22
KAJIAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN SUBPRIME TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Dosen: Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Tugas Ujian Akhir Triwulan MANAJEMEN FINANSIAL Disusun oleh : Andi Yoshendy P056110743.40E PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN DAN BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

krisis asia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

krisis asia tahun 2009

Citation preview

  • KAJIAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN SUBPRIME TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

    Dosen:

    Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS

    Tugas Ujian Akhir Triwulan

    MANAJEMEN FINANSIAL

    Disusun oleh :

    Andi Yoshendy P056110743.40E

    PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN DAN BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2012

  • i | H a l

    Daftar Isi

    Daftar Isi ................................................................................................................................................... i

    Daftar Gambar ......................................................................................................................................... ii

    Daftar Tabel ............................................................................................................................................ ii

    Abstract ...................................................................................................................................................iii

    BAB 1 Pendahuluan ............................................................................................................................ 1

    1.1 Tujuan Penulisan ..................................................................................................................... 1

    1.2 Struktur Penulisan .................................................................................................................... 2

    BAB 2 Krisis Subprime di Amerika Serikat ........................................................................................... 3

    2.1 Globalisasi Keuangan Global ................................................................................................... 3

    2.2 Krisis Keuangan AS ................................................................................................................. 3

    2.3 Kebangkrutan Lembaga Keuangan AS ..................................................................................... 5

    2.4 Kaitan Krisis Subprime dengan Pasar Keuangan Global ........................................................... 6

    BAB 3 Kajian efek krisis terhadap Ekonomi Global dan Indonesia ....................................................... 8

    3.1 Dampak Krisis Finansial AS terhadap Perekonomian Global .................................................... 8

    3.2 Dampak Krisis terhadap Sektor Finansial ............................................................................... 10

    3.3 Dampak Krisis terhadap Sektor Riil ........................................................................................ 11

    3.4 Dampak Krisis terhadap Asia Tenggara dan Indonesia ........................................................... 14

    BAB 4 Kajian Situasi di Masa Depan ................................................................................................. 16

    4.1 Pelajaran dari Krisis Global .................................................................................................... 16

    4.2 Pemikiran Alternatif ................................................................................................................ 16

    Daftar Pustaka ....................................................................................................................................... 18

  • ii | H a l

    Daftar Gambar

    Gambar 1 Kronologi Krisis Ekonomi Global-------------------------------------------------------------------------------- 1

    Gambar 2 Perkembangan KPR yang Bermasalah di AS --------------------------------------------------------------- 4

    Gambar 3 Kronologis Krisis Subprime -------------------------------------------------------------------------------------- 5

    Gambar 4 Spread LIBOR Rate dan T-Bills --------------------------------------------------------------------------------- 6

    Gambar 5 Skema Dampak Krisis terhadap Perekonomian Global --------------------------------------------------- 8

    Gambar 6 Keadaan Index Saham Regional ------------------------------------------------------------------------------- 9

    Gambar 7 Perkembangan Nilai Tukar Regional ASEAN --------------------------------------------------------------- 9

    Gambar 8 Indeks Saham Eropa, Jepang dan AS ----------------------------------------------------------------------- 11

    Gambar 9 Pertumbuhan Ekonomi Dunia ---------------------------------------------------------------------------------- 12

    Daftar Tabel

    Tabel 1 Komparasi Dampak Krisis Global tahun 2008 dengan Krisis yang Pernah Terjadi ------------------ 12

    Tabel 2 Komparasi Kebijakan Moneter dan Fiskal pada Krisis tahun 1998 dan 2008 ------------------------- 15

  • iii | H a l

    Abstract

    This paper is a compilation of several literatures that explains about US sub-prime crisis and its effect

    towards regional ASEAN and Indonesia. Sub-prime financial crisis is said to be the most severe financial

    crisis after great depression on 1929. It is because the crisis started from the United States, the biggest

    economy of the world and a country that has a very developed financial systems and economy. This

    paper explains source of the crisis which was due to imprudent and uncontrolled instrument of financial

    derivatives. Also it explains the transmission mechanism for crisis to spread towards economy in Europe

    and remaining of world, including ASEAN and Indonesia. The impact on Indonesia economy is relatively

    limited compared to other countries in ASEAN region. It was mainly due to factors such as relatively

    strong domestic economy and low export ratio to GDP, that helps protect Indonesia from crisis exposure.

    Also, appropriate monetary and fiscal policy was taken at that time, as a result from learning of East Asia

    1998 crisis. In the end, this paper discusses some insight into Indonesian priorities and alternative

    thought on financial system.

    Keywords: economic crisis, Indonesia economy

  • 1 | H a l

    BAB 1 Pendahuluan

    1.1 Tujuan Penulisan

    Ekonomi dunia yang makin lama makin terintegrasi, meliputi liberalisasi di dalam pasar

    keuangan, yang berupa hilangnya penghalang bagi perpindahan modal dan investasi. Leverage

    keuangan semacam ini sangat berkembang, sehingga membuat perekonomian suatu negara ataupun

    kawasan sangatlah rentan terhadap hal-hal yang memicu krisis finansial. Setelah mengalami

    peningkatan ekonomi global yang cukup tinggi selama kurang lebih lima tahun, ekonomi dunia

    mengalami hantaman krisis pada bulan September 2008. Pertumbuhan ekonomi dunia yang ada pada

    level 5.2% pada tahun 2007, mengalami penurunan menjadi 3% pada tahun 2008 dan menurun terus

    menjadi -1.3% pada tahun 2009. Krisis yang sering disebut sebagai subprime crisis ini ditengarai

    sebagai krisis keuangan yang terburuk sejak Great Depression pada tahun 1930-an.

    Gambar 1 Kronologi Krisis Ekonomi Global

    Sumber: Sakti (2009)

    Krisis keuangan ini berbeda dengan krisis finansial lain yang pernah terjadi pada beberapa

    dekade belakangan ini bukan hanya karena luas dan dampaknya, tapi juga karena asal dari krisis ini.

    Krisis yang bersifat global mempengaruhi hampir seluruh negara di dunia dan dampaknya sangat besar.

    Pusat dari krisis ini bukanlah negara-negara yang kecil perekonomiannya, tapi adalah Amerika Serikat

    yang merupakan perekonomian terbesar dan pusat perekonomian dunia, dan negara yang memiliki mata

    uang yang paling dominan, yaitu US Dollar, serta memiliki sistem keuangan yang paling maju dan

    canggih di seluruh dunia.

  • 2 | H a l

    Salah satu kawasan yang terkena dampak dari krisis keuangan global ini adalah kawasan Asia

    Pasifik dan secara khusus bagi Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian atau ringkasan

    atas beberapa Paper yang telah dipublikasikan yang membahas tentang krisis keuangan global, dampak

    bagi Indonesia, serta saran untuk mengantisipasi atau menghindari dampak krisis di masa yang akan

    datang.

    1.2 Struktur Penulisan

    Masing-masing Paper mungkin tidak mencakup keseluruhan isi yang penulis sebutkan, tapi

    penulis akan menyajikan materi yang relevan dari masing-masing Paper pada tulisan ini sehingga

    memberikan gambaran utuh bagi tulisan ini.

    Bagian selanjutnya akan membahas tentang penyebab krisis keuangan global di tahun 2007-

    2008, dilanjutkan dengan pemaparan pengaruh dari krisis pada negara-negara kawasan Asia Tenggara.

    Bagian selanjutnya secara khusus memberikan kajian atas dampak krisis bagi Indonesia sendiri, dan

    diakhiri dengan saran-saran antisipasi dampak negatif dari krisis, terutama dari perspektif perekonomian

    Indonesia.

  • 3 | H a l

    BAB 2 Krisis Subprime di Amerika Serikat

    2.1 Globalisasi Keuangan Global

    Globalisasi adalah proses transformasi ekonomi dan struktural multidimensi, yang biasanya

    terkait dengan meningkatnya arus modal, barang, jasa dan knowledge melintasi batas negara. Serta

    timbulnya serangkaian struktur organisasi dan infrastrukutur untuk mengakomodasi transaksi dan

    aktivitas ekonomi internasional tersebut.

    Selanjutnya, globalisasi telah mendorong integrasi perekonomian antar negara melalui

    liberalisasi perdagangan, deregulasi sektor keuangan dan arus Foreign Direct Investment (FDI) oleh

    transnational corporation (TNC). Globalisasi membuka kesempatan dan peluang bagi negara dengan

    pendapatan rendah dan menengah, melalui terbukanya akses ke pasar global, peningkatan arus FDI,

    integrasi negara-negara ke dalam global value chain (GVC) atau global production network (GPN), serta

    akselerasi transfer teknologi, baik teknologi proses dan produk.

    Meningkatnya saling ketergantungan antar negara mendorong tingginya kerentanan terhadap

    kejutan ekonomi global yang terjadi di luar kendali dari tiap-tiap negara. Negara berkembang beresiko

    untuk terkunci di dalam siklus bisnis dan sektor keuangan. Peningkatan integrasi perekonomian negara

    tidak disertai dengan mekanisme dan tata kelola (governance) institusi global yang bertugas untuk

    mengantisipasi dan mengendalikan ketidak seimbangan, menangani kegagalan pasar, serta

    mengkoordinasikan aliran barang, jasa dan modal internasional baik untuk FDI atau aliran investasi

    portfolio.

    2.2 Krisis Keuangan AS

    Miranti (2009) memaparkan bahwa Bank of International Settlement (BIS) dalam laporan tahunan

    tahun 2008 menyebutkan bahwa akar dari hampir seluruh krisis keuangan adalah pinjaman yang

    berlebihan (excessive) dan diberikan tanpa kehati-hatian (prudent) dari bank. Untuk kasus Amerika

    Serikat (AS), krisis dipicu oleh gagal bayarnya (default) atas pinjaman yang excessive dan imprudent

    yang diberikan oleh, misalnya, Washington Mutual bagi banyak pembeli rumah (KPR) yang memiliki

    resiko tinggi di AS.

    Bank biasanya hanya mau memberi KPR kepada nasabah yang kemungkinan gagal bayar

    utangnya kecil, karena keadaan ekonominya prima, atau mereka yang disebut prime customers. Karena

    banyaknya bank yang memberi KPR ke nasabah prima, bunganya rendah, keuntungan bagi bank pun

    kecil. Maka bank mulai memberi KPR kepada nasabah yang keadaan ekonominya tidak stabil atau

    subprime customers. Risiko gagal bayar utangnya besar, tetapi bunga pinjamannya tinggi. Bank

  • 4 | H a l

    biasanya tidak selalu membukukan KPR-nya. Di dunia finansial modern, bank dapat menggunakan KPR-

    nya sebagai jaminan atas surat utang yang dijualnya ke investor.

    Dalam kasus Washington Mutual, pinjaman perumahan ini lalu dibuatkan surat utang lalu dijual

    ke institusi penjamin kredit (Fannie Mae dan Freedie Mac) untuk mendapatkan dana tambahan.

    Selanjutnya, institusi penjamin tadi mengumpulkan hak tanggungan dan dibuatkan satu instrumen

    keuangan yang dinamakan Mortgage Backed Securities (MBS) dan dijual ke pasar saham Wall Street.

    Wall Street selanjutnya melakukan re-package atas MBS ini ke dalam instrumen derivatif lainnya yang

    dinamakan Collateralized Debt Obligation (CDO).

    Melalui mekanisme ini, bank tidak menghadapi risiko penunggakan hutang lagi, karena telah

    "menjual" hutang tersebut ke investor. Bank bisa mengambil keuntungan dari selisih antara jumlah KPR

    yang diberikan ke debitor (misalnya US$1 juta) dan harga CDO yang dijual ke investor (misalnya

    US$1.02 juta). Investor tentu menerima bunga dari CDO yang dibelinya (misalnya 5.0% per tahun). Pada

    saat itu jumlah KPR di AS sekitar US$ 10 trilliun dan sekitar US$ 1.2 trilliun adalah KPR subprime (tidak

    prima). Dari US$1,2 triliun KPR subprime, sekitar US$460 miliar telah dijual dalam bentuk CDO ke

    investor di seluruh dunia.

    Pada awal tahun 2004, suku bunga dollar AS atau sering disebut Fed Funds Target Rate (FFTR)

    hanya 1%, sehingga pada debitor subprime masih mampu mencicil KPR. Krisis terjadi ketika bank

    sentral AS menaikkan FFTR dari 1% pada Mei 2004 menjadi 5.25% pada Juni 2006. Akibatnya para

    debitur subprime, yang pada umumnya memang berpenghasilan pas-pasan mulai mengalami gagal

    bayar dan menunggak KPR-nya dalam skala yang besar (Gambar 2). Pada saat yang hampir

    bersamaan, harga sektor properti AS juga jatuh. Akibatnya, lembaga keuangan penyalur KPR banyak

    yang merugi, bahkan beberapa di antaranya gulung tikar.

    Gambar 2 Perkembangan KPR yang Bermasalah di AS

  • 5 | H a l

    Gagal bayar dan tindakan pengambilalihan meningkat tajam sejalan dengan berakhirnya periode

    suku bunga tetap di awal pinjaman, sementara adjustable rate mortgage (ARM) menjadi lebih tinggi.

    Kredit dengan ARM memberi kemudahan bagi debitur dengan memberlakukan suku bunga rendah untuk

    satu periode waktu tertentu (initial grace period), yang diikuti dengan pemberlakuan suku bunga pasar

    untuk periode berikutnya.

    Suku bunga rendah dan derasnya aliran dana asing menciptakan situasi pasar kredit yang

    kondusif beberapa tahun sebelum krisis. Tingkat kepemilikan rumah di AS tumbuh 69.2% pada tahun

    2004 dibandingkan dengan tahun 1980. Kredit subprime memberi kontribusi besar pada peningkatan

    pemilikan rumah dan besarnya permintaan di sektor properti. Antara tahun 1997 hingga 2006, harga rata-

    rata rumah di AS melonjak hingga 124%. Gelembung (bubble) di sektor perumahan mulai terbentuk.

    Tingginya permintaan akan rumah memicu harga rumah meningkat . Persyaratan kredit yang cukup

    longgar dan ekspektasi bahwa harga rumah akan terus meningkat mendorong banyak debitur kategori

    subprime untuk mengajukan kredit dengan ARM.

    Gambar 3 Kronologis Krisis Subprime

    Spekulasi di sektor properti memainkan peranan penting dalam terbentuknya bubble.

    Bank/kreditur terus menawarkan pinjaman kepada debitur bahkan debitur yang masuk kategori risiko

    tinggi, termasuk imigran ilegal. Gagal bayar di kelompok subprime pada pertengahan tahun 2007, yang

    kemudian memicu pecahnya bubble di sektor properti.

    2.3 Kebangkrutan Lembaga Keuangan AS

    Permasalahan yang muncul dari kasus gagal bayarnya subprime mortgage menimbulkan

    pertanyaan peran lembaga rating. Selama ini, CDO dan MBS berbasis subprime selalu mendapatkan

  • 6 | H a l

    rating di atas investment grade. Rating ini diberikan karena memang lembaga-lembaga keuangan yang

    mengeluarkan CDO dan MBS telah melakukan praktik manajemen resiko yang lazim seperti over

    collateralization (memberi jaminan berlebihan saat berhutang), atau adanya jaminan jika kredit

    mengalami default. Tingginya rating mendorong investor membeli sekuritas berbasis subprime sehingga

    turut membiayai terjadinya bubble di sektor properti. Antara pertengahan 2007 sampai pertengahan 2008

    lembaga rating menurunkan credit rating bagi MBS sehingga membuat harga saham perusahaan yang

    memiliki banyak MBS jatuh.

    Gagal bayar di sektor pinjaman subprime menyebabkan jatuhnya nilai aset MBS dan mendorong

    bank investasi besar di AS mengalami kerugian besar. Pada September 2008 Lehman Brothers

    menyatakan bangkrut, sementara Bear Sterns dan Merril Lynch diambil alih kepemilikannya oleh bank

    lain. Kolapsnya 3 dari 5 bank investasi terbesar di AS, menambah ketidakstabilan di pasar keuangan

    global. Dua bank investasi lainnya yaitu Morgan Stanley dan Goldman Sachs memilih beralih menjadi

    bank komersial. Penurunan nilai aset MBS mendorong investor pemegang CDO mengalami kerugian

    cukup besar. Perusahaan asuransi seperti American International Group (AIG) dan MBIA menghadapi

    potensi kerugian yang cukup besar dari kepemilikan CDO. Bahkan AIG sampai harus mendapatkan dana

    talangan dari pemerintah AS karena memiliki eksposur besar senilai US$ 440 milliar.

    2.4 Kaitan Krisis Subprime dengan Pasar Keuangan Global

    Produk MBS nilai pasarnya didasarkan pada pembayaran KPR dan harga rumah. Dengan

    produk ini lembaga keuangan dan investor di seluruh dunia dapat berinvestasi di pasar properti AS.

    Lembaga keuangan dan perbankan di seluruh dunia memiliki investasi cukup besar di produk ini.

    Meluasnya penyebaran krisis berdampak pada terjadinya kesulitan likuiditas dan solvabilitas di pasar

    keuangan global.

    Gambar 4 Spread LIBOR Rate dan T-Bills

    Ditambah lagi dengan meningkatnya tingkat ketidakpercayaan di kalangan pelaku pasar

    keuangan karena belum jelasnya besar kerugian yang akan terjadi dan tingginya potensi gagal bayar

  • 7 | H a l

    counterparty. Kondisi ketatnya likuiditas tercermin dari meningkatnya tingkat suku bunga London

    Interbank Offered Rate (LIBOR) (Gambar 4).

    Dilaporkan bahwa antara 1 Januari hingga 1 Oktober 2008 pemilik saham di perusahaan AS

    telah menderita kerugian senilai US$ 8 triliun. Krisis yang melanda perbankan juga memicu terjadinya

    credit crunch karena timbulnya krisis kepercayaan dari sikap prudent perbankan. Perbankan saling tidak

    percaya untuk menyalurkan kredit seiring dengan tingginya kekhawatiran gagal bayar. Ketidakpercayaan

    tersebut mendorong semakin ketatnya persyaratan kredit yang dikeluarkan oleh bank.

    Pemaparan lebih lanjut atas dampak krisis finansial AS terhadap perekonomian global akan

    disajikan pada bagian berikutnya.

  • 8 | H a l

    BAB 3 Kajian efek krisis terhadap Ekonomi Global dan Indonesia

    3.1 Dampak Krisis Finansial AS terhadap Perekonomian Global

    Di bagian sebelumnya telah diterangkan bahwa krisis finansial AS terjadi karena gagal bayar dari

    peminjam KPR subprime, yang berimbas pada efek derivatif yang terkait dengan pinjaman tersebut. Hal

    ini menciptakan perilaku menghindar (risk aversion) karena krisis kepercayaan diantara pelaku pasar

    finansial sehingga terjadi krisis likuiditas di pasar keuangan. Sehingga dampak ikutan krisis finansial

    global dapat digambarkan seperti Gambar 5 berikut ini.

    Gambar 5 Skema Dampak Krisis terhadap Perekonomian Global

    Kondisi krisis di AS selanjutnya membuat para konsumen di AS dan Eropa kehilangan daya beli.

    Selain efek pada perekonomian individu, krisis ini juga berimbas pada kelesuan aktivitas bisnis di mana

    para pelaku bisnis menghadapi pasar keuangan yang menjadi sulit bagi akses ke pembiayaan (karena

    pasar sekarang makin meningkatkan tingkat risk aversion), baik bagi pembiayaan melalui perbankan atau

    mendapat dana pihak ketiga melalu pasar modal. Aktivitas bisnis yang lesu berakibat pula bagi para

    pekerja, berupa turunnya lapangan pekerjaan dan PHK, dan nantinya makin menurunkan daya beli

    masyarakat.

    Krisis di AS dan Eropa menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke negara-negara emerging market

    yang sebagian besar ada di Asia. Transmisi krisis dari negara barat ke negara emerging market

    diterangkan sebagai berikut (BI, 2009).

  • 9 | H a l

    1. Jalur gangguan di pasar uang internasional

    Situasi ketatnya likuiditas mengakibatkan sulitnya pendanaan termasuk yang menuju emerging

    markets. Krisis kepercayaan dan risk aversion membuat pemodal berpindah dari asset yang

    dipandang beresiko ke asset yang dianggap lebih aman (flight to quality). Bursa saham di Asia pasca

    jatuhnya Lehman Brothers bulan September 2008 mengalami penurunan index yang sangat tajam

    (Gambar 6).

    Gambar 6 Keadaan Index Saham Regional

    Gambar 7 Perkembangan Nilai Tukar Regional ASEAN

    Dampak lainnya adalah tekanan depresiasi nilai tukar mata uang regional terhadap dolar AS yang

    berkepanjangan (Gambar 7). Untuk menahan kemerosotan nilai tukar lebih besar lagi, maka

    beberapa negara harus mengeluarkan cadangan devisanya untuk melakukan intervensi pada pasar

  • 10 | H a l

    valas. Cadangan devisa yang semakin menipis dan defisit transaksi berjalan yang semakin melebar

    pada gilirannya semakin meningkatkan risiko terjadinya gagal bayar (default). Beberapa negara

    seperti Islandia, Afrika Selatan, Hungaria, Ukraina, Belarusia, dan Pakistan sampai harus meminta

    bantuan finansial dari IMF.

    Tapi secara umum, dapat dikatakan dampak dari krisis finansial ini ke emerging markets cukup

    terbatas. Hal ini disebabkan karena rendahnya eksposur perekonomian emerging markets terhadap

    aset yang terkait dengan subprime mortgage AS.

    2. Jalur makroekonomi

    Transmisi dampak melalui jalur makroekonomi merupakan dampak ikutan dan dapat berjalan melalui

    beberapa jalur:

    a. Perdagangan dan harga komoditas

    Memiliki pengaruh besar jika negara-negara AS dan Eropa merupakan mitra dagang utama.

    Kelesuan di negara-negara tersebut membuat anjloknya harga komoditas dan menurunnya

    ekspor karena lemahnya permintaan global.

    Firdaus (2010) melakukan kajian atas dampak krisis terhadap ekspor produk agrisbisnis

    Indonesia. Krisis ekonomi global telah memberikan dampak yang signifikan bagi ekspor

    produk agribisnis, yaitu pada periode 2008 2009 dan lalu meningkat kembali tahun 2009

    2010.

    b. Remittances

    Lapangan kerja yang makin menurun, membuat pekerja migran tidak dapat memperoleh

    akses ekonomi di negara barat, yang pada akhirnya menurunkan jumlah remittances yang

    dikirimkan ke negara emerging markets.

    c. Foreign Direct Investments (FDI)

    Terjadi hambatan finansial, dimana perusahaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan

    akses likuiditas termasuk pembiayaan eksternal. Juga keadaan risk aversion menyebabkan

    perusahaan sulit untuk melakukan ekspansi

    d. Hibah

    Dana bantuan dari negara maju yang biasanya berbentuk hibah akan turut mengalami

    penurunan sejalan dengan melemahnya perekonomian negara maju.

    3.2 Dampak Krisis terhadap Sektor Finansial

    Di pasar keuangan, perdagangan bursa saham melemah seiring realisasi profit emiten yang

    memburuk dan menurunnya kepercayaan terhadap counterparty. Indeks saham Dow Jones mencatat

    rekor tertinggi pada Oktober 2007 di level 14,164 kemudian menurun tajam dengan level terendah

    sebesar 7,552 pada November 2008 atau selama 13 bulan telah terjadi penurunan indeks sekitar 46%.

  • 11 | H a l

    Kejatuhan yang sama segera menyebar hingga mencapai pasar saham di seluruh dunia. Di pertengahan

    tahun 2008, tiga bursa saham utama dunia (AS, Kawasan Euro, Jepang) memasuki fase bearish

    (Gambar 8).

    Gambar 8 Indeks Saham Eropa, Jepang dan AS

    Jika dibandingkan dengan krisis tahun 1998 di Asia, terjadinya gejolak pasar keuangan

    mengakibatkan pelarian modal asing dari negara-negara berkembang yang signifikan. Gejolak keuangan

    tersebut terutama sangat memukul pasar modal Asia. Pada September 1998, indeks harga saham Asia

    merosot tajam, dari 348.38 pada Juli 1997 merosot menjadi 104.06 pada September 1998 atau turun

    sekitar 70%. Demikian pula dengan indeks saham negara emerging market, dari 561 pada Juli 1997

    menjadi 240.31 pada Agustus 1998 atau merosot sekitar 52%.

    Namun, penurunan indeks saham di negara emerging market pada tahun tersebut masih relatif

    rendah dibandingkan dengan krisis yang terjadi saat ini yaitu sekitar 66%, sementara penurunan indeks

    harga saham di Asia sedikit lebih besar dibandingkan dengan krisis saat ini yaitu sekitar 67%.

    3.3 Dampak Krisis terhadap Sektor Riil

    Krisis keuangan global tahun 2008 juga berdampak pada perkembangan ekonomi dunia yang

    tumbuh melambat dibandingkan dengan tahun 2007 (Gambar ). Di AS, perekonomian terkontraksi pada

    triwulan III-2008 dan semakin dalam pada triwulan IV-2008 sebagai imbas dari krisis perumahan yang

    meluas menjadi krisis keuangan dan merambat ke sektor riil. Anjloknya harga rumah dan bursa saham,

    serta melonjaknya pengangguran semakin menekan konsumsi domestik yang merupakan sektor utama

    penggerak ekonomi AS. Tingkat pengangguran di AS pada Desember 2008 mencapai 7,1% yang

    merupakan level tertingginya sejak tahun 1992. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dari 5,2%

    pada tahun 2007 menjadi 3,4% di tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi negara maju mengalami

  • 12 | H a l

    perlambatan yang cukup tajam. Aktivitas ekonomi negara maju mulai mengalami perlambatan sebagai

    dampak meluasnya krisis keuangan ke sektor riil.

    Gambar 9 Pertumbuhan Ekonomi Dunia

    Krisis keuangan yang terjadi tahun 2008 ini dinilai memiliki kesamaan dengan krisis tahun 1929,

    yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran yang tinggi yang

    berlangsung selama bertahun-tahun. Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam terutama

    terjadi di AS, pertumbuhan ekonomi AS tahun 1929-1932 melambat sekitar 31% dibandingkan dengan

    tahun 1929.

    Sedangkan krisis tahun 1998 berdampak pada penurunan permintaan domestik di negara-negara

    berkembang dan pada gilirannya menurunkan kinerja ekspor dan tingkat keyakinan konsumen dan

    investor di negara-negara maju. Sebagai akibatnya, kelompok negara maju pada tahun 1998 mencatat

    pertumbuhan ekonomi yang melambat. Krisis ekonomi yang hampir meluas ke seluruh wilayah dunia

    mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dunia merosot tajam dari 3.5% pada tahun 1997 menjadi 2.6%

    pada tahun 1998.

    Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa krisis global yang terjadi khususnya pada sektor

    finansial secara umum memberikan dampak terhadap perekonomian yang relatif sama dibandingkan

    dengan krisis yang terjadi pada tahun 1929, namun dengan kedalaman, sebaran dan periode pemulihan

    yang berbeda.

    Tabel 1 Komparasi Dampak Krisis Global tahun 2008 dengan Krisis yang Pernah Terjadi

    No Dampak Krisis 97 dan 98 Great Depression (1929-

    1932) Krisis tahun 2008

    1 Pasar keuangan beberapa Negara

    mengalami gejolak.

    Hal tsb akibat

    berbagai faktor yg

    Oktober 1998. indeks

    harga saham di Asia

    merosot sangat tajam.

    Selama tahun 1997-1998

    indeks Asia dan emerging

    Pada tahun 1929. indeks harga

    saham Dow Jones menurun

    39%. Penurunan indeks Dow

    Jones berlangsung s.d. tahun

    1933. Upaya untuk

    Indeks harga saham di AS. Eropa

    dan Jepang dalam satu tahun

    terakhir menurun masingmasing

    sekitar 47%. 51.5% dan 55.6%.

    Sementara indeks saham Negara

  • 13 | H a l

    No Dampak Krisis 97 dan 98 Great Depression (1929-

    1932) Krisis tahun 2008

    berdampak pd

    merosotnya indeks

    harga

    saham,bangkrutnya

    perusahaanyg

    menyebabkan

    pengurangan

    karyawan.

    market menurun

    masingmasing sebesar

    70% dan 52.7%.

    Bangkrutnya perusahaan

    menyebabkan tingkat

    pengangguran yg tinggi

    rata-rata sekitar 7% (AS).

    menstabilkan sektor keuangan

    berlangsung cukup lama.

    antara lain blm terdapatnya

    banking deposit insurance di

    AS pada periode tersebut.

    Bangkrutnya perusahaan

    menyebabkan tingkat

    pengangguran sangat tinggi (th

    1929-1932. 10.000 bank

    bangkrut).

    Tingkat pengangguran AS: th

    1930 meningkat dr 3.2%

    menjadi 8.7%. th 1931

    penggangguran kembali

    meningkat menjadi 15.9%

    mencapai puncaknya th 1933

    sebesar 24.9%.

    berkembang dan Asia menurun

    sekitar 60%. Penurunan indeks

    saham lebih tinggi dibandingkan

    dengan Great Depression.

    Bangkrutnya perusahaan

    menyebabkan tingkat

    pengangguran meningkat.

    Tingkat pengangguran di AS pd

    th 2008 meningkat hingga

    mencapai sekitar 7.1% tertinggi

    sejak 1992. namun dampak

    krisis keuangan global ke Asia

    relatif kecil tercermin sedikitnya

    jumlah karyawan bank yang di

    PHK.

    2 Perlambatan pertumbuhan

    ekonomi dunia, sbg

    dampak meluasnya

    krisis keuangan,

    menurunnya

    kesejahteraan rumah

    tangga dan kinerja

    ekspor.

    Perlambatan

    pertumbuhan ekonomi

    (1997-1998) di negara

    berkembang dari 5%

    menjadi 2.5%. negara

    maju dari 3.5% menjadi

    2.6% dan perlambatan

    pertumbuhan ekonomi

    dunia dari 4.0% menjadi

    2.5% (sumber WEO.

    Januari 2009).

    Perlambatan pertumbuhan

    ekonomi yg cukup tajam

    terutama terjadi di AS.

    pertumbuhan ekonomi AS

    tahun 1929- 1932 melambat

    31% dibandingkan dengan

    tahun 1929.

    Perlambatan pertumbuhan

    ekonomi dari 2007-2008 di

    negara berkembang dari 8.3%

    menjadi 6.3%. negara maju dari

    2.7% menjadi 1% dan

    perlambatan pertumbuhan

    ekonomi dunia dari 5.2%-3.4%

    (sumber WEO. Januari 2009).

    3 Menurunnya kinerja neraca pembayaran.

    Hal tsb a.l. akibat

    perubahan harga

    komoditas akibat

    melambatnya

    perekonomian dunia,

    disamping itu gejolak

    nilai tukar

    menyebabkan

    tergerusnya

    cadangan devisa

    Volume perdagangan

    dunia menurun tajam

    dari 10.3% menjadi 4.7%

    (sumber: WEO Januari

    2009).

    Volume perdagangan dunia

    menurun Volume perdagangan dunia

    menurun dari 7.2% menjadi

    4.1% (sumber: WEO Januari

    2009).

    4 Tekanan inflasi global antara lain akibat

    depresiasi nilai tukar

    Laju Inflasi (1997-1998) di

    negara berkembang dari

    13.4% menjadi 12.8%.

    negara maju dari 2.1%

    menjadi 1.4% dan inflasi

    dunia dari 6.1% menjadi

    5.5%. negara berkembang

    Asia: 4.99%-8.64%.

    ASEAN; 5.26% meningkat

    tajam menjadi 25.33%

    (sumber: WEO. Januari

    2009)

    Menurunnya kesejahteraan

    rumah tangga menyebabkan

    daya beli yang menurun

    berdampak pada deflasi di AS

    sekitar tahun 1932.

    Laju Inflasi (2007-2008) di

    negara berkembang dari 6.4%

    menjadi 9.2%. negara maju

    dari2.1% menjadi 3.5% dan

    inflasi dunia dari 4%- 6%.

    (sumber WEO. Januari 2009)

    Sumber: Bank Indonesia, 2009

  • 14 | H a l

    Dilihat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi, krisis yang terjadi saat ini berdampak lebih

    meluas dibandingkan dengan krisis yang terjadi pada periode sebelumnya. Dampak terbesar dari krisis

    terjadi di negara maju dan berimbas ke negara berkembang. Sementara perlambatan pertumbuhan

    ekonomi yang terjadi pada tahun 1929 (terutama terjadi di AS, UK dan Jerman) memerlukan waktu

    pemulihan yang cukup lama. Respons kebijakan yang relatif tepat dari sisi intensitas, timeliness dan

    luasnya koordinasi diharapkan dapat meredam dampak lanjutan yang terlalu dalam. Dengan perbedaan-

    perbedaan tersebut, kedalaman dampak yang ditimbulkan dan periode pemulihan krisis relatif berbeda,

    apalagi dengan melihat faktor tingkat kemajuan teknologi informasi komunikasi (ICT) dan arus globalisasi

    saat ini yang begitu tinggi.

    3.4 Dampak Krisis terhadap Asia Tenggara dan Indonesia

    Saw (2011) memaparkan bahwa Asia Tenggara terbebas dari awal krisis karena institusi

    keuangan di kawasan ini tidak banyak memiliki instrumen keuangan yang bermasalah dibandingkan

    dengan institusi keuangan di AS dan Eropa. Yang terasa adalah turun drastisnya tingkat permintaan dari

    mitra perdagangan di negara-negara maju. Tiba-tiba saja perekonomian beberapa negara di kawasan

    tumbuh dengan tingkat yang melambat, dan yang lain mengalami kontraksi dan permintaan global

    menurun drastis. Banyak perusahaan yang harus bekerja keras untuk tetap survive, dan tingkat

    pengangguran meningkat tajam.

    Pada puncak resesi di tahun 2009, beberapa negara di kawasan mengalami tingkat pertumbuhan

    negatif: Thailand (-2.2 persen), Kamboja (-2.0 persen), Malaysia (-1.7 persen), Singapura (-1.3 persen)

    dan Brunei (-1.2 persen). Berlarut-larutnya kemelut politik di Thailand pada saat yang bersamaan,

    ditambah dengan turunnya jumlah kedatangan wisatawan mancanegara, makin memperburuk resesi

    yang terjadi di kawasan ini. Untuk negara kaya-minyak Brunei, kontraksi ekonomi terjadi sebagian besar

    karena menurunnya hasil ekspor minyak bumi karena jatuhnya harga minyak mentah dunia. Ekonomi

    pada lima negara lainnya pada tahun 2009 mulai mengalami ekspansi, tapi dalam kecepatan yang lebih

    lambat daripada sebelumnya.

    Hal yang sangat menguntungkan adalah bagi Indonesia di mana perekonomiannya ditopang oleh

    permintaan dalam negeri, tetap melaju dengan pertumbuhan ekonomi 4.5 persen per-tahun. Demikian

    juga dengan negara yang memiliki perekonomian tertutup seperti Myanmaar yang masih tumbuh 4.4.

    persen per tahun dan Vietnam dengan 5.3 persen. Bagi Philipina karena berkurangnya remmitance dari

    tenaga kerja migran, Philipina hanya membukukan pertumbuhan yang kecil yaitu 0.9 persen.

    Respon segera yang dilakukan negara-negara Asia Tenggara adalah menjalankan stimulus fiskal

    dan moneter yang ditujukan untuk mendorong permintaan dalam negeri dan mencari cara untuk

    sesegera mungkin keluar dari krisis dan pemulihan. Beruntung negara di kawasan Asia Tenggara sudah

    pernah mengalami krisis yang dahsyat sebelumnya, di tahun 1997 1998, dimana negara ASEAN

    setelah krisis tadi melaksanakan reformasi ekonomi yang memberikan suatu mekanisme fiskal dan

  • 15 | H a l

    moneter yang dapat menangkal pengaruh krisis global. Berbagai program stimulus yang dijalankan

    terbukti cukup ampuh untuk mengantisipasi dan mencegah dampak buruk resesi bagi perekonomian

    negara, dan membuat negara ASEAN dapat berkembang lebih baik pada tahun 2010 dan selanjutnya

    dibandingkan dengan perkembangan sebelum krisis.

    Untuk Indonesia sendiri, krisis ini bukanlah pertama kalinya, karena pada tahun 1998 Indonesia

    sudah merasakan krisis yang secara langsung menghantam perekonomian nasional. Krisis tahun 2008

    ini berbeda dari 10 tahun yang lalu dalam hal: sumber krisis (dari AS dan Eropa vs. masalah fundamental

    dalam perekonomian Indonesia, kondisi sektor keuangan (kondisi sektor perbankan tahun 1998

    sangatlah rentan dibanding sangat regulated pada tahun 2008 lihat Tabel 2), kehati-hatian dari para

    pelaku ekonomi untuk melakukan penjagaan atas asset mereka untuk menghindari eksposur yang besar,

    serta yang terakhir adalah situasi politik (kepercayaan kepada Pemerintah tinggi vs. kepercayaan kepada

    Pemerintah mencapai titik terendah pada krisi 1998).

    Tabel 2 Komparasi Kebijakan Moneter dan Fiskal pada Krisis tahun 1998 dan 2008

    Krisis tahun 1998 Krisis tahun 2008

    Kebijakan moneter: sangat ketat. BI meningkatkan tingkat

    suku bunga setinggi mungkin. Tingkat suku bunga deposito

    mencapai 60 persen pada puncak periode krisis. Berkaitan

    dengan likuiditas, Pemerintah menjalankan tight money

    policy.

    Kebijakan moneter: Suku bunga BI diturunkan 300 basis point

    dari 9.5 persen menjadi 6.5 persen. Kebijakan likuiditas tidak

    terlalu ketat.

    Kebijakan fiskal: menganut kebijakan surplus budget, yang lalu

    direvisi untuk membiarkan adanya defisit budget yang besar

    Kebijakan moneter: Suku bunga BI diturunkan 300 basis point

    dari 9.5 persen menjadi 6.5 persen. Kebijakan likuiditas tidak

    terlalu ketat.

    Penyehatan perbankan: peraturan kehati-hatian bank sangat

    lemah. NPL mencapai 27 persen. LDR mencapai lebih dari 100

    persen

    Penyehatan perbankan: peraturan kehati-hatian bank sangat

    ketat. NPL kurang dari 4 persen, LDR 77 persen dan CAR

    sekitar 17 persen

    Kebijakan perbankan: terjadi penutupan atas 16 bank

    bermasalah, yang lalu menyulut rush

    Kebijakan perbankan: penjaminan simpanan meningkat bagi

    simpanan Rp 100 juta menjadi Rp 2 milliar per rekening

    Kebijakan lebih fokus untuk reformasi struktural dengan

    menjalankan liberalitasi ekonomi, menghilangkan monopoli

    dan pemberian lisensi

    Mengatur dengan membuka perdagangan bebas

    Kebijakan nilai tukar: managed floating. Para pelaku pasar

    tidak terbiasa dengan adanya perubahan resiko dari nilai tukar

    dan tidak melaksanakan hedging

    Kebijakan nilai tukar: flexible. Para pelaku pasar sudah

    terbiasa dengan perubahan yang terjadi pada resiko nilai

    tukar.

    Sumber: Saw, 2010

    Hal ini membuat dampak dari krisis subprime tahun 2008 ini tidak terlalu berakibat banyak bagi

    Indonesia, dan dengan mudah dapat segera bangkit lagi. Indonesia memang terkena dampak dari krisis

    terutama nilai ekspor ke negara Eropa dan AS yang menurun tajam. Tapi dampak krisis di Indonesia

    terlihat terbatas jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan, termasuk Malaysia, Singapura dan

    Thailand. Dua hal berpengaruh besar untuk menangkal efek negatif dari krisis di Indonesia, yaitu:

    kebijakan BI dan Pemerintah yang tepat sasaran, serta nilai ekspor Indonesia yang relatif kecil

    dibandingkan GDP.

  • 16 | H a l

    BAB 4 Kajian Situasi di Masa Depan

    4.1 Pelajaran dari Krisis Global

    Basri dan Rahardja (2010) mengungkapkan bahwa salah satu pelajaran penting yang dapat

    diambil dari krisis global adalah pentingnya bagi Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara orientasi

    ekspor dan ekonomi domestik. Peranan ekonomi domestik sangat penting untuk mengamankan

    stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Krisis finansial global juga menggarisbawahi

    perlunya suatu perekonomian untuk memiliki beberapa struktur perekonomian sendiri yang terlepas dari

    struktur global, yang terbukti cukup ampuh untuk bertahan dari krisis. Harus ada upaya yang konsisten

    dan terencana untuk mengembangkan dan mempertahankan tingkat yang aman dari struktur itu pada

    perekonomian domestik, jika kita tidak ingin perekonomian Indonesia terlalu tergantung pada pelaku

    pasar atau instrumen keuangan global, sehingga sangat rentan jika terjadi suatu guncangan atau krisis.

    Pertanyaan berikutnya adalah apakah kebijakan menyeluruh yang mendorong ekspor dan

    sekaligus mendukung penguatan ekonomi domestik? Patut menjadi perhatian adalah posisi geopolitik

    Indonesia sebagai negara kepulauan. Banyak studi yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa karena

    posisi negara kepulauan, membuat biaya logistik dan transportasi di Indonesia jauh lebih tinggi

    dibandingkan transportasi di negara daratan. Hal ini tentu saja meningkatkan biaya produksi. Dan juga

    effisiensi yang masih rendah, seperti penelitian oleh Ray (2008) yang menunjukkan biaya di pelabuhan

    Tanjung Priok masih jauh lebih mahal dan lebih tidak effisien dibandingkan dengan pelabuhan

    Chittagong, Port Klang atau Singapura. Dan juga produktivitas di pelabuhan Jakarta hanyalah setengah

    dari produktivitas di Singapura atau Tanjung Pelepas (Malaysia).

    Jadi yang perlu dibenahi adalah infrastruktur fisik, yang dapat membuka jalan bagi kemakmuran

    bangsa. Baik di darat, antar pulau maupun udara. Selain itu juga soft infrastructure seperti

    pembenahan birokrasi, kelancaran perijinan dan kemudahan investasi, kepastian peraturan dan hukum

    dan menurunkan biaya melakukan bisnis merupakan keharusan untuk mempercepat roda perekonomian.

    4.2 Pemikiran Alternatif

    Krisis finansial global memperlihatkan bahwa fenomena kuatnya sistem keuangan valuta asing,

    margin trading, transaksi produk derivatif (misalnya CDO dan MBS) membuat uang sudah kehilangan

    fungsi utamanya sebagai alat tukar. Ketika uang menjadi komoditi, dalam waktu yang relatif singkat dan

    tanpa kerja keras atau riil dapat memberikan keuntungan yang mungkin bisa tidak terhingga bagi pemilik

    modal dan pelaku pasar valas. Keadaan ini menyebabkan semakin banyak spekulan yang dapat

    mengatur pola distribusi uang beredar dan berpengaruh negatif terhadap kinerja ekonomi secara

    keseluruhan. Pada saat seperti itu, sistem perekonomian Islam dapat menjadi alternatif pemecahan.

  • 17 | H a l

    Menurut Soekarno (2010) uang dalam sistem moneter Islam secara tegas tidak boleh menjadi

    komoditas. Uang sebagaimana fungsinya harus menjadi alat tukar. Fungsi uang sebagai alat tukar

    secara luas dimaksudkan untuk menghapuskan ketidakadilan dan kezaliman dalam ekonomi tukar

    menukar atau barter yang banyak mengandung riba. Nabi Muhammad SAW menyetujui uang sebagai

    alat tukar dan tidak menganjurkan model ekonomi barter karena dapat mengarahkan pada munculnya

    bentuk-bentuk kezaliman. Karena itulah, penegasan al-Quran dalam surat al-Muthaffifin 83 : 1-3 dan al-

    Isra -17 : 35 dapat bermakna bahwa standar nilai ukuran harus dijalankan tanpa adanya pengurangan

    dan penambahan. Demikian pula, uang dapat merupakan faktor produksi yang mempunyai potensi untuk

    berkembang dan menciptakan nilai lebih dengan cara diinvestasikan ke dalam praktek ekonomi sektor

    riil.

    Dalam pandangan Islam, uang memiliki flow concept, harus selalu berputar dalam perekonomian.

    Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan

    masyarakat, dan akan semakin baik perekonomian. Munculnya perkembangan instrument keuangan

    syariah dengan skema keuangan investasi yng etis dan keuangan syariah di berbagai belahan dunia

    seperti yang dilakukan oleh Citibank, StandardChartered, dan HSBC merupakan solusi atas

    permasalahan kerentanan system moneter kapitalisme. Oleh karena itu model investasi dalam investasi

    syariah sebenarnya bukanlan investasi dalam jangka pendek, melainkan dalam jangka panjang dengan

    tujuan untuk mengoptimalkan sumber daya uang yang ada termasuk untuk kelanjutan usaha secara

    mikro dan memberikan kemakmuran ekonomi secara makro.

  • 18 | H a l

    Daftar Pustaka

    Alcorta, Ludovico dan Frederick Nixson (2011), The Global Financial Crisis and the Developing World:

    Impact on and Implications for the Manufacturing Sector, United Nations Industrial Development

    Organization (UNIDO) Working Paper 06/2010

    Bank Indonesia, Laporan Perekonomian tahun 2007,

    http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian+Indonesia/lpi_20

    07.htm. Diakses tanggal 3 Mei 2012

    Bank Indonesia, Laporan Perekonomian tahun 2008,

    http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian+Indonesia/lpi_20

    08.htm . Diakses tanggal 3 Mei 2012

    Basri, Muhammad Chatib dan Sjamsu Rahardja. (2010), The Indonesian Economy amidst the Global

    Crisis Good Policy and Good Luck, Asean Economic Bullettin Vol. 27, No. 1 (2010) pp 77 97

    Firdaus, Muhammad. (2010) How Severely did the Global Economic Crisis Affect Indonesian

    Agribusiness Exports? Paper dipublikasikan pada

    web.ipb.ac.id/~fem/index.php/download.html?.. (diakses tanggal 2 Mei 2012)

    Ray, David. (2008) Indonesian Port Sector Reform and the 2008 Shipping Law, Report for USAID,

    SENADA Project , August 2008

    Sakti, Ali. (2009), Islamic Economic: Challenges and Opportunities of Monetary Authority in the Global

    Financial Crisis Paper disajikan pada Public Lecture Series diadakan oleh Centre of Islamic

    Economics and Business, Faculty of Economics, University of Indonesia, Depok, Indonesia,

    February 18, 2009

    Saw, Swee-Hock (ed) (2011), Managing Economic Crisis in Southeast Asia. Kumpulan paper yang

    disajikan pada Conference on Managing Economic Crisis in Southeast Asia, 29 Januari 2010 di

    Singapura. Institute of Southeast Asian Studies

    Soekarno, Winoto (2010). Uang dan Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Islam (Bercermin dari

    Kerentanan Sistem Moneter Kapitalis). Paper dipublikasikan pada

    research.amikom.ac.id/index.php/JM/article/download/663/256 (diakses tanggal 1 Mei 2012)