KUMPULAN ARTIKEL

Embed Size (px)

Citation preview

KUMPULAN ARTIKEL PERMUKIMAN KUMUH

MASALAH PESISIR PANTAI DAN PERMUKIMAN KOTA

Jika membaca berita tentang demonstrasi masyarakat pesisir pantai Bandarlampung menuntut legalitas tanah dan permukiman mereka di media massa akhir-akhir ini, seharusnya membuat kita berpikir dan meneliti kembali ada apa gerangan dalam proses kebijakan pertanahan dan permukiman kita? Persoalan tanah, pemukiman atau perumahan bagi komunitas miskin yang tinggaldi pesisir pantai memang telah lama menjadi permasalahan besar, khususnya bagi pemerintah kota. Fasilitas permukiman dan perumahan rakyat lewat program pemerintah selama ini ternyata masih jauh dari jangkauan rakyat miskin perkotaan, hingga mendorong mereka untuk mencari alternatif pemecahannya sendiri. Lahan kosong di pesisir pantai Bandarlampung kemudian ditempati dan dikelola oleh rakyat untuk pemukiman sebagai alternatif pemecahan atas kesulitan mendapatkan akses tanah, permukiman, dan perumahan di kota. Rakyat miskin kota mengelola dan mengatur permukiman yang dibangun sendiri sesuai dengan daya jangkau ekonomis dan kreativitas arsitektural rakyat miskin. Rakyat miskin kota membangun dengan caranya sendiri. Warga Pesisir Teluk Lampung mayoritas pendatang yang bekerja di sektor informal dan mereka tinggal di perkampungan informal dari berbagai etnis. Arus kedatangannya beragam, ada yang sudah mulai sejak tahun 1957, 1968 dan ada yang baru datang pada tahun 1988 bahkan tahun-tahun setelah 1990. Masyarakat pesisir Bandar Lampung sebagian besar merupakan masyarakat miskin yang sehari hari bekerja sebagai nelayan, buruh, tukang becak dan pedagang kecil, tukang jamu dan lain-lain. Jumlah warga yang tinggal di pesisir yg terancam terkena kota pantai ada 12 kelurahan: Kelurahan Srengsem (8.570 Jiwa), Karang Maritim (14.200 jiwa), Panjang Utara (18.150 jiwa), Panjang Selatan (14.000 jiwa), Sukaraja (10.000 jiwa), Kangkung (3.332 jiwa), Bumi Waras (3.532 jiwa), Pesawan (2.171 jiwa), Way Lunik (6.829 jiwa), Kota Karang (2.883 jiwa), Sukamaju (1.400 jiwa), dan Keteguhan (1.100 jiwa) data tahun 2003.Saat ini kampung telah mengalami penambahan kurang lebih meningkat 20% dari data keseluruhan.

Selama ini, rakyat miskin kota menjadi miskin karena aset fisik yang dimilikinya tanah, rumah, dan alat usaha belum/tidak legal. Nilai properti yang mereka miliki menjadi jatuh. Kehidupan ilegal membuat mereka merasa was-was, sehingga usaha swadaya perbaikan rumah, meningkatkan aset eknomi, sosial, dan budaya menjadi rendah pula. Maka sangat beralasan bila masyarakat pesisir pantai Bandarlampung menuntut legalitas terhadap tanah dan permukiman mereka. Pengakuan atas tanah dan permukiman merupakan faktor mendasar dan mendesak dalam menumbuhkan rasa memiliki dan rasa mengakui untuk kemudian mempertahankan kelangsungan komunitas ini di tempatnya. Banyak fakta yang menunjukan bahwa begitu hakhak bertempat tinggal dan usaha rakyat miskin dilegalkan maka aset fundamental rakyat miskin akan dengan cepat berkembang dan meningkat. Apalagi, bila dibarengi dengan pemberdayaan terhadap fisik lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya yang didukung dan difasilitasi oleh pemerintah. Namun ironisnya, sampai saat ini komunitas miskin pesisir pantai Bandarlampung masih saja mengalami stigmatisasi dan diskriminasi yang sangat tidak memanusiakan, antara lain mereka sering dicitrakan sebagai masyarakat liar, penyerobot, ilegal, dan diskriminasi lainnya yang ditimpakan atau dilekatkan kepada kaum marginal perkotaan ini. Pemerintah kota (Pemkot) Bandarlampung bahkan telah menyiapkan seperangkat aturan dan rencana tata ruang untuk mengubah dan menata kawasan pesisir pantai tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan rakyat selaku subjek yang kini menempati kawasan pesisir tersebut. Walikota Bandarlampung akan memulai penataan kawasan pantai Bandarlampung bulan Juli 2006 ini. Pemkot akan mulai menata pesisir pantai Bandarlampung dengan panjang 27 KM (dari Panjang sampai Lempasing). Bahkan Pemkot sudah mengundang konsultan penataan kawasan pesisir dari Makasar, dan Komisi B DPRD kota Bandarlampung telah meresponnya dengan melakukan studi banding di kawasan pantai Losari, Makassar. Dari rencana yang terkesan ambisius itu, kita pun bertanya: mungkinkah sebuah peradaban kota yang akan memenuhi hakhak kewargaan warga kota bila cara-cara pendekatan masih mempertahankan cara top-down semacam itu?

Pinggiran pantai sebagai bagian dari kota dan merupakan ruang publik public goods seharusnya dikelola secara demokratis, dilestarikan bersama untuk kepentingan semua warga terutama yang mendiami kawasan tersebut. Dengan demikian pesisir pantai seharusnya juha menjadi salah satu kawasan kota yang tidak terpisahkan pengelolaannya. Jika di kelola secara demokratis maka kawasan pantai akan menjadi kawasan yang mensejahterakan penduduknya dan memenuhi persyaratan estetika suatu kota peradaban. Pertanyaannya, apakah rencana penataan kawasan pesisir pantai Bandarlampung sepanjang 27 KM itu memang sudah mendesakuntuk dilakukan? Apakah manfaat yang akan didapatkanmasyarakat ataukah justru bencana penggusuran dan kerusakan yang didapat bila penataan kawasan pantai itu tetap dilakukan? Anggaplah pembangunan kawasan pesisir pantai itu tidak akan menggusur permukiman warga, tapi mengapa Pemkot sendiri tidak serius menanggapi tuntutan masyarakat pesisir pantai yangmenghendaki tanah mereka disertifikasi? Dalam situasai tanpa kepastian, yang diperlukan oleh masyarakat pesisir pantai saat ini adalah langkah strategis dan inovatif dengan cara pandang empati kepada kearifan rakyat miskin pesisir untuk memecahkan masalah ini. Pemerintah kota seharusnya melihat pemukiman dan perumahan rakyat yang sudah ditempati di sepanjang pesisir pantai kota Bandarlampung

Sumber : Kompor, 6 Nopember 2006

SEKITAR 6 JUTA UNIT RUMAH BELUM DAPAT DIPENUHI PEMERINTAH

Berdasarkan perencanaan tata ruang, kondisi perumahan tahun 2003 menunjukkan sekitar 6 juta unit rumah belum dapat dipenuhi oleh pemerintah. Perhitungan ini atas dasar kondisi tahun 2000 sebesar 4,3 juta unit ditambah pertumbuhan kebutuhan rumah baru pertahun sebesar 800 ribu unit rumah. Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Dep. Kimpraswil, Ir. Djoko Kirmanto pada acara penandatanganan kesepakatan & kerjasama operasional antara Dep. Kimpraswil dan BPN soal penataan perumahan dan permukiman dengan pola Kasiba/lisiba melalui konsolidasi tanah, Rabu (27/8) di Jakarta. Penandatangan tersebut dilakukan para Gubernur Sumatera Utara, dan para Bupati Kab. Deli Serdang, Kota Tanjung Balai, Kota Pekanbaru, Kota Cimahi, Kab. Serang, Parigi Moutong, Kota Makassar, Luwu Utara, Luwu Timur, Kab. Pare-pare, Kota Kendari, Kendari, Konawe Selatan, Buton dan Kota Bau-Bau). Lebih lanjut Joko Kirmanto mengemukakan bahwa dari sisi kualitas sebagian besar perumahan & permukiman belum memenuhi standar pelayanan minimal sarana & prasarana dasar lingkungan perumahan & permukiman. Pada tahun 2000 tercatat lingkungan permukiman kumuh telah mencapai 47.000 ha yang tersebar di 10.000 lokasi & dihuni oleh 17 juta jiwa. Sedangkan jumlah perumahan yang tidak memenuhi persyaratan layak huni sekitar 14,5 juta unit. Sementara itu dalam kesempatan yang sama Dirjen Perumahan dan Permukiman Ir.Aca Sugandi menyatakan, pelaksanaan MOU ini dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan program pelaksanaan penatagunaan tanah dalam upaya penataan perumahan & permukiman dengan pola Kasiba/Lisiba yang berdiri sendiri melalui konsolodasi tanah. Diakuinya,bahwa lemahnya daya beli masyarakat, terbatasnya akses pertanahan dan pembiayaan perumahan yang memadai turut menyebabkan semakin bertambahnya jumlah

rumah liar dan kumuh khususnya di kawasan perkotaan. Disamping itu, belum adanya kebijakan konkrit untuk lebih memperhatikan kebutuhan penduduk berpenghasilan menengah kebawah Ujarnya Aca. Sebagai gambaran kata Aca, dari sisi investasi pembangunan perumahan & permukiman di Indonesia masih jauh ketinggalan 1,4% dari PDB tahun 2002. Sebagai contoh dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia yang mencapai 27,7%. Permasalahan lain yang dihadapi pemerintah dengan adanya perubahan fungsi lahan untuk mengakomodasi kebutuhan perumahan & permukiman, serta proses urbanisasi yang tak terkendali telah menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena berubah menjadi lingkungan permukiman, industri, dsb. Mencermati masalah tsb, maka penataan perumahan & permukiman harus dibangun dengan konsep pengembangan yang berbasis kawasan sehingga terwujud perumahan & permukiman yang terstuktur & serasi dengan sistim pengembangan kota & wilayah. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan koordinasi yang sistematis dalam penataan ruang dan penatagunaan tanah, untuk itu pemerintah akan melibatkan masyarakat dan dunia usaha, salah satunya penyelesaian sertifikat hak atas tanah melalui konsolidasi pemanfaatannya (mita/jons)

Sumber : Pusdatin 27 Agustus 2003

BANJARMASIN: KOTA SERIBU SUNGAI, SERIBU MASALAH Permukiman tepi sungai Banjarmasin "Kota Seribu Sungai" Kalimantan Selatan kini semakin tua dan semakin semrawut. Selain disebabkan belum jelasnya orientasi tata ruang kota, juga disebabkan minimnya perhatian pemerintah terhadap arti pentingnya bantaran sungai. Bahkan, pemerintah sendiri ikut-ikutan menguruk bantaran Sungai Martapura sampai 30 meter ke arah badan sungai. Pemandangan di permukiman penduduk di sepanjang Sungai Barito dan Sungai Martapura kini semakin beranjak menjadi kumuh. Beberapa rumah tua bahkan sudah miring dan rawan roboh, sehingga membahayakan penghuni dan tetangganya. Di pinggir-pinggir sungai kecil lainnya permukiman penduduk yang mayoritas berbahan kayu sudah berjubel layaknya permukiman tua di bantaran sungai Jakarta. Lanting- lanting (rumah terapung) yang menjadi ciri khas budaya dan bisa menarik wisatawan itu kini semakin tak tertata dan tak sedap dipandang mata (Kompas, 2003). Air sungainya berwarna coklat dan kadang kehitamhitaman. Enceng gondok, ranting, dahan kayu, dan pelbagai jenis sampah serta bangkai pelbagai jenis binatang yang berserakan di sungai itu, makin menambah buruknya kualitas air. Belum lagi soal pendangkalan dan kehilangan garis pantai sehingga sungai menjadi pendek dan menyempit. Masyarakat sekitar mengeluhkan buruknya kualitas air sungai tersebut, juga akibat berbagai limbah pabrik yang beroperasi di tepi sungai. Pelebaran Jalan Piere Tendean dan Jalan Sudirman telah memakan badan sungai Martapura. Di antara ratusan anak-anak sungai Martapura terdapat puluhan yang cuma tinggal nama, sungainya sudah berubah menjadi permukiman, badan jalan, bangunan kantor, dan peruntukan lainnya. Sungai yang hilang antara lain Sungai A Yani di kiri-kanan Jalan Jenderal A Yani, sepanjang 15 kilometer lebar 15 meter sudah menjadi badan jalan (Baldi Fauzi, Kompas). Masalah pengerukan alur Barito sepanjang 14 kilometer, lebar 55 meter, dari muara Sungai Barito menuju dermaga pelabuhan yang memakan anggaran Rp 6-7 milyar per tahun lantaran endapan lumpurnya sangat tinggi 2,5 juta-3 juta meter kubik per tahun sampai saat ini belum juga tuntas dan selesai. Hal ini jelas mengganggu arus transportasi dan distribusi barang ke dan dari Banjarmasin. Dan persoalan pengerukan sungai Barito tersebut, sampai saat ini

masih menjadi polemik dan masalah yang serius yang melibatkan para pejabat tinggi pemerintah termasuk Gubernur.

Sumber : http://www.walhi.or.id , Banjar Baru, 4 Oktober 2004 ( 4 Maret 2008)

MENYIAPKAN KOTA WASPADA BENCANA Oleh : Nirwono Joga

Sekali lagi bencana alam gempa bumi mengguncang. Kali ini Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah yang terjadi Sabtu pagi (27/5), berkekuatan 5,9 skala Richter, menambah daftar panjang kota-kota/wilayah rawan bencana gempa bumi setelah Alor, Nabire, Aceh, dan Nias, serta wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kejadian alam ini kembali memberikan pelajaran berharga bagi kita untuk merefleksi diri, seberapa serius kota kita dibangun dalam mengantisipasi dan memitigasi korban bencana alam. Budaya tanggap bencana Mengingat keberadaan kota- kota di Indonesia yang unik?80 persen terletak di daerah pesisir, 25 persen wilayah rawan gempa bumi, dan 28 persen wilayah rawan tsunami? membangun kota waspada bencana merupakan sebuah keharusan, seperti yang dibangun di Jepang, Hawaii, hingga Singapura. Pembenahan kota pascabencana melalui tahap pemulihan dan pembangunan kembali fisik dan jiwa kota harus sesuai dengan semangat kekhasan lokal kota-kota yang rusak. Kota yang terkonsep seharusnya berdasarkan pada pengalaman/kejadian bencana yang terus terjadi. Kejadian di titik-titik rawan bencana dianalisis dan dijadikan bahan penyusunan rencana strategis dan program kegiatan pembangunan yang terarah tepat sasaran untuk rencana mitigasi bencana. Kota dibangun kembali dengan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka hijau (RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi, atau pertahanan hidup atas bencana. Ini sama halnya dengan membangun sistem peringatan dini secara alamiah untuk mengantisipasi bencana alam yang penting bagi kota dan paling murah untuk dibangun.

Perencanaan kota waspada bencana mensyaratkan perencanaan yang rasional, aplikatif, dan berorientasi hasil (feasible, implementable, and achievable). Bencana tidak bisa diperkirakan dengan tepat, tetapi upaya mitigasi bencana tetap perlu disiapkan untuk meminimalkan korban (nyawa dan harta). Sistem peringatan dini bencana dibangun secara menyeluruh di bidang fisik kota (pembangunan peralatan mutakhir pendeteksi dini, bangunan antigempa), dan psikis kota (pendidikan dan pelatihan tanggap serta evakuasi bencana). Hidup di kota rawan bencana harus mulai dibudayakan kepada seluruh warga kota bahwa bencana bisa terjadi setiap saat. Untuk itu perlu dipersiapkan bagaimana cara terbaik mengakrabi, mewaspadai, mengevakuasi, dan bertahan hidup di daerah rawan bencana. Warga ditumbuhkan budaya sikap hidup ramah lingkungan dan bencana alam sebagai bagian fenomena alam kehidupan sehari-hari. Kesadaran masyarakat, terutama di titik-titik rawan bencana, untuk sukarela tinggal di rumah susun sedang (berlantai 4) yang layak huni akan menyediakan taman terbuka multifungsi yang signifikan. Taman sebagai ruang evakuasi bencana, tempat bermain dan belajar alam bagi anak- anak, tempat berolahraga, paru-paru kota, daerah resapan air, serta tujuan wisata kota. Kehadiran rumah susun memberikan peluang dan manfaat penghematan beban biaya hidup kolektif warga terhadap pemakaian listrik (pemakaian energi surya, angin, atau biogas), kebersihan lingkungan dan kesehatan sanitasi (menekan wabah tahunan diare, demam berdarah dengue, flu burung), serta pengelolaan daur ulang sampah terpadu. Sikap hidup tanggap bencana harus mulai disosialisasikan dalam kurikulum pelajaran wajib segala tingkatan, disertai panduan dan pelatihan evakuasi bencana di seluruh pelosok perkampungan dan permukiman kota. Kelak warga tahu persis kapan, apa, mengapa, ke mana, dan bagaimana proses evakuasi harus dilakukan saat bencana tiba. Kota waspada bencana Membangun kota taman waspada bencana berarti membangun jejaringan RTH menyatu tak terputus, mulai dari alun-alun, taman kota dan lapangan olahraga (ruang evakuasi), taman makam (pemakaman massal), jalur hijau jalan raya dan bantaran sungai

(jalur evakuasi), hingga tepi pantai (hutan mangrove) dihubungkan oleh taman-taman penghubung (connector parks) dengan dominasi pohon-pohon besar dan hamparan padang dan/atau bukit rumput. Kini setelah 10 tahun pascagempa, Kota Kobe (1995, 7,2 skala Richter) dan kota-kota lain di Jepang telah berhasil membangun kota taman waspada bencana. Instruksinya jelas, jika terjadi bencana, warga diperintahkan lari ke taman-taman kota. Taman kota diefektifkan sebagai ruang evakuasi, suplai logistik dari udara, dilengkapi tangki air minum, toilet portabel, papan petunjuk, alat komunikasi, dan bungker gudang makanan serta obat-obatan (untuk bertahan selama 10 hari). Taman dilengkapi pompa hidran untuk pemenuhan kebutuhan air bersih atau cadangan untuk pemadaman kebakaran di musim kemarau. Pohon-pohon terpilih (jenis tertentu) ditanam di sepanjang jalur evakuasi bencana (rute penyelamatan) menuju taman atau bangunan penyelamatan lainnya. Kota didukung hutan lindung mangrove yang memagari tepian pantai hingga menyusup ke jantung kota berfungsi mencegah intrusi air laut, menahan abrasi pantai, menahan angin dan gelombang besar dari lautan lepas (tsunami), menyerap limpahan air dari daratan, termasuk di saat banjir, dan menetralisasi pencemaran air laut. Hutan mangrove merupakan habitat ideal terumbu karang yang sangat penting bagi pelestarian kota pesisir dengan ekosistem unik karena mencakup tiga kawasan sekaligus daratan, pantai, dan laut, yang masing-masing memiliki fungsi dan ekosistem berbeda, serta keanekaragaman hayati beragam. Alun-alun dan lapangan bola merupakan tempat ideal penampungan darurat dan posko penanggulangan bencana yang aman. Bencana yang sering kali menimbulkan korban massal membutuhkan taman makam yang terencana baik, luas memadai, teknik penguburan canggih, dan dikelola secara profesional mempercepat proses evakuasi dan pemakaman jenazah, menghindari proses pembusukan dan polusi bau yang menyengat, serta mempercepat proses pemulihan kebersihan, kesehatan, dan kesegaran kota. Prinsipnya efisien, higienis, dan ramah lingkungan.

Membangun kota taman waspada bencana membutuhkan waktu puluhan tahun. RTH dan pemilihan pohon yang lentur bencana, sebagai bangunan hidup (tumbuh, kembang) membutuhkan pemeliharaan rutin yang harus direncanakan dengan matang dan berjangka panjang. Untuk efisiensi dan optimalisasi biaya, prioritas pemeliharaan RTH dapat dibagi menjadi RTH dengan pemeliharaan penuh (alun-alun, taman kota, lapangan olahraga, jalur hijau jalan), pemeliharaan sedang (taman makam, jalur hijau bantaran sungai), dan tidak dipelihara atau dibiarkan tumbuh alami (hutan kota, hutan lindung, hutan mangrove). Sungguh naif bila kita selalu tergugah dan membangkitkan kesolidaritasan dalam berkota yang ramah lingkungan dan tanggap bencana, jika harus menunggu setiap datangnya bencana. Sikap solidaritas seperti ini sering kali surut dan cepat terlupakan seiring dengan proses waktu tenggelam dalam banalitas keseharian kehidupan "normal" (yang egosentris) sehingga PR penanggulangan dan pencegahan bencana ikut pupus, tiba-tiba menjadi basi, dan tidak pernah tuntas dikerjakan bersama. Kita harus mulai membangun kota taman waspada bencana sekarang juga sehingga kota dan kita akan selalu siap mengantisipasi datangnya bencana setiap saat. Kita yang berusaha, Tuhan yang menentukan.

Sumber : http://www.kompas.co.id (4 Maret 2008)

AKTIVITAS PEMUKIMAN PERUMMAS MANDALA KODYA MEDAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR Oleh : Torang Siregar Program Pasca Sarjana Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara

Pembangunan perkotaan menimbulkan pengaruh terhadap lingkungan, oleh karena pembangunan perkotaan mengubah baik lingkungan alami, dan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan sosial memainkan peranan dalam menentukan arah pembangunan lingkungan buatan dan selanjutnya menimbulkan perubahan pada lingkungan alam. Pembangunan perumahan adalah salah satu bagian dari pembangunan perkotaan. Pembangunan perumahan ini dalam Pelita VI telah berkembang secara besar-besaran. Target 600.000 unit kelihatannya akan tercapai. Dilain pihak muncul dampak akibat pembangunan perumahan tersebut. Lahan yang berubah fungsinya, limbah domestik akibat adanya pemukiman dan terpakainya sumber daya alam serta perubahan sosial ekonomi masyarakat sekitar pemukiman sebagai akibat langsung pembangunan pennukiman tersebut. Studi ini mencoba mendapatkan gambaran aktifitas pemukiman Perumnas Mandala Kodya Medan dan sejauh mana pengaruhnya terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Dengan mengkaji kualitas kehidupan sosisal ekonomi pemukiman diluar Perumnas tersebut akan didapatkan gambaran apakah ada pengaruh kualitas kehidupan masyarakat

Perumnas Mandala terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Dengan tidak ada perbedaan kualitas kehidupan tentunya konflik antara kedua pennukiman tersebut tidak akan timbul. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei pendapat masyarakat diluar pemukiman dan wawancara dengan informan kunci serta dianalisis dengan statistik non parametrik melalui uji chi kuadrat. Hasil penelitian ini dapat dijadikan saran untuk pengambil keputusan pembangunan perumahan di Kotamadya Medan dan hasil penelitian memperlihatkan antara lain : 1. Keberadaan Perumnas Mandala tidak berinteraksi secara kontak sosial tetapi berinteraksi secara komunikasi terhadap permukiman sekitar dan keberadaan suatu permukiman yang kondisi sosial ekonominya lebih tinggi memberi peningkatan pendapatan keluarga dan kesempatan berusaha terhadap masyarakat sekitar, keharmonisan antara permukiman tersebut dapat dipelibara apabila interaksi sosial antara mereka tidak saling terganggu. 2. Pembangunan perumahan dapat dilaksanakan dengan pendekatan sosial budaya, tidak semata-mata pendekatan ekonomi saja.

Sumber : http://wiki-pedia.co.id (4 Maret 2008)

TRAGEDI LUMPUR LAPINDO Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.3 Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa

menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.5 Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo,6 rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran 1 (menggunakan snubbing unit) dan 2 (pembuatan relief well) mengalami kegagalan. Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal.

Sumber : http://ariyo.wordpress.com, Juni 16, 2007 (4 Maret 2008)

REVIEW ARTIKEL MENGENAI MASALAH PERMUKIMAN KOTA

Kota-kota di Indonesia mengalami urbanisasi berlebih dimana tidak semua kota mampu menyediakan fasilitas pokok seperti kesempatan kerja yang memadai kepada sebagian besar penduduk luar kota yang bermigrasi ke kota. Hal ini menyebabkan kota menjadi padat dan berkurangnya lahan kosong akibat dari bertambahnya permukiman ilegal. Dengan semakin banyaknya pemukiman ilegal, pemerintah kota menjadi tidak mampu memberikan fasilitas yang memadai pula. Permukiman masyarakat miskin yang sering disebut dengan kampung kota yang keberadaannya penampung kelompok urban adalah berkaitan erat dengan perubahan struktur ekonomi, urbanisasi dan perkembangan kota yang berjalan seiring dengan proses industrialisasi. Akibat dari adanya urbanisasi, muncul berbagai masalah sosial seperti timbulnya permukiman kumuh, menurunnya pendapatan daerah, kurang terjaganya aspek lingkungan, pendidikan yang rendah, serta timbulnya konflik sosial antar masyarakat. Permukiman kumuh yang terjadi memberikan pengaruh negatif baik bagi penghuninya maupun lingkungan sekitar. Pengaruh negatif tersebut antara lain ketidaktenangan bagi penghuninya karena tidak memiliki ijin resmi mendirikan bangunan. Sedangkan bagi masyarakat tetap, permukiman kumuh menyebabkan lingkungan kotor dan terganggunya aktifitas kota. Selain itu, terdapat beberapa dampak lain yaitu karakteristik penduduk tergolong ekonomi lemah terbelakang, dengan pendidikan yang relative terbatas sehingga pengetahuan akan perumahan sehat cenderung masih kurang. Dampak dari kondisi diatas terjadi kecenderungan akan berbagai

kebiasaan tidak sadar lingkungan seperti sifat mengotori dan mencemari sumber-sumber air, mencemari lingkungan yang berpengaruh terhadap air permukaan, dan memungkinkan penyebaran penyakit melalui pembuangan air limbah, Terbatasnya teknologi terapan untuk penanganan masalah-masalah di atas seperti system pembuanagan air limbah, sampah pengelolaan air bersih . Masalah permukiman kota yang lain adalah kurangnya perhatian mengenai standarisasi Pemerintah

perumahan. Standarisasi tersebut antara lain adanya MCK,

ketersediaan air bersih, ketersediaan ventilasi udara, serta standar minimum ruangan untuk tiap individu. Penyediaan perumahan untuk masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah kurang memenuhi syarat ideal perumahan dan kurangnya pemenuhan jumlah pemukiman bagi masyarakat. Akibat kurangnya standarisasi perumahan oleh pemerintah adalah penyediaan perumahan untuk masyarakat dilakukan sendiri oleh masyarakat tersebut secara individual maupun kelompok. Terdapat pula bencana alam yang menjadi masalah permukiman kota di Indonesia. Bencana tersebut adalah bencana lumpur Lapindo yang ada di daerah Porong, Sidoarjo. Bencana lumpur Lapindo menyebabkan berubahnya struktur tanah dan tata ruang daerah Porong dan sekitarnya. Akibatnya, mempengaruhi berbagai aspek antara lain kesehatan, sosial, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. Kandungan yang terdapat dalam lumpur Lapindo dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit seperti gangguan pernapasan, penyakit kulit, dan juga penyakit dalam. Selain itu, masyarakat juga kehilangan lahan tempat tinggal, lahan untuk bekerja, dan juga lahan untuk mencari ilmu. Banyak masyarakat yang terlantar karena Pemerintah kurang cepat menangani kasus tersebut. Beberapa upaya untuk menyelesaikan kasus Lapindo antara lain meneruskan upaya penangangan lumpur di lokasi semburan dengan membangun waduk tambahan di sebelah tanggul-tanggul yang ada sekarang. Kesimpulannya adalah masalah permukiman bukan hanya masalah mendirikan bangunan dan memilih lokasi yang aman akan tetapi, memperhatikan faktor sanitasi dan ekosistem lingkungan yang akan dibangun. Permukiman kumuh yang terjadi di beberapa tempat berarti pemerataan melalui komprehensif planning tidak berjalan dengan lancar.

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 2 NO. 2 AGUSTUS 2004 : 56 - 107 PERMUKIMAN KUMUH, MASALAH ATAU SOLUSI? Oleh : Ngakan Putu Sueca Dosen Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Udayana Email: [email protected] ABSTRAK Rumah barangkali merupakan dambaan setiap insan yang hidup di dunia ini. Bagaimanapun kondisinya, kehidupan seseorang sebagian besar diawali, dilakoni, dan diakhiri di rumah. Akan tetapi, tidak setiap insan dapat memenuhi harapan untuk memiliki rumah idamannnya. Sejumlah besar dari penduduk miskin perkotaan di dunia terpaksa hidup di dalam rumah yang kondisinya jauh dari standar apa yang disebut rumah layak. Walau telah ratusan ahli dikerahkan dengan alokasi dana ratusan juta dolar telah dibelanjakan untuk menangani masalah yang satu ini, namun masalah perumahan di Negara berkembang tetap akut. Demikian pula halnya dengan sebagian penduduk Indonesia dan Bali khususnya,terutama yang tinggal di perkotaan, sebagian harus tinggal di rumah kumuh. Oleh sebagian orang,rumah kumuh tetap dianggap sebagai masalah. Akan tetapi dari sudut yang berbeda ada pihak yang menganggap itu sebagai sebuah solusi terutama bagi kaum marjinal di perkotaan. Bagaimanakah pandangan kita? Apa penyebab tumbuhnya rumah kumuh? Adakah solusi untuk mengatasinya? Kata kunci: rumah kumuh, masalah dan solusi ABSTRACT A house perhaps is a dream for everybody. Whatever the condition, ones live mostly is started,enjoyed and finished in a house. However, not everybody can afford their dreaming house. Most poor people in urban areas have to live in substandard housing. Although hundreds of experts have been sent and millions $US have been spent to solve this problem, however, housing problems in the Third World is still acute. In fact, part of Indonesia people specially some of urban Balinese should live in slum settlement. For some people, slum is perceived as a problem. However, from different perspective, slum can be regarded as a solution especially for the marginal groups in urban areas. What is our opinion? What cause of slum? And what is appropriate solution to improve it? Keywords: slum settlement, problem and solution

KEBERPIHAKAN PROGRAM Keberhasilan pembangunan kepariwisataan di Bali telah mampu menyedot para migrant memenuhi kota-kota. Tingkat pertambahan penduduk kota-kota di Bali mencapai 3-4 persen setiap tahun menjadikan kota-kota semakin padat. Angka kepadatan tahun 2002 mencapai 2000-3900 per kilometer persegi, khususnya di kota Denpasar. Ini enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kepadatan propinsi Bali dan tiga puluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional. Ditengarai bahwa pertumbuhan permukiman kumuh di Bali telah sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data terakhir telah diidentifikasi 100 kawasan kumuh di Bali yang tersebar di beberapa kota, dan barangkali terbanyak dan terluas di wilayah Denpasar dan Badung. Munculnya kawasan permukiman kumuh merupakan satu indikasi kegagalan program perumahan yang terlalu berpihak pada produksi rumah langsung terutama bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, dan prioritas program perumahan pada rumah milik dan mengabaikan potensi rumah sewa. Program pemberdayaan masyarakat didalam menyediakan rumah yang layak bagi dirinya sendiri belumlah dilaksanakan dengan optimal. Konsentrasi program pemerintah pada rumah milik telah mengabaikan realitas potensi rumah sewa sebagai salah satu alternative pemecahan masalah perumahan terutama bagi masyarakat golongan ekonomi lemah ke bawah. KONTEKS SEJARAH Membanjirnya penduduk pedesaan mengadu nasib ke daerah perkotaan telah berimplikasi terhadap berbagai aspek kehidupan kota, baik itu menyangkut transportasi, perumahan, kesehatan lingkungan, penyediaan sarana dan prasarana umum, sektor tenaga kerja, perekonomian kota, tata ruang, dsb. Dengan perbedaan karakteristik model urbanisasi di negara industri dan negara berkembang maka permasalahan yang muncul memiliki ciri-ciri yang berbeda. Hal ini tentu memerlukan pendekatan yang berbeda pula, baik dalam memandang dan memecahkan permasalahan yang timbul akibat dampak urbanisasi ini. Perumahan Kumuh Sepanjang Tukad Badung Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2003.

Kepadatan penduduk di Bali lima kali lebih besar dibandingkan dengan keadaan Indonesia, terutama terkonsentrasi di Denpasar dan wilayah Badung. Hal ini diakibatkan antara lain karena status Denpasar sebagai kota propinsi dan sebagai pusat atraksi dan fasilitas kepariwisataan Bali serta barometer industri pariwisata Indonesia. Ini merupakan factor penarik para migran, baik dari daerah lain di Bali maupun para migran luar Bali. Ketika awal krisis, Bali juga menjadi daerah yang dianggap paling aman dan masih menjanjikan dari segi ekonomi dan kesempatan kerja. Namun ketika bom setahun lalu meledak di Kuta, struktur perekonomian Bali yang sangat tergantung pada industri pariwisata menjadi porak poranda. Namun dibalik itu, Bali masih tetap menarik bagi pendatang. Mengapa? Tentu beragam jawaban yang dapat muncul. Menurunnya pendapatan akibat krisis politik dan ekonomi Indonesia telah meningkatkan secara drastic proporsi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dari 11 persen menjadi 40 persen. Ini tentu sangat menghawatirkan apabila implikasi spasial dan sosialnya dipertimbangkan. Di tengah kondisi seperti ini tidaklah mengherankan kalau sector informal, baik dalam perekonomian kota dan pengadaan perumahan tumbuh semakin subur krisis melanda Indonesia tujuh tahun lalu. Hal ini bukan hanya dialami Denpasar, tetapi juga oleh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Dengan kesempatan kerja yang semakin langka, angka pemutusan kerja yang tinggi, pendapatan yang terus menurun, PDRB yang semakin lemah maka kondisi serta standar kualitas kehidupan masyarakat cenderung menurun. Kemampuan daya beli masyarakat menurun secara signifikan termasuk akses mereka terhadap rumah yang layak. Oleh karena itu tidak mengherankan jika permasalahan rumah kumuh ataupun rumah liar semakin akut. Ini tentu membutuhkan perhatian serius dari seluruh stakeholders di bidang perumahan dan pemerintah kota itu sendiri. SOLUSI BAGI KAUM MARJINAL Bagi sebagian besar orang terutama para pengambil kebijakan, rumah kumuh dipandang sebagai suatu masalah terutama dilihat dari sisi penampilan fisiknya. Rumah kumuh selalu menjadi kambing hitam bagi kumalnya wajah kota dan menyiratkan terlalu vulgar tentang kegagalan pembangunan, sesuatu yang haram bagi kebanyakan pemimpin. Lingkungan yang kotor, becek, sanitasi yang buruk, bangunan yang semrawut, penampilan yang jorok, sumur yang tercemar, kepadatan bangunan dan hunian yang tinggi, penggunaan bahan bangunan bekas dan murahan, dan sebagainya, merupakan gambaran umum yang dikaitkan dengan eksistensi rumah kumuh. Disamping itu, dalam rumah kumuh mungkin juga melekat streotipe

kriminalitas tinggi dan penyumbang kekacauan kota dan komunitasnya. Perumahan Kumuh di Seririt, Buleleng Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2003. Kalau saja kita mau menengok lebih dalam, sesungguhnya rumah kumuh memberikan jawaban hidup bagi orang yang tinggal di dalamnya. Tanpa bantuan sedikitpun dari pemerintah, orang-orang yang tinggal di permukiman seperti ini mampu membangun perekonomian keluarga mereka. Mereka tidak memerlukan kredit perbankan (apalagi menyedot devisa negara), disamping karena tidak memiliki akses juga mungkin karena mereka membutuhkan sistem finansial yang lebih sederhana. Mereka mampu memanfaatkan sumber daya yang amat terbatas agar dapat bertahan di tengah himpitan kerasnya kehidupan kota modern. Kebanyakan di antara mereka mampu mendaur ulang bahan-bahan yang tidak terpakai menjadi sesuatu yang berguna bagi diri mereka sendiri. Secara swadaya, mereka mampu memenuhi kebutuhan akan rumah mereka. Secara ekonomi, permukiman ini juga memasok barang dan tenaga kerja yang murah untuk ikut memutar roda perekonomian kota, terutama dalam sektor informal. PERSPEKTIF INTERNASIONAL Pada pertemuan dunia setahun lalu di Johannnesburg 2002 (26 Agustus 4 September), yang juga dihadiri oleh presiden Indonesia Megawati, seluruh negara peserta kembali menegaskan komitmen mereka bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan unsure dasar dari agenda internasional dan memberikan dorongan baru untuk aksi global dalam memerangi kemiskinan dan menjaga lingkungan. Pemahaman pembangunan berkelanjutan diperluas dan diperkuat khususnya yang berkenaan dengan pentingnya keterkaitan antara kemiskinan, lingkungan dan penggunaan sumbersumber daya yang dimiliki, baik sumber daya alam, manusia, dan lain-lainnya. Disamping itu, negara-negara peserta juga bertekad membangun suatu solidaritas pendanaan dunia untuk memberantas kemiskinan dan meningkatkan pengembangan sosial dan kemanusiaan di negara-negara berkembang.

Para delegasi setuju dan menegaskan kembali komitmen nyata yang luas dan targettarget aksi untuk mencapai implementasi yang lebih efektif dari sasaran-sasaran pembangunan berkelanjutan. Konsep kemitraan antara pemerintah, kalangan pebisnis dan masyarakat sipil diberikan suatu penekanan yang kuat oleh pertemuan ini, baik dalam proses perencanaan maupun implementasi. Perumahan Kumuh Sepanjang Tukad Badung Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2003. Dalam hal pemberantasan kemiskinan, untuk tahun 2015 pertemuan menyepakati suatu aksi bersama untuk mengurangi setengah proporsi dari penduduk dunia yang berpendapatan kurang dari $ US 1 per hari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan. Tahun 2020 mencapai suatu perbaikan yang berarti bagi kehidupan paling tidak 100 juta penghuni rumah kumuh seperti yang diusulkan dalam inisiatif Kota tanpa rumah kumuh. Ini tentu memiliki dampak luas terhadap penentuan progam-progam pemerintah kota didalam ikut berpartisipasi dalam mengimplementasikan kesepakatan kesepakatanan tersebut. Program menyeluruh harus disusun untuk mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan pendapatan masyarakat, memperbaiki kondisi lingkungan, membuka lapangan kerja, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, meningkatkan masyarakat sipil, dan sebagainya. Semuanya itu ditujukan untuk memantapkan proses pembangunan berkelanjutan. PARADIGMA BARU Dalam kaitannya dengan perbaikan kondisi perumahan di perkotaan seperti halnya Denpasar, maka diperlukan adanya perubahan paradigma. Disamping memiliki masalah terutama dalam hal kualitas lingkungan yang buruk, permukiman kumuh sesungguhnya memiliki potensi untuk dikembangkan dan mempunyai kontribusi yang memadai terhadap pemecahan masalah perumahan dan perekonomian kota. Pemerintah perlu memikirkan cara-cara baru didalam menangani masalah perumahan, dan mengalihkan sebagian sumber daya untuk intensifikasi dan peningkatan kualitas rumah sewa (rental housing) termasuk rumah kumuh yang selama ini terabaikan. Kaum marginal di perkotaan umumnya tetap membutuhkan perhatian kita bersama, terutama untuk meningkatkan kapasitas dan aksesibilitas mereka terhadap perbaikan kualitas kehidupannya.

Negeri dan kota ini dibangun untuk semua, bukan hanya untuk mereka yang mujur, tetapi juga terutama untuk mereka yang belum beruntung. DAFTAR PUSTAKA Abelson, P. 1996. Evaluation of slum improvements: case study in Visakhapatnam, India. Cities. Vol. 13 (2): 97-108. Budiani, Ni P. et al. 2004. Infrastruktur Sanitasi Permukiman Kumuh di Denpasar. Laporan Penelitian. Denpasar: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Univ. Udayana. Diputra, I G. P. et al. 2004. Permukiman Kumuh di Denpasar: Ditinjau dari Aspek Ruang/Spasial. Laporan Penelitian. Denpasar: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Univ. Udayana. Madesyawati, D. et al. 2004. Analisis Rumah Kumuh Sebagai Tempat Produksi. Laporan Penelitian. Denpasar: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik

Univ. Udayana. OHare, G., Abbott, D., & Barke, M. 1998. A review of slum housing policies in Mumbai. Cities. Vol. 15 (4): 269-83. Prasetyo, D. et al. 2004. Pemukiman Kumuh di Denpasar: Ditinjau dari Aspek Sosial Budaya. Laporan Penelitian. Denpasar: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Univ. Udayana. Pugh, C. 2000. Squatter Settlements: their sustainability, architectural contributions, and socio-economic roles. Cities. Vol. 17 (5): 325-337. Rachmayanie, A. A. et al. 2004. Aspek Finansial/Sosial Ekonomi Penduduk Permukiman Kumuh. Laporan Penelitian. Denpasar: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Univ. Udayana. Sueca, N.P. 2003. Housing Transformation:

Improving Environment and Developing Culture in Bali. Unpublished PhD Thesis. Newcastle: University of Newcastle upon Tyne. UNCHS. 2001. Slum Upgrading: Lessons Learned in Nairobi. http://www.unchs.org/hd/hdv7n3/12. htm. Ditemukan 4 Oktober 2001.