Click here to load reader
Upload
doanque
View
253
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBERIAN TERAPI KOMPRES JAHE DAN MASSAGE
TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN
KEPERAWATAN NY. Y DENGAN OSTEOARTRITIS DI
PANTI SASANA TRESNA WREDHA DHARMA
BHAKTI WONOGIRI
DISUSUN OLEH :
RATNA BUDIARTI
NIM.P.13042
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
i
PEMBERIAN TERAPI KOMPRES JAHE DAN MASSAGE
TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN
KEPERAWATAN NY. Y DENGAN OSTEOARTRITIS DI
PANTI SASANA TRESNA WREDHA DHARMA
BHAKTI WONOGIRI
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
RATNA BUDIARTI
NIM.P.13042
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Aplikasi Tindakan Kompres Jahe dan Massage
Terhadap Intensitas Nyeri pada Asuhan Keperawatan Ny.Y dengan Osteoartritis
di Panti Sasana Tresna Wredha Dharma Bakti Wonogiri”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep, selaku ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktariani, M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan
yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes
Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen penguji yang telah membimbing
dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman
dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
3. Ns. Alfyana Nadya Rachmawati, M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi
DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
v
4. bc. Yeti Nurhayati M. Kes, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
6. Kedua orang tuaku, Bapak H. Suroto dan Ibu Hj. Tutik Astiningrum Purnomo
S.Pd, yang selalu mendoakan, menyayangi dengan sepenuh hati, serta menjadi
inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
7. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada, yang selalu menyemangati dalam masa pendidikan di STIKes
Kusuma Husada Surakarta ini dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 12 Mei 2016
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………………………….. ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………… iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………… iv
DAFTAR ISI ………………………………………………………... vi
DAFTAR TABEL …………………………………………………... viii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….. ix
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ……………………………………………… 1
B. Tujuan penulisan …………………………………………… 4
C. Manfaat penulisan ………………………………………….. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori ………………………………………………. 6
1. Lansia ……………………………………………………. 6
2. Osteoarthritis ……………………………………………. 8
3. Asuhan keperawatan ……………………………………. 21
4. Nyeri …………………………………………………….. 32
5. Kompres hangat ………………………………………… 50
6. Massage …………………………………………………. 51
7. Jahe ……………………………………………………… 54
B. Kerangka Teori ……………………………………………… 57
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek aplikasi riset …………………………………………… 58
vii
B. Tempat dan waktu …………………………………………….. 58
C. Media dan alat yang digunakan………………………………... 58
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset …………………. 59
E. Alat ukur evaluasi tindakan berdasarkan riset ……………….... 60
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas klien ……………………………………………… . 62
B. Pengkajian ………………………………………………….. 62
C. Perumusan masalah ………………………………………... . 71
D. Perencanaan ………………………………………………… 72
E. Implementasi ……………………………………………….. 74
F. Evaluasi …………………………………………………….. 81
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ………………………………………………….. 88
B. Perumusan masalah ………………………………………... . 94
C. Perencanaan ………………………………………………… 99
D. Implementasi ……………………………………………….. 101
E. Evaluasi …………………………………………………….. 108
BAB VI KESIMPULAN
A. Kesimpulan ………………………………………………… 111
B. Saran ……………………………………………………….. 116
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri ………………………… 44
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Visual Analog Scale ……………………………………… 41
Gambar 2.2 Numeric Rating Scale …………………………………… 42
Gambar 2.3 Faces Pain Rating Scale ………………………………… 43
Gambar 4.1 Genogram Keluarga Ny.Y ……………………………… 63
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Usulan Judul
Lampiran 2. Lembar Konsultasi
Lampiran 3. Lembar Surat Pernyataan
Lampiran 4. Lembar Jurnal Utama
Lampiran 5. Lembar Asuhan Keperawatan
Lampiran 6. Lembar Log Book
Lampiran 7. Lembar Pendelegasian
Lampiran 8. Lembar Observasi
Lampiran 9. Lembar SOP Kompres Jahe dan Massage
Lampiran 10. Lembar Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses
yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan
proses menurunkan daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Nugroho, 2008).
Kekuatan muscular mulai merosot sekitar usia 40 tahun dengan suatu
kemunduran yang dipercepat setelah usia 60 tahun.
Usia, Perubahan gaya hidup, dan penggunaan sistem musculoskeletal
adalah penyebab utama untuk kehilangan kekuatan otot. Kerusakan otot terjadi
karena penurunan jumlah serabut otot dan atrofi secara umum pada organ dan
jaringan tubuh (Stanley, 2006).
Osteoartritis (penyakit pengapuran sendi) adalah penyakit sendi
degeneratif yang umumnya terjadi pada dewasa madya dan lansia dengan
gangguan pada sendi dan mempunyai gejala utama nyeri kronik. Nyeri yang
terjadi pada pasien osteoartritis merupakan nyeri muskuloskletal yang termasuk
ke dalam nyeri kronis (Sarafino, 2006).
Dari 5 juta penduduk Inggris, 80% dari penderita osteoartritis adalah
berusia diatas 70 tahun. Demikian juga dari 40 juta penduduk di Amerika,
diperkirakan 70-90% penderita osteoartritis adalah usia 75 tahun. Secara umum
2
prevalensi penyakit sendi di Indonesia sangat tinggi sebesar 30,3%. Pada usia
45-54 pravelensinya sebesar 46,3%, usia 55-64 sebesar 56,4%, usia 65-74
sebesar 62,9%, usia lebih dari 75 sebesar 65,4% (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, DepKes RI 2008 dalam Bachtiar 2010). Secara
khusus prevalensi osteoartritis di Indonesia juga cukup tinggi 5% pada usia
<40 tahun, 30% pada usia40-60 tahun dan 65% pada usia >61 tahun
(Handayani 2008 dalam Bachtiar 2010). Pravelensi osteoartritis usia di bawah
70 tahun di Malang Jawa Timur juga cukup tinggi sekitar 21,7% menyerang
pada usia 49-60 tahun, terdiri dari 6,2% pria dan 15,5% wanita (Koentjoro,
2010).
Nyeri menurut IASP (International Association for the Study of Pain)
adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (Herdman, 2012).
Tehnik nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri
pada osteoartritis diantanya yaitu dengan stimulasi kulit (massage kutaneus
atau pijat, kompres panas atau dingin, akupuntur, stimulasi kontralateral),
stimulasi elektrik saraf kulit transkutan, tehnik distraksi, tehnik relaksasi dan
istirahat. Tindakan nonfarmakologi itu dapat dilakukan sendiri di rumah dan
caranya sederhana. Selain itu tindakan nonfarmakologi ini dapat digunakan
sebagai pertolongan pertama ketika nyeri menyerang. Penggunaan panas
memberikan efek mengatasi dan menghilangkan sensasi nyeri, tehnik ini juga
memberikan reaksi fisiologis antara lain meningkatkan respon inflamasi,
3
meningkatkan aliran darah dalam jaringan, dan meningkatkan pembentukan
edema (Tamsuri, 2006).
Massage adalah stimulasi kulit tubuh secara umum, dipusatkan pada
punggung dan bahu, atau dapat dilakukan pada satu atau beberapa bagian tubuh
dan dilakukan sekitar 10 menit pada masing-masing bagian tubuh untuk
mencapai hasil relaksasi yang maksimal (Tamsuri, 2006).
Remedial massage (pijat penyembuhan) adalah suatu pijatan yang
dilakukan untuk membantu mempercepat proses pemulihan beberapa macam
penyakit dengan menggunakan sentuhan tangan dan tanpa memasukkan obat
kedalam tubuh yang bertujuan untuk meringankan atau mengurangi keluhan
atau gejala pada beberapa macam penyakit yang merupakan indikasi untuk
dipijat (Bambang, 2011).
Jahe (Zingiber officinale Rosc) termasuk dalam daftar prioritas WHO
sebagai tanaman obat yang paling banyak di gunakan di dunia. Rimpangnya
yang mengandung zingiberol dan kurkuminoid terbukti berkhasiat mengurangi
peradangan dan nyeri sendi. Jahe menekan sintesis prostaglandin melalui
inhibisi cyclooxygenase-1 daan cyclooxygenase-2, hasil penemuan selanjutnya
menyatakan bahwa jahe juga menekan biosintesis leukotrin dengan
menghambat 5-lipoxygenase, dan dalam penelitian sebelumnya dinyatakan
bahwa dua inhibitor cyclooxygenase dan 5-lipoxygenase memiliki riwayat
terapeutik lebih baik dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
NSAIDs (Grzanna dkk, 2005).
4
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan tindakan pemberian terapi kompres jahe dan massage
terhadap intensitas nyeri pada pasien dengan osteoartritis.
2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan
Osteoartritis.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien
dengan Osteoartritis.
c. Penulis mampu menyusun intervensi pada pasien dengan
Osteoartritis.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan
Osteoartritis.
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan Osteoartritis.
f. Penulis mampu menganalisis efek dari pemberian terapi kompres jahe
dan massage terhadap intensitas nyeri pada pasen penderita
Osteoartritis.
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan tentang pengaruh pemberian kompres jahe
dan massage terhadap intensitas nyeri pada penderita Osteoartritis.
2. Bagi Institusi pendidikan
5
Menambah referensi perpustakaan dan sebagai sumber bacaan tentang
terapi kompres jahe dan massage pada osteoartritis serta dapat dijadikan
sebagai bahan kegiatan praktikum bagi mahasiswa keperawatan dalam
upaya mengontrol nyeri pada penderita Osteoartritis secara
nonfarmakologis.
3. Bagi Lansia
Lansia akan lebih termotivasi untuk melakukanterapi kompres
menggunakan jahe dan massage sebagai tehnik pengobatan
nonfarmakologi yang bahannya mudah didapatkan serta menggunakan
cara yang sederhana.
4. Bagi Panti Sasana TresnaWredha
Pihak Panti Sasana Tresna Wredha dapat menerapkan tehnik
nonfarmakologi kompres jahe dan massage sebagai alternatif pengobatan
pada penderita Osteoartritis.
5. Praktek keperawatan
Dapat digunakan sebagai salah satu cara alternatif atau intervensi mandiri
yang dilakukan perawat klinis dalam penatalaksanaan Osteoartritis untuk
membantu menurunkan nyeri dengan Osteoartritis.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan teori
1. Lansia
a. Definisi
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1), (2), (3), dan
(4) UU no. 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia
lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun. Usia lanjut
dapat dikatakan usia emas karena tidak semua orang dapat mencapai
usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan
keperawatan, baik bersifat promotif maupun preventif, agar dapat
menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan
bahagia (Maryam, 2008).
b. Batasan Lanjut Usia
Menurut badan kesehatan dunia (World Health Organization)
dalam Yuli Reni (2014), yang dikatakan lanjut usia tersebut dibagi
menjadi tiga kategori yaitu:
1) Usia lanjut (elderly) 60-74 tahun.
2) Usia tua (old) 75-89 tahun.
3) Usia sangat lanjut (very old) lebih dari 90 tahun.
7
Sedangkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia membagi
lanjut usia sebagai berikut:
a) Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) keadaan ini
dikatakan sebagai masa virilitas.
b) Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai masa presenium.
c) Kelompok usia lanjut (lebih dari 65 tahun) yang dikatakan sebagai
masa senium.
c. Ciri-ciri Lansia
Ciri-ciri yang dijumpai di usia lanjut menurut Wahyunita dan
Fitrah (2010), meliputi :
1) Secara fisik : penglihatan dan pendengaran menurun, kulit tampak
mengendur, aktivitas tubuh menurun, penumpukan lemak di bagian
perut dan panggul.
2) Secara psikologis : merasa kurang percaya diri, sering merasa
kesepian, merasa sudah tidak dibutuhkan lagi dan tidak berguna,
tipe optimis, dependen (ketergantungan), tipe marah/frustasi
(kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), putus asa
(benci pada diri sendiri).
2. Osteoartritis
a. Definisi
Osteoartritis merupakan gangguan sendi yang tersering dalam
proses penuaan kelainan ini paling sering dirasakan pada lansia
8
(Robbins, 2007). Osteoartritis (juga disebut penyakit degeneratif
sendi, hipertrofi artritis, artritis senescent dan osteoartrosis) adalah
gangguan yang berkembang secara lambat, tidak simetris, non
inflamasi yang terjadi pada sendi-sendi yang dapat digerakkan,
khususnya pada sendi-sendi yang menahan berat tubuh (Stanley,
2006).
Osteoartritis (penyakit pengapuran sendi) merupakan kelainan
sendi non inflamasi yang mengenai sendi yang dapat digerakkan,
terutama sendi penumpu badan, dengan gambaran patologis dengan
karakteristik berupa buruknya tulang rawan sendi serta terbentuknya
tulang-tulang baru pada sub kondrial dan tepi-tepi tulang yang
membentuk sendi, sebagai hasil akhir terjadi perubahan biokimia,
metabolisme, fisiologis dan patologis secara serentak pada jaringan
hialin rawan, jaringan sub kondrial dan jaringan tulang yang
membentuk persendian (R. Boedhi Darmojo & Martono Hadi, 1999).
Dapat disimpulkan bahwa osteoartritis (penyakit pengapuran
sendi) adalah suatu penyakit degeneratif, yang menyebabkan nyeri dan
kekakuan pada sendi yang sering diderita pada tahap menua yaitu pada
usia diatas 60 tahun sehingga membuat sendi-sendi menjadi sulit untuk
digerakkan dan apabila tidak digerakkan akan memperparah keadaan
(Yuli Reni, 2014).
9
b. Etiologi
Penyebab dari osteoartritis hingga saat ini masih belum terungkap,
namun beberapa faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis menurut
Bambang (2011) dalam Yuli Reni (2014) antara lain :
1) Umur.
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis,
faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya
orteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur.
Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur
dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun. Penderita
osteoartritis khususnya osteoartritis genu (lutut) meningkat pada
usia lebih dari 65 tahun, baik secara klinik maupun radiologik.
Perubahan fisis dan biokimia yang terjadi sejalan dengan
bertambahnya umur dengan penurunan jumlah kolagen dan kadar
air, dan endapannya berbentuk pigmen yang berwarna kuning.
2) Jenis Kelamin.
Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi,
dan lelaki lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan
tangan dan leher. Secara keseluruhan dibawah usia 45 tahun
frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita,
tetapi diatas 50 tahun frekuensi osteoartritis lebih banyak pada
wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal
pada pathogenesis osteoartritis.
10
3) Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis
misal, pada ibu dari seorang wanita dengan osteoartritis pada
sendi-sendi inter falang distal terdapat dua kali lebih
sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya
perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada
ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis.
4) Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis
nampaknya terdapat perbedaan diantara masing-masing suku
bangsa, misalnya osteoartritis paha lebih jarang diantara orang-
orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia. Osteoartritis lebih
sering dijumpai pada orang-orang Amerika asli dari pada orang
kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara
hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan
pertumbuhan.
5) Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan
meningkatnya resiko untuk timbulnya osteoartritis baik pada
wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan
dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga
dengan osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula).
11
6) Pengausan (wear and tear)
Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat
merusak rawan sendi melalui dua mekanisme yaitu pengikisan dan
proses degenerasi karena bahan yang harus dikandungnya.
7) Trauma
Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan osteoartritis adalah
trauma yang menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan
biomekanik sendi tersebut.
8) Akibat penyakit radang sendi lain
Infeksi (artritis rematoid, infeksi akut, infeksi kronis)
menimbulkan reaksi peradangan dan pengeluaran enzim perusak
matriks rawan sendi oleh membran sinovial dan sel-sel radang.
9) Joint Mallignment
Pada akromegali karena pengaruh hormon pertumbuhan,
maka rawan sendi akan membal dan menyebabkan sendi menjadi
tidak stabil/seimbang sehingga mempercepat proses degenerasi.
10) Penyakit endokrin
Pada hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-garam
proteglikan yang berlebihan pada seluruh jaringan penyokong
sehingga merusak sifat fisik rawan sendi, ligamen, tendo, sinovia,
dan kulit. Pada diabetes melitus, glukosa akan menyebabkan
produksi proteaglikan menurun.
12
11) Deposit pada rawan sendi
Hemokromatosis, penyakit wilson, akronotis, kalsium
pirofosfat dapat mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer,
asam hemogentisis, kristal monosodium urat/pirofosfat dalam
rawan sendi.
Kelainan yang dapat ditemukan pada tulang rawan sendi,
tulang, membran synovial, kapsul sendi, badan lepas (loos bodies),
efusi, nodus heberden dan bouchard (Chairuddin, 2003 dalam
Nurarif, dkk, 2013).
c. Patofisiologi
Penyakit sendi degenerative (osteoartritis) merupakan suatu
penyakit kronik, tidak meradang, dan progresif lambat, yang seakan-
akan merupakan proses penuaan, rawan sendi mengalami kemunduran
dan degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang baru pada bagian
tepi sendi.
Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit
yang merupakan unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut
diduga diawali oleh stress biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim
lisosom menyebabkan dipecahnya polisakarida protein yang
membentuk matriks di sekeliling kondrosit sehingga mengakibatkan
kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi
yang harus menanggung berat badan, seperti panggul, lutut dan
kolumna vertebralis. Sendi inter falang distal dan proksimasi.
13
Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan
terbatasnya gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang
dialami atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau kurang
digunakannya sendi tersebut. Perubahan-perubahan degeneratif yang
mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu misalnya cedera
sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit peradangan
sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat
intrinsik dan ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur pada ligamen
atau adanya perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya
mengakibatkan tulang rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang
menjadi tebal dan terjadi penyempitan rongga sendi yang
menyebabkan nyeri, kaki krepitasi, deformitas, adanya hipertropi atau
nodulus (Soeparman, 1995 dalam Yuli Reni, 2014).
d. Manifestasi klinis
Tanda dan Gejala dari Osteoartritis menurut Yuli Reni (2014) antara
lain :
a) Rasa nyeri pada sendi
Merupakan gambaran primer pada Osteoartritis, nyeri akan
bertambah apabila sedang melakukan suatu kegiatan fisik.
b) Kekakuan dan keterbatasan gerak
Biasanya akan berlangsung 15 – 30 menit dan timbul setelah
istirahat atau saat memulai kegiatan fisik.
14
c) Peradangan
Sinovitis sekunder, penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan
dalam ruang sendi akan menimbulkan pembengkakan dan
peregangan simpai sendi yang akan menimbulkan nyeri.
d) Mekanik
Nyeri biasanya akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas
lama dan akan berkurang pada waktu istirahat. Mungkin ada
hubungannya dengan keadaan penyakit yang telah lanjut dimana
rawan sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya berlokasi pada
sendi yang terkena tetapi dapat menjalar, misalnya pada
osteoartritis coxae nyeri dapat dirasakan di lutut, bokong sebelah
lateril, dan tungkai atas. Nyeri dapat timbul pada waktu dingin,
akan tetapi hal ini belum dapat diketahui penyebabnya.
e) Pembengkakan sendi
Pembengkakan sendi merupakan reaksi peradangan karena
pengumpulan cairan dalam ruang sendi biasanya teraba panas
tanpa adanya kemerahan.
f) Deformitas
Disebabkan oleh distruksi lokal rawan sendi.
g) Gangguan fungsi
Timbul akibat ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi.
e. Penatalaksanaan
Menurut Yuli Reni (2014) Penatalaksanaan osteoartritis, antara lain:
15
1) Pencegahan
a) Penurunan berat badan
b) Pencegahan cedera
c) Screening sendi paha
d) Pendekatan ergonomik untuk memodifikasi stres akibat kerja
2) Terapi Farmakologi
Obat-obat antiinflamasi nonsteroid bekerja sebagai analgetik dan
sekaligus mengurangi sinovitis, meskipun tak dapat memperbaiki
atau menghentikan proses patologis osteoartritis.
a) Acetaminophen
Merupakan obat pertama yang direkomendasikan oleh dokter
karena relatif aman dan efektif untuk mengurangi rasa sakit.
b) NSAIDs (Nonsteroid Anti Inflammatory Drugs)
Dapat mengatasi rasa sakit dan peradangan pada sendi. Efek
samping, yaitu menyebabkan sakit perut dan gangguan fungsi
ginjal.
c) Topical pain
Dalam bentuk cream atau spray yang bisa digunakan
langsung pada kulit yang terasa sakit.
d) Tramadol
Tidak mempunyai efek samping seperti yang ada pada
acetaminophen dan NSAIDs.
16
e) Mild narcotic painkillers
Mengandung analgesik seperti codein atau hydrocodone yang
efektif mengurangi rasa sakit pada penderita osteoartritis.
f) Corticosteroids
Efek mengurangi rasa sakit.
g) Hyaluronic acid
Merupakan glycosaminoglycan yang tersusun oleh
disaccharides of glucuronic acid dan N-acetyanglucosamine.
Disebut juga viscosupplementation. Digunakan dalam
perawatan pasien osteoartritis. Dari hasil penelitian yang
dilakukan, 80% pengobatan dengan menggunakan hyaluronic
acid mempunyai efek yang lebih kecil dibandingkan
pengobatan dengan menggunakan placebo. Makin besar
molekul hyaluronic acid yang diberikan, makin besar efek
positif yang dirasakan karena hyaluronic acid efektif
mengurangi rasa sakit.
h) Glucosamine dan chondroitin sulfate
Mengurangi pengobatan untuk pasien osteoartritis pada lutut.
3) Terapi nonfarmakologi
a) Olahraga
Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga yang tidak terlalu
berat dan tidak menyebabkan bertambahnya kompresi atau
17
tekanan atau trauma pada sendi, yaitu misalnya berenang dan
menggunakan sepeda statis.
Olahraga selain berfungsi untuk mengurangi rasa sakit dan
kaku juga bermanfaat untuk mengontrol berat badan.
b) Proteksi/perlindungan sendi
Sendi dijaga dari berbagai aktivitas sehari-hari dan pekerjaan
yang dapat menambah stres/tekanan pada sendi.
Osteoartritis mungkin timbul atau diperkuat karena mekanisme
tubuh yang kurang baik. Perlu dihindari aktifitas yang
berlebihan pada sendi yang sakit. Pemakaian tongkat, alat-alat
listrik yang dapat memperingan kerja sendi juga perlu
diperhatikan. Beban pada lutut yang berlebihan karena kaki
yang tertekuk (pronatio).
c) Terapi konservatif
Terapi panas digunakan untuk mengurangi rasa sakit, membuat
otot-otot sekitar sendi rileks dan memperlancar peredaran
darah. Terapi panas dapat diperoleh dari kompres dengan air
hangat/panas, sinar IR (Infra Red) dan alat-alat terapi lain.
Sedangkan terapi dingin digunakan untuk mengurangi bengkak
pada sendi dan mengurangi rasa sakit. Dapat diperolah dari
kompres dengan air dingin.
Selain itu bisa dengan massage/pijat, sebaiknya dilakukan oleh
orang yang ahli dibidangnya. Tujuan massage tersebut adalah
18
untuk membuat rileks otot-otot yang spasme dan membantu
melancarkan sirkulasi darah.
d) Diet
Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis yang
gemuk harus menjadi program utama pengobatan osteoartritis.
Pengurangan berat badan seringkali dapat mengurangi
timbulnya keluhan dan peradangan.
Pemberian vitamin C, D, E dan Beta karoten, vitamin-vitamin
tersebut bermanfaat untuk mengurangi laju perkembangan
osteoartritis.
e) Fisioterapi
Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan osteoartritis,
meliputi terapi panas dan dingin dan program latihan yang
tepat. Pemakaian panas yang diberikan sebelum latihan untuk
mengurangi rasa nyeri dan kekakuan. Pada sendi yang masih
aktif sebaiknya diberi kompres dingin dan obat gosok jangan
dipakai sebelum pemanasan. Program latihan bertujuan untuk
memperbaiki gerak sendi dan memperkuat otot yang biasanya
atropik pada sekitar sendi osteoartritis.
4) Operasi
Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis dengan
kerusakan sendi yang nyata dengan nyeri yang menetap dan
kelemahan fungsi. Tindakan yang dilakukan adalah osteomy untuk
19
mengoreksi ketidaklurusan atau ketidaksesuaian, debridement
sendi untuk menghilangkan fragmen tulang rawan sendi,
pembersihan osteofit.
5) Akupuntur
Dapat mengurangi rasa sakit dan merangsang fungsi sendi.
f. Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang pada osteoartritis dalam Yuli Reni
(2014), antara lain:
1) Laboratorium
a) Ig (IgG dan IgM) meningkat menunjukkan proses autoimun
b) LED meningkat
c) Protein C reaktif : positif pada masa inkubasi
d) SDP meningkat pada proses inflamasi
2) Foto Rontgent
Menunjukkan penurunan progresif massa kartilago sendi sebagai
penyempitan rongga sendi.
3) Serologi
Cairan sinovial dalam batas normal
4) Tes-tes khusus
a) Tes Ballotement (menggoyang-goyangkan obyek didalam
cairan)
Caranya : recessus, suprapatellaris dikosongkan dengan
menekannya dengan satu tangan, sementara itu dengan jari
20
tangan lainnya patella ditekan ke bawah, apabila terdapat
(banyak) cairan pada sendi lutut (akibat OA) maka patella
seperti terangkat sehingga sedikit ada gerakkan ke atas bawah
dan kadang terasa seolah-olah patella “mengetik” pada dasar
keras itu.
b) Tes Fluktuasi
Caranya : ibu jari dan jari telunjuk dari satu tangan diletakkan
di sebelah kiri dan kanan patella. Bila kemudia recessus
suprapatellaris itu dikosongkan menggunakan tangan lainnya,
maka ibu jari dan jari telunjuk tadi seolah-olah terdorong oleh
perpindahan cairan dalam sendi lutut.
c) Tes lekuk
Caranya : dengan memakai punggung tangan, kita mengusapi
“lekuk kecil” disebelah medial patella kearah proximal,
sehingga dikosongkan dari cairannya. Kalau kemudian kita
melaksanakan gerakkan mengusap yang sama pada patella
bagian lateral, maka lekuk kecil yang medial itu akan kelihatan
terisi cairan.
3. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas
21
Identitas klien yang biasa di kaji pada penyakit sistem
muskuloskeletal adalah usia, karena ada beberapa penyakit
muskuloskeletal banyak terjadi pada klien diatas usia 60 tahun.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan penyakit
muskuloskeletal seperti osteoartritis klien mengeluh nyeri pada
persendian yang terkena, adanya keterbatasan gerak yang
menyebabkan keterbatasan gerak yang menyebabkan keterbatasan
mobilitas.
3) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai penyakit yang
diderita oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan
sampai klien dibawa ke Rumah sakit, dan apakah pernah
memeriksakan diri ke tempat lain selain rumah sakit umum serta
pengobatan apa yang pernah diberikan dan bagaimana
perubahannya dan data yang didapatkan saat pengkajian.
4) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat kesehatan yang lalu seperti riwayat penyakit
muskuloskeletal sebelumnya, riwayat pekerjaan pada pekerja yang
berhubungan dengan adanya riwayat penyakit muskuloskeletal,
penggunaan obat-obatan, riwayat mengkonsumsi alkohol dan
merokok.
22
5) Riwayat penyakit keluarga
Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita
penyakit yang sama karena faktor genetik/keturunan.
6) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
Keadaan umum klien lansia yang mengalami gangguan
muskuloskeletal biasanya lemah.
b) Kesadaran
Kesadaran klien biasanya Composmentis dan Apatis.
c) Tanda-tanda vital :
(1) Suhu meningkat (>37oC).
(2) Nadi meningkat (N : 70-82x/menit).
(3) Tekanan darah meningkat atau dalam batas nornal.
(4) Pernafasan biasanya mengalami normal atau meningkat.
d) Pemeriksaan Review Of System (ROS)
(1) Sistem pernafasan
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih
dalam batas normal.
(2) Sistem sirkulasi
Kaji adanya penyakit jantung, frekuensi nadi apikal,
sirkulasi perifer, warna, dan kehangatan.
23
(3) Sistem persarafan
Kaji adanya hilangnya gerakan/sensasi, spasme otot,
terlihat kelemahan/hilang fungsi. Pergerakan
mata/kejelasan melihat, dilatasi pupil. Agitasi (mungkin
berhubungan dengan nyeri/ansietas).
(4) Sistem perkemihan
Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urin,
disuria, distensi kandung kemih, warna dan bau urin, dan
kebersihannya.
(5) Sistem pencernaan
Konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultasi
bising usus, anoreksia, adanya distensi abdomen, adanya
nyeri tekan abdomen.
(6) Sistem muskuloskeletal
Kaji adanya nyeri berat tiba-tiba/mungkin terlokalisasi pada
area jaringan, dapat berkurang pada imobilisasi, kekuatan
otot, kontraktur, atrofi otot, laserasi kulit dan perubahan
warna.
e) Pola Fungsi kesehatan
Yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang biasa
dilakukan sehubungan dengan adanya nyeri pada persendian,
ketidakmampuan mobilisasi.
24
(1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, dan penanganan
kesehatan.
(2) Pola nutrisi
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan
elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet, kesulitan
menelan, mual/muntah, dan makanan kesukaan.
(3) Pola eliminasi
Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung kemih,
defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah nutrisi,
dan penggunaan kateter.
(4) Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat,dan persepsi terhadap
energi, jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah
tidur, dan insomnia.
(5) Pola aktivitas dan latihan
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan,
dan sirkulasi, riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama,
dan kedalaman pernapasan.
(6) Pola hubungan dan peran
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien
terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal,
pekerjaan, tidak punya rumah, dan masalah keuangan.
25
(7) Pola sensori dan kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi
sensori meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran,
perasaan, dan pembau. Pada klien katarak dapat ditemukan
gejala gangguan penglihatan perifer, kesulitan
memfokuskan kerja mata, dan merasa diruang gelap.
(8) Pola konsep diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi
terhadap kemampuan kosep diri. Konsep diri
menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran diri,
identitas diri.
(9) Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan kepuasan/masalah terhadap seksualitas.
(10) Pola mekanisme koping
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres.
(11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan
termasuk spiritual.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan agen cidera (biologis, kimia, fisik,
psikologis), ditandai dengan klien melaporkan adanya nyeri pada
persendian, ekspresi wajah meringis.
26
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan berhubungan
dengan nyeri dan ketidaknyamanan, kerusakan neuromuskuler,
kehilangan integritas struktur tulang, kekakuan sendi atau
kontraktur.
3) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pengobatan penyakit,
trauma atau cedera, pembedahan ditandai dengan klien
mengungkapkan mengenai perubahan dalam penampilan, struktur
dan fungsi, perasaan negatif tentang tubuh (perasaan tidak berdaya,
keputusan atau tidak ada kekuatan), mengatakan perubahan dalam
kehidupan.
c. Intervensi Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan agen injury (biologi, kimia, fisik,
psikologis) ditandai dengan klien melaporkan adanya nyeri pada
persendian, ekspresi wajah meringis.
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan klien dapat mengontrol nyeri (Pain Control)
dengan kriteria hasil :
(1) Klien dapat mengetahui penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri dan tindakan pencegahan nyeri.
(2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri.
(3) Menunjukkan tingkat nyeri.
27
(4) Klien mengatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
(5) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
(6) Ekspresi wajah tenang.
b) Intervensi :
(1) Manajemen Nyeri (Pain Management)
(a) Kaji secara komprehensif tentang nyeri, meliputi :
lokasi, karakteristik, onset, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor presipitasi.
Rasional : untuk mengetahui penyebab nyeri, kualitas
nyeri, lokasi nyeri, skalanyeri dan waktu terjadinya
nyeri (durasi)
(b) Berikan posisi nyaman
(c) Observasi isyarat-isyarat nonverbal dari
ketidaknyamanan
(d) Ajarkan penggunaan tehnik nonfarmakologi (misal:
relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi,
aplikasi panas-dingin, massage).
(2) Pemberian Analgetik (Analgetic Administration)
(a) Monitor vital sign
(b) Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri hebat.
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan berhubungan
dengan nyeri dan ketidaknyamanan, kerusakan neuromuskuler,
28
kehilangan integritas struktur tulang, kekakuan sendi atau
kontraktur).
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan klien dapat menunjukkan tingkat mobilitas
dengan kriteria hasil :
(1) Klien menunjukkan pergerakkan sendi.
(2) Klien menunjukkan penggunaan alat bantu secara benar
dengan pengawasan.
(3) Klien meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika
diperlukan.
(4) Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
b) Intervensi :
(1) Terapi aktivitas: ambulasi (Excercise Therapy Ambulation)
(a) Ajarkan dan bantu klien untuk berpindah sesuai
kebutuhan (misal: dari tempat tidur ke kursi).
(b) Pantau penggunaan alat bantu mobilitas (misal: tongkat,
walker, kruk, atau kursi roda).
(c) Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan.
(d) Ajarkan dan dukung klien dalam latihan ROM
aktif/pasif untuk mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan dan ketahanan otot.
29
(2) Terapi aktifitas : mobilisasi sendi (Excercise Therapy :
Joint mobility)
(a) Kolaborasi dengan terapi fisik dalam pengembangan
program latihan.
(b) Jelaskan pada klien dan keluarga tentang maksud dan
rencana latihan.
(c) Bantu klien untuk mengatur posisi yang optimal dalam
ROM aktif/pasif.
(d) Motivasi klien untuk latihan ROM aktif/pasif dan
merencanakan jadwal latihan.
3) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pengobatan penyakit,
trauma atau cedera, pembedahan ditandai dengan klien
mengungkapkan mengenai perubahan dalam penampilan, struktur
dan fungsi, perasaan negatif tentang tubuh (perasaan tidak berdaya,
keputusan atau tidak ada kekuatan), mengatakan perubahan dalam
kehidupan.
a) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan klien menunjukkan citra tubuh yang positif
dengan kriteria hasil :
(1) Klien mendemonstrasikan penerimaan terhadap perubahan
bentuk tubuh.
(2) Klien mengungkapkan kepuasan terhadap penampilan dan
fungsi tubuh.
30
(3) Mengungkapkan pengakuan terhadap perubahan aktual
pada penampilan tubuh.
b) Intervensi :
(1) Peningkatan citra tubuh (Body Image Enhanchement)
(a) Kaji dan dokumentasikan respon verbal dan nonverbal
klien tentang tubuh klien.
(b) Tentukan apakah perubahan fisik saat ini telah
dikaitkan kedalam citra tubuh klien.
(c) Pantau frekuensi pernyataan yang mengkritik diri.
(d) Dorong klien untuk mengeksplorasi perubahan yang
dialaminya.
(e) Bantu klien agar dapat menerima bantuan dari orang
lain.
d. Evaluasi Keperawatan
1) Diagnosa keperawatan : nyeri akut/kronis
a) klien menunjukkan kemampuan menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, dan tindakan
pencegahan nyeri.
b) klien mampu mengenal tanda-tanda pencetus nyeri untuk
mencari pertolongan.
c) klien melaporkan nyeri berkurang.
d) klien mengungkapkan kenyamanan setelah nyeri berkurang.
e) klien menunjukkan tanda vital dalam batas normal.
31
f) klien menunjukkan ekspresi wajah tenang.
2) Diagnosa keperawatan : Hambatan mobilitas fisik
a) Klien menunjukkan penampilan yang seimbang.
b) Klien menunjukkan penampilan posisi tubuh.
c) Klien dapat melakukan pergerakan sendi.
d) Klien dapat melakukan perpindahan.
e) Klien dapat berjalan.
f) Klien menggunakan alat bantu secara benar dengan
pengawasan.
g) Klien mau meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika
diperlukan.
h) Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
3) Diagnosa keperawatan : Gangguan citra tubuh
a) Klien mendemonstrasikan penerimaan perubahan bentuk tubuh.
b) Klien puas dengan kemampuan dan fungsi tubuh.
c) Klien mau menyentuh bagian tubuh yang mengalami
gangguan.
d) Klien dapat melakukan hubungan sosial yang dekat.
32
4. Nyeri
a. Definisi
Nyeri menurut IASP (International Association for the Study of
Pain) adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial (Herdman, 2012).
Nyeri akut yaitu pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual
atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa
(International Association for the Study of Pain) awitan tiba-tiba atau
lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung kurang dari 6 bulan.
Sedangkan nyeri kronis merupakan nyeri yang memiliki awitan yang
tiba-tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan hingga berat, terjadi
secara konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi dan berlangsung lebih dari 6 bulan (Herdman, 2012)
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Faktor yang memperberat/memperingan nyeri. Perawat perlu
mengkaji faktor-faktor yang dapat memperberat nyeri pasien. Misalnya
peningkatan aktivitas, perubahan suhu, stres dan yang lainnya,
sehingga dengan demikian perawat dapat memberikan tindakan yang
tepat untuk menghindari peningkatan respon nyeri pada klien.
Demikian halnya perawat perlu untuk mengetahui apakah klien
33
mempunyai cara-cara sendiri yang efektif untuk menghilangkan atau
menurunkan nyerinya, seperti mengubah posisi, melakukan tindakan
ritual, menggosok/massage bagian tubuh yang sakit, meditasi atau
mengompres dingin atau hangat.
Macferry dan Pasero (1999) menyatakan bahwa hanya klienlah
yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan.
Oleh karena itulah dikatakan klien sebagai expert tentang nyeri yang ia
rasakan. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi persepsi
dan reaksi masing-masing individu terhadap nyeri. Seorang perawat
harus menguasai dan memahami faktor-faktor tersebut agar dapat
memberikan pendekatan yang tepat dalam pengkajian dan perawatan
terhadap klien yang mengalami masalah nyeri. Faktor-faktor tersebut
antara lain:
1) Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam
mempengaruhi nyeri pada individu. Anak yang masih kecil
mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur
pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang
belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan
mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada
kedua orang tuanya ataupun pada perawat. Sebagian anak-anak
terkadang segan untuk mengungkapkan keberadaan nyeri yang ia
34
alami, mereka takut akan tindakan perawatan yang harus mereka
terima nantinya.
Pada pasien lansia seorang perawat harus melakukan
pengkajian lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya
nyeri. Sering kali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu.
Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia
menimbulkan gejala yang sama, sebagai contoh nyeri dada tidak
selalu mengindikasikan serangan jantung, nyeri dada dapat timbul
karena gejala arthritis pada spinal dan gejala gangguan abdomen.
Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang mereka
rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan
konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari.
2) Jenis Kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara
signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya
yang menganggap bahwa seorang laki-laki harus lebih berani dan
tidak boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi
yang sama ketika merasakan nyeri. Akan tetapi dari penelitian
terakhir memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh
terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron
menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan
estrogen meningkatkan pengenalan/ sensitivitas terhadap nyeri.
35
Bagaimanapun, pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh
personal, sosial, budaya dan lain-lain.
3) Kebudayaan
Perawat sering kali berasumsi bahwa cara berespon pada
setiap individu dalam masalah nyeri adalah sama, sehingga mereka
mencoba mengira bagaimana pasien berespon terhadap nyeri.
Sebagai contoh, apabila seorang perawat yakin bahwa menangis
dan merintih mengindikasikan suatu ketidakmampuan dalam
mengontrol nyeri, akibatnya pemberian therapi bisa jadi tidak
cocok untuk klien berkebangsaan Meksiko-Amerika yang
menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri
sebagai sesuatu yang berat atau mengharapkan perawat melakukan
intervensi.
4) Makna Nyeri
Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Seorang
wanita yang merasakan nyeri saat bersalin akan mempersepsikan
nyeri secara berbeda dengan wanita lainnya yang nyeri karena
dipukul oleh suaminya.
5) Lokasi dan tingkat keparahan nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan
tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang
dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan
36
nyeri yang berat. Dalam kaitannya dalam kualitas nyeri, masing-
masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti
tertusuk-tusuk, nyeri tumpil, berdenyut, terbakar, dan lain-lain,
sebagai contoh individu yang tertusuk jarum akan melaporkan
nyeri yang berbeda dengan individu yang terkena luka bakar.
6) Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap
nyeri akan meningkatkan respon nyeri sedangkan upaya
pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan penurunan respon
nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk
menghilangkan nyeri, seperti relaksi, teknik imajinasi terbimbing
(guided imagery), dan masase.
7) Ansietas (kecemasan)
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks,
ansietas yang dirasakan seseorang sering kali meningkatkan
persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan
ansietas. Sebagai contoh seseorang yang menderita kanker kronis
dan merasa takut akan kondisi penyakitnya akan semakin
meningkatkan persepsi nyerinya.
8) Keletihan
Keletihan/kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan
sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu.
37
9) Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi
pengalaman yang telah dirasakan oleh individu tidak berarti bahwa
individu tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa
yang mendatang. Seseorang yang biasa merasakan nyeri akan lebih
siap dan mudah mengantisipasi nyeri dari pada individu yang
mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri.
10) Dukungan Keluarga dan Sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan
dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau
teman trerdekat. Walaupun nyeri masih dirasakan oleh klien,
kehadiran orang terdekat akan menimbulkan kesepian dan
ketakutan (Prasetyo, 2010).
c. Intensitas nyeri
Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri
yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat
subjektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang
sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran subyektif nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai alat pengukur nyeri seperti skala visual analog, skala
numerik, skala nyeri deskriptif atau skala nyeri Wong-Bakers
(Tamsuri, 2006).
38
d. Pemeriksaan nyeri
Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan seorang
perawat di dalam memulai mengkaji respon nyeri yang dialami oleh
klien. Donovan & Girton (1984) mengidentifikasi komponen-
komponen tersebut diantaranya:
1) Penentuan ada tidaknya nyeri
Dalam melakukan pengkajia terhadap nyri, perawat harus
mempercayai ketika pasien melaporkan adanya nyeri, walaupun
dalam observasi perawat tidak menemukan adanya cedera atau
luka. Setiap nyeri yang dilaporkan oleh klien adalah nyata.
Sebaliknya, ada beberapa pasien yang terkadang justru
menyembunyikan rasa nyerinya untuk menghindari pengobatan.
2) Karakteristik nyeri (metode P, Q, R, S, T)
a) Faktor pencetus (P: Provocate)
Perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus-stimulus
nyeri pada klien, dalam hal ini perawat juga dapat melakukan
observasi bagian-bagian tubuh yang mengalami cedera.
Apabila perawat mencurigai adanya nyeri psikogenik maka
perawat harus dapat mengeksplore perasaan klien dan
menanyakan perasaan-perasaan apa yang dapat mencetuskan
nyeri.
39
b) Kualitas (Q: Quality)
Karakteristik subjektif nyeri yang lain adalah kualitas nyeri itu
sendiri. Karena tidak terdapat perbendaharaan kata nyeri yang
khusus atau umum, dalam penggunaan yang umum, kata-kata
yang seorang klien pilih untuk mendeskripsikan nyeri dapat
diterapkan pada suatu hal dengan jumlah berapapun.
Pengkajian akan lebih akurat apabila klien mampu
mendeskripsikan sensasi yang dirasakannya setelah perawat
mengajukan pertanyaan terbuka. Nyeri yang dirasakan klien
sering kali tidak dapat dijelaskan. Pada kesempatan selanjutnya
klien dapat memilih istilah yang lebih deskriptif (Potter &
Perry, 2005). Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif
yang diungkapkan oleh klien, sering kali klien mendeskripsikan
nyeri dengan kalimat-kalimat: tajam, tumpul, berdenyut,
berpindah-pindah, seperti tertindih, prih, tertusuk dan lain-lain,
dimana tiap-tiap klien mungkin berbeda-beda dalam
melaporkan kualitas nyeri yang dirasakan.
c) Lokasi (R: Regio)
Untuk mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta klien
untuk menunjukkan semua bagian/daerah yang dirasakan tidak
nyaman oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik,
maka perawat dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri
dari titik yang paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit
40
apabila nyeri yang dirasakan bersifat difus (menyebar). Dalam
mendokumentasikan hasil pengkajian tentang lokasi nyeri,
perawat hendaknya menggunakan bahasa anatomi atau istilah
yang deskriptif. Sebagai contoh pernyataan “nyeri terdapat di
kuadran abdomen kanan atas” adalah pernyataan yang lebih
spesifik dibandingkan “klien menyatakan bahwa nyeri terasa
pada abdomen”.
d) Keparahan (S: Severe)
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat
keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali
diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,
sedang, atau parah. Alat VDS (Verbal Descriptor Scale, VDS)
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical
Rating Scale, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsi kata.
e) Durasi (T: Time)
Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan,
durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat menanyakan:
“kapan nyeri mulai dirasakan?”, “sudah berapa lama nyeri
dirasakan?”, apakah nyeri yang dirasakan terjadi pada waktu
yang sama setiap hari?”, seberapa sering yeri kambuh?”, atau
dengan kata-kata lain yang semakna.
41
Persepsi nyeri dapat diukur dengan menggunakan alat ukur
intensitas nyeri. Alat yang digunakan untuk mengukur
intensitas nyeri adalah dengan memakai skala intensitas nyeri.
Adapun skala intensitas nyeri yang dikemukan Perry dan Potter
(2000) dalam Solehati dan Kosasih (2015) adalah :
3) Skala Analog Visual
Skala Analog Visual (Visual Analog Scale, VAS) merupakan suatu
garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini
memberikan kebebasan penuh pada pasien untuk mengidentifikasi
tingkat keparahan nyeri yang ia rasakan. Skala analog visual
merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif karena
pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada
dipaksa memilih satu kata atau satu angka.
Gambar 2.1
Visual Analog Scale
4) Skala NRS (Numeric Rating Scale)
Skala ini berbentuk garis horizontal yang menunjukkan angka-
angka dari 0-10, yaitu angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan
angka 10 menunjukkan nyeri yang paling hebat. Skala ini
merupakan garis panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya
1 cm diberi tanda. Skala ini d
yang hebat atau klien yang baru mengalami operasi. Tingkat angka
yang ditunjukkan oleh klien dapat digunakan untuk mengkaji
efektivitas dari intervensi pereda rasa nyeri.
skala ini dapat dipersepsikan sebagai berikut :
Keterangan:
Skala nyeri 0
Skala nyeri 1
Skala nyeri 4
Skala nyeri 7
1 cm diberi tanda. Skala ini dapat dipakai pada klien dengan nyeri
yang hebat atau klien yang baru mengalami operasi. Tingkat angka
yang ditunjukkan oleh klien dapat digunakan untuk mengkaji
efektivitas dari intervensi pereda rasa nyeri.
Menurut Potter & Perry (2005) dalam Manurung (2
skala ini dapat dipersepsikan sebagai berikut :
Gambar 2.2
Numeric Rating Scale
Keterangan:
Skala nyeri 0 : bebas nyeri
Skala nyeri 1-3 : nyeri sangat ringan hampir tidak terasa sampai
nyeri ringan berangsur-angsur meningkat, rasa
sakit bertambah dan rasa sakit sekali
mulai mengganggu namun masih dapat
beradaptasi.
Skala nyeri 4-6 : nyeri sedang sampai dengan sedang kuat, secara
obyektif pasien mulai terlihat mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
masih dapat mengikuti perintah dengan baik.
Skala nyeri 7-9 : nyeri kuat sampai dengan nyeri kuat sekali.
42
apat dipakai pada klien dengan nyeri
yang hebat atau klien yang baru mengalami operasi. Tingkat angka
yang ditunjukkan oleh klien dapat digunakan untuk mengkaji
Menurut Potter & Perry (2005) dalam Manurung (2013),
3 : nyeri sangat ringan hampir tidak terasa sampai
angsur meningkat, rasa
sakit bertambah dan rasa sakit sekali-kali sudah
mulai mengganggu namun masih dapat
dang kuat, secara
obyektif pasien mulai terlihat mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
masih dapat mengikuti perintah dengan baik.
9 : nyeri kuat sampai dengan nyeri kuat sekali.
43
Secara obyektif pada awalnya pasien terkadang
tidak dapat mengikuti perintah tapi masih repon
terhadap tindakan, dapat menunjukan lokasi nyeri
sampai dengan tidak dapat mendeskripsikan
nyerinya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjang dan distraksi.
Skala nyeri 10 : nyeri sangat berat pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi perilaku memukul, emosi tidak
terkontrol (Manurung, 2013 )
5) Skala Faces Pain Rating Scale (FPRS)
FPRS/skala wajah, merupakan skala nyeri dengan model gambar
kartun dengan enam tingkatan nyeri dan dilengkapi dengan angka
dari 0 sampai dengan 5. Skala ini biasanya digunakan untuk
mengukur skala nyeri pada anak. Adapun pendeskripsian skala
tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 2.3
Faces Pain Rating Scale
44
Keterangan :
a) 0 = tidak menyakitkan
b) 1 = sedikit sakit
c) 2 = lebih menyakitkan
d) 3 = lebih menyakitkan lagi
e) 4 = jauh lebih menyakitkan lagi
f) 5 = benar-benar menyakitkan
e. Respon fisiologis nyeri
Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang
otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagian
dari respon stres. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf
otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung
terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ visceral
(misal infark miokard, kolik akibat kandung empedu, atau batu ginjal)
maka system saraf simpatis menghasilkan suatu aksi. Respon fisiologis
yang timbul akibat nyeri antara lain:
45
Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri
Perawat perlu untuk mengkaji klien berkaitan dengan adanya
perubahan-perubahan pada respon fisiologis terhadap nyeri diatas
untuk mendukung diagnosa dan membantu dalam memberikan terapi
yang tepat.
1) Respon Perilaku
Respon perilaku yang ditunjukkan klien yang mengalami nyeri
bermacam-macam. Perawat perlu belajar dan mengenal berbagai
respon perilaku tersebut untuk memudahkan dan membantu dalam
mengidentifikasi masalah nyeri yang dirasakan pasien.
Respon perilaku terhadap nyeri yang biasa ditunjukkan oleh pasien
antara lain: merubah posisi tubuh, mengusap/memijat bagian yang
sakit, menggeretakkan gigi, menunjukkan ekspresi wajah meringis,
Respon fisiologis terhadap nyeri
Repon Simpatik
Peningkatan frekuensi pernapasan
Dilatasi saluran bronkiolus
Peningkatan frekuensi denyut
jantung
Vasokontriksi perifer (pucat,
peningkatan tekanan darah,)
Peningkatan kadar glukoa darah
Diaforesis
Peningkatan tegangan otot
Dilatasi pupil
Penurunan motilitas saluran cerna
Respon parasimpatik Pucat
Ketegangan otot
Penurunan denyut jantung atau
tekanan darah
Pernapasan cepat dan tidak teratur
Mual dan muntah
Kelemahan atau kelelahan
46
mengerutkan alis, ekspresi verbal menangis, mengerang,
mengaduh, menjerit, meraung.
2) Pengaruh nyeri terhadap kehidupan klien
Klien yang merasakan nyeri setiap hari akan mengalami gangguan
dalam kegiatan sehari-harinya. Pengkajian pada perubahan
aktivitas ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan
klien dalam berpartisipasi terhadap kegiatan-kegiatan sehari-hari,
sehingga perawat juga mengetahui sejauh mana ia dapat membantu
dalam progam aktivitas pasien. Perubahan-perubahan yang perlu
dikaji antara lain: perubahan pola tidur (apakah nyeri menggangu
pola tidur klien), pengaruh nyeri pada aktivitas sehari-hari misal:
makan, minum, mandi BAK atau BAB, serta perubahan pola
interaksi terhadap orang lain (apakah nyeri mengganggu dalam
berinteraksi terhadap prang disekitarnya).
3) Persepsi klien tentang nyeri
Dalam hal ini perawat perlu mengkaji persepsi klien terhadap
nyeri, bagaimana klien menghubungkan antara nyeri yang ia alami
dengan proses penyakit atau hal lain dalam diri atau lingkungan
disekitarnya.
4) Mekanisme adaptasi klien terhadap nyeri
Terkadang individu memiliki cara masing-masing dalam
beradaptasi terhadap nyeri. Perawat dalam hal ini perlu mengkaji
cara-cara apa saja yang biasanya klien gunakan untuk menurunkan
47
nyeri yang ia alami, mengkaji keefektifan cara tersebut dan apakah
bisa digunakan saat klien menjalani perawatan dirumah sakit.
Apabila cara tersebut dapat digunakan, perawat dapat
memasukkannya dalam rencana tindakan (Prasetyo, 2010).
f. Klasifikasi nyeri
1) Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Awitan
Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokkan sebagai
nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi
dalam waktu (durasi) dari 1 detik sampai dengan kurang dari enam
bulan, sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam
waktu lebih dari enam bulan. Nyeri akut umumnya terjadi pada
cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan awitan yang
cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi (sedang sampai berat).
Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan
bermanfaat untuk mengindikasikan adanya cedera atau penyakit
pada tubuh. Nyeri kronis umunya timbul tidak teratur, intermitten,
atau bahkan persisten. Nyeri kronis dibedakan dalam dua
kelompok besar, yaitu nyeri kronis maligna dan nyeri kronis
nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah nyeri yang menetap
atau menahun dan penyembuhannya tidak dapat diprediksi
meskipun penyebabnya mudah ditentukan (namun, pada beberapa
kasus sulit ditemukan). Nyeri kronis dapat menyebabkan klien
merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis
48
mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan
kelelahan mental dan fisik.
2) Klasifikasi Berdasarkan Lokasi
Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam
jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral,
nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom). Nyeri
superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti
laserasi, luka bakar dan sebagainya. Nyeri jenis ini memiliki durasi
yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam. Nyeri
somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi pada
otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri
bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya peregangan dan
iskemia. Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh
kerusakan organ internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan
durasinya cukup lama. Sensani yang timbul biasanya tumpul. Nyeri
sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke
jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh klien
seperti berjalan/bergerak dari daerah asal nyeri ke sekitar atau
kesepanjang bagian tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermitten
atau konstan. Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan
oleh klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsi
berada pada organ yang telah diamputasi seolah-olah organnya
masih ada. Contohnya adalah pada klien yang menjalani operasi
49
pengangkatan payudara atau pada amputasi ekstremitas. Nyeri alih
(referred pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri
viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri
dibeberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul karena
masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri ke
dalam medula spinalis dan mengalami sinapsis dengan serabut
saraf yang berada pada bagian tubuh lainnya. nyeri yang timbul
biasanya pada beberapa tempat yang kadang jauh dari lokasi asal
nyeri.
3) Berdasarkan organ
Berdasarkan pada organ tempat timbulnya, nyeri dapat
dikelompokkan dalam: nyeri organik, nyeri neurogenik, dan nyeri
psikogenik. Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan karena
adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Penyebab nyeri
umumnya mudah dikenali sebagai akibat adanya cedera, penyakit,
atau pembedahan terhadap salah satu atau beberapa organ. Nyeri
neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada
neuralgia, Nyeri ini dapat terjadi secara akut maupun kronis. Nyeri
psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis.
Gangguan ini lebih mengarah pada gangguan psikologis daripada
gangguan organ. Klien yang menderita memang “benar-benar”
mengalaminya. Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek
50
psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien (Tamsuri,
2007).
5. kompres Hangat
a. Definisi
Kompres hangat adalah tindakan memberikan rasa hangat untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyaman mengurangi atau membebaskan
nyeri, mengurangi atau mencegah spasme otot dan memberikan rasa
hangat pada daerah tertentu (Hidayat, 2008).
kompres air hangat juga dapat meningkatkan aliran darah untuk
mendapatkan efek analgetic dan relaksasi otot sehingga proses
inflamasi berkurang (lemone & Burke 2010). Air hangat yang
digunakan biasanya bersuhu 40,5o
celcius sampai 43o
celcius
kemudian diletakkan pada kain kemudian dikompreskan pada daerah
sendi yang mengalami nyeri selama 20 menit, ganti kompres per 5
menit agar tetap hangat (Kusyati, 2006).
b. Tujuan
Menurut Gabriel (1998) dalam Fauziyah (2013), tujuan dari
kompres air hangat adalah sebagai berikut:
1) Melebarkan pembuluh darah dan memperbaiki peredaran daerah di
jaringan tersebut
2) Pada otot, panas memiliki efek menurunkan ketegangan
3) Meningkatkan sel darah putih secara total dan fenomena reaksi
peradangan serta adanya dilatasi pembuluh darah yang
51
mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah serta peningkatan
tekanan kapiler. Tekanan O2 dan CO2 di dalam darah akan
meningkat sedangkan pH darah akan mengalami penurunan
sehingga dapat merelaksasikan sendi yang mengalami nyeri dan
ketegangan.
6. Massage
a. Definisi
Massage adalah stimulasi kulit tubuh secara umum, dipusatkan
pada punggung dan bahu, atau dilakukan pada satu atau beberapa
bagian tubuh dan dilakukan sekitar 10 menit pada masing-masing
bagian tubuh untuk hasil relaksasi yang maksimal (Tamsuri, 2006).
Dapat disimpulkan massage adalah suatu pijatan yang bertujuan untuk
mengurangi keluhan nyeri dengan cara menggunakan sentuhan tangan
dan dan merelaksasikan otot tanpa memberikan obat.
Remedial massage (pijat penyembuhan) adalah suatu pijatan yang
dilakukan untuk membantu mempercepat proses pemulihan beberapa
macam penyakit dengan menggunakan sentuhan tangan dan tanpa
memasukkan obat kedalam tubuh yang bertujuan untuk meringankan
atau mengurangi keluhan atau gejala pada beberapa macam penyakit
yang merupakan indikasi untuk dipijat (Bambang, 2011).
52
b. Tehnik Remedial Massage
a) Eflaurage atau gosokan
Eflaurage adalah suatu gerakan dengan mempergunakan
seluruh permukaan telapak tangan melekat pada bagian-bagian
tubuh yang digosok. Bentuk telapak tangan dan jari-jari
menyesuaikan dengan bagian tubuh yang digosok. Tangan
menuju arah jantung.
b) Petrisage atau pijatan
Petrisage adalah suatu gerakan pijatan dengan
mempergunakan empat jari merapat berhadapan dengan ibu jari
yang selalu lurus dan supel. Gerakan seolah-olah akan
memisahkan otot dari tulang selaputnya atau dari otot yang lain
dengan meremas otot yang sedikit ditarik.
c) Shacking atau Goncangan
Shacking adalah suatu gerakan goncangan dengan
mempergunakan satu tangan atau kedua belah tangan dan
biasanya dilakukan di bagian otot-otot paha, tungkai bawah,
kaki, tengkuk, bahu, lengan atas dan bawah, tangan dan bagian
perut. Bagian yang dilakukan shacking harus lemas dan rileks
dahulu.
53
d) Tapotemen atau pukulan
Tapotemen adalah suatu gerakan pukulan dengan
menggunakan satu tangan atau kedua belah tangan yang
dipukul-pukulkan pada obyek pijat secara bergantian.
e) Friction atau gerusan
Friction adalah suatu gerakan gerusan kecil-kecil yang
dilakukan dengan mempergunakan ujung tiga jari (jari telunjuk,
jari tengah, dan jari manis) yang merapat, ibu jari, ujung siku,
pangkal telapak tangan dan yang bergerak berputar-putar
searah atau berlawanan arah dengan jarum jam.
f) Vibration atau getaran
Vibration adalah suatu gerakan getaran yang dilakukan
dengan mempergunakan ujung jari-jari atau seluruh permukaan
telapak tangan.
g) Stroking atau mengurut
Stroking adalah suatu gerakan mengurut dengan
menggunakan ujung-ujung tiga jari yang merapat (jari telunjuk,
jari tengah, dan jari manis).
h) Skin rolling atau melipat dan menggeser kulit
Skin rolling adalah suatu gerakan melipat atau menggeser
kulit. Sikap pertama seperti mencubit, kemudian kulit
digeserkan, jari-jari menekan bergerak maju dan ibu jari
menekan mendorong dibelakang.
54
c. Efek massage
Pada terapi massage dapat memberikan efek menurunkan
kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan massage pada otot akan
merangsang serabut berdiameter besar, sehingga dapat memblok atau
menurunkan impuls nyeri. Pijat yang dilakukan oleh orang yang ahli
dapat membantu menangani beberapa masalah otot. Manfaat utama
yang diberikan pada terapi pijat adalah efek relaksasinya, dan pijat bisa
sangat membantu orang yang memiliki masalah yang berhubungan
dengan stres (Kim, 2007).
7. Jahe
a. Farmakologi
Jahe (Zingiber officinale Rosc) termasuk dalam daftar prioritas
WHO sebagai tanaman obat yang paling banyak digunakan didunia.
Rimpangnya yang mengandung zingiberol dan kurkuminoid terbukti
berkhasiat mengurangi peradangan dan nyeri sendi. Jahe menekan
sintesis prostaglandin melalui inhibisi cyclooxygenase-1 daan
cyclooxygenase-2, hasil penemuan selanjutnya menyatakan bahwa jahe
juga menekan biosintesis leukotrin dengan menghambat 5-
lipoxygenase, dan dalam penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa dua
inhibitor cyclooxygenase dan 5-lipoxygenase memiliki riwayat
terapeutik lebih baik dan efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan NSAIDs (Grzanna dkk, 2005).
55
b. Kandungan
Zingerol, gingerol, dan shogaol merupakan kandungan dari jahe
yang bermanfaat untuk mengurangi nyeri Osteoartritis. Jahe memiliki
sifat pedas, pahit, dan aromatic dari oleoresin. Oleoresin memiliki
potensi antiinflamasi dan antioksidan yang kuat. Kandungan air dan
minyak tidak menguap pada jahe berfungsi sebagai enhancer yang
dapat meningkatkan permeabilitas oleoresin sehingga dapat menembus
kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan hingga sirkulasi perifer
(Swarbick & Boylan, 2002 dalam Hadi, 2013).
c. Manfaat
Jahe memiliki banyak kegunaan, yaitu 10 dehydrogingerdione
(rimpang) penekan prostaglandin, 10 gingerdione (rimpang) penekan
prostaglandin, 6 gingerol (rimpang) merangsang keluarnya ASI,
penghambat enzim siklo oksigense, penekan prostaglandin, alpha-
linolenic (rimpang) anti perdarahan diluar haid, merangsang kekebalan
tubuh, merangsang produksi getah bening (Dwiyanto, 2009).
d. Efek farmakologi
Pada serangkaian kasus, jahe dapat mengurangi nyeri dan
kekakuan pada satu atau lebih sendi pada pasien. Bahkan mampu
mengurangi obat-obat antiartritis. Untuk penanganan rematoid artritis
dan osteoartritis, dosis yang dianjurkan 510-1000 mg/hari serbuk jahe.
Pemberian ekstra jahe 1gr/hari selama 4 minggu lebih efektif
56
dibandingkan dengan plasebo dan sama efektifnya dengan ibuprofen
dalam meredakan nyeri pada Osteoartritis (Leach & Kumar, 2008).
e. Efek merugikan jahe
Didalam evidence synthesis, Leach & Kumar (2008) menyatakan
bahwa ada dua penelitian yang melaporkan efek merugikan jahe
seperti rasa panas pada lambung (6,9%), perubahan rasa (7,5%),
dispepsia, nausea dan konjungtivitis masing-masing (1,5%). Namun
dmikian tidak ada kejadian-kejadian berat yang merugikan hingga
menyebabkan penderita masuk rumah sakit untuk mendapatkan
pertolongan atau kematian (Arif, 2010).
57
B. Kerangka Teori
Gambar 2.4
Kerangka Teori
Penyebab dari osteoartritis antara lain :
- Umur
- Jenis Kelamin
- Genetik
- Suku
- Kegemukan atau obesitas
- Pengausan (wear and tear)
- Trauma
- Akibat penyakit radang sendi lain
- Joint Mallignment
- Penyakit Endokrin
- Deposit rawan sendi
penyakit degeneratif penyebab nyeri dan
kekakuan pada sendi yang sering diderita
pada tahap menua (usia diatas 60 tahun)
membuat sendi-sendi menjadi sulit untuk
digerakkan dan apabila tidak digerakkan
akan memperparah keadaan.
Penatalaksanaan :
- Pencegahan (penurunan
berat badan, pencegahan
cedera, screening sendi
paha)
- Terapi Farmakologi
- Terapi Konservatif
- Terapi Non Farmakologi
- Fisioterapi
- Operasi
- Akupuntur
Nyeri Gangguan
Pola Tidur
Hambatan
Mobilitas
Fisik
Pemberian Terapi Kompres Jahe
dan Massage
58
BAB III
METODE PENYUSUNAN
(a) Subjek aplikasi riset
Subjek yang akan digunakan pada aplikasi riset ini adalah pada pasien
yang sudah terdiagnosa osteoartritis yang berusia 60 tahun keatas dan
mengalami kekakuan dan nyeri sendi osteoartritis yang berdomisili di Panti
Sasana Tresna Wredha Wonogiri.
(b) Tempat dan waktu
Aplikasi penelitian ini direncanakan akan dilakukan pada tanggal 4-16
januari 2016 di Panti Sasana Tresna Wredha Dharma Bhakti Wonogiri.
(c) Media dan alat yang digunakan
Dalam aplikasi riset ini menggunakan media dan alat-alat yang antara lain:
i. Baskom 2 buah berisi air hangat
ii. Bak steril berisi 3 buah kain dengan ukuran yang sesuai.
iii. Pengalas
iv. 100 gram jahe segar diparut
v. Baby oil
vi. Handscoon
vii. Skala nyeri Numerik
59
Skala ini berbentuk garis horizontal yang menunjukkan angka-
angka dari 0-10, yaitu angka 0 menunjukkan bebas nyeri dan angka 10
menunjukkan nyeri yang paling hebat dan tidak terkontrol. Skala ini
merupakan garis panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya 1 cm
diberi tanda. Skala ini dapat dipakai pada klien dengan nyeri yang hebat
atau klien yang baru mengalami operasi. Tingkat angka yang ditunjukkan
oleh klien dapat digunakan untuk mengkaji efektivitas dari intervensi
pereda rasa nyeri.
(d) Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset
Langkah- langkah Tindakan (Kusyati, 2006) :
1) Dekatkan alat-alat kedekat pasien
2) Perhatikan privacy klien
3) Cuci tangan
4) Atur posisi klien yang nyaman
5) Mengkaji skala nyeri sebelum diberi kompres jahe dan massage
menggunakan skala nyeri numerik.
6) Pasang pengalas dibawah daerah yang akan dikompres/massage
7) Jahe tersebut diparut dan dicelupkan sebentar di air hangat bersuhu 40o
celcius sampai 50o
celcius kemudian diletakkan pada kain kemudian
dikompreskan pada daerah sendi yang mengalami nyeri selama 20 menit,
ganti kompres per 5 menit agar tetap hangat, dalam 5 menit ada 3 kali
penggantian kompres.
8) tehnik massage menggunakan tehnik pijatan (
berdampingan, melakuka
dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan bawah lipatan
lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan pijatan ulang
dengan dosis 3 kali ulangan,
kedua ibu jari berdampingan untuk melakukan gerusan secara bergantian.
Gerusan dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan bawah
lipatan lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan
gerusan ulangan, dengan dosis 3 kali ulangan
dengan posisi tengkurap.
9) Bereskan semua alat
10) Cuci tangan
(e) Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan
Skala ini berbentuk garis hori
0 – 10, yaitu angka 0 menunjukkan
nyeri yang paling hebat
panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya 1 cm diberi tanda. Skala ini
dapat dipakai pada klien dengan nyeri yang hebat atau klien yang baru
mengalami operasi. Tingkat angka yang ditunjukkan oleh klien dapat
tehnik massage menggunakan tehnik pijatan (petrisage
berdampingan, melakukan pijatan tekanan secara bergantian. Pijatan
dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan bawah lipatan
lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan pijatan ulang
dengan dosis 3 kali ulangan, bergantian dengan tehnik gerusan (
kedua ibu jari berdampingan untuk melakukan gerusan secara bergantian.
Gerusan dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan bawah
lipatan lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan
gerusan ulangan, dengan dosis 3 kali ulangan dilakukan selama 10 menit
dengan posisi tengkurap.
Bereskan semua alat-alat untuk disimpan kembali
Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset
Skala ini berbentuk garis horizontal yang menunjukkan angka
10, yaitu angka 0 menunjukkan bebas nyeri dan angka 10 menunjukkan
nyeri yang paling hebat dan tidak terkontrol. Skala ini merupakan garis
panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya 1 cm diberi tanda. Skala ini
dapat dipakai pada klien dengan nyeri yang hebat atau klien yang baru
mengalami operasi. Tingkat angka yang ditunjukkan oleh klien dapat
60
petrisage) yaitu ibu jari
n pijatan tekanan secara bergantian. Pijatan
dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan bawah lipatan
lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan pijatan ulang
bergantian dengan tehnik gerusan (friction)
kedua ibu jari berdampingan untuk melakukan gerusan secara bergantian.
Gerusan dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan bawah
lipatan lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan
dilakukan selama 10 menit
berdasarkan riset
zontal yang menunjukkan angka-angka dari
nyeri dan angka 10 menunjukkan
. Skala ini merupakan garis
panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya 1 cm diberi tanda. Skala ini
dapat dipakai pada klien dengan nyeri yang hebat atau klien yang baru
mengalami operasi. Tingkat angka yang ditunjukkan oleh klien dapat
61
digunakan untuk mengkaji efektivitas dari intervensi pereda rasa nyeri.
Menurut Potter dan Perry (2005) dalam Manurung (2013), skala ini dapat
dipersepsikan sebagai berikut :
Keterangan:
Skala nyeri 0 : bebas nyeri
Skala nyeri 1-3 : nyeri sangat ringan hampir tidak terasa sampai nyeri ringan
berangsur-angsur meningkat, rasa sakit bertambah dan rasa
sakit sekali-kali sudah mulai mengganggu namun masih
dapat beradaptasi.
Skala nyeri 4-6 : nyeri sedang sampai dengan sedang kuat, secara obyektif
pasien mulai terlihat mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, masih dapat mengikuti perintah
dengan baik.
Skala nyeri 7-9 : nyeri kuat sampai dengan nyeri kuat sekali. Secara obyektif
pada awalnya pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih repon terhadap tindakan, dapat
menunjukan lokasi nyeri sampai dengan tidak dapat
mendeskripsikan nyerinya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi.
Skala nyeri 10 : nyeri sangat berat pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi perilaku memukul, emosi tidak terkontrol
(Manurung, 2013).
62
BAB IV
LAPORAN KASUS
A. Identitas Klien
Pengkajian dilakukan pada tanggal 04 Januari 2016 pukul 10.00 WIB
menggunakan metode pengkajian Auto Anamnensa dan Allo Anamnensa. Dari
hasil pengkajian didapatkan hasil identitas pasien sebagai berikut pasien
bernama Ny.Y, berumur 65 tahun, agama islam, tidak bersekolah, pekerjaan
buruh, alamat eromoko, Wonogiri, dengan diagnosa medis Osteoartritis
(pengapuran sendi). Penganggung jawab terhadap Ny.Y adalah Ny.L berumur
70 tahun yang merupakan kepala Panti Sasana Tresna Wredha Dharma Bhakti
Wonogiri.
B. Pengkajian
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian dilakukan pada tanggal 04 Januari 2016 di Panti Sasana
Tresna Wredha Dharma Bhakti Wonogiri. Ketika dilakukan pengkajian
terhadap klien tentang riwayat keperawatan, keluhan utama yang
dirasakan klien adalah nyeri dan kaku pada kedua lututnya sudah lebih
dari 1 tahun. Riwayat pengkajian sekarang Ny.Y mengatakan merasa
nyeri pada lutut dan kakuselama lebih dari 1 tahun, nyeri bertambah pada
pagi hari waktu bangun tidur, rasa nyeri cenut-cenut (seperti ditekan
dengan keras), nyeri pada kedua lututnya, skala nyeri 6 biasanya nyeri
63
hilang timbul dengan durasi sekitar 5 sampai 10 menit, untuk mengurangi
nyeri biasanya pasien diberi obat dari dokter yang ada dipanti seperti
neuralgin tablet atau mengoleskan balsem pada kedua lututnya yang
nyeri. Hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 140/80
mmHg, respiratory rate 16 kali permenit, heart rate 90 kali permenit dan
suhu 36,6 derajad celcius. Pasien tampak sering memegangi dan
mengelus kedua lututnya, pasien tampak meringis menahan nyeri.
Terkadang kaki pasien tampak gemetaran terlebih sehabis terlalu lama
berjalan. Pasien juga tampak kesulitan menggerakkan lutut dan kakinya,
pasien tampak berjalan lambat dan berpegangan pada dinding atau benda-
benda disekitarnya, serta terdapat perubahan bentuk tulang sehingga
pasien berjalan agak membungkuk. Pasien juga mengatakan sulit tidur,
tidur malam selama kurang lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, tidurnya
kurang puas, dan kadang terbangun jika nyeri timbul, wajah pasien
tampak mengantuk, tampak warna kehitaman atau kantung mata, dan
pasien terlihat sering menguap.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian penyakit dan pengobatan, pasien mengatakan
sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit pada masa kanak-kanak.
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami kecelakaan sebelumnya.
Pasien hanya memiliki masalah penyakit persendian yaitu pengapuran
sendi (osteoartritis) yang sudah ia derita selama lebih dari 1 tahun yang
menyebabkan rasa nyeri pada lututnya, dulunya saat masih muda pasien
64
sering bekerja keras menggendong pakan ternak (rumput) dalam jumlah
banyak dengan jarak yang lumayan jauh, namun lama kelamaan timbul
gejala-gejala pengapuran sendi, pasien mengatakan sebelumnya belum
pernah dirawat dan baru sekali ini dirawat di panti Wredha Dharma
Bhakti Wonogiri karena dijemput dari pihak panti. Pasien mengatakan
belum pernah operasi. Pasien juga tidak memiliki riwayat seperti alergi
terhadap obat-obatan, makanan, dan lainnya.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan didalam keluarganya tidak ada yang
mempunyai riwayat penyakit keturunan seperti hipertensi, diabetes
melitus, asma, dan lain-lain ataupun penyakit menular seperti HIV/AIDS,
Hepatitis, dan lain-lain.
Genogram :
Gambar 4.1
Genogram Ny. Y
65
Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki
: Perempuan meninggal
: Laki-laki meninggal
: Pasien (Ny.Y 65 tahun dengan Osteoartritis)
: tinggal serumah
4. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Pada pengkajian riwayat kesehatan lingkungan, pasien mengatakan
lingkungan tempat tinggalnya bersih dan jauh dari polusi. Penerangan
cukup, sirkulasi udara cukup, pembuangan air serta sampah baik, lantai
kamar tidur dan kamar mandi tidak licin.
5. Pola Kesehatan Fungsional
Pada pengkajian pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan, pasien
mengatakan kesehatan itu penting dan mahal. Jika pasien ada keluhan atau
merasa sakit, segera diperiksakan ke dokter yang ada di panti serta taat
minum obat yang sudah diberikan oleh dokter.
Pada pengkajian pola nutrisi dan metabolisme pasien mengatakan
sebelum sakit pasien makan 3 kali sehari, dengan menu nasi, sayur, lauk,
buah dan minum air putih kurang lebih 8 sampai 10 gelas sehari, kadang
juga teh atau susu. pasien makan 1 porsi habis dan tidak ada keluhan
apapun. Dan selama sakit pasien tetap makan seperti biasa yaitu makan 3
kali sehari, dengan menu nasi, sayur, lauk, buah dan minum air putih
66
kurang lebih 8 sampai 10 gelas sehari, kadang juga teh atau susu. pasien
makan 1 porsi habis dan tidak ada keluhan apapun.
Pada pengkajian pola eliminasi, pasien mengatakan sebelum sakit
pasien buang air kecil sebanyak kurang lebih 6 kali dalam sehari, 1 kali
buang air kecil sebanyak 1 gelas belimbing, air kencing berwarna kuning
jernih, dan tidak ada keluahan saat buang air kecil. Pasien juga
mengatakan sebelum sakit pasien buang air besar sebanyak 1 kali sehari di
pagi hari, bentuknya lunak, berwarna kuning kecoklatan dan tidak ada
keluhan saat buang air besar. Dan selama sakit pasien buang air kecil
sebanyak kurang lebih 6 kali dalam sehari, 1 kali buang air kecil kurang
lebih sebanyak 1 gelas belimbing, air kencing berwarna kuning jernih dan
tidak ada keluhan saat buang air kecil. Pasien mengatakan selama sakit
pasien buang air besar seperti biasa saat sebelum sakit yaitu sebanyak 1
kali sehari di pagi hari, bentuknya lunak, berwarna kuning kecoklatan dan
tidak ada keluhan saat buang air besar.
Pada pengkajian pola aktifitas dan latihan, sebelum sakit pasien
mengatakan dapat beraktivitas dengan normal dan mandiri. Sedangkan
selama sakit pasien mengatakan aktivitasnya menjadi terganggu, walaupun
tetap bisa melakukan aktivitasnya secara mandiri namun terkadang rasa
nyeri kambuh jika terlalu banyak pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan,
skala nyeri 6.
Pada pengkajian pola istirahat dan tidur, pasien mengatakan
sebelum sakit pasien tidur selama kurang lebih selama 8 jam sehari, pasien
67
mengatakan jarang tidur siang, pasien tidur dengan nyaman dan nyenyak,
dan tidak ada gangguan saat tidur. Dan selama sakit pasien mengatakan
sulit tidur, tidur malam selama kurang lebih 5 jam sehari, pasien tidak
tidur siang, pasien mengatakan tidurnya kurang puas, dan kadang
terbangun jika nyeri timbul.
Pada pengkajian pola kognitif dan perseptual, pasien mengatakan
sebelum sakit pasien tidak merasakan nyeri. Dan selama sakit pasien
mengatakan nyeri dan kaku pada kedua lututnya selama lebih dari 1 tahun.
Hasil pengkajian nyeri Provoking, Quality, Region, Scale, dan Time
(PQRST) yaitu Provoking, pasien mengatakan nyeri bertambah pada pagi
hari waktu bangun tidur, Quality pasien mengatakan rasa nyeri cenut-cenut
(seperti ditekan dengan keras), Region pasien mengatakan nyeri pada
kedua lututnya (patella dextra dan sinistra), Scale pasien mengatakan
skala nyeri 6, dan Time pasien mengatakan rasa nyeri hilang timbul
dengan durasi kurang lebih 5 sampai 10 menit.
Pada pengkajian pola persepsi dan konsep diri pasien mengatakan,
sebelum sakit, pasien mengatakan keadaannya sebelumnya sehat,pasien
mensyukuri seluruh anggota tubuhnya, pasien mengatakan pasien dihargai
oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya, pasien melakukan kegiatan
sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, pasien juga mengatakan ia
merupakan seorang perempuan berusia 65 tahun dan belum menikah. Dan
selama sakit pasien mengatakan tetap mensyukuri seluruh anggota
tubuhnya, pasien mengatakan bahwa ia sedang sakit dan ingin segera
68
sembuh, pasien mengatakan tetap dihargai oleh masyarakat sekitar tempat
tinggalnya, pasien mengatakan kegiatan sehari-harinya yaitu sebagai
pasien di panti jompo, di panti tersebut pasien ikut membantu petugas
panti menyiapkan tempat sholat, mencuci piring, dan lain sebagainya,
pasien juga mengatakan ia merupakan seorang perempuan berumur 65
tahun dan belum menikah.
Pada pengkajian pola hubungan dan peran, pasien mengatakan
sebelum sakit hubungannya dengan masyarakat sekitar tempat tinggalnya
baik, dan selama sakit pasien mengatakan hubungannya dengan pasien
yang lain tetap baik-baik saja.
Pada pengkajian pola seksualitas dan reproduksi, pasien
mengatakan sebelum sakit ia belum pernah menikah dan tidak memiliki
riwayat gangguan reproduksi. Dan selama sakit tetap sama yaitu belum
pernah menikah dan tidak memiliki riwayat gangguan reproduksi.
Pada pola pengkajian mekanisme koping, pasien mengatakan
sebelum sakit jika ada masalah sering dipendam sendiri karena pasien
tinggal sendiri, sedangkan selama sakit dan dirawat di panti pasien
mengatakan jika ada masalah ia bercerita kepada teman satu kamarnya
atau dengan pengurus panti.
Pada pengkajian pola nilai dan keyakinan pasien mengatakan ia
beragama islam, sebelum sakit pasien selalu menjalankan sholat 5 waktu
dengan normal, sedangkan selama sakit pasien mengatakan tetap sholat 5
69
waktu berjamaah dengan penghuni panti lainnya walaupun sambil duduk
karena tidak bisa berdiri terlalu lama.
Pada pengkajian pemeriksaan fisik keadaan umum pasien
composmentis (kesadaran penuh). Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital
didapatkan hasil tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90 kali permenit,
pernafasan 16 kali permenit, suhu 36,6 derajad celcius. Pada pemeriksaan
fisik kepala didapatkan hasil bentuk kepala mesochepal, rambut bersih
dan beruban, serta kulit kepala yang bersih dan tidak ada bekas luka. Pada
pemeriksaan fisik mata didapatkan mata tampak sayu, tampak warna
kehitaman atau kantung mata, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik, palpebra tidak udem, pupil isokor, refleks terhadap cahaya positif,
dan tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Pada pemeriksaan fisik
hidung didapatkan hasil hidung kanan dan kiri simetris, bersih, tidak
terdapat sekret ataupun polip, dan tidak terpasang alat bantu pernafasan.
Pada pemeriksaan fisik mulut didapatkan hasil gigi dan mulut bersih, ada
beberapa gigi yang tanggal, tidak terdapat stomatitis, mukosa bibir
lembab. Pada pemeriksaan fisik telinga didapatkan hasil telinga kanan dan
kiri simetris, bersih, dan tidak terdapat serumen. Pada pemeriksaan fisik
leher didapatkan hasil bentuk leher simetris, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid, tidak kaku kuduk, dan juga tidak ada distensi vena
jugularis.
70
Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil, inspeksi bentuk dada
simetris, ekspansi paru kanan dan kiri sama, tidak menggunakan otot
bantu pernafasan, hasil palpasi didapatkan hasil pemeriksaan vocal
fremitus kanan dan kiri sama, hasil perkusi didapatkan suara paru kanan
dan kiri sonor, dan hasil auskultasi yaitu vesikuler, tidak terdapat suara
nafas tambahan. Pada pemeriksaan fisik jantung, hasil inspeksi
didapatkan hasil bentuk dada simetris, ictus cordis tidak tampak. Palpasi
didapatkan hasil ictus cordis teraba di intercosta 5 mid clavicula sinistra,
perkusi pekak, auskultasi bunyi jantung I dan II murni reguler. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan hasil inspeksi perut datar, tidak ada
bekas luka. Auskultasi didapatkan bising usus 15 kali permenit. Perkusi
didapatkan hasil suara kuadran I redup, kuadran II, III, dan IV timpani.
Palpasi hasilnya tidak ada nyeri tekan di keempat kuadran.
Pada pemeriksaan perineum dan genitalia, didapatkan hasil bersih,
dan tidak terpasang selang kateter. Pada pemeriksaan rektum hasilnya
bersih dan tidak ada hemoroid. Pemeriksaan ekstremitas atas didapatkan
hasil kekuatan otot kanan dan kiri 5 (gerakan normal penuh menentang
gravitasi dengan penahanan penuh), ROM kanan dan kiri aktif, capillary
refile kurang dari 3 detik, terdapat perubahan bentuk tulang (pasien
berjalan agak membungkuk), dan perabaan akral hangat. Pada
pemeriksaan ekstremitas bawah didapatkan hasil yaitu kekuatan otot
kanan dan kiri skala4 (gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan
sedikit penahanan), ROM kanan dan kiri aktif, capillary refile kurang dari
71
3 detik, terdapat perubahan bentuk tulang (pasien berjalan agak
membungkuk), dan perabaan akral hangat.
C. Perumusan masalah keperawatan
Hasil pengkajian secara wawancaradan observasi kepada pasien, penulis
menekankan beberapa masalah antara lain :
1. Masalah utama yang dikeluhkan pasien dan menjadi prioritas diagnosa
keperawatan paling utama adalah nyeri kronis berhubungan dengan
kondisi muskuloskeletal kronis. Ditandai dengan data subjektif pasien
mengatakan nyeri dan kaku pada lutut selama lebih dari 1 tahun, nyeri
bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut
(seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale
skala nyeri 6, time nyeri hilang timbul dengan durasi sekitar 5 sampai 10
menit. Sedangkan data objektif didapatkan pasien tampak meringis
menahan nyeri, pasien tampak memegangi dan mengelus kedua lututnya,
pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90 kali
permenit, respirasi 16 kali permenit.
2. Masalah keperawatan yang kedua yaitu gangguan pola tidur yang
berhuhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri). Ditandai
dengan data subjektif pasien mengatakan tidur malam selama kurang
lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan tidurnya kurang
puas, dan kadang terbangun jika nyeri timbul. Dan data objektifnya wajah
pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering menguap, hasil
72
pemeriksaan fisik mata tampak sayu, tampak warna kehitaman atau
kantung mata.
3. Masalah keperawatan yang ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik yang
berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal. Ditandai dengan data
subjektif pasien mengatakan merasa nyeri dan kaku pada kedua lututnya,
kakinya gemetaran jika berjalan atau berdiri terlalu lama, jika nyeri timbul
pasien kesulitan menggerakkan kedua kakinya. Dan data objektifnya kaki
pasien tampak gemetaran, pasien berjalan lambat, pasien tampak kesulitan
menggerakkan kakinya, tampak perubahan bentuk tulang (pasien berjalan
agak membungkuk), kekuatan otot ekstremitas bawah kanan dan kiri
skala 4 (gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan sedikit
penahanan).
D. Rencana Keperawatan
Tujuan yang dibuat penulis berdasarkan masalah keperawatan adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan
masalah dapat teratasi dengan kriteria hasil menggunakan metode SMART
(Specific, Measurable, Achievable, Rasional, Timing) dan intervensi
keperawatan menggunakan ONEC (Observation, Nursing needed Education
and Colaboration), intervensi keperawatan pada Ny. Y adalah :
1. Nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis.
Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam, diharapkan pasien dapat mengontrol dan menyatakan rasa nyaman
73
setelah nyeri berkurang dengan kriteria hasil : pasien melaporkan bahwa
nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri, menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri berkurang, mampu mengontrol nyeri, mampu
mengenali nyeri, tanda vital dalam batas normal. Rencana keperawatan
yang akan dilakukan pada Ny. Y yaitu kaji secara komprehensif tentang
nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time) dengan rasional
untuk mengetahui penyebab, kualitas, lokasi, skala, dan waktu nyeri,
monitor tanda-tanda vital dengan rasional untuk mengetahui tanda-tanda
vital pasien, lakukan aplikasi pemberian kompres jahe dan massage
dengan rasional untuk menurunkan intensitas nyeri secara non
farmakologi, berikan posisi nyaman dengan rasional mengurangi rasa
nyeri, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam dengan rasional untuk
mengurangi rasa nyeri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
analgetik dengan rasional dapat mengurangi nyeri.
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat
nyeri). Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3 x 24 jam diharapkan masalah keperawatan gangguan pola tidur teratasi
dengan kriteria hasil: jumlah jam tidur dalam batas normal 6 sampai 8 jam
per hari, perasaan segar sesudah tidur atau istirahat. Rencana keperawatan
yang akan dilakukan pada Ny. Y yaitu monitor atau catat kebutuhan tidur
pasien setiap hari dan jam dengan rasional untuk mengetahui jumlah jam
tidur yang dibutuhkan pasien, ciptakan lingkungan yang nyaman dengan
rasional agar pasien mampu meningkatkan tidur atau istirahat, diskusikan
74
dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur klien dengan rasional agar
pasien lebih mudah untuk tidur, kolaborasi pemberian obat tidur dengan
rasional untuk membantu meningkatkan tidur pasien.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal. Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien menunjukkan tingkat
mobilitas, dengan kriteria hasil: pasien meningkat dalam aktifitas fisik,
pasien mampu melakukan mobilitas secara mandiri. Rencana keperawatan
yang akan dilakukan pada Ny. Y yaitu kaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi dengan rasional untuk mengetahui tingkat mobilisasi yang
dimiliki pasien, berikan alat bantu jika pasien memerlukan dengan
rasional untuk memudahkan pasien dalam melakukan kegiatan, dampingi
dan bantu pasien saat mobilisasi dengan rasional untuk membantu
memudahkan pasien dalam melakukan mobilisasi, ajarkan pasien tentang
teknik ambulasi/ROM dengan rasional untuk melatih kemapuan
pergerakan pasien, kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk
mengawasi aktifitas pergerakan pasien.
E. Implementasi atau Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 04 Januari 2016
pada pukul 10.00 WIB yaitu mengkaji secara komprehensif tentang nyeri
PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time) dan memonitor tanda-tanda
vital, dengan respon subjektifpasien mengatakan nyeri dan kaku pada lutut
75
selama lebih dari 1 tahun, nyeri bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur,
kualitas nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan keras), nyeri pada kedua
lututnya, skala nyeri 6, nyeri hilang timbul dengan durasi sekitar 5 sampai 10
menit dan respon objektif yaitu pasien tampak meringis menahan nyeri, pasien
tampak memegangi dan mengelus kedua lututnya, hasil pemeriksaan tanda-
tanda vital tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90 kali permenit, respirasi 16
kali permenit. Pukul 10.30 WIB melakukan pemberian kompres jahe dan
massage dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia diberikan
kompres jahe dan dipijat pada bagian yang nyeri, dan respon objektif pasien
tampak tenang saat diberi kompres jahe dan massage pada kedua lututnya.
Pukul 11.20 WIB mengobservasi nyeri setelah mengaplikasikan tindakan
kompres jahe dan massage dengan respon subjektif pasien mengatakan masih
nyeri, hanya terasa sedikit hangat dan respon objektif yaitu pasien tampak
masih merasakan nyeri, tetapi tampak nyaman saat dipijat, skala nyeri masih
skala 6.
Pukul 11.25 WIB memonitor atau mencatat kebutuhan tidur pasien setiap
hari dan jam dengan respon subjektif pasien mengatakan sulit tidur, tidur
malam selama kurang lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan
tidurnya kurang puas, dan kadang terbangun jika nyeri timbul. Respon
objektifnya wajah pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering
menguap, hasil pemeriksaan fisik mata tampak sayu, tampak warna kehitaman
atau kantung mata. Pukul 11.30 WIB menciptakan lingkungan yang nyaman
dengan respon subjektif pasien mengatakan menyukai suasana yang sepi dan
76
tenang saat tidur, dan respon objektif yaitu pasien masih tampak mengantuk
dan menguap. Pukul 11.40 WIB mengkaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi dengan respon subjektif pasien mengatakan merasa nyeri dan kaku
pada kedua lututnya, kakinya gemetaran jika berjalan atau berdiri terlalu lama,
jika nyeri timbul pasien kesulitan menggerakkan kedua kakinya. Dan respon
objektif yaitu kaki pasien tampak gemetaran, pasien tampak kesulitan
menggerakkan kakinya, pasien tampak berjalan lambat, tampak perubahan
bentuk tulang (pasien berjalan agak membungkuk), kekuatan otot ekstremitas
bawah kanan dan kiri skala 4 (gerakan normal penuh menentang gravitasi
dengan sedikit penahanan). Pukul 11.50 WIB mendampingi dan membantu
pasien saat mobilisasi dengan respon subjektif pasien mengatakan tidak mau
dibantu dan ingin berjalan secara mandiri, pasien mengatakan capek jika
berdiri atau berjalan terlalu lama. Dan respon objektifnya yaitu pasien tidak
mau dibantu saat berjalan ke dapur ia lebih memilih berjalan dengan
berpegangan pada dinding dan benda-benda yang ada disekitarnya.
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 05 Januari 2016
pada pukul 10.00 WIB yaitu mengkaji secara komprehensif tentang nyeri
PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time) dengan respon subjektif
pasien mengatakan nyeri dan kaku pada lututnya masih terasa, nyeri
bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut
(seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale skala
nyeri 6, dan time rasa nyeri hilang timbul, durasi 5 sampai 10 menit, dengan
respon objektif pasien masih tampak sesekali mengelus dan mengurut
77
lututnya. Pukul 10.30 WIB melakukan pemberian kompres jahe dan massage
dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia diberi kompres jahe dan
dipijat pada kedua lututnya, setelah kompres dan dipijat pasien mengatakan
rasanya nyaman, nyeri berkurang, lututnya terasa hangat, dan tidak terlalu
kaku saat digerakkan. Dan respon objektifnya yaitu pasien tampak tenang dan
merasa nyaman saat dikompres. Pukul 11.25 WIB mengobservasi nyeri
setelah mengaplikasikan tindakan kompres jahe dan massage dengan respon
subjektif pasien mengatakan lebih enakan dan nyeri berkurang dari hari-hari
sebelumnya menjadi skala 5 dan durasi 1 sampai 5 menit, setelah diberi
kompres dan dipijat rasanya hangat, nyeri dan kaku berkurang. Respon
objektifnya yaitu pasien tampak senang karena nyeri lututnya berkurang, skala
nyeri menjadi skala 5.
Pukul 11.30 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dengan
respon subjektif pasien mengatakan bersedia diajari relaksasi nafas dalam,
setelah diberikan tindakan pasien mengatakan nyeri bisa dikendalikan sedikit-
sedikit, pasien merasa nyaman, respon objektifnya pasien tampak tenang dan
bisa mengikuti arahan dari perawat, setelah diberi tindakan relaksasi nafas
dalam pasien tampak bisa melakukan tehnik relaksasi nafas dalam. Pukul
11.40 WIB memonitor atau mencatat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan
jam dengan respon subjektif pasien mengatakan tidur malam selama kurang
lebih 5 sampai 6 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan masih
mengantuk dan kadang terbangun jika nyeri timbul. Respon objektifnya wajah
pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering menguap, mata tampak
78
sayu, tampak warna kehitaman atau kantung mata. Pukul 11.50 WIB,
mendiskusikan dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur klien, dengan
respon subjektif pasien mengatakan biasanya ia tidur dengan posisi bagian
bawah lututnya diganjal dengan selimut agar lebih nyaman sedangkan respon
objektifnya pasien tampak tiduran kamarnya. Pukul 12.15 WIB mengajarkan
pasien tentang teknik ambulasi/ROM dengan respon subjektif pasien
mengatakan bersedia diajari tehnik ambulasi/ROM tersebut. Respon objektif
pasien tampak antusias mengikuti arahan dari perawat, kedua lutut pasien
tampak lebih mudah digerakkan (kaku berkurang).
Tindakan keperawatan pada tanggal 06 Januari 2016 pukul 10.00 WIB
yaitu mengkaji secara komprehensif tentang nyeri PQRST (Provoking,
Quality, Region, Scale, Time) dan memonitor tanda-tanda vital dengan respon
subjektif pasien mengatakan nyeri sudah mendingan, nyeri bertambah pada
pagi hari waktu bangun tidur, kualitas nyeri cenut-cenut (seperti ditekan
dengan keras), nyeri pada kedua lututnya, skala nyeri 5, dan rasa nyeri hilang
timbul, durasi 1 sampai 5 menit, dengan respon objektif pasien tampak tenang
dan tidak tampak mengurut-ngurut lututnya, tanda-tanda vital tekanan darah
130/90 mmHg, nadi 76 kali permenit, respirasi 16 kali permenit. Pukul 10.30
WIB melakukan pemberian kompres jahe dan massage dengan respon
subjektif pasien mengatakan bersedia dikompres dan dipijat, dan merasa
nyaman, hangat, dan lebih enakan setelah diberi tindakan kompres jahe dan
dipijat. Dan respon objektifnya yaitu pasien tampak tenang saat diberi
kompres jahe dan massage, setelah tindakan pasien tampak tidak merasakan
79
nyeri. Pukul 11.30 WIB mengobservasi nyeri setelah mengaplikasikan
tindakan kompres jahe dan massage dengan respon subjektif pasien
mengatakan lebih enakan dan nyeri berkurang dari hari-hari sebelumnya,
setelah diberi kompres dan dipijat rasanya hangat, nyeri dan kaku berkurang.
Respon objektifnya yaitu pasien tampak senang, nyeri berkurang menjadi
skala 4 dan durasi 1 sampai 5 menit. Pukul 11.45 WIB memonitor atau
mencatat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam dengan respon subjektif
pasien mengatakan tidur malam selama kurang lebih 5 sampai 6 jam, pasien
tidak tidur siang, pasien bisa tidur malam karena nyeri berkurang. Respon
objektifnya pasien terlihat tidak menguap, mata tidak tampak sayu, tampak
warna kehitaman atau kantung mata. Pukul 11.55 WIB menciptakan
lingkungan yang nyaman dengan respon subjektif pasien mengatakan ia bisa
tidur sedikit-sedikit karena lingkungan tenang dan nyeri berkurang, dan respon
objektifnya pasien tidak tampak mengantuk dan menguap, masih tampak
warna kehitaman pada kantung mata. Pukul 12.15 WIB berkolaborasi dengan
pengurus panti untuk mengawasi aktifitas pergerakan pasien dengan respon
subjektif pengurus panti mengatakan bersedia mengawasi aktifitas pasien,
respon objektif pengurus panti tampak mengawasi aktifitas pasien dan tampak
seringkali mengingatkan pasien untuk lebih berhati-hati saat melakukan
kegiatan atau aktifitas.
Tindakan keperawatan pada tanggal 07 Januari 2016 pukul 10.00 WIB
yaitu mengkaji secara komprehensif tentang nyeri PQRST (Provoking,
Quality, Region, Scale, Time) dan memonitor tanda-tanda vital dengan respon
80
subjektif pasien mengatakan nyeri sudah mendingan, nyeri bertambah pada
pagi hari waktu bangun tidur, kualitas nyeri cenut-cenut (seperti ditekan
dengan keras), nyeri pada kedua lututnya, skala nyeri 4, dan rasa nyeri hilang
timbul, durasi 1 sampai 5 menit, dengan respon objektif pasien tampak tenang
dan tidak tampak mengurut-ngurut lututnya, tanda-tanda vital tekanan darah
130/80 mmHg, nadi 72 kali permenit, respirasi 20 kali permenit. Pukul 10.30
WIB melakukan pemberian kompres jahe dan massage dengan respon
subjektif pasien mengatakan bersedia dikompres dan dipijat, dan merasa
nyaman, hangat, nyeri berkurang, dan lebih enakan setelah diberi tindakan
kompres jahe dan dipijat. Dan respon objektifnya yaitu pasien tampak tenang
saat diberi kompres jahe dan massage, setelah tindakan pasien tampak tidak
merasakan nyeri.
Pukul 11.30 WIB mengobservasi nyeri setelah mengaplikasikan tindakan
kompres jahe dan massage dengan respon subjektif pasien mengatakan lebih
enakan dan nyeri berkurang dari hari-hari sebelumnya, setelah diberi kompres
dan dipijat rasanya hangat, nyeri dan kaku berkurang. Respon objektifnya
yaitu pasien tampak senang, nyeri berkurang menjadi skala 3 dan durasi 1
sampai 5 menit. Pukul 11.45 WIB memonitor atau mencatat kebutuhan tidur
pasien setiap hari dan jam dengan respon subjektif pasien mengatakan
tidurnya semalam sudah enakan, lebih nyenyak dari hari sebelumnya karena
nyerinya tidak kambuh, jumlah jam tidur malam 7 jam, pasien tidak tidur
siang. Respon objektifnya pasien terlihat tidak menguap, dan tidak tampak
mengantuk, mata tidak tampak sayu, tidak tampak warna kehitaman atau
81
kantung mata. Pukul 11.55 WIB menciptakan lingkungan yang nyaman
dengan respon subjektif pasien mengatakan ia bisa tidur dengan nyenyak
karena lingkungan tenang dan nyeri tidak kambuh, dan respon objektifnya
pasien tampak lebih segar, tidak tampak mengantuk dan menguap, tidak
tampak warna kehitaman atau kantung mata. Pukul 12.15 WIB berkolaborasi
dengan pengurus panti untuk mengawasi aktifitas pergerakan pasien dengan
respon subjektif pengurus panti mengatakan bersedia mengawasi aktifitas
pasien, respon objektif pengurus panti tampak mengawasi aktifitas pasien dan
tampak seringkali mengingatkan pasien untuk lebih berhati-hati saat
melakukan kegiatan atau aktifitas, pasien tampak mendengarkan saat
diingatkan oleh petugas panti.
F. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan setelah keperawatan pada hari itu
juga, penulis melakukan evaluasi dengan metode wawancara dan observasi
terhadap pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Hari senin tanggal 04 Januari 2016 jam 12.30 WIB diagnosa
keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis
menggunakan SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) diperoleh
hasil sebagai berikut subjektif pasien mengatakan masih nyeri, hanya terasa
sedikit hangat, provoking pasien mengatakan nyeri bertambah pada pagi hari
waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan keras),
region nyeri pada kedua lututnya, scale nyeri 6, time nyeri hilang timbul,
82
dengan durasi sekitar 5 sampai 10 menit dan objektif yaitu pasien tampak
masih merasakan nyeri, tetapi tampak nyaman saat dipijat, skala nyeri masih
skala 6. Analisa masalah belum teratasi. Planning intervensi dilanjutkan yaitu
kaji secara komprehensif tentang nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region,
Scale, Time), lakukan aplikasi pemberian kompres jahe dan massage, ajarkan
teknik relaksasi nafas dalam. Pukul 12.50 WIB diagnosa keperawatan
gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri)
menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning)
diperoleh hasil sebagai berikut, subjektif pasien mengatakan sulit tidur, tidur
malam selama kurang lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan
tidurnya kurang puas, dan kadang terbangun jika nyeri timbul, objektifnya
wajah pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering menguap, hasil
pemeriksaan fisik mata tampak sayu, tampak warna kehitaman atau kantung
mata. Analisa masalah belum teratasi. Planning intervensi dilanjutkan yaitu
monitor/catat kebutuhan tidur pasien tiap hari dan jam, diskusikan dengan
klien dan keluarga tentang teknik tidur klien.
Pukul 12.40 WIB diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal dengan menggunakan metode
SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) didapatkan hasil sebagai
berikut subjektif pasien mengatakan merasa nyeri dan kaku pada kedua
lututnya, kakinya gemetaran jika berjalan atau berdiri terlalu lama, jika nyeri
timbul pasien kesulitan menggerakkan kedua kakinya. objektif yaitu kaki
pasien tampak gemetaran, pasien tampak kesulitan menggerakkan kakinya,
83
pasien tidak bersedia dibantu berjalan, ia memilih berjalan sendiri dengan
berpegangan pada dinding atau benda-benda yang ada disekitarnya, tampak
perubahan bentuk tulang (pasien berjalan agak membungkuk) kekuatan otot
ekstremitas bawah skala 4 (gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan
sedikit penahanan). Analisa masalah belum teratasi. Planning intervensi
dilanjutkan yaitu ajarkan pasien tentang teknik ambulasi/ROM.
Hari Selasa, tanggal 05 Januari 2016 pukul 12.30 WIB diagnosa
keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis
menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning)
diperoleh hasil sebagai berikut, subjektif pasien mengatakan setelah
pengaplikasian tindakan kompres jahe dan massage pasien merasa nyaman,
nyeri berkurang dari hari-hari sebelumnya, lututnya terasa hangat, dan tidak
terlalu nyeri dan kaku saat digerakkan, lebih enakan dan nyeri dan provoking
nyeri bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut
(seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale nyeri
5, dan time nyeri hilang timbul. Objektifnya pasien tampak senang, nyeri
berkurang menjadi skala 5, tampak tenang dan bisa mengikuti arahan dari
perawat, setelah diberi tindakan relaksasi nafas dalam pasien tampak bisa
melakukan tehnik relaksasi nafas dalam. Analisa masalah teratasi sebagian.
Planning lanjutkan intervensi yaitu kaji secara komprehensif tentang nyeri
PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time), lakukan aplikasi
pemberian kompres jahe dan massage, monitor tanda-tanda vital. Pukul 12.50
WIB diagnosa keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang
84
kontrol tidur (akibat nyeri) dengan menggunakan metode SOAP (Subjective,
Objective, Analise, Planning) diperoleh hasil sebagai berikut subjektif pasien
mengatakan masih mengantuk, pasien mengatakan lebih nyaman jika tidur
dengan posisi bawah lututnya diganjal dengan selimut, dengan objektif pasien
tampak tiduran dikamarnya. Analisa masalah teratasi sebagian. Planning
intervensi dilanjutkan yaitu monitor/catat kebutuhan tidur pasien setiap hari
dan jam, ciptakan lingkungan yang nyaman. Pukul 12.40 WIB diagnosa
keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective,
Analise, Planning) diperoleh hasil sebagai berikut subjektif pasien
mengatakan bersedia diajari tehnik ambulasi/ROM. objektif pasien tampak
antusias mengikuti arahan dari perawat, kaku berkurang. Analisa masalah
teratasi sebagian. Planning intervensi dilanjutkan yaitu kolaborasi dengan
tenaga kesehatan lain untuk mengawasi aktifitas pergerakan pasien.
Hari Rabu, tanggal 06 Januari 2016 pukul 12.30 WIB diagnosa
keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal
kronis menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning)
hasil sebagai berikut subjektif pasien mengatakan setelah pengaplikasian
tindakan kompres jahe dan massage lebih enakan dan nyeri berkurang dari
hari-hari sebelumnya, rasanya hangat dan kaku berkurang dan provoking
pasien mengatakan nyeri bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur,
quality nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada
kedua lututnya, scale nyeri 4, time nyeri hilang timbul, durasi 1 sampai 5
85
menit. Objektifnya yaitu pasien tampak senang, nyeriberkurang menjadi skala
4, hasil tanda-tanda vital tekanan darah 130/90 mmHg, nadi76 kali permenit,
respirasi 16 kali permenit. Analisa masalah teratasi sebagian. Planning
intervensi dilanjutkan yaitu kaji secara komprehensif tentang nyeri PQRST
(Provoking, Quality, Region, Scale, Time), lakukan aplikasi pemberian
kompres jahe dan massage, berikan posisi nyaman jika nyeri timbul kembali.
Pukul 12.55 WIB diagnosa keperawatan gangguan pola tidur berhubungan
dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri) dengan menggunakan metode
SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) didapatkan hasil sebagai
berikut subjektif pasien mengatakan ia bisa tidur sedikit-sedikit karena
lingkungan tenang dan nyeri berkurang, dan respon objektifnya pasien tidak
tampak mengantuk dan menguap, mata tidak tampak sayu, masih tampak
warna kehitaman pada kantung mata. Analisa masalah teratasi sebagian.
Planning intervensi dilanjutkan yaitu monitor/catat kebutuhan tidur pasien tiap
hari dan jam, ciptakan lingkungan yang nyaman.
Pukul 12.45 WIB diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan gangguan muskuloskeletaldengan menggunakan metode
SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) didapatkan hasil sebagai
berikut subjektif pengurus panti mengatakan bersedia mengawasi aktifitas
pasien, objektif pengurus panti tampak mengawasi aktifitas pasien dan tampak
seringkali mengingatkan pasien untuk lebih berhati-hati saat melakukan
kegiatan atau aktifitas. Analisa masalah teratasi sebagian. Planning intervensi
dilanjutkan yaitu kolaborasi, dengan tenaga kesehatan lain untuk mengawasi
86
aktifitas pergerakan pasien, ajarkan tehnik ambulasi/ROM untuk melatih
pergerakan pasien.
Hari Kamis, tanggal 07 Januari 2016 pukul 12.30 WIB diagnosa
keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis
menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) hasil
sebagai berikut subjektif pasien mengatakan setelah pengaplikasian tindakan
kompres jahe dan massage lebih enakan dan nyeri berkurang dari hari-hari
sebelumnya, rasanya hangat, nyeri dan kaku berkurang, provoking pasien
mengatakan nyeri dan kaku pada lutut selama lebih dari 1 tahun, nyeri
bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut
(seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale nyeri
3, time nyeri hilang timbul. Objektif yaitu pasien tampak senang, berkurang
menjadi skala 3, hasil tanda-tanda vital Tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 76
kali permenit, respirasi 16 kali permenit. Analisa masalah teratasi sebagian.
Planning intervensi dilanjutkan yaitu kaji secara komprehensif tentang nyeri
PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time), berikan posisi nyaman jika
nyeri timbul kembali.
Pukul 12.55 WIB diagnosa keperawatan gangguan pola tidur
berhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri) dengan menggunakan
metode SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) didapatkan hasil
sebagai berikut mengatakan ia bisa tidur dengan nyenyak karena nyeri tidak
kambuh, dan respon objektifnya pasien tampak lebih segar, tidak tampak
mengantuk dan menguap, tidak tampak warna kehitaman atau kantung mata.
87
Analisa masalah teratasi. Planning intervensi dilanjutkan yaitu monitor/catat
kebutuhan tidur pasien tiap hari dan jam, ciptakan lingkungan yang nyaman.
Pukul 12.45 WIB diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal dengan menggunakan metode
SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) didapatkan hasil sebagai
berikut subjektif pengurus panti mengatakan bersedia mengawasi aktifitas
pasien, objektif pengurus panti tampak mengawasi aktifitas pasien dan tampak
seringkali mengingatkan pasien untuk lebih berhati-hati saat melakukan
kegiatan atau aktifitas, pasien tampak mendengarkan saat diingatkan oleh
petugas panti. Analisa masalah teratasi sebagian. Planning intervensi
dilanjutkan yaitu kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengawasi
aktifitas pergerakan pasien dan ajarkan tehnik ambulasi/ROM untuk melatih
pergerakan pasien.
88
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis membahas mengenai pemberian terapi kompres jahe
dan massage terhadap intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Ny. Y dengan
osteoartritis di Panti Sasana Tresna Wredha Dharma Bakti Wonogiri.
Pembahasan pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian antara penilitian
jurnal dan teori dengan kasus yang terjadi di lapangan. Proses asuhan keperawatan
seperti pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang komprehensif meliputi
biologis, psikologis, sosial, dan spiritual melalui tahap pengkajian, perumusan
masalah, rencana tindakan, tindakan keperawatan, dan evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian
Tahap pengkajian adalah tahap proses mengumpulkan data yang
relevan dan kontinyu tentang respon manusia, status kesehatan, kekuatan, dan
masalah klien. Tujuan dari pengakajian adalah untuk memperoleh informasi
tentang keadaan kesehatan klien, menentukan masalah keperawatan dan
kesehatan klien, menilai keadaan kesehatan klien, membuat keputusan yang
tepat dalam menentukan langkah-langkah berikutnya (Darmawan, 2012).
Pengkajian terhadap Ny. Y dengan osteoartritis di Panti Sasana Tresna
Wredha Dharma Bakti Wonogiri menggunakan metode komunikasi secara
langsung dengan klien (autoanamnensa), maupun tak langsung
(alloanamnensa), dan observasi yaitu dengan mengamati perilaku dan
89
keadaan pasien untuk memperoleh data tentang masalah-masalah yang dialami
klien. Pengkajian tersebut dimulai dari biodata pasien, riwayat kesehatan,
riwayat medis masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat psikososial, dan
pemeriksaan fisik. Selanjutnya data dasar tersebut digunakan untuk
menentukan diagnosis keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah klien
(Darmawan, 2012).
Hasil pengkajian didapatkan keluhan utama pada kasus Ny. Y adalah
pasien mengatakan nyeri dan kaku pada lututnya selama lebih dari 1 tahun.
Berdasarkan hasil pengkajian pada Ny.Y dengan kasus osteoartritis telah
sesuai dengan teori yang ditemukan oleh penulis. Osteoartritis (penyakit
pengapuran sendi) merupakan suatu penyakit sendi degeneratif, yang
menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi yang sering diderita pada tahap
menua yaitu pada usia diatas 60 tahun sehingga membuat sendi-sendi menjadi
sulit untuk digerakkan dan apabila tidak digerakkan akan memperparah
keadaan (Yuli Reni, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan pada pasien
perempuan dengan osteoartritis menunjukkan bahwa seorang yang yang
berumur minimal 65 tahun beresiko 19 kali menderita osteoartritis lutut
dibandingkan mereka yang berumur 35 tahun (Knee Osteoarthritis, 2010).
Dari data pengkajian dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan
antara teori dan kenyataan yang terjadi pada gejala osteoartritis yang dialami
oleh Ny.Y.
Pasien juga mengatakan dulunya saat masih muda pasien sering bekerja
keras menggendong pakan ternak (rumput) dalam jumlah banyak dengan jarak
90
yang lumayan jauh, namun lama kelamaan timbul gejala-gejala pengapuran
sendi.
Dari data pengkajian dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan
antara teori dan kenyataan yang terjadi pada etiologi osteoartritis yang dialami
oleh Ny.Y. Yang menerangkan bahwa pemakaian sendi yang berlebihan
secara teoritis dapat merusak rawan sendi melalui dua mekanisme yaitu
pengikisan dan proses degenerasi karena bahan yang dikandungnya (Reni
Yuli, 2014).
Hasil pengkajian pada tanggal 04 Januari 2016 keluhan utama pada
kasus Ny. Y adalah pasien mengatakan nyeri dan kaku pada lututnya selama
lebih dari 1 tahun. Klien mengatakan nyeri bertambah pada pagi hari waktu
bangun tidur, quality rasa nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan keras),
region nyeri pada kedua lututnya, scale skala nyeri 6, time nyeri hilang timbul
dengan durasi sekitar 5 sampai 10 menit. Menurut klasifikikasinya nyeri pada
Ny. Y tergolong nyeri kronis dimana nyeri kronis memiliki awitan yang tiba-
tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan hingga berat, terjadi secara
konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan
berlangsung lebih dari 6 bulan (Herdman, 2012).
Seperti yang dijelaskan pasien bahwa ia mengalami nyeri dan kaku pada
kedua lututnya, dalam buku Bambang (2011) osteoartritis yang diderita Ny. Y
merupakan jenis osteoartritis genu (lutut) yaitu suatu penyakit sendi
degeneratif yang umum terjadi yang berkaitan dengan kerusakan kartilago
sendi lutut, yang merupakan suatu penyakit kerusakan tulang rawan sendi
91
yang tidak diketahui penyebabnya, namun ada beberapa etiologi yang
berkaitan dengan timbulnya osteoartritis antara lain: umur, prevalensi dan
beratnya orteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya
umur. Osteoartritis hampir tidak pernah pada anak-anak, jarang pada umur
dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun. Penderita
osteoartritis khususnya osteoartritis genu (lutut) meningkat pada usia lebih
dari 65 tahun, baik secara klinik maupun radiologik. Sedangkan nyerinya
bertambah ketika pada pagi hari dan sore hari, hal ini juga sesuai dengan buku
Bambang (2011) yang menyatakan bahwa nyeri pada osteoartritis, biasanya
nyeri mempunyai irama diurnal, nyeri akan menghebat pada pagi hari waktu
bangun tidur atau pagi hari dan sore hari.
Nyeri yang dirasakan Ny. Y tergolong nyeri sedang karena skala nyeri
yang dirasakan skala 6 (agak mengganggu). Nyeri pada pasien diukur dengan
Numeric Rating Scale (NRS), skala ini berbentuk garis horizontal yang
menunjukkan angka-angka dari 0-10, yaitu angka 0 menunjukkan tidak ada
nyeri atau bebas nyeri dan angka 10 menunjukkan nyeri yang paling hebat.
Skala ini merupakan garis panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya 1
cm diberi tanda. Skala ini dapat dipakai pada klien dengan nyeri yang hebat
atau klien yang baru mengalami operasi. Tingkat angka yang ditunjukkan oleh
klien dapat digunakan untuk mengkaji efektivitas dari intervensi pereda rasa
nyeri. Keterangan skala 0 adalah tidak nyeri atau bebas nyeri, skala 1-3 adalah
nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik, skala 4-6
adalah nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
92
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik, skala 7-9 adalah nyeri berat, secara obyektif klien
terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat
diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi, skala 10 nyeri sangat
berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul (Potter &
Perry, 2005).
Nyeri merupakan salah satu manifestasi klinis dari osteoartritis, hal ini
sudah sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa Perubahan-perubahan
degeneratif yang diakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu misalnya
cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit peradangan
sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat intrinsik
dan ekstrinsik sehingga menyebabkan gangguan pada ligament atau adanya
perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang
rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi
penyempitan rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki krepitasi,
deformitas, dan adanya hipertropi atau nodulus (Soeparman, 1995 dalam Yuli
Reni, 2014). Berdasarkan tanda dan gejala, masalah paling utama pada
pasien-pasien dengan osteoartritis adalah nyeri baik bersifat akut maupun
kronis akibat adanya proses degradasi pada tulang rawan dan proses inflamasi
pada daerah sinovium (Doengoes dkk, 2008). Dari data pengkajian dapat
disimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan antara teori dan kenyataan yang
terjadi pada gejala osteoartritis yang dialami oleh Ny.Y.
93
Pengkajian pada pola istirahat tidur, klien mengatakan tidur malam
selama kurang lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan
tidurnya kurang puas dan kadang terbangun jika nyeri timbul. Dan data
objektifnya Pasien wajah pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering
menguap, hasil pemeriksaan fisik mata tampak sayu, tampak warna kehitaman
atau kantung mata. Klien yang mengalami nyeri akan berpengaruh pada
perubahan pola istirahat tidur (Potter dan Perry, 2005). Dari data pengkajian
dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan antara teori dan kenyataan
yang terjadi pada gejala osteoartritis yang dialami oleh Ny.Y.
Hasil pengkajian yang didapatkan dari wawancara terhadap Ny. Y
dengan osteoartritis pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang pada
keluhan utama ditemukan masalah pasien merasa nyeri dan kaku pada lutut,
hal ini sudah sesuai dengan teori menurut Yuli Reni (2014) yaitu keluhan
utama yang sering ditemukan pada klien dengan penyakit muskuloskeletal
seperti osteoartritis, hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami
atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau kurang digunakannya sendi
tersebut, adanya keterbatasan gerak yang menyebabkan terjadinya
keterbatasan mobilitas, sehingga muncul diagnosa hambatan mobilitas fisik.
Gangguan mobilitas fisik dapat timbul akibat dari nyeri yang ditandai dengan
keterbatasan rentang gerak sendi (Doengoes dkk, 2008). Hasil pengkajian
kekuatan otot pada Ny. Y yang terjadi pada ekstremitas bawah (kaki) kanan
dan kiri mengalami penurunan kekuatan otot yaitu kekuatan otot 4 (gerakan
normal penuh menentang gravitasi dengan sedikit penahanan), sedangkan
94
ekstremitas yang lain tidak mengalami masalah dengan kekuatan otot 5.
Penurunan otot disebabkkan karena nyeri yang bersifat kronis pada pasien
osteoartritis sehingga membuat semakin lama kekuatan otot semakin
berkurang (Brunner dan Suddart, 2002). Hasil pemeriksaan ekstremitas
terdapat perubahan bentuk tulang (pasien berjalan agak membungkuk).
Berdasarkan hasil dari pengkajian pada Ny. Y dengan osteoartritis telah
sesuai dengan teori dengan yang ditemukan oleh penulis.
B. Perumusan masalah
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis tentang respon
individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang aktual
dan potensial atau proses kehidupan. Tujuannya adalah mengarahkan rencana
asuhan keperawatan untuk membantu klien dan keluarga beradaptasi terhadap
penyakit dan menghilangkan masalah keperawatan kesehatan (Dermawan,
2012).
Menurut Carpenito (2002) dalam Setiadi (2012), bahwa terdapat 5 tipe
diagnosa yaitu actual, risiko, kemungkinan, kesejahteraan, dan sindrom.
Diagnosa aktual adalah menyajikan keadaan yang secara klinis telah di
validasi melalui batasan karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi, karena
nyeri dapat mengganggu kebutuhan rasa aman dan nyaman serta merupakan
masalah yang paling utama maka harus didahulukan daripada kebutuhan yang
lain.
95
Berdasarkan data-data yang didapatkan penulis dari hasil pengkajian
pada tanggal 05 sampai 07 Januari 2016 pada Ny. Y di Panti Sasana Tresna
Wredha Dharma Bhakti Wonogiri, dapat disimpulkan bahwa klien
mempunyai masalah keperawatan nyeri kronis berhubungan kondisi
muskuloskeletal kronis, gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang
kontrol tidur, dan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal.
Masalah keperawatan pertama yaitu nyeri kronis berhubungan
dengankondisi muskuloskeletal kronis (Herdman, 2015). Nyeri Menurut IASP
(International Association for the Study of Pain) dalam Herdman (2012)
merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
dan muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau digambarkan
dalam hal kerusakan sedemikian rupa. Sedangkan Nyeri yang dialami Ny. Y
merupakan nyeri akibat kondisi muskuloskeletal yang kronis yang
diakibatkan oleh penyakit osteoartritis yang dideritanya selama lebih dari 1
tahun. Sesuai teori bahwa nyeri kronis merupakan nyeri yang memiliki awitan
yang tiba-tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan hingga berat, terjadi
secara konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi dan berlangsung lebih dari 6 bulan (Herdman, 2012). Pada Ny. Y
batasan karakteristik yang ditemukan meliputi data subyektif pasien
mengatakan nyeri dan kaku pada lutut selama lebih dari 1 tahun, nyeri
bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality rasa nyeri cenut-cenut
(seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale skala
96
nyeri 6, time nyeri hilang timbul dengan durasi sekitar 5 sampai 10 menit.
Sedangkan data objektif didapatkan klien tampak meringis menahan nyeri,
pasien tampak memegangi dan mengelus kedua lututnya, pemeriksaan tanda-
tanda vital tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90 kali permenit, respirasi 16
kali permenit. Berdasarkan data tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa
diagnosa yang diangkat sudah sesuai dengan batasan karakteristik yang sesuai
dengan buku (Herdman, 2015).
Analisa masalah keperawatan yang kedua yaitu gangguan pola tidur
berhubungan dengan kurang kontrol tidur. Ditandai dengan data subjektif
pasien mengatakan sulit tidur, tidur malam selama kurang lebih 5 jam, pasien
tidak tidur siang, pasien mengatakan tidurnya kurang puas dan kadang
terbangun jika nyeri timbul, dan data objektifnya wajah pasien tampak
mengantuk dan pasien terlihat sering menguap, hasil pemeriksaan fisik mata
tampak sayu, tampak warna kehitaman atau kantung mata. Gangguan pola
tidur dapat di definisikan sebagai gangguan jumlah dan kualitas tidur
(penghentian kesadaran alami, periodic) yang dibatasi waktu dalam jumlah
dan kualitas (Wilkinson, 2007).
Penulis mengangkat diagnosa gangguan pola tidur karena telah sesuai
dengan batasan karakteristik menurut Wilkinson (2007) yang menyebutkan
bahwa karakteristik gangguan pola tidur yaitu bangun lebih awal atau lebih
lambat dari yang diinginkan, ketidakpuasan tidur, keluhan verbal tentang
kesulitan untuk tidur, keluhan verbal tentang perasaan tidak dapat beristirahat
dengan baik. Batasan karakteristik lain yang mungkin muncul (Non-Nanda)
97
yaitu lingkaran gelap dibawah mata, penurunan rentang perhatian, aek datar,
sering menguap, tidur terganggu, tidak bergairah, dan perubahan mood.
Berdasarkan batasan karakteristik maka etiologi yang dapat diambil oleh
penulis yaitu kurang kontrol tidur (akibat nyeri). Berdasarkan data tersebut
diatas penulis menyimpulkan bahwa diagnosa yang diangkat sudah sesuai
dengan batasan karakteristik yang sesuai dengan buku (Herdman, 2012).
Analisa masalah keperawatan ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal. Ditandai dengan data
subjektif pasien mengatakan merasa nyeri dan kaku pada kedua lututnya,
kakinya gemetaran jika berjalan atau berdiri terlalu lama, jika nyeri timbul
pasien kesulitan menggerakkan kedua kakinya. Dan data objektifnya kaki
pasien tampak gemetaran, pasien tampak kesulitan menggerakkan kakinya,
tampak perubahan bentuk tulang (pasien berjalan agak membungkuk),
kekuatan otot ekstremitas bawah kanan dan kiri skala 4 (gerakan normal
penuh menentang gravitasi dengan sedikit penahanan).
Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik
tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri. Batasan
karakteristiknya antara lain: penurunan waktu reaksi, kesulitan membolak
balikan posisi, melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (misal:
meningkatkan perhatian pada aktivitas orang lain, mengendalikan perilaku,
fokus pada ketunadayaan/aktivitas sebelum sakit), dispnea setelah
beraktivitas, perubahan cara berjalan, keterbatasan kemampuan melakukan
keterampilan motorik halus, keterbatasan tentang gerak sendi, tremor akibat
98
pergerakan, pergerakan lambat dan pergerakan tidak berkoordinasi (Herdman,
2012). Berdasarkan data tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa
diagnosa yang diangkat sudah sesuai dengan batasan karakteristik yang sesuai
dengan buku (Herdman, 2012).
Penulis memprioritaskan diagnosa nyeri kronis berhubungan
dengan kondisi muskuloskeletal kronis sebagai diagnosa pertama. Alasan
penulis memprioritaskan masalah nyeri kronis sebagai prioritas pertama,
karena berdasarkan pada keaktualan masalah yang sesuai dengan tipe-tipe
diagnosa keperawatan. Apabila diagnosa nyeri kronis berhubungan dengan
ketunadayaan fisik kronis tidak ditegakkan padahal terdapat data-data yang
mendukung untuk ditegakkannya diagnosa tersebut maka individu akan
merespon secara biologis dan perilaku yang menimbulkan respon fisik dan
psikis. Respon psikis meliputi perubahan keadaan umum, ekspresi wajah,
nadi, pernafasan, suhu, sikap badan dan apabila nyeri berada pada derajat
berat dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan syok. Respon psikis
akibat nyeri dapat merangsang respon stress yang dapat menekan sistem imun
dan peradangan, serta menghambat penyembuhan. Respon yang lebih parah
akan mengarah pada ancaman merusak diri (Rustinawati, 2013).
Setelah itu barulah menyusul diagnosa keperawatan kedua yaitu
gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri)
karena jika nyeri sudah bisa teratasi maka secara otomatis akan
mempengaruhi pola tidur pasien karena sesuai dengan hasil pengkajian yaitu
subjektif klien mengatakan tidur malam selama kurang lebih 5 jam, pasien
99
tidak tidur siang, pasien mengatakan tidurnya kurang puas dan kadang
terbangun jika nyeri timbul, hal ini sesuai dengan teori bahwa klien yang
mengalami nyeri akan berpengaruh pada perubahan pola istirahat tidur (Potter
dan Perry, 2005).
Dan diagnosa ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan gangguan muskuloskeletal, hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri
yang dialami atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau kurang
digunakannya sendi tersebut, kesimpulannya jika masalah utama yaitu nyeri
bisa diatasi maka hambatan mobilitas fisik pada pasienpun akan teratasi.
C. Rencana tindakan
Perencanaan adalah suatu proses didalam pemecahan masalah yang
merupakan keputusan awal tentang sesuatu yang akan dilakukan, bagaimana
dilakukan, kapan akan dilakukan, dan siapayang akan melakukan dari semua
tindakan keperawatan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi fokus
keperawatan pada klien atau kelompok, untuk membedakan tanggung jawab
perawat dengan profesi kesehatan lain, untuk menyediakan suatu kriteria
guna pengulangan dan evaluasi keperawatan untuk menyediakan kriteria dan
klasifikasi pasien. Penulis menyusun rencana tindakan dalam diagnose
keperawatan nyeri kronis, gangguan pola tidur dan hambatan mobilitas fisik
berdasarkan NIC (Nursing Intervention Classification) dengan menggunakan
metode ONEC (Observasi, Nursing Intervention, Education, Collaboration).
Tujuan dan kriteria hasil ini disusun berdasarkan NOC (Nursing Output
100
Classification) dengan menggunakan metode SMART (Spesific, Measurable,
Achievable, Realistic, Time) (Dermawan, 2012). Kriteria hasil merupakan
gambaran tentang faktor-faktor yang dapat memberi petunjuk bahwa tujuan
telah tercapai dan digunakan dalam membuat pertimbangan (Hidayat, 2010).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang pertama yaitu nyeri kronis
berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis, penulis menyusun
perencanaan antara lain: (Pain management) : kaji secara komprehensif
tentang nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time), monitor
tanda-tanda vital, lakukan aplikasi pemberian kompres jahe dan massage,
ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, dan kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat analgetik (NIC dalamYuli Reni, 2014).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang kedua yaitu gangguan pola
tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur, penulis menyusun
perencanaan antara lain: (Sleep enhancement): monitor atau catat kebutuhan
tidur pasien setiap hari dan jam, ciptakan lingkungan yang nyaman,
diskusikan dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur klien, dan
kolaborasi pemberian obat tidur (NIC dalam Nurarif dkk, 2013).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal, penulis
menyusun perencanaan antara lain: (Excercise Tharapy) : kaji kemampuan
pasien dalam mobilisasi, dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi, ajarkan
pasien tentang teknik ambulasi/ROM untuk melatih pergerakan pasien, dan
101
kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengawasi aktifitas
pergerakan pasien (NIC dalam Yuli Reni, 2014).
D. Implementasi keperawatan
Tindakan keperawatan atau implementasi adalah sekumpulan atau
serangkaian pelaksanaan dari rencana tindakan keperawatan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil dalam rentang
yang diharapkan (Dermawan, 2012).
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Ny. Y sama dengan yang
ada di intervensi pada diagnosa pertama yaitu nyeri kronis berhubungan
kondisi muskuloskeletal kronis dengan mengkaji secara komprehensif tentang
nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time), monitor tanda-tanda
vital, melakukan aplikasi pemberian kompres jahe dan massage, dan
mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
Tindakan yang pertama yaitu mengkaji secara komprehensif tentang
nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time) dan memonitor
tanda-tanda vital dengan respon subjektif pasien mengatakan nyeri dan kaku
pada lutut selama lebih dari 1 tahun, mengatakan nyeri bertambah pada pagi
hari waktu bangun tidur, kualitas nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan
keras), nyeri pada kedua lututnya, skala nyeri 6, nyeri hilang timbul dengan
durasi sekitar 5 sampai 10 menit dan respon objektif yaitu pasien tampak
meringis menahan nyeri, pasien tampak memegangi dan mengelus kedua
102
lututnya, hasil pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 140/80 mmHg,
nadi 90 kali permenit, respirasi 16 kali permenit. Dalam teori, observasi
karakteristik nyeri dilakukan untuk mengetahui pemicu nyeri, kualitas nyeri,
lokasi nyeri, intensitas nyeri dan waktu serangan nyeri (Saputra, 2013).
Setelah melakukan mengkaji secara komprehensif dan memonitor
tanda-tanda vital untuk mengetahui penyebab, kualitas, lokasi, skala, dan
waktu nyeri, dan untuk mengetahui tanda-tanda vital pasien.
Penulis lalu melakukan pemberian kompres jahe dan massage dengan
tujuan untuk menurunkan intensitas nyeri secara non farmakologi dengan
respon subjektif pasien mengatakan bersedia diberikan kompres jahe dan
dipijatpada bagian yang nyeri, dan respon objektif pasien tampak nyaman saat
diberi kompres jahe dan massage pada kedua lututnya.
Rangsangan panas yang dihasilkan kompres hangat jahe akan
meningkatkan suhu lokal pada kulit yang akan mengakibatkan kulit menjadi
pucat karena timbul vasokontriksi akan segera diikuti vasodilatasi sehingga
timbul kemeraha-merahan. Apabila terjadi dilatasi pembuluh darah kulit
maka hal ini akan diteruskan ke pembuluh darah di jaringan yang lebih dalam
sehingga sirkulasi darah membaik. Membantu penyerapan zat algogen
mengaktifkan ion segera juga menurunkan aksi potensial dengan
menghambat serabut saraf Aß sehingga nyeri berkurang. Pada level spinal
akan terjadi mild heating yang merangsang saraf afferent Aß dan propiceptor
memblok A delta dan C di medula spinalis. Pengurangan nyeri supra spinal
terjadi panas tinggi merangsang hipotalamus menghasilkan endorphin
103
menurunkan nyeri. Efek pada jaringan kapsul meningkatkan kadar air terjadi
kelenturan kapsul ligamen dan fasia nyeri menurun, efek panas pada jaringan
otot rileksasi ketegangan intra muskuler menurun dan mampu mengatasi
iskemik jaringan sehingga nyeri menurun (Anwar, 2012 dalam Yuliastari,
2012).
Selain itu penggunaan kompres hangat jahe memberikan efek fisiologis
dengan cara menurunkan nyeri sendi pada tahap transduksi (proses
konversienergi dari rangsangan noksius (suhu, mekanik, atau kimia) menjadi
energi listrik (impuls saraf) oleh reseptor sensorik untuk nyeri (nosiseptor),
pada tahapan ini jahe memiliki kandungan gingerol yang mengandung
siklooksigenase yang bisa menghambat terbentuknya prostaglandin sebagai
mediator nyeri, sehingga terjadi penurunan nyeri sendi. Sehingga jahe dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif pengobatan non farmakologis untuk
menurunkan nyeri sendi (Izza,2014).
Massage sendiri memberikan efek menurunkan kecemasan dan
ketegangan otot. Rangsangan massage pada otot akan merangsang serabut
berdiameter besar, sehingga dapat memblok atau menurunkan impuls nyeri.
Pijat yang dilakukan oleh orang yang ahli dapat membantu menangani
beberapa masalah otot. Manfaat utama yang diberikan pada terapi pijat adalah
efek relaksasinya, dan pijat bisa sangat membantu orang yang memiliki
masalah yang berhubungan dengan stres (Kim, 2007).
Terapi kompres jahe dan massage diberikan dengan menggunakan air
hangat bersuhu 40o
celcius sampai 50o
celcius kemudian jahe sebanyak 100
104
gram di parut dan di dicelupkan sebentar di air hangat yang sudah disiapkan
kemudian diletakkan pada kain lalu dikompreskan pada daerah sendi yang
mengalami nyeri selama 20 menit, ganti kompres per 5 menit agar tetap
hangat.
Sedangkan massage yang digunakan yaitu remedial massage (pijat
penyembuhan) yaitu suatu pijatan yang dilakukan untuk membantu
mempercepat proses pemulihan beberapa macam penyakit dengan
menggunakan sentuhan tangan dan tanpa memasukkan obat ke dalam tubuh
yang bertujuan untuk meringankan atau mengurangi keluhan atau gejala pada
beberapa macam penyakit yang merupakan indikasi untuk dipijat (Bambang,
2011). Tehnik remedial massage yang digunakan antara lain tehnik petrisage
(pijatan) dan friction (gerusan) dan dilakukan selama 10 menit dengan posisi
tengkurap. Tehnik massage petrisage merupakan suatu gerakan dengan
menggunakan ibu jari berdampingan, melakukan pijatan tekanan secara
bergantian. Pijatan dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan
bawah lipatan lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan
pijatan ulang dengan dosis 3 kali ulangan. Sedangkan friction dengan
menggunakan kedua ibu jari berdampingan untuk melakukan gerusan secara
bergantian. Gerusan dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan
bawah lipatan lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan
gerusan ulangan, dengan dosis 3 kali ulangan (Bambang, 2011). Setelah
mengaplikasikan tindakan kompres jahe dan massage dengan respon subjektif
pasien mengatakan nyeri berkurang dan lutut terasa hangat dan respon
105
objektif yaitu pasien tampak merasa nyaman, skala nyeri berkurang menjadi
skala 5. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian terapi kompres jahe dan
massage efektif menurunkan skala dan intensitas nyeri klien osteoartritis
sesuai dengan jurnal dimana dalam jurnal disebutkan hasil penelitian
menyatakan bahwa terdapat penurunan intensitas nyeri saat diberikan
tindakan kompres jahe dan massage pada pasien dengan osteoartritis.
Hasil analisa pada tindakan kompres jahe dan massage ini yaitu dalam 4
hari pengelolaan ini penulis mendapatkan data sebagai berikut pada hari
pertama didapatkan hasil sebelum diberi terapi kompres jahe dan massage
yaitu skala 6 dan durasi nyeri pasien 5 sampai 10 menit dan setelah diberi
terapi nyeri masih skala 6 dan durasi masih 5 sampai 10 menit. Skala nyeri
pada hari pertama belum pengalami perubahan karena penulis menerapkan
aplikasi kompres jahe dan massage sesuai jurnal utama, dalam jurnal tersebut
dituliskan bahwa pemberian ekstrak jahe 1 gr/hari selama 4 minggu lebih
efektif dibandingkan dengan plasebo dan sama efektifnya dengan ibuprofen
dalam meredakan nyeri pada osteoartritis (Leach & Kumar, 2008).
Namun pada kenyataannya terdapat kesenjangan dalam jurnal tersebut
dengan aplikasi pada asuhan keperawatan dilapangan. Respon pasien di hari
pertama pemberian terapi kompres jahe dan massage yaitu subjektif pasien
mengatakan masih nyeri, hanya terasa sedikit hangat dan respon objektif yaitu
pasien tampak masih merasakan nyeri, tetapi tampak nyaman saat dipijat,
skala nyeri masih skala 6.
106
Dan berdasarkan konsultasi dengan pembimbing maka diperkenankan
memakai jurnal pendamping, yang dalam jurnal tersebut bertema “Pemberian
Kompres Hangat Memakai Jahe Untuk Meringankan Skala Nyeri Pada Pasien
Asam Urat Di Desa Kedungwungu Kecamatan Tegowanu Kabupaten
Grobogan”. Dalam jurnal tersebut dijelaskan jahe 100 gram yang diparut dan
di letakkan diatas kain yang sudah di celupkan pada air hangat yang bersuhu
40-50oC setelah itu di kompres pada daerah yang nyeri selama 20 menit.
Penelitian ini dilakukan 3 hari dengan hasil bahwa rata-rata skala nyeri
sebelum dilakukan kompres hangat memakai jahe adalah 6,00 (nyeri sedang),
setelah dilakukan kompres hangat memakai jahe adalah 3,67 (nyeri ringan).
Berdasarkan data tersebut diatas maka hari selanjutnya dilakukan terapi
kompres jahe dan massage sesuai dengan cara pada jurnal pendamping.
Hari kedua pemberian terapi kompres jahe dan massage yaitu subjektif
pasien mengatakan skala nyeri berkurang menjadi 5 dengan durasi 5 sampai
10 menit. Hari ketiga pemberian terapi kompres jahe dan massage
yaitusubjektif pasien mengatakan skala nyeri berkurang menjadi 4 dengan
durasi 1 sampai 5 menit. Dan dihari terakhir pemberian terapi kompres jahe
dan massage yaitu subjektif pasien mengatakan skala nyeri berkurang
menjadi 3 dengan durasi 1 sampai 5 menit.
Berdasarkan data tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa terdapat
kesesuaian pada jurnal dan kasus yang ada pada Ny.Y. dalam jurnal
disebutkan bahwa penelitian ini dilakukan 3 hari dengan hasil bahwa rata-rata
skala nyeri sebelum dilakukan kompres hangat memakai jahe adalah 6,00
107
(nyeri sedang), setelah dilakukan kompres hangat memakai jahe adalah 3,67
(nyeri ringan).
Setelah tindakan pemberian kompres jahe dan masage selanjutnya
pasien diajari untuk melakukan relaksasi nafas dalam yang bertujuan untuk
mengontrol nyeri. Ketika seseorang mengalami gangguan rasa nyeri, maka
akan meningkatkan sensitivitas saraf simpatis yang menyebabkan ketegangan
pada otak dan otot seseorang. Dengan penggunaan teknik relaksasi, maka
saraf simpatis akan dihambat, sementara saraf parasimpatis meningkatkan
sehingga mengakibatkan ketegangan otak dan otot seseorang akan berkurang.
Dengan mengaktifkan saraf-saraf parasimpatis akan menyebabkan pasien
merasakan nyeri berkurang (Solehati dan Kokasih, 2015).
Diagnosa keperawatan kedua, implementasi yang dilakukan yaitu
memonitor atau mencatat kebutuhan tidur pasien setiap hari, menciptakan
lingkungan yang tenang, dan mendiskusikan dengan klien dan keluarga
tentang tehnik tidur klien.
Diagnosa keperawatan ketiga, implementasi yang dilakukan mengkaji
kemampuan pasien dalam mobilisasi, mendampingi dan membantu pasien
saat mobilisasi, mengajarkan pasien tentang teknik ambulasi/ROM untuk
melatih pergerakan pasien, dan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain
untuk mengawasi aktifitas pergerakan pasien (NIC dalam Yuli Reni, 2014).
108
E. Evaluasi Tindakan
Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan
keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien telah ditetapkan dengan
respon perilaku klien yang tampil. Tujuan dari evaluasi antara lain untuk
menentukan perkembangan kesehatan klien, menilai efektifitas dan efisiensi
tindakan keperawatan, mendapatkan umpan balik dari respon klien dan
sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan (Dermawan,2012).
Hasil evaluasi yang sudah didapatkan pada senin 04 Januari 2016
sampai dengan tanggal 07 Januari 2016, diagnosa keperawatan nyeri kronis
berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis menggunakan metode
SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) hasil sebagai berikut
subjektif pasien mengatakan setelah pengaplikasian tindakan kompres jahe
dan massage lebih enakan dan nyeri berkurang dari hari-hari sebelumnya,
rasanya hangat, nyeri dan kaku berkurang, provoking pasien mengatakan
nyeri dan kaku pada lutut selama lebih dari 1 tahun, nyeri bertambah pada
pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut (seperti ditekan
dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale nyeri 3, time nyeri
hilang timbul. objektif yaitu pasien tampak senang karena nyeri lututnya
berkurang menjadi skala 3, hasil tanda-tanda vital Tekanan darah 130/90
mmHg, nadi 76 kali permenit, respirasi 16 kali permenit. Analisa masalah
teratasi sebagian. Planning intervensi dilanjutkan yaitu kaji secara
komprehensif tentang nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale,
109
Time), berikan posisi nyaman jika nyeri timbul kembali. Diagnosa
keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur
(akibat nyeri) dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective,
Analise, Planning) didapatkan hasil sebagai berikut subjektif mengatakan ia
bisa tidur dengan nyenyak karena nyeri tidak kambuh, dan respon objektifnya
pasien tampak lebih segar, tidak tampak mengantuk dan menguap, tidak
tampak warna kehitaman atau kantung mata. Analisa masalah teratasi.
Planning intervensi dilanjutkan yaitu monitor/catat kebutuhan tidur pasien
tiap hari dan jam, ciptakan lingkungan yang nyaman. Diagnosa keperawatan
hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Analise,
Planning) didapatkan hasil sebagai berikut subjektif pengurus panti
mengatakan bersedia mengawasi aktifitas pasien, objektif pengurus panti
tampak mengawasi aktifitas pasien dan tampak seringkali mengingatkan
pasien untuk lebih berhati-hati saat melakukan kegiatan atau aktifitas, pasien
tidak tampak gemetaran, pasien tampak mendengarkan saat diingatkan oleh
petugas panti. Analisa masalah teratasi sebagian. Planning intervensi
dilanjutkan yaitu kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengawasi
aktifitas pergerakan pasien dan ajarkan tehnik ambulasi/ROM untuk melatih
pergerakan pasien.
Kesimpulan atau hasil akhirnya yaitu masalah keperawatan nyeri
kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis pada hari pertama
pengkajian yaitu skala 6 dan durasi 5 sampai 10 menit dan setelah 4 hari
110
implementasi hasilnya nyeri berkurang menjadi skala 3 dengan durasi 1
sampai 5 menit. Untuk masalah keperawatan gangguan pola tidur pada saat
pengkajian didapatkan pasien tidur kurang lebih hanya 5 jam dalam sehari,
masih tampak mengantuk saat bangun, dan tampak sering menguap, tampak
warna kehitaman atau kantung mata, dan setelah 4 hari pengimplementasian
hasilnya pasien mengatakan bisa tidur dengan nyenyak karena nyeri tidak
kambuh, pasien tampak lebih segar, tidak tampak mengantuk dan menguap,
tidak tampak warna kehitaman atau kantung mata. Masalah keperawatan
hambatan mobilitas fisik pada saat pengkajian didapatkan pasien mengatakan
merasa nyeri dan kaku pada kedua lututnya, kakinya gemetaran jika berjalan
atau berdiri terlalu lama, jika nyeri timbul pasien kesulitan menggerakkan
kedua kakinya dan setelah 4 hari diberikan implementasi hasilnya aktifitas
meningkat dan kaki tidak tampak gemetaran.
111
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan intervensi berbasis riset yang telah dilakukan penulis pada
Ny. Y dengan osteoartritis di Panti Sasana Tresna Wredha Dharma Bakti
Wonogiri pada tanggal 04 sampai dengan 07 Januari 2016 dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengkajian
Setelah penulis melakukan pengkajian pada Ny.Y Masalah
keperawatan pertama yang muncul yaitu nyeri kronis berhubungan
dengan kondisi muskuloskeletal kronis, didapatkan data pasien
mengatakan nyeri dan kaku pada lutut selama lebih dari 1 tahun, nyeri
bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-
cenut (seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya,
scale skala nyeri 6, time nyeri hilang timbul dengan durasi sekitar 5
sampai 10 menit. Sedangkan data objektif didapatkan klien tampak
meringis menahan nyeri, pasien tampak memegangi dan mengelus
kedua lututnya, pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 140/80
mmHg, nadi 90 kali permenit, respirasi 16 kali permenit.
Masalah keperawatan yang kedua gangguan pola tidur yang
berhuhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri). Ditandai
dengan data subjektif pasien mengatakan sulit tidur, tidur malam
112
selama kurang lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan
tidurnya kurang puas dan kadang terbangun jika nyeri timbul, dan data
objektifnya wajah pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering
menguap, hasil pemeriksaan fisik mata tampak sayu, tampak warna
kehitaman atau kantung mata.
Masalah keperawatan ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik yang
berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal. Ditandai dengan data
subjektif pasien mengatakan merasa nyeri dan kaku pada kedua
lututnya, kakinya gemetaran jika berjalan atau berdiri terlalu lama, jika
nyeri timbul pasien kesulitan menggerakkan kedua kakinya. Dan data
objektifnya kaki pasien tampak gemetaran, pasien tampak berjalan
lambat, pasien tampak kesulitan menggerakkan kakinya, tampak
perubahan bentuk tulang (pasien berjalan agak membungkuk),
kekuatan otot ekstremitas bawah kanan dan kiri skala 4.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada Ny. Y adalah nyeri
kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis, gangguan
pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri) ,
dan hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal.
3. Intervensi keperawatan
Penulis merumuskan rencana tindakan keperawatan sesuai dengan
masalah keperawatan yang muncul, yaitu nyeri kronis, dengan tujuan
113
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam
diharapkan masalah keperawatan teratasi dengan kriteria hasil pasien
melaporkan bahwa nyeri berkurang, mengatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang, dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Rencana
keperawatan untuk menyelesaikan masalah nyeri yaitu (Paint
management) : kaji secara komprehensif tentang nyeri PQRST
(Provoking, Quality, Region, Scale, Time), monitor tanda-tanda vital,
lakukan teknik variasi untuk mengurangi nyeri secara (aplikasi
pemberian kompres jahe dan massage), ajarkan teknik relaksasi nafas
dalam, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik.
Rencana keperawatan yang dilakukan penulis untuk
menyelesaikan masalah gangguan pola tidur yaitu monitor atau catat
kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam, ciptakan lingkungan yang
nyaman, diskusikan dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur
klien, dan kolaborasi pemberian obat tidur.
Rencana keperawatan yang dilakukan penulis untuk
menyelesaikan masalah hambatan mobilitas fisik yaitu kaji
kemampuan pasien dalam mobilisasi, dampingi dan bantu pasien saat
mobilisasi, ajarkan pasien tentang teknik ambulasi/ROM, dan
kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengawasi aktifitas
pergerakan pasien.
114
3. Implementasi
Implementasi yang telah penulis lakukan untuk mengatasi masalah
keperawatan yang pertama yaitu, mengkaji secara komprehensif
tentang nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time),
monitor tanda-tanda vital, melakukan pemberian kompres jahe dan
massage, dan mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
Untuk masalah keperawatan yang kedua gangguan pola tidur,
memonitor atau mencatat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam,
menciptakan lingkungan yang nyaman, dan mendiskusikan dengan
klien dan keluarga tentang teknik tidur klien.
Untuk masalah keperawatan yang ketiga yaitu hambatan mobilitas
fisik, mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, mendampingi
dan membantu pasien saat mobilisasi, mengajarkan pasien tentang
teknik ambulasi/ROM, dan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain
untuk mengawasi aktifitas pergerakan pasien.
4. Evaluasi
Untuk diagnosa pertama pasien mengatakan setelah pengaplikasian
tindakan kompres jahe dan massage lebih enakan dan nyeri berkurang
dari hari-hari sebelumnya, rasanya hangat dan kaku berkurang dan
provoking pasien mengatakan nyeri bertambah pada pagi hari waktu
bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan keras),
region nyeri pada kedua lututnya, scale nyeri 3, time nyeri hilang
timbul, durasi 1 sampai 5 menit. objektif yaitu pasien tampak senang
115
karena nyeri lututnya berkurang menjadi skala 3 dan durasi 1 sampai 5
menit, hasil tanda-tanda vital Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 72
kali permenit, respirasi 20 kali permenit, dapat disimpulkan masalah
teratasi sebagian dan intervensi dilanjutkan. Untuk diagnosa kedua
pasien mengatakan ia bisa tidur karena lingkungan tenang dan nyeri
berkurang, dan respon objektifnya pasien tidak tampak mengantuk dan
menguap, mata tidak tampak sayu, tidak tampak warna kehitaman
pada kantung mata. dapat disimpulkan masalah teratasi dan intervensi
dilanjutkan. Dan untuk untuk diagnosa ketiga pengurus panti
mengatakan bersedia mengawasi aktifitas pasien, objektif kaku pada
kaki pasien berkurang, pengurus panti tampak mengawasi aktifitas
pasien dan tampak seringkali mengingatkan pasien untuk lebih berhati-
hati saat melakukan kegiatan atau aktifitas dapat disimpulkan masalah
teratasi sebagian dan intervensi dilanjutkan.
5. Analisa praktek jurnal
Setelah diberikan tindakan kompres jahe dan massage, selama 4
hari, nyeri osteoartritis pada Ny. Y yang diukur dengan menggunakan
skala numerik intensitasnya berkurang. Dihari pertama
pengimplementasian didapatkan skala nyeri 6, durasi nyeri 5 sampai
10 menit dan dihari keempat pengimplementasian intensitas atau skala
nyeri turun menjadi skala 3, dan durasi berkurang menjadi 1 sampai 5
menit. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pemberian tehnik kompres
jahe dan massage memang berpengaruh terhadap intensitas nyeri.
116
B. Saran
1. Bagi Pasien
Diharapkan agar klien dapat melakukan pemberian kompres jahe dan
massage ketika nyeri muncul.
2. Bagi Rumah Sakit atau Panti Wredha
Diharapkan pemberian tehnik kompres jahe dan massage menjadi
salah satu alternatif untuk menurunkan intensitas nyeri yang dapat
diimplementasikan pada pasien dengan masalah persendian salah
satunya osteoartritis.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan aplikasi berbasis riset ini dapat menjadi referensi bagi
institusi keperawatan tentang pemberian tehnik kompres jahe dan
massage terhadap intensitas nyeri. Diharapkan institusi pendidikan
dapat mengembangkan tehnik kompres jahe dan massage ini untuk
memperluas wawasan.
4. Bagi Penulis
Diharapkan dapat memberi pengalaman baru dalam melakukan
intervensi berbasis riset berdasarkan jurnal. Penulis dapat mengetahui
manfaat pemberian tehnik kompres jahe dan massage bagi pasien yang
mengalami osteoartritis.
117
5. Bagi peneliti lain
Peneliti lain dapat melakukan penelitian tentang terapi kompres jahe
dan massage tidak hanya untuk mengatasi penyakit osteoartritis saja
namun juga untuk mengatasi berbagai macam penyakit lainnya.
118
DAFTAR PUSTAKA
Anas, Tamsuri. 2006. Konsep & Penatalaksanaan Nyeri. EGC. Jakarta.
Bachtiar, A. 2010. Pengaruh Ekstrak Jahe (ZINGIBER OFFICINALE) Terhadap Tanda Dan
Gejala Osteoartritis Pada Pasien Rawat Jalan di puskesmas Pandan Wangi Kota
Malang. Program Magister Ilmu Keperawatan kekhususan KMB. Fakultas Ilmu
Keperawatan. Depok.
Bambang. 2011. Remedial Massage : Panduan Pijat penyembuhan bagi Fisioterapis,
praktisi, dan Instruktur. Nuha Medika. Yogyakarta.
Brunner dan Suddart. 2002. Textbook of Medical-Surgical Nursing. Wolters Kluwer Health.
Carpenitto, Lynda Juall. 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Alih bahasa : Monica
Ester, Edisi 8. EGC. Jakarta.
Darmawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan : Penerapan Konsep Dan Kerangka Kerja.
Gosyen Publishing. Yogyakarta.
Davies, Kim. 2007. Nyeri Tulang dan Otot. Erlangga. Jakarta.
Dwiyanto, dkk. 2009. Ramuan Tradisional. Mitra Sejati. Yogyakarta.
Grzanna, etal. 2005. Ginger : an herbal medicinal product with broad anti-inflammatory
actions. Journal of Medicinal Food, 8(2), 125-32. 16 januari 2010. CINAHL Batabase.
Haghighi, M., Khalvat, A., Toliat, T., dan Jallaei, S. 2005. Comparing the Effects
of Ginger (Zingiber Officinale) Extract and Ibuprofen on Patients with Osteoarthritis.
Archives of Iranian medicine. Volume 8. No. 4: Hal 267-271.
Herdman, T.H. 2012. Nursing Diagnoses: Definitions and Classification. John, Willey, inc.
USA terjemahan Sumarwati, M. Dan Subekti, N.B. 2012. EGC. Jakarta.
Izza, Syarifatul. 2014. Perbedaan Efektifitas Pemberian Kompres Air Hangat dan Pemberian
Kompres Jahe Terhadap Penurunan Nyeri Sendi pada Lansiadi Unit Rehabilitasi
Sosial Wening Wardoyo Ungaran.Skripsi. Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi
Waluyo Ungaran, KabupatenSemarang.
Knee Osteoartritis Risk Factors. 2010. Data on knee osteoartritis risk factors published by
researchers at Harvard University. Clinical Trials Week. 15 Maret. Pg. 478. Proquest
Database.
Koentjoro, SL. 2010. Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan Derajat
Osteoartritis Lutut menurut Kellgren dan Lawrence. Program Pendidikan Sarjana
Kedokteran. Fakultas Kedokteran UNDIP. Semarang.
Kusyati, dkk. 2006. Keterampilan dan Prosedur Laboratorium. EGC. Jakarta.
119
Leach, MJ & Kumar, S. 2008. The Clinical Effectiveness Of Ginger (Zingiber Officinale) in
Adults with Osteoartritis. International Journal Of Evidence Based Health Center.
Lemone & Burke. 2010. Medical Surgical Nursing : Critical Thinking in Client Care. Third
Edition. Addison Wesley Nursing. California.
Masyhurrosyidi, Hadi. 2013. Pengaruh Kompres Hangat Rebusan Jahe terhadap Tingkat
Nyeri Subkutan dan Kronis Pada Lanjut Usia dengan Osteoartritis lutut di Puskesmas
Arjuna Kecamatan Klojen Malang Jawa Timur. Program Keperawatan Fakultas Ilmu
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal.
EGC. Jakarta.
Nugroho, W. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi 3. EGC. Jakarta.
Nurarif, dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA
NIC-NOC. Jilid 2. MediAction. Yogyakarta.
Perry & Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4. EGC. Jakarta.
R. Boedhi Darmojo & Martono Hadi. 1999. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.
Reni Yuli Aspiani. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Aplikasi NANDA, NIC,
dan NOC Jilid 1. CV Trans Info Media. Jakarta.
Robbins & Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi 2. EGC. Jakarta.
Rusnoto, dkk. 2015. Jurnal Pemberian Kompres Hangat Memakai Jahe terhadap Nyeri Pada
Pasien Yang Terkena Asam Urat Di Desa Kedungwungu Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan. Program Studi Keperawatan STIKES Muhammadiyah Kudus.
Kudus.
Sarafino, EP. 2006. Health Pshycology Byopsichosocial Interactions. Fifth Edition. John
Wiey & Sons Inc. USA.
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Stanley, M, dkk. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. EGC. Jakarta.
Sisi Maryam, S dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba. Jakarta.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Diagnosa NANDA,
Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 9. Buku Kedokteran. ECG. Jakarta.
Yuliastari Aminurul. 2012. Pengaruh Kompres Panas dengan Kompres Dingin Terhadap
Pengurangan Nyeri pada Osteoarthritis Sendi Lutut. Naskah Publikasi. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universiats Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.