44
VOLUME XVI NOMOR 1 2021 SENI BUDAYA YOGYAKARTA Kreativitas di Masa Pandemi

Kreativitas di Masa Pandemi

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kreativitas di Masa Pandemi

VOLUME XVI NOMOR 1 2021SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Kreativitas di Masa Pandemi

Page 2: Kreativitas di Masa Pandemi

Foto

Sam

pul:

Tom

omi Y

okos

uka

TIM

MAT

AJE

ND

ELA

VO

LU

ME

XV

I

NO

MO

R 1

2

021

Page 3: Kreativitas di Masa Pandemi

1

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

SENI BUDAYA YOGYAKARTA

MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali.Redaksi menerima tulisan dari penulis, kritikus, dan pemerhati seni budaya.

Foto

Sam

pul:

Tom

omi Y

okos

uka

TIM

MAT

AJE

ND

ELA

Diterbitkan oleh Taman Budaya YogyakartaJl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123Telp. (0274) 523512, 561914 Fax. (0274) 580771

Penanggung Jawab UmumSumadi, S.H., M.H.

Penanggung Jawab TeknisDrs. Diah Tutuko Suryandaru

Penyunting Atik Sustiwi, S.Pd.Kardiyono, S.T.

LayouterLintang Dewi Prasistiya

SekretariatRoni Driyastoto, S.Sn.Bayu Adi Wijaya, S.Sn.Eni Kuswati, S.Pd.Sipriana Dinda, S.Sn.Haristiani Sholihah, S.Sn.Meita Anggi Pangesti, S.Sn

RedakturSatmoko Budi SantosoStanislaus Yangni Latief S. NugrahaLisistrata LusandianaAn. Ismanto

[email protected]

Diproduksi di YogyakartaKertas Sampul: Aster, Kertas Isi: BC PaperHuruf: Alte Haas Grotesk, Montserrat, Koho

VO

LU

ME

XV

I

NO

MO

R 1

2

021

Pandemi Masa Sulit yang Menuntut Tetap Kreatif

Satmoko Budi Santoso

Pandemi Global sebagai Deux ex Machina

R Toto Sugiharto

Berkarya dalam Sepi, Sebuah Refleksi Anne Shakka

Duhkita Tetap Berkarya di Musim Corona Marwanto

Siasat Pegiat Seni Tradisi di Masa Pandemi

Taufiq NR

Seni dan Pandemi: Renungan Kilat dan Tak Kukuh

Gunawan Maryanto

Merawat Kebimbangan sebagai Laku Kreatif

Irfanudin Ghozali

EDITORIAL

JENDELA

1

4

8

12

18

23

34

Sriti Wani: Mimpi, Kepenulisan dan Ketololan

Alim Bakhtiar

28

Page 4: Kreativitas di Masa Pandemi

2

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

EDITORIAL Satmoko Budi SantosoS

EN

I BU

DA

YA

YO

GY

AK

AR

TA

2

Pandemi, Masa Sulit yang Menuntut Tetap Kreatif

OLEH SATMOKO BUDI SANTOSO

P andemi virus Corona yang melanda dunia, sebut saja dimulai Maret 2020. Tak disangka, di seluruh penjuru bumi, aktivitas yang bersifat

massal bisa terhenti. Yang mengherankan, bahkan sampai bandara, stasiun, terminal, dan pelabuhan, pada momen Lebaran 2020, nyaris tak ada aktivitas. Ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah peradaban manusia, apalagi di era modern.

Dalam dunia seni-budaya, tentu saja setali tiga uang, sama saja. Para seniman harus kembali ke ruang personal dalam kesunyiannya sendiri-sendiri. Tantangannya adalah bagaimana membuat sunyi itu, sebagaimana ungkapan penyair Umbu Landu Paranggi, teruslah bekerja. Maka, masing-masing seniman tentu bersiasat kreatif. Beruntung, di masa sekarang, era digital, kreativitas di masa pandemi masih bisa tersalur secara daring. Beragam ekspresi kesenian tetap bisa dinikmati secara daring, meskipun dengan kegagapan tertentu dan nilai kepuasan yang berbeda dalam menikmatinya.

Mata Jendela edisi kali ini berusaha merekam sejumlah jejak kreativitas di masa pandemi yang dilakukan sejumlah seniman di berbagai bidang. Diharapkan mampu memberikan inspirasi bagi pembaca khususnya ketika berhadapan dengan

pandemi yang membuat jarak berinteraksi menjadi terbatas. Mudah-mudahan pilihan Mata Jendela atas sejumlah penulis dalam edisi kali ini juga dapat memacu tak berhentinya daya kreasi meskipun terhimpit bencana wabah.

Maka, terpilihlah Gunawan Maryanto, misalnya, aktor dan sutradara Teater Garasi yang justru di masa pandemi menunjukkan daya kreativitas tak terbendung sekaligus berprestasi dengan berhasil menjadi Aktor Terbaik atau Pemeran Utama Pria Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2020.Ada juga penulis dan perupa Alim Bakhtiar, pemenang pertama lomba novel anak portal Kwikku yang mendapatkan hadiah prestisius Rp200 juta. Serta beberapa penulis lain yang juga tetap kreatif di masa pandemi.

Masa pandemi pula, boleh jadi menjadikan para seniman juga tertantang untuk dapat memanfaatkannya menyimpan karya, yang kelak entah kapan akan mampu menyapa publik. Masa pandemi boleh jadi menjadi masa sublimasi untuk mengulik kembali target pencapaian estetika sebagai tabungan karya di masa depan.

Sisi positifnya, setiap seniman di masa pandemi, memang bisa lebih intens berkarya, lebih matang, lebih serius dan suntuk. Setidaknya secara gagasan

Page 5: Kreativitas di Masa Pandemi

3

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Pandemi, Masa Sulit yang Menuntut Tetap Kreatif

Bisa jadi, dalam situasi apa pun, semuanya harus saling menyesuaikan. Negara menyesuaikan dengan situasi zaman, seniman menyesuaikan dengan tuntutan peradaban yang bisa saja berubah. Apakah seniman sudah siap berimajinasi kelak gedung pertunjukan atau pameran seni memang tak lagi diperlukan dalam kurun waktu tertentu, misalnya?

Kompleksitas penyiasatan atas kondisi zaman semacam ini menarik menjadi bahan renungan sejumlah pihak. Tentu, karena kita tidak ingin menghadapi situasi pandemi hanya dengan frustasi. Dalam hidup bernegara yang sehat, bukankah regulasi kebijakan juga harus pasti? Apalagi posisi seniman, adalah sebuah profesi yang jelas dengan tuntutan studi yang juga jelas. Maka, tentu, negara juga harus jelas dalam melindungi hak berkreasi seniman di masa apa pun, pandemi atau tidak.

Hal semacam itu, menjadi penting digarisbawahi. Sebab, dalam hal berkarya, tetap dibutuhkan ekosistem yang baik, yang kondusif, agar semuanya bisa berjalan sesuai rel. Baik di masa pandemi atau tidak, ekosistem yang baik tersebut semestinya ada. Jika belum, tentu layak dipertanyakan. Kemudian, selayaknya juga diperjuangkan. Sehingga, baik masa pandemi atau tidak, setiap seniman juga dapat menghirup udara yang mencerahkan jiwa raga sebab karya seni yang dihasilkannya tetap mendapatkan saluran ekspresi yang tepat.

Berbahagialah para seniman yang hidup dalam negara semacam itu. Mudah-mudahan negara itu juga bernama Indonesia dan punya provinsi bernama Yogyakarta yang punya dana keistimewaan cukup besar serta mempunyai gedung Akademi Komunitas yang tak kalah megah.

Satmoko Budi SantosoRedaktur Mata Jendela

lebih sublim. Upaya untuk lebih dalam belajar lagi juga dapat terwujud. Meskipun untuk beberapa bidang seni seperti seni pertunjukan, bisa saja tetap kerepotan untuk berkiprah apalagi jika harus tampil kolosal.

Mudah-mudahan pula, Mata Jendela edisi kali ini juga mampu mendorong penentu kebijakan di bidang kebudayaan untuk membuat solusi yang tepat guna mewadahi beragam ekspresi seni yang terhenti selama pandemi. Bagaimana pun, akhirnya, semua juga kembali pada infrastruktur pendukung seni. Boleh jadi, kebijakan yang bersifat pada ekspresi daring, lebih mendapatkan ruang berlebih, sekaligus juga kemungkinan adanya subsidi dana yang memadai.

Bagaimana pun, jika sudah sampai pada wabah, negara mesti ikut turun memberikan solusi dan tidak membiarkan kreasi warga negaranya mandul atau terhenti.

Itulah tantangan bersama di masa pandemi, mencari jalan keluar bersama, agar denyut kreativitas masih bisa terwadahi. Ke depan, perlu juga dirumuskan secara matang, bagaimana jika pandemi semacam ini berulang? Apakah langkah mitigasi wabah yang akan diterapkan?

Di Jepang, misalnya, adalah negara yang sudah siap menghadapi bencana gempa bumi. Kebijakan tindakan pasca-gempa cukup solutif. Nah, dalam konteks seni-budaya, jika terjadi wabah lagi, apakah kita sudah siap dengan blue print antisipasi atau bahkan solusi di tengah wabah yang cukup tepat? Bagaimana jika wabah itu satu tahun? Bagaimana jika dua tahun? Bagaimana jika tiga tahun, empat tahun, lima tahun, dan seterusnya? Siapkah negara mengambil alih semuanya? Siapkah kesenian misalnya jadi semacam BUMD atau BUMN? Seniman terseleksi atau tersertifikasi dapat unjuk gigi dengan mendapatkan gaji, misalnya? Siapkah negara menjadi event organizer yang baik dan menjadi manajer para seniman?

Page 6: Kreativitas di Masa Pandemi

4

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA R Toto SugihartoS

EN

I BU

DA

YA

YO

GY

AK

AR

TA

4

Pandemi Global sebagai Deus ex Machina

OLEH R TOTO SUGIHARTO

Seorang kawan mengunggah foto dirinya, mengumumkan telah terpapar Covid-19 di akun media sosialnya. Di foto itu ia tergolek di bed rumah sakit seraya menggunakan ventilator. Saya sudah mengetahui beberapa hari sebelumnya karena kebetulan kami satu grup di WhatsApp.

Aah, satu per satu di antara kawan-kawan terpapar Covid-19. Semoga segera disembuhkan kembali dan yang belum terpapar tetap dijauhkan dari pandemi global. Beberapa hari sebelumnya saya juga mengobrol dengan dua kawan “mantan” Covider (demikian mereka yang telah dinyatakan sembuh menyebut identitasnya). Bahkan, keduanya tidak menolak andaikata saya hendak menulis penggalan dari riwayat hidupnya sebagai penyintas.

Satu tahun yang lalu, tatkala informasi perihal wabah virus Corona mulai merebak, saya membayangkan virus itu sebagai makhluk asing yang tidak kasat mata dari antah berantah. Ia tidak hanya satu ekor. Karena, terbukti kemudian, makhluk itu dalam waktu relatif cepat, menyerang orang-orang secara terpencar di berbagai belahan dunia.

Dimulai dari Wuhan di Provinsi Hubei, Cina pada 17 November 2019 tiba-tiba tidak sampai sebulan, sudah ada serangan serupa di Iran, Italia, Jerman, India, dan beberapa kota di sejumlah negara di benua berbeda, termasuk tentu saja Amerika Serikat. Ratusan ribu hingga jutaan jiwa melayang, susul-menyusul dari berbagai pelosok dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Masyarakat menuntut Presiden Joko Widodo segera mengumumkan jumlah orang yang terpapar Covid-19. Juga, mendesak agar Presiden menetapkan lockdown, sesuatu yang kemudian tidak dikabulkan Presiden dan penerapannya akhirnya dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya mencegah penyebaran virus Corona.

Sementara itu, sampai akhir Januari 2020 pemerintah menyiapkan pesawat penjemput WNI di Wuhan. Disusul kemudian masuk Februari 2020 pemerintah menghentikan penerbangan dan impor dari Cina. Kemudian, masih di bulan Februari 2020 WHO menetapkan dunia internasional dalam situasi Darurat Global. Sampai kemudian masih Februari 2020 pemerintah menyatakan sebanyak 241 WNI yang dipulangkan dari Wuhan tidak terinfeksi Covid-19.

Hingga akhir Februari 2020 pemerintah belum mengumumkan ada berapa orang Indonesia yang terpapar Covid-19. Sampai akhirnya, pada awal Maret 2020 Presiden resmi mengumumkan dua orang, ibu dan anak - keduanya penari, terinfeksi Covid-19. Lalu, menyusul satu orang lagi masih satu keluarga itu. Namun, akhirnya ketiga penari itu sembuh dan kembali pulih.

Berikutnya, brul… bruul…bruuul… ribuan… ratusan ribu hingga lebih dari sejuta orang dinyatakan positif Covid-19. Memasuki pertengahan Mei 2020 WHO

Page 7: Kreativitas di Masa Pandemi

5

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

mengimbau penduduk bumi hidup bersama virus Corona.

Selanjutnya, terhitung sejak 1 Juni 2020 kita menjalani fase kehidupan New Normal atau Kenormalan Baru. Disebut juga adaptasi kebiasaan baru (AKB), yakni sebagai cara hidup baru dengan beradaptasi di tengah pandemi Covid-19, dengan upaya mencegah terinfeksi virus Corona melalui penerapan protokol kesehatan (Prokes).

Sektor kesehatan menjadi mesin indoktrinasi yang mutlak dan wajib dilaksanakan dengan piranti kesehatan, seperti masker, hand sanitizer, face shield, sabun, dan air mengalir dari keran. Prokes pun diterapkan di setiap tempat, mulai dari area domestik hingga wilayah publik.

Disrupsi dan Artificial Intelligence

Bayangan saya tentang virus Corona sebagai makhluk asing itu di kemudian hari klop dengan penjelasan kawan saya yang berprofesi dokter dan bertugas di sebuah rumah sakit di Yogyakarta yang saat itu tengah merawat sembilan pasien terpapar Covid-19.

Pada pertemuan kami di perayaan ulang tahunnya, ia mendeskripsikan, virus merupakan benda mati yang turun dari angkasa luar, entah dari planet apa. Ia mengibaratkan virus sebagai serbuk sari yang melayang-layang dihembus angin. Apabila serbuk sari hinggap di putik bunga maka jadilah mereka berbiak menjadi buah.

Sebaliknya, apabila si serbuk sari tidak menemukan jodohnya maka ia pun mati merana. Begitu pun dengan virus Corona, apabila mendapatkan tempat hinggap yang kondusif, maka berbiaklah si benda mati itu menjadi hidup dan menggerogoti organ dalam manusia. Dan, terutama bagi mereka yang komorbid (memiliki penyakit bawaan: diabetes, kelainan jantung, paru-paru, dan ginjal).

Ingatan saya kemudian melayang ke belakang lagi, sekitar pertengahan tahun 2018. Saya bersama beberapa orang mengikuti pertemuan bersama seorang pejabat tinggi di sebuah hotel di Yogyakarta. Pejabat itu mengilustrasikan tentang dunia global yang tengah memasuki era disrupsi.

Sebuah keniscayaan tak terhindarkan, terjadinya sebuah perubahan besar yang mengubah tatanan. Uniknya, terjadinya perubahan berawal dari peristiwa bisnis. Tapi, kemudian di-support oleh teknologi digital maka terjadilah sebuah perubahan besar secara terstruktur, sistemik, dan masif. Dan, piranti yang diandalkan adalah artificial intelligence (kecerdasan buatan).

Bahkan, secara teoritis artificial intelligence memungkinkan pembasmian anak bangsa secara serentak dan terprogram. Ditambah isu tentang perang dagang antara Negeri Paman Sam melawan Negeri Tirai Bambu serta teori konspirasi, merebaknya pandemi global juga diasumsikan bagian dari perang dagang itu.

Siapa tahu, entah Cina atau Amerika Serikat yang menaburkan virus itu dari pesawat angkasa luar yang diklaim menjalankan misi riset ke bulan dan Mars? Wallahu a’lam bishawab. Yang jelas pada Februari 2021 WHO akhirnya mengumumkan bahwa virus Corona bukan berasal dari Laboratorium Virologi di Wuhan.

Terkait hal ini, setahun sebelumnya, pada Februari 2020, Connor Reed, seorang guru berusia 25 tahun dari Inggris yang mengajar Bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah atas di Wuhan mengisahkan bahwa tidak ada lapak pedagang daging kelelawar di pasar tradisional di Wuhan yang dikabarkan menjadi sumber penularan virus Corona dari binatang kepada manusia dan menjadi awal mula merebaknya wabah virus Corona.

Connor Reed adalah orang Inggris pertama yang didiagnosis dokter Cina terinfeksi Covid-19.

Pandemi Global sebagai Deux ex Machina

Page 8: Kreativitas di Masa Pandemi

6

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Pada 3 Maret 2020 saya bersama Umi Kulsum dan Latief S Nugraha mewawancarai perupa Nasirun untuk majalah sastra Sabana. Kemudian, pada 15 Maret 2020 saya dan Budi Sardjono menjadi narasumber workshop Menulis Novel Jawa di Disbud Sleman. Pada waktu itu aparat pemerintahan masih menunggu kebijakan dari Gubernur DIY yang kemudian dikeluarkan dan mulai berlaku pada 17 Maret 2020 berupa Masa Tanggap Darurat yang berisi larangan membuat kerumunan selama sebulan, wajib jaga jarak, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun pada air mengalir serta lebih banyak kegiatan di rumah saja.

Sejak itu pula semua rencana kegiatan kreatif di ruang publik macet. Rencana mengisi workshop penulisan feature di Kulon Progo dan road show ke Jawa Timur pun batal. Juga, rencana mewawancarai Miroto serta beberapa narasumber lainnya untuk Sabana juga batal. Meski demikian, saya akhirnya berhasil mewawancarai Miroto tapi untuk materi buku Profil Seniman dan Budayawan DIY #17 (Taman Budaya Kota Yogyakarta).

Dari hari ke hari saya bersama istri berusaha beradaptasi dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Sementara logistik semakin menipis dan saldo di rekening juga makin minim. Ada kabar bantuan sembako dari kampung tapi tidak kunjung kami terima. Beberapa seniman teater menggerundel bokek dompetnya dan tidak bisa manggung. Beruntung kemudian ada pembagian sembako dari pengelola Sabana dan perupa Nasirun untuk sejumlah seniman.

Di tengah keterbatasan logistik dan finansial, saya menyelesaikan naskah sandiwara radio berbahasa Jawa, “Sidak”, adaptasi Inspektur Jenderal Nikolai Gogol. Tapi, kemudian apes, laptop saya ngadat. Karena belum ada uang, saya tidak bisa membawanya ke tukang servis. Ndilalah kok ponsel saya juga rusak. Saya menulis satu lagi naskah sandiwara radio berbahasa Jawa berjudul “Tuk”. Kali ini saya menulis dengan bolpen dan kertas HVS lalu saya ketik di kios fotokopi depan rumah.

Penyakitnya diawali gejala demam seperti flu selama berhari-hari. Demam flunya sudah dirasakan sejak 25 November 2019. Namun, dia berhasil menyembuhkan dirinya melalui isolasi mandiri dengan mengonsumsi whisky dicampur madu dikenal sebagai tuak panas (hot toddy) selama 72 hari. Naas, pada 25 Oktober 2020, batuk dan sesak nafas menyerang Connor lagi hingga merenggut jiwanya dalam masa ia menjalani karantina dan masa pemulihan di negaranya.1

***

PADA awal-awal isu virus Corona muncul di Wuhan, menyeruak pula isu sertaan, seperti melonjaknya harga masker, ekspor alat pelindung diri (APD) secara besar-besaran dan kemudian Cina - setelah mengklaim sukses menekan angka kasus Covid-19 di negaranya - kembali menjual APD tersebut dengan harga berlipat ganda.

Sampai Maret 2020 tatkala wabah sudah memasuki Indonesia, masker menjadi barang mewah. Saya saja baru bisa memakai masker dari jenis yang lazim dipakai tenaga medis baru pada akhir Maret 2020 pembagian gratis dari panitia di sela-sela rehat ikut gotong royong di kaki Merapi, memperbaiki pipa saluran air untuk warga satu dusun.

Lalu, bagaimana kerja kreatif sebelum dan selama pandemi? Aah, sebenarnya tidak menarik untuk diceritakan dari pekerja serabutan seperti saya. Tapi, baiklah. Saya mulai dari Februari 2020. Saya mewawancarai mantan Bupati Sleman Arifin Ilyas dan Ketua Bawaslu Sleman untuk majalah Memetri (Dinas Kebudayaan Sleman), menyelesaikan naskah cerkak (cerpen berbahasa Jawa) dan esai berbahasa Jawa. Kedua naskah akhirnya lolos seleksi dari tim editor dan diterbitkan dalam buku Antologi Cerkak dan Antologi Esai oleh Dinas Kebudayaan DIY. Penerbitannya biasanya diikuti Temu Karya Sastra di hotel selama tiga hari. Tapi, akhirnya kegiatan tahunan itu ditiadakan.

1 Rahma Sulistya, “Orang Inggris Pertama yang Kena

Covid-19 Meninggal”, Republika Online, Selasa 3 November 2020.

JENDELA R Toto Sugiharto

Page 9: Kreativitas di Masa Pandemi

7

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

pamrih. Sosok demikian ada pada Yudhistira alias Puntadewa. Pusaka saktinya hanya welas asih. Cerita berakhir kemenangan pada Puntadewa pada perang habis-habisan di medan Baratayudha.

***

Dalam hal proses kreatif, prinsip kerja kreator menurut saya, bukan bagaimana mendapatkan uang lebih dulu untuk modal bisnis, melainkan bisnis alias berkreasi dulu untuk mendapatkan uang.

Terbukti, naskah “Tuk” akhirnya menuai hasil diproduksi oleh Tim Pengembangan Sandiwara Radio Bahasa Jawa Disbud DIY di program siaran sandiwara radio bahasa Jawa di Sonora FM. Ada juga proyek penulisan buku dan “parade” pantun politik dengan honor lumayan besar yang saya terima pada Desember 2020.

Analogi makhluk asing dari angkasa luar dalam teks literer bisa diasumsikan sebagai deus ex machina. Dalam konteks kritik, “dewa turun dari mesin” masih dianggap sebagai unsur yang melemahkan cerita. Sementara, dalam proses menulis “Tuk”, saya memasukkan tokoh cerita yang terinfeksi Covid-19. Mitologi menjadi aspek yang menggerakkan saya menulis, saat saya menanyakan kepada warga bagaimana mereka mendapatkan lokasi mata air baru.

Kata mereka, melalui survei menyusuri sungai dan untuk mengelola mata air itu harus menukarnya dengan mahar berupa es dawet yang dipersembahkan kepada penunggu tuk. ***

R Toto SugihartoSastrawan, Ketua Forum Studi Literasi Omah Gemak, tinggal di Sleman.

Masih di tengah situasi pandemi global, saya meluncur ke Makam Kyai Landoh di Lendah, Kulon Progo. Kebetulan kok juru kunci berkisah bahwa salah satu kesaktian Kyai Landoh atau Syekh Jangkung adalah menundukkan wabah. Hasil wawancara dimuat di majalah Sempulur (Disbud DIY).

Deus ex Machina dan Mitologi sebagai MotifSulit untuk memahami pandemi. Upaya tengahnya, boleh jadi melalui narasi mitos. Secara kebetulan seorang kawan membagikan video Gus Yusuf. Kiai muda di Ponpes Tegalreo, Magelang itu berkisah tentang pandemi di Damaskus. Pandemi dibawa oleh serombongan makhluk.

Kepada seorang alim, ketua rombongan pandemi menjelaskan kedatangan mereka hendak menyerang dan meminta korban jiwa sebanyak 600 orang selama setahun. Berselang setahun kemudian, orang alim berpapasan lagi dengan rombongan pandemi hendak keluar meninggalkan Damaskus. Si alim menegur mengapa korban jiwa mencapai lebih dari seribu orang? Dalih ketua rombongan pandemi, sebenarnya mereka memang hanya menyerang 600 jiwa.

Namun kemudian korbannya mencapai lebih dari seribu orang lantaran mereka panik, stres, dan depresi yang berakibat terenggut jiwanya. Pesan moralnya: hendaklah kita jangan panik menghadapi pandemi karena kepanikan mengakibatkan imunitas tubuh menurun.

Aspek kejiwaan dan spiritualitas memang berperan banyak dalam meningkatkan imunitas tubuh. Dalam khazanah mitologi Jawa, emosi amarah, depresi, dan semacamnya, potensial memancing wabah menyerang tubuh. Dikisahkan dalam fragmen Salya ketika mengamuk dan mengoperasikan pusakanya, ”Canda Bhirawa” berakibat merebak wabah atau pageblug.

Semakin dilawan semakin berlipat ganda pembawa wabah tersebut. Untuk menundukkannya hanya dengan hati yang welas asih. andhap asor, dan tanpa

Pandemi Global sebagai Deux ex Machina

7

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

Page 10: Kreativitas di Masa Pandemi

8

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA Anne ShakkaS

EN

I BU

DA

YA

YO

GY

AK

AR

TA

Yogyakarta selama pandemi ternyata tidak pernah benar-benar sepi. Sebagai kota yang sangat sarat dengan berbagai festival dan perayaan, Yogya seakan terus berusaha untuk mempertahankan keriaannya dengan berbagai cara dan penyesuaian yang mau tidak mau harus dilakukan. Sempat benar-benar senyap di minggu-minggu awal pandemi, namun beberapa bulan terakhir ini geliatnya sudah kembali bisa dirasakan.

Akhir September 2020, adalah kali pertama saya mendatangi pembukaan pameran setelah dunia ini dilanda pandemi. Pembukaan pameran tunggal dari Mella Jaarsma di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta. Pameran yang bertajuk A Roof Over Your Head ini berusaha menerapkan berbagai protokol kesehatan dalam acaranya. Pengunjung jelas wajib menggunakan masker, selain itu juga disediakan hand sanitizer di pintu masuk, pengecekan suhu, pembatasan waktu, dan jumlah pengunjung yang berada di dalam ruangan.

IVAA dalam newsletter dua bulanannya yang berjudul “Perayaan Akhir-akhir Ini: Sebuah Impresi Awal”1 juga berbicara mengenai bagaimana geliat festival dalam situasi pandemi di Yogyakarta. ArtJog adalah

8

Berkarya dalam Sepi,Sebuah Refleksi

OLEH ANNE SHAKKA

salah satu perayaan besar seni rupa Yogyakarta tetap digelar dengan berbagai penyesuaian. Pada tahun 2020 lalu, ArtJog mengambil tema ‘Resiliensi’ menghadirkan pamerannya secara daring dan luring. Tentu dengan berbagai aturan baru yang diterapkan seperti mendaftar terlebih dahulu dan datang pada jam yang sudah ditentukan, yang tujuannya tidak lain untuk mengurangi kerumunan dalam rangka mencegah penularan.

Menggelar pameran secara daring adalah salah satu pilihan baru yang mau tidak mau dipilih sebagai alternatif dalam situasi pandemi yang sangat membatasi perjumpaan ini. Seperti yang dilakukan oleh salah satu seniman muda Yogyakarta, Chandra Rosselinni. Chandra mengadakan pameran yang bertajuk “XXY Journey”2 secara daring. Pameran hasil karya drawing-nya ini diadakan dalam rangka tugas akhir penciptaan di Pascasarjana ISI Yogyakarta. Pameran yang biasanya diadakan secara luring, kali ini mau tidak mau harus diadakan secara daring. Dalam obrolan yang saya lakukan dengan Chandra di rumah sekaligus studionya di daerah Kasongan, dia menceritakan bagaimana pameran secara daring ini membuatnya harus berpikir lebih keras. Chandra sendiri menggunakan artstep.com sebagai ruang pamernya. Di situ dia harus memasang seluruh hasil karyanya dalam dinding-dinding virtual selayaknya pameran biasanya.

1 Perayaan Akhir-akhir Ini: Sebuah Impresi Awal. Oleh: Krisnawan Wisnu Adi dan Lisistrata Lusandiana Juli-Agustus 2020 bisa diakses di http://ivaa-online.org/sorotan-dokumentasi/perayaan-akhir-akhir-ini-sebuah-impresi-awal/ 2 Pameran bisa diakses di https://qrgo.page.link/x3aov

Page 11: Kreativitas di Masa Pandemi

9

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Berkarya dalam Sepi, Sebuah Refleksi

Di satu sisi, Chandra sendiri menemukan kepraktisan dan penghematan biaya karena tidak harus memasang pigura dan mengangkut semua hasil karyanya ke ruangan pamer. Tidak ada ruang yang perlu dia sewa dan juga disiapkan untuk pamerannya kali ini. Pada pameran kali ini dia harus menjalani proses persiapannya secara berbeda. Melakukan digitalisasi untuk semua hasil karya yang akan dia pamerkan, lalu memasangnya secara virtual yang ternyata tidak mudah. Ketidakakraban dengan teknologi, keterbatasan alat dan keahlian dengan teknologi itu sendiri, menjadi kendala selama dia mempersiapkan pameran daringnya. Salah satu

pengalaman yang dia bagikan adalah bagaimana mengukur dan memastikan karyanya dipamerkan dengan skala dan warna yang tepat sebagaimana karya aslinya.

Bagi saya sebagai penonton, melihat pameran dalam jaringan sebenarnya bukan suatu hal yang baru, saya pernah melakukan hal yang sama dengan Google Museum. Kita diajak untuk melihat suatu ruang pamer dari sudut pandang orang pertama dan penonton juga diberi keleluasaan untuk melangkah dan melihat karya-karya yang ada di dalam ruang pamer tersebut. Namun bagi saya, layar tetap

“Menggelar pameran secara daring adalah salah satu pilihan baru yang mau tidak mau dipilih sebagai alternatif dalam situasi pandemi yang sangat membatasi perjumpaan ini”

Gambar 1.Poster pameran seni rupa. Foto Dokumentasi Pribadi Chandra Rosselinni

Page 12: Kreativitas di Masa Pandemi

10

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA dan mendong. Foto dan video dengan berbagai

manipulasinya juga sesuatu yang acapkali dia lakukan. Namun baginya, migrasi dalam dunia digital yang terjadi secara masif dan tiba-tiba dikarenakan oleh pandemi ini adalah suatu hal yang masih perlu dicermati lebih lanjut. Dia tidak mau begitu saja ikut-ikutan latah dengan beralih ke media digital begitu saja.

Nindityo sendiri berpendapat bahwa pengalaman bersentuhan dengan karya seni secara langsung masih diperlukan untuk bisa merasakan pengalaman estetika dan memahami apa yang karya tersebut ingin bicarakan. Perantaraan teknologi sering kali memberikan distorsi yang malah membuat seseorang tidak berfokus dengan apa yang dibicarakan oleh karya itu sendiri, melainkan malah pada bagaimana produksi digital itu dilakukan. Namun selama pandemi Covid-19 ini terjadi, dia mengalami suatu kejadian yang membuat dirinya mempertanyakan pemikirannya sendiri. Nindityo menceritakan tentang kerja samanya dengan baikart.com untuk membuat video yang memperkenalkan diri dan karya-karyanya. Tanpa dia duga, karya yang ditampilkan secara digital tersebut menemukan pembelinya. Kejadian ini membuatnya merasa perlu untuk menilik ulang tentang bagaimana suatu karya seni bisa bertemu

menjadi penghalang untuk melihat dan merasakan karya sebagaimana jika karya tersebut dilihat secara langsung. Melihat karya seni melalui layar, apalagi dalam layar handphone yang terbatas membuat pengalaman melihat karya seni bagi saya seperti melihat katalog atau gambar-gambar di Instagram, atau malah e-commerce.

Saya tidak bisa menyadari kemasifan karya atau tekstur karena semua dimampatkan dalam layar yang ada di tangan. Belum lagi dengan kendala jaringan yang memang menjadi masalah seluruh masyarakat Indonesia Raya ini, kecepatan yang tidak memadahi membuat buffering dan gambar yang tidak muncul dengan resolusi sempurna. Bagi saya, merasakan pengalaman estetis secara langsung saja merupakan hal yang sulit, apalagi jika melalui perantaraan layar dengan semua kendala teknisnya.

Nindityo Adipurnomo ternyata juga membagikan impresi dan skeptisisme yang sama mengenai bagaimana digitalisasi yang terjadi dalam suatu proses berkesenian. Ditemui di studionya di bilangan Minggiran, Nindityo sendiri menyatakan bahwa dirinya juga menggunakan teknologi dalam menciptakan karya-karya seni rupanya yang banyak mengambil materi dari alam seperti rotan

JENDELA Anne Shakka

“Di lain sisi, pandemi tidak melulu berbicara tentang kesulitan dan hambatan. Pandemi ini juga membuka kesempatan dan ruang yang lebih luas untuk berekspresi. Menuntut adanya perubahan dan adaptasi adalah suatu keniscayaan, namun melibatkan teknologi ini bisa juga berarti mengulur jangkauan ruang dan waktu yang tanpa batas.”

Page 13: Kreativitas di Masa Pandemi

11

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

dan dinikmati, bahkan menghasilkan pengalaman estetika bagi banyak orang.

Di banyak sisi, tidak bisa dipungkiri bahwa segala yang digital ini masih membawa keterkejutan bagi semua orang, tidak hanya di dunia seni rupa. Pengalaman dari dua seniman di atas juga menunjukkan butuh banyak sekali penyesuaian dan keahlian baru untuk bisa tetap berpameran dan terhubung dengan para penikmat seni mereka. Selain keahlian yang perlu dimiliki, kepemilikan alat dan akses untuk jaringan internet, menjadi kapital baru yang mau tidak mau menimbulkan adanya kesenjangan di masyarakat. Akumulasi dari keahlian dan penguasaan teknologi, kualitas alat yang dimiliki, bagaimana akses internet yang didapatkan, saat ini bisa diartikan bahwa orang tersebut akan memiliki alat dan modal produksi yang lebih besar dalam dunia digital.

Di lain sisi, pandemi tidak melulu berbicara tentang kesulitan dan hambatan. Pandemi ini juga membuka kesempatan dan ruang yang lebih luas untuk berekspresi. Menuntut adanya perubahan dan adaptasi adalah suatu keniscayaan, namun melibatkan teknologi ini bisa juga berarti mengulur jangkauan ruang dan waktu yang tanpa batas. Pameran sebuah karya bisa dinikmati dari mana saja dalam jangka waktu selama mungkin selama ruang pamer itu masih bisa diakses di dalam jaringan.

Di luar semua perubahan yang terjadi dalam industri berkesenian, pengalaman para seniman ini untuk tetap produktif berkarya selama pandemi sendiri ternyata tidak mengalami perubahan. Terbiasa bekerja sendiri dalam keheningan, keharusan untuk di rumah saja dan semua pembatasan sosial yang terjadi tidak membuat ritme hidup mereka banyak berubah. Galuh Sekartaji yang terlibat dalam Yogyakarta Komik Weeks Oktober 2020 lalu yang bertajuk Dipendam Pandemi di Museum Sonobudoyo, menyatakan bahwa situasi pandemi ini malah membuatnya bisa merealisasikan ide dengan lebih baik. Suasana lingkungan yang seakan

melambat, sepi, dan lebih tenang daripada biasanya membuatnya bisa lebih dalam menyelam ke dalam diri dan mengeksplorasi ide-idenya dengan lebih baik.

Pandemi ini mau tidak mau memang mengubah lanskap seni rupa kita, tidak hanya di Yogyakarta atau di Indonesia saja, tetapi juga seluruh dunia harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Industri seni rupa yang ada selama ini harus sesegera mungkin menemukan bentuk barunya. Residensi dan berbagai perayaan seni global dan lokal banyak yang ditunda dan dibatalkan. Beberapa mencari bentuk barunya dengan mengembangkan diri dalam dunia digital. Tidak semuanya berhasil dengan transisi yang tiba-tiba ini. Pandemi memampatkan perubahan dalam dunia digital hanya dalam hitungan bulan.

Bagi Nindityo, pandemi ini tidak mengubah terlalu banyak dalam bagaimana caranya berkesenian dan menciptakan karya-karyanya. Dia berpendapat bahwa pandemi ini bukanlah suatu hambatan, atau suatu peluang, bahkan juga bukan suatu tema yang bisa kita bicarakan sekarang dan terlepas beberapa saat kemudian. Pandemi ini sudah terjadi dan masih akan terus terjadi untuk beberapa waktu ke depan, dan kita harus bisa berjalan bersamanya. Menerima dan menubuhkan situasi baru ini sampai kita semua bisa berjalan dan berkarya dengan semua perubahan yang dibawanya dengan damai. ***

Anne ShakkaLulusan Kajian Budaya, Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Berkarya dalam Sepi, Sebuah Refleksi

11

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

Page 14: Kreativitas di Masa Pandemi

12

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA MarwantoS

EN

I BU

DA

YA

YO

GY

AK

AR

TA

12

Duhkita Tetap Berkarya di Musim Corona

OLEH MARWANTO

Dalam literatur sering dijumpai kata duhita maupun duhkita. Keduanya merupakan kata berbahasa Sansekerta (sering disebut bahasa Kawi), dan sama-sama berasal dari akar kata duh yang berarti ungkapan kesedihan. Duhita, berarti sedih atau susah. Sedangkan duhkita berarti kesedihan atau kesusahan.1

Suasana duhkita sering digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang sedang ditimpa musibah, misalnya sedang ditinggal mati orang terdekat/tercinta. Anggota keluarga dari orang yang meninggal tadi, pada seremonial pemberangkatan jenazah orang Jawa, sering disebut “ingkang nandhang duhkita...” (yang sedang berduka). Namun kini duhkita tidak hanya dialami oleh satu dua orang atau sebuah keluarga saja. Suasana duhkita telah melingkupi kehidupan di muka bumi.

Hal itu terjadi sejak wabah virus Corona atau Covid-19 (Corona Virus Disease 2019) yang awalnya hanya ada di Wuhan (Cina) sekarang telah menjalar di seluruh penjuru dunia. Kehidupan alam semesta pun seakan lumpuh. Pandemi atau wabah Covid-19 telah mengubah wajah dunia. Dunia yang sebelumnya

secara fisik tampak penuh hiruk pikuk mendadak lengang, sunyi dan senyap. Manusia dianjurkan bahkan dipaksa untuk stay at home dan works from home.

Namun berkat penemuan teknologi internet, beserta perangkat aplikasi lain terutama media sosial, dampak dari wabah atau pandemi yang mengharuskan manusia tinggal di rumah tidak begitu terasa. Paling tidak, bisa diminimalisir. Manusia masih bisa berselancar ke seluruh penjuru dunia (setidaknya sekedar menyapa kerabat, sahabat, rekan kerja dan juga tetangga) hanya dengan memegang gawai. “Setan gepeng” itulah yang kemudian menjadi teman setia manusia di kala terjadi wabah.

Selain jadi teman setia, gawai (beserta perangkat untuk mengakses teknologi internet lain: laptop dan PC/personal computer) telah mengambil peranan penting di masa pandemi. Ia pada akhirnya tidak hanya wahana untuk berselancar, atau aktivitas yang ada kaitan dengan hal-hal santai dan menghibur, tapi telah menggantikan aktivitas kerja manusia. Produktivitas dihasilkan dari gawai, laptop dan PC: kerja kantoran, menjalin relasi bisnis, bahkan proses belajar-mengajar, semuanya mengandalkan gawai.

Lalu merebaklah fenomena pertemuan dalam bentuk rapat, diskusi, workshop dan seminar dilakukan secara daring, sehingga kita mengenal webinar, zoom meeting, dan seterusnya. Tidak hanya itu, sejumlah even lomba dalam kancah seni dan budaya,

1 Bandingkan sumber berikut: Purwadi dan Eko Priyo Purnomo dalam Kamus Sansekerta-Indonesia, dalamhttps://www.academia.edu/32630595/KAMUS_SANSEKERTA_ INDONESIA_pdf hlm 58, dan https://id.wiktionary.org/wiki/Lampiran:Kamus_bahasa_Sanskerta_%E2%80%93_bahasa_Indonesia

Page 15: Kreativitas di Masa Pandemi

13

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

Namun, agaknya akan lebih membawa kesan yang dalam dan mampu menimbulkan vibrasi yang kuat untuk membangkitkan imajinasi jika pengalaman itu didapat dari peristiwa yang secara langsung dialami oleh seorang penulis. Kalau kita baca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang menggambarkan sepak terjang burung bangau di musim kemarau, akan terlihat jelas penulis mengalami sendiri peristiwa di sekitarnya.

Ahmad Tohari dan juga penulis lain yang bersentuhan langsung dengan fakta atau peristiwa akan bisa menjiwai apa yang dialami. Sehingga yang terjadi, mengutip Goenawan Mohamad, tidak sekadar pengalaman tapi peng-alam-an: proses keterlibatan dengan “alam” – akrab menyatu di tengah dunia yang hidup, tumbuh dan merapuh.5 Bagi seorang penulis hal itu mendatangkan kekayaan pengalaman batin –pada diri seorang penyair sering disebut sebagai momentum puitik.

Meski seorang penulis punya kesan khusus (mendalam) terhadap sebuah fakta atau peristiwa, biasanya ia akan mengendapkan dulu hingga pengalaman mampu menjelma sebagai kesadaran. Baik terhadap sebuah peristiwa yang menggembirakan, menyedihkan, atau bahkan yang bersifat jenaka sekalipun.

Asrul Sani dalam esainya berjudul “Pembahasan Orang-orang yang Kenes”, yang pernah dimuat di majalah Siasat (edisi 4 Oktober 1953), menyatakan

juga dilaksanakan secara daring (misal lomba baca puisi, geguritan, cerkak, cerpen, sampai pertunjukan kethoprak, teater, dan lainnya). Para peserta mengirimkan rekaman pentas dalam bentuk soft file ke panitia untuk kemudian juri memberi penilaian dengan menonton hasil rekaman tersebut.

Pendek kata, di masa pandemi para seniman-budayawan dan para pekerja kreatif lainnya tetap bisa berkarya. Karya mereka terekam dalam youtube atau tayang di sejumlah laman media online untuk dinikmati masyarakat atau dalam bentuk rekam soft file untuk dinilai oleh para juri. Jadi, dalam suasana duhkita, tidak ada kata mati berkarya. Justru, suasana duhkita yang dialami menjadikan pengalaman sarat makna yang memantik inspirasi bagi pekerja kreatif, termasuk para penulis (sastrawan).

Fakta dan PengalamanUmar Junus (1934-2010), salah seorang kritikus sastra Indonesia dengan spesialisasi akademik bidang linguistik dan antropologi, pernah merumuskan adagium bahwa “sastra itu bertolak dari peristiwa ke imajinasi”2. Peristiwa atau fakta di sekitar akan membentuk pengalaman. Memang, di era industri komunikasi massa saat ini tak mudah untuk mengenal fakta. Industri informasi telah menyamarkan jarak antara fakta dan informasi. Manusia hidup di dunia simulakra (gambar dan citra).3

Sedangkan menurut Kuntowijoyo, sastra adalah strukturalisasi pengalaman, imajinasi, dan nilai-nilai4. Seorang sastrawan atau mereka yang menggeluti pekerjaan di dunia kepenulisan akan intens menyibukkan diri untuk membangun sebuah struktur (karya) yang berangkat dari tiga bahan tersebut. Pengalaman yang merupakan bahan dasar untuk membuat karya memang bisa berasal dari fakta yang dialami sendiri secara langsung oleh penulis maupun dengan cara membaca dari sejumlah literatur atau mendengar dan/atau melihat lewat media tertentu.

Duhkita Tetap Berkarya di Musim Corona

2 Lihat Umar Junus, Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Penerbit Gramedia, Jakarta: 1983.

3 Lihat Iman Budhi Santosa, Seni Mencipta Puisi. Penerbit Circa, 2020: 73.

4 Lihat Kuntowijoyo, dalam Maklumat Sastra Profetik.  Penerbit Multi Presindo bekerjasama dengan Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta: 2013.

5 Goenawan Mohamad, Kata dan Pengalaman, Penerbit Circa 2020: hlm 1.

Page 16: Kreativitas di Masa Pandemi

14

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

setelah itu, yakni tanggal 29 Juli 2020 sastrawan Ajip Rosidi wafat di Magelang. Menutup tahun 2020, kedukaan dunia sastra dilengkapi dengan mangkatnya penyair Iman Budhi Santosa pada 10 Desember 2020. Lengkap sudah duhkita dunia sastra.

Kedua, banyaknya bencana alam yang terjadi di bumi Nusantara. Konon, ada 16 gempa bumi, tujuh erupsi gunung api, 326 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 29 kejadian kekeringan, 570 tanah longsor, 872 puting beliung, gelombang pasang atau abrasi 32 kejadian, dan bencana banjir paling banyak terjadi di tahun 2020.7 Secara total, sepanjang tahun 2020, terjadi sebanyak 2.925 bencana alam, dimana bencana hidrometeorologi mendominasi.8

Ketiga (pandemi, bencana alam, dan wafatnya para sastrawan) yang telah menjadikan suasana penuh duhkita itu, di negeri kita masih diwarnai praktik politik yang mengusik nurani, yang memperlihatkan

7 https://www.antaranews.com/berita/1915816/bencana-banjir-paling-banyak-terjadi-sepanjang-2020#:~:text=Rinciannya%20ada%2016%20gempa%20bumi, nonalam%20yakni%20pandemi%20COVID%2D19.8 https://www.bnpb.go.id/berita/sebanyak-2-925-bencana-alam-terjadi-pada-2020-di-tanah-air-bencana-hidrometeorologi-mendominasi

bahwa: menulis tentang kesusastraan, ialah menulis perihal derita, kegembiraan, kepahitan, dan kemanisan yang telah dialami, pengalaman yang telah jadi kesadaran dan kemudian beroleh bentuk dalam kata yang membentuk kalimat dan kalimat yang menjadikan karangan.6

Pengalaman menggauli fakta (peristiwa) adalah pemantik dan sumber inspirasi paling dekat untuk menciptakan sebuah karya. Ketika inspirasi sudah didapat, di situlah kemudian imajinasi mulai bekerja. Sepanjang tahun 2020 hingga sekarang, para sastrawan dan pegiat seni budaya mengalami peristiwa duhkita dalam kurun waktu yang cukup lama dan meluas di seluruh penjuru dunia yang sebelumnya tidak pernah mereka alami. Di Indonesia, suasana duhkita akibat pandemi telah berpadu dengan tiga momentum yang mengoyak batin kemanusiaan.

Pertama, berpulangnya beberapa penyair dan sastrawan. Diawali dengan berpulangnya penyair senior Sapardi Djoko Damono pada tanggal 19 Juli 2020. Sepekan kemudian, tepatnya pada 25 Juli 2020, penyair dan pengamat budaya ketimuran, Otto Sukatno CR menyusul menghadap Ilahi. Tak lama

6 Lihat: https://sastra-indonesia.com/2020/02/pembahasan-orang-orang-yang-kenes/

MarwantoJENDELA

“Pengalaman menggauli fakta (peristiwa) adalah pemantik dan sumber inspirasi paling dekat untuk menciptakan sebuah karya. Ketika inspirasi sudah didapat, di situlah kemudian imajinasi mulai bekerja.”

Page 17: Kreativitas di Masa Pandemi

15

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

15

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

tidak saja arogansi penguasa tapi lebih dari itu bahwa kekuasaan telah tercerabut sebagai pengemban amanat kedaulatan rakyat.

Hal itu berawal sejak dibahasnya RUU Cipta Kerja pada tanggal 20 April 2020 hingga disahkan sebagai UU pada awal Oktober 2020. Puncak “kemarahan” rakyat terjadi pada 5 Oktober 2020 ketika anggota dewan yang terhormat mengetuk palu tanda disahkannya UU Cipta Kerja. Sontak, mahasiswa dan elemen masyarakat sipil dalam suasana duhkita dan anjuran untuk menghindari kerumunan, karena dipaksa oleh situasi dan keadaan, harus turun ke jalan menyampaikan aspirasinya.

Perpaduan empat kondisi tersebut lengkap sudah membuat suasana maha duhkita, mencekam sekaligus merobek batin kemanusiaan. Kiranya tak ada suasana maha duhkita seperti itu sebelumnya. Dan bagi para pekerja kreatif, kondisi semacam itu menjadi area yang subur bagi munculnya inspirasi hingga melahirkan banyak ide atau gagasan yang dituangkan dalam sebuah karya seni-budaya, termasuk karya sastra.

Sastra di Masa PandemiSeperti disinggung di depan, fakta adalah sumber yang mudah didapat dan paling dekat untuk memunculkan inspirasi bagi lahirnya karya sastra. Sejumlah karya sastra besar dunia lahir dalam

kondisi saat terjadi wabah, bencana atau suasana duhkita. Misalnya novel La Peste (Sampar) yang ditulis Albert Camus dengan mendulang peristiwa wabah pandemi sampar di Aljazair dan pengalaman hidup di bawah Nazi. Juga novel Love in the Time of Cholera (1985) karya Gabriel Garcia Marquez, meski mengusung tema percintaan tapi novel ini berlatar wabah kolera.

Apa yang dituliskan Marques, agaknya mirip yang dilakukan oleh William Saroyan (novelis berkebangsaan Amerika) dalam bukunya The Human Comedy (terbit 1943). Meski novel tersebut terilhami oleh suasana perang, tapi tidak secara detil mengulik hal-ihwal perang, tapi mendedah suasana akibat yang ditimbulkan oleh perang, salah satunya sisi jenaka.

Di kancah kesusastraan Indonesia, tak sedikit karya sastra yang berangkat dari peristiwa atau kondisi yang sedang berlangsung, terutama kondisi wabah/pandemi. Jika kita tengok karya sastra Indonesia klasik, akan segera kita temui Babad Bedhah ing Ngayogyokarta (pupuh berbentuk tembang) karya Bendoro Pangeran Aryo Panular, yang mencatat wabah pandemi penyakit kolera tahun 1821 di Jawa (terutama Jawa Tengah) yang merenggut nyawa 125 ribu orang.

Di saat ini, puluhan karya sastra yang memotret suasana duhkita akibat pandemi juga terbit. Sebut saja buku kumpulan cerpen Wabah (terbitan FIB

“Di kancah kesusastraan Indonesia, tak sedikit karya sastra yang berangkat dari peristiwa atau

kondisi yang sedang berlangsung, terutama kondisi wabah/pandemi”

Duhkita Tetap Berkarya di Musim Corona

Page 18: Kreativitas di Masa Pandemi

16

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

pandemi juga telah menyemarakkan aktivitas komunitas penggerak sastra di sejumlah daerah. Di Kulonprogo misalnya, selain komunitas Sastra-Ku yang sejak berdiri di awal 2019 hingga kini memang sudah aktif berkegiatan, juga telah membangunkan komunitas lain yang sebelumnya vakum, yakni Lumbung Aksara dan Sangsisaku.

Sejumlah aktivitas bersastra, terutama bersifat daring, dilakukan tiga komunitas tersebut. Komunitas Sastra-Ku selain secara rutin tiap minggu menayangkan karya sastra di laman-nya, juga menggelar bedah buku rutin tiap bulan kerjasana dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan setempat. Bahkan sempat juga menggelar aktivitas pentas (musikalisasi puisi) meski dengan protokol kesehatan -- tidak mendatangkan penonton di area pentas karena hanya disiarkan via kanal media sosial youtube Dinas Kebudayaan setempat.

Kembali Jingkrak-jingkrak Sepanjang masa pandemi (Maret 2020 hingga sekarang) ketika di satu sisi banyak komunitas menggelorakan aktivitas berkarya di rumah melalui even lomba menulis, bedah buku, seminar daring,

UGM, 2021). Lewat buku tersebut, muncul sejumlah gaya ungkap baru, misal dapat dijumpai dalam cerpen karya Aprinus Salam berjudul “Suara Ber(b)isik” – isinya hanya berupa potongan-potongan dialog. Sementara cerpen “Maling” karya Inung Setyami, meski kesimpulan cerita ada di ending-nya, tapi pesan nilai yang hendak disampaikan penulis sebenarnya diungkap di awal cerita.

Di luar itu, bermunculan puluhan antologi karya sastra, baik dengan bahasa Indonesia maupun Jawa, yang merupakan respon para sastrawan terhadap kondisi pandemi. Sebut misal buku Lumawan Corona (Paguyuban Sastrawan Jawa Bantul “Paramarta’, 2020), Sesudah Zaman Tuhan: Sajak-sajak dari Masa Covid-19 (Gerakan Penyair Peduli Literasi, 2020). Bertebarnya karya tersebut, dalam bahasa Djoko Saryono, memperlihatkan sensibilitas, sensitivitas dan responsivitas sastra (di) Indonesia terhadap wabah epi-/pandemi penyakit menular.9

Tak hanya menjadikan bertaburnya karya, masa

9 Djoko Saryono, Sastra Memori dan Wabah Pandemi, dalam https://borobudurwriters.id/ kolom/sastra-memori-dan-wabah-pandemi/

MarwantoJENDELA

Gambar 1.Musikalisasi Puisi Komunitas Sastra-Ku Kulon Progo

Page 19: Kreativitas di Masa Pandemi

17

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

17

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

dan lain-lainnya yang notabene menggunakan dana swadaya, di sisi lain belum tampak pengerahan yang optimal dari sumber dana negara untuk mendukung aktivitas tersebut. Di tingkat pusat (kementerian) memang sudah ada satu dua kegiatan yang selaras dengan masa pandemi (lomba menulis cerpen dan esai Kemenparekraf misalnya), tapi di daerah masih sangat sedikit.

Problem teknis penganggaran selalu saja menjadi alasan belum optimalnya dana negara untuk mendukung kegiatan sesuai kebutuhan masyarakat. Selain itu, mindset (untuk selalu) membuat kegiatan yang bernuansa pentas dan gebyar masih melekat pada diri ambtenaar yang diserahi mandat mengelola anggaran di bidang seni-budaya. Walhasil, sejumlah dinas di daerah masih merancang kegiatan di tahun 2021 dengan nuansa pentas dan jingkrak-jingkrak, meski pandemi belum berakhir.

Memang tidak semua. Sekadar contoh, ketika Satker di kabupaten X merancang program sastra dengan kegiatan pentas apresiasi di semua kapanewonan (yang riskan mengundang kerumunan saat pentas maupun latihan), Satker di kabupaten Y membuat program workshop penulisan sastra. Memang, belum banyak ambtenaar seperti di kabupaten Y. Rata-rata masih dengan mindset merancang kegiatan yang menekankan aspek gebyarnya, bukan kegiatan yang mendorong masyarakat untuk mencipta, berpikir, dan berkarya. ***

MarwantoSastrawan, bergiat di komunitas Lumbung Aksara (sejak 2006), Dewan Kebudayaan Kulonprogo (2010-sekarang), mengetuai Forum Sastra-Teater Kulonprogo (2015-sekarang), dan mendirikan komunitas Sastra-Ku (sejak 2019). Bukunya yang terbaru Menaksir Waktu: Pilihan Sajak (2021).

Gambar 2.Poster bedah buku secara virtual

Gambar 3.Poster bedah buku secara virtual

Duhkita Tetap Berkarya di Musim Corona

Page 20: Kreativitas di Masa Pandemi

18

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA Taufiq NRS

EN

I BU

DA

YA

YO

GY

AK

AR

TA

DI tengah-tengah masa pandemi, dunia kesenian di Yogyakarta berubah drastis. Nyaris semua kegiatan kesenian berhenti ketika pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan status tanggap darurat bencana Covid-19 per tanggal 20 Maret 2020.

Semisal, pagelaran wayang rutin di Sasono Hinggil tiap minggu kedua terpaksa harus berhenti. Padahal di bulan Januari, sempat dipentaskan lakon “Wijimulya” atau “Permadi Lair” oleh Ki Simun Cermajaya.

Di tahun kemarin, pementasan rutin wayang kulit di Sasono Hinggil akan mengangkat kisah tentang Arjuna. Sayangnya hanya berlangsung hingga bulan Maret 2020. Kasus yang sama juga menimpa pementasan Paguyuban Dalang Muda Sukrakasih. Pagelaran wayang yang rutin digelar tiap akhir bulan di Pendapa Dinas Kebudayaan DIY tersebut, hanya sekali memainkan lakon, yakni pada bulan Februari. Rencananya selama setahun ke depan, tema yang diangkat adalah seri Baratayuda.

Begitu pula dengan pementasan Kethoprak Milenial, program rutin dari Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) dan Tim Pengembangan Kethoprak DIY, beberapa kali memainkan lakon tiap agenda “Kethoprak Rebon” di Societet, Taman Budaya Yogyakarta. Padahal program tersebut, bertujuan untuk mencetak seniman kethoprak muda dan melahirkan kethoprak kekinian.

18

Siasat Pegiat Tradisi di Masa Pandemi

OLEH TAUFIQ NR

Dua bentuk kesenian di atas, yakni wayang kulit purwa dan kethoprak sangat terdampak atas wabah Covid-19. Pandemi global tersebut benar-benar membuat buyar rencana pelaku kesenian, baik dari bidang kethoprak ataupun wayang kulit selama setahun ke depan. Ambil contoh, (alm) Ki Seno Nugroho bersama Warga Laras di awal tahun 2020 hingga bulan Maret masih rutin pentas. Baik tanggapan di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.

Pada awal penetapan status tanggap darurat, kegiatan kesenian di Yogyakarta bisa dibilang sepi. Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY pun sempat menyelenggarakan kegiatan fasilitasi Pentas Seni Budaya daring agar para seniman tetap berkarya di tengah pandemi. Kegiatan kesenian tersebut dipentaskan secara daring melalui akun youtube (@tasteofjogja) milik Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY.

Model pertunjukan secara virtual pun marak digelar. Platform youtube menjadi sasaran utama para seniman tradisi untuk unjuk gigi. Awalnya, jelas untuk mengisi waktu luang di kala pandemi. Pada tulisan ini, akan dibahas dua transformasi kesenian tradisi yang memanfaatkan media sosial youtube. Yakni Sineprak dan Wayang Climen Ki Seno Nugroho.

Page 21: Kreativitas di Masa Pandemi

19

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Siasat Pegiat Tradisi di Masa Pandemi

Sinema dan Kethoprak: Gebrakan Baru Kesenian TradisiSineprak murni muncul untuk mengisi waktu luang di masa pandemi. Bondan Nusantara selaku Ketua Tim Pengembangan Kethoprak DIY mengajak para seniman kethoprak muda untuk berkegiatan di Sineprak. Sineprak sendiri bisa dikatakan sebagai pionir di bidang kethoprak dalam segi virtual.

Yakni, memindahkan jagad kethoprak dalam bentuk film, namun wahana alias mediumnya adalah Youtube. Karena itulah, Sineprak didominasi oleh aktor-aktor muda. Sesuai dengan semangat Tim Pengembangan Kethoprak untuk mengembangkan kethoprak di wilayah Yogyakarta.

Sineprak tetap berprinsip gotong royong. Biar pun tidak bisa dipungkiri, apabila ada bantuan dana, akan dibagi rata sesuai jobdesk masing-masing. Semisal sokongan dana dari Kemendikbud untuk Sineprak. Imbasnya, Sineprak mendapatkan slot pemutaran di TVRI. Minimnya SDM akibat protocol kesehatan, berkonsekuensi pada tanggung jawab ganda. Semisal seorang aktor harus mencari kostum, properti serta survei tempat untuk pengambilan video. Bahkan tata rias pun dilakukan secara mandiri. Selain itu, demi pengembangan kethoprak di Yogyakarta, beberapa aktor pun ada yang menjadi sutradara serta penulis naskah.

Sejak tayang pada bulan Mei 2020, total pengunjung Sineprak mencapai ratusan ribu penonton. Lokasi

pengambilan gambar pun beragam, semisal mereka pernah syuting di Panembahan, Kasongan, Turi dan Gamping. Begitu pula dengan tema yang diangkat.

Beberapa judul yang pernah dimainkan antara lain “Pulung Gandrung”, “Kalangjaya”, “Pati Nyalawadi” hingga produksi terakhir ini adalah lakon “Setan Kober” yang sudah mencapai seri kelima. Video pertunjukan selalu tayang tiap hari Jumat jam 17.00.

Brian Riangga Dhita salah satu seniman yang turut terlibat dalam Sineprak mengungkapkan, bahwa kesenian harus dihidupi dulu, sebelum para seniman hidup dari kesenian. Imbas dari gotong royong untuk memajukan kethoprak di Yogyakarta pun pada akhirnya sedikit terimbas, terutama untuk segi ekonomi tim yang terlibat. Biar pun mayoritas seniman yang aktif di Sineprak, tidak mengandalkan kethoprak sebagai mata pencaharian utama.

Wayang Climenala Warga LarasTidak bisa dipungkiri, bahwa Ki Seno Nugroho pernah menyandang gelar dalang paling populer di Yogyakarta. Jadwal yang padat ditambah pementasannya juga selalu ramai pengunjung, baik di lokasi pertunjukan maupun di dunia maya.

Setelah adanya penetapan status tanggap darurat Covid-19, pertunjukan wayang kulit Ki Seno Nugroho terpaksa harus berhenti. Akan tetapi, Ki Seno Nugroho dan tim karawitannya yakni Warga Laras pun tak kehabisan akal.

“Pandemi global tersebut benar-benar membuat buyar rencana pelaku kesenian, baik dari bidang kethoprak ataupun wayang kulit selama setahun ke depan”

Page 22: Kreativitas di Masa Pandemi

20

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Taufiq NRJENDELA

Sama seperti Sineprak, Ki Seno Nugroho bersama Warga Laras awalnya ingin mengisi waktu luang. Sebagai pegiat kesenian, tentu merasa gatal, setelah lama tidak bersentuhan dengan alat-alat kesenian. Di samping itu, faktor ekonomi juga menjadi alasan utama Ki Seno Nugroho. Maklum, mereka memang hidup dari dunia kesenian. Apabila sepi pementasan, praktis dapurnya “nggak bisa ngepul”. Terutama para penabuh gamelan serta kru Warga Laras.

Pada bulan April 2020, Ki Seno Nugroho berkolaborasi dengan perupa Nasirun. Mereka menggelar pertunjukan wayang climen dalam rangka donasi bagi seniman-seniman yang terdampak. Ketika Ki Seno Nugroho mendalang, Nasirun menyoretkan kuas di atas kanvas, karya tersebut lalu ia beri nama “Wayang Corona”. Total donasi yang masuk mencapai 120 juta, sedang lelang “Wayang Corona” dihargai 50 juta.

Produksi Wayang Climen masih berlangsung sampai sekarang. Sepeninggalan Ki Seno Nugroho, tim Warga

Mereka didukung oleh platform Youtube dengan subscriber mencapai puluhan ribu dan tiap live Youtube selalu dikunjungi hingga ratusan ribu penonton.

Memindahkan kelir ke dalam dunia Youtube pun menjadi ide unik. Mereka menyebutnya dengan “Wayang Climen”. Konsep ini sejatinya pernah dipakai oleh beberapa dalang, salah satunya adalah Ki Jlitheng Suparman. Wayang Climen sendiri adalah konsep pertunjukan wayang kulit purwa yang minimalis. Satu kali pertunjukan hanya melibatkan sekitar 15 orang, sudah termasuk dalang, niyaga, sindhen serta kru.

Konsep tersebut sesuai dengan aturan pemerintah mengenai larangan berkerumun. Penonton bisa menyaksikan pertunjukan wayang melalui youtube. Durasinya pun lebih pendek. Tak lupa juga, Ki Seno Nugroho menyelipkan pesan serta mengajak penonton untuk berdonasi.

Gambar 1.Produksi Sineprak. Foto Brian Riangga Dhita

Page 23: Kreativitas di Masa Pandemi

21

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Siasat Pegiat Tradisi di Masa Pandemi

21

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

Sebut saja, Komedi “Ria Jenaka” di TVRI pada era 1980-an hingga 1990-an, lalu“Ketroprak Humor” di RCTI serta “Kethoprak Sayembara” di TVRI Yogyakarta. Begitu juga dengan wayang kulit, ketika Indosiar rutin menyiarkan pementasan wayang kulit setiap malam minggu pada era 90-an akhir.

Jauh sebelum itu, siaran wayang di radio adalah makanan sehari-hari. Bahkan hingga saat ini, suara Ki Hadi Sugito sayup-sayup terdengar di beberapa stasiun radio Yogyakarta tiap malam hari.

Sineprak jelas “meniru” konsep Kethoprak Sayembara milik TVRI Yogyakarta. Hanya saja, tim produksinya lebih minimalis dan menggunakan platform Youtube. Tapi, semangat Sineprak menjadi berbeda, karena diselenggarakan di tengah pandemi yang minim dukungan. Lalu, keterlibatan seniman muda pun patut diapresiasi. Mereka tidak hanya menjadi aktor. Namun, juga berlatih sebagai penulis naskah dan sutradara.

Di satu sisi, memanfaatkan medium Youtube untuk menyiarkan pementasan wayang, memang sudah terjadi sebelum pandemi. Hanya saja, konsep Wayang Climen yang diselenggarakan secara singkat menjadi daya tarik bagi penggemar Ki Seno Nugroho. Gagasan tersebut akhirnya juga ditiru oleh berbagai dalang.

Pembaharuan di seni tradisi terkadang memang menjadi pertentangan. Setelah terkungkung dalam mitos bahwa wayang adalah kesenian sakral.

Laras tetap menyelenggarakan pertunjukan. Basisnya, tetap ada penanggap, ada pementasan. Mereka tidak melulu menyajikan pertunjukan wayang kulit, terkadang mereka juga menampilkan uyon-uyon.

Apabila mementaskan wayang kulit, dalangnya pun bergantian, entah itu Ki Geter Pamuji, Ki Kiswan Dwinawaekaatau Ni Elisha Orcarus. Bahkan, Ki Gadhing Pawukir, putra (alm) Ki Seno Nugroho pun diberikan ruang untuk mengasah keterampilan bermain wayang bersama Warga Laras.

Adaptasi Warga Laras terhadap pesatnya media digital memang sudah dimanfaatkan dalam beberapa tahun terakhir. Imbasnya, mereka mampu bertahan ketika pandemi global Covid-19 menyerang pundi-pundi perekonomian.

Strategi wayang climen serta donasi terbuka terhitung berhasil dan cukup menghidupi anggota kelompok Warga Laras. Di sisi yang lain, kerinduan para pandhemen wayang pun terobati dengan pentas rutin yang digelar oleh Warga Laras. Baik sebelum atau sesudah wafatnya Ki Seno Nugroho selaku motor utama Warga Laras.

Adaptasi dan Fungsi Kesenian Tradisi di Tengah PandemiTransformasi dari panggung konvensional ke panggung virtual memang bukan hal yang baru bagi dunia kesenian tradisional. Pernah ada masanya, kesenian tradisi merajai televisi.

“Transformasi dari panggung konvensional ke panggung virtual memang bukan hal yang baru bagi dunia kesenian tradisional. Pernah ada masanya, kesenian tradisi merajai televisi.”

Gambar 1.Produksi Sineprak. Foto Brian Riangga Dhita

Page 24: Kreativitas di Masa Pandemi

22

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Namun, satu aspek penting adanya pemanfaatan media sosial seperti youtube adalah pelestarian terhadap kesenian tradisi semakin dikenal secara masif. Mereka dapat menonton kesenian tradisi di mana pun, kapan pun. Ekspresi budaya kesenian tradisi semakin dikenal oleh masyarakat secara luas. Hal tersebut selaras dengan salah satu fungsi suatu media, yakni sebagai sarana penyampaian warisan sosial dan hiburan (Severindan Tankard, 2005:386-388).

Pada akhirnya, kesenian tradisi pun mampu bertahan di tengah pandemi sampai detik ini. Namun dengan catatan, mereka para pelaku kesenian tradisi yang tidak gagap dengan perubahan dunia digital, seperti Sineprak dan Warga Laras.

Lalu bagaimana dengan pelaku seni tradisi yang cenderung kolot dan saklek terhadap pakem?

Semoga saja mereka tidak tergilas oleh perubahan zaman yang begitu cepat. ***

Taufiq NRMenyelesaikan studi di Jurusan Sejarah FIB UGM pada 2015. Pernah terlibat dalam beberapa riset lapangan di bidang sejarah, antropologi, kesenian dan konservasi. Bersama teman-temannya pernah menginisiasi @twit_wayang, akun twitter yang bergerak pada campaign cerita wayang di linimasa twitter.

Literatur

Handung Kussudyarsana. Ketoprak. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

McVey, Ruth, “The Wayang Controversy in Indonesian Communism,” dalam Mark Hobart dan Robert H. Taylor (ed). Context, Meaning, and Power in Southeast Asia. New York: SEAPRAD Institute of Southeast Asian Studies, 1986.

Severin, Werner J. & James W. Tankard, Jr. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Prenada Media, 2005

Beberapa inovasi yang dilakukan kebanyakan tidak diterima oleh masyarakat secara luas. Seperti wayang padat dan Wayang Pancasila. Wayang yang semula adalah ritus dengan identitas magis mulai berubah menjadi kesenian populer (McVey: 1986).

Kethoprak pun sejatinya mengalami transformasi yang begitu panjang. Menurut Handung Kussudyarsana dalam bukunya “Kethoprak”, kesenian kethoprak terbagi ke dalam tiga periode, yakni:

a) Periode 1908-1925, yaitu periode kethoprak lesung dengan tabuhan lesung dan tiprak, tari, tembang, cerita dan pakaian; b) Periode 1925-1927, sebuah periode peralihan dengan ciri tabuhan campur (lesung, rebana, alat musik diatonis), tari, tembang, cerita, pakaian, rias; c) Periode 1927 sampai sekarang, dengan ciri tabuhan gamelan, cerita, tembang, pakaian dan rias.

Konsep wayang climen serta sineprak, memang ide yang menarik. Terutama bagi pegiat seni yang memang bertujuan untuk mengisi waktu luang. Hanya saja, faktor sosok masih sangat berpengaruh. Sosok Ki Seno Nugroho jelas mempunyai daya magis. Lalu bagaimanakah dengan nasib dalang yang notabene belum terlalu populer?

Begitu pula dengan Sineprak yang secara jumlah penonton belumlah terlalu banyak. Kisaran ribuan pengunjung untuk satu video.

Selama setahun penuh, kita disuguhi kesenian yang ditawarkan secara virtual. Sayangnya, beberapa aspek yang penting dalam dunia tradisi harus “dihilangkan”. Kesenian tradisi sepenuhnya adalah kesenian panggung. Hal tersebut tidak bias dipungkiri, pentingnya partisipasi penonton. Jagongan bersama penonton yang lain, tukang dolop, keplok adalah aspek yang “hilang”. Salah satu ruh kesenian tradisi terletak pada penonton. Bagaimana para penonton saling berinteraksi dengan pelaku seni yang tengah “manggung”.

Taufiq NRJENDELA

Page 25: Kreativitas di Masa Pandemi

23

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

Sudah hampir genap satu tahun kita, sebagaimana Parikesit di dalam kutipan puisi saya di atas, mengurung diri di kediaman masing-masing—membatasi diri sebisa mungkin. Jika pun kita tetap harus beraktivitas di luar kita mesti menjaga jarak, menutup mulut dan hidung kita dengan masker, serta membersihkan diri sesering mungkin. Pendeknya pandemi Covid-19 telah membatasi seluruh sendi kehidupan kita, memanggil satu per satu kerabat jauh mau pun dekat kita.

Situasi yang tidak tentu, menakutkan dan mencemaskan ini pelan-pelan telah menjadi sebuah kewajaran baru dan mengubah banyak perilaku, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun aktivitas-aktivitas tertentu kita. Sebagai seniman pertunjukan saya tidak bisa menggelar pertunjukan langsung sebagaimana biasanya. Saya dan kawan-kawan di Teater Garasi mesti bersiasat untuk menggelar karya

Seni dan Pandemi: Renungan Kilat dan Tak KukuhOLEH GUNAWAN MARYANTO

kami di dalam situasi yang serba terbatas ini, salah satunya dengan pertunjukan di dalam jaringan. Kami juga mesti mengubah beberapa program yang sudah berjalan ke dalam jaringan, serta memberikan tekanan yang lebih pada produksi pengetahuan ketimbang produksi karya.

Produksi karya Teater Garasi seperti Multitudeof Peer Gynts1, yang merupakan sebuah kolaborasi seni pertunjukan lintas-Asia yang sudah berjalan 3 tahun mesti kami ubah bentuk pertemuan dan presentasinya ke dalam jaringan. Situasi pandemi membuat kami tidak bisa bertemu dan berproses secara langsung dengan para seniman kolaborator dari berbagai tempat di Asia seperti Sri Lanka, Jepang dan Vietnam. Proyek kolaborasi yang diinisiasi oleh dua seniman mukim Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin dan Ugoran Prasad, ini sedianya akan menggelar kerjanya di bulan Juni dan Juli 2020

23

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Seni dan Pandemi: Renungan Kilat dan Tak Kukuh

Ini hari kita menjadi ParikesitBerminggu-minggu mengunci diri

di menara paling tinggiBerdiam menunggu

kutukan Srenggi padam“ “

Page 26: Kreativitas di Masa Pandemi

24

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Gunawan MaryantoJENDELA

di Yogyakarta dan Jakarta. Dengan berat hati kami mesti mengundur dan mengubahnya menjadi sebuah jejaring pertunjukan di dalam jaringan melalui situs web www.urfearmpg.net.

Pertunjukan yang kami beri tajuk Urfear: Huhu dan Kerumunan Peer Gynt (Urfear: Huhu and the Multitudeof Peer Gynts) ini kami gelar selama satu bulan penuh dari tanggal 31 Oktober hingga 30 November 2020, menyajikan 11 pertunjukan dalam berbagai bentuk yang kami ambil dari kerangka dasar proyek seni yang sebelumnya telah kami gelar di Larantuka, Tokyo dan Shizuoka ini.

Ilustrasi singkat di atas menggambarkan bagaimana kami selaku seniman pertunjukan mesti beradaptasi dan bersiasat di tengah keterbatasan yang tengah berlangsung. Dan jujur saja ini bukan perkara yang mudah. Teater atau seni pertunjukan yang selama ini digerakkan oleh pertemuan-pertemuan langsung tiba-tiba dalam waktu yang singkat mesti mengubah modus pertemuan kami menjadi tidak langsung dan termediasi. Kehadiran penonton yang selama ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah pertunjukan tiba-tiba berubah menjadi user atau akun-akun yang tak bisa kami rasakan kehadirannya lagi.

Perubahan ini tidak sesederhana menjadikan sebuah pertunjukan yang semula langsung menjadi terekam atau disiarkan langsung di dalam sebuah jaringan. Sebagai seorang aktor yang terlibat di dalam proyek seni yang saya sebut di atas saya mencoba mencari jalan bagaimana pertunjukan saya tetap menjadi sesuatu yang hidup dan interaktif sebagaimana sebuah pertunjukan langsung. Saya dan tim Teater Garasi mesti mempelajari nalar yang berlangsung di dalam jaringan internet: pola komunikasi macam apa saja yang berlangsung di sana, bentuk-bentuk apa saja yang memungkinkan bisa berlangsung di dalam jaringan dan sebagainya.

Di dalam jejaring pertunjukan UrFear: Huhu dan Kerumunan Peer Gynt saya mengangkat tema kenabian yang ada di dalam naskah Peer Gynt karya

Gambar 1.Pementasan Teater Garasi dengan aktor Gunawan Maryanto.Foto Tomomi Yokosuka

Page 27: Kreativitas di Masa Pandemi

25

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

25

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Seni dan Pandemi: Renungan Kilat dan Tak Kukuh

Secara pribadi, di luar pertunjukan bersama Teater Garasi di atas, saya juga melakukan beberapa percobaan untuk bisa tetap menjaga kreativitas di masa pandemi—atau hanya sekadar mengisi kebosanan saya di rumah. Pelan-pelan saya mengubah rumah saya menjadi sebuah studio rekaman sederhana di mana saya bisa melakukan percobaan-percobaan suara dari membuat video puisi hingga sandiwara sastra.

Melalui percobaan-percobaan ini saya telah menghasilkan sejumlah video puisi yang saya tayangkan di akun media sosial saya hingga 10 episode sandiwara sastra yang bisa didengarkan di spotify dan platform audio yang lain.

Suara menurut saya adalah salah satu bentuk yang bisa meretas keterbatasan ini. Berkolaborasi dengan Titimangsa Foundation dan Kawan-kawan Media, didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, bersama sejumlah aktor dari berbagai kota dan negara kami menggarap 10 nomor sandiwara yang merupakan alih wahana dari karya sastra penulis terkemuka Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, Putu Wijaya, Eka Kurniawan hingga penulis terkini seperti Felix K. Nesi.

Karya-karya ini masih bisa didengar hingga hari ini di podcast budaya kita. Penciptaan karya ini mengingatkan saya pada budaya audio di masa lalu seperti sandiwara radio yang di satu masa pernah

Henrik Ibsen. Saya memanfaatkan perangkat polling yang ada di dalam jaringan untuk membangun interaksi secara langsung dengan penonton. Dalam nomor Juru Selamat untuk Pemula2 ini saya menggelar secara singkat sebuah proses bagaimana seseorang bisa menjadi Juru Selamat. Di dalam setiap tahapan prosesnya saya mengundang penonton yang hadir untuk memilihkan jalan dari berbagai pilihan yang telah saya sediakan. Alhasil, 8 kali pertunjukan yang saya lakukan semuanya menjadi pertunjukan unik yang berbeda satu sama lain tergantung dari hasil polling penonton.

Siasat ini membuat kehadiran penonton di dalam pertunjukan langsung yang biasa saya gelar lumayan tergantikan. Setidaknya saya bisa merasakan kehadiran dan juga pengaruh dari kehadiran mereka yang maya itu. Seniman kolaborator lain mengambil siasat yang berbeda. Pendeknya kami mengulik sejauh mungkin kemungkinan-kemungkinan yang dibuka oleh pertunjukan di dalam jaringan, tidak hanya sekadar menayangkan sebuah pertunjukan rekaman di sebuah platform digital tertentu. Tentu kami mesti mencari beda sebuah pertunjukan online dengan sebuah penayangan video seni atau video dokumenter yang selama ini sudah berlangsung. Kami mesti bersusah-susah untuk membangun sebuah panggung pertunjukan online tersendiri dan menggelar pertunjukan kami di sana di jadwal tertentu dan tak bisa terulang lagi —sebagaimana sebuah pertunjukan teater pada umumnya.

“Teater atau seni pertunjukan yang selama ini digerakkan oleh pertemuan-pertemuan langsung tiba-tiba dalam waktu yang singkat mesti mengubah modus pertemuan kami menjadi tidak langsung dan termediasi.”

Page 28: Kreativitas di Masa Pandemi

26

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

olehnya. Tetapi di luar itu adakah kemungkinan yang lain? Seperti menggelar pertunjukan langsung dengan penonton yang terbatas dan tetap mengikuti protokol kesehatan. Beberapa pameran seni rupa telah berhasil menggelarnya.

Bagaimana dengan pertunjukan? Atau ini adalah saat kita untuk kembali menengok lingkungan terdekat kita sebagai basis produksi. Pertunjukan-pertunjukan berbasis komunitas barangkali perlu kita tengok lagi? Ataukah ini adalah benar saatnya kita berhenti memproduksi karya dan lebih berfokus pada produksi pengetahuan?

Bagaimana dengan bentuk-bentuk baru yang dihasilkan oleh situasi pandemi ini. Saya kira percobaan-percobaan yang dilakukan oleh banyak seniman mesti kita amati dan segera catat alih-alih kita terserap dalam gempita segala hal yang sedang berlangsung dalam jaringan ini.

Ada banyak hal yang harus dan bisa kita pelajari dari situasi ini. Dari sana pandemi ini akan memiliki makna yang lebih dari sekadar penjara raksasa yang mengungkung kita.

Saya masih berada di sana, di dalam pergulatan pemikiran dan pembacaan saya atas apa yang tengah berlangsung. Sesuatu yang demikian besar menyerap seluruh perhatian kita hari ini. Di samping kita mesti berhadapan dengan persoalan-persoalan yang sangat nyata dan keras: bagaimana kita bisa bertahan.

Dan sebuah pertanyaan baru segera muncul: apakah kesenian bisa menjadi alat pertahanan kita di dalam masa pandemi ini?

menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia kita.

Hari ini, bersama Teater Garasi dan juga secara mandiri saya masih bergelut untuk mewujudkan berbagai rencana ke depan di tengah situasi yang tak kunjung menentu ini. Beberapa rencana untuk berkeliling dan menggelar pertunjukan langsung di beberapa kota dan negara tampaknya mesti kami simpan lagi entah sampai kapan. Dan kami mesti berpuas diri dan memaksimalkan kerja-kerja di dalam jaringan kembali dan mengaktivasi studio kami secara terbatas. Kami tetap berencana untuk membuat kelas-kelas dan workshop offline dengan peserta yang sangat terbatas dan menerapkan protokol kesehatan.

Di tengah pergulatan pikiran dan juga refleksi dari pengalaman-pengalaman yang saya rangkum selama beraktivitas di masa pandemi ini muncul beberapa pertanyaan: 1) Jika pandemi ini terus berlangsung dalam waktu yang lama, dan tampaknya demikian adanya, kerja-kerja seni macam apa saja yang mungkin kita lakukan baik di dalam jaringan atau pun di luar jaringan. 2) Setiap situasi akan memaksa manusia, dalam hal ini seniman, untuk beradaptasi dan menemukan bentuk-bentuk pengejawantahannya yang baru. Apakah pandemi ini juga akan menggiring kita ke sana.

Setidaknya dua pertanyaan itu masih beredar di dalam benak saya. Apalagi ketika sebagian besar dari kita lebih memilih pertunjukan di dalam jaringan sebagai satu-satunya jawaban. Saya tidak sedang menyoal pertunjukan online. Bagaimana pun pertunjukan online telah menjadi salah satu jalan bagi para seniman pertunjukan untuk terus berkarya. Dan kita bisa melihat berbagai kemungkinan yang dibuka

Gunawan MaryantoJENDELA

Page 29: Kreativitas di Masa Pandemi

27

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

`

27

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Seni dan Pandemi: Renungan Kilat dan Tak Kukuh

Sementara di luar

Luka yang dikalungkan bangkai ular

terus berkobar

Mencari jalan kematianmu

Sampai kapan kau akan bertahan

Inilah perburuan terpanjang

dalam hidupmu

Gunawan MaryantoSastrawan, sutradara di Teater Garasi Yogyakarta.

“ “Endnotes

1 Multitudeof Peer Gynts adalah proyek kolaborasi teater lintas-Asia (Indonesia, Jepang, Sri Lanka dan Vietnam) yang diinisiasi oleh Yudi Ahmad Tajudin (sutradara) dan Ugoran Prasad (dramaturg) dari Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Proyek ini telah dipresentasikan dalam format karya-sedang-tumbuh di Larantuka, Flores Timur (Juli, 2019) dan Tokyo, Jepang (September, 2019) serta pertunjukan perdana di Shizuoka, Jepang (November, 2019).

Multitudeof Peer Gynts diproduksi oleh Teater Garasi/Garasi Performance Institute dan Shizuoka Performing Arts Center, didukung oleh Japan Foundation-Asia Center, Saison Foundation, Bekraf, Kemendikbud RI, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Flores Timur. Multitudeof Peer Gynts merupakan salah satu pemenang Ibsen Scholarship 2019.

2 Karya modular dalam UrFear: Huhu dan Kerumunan Peer Gynt ini, merupakan tafsir atas salah satu bagian dalam lakon Peer Gynt karya Henrik Ibsen, berdasarkan konteks dan sejarah sosial di Nusantara. Pertunjukan ini merupakan karya pembuka jejaring pertunjukan individual-modular dalam situs web urfearmpg.net, tanggal 31 Oktober 2020.

Di dalam pertunjukan yang ringan dan jenaka ini saya mengundang penonton (user) terlibat, melalui polling digital secara real time, membantu saya memilih tampilan dan perangkat yang diperlukan untuk menjadi seorang Juru Selamat. Kostum, karakter, kewahyuan, kitab dan bentuk ritual seorang Juru Selamat seperti apa yang saya mainkan ditentukan oleh pilihan penonton.

Page 30: Kreativitas di Masa Pandemi

28

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA Alim BakhtiarS

EN

I BU

DA

YA

YO

GY

AK

AR

TA

28

Sriti Wani:Mimpi, Kepenulisan dan Ketololannya

OLEH ALIM BAKHTIAR

APAKAH 15 tahun merupakan proses yang luar biasa menakjubkan atau sebuah ketololan dari proses menyelesaikan sebuah novel?

Mungkin setiap penulis membuat kesia-siaan sampai ia menuliskan sebuah kata tamat pada tulisannya.

Sriti Wani adalah prosa yang saya kerjakan dalam rentang waktu yang tolol itu. Dalam keruwetan membongkar pasang cerita dan pergantian ilustrasi yang saya kerjakan berselingan.

Saya mengerjakan dua hal yang sebenarnya menjadi keambisiusan yang hampir membuat pengerjaan prosa ini mandeg tak menemukan kemajuan. Karya itu bergerak seperti siput sejak saya memulainya pada semester tiga kuliah di Seni Lukis ISI Yogyakarta.

Suatu rentang yang panjang dan membuat saya sendiri malu ketika harus menceritakannya sebagai sebuah proses kreatif, karena hal itu sangatlah jauh dari ukuran luar biasa dan kreatif. Saya merasa seperti pemain bola yang membuat blunder hingga timnya harus kemasukan bola, dan kebodohan itu berawal ketika saya mengganti tujuan mula proyek itu. Semula saya niatkan menjadi sebuah karya buku bergambar namun akhirnya berkembang jauh menjadi sebuah novel.

Itulah kepongahan yang menjadi awal mula berkepanjangannya pengerjaan Sriti Wani ini. Bermodalkan rasa optimisme darah muda yang membuncah bahwa siapa pun bisa membuat karya prosa, membuat saya berjalan menelusuri labirin berkepanjangan yang membuat ngungun.

Bagaimana tidak, pengerjaan ini begitu menguras energi dan konsentrasi, mengingat saya seringkali terombang-ambing untuk melakukan ulang alik antara berproses dalam sastra dan seni rupa. Basis saya yang saya rasakan lebih familiar dalam proses berkarya visual harus tertatih-tatih melakukan kerja lain yang bernama kepenulisan.

Saya tak bisa mencari pertolongan pada siapa pun selain rasa keras kepala dan rasa masa bodoh bahwa karya ini akan gagal dan sia-sia. Saya yang secara sadar tak mempunyai dasar yang kuat dalam bidang sastra hanya memaksa diri untuk berlatih, menerapkan ilmu rasa ingin tahu, membuat pengamatan pada karya-karya yang pernah ada, dan menerapkan “ilmu maling” untuk mengambil sebanyak mungkin sari pati dari bermacam karya sastra. Untuk kemudian membuat tipuan dengan menyembunyikannya sebaik mungkin dengan menambahkan gaya kepenulisan sendiri.

Page 31: Kreativitas di Masa Pandemi

29

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

Gambar 1.Sriti Wani - Anak anak Angin

Sriti Wani: Mimpi, Kepenulisan dan Ketololannya

Page 32: Kreativitas di Masa Pandemi

30

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Alim BakhtiarJENDELA

Penyempurnaan yang menjadi alasan saya itu pada akhirnya menyeret saya merevisi tanpa henti dan menambah cabang cerita terus menggelembung dengan labirin yang menyesatkan saya sendiri. Saya benar-benar kesal, dan seperti merasakan ada ular besar yang membelit tubuh saya bertahun-tahun, membuat paru-paru saya kembang kembis memompa oksigen.

Sembari bekerja sebagai ilustrator pada sebuah penerbitan kecil di Yogya pada tahun 2013, saya bertekad mengakhiri proses menyebalkan ini, karena saya sudah demikian bosan dan ingin segera meloncat pada karya lain yang selalu terhambat ketika novel ini belum selesai.

Ketika mencoba keluar pada karya lain, saya seperti terhisap kembali dan teringkus pada naskah Sriti Wani. Memang menjelang akhir tahun itu, saya membuat keputusan memamerkan ilustrasi dari novel Sriti Wani di Bentara Budaya Yogyakarta dengan harapan bahwa novel itu akan benar-benar selesai.

Dengan bantuan teman Kiswondo yang membuat pembacaan novel saya dalam katalog, dan juga mengundang Iman Budhi Santosa yang saya anggap sebagai guru juga satu-satunya orang yang bisa saya mintai tolong dalam kondisi kegamangan, pameran itu pun tergelar dengan cukup apik dan mendatangkan respons lumayan besar.

Setelah pesta eksistensi pongah kesenimanan itu berakhir, novel Sriti Wani belum juga mendapatkan respons dari penerbit, dan dengan begitu saya merasa novel ini gagal. Saya pun memperbaikinya kembali untuk nantinya bisa dipertontonkan dengan lebih layak.

Hingga pada tahun berikutnya saya mendapatkan undangan dari Annet Keller, seorang peneliti, penulis warga negara Jerman yang sedang melakukan penelitian mengenai kasus genosida tahun 1965 di Indonesia untuk mengisi kolom sastra anak pada majalah Sudostasien yang edisinya kala itu khusus ditujukan buat menyambut acara Frankfurt Book fair

Jalan ini saya anggap paling masuk akal dan memudahkan proses penulisan hingga saya bisa membuat lompatan cepat dengan memangkas waktu pengerjaan yang saya taksir hanya memakan waktu satu tahun.

Namun satu tahun itu tak pernah terjadi bahkan hingga bertahun-tahun kemudian karya prosa itu belum bisa dirampungkan. Ini adalah sebuah persoalan yang membuat saya terlihat bodoh dan berbalik menanyakan sambil menunjuk pada diri sendiri: apakah benar bahwa setiap orang bisa menulis?

Pengalaman seupil saya dalam berteater, atau berkomunitas seni tidaklah cukup menjadikan saya seorang penulis handal yang luwes memperagakan bermacam jurus sakti kepenulisan.

Hobi iseng saya bersuntuk ria membuat puisi konyol memalukan sewaktu saya berkomunitas di Sanggar Suwung Yogyakarta dan proses workshop serta pementasan teater Oyot Suket bimbingan sang guru Sawung Jabo di Omah Panggung Nitiprayan, tidaklah membuat saya menjadi pendekar unggul dalam menulis. Saya hanya terlihat menyerupai bayi yang baru belajar merangkak namun sudah menyombongkan diri bisa berlari.

Saya menjadi sadar bahwa dalam mengerjakan karya prosa ini saya harus bersiap untuk gagal. Saya bahkan sangat meyakini bahwa sekiranya novel yang sebenarnya hanya sebuah dongeng pengantar tidur.

Pada tahun 2010 sebenarnya karya ini sudah 80 persen siap menjadi picture book, dan kebetulan saya mempunyai kenalan yang sudah menyanggupi untuk diterbitkan pada sebuah penerbitan besar di Jakarta di mana teman saya menjadi salah satu editor.

Proses itu sebenarnya tinggal selangkah lagi apabila saya tidak membuat kekonyolan dengan menarik naskah itu untuk saya sempurnakan kembali. Kesempurnaan yang sebenarnya kabur, karena seperti mengejar ilusi yang hanya ada dalam dunia angan.

Page 33: Kreativitas di Masa Pandemi

31

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Sriti Wani: Mimpi, Kepenulisan dan Ketololannya

31

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

Saya sedikit lega, namun belum bisa segera mengeditnya sampai aku mendapat tawaran pekerjaan untuk sebuah LSM menyangkut proyek lingkungan hidup di wilayah Biak dan Numfor di Papua. Dengan nilai bayaran proyek yang lumayan besar dibandingkan standar LSM lokal saya berniat menjadikannya sebagai modal hidup dan kerja seni saya.

Hampir satu tahun saya mengerjakan proyek ini, dan bersamaan dengan penyelesaiannya saya mendapatkan berita lain yang tak kalah mengejutkan mengenai kabar ibu saya yang mengalami sakit yang tak ringan. Saya meninggalkan Yogya, dan menyediakan waktu sepenuhnya menemani ibu di rumah maupun rumah sakit.

Di sela-sela kesibukan itu saya mencicil mengedit kembali Sriti Wani dengan lebih serius karena mendapat tawaran dari teman editor buku untuk diterbitkan pada penerbitannya. Setelah hampir tujuh bulan bersama keadaan ibuku yang melemah, sembilan puluh persen cerita Sriti Wani selesai saya kerjakan. Ketika ibu saya meninggal di tahun 2016 saya sempat vakum menulis atau menggambar.

Selama waktu menyiapkan kembali ke Yogya saya mengosongkan diri seperti memulai babak baru dari nol. Setelah mengetahui bahwa penerbit teman saya bekerja belum bisa menerbitkan Sriti Wani, saya

2015, di mana Indonesia menjadi tamu kehormatan pada pesta buku paling akbar sejagat tersebut.

Annet yang pada tahun sebelumnya bersama anaknya menyempatkan diri menghadiri acara pameran ilustrasi Sriti Wani memilih sendiri satu bab dari sekian bab naskah Sriti Wani yang saya ajukan untuk diterjemahkan dalam bahasa Jerman.

Dalam edisi ini majalah Sudostasien banyak memuat wawancara atau proses karya beberapa penulis Indonesia juga mewawancarai penerbitan Indie yang cukup mendapat sorotan, dan Sriti Wani menyempil di dalamnya.

Walaupun saya tak menginjakkan kaki di event besar perbukuan itu namun saya cukup berbangga hati ketika salah satu ilustrasi dari novel Sriti Wani dijadikan sampul majalah Sudostasien, dan satu bab dari novel menyebalkan itu dibacakan pada stan majalah itu dengan menghadirkan anak-anak dan pemerhati sastra anak di sana.

Sehabis pemuatan di majalah Sudostasien saya bersemangat untuk benar-benar mengakhiri penggarapan cerita yang terlalu berkepanjangan ini. Saya banyak membuang namun sekaligus menambah cerita yang terkesan bertele-tele. Saya kemudian mencetak dummy cerita itu dan menyusunnya layaknya buku skripsi.

“Saya menjadi sadar bahwa dalam mengerjakan karya prosa ini saya harus bersiap untuk gagal. Saya bahkan sangat meyakini bahwa sekiranya novel yang sebenarnya hanya sebuah dongeng pengantar tidur.”

Page 34: Kreativitas di Masa Pandemi

32

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Kabupaten Ngawi yang menggerakkan masyarakat untuk melindungi mata air dan hutan.

Demikianlah secara rutin setiap tahun saya ikut dalam Festival Kebo Ketan, di mana saya belajar banyak bagaimana sebuah mitos terbentuk dan menghidupkannya dalam masyarakat, juga belajar mengelola sebuah event budaya yang melibatkan banyak komunitas seni.

Ketika wabah corona melanda dunia dan segala event seni budaya, acara seni dan festival terhenti, saya kembali menekuni ilustrasi buku untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dalam situasi ini saya banyak mengerjakan ilustrasi penerbit indie yang mungkin secara materi tidak lebih besar honor saya dari LSM atau kerja event budaya, namun karena keberlanjutannya saya mensyukuri pekerjaan ini di tengah dunia seni rupa dan segala lahan berkesenian terhenti.

Bahkan pada tahun 2020 itu pula saya mengikuti berbagai macam lomba yang sebelumnya jarang saya ikuti. Salah satu lomba itu adalah lomba novel dan webtoon di Kwikku, sebuah platform yang menampilkan karya sastra dan komik dalam medium digital. Yang menjadi menarik adalah bahwa event ini adalah lomba kepenulisan dengan hadiah yang fantastis, bahkan saya rasa paling besar di antara lomba menulis karya sastra lainnya.

kemudian memutuskan diri membantu kenalan ibu mengajar gambar dan mendongeng di sekolah taman kanak-kanak di mana dulu saya bersekolah.

Saya menemukan foto-foto saya semasa kecil yang membangkitkan saya menulis cerita kecil dan konsep buku cerita bergambar. Saya seperti kembali lagi pada dunia kanak-kanak, mengingat proses bersama anak-anak di Sanggar Suwung, pendampingan anak-anak di beberapa desa sewaktu gempa Bantul Yogyakarta, dan masa-masa tahun 2010-an di mana saya memberikan kursus privat menggambar.

Saya pun kembali ke Yogya dan melakukan kerja-kerja ilustrasi buat LSM untuk memulai hidup kembali. Pada masa ini ada tawaran seorang teman untuk kembali mengajukan novel Sriti Wani pada penerbit besar di Jakarta di mana ia mengajukan diri sebagai editor.

Saya tak begitu terkejut apabila naskah novel saya kembali mengalami penolakan karena kegagalan sebelumnya. Saya pun kembali mengedit naskah saya dan saya prin dalam sebuah buku untuk menandai akhir proses Sriti Wani.

Saya mendiamkannya untuk beberapa waktu dengan melakukan kerja lain seperti mengerjakan ilustrasi buku, membuat kerja seni rupa dan melakukan pameran kecil-kecilan. Dalam waktu ini pula saya menggabungkan diri dalam sebuah festival di

Alim BakhtiarJENDELA

Saya rasa 15 tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk pematangan novel ini, dan begitulah nasib sebuah karya di mana tak ada siapa pun yang tahu bahwa akan berakhir seperti apa.

Page 35: Kreativitas di Masa Pandemi

33

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Sriti Wani: Mimpi, Kepenulisan dan Ketololannya

33

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

atau mengangkat tema agama yang pada waktu itu menjadi trending di platform Kwikku.

Saya rasa 15 tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk pematangan novel ini, dan begitulah nasib sebuah karya di mana tak ada siapa pun yang tahu bahwa akan berakhir seperti apa. Ia hadir dan dipupuk tahap demi tahap terus berkembang dengan keras kepala, rasa putus asa, lambungan mimpi-mimpi dan segala kegagalannya. Ada yang berhasil hidup dan menjadi bintang namun lebih banyak lagi yang gagal dan mati selama perjalanannya. ***

Alim BakhtiarPerupa, komikus, ilustrator buku dan pembuat cerita anak.

Semula saya ingin membuat karya komik untuk saya ajukan kategori webtoon, namun karena tenggat waktu yang sangat singkat akhirnya saya mengajukan naskah yang paling siap untuk saya ikutkan, dan Sriti Wani adalah novel yang kemudian saya jagokan.

Saya sadar dalam event dengan hadiah besar tentu akan banyak menarik para penulis populer atau profesional turun gelanggang. Dengan bantuan Greya, seseorang yang paling dekat dan lebih mengerti persoalan dunia digital, kemudian saya melakukan sedikit pengeditan dan penambahan ilustrasi untuk melengkapi novel ini.

Saya sangat terkejut ketika mengetahui bahwa Sriti Wani menjadi juara pertama di Kwikku. Saya sadar bahwa karya ini tidaklah mengangkat tema populer

Gambar 2.Sriti Wani- Wayang Daun Ki Ajar Mlandingan

Page 36: Kreativitas di Masa Pandemi

34

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA Irfanudin GhozaliS

EN

I BU

DA

YA

YO

GY

AK

AR

TA

Menemukan Berkah di Awal Kedatangan Wabah Bulan Desember tahun 2019, saya dan Naoki Nagai diundang oleh seorang pantomimer Jogja bernama Asita Kaladewa untuk terlibat dalam proses penggarapan pertunjukannya yang berjudul Nafas Nafsu. Pertunjukan itu merupakan bagian dari program Jagongan Wagen yang dikelola oleh Padepokan Seni Bagong Kussudiharja yang akan digelar pada bulan Maret tahun 2020. Dalam proses itu, saya diundang sebagai pemantik ide sementara Naoki Nagai diundang sebagai dramaturg dan penata musik.

Nafas Nafsu sendiri adalah pertunjukan pantomim yang menggambarkan kegelisahan Asita tentang relasi personalnya dengan lingkungan alam di sekitar kehidupannya, yang rumit dan membingungkan.

Kami menyusun bentuk pertunjukan itu dari potongan karya lama Asita yang dekat dengan isu yang sedang diangkat. Aspek ruang dan kepenontonan menjadi perhatian kami mengingat program Jagongan Wagen memberikan kemungkinan untuk mengeksplorasi ruang fisik beserta kehadiran penonton yang ada di Padepokan Bagong Kussudiharja. Perlu diketahui bahwa program itu sudah lama dijalankan secara berkala dan rata-rata di setiap pertunjukan bisa dihadiri sekitar 200 penonton.

34

Merawat Kebimbangan sebagai Laku Kreatif

OLEH IRFANUDIN GHOZALI

Di akhir bulan Febuari 2020, pertunjukan Nafas Nafsu sudah mulai menemukan bentuknya. Namun tiba–tiba Presiden Jokowi mengumumkan bahwa di Jakarta sudah ditemukan kasus Covid-19. Kebijakan stay at home diberlakukan. Latihan kemudian terpaksa dihentikan.

Awalnya kami berpikir situasi ini tidak akan berlangsung lama. Tapi dari hari ke hari situasi justru menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Kami akhirnya merelakan jika pertunjukan ini tidak jadi dilanjutkan oleh pihak penyelenggara. Toh bentuknya sudah jadi dan biaya produksinya murah. Kami bisa sewaktu–waktu menggelarnya sendiri kalau situasi benar–benar sudah mereda.

Alih–alih membatalkannya, Padepokan Bagong Kussudiharja sebagai penyelenggara justru mengambil keputusan untuk tetap melanjutkan pertunjukan Nafas Nafsu tapi dengan perubahan bentuk menjadi versi digital. Artinya pertunjukan akan direkam dalam bentuk video dengan pendekatan artistik tertentu dan ditampilkan di kanal Youtube dengan disiarkan secara live streaming.

Naoki dan Asita sempat ragu untuk mengambil tawaran bentuk itu karena khawatir akan mereduksi kualitas karya yang dibayangkan. Saya bisa memahami keraguan Asita dan Naoki. Sebagai

Page 37: Kreativitas di Masa Pandemi

35

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Merawat Kebimbangan sebagai Laku Kreatif

pantomimer yang intens menggeluti pengolahan tubuh sebagai medium karya, tentu mereka sangat meyakini pentingnya pertemuan tatap muka langsung antara aktor dan penonton dalam pertunjukan mereka. Versi digital dikhawatirkan akan meniadakan aspek aura yang mereka yakini menjadi kekuatan karya mereka selama ini. Apalagi dalam pertunjukan ini gerak nafas Asita menjadi material utama karya.

Setelah melewati beberapa pertimbangan Asita dan Naoki akhirnya memutuskan untuk mengambil tawaran itu. Que sera sera, whatever will be will be...

Bentuk yang sudah dirancang sebelumnya kemudian mengalami penyesuaian. Versi digital memaksa tim dokumentasi bekerja lebih keras. Mereka mengubah sudut pandang peran kerja mereka dalam keproduksian. Yang biasanya tugasnya hanya mendokumentasikan peristiwa panggung, kali ini tugasnya lebih jauh masuk ke wilayah artistik.

Saya sebenarnya tidak terlalu berharap apakah karya itu akan mendapatkan sambutan dari publik atau tidak. Selain situasi pandemi yang masih menegangkan, saya juga ragu, apakah versi digital Nafas Nafsu bisa diterima sebagai karya seni pertunjukan atau tidak oleh publik. Saya hanya berpikir dengan mengubahnya menjadi versi digital,

setidaknya karya baru Asita dapat terarsipkan dengan cara yang lebih artistik.

Di luar dugaan, respons penonton melebihi ekspektasi saya. Karya Asita mendapatkan sambutan yang hangat dari publik. Versi digital justru membuat pertunjukan dapat diakses lebih banyak penonton dari berbagai negara. Beberapa jurnalis bahkan mengulas karya Asita secara mendalam. Sampai saat ini saya masih melihat karya Asita adalah karya yang mendapat viewers terbanyak di antara beberapa karya yang ada di channel Youtube PSBK.

Saya tidak membayangkan jika saat itu kami menolak atau menunda tawaran alih media dari penyelenggara, bisa jadi pertunjukan Nafas Nafsu akan kehilangan momentumnya. Saya mengamati fenomena ini tidak hanya terjadi pada karya Asita tapi juga karya lain yang muncul di awal datangnya pandemi.

Pengalaman ini seperti mengingatkan lagi kepada saya bahwa kreativitas dalam seni bukan melulu soal keterampilan mengolah materialitas karya tapi juga keberanian untuk mengubah pandangan lama dan kemauan bersiasat pada momen–momen genting perubahan zaman. Sejarah berkali–kali telah membuktikan bagaimana karya–karya penting lahir dari situasi tersebut.

“Kreativitas dalam seni bukan melulu soal keterampilan mengolah materialitas karya tapi juga keberanian untuk mengubah pandangan lama dan kemauan bersiasat pada momen–momen genting perubahan zaman. Sejarah berkali–kali telah membuktikan bagaimana karya–karya penting lahir”

Page 38: Kreativitas di Masa Pandemi

36

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

rupa yang diselenggarakan tiap dua tahun sekali di Jakarta. Kebetulan saat itu Jakarta Biennale, Biennale Makassar dan Jogja Biennale bekerjasama membuka pendaftaran bagi seniman untuk mengirimkan karya virtual dalam rangka menjaga daya kreativitas di masa pandemi.

Kami mengolah karya itu dengan menggunakan aplikasi Tik Tok. Aplikasi Tik Tok kami pilih karena menjadi aplikasi yang sangat populer ketika pandemi datang. Apalagi tren mengunggah video gerakan tari dengan hastag #dancechallege di kanal Tik Tok sedang marak saat itu.

Aplikasi Tik Tok tidak “sereceh” yang dibayangkan, aplikasi tersebut ternyata sangat potensial digunakan sebagai media kampanye gerakan sosial. Seperti kampanye menentang rasisme di Amerika dan kampanye menolak UU Omnibus Law di Indonesia yang sering ditemui bersliweran di ruang digital Tik Tok.

Meskipun sudah berhasil dipublikasikan, saya merasa karya ini kurang mendapat respon dari publik dan

Jelajah Peluang Baru, Risiko Kegagalan Menyertai Pengalaman mendapatkan berkah di awal datangnya wabah tersebut mendorong saya untuk menjelajahi peluang baru yang bisa dimunculkan di ruang digital. Saya mencoba melihat ulang beberapa ide yang belum terwujud yang sempat saya pikirkan sebelum pandemi datang. Salah satu ide yang saya pungut dan kemudian saya olah adalah ide untuk membicarakan sejarah Senam Kesegaran Jasmani pada masa Orde Baru melalui pertunjukan.

Selain karena merasa ide itu adalah bagian dari hutang kreatif saya, alasan lain yang mendorong saya untuk mengolahnya adalah mulai maraknya gejala olahraga senam di rumah untuk keperluan menjaga daya tahan tubuh di tengah pandemi.

Saya kemudian berinisiatif menghubungi beberapa teman untuk berkolaborasi mewujudkan ide tersebut. Proyek itu kami beri judul Gymnastik Emporium dan kami ajukan ke Jakarta Biennale, sebuah festival seni

Gambar 1.Foto proses penciptaan Gymnastik Emporium. Dok. Abdi Karya

JENDELA Irfanudin Ghozali

Page 39: Kreativitas di Masa Pandemi

37

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

Gambar 2.Foto poster Gymnastik Emporium. Dok. Kurnia Yaumil Fajar

Merawat Kebimbangan sebagai Laku Kreatif

37

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

Page 40: Kreativitas di Masa Pandemi

38

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Ruang digital sangat beragam dan memiliki bahasanya sendiri. Percobaan yang saya lakukan menunjukkan bahwa tidak semua ruang digital bisa digunakan untuk mewadahi karya tertentu. Diperlukan kepekaan untuk menentukan di ruang digital manakah seharusnya karya ditempatkan. Dan kepekaan itu tidak bisa tumbuh seketika. Apalagi untuk para warga pendatang di ruang digital.

Selama pandemi saya juga menerima ajakan kolaborasi dari seniman lain, baik dari kelompok maupun individu. Geger Boyo adalah salah satu kolektif seni yang mengajak saya berkolaborasi. Kolektif Geger Boyo adalah kolektif seni rupa di Jogja yang tertarik membicarakan tradisi budaya Jawa, budaya urban, kaitan keduanya serta hubungannya dengan fenomena sosial politik saat ini. Sebelumnya, saya mengenal kolektif Geger Boyo melalui karya muralnya yang sering saya temui di tembok ruang publik di Jogja.

hanya berhenti menjadi arsip digital. Sebagai warga pendatang di ruang digital Tik Tok, saya merasa kami butuh waktu lebih panjang untuk mengenali jagatnya. Bagaimanapun akun Tik Tok Gymnastik Emporium umurnya masih sangat pendek, tidak seperti akun Youtube PSBK yang sudah lama aktif dan memiliki ribuan subscribers sehingga relatif lebih mudah untuk mendapatkan respon dari publik.

Untuk mendapatkan platform yang tepat, kami kemudian melanjutkan karya itu dengan mendaftarkannya ke Indonesian Dance Festival. Kali ini kami mengajak guru–guru olahraga untuk membuat koreografi dan modul berjudul Senam Keragaman Jasmani (SKJ) untuk merespon senam SKJ. Hasil koreografinya diunggah di channel Youtube milik IDF sementara modulnya kami sebar untuk direspon komunitas– komunitas tari dan senam yang lain. Ada sekitar 10 komunitas dari berbagai daerah di Indonesia yang akhirnya mengunggah karya di Youtube untuk merespon modul yang kami ciptakan.

JENDELA Irfanudin Ghozali

“Aplikasi Tik Tok tidak “sereceh” yang dibayangkan, aplikasi tersebut ternyata sangat potensial digunakan sebagai media kampanye gerakan sosial. Seperti kampanye menentang rasisme di Amerika dan kampanye menolak UU Omnibus Law di Indonesia yang sering ditemui bersliweran di ruang digital Tik Tok.”

Page 41: Kreativitas di Masa Pandemi

39

ED

ISI 1 - 2021

matajendela Merawat Kebimbangan sebagai Laku Kreatif

39

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

dan Budi Gemak untuk menjadi aktor dalam karyanya yang berjudul Maling.

Naskahnya bercerita tentang perhitungan hari baik untuk mencuri berdasar buku Primbon Jawa. Berbeda dengan kolaborasi yang saya alami sebelumnya, yang menekankan bentuk kolaborasi pada segi artistik, kolaborasi kali ini lebih menekankan pada semangat Do It Yourself dalam hal keproduksian untuk menghadapi situasi pandemi.

Dalam rangka mewujudkan gagasan itu, pertunjukan Maling sengaja direkam dan diedit menggunakan HP untuk dipublikasikan melalui kanal Youtube. Kami juga tidak mendaftarkan karya ini ke festival–festival atau program– program pemerintah untuk mendapatkan pendanaan produksi. Untuk membiayai produksi kami menjual tautan privat Youtube karya Maling ke teman–teman kami. Menurut catatan, ada 300 lebih penonton yang membeli karya Maling.

Kami sadar bahwa penonton yang membeli karya Maling adalah penonton berpihak yang bersolidaritas terhadap gerakan kami. Sehingga kami sempat ragu apakah jika kami membuat karya lagi dalam waktu yang dekat tiketnya akan tetap terbeli dengan jumlah yang relatif sama.

Hal itu terjawab ketika kami mencoba mengembangkan ide membuat Web bernama “Potluck Teater” untuk mewadahi karya–karya sutradara lain untuk dijual dengan cara sama. Angka penjualannya ternyata sangat rendah. Berbeda dengan ketika kami menjual karya Maling. Platform itu akhirnya kami hentikan karena jika terus dijalankan akan membebani produksi.

Mereka mengajak saya untuk berkolaborasi membuat karya digital menggunakan aplikasi Instagram berjudul Goro– Goro Geger Boyo. Mereka menyebut bentuk itu sebagai Kethoprak GIF.

Dalam proyek itu saya diundang menjadi penulis naskah. Metode penciptaannya segar dan menantang. Awalnya mereka mengirimkan gambar karakter tokoh ciptaan mereka. Kemudian saya diminta untuk membuat naskah dialog pendek tentang isu sehari–hari di masa pandemi berdasar karakter tokoh yang mereka kirim.

Saya diberi kebebasan untuk memilih karakter tokoh, menentukan latar waktu dan ruang untuk membuat naskah dialog pendek dengan durasi maksimal penayangan di kanal Instagram selama satu menit.

Ada 13 karakter tokoh yang disodorkan kepada saya. Dari sana tercipta 23 naskah dialog pendek dengan menggunakan bahasa Jawa sehari-hari. Naskah dialog pendek yang saya hasilkan kemudian saya serahkan kepada mereka untuk divisualisasikan. Mereka juga menjadi pengisi suara dialog karakter tokoh yang ada dalam cerita. Hasil akhirnya berupa gambar bersuara yang diunggah di kanal Instagram milik Geger Boyo. 23 karya yang sudah jadi tidak diunggah sekaligus tapi diunggah satu per satu setiap harinya. Cara itu berhasil mengolah rasa penasaran followers Instagram Geger Boyo untuk terus mengikuti unggahan karya setiap harinya.

Ajakan kolaborasi yang agak berbeda datang dari Agnes Christina. Agnes adalah penulis naskah dan sutradara teater dari Jakarta yang memutuskan hijrah untuk berkarya di Jogja. Agnes mengajak saya

Page 42: Kreativitas di Masa Pandemi

40

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Gambar 3.Foto Festival Arsip IVAA “Ephemera”Dok. IVAA

kehadiran karya di tengah publik membuat banyak seniman terpaksa bermigrasi ke ruang digital. Hal ini memungkinkan bentuk kolaborasi menjadi lebih beragam. Risiko kegagalan menjadi hal yang wajar mengingat di masa seperti ini adalah waktunya melakukan percobaan untuk mengakumulasi pengetahuan.

Kualitas pertemuan tatap muka langsung memang tidak bisa digantikan dengan pertemuan virtual. Tapi di sisi lain saya juga tidak bisa menolak hadirnya kenyataan baru. Bayangkan jika selama setahun pandemi ini saya tidak mencoba bermigrasi ke ruang virtual, mungkin saya akan mengalami frustasi.

Merawat hasrat berkarya dengan cara tatap muka langsung sekaligus hasrat untuk berkarya di ruang digital secara bersamaan bisa menjadi pilihan di tengah ketidakpastian kapan pandemi ini akan berakhir. Barangkali dari sana percikan kreatif itu akan muncul.

Di luar hal itu masih banyak persoalan penting yang muncul sebelum dan sesudah pandemi datang yang perlu dibicarakan, sebab akan berdampak pada proses krestif di masa depan. Seperti persoalan UU ITE dan munculnya peraturan pelarangan untuk berpendapat di ruang terbuka yang muncul akhir–akhir ini. ***

Irfanudin GhozaliSeniman pertunjukan

Merindukan Luring di Tengah Obsesi Menguasai Daring Menjelang akhir tahun saya sudah merasa kelelahan dengan kerja–kerja seni virtual. Saya mulai merindukan pertunjukan dengan cara tatap muka langsung. Di penghujung tahun 2020 saya terlibat merancang Festival Arsip yang diselenggarakan oleh lembaga IVAA. Hal yang sama ternyata juga dirasakan oleh tim Festival Arsip IVAA yang lain. Kami lalu mencoba menyelenggarakannya dengan format luring.

Kami mengajak warga kampung Dipowinatan untuk mengolah arsip mereka sendiri untuk ditampilkan dalam Festival Arsip IVAA. Kebetulan kantor IVAA juga berada di kampung Dipowinatan.

Kali ini Festival Arsip IVAA mencoba meletakkan program bukan pada ukuran jumlah kerumunan dan keramaian tapi pada pertemuan dan lintasan pengetahuan sesama warga. Format luring melepaskan rasa penat kami dari keriuhan ruang digital, meskipun begitu rasa was–was tertular virus selalu membayangi. Pandangan lama yang menilai keberhasilan festival dari ukuran jumlah kerumunan dan keramaian juga masih membayangi sebagian publik ketika mengamati festival ini. Kami terpaksa mengupayakan diseminasi pengetahuan melalui kanal medsos untuk menanggapi hal itu.

Saat pandemi datang, keinginan untuk tetap menjaga

Irfanudin Ghozali

Page 43: Kreativitas di Masa Pandemi

41

ED

ISI 1 - 2021

matajendela

Gambar 3.Foto Festival Arsip IVAA “Ephemera”Dok. IVAA

Page 44: Kreativitas di Masa Pandemi

42

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA