19
KORTIKOSTEROID TOPIKAL 1 Jenis obat yang paling banyak diresepkan diantara semua produk obat dermatologi Efektif dalam menurunkan gejala inflamasi, tapi tidak ditujukan pada penyebab dari penyakit Penelitian mengenai kortikosteroid topikal difokuskan pada strategi untuk mengoptimalkan potensi dan meminimalkan efek samping Molekul-molekul baru rata-rata memiliki efek anti inflamasi yang lebih tinggi, toleransi yang baik (aplikasi satu kali

kortikosteroid topikal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kortiko

Citation preview

KORTIKOSTEROID TOPIKAL

1

Jenis obat yang paling banyak diresepkan diantara semua

produk obat dermatologi

Efektif dalam menurunkan gejala inflamasi, tapi tidak

ditujukan pada penyebab dari penyakit

Penelitian mengenai kortikosteroid topikal difokuskan pada

strategi untuk mengoptimalkan potensi dan meminimalkan

efek samping

Molekul-molekul baru rata-rata memiliki efek anti inflamasi

yang lebih tinggi, toleransi yang baik (aplikasi satu kali

sehari), jarang menimbulkan reaksi sensitivitas silang dan

mempunyai efek atrofogenik yang lemah

Mekanisme Kerja

Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan non spesifik yang berhubungan dengan

mekanisme kerja yang berbeda, diantaranya: anti inflamasi, imunosupresif,

antiproliferatif, dan efek vasokonstriksi. Sebagian besar efek kortikosteroid pada sel

dimediasi oleh ikatan kortikosteroid dengan reseptor di sitosol, diikuti oleh translokasi

drug-receptor complex ke DNA inti, yang dikenal sebagai corticosteroid responsive

element, yang kemudian dapat merangsang atau menghambat transkripsi gen yang

berdekatan, sehingga dapat mengontrol proses peradangan.

Efek Antiinflamasi

Kortikosteroid diperkirakan mempunyai efek anti inflamasi yang kuat dengan

menghambat pelepasan fosfolipase A2, suatu enzim yang bertanggung jawab untuk

pembentukan prostaglandin, leukotrien, dan turunan lainnya pada jalur asam

arakidonat. Kortikosteroid juga menghambat faktor transkripsi, seperti activator

protein 1 dan nuclear factor κβ, yang terlibat dalam aktivasi gen pro-inflamasi. Gen

yang diregulasi oleh kortikosteroid dan berperan dalam perbaikan inflamasi adalah

lipocortin dan P11 / calpactin-binding proteins, keduanya terlibat dalam pelepasan

asam arakidonat. Lipocortin 1 menghambat fosfolipase A2, mengurangi pelepasan

asam arakidonat dari fosfolipid. Kortikosteroid juga menurunkan pelepasan

interleukin 1α (IL-1α), suatu sitokin pro-inflamasi yang penting dari keratinosit.

Mekanisme lain dari efek anti-inflamasi kortikosteroid meliputi penghambatan

fagositosis dan stabilisasi membran lisosom sel fagosit.

Efek Imunosupresif

Efektivitas kortikosteroid juga disebabkan oleh sifat imunosupresifnya. Kortikosteroid

menekan produksi dan efek faktor humoral yang terlibat dalam respon inflamasi,

menghambat migrasi leukosit ke tempat peradangan, dan menghambat fungsi sel

endotel, granulosit, sel mast, dan fibroblas. Beberapa penelitian telah menunjukkan

bahwa kortikosteroid dapat menyebabkan deplesi sel mast di kulit. Beberapa

percobaan juga menunjukkan bahwa kortikosteroid topikal menyebabkan inhibisi

lokal kemotaksis neutrofil in vitro, dan menurunkan jumlah Ia+2 sel Langerhans in

vivo. Kortikosteroid mengurangi eosinofilia pada pasien dengan asma. Kortikosteroid

juga mengurangi proliferasi dan menginduksi apoptosis sel T, selain menghambat

2

growth factor IL-2 sel T. Selain itu, beberapa sitokin secara langsung dipengaruhi

oleh kortikosteroid , termasuk IL-1, tumor necrosis factor-α, granulocyte-macrophage

colony stimulating factor, dan IL-8. Efek imunosupresif ini mungkin juga akibat dari

kerja steroid pada antigen presenting cell.

Efek Antiproliferasi

Pengaruh antiproliferasi dari kortikosteroid topikal dimediasi oleh penghambatan

sintesis dan mitosis DNA, yang menjelaskan kerja obat ini pada dermatosis skuamosa.

Aktivitas fibroblas dan pembentukan kolagen juga dihambat oleh kortikosteroid

topikal.

Vasokonstriksi

Mekanisme kortikosteroid dalam menginduksi vasokonstriksi belum sepenuhnya

jelas. Hal ini diduga berkaitan dengan penghambatan vasodilator alami seperti

histamin, bradikinin, dan prostaglandin. Steroid topikal menyebabkan kapiler di

dermis superfisial mengalami konstriksi, sehingga mengurangi eritema. Kemampuan

kortikosteroid untuk menyebabkan vasokonstriksi biasanya berkaitan dengan potensi

anti-inflamasi, sehingga uji vasokonstriksi sering digunakan untuk memprediksi

aktivitas klinis dari suatu bahan obat. Uji ini, dalam kombinasi dengan uji klinis

double-blind, telah digunakan untuk membagi kortikosteroid topikal menjadi tujuh

kelas berdasarkan potensi. Kelas 1 adalah yang paling poten, sedangkan kelas 7

adalah yang paling lemah. Tabel 216-1 merinci berbagai kortikosteroid topikal yang

tersedia sesuai dengan klasifikasi ini. Perhatikan bahwa obat yang sama dapat

ditemukan dalam klasifikasi potensi yang berbeda tergantung pada vehikulum yang

digunakan.

FARMAKOKINETIK

Kortikosteroid memiliki struktur kerangka dasar yang terdiri dari 17 atom karbon

tersusun dalam tiga cincin segi enam dan satu cincin segi lima. Modifikasi kortisol

(Gambar 216-1), dengan menambah atau mengubah kelompok fungsional pada posisi

tertentu, mempengaruhi potensi terhadap anti-inflamasi, efek glukokortikosteroid

terhadap aktivitas mineralokortikoid, dan efek samping dari obat ini.

3

4

Penelitian terhadap kortikosteroid topikal difokuskan pada strategi untuk

mengoptimalkan potensi dan meminimalkan efek samping. Salah satu strategi adalah

mengembangkan senyawa yang mempunyai efek anti inflamasi tinggi dengan efek

atrofogenik dan supresi adrenal yang rendah. Dalam hal ini, terdapat kemajuan

dengan dikembangkannya molekul glukokortikoid dengan aktivitas yang tinggi pada

kulit, tapi cepat dipecah menjadi metabolit inaktif, sehingga mengurangi efek toksik

sistemik dan lokal (“soft” glucocorticoids). Beberapa senyawa baru ini meliputi

diester 17,21 hidrokortison aceponate dan hidrokortison 17-butirat-21-propionat,

prednicarbat, metilprednisolon aceponat, alklometason propionat, dan karbotioat

seperti flutikason propionat. Hidrokortison aceponat, prednicarbat, dan

metilprednisolon aceponat memiliki efek anti-inflamasi yang signifikan, namun

mempunyai efek yang lebih rendah terhadap atrofi kulit, sehingga mereka dapat

digunakan untuk mengobati daerah-daerah seperti wajah, skrotum, dan kulit anak-

anak, dengan efek samping yang minimal. Flutikason propionat digolongkan sebagai

kortikosteroid kuat dengan kecenderungan yang lebih rendah dalam menyebabkan

atrofi kulit dan supresi adrenal. Keuntungan dari obat ini adalah aplikasi pada kulit

hanya sekali sehari dan reaksi alergi lokal yang jarang. Mometason furoat juga

memiliki efek anti inflamasi yang tinggi dengan insiden supresi adrenal yang rendah.

5

Indikasi

Kortikosteroid topikal, selain dipakai karena aktivitas anti inflamasinya pada penyakit

kulit dengan kelainan inflamasi, dapat juga digunakan karena efek antimitosis dan

kemampuannya untuk mengurangi sintesis molekul jaringan ikat. Beberapa hal

tertentu harus dipertimbangkan ketika mengobati penyakit kulit menggunakan

glukokortikoid topikal. Misalnya, respon penyakit terhadap glukokortikoid topikal

yang bervariasi. Pada keadaan seperti ini, penyakit dapat dibagi menjadi tiga kategori

ditunjukkan pada Tabel 216-2: sangat responsif, cukup responsif, dan kurang

responsif.

Penggunaan Pada Anak-anak

Pada anak-anak, glukokortikoid topikal sangat efektif, dengan efek samping yang

minimal jika menggunakan sediaan potensi rendah, dalam periode yang singkat dan

tanpa oklusi. Namun, anak-anak, khususnya bayi, berisiko tinggi untuk menyerap

kortikosteroid topikal karena beberapa alasan. Karena mereka memiliki rasio luas

permukaan kulit dibanding berat badan yang lebih tinggi, aplikasi obat steroid topikal

akan menghasilkan kemungkinan efek sistemik yang lebih besar. Bayi juga mungkin

kurang mampu memetabolisme glukokortikoid kuat dengan cepat. Bayi prematur

sangat beresiko karena kulit mereka lebih tipis dan tingkat penetrasi obat topikal yang

lebih tinggi. Aplikasi steroid topikal pada daerah popok menyebabkan terjadinya

6

oklusi steroid oleh popok sehingga meningkatkan penetrasi obat. Penyerapan

glukokortikoid topikal yang berlebih dapat menekan produksi kortisol endogen.

Akibatnya, penghentian terapi steroid topikal setelah masa pengobatan yang panjang,

meskipun jarang, dapat mengakibatkan krisis addison. Kematian akibat krisis addison

telah dilaporkan pada penggunaan steroid topikal, dan risiko ini terjadi lebih besar

pada anak-anak. Penekanan produksi kortisol yang kronis juga bisa menyebabkan

retardasi pertumbuhan. Pemeriksaan terhadap kadar kortisol plasma pagi dapat

dilakukan untuk skrining adanya supresi adrenal. Jika terdapat penekanan,

penggunaan steroid harus dihentikan perlahan untuk mencegah komplikasi ini.

Penggunaan Pada Pasien Geriatri

Pasien lanjut usia juga memiliki kulit yang tipis, yang memungkinkan peningkatan

penetrasi glukokortikoid topikal. Mereka juga cenderung sudah memiliki atrofi kulit

akibat dari penuaan dan mungkin juga menggunakan popok, maka tindakan yang

sama seperti dalam perawatan bayi harus dikerjakan ketika merawat pasien lanjut

usia.

Penggunaan Pada Kehamilan

Studi yang layak pada manusia menggunakan glukokortikoid topikal dalam

kehamilan tidak pernah dilakukan. Studi pada hewan menunjukkan bahwa steroid

topikal dapat diserap secara sistemik dan dapat menyebabkan kelainan pada janin,

terutama bila digunakan dalam jumlah yang berlebihan, dengan dressing oklusif,

jangka waktu yang lama, atau menggunakan sediaan potensi kuat. Namun, beberapa

penelitian pada pasien hamil yang menggunakan glukokortikoid sistemik selama

kehamilan tidak menunjukkan peningkatan insiden kelainan janin. Sebagian besar

steroid topikal dinilai oleh US Food and Drug Administration sebagai obat kategori

C, yang berarti hati-hati bila digunakan pada kehamilan. Saat ini belum diketahui

apakah glukokortikoid topikal diekskresikan pada ASI, namun obat ini harus

digunakan dengan hati-hati pada ibu menyusui dan tidak boleh diaplikasikan pada

payudara sebelum menyusui.

REGIMEN DOSIS

Pengetahuan mengenai frekuensi aplikasi topikal dari kortikosteroid berkembang

secara empiris, dan sebagian besar buku dan dokter merekomendasikan penggunaan

7

beberapa kali dalam satu hari. Lagos dan Maibach melakukan pengamatan pada

tinjauan pustaka terbaru, mengatakan bahwa untuk kortikosteroid superpoten, aplikasi

sehari sekali mempunyai manfaat yang sama dengan aplikasi dua kali sehari.

Demikian juga, tidak ada perbedaan atau hanya sedikit perbedaan dengan aplikasi

sekali atau dua kali sehari dari kortikosteroid kuat atau sedang. Para penulis

menyimpulkan bahwa aplikasi sehari sekali kortikosteroid topikal mungkin dapat

mengurangi risiko efek samping dan takifilaksis, menurunkan biaya terapi, dan

meningkatkan kepatuhan pasien. Takifilaksis telah dibuktikan dalam penelitian

eksperimental dengan berkurangnya vasokonstriksi, rebound sintesis DNA, dan

pemulihan histamine wheal setelah aplikasi steroid topikal pada pasien dengan

riwayat penggunaan steroid topikal jangka panjang.

Sebagai kesepakatan, tidak lebih dari 45 g / minggu kortikosteroid topikal

potensi kuat atau 100 g/ minggu potensi lemah atau sedang yang bisa dipakai (tanpa

oklusi) jika ingin menghindari penyerapan sistemik.

FORMULASI KLINIS

Terapi Inisial

Sebelum memilih preparat glukokortikoid topikal, kita harus mempertimbangkan area

tubuh yang akan diobati karena perbedaan regio sangat mempengaruhi aktivitas obat

topikal. Penetrasi glukokortikoid bervariasi menurut regio kulit, yang berkaitan

dengan ketebalan stratum korneum dan suplai pembuluh darah ke daerah tersebut.

Sebagai contoh, penetrasi steroid topikal melalui kelopak mata dan skrotum adalah

empat kali lebih besar daripada dahi dan 36 kali lebih besar daripada telapak tangan

dan telapak kaki. Kulit yang meradang, lembab, dan kulit tidak berambut juga

menunjukkan penetrasi meningkat. Area tubuh dengan kulit yang tipis tidak hanya

meningkatkan penetrasi obat, tetapi juga lebih rentan untuk mengalami efek samping

dibandingkan kulit yang tebal. Steroid topikal potensi kuat (kelas 1 dan 2) jarang

digunakan di daerah dengan tingkat penetrasi tertinggi, seperti kelopak mata.

Beberapa pertimbangan harus diingat saat memulai penggunaan kortikosteroid topikal

Penyakit yang sangat responsif biasanya akan bereaksi terhadap steroid lemah,

sedangkan penyakit kurang responsif memerlukan steroid topikal potensi

menengah atau kuat.

Preparat potensi rendah hendaknya digunakan pada wajah dan daerah

intertriginosa.

8

Kortikosteroid yang sangat poten dengan oklusi biasanya diperlukan pada

dermatosis hiperkeratotik atau dengan likenifikasi dan untuk penyakit pada

telapak tangan dan telapak kaki.

Terapi Monitoring

Aplikasi kortikosteroid pada daerah-daerah dengan permukaan yang luas, penggunaan

oklusi, konsentrasi yang lebih tinggi, atau derivat yang lebih kuat secara langsung

meningkatkan risiko penekanan hypothalamic-pituitary-axis (HPA). Jika ini dicurigai,

analisis laboratorium yang meliputi pemeriksaan hitung sel darah lengkap, analisis

kimia, dan kadar kortisol pagi harus dilakukan. Pada pasien dengan penekanan HPA

yang telah dikonfirmasi, diperlukan tambahan steroid oral disertai dengan penurunan

potensi dan jumlah steroid topikal.

Risiko dan Peringatan Pemakaian

Efek samping lokal maupun sistemik telah ditemukan pada penggunaan kortikosteroid

topikal. Dalam kondisi normal, hingga 99 persen dari kortikosteroid topikal akan

dihapus dari kulit, dan hanya satu persen yang aktif. Efek samping kutaneus dapat

dihasilkan dari sebagian kecil kortikosteroid yang diserap lewat kulit atau bisa juga

akibat aplikasi sementara pada kulit. Penggunaan kortikosteroid topikal yang

berkepanjangan juga dapat menyebabkan takifilaksis.

Pertimbangan untuk meresepkan kortikosteroid topikal untuk mencegah efek samping:

Formulasi dengan potensi sangat kuat harus digunakan untuk jangka waktu

pendek (2 sampai 3 minggu) atau intermiten. Bila pengendalian penyakit sebagian

telah tercapai, penggunaan senyawa yang lebih lemah harus dimulai.

Mengurangi frekuensi aplikasi (misalnya, aplikasi hanya di pagi hari, tidak

digunakan tiap hari, atau hanya digunakan akhir pekan) pada saat pengendalian

penyakit telah sebagian tercapai.

Kortikosteroid topikal harus dihindari pada kulit dengan ulserasi atau atrofi, dan

pada kulit dengan dermatosis yang disertai dengan infeksi.

Penghentian secara mendadak harus dihindari setelah penggunaan jangka panjang

untuk mencegah fenomena rebound.

Pedoman khusus harus diikuti ketika merawat area tubuh tertentu (misalnya, area

intertriginosa) atau populasi tertentu (misalnya, anak-anak atau orang tua) untuk

mencegah terjadinya efek samping lokal atau sistemik.

9

Uji laboratorium harus dipertimbangkan jika diduga terjadi penyerapan

kortikosteroid secara sistemik.

Gunakan terapi kombinasi bila ada indikasi klinis (misalnya, penambahan

tretinoin atau keratolitik topikal).

KOMPLIKASI

Komplikasi lokal lebih sering terjadi pada pemakaian kortikosteroid lokal daripada

reaksi sistemik.

Perubahan Atropi

Atrofi kulit adalah efek samping yang paling umum pada terapi kortikosteroid. Atrofi

pada dermis muncul akibat efek antiproliferasi langsung dari kortikosteroid topikal pada

fibroblast, dengan menghambat sintesis kolagen dan mukopolisakarida, mengakibatkan

hilangnya jaringan ikat dermis. Fragmentasi dan penipisan serat elastis terjadi pada

lapisan atas, sedangkan serat lebih dalam membentuk jaringan yang kompak dan padat.

Sebagai akibat dari perubahan atrofi ini, terjadi dilatasi pembuluh darah, telangiektasis,

purpura, memar, stellate pseudoscar (scar purpura, berbentuk tidak teratur, dan atrofi

dengan hipopigmentasi), serta ulserasi. Meskipun atrofi bersifat reversibel, pembentukan

striae, suatu scar linier yang terbentuk di tempat kerusakan dermis akibat faktor mekanis,

adalah permanen.

Reaksi Akneiformis

Kemunculan atau eksaserbasi dermatosis di wajah, seperti steroid rosacea, akne, dan

dermatitis perioral, adalah efek yang sering terjadi pada pemakaian kortikosteroid topikal.

Meskipun awalnya steroid menekan perkembangan papul inflamasi dan pustul, pasien

mengalami adiksi karena mereka melihat bahwa lesi merah menghilang setelah

pengobatan. Hal ini sering mengarah pada penggunaan kortikosteroid topikal potensi

yang lebih kuat secara berkelanjutan. Untuk alasan ini, penggunaan steroid harus dibatasi

dalam pengobatan rosacea dan dermatitis perioral dan periokular.

Pengobatan kortikosteroid jangka panjang dapat juga menyebabkan "steroid acne"

yang ditandai oleh adanya pustul meradang yang padat, yang muncul bersamaan. Lesi ini

terjadi pada dada, wajah, dan punggung (lihat Bab. 78).

10

Hipertrikosis

Hipertrikosis kadang muncul pada wanita dan anak-anak yang menggunakan

kortikosteroid kuat pada wajah. Mekanismenya masih belum diketahui.

Perubahan Pigmen

Penurunan pigmentasi adalah efek samping yang umum dari penggunaan steroid topikal.

Pigmen umumnya kembali setelah penghentian terapi

Perkembangan Infeksi

Kortikosteroid topikal dapat menyebabkan eksaserbasi dan/atau menutupi gejala infeksi

kulit. Kejadian infeksi kulit selama terapi kortikosteroid bervariasi, berkisar antara 16

persen dan 43 persen. Tinea versikolor, infeksi Altennaria diseminata, dan dermatofitosis,

termasuk tinea inkognito (infeksi dermatofita tertutup), dapat muncul. Granuloma

gluteale infantum, ditandai dengan lesi granulomatosa berwarna merah keunguan pada

daerah popok, merupakan komplikasi yang sering terjadi pada dermatitis popok yang

diobati dengan kortikosteroid. Candida albicans sering ditemukan pada pasien-pasien ini.

Kortikosteroid topikal juga berpengaruh terhadap prolongasi herpes simpleks, moluskum

kontagiosum, dan infeksi skabies.

Reaksi Alergi

Persistensi atau memburuknya penyakit kulit terjadi sebagai akibat dari hipersensitivitas

kontak terhadap kortikosteroid topikal. Prevalensi dari sensitisasi kortikosteroid topikal

berkisar antara 0,2 persen dan 6,0 persen, dan meningkat seiring dengan pemaparan yang

lama dan pemilihan obat-obatan tertentu. Alergen mungkin berasal dari vehikulum,

pengawet, atau steroid itu sendiri. Kebanyakan salep steroid topikal bebas dari pengawet

dan jarang menyebabkan dermatitis kontak alergi atau iritasi dibandingkan dengan krim

atau agen topikal lain. Pengawet yang paling sering menyebabkan dermatitis kontak

alergi adalah paraben, glikol polietilen, dan benzil alcohol (Tabel 216-3). Pewangi dan

anestesi lokal jugamerupakan sensitizer yang mungkin terdapat pada sediaan topikal.

11

EFEK SAMPING SISTEMIK

Efek Pada Mata

Dapat terjadi glaukoma pada penggunaan kortikosteroid topikal di sekitar mata.

Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu lama juga dapat menyebabkan kebutaan.

Supresi poros hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA axis)

Supresi HPA axis dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid topikal potensi kuat.

Sindrom Cushing iatrogenik, krisis adisson akibat kortikosteroid, dan retardasi

pertumbuhan pada anak semuanya telah dijelaskan setelah penggunaan kortkosteroid

topikal poten jangka panjang. Dosis 14 g minggu clobetasol propionat atau 49g/minggu

betametason dipropionat cukup untuk menekan kortisol plasma

Efek samping metabolik

Peningkatan produksi dan penurunan penggunaan glukosa menginduksi terjadinya

hiperglikemia dan dapat menyebabkan diabetes mellitus.

12