35
KRITERIA KEMATANGAN PASCAPANEN PISANG RAJA BULU DAN PISANG KEPOK DANANG SUTOWIJOYO DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

KRITERIA KEMATANGAN PASCAPANEN PISANG RAJA BULU … · bananas yang dikonsumsi segar dengan contoh pisang Raja Bulu dan kedua jenis pisang plantain dengan contoh pisang Kepok. Tujuan

Embed Size (px)

Citation preview

KRITERIA KEMATANGAN PASCAPANEN PISANG RAJA BULU DAN PISANG KEPOK

DANANG SUTOWIJOYO

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

2

3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Raja Bulu dan Pisang Kepok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Danang Sutowijoyo A24090131

4

ABSTRAK DANANG SUTOWIJOYO. Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Raja Bulu dan Pisang Kepok. Dibimbing oleh WINARSO DRAJAD WIDODO. Pisang merupakan salah satu buah unggulan nasional. Pisang terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan cara mengkonsumsinya. Pertama, jenis pisang bananas yang dikonsumsi segar dengan contoh pisang Raja Bulu dan kedua jenis pisang plantain dengan contoh pisang Kepok. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kriteria kematangan pascapanen buah pisang Raja Bulu dan pisang Kepok dari beberapa umur petik buah dan menentukan saat panen terbaik untuk penanganan pascapanen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tua umur petik, semakin cepat mencapai kematangan pascapanen. Pada tingkat kematangan warna kulit skala 5, umur petik pisang menunjukkan kematangan yang berbeda-beda. Pada pisang Raja Bulu dan Kepok pengaruh nyata terlihat pada umur simpan, persentase susut bobot, persentase bagian buah yang dapat dimakan (edible part), kandungan asam tertitrasi total, dan kandungan vitamin C. Berdasarkan hasil analisis statistik, saat panen terbaik untuk penanganan pascapanen dalam rangka memperpanjang umur simpan pada pisang Raja Bulu adalah 95 hari sedangkan untuk pisang Kepok adalah 110 hari. Kata kunci : Masa simpan, pisang konsumsi olahan, pisang konsumsi segar,

proses kematangan, varietas.

ABSTRACT

DANANG SUTOWIJOYO. Post-harvest Maturity Indices of Raja Bulu Banana and Kepok Banana. Supervised by WINARSO DRAJAD WIDODO. Bananas are one of the leading fruit nation wide. Bananas are divided into 2 types based on the consumption. First, type the consumption of fresh bananas with banana varieties Raja Bulu samples and second type of processed plantain bananas with banana varieties Kepok samples. The purpose of this research is to study maturity indices studied post-harvest Raja Bulu banana and Kepok banana of some age picking fruit and determining the best harvesting time for postharvest handling. Observations that have been made show that the greater the picking age negatively correlated with the length of shelf life. At maturity level 5 color scale, picking bananas indicates different maturation process. At Raja Bulu Banana and Kepok Banana, apparent influence of shelf life observations, the percentage weight loss, percentage of edible parts, content of total tertitration acid, and content of vitamin C. Based on the results of the statistical analysis, the best harvest for post harvest handling in order to extend the shelf life on Raja Bulu Banana is 95 days, while for Kepok Banana is 110 days. Key words : Fresh bananas consumption, maturation process, plantain bananas

consumption, shelf life, varieties.

2

KRITERIA KEMATANGAN PASCAPANEN PISANG RAJA BULU DAN PISANG KEPOK

DANANG SUTOWIJOYO

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

2

3

Judul Skripsi : Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Raja Bulu dan Pisang Kepok Nama : Danang Sutowijoyo NIM : A24090131

Disetujui oleh

Dr Ir Winarso D. Widodo, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc. Agr. Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

2

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan judul Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Raja Bulu dan Pisang Kepok.Skripsi ini merupakan bagian dari tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Fakultas Pertanian Institut pertanian Bogor. Skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih antara lain, kepada Dr Ir Winarso D. Widodo, MS sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan pengarahan selama awal penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai, Dr Ir Ketty Suketi, MSi dan Prof Dr Ir Sobir MSi sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi serta Ir Adolf Pieter Lontoh MS, sebagai pembimbing akademik yang banyak memberikan motivasi dan nasehat selama tiga tahun masa perkuliahan di departemen Agronomi dan Hortikultura.

Ucapan terima kasih disampaikan penulis kepada Papa Yusuf Muarif, Mamah Tutik Handayani, Adik Diajeng Sintho Hapsari, Adik Muhammad Giri Noto, dan keluarga besar atas semangat, kasih sayang, dan doa yang tiada henti. Ucapan terima kasih yang terakhir penulis sampaikan kepada Wika Diannisa Purnomo yang setia menemani, membantu, dan memberikan semangat selama penelitian, para sahabat, diantaranya Azmi Syamin Ritonga, Ihsan Nur Khomar, Khoerur Roziqin, Reza Ramdan Rivai, Willy Monika Yohansyah dan Yodi Martin yang memberi semangat dan doa. Beserta Sahabat - sahabat dari BEM Fakultas Pertanian Kabinet Gaharu, BEM KM IPB Kabinet Berkarya, Keluarga Socrates AGH 46, dan nama - nama lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Bogor, Juli 2013

Danang Sutowijoyo

3

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Botani Pisang 3

Manfaat dan Karakteristik Pisang 3

Indeks Kematangan Pascapanen Pisang 4

Kerusakan Pascapanen Pisang 5

Perencanaan Panen dan Pascapanen 5

METODE PENELITIAN 7

Tempat dan Waktu 7

Bahan dan Alat 7

Metode 7

Pelaksanaan Percobaan 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Umur Simpan 11

Kriteria Matang Pascapanen pada Skala Warna 5 13

Kondisi Fisik (Kekerasan, Susut Bobot, Edible Part) pada Skala Warna 3 sampai dengan 7 14

Kondisi Kimia (PTT, ATT, Vit C) pada Skala Warna 3 sampai dengan 7 16

KESIMPULAN 19

DAFTAR PUSTAKA 20

RIWAYAT HIDUP 23

4

DAFTAR TABEL

1 Umur simpan pisang Raja Bulu 11

2 Umur simpan pisang Kepok 11

3 Kriteria matang pascapanen pada skala warna 5 pisang Raja Bulu 13

4 Kriteria matang pascapanen pada skala warna 5 pisang Kepok 13

DAFTAR GAMBAR

1 Proses persiapan buah 8

2 Indeks skala warna kematangan pisang 9

3 Kondisi fisik pada skala warna 3 sampai dengan 7 12

4 Gejala serangan penyakit 13

5 Perubahan kekerasan kulit buah, susut bobot, dan edible part pisang

Raja Bulu pada skala warna 3 sampai dengan 7 15

6 Perubahan kekerasan kulit buah, susut bobot, dan edible part pisang

Kepok pada skala warna 3 sampai dengan 7 15

7 Kandungan PTT, ATT, dan Vit. C pisang Raja Bulu pada skala 3 sampai

dengan 7 17

8 Kandungan PTT, ATT, dan Vit. C pisang Raja Bulu pada skala 3 sampai

dengan 7 17

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pisang merupakan salah satu buah unggulan nasional. Buah ini sangat memasyarakat karena dapat dikonsumsi kapan saja dan oleh segala tingkatan usia dari balita hingga manula. Daerah penyebaran pisangpun sangat luas. Pisang ditanam di pekarangan dan sebagian sudah diusahakan dalam bentuk perkebunan. Produsen utama buah pisang meliputi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Banten, dan Sumatera Utara (BPS 2010). Perkembangan produksi nasional buah pisang 15 tahun terakhir cenderung meningkat dari 3.8 juta ton (1995) hingga mencapai 5.8 juta ton (2010) dengan nilai ekonomi sebesar Rp 6.5 triliun. Produksi tersebut sebagian besar dipanen dari pertanaman rakyat seluas 269 000 ha (Direktorat Jendral Hortikultura 2010). Peluang pengembangan agribisnis pisang masih terbuka luas (Cahyono 2009). Perkembangan kebun rakyat dan industri olahan di daerah sentra produksi, dapat memberikan peluang perluasan kesempatan berwirausaha dan kesempatan kerja. Untuk keberhasilan usaha tani pisang, selain penerapan teknologi, penggunaan varietas unggul dan perbaikan varietas harus dilaksanakan. Varietas unggul yang dimaksud adalah varietas yang toleran atau tahan terhadap hama dan penyakit penting pisang, mampu berproduksi tinggi, serta mempunyai kualitas buah yang baik dan disukai masyarakat luas. Buah pisang banyak dijumpai di pasar modern, supermarket dan pasar tradisional. Namun sering dijumpai buah pisang secara visual tidak menarik seperti kulit yang kehitaman, terdapat bintik-bintik kecoklatan, tergores maupun rusak. Hal ini terkait dengan karakter pisang sebagai buah klimakterik yang mudah rusak (perishable) karena masih berlangsungnya proses respirasi walaupun sudah dipanen. Kondisi demikian mengakibatkan nilai jual pisang jatuh yang berimbas pada rendahnya pendapatan petani (Suryana 2006). Untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan dan menjaga mutu pisang sejak hulu sampai hilir. Salah satunya dengan penanganan pascapanen yang baik seperti yang diamanatkan dalam Permentan No. 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian Asal Tanaman yang Baik (Good Handling Practices – GHP) (Direktorat Jendral Hortikultura 2010).

Masalah penanganan pascapanen pada pisang salah satunya adalah penentuan indeks panen yang masih belum dikembangkan. Hal ini berimbas pada mutu dan kualitas pisang akibat terlalu cepat atau lambat dilakukan pemetikan. Penelitian tentang penyimpanan pascapanen pisang telah dilakukan di Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dengan penggunaan oksidan etilen KMnO4dengan berbagai zat pembaur dan kemasan (Sholihati 2004; Jannah 2008; Kholidi 2009; Mulyana 2011; Sugistiawati 2013). Namun demikian hasil yang diperoleh belum memuaskan, karena belum tersedianya informasi indeks panen. Oleh karena itu untuk penanganan pascapanen dalam rangka memperpanjang daya simpan, perlu dipelajari umur petik yang tepat. Sehingga hal tersebut menjadi tujuan terpenting penelitian ini. Jenis pisang yang digunakan dalam penelitian dipilih dari dua jenis konsumsi yang berbeda. Jenis pisang bananas

2

yang digunakan adalah pisang Raja Bulu, sedangkan jenis pisang plantain digunakan pisang Kepok.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses pematangan pisang dengan perbedaan umur petik, mempelajari kriteria kematangan pascapanen buah pisang Raja Bulu dan pisang Kepok dari beberapa umur petik buah serta menentukan saat panen terbaik untuk penanganan pascapanen yang dapat memperpanjang masa simpan.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Pisang

Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Pisang merupakan nama umum yang diberikan pada tumbuhan terna raksasa berdaun besar memanjang dari suku Musaceae. Beberapa jenisnya (Musa acuminata, M. balbisiana, dan M. ×paradisiaca) menghasilkan buah konsumsi yang dinamakan sama. Buah ini tersusun dalam tandan dengan kelompok-kelompok tersusun menjari, yang disebut sisir. Hampir semua buah pisang memiliki kulit berwarna kuning ketika matang, meskipun ada beberapa yang berwarna jingga, merah, hijau, ungu, atau bahkan hampir hitam (Espino et al. 1992). Menurut Stover dan Simmonds (1987), klasifikasi botani tanaman pisang adalah sebagai berikut: divisi : spermatophyta, sub divisi : angiospermae, kelas : monocotyledonae, keluarga : musaceae, genus : musa, spesies : Musa spp.

Tanaman pisang hampir dapat ditemukan dengan mudah di setiap tempat. Pusat produksi pisang di Jawa Barat adalah Cianjur, Sukabumi dan daerah sekitar Cirebon. Pisang dapat beradaptasi luas dalam agrolimat di Indonesia tetapi belum dapat diketahui dengan pasti berapa luas perkebunan pisang di Indonesia. Walaupun demikian Indonesia termasuk salah satu negara tropika yang memasok pisang segar/kering ke Jepang, Hongkong, Cina, Singapura, Arab, Australia, Negeri Belanda, Amerika Serikat dan Perancis. Nilai ekspor tertinggi pada tahun 1997 adalah ke Cina (Satuhu 1999).

Manfaat dan Karakteristik Pisang

Pisang mempunyai kandungan gizi sangat baik, antara lain menyediakan

energi cukup tinggi dibandingkan dengan buah-buahan lain. Selain memberikan kontribusi gizi lebih tinggi daripada apel, pisang juga dapat menyediakan cadangan energi dengan cepat bila dibutuhkan. Termasuk ketika otak mengalami keletihan. Pisang kaya mineral seperti kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium. Pisang juga mengandung vitamin, yaitu C, B kompleks, B6, dan serotonin yang aktif sebagai neurotransmitter dalam kelancaran fungsi otak. Bahkan, kulit pisang yang selama ini hanya dianggap sebagai limbah ternyata dapat dimanfaatkan untuk menyerap limbah logam berat (Rizkika 2012).

Berbagai macam jenis pisang yang telah ditemukan di dunia ini, diantaranya adalah pisang raja bulu dan pisang kepok. Pisang raja bulu merupakan salah satu jenis pisang raja yang ukurannya sedang dan gemuk. Bentuk buahnya melengkung dengan pangkal buah agak bulat. Kulitnya tebal berwarna kuning berbintik cokelat. Setiap pohon biasanya dapat menghasilkan rata-rata sekitar 90 buah. Pisang ini tergolong sebagai buah yang dapat digunakan sebagai buah meja dan buah olahan. Berat setiap tandannya 7-10 kg terdiri dari 6-7 sisir, dan setiap sisirnya 10-15 buah. Panjang buahnya 25-35 cm dan diameternya 6-6.5 cm. Sedangkan Pisang kepok merupakan jenis pisang yang enak dimakan setelah diolah terlebih dahulu. Bentuk buahnya agak pipih dan memiliki kulit tebal. Berat per tandan dapat mencapai 22 kg memiliki 10-16 sisir. Setiap sisir terdiri atas 12-

4

20 buah. Bila matang warna kulit buahnya kuning penuh. Pisang kepok, yang terkenal di antaranya pisang kepok putih dan kepok kuning. Pisang kepok putih memiliki warna daging buah putih dan pisang kepok kuning daging buahnya berwarna kuning. Pisang kepok kuning rasa buahnya lebih enak dibanding kepok putih sehingga lebih disukai dan harganya lebih mahal (Suyanti dan Supriyadi 2008).

Indeks Kematangan Pascapanen Pisang

Ketidakseragaman umur panen merupakan kendala keseragaman kematangan. Untuk menyeragamkan kematangan tersebut, dipacu dengan etilen. Akan tetapi setelah pisang dipacu kematangannya, umur simpannya menjadi lebih pendek. Di sisi lain pisang temasuk buah klimaterik dimana perubahan-perubahan fisikokimia akan terjadi dengan cepat pada fase klimaterik. Masa simpan pisang yang telah mencapai fase klimaterik reIatif singkat (Suprayatmo et al. 2005).

Selama proses pascapanen, pisang mengalami beberapa perubahan fisikokimia yang mempengaruhi kualitas (Wills et al. 1989). Perubahan-perubahan yang terjadi antara lain pada susut bobot, rasio bobot daging per kulit buah, kelunakan, warna kulit buah, total asam tertitrasi, dan kandungan gula. Perubahan-perubahan tersebut akibat adanya proses-proses fisikokimia yang terjadi selama proses pematangan. Penjelasan dari perubahan-perubahan tersebut antara lain adalah :

a. Penyusutan bobot pada buah dipengaruhi oleh hilangnya cadangan makanan karena proses respirasi. Respirasi merupakan metabolisme utama yang terjadi pada buah setelah panen. Dalam proses respirasi terjadi pemecahan senyawa kompleks (karbohidrat, lemak, dan protein) menjadi senyawa sederhana (CO2, air, dan energi). Selama berlangsungnya proses respirasi, pisang banyak menggunakan O2 dan kehilangan substrat (Kader 1992).

b. Hilangnya air dalam buah dapat juga mempengaruhi laju susut bobot buah. Semakin besar kehilangan air maka semakin besar pula susut bobot buah. Hilangnya air tersebut disebabkan adanya proses transpirasi pada kulit buah yang berpengaruh juga terhadap rasio bobot daging per kulit buah (Paul 1993).

c. Perubahan rasio bobot daging per kulit buah dipengaruhi kandungan gula dan air dari daging dan kulit buah pisang. Kandungan gula daging buah meningkat dengan cepat karena peningkatan tekanan osmotik pada kulit buah, selain itu daging buah juga menyerap air pada kulit buah (Lizada et al. 1990).

d. Pada saat pemasakan, kulit buah mengalami degradasi klorofil sehingga terjadi perubahan warna kulit buah dari hijau menjadi kuning. Perubahan warna ini disebabkan oleh munculnya zat karetenoid yang tidak tertutupi klorofil lagi (Pantastico et al. 1989).

e. Selama proses pemasakan, total asam tertitrasi buah terus meningkat sehingga mengakibatkan turunnya pH buah. Peningkatan akan terus berlangsung sampai titik maksimum kemudian mengalami penurunan sedikit sejalan dengan masaknya buah. Peningkatan kadar asam ini karena buah mensintesis asam oksalat dalam jumlah yang berlebih pada

5

waktu masih hujau dan asam malat pada waktu berwarna kuning (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

f. Pisang setelah dipanen mengalami perubahan kekerasan buah. Tekstur daging buah secara bertahap mengalami perubahan dari tekstur keras pada waktu mentah menjadi lunak pada waktu masak. Daging buah menjadi empuk karena adanya degradasi zat pektin dan hemiselulosa (Winarno dan Aman 1981).

Kerusakan Pascapanen Pisang

Buah pisang sebagai buah klimakterik mempunyai sifat sangat mudah

mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut akan sangat mempengaruhi kualitas buah pisang sebelum sampai ke tangan konsumen. Apabila telah terjadi kerusakan mekanik maka buah akan mudah mengalami kontaminasi mikrobia, sehingga proses kerusakan fisiologis akan terpacu. Kerusakan buah pascapanen dapat mencapai 30% - 40%. Pada tahun 2009, persentase kerusakan buah pascapanen di Indonesia masih mencapai angka 20%. Kerusakan pisang dapat terjadi pada saat disimpan atau diangkut ke tempat jauh misalnya untuk tujuan ekspor maupun sebagai bahan biologis, sehingga akan terus mengalami proses fisiologi yang dapat mengakibatkan terjadinya kematangan awal sebelum sampai ke konsumen (Cahyono 2009).

Penyakit pascapanen juga merupakan salah satu penyebab kerusakan terbesar pada pascapanen buah pisang. Umumnya buah pisang yang terkena penyakit mempunyai daya simpan yang sangat rendah sehingga sulit dipasarkan untuk jarak jauh. Salah satu penyakit pascapanen pada buah pisang adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Collethotrichum musae (Berk. et. Curt) v. Arx. Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat dapat memicu tumbuhnya cendawan ini hingga menutupi seluruh permukaan pisang tersebut. Penyakit antrakosa pada buah pisang dapat mengakibatkan kerusakan hingga 70% sehingga perlu ditanggulangi (Nurhayati et al. 2011).

Perencanaan Panen dan Pascapanen

Panen yang akan dilakukan harus direncanakan dengan baik agar didapatkan

buah hasil panen dengan mutu yang optimal, tingkat kehilangan hasil dan biaya yang rendah, serta sesuai dengan standar pasar yang telah direncanakan. Pada tahap perencanaan ini, petani perlu mengetahui alur tahapan kegiatan pasca panen pisang. Alur tersebut mendeskripsikan urutan kegiatan/pekerjaan yang dilakukan, namun bisa saja tidak dilakukan atau berbeda urutannya tergantung kebutuhan di lapang. Semakin sedikit jenis tahapan kegiatan pascapanen yang dilakukan, akan mengurangi risiko kerugian yang dimunculkan misalnya risiko biaya (Harti et al. 2007).

Menurut Suryana (2006), tingkat ketuaan buah merupakan faktor penting pada mutu buah pisang. Tingkat ketuaan panen sangat erat kaitannya dengan jangkauan pemasaran dan tujuan penggunaan buah. Saat panen pisang ditentukan oleh umur buah dan bentuk buah. Waktu panen pisang dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan menghitung jumlah hari dari bunga mekar sampai siap dipanen atau dengan melihat bentuk 24 buah. Buah yang cukup umur untuk dipanen

6

berumur 90-120 hari, tergantung varietas. Buah yang tua biasanya sudut buah tumpul dan membulat, daun bendera mulai mengering, bekas putik bunga mudah patah.

Penentuan umur panen harus didasarkan pada jumlah waktu yang diperlukan untuk pengangkutan buah ke daerah penjualan sehingga buah tidak terlalu matang saat sampai di tangan konsumen. Sedangkan untuk keperluan ekspor, pisang dipanen tidak terlalu tua (tingkat kematangan 75-85%) tetapi sudah masak fisiologis (kadar patinya sudah maksimum). Pada keadaan ini kualitas buah cukup baik dan mempunyai daya simpan cukup lama (Prabuwati et al. 2009).

7

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan Februari 2013 sampai dengan Maret 2013.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam percobaan ini adalah buah pisang Raja

Bulu (Musa sp. AAB Group) dengan umur panen 90, 95 100, 105, 110 Hari Setelah Antesis (HSA) dan pisang Kepok (Musa sp. BBB Group) dengan umur panen 110, 115, 120, 125, 130 Hari Setelah Antesis (HSA). Pisang tersebut diperoleh dari petani Cibanteng Proyek (Bogor). Penentuan ketepatan umur petik dilakukan proses tagging dan melihat kondisi fisik pisang. Bahan lain yang digunakan antara lain kertas saring, Natrium Hipoklorit, larutan phenoftalein, aquades, Iodine 0.01 N dan NaOH 0.1 N.

Alat-alat yang digunakan terdiri dari penetrometer, refraktometer, timbangan analitik dan alat-alat titrasi.

Metode

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok

Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dilakukan 5 macam umur petik pisang dengan 5 ulangan sehingga terdapat 25 satuan percobaan. Pengamatan dimulai setiap terjadi perubahan visual dalam 7 indeks skala warna kulit dimulai pada skala 3 sampai dengan 7.

Model statistika yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = μ + αi + βj + εij

Keterangan : Yij = Pengamatan pada umur petik ke-i dan kelompok ke-j (i=1, 2, 3, 4, 5 ; j=1, 2, 3,4, 5) μ = Nilai tengah populasi αi = Pengaruh umur petik ke-i βj = Pengaruh kelompok ke-j εij = Pengaruh galat percobaan pada umur petik ke-i dan kelompok ke-j

Percobaan terdiri dari persiapan, penyimpanan, pengambilan sampel, dan pengamatan. Apabila hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%.

8

Pelaksanaan Percobaan Persiapan Buah

Pelaksanaan percobaan dimulai dengan persiapan buah pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) dan pisang Kepok (Musa sp. ABB Group) yang digunakan dengan 5 macam umur petik. Pisang Raja Bulu menggunakan umur petik 90, 95 100, 105, 110 HSA dan untuk pisang Kepok 110, 115, 120, 125, 130 HSA. Buah pisang disortasi, kemudian dibersihkan menggunakan desinfektan Natrium Hipoklorit dengan konsentrasi larutan 10% untuk mengendalikan cendawan yang terdapat pada kulit buah, lalu dikering-anginkan (Mulyana 2011). Buah yang telah selesai dikeringkan diletakkan di atas koran dan disimpan pada suhu ruang dengan kisaran suhu 25-30oC dengan kelembaban 70-80% (Gambar 1).

Gambar 1 Proses persiapan buah; kiri: pencucian pisang menggunakan larutan disinfektan, kanan: proses penyimpanan pisang pada suhu ruang

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap 8 peubah, yaitu: (1) indeks skala warna kulit buah, (2) umur simpan, (3) susut bobot, (4) perbandingan daging dan kulit buah (edible part), (5) kekerasan buah, (6) Padatan Terlarut Total (PTT), (7) Asam Tertitrasi Total (ATT), dan (8) kandungan vitamin C pada skala warna 3 sampai dengan 7 pisang Raja Bulu dan pisang Kepok. Skala warna 5 menjadi fokus utama dalam percobaan karena digunakan sebagai kriteria layak dikonsumsi. Skala 6 dan 7 masih layak dikonsumsi tetapi sudah lewat masak. Indeks Skala Warna Kulit Buah

Perubahan skala warna kulit buah pisang digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui tahapan pematangan buah pisang. Indeks skala warna kulit buah pisang Raja Bulu diasumsikan sama dengan penyebaran warna hijau dan kuning dari Cavendish. Menurut Kader (2008), derajat kekuningan kulit buah tersebut dinilai dengan angka antara 1 sampai 7 (Gambar 2). Nilai derajat kekuningan kulit buah tersebut adalah: 1 : Hijau 5 : Kuning dengan ujung hijau 2 : Hijau dengan sedikit kuning 6 : Kuning penuh 3 : Hijau kekuningan 7 : Kuning dengan bintik coklat 4 : Kuning lebih banyak dari hijau

9

Gambar 2 Indeks skala warna kematangan pisang (Sumber: Kader 2008)

Umur Simpan

Umur simpan digunakan untuk mengetahui perbandingan lamanya penyimpanan buah pada setiap umur petik dalam proses mempertahankan kesegaran buah. Parameter yang digunakan dalam mengukur umur simpan yaitu dengan cara melihat perubahan secara fisik buah pisang terutama perubahan indeks skala warna buah (Mulyana 2011).

Susut Bobot

Menurut Mulyana (2011), pengukuran susut bobot dapat digunakan dengan menggunakan timbangan analitik. Pengukuran susut bobot buah ini dilakukan dengan membandingkan bobot setiap 2 buah pisang sebelum penyimpanan dan saat pengamatan. Rumus yang digunakan :

% Susut Bobot = Bobot awal − Bobot saat pengamatan

Bobot awal x 100%

Perbandingan Daging dan Kulit Buah (edible part)

Menurut Mulyana (2011), pengukuran perbandingan daging dan kulit buah dapat dilakukan menggunakan timbangan analitik. Pengukuran perbandingan daging dan kulit buah diukur dengan menimbang bobot buah sebelum dikupas dan setelah buah dikupas.

Bagian buah yang dapat dimakan (edible part) dihitung dengan menggunakan rumus :

% edible part = Bobot daging buah

Bobot buah x 100%

Kekerasan Buah

Kekerasan buah diukur menggunakan penetrometer. Pengukuran dilakukan pada buah pisang yang belum dikupas kulitnya. Buah diletakkan sedemikian rupa sehingga stabil. Jarum penetrometer ditusukkan pada tiga tempat, yaitu: ujung, tengah, dan pangkal buah. Ketiga data yang diperoleh kemudian diambil rata-ratanya (Mulyana 2011).

10

Padatan Terlarut Total (PTT)

Pengukuran Padatan Terlarut Total (PTT) dilakukan untuk mengetahui kadar kemanisan dalam buah dengan menggunakan refraktometer. Kandungan PTT ini diukur dengan menghancurkan daging buah pisang, kemudian diambil sarinya dengan menggunakan kertas saring. Sari buah yang telah diperoleh diteteskan pada lensa refraktometer. Kadar PTT dapat dilihat pada alat dalam satuan oBrix (Mulyana 2011).

Asam Tertitrasi Total (ATT)

Menurut Mulyana (2011), Asam Tertitrasi Total (ATT) digunakan sebagai parameter dalam mengukur kandungan asam yang terdapat di dalam buah. Asam Tertitrasi Total (ATT) diukur berdasarkan netralisasi ekstrak buah oleh basa kuat NaOH. Kandungan ATT diukur dengan menghancurkan daging buah sebanyak 25 g, kemudian hancuran buah disaring dengan menambahkan aquades dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Setelah disaring, larutan diambil sebanyak 25 ml dan ditambahkan indikator Penolftalein tiga tetes, kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N hingga larutan berubah warna menjadi merah muda. Kandungan ATT dihitung dengan menggunakan rumus :

ATT (mg/100 g bahan) = ml NaOH x fp

Bobot contoh (mg) x 100%

Fp : faktor pengenceran (100 ml/25 ml) Kandungan Vitamin C

Menurut Mulyana (2011), kandungan vitamin C dapat diukur dengan titrasi menggunakan iodin dan menggunakan 3 tetes indikator larutan amilum dengan konsentrasi 1 g/100 ml. Pembuatan larutan amilum: aquades 100 ml sebanyak 80 ml di didihkan kemudian dicampur dengan 20 ml aquades tersisa dengan tepung kanji sebanyak 1 g. Kemudian, pengukuran kandungan vitamin C dilakukan dengan menghancurkan bahan 25 gram daging buah, bahan hancuran tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan aquades sampai tera lalu disaring. Setelah disaring, larutan diambil sebanyak 25 ml diberi 3 tetes indikator larutan amilum kemudian dititrasi dengan iodine. Titrasi dilakukan sampai terbentuk warna biru tua yang stabil. Kandungan vitamin C dapat dihitung dengan rumus :

Vitamin C (mg/100g bahan) = ml Iodin 0.01 N x 0.88 x fp

Bobot contoh (g) x 100%

Keterangan : 1 mg iodine 0.01 N = 0.88 mg asam askorbat Fp : faktor pengenceran (100 ml/25 ml)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Umur Simpan Umur simpan buah diamati dengan melihat lamanya masa simpan buah saat mencapai skala warna 3, 4, 5, 6 dan 7 untuk dikonsumsi yang dipengaruhi ketepatan umur petik pisang. Kondisi fisik pisang saat mencapai skala warna 3, 4, 5, 6, 7 disajikan dalam Gambar 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tua umur petik, semakin cepat mencapai kematangan pascapanen (skala warna 5) seperti yang disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 Umur simpan pisang Raja Bulu

Umur petik Umur simpan (Hari) Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6ª Skala 7ª

90 HSA 13.20a 17.40a 20.80a - - 95 HSA 6.60b 9.00b 11.00b 12.40a 15.00a 100 HSA 6.40b 8.20b 9.60bc 10.20ab 12.00b 105 HSA 4.40bc 6.00bc 5.80cd 7.60bc 8.20c 110 HSA 1.40c 1.60c 2.60d 4.20c 4.60d

ª Diamati hanya pada buah yang masih dapat dianalisis b Angka- angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%

Tabel 2 Umur simpan pisang Kepok

Umur petik Umur simpan (Hari) Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

110 HSA 7.80a 9.40a 11.20a 13.60a 14.60a 115 HSA 6.40b 7.80a 8.40b 11.00b 12.00b 120 HSA 5.20b 6.00b 6.80b 7.80c 9.60c 125 HSA 2.20c 3.20c 4.80c 6.00d 7.00d 130 HSA 1.40c 1.40d 2.00d 3.60e 4.60e

ªAngka- angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5% Pada pisang Raja Bulu, perbedaan nyata terlihat sampai pisang menunjukkan skala 7 terkecuali pada umur petik 90 hari. Hal ini disebabkan buah pisang pada perlakuan tersebut tidak dilakukan pengamatan karena gejala Crown and rot dan gejala penyakit antraknosa oleh cendawan Collethotrichum musae (Berk. et. Curt) v. Arx (Gambar 4). Waktu peralihan dari skala 5 ke 6 yang terlalu lama akibat proses pematangan yang tidak sempurna pada umur petik 90 hari memicu tumbuhnya cendawan ini hingga menutupi seluruh permukaan pisang tersebut. Menurut Nurhayati (2011), penyakit antraknosa pada buah pisang dapat mengakibatkan kerusakan hingga 70 persen dari total produksi. Sehingga berdasarkan umur simpan terbesar buah, dimana masih diperhitungkannya faktor layak konsumsi dapat ditemukan pada umur petik 95 hari dengan lama masa simpan 15 hari dan nilai terendah pada umur petik 110 hari dengan lama masa

12

simpan 5 hari. Pada pisang Kepok perbedaan nyata dapat ditemukan hingga skala 7, terlihat dari buah yang dipetik pada 110 hari memiliki umur simpan yang paling panjang yaitu 15 hari penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa umur petik pisang termuda mengalami waktu proses pemasakan lebih lambat dibandingkan yang lain sehingga kematangan yang ditunjukan pun lebih lama waktunya. Menurut Suprayatmo et al. (2005), masa simpan pisang yang telah mencapai fase klimakterik lebih awal maka relatif lebih singkat. Umur terbaik pada pisang Raja Bulu dan pisang Kepok dapat diperpanjang masa simpannya jika mendapat perlakuan pascapanen seperti penggunaan oksidator etilen dengan dosis yang tepat.

Gambar 3 Kondisi fisik pada skala warna 3 sampai dengan 7; atas: pisang Raja Bulu, bawah: pisang Kepok

13

Gambar 4 Gejala serangan penyakit; kiri: gejala Crown and rot, kanan: gejala antraknosa

Kriteria Matang Pascapanen pada Skala Warna 5

Kriteria matang pascapanen pisang Raja Bulu dan pisang Kepok yang disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 merupakan hasil pengamatan yang dilakukan pada skala warna 5.

Tabel 3 Kriteria matang pascapanen pada skala warna 5 pisang Raja Bulu

Umur Petik

Kekerasan (mm/50g/5 detik)

Susut bobot (%)

Edible part(%)

PTT (°Brix)

ATT(mmol/100g bahan)

Vit. C (mg/100g bahan)

90 HSA 27.53 18.22a 40.14c 24.80 72.96b 41.11b 95 HSA 21.80 17.12a 50.18bc 23.00 84.64ab 70.54a 100 HSA 25.20 13.04ab 57.01ab 23.60 68.48b 59.56ab 105 HSA 23.73 11.32ab 58.12ab 25.60 69.44b 44.63b 110 HSA 31.33 5.48b 63.64a 25.40 95.36a 40.69b

ª Angka- angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%

Tabel 4 Kriteria matang pascapanen pada skala warna 5 pisang Kepok

Umur petik

Kekerasan (mm/50g/5 detik)

Susut bobot (%)

Edible part(%)

PTT (°Brix)

ATT(mmol/100g bahan)

Vit. C(mg/100g bahan)

110 HSA 21.50 14.49ab 55.42a 23.00 93.28a 26.19a 115 HSA 21.67 22.48a 46.38b 24.90 88.80ab 20.84ab 120 HSA 16.50 17.34ab 62.50a 24.90 76.48bc 16.76b 125 HSA 17.03 9.83b 54.48ab 21.60 73.28c 17.46b 130 HSA 14.63 9.68b 57.72a 24.30 69.76c 16.76b

ª Angka- angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%

14

Hasil analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh tidak nyata terhadap peubah kekerasan dan PTT pada kedua buah pisang. Menurut Winarno dan Aman (1981), semakin tua pisang dipanen maka akan mengalami perubahan kekerasan buah. Tekstur daging dan kulit buah mengalami perubahan dari tekstur keras pada waktu mentah menjadi lunak pada waktu masak. Hal ini terjadi karena adanya degradasi zat pektin dan hemiselulosa pada daging dan kulit buah pisang. Diennazola (2008) mendapatkan bahwa total padatan terlarut dalam buah ikut menentukan kadar kemanisan buah. Lamanya proses pematangan mempengaruhi pemecahan polimer karbohidrat seperti pati menjadi gula. Kedua pernyataan tersebut tidak dapat ditunjukan dengan baik pada hasil pengamatan karena adanya serangan cendawan dalam percobaaan yang menjadi gangguan dalam proses analisis data. Serangan ini mungkin terjadi karena kondisi lingkungan ruang penyimpanan yang memacu tumbuhnya cendawan. Namun demikian, warna kulit masih dapat digunakan sebagai indikator kematangan pascapanen. Pengaruh nyata pada percobaan kedua jenis pisang dapat ditemui pada hasil peubah persentase susut bobot, persentase edible part, ATT dan Vit C. Pada pengamatan persentase susut bobot, secara umum bobot buah akan berkurang seiring proses pematangan. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya cadangan makanan karena proses respirasi. Ketika proses ini pisang banyak menggunakan O2 dan kehilangan substrat (Kader 1992). Hasil tersebut berbeda dengan persentase edible part di mana seiring semakin tuanya umur petik maka laju pertambahan bobot daging buah lebih besar sehingga rasio antara daging buah dengan kulit pun semakin besar. Pada pengamatan kandungan ATT pisang Raja Bulu, seiring bertambahnya umur petik ternyata tidak menurunkan kadar asam organik dalam buah sedangkan pada pisang Kepok ternyata dapat terjadi sebaliknya. Seharusnya menurut Diennazola (2008), selama proses pematangan berlangsung diikuti turunnya kandungan asam organik dan bertambahnya kandungan gula pada buah, sehingga dicapai rasa yang diinginkan oleh rasa konsumen melalui perbandingan rasa manis dan asam. Sedangkan pengamatan peubah vitamin C, secara umum pada setiap umur petik memiliki pola perubahan yang berbeda-beda dan terlihat fluktuaktif. Menurut Sugistiawati (2013), selama proses pematangan buah, kandungan vitamin C memiliki pola perubahan yang tidak teratur

Kondisi Fisik (Kekerasan, Susut Bobot, Edible Part) pada Skala Warna 3

sampai dengan 7

Kondisi fisik dapat dijadikan kriteria bahwa kondisi buah masih layak dikonsumsi. Buah yang akan dipasarkan jauh dari sentra produksi biasanya diberi perlakuan untuk mempertahankan kondisi fisik buah. Pendugaan kondisi fisik dapat menggunakan tiga komponen yaitu kekerasan, persentase susut bobot, serta edible part. Hasil penelitian yang menunjukkan 3 komponen tersebut disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.

15

0

5

10

15

20

25

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

0

5

10

15

20

25

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

Gambar 5 Perubahan kekerasan kulit buah, susut bobot, dan edible part pisang Raja Bulu pada skala warna 3 sampai dengan 7

Gambar 6 Perubahan kekerasan kulit buah, susut bobot, dan edible part pisang Kepok pada skala warna 3 sampai dengan 7

010203040506070

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

0

20

40

60

80

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 790 HSA 95 HSA 100 HSA105 HSA 110 HSA

010203040506070

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

0

20

40

60

80

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

110 HSA 115 HSA 120 HSA125 HSA 130 HSA

Kekerasan (mm/50g/5 detik)

Susut bobot (%)

Edible part (%)

Kekerasan (mm/50g/5 detik)

Susut bobot (%)

Edible part (%)

16

Tingkat kekerasan kulit buah pisang dipengaruhi umur simpan selama proses penyimpanan dalam suhu ruang. Hal tersebut ditunjukkan dalam hasil penelitian bahwa kelunakan kulit pisang meningkat seiring meningkatnya lama masa penyimpanan. Pada pisang Raja Bulu tingkat kelunakan tertinggi dapat ditemukan pada umur petik 110 hari skala 7 dengan nilai 58.40 sedangkan pada pisang Kepok dapat ditemukan pada umur petik 115 hari skala 7 dengan nilai 62.93. Menurut Pantastico (1989), kelunakan buah akan mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan adanya pembongkaran senyawa propektin yang sukar larut menjadi asam pektat dan pektin yang mudah larut sehingga terjadi perubahan pektin dalam dinding sel dan lamela tengah.

Bobot buah akan berkurang seiring dengan proses pematangan. Hal ini disebabkan adanya peningkatan susut bobot buah akibat proses respirasi. Secara umum, kondisi tersebut tersebut dapat ditunjukan dalam hasil penelitian. Namun besaran peningkatan susut bobot tidak sama dari setiap umur petik pada kedua jenis pisang bahkan mengalami penurunan setelah mencapai titik maksimal. Pada pisang Raja Bulu susut bobot terbesar terlihat dari pisang umur petik 100 hari skala 7 dengan nilai 19.40%, sedangkan untuk pisang Kepok terlihat dari pisang umur petik 115 hari skala 6 dengan nilai 23.04%. Laju penyusutan ini dipengaruhi karena hilangnya air dalam buah. Hilangnya air disebabkan adanya proses transpirasi pada kulit buah yang berpengaruh terhadap bobot buah (Lizada et al. 1990). Selama proses pemasakan berlangsung menyebabkan bobot daging buah semakin bertambah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai skala warna 7 secara umum edible part mengalami peningkatan kecuali pada pisang Raja Bulu dengan umur petik 90 dan 95 hari yang cenderung menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa mudanya umur petik, laju pertambahan bobot dagingpun sedikit sehingga rasio antara daging buah dan kulit buah pun rendah. Menurut Lizada et al. (1990), perubahan rasio daging per kulit buah dipengaruhi kandungan gula dan air dari daging dan kulit buah pisang. Kandungan gula daging buah meningkat dengan cepat karena peningkatan tekanan osmotik kulit buah sehingga bobotnya bertambah. Pada pisang Raja Bulu persentase edible part tertinggi terlihat pada pisang umur petik 110 hari skala 7 dengan nilai 72.95% sedangkan pada pisang terlihat pada pisang umur petik 130 hari skala 7 dengan nilai 65.02%. Kandungan Kimia (PTT, ATT, Vit. C) pada Skala Warna 3 sampai dengan 7

Penerimaan konsumen terhadap suatu buah dapat ditentukan oleh mutu

buah. Mutu buah berkaitan dengan perubahan komposisi kimia buah yang akan mempengaruhi rasa buah. Pendugaan mutu buah dapat menggunakan kandungan Padatan Terlarut total (PTT), Asam Tertitrasi Total (ATT), dan Vitamin C. Hasil penelitian yang menunjukkan 3 komponen tersebut disajikan pada Gambar 7 dan Gambar 8.

17

020406080

100120

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

020406080

100120

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

Gambar 7 Kandungan PTT, ATT, dan Vit. C pisang Raja Bulu pada skala 3 sampai dengan 7

Gambar 8 Kandungan PTT, ATT, dan Vit. C pisang Kepok pada skala 3 sampai dengan 7

05

101520253035

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

0

20

40

60

80

100

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

90 HSA 95 HSA 100 HSA

105 HSA 110 HSA

05

1015202530

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

0

10

20

30

Skala 3 Skala 4 Skala 5 Skala 6 Skala 7

110 HSA 115 HSA 120 HSA125 HSA 130 HSA

PTT (°Brix)

Vitamin C (mg/100g bahan)

ATT (mg/100g bahan)

PTT (°Brix)

ATT (mg/100g bahan)

Vitamin C (mg/100g bahan)

18

Padatan terlarut total merupakan total padatan yang terkandung dalam buah yang menentukan kadar kemanisan buah. Kandungan PTT tertinggi dapat ditunjukan oleh pisang Raja Bulu umur petik 110 hari skala 7 dengan nilai 28.90 sedangkan untuk pisang Kepok terlihat pada pisang umur petik 115 hari skala 7 dengan nilai 26.50. Selama proses pematangan terjadi pemecahan polimer karbohidrat seperti pati menjadi gula. Pada semua umur petik kedua jenis pisang secara umum nilai PTT mengalami peningkatan. Hal terjadi akibat kandungan glukosa dan fruktosa dengan bantuan enzim-enzim yang terdapat di dalam buah pisang meningkat (Winarno dan Aman 1981). Pada pisang Raja Bulu dan pisang Kepok kandungan ATT mengalami penurunan seiring proses pematangan berlangsung. Kandungan ATT pisang Raja Bulu tertinggi terlihat dari pisang umur petik 105 hari skala 3 dengan nilai 104.48 dan untuk pisang Kepok terlihat dari pisang umur petik 115 hari skala 4 dengan nilai 96.96. ATT merupakan kandungan asam organik yang banyak menurun selama aktivitas metabolisme berlangsung. Aktivitas metabolisme yang dimaksud adalah respirasi yang terjadi selama proses pematangan buah (Nasution et al. 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan vitamin C hingga skala 7 cenderung mengalami penurunan. Pada pisang Raja Bulu, kandungan vitamin C tertinggi dihasilkan pisang umur petik 95 hari skala 3 dengan nilai 84.06 sedangkan untuk pisang Kepok dihasilkan pada pisang umur petik 125 hari skala 3 dengan nilai 24.22. Hal ini disebabkan karena tertundanya penguapan air yang menyebabkan struktur sel yang semula utuh menjadi layu dimana enzim askorbat oksidase tidak dibebaskan oleh sel sehingga tidak mampu mengoksidasi vitaminC lebih lanjut menjadi senyawa yang tidak mempunyai aktivitas vitamin C lagi (Rachmawati et al. 2009). Kandungan vitamin C pada setiap umur petik memiliki pola perubahan yang berbeda-beda dan terlihat fluktuaktif. Menurut Purwoko dan Juniarti (1998), kandungan vitamin C berfluktuasi pada buah yang memasuki tahapan pascapanen.

19

KESIMPULAN

Tingkat ketuaan umur petik pisang yang semakin besar mempengaruhi pencapaian kematangan pascapanen yang semakin cepat. Pada tingkat kematangan warna kulit skala 5, semakin tuanya umur petik pisang mempengaruhi umur simpan yang semakin pendek, persentase susut bobot yang berkurang, persentase edible part yang bertambah, kandungan ATT yang secara umum mengalami penurunan, dan kandungan Vitamin C yang berfluktuaktif. Umur petik tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan dan kandungan PTT. Berdasarkan hasil analisis statistik, saat panen terbaik untuk penanganan pascapanen yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan pisang Raja Bulu adalah 95 hari sedangkan untuk pisang Kepok adalah 110 hari.

20

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2010. Produktivitas pisang Indonesia [Internet]. [diunduh

2013 Jan 20]. Tersedia pada: http://www.bps. go.id. Cahyono B. 2009. Pisang Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen. Yogyakarta

(ID): Kanisius Diennazola R. 2008. Pengaruh sekat dalam kemasan terhadap umur simpan dan

mutu buah pisang Raja Bulu [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Direktorat Jendral Hortikultura. 2010. Produksi nasional buah pisang Indonesia [Internet]. [diunduh 2013 Jan 20]. Tersedia pada: http://hortikultura.deptan.go.id/.

Espino RRC, Jamaludin SH, Silayoi B, Nasution RE. 1992. Plant Resources of South-East Asia 2: Edible Fruits and Nuts (Musa L. (edible cultivars)). Verheij EWM, Coronel RE, editor. Bogor (ID): PROSEA Foundation.

Harti H, Sobir, Setyati S, Suhartanto MR. 2007. Acuan Standar Operasional Produksi Pisang. Bogor (ID): Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika, LPPM-IPB.

Jannah UF. 2008. Pengaruh bahan penyerap larutan kalium permanganat terhadap umur simpan pisang Raja Bulu [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kader AA. 1992. Postharvest Technology of Horticultural Crops. California (US): University of California Division of Agriculture and Natural Resources Oakland.

Kader AA. 2008. Maturity indices - banana ripening chart [Internet]. [diunduh 2013 Jan 20]. Tersedia pada: http://postharvest .ucdavis. edu/ Produce/

ProduceFacts/Fruit/banana.shtml. Kholidi. 2009. Studi tanah liat sebagai pembawa kalium permanganat pada

penyimpanan pisang Raja Bulu [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Lizada MCC. Pantastico ErB, Shukor Abd, Sabari SD. 1990. Ripening of Banana. Kualalumpur: ASEAN Food Handling Bureau.

Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Jakarta (ID): Dirjen Dikti PAU Pangan dan Gizi.

Mulyana E. 2011. Studi pembungkus bahan oksidator etilen dalam penyimpanan pascapanen pisang raja bulu (Musa sp. AAB GROUP) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nasution IS, Yusmanizar, Melianda K. 2012. Pengaruh penggunaan lapisan edibel (edible coating), kalsium klorida, dan kemasan plastik terhadap mutu nanas(Ananas comosus Merr.). J Teknol dan Indust Pertanian Indonesia[Internet]. 2012; 2013.7.7; 4: Banda Aceh ID: Universitas Syiah Kuala.

Nurhayati, Umayah A, Berdnand H. 2011. Efek lama perendaman dan konsentrasi pelarut daun sirih terhadap perkembangan penyakit antraknosa pada buah pisang. J Dharmapala [Internet]. 2011; 2013.7.7; 4(1): Palembang ID: Universitas Sriwijaya.

21

Pantastico ErB, Matto AK, Phan CT. 1989. Fisiologi pascapanen, penanganan dan pemanfaatan buah-buahan dan sayur-sayuran tropika dan sub tropika. Kamaryani, penerjemah; Pantastico ErB, editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari: postharvest physiology, handling and utilization tropical and sub-tropical fruits and vegetables.

Paul RE. 1993. Tropical fruit physiology and storage potential. Di dalam: Champ BR, Highley E, Johnson GI, editor. Proceedings of an International Conference; 1993 Jul 19-23; Chiang Mai, Thailand. hlm 198-203.

Prabuwati S, Suyanti, Setyabudi DA. 2009. Teknologi pascapanen dan pengolahan buah pisang [Internet]. [diunduh 2013 Jan 20]. Tersedia pada: http://www.pascapanen.litbang.deptan.go.id.

Purwoko BS, Juniarti D. 1998. Pengaruh beberapa perlakuan pascapanen dan suhu penyimpanan terhadap kualitas dan daya simpan buah pisang cavendish (Musa (grup AAA, subgrup Cavendishi). Bul Agron. [Internet]. 1998; 2013.7.7; 26(2): 19-28. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor.

Rachmawati R, Defiani MR, Suriani NL. 2009. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap kandungan vitamin C pada cabai rawit putih (Capsicum frustescens). J Biologi. [Internet]. 2009; 2013.7.7; 13(2): Bali ID: Universitas Udayana.

Rizkika K. 2012. Kulit Pisang Pemurni Air. Jakarta (ID): PT. Trubus Swadaya. Satuhu S, Supriyadi A. 1999. Budidaya Pengolahan dan Prospek Pasar Pisang.

Yogyakarta (ID): Penebar Swadaya. Sholihati. 2004. Kajian penggunaan bahan penyerap etien kalium permanganat

untuk memperpanjang umur simpan pisang Raja (Musa paradisiaca var. sapientum L.) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sugistiawati. 2013. Studi penggunaan oksidator etilen dalam penyimpanan pascapanen pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suprayatmo M, Hariyadi P, Hasbullah R, Andarwulan N, Kusbiantoro B. 2005. Aplikasi 1-methylcyclopropene dan etilen untuk pengendalian kematangan pisang ambon di suhu ruang. Di dalam : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca panen Pertanian, editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pasca Panen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian [Internet]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hlm 1-11; [diunduh 20 Januari 2013]. Tersedia pada : http://repsitory.ipb.ac.id/Aplikasi1-methylcyclopropene dan etilen untuk pengendalian kematangan pisang ambon di suhu ruang.pdf

Suyanti, Supriyadi A. 2008. Pisang Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar (Edisi Revisi). Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Stover RH, Simmonds NW. 1987.Tropical agriculture series (bananas).New York (US): Longman Scientific and Technical.

Suryana A. 2006. Peran Teknologi Pasca panen dan Sistem Keamanan Pangan dalam Meningkatkan Nilai Tambah Hasil Pertanian. Jakarta (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian.

22

Wills RHH, Lee TH, Graham D, Mc. Glasson WB, Hall EG. 1989. Postharvest and Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New York (US): Van Nostrand Reinhold.

Winarno FG, Aman M. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Jakarta (ID): PT Sastra Hudaya.

23

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 28 April 1991. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Yusuf Muarif dan Ibu Tutik Handayani. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 2003 di SDN 1 Karangan, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Trenggalek dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMAN 1 Trenggalek dan diselesaikan pada tahun 2009. Tahun 2009 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur UTM. Setelah mengikuti Tahap Persiapan Bersama, tahun 2010 penulis masuk Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi, diantaranya : BEM Fakultas Pertanian Kabinet Gaharu periode 2010 - 2011 sebagai ketua departemen olah raga dan seni, Keluarga Mahasiswa Bekasi 2010 - 2011 sebagai wakil ketua umum, dan BEM KM IPB Kabinet IPB Berkarya periode 2011 - 2012 sebagai pengurus kementrian budaya olahraga dan seni. Penulis juga aktif melakukan kerja dengan membuka usaha pembibitan "Rumah Botani" dan makanan ringan “Uli Minati” mulai awal 2013.