Upload
trannhi
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Kurs Valuta Asing mau kemana: Apa tindakan Pemerintah1 ?
Oleh: Adler Haymans Manurung2
Pendahuluan
Pada bulan Desember 2014 lalu bahkan pada awal Januari 2015 banyak didiskusikan di
media massa bahwa Kurs Dollar terhadap Rupiah tidak stabil. Nilai kurs berfluktuasi tidak begitu
besar hanya berkisar pada level Rp. 12.000. Bila diperhatikan nilai Kurs Dollar terhadap Rupiah
pada akhir Desember 2011 berada pada posisi Rp. 9.069,- Level Kurs Dollar pada nilai tersebut
terus berlangsung pada level dibawah 10.000 dan pada akhir Desember 2012 di posisi Rp.
9.793,- Pada tahun 2012 terjadi perubahan nilai kurs sebesar 7,98%, dimana nilai ini lebih besar
dari perubahan di Era Presiden Soeharto (Zaman Orde Baru) hanya sekitar 5 persen. Tetapi, level
dibawah 10.000 ini mulai ditinggalkan dan sudah beranjak ke level 11.000 dan pada akhir
Desember 2013 di posisi Rp. 12.171,- Sehingga pada tahun 2013 telah terjadi kenaikan sebesar
24,28 persen bahkan sangat jauh perbedaannya dengan Era Orde Baru. Akhir Desember Nilai
Kurs ini sudah berfluktuasi dan bergerak lebih tinggi sampai sekitar Rp. 12.700,- dimana semua
pihak berteriak terutama para pengusaha. Kenaikan ini sebenarnya masih cukup kecil tetapi
sudah mengarah ke arah yang lebih tinggi. Jika pada Desember lalu, beberapa pihak tidak
berteriak kelihatannya nilai kurs itu akan bergerak lebih tinggi, kelihatannya Bank Indonesia
melakukan intervensi sehingga nilai kurs tidak ditutup melebihi Rp. 12.500 per satu US Dollar.
Tetapi, nilai kurs tersebut mulai naik lagi di awal minggu pertama bulan Januari dimana telah
sampai pada level Rp. 12.732 dan nilai kurs ini terus berfluktuasi mengalami peningkatan serta
sekarang telah mencapai pada level Rp. 13.300. Nilai kurs ini telah menjadi persoalan tersendiri
dan beberapa pihak kelihatan mengeluh atas pergerakan Dollar ini.
Kenaikan nilai kurs ini sangat berpengaruh kepada perekonomian nasional Indonesia.
Pengaruh pertama akan sangat mengena kepada beberapa pengusaha yang mempunyai bahan
baku impor dan akan berteriak secepatnya karena harga penjualan tidak bisa dinaikkan langsung
sehingga margin kecil dan bisa juga mengalami kerugian. Pada sisi lain eksportir yang
mempunyai bahan baku lokal akan senang karena pendapatan meningkat tanpa menaikkan
volume penjualan. Pengusaha tidak bisa membuat kepastian akan perencanaan produksi dan
juga harga jual akan meningkat dan berakhir akan terjadi inflasi dalam negeri. Inflasi atas
kenaikan nilai kurs dapat dikatakan inflasi didorong oleh biaya yang sering dikenal cost-push
inflation. Pengusaha sudah merasakan bahwa fluktuasi nilai kurs valuta asing ini sudah perlu
dikendalikan oleh pihak yang mempunyai hak atas tersebut. Pengendali dari nilai kurs valuta
asing yaitu Bank Indonesia, tetapi kelihatan Pemerintah sekarang Jokowi dan JK yang tidak bisa
mengendalikan ekonomi. Berdasarkan Pasal 7 pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang
Bank Indonesia, bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
Rupiah. Jika tujuan Bank Indonesia dikaitkan dengan fluktuasi nilai Rupiah yang semakin
melemah terhadap valuta asing maka tujuan Bank Indonesia didirikan belum tercapai.
Ketidakstabilan nilai kurs valuta asing terhadap Rupiah pada bulan Desember dan awal
Januari dan juga tiga bulan terakhir sebenarnya bisa dipahami berbagai pihak dikarenakan
adanya faktor eksternal yang cukup dominan. Berbagai pihak memberikan alasan utama yang
dipakai yaitu perkembangan ekonomi Amerika Serikat yang mengalami kebaikan dan
1 Tulisan ini merupakan review ulang dari tulisan di Majalah Infobank, Februari 2015 2 Penulis adalah Guru Besar Pasar Modal dan Perbankan FE Universitas Bina Nusantara dan penulis buku Keuangan dan Risiko.
kemungkinan akan menaikkan suku bunga pada akhir tahun ini. Tetapi, kalau dipahami secara
teori dan praktek maka sebenarnya, fundamental ekonomi Indonesia yang mengalami perubahan
mendasar dimana negara lain semakin baik dan Indonesia semakin baik. Spekulan pada valuta
asing mempergunakan situasi gonjang-ganjing politik untuk mendapatkan keuntungan dimana
pengendali valuta asing tidak menyadari atau bisa saja ada rencana lain.
Teori Nilai Kurs Valuta Asing3
Pembahasan terhadap valuta asing ini sangat menarik karena nilai valuta asing dalam
suatu negara berubah-ubah tergantung dari kondisi negara tersebut. Teori valuta asing (exchange
rate theory) yang tradisional menyatakan bahwa fluktuasi nilai valuta asing tersebut dikarenakan
adanya perbedaan tingkat bunga (Interest Rate Parity) dan adanya perbedaan harga-harga
(Purchasing Power Parity) di kedua negara. Tetapi, ada juga para akademisi yang membahas
nilai kurs tersebut dikaitkan dengan neraca pembayaran terutama dengan neraca perdagangan
negara yang bersangkutan. Bahkan, valuta asing menjadi komoditi investasi bagai beberapa
pihak dan juga menjadi alat spekulasi dan ini dikenal ada teori valuta asing modern.
Interest Rate Parity Teori Interest Rate Parity ini membahas mengenai nilai tukar valuta asing yang dipengaruhi oleh adanya perbedaan tingkat bunga dalam negeri dengan luar negeri. Perbedaan tingkat bunga tersebut menyebabkan terjadi nilai tukar valuta asing. Tetapi, bila tingkat bunga di kedua negara sama maka tidak akan terjadi perbedaan harga mata uang kedua negara tersebut. Hubungan antara sebuah premium forward (atau diskon) dari sebuah valutas asing dan tingkat bunga yang dinyatakan mata uang menurut teori IRP dapat diuraikan selanjutnya. Misalkan, seorang investor di Indonesia yang berusaha melindungi arbritasi tingkat bunga. Tingkat pengembalian investor Indonesia dari penggunaan arbritasi lindung tingkat bunga dapat ditentukan sebagai berikut:
Jumlah uang lokal yang diinvestasikan dengan symbol AL
Nilai Spot dari IDR (S) ketika valuta asing dibeli
Tingkat bunga deposito di luar negeri iF
Nilai Forward (F) dalam IDR yang mana valuta asing akan dikonversikan ke IDR. Jumlah mata uang IDR diterima pada akhir deposito dengan strategi tersebut sebagai berikut:
FiSAA FLn *)1)(/( (1)
Seperti diketahui bahwa F = S*(1 + p) dimana p merupakan forward premium sehingga persamaaan diatas dapat dituliskan kembali sebagai berikut:
3 Materi ini diambil dari Jeff Madura (1998); International Financial Management; 5eds; South Western College Publishing.
)]1(*[*)1)(/( pSiSAA FLn
)1(*)1(* piAA FLn (2)
Adapun tingkat pengembalian dari investasi ini yaitu:
L
LLL
L
Ln
A
ApiAR
A
AAR
)1(*)1(*
1)1(*)1( piR F (3)
Jika paritas tingkat bunga ada, maka tingkat pengembalian yang dicapai dari arbritasi lindung tingkat bunga harus sama terhadap tingka bunga lokal, dimana tingkat bunga lokal disimbol dengan iL, maka tingkat pengembalian tersebut sebagai berikut: R = iL (4) Persamaan (K) dimasukkan ke persamaan (4.4), maka diperoleh persamaan sebagai berikut:
LF ipi 1)1(*)1( (5)
Persamaan (4.5) bisa disusun kembali menjadi sebuah persamaa sebagai berikut:
1)1(
)1(
)1(
)1()1(
)1()1(*)1(
L
F
L
F
LF
i
ip
i
ip
ipi
(6)
Bila tingkat bunga lokal dan luar negeri sama besar nilainya (iL = iF) maka nilai p = 0, yang memberikan arti tidak ada forward premium. Purchasing Power Parity (PPP) Teori PPP ini dianggap sebuah teori yang sangat kontroversial dan popular di keuangan internasional. Teori ini menfokuskan pada hubungan valuta asing dan inflasi dan juga selalu mempunyai patokan bahwa adanya hukum satu harga (Law of One Price). Dornbusch (1985)
menyatakan bahwa toeri PPP merupakan sebuah teori determinan valuta asing dimana teori menilai perubahan nilai valuta asing antara dua valuta asing selama periode tertentu yang ditentukan oleh perubahan harga-harga dalam dua negara. Carolina (2006) menambahkan penjelasan theory PPP yaitu mekanisme arbritasi dan pertukaran konstan riil, selain hukum satu harga. Adapun rumusan harganya sebagai berikut:
kopiSNGSIDRkopiInd xPeP ,$/, (7)
Bila nilai eIDR/S$ = 1, maka harga kopi di Indonesia sama dengan di Indonesia. Penurunan dari EIDR/S$ atau kita sebut EL dapat diperhatikan pada uraian selanjutnya. Jika diasumsikan indeks harga dari suatu negara (disebut Negara lokal) diberikan simbol L dan negara lain (foreign country, F) dan dianggap sama. Adapun inflasi negara lokal (IL) dan inflasi luar negeri (IF). Adanya inflasi dalam negara lokal maka indeks harga konsumen dapat dibuat dalam matematik sebagai berikut: PL*(1 + IL) (8) Demikian jug di negara luar negeri, maka indeks harga sebagai berikut: PF*(1 + IF) (9) Bila IL > IF, dan nilai kurs valuta asing antara valuta asing dua negara tidak berubah, maka daya beli dari orang-orang di lokal akan lebih besar pada barang di luar negeri dari pada barang di negara lokal, dimana dalam kasus ini PPP tidak muncul (does not exist). Jika IL < IF, dan nilai kurs valuta asing antara valuta asing dua negara tidak berubah, maka daya beli dari orang-orang lokal lebih besar pada barang-barang lokal dari pada barang-barang luar negeri, dimana dalam kasus ini PPP juga tidak muncul (does not exist). Teori PPP mengusulkan bahwa nilai kurs valuta asing akan tetap konstan tetapi akan disesuaikan untuk mengelola paritas pada daya beli. Jika inflasi terjadi dan nilai kurs valuta asing berubah, indeks harga luar negeri dari pandangan konsumen dalam negeri sebagai berikut: PF*(1 + IF)*(1+eF) (10) Dimana eF menyatakan persentase perubahan pada nilai valuta asing. Menurut teori PPP, persentase perubahan pada nilai valuta asing (eF) harus berubah dalam rangka mengelola paritas pada indeks harga baru dari dua negara. Persentase perubahan nilai valuta asing, eF, dapat dihitung pada kondisi dari PPP dengan membuat formula untuk indeks harga terbaru dari nilai valuta asing pada luar negeri sama dengan formual untuk indeks harga terbaru dari negara lokal sebagai berikut: PF*(1 + IF)*(1 + eF) = PL*(1 + IL) (11)
Berdasarkan persamaan (4.11), eF dapat dihitung sebagai berikut:
)1(*
)1(*)1(
FF
LLF
IP
IPe
1)1(*
)1(*
FF
LLF
IP
IPe (12)
Pada awalnya diasumsikan bahwa PL = PF, maka maka persamaan (12) menjadi sebagai berikut
1)1(
)1(
F
LF
I
Ie (13)
Perubahan kurs valuta asing dipengaruhi oleh perbedaan indeks harga (inflasi) dalam negeri
dengan luar negeri. Bila IL = IF maka eF = 0 yang memberikan arti tidak ada perbedaan nilai mata
uang lokal dengan mata uang luar negeri tersebut.
Determinan Nilai Kurs Valuta Asing
Mata uang merupakan alat transaksi penduduk lokal dengan penduduk asing di negara
yang bersangkutan. Walaupun, Pemerintah suatu negara membuat peraturan bahwa mata
uang lokal sebagai alat transaksi. Penduduk asing yang ingin melakukan transaksi di dalam satu
negara, maka mata uang yang dimilikinya harus ditukar ke mata uang lokal tersebut. Nilai
konversi mata uang asing atau sering disebut dengan mata uang dengan mata uang lokal
dikenal dengan nilai kurs. Nilai kurs mata uang dengan Rupiah dapat diperhatikan di Tabel 16 di
atas pada baris IDR. Pada baris tersebut terlihat nilai mata uang terhadap Rupiah misalnya US$
1 sebesar Rp. 11.517,- Demikian pula dapat diperhatikan dengan mata uang yang lain.
Nilai kurs mata uang ini tidak tetap tetapi berfluktuasi sesuai dengan kekuatan dari mata
uang lokal tersebut. Setiap negara mempunyai pendekatan dalam mengelola nilai kurs ini,
Indonesia menganut mengambang yang terkendali. Sementara, China menggunakan nilai tetap
dari mata uang terhadap mata uangnya Renmimbi. Madura (1998) menyatakan bahwa sistim
nilai tukar secara normal dapat dikelompokkan ke dalam kategori: Tetap (Fixed), Mengambang
dengan bebas (Freely Floating), Mengambang yang dikelola (Managed Float) dan Patok
(pegged). Tabel 4.2 berikut memperlihatkan negara-negara yang mengelola mata uangnya.
Indonesia, Inggris; Amerika Serikat; Filipina, Korea; Selandia Baru melakukan kebijakan
mengambang yang bebas untuk mata uangnya.
Tabel 4.2: Kebijakan Valutas Asing Beberapa Negara
No Kebijakan Mata uang Negara
1 Exchange Arrangements with no Separate Legal Tender
Ecuador; El Savador; Timor-Leste; Nigeria; Mali; Cameroon; Central African Rep.; Austria; Belgium; France; Germany; Junani; Itali, Luxembourg; Belanda; Portugis dan Spanyol
2 Currency Board Arrangements Bosnia dan Herzegovina; Brunei Darussalam; Bulgaria; Hongkong; Estonia; Lithuania dan Djibouti.
3 Other Conventional Fixed Peg Arrangements
Bahamas; Bahrain; Barbados; Belarus; Chins; Mesir; Malta; Namibia; Oman; Pakistan; Qatar; Solomon Island; Suriname; Guyana. Etopi, Honduras; Fiji; Ukraina; Vietnam; Venezeula; Libanon; Arab Saudi; Zimbabwe; Macedonia; Kuwait; Turkmenistaj
4 Pegged Exchange Rates within Horizontal Bands
Cyprus; Denmark; Slovenia; Hungaria; Tonga; Republik Slovak.
5 Crawling Pegs Azerbaijan; Botswana; Costa Rica; Nicaragua; Iran
6 Managed Floating with no predetermined path for the exchange Rate
Argentina, Bangladesh; Kamboja; Gambia; Ghana; Haiti; Jamaica; Madagascar; Mongolia; Srilanka; Tunisia; Sudan; Tunisia; Uruguay; Yemen; India; Peru; Thaildan;Romania; Malaysia; Nigeria;
7 Independetly Floating Indonesia; Uganda; Australia; Brazil; Canada; Chili; Israel; Korea; Mexico; Selandia Baru; Filipina; Tanzania; Jepang; Somalia; Switzerland; Amerika Serikat. Turki dan Inggris.
Sumber: IMF
Selanjutnya, Madura (1998) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kurs mata uang, yaitu:
1. Tingkat inflasi relatif
2. Tingkat bunga relatif
3. Level pendapatan relatif
4. Pengendalian Pemerintah
5. Ekspektasi pasar dari nilai tukar di masa mendatang
Kelima faktor tersebut menjadi determinan dari nilai mata uang dan menjadi bahan
penelitian berbagai pihak baik akademisi dan praktisi.
Teori yang dikemukakan secara jelas menyatakan bahwa kondisi tingkat bunga yang
selalu lebih tinggi di dalam negeri dibandingkan dengan di luar negeri. Bila diperhatikan pada
inflasi juga lebih tinggi di dalam negeri dibandingkan dengan di luar negeri sehingga nilai kurs
pasti ada dan ada kemungkinan akan meningkat terus. Peningkatan tersebut bisa dikarenakan
ketidakpahaman pengendali melihat pasar untuk bisa mengendalikan valuta asing tersebut.
Stabilitas politik dalam negeri juga bisa menjadi faktor penentu, sementara bagi Indonesia situasi
politik saat ini tidak persoalan tetapi bagi pihak asing sedikit kurang menarik. Belum lagi
infrastruktur untuk pengendalian valuta asing tersebut tidak lengkap di Indonesia dimana terjadi
perubahan kebijakan yang dilihat pasar secara nyata.
Salah satu instrumen yang dipergunakan beberapa negara untuk membuat stabil valuta asingnya
yaitu dengan melakukan intervensi ke pasar. Banyak negara berkembang yang menggunakan
kebijakan intervensi ini untuk mengendalikan valuta asingnya, tetapi ada juga yang tidak mau
melakukannya. Calvo dan Reinhart (2000) menyatakan bahwa intervensi pasar valuta asing
merupakan sebuah jenis ketakutan atas fenomena kebijakan mengambang valuta asing.
Syarifuddin (2014) menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI) secara regular (bisa harian atau
mingguan) melakukan intervensi ke pasar untuk membuat stabil valuta asing terutama US
Dollar. Masuknya BI secara regular ke pasar bisa membuat cadangan devisa yang dimiliki tidak
akan mengalami kenaikan. Kejadian ini bisa diperhatikan dengan nilai cadangan devisa yang
selalu turun bila BI melakukan intervensi ke pasar. Saat ini cadangan devisa kita sekisar US$
111 milyar dan nilai ini tidak bisa melebih US$ 126 milyar pada Agustus 2011.
Pembahasan
Analisis Nilai Kurs dan Volalitasnya
Sesuai uraian pada pendahuluan bahwa paper ini membahas nilai kurs valuta asing analisis
pertama akan dijelaskan fluktuasi nilai Kurs yang dikenal dengan volatilitas dan pergerakan nilai
kurs. Pergerakan nilai kurs dan volatilitas nilai kurs valuta asing diperlihatkan grafik dibawah
ini. Nilai kurs valuta asing sebelum terjadi krisis keuangan pada periode Agustus 1997 sampai
dengan awal tahun 2000, nilai kurs valuta asing bergerak pada situasi normal dimana fluktuasi
nilai kurs valuta asing tidak pernah melebih 5% terkecuali Pemerintah mengambil kebijakan
devaluasi. Pada periode ini, pemerintah mengambil kebijakan nilai kurs valuta asing yaitu
mengambang yang dikendalikan. Semua pihak terutama pebisnis sudah memperkirakan bahwa
nilai kurs valuta asing akan berfluktuasi sekitar 5%.
Periode selanjutnya, pada periode krisis kuangan yaitu periode Agustus 1997 sampai
dengan tahun 2000, dimana nilai kurs berfluktuasi sangat tajam mengakibatkan Pemerintahan
Orde Baru (Masa Kepemimpinan Presiden Soeharto) jatuh digantikan oleh wakilnya pada saat
itu Presiden BJ Habibie. Pada periode krisis ini Nilai Kurs Valuta Asing (biasanya dengan
Dollar sebagai patokan) telah mencapai pada puncaknya Rp. 15.000 per satu dollar AS.
Akibatnya, nilai kritis valuta asing dianggap nilai Rp. 15.000 dan bila mencapai angka tersebut
maka ekonomi dianggap sudah tidak bisa dikendalikan karena merupakan pengalaman pahit
yang dialami penduduk Indonesia walaupun ada yang mengalami keuntungan akibat nilai kurs
tersebut. Nilai Kurs mengalami penurunan pada tahun 2000 pada kisaran Rp. 7.000 per satu
Dollar AS, tetapi sejak April 2000 nilai kurs valuta asing tersebut kembali berfluktuasi menuju
puncaknya di Rp. 12.000 per satu Dollar AS sampai pertengah 2001. Kemudian nilai kurs valuta
asing tersebut berfluktuasi di sekitar Rp. 10.000 per satu Dollar sampai pada akhir tahun 2008
tetapi di akhir tahun 2009 melonjak lagi menjadi Rp. 12.000 per satu Dollar. Padahal pada tahun
2008 Amerika Serikat mengalami krisis keuangan dimana Lehman Brothers ditutup dikarenakan
tidak mampu menyelesaikan persoalan keuangannya dan imbasnya satu tahun kemudian ke
Indonesia yang diperlihatkan nilai kurs valuta asing tersebut.
0.00%5.00%10.00%15.00%20.00%25.00%30.00%35.00%40.00%45.00%50.00%
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
Nilai Kurs dan Volatilitasnya
Nilai Kurs Volatility
Selanjutnya, Bila diperhatikan nilai Kurs Dollar terhadap Rupiah pada akhir Desember 2011
berada pada posisi Rp. 9.069,- Level Kurs Dollar pada nilai tersebut terus berlangsung pada
level dibawah 10.000 dan pada akhir Desember 2012 di posisi Rp. 9.793,- Pada tahun 2012
terjadi perubahan nilai kurs sebesar 7,98%, dimana nilai ini lebih besar dari perubahan di Era
Presiden Soeharto (Zaman Orde Baru) hanya sekitar 5 persen. Tetapi, level dibawah 10.000 ini
mulai ditinggalkan dan sudah beranjak ke level 11.000 dan pada akhir Desember 2013 di posisi
Rp. 12.171,- Sehingga pada tahun 2013 telah terjadi kenaikan sebesar 24,28 persen bahkan
sangat jauh perbedaannya dengan Era Orde Baru. Akhir Desember Nilai Kurs ini sudah
berfluktuasi dan bergerak lebih tinggi sampai sekitar Rp. 12.700,- dimana semua pihak berteriak
terutama para pengusaha. Kenaikan ini sebenarnya masih cukup kecil tetapi sudah mengarah ke
arah yang lebih tinggi. Jika pada Desember lalu, beberapa pihak tidak berteriak kelihatannya
nilai kurs itu akan bergerak lebih tinggi, kelihatannya Bank Indonesia melakukan intervensi
sehingga nilai kurs tidak ditutup melebihi Rp. 12.500 per satu US Dollar. Tetapi, nilai kurs
tersebut mulai naik lagi di awal minggu pertama bulan Januari dimana telah sampai pada level
Rp. 12.732 dan nilai kurs ini terus berfluktuasi mengalami peningkatan serta sekarang telah
mencapai pada level Rp. 13.300. Nilai kurs ini telah menjadi persoalan tersendiri dan beberapa
pihak kelihatan mengeluh atas pergerakan Dollar ini.
Volatilitas nilai kurs valuta asing tersebut yang diperlihatkan grafik diatas kelihatannya
bisa dipolakan yaitu sebelum periode 2000 maka volatilitas melebihi 5%. Selanjutnya, volatilitas
nilai kurs tersebut dibawah 5% dan terjadi diatas 5 persen ada beberapa periode waktu.
Kelihatannya volatilitas nilai kurs diatas 5% terjadi pada akhir tahun dan kenaikan diatas 5
persen ini dikarenakan fluktuasi pada bulan selain Desember maih dibawah 5%. Tindakan
berfluktuasinya nilai kurs di Bulan Desember untuk mendapatkan volatilitas nilai kurs sekitar
5%. Sangat disayangkan kejadian ini selalu terjadi dan kelihatannya Bank Indonesia melakukan
intervensi. Bisa saja kejadian ini terjadi karena ada persekongkolan antara orang dalam BI
dimana pemain pasar mendorong nilai kurs keatas dan BI melakukan intervensi dan ada
keuntungan yang didapatkan orang dalam atau bahkan institusi BI sendiri4.
Analisis Cadangan Devisa
Salah satu penyebab mengapa nilai Kurs Valuta Asing terhadap Rupiah berfluktuasi yaitu
besaran cadangan devisa yang dimiliki oleh suatu negara. Semakin kecil cadangan devisa
sebuah negara maka semakin mudah pihak lain membuat nilai kurs valuta asingnya berfluktuasi
sangat tajam. Oleh karenanya, banyak negara selalu meningkatkan cadangan devisanya agar nilai
kurs valuta asingnya tidak berfluktuasi sangat tajam. Nilai cadangan Devisa kita mengalami
kenaikan dari tahun ketahun, sejak krisis keuangan terjadi dimulai dari US$ 24,63 milyar pada
Januari 1999 dan menjadi US$ 124,64 milyar pada akhir Agustus 2011. Besaran cadangan devisa
kita ini cukup sulit mengalami kenaikan setelah krisis, bahkan ditemukan baliknya nilai
cadangan devisa ini lebih lama dibandingkan dengan Negara Korea yang lebih dahulu dikenai
krisis, Korea Selatan hanya dibutuhkan satu tahun untuk bisa kembali kepada jumlah cadangan
devisanya, sementara Indonesia butuh 3 sampai 4 tahun agar balik ke nilai semula. Persoalan ini
dikarenakan perang elit yang terjadi dan pengelolaan ekonomi yang tidak baik terutama obat
yang diberikan IMF bukan membantu tetapi bahkan membuat perekonomian kita lebih lama
sembuh dari krisis tersebut.
Nilai cadangan devisa tersebut tidak banyak mengqalami perubahan sejak Agustus 2011
bahkan turun sampai US$ 92,67 milyar pada Juli 2013, walaupun penurunan tersebut tidak
langsung tetapi secara bertahap seperti yang diperlihatkan gambar. Kemudian nilai cadangan
tersebut mengalami kenaikan secara perlahan-lahan sampai senilai US$ 115,5 milyar pada
Februari 2015 dan kemudian mengalami penurunan sampai sekitar US$ 110 milyar pada akhir
Juni 2015. Penurunan ini tidak terlepas dari tindakan Bank Indonesia yang melakukan intervensi
pasar karena nilai kurs yang mengalami kenaikan sjak Januari 2015. Angka kenaikan kurs dan
penurunan cadangan devisa mendukung teori yang ada.
Berdasarkan angka-angka tersebut kelihatannya sangat sulit cadangan devisa tersebut
mengalami kenaikan. Nilai sebesar itu dianggap hanya cukup membiayai impor sekitar 6 bulan
sampai 7,5 bulan (Menurut Bank Indonesia pada data BOP). Bila diperhatikan secara seksama
maka cadangan devisi hanya berfluktuasi pada sekitar US$ 110 milyar setahun terakhir (Juli
2014). Bila diperhatikan Grafik berikut yang memperlihatkan grafik cadangan devisa dan nilai
kurs Dollar terhadap Rupiah maka dapat dilihat bahwa cadangan devisa sangat tinggi bilai nilai
4 Lebih memahami kenaikan nilai kurs baca Adler H. Manurung: Kenapa Nilai Kurs Valuta Asing Naik, Harian Kompas Minggu 12 Juli 2015 hal 11.
kurs rendah. Ketika nilai kurs mengalami kenaikan maka jumlah cadangan devisi mengalami
penurunan terutama dalam beberapa bulan terakhir nilai cadangan devisa mengalami penurunan
dikarenakan nilai kurs yang terus mengalami kenaikan.
Oleh karenanya, Bank Indonesia perlu membuat strategi yang cukup bagus dalam rangka
menaikkan cadangan devisa dan pengendalian nilai kurs, karena tanggungjawab stabilitas nilai
kurs ada di Bank Indonesia sesuai dengann Undng-Undang No. 23 tahun 2009 tentang Bank
Indonesia.
Analisis defisit transaksi berjalan
Setelah pembahasan nilai kurs dan volatilitasnya dan juga nilai kurs dengan cadangan
devisa, maka perlu juga dianalisis data lain yang berhubungan dengan nilai kursa yaitu deficit
transaksi berjalan. Bila deficit transaksi berjalan terus berlangsung maka Pemerintah harus terus
mencara cara lain untuk bisa meningkatkan cadangan devisa. Defisit transaksi berjalan akam
mengurangi cadangan devisa karena semua Negara mengharapkan terjadi surplus dalam
transaksi berjalan agar cadangan devisa mengalami kenaikan. Pada Grafik dibawah diperlihatkan
grafik nilai kurs dengan defisit transaksi berjalan5. Seperti uraian sebelumnya, bahwa nilai kurs
terus mengalami kenaikan sampai akhir Juni sekitar nilai Rp. 13.300,- per satu Dollar Amerika
Serikat. Transaksi berjalan mengalami defisit dimulai Kwartal-4 tahun 2011 sekitar US$ 2
milyar, kemudian transaksi berjalan ini semakin besar mencapai US$ 9 milyar pada Kwartal-2
tahun 2012. Kemudian transaksi berjalan ini defisitnya semakin kecil tetapi kemabli mencapai
melebih US$ 10 milyar pada kwartal-2 tahun 2013, dan selanjutnya membaik kesekitar US$ 4
milyar di kwartal-1 tahun 2014 dan memburuk sampai sekitar US 9 milyar pada kwartal-2 tahun
5 Dalam rangka pembahasan nilai kurs dan deficit transaksi berjalan menggunakan data tiwulanan karena data bulanan tidak tersedia.
2014, lalu memaik defisitnya mencapai US$ 4 milyar pada kwartal-1 tahun 2015. Angka-angka
dari transaksi berjalan yang terus defisit hampir 3,5 tahun cukup beralasan membuat nilai kurs
mengalami kenaikan secara terus menerus. Oleh karenanya, Pemerintah harus meningkatkan
ekspor dengan berbagai kebijakan yang dilakukan dan menurunkan impor agar terjadi surplus
dalam transaksi berjalan.
Gambar berikutnya memperlihatkan transaksi berjalan dengan cadangan devisa.
Grafik transkasi berjalan yang hamper 3,5 tahun mengalami defisit cukup mendukung tidak
naiknya cadangan devisa secara cepat sesuai harapan. Sehingga dapat disebutkan tidak naiknya
cadangan devisa didukung oleh transaksi berjalan yang defisit selama 3,5 tahun.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penulisa memperkirakan perekonomian Indonesia
akan sulit bergerak keatas bila persoalan nilai kurs, cadangan devisa dan transaksi berjalan ini
tidak diselesaikan secepatnya. Jantung dari perekonomian suatu Negara selain perbankan adalan
sector valuta asing ini. Beberapa Negara, mengalami persoalan dan Pemerintahnya dapat turun
(dijatuhkan) dikarenakan tidak bisa membereskan persoalan keuangannya.
Solusi untuk Tindakan Pemerintah
Persoalan yang telah diuraikan sebelumnya dalam nilai kurs valuta asing, maka
Pemerintah harus mengambil tindakan. Tindakan yang bisa dilakukan dalam rangka
memecahkan persoalan yang dihadapi.
Perubahan Undang-Undang
Dalam meningkatkan cadangan devisa, pertama-tama harus diperhatikan peraturan yang
dibangun Pemerintah suatu negara. Negara dibangun atas sebuah dasar hukum dimana
Pemerintahan ada atas hukum yang diciptakan. Indonesia sebagai negara hukum maka
pemerintah bersama DPR membuat undang-undang yang mengatur Lalu Lintas Devisa.
Undang-undang yang pertama kali diterbitkan dalam rangka mengatur Lalu Lintas Devisa, yaitu
Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 32 tahun 1964 tentang Peraturan Lalu-Lintas
Devisa. Pasal 9 pada Undang-Undang tersebut disebutkan sebagai berikut:
1. Barangsiapa telah mengekspor barang berkewajiban untuk:
a. Menyerahkan dokumen yang dapat diperdagangkan dan yang membuktikan hak
sipemegangnya atas barang yang diekspor kepada suatu bank devisa.
b. Menjual jumlah valuta asing yang harus diserahkan kepada Dana Devisa kepada
Bank Devisa, terkecuali yang mengekspor dapat membuktikan bahwa penjualan
valuta asing termaksud belum atau tidak dapat dilakukan karena hal-hal diluar
kekuasaannya.
2. Bank Devisa berkewajiban untuk membeli valuta asing itu yang diajukan kepadanya
dengan membayar nilai lawan dalam Rupiah yang ditentukan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pada Undang-Undang No 32 tahun 1964 ini secara jelas disebutkan bahwa masyarakat Indonesia
yang melakukan ekspor atas barang dan jasa maka pengekspor tersebut harus memasukkan
dananya ke Indonesia melalui bank devisa dengan cara membeli valuta asing atas ekspor
tersebut. Atas tindakan ini maka cadangan devisa akan mengalami peningkatan setiap ada
ekspor yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Undang-Undang ini berlaku sampai
munculnya Undang-Undang Baru pada tahun 1999 dan menjadi bumerang bagi Indonesia.
Ketika Indonesia mengalami persoalan ekonomi yang lebih dikenal dengan Krisis Keuangan dan
Pemerintah meminta bantuan IMF untuk mengatasi persoalan keuangan tersebut, dan ketika
IMF membantu Indonesia, ada persyaratan yang harus diperbaiki (no free lunch) yaitu Undang-
Undang di Indonesia yang sedang berlaku. Adapu undang-undang yang perlu dirubah yaitu
Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu-Lintas Devisa. Peraturan barunya
yaitu Undang-Undang No 24 Thaun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Pada pasal 2 disebutkan sebagai berikut:
1. Setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa.
2. Penggunaan Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk keperluan transaksi di
dalam negeri, wajib memperhatikan ketentuan mengenai alat pembayaran yang sah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia.
Undang-Undang ini secara jelas menyebutkan bahwa semua hasil ekspor atas tindakan
masyarakat Indonesia tidak perlu membawa uangnya ke Indonesia dan bisa melakukan
penyimpanan di luar negeri. Kebebasan penduduk Indonesia atas hasil ekspor yang
dilakukannya membuat cadangan devisa agak sulit mengalami kenaikan. Kelihatan, IMF sudah
merancang Indonesia agar tidak bisa menjadi Macan Asia dimana sebelumnya disebutkan
Indonesia akan menjadi Macan Asia setelah Jepang, Taiwan, Korea6. Indonesia agak sulit tidak
menerima permintaan IMF karena tidak akan dibantu lepas dari krisis pada tahun 1998.
Walaupun demikian, pada Undang-Undang tersebut pada pasal 3 dibuat ketentuan agar Bank
Indonesia mempunyai wewenang. Adapun pada Pasal 3 disebutkan sebagai berikut:
1. Bank Indonesia berwenang meminta keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas
Devisa yang dilakukan oleh Penduduk.
2. Setiap Penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas
Devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pada pasal 3 ini disebutkan, Bank Indonesia yang juga menjadi bank sentral Indonesia
berwenang untuk meminta keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang
dilakukan Penduduk Indonesia. Atas pasal 3 ini, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan yang
dikenal dengan Peraturan Bank Indonesia (selalu disingkat dengan PBI) yang mengatur tentang
pencatatan atas ekspor penduduk Indonesia. Berwenang hanya mencatat dan para pengekspor
melaporkan transaksi ekspornya tetapi dananya tidak masuk. Aturan pada pasal 3 ini hanya
memberikan pencatatan tetapi tidak bisa menyebutkan adanya kenaikan cadangan devisa akibat
6 http:/m.antaranews.com/berita/27315/Indonesia-macan-asia-yang-terluka-berupaya-bangkit.
ekspor yang dilakukan penduduk Indonesia. Untuk lebih jelas mengenai pencatatan tersebut,
maka Undang-Undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu-Lintas Devisa memberikan kewenangan
yang dinyatakan pada Pasal 4 sebagai berikut:
1. Dalam rangka penerapan prinsip-prinsip kehat-hatian, Bank Indonesia menetapkan
ketentuan atas berbagai jenis transaksi Devisa yang dilakukan oleh Bank.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Bank Indonesia.
Pasal ini secara jelas menunjukkan bahwa Bank Indonesia membuat atau membuat ketentuan
berbagai jenis transaksi devisa dan peraturan pada Peraturan Bank Indonesia yang dikenal
dengan PBI seperti diuraikan sebelumnya.
Mengenai Sistim Nilai Tukar disebutkan juga pada Undang-Undang tersebut yang termuat dalam
pasal 5 sebagai berikut:
1. Bank Indonesia mengajukan Sistem Nilai Tukar untuk ditetapkan oleh Pemerintah.
2. Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan Sistem Nilai Tukar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan Sistem Nilai Tukar
sebagaimana dimaksud ada ayat (1).
Pasal 5 diatas secara jelas menyebutkan bahwa yang mengajukan Sistim Nilai Tukar adalah
Bank Indonesia dan ditetapkan Pemerintah dan juga membuat serta melaksanakan kebijakan
nilai Tukar tersebut. Bila Pasal 5 dalam Undang-undang No 24 tahun 1999 tentang Lalu-Lintas
Devisa dikaitkan dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2009 tentang Bank Indonesia pada pasal
7 bahwa Bank Indonesia bertanggungjawab atas stabilitas valuta asing serta membuat
kebijakannya serta pelaksanaanya maka sudah sebenarnya Bank Indonesia mengambil tindakan
untuk mengajukan perbaikan atau pergantian dari Undang-Undang No 24 tahun 2009 tersebut.
Bila Bank Indonesia tidak mengambil tindakan maka Bank Indonesia merasakan ada keuntungan
yang diperoleh saat ini dengan hak kebebasannya. Bila dilihat dari data laporan keuangan Bank
Indonesia, ternyata Bank Indonesia menikmati keuntungan atas adanya fluktuasi valuta asing
tersebut. Berdasarkan Laporan Keuangan Bank Indonesia bahwa Bank Indonesia mencatat
keuntungan atas transaksi valuta asing sebesar Rp. 33,6 trilliun untuk tahun 2013 dan
keuntungan sebesar Rp. 51,97 tilliun untuk tahun 2014. Bila dilihat nilai kurs pada akhir pada
akhir 2013 senilai Rp. 9.793 dan meningkat menjadi Rp. 12.388 pada akhir tahun 20147.
Tindakan intervensi Bank Indonesia ke pasar valuta asing, jangan-jangan merupakan tindakan 7 Peningkatan kurs dan laba dari transaksi valuta asing ini dapat juga dimanfaatkan oleh orang dalam yaitu orang dalam menginformasikan akan ada intervensi bila Dollar naik dan diharapkan dinaikkan agar intervensi dilakukan sehingga orang dalam mendapat fee atas informasi atau ikut melakukan transaksi dengan membeli harga murah lalu menjual pada harga tinggi saat intervensi dilaksanakan.
memindahkan dana yang dimiliki Pemerintah menjadi milik Bank Indonesia. Jika dana tersebut
milik Pemerintah maka Bank Indonesia tidak bisa melakukan pengendalian dana tersebut bila
dana ada pada Bank Indonesia menjadi kendali dari Bank Indonesia. Peningkatan keuntungan
ini telah menjadi penderitaan kepada pebisnis terutama rakyat karena harga-harga barang dan
jasa di masyarakat mengalami kenaikan.
Carry Trade
Selanjutnya, bentuk transaksi lain harus diciptakan yang bisa meningkatkan cadangan devisa
agar kepercayaan pihak lain baik sebagai investor maupun sebagai negara. Transaksi ini timbul
dengan adanya bantuan pihak lain dan menjadi biaya kepada negara. Transaksi ini menjadi
biaya bagi negara karena adanya selisih bunga. Adapun transaksi ini lebih dikenal transaksi
carry trade dimana secara singkat merupakan transaksi selisih bunga.
Carry trade didefinisikan Financial Times8 yaitu:
A strategy in which an investor borrows at alow interest
rate in order to invest in an asset that is likely to provide a
higher return.
Konsep tersebut menjelaskan bahwa seseorang bisa mendapatkan keuntungan dengan melakukan
transaksi Carry Trade. Seseorang melakukan pinjaman dengan bunga yang terendah dan
kemudian melakukan investasi pada instrument investasi yang kuponnya lebih tinggi. Artinya,
investor mendapatkan spread dari tingkat bunga tersebut. Tindakan ini sangat popular pada
tahun 2007, dimana investor meminjam dana dalam bentuk Yen atau Swiss Francs dan
menginvestasikan pada instrument dengan mata uang Australia dan Selandia Baru serta Afrika
Selatan. Tindakan seperti ini dapat juga dilakukan untuk meningkatkan cadangan devisa tetapi
Indonesia yang membayar spread tingkat bunga dimana dianggap sebagai biaya.
Pada Bagan 1 secara jelas memperlihatkan arus pertukaran T-Bills dengan Obligasi
Pemerintah Indonesia. Dalam alur tersebut harus disepakati melalui perjanjian bahwa nilai T-
Bills sama nilainya pada saat awal transaksi dengan diakhir periode perjanjian. Artinya, pada
akhir periode pertukaran instrumen keuangan tidak mempersoalkan nilai kurs pada saat awal
pertukaran instrumen dengan di akhir periode pertukuran instrumen keuangan, bahasa lainnya
nilai kurs dianggap konstan. Tetapi, sebenarnya tidak banyak nilai sebuah finansial dianggap
konstan tetapi dilakukan hedging (lindung nilai) atau adanya kenaikan (penurunan) nilai kurs.
Ada kesepakatan kedua belah pihak bahwa nilai kurs dilindung nilai atau harga sama walaupun
tidak ada biaya yang dikeluarkan dan sudah dianggap ada dalam spread bunga. Pada akhir
periode Pemerintah Indonesia menyerahkan T-Bills dan mendapatkan kembali atas obligasi yang
diterbitkan sebelumnya. Obligasi ini selayaknya dibuat obigasi yang periodenya sekitar jatuh
tempo agar harga mendekati harga nilai par dan juga demikian untuk T-Bills.
8 http://lexicon.ft.com/Term?term=carry-trade
Bagan 1: Alur Carry Trade T-Bills dengan Obligasi Pemerintah Indonesia
1. Menteri Keuangan Amerika Serikat membuat perjanjian dengan Perusahaan Asset Management (PAM) di Amerika Serikat
untuk melakukan Carry Trade atas T-Bills senilai US$ 15 milyar.
2. PAM melakukan Carry Trade dengan Bank Lokal (misalnya Bank Mandiri) dengan SWAP antara T-Bills dengan Obligasi
Pemerintah yang diterbitkan untuk private placement.
3. LOkal Bank membeli Obligasi Pemerintah dan membayar dengan Rupiah.
4. Pemerintah Indonesia menginstruksikan Bank Indonesia untuk membeli T-Bills dari Bank Lokal dan menyimpanya sebagai
cadangan devisa.
5. Bank Indonesia membeli dari Bank Lokal dan bank lokal menswapkan T-Bills dengan Obligasi Pemerintah Indonesia
Notes: Materi ini diadatapsi dari proposal Manajer Investasi yang berkedudukan di Amerika Serikat.
USA’s Ministry
of Finance
Indonesia’s
Ministry of
Finance
USA’s Asset
Management
Indonesia’s Bank or Investment
Banking
USA’s T-Bills
USA’s T-Bills
IDR
USA’s T-Bills
Gov’t Indonesia Bond
Central Bank of
Indonesia
Surat Kepemilikan T-Bills
IDR
IDR
USA/IDR
USA/IDR
Gov’t Indonesia Bond
Dalam kasus transaksi ini maka harus ada kesepakatan antara Bank Indonesia dan Kemenkeu
atas transaksi ini karena transaksi ini merupakan transaksi dua lembaga negara yang intinya akan
meningkatkan image dan kinerja negara, sehingga para lembaga harus menahan ego sektoralnya.
Pemerintah bisa meminta Bank Indonesia harus membantu Perekonomian Indonesia bukan
perekonomian Bank Indonesia.
Kelemahan dari sistim ini bagi Indonesia yaitu:
a. Indonesia akan menanggung selisih tingkat bunga selama periode perjanjian, dimana
selisih ini menjadi pengeluaran Pemerintah melalui APBN.
b. Indonesia juga akan menanggung risiko atas perubahan nilai kurs.
c. Nilai hutang Pemerintah mengalami peningkatan.
d. Bagi yang tahu akan kurang percaya
Keuntungan dilakukannya transaksi ini sebagai berikut:
a. Nilai Cadangan Devisa langsung meningkat.
b. Tidak memikirkan pembayaran cicilan hutang setiap tahunnya.
c. Tidak memikirkan nilai hutang pada saat jatuh tempo
d. Image Indonesia semakin meningkat di mata internasional.
e. Tidak perlu membuat perencanaan pembayaran hutang setiap tahunnya di APBN.
f. Kemungkinan akan masuk dana baru krn adanya peningkatan cadangan devisa
Melihat kelemahan dan keuntungan adanya transaksi ini maka sudah layak transaksi ini
dilakukan untuk kepentingan Republik Indonesia.
Pasar Futures Kurs Dollar terhadap Rupiah
Salah satu aspek yang perlu dilakukan tindakan atas kenaikan nilai kurs valuta asing
terhadap rupiah harus diadakan atau diciptakan sebuah produk finansial yang dikenal dengan
Futures Kurs Dollar terhadap Rupiah, dimana produk ini belum ada sampai sekarang dan banyak
pihak yang menunggu produk tersebut. Kewenangan ini sedikit ada pada Bank Indonesia tetapi
bila diperhatikan pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi maka Bank Indonesia harus bekerja sama dengan Badan Pengawas Perdagangan
Berjangka Komoditi (Bappebti).
Bila dikaji secara mendalam, kelihatannya bahwa Bank Indonesia sangat senang sekali
bila nilai kurs valuta asing yang muncul merupakan nilai kurs valuta asing yang ditentukan Bank
Indonesia. Apakah tidak sebaiknya nilai kurs valuta asing yang terjadi merupakan nilai kurs
pasar valuta asing ? Nilai kurs pasar valuta asing timbul dikarenakan oleh transaksi pasar
(penjual dan pembeli) yang terjadi. Bahkan beberapa lembaga penjual valuta asing selalu
melihat nilai kurs Bank Indonesia sebagai patokan dikarenakan belum adanya infrastruktur yang
membuat harga valuta asing tersebut. Instrumen yang selalu dipakai oleh Bank Indonesia untuk
hedging pada valuta asing yaitu transaksi forward dan swap dimana kedua transaksi ini harus
melalui bank. Bahkan para pihak yang ingin melakukan transaksi forward dan swap harus
membawa dokumen yang valid ditunjukkan dalam keranga bertransaksi forward dan swap
tersebut. Harga kurs valuta asing pada transaksi forward dan swap selalu mengacu kepada harga
pada Bank Indonesia.
Pada sisi lain, harga valuta asing di Indonesia sering juga dimainkan oleh pemain pasar di
pasar forward yang tidak dideliver (non-delivery forward, NDF). Pemain pasar ini bisa
disebutkan spekulan yang ingin mendapatkan keuntungan dari bertransaksi tersebut. Pasar NDF
ini hampir seluruhnya bertransaksi di pasar Singapura karena spekulan valuta asing tersebut
sangat senang bila ada fluktuasi Rupiah. Artinya, spekulan valuta asing belum mempunyai
tempat untuk melakukan tindakannya, dimana tempatnya tersebut dikenal dengan pasar futures.
Apakah tidak sebaiknya Bank Indonesia merubah kebijakannya dengan bekerja sama dengan
Bursa Berjangka Jakarta untuk membangun pasar futures untuk valuta asing (terutama US
Dollar). Adanya pasar futures valuta asing ini maka para pemain NDF tersebut akan berpindah
ke Indonesia dan kemungkinan bisa dikendalikan. Bila pasar futures valuta asing ini ada maka
nilai kurs valuta asing akan terlihat dikarenakan pasar futures merupakan discovery price dari
segala produk yang ada termasuk valuta asing. Artinya, harga kurs valuta asing merupakan
harga kurs valuta asing yang diharapkan pasar. Tetapi, Bank Indonesia bisa juga melakukan
pengendalian bila harga tersebut tidak wajar.
Bank Indonesia yang menganut pasar bebas dalam valuta asing maka Bank Indonesia
harus mau menciptakan atau mendirikan pasar futures bukan alergi dan ketakutan atas harus
adanya barang valuta asing tersebut. Bila Bank Indonesia tidak mau atau masih alergi maka
kebijakan valuta asing yang menganut kebijakan mengambang (floating) untuk valuta asing
merupakan kebijakan yang banci, karena kebijakan pasar bebas harus menyediakan pasar
futures. Oleh karenanya, sudah saatnya Bank Indonesia memikirkan kebijakan adanya pasar
futures untuk valuta asing. Akhirnya, kurs valuta asing ini akan terus bergerak bila tidak
menyiapkan infrastruktur tersebut dan berakhir pada habisnya cadangan devisa.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa Bank Indonesia sangat berwenang dalam
Stabilisasi valuta asing baik pembuatan kebijakan maupun pelaksanaannya, tetapi infrastruktur
untuk perdagangan berjangka valuta asing ada di lembaga lain yaitu Bappebti. Oleh karenanya
Bappebti dan Bank Indonesia harus bekerja sama untuk menciptakan stabilisasi nilai kurs
tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya maka paper ini dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Nilai kurs valuta asing akan terus mengalami kenaikan karena kenaikan nilai kurs akan
memberikan keuntungan pada Bank Indonesia, sementara stabilisasi nilai kurs valuta
asing ada pada Bank Indonesia.
2. Kenaikan nilai kurs valuta asing akan membuat cadangan devisa akan terus berkurang
karena dipergunakan Bank Indonesia untuk mensatbilkan rupiah serta ada kemungkingan
stabilisasi yang dilakukan untuk memindahkan dananya ke Bank Indonesia yang tadinya
milik Pemerintah sekarang menjadi milik Bank Indonesia.
3. Pemerintah harus memperbaiki transaksi berjalan yang defisit sudah hampir 3,5 tahun,
dengan cara menaikkan ekspors Indonesia dan menurunkan impor.
4. Pemerintah bisa mencoba melakukan carry trade obligasi Pemerintah dengan T-Bills
Amerika Serikat dalam rangka menaikkan cadangan devisa.
5. Pemerintah harus memaksa Bank Indonesia harus merubah Undang-Undang No. 24
Tahun 1999 tentang Lalu-Lintas Devisa dengan mengajukan RUU ke Dewan Perwakilan
Rakyat dan dapat disahkan secepatnya.
6. Bank Indonesia harus bekerjasama dengan Bappebti dan Bursa Berjangka Jakarta untuk
terciptanya pasar futures valuta asing terutama Futures Nilai Kurs Dollar terhadap
Rupiah. Tindakan ini dalam rangka mengetahui harga kurs dollar di masa mendatang.
Daftar Pustaka
Bishop, Paul (1996); Foreing Exchange Handbook: Managing Risk and Opportunity in Global Currency Markets; McGraw-Hill, Inc. Carolina, M G L. (2006); PPP Theory in a Fixed Exchange Rate System, BNA Working Paper Cole, D.; Scott, H. S. and P. A. Wellons (1995); Asia Money Markets; Oxford University Press. Copeland, L. (2008); Exchange Rate and International Finance, 5th eds., FT Prentice Hall. Das, Dilip K. (1993); International Finance Contemporary Issues; Routledge. Eaker, M. R.; Fabozzi, F. J. and D. Grant (1996); International Corporate Finance; Dryden Press. Eiteman, D. K.; Stonehill, A. I.; and M. H. Moffett (2007); Multinational Business Finance; 11th
eds., Pearson Addison Wesley Juttner, D. J. (1992); Financial Markets, Interest Rates and Monetary Economics; 2nd Eds; Longman Cheshire. Lessard, D. R. (1985); International Financial Management: Theory and Application; 2nd eds; John Wiley & Sons. Levi, Maurice D. (1990); International Finance: The Markets and Financial Management of Multinational Business; McGraw Hill. Levich, Richard M. (2001); International Financial Markets Pricess and Policies; 2nd eds.; McGrwa Hill. Livingston, Miles (2005); Bonds and Bonds Derivatives; 2nd eds.; Blackwell Publishing. MacDonald, R. and M. P. Taylor (1992); Exchange Rate Economics: Volume 1; An Elgar Reference Collection. MacDonald, R. and M. P. Taylor (1992); Exchange Rate Economics: Volume 2; An Elgar Reference Collection. Madura, Jeff (1998); International Financial Management; 5th eds; South Western College Publishing. Madura, Jeff (2006); International Corporate Finance; 8th eds; Thomson – South-Western.
Manurung, Adler H. (2015); Treasury Management: Dasar dan Instrumen; Jakarta: PT Adler
Manurung Press
Manurung, Adler H. (2014); Pasar Futures Indonesia: Tradisional ke Finansial; Jakarta: PT Adler
Manurung Press
Obstfeld, M. and K. Rogoff (1996); Foundations of International Macroeconomics; The MIT Pess. Rivera-Batiz, F. L and L. A. Rivera Batiz (1994); International Finance and Open Economy Macroeconomics; 2nd eds; Macmillan Publishing Company. Rosenberg, M. R. (1996); Currency Forecasting: A Guide Fundamental and Technical Models of Exchange Determination; Irwin Professional Publishing. Saragih, F. D. dan B. Y. Nugroho (2014); Dasar-Dasar Keuangan Internasional; Rajawali Pers. Shapiro, A. C. (2006); Multinational Financial Management; 8th Eds; John Wilet & Sons. Taylor, Fracesca (2003); Mastering Foreign Exchange & Currency Options: A Practical Guide to the New Marketplace; FT Prentice Hall. Tobing, W. R. dan Manurung, Adler H. (2009); Peramalan Valuta Asing; ABFI Institute Perbanas Tucker, A. L.; Madura, J. and T C. Chiang (1992); International Financial Markets; Info Access Distribution Pte Ltd. Weisweiller, R. (1990); How the Foreign Exchange Market Works; New York Institute Finance.