yang belum memiliki integritas

    yang tinggi, belum bekerja secara profesional menurut kode etik aparat penegak

    hukum, dan belum memiliki moralitas dan kepribadian sebagai aparat yang

    konsisten dalam penegakan hukum seperti diharapkan oleh semua pihak. Selain

    itu, ketidaktegasan aparat penegak hukum untuk mengikuti prosedur hukum juga

    telah turut menyebabkan hukum menjadi tidak adil terhadap para pelanggar

    hukum yang memiliki status sosial tinggi, misalnya, atau mereka yang memiliki

    akses terhadap hukum. Di lain pihak hukum yang dijalankan oleh aparat penegak

    yang tidak konsisten tersebut bahkan menindas masyarakat biasa yang tidak

    mempunyai akses terhadap hukum. Bagi mereka yang tidak memiliki akses

    terhadap hukum, keberadaan hukum bahkan menjadi begitu tegas dan cenderung

    diskriminatif.

    Masyarakat pencari keadilan tentu merasa tidak puas dan merasa ditindas

    oleh hukum yang diskriminatif tersebut. Perasaan tidak puas masyarakat beralasan

  • 6

    karena dalam negara hukum setiap warga negara sama dan sederajad di hadapan

    hukum. Rasa tidak puas tersebut melahirkan sikap pesimis masyarakat terhadap

    hukum dan aparat penegak hukum. Keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat

    membuat hukum semakin tidak berdaya dan tidak mampu memenuhi rasa

    keadilan publik dan tidak dapat merespon persoalan-persoalan hukum yang

    semakin kompleks dalam masyarakat. Superioritas hukum semakin dipertanyakan

    keberadaannya dan moralitas aparat penegak hukum semakin disangsikan oleh

    masyarakat. Di lain pihak Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun1945 secara tegas mengatur perihal keadilan di hadapan hukum untuk

    semua warga negara Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa:

    Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya

    Selain itu Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

    1945 juga menegaskan bahwa:

    setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

    Afirmasi hukum yang ideal tersebut terkesan utopis karena belum mampu

    dilaksanakan secara utuh dan konsisten dalam penegakan hukum di Indonesia.

    Hukum seolah-olah menjadi panggung sandiwara bagi aparat penegak hukum

    sehingga upaya mencapai keadilan masih jauh dari harapan dan cita-cita sebuah

    negara hukum.

    Apakah hukum yang kita miliki belum layak disebut hukum yang benar?

    Ini menjadi pertanyaan yang menyelimuti pikiran para pencari keadilan. Seperti

  • 7

    telah dituturkan di atas, ketiadaan konsistensi dalam menjalankan hukum yang

    benar menjadikan hukum itu berada di posisi inferior. Ketiadaan konsistensi

    dalam menjalankan hukum yang benar mempertajam makna adagium Latin yang

    pernah diungkapkan oleh Tacitus, Corruptissima re publica plurimae leges1,

    semakin banyak undang-undang, semakin korupsi sebuah republik.

    Konsistensi merupakan sesuatu yang sangat mahal. Oleh karenanya, sering

    kali dijauhi untuk dibicarakan bahkan untuk dipahami dan dilaksanakan. Ada

    banyak pendapat mengatakan bahwa berbicara tentang konsistensi merupakan

    sesuatu yang sangat idealis dan sulit untuk diwujudkan.

    Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini disajikan dengan judul

    Konsistensi Menjalankan Hukum Yang Benar Dalam Perspektif Filsafat

    Hukum.

    B. Rumusan Masalah

    Atas dasar latar belakang masalah di atas, makalah ini dirumuskan dalam

    dua rumusan masalah, yakni:

    1. Apa yang dimaksud dengan konsistensi?

    2. Bagaimana hukum yang benar dalam perspektif filsafat hukum?

    C. Tujuan Penulisan

    Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui maksud dari sebuah konsistensi.

    1 J. Stradling, Two Bookes of Constancie, ed. R. Kirk, New Brunswick, NJ: Rutgers University

    Press, 1939.

  • 8

    2. Untuk mengetahui pendapat-pendapat tentang hukum yang benar dalam

    perspektif filsafat hukum.

    D. Kajian Pustaka

    Sebelum dibahas lebih lanjut tentang topik di atas, perlu diketahui bahwa

    ada dua hal penting yang harus dipahami lebih dulu sebagai inti permasalahan

    yang harus ditelaah. Dua hal penting itu adalah muatan dan pengertian dari

    kata konsistensi dan hukum yang benar dalam persepektif filsafat hukum.

    1. Pengertian Konsistensi

    Kata konsistensi berasal dari kata konsisten, dari bahasa latin con-sistere

    yang artinya berdiri bersama2. Bila diartikan, kata konsisten artinya sesuai,

    harmoni, atau memiliki hubungan logis. Selanjutnya, perubahan kata sifat

    konsisten menjadi kata benda disebut sebagai konsistensi dengan pengertian

    kesesuaian, keharmonisan dan keadaan memiliki hubungan logis.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsistensi berarti ketetapan

    (tidak berubah-ubah), ketaatan terhadap azas, keselarasn, kesesuaian perbuatan

    dengan kata-kata dan kemantapan dalam bertindak.3

    Konsistensi dalam ilmu logika adalah merupakan sebuah sematik dengan

    sematik yang lainnya tidak mengandung kontradiksi. Tidak adanya kontradiksi

    dapat diartikan baik dalam hal semantik atau berhubung dengan sintaksis. Definisi

    semantik yang menyatakan bahwa sebuah teori yang konsisten jika ia memiliki

    model; ini digunakan dalam arti logika tradisional Aristoteles walaupun dalam 2 Chad Hansen, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London: Routledge

    3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

    Pustaka, 1993), hlm. 520

  • 9

    logika matematika kontemporer terdapat istilah satisfiable yang digunakan.

    Berhubungan dengan pengertian sintaksis yang menyatakan bahwa sebuah teori

    yang konsisten jika tidak terdpat rumus P seperti yang kedua P dan penyangkalan

    adalah pembuktian dari axioma dari teori yang terkait di bawah sistem deduktif.4

    Menurut Thomas Aquinas dalam bukunya Summa Theologia, konsistensi

    adalah suatu sikap batin yang berhubungan erat dengan moral dan iman dimana

    seseorang dimampukan untuk melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan

    hati nuraninya.5

    Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat menarik sebuah kesimpulan

    bahwa konsistensi adalah sebuah keadaan dimana terdapat kesesuaian antara

    perkataan dan perbuatan. Sebuah keadaan dimana ada keteguhan dan kemantapan

    dalam bertindak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, tidak terdapat

    kontradiksi antara teori dan kenyataan. Hal yang paling penting dari pengertian di

    atas adalah pandangan Thomas Aquinas yang menghubungkan antara konsistensi

    dengan hati nurani. Hati nurani atau suara hati tidak pernah salah. Ketidaksesuaian

    yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh ketidakpekaan manusia dalam

    mendengarkan suara hatinya sehingga menimbulkan suatu ketiadaan konsistensi

    dalam berbicara dan berbuat.

    2. Hukum Yang Benar Dalam Perspektif Filsafat Hukum

    Hukum yang benar adalah hukum yang memperjuangkan keadilan. Kita

    bisa memahami hukum yang benar itu dengan mengetahui beberapa pandangan

    para tokoh tentang hukum. 4 Wikipedia Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Konsistensi_(logika), diakses 30 Mei 2015,

    pkl. 10.28 WIB 5 Gregory H. Moore, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London: Routledge

  • 10

    Sejak zaman Yunani-Romawi, para filsuf membicarakan hukum dengan

    menghubungkannya pada kepentingan umum (bonum commune). Plato, seorang

    filsuf Yunani menegaskan adanya hubungan hukum dengan kepentingan umum

    melalui polis (negara kota). Sebuah polis dihuni oleh beberapa polites (warga

    negara). Polites bersama-sama mewujudkan politeia, yakni bagaimana menjadi

    warga negara yang baik dan bagaimana menciptakan sebuah pemerintahan yang

    baik. Untuk mewujudkan politeia itu, haruslah ada aturan yang mengatur dan

    harus ditaati oleh polites. Aturan inilah yang kemudian dibahasakan sebagai

    hukum dalam perkembangan pandangan filsafat.6

    Berakar dari kata polis, Aristoteles mengemukakan istilah zoon politikon

    yang berarti manusia polis. Manusia polis adalah manusia yang hidup dalam

    kebersamaan, berdampingan dengan orang lain. Hidup berdampingan antara

    sesame manusia polis hanya dapat terwujud bila ada sebuah keutamaan dalam

    memperhatikan kebaikan bersama. Kebaikan bersama ini hanya dapat tercapai

    bila ada peraturan yang mengaturnya.7

    Bila peraturan-peraturan yang dimaksud bertujuan untuk mewujudkan

    kebaikan bersama, kita sangat perlu mengetahui hukum yang tepat dan benar

    dalam mengatur kepentingan umum. Ada banyak pendapat tentang hukum yang

    benar. Dalam makalah ini dikemukakan dua pendapat saja yakni pendapat Hans

    Kelsen dan Thomas Aquinas.

    Menurut Kelsen, integritas sebuah hukum yang benar didasarkan atas

    sebuah norma dasar atau Grundnorm, yaitu sebuah norma yang tidak tergantung 6 Bdk. Theo Hujbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 2005) hlm.

    22. 7 Bdk. Ibid, hlm. 28

  • 11

    pada norma-norma lain, melainkan norma dasar ini justru menjadi ukuran

    validitas norma-norma yang lain. Norma dasar ini berfungsi sebagai unsur hakiki

    pengorganisasian interpretasi teoritis terhadap aturan-aturan dan lembaga-

    lembaganya yang terdapat dalam sebuah sistem hukum8.

    Menurut Thomas Aquinas, hukum yang benar adalah hukum yang tidak

    bertentangan dengan kebebasan dan cinta kemanusiaan. Hukum yang benar

    memungkinkan terselenggaranya kebebasan dan cinta, sebab kebebasan tidak

    mungkin terjadi jika tanpa cinta pada sesama (makna kebaikan). Cinta kepada

    sesama juga tidak akan mungkin terlaksana jika tanpa keadilan, dan keadilan tidak

    mungkin terselenggara tanpa keberlakuan hukum yang legitim. Jika hukum

    disusun demi kebaikan umum, maka peraturan macam apa saja harus juga

    diarahkan demi kebaikan umum.9

    Dua pandangan di atas menjadi dasar pembahasan dalam makalah ini.

    Pandangan ini cukup mewakili penegasan hubungan antara hukum dan kebaikan

    bersama. Oleh karena itu, makalah ini dibatasi pada pendapat itu saja agar tidak

    terlalu melebar pemahamannya. Alasan yang lebih kuat adalah karena dalam dua

    pendapat di atas, cita-cita dalam menjalankan hukum yang benar itu termuat

    secara jelas dan tegas.

    8 Charles Covell, The Defence of Natural Law, (Houndmills: The Macmillan Press, 1992), hlm.

    19-20. 9 E. Sumaryono, Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, (Yogyakarta:

    Kanisius, 2002) hlm. 223-224.

  • 12

    BAB II

    KONSISTENSI MENJALANKAN HUKUM YANG BENAR

    DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM

    A. Perlunya Konsistensi Dalam Menjalankan Hukum

    Konsistensi terkesan sebagai sebuah barang mahal dan cenderung dijauhi

    oleh manusia. Alasan dominan yang sering digunakan untuk membenarkan

    adagium ini adalah karena konsistensi itu sendiri terlihat sangat idealis dan susah

    untuk dijalankan. Walaupun demikian, bukan berarti konsistensi ini harus

    diabaikan dan tidak dilirik sama sekali. Konsistensi menjadikan seorang manusia

    bijaksana dalam bertutur dan berbuat.

    Ada sebuah pepatah Latin yang berbunyi nemo dat quod non habet

    (tidak seorang pun mampu memberikan apa yang dia tidak miliki). Konsistensi

    harus dimiliki lebih dahulu dalam diri, kemudian konsistensi itu dapat ditularkan

    kepada orang lain. Penularan kepada orang lain melalui ketetapan dan kesesuaian

    dalam menjalankan aturan-atuan yang ada secara benar. Memiliki konsistensi

    berarti seseorang memiliki konsistensi dalam diri terlebih dahulu. Konsistensi diri

    adalah representasi dari kekuatan iman, yaitu kekonsistenan antara pikiran,

    perkataan, dan perbuatan. Syarat utama seorang yang menyerukan konsistensi

    adalah memiliki konsistensi diri terlebih dahulu. Bila kita hubungkan dengan

    hukum, maka syarat mutlak seorang penegak hukum yang benar harus memiliki

  • 13

    konsistensi diri yang berhubungan erat dengan suara hatinya, kemudian dia bisa

    menjalankan tugasnya secara konsisten pula.

    Ada banyak masalah yang timbul akibat ketiadaan konsistensi

    (inconsistency) dalam menjalankan hukum. Adanya upaya mementingkan

    kepentingan pribadi dengan cara-cara yang tidak tepat. Salah satu contoh adalah

    memperjualbelikan hukum demi memperkaya diri sendiri. Wujud konkritnya

    adalah tersirat dalam adagium yang telah menjadi konsumsi masyarakat kita yang

    berbunyi hukum tumpul ke atas, menukik tajam ke bawah. Ketiadaan

    konsistensi melahirkan diskriminasi sehingga azas equality before the law

    menjadi terabaikan bahkan bagi sebagian orang disebut-sebut sebagai lagu lama

    yang tidak punya makna lagi.

    Adagium Corruptissima re publica plurimae leges yang diungkapkan oleh

    Tacitus hanya bisa dimentahkan dengan menghadirkan konsistensi dalam

    menjalankan hukum. Tanpa konsistensi, berbicara tentang keadilan merupakan

    sebuah keniscayaan. Percuma kita memiliki seribu undang-undang, tapi tidak

    satupun dapat dijalankan dengan benar. Oleh karena itu, konsistensi ini

    merupakan hal yang harus terus-menerus digaungkan sebagai salah satu pesan

    moral dalam menjalankan hukum.

    B. Hukum Yang Benar adalah Hukum Yang Mengabdi Pada Kepentingan

    Umum

    Hukum yang benar pertama-tama dilihat dari tujuannya. Hukum hanya

    berlaku bila terdapat dua atau lebih manusia tinggal dalam satu daerah. Hal ini

  • 14

    mengandaikan bahwa hukum yang dimaksud tidak berlaku bila manusia itu hidup

    sendiri saja karena tidak ada pihak lain yang dirugikan bila dia berbuat

    sekehendak hatinya. Karena manusia ini adalah makhluk sosial, yang hidup dalam

    komunitas, hidup dalam kelompok bahkan hidup dalam sebuah negara, maka

    wajib ada hukum yang mengatur agar tidak terjadi kekacauan.

    Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa tujuan hukum adalah untuk

    mewujudkan kebaikan bersama sebagai makhluk sosial. Terwujudnya kebaikan

    bersama sangat erat kaitannya dengan keadilan. Keadilan adalah merupakan

    tujuan hukum selain kepastian dan kemanfaatan. Ketiga tujuan hukum ini hanya

    bisa terlaksana dalam kehidupan orang banyak, tidak dalam hidup menyendiri di

    sebuah pulau.

    Karena hukum yang benar hanya dapat dilihat dari tujuan hukum itu

    diadakan, maka sangat tepat apa yang dikatakan oleh Thomas Aquinas bahwa

    hukum tidak boleh bertentangan dengan kebebasan. Dalam kebebasan, kehadiran

    cinta sangat dimungkinkan. Dalam cinta, kehadiran keadilan dapat terwujud. Dan

    dengan keadilan, kebaikan umum dapat dipelihara.

    Di Indonesia, kita sudah memiliki Pancasila sebagai grundnorm seperti

    dikemukakan oleh Kelsen. Pancsila merupakan unsur hakiki dan menjadi tolok

    ukur validitas hukum yang lainnya. Karena hukum yang kita miliki memiliki

    kaidah dasar, hukum yang kita miliki ini adalah hukum yang benar. Tentu saja

    muncul pertanyaan, mengapa dalam pelaksanaan hukum terjadi ketimpangan di

    sana-sini? Melalui makalah ini dapat dijawab secara singkat bahwa ketiadaan

  • 15

    konsistensi dalam menjalankan hukum yang benar menimbulkan tidak tercapainya

    cita-cita hukum yang adil dan benar.

    BAB III

    PENUTUP

    A. KESIMPULAN

    1. Bahwa konsistensi sangat erat kaitannya dengan hati nurani. Hati nurani

    dapat dikenal lewat suara hati. Suara hati tidak pernah salah.

    Ketidaksesuaian terjadi disebabkan oleh ketidakpekaan manusia dalam

    mendengarkan suara hatinya sehingga menimbulkan suatu ketiadaan

    konsistensi dalam berbicara dan berbuat.

    2. Bahwa hukum tidak boleh bertentangan dengan kebebasan. Dalam

    kebebasan, kehadiran cinta sangat dimungkinkan. Dalam cinta, kehadiran

    keadilan dapat terwujud. Dan dengan keadilan, kebaikan umum dapat

    dipelihara. Dengan demikian hukum yang benar telah terlaksana secara

    benar pula.

    B. SARAN

    1. Hendaknya para aparat penegak hukum tidak mengafirmasi alasan

    dominan yang sering digunakan untuk membenarkan bahwa konsistensi

    itu sangat idealis dan susah untuk dijalankan. Konsistensi harus dibangun

    dalam diri sehingga dalam menjalankan hukum yang benar, keadilan itu

    bukan merupakan keniscayaan.

  • 16

    2. Hendaknya para penegak hukum memahami secara jelas tentang hukum

    yang benar. Bila perlu, para penegak hukum membangun kefanatikan

    terhadap paham hukum seperti ini agar tidak melahirkan paham hukum

    lain yang bertentangan dengan kepentingan umum.

    DAFTAR PUSTAKA

    Charles Covell, The Defence of Natural Law, (Houndmills: The Macmillan Press,

    1992).

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

    (Jakarta: Balai Pustaka, 1993)

    E. Sumaryono, Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,

    (Yogyakarta: Kanisius, 2002) .

    J. Stradling, Two Bookes of Constancie, ed. R. Kirk, New Brunswick, NJ:

    Rutgers University Press, 1939.

    Theo Hujbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius,

    2005).

    ----

    Chad Hansen, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London:

    Routledge

    Gregory H. Moore, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0,

    London: Routledge

    ----

  • 17

    Wikipedia Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Konsistensi_(logika), diakses

    30 Mei 2015, pkl. 10.28 WIB