10
Tugas Mata Kuliah Teori Kritis Dosen : Manneke Budiman S.S., M.A., Ph.D. Tgl : 8 Oktober 2013 KUASA DI BALIK TEMBOK KOTA Sebuah Resensi Oleh : Muzafarsyah (1306353442) Data Buku Judul : Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif Jakarta Pasca Soeharto Penulis : Abidin Kusno Penyunting : Manneke Budiman Penerjemah : Lilawati Kurnia Penerbit : Ombak Cetakan : 1 Tebal : xxiv + 210 hlm. ISBN : 978-602-8335-10-2 Kota adalah sebuah state of mind alias sesuatu dalam pikiran kita. Tata ruang dan arsitektur bukanlah soal bangunan, melainkan soal manusia. Demikian tulis Bre Redana dalam catatan pinggirnya (tentang manusia, Kompas, 29 september 2013). Pendapat Bre Redana tersebut seperti mendapat penjelasannya ketika membaca buku “Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif Jakarta Pasca Soeharto” karya Abidin Kusno ini, seorang professor dari Kanada yang banyak menyoroti masalah arsitektur dari aspek budaya. Dalam buku ini ruang publik di Jakarta diamati dan dimaknai bukan dari segi teknis bangunan atau estetika kota semata namun lebih dalam lagi, yaitu kuasa yang bermain di balik itu semua untuk membentuk memori kolektif dan identitas warganya. Bahkan sering tidak kita sadari bahwa ternyata terdapat simpul-simpul hubungan antara kota 1

KUASA DI BALIK TEMBOK KOTA.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Tugas Mata Kuliah Teori KritisDosen : Manneke Budiman S.S., M.A., Ph.D.Tgl: 8 Oktober 2013

KUASA DI BALIK TEMBOK KOTA

Sebuah Resensi Oleh: Muzafarsyah (1306353442)

Data Buku

Judul

: Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif Jakarta Pasca Soeharto

Penulis

: Abidin Kusno

Penyunting: Manneke Budiman

Penerjemah: Lilawati Kurnia

Penerbit: Ombak

Cetakan: 1Tebal

: xxiv + 210 hlm.ISBN

: 978-602-8335-10-2Kota adalah sebuah state of mind alias sesuatu dalam pikiran kita. Tata ruang dan arsitektur bukanlah soal bangunan, melainkan soal manusia. Demikian tulis Bre Redana dalam catatan pinggirnya (tentang manusia, Kompas, 29 september 2013). Pendapat Bre Redana tersebut seperti mendapat penjelasannya ketika membaca buku Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif Jakarta Pasca Soeharto karya Abidin Kusno ini, seorang professor dari Kanada yang banyak menyoroti masalah arsitektur dari aspek budaya. Dalam buku ini ruang publik di Jakarta diamati dan dimaknai bukan dari segi teknis bangunan atau estetika kota semata namun lebih dalam lagi, yaitu kuasa yang bermain di balik itu semua untuk membentuk memori kolektif dan identitas warganya. Bahkan sering tidak kita sadari bahwa ternyata terdapat simpul-simpul hubungan antara kota dan kebudayaan yang membangun sekaligus dibangun oleh wacana-wacana kekuasaan. Di balik kenyataan fisik ruang publik, sarana transportasi, monumen-monumen, mall-mall, super blok dan lain-lain yang hadir di kota Jakarta ternyata adalah rena pertarungan wacana kekuasaan (dengan kepentingannya masing-masing) dalam pembentukan identitas dan memori kolektif manusia penghuninya, bahkan juga bangsanya. Abidin Kusno dalam buku ini membeberkan dengan runut bagaimana isi, bentuk, dan ruang kota membentuk politik kebudayan, identitas dan memori kolektif Jakarta masa jepang, orde lama, orde baru dan kemudian pasca Soeharto lengser.Konsep memori kota muncul dari pendapat bahwa eksistensi memori pribadi dan memori kolektif tergantung pada tempat, pada ruang fisik yang konkret. Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa kota membawa memori kolektif karena hidupnya lebih panjang dari manusia (meskipun memori yang dibawa kota itu berubah atau bertambah menurut perubahan waktu (hal 3, catatan kaki). Abidin kusno menjelaskan, menurutnya, ruang publik memiliki arti yang melebihi bentuk fisiknya. Bukan hanya merupakan sebuah ruang penampungan pasif yang dikesampingkan oleh sebuah kota untuk menjadi tempat bagi semua orang. Sebaliknya, ruang publik adalah sebuah ruang yang aktif mengontrol dan membentuk kesadaran masyarakat. Karena itu ia tidak pernah bebas dari berbagai pemaknaan oleh berbagai pihak yang mengisi ruang tersebut dengan berbagai benda, mahluk, bangunan, pengumuman, peraturan, monument, pagar, cerita, representasi dan pertunjukan. Pemaknaan ruang publik sering kali menentukan kondisi ruang tersebut karena makna ikut berperan dalam membentuk persepsi, pengalaman dan tindakan sosial (hal 3). Jadi ruang publik bukan hanya sebagai tempat pembentukan memori kolektif tapi juga sebagai tempat pembentukan wacana pelupaan. Perubahan apa yang terjadi pada ruang publik di Jakarta, identitas dan memori kolektif apa yang menyertainya, Abidin Kusno menjelaskannya dengan pelacakan pada transformasi kekuasaan melalui perubahan-perubahan fisik perkotaan dan perubahan mental sebagian penduduknya. Dimulai ketika jepang masuk menggantikan kekuasaan belanda, jaman soekarno atau orde lama, jaman orde baru dan kemudian pasca soeharto atau jaman reformasi. Beberapa tipologi memori dilakukan sepanjang sejarah kota Jakarta hingga kini. Diantaranya adalah tipologi memisahkan memori (memisahkan waktu lama dan baru) yang dilakukan jepang saat menguasai Indonesia menggantikan kekuasaan belanda. Simbol-simbol kekuasaan belanda di Jawa seperti patung Jan Pieterszoon Coen di lapangan banteng, gerbang VOC (Vereiegde Oost Indische Compagnie) di Kota dan Monumen Van Heutz di kebayoran diturunkan dan disingkirkan. Tempat itu kemudian dibiarkan kosong. Apa yang dilakukan jepang itu jelas memiliki pesan bahwa pemerintah jepang berupaya untuk menghilangkan memori penjajahan belanda dan membangun komunitas baru melalui momen-momen yang dapat diingat bersama. Suatu ruang telah dibersihkan untuk menampung kenangan baru atau pembentukan memori kolektif baru. Yang penting disini adalah bagaimana pembentukan memori kolektif di ruang publik (dengan segala benda-benda) diusahakan dapat menggeser ingatan lama untuk member tempat bagi pengalaman-pengalaman baru (hal 10).Strategi lain dalam pembentukan memori kolektif adalah apa yang disebut Abidin Kusno sebagai Mengatasi Memori. Abidin mengambil contoh dengan apa yang dilakukan presiden pertama Indonesia, Bung Karno. Pada akhir tahun 1950, Bung Karno memerintahkan untuk merobohkan rumah di pegangsaan timur 56, tempat proklamasi Indonesia diproklamirkan, dan juga menyingkirkan monumen proklamasi di muka rumah tersebut. Di lahan bekas rumah tersebut kemudian dibangun gedung yang pada saat itu dikenal sebagai Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta (sekarang gedung Perintis Kemerdekaan). Pembangunan gedung tersebut terjadi pada tahun 1961 sekaligus menandai dimulainya Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama. Menurut Abidin hal tersebut adalah keinginan Bung Karno supaya kemerdekaan diingat tanpa memuseumkan kemerdekaan itu sendiri. Peruntuhan gedung proklamasi ini diperlukan untuk membuat Indonesia bergerak lagi. Diperlukan suatu pelupaam untuk membawa Indonesia ke era berikutnya. Bagaimana mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa kemerdekaan adalah suatu titik keberangkatan bukan titik akhir perjuangan bangsa Indonesia. Gebrakan Bung Karno ini menghasilkan suatu tipologi memori yang berdasarkan pada pemikiran modernism. Kita ditantang untuk berangkat dari hari ini bukan dari hari-hari sebelumnya. Bung Karno menggantikan Gedung Proklamasi dengan Gedung Pola dan di dalam gedung tersebut ditampilkan maket-maket pembangunan Jakarta dan Indonesia. Gedung Pola menjadi sebuah menumen hari ini atau ruang publik yang ingin mengingatkan rakyat pada masa baru tanpa dibebani memori masa lalu. Ruang-ruang publik yang dipajang Bung karno di gedung Pola akhirnya terwujud dalam Kota Jakarta. Melalui ruang-ruang kota Jakarta Bung karno boleh dikatakan ingin menyatukan persepsi dan aspirasi masa depan. Untuk menghindari pemfosilan masa lalu Bung Karno tidak memberi tempat pada memori. Keragaman memori masa lalu disatukan (dan juga dilupakan) melalui arsitektur dan ruang modernis (hal 14). Setiap rezim memiliki pemaknaan tersendiri terhadap ruang publiknya. Perbedaan pemaknaan antara Orde lama (Bung Karno) dan Orde Baru (Soeharto) merupakan contoh kasus di mana penguasa berperan merajut memori negara melalui ruang-ruang publiknya. Orde Lama (Bung Karno) melihat lingkungan visual sebagai manifestasi dari revolusi berkelanjutan. Jalan dan ruang publik yang dikelilingi bangunan modern adalah tempat masyarakat diharapkan untuk melihat, belajar dan ikut menggerakkan negara. PKI pada tahun 1962 mencetuskan gagasan untuk menjadi Kota demokrasi, kota persatuan dan kota mobilisasi dan ruang publik Jakarta pada masa itu memang diarahkan untuk mewujudkan gagasan tersebut. Peristiwa G-30S-PKI pada tahun 1965 kemudian merubah semua konstelasi keuasaan yang ada termasuk bagaimana rancangan kota pun ikut berubah. Rezim soekarno jatuh digantikan rezim baru, soeharto. Orde baru muncul menggantikan orde lama dengan membawa wacana politik terhadap ruang publiknya yang berbeda dengan orde lama. Sementara sebagian rancangan kota Jakarta versi orde lama pun telah berdiri dengan simbol dan memori kolektif kota yang telah terlanjur terbentuk. Terjadilah pertarungan antara yang lama dan baru. Pertarungan simbol dan memori kota antara rezim soekarno dan rezim soeharto ini memiliki akibat paling nyata dalam perubahan kontemporer Jakarta. Memori-memori tentang bung karno, komunisme, ruang publik yang dipenuhi massa dan pidato bebas adalah memori kolektif yang menghantui penguasa Orde Baru hingga dilakukan usaha-usaha untuk melupakan, mengubur memori kolektif dan identitas yang lama dan kemudian menciptakan memori kolektif baru yang searah dengan aspirasi penguasa baru. Pada masa orde baru ini ruang publik ditata untuk mencegah kembalinya masa lalu Jakarta sebagai ruang mobilisasi rakyat yang revolusioner. Untuk itu jalan-jalan, taman-taman dan lapangan-lapangan harus bersih termasuk bersih dari kaum marginal yang dianggap sebagai pengganggu ketertiban umum. Melalui wacana keamanan dan ketergantungan pada militer (dan preman) untuk menjaga ketertiban, ruang publik sebagai tempat yang menakutkan masuk ke dalam memori kolektif warganya. Demikian usaha dilakukan. Berbagai tindakan lain dilakukan penguasa orde baru untuk mengingatkan pentingnya keamanan dan ketertiban di jalan. Salah satunya adalah dengan penembakan terhadap preman-preman/gali di jalanan yang disebut sebagai petrus (penembakan misterius) atau matius (mayat misterius) pada sekitar tahun 1980-an. Memori menakutkan tentang jalan akhirnya membantu perkembangan pusat-pusat rekreasi, perbelanjaan dan perkantoran di dalam gedung yang membebaskan diri dari pengalaman menakutkan di jalan, selain juga faktor komersialisasi ruang publik. Tumbuhnya kota-kota mandiri adalah juga merupakan pilihan terbaik untuk kota yang tidak memiliki infrastruktur memadai dan mengendalikan jalan melalui teknik menakut-nakuti. Kota-kota mandiri menjadi ruang pilihan untuk penciptaan kelas menengah yang tertib, giat dan patuh. Sesuai dengan aspirasi orde baru. Representasi arsitektur dan kota pada era orde baru ini kemudian menghasilkan dua kelompok sosial yang saling bertolak belakang di dalam negara yaitu kampung (kelas bawah) dan kaum elit (kelas menengah). Kedua kelompok ini muncul dengan jelas pada kerusuhan Mei 98 di jakarta. Kerusuhan pecah pada bulan Mei 98. Kerusuhan dengan penjarahan, perkosaan, penganiyaan dan pembunuhan yang banyak memakan korban dari etnis tiong hoa ini kemudian berujung pada lengsernya soeharto dan juga orde baru. Runtuhlah tatanan politik yang telah berkuasa selama 32 tahun. Penguasa baru di era reformasi kemudian merepresentasikan kekuasaannya. Salah satu wujud representasi kekuasaanya tersebut adalah wujud ruang-ruang publik dan kota. Gubernur Sutiyoso yang menjabat pada periode akhir era soeharto dan kemudian di awal era reformasi mencoba membangun kembali Jakarta di atas reruntuhan ekonomi Indonesia yang ambruk dan trauma akibat tragedi Mei 1998. Dalam konteks krisis multidimensional dan perubahan kelakuan masyarakat, sutiyoso meyakini bahwa pembangunan busway menjadi bagian dari terapi kejut untuk menyembuhkan masyarakat traumatis dan menegakkan kembali keamanan, peraturan dan normalistas di jalan raya (hal 142). Kepuasan mengendarai busway dibangun oleh berbagai elemen arsitektural seperti jembatankhusus dan halte-halte yang semuanya terkontrol dalam sistem pengaturan yang ketat. Elemen-elemen arsitektur ini bekerjasama dengan polisi dan peraturan-peraturan untuk mampu memberi pengalaman bebas hambatan bagi pengguna bis (busway) transjakarta ini. Busway dapat digunakan sebagai alat penyatuan kekuasaan melalui pameran kepatuhan dan pendidikan warga tentang cara memakai transportasi dengan benar. Busway dengan demikian telah menjadi panggung untuk misi pemberadaban (civilizing mission) kota Jakarta. Melalui busway terjadi suatu pembentukan budaya. Ia dibentuk untuk menjadi simbol kembalinya aturan, disiplin, status dan legitimasi kekuasaan pasca soeharto atau dengan kata lain sutiyoso memperoleh legitimasi politiknya melalui busway. Bila busway telah menata kota, ia juga telah mengembalikan kota kepada masyarakat terutama kelompok menengah ke atas (hal 155).

Proyek transportasi busway hanyalah satu dari berbagai wacana yang ingin menampilkan Indonesia baru. Di samping wacana busway adalah ambisi para pengembang swasta untuk merevitalisasi lahan di pusat kota dengan tujuan membawa kelas menengah atas untuk kembali ke kota (back to the city). Abidin kemudian mengajak pembaca untuk melihat bagaimana pemilik modal dapat memanfaatkan celah dari kepenatan kota dengan paradigma super blok meninggalkan paradigma kota mandiri buatan orde baru yang tidak lagi disukai oleh masyarakat menengah atas di Jakarta yang sudah kembali ke kota. Kali ini para pemilik modal melalui para arsitek dan pengembangnya memanfaatkan situs-situs historis di Jakarta, seperti kawasan senayan dan kawasan bundaran HI. Situs tersebut yang memiliki muatan historis sebagai ajang kemajuan bangsa di masa soekarno kini diwujudkan dalam desain kolosal yang mungkin sama sekali tidak berhubungan dengan tujuan awal situs tersebut dibangun.

Melewati tahun 2000-an para arsitek dan pengembang dengan antusias telah menyambut kesempatan untuk back to the city termasuk bayangan keuntungan berlipat yang akan dipeoleh bisnis ini di masa depan.. Lalu dimanakah tempat kaum marjinal dan suara para korban tragedi Mei 98? Keberpihakan abiding kusno pada kaum miskin kota (marjinal) dalam buku ini memang sangat terasa meskipun tidak disampaikan dengan cara frontal. Sebagai sebuah kota yang sudah masuk dalam jaringan kapitalisme global dengan hukum siapa yang kuat akan menang siapa yang lemah terima kalah nampak sangat disadari oleh abiding ini. Sehingga usaha-usaha yang dilakukan pemerintah pasca soeharto untuk menumbuhkan identitas Jakarta baru rupanya harus melakukan penyeleksian memori kolektif, yaitu memilih memori kolektif yang harus dilupakan dan dikubur. salah satunya yang terpenting adalah memori kolektih tragedi mei 98 yang telah memakan sekian banyak korban, terutama dari etnis tiong hoa, tanpa ada penjelasan dari penguasa sekarang tentang siapa dalang dibalik itu semua. Sehingga memori kelam itu seolah hanya tersimpan dalam benak warga tanpa boleh terlihat dalam wujud representasi fisik. Kebutuhan untuk pembentukan memori kolektif baru telah melupakan sejarah memalukan tersebut sebagai bagian yang harus ditinggalkan. Sedangkan perhatian pada arsitektur dan ruang publik untuk kelas bawah, seperti gagasan Ir. Adi Purnomo (Mamo) dengan desain rumah kampungnya, nampaknya harus terima nasib, sebagai gagasan menarik yang tidak terlalu penting untuk diwujudkan. Hanya sebatas apresiasi sebagai ide baru yang unik. Dan begitulah sebuah kota. Seperti yang diutarakan oleh Manneke Budimaan dalam pengantar buku ini, bahwa kota menjadi gelanggang utama tempat para pemain bertemu, identitas dibentuk dan memori-memori kolektif dipersandingkan dan dipertandingkan. Kota menjadi saksi yang tak sepenuhnya bisu atas pertarungan-pertarungan yang terjadi dalam dinding-dindingnya. Ia berbicara melalui lanskap fisik yang dibangun di atasnya. Ia menjadi subyek kekuasaaan, tetapi ia pula yang menyediakan ruang bagi resistensi dan negosiasi terhadap kekuasaan tersebut. Kota adalah sebuah state of mind alias sesuatu dalam pikiran kita. Tata ruang dan arsitektur bukanlah soal bangunan, melainkan soal manusia.

Buku ini telah menjelaskan tentang sesuatu dalam pikiran kita dan kaitannya dengan wacana kuasa yang bisa mengatur sesuatu dalam pikiran kita tersebut serta simpul-simpul hubungan antara budaya dan kuasa yang bermain di kota, khususnya Jakarta sebagai obyek studinya. Buku ini telah memberikan kesadaran baru tentang pemaknaan dan cara baca terhadap ruang publik yang sebelumnya sangat kita sadari. Namun sekedar catatan kecil buat penulis, alangkah lengkapnya buku ini jika data-data kuantitatif mengenai misalnya data jumlah mall atau jalan tol atau monument dan lain-lain yang dibangun pada masa orde lama, orde baru dan pasca soeharo (sampai buku ini ditulis), disebutkan data-data pasti jumlahnya. Tentu pembaca akan lebih mudah memahami kekuatan wacana kuasa tersebut yang bekerja dalam membangun memori kolektif warganya. Beberapa hal lain yang nampaknya kurang disinggung antara lain kajian terhadap bahasa sebagai identitas lokal terhadap penamaan komplek-komplek perumahan yang mencomot bahasa asing. Pencomotan bahasa asing untuk langsung dicangkok sebagai identitas budaya lokal tentu memiliki dampak yang lebih dalam terhadap identitas dan memori kolektif warganya. Hal ini yang nampaknya kurang disorot, Begitu juga penjelasan mengenai bagaimana warga kelas menengah atas Indonesia yang baru turun kelas akibat resesi ekonomi asia kemudian bisa menjadi konsumen potensial untuk super blok yang tentunya lebuh mahal dari pada kota perumahan di kota mandiri jaman soeharto, ini juga yang kurang diperjelas. Demikian kiranya. Terima kasih.1