21
KOSMOLOGI BATAK TOBA ASAL MULA KOSMOS, PERSOALAN RUANG & WAKTU, RELASI RUANG DAN WAKTU, DINAMIKA KOSMOS, DAN AKHIR KOSMOS. 1. Deskripsi Batak Toba Suku bangsa Batak mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan Daerah Istemewa Aceh di Utara sampai ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat di sebelah Selatan. Selain daripada itu suku bangsa Batak mendiami dataran rendah yang berada di antara pegunungan dengan pantai Timur Daerah Sumatera Utara. Suku bangsa Batak sebenarnya terdiri dari sub-sub yaitu: a. Batak Toba yang mendiami daerah tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, Wilayah Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga, daerah pegunungan antara Pahae dan Habinsaran. Dengan kata lain daerah induk batak Toba ialah daerah Kabupaten Tapanuli Utara sekarang. b. Batak Angkola/Mandailing mendiami daerah induk Angkola/Sipirok, Padang Lawas daerah Batang Toru, sebahagian dari Sibolga, daerah induk Mandailing, Ulu, Pakantan dan bagian Selatan Padang Lawas. Dengan kata lain daerah induk Batak Angkola/Mandailing adalah daerah Kabupaten Tapanuli Selatan. c. Batak Karo, mendiami daerah induk Dataran Tinggi Karo, Langkat, Hulu, Deli-Hulu, Serdang-Hulu dan sebagian dari daerah Dairi. d. Batak Simalungun, mendiami daerah induk Simalungun atau Daerah Kabupaten Simalungun termasuk Kodya Pematang Siantar. e. Batak Dairi, mendiami daerah induk Dairi atau Kabupaten Dairi. Adapun istilah dalam bahasa Batak Toba yaitu Huta dan Partungkoan. Huta merupakan kesatuan territorial yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu marga (klen). Sedangkan Partungkoan ialah sebidang tanah tempat bersidang dekat pintu gerbang dari Huta, biasanya pertungkoan ini di tempat yang diteduhi oleh pohon beringin atau pohon hariara. Pohon tersebut sebagai penghubung antara dunia bawah dan dunia atas. Dimana Dunia ginjang (atas) adalah kerajaan dewa tertinggi, Ompu Mula Jadi Na Bolon, dan roh-roh leluhur yang sudah meninggal.

Kosmologi Batak Toba

Embed Size (px)

DESCRIPTION

d

Citation preview

KOSMOLOGI BATAK TOBA

ASAL MULA KOSMOS, PERSOALAN RUANG & WAKTU, RELASI RUANG DAN

WAKTU, DINAMIKA KOSMOS, DAN AKHIR KOSMOS.

1. Deskripsi Batak Toba

Suku bangsa Batak mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan

Daerah Istemewa Aceh di Utara sampai ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat di

sebelah Selatan. Selain daripada itu suku bangsa Batak mendiami dataran rendah yang berada di

antara pegunungan dengan pantai Timur Daerah Sumatera Utara.

Suku bangsa Batak sebenarnya terdiri dari sub-sub yaitu:

a. Batak Toba yang mendiami daerah tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi

Toba, Wilayah Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga, daerah pegunungan

antara Pahae dan Habinsaran. Dengan kata lain daerah induk batak Toba ialah daerah

Kabupaten Tapanuli Utara sekarang.

b. Batak Angkola/Mandailing mendiami daerah induk Angkola/Sipirok, Padang Lawas

daerah Batang Toru, sebahagian dari Sibolga, daerah induk Mandailing, Ulu,

Pakantan dan bagian Selatan Padang Lawas. Dengan kata lain daerah induk Batak

Angkola/Mandailing adalah daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.

c. Batak Karo, mendiami daerah induk Dataran Tinggi Karo, Langkat, Hulu, Deli-Hulu,

Serdang-Hulu dan sebagian dari daerah Dairi.

d. Batak Simalungun, mendiami daerah induk Simalungun atau Daerah Kabupaten

Simalungun termasuk Kodya Pematang Siantar.

e. Batak Dairi, mendiami daerah induk Dairi atau Kabupaten Dairi.

Adapun istilah dalam bahasa Batak Toba yaitu Huta dan Partungkoan. Huta merupakan

kesatuan territorial yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu marga (klen). Sedangkan

Partungkoan ialah sebidang tanah tempat bersidang dekat pintu gerbang dari Huta, biasanya

pertungkoan ini di tempat yang diteduhi oleh pohon beringin atau pohon hariara. Pohon tersebut

sebagai penghubung antara dunia bawah dan dunia atas. Dimana Dunia ginjang (atas) adalah

kerajaan dewa tertinggi, Ompu Mula Jadi Na Bolon, dan roh-roh leluhur yang sudah meninggal.

Sedangkan dunia toru (bawah) adalah tempat tinggal untuk para hantu dan setan (dalam bahasa

Batak Toba disebut dengan parbeguan) yang diperintah oleh Naga Padoha, yakni: sang ular

naga.

Orang Batak Toba mempunyai konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya, diciptakan

oleh Mulajadi Na Bolon yang berada di langit yang ketujuh. Menurut kepercayaan orang batak

Toba langit yang kita lihat itu terdiri dari tujuh lapis yang masing-masing lapisan mempunyai

penghuni. Disamping pembagian langit tersebut, masyarakat Batak Toba membagi alam semesta

ini atas tiga benua yaitu: Benua Bawah, Benua Tengah dan Benua atas yang masing – masing

dipegang tiga dewa yang di sebut Batara Guru (Tuan Pane Na Bolon), Batara sori (Tuan Silaon

Na Bolon) atau Tri tunggal Dewa. Selain daripada Mulajadi Na Bolon, Masyarakat Batak Toba

masih percaya bahwa masih ada tiga lagi dewa-dewa kecil seperti :

a. Boras Pati Ni tano sebagai dewa penjaga tanah yang dilambangkan dengan biawak.

b. Soniang Naga, sebagai penjaga laut dan danau.

c. Debata Idup, sebagai penjaga kebahagiaan rumah tangga.

Di samping percaya kepada dewa-dewa tersebut masyarakat Batak Toba percaya akan

rokh (tondi) dan begu (hantu). Begu ini mempunyai hubungan dengan manusia yang masih hidup

dalam dua hal yaitu: mendatangkan keselamatan dan mendatangkan mala petaka. Sistem

pengetahuan Batak Toba tentang alam sekitar manusia adalah berupa pengetahuan tentang

musim-musim, tentang sifat-sifat dan gejala-gejala alam, tentang binatang-binatang, pencipta

alam, asal mula gerhana, dongeng-dongeng, mythos-mythos, folklore (cerita rakyat) kesusastraan

dan sebagainya. Pengetahuan tentang alam sekitar manusia ini banyak diketahui masyarakat

Batak pada zaman sebelum abad ke 20 ini. Mereka mengetahui musim hujan dan kemarau, sifat-

sifat alam dan ilmu bintang (Turnip dkk, 1977: 18).

2. Asal Mula Kosmos Batak Toba

Kosmos berarti susunan atau ketersusunan yang baik (Anton Bakker, 1995: 39). Kosmos

juga berarti alam semesta atau jagat raya. Membicarakan persoalan kosmologi Batak Toba tidak

terlepas dari mitos sebagaimana ada pada tradisi kosmologi lain di Indonesia. Mitos-mitos

tersebut berasal dari petua adat sejak zaman nenek moyang. Sehingga, terdapat beberapa macam

cerita tentang asal mula kosmos yang apabila dipahami secara menyeluruh dapat menunjukkan

keterkaitan satu sama lain.

Batak Toba menggambarkan kisah kosmologinya melalui banyak dewa yang masing-

masing memiliki tugas berbeda. Pertama menceritakan keadaan bumi ketika belum memiliki

daratan. Bumi masih terdiri dari air dan belum terkena cahaya matahari. Setelah itu, Tuhan

menciptakan seorang dewi bernama Sorimalamatabun atau Nan Tumpal Hamonangan yang

memiliki perahu. Kisah dewi Sorimalamatabun yang membawa pohon dari langit kemudian

menanamkannya di bumi melambangkan pohon sebagai tumbuhan yang dianggap sakral oleh

masyarakat Batak Toba. Hal tersebut dapat dilihat pada setiap desa di wilayah Batak Toba yang

menempatkan sejenis pohon Beringin di depan pintu gerbang desa. Kisah itu juga menunjukkan

posisi pohon yang dianggap sakral karena dapat menghubungkan dunia atas dengan dunia

bawah. Pohon dalam kisah itu perlahan akhirnya mati dan membentuk sebuah pulau. Ulat-ulat

pada pohon itu akhirnya membentuk beberapa jenis hewan seperti hewan buas dan hewan

peliharaan. Demikian mitos asal mula kosmos etnis Batak Toba.

3. Persoalan Ruang dan Waktu dalam Kosmologi

Salah satu persoalan yang menarik untuk dibicarakan di dalam konteks kosmologi adalah

persoalan mengenai ruang, yang pada akhirnya juga mengarahkan manusia pada pemahaman

mengenai ‘dimensi ruang yang lebih luas’ yaitu waktu. Dua persoalan tersebut bagaimanapun

tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pembahasan kosmologi karena kenyataan menunjukkan

bahwa dalam kehidupannya, manusia selalu berada di dalam tempat dan waktu tertentu. Bakker

menunjukkan hubungan erat antara manusia dan dunia tersebut sebagai kesatuan objektif dan

kesatuan formal. Objektif dalam arti bahwa manusia hanya menemui dirinya sendiri dalam

korelasinya dengan alam; sedangkan formal dalam arti bahwa refleksi mengenai kebersamaan

manusia dan dunia adalah satu-satunya hal yang mungkin (Bakker, 1994: 28-29).

Dilihat dari sistematika besar filsafat, kosmologi atau sering disebut dengan filsafat alam

adalah salah satu bagian dari cabang filsafat ontologi yang secara umum memiliki kesamaan

dalam hal keinginannya untuk mencari norma dan struktur mendasar bagi kesemestaan (Bakker,

1994: 5). Keterkaitan keduanya membawa implikasi yang mendalam karena dengan demikian,

pandangan kosmologi suatu masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat

tersebut terhadap realitas secara keseluruhan, baik manusia, alam, maupun realitas adikodrati

(misalnya Tuhan, ataupun dewa). Hal yang sama juga dapat dijumpai dalam kehidupan

masyarakat Batak. Mereka memiliki kosmologi yang khas, meskipun dalam banyak hal

menunjukkan identitasnya sebagai bagian dari kosmologi Indonesia yang dicirikan dengan

koordinasi, komplementasi, dan harmoni (Bakker, 1994: 161).

Corak kosmologi Batak sangat jelas, yaitu kosmologi spekulatif yang mungkin tidak

cukup memuaskan ketika konsepsi dipertemukan dengan temuan-temuan dalam ilmu fisika dan

astronomi. Kosmologi spekulatif, meskipun memiliki beberapa kelemahan, namun demikian

tetap masih layak untuk dikaji karena bagaimanapun ada wilayah-wilayah yang justru bisa

dijangkau oleh corak kosmologi spekulatif ini, yang dalam hal yang sama tidak mampu

dijangkau melalui kajian yang empiris logis. Terlepas dari persoalan tersebut, bagaimana pun

kajian ini akan memberikan kontribusi yang besar dalam upaya memetakan pemikiran filsafat

Nusantara yang pada gilirannya akan membantu menginventarisasi local wisdom yang ada di

Indonesia.

Beberapa pertanyaan pokok mengenai konsep ruang dan waktu dalam masyarakat Batak Toba

adalah sebagai berikut:

1. Apakah masyarakat Batak berpandangan bahwa ruang dan waktu itu tunggal atau

jamak?;

2. Bagaimana menjelaskan pluralitas sebagaimana yang dijumpai dalam kehidupan sehari-

hari? Namun jika jamak, bagaimana menjelaskan hubungan antara ruang dan waktu yang

satu dengan ruang dan waktu yang lain?

3. Apakah ada kemungkinan bagi penghuni suatu ruang untuk berpindah ke ruang yang lain

(persoalan impenetrability) atau bahkan mungkin berada di dua atau lebih ruang yang

berbeda pada waktu yang sama (persoalan multilokasi)?;

4. Bagaimanakah pengaruh dari konsepsi ruang dan waktu tersebut di dalam bidang yang

lain?

4. Konsep Ruang dalam Masyarakat Batak Toba

Konsepsi ruang dalam pemikiran masyarakat Batak bisa dipandang dari dua perspektif, yaitu

ruang secara vertikal dan ruang secara horisontal. Pembagian ruang secara vertikal dibagi

menjadi tiga ruang, yaitu banua ginjang, banua tonga, dan banua toru; sedangkan pembagian

ruang secara horisontal adalah pembagian subruang di dalam salah satu ruang di atas, yaitu

banua tengah. Maksudnya adalah bahwa banua tengah sebagai salah satu dari tiga ruang di

dalam kosmos, masih dapat dibagi lagi secara horisontal ke dalam ruang-ruang yang lebih

khusus. Pembagian ruang secara vertikal dalam pembahasan ini disebut dengan ruang teogoni,

sedangkan pembagian dalam ruang banua tengah secara horisontal disebut dengan ruang

antropogoni. Berdasarkan konsepsi mengenai ruang yang demikian ini, maka bisa disimpulkan

bahwa masyarakat Batak memiliki konsepsi mengenai ruang yang berciri kejamakan. Dua dari

tiga ruang dalam pandangan masyarakat Batak tersebut, yaitu bagian atas dan bagian tengah,

bahkan terbagi lagi ke dalam beberapa subruang yang lebih khusus.

Orang Batak menganggap bahwa kosmos atau alam terdiri atas 3 bagian atau ruang yang

tersusun secara hierarkis vertikal, yaitu bagian paling atas yang disebut dengan Banua Ginjang

(Benua Atas/Upperworld); bagian di bawahnya yang disebut dengan Banua Tonga (Benua

Tengah/Middleworld); dan bagian di bawahnya yang disebut dengan Banua Toru (Benua

Bawah/Underworld). Berkaitan dengan hierarki ketiga bagian di atas, ada hal yang perlu

dipahami terlebih dahulu, yaitu bahwa Banua Ginjang bukanlah gambaran tentang surga,

demikian juga bahwa Banua Toru itu bukanlah gambaran tentang neraka seperti misalnya

dijumpai dalam konsep pemikiran agama Kristen, namun konsep mengenai ketiga ruang tersebut

lebih merupakan sebuah konsep mengenai pembagian ruang yang masing-masing ruang

ditempati oleh penghuni yang berbeda-beda.

Benua atas/ Banua Ginjang

Benua atas adalah bagian paling atas dan menjadi tempat dari Dewa tertinggi orang Batak yang

disebut dengan Debata Mulajadi Na Bolon beserta para dewa lainnya, yang salah satu di

antaranya adalah Batara Guru-Soripada-Mangalabulan. Debata Mulajadi Na Bolon adalah Tuhan

yang dipercaya memiliki sifat kemahakuasaan dalam berbagai hal. Ia adalah pencipta dari ruang-

ruang yang ada di dalam kosmos, termasuk menciptakan segala sesuatu yang ada di dalamnya

(Sinaga, 1975: 87). Masyarakat Batak dengan demikian sudah memiliki konsep kreasionisme,

dan keesaan Tuhan, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut.

“…bahwa suku Batak di jaman keberhalaan sudah percaya pada Allah Yang Esa yang disebut

Mulajadi Na Bolon, yang menjadi awal dari segala yang ada; Dialah Yang Maha Tinggi, Allah

yang oleh suku Batak dipercayai sebagai Allah dari segala ilah yang menjadikan langit bumi

dan segala isinya, yang secara terus menerus memelihara hidup ini…Mulajadi Na Bolon

berkuasa menjadikan yang ada dari yang tiada dan singgasananya berada di langit ketujuh”

(Tobing, 1956: 4-7)

Berdasarkan kutipan di atas sangat jelas bahwa masyarakat Batak memiliki konsepsi

mengenai dunia atas yang hampir mirip dengan ajaran di dalam agama-agama samawi, seperti

Kristen dan Islam. Debata Mulajadi Na Bolon dianggap bersemayam di langit teratas, dan

bahkan ada konsepsi yang sama mengenai pohon kehidupan yang memuat nasib manusia.

Terlepas dari kesamaan di atas, ada satu hal yang bisa dicatat di dalam pemikiran masyarakat

Batak mengenai dunia atas di atas, yaitu bahwa mereka memandang ruang sebagai tempat yang

memiliki penghuninya masing-masing. Hal yang sama juga dapat dijumpai dalam pemikiran

mereka mengenai bagian dunia paling atas (Banua Ginjang) tersebut, yang dianggap terbagi

menjadi 7 langit dengan penghuninya masing-masing, dan masing-masing penghuni ruang-ruang

tersebut seakan tidak memiliki peluang untuk berpindah ke ruang yang lain. Semakin tinggi

langit berarti semakin mendekati ‘alam kesucian’ karena jika dilihat dari kutipan di atas, semakin

ke atas berari semakin mendekati tempat Debata Mulajadi Na Bolon beserta para dewa yang

mengelilinginya. Mitos di atas merupakan sebuah upaya spekulatif masyarakat Batak di dalam

upaya mereka untuk berusaha menjelaskan kejadian alam semesta beserta segala isinya.

Berkaitan dengan mitos kejadian alam tersebut, ada satu hal yang perlu diperhatikan di sini

karena berkaitan dengan keberadaan manusia selanjutnya, yaitu mengenai keberadaan Si Boru

Deak Parujar dan Raja Odap-odap, yang menjadi asal-usul terjadinya manusia sebagai penghuni

dari banua tonga atau dunia tengah.

Benua tengah/ banua tonga

Masyarakat Batak menganggap bahwa masing-masing bagian dunia memiliki penghuni yang

berbeda-beda, dan bagian tengah atau banua tonga menjadi tempat bagi manusia. The

middleworld and its structure naturally predominate being of more immediate interest to man

(Sinaga, 1975 : 86). Benua tengah dengan demikian merupakan bagian dari kosmos yang secara

khusus menjadi wilayah manusia. Sesuai dengan mitos yang dipercayai oleh orang Batak,

manusia itu adalah keturunan dari dewa sendiri, yaitu dari putri dewa Batara Guru yang bernama

Si Deak Parujar, anak dari Batara Guru, dengan suaminya yang bernama Raja Ihatmanisia, anak

dari dewa Mangalabulan.

Berdasarkan mitos, maka bisa disimpulkan bahwa manusia adalah penghuni banua tonga,

atau dengan kata lain benua tengah adalah bagian dari kosmos yang secara khusus

dipersembahkan kepada manusia. Banua tonga adalah dunia empiris sebagai menjadi tempat

hidup manusia saat ini. Sebagaimana telah disinggung di atas, dunia tengah/banua tonga

memiliki tatanan ruang tersendiri yang sangat berkaitan erat dengan keseimbangan kosmos

secara keseluruhan. Ruang yang lebih rinci sebagaimana terdapat di dunia tengah ini, atau yang

kemudian disebut dengan istilah ruang antropogoni, oleh masyarakat Batak disebut dengan

istilah “Desa na ualu”, yaitu “…derived from Sanskrit ‘desa’, in Indonesia was place, region”

(Tobing, 1956: 127) yang berarti wilayah yang terdiri atas delapan. Maksudnya adalah bahwa

ada 8 (delapan) sudut ruang, atau delapan wilayah di banua tonga, sebagaimana yang bisa dilihat

di dalam pembagian arah mata angin pada kompas modern yang ada sekarang. Nama-nama dari

delapan arah mata angin tersebut adalah purba (timur), agoni (tenggara), dangsina (selatan),

nariti (barat daya), pastima (barat), manabia (barat laut), utara (utara) dan irisanna (timur laut).

Berdasarkan pandangan Batak mengenai Desa na ualu tersebut maka bisa diketahui bahwa

masyarakat Batak memiliki konsepsi mengenai arah mata angin yang berjumlah delapan, yang

menurut Tobing merupakan simbol dari dunia tengah, dalam hal ini adalah Pulau Sumatera

(Tobing, 1956: 127).

Masyarakat Batak, namun demikian, juga memiliki konsep yang lain mengenai ruang di

banua tonga, di samping kedelapan penjuru mata angin yang telah disebutkan di atas. Konsep

yang kedua berkaitan dengan arah mata angin tersebut terdiri atas empat arah mata angin, yaitu :

Habinsaran (timur), Djae (selatan), Hasundutan (barat), dan Djulu (utara). Apabila

dibandingkan dengan konsep yang pertama, sebenarnya konsep yang kedua tidak jauh berbeda

karena konsep yang kedua hanya terfokus pada empat arah mata angin utama, yang sebenarnya

juga terdapat di dalam konsep yang pertama. Perbedaannya hanyalah dalam hal nama untuk

menyebut keempat arah mata angin utama tersebut. Dua konsep mengenai arah mata angin di

dunia tengah ini namun demikian memunculkan pertanyaan karena tidak mungkin suatu konsep

mengenai sesuatu muncul begitu saja tanpa alasan yang jelas.

Benua bawah/banua toru

Sesuai dengan namanya, benua bawah atau banua toru adalah bagian paling bawah dari

dunia, dan menjadi tempat bagi Dewa Perusak (primordial dragon/evil spirit/ demons/ the dead)

dalam kepercayaan masyarakat Batak, yaitu Naga Padoha. Naga Padoha dengan demikian adalah

dewa yang menjadi semacam ‘musuh’ bagi manusia karena ia selalu berusaha memusnahkan

dunia tengah, dunia yang dihuni oleh manusia. Konsep mengenai Dewa Perusak ini oleh

karenanya hampir mirip dengan konsepsi agama Hindu mengenai peran Syiwa, meskipun ada

perbedaan dalam beberapa hal di antara keduanya. Jika di dalam Hindu, Syiwa adalah dewa yang

merusak dalam rangka keseimbangan alam, Naga Padoha lebih tampak sebagai ‘simbol kekuatan

jahat’ yang tidak melakukannya sebagai ‘kekuatan penyeimbang’ dunia tengah, namun karena

memang sejak awal ia memang sudah menghalangi pernciptaan dunia tengah dan menjadi

‘musuh atau pengganggu’ bagi kehidupan manusia. Dunia bawah di dalam kepercayaan

masyarakat Batak ini oleh karenanya tidak dapat diabaikan begitu saja di dalam eksistensi

kosmos atau alam semesta karena ia adalah penopang dari dunia-dunia yang ada di atasnya.

Dunia atas menjadi tempat Debata Mulajadi Na Bolon, Tuhan dalam kepercayaan

masyarakat Batak; dunia tengah adalah dunia manusia; dan dunia bawah adalah tempat dewa

penghancur, yaitu Nada Padoha. Pembagian dunia dengan penghuninya ini menunjukkan bahwa

masyarakat Batak memiliki konsep mengenai pembagian fungsi dari entitas alam. Ketiga

“banua” di atas bisa dikatakan tersungkup ke dalam suatu totalitas demi tercapainya harmoni

kosmos yang senantiasa berkembang secara siklis dalam perputaran alam yang bersifat abadi.

Kejamakan konsepsi ruang dalam masyarakat Batak ini tentu saja tidak lantas

menyelesaikan persoalan ruang yang akan dijelaskan. Konsepsi ruang yang jamak tersebut justru

menimbulkan pertanyaan baru berkaitan dengan bagaimana menjelaskan hubungan di antara

ruang-ruang yang ada tersebut. Apakah masing-masing ruangan terpisah satu sama lain, atau

semuanya terhubung dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain?

Masyarakat Batak menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa ruang-ruang

yang ada tersebut memang saling terhubung, dalam arti menjadi satu kesatuan dalam kosmos

yang luasnya tak terhingga. Sebagaimana dikatakan oleh Tobing, untuk menghubungkan benua

atas, tengah, dan atas, beliau mengatakan bahwa “…the Toba Batak have a conception of a tree

reaching from the underworld into the upperworld…(Tobing, 1956: 72). Kesatuan atau

keterhubungan antara benua yang satu dengan benua yang lain, dengan demikian dianalogikan

dengan pohon kosmos tersebut.

Persoalan lain yang juga menjadi implikasi dari beberapa temuan mengenai pandangan

tentang ruang dalam pemikiran masyarakat Batak di atas adalah persoalan yang oleh Anton

Bakker disebut dengan persoalan impenetrability dan multilokasi. Impenetrability adalah

persoalan mengenai kemungkinan bagi penghuni suatu ruang untuk berpindah ke ruangan yang

berbeda, sedangkan persoalan multilokasi adalah persoalan mengenai kemungkinan bagi

penghuni suatu ruang untuk berada pada ruang yang berbeda pada waktu yang sama.

Berkaitan dengan persoalan impenetrability ada kesimpulan yang bisa diambil dari uraian

yang telah dikemukakan di atas, yaitu bahwa kemungkinan untuk berpindah ke ruang yang lain

merupakan hal yang mungkin bagi penghuni suatu ruang, terutama penghuni dunia atas, yaitu

Debata Mulajadi Na Bolon beserta para dewa, dan penghuni dunia bawah, yaitu Naga Padoha.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, keduanya memiliki kekuasaan untuk

mempengaruhi dunia tengah: yang satu memberikan kekuatan positifnya, sedangkan yang kedua

memberikan kekuatan negatifnya.

5. Konsep Waktu dalam Masyarakat Batak

Persoalan mengenai ruang di dalam pembicaraan kosmologi biasanya melahirkan

persoalan lain sebagai rangkaiannya, yaitu persoalan waktu. Persoalan tentang waktu muncul

dalam pembahasan mengenai ruang karena ketika pengkosmos bereksistensi di dalam ruang,

maka ia juga berarti berada di dalam waktu tertentu. Pertanyaan yang kemudian muncul tentu

demikian: apakah hakikat waktu? Apakah ia adalah ruang dalam dimensi yang lain, atau ia

merupakan sesuatu yang lain sama sekali dengan ruang? Dua pertanyaan tersebut bisa dikatakan

merupakan pertanyaan mendasar mengenai waktu, namun demikian dalam pembahasan

mengenai konsep waktu di dalam pandangan masyarakat Batak. Apakah benua atas, tengah, dan

bawah memiliki waktunya sendiri-sendiri, atau ada satu waktu yang berlaku secara universal di

semua benua tersebut?

Konsepsi mengenai waktu yang bisa ditemukan secara eksplisit hanyalah konsep waktu

yang berlaku di dunia tengah atau dunia manusia, yang disebut dengan “porhalaan/parhalaan”.

Porhalaan adalah ruas bambu yang diukir dengan tanda-tanda dan simbol-simbol. Dalam ukiran

yang disebut dengan porhalaan tersebut dipampangkan mengenai dua konsepsi waktu yang ada

di dalam pemikiran orang Batak, yaitu bulan dan hari. Porhalaan adalah konsepsi mengenai

waktu yang digunakan oleh masyarakat Batak ketika akan melakukan suatu kegiatan penting,

seperti panen hasil pertanian, upacara pernikahan, pembangunan suatu desa, dan upacara penting

lainnya (Tobing, 1956: 124).

Porhalaan dengan demikian merupakan konsep mengenai waktu yang menjadi referensi

ketika akan melakukan kegiatan-kegiatan penting, sehingga bisa disamakan dengan primbon di

Jawa misalnta, hanya dalam bentuk yang lebih sederhana, dalam arti bahwa pertimbangan yang

dilakukan hanya mencakup bulan dan hari saja. Porhalaan tersebut biasanya diukir pada ruas

pohon Bambu, dan digambarkan dalam bentuk tabel vertikal dan horisontal: tabel vertikal adalah

gambaran tentang hari, sedangkan tabel horisontal adalah gambaran tentang bulan.

Porhalaan, namun demikian bukanlah pedoman waktu yang bisa diketahui atau terlebih

lagi dipahami oleh semua orang Batak. Ada beberapa hal yang juga perlu diketahui mengenai

porhalaan ini. Pertama, orang Batak bisa mengetahui kapan saat yang tepat atau tidak tepat

untuk melakukan sesuatu ritual atau kegiatan tidak dengan membaca porhalaan oleh dirinya

sendiri, melainkan dengan bantuan datu. Datu dengan demikian adalah satu-satunya pihak yang

bisa memberikan rekomendasi kepada orang Batak untuk menggunakan atau tidak menggunakan

suatu hari. Kedua, porhalaan bukanlah sebuah ‘pedoman ramalan’ yang sama bagi setiap datu,

melainkan masing-masing datu memiliki porhalaan yang bisa saja berbeda. Ketiga, pengetahuan

‘istimewa’ yang dimiliki oleh seorang datu mengenai porhalaan, dengan demikian

memunculkan pertanyaan penting: lalu dari mana datu bisa merumuskan porhalaan yang ia

gunakan? Intinya adalah bahwa seorang datu mengetahui waktu-waktu di dalam porhalaan

tersebut berdasarkan fenomena alam yang terjadi secara rutin di dalam kehidupan manusia

sehari-hari. Mitos Batak, mengenai Pane Na Bolon, yang memiliki peran penting di dalam

konsepsi waktu masyarakat Batak.

Pane Na Bolon adalah salah satu makhluk yang ada di dalam mitologi masyarakat Batak,

yang dipercaya menerima kutukan dari Debata Mulajadi Na Bolon untuk terus menerus

mengelilingi banua tonga atau benua tengah, dan singgah untuk periode tertentu di setiap arah

mata angin yang ada di dalam konsep ruang masyarakat Batak. Pane Na Bolon, dianggap

menentukan baik buruknya nasib manusia karena saat yang baik atau saat yang tidak baik dalam

porhalaan, ditentukan berdasarkan letak Pane Na Bolon ini. Ia diperintahkan untuk mengitari

ruang dan waktu, yaitu mengitari delapan penjuru mata angin, selama 30 hari dalam 12 bulan.

Setiap sekali dalam 3 bulan, Pane Na Bolon menempati satu ruang, dan kemudian

berpindah ke ruang yang lain dan menempatinya selama 3 bulan berikut. Dia bergerak

mengelilingi benua tengah dimulai dari timur, dan dalam kepercayaan orang Batak, ketika Pane

Na Bolon menghadap ke timur, maka ruang antara timur dan barat adalah satu hal yang baik atau

masa yang dapat memberikan keberuntungan. Sebaliknya, setiap orang yang menuju ke arah

ruang timur, maka yang terjadi adalah ketidakberuntungan baginya karena hal itu dianggap

sebagai sikap “menantang” Pane Na Bolon sehingga ia akan melepaskan kemarahannya (Tobing,

1956: 137). Apabila dalam suatu waktu dan untuk alasan yang sangat penting seseorang harus

berada pada ruang-waktu tempat Pane Na Bolon berada, maka dia harus membuat suatu patung

pengganti berupa patung manusia, yang disebut “parsili”, sebagai ‘kurban’, atau bahkan bisa

saja menjadi penangkal kemarahan Pane Na Bolon.

6. Relasi Ruang dan Waktu

Sesuai dengan mitos-mitos mengenai waktu dan ruang dalam pemahaman masyarakat

Batak di atas, maka bisa disimpulkan bahwa relasi antara ruang dan waktu bisa disebut dengan

totalitas, dengan kata lain masyarakat Batak memiliki konsep mengenai kesatuan ruang dan

waktu (the unity of space and time). Kesatuan ini bisa dijelaskan demikian; pertama, ruang dan

waktu berasal dari satu sumber yaitu dari ranting dan buah pohon kosmos Batak Hariara

Sundung di Langit. Pohon kosmos Hariara Sundung di langit tumbuh kemudian memiliki ranting

dan berbuah, dan proses itu berlangsung secara bersama; maka dapat dikatakan bahwa ruang dan

waktu itu adalah satu.

Kedua, ruang dan waktu dikuasai oleh dewa yang sama, yaitu Pane Na Bolon. Ketiga,

melalui konsep pohon Hariara Sundung di langit dan Pane Na Bolon, maka ruang dan waktu bagi

orang Batak dipahami sebagai konsep yang bersifat kualitatif dan konkret: kualitatif dalam arti

waktu tersebut tidak dapat diukur; sedangkan konkret dalam arti waktu dipahami sebagai “waktu

yang baik: atau “waktu yang tidak baik” untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Tobing,

1956: 141). Hal yang sama juga berlaku dalam konsepsi tentang ruang. Ruang bukanlah sesuatu

yang homogen dan dapat diukur, namun ia memiliki substansi. Setiap arah mata angin memiliki

nilai karena mereka adalah kuasa-kuasa atau kekuatan yang tidak hanya dapat memberikan atau

menimpakan penyakit atau kemiskinan, tetapi juga sebaliknya, menganugerahkan kehidupan

yang baik atau kemakmuran. Setiap ruang memiliki makna atau arti tersendiri. Misalnya, sudut

timur akan memiliki nilai yang lain dengan sudut barat, dan nilai-nilai ini sangat ditentukan oleh

waktu, yaitu waktu ketika Pane itu sedang menghadap ruang yang mana. Relasi antara ruang dan

waktu dengan demikian sangat berkaitan. Ruang dan waktu adalah dua hal yang saling

mempengaruhi, oleh karenanya waktu dan ruang adalah satu bentuk dari kesatuan esensial.

Ruang itu melekat dengan waktu, demikian juga sebaliknya.

7. Dinamika Kosmos dalam Kosmologi Batak Toba

Saat kita berbicara mengenai dinamika kosmos, yang harus diperhatikan adalah bagaimana

kosmos mengalami dinamika. Batak toba yang memiliki konsep kosmologi akan coba kita

analisis untuk menemukan dinamika kosmosnya. Untuk medapatkan jawaban tentang dinamika

kosmos kita harus berangkat dari persoalan dalam dinamika kosmos.

1. Bagaimana kosmos mengalami Dinamika?

Sinaga (1986:87) menyatakan bahwa di batak Toba dinamika kosmos (alam

semesta) terjadi dengan perantara Mulajadi na Bolon. Mulajadi na Bolon adalah

mempunyai daya mengada yang absolut dan dikomunikasikan secara relatif kepada

ciptaan baru itu (kosmos) di mana manusia itu adalah satu unsur. Selain itu Sinaga

juga menyebutkan bahwa orang Batak tradisional sesuai dengan ungkapan agama dari

India: “kami harus mengikuti apa yang telah dilakukan oleh para dewa-dewi pada

permulaan dunia”. “Sebagaimana telah ditetapkan oleh para dewata demikianlah harus

dilakukan oleh manusia” (1986:95). Selain itu Bakara juga memberikan ceritanya

tentang mitologi Batak yang menyangkut dinamika Kosmos. Certianya dituliskan

seperti ini :

“Setelah Naga Padoha berhasil ditaklukkan, dan daratan di Banua Tonga ditata

kembali oleh Siboru Deang Parujar. Atas perkenaan dan restu Ompu Mulajadi Na

Bolon diberikan segala macam tumbuhan dan hewan untuk kehidupan di bumi ini

dalam kotak dan disegel disampaikan ke Siboru Deang PArujar melalui Leang-leang

Mandi. Siboru Deang Parujar membukanya, dari dalamnya ditaburkannya segala

macam benih tanaman, pohon dan semak-semak, berbagai jenis hewan, reptile dan

serangga, segala jenis burung, unggas dan ikan dilaut dan penuhlah bumi dengan

segala makluk hidup berbagai jenis tanaman dan hewan. Banua Tonga dihuni dengan

berbagai macam hewan dan ditumbuhi beraneka jenis tanaman.”

Dari konsep di atas kita bisa mengatakan bahwa dinamika kosmos terjadi karena

adanya sang pencipta yaitu Mulajadi na Bolon, memberikan kuasanya ke kosmos

untuk selanjutnya di laksanakan oleh manusia.

2. Apakah ada penggerak yang memungkinkan kosmos untuk mengalami dinamika?

Penggerak yang memungkinkan kosmos untuk mengalami dinamika sudah pasti

dewa tertinggi Mulajadi na Bolon.

3. Apakah penggerak dinamika itu berasal dari luar kosmos, atau dari dalam kosmos?

Penggerak yang memungkinkan kosmos untuk mengalami dinamika, sudah pasti

adalah sang dewa tertinggi Mulajadi na Bolon. Tetapi yang jadi persoalan adalah

apakah Mulajadi na Bolon ini berada di dalam atau di luar kosmos. Jika kita merujuk

pada kosmologi batak tentang konsep ruang dalam kosmos yang di bagi tiga bagian,

yakni Banua Parginjang (dunia atas), Banua Tonga (dunia tengah), dan Banua Partoru

(dunia bawah) sebagai kosmos. Maka Mulajadi na Bolon bisa dikatakan berada dalam

kosmos, dan jawaban untuk pertanyaan di atas adalah; penggerak dinamika berasal

dari dalam kosmos.

4. Apakah dinamika kosmos memiliki tujuan?

Dinamika kosmos memiliki tujuan adalah untuk mengetahui perkembangan fase

demi fase dalam kosmologi batak.

Dalam penciptaan, usia ciptaan identik dengan adat, selagi ada adat maka ciptaan dapat

bertahan, dan sekedar adat dilalap oleh ketidakketeraturan maka eksistensi ciptaan langsung

terancam. Adat di sini begitu jauh melebihi kebiasaan dan ketertiban sehingga orang dapat

berkata bahwa hakekat manusia tertuang sama sekali dengan adat. Sebab kepadanyalah

bergantung kehidupan dan kematian.

Proses penciptaan :

1. Kesadaran bahwa allah pencipta mulajadi na bolon telah ada sebelum adanya kosmos dan

adanya pencipta kosmos

2. Bahwa tatkala dan sesudah penciptaan terjadi dua hal pada pihak mulajadi na bolon,

a.bahwa mulajadi na bolon mengambil beda dan jarak dengan kosmos tercipta. Mulajadi

na bolon tidak bisa diidentikan dengan kosmos. Sebab dia yang sama sekali lain..

3. Daya mengada yang secara absolut terdapat pada mulajadi na bolon dikomunikasikan

secara relatif kepada penciptaan baru, dimana manusia adalah satu unsur.

8. Akhir Kosmos

Masyarakat Batak meyakini bahwa kosmos sebelum penciptaan masih belum berbentuk,

kosong dan penuh kegelapan. Ini merupakan ciri keadaan chaos, yakni ketidakteraturan. Dalam

hal ini, Tuhan berperan (Mulajadi na Bolon) sebagai pengatur (Pengada Ilahi) yakni menciptakan

langit dan bumi. Hal ini sesuai dengan ayat awal Alkitab Kejadian 1:1 “Pada mulanya Allah

menciptakan langit dan bumi”.

Kosmos yang berbentuk chaos dihadapai dengan adat, yakni kekuatan hidup yang

mempertahankan hidup dan eksistensi dalam ada,yakni bersifat konstitutif dan secara mutlak

normatif. Adat sangat berperan besar dalam kehidupan masyarakat Batak toba dalam

mempertahankan keadaan kosmos. Oleh karena itu, dalam adat terdapat ketergantungan

kehidupan atau kematian. Jika adat tidak dilaksanakan atau dilanggar seperti merusak alam,

membunuh binatang di hutan sesuai kehendak sendiri,melanggar ajaran Tuhan – Mulajadi na

Bolon (seperti dalam Alkitab) ,dll maka saat itu juga terjadi akhir kosmos. Akhir kosmos dalam

masyarakat Batak Toba yang dibahas adalah akhir kosmos banua tonga (benua tengah). Akhir

kosmos ini berbentuk keadaan berupa chaos, yakni ketidakteraturan seperti awal mula

kehidupan. Artinya, chaos akan kembali seperti awal kehidupan kalau adat tidak dipertahankan

dalam kehidupan masyarakat dan pada saat itu juga terjadi akhir kosmos atau kehancuran.

Masyarakat Batak kuno pada mulanya menganut aliran animisme maupun dinamisme.

Kemudian seiring berkembangnya zaman, masyarkat Hindu menyebarkan ajarannya di

Indonesia,sehingga masyarakat Batak terpengaruh oleh ajarannya, seperti bentuk bangunan

(tugu). Selanjutnya, penyebaran agama pun berkembang pesat di Indonesia. Masyarakat Batak

akhirnya didominasi oleh agama Kristen,seperti tokoh Nomennsen. Oleh karena itu, akhir

kosmos masyarakat Batak Toba terpengaruh dari ajaran Alkitab,yakni kitab Wahyu pada

Perjanjian Baru. Wahyu merupakan surat terakhir dalam Alkitab Perjanjian Baru. Akhir kosmos

dalam Wahyu tersebut berupa sangkakala yakni surat Wahyu ayat 8-11,berisi tentang kehancuran

dunia dalam bentuk hujan,api,asap,dll. Kitab Wahyu merupakan salah satu kitab yang sulit untuk

ditafsirkan karena selain memuat banyak simbol dalam penulisannya, kitab ini merupakan kitab

nubuatan. Untuk memahaminya dibutuhkan ketelitian dan kecermatan. Oleh karena itu,

masyarakat Batak Toba tidak begitu luas atau teliti membahas akhir kosmos,yang jelas menurut

masyarakat ini yang menjadi akhir kosmos,yakni chaos.

Kesimpulan

Kosmologi sebagai sebuah ilmu sejatinya ingin mencari apa yang berlaku di dunia ini.

Mencari apa yang dianggap berlaku dari setiap tradisi masyarakat tertentu terhadap konsepsi

kosmologinya. Keteraturan dan keharmonisan alam semesta di dalam masyarakat Batak, tidak

bisa dilepaskan dari sebuah konsep ruang masyarakat Batak, konsep ruang masyarakat Batak

sebenarnya mempunyai tiga bagian ruang diantaranya Banua Ginjang, yang disebut benua atas

(upperworld), Banua Tonga, yang disebut benua tengah (middleworld) dan Banua Toru, yang

disebut dengan benua bawah (underworld). Di dalam masyarakat Batak, ruang itu memiliki

makna (meaning) yang sangat sakral bagi mereka. Masyarakat Batak menganggap bahwa dunia

ini tercipta dari dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah.

Ketiga ruang kosmos masyarakat Batak itulah yang kemudian tidak hanya akan

melahirkan keselarasan alam semesta. Untuk menciptakan keselarasan kosmos bagi masyarakat

Batak tidak hanya berpijak dari konsep ruang saja, akan tetapi, juga diperlukan konsep waktu

sebagai upaya menjaga harmonisasi alam semesta, yakni dengan adanya ritual-ritual dari

masyarakat Batak sehingga memiliki kesatuan yang integral atas konsep ruang dan waktu

masyarakat Batak.

Konsep waktu dalam masyarakat Batak disebut dengan ”porhalaan/parhalaan”.

Porhalaan adalah ruas bambu yang diukir dengan tanda-tanda dan simbol-simbol; dan ukiran

porhalaan itulah yang menjadikan dasar penunjuk waktu dalam masyarakat Batak. Di dalam

konsep waktu Batak ada dua kategori waktu yang penting, yakni hari dan bulan. Perlu ditegaskan

kembali bahwa ukiran di “porhalaan” bukan semacam kalender, akan tetapi, merupakan alat

yang digunakan untuk melakukan ramalan bagi masyarakat Batak.

Ruang bagi masyarakat Batak dilihat sebagai nilai yang dapat memberikan makna

kesejahteraan, kemakmuraan atau mungkin, sebaliknya, ruang akan memberikan penderitaan dan

kemiskinan terhadap masyarakat Batak. Sedangkan waktu, diidentikan dengan kosmik yang

mampu memberikan petunjuk. Kesatuan antara ruang dan waktu bagi masyarakat Batak tidak

bisa dipisahkan dengan Tuhan yang tertinggi yang menciptakan dunia ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Anton, 1994, Kosmologi dan Ekologi, Yogyakarta, Kanisius

Tobing, Ph. O. Lumban, 1956, “The Structure of the Toba-Batak Believe in the High God”,

Disertasi untuk Universitas Hassanudin

Saragi, Daulat, 2007, “Dimensi Simbolis Patung Primitif Batak”, Disertasi, Yogyakarta,

Universitas Gadjah Mada

Sinaga, A. Bongsu, 1975, “The Toba-Batak High God”, Disertasi untuk Katholieke Universiteit

te Leuven

Siswanto, Joko, 2005, Orientasi Kosmologi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press

http://risalah-filsafat.blogspot.com/2011/06/konsep-ruang-dan-waktu-masyarakat-batak.html

oleh Reno Wikandaru

KOSMOLOGI BATAK TOBA

NAMA KELOMPOK: