Upload
vutram
View
268
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Kualitas Karkas Babi Potong yang Dilahirkan oleh Induk Babi
yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hCG Sebelum
Pengawinan
Abstrak
Penelitian ini telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh ovulasi ganda
pada induk babi dara sebelum dikawinkan terhadap kualitas karkas anaknya.
Penelitian menggunakan 36 ekor babi pengakhiran yang kelompokkan ke dalam
rancangan acak lengkap dengan pola faktorial ukuran 2 x 3. Faktor pertama ialah
status ovulasi ganda induk sebelum pengawinan yang terdiri atas 2 level, yaitu 1)
babi dara kontrol tanpa ovulasi ganda dan 2) babi dara dengan ovulasi ganda.
Faktor kedua ialah litter size lahir yang terdiri atas tiga level, yaitu litter size
rendah (6-8 ekor), sedang (9-11 ekor), dan tinggi (12-14 ekor). Setiap unit
percobaan menggunakan 3 ekor induk dan dari setiap induk dipilih dua ekor anak,
satu ekor jantan kastrasi dan satu ekor betina. Total sampel adalah 36 ekor babi
periode pertumbuhan sampai pengakhiran. Selama perode pertumbuhan, ternak
babi percobaan yang diberi makan pakan komersial. Babi percobaan dipotong
pada kisaran bobot 92.5-94 kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak babi
yang dilahirkan oleh induk babi yang diovulasi ganda mencapai bobot potong
yang lebih cepat sekitar 2 minggu, yaitu 185 hari, dibandingkan dengan 200 hari
pada babi yang dilahirkan oleh induk babi tanpa ovulasi ganda. Anak babi yang
lahir dari induk babi yang diovulasi ganda memiliki rataan bobot karkas (70.25 ±
2.70 kg) dan persentase karkas (74.73 ± 3.09%) yang lebih tinggi dibandingkan
dengan anak babi yang dilahirkan oleh induk tanpa ovulasi ganda sebelum
pengawinan (bobot karkas 64.18 ± 3.58 kg dan persentase karkas 68.28 ± 3.90%).
Panjang karkas dan tebal lemak punggung tidak dipengaruhi oleh ovulasi ganda
induk sebelum pengawinan. Babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi
ganda sebelum pengawinan memiliki panjang karkas 74.56 ± 4.72 cm dan tebal
lemak punggung 3.07 ± 0.35 cm, sementara babi dari induk babi tanpa ovulasi
ganda adalah 74.00 ± 2.81 cm dan 3.20 ± 0.35 cm. Babi yang dilahirkan oleh
induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan menghasilkan loin eye area
yang lebih tinggi (44.81±3.55 cm²) dibandingkan dengan babi yang dilahirkan
induk tanpa ovulasi ganda (39.97 ± 4.29 cm²). Disimpulkan bahwa ovulasi ganda
induk babi sebelum pengawinan dapat menghasilkan anak dengan kualitas karkas
yang lebih baik.
__________________________________________________________________
Kata Kunci : Ovulasi ganda, Kualitas Karkas, Babi dara
92
Carcass Qualities of Finisher Pigs Born to Superovulated Sows
with PMSG and hCG before Mating
Abstract
An experiment was conducted to study the effect of superovulation of the
gilts before mating on the carcass quality of the finishing pigs. Thirty six piglets
were assigned into a completely randomized design with 2 x 3 factorial
arrangement. The first factor was the superovulation status of the gilts consisted
of two levels i.e., 1) nonsuperovulate gilts prior to mating and 2) superovulate
gilts prior to mating. The second factor was litter size at birth consisted of three
levels i.e., low (6-8 pigs) , medium (9-11 pigs), and high (12-14 pigs). Each
experimental unit was replicated with three sows. From each sow, the offspring
was represented by two piglets, one castrate male and one female. Therefore, the
total samples were 36 piglets. During growing to finishing periods, the
experimental piglets were fed commercial feed. The experimental piglets were
slaughtered at average weight of 92,5-94 kg. The results showed that pigs born to
superovulated sows reached the slaughter weight at 185 days as compared to 200
days in control piglets. Pigs born to superovulated sows had higher carcass
weight (70,25 ± 2,70 kg) and carcass percentage (74,73 ± 3,09%) as compared to
control pigs (64,18 ± 3,58 kg carcass weight and 68,28 ± 3,90% carcass
percentage, respectively). Carcass length and backfat thickness were not affected
by superovulation of the sows. Pigs born to superovulated sows had 74,56 ± 4,72
cm carcass length and 3,07 ± 0.35 cm backfat thickness, while control pigs had
74,00 ± 2,81 cm carcass length and 3.20 ± 0.35 cm backfat thickness. Piglets
born to superovulated sows had higher loin eye area (44,81 ± 3,55 cm²) as
compared to control (39,97 ± 4,29 cm²). It was concluded that superovulation of
gilts prior to mating could produce faster growing piglets with better carcass
qualities.
__________________________________________________________________
Key Words : Superovulation, Carcass Quality, Gilt
93
Pendahuluan
Produksi ternak babi sangat bergantung pada keberhasilan reproduksi.
Kemampuan reproduksi sangat ditentukan oleh keberhasilan induk untuk
menghasilkan anak babi yang sehat dan kuat pada saat lahir sehingga periode
hidup berikutnya lebih baik. Bobot anak pada saat lahir ditentukan oleh
pertumbuhan prenatal selama kebuntingan yang merupakan akumulasi
pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio dan fetus sampai
dilahirkan. Pertumbuhan dan perkembangan fetus yang baik sampai akhir
kebuntingan diharapkan akan menghasilkan anak babi lahir yang lebih berat,
walaupun dengan jumlah anak sekelahiran yang lebih tinggi dan pada akhirnya
menghasilkan penampilan produksi yang lebih baik pula. Pertumbuhan anak babi
ditentukan oleh produksi air susu induk. Peningkatan produksi air susu induk
sampai akhir laktasi dipengaruhi oleh peningkatan sekresi endogen hormon
kebuntingan, yang dapat meningkatkan baik sel sekretoris kelenjar ambing yang
terbentuk maupun peningkatan aktivitas sintesis susu (Manalu et al. 1999; Manalu
et al. 2000; Adriani et al. 2005; Andriyanto dan Manalu 2011). Melalui
peningkatan produksi air susu induk, pertumbuhan dan perkembangan anak babi
dapat ditingkatkan, angka mortalitas ditekan, dan bobot sapihan dapat
ditingkatkan. Penampilan anak babi lepas sapih yang baik selanjutnya dapat
mempengaruhi kualitas bakalan, dalam hal ini pertumbuhan dan kualitas karkas
pada saat dipotong.
Masalah rendahnya produksi tidak saja dipengaruhi oleh rendahnya
produktivitas selama kebuntingan dan rendahnya bobot anak lahir sampai lepas
sapih, tetapi merupakan akumulasi dari rendahnya pertumbuhan dan
perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan dan jumlah anak yang dapat
bertahan hidup selama prasapih, terutama pada minggu pertama setelah lahir
(Bennett dan Leymaster 1989). Peningkatan sekresi endogen hormon-hormon
kebuntingan, seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah ovulasi (Manalu dan Sumaryadi
1998; Manalu et al. 1999; Sumaryadi dan Manalu 2001), baik melalui perbaikan
pakan maupun dengan penggunaan hormon, seperti follicle stimulating hormone
94
(FSH) dan luteinizing hormone (LH) atau melalui tiruannya, seperti pregnant
mare’s serum gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hCG),
serta kombinasi hormon gonadotropin lainnya.
Kualitas karkas sangat dipengaruhi oleh bobot lahir ternak babi. Anak babi
yang mempunyai bobot lahir rendah akan menghasilkan kualitas karkas yang
rendah pula. Rehfeldt et al. (2008) melaporkan bahwa anak babi yang lahir
dengan bobot tubuh rendah akan berdampak pada pertumbuhan sesudah lahir.
Secara rinci dinyatakan bahwa anak babi yang dilahirkan dengan bobot rendah
menyebabkan deposisi lemak tinggi dan loin eye area (LEA) yang rendah (Bee
2004). Rendahnya bobot lahir anak babi diketahui merupakan akibat dari
terganggunya pertumbuhan selama periode kebuntingan (Rehfeldt et al. 2008).
Pertumbuhan mulai dari fetus sampai jumlah anak lahir hidup dan peningkatan
bobot sapih dapat dilakukan melalui ovulasi ganda menggunakan PMSG dan
hCG. Penggunaan kedua hormon tersebut berfungsi untuk merangsang sekresi
endogen hormon kebuntingan dalam darah induk yang berperan meningkatkan
pertumbuhan uterus, embrio, fetus, plasenta, dan kelenjar ambing (Adriani et al.
2005; Mege et al. 2007). Secara keseluruhan, PMSG dan hCG menentukan
keberhasilan induk dalam proses reproduksi dan produksi yang dalam hal ini
faktor kualitas bakalan ternak.
Hormon PMSG dan hCG atau dikenal sebagai hormon-hormon ovulasi
ganda telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan,
yang berfungsi memperbaiki sistem reproduksi ternak dan diharapkan pula dapat
memperbaiki produksi ternak melalui perbaikan pertumbuhan prenatal selama
kebuntingan dan produksi air susu induk selama laktasi. Dengan demikian,
penampilan reproduksi akan meningkatkan produktivitas ternak dan, sebaliknya,
penampilan reproduksi yang buruk akan menurunkan produktivitas ternak.
Penampilan produksi anak babi erat hubungannya dengan produksi air susu induk
selama laktasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda
pada induk babi sebelum pengawinan pada kualitas kaskas anak yang
dihasilkannya.
95
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Potong Babi berlokasi di Sario, Kota
Manado mulai dari September hingga Oktober 2011.
Materi Penelitian
Pada penelitian tahap III (Gambar 5) digunakan 36 ekor babi yang sudah
mencapai bobot potong (hasil penelitian dari tahap II ) dari induk babi yang
tanpa dan dengan ovulasi ganda, dengan jumlah anak sekelahiran atau litter size
mulai dari rendah sampai tinggi dengan kisaran 6-8 ekor (rendah), 9-11 ekor
(sedang), dan 12-14 ekor (tinggi). Ternak babi ditempatkan dalam kandang
percobaan yang berukuran 1 x 1.25 x 1 meter masing-masing satu ekor babi per
kandang yang merupakan satu satuan unit percobaan. Ransum yang digunakan
dalam penelitian mulai disapih sampai dipotong terdiri atas tiga macam ransum,
dan pada waktu anak babi dipindahkan ke kandang sapihan diberikan butiran
selama satu bulan dan sesudahnya campuran butiran dengan jagung selama satu
bulan, dan terakhir ransum untuk penggemukan sampai mencapai bobot potong.
Komposisi bahan dan zat-zat makanan ransum yang digunakan selama percobaan
dapat dilihat pada Tabel 4.
Metode
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola
faktorial 2 x 3 yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama ialah status ovulasi
ganda induk yang terdiri atas 2 level, yaitu kontrol tanpa ovulasi ganda dan induk
yang diovulasi ganda sebelum pengawinan dengan hormon PMSG+ hCG. Faktor
kedua adalah jumlah anak sekelahiran atau litter size yang terdiri atas tiga level,
yaitu litter size rendah (6-8 ekor), sedang (9-11 ekor), dan tinggi (12-14 ekor).
Masing-masing unit percobaan terdiri atas 3 induk, dan dari setiap induk dipilih
dua ekor anak yang terdiri dari satu ekor jantan kastrasi dan satu ekor betina.
Data dianalisis mengikuti prosedur model matematika (Steel dan Torrie, 1993)
sebagai berikut: Yij = µ + αi +βj + (αβ)ij + εijk
96
Semua data diolah dengan menggunakan analisa sidik ragam atau analysis
of variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila pengaruh
perlakuan nyata (P<0.050) atau sangat nyata (P<0.01), analisis dilanjutkan
dengan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan (Steel dan Torrie
1989).
Prosedur Penelitian
Babi yang digunakan pada penelitian ini adalah babi yang telah mencapai
bobot potong 92,5-95 kg dan setelah dilakukan pemuasaan selama 24 jam,
langsung dipotong kemudian dilakukan pengamatan pada peubah-peubah yang
berkaitan dengan karkas.
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Umur Potong (UP) (hari) adalah waktu yang diperlukan sejak babi lahir
sampai dengan babi akan dipotong pada kisaran bobot 92.5–95.0 kg.
2. Bobot Potong (BP) (kg) adalah bobot yang ditargetkan dalam penelitian
ini, yaitu 92.5–95 kg dan dilakukan penimbangan saat akan dipotong
setelah dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam (Swatland 1984).
3. Bobot Karkas (BK) (kg/ekor), diperoleh setelah bulu dihilangkan, isi
rongga dada dan perut, kepala, dan kedua kaki dikeluarkan (Lawrie 2003).
Bobot karkas dalam hal ini adalah karkas yang belum mengalami
pelayuan.
4. Persentase Karkas (PK) (%), dihitung dari bobot karkas (kg) dibagi
dengan bobot potong (kg) dikalikan dengan 100%.
5. Panjang Karkas (PjK) (cm), diukur dari ujung depan tulang rusuk pertama
sampai dengan bagian ujung depan pangkal tulang ekor (aitch bone) pada
karkas yang sudah dibelah (Gambar 12) (Thrasher et al. 1970). Alat ukur
yang digunakan adalah meteran biasa.
6. Tebal Lemak Punggung (TLP) (cm), diukur di tiga tempat di atas pung-
gung babi, yaitu tepat di atas tulang rusuk pertama, di atas tulang rusuk
terakhir,
7. dan di atas tulang belakang terakhir (Gambar 13). Alat yang digunakan
adalah mistar biasa (Thrasher et al. 1970).
97
8. Loin eye area (LEA) (cm2), diukur pada permukaan potongan melintang
otot longisimus dorsii yang terletak antara tulang rusuk kesepuluh dan
sebelas (Gambar 14), dipotong tegak lurus dengan tulang belakang (Fahey
et al. 1977). Pengukuran luas penampang loin eye area dilakukan dengan
menggunakan lembaran plastik transparan untuk menggambar dengan
spidol bentuk dan ukuran dari loin eye area kemudian diukur dengan
menggunakan alat planimeter.
Gambar 12 Lokasi Pengukuran Panjang Karkas.
Gambar 13 Lokasi Pengukuran Tebal Lemak Punggung.
98
Gambar 14 Lokasi Pengukuran Loin Eye Area.
99
Hasil dan Pembahasan
Karkas adalah bagian dari tubuh ternak setelah dilakukan pengeluaran
darah, pemisahan bulu, kuku, kepala, isi rongga perut, dan rongga dada
(Whittemore 1980). Lebih lanjut Lawrie (2003) menyatakan bahwa karkas terdiri
atas urat daging dan jaringan lemak, tulang residu yang terdiri atas tendon dan
jaringan pengikat lainnya, dan pembuluh darah besar. Hasil pengamatan umur
potong, bobot potong, bobot karkas, perentase karkas, panjang karkas, tebal lemak
pungggung, dan loin eye area selengkapnya disajikan pada Tabel 6.
Umur Potong
Rataan umum umur potong adalah 192.56 ± 10.04 hari dengan kisaran
173–209 hari (25–30 minggu). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dari
pendapat Whittemore (1980) yang menyatakan pada umur 28 minggu bobot badan
mencapai 95 kg. Secara rinci, rataan umur ternak babi untuk mencapai bobot
potong menurut perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa perlakuan ovulasi ganda, litter size, dan interaksi keduanya
sangat nyata (P <0,01) mempersingkat umur potong ternak babi. Rataan umur
potong babi dari hasil induk ovulasi ganda adalah 184.89 ± 5.70 hari (dengan
KK=4.42%), sedangkan babi dari induk yang tidak diovulasi ganda adalah 200.22
± 7.10 hari (dengan KK=4.92%).
Ovulasi ganda babi dara sebelum pengawinan dapat mempersingkat umur
atau waktu hari pencapaian bobot potong anaknya. Hal ini disebabkan ovulasi
ganda dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan anak babi terutama
karena perbaikan bobot lahir dan peingkatan produksi air susu induk. Peningkatan
produksi air susu induk sampai akhir laktasi dipengaruhi oleh pertumbuhan dan
perkembangan kelenjar susu yang merupakan efek dari peningkatan sekresi
endogen hormon kebuntingan. Melalui peningkatan produksi air susu induk,
pertumbuhan dan perkembangan anak babi, angka mortalitas ditekan, dan bobot
sapihan lebih baik.
100
Tabel 6 Umur Potong, Bobot Potong, Bobot Karkas, Persentase Karkas, Tebal
Lemak Punggung, dan Loin Eye Area Babi yang Dilahirkan oleh Induk
Kontrol Tanpa Ovulasi Ganda dan yang Diovulasi Ganda Sebelum
Pengawinan pada Litter Size Rendah, Sedang, dan Tinggi
Parameter
Perlakuan
Litter size Rataan
Rendah
(6-8 ekor)
Sedang
(9-11 ekor)
Tinggi
(12-14 ekor)
UMP (Hari) TSO 205.00±0.82C 191.83±4.62
B 203.50±4.55
CD 200.22±7.10
B
SO 185.00±8.60A 184.33±5.05
A 185.33±3.20
A 184.89±5.70
A
Rataan 195.17±2.11B 188.08±6.05
A 194.42±10.20
B 192.56±10.04
BP (Kg) TSO 93.38±1.16 94.33±0.61 94.33±0.61 94.07±091
SO 94.08±0.74 94.47±0.70 93.50±0.55 94.02±0.75
Rataan 93.82±1.00 94.40±0.63 93.92±0.70 94.02±0.82
BK
(Kg) TSO 64.57±3.09 69.98±0.97 62.13±0.85 64.19±3,5A
SO 69.68±3.34 65.88±3.21 71.10±1.41 70.25±2,70B
Rataan 67.27±4.17 65.91±5.61 66.48±2.95 67.22±4.38
PK (%) TSO 69.16±3.51 74.39±5.26 65.87±0.94 68.28±3.90A
SO 73.77±3.75 69.83±3.63 76.04±1.36 74.73±3.08B
Rataan 71.77±4.41 69.82±5.97 72.93±3.43 71.51±4.77
Pj K (Cm) TSO 74.67±2.34 72.83±2.64 74.83±3.21 74.00±2.81
SO 73.83±5.64 72.50±3.55 77.00±4.47 74.56±4.72
Rataan 73.75±4.22 74.33±3.03 74.75±4.39 74.28±3.84
TLP (Cm) TSO 3.22±0.23 3.17±0.41 3.04±0.38 3.20±0.35
SO 2.97±0.45 3.33±0.34 3.04±0.29 3.07±0.35
Rataan 3.20±0.34 3.01±0.36 3.21±0.35 3.14±0.35
LEA (Cm²) TSO 43.09±4.33 38.11±1.94 36.71±4.73 39.97±4.29A
SO 45.40±4.98 45.15±3.89 43.87±1.95 44.81±3.55B
Rataan 44.24±4.61 41.63±4.70 41.29±4.38 42.39±4.63
Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan
hasil berbeda nyata (P<0,05), UMP = umur potong, BP= bobot potong, BK = bobot
karkas, PK = persentase karkas, PjK = panjang karkas, TLP = tebal lemak punggung,
LEA = loin eye area
101
Berdasarkan hasil pada Tabel 6 disimpulkan bahwa babi yang paling
singkat mencapai umur potong adalah babi yang dilahirkan oleh induk yang
diovulasi ganda sebelum pengawinan dengan liter size lahir sedang (184.33 ± 5.05
h) diikuti dengan litter size lahir rendah (185±8.60 h) dan tinggi (185.33±3.20 h),
namun ketiganya tidak berbeda nyata. Sebaliknya, umur mencapai bobot potong
yang paling lambat ditemukan pada babi yang dilahirkan oleh induk tanpa ovulasi
ganda sebelum pengawinan baik pada litter size rendah (205 ± 0.82 hari), sedang
(191.83 ± 4.62 hari), dan tinggi (203.50 ± 4.55 hari). Perlakuan ovulasi ganda
tanpa memperhitungkan litter size lahir menghasilkan anak yang mencapai umur
bobot potong yang lebih singkat waktunya dibanding dengan perlakuan tanpa
ovulasi ganda dengan taraf semua litter size lahir. Hal ini dapat dijelaskan karena
akibat dari induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan, secara fisiologis
kebuntingan sudah dipersiapkan, dimana dengan sekresi endogen hormon-hormon
kebuntingan yang lebih baik akan memperbaiki integrasi fungsi-fungsi uterus dan
plasenta sehingga proses yang terjadi pada waktu pertumbuhan dan perkembangan
mulai dari zigot, embrio, festus, sampai lahir menjadi optimal. Estradiol dan
progesteron yang dihasilkan pada awal kebuntingan merupakan sinyal pembuka
kunci bagi proses diferensiasi embrio dalam kandungan, yang mempunyai efek
pada program pertumbuhan dan perkembangan prenatal dalam kandungan
(Ashworth 1992; Mege et al. 2007), yang akhirnya permanen sebagai sifat yang
diwarisi pada anak sampai periode berikutnya (dewasa) (Dziuk 1992; Gill et al.
1998).
Bobot Potong
Rataan umum bobot potong yang diperoleh adalah 94.02 ± 0.82 kg/ekor.
Rataan umum bobot potong ini masih dalam kisaran bobot potong optimal 90-100
kg (Whittemore 1980). Secara rinci, rataan bobot potong babi hasil penelitian
menurut perlakuan tertera pada Tabel 6. Bobot potong untuk babi yang dilahirkan
oleh induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan adalah 94.07 ± 0.75
kg/ekor dan yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda sebelum
pengawinan adalah 94.07 ± 0.91 kg/ekor, namun dengan umur potong yang sangat
berbeda masing-masing 200.22 ± 7.10 dan 184.89 ± 5.70 hari. Hasil analisis
102
keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan dan
taraf litter size serta interaksi keduanya tidak mempengaruhi bobot potong karena
bobot potong pada babi penelitian sudah ditetapkan 92.5–95.0 kg.
Penentuan bobot potong babi pada penelitian ini adalah kisaran 92.5–95
kg, mengikuti menajemen perusahan peternakan tempat penelitian ini dilakukan.
Bobot potong lebih daripada 90 kg akan menyebabkan penampilan lemak yang
berlebihan, yang mengakibatkan menurunnya kualitas karkas (Figueroa 2001).
Bobot dan Persentase Karkas
Rataan umum bobot dan persentase karkas yang diperoleh masing-masing
adalah 67.22 ± 4.38 kg dan 71.51 ± 4.77%. Bobot karkas sangat dipengaruhi oleh
bobot potong ternak tersebut, akan tetapi dengan bobot potong yang tinggi tidak selalu
menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula (Whittemore 1980). Hal ini dapat
disebabkan adanya perbedaan bobot kepala, darah, bulu, isi rongga perut, dan isi
rongga dada. Rataan umum persentase karkas berada pada kelas satu berdasarkan
patokan karkas menurut USDA berkisar 68-72% dan termasuk kelas satu menurut
Forrest et al. (1975). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda
induk sebelum pengawinan sangat nyata (P< 0,01) memperbaiki bobot dan persentase
karkas sedangkan taraf litter size dan interaksi keduanya tidak mepengaruhi bobot
karkas maupun persentase karkas.
Tabel 6. memperlihatkan bahwa perlakuan ovulasi ganda menghasilkan bobot
karkas dan persentase karkas yang lebih tinggi (P<0.01) (masing-masing 70.25 ± 2.70
kg dan 74.73± 3.09%) dibandingkan dengan babi yang dilahirkan oleh induk kontrol
yang tidak diovulasi ganda (masing-masing 64.19 ± 3.58 kg dan 68.28±3.90%). Bobot
karkas bergantung pada bobot potong dan persentase karkas pada bobot karkas.
Apabila bobot potong tinggi maka bobot dan persentase karkas akan meningkat. Tidak
demikian halnya dengan hasil penelitian ini, walaupun bobot potong babi sama, bobot
dan persentase karkas berbeda. Hal ini membuktikan bahwa bobot karkas dan
persentase karkas ternak babi yang dilahirkan oleh yang diovulasi ganda sebelum
pengawinan lebih tinggi daripada babi dari induk yang tidak diovulasi ganda, meskipun
dengan bobot potong yang relatif sama. Dapat disimpulkan bahwa ovulasi ganda dapat
meningkatkan bobot dan persentase karkas. Bobot karkas dari hasil induk babi yang
103
diovulasi ganda sesuai dengan pernyataan Whittemore (1980) bahwa kisaran bobot
karkas babi sekitar 75% dari bobot potong.
Walaupun hasil analisis ragam untuk litter size lahir tidak berbeda nyata, dapat
dilihat bahwa bobot karkas yang tertinggi terjadi pada perlakuan litter size yang rendah
dengan rataan (67.27 ± 4,17 kg) dan diikuti oleh litter size tinggi (66.48 ± 2.95 kg)
dan yang paling rendah bobot karkasnya adalah pada litter size sedang dengan rataan
(65.91 ± 5.61 kg). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa litter size lahir rendah
dapat memberikan bobot karkas yang tinggi. Hal ini disebabkan pada litter size lahir
rendah secara fisiologis persaingan kurang terjadi mulai dari embrio sampai fetus dan
lahir . Induk yang baru pertama kali beranak atau sering disebut paritas satu
menghasilkan litter size yang lebih rendah daripada induk babi yang sudah beberapa
kali beranak. Menurut Marois et al. (2000), induk yang pertama kali beranak
memperoleh litter size lahir berkisar 9.59 sampai 9.81 ekor anak, yang mana hasil
penelitian ini hampir sama litter size lahirnya, yaitu 9.69 ekor. Hal ini yang
menyebabkan pada litter size lahir rendah dapat memberikan bobot karkas yang tinggi,
namun tidak selalu diikuti dengan persentase karkas yang tinggi.
Rataan umum persentase karkas yang diperoleh adalah 71.51 ± 4.77%.
Rataan persentase karkas ini berada pada kelas satu berdasarkan patokan karkas
menurut USDA bahwa kelas satu adalah 68–72% (Forrest et al. 1975). Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan sangat
nyata (P< 0,01) meningkatkan persentase karkas, sedangkan taraf litter size dan
interaksinya tidak mempengaruhi persentase karkas. Persentase karkas adalah 74.73
± 3.09% untuk babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda, sedangkan
pada babi yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda adalah 68.28 ±
3.90%. Perbedaan persentase karkas yang sangat nyata (P<0.01) ini dapat dipahami
karena terdapat hubungan yang erat dengan bobot karkas. Persentase karkas yang
tinggi untuk babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda disebabkan bobot
karkas yang tinggi juga.
Panjang Karkas
Rataan umum panjang karkas yang diperoleh adalah 74.28 ± 3.84 cm. Hasil
analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan,
104
litter size lahir, dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi panjang karkas. Tabel 6.
memperlihatkan bahwa panjang karkas babi yang berasal dari induk yang diovulasi
ganda adalah 74.56 ± 4.72 cm dan pada babi yang berasal dari induk yang tidak
diovulasi ganda adalah 74.00 ± 2.81 cm .
Panjang karkas berhubungan erat dengan bobot potong (Soeparno 2009).
Penelitian ini juga sejalan dengan hasil bobot potong yang diperoleh, yaitu bobot
potong ternak babi hasil penelitian adalah sama. Dengan demikian, panjang karkas
yang dihasilkan juga relatif hampir sama. Panjang karkas dipengaruhi oleh
pertumbuhan ruas-ruas tulang belakang (columna vertebralis) yang berada pada
batas-batas depan (tulang rusuk pertama) dan belakang (os coxae) dari pengukuran
panjang karkas yang terdiri atas vertebrae thoracalis dan vertebrae lumbalis.
Jaringan ini tumbuh dan berkembang dini sehingga ukuran linearnya lebih sulit untuk
dipengaruhi oleh sesuatu perlakuan apapun selama pertumbuhan postnatal hewan
(Tony et al. 2000).
Tebal Lemak Punggung
Rataan umum tebal lemak punggung (TLP) hasil pengamatan adalah 3.14 ±
0.35 cm. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk
sebelum pengawinan, litter size lahir, dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi
tebal lemak punggung (Tabel 6). Rataan tebal lemak punggung pada babi yang
dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda adalah 3.07 ± 0.35 cm dan untuk babi
yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda ialah 3.20 ± 0.35 cm. Rataan
TLP dari yang paling tipis hingga tebal menurut litter size berturut-turut adalah litter
size sedang (3.01 ± 0.36 cm ), litter size rendah (3.20 ± 0.34 cm) , dan litter size
tinggi (3.21 ± 0.35 cm). Ukuran litter size tidak mempengaruhi TLP. Tebal lemak
punggung karkas sangat mempengaruhi grade karkas. Hasil TLP yang didapat pada
penelitian ini adalah termasuk grade satu sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh USDA (1985). Untuk babi dengan bobot badan 90 kg, TLP < 3.56 cm
termasuk US nomor satu, 3.56–4.32 cm US nomor dua, 4.32–5.08 cm adalah US
nomor tiga, dan > 5.08 cm adalah US nomor empat.
105
Loin Eye Area
Rataan umum loin eye area (LEA) adalah 42.39 ± 4.63 cm² (Tabel 6).
Hasil penelitian ini didukung oleh Figueroa (2001) yang meneliti tentang
pengaruh performans babi pertumbuhan sampai finisher yang diberikan pakan
rendah protein, rendah energi, tepung biji sorghum-kedelai memperoleh nilai
rataan luas urat daging mata rusuk sebesar 42.97 cm2. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa ovulasi ganda babi dara sebelum pengawinan sangat nyata (P
< 0.01) meningkatkan LEA, sedangkan litter size dan interaksi keduanya tidak
mempengaruhi LEA. Loin eye area babi yang berasal dari induk yang diovulasi
ganda adalah 44.81 ± 3.55 cm² dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan LEA
babi yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda, yaitu 39.97 ± 4.29
cm². Loin eye area yang diperoleh untuk induk yang diovulasi ganda lebih luas
4.84 cm². Loin eye area sering dipakai untuk memprediksi perdagingan karkas.
Semakin luas LEA semakin besar juga proporsi daging pada karkas (Figueroa
2001). Lebih lanjut dinyatakan oleh Johnson (1996) LEA mempengaruhi
perdagingan, tapi tidak dapat digunakan sebagai indikator tunggal, tapi sebagai
indikator pelengkap.
Ovulasi ganda induk babi sebelum pengawinan ternyata dapat
meningkatkan LEA babi hasil turunannya, karena bobot karkas anak babi yang
lahir dari induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan lebih berat dari bobot
karkas babi yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda, masing-
masing 70.25 ± 3.08 dan 64.19 ± 3.58 kg. Ovulasi ganda menstimulus sekresi
endogen hormon-hormon kebuntingan sehingga menyebabkan peningkatan
estrogen merangsang hiperplasia dan hipertropi endometrium dan miometrium
akibat dari bertambahnya uterus. Juga terjadi peningkatan jumlah sel akibat
hiperplasia sehingga induk yang diovulasi ganda mempunyai LEA yang lebih
luas. Dengan penampilan anak sapihan yang lebih baik maka akan menyebabkan
penampilan bakalan, dalam hal ini LEA, yang lebih baik juga. Soeparno (1998)
menyatakan bahwa LEA dipengaruhi juga oleh bobot potong. Bobot potong yang
tinggi akan menghasilkan daging mata rusuk yang lebih luas. Tidak demikian
106
halnya dengan hasil penelitian ini, walaupun bobot potong sama, LEA yang
dihasilkan tetap lebih tinggi pada babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi
ganda.
107
Simpulan
Kualitas karkas babi potong yang dilahirkan oleh induk babi yang
diovulasi ganda sebelum pengawinan lebih baik yang digambarkan dengan waktu
pencapaian bobot potong yang lebih singkat, bobot karkas, persentase karkas, dan
loin eye area yang meningkat, sedangkan panjang karkas dan tebal lemak
punggung dapat dipertahankan.
108
Daftar Pustaka
Adriani IK, Sutama K, Sudono A, Sutardi dan Manalu W. 2005. Pengaruh
superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap
produksi susu kambing peranakan etawa. J Anim Prod 6:86-94.
Andriyanto, Manalu W. 2011. Increasing goat productivity through the
improvement of endogenous secretion of pregnant hormones using follicle
stimulating hormone. J Anim Prod 13:89-93.
Ashworth CJ. 1992. Synchrony embryo-uterus. Anim Reprod Sci 28:259-267
Bee G. 2004. Effect of early gestation feeding, birth weight, and gender of
progeny on muscle fiber characteristics of pigs at slaughter. J Anim Sci
82:826-836.
Bennett GL, Leymaster A. 1989. Integration of ovulation rate, potential
embryonic viability and uterine capacity into a model of litter size in
swine. J Anim Science 67:1230-1241.
Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim Reprod Sci
28:299-308.
Fahey TJ, Sehaefer DM, Kaukkman RG, Epley RJ, Gould PF, Romas JR, Smith
GL and Topel DG. 1977. A comparison of practical methods to estimate
pork carcass composition. J Anim Sci 30 (3):197-202.
Figueroa JL. 2001. Growth performance of growing finishing pig fed low-protein
low-energy, Ggrain sorghum-soybean meal diets. J Anim Sci 81, Suppl.1.
Forrest CJ, Elton DA, Harold BA, Robert AM. 1975. Priciple of meat Science.
San Fransisco, W.H. Freeman and Company.
Gill JW, Hosking BJ, Egan AR. 1998. Prenatal programming of mammalian
growth. A review of the role of steroid. Livestock Prod Science 54:251-
267.
Johnson BJ, Anderson PT, Meiske JC, Dayton WR. 1996. Effect of combined
trebolen acetate and estradiol Implantation of feedlot performance, carcass
characteristics and carcass composition of feedlot steers. J Anim Sci
74:363-371.
Lawrie RA. 2003. Meat Science. Second edition. Pergamon Press. Oxford, New
York, Toronto, Sydney, Braunschweig.
109
Manalu W, Sumaryadi MY. 1998. Correlations of litter size and maternal serum
progesterone concentration during pregnancy with mammary gland growth
and development indices at parturition in Javanese thin-tail sheep. Asian-
Austr. J Anim Sci 11:300-306.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary
gland differential growth during pregnancy in superovulated Javanese
thin-tail ewes. Small Rumin Res.33:279-284.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000. Effect of
superovulation prior to mating on milk production performance during
lactation in ewes. J Dairy Sci 83:477-483.
Marois D, Brisbane JR, Laforest JP.2000. Acounting for lactation length on
weaning to conception interval in genetic evaluation for litter size in
swine. J Anim Sci 78:1796-1810.
Mege RA, Manalu W, Nasution SH, Kusumorini N, 2007. Pertumbuhan dan
Perkembangan Uterus dan Plasenta Babi dengan Superovulasi. J Hayati
14:1- 6.
Rehfeldt, C.A, Tuchscherer, M. Hartung, and G. Kuhn. 2008. A second look at
the influence of birth weight on carcass and meat quality of pigs. Meat
Science 78:170-175.
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan 5. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Sumaryadi MY and W Manalu. 2001. The profiles of weeky progesterone and
estradiol of ewes during luteal phase of estrous cycle and pregnancy.
Bulletin of Anim Sci Ed :231-235.
Steel RGD, Torrie JH, 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan B,
Sumantri, Cetakan ke-2 Jakarta. PT Gramedia.
Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice Hall
Inc. Englewood Cliffs New Yersey.
Thrasher GW, Shively JE, Askelon CE, WE Babcock and RR Chaquest. 1970.
Effects of carbadox on performance and carcass traits of growing swine.
J Anim Sci 1:333-338.
Tony S, Todd M, Bill D, Pete, Larry H. 2000. The Effect of Virginiamicin on
Performance and Carcass Characteristics of Finishing Cattle Fed Corn
and Corn By-product Finishing Diets. University of Nebraska Cooperative
Extention.
110
[USDA]. 1985. United States Standards for Grades of Pork Carcasses. United
States Department of Agriculture.
Whittemore CT. 1980. Pig Production. The Scientific and Practical Priciples.
New York. Logman Handbooks in Agriculture