Upload
fidelis-harefa
View
7
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Anda sudah memahami hukum? Akan menjadi lebih baik bila memahami Konsistensi.
Citation preview
1
MAKALAH FILSAFAT HUKUM
DISUSUN OLEH:
FIDELIS HAREFA
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadilan merupakan nilai ideal yang selalu diperjuangkan oleh umat
manusia. Sebagai nilai ideal, cita-cita menggapai keadilan tidak pernah tuntas
dicari, dan tidak pernah selesai dibahas. Keadilan akan menjadi diskursus panjang
dalam sejarah peradaban manusia. Dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia,
upaya untuk mencapai keadilan tidak bisa diabaikan.
Negara hukum tidak boleh apatis terhadap perjuangan dan setiap upaya untuk
menegakkan keadilan. Konsepsi tentang keadilan sangat penting agar sebuah
negara hukum menjadi pijakan semua pihak baik warga negara maupun pemimpin
negara sebagai kepastian dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang
dihadapi. Sebuah negara hukum dituntut sebuah konsep keadilan yang dapat
menyentuh dan memulihkan berbagai persoalan hukum untuk memuaskan rasa
keadilan semua pihak. Oleh karena itu, untuk menegaskan kepastiannya sebagai
sarana untuk mencapai keadilan, sebuah negara hukum harus mampu
merumuskan konsep hukumnya dalam suatu afirmasi yang bersifat konstitusional.
Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian afirmasi sebuah negara
hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
3
Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3). Penegasan tersebut mengharuskan bahwa dalam
sebuah negara hukum persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum harus
diselesaikan melalui jalur hukum. Prosedur penyelesaian terhadap semua
persoalan hukum melalui jalur hukum tersebut merupakan penegasan terhadap
superioritas hukum. Hukum yang superior tidak pernah tunduk di bawah
kepentingan apa pun selain kepentingan hukum itu sendiri yaitu mencapai
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang merupakan tujuan utama
hukum. Tetapi hukum tidak pernah bekerja secara otomatis. Hukum dalam sebuah
negara hukum selalu berhubungan dan berkaitan erat dengan aparat penegak
hukum. Superior dan tegaknya keadilan hukum membutuhkan aparat penegak
hukum sebagai pihak yang berperan sangat penting untuk menegakkan keadilan
agar hukum memiliki kekuatan untuk mengatur ketertiban sosial, keteraturan, dan
keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum yang tegas dan berlaku adil
membuat hukum tersebut menjadi superior; memiliki keunggulan, kelebihan yang
dapat diandalkan dan kredibel bagi semua pihak.
Hukum yang mengarahkan diri pada keadilan tidak saja membutuhkan aparat
penegak hukum tetapi lebih pada aparat penegak hukum yang bermoral dan
berintegritas tinggi. Aparat penegak hukum yang bermoral tersebut diharapkan
dapat menegakkan hukum sebaik mungkin sebagai upaya mencapai tujuan-tujuan
hukum termasuk untuk mencapai keadilan. Tanpa aparat penegak hukum yang
bermoral, sebaik apapun hukum dibuat dapat saja sia-sia (nirmakna) karena tidak
mampu memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak. Oleh
karena itu, kiprah aparat penegak hukum yang baik sangat dibutuhkan agar hukum
4
tetap superior, tidak mudah diperjualbelikan dan tidak berada di bawah
penindasan kepentingan politik dan ekonomi. Sesungguhnya superioritas hukum
dalam sebuah negara hukum terletak pada konsistensi aparat penegak hukum
untuk berpegang teguh pada aspek moralitas demi menegakkan keadilan dan
kepastian hukum. Konsistensi aparat penegak hukum dapat menciptakan
keunggulan (superioritas) hukum untuk lebih responsif dan mampu menuntaskan
berbagai persoalan hukum.
Hukum yang superior tersebut tidak berlaku diskriminatif karena hukum
tersebut berlaku adil bagi semua warga negara tanpa memandang posisi, jabatan
atau status sosial tertentu. Hukum yang superior tersebut tidak boleh
disalahgunakan untuk kepentingan kepentingan yang menyesatkan hukum karena
hukum adalah sarana memperjuangkan keadilan bagi semua pihak. Hukum yang
superior tersebut harus tetap dilindungi oleh benteng kokoh bernama moralitas
aparat penegak hukum. Semua aparat penegak hukum harus memiliki komitmen
yang teguh agar hukum tetap dijaga keluhurannya sebagai sarana untuk mencapai
keadilan sosial. Moralitas aparat yang kokoh, otentik dan kredibel dibutuhkan
sebagai upaya untuk membangun kembali hukum yang dipercaya dan dihargai
oleh semua pihak. Oleh karena itu, jika moralitas aparat penegak hukum semakin
baik, maka hukum akan semakin superior dan kredibel dalam upaya untuk
memenuhi tujuan-tujuan hukum termasuk upaya untuk mencapai keadilan.
Moralitas aparat penegak hukum sangat menentukan ke mana arah kepastian
hukum dan keadilan akan bermuara.
5
Aparat penegak hukum yang tidak bermoral menyebabkan hukum berada
dalam posisi yang inferior, tidak mempunyai keunggulan dan tidak dapat
dipercaya oleh para pencari keadilan. Nilai keadilan dan kepastian hukum akan
terdegradasi dan tidak memiliki kekuatan yang bisa diandalkan kalau hukum tidak
dikendarai oleh aparat penegak hukum yang bermoral baik. Pertanyaannya, apa
yang yang menyebabkan hukum di Indonesia belum bisa menggapai nilai idealnya
yakni keadilan? Mengapa aparat penegak hukum mengabaikan nilai keadilan dan
moralitas sehingga membuat hukum menjadi inferior dan meragukan kehendak
baik para pencari keadilan? Pertanyaanpertanyaan tersebut menurut penulis
bermuara pada persoalan aparat penegak hukum yang belum memiliki integritas
yang tinggi, belum bekerja secara profesional menurut kode etik aparat penegak
hukum, dan belum memiliki moralitas dan kepribadian sebagai aparat yang
konsisten dalam penegakan hukum seperti diharapkan oleh semua pihak. Selain
itu, ketidaktegasan aparat penegak hukum untuk mengikuti prosedur hukum juga
telah turut menyebabkan hukum menjadi tidak adil terhadap para pelanggar
hukum yang memiliki status sosial tinggi, misalnya, atau mereka yang memiliki
akses terhadap hukum. Di lain pihak hukum yang dijalankan oleh aparat penegak
yang tidak konsisten tersebut bahkan menindas masyarakat biasa yang tidak
mempunyai akses terhadap hukum. Bagi mereka yang tidak memiliki akses
terhadap hukum, keberadaan hukum bahkan menjadi begitu tegas dan cenderung
diskriminatif.
Masyarakat pencari keadilan tentu merasa tidak puas dan merasa ditindas
oleh hukum yang diskriminatif tersebut. Perasaan tidak puas masyarakat beralasan
6
karena dalam negara hukum setiap warga negara sama dan sederajad di hadapan
hukum. Rasa tidak puas tersebut melahirkan sikap pesimis masyarakat terhadap
hukum dan aparat penegak hukum. Keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat
membuat hukum semakin tidak berdaya dan tidak mampu memenuhi rasa
keadilan publik dan tidak dapat merespon persoalan-persoalan hukum yang
semakin kompleks dalam masyarakat. Superioritas hukum semakin dipertanyakan
keberadaannya dan moralitas aparat penegak hukum semakin disangsikan oleh
masyarakat. Di lain pihak Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945 secara tegas mengatur perihal keadilan di hadapan hukum untuk
semua warga negara Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
Selain itu Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 juga menegaskan bahwa:
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Afirmasi hukum yang ideal tersebut terkesan utopis karena belum mampu
dilaksanakan secara utuh dan konsisten dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hukum seolah-olah menjadi panggung sandiwara bagi aparat penegak hukum
sehingga upaya mencapai keadilan masih jauh dari harapan dan cita-cita sebuah
negara hukum.
Apakah hukum yang kita miliki belum layak disebut hukum yang benar?
Ini menjadi pertanyaan yang menyelimuti pikiran para pencari keadilan. Seperti
7
telah dituturkan di atas, ketiadaan konsistensi dalam menjalankan hukum yang
benar menjadikan hukum itu berada di posisi inferior. Ketiadaan konsistensi
dalam menjalankan hukum yang benar mempertajam makna adagium Latin yang
pernah diungkapkan oleh Tacitus, Corruptissima re publica plurimae leges1,
semakin banyak undang-undang, semakin korupsi sebuah republik.
Konsistensi merupakan sesuatu yang sangat mahal. Oleh karenanya, sering
kali dijauhi untuk dibicarakan bahkan untuk dipahami dan dilaksanakan. Ada
banyak pendapat mengatakan bahwa berbicara tentang konsistensi merupakan
sesuatu yang sangat idealis dan sulit untuk diwujudkan.
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini disajikan dengan judul
Konsistensi Menjalankan Hukum Yang Benar Dalam Perspektif Filsafat
Hukum.
B. Rumusan Masalah
Atas dasar latar belakang masalah di atas, makalah ini dirumuskan dalam
dua rumusan masalah, yakni:
1. Apa yang dimaksud dengan konsistensi?
2. Bagaimana hukum yang benar dalam perspektif filsafat hukum?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui maksud dari sebuah konsistensi.
1 J. Stradling, Two Bookes of Constancie, ed. R. Kirk, New Brunswick, NJ: Rutgers University
Press, 1939.
8
2. Untuk mengetahui pendapat-pendapat tentang hukum yang benar dalam
perspektif filsafat hukum.
D. Kajian Pustaka
Sebelum dibahas lebih lanjut tentang topik di atas, perlu diketahui bahwa
ada dua hal penting yang harus dipahami lebih dulu sebagai inti permasalahan
yang harus ditelaah. Dua hal penting itu adalah muatan dan pengertian dari
kata konsistensi dan hukum yang benar dalam persepektif filsafat hukum.
1. Pengertian Konsistensi
Kata konsistensi berasal dari kata konsisten, dari bahasa latin con-sistere
yang artinya berdiri bersama2. Bila diartikan, kata konsisten artinya sesuai,
harmoni, atau memiliki hubungan logis. Selanjutnya, perubahan kata sifat
konsisten menjadi kata benda disebut sebagai konsistensi dengan pengertian
kesesuaian, keharmonisan dan keadaan memiliki hubungan logis.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsistensi berarti ketetapan
(tidak berubah-ubah), ketaatan terhadap azas, keselarasn, kesesuaian perbuatan
dengan kata-kata dan kemantapan dalam bertindak.3
Konsistensi dalam ilmu logika adalah merupakan sebuah sematik dengan
sematik yang lainnya tidak mengandung kontradiksi. Tidak adanya kontradiksi
dapat diartikan baik dalam hal semantik atau berhubung dengan sintaksis. Definisi
semantik yang menyatakan bahwa sebuah teori yang konsisten jika ia memiliki
model; ini digunakan dalam arti logika tradisional Aristoteles walaupun dalam 2 Chad Hansen, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London: Routledge
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1993), hlm. 520
9
logika matematika kontemporer terdapat istilah satisfiable yang digunakan.
Berhubungan dengan pengertian sintaksis yang menyatakan bahwa sebuah teori
yang konsisten jika tidak terdpat rumus P seperti yang kedua P dan penyangkalan
adalah pembuktian dari axioma dari teori yang terkait di bawah sistem deduktif.4
Menurut Thomas Aquinas dalam bukunya Summa Theologia, konsistensi
adalah suatu sikap batin yang berhubungan erat dengan moral dan iman dimana
seseorang dimampukan untuk melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan
hati nuraninya.5
Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat menarik sebuah kesimpulan
bahwa konsistensi adalah sebuah keadaan dimana terdapat kesesuaian antara
perkataan dan perbuatan. Sebuah keadaan dimana ada keteguhan dan kemantapan
dalam bertindak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, tidak terdapat
kontradiksi antara teori dan kenyataan. Hal yang paling penting dari pengertian di
atas adalah pandangan Thomas Aquinas yang menghubungkan antara konsistensi
dengan hati nurani. Hati nurani atau suara hati tidak pernah salah. Ketidaksesuaian
yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh ketidakpekaan manusia dalam
mendengarkan suara hatinya sehingga menimbulkan suatu ketiadaan konsistensi
dalam berbicara dan berbuat.
2. Hukum Yang Benar Dalam Perspektif Filsafat Hukum
Hukum yang benar adalah hukum yang memperjuangkan keadilan. Kita
bisa memahami hukum yang benar itu dengan mengetahui beberapa pandangan
para tokoh tentang hukum. 4 Wikipedia Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Konsistensi_(logika), diakses 30 Mei 2015,
pkl. 10.28 WIB 5 Gregory H. Moore, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London: Routledge
10
Sejak zaman Yunani-Romawi, para filsuf membicarakan hukum dengan
menghubungkannya pada kepentingan umum (bonum commune). Plato, seorang
filsuf Yunani menegaskan adanya hubungan hukum dengan kepentingan umum
melalui polis (negara kota). Sebuah polis dihuni oleh beberapa polites (warga
negara). Polites bersama-sama mewujudkan politeia, yakni bagaimana menjadi
warga negara yang baik dan bagaimana menciptakan sebuah pemerintahan yang
baik. Untuk mewujudkan politeia itu, haruslah ada aturan yang mengatur dan
harus ditaati oleh polites. Aturan inilah yang kemudian dibahasakan sebagai
hukum dalam perkembangan pandangan filsafat.6
Berakar dari kata polis, Aristoteles mengemukakan istilah zoon politikon
yang berarti manusia polis. Manusia polis adalah manusia yang hidup dalam
kebersamaan, berdampingan dengan orang lain. Hidup berdampingan antara
sesame manusia polis hanya dapat terwujud bila ada sebuah keutamaan dalam
memperhatikan kebaikan bersama. Kebaikan bersama ini hanya dapat tercapai
bila ada peraturan yang mengaturnya.7
Bila peraturan-peraturan yang dimaksud bertujuan untuk mewujudkan
kebaikan bersama, kita sangat perlu mengetahui hukum yang tepat dan benar
dalam mengatur kepentingan umum. Ada banyak pendapat tentang hukum yang
benar. Dalam makalah ini dikemukakan dua pendapat saja yakni pendapat Hans
Kelsen dan Thomas Aquinas.
Menurut Kelsen, integritas sebuah hukum yang benar didasarkan atas
sebuah norma dasar atau Grundnorm, yaitu sebuah norma yang tidak tergantung 6 Bdk. Theo Hujbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 2005) hlm.
22. 7 Bdk. Ibid, hlm. 28
11
pada norma-norma lain, melainkan norma dasar ini justru menjadi ukuran
validitas norma-norma yang lain. Norma dasar ini berfungsi sebagai unsur hakiki
pengorganisasian interpretasi teoritis terhadap aturan-aturan dan lembaga-
lembaganya yang terdapat dalam sebuah sistem hukum8.
Menurut Thomas Aquinas, hukum yang benar adalah hukum yang tidak
bertentangan dengan kebebasan dan cinta kemanusiaan. Hukum yang benar
memungkinkan terselenggaranya kebebasan dan cinta, sebab kebebasan tidak
mungkin terjadi jika tanpa cinta pada sesama (makna kebaikan). Cinta kepada
sesama juga tidak akan mungkin terlaksana jika tanpa keadilan, dan keadilan tidak
mungkin terselenggara tanpa keberlakuan hukum yang legitim. Jika hukum
disusun demi kebaikan umum, maka peraturan macam apa saja harus juga
diarahkan demi kebaikan umum.9
Dua pandangan di atas menjadi dasar pembahasan dalam makalah ini.
Pandangan ini cukup mewakili penegasan hubungan antara hukum dan kebaikan
bersama. Oleh karena itu, makalah ini dibatasi pada pendapat itu saja agar tidak
terlalu melebar pemahamannya. Alasan yang lebih kuat adalah karena dalam dua
pendapat di atas, cita-cita dalam menjalankan hukum yang benar itu termuat
secara jelas dan tegas.
8 Charles Covell, The Defence of Natural Law, (Houndmills: The Macmillan Press, 1992), hlm.
19-20. 9 E. Sumaryono, Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002) hlm. 223-224.
12
BAB II
KONSISTENSI MENJALANKAN HUKUM YANG BENAR
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM
A. Perlunya Konsistensi Dalam Menjalankan Hukum
Konsistensi terkesan sebagai sebuah barang mahal dan cenderung dijauhi
oleh manusia. Alasan dominan yang sering digunakan untuk membenarkan
adagium ini adalah karena konsistensi itu sendiri terlihat sangat idealis dan susah
untuk dijalankan. Walaupun demikian, bukan berarti konsistensi ini harus
diabaikan dan tidak dilirik sama sekali. Konsistensi menjadikan seorang manusia
bijaksana dalam bertutur dan berbuat.
Ada sebuah pepatah Latin yang berbunyi nemo dat quod non habet
(tidak seorang pun mampu memberikan apa yang dia tidak miliki). Konsistensi
harus dimiliki lebih dahulu dalam diri, kemudian konsistensi itu dapat ditularkan
kepada orang lain. Penularan kepada orang lain melalui ketetapan dan kesesuaian
dalam menjalankan aturan-atuan yang ada secara benar. Memiliki konsistensi
berarti seseorang memiliki konsistensi dalam diri terlebih dahulu. Konsistensi diri
adalah representasi dari kekuatan iman, yaitu kekonsistenan antara pikiran,
perkataan, dan perbuatan. Syarat utama seorang yang menyerukan konsistensi
adalah memiliki konsistensi diri terlebih dahulu. Bila kita hubungkan dengan
hukum, maka syarat mutlak seorang penegak hukum yang benar harus memiliki
13
konsistensi diri yang berhubungan erat dengan suara hatinya, kemudian dia bisa
menjalankan tugasnya secara konsisten pula.
Ada banyak masalah yang timbul akibat ketiadaan konsistensi
(inconsistency) dalam menjalankan hukum. Adanya upaya mementingkan
kepentingan pribadi dengan cara-cara yang tidak tepat. Salah satu contoh adalah
memperjualbelikan hukum demi memperkaya diri sendiri. Wujud konkritnya
adalah tersirat dalam adagium yang telah menjadi konsumsi masyarakat kita yang
berbunyi hukum tumpul ke atas, menukik tajam ke bawah. Ketiadaan
konsistensi melahirkan diskriminasi sehingga azas equality before the law
menjadi terabaikan bahkan bagi sebagian orang disebut-sebut sebagai lagu lama
yang tidak punya makna lagi.
Adagium Corruptissima re publica plurimae leges yang diungkapkan oleh
Tacitus hanya bisa dimentahkan dengan menghadirkan konsistensi dalam
menjalankan hukum. Tanpa konsistensi, berbicara tentang keadilan merupakan
sebuah keniscayaan. Percuma kita memiliki seribu undang-undang, tapi tidak
satupun dapat dijalankan dengan benar. Oleh karena itu, konsistensi ini
merupakan hal yang harus terus-menerus digaungkan sebagai salah satu pesan
moral dalam menjalankan hukum.
B. Hukum Yang Benar adalah Hukum Yang Mengabdi Pada Kepentingan
Umum
Hukum yang benar pertama-tama dilihat dari tujuannya. Hukum hanya
berlaku bila terdapat dua atau lebih manusia tinggal dalam satu daerah. Hal ini
14
mengandaikan bahwa hukum yang dimaksud tidak berlaku bila manusia itu hidup
sendiri saja karena tidak ada pihak lain yang dirugikan bila dia berbuat
sekehendak hatinya. Karena manusia ini adalah makhluk sosial, yang hidup dalam
komunitas, hidup dalam kelompok bahkan hidup dalam sebuah negara, maka
wajib ada hukum yang mengatur agar tidak terjadi kekacauan.
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa tujuan hukum adalah untuk
mewujudkan kebaikan bersama sebagai makhluk sosial. Terwujudnya kebaikan
bersama sangat erat kaitannya dengan keadilan. Keadilan adalah merupakan
tujuan hukum selain kepastian dan kemanfaatan. Ketiga tujuan hukum ini hanya
bisa terlaksana dalam kehidupan orang banyak, tidak dalam hidup menyendiri di
sebuah pulau.
Karena hukum yang benar hanya dapat dilihat dari tujuan hukum itu
diadakan, maka sangat tepat apa yang dikatakan oleh Thomas Aquinas bahwa
hukum tidak boleh bertentangan dengan kebebasan. Dalam kebebasan, kehadiran
cinta sangat dimungkinkan. Dalam cinta, kehadiran keadilan dapat terwujud. Dan
dengan keadilan, kebaikan umum dapat dipelihara.
Di Indonesia, kita sudah memiliki Pancasila sebagai grundnorm seperti
dikemukakan oleh Kelsen. Pancsila merupakan unsur hakiki dan menjadi tolok
ukur validitas hukum yang lainnya. Karena hukum yang kita miliki memiliki
kaidah dasar, hukum yang kita miliki ini adalah hukum yang benar. Tentu saja
muncul pertanyaan, mengapa dalam pelaksanaan hukum terjadi ketimpangan di
sana-sini? Melalui makalah ini dapat dijawab secara singkat bahwa ketiadaan
15
konsistensi dalam menjalankan hukum yang benar menimbulkan tidak tercapainya
cita-cita hukum yang adil dan benar.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Bahwa konsistensi sangat erat kaitannya dengan hati nurani. Hati nurani
dapat dikenal lewat suara hati. Suara hati tidak pernah salah.
Ketidaksesuaian terjadi disebabkan oleh ketidakpekaan manusia dalam
mendengarkan suara hatinya sehingga menimbulkan suatu ketiadaan
konsistensi dalam berbicara dan berbuat.
2. Bahwa hukum tidak boleh bertentangan dengan kebebasan. Dalam
kebebasan, kehadiran cinta sangat dimungkinkan. Dalam cinta, kehadiran
keadilan dapat terwujud. Dan dengan keadilan, kebaikan umum dapat
dipelihara. Dengan demikian hukum yang benar telah terlaksana secara
benar pula.
B. SARAN
1. Hendaknya para aparat penegak hukum tidak mengafirmasi alasan
dominan yang sering digunakan untuk membenarkan bahwa konsistensi
itu sangat idealis dan susah untuk dijalankan. Konsistensi harus dibangun
dalam diri sehingga dalam menjalankan hukum yang benar, keadilan itu
bukan merupakan keniscayaan.
16
2. Hendaknya para penegak hukum memahami secara jelas tentang hukum
yang benar. Bila perlu, para penegak hukum membangun kefanatikan
terhadap paham hukum seperti ini agar tidak melahirkan paham hukum
lain yang bertentangan dengan kepentingan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Charles Covell, The Defence of Natural Law, (Houndmills: The Macmillan Press,
1992).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1993)
E. Sumaryono, Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002) .
J. Stradling, Two Bookes of Constancie, ed. R. Kirk, New Brunswick, NJ:
Rutgers University Press, 1939.
Theo Hujbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius,
2005).
----
Chad Hansen, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London:
Routledge
Gregory H. Moore, in Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0,
London: Routledge
----
17
Wikipedia Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Konsistensi_(logika), diakses
30 Mei 2015, pkl. 10.28 WIB