13
TUGAS MATA KULIAH POLITIK HUKUM Dosen: Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D LAHIRNYA UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI NAMA: AMIR HAMDANI NASUTION NIP: 7112034 PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM 2013

Lahirnya Mahkamah Konstitusi Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Indonesia

Citation preview

  • TUGAS

    MATA KULIAH POLITIK HUKUM

    Dosen: Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D

    LAHIRNYA UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI

    NAMA: AMIR HAMDANI NASUTION

    NIP: 7112034

    PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA

    PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

    2013

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    Indonesia adalah negara yang menganut tradisi hukum Eropa Konstitental atau sering

    disebut dengan sistem hukum civil law. Salah satu ciri utama dari sistem hukum civil law adalah

    pentingnya peraturan perundang-undangan tertulis atau statutory laws atau statutory

    legislations. Kedudukan statutory laws lebih diutamakan di banding dengan putusan hakim

    atau yurisprudensi. Hal ini berbeda dengan sistem common law yang lebih mengutamakan

    putusan hakim sebagai rujukan penyelesaian suatu perkara. Oleh karena itu, sistem common law

    disebut juga dengan the judiciary law atau the case law.1

    Seiring dengan semangat reformasi, wacana penguatan hak konstitusional warga negara

    semakin menggeliat baik dalam dunia akademis maupun praktik kenegaraan sehari-hari.

    Indonesia telah melakukan perubahan besar dan penting dalam sistem ketatanegaraannya. Salah

    satu perubahan tersebut adalah amandemen Undang- Undang Dasar 1945 (reformasi konstitusi)

    yang dilakukan sebanyak 4 kali hanya dalam periode 2 tahun. Reformasi konstitusi dipandang

    merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan

    dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan

    rakyat, Good Governance, tegaknya demokrasi dan hak asasi manusia.

    Reformasi konstitusi ini dinilai sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan

    rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

    menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Akibatnya, semua lembaga negara dalam

    UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup

    1 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Press, 2010) hlm. v

  • wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar

    (concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling

    mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip- prinsip tersebut menegaskan cita

    negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis. Ini sejalan dengan prinsip

    negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 19451 yang menyatakan bahwa

    Negara Indonesia adalah negara hukum, dan penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan

    tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa negara Indonesia berdasar atas

    hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).

    .

  • BAB II

    SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI

    REPUBLIK INDONESIA

    Berkenaan dengan tradisi pengujian konstitusionalitas pasca reformasi yang merupakan

    upaya hukum yang dapat dilakukan oleh siapa saja atau lembaga mana saja, tergantung kepada

    siapa atau lembaga mana kewenangan diberikan secara resmi oleh konstitusi suatu negara.

    Lembaga-lembaga dimaksud tidak selalu merupakan lembaga peradilan, seperti dalam sistem

    Prancis, disebut Conseil Constitutionnel yang memang bukan Cour atau pengadilan sebagai

    lembaga hukum, melainkan Dewan Konstitusi merupakan lembaga politik. Jika dipakai istilah

    judicial review, maka dengan sendirinya berarti bahwa lembaga yang menjadi subjeknya

    adalah pengadilan atau lembag judicial (judiciary). Namun, dalam konsepsi judicial review,

    cakupan pengertiannya sangat luas, tidak saja menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek

    yang diuji, melainkan menyangkut pula segi-segi legalitasnya berdasarkan peraturan perundang-

    undangan dibawah Undang-Undang Dasar.2

    Seperti dijelaskan di Bab Pendahuluan, salah satu lembaga negara, hasil amandemen

    ketiga konstitusi, yang melaksanakan kedaulatan rakyat adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK

    mempunyai kedudukan setara dengan Mahkamah Agung (MA), berdiri sendiri, serta terpisah

    (duality of jurisdiction) dengan MA. Fungsi utamanya dikenal sebagai the guardian of the

    constitution (penjaga konstitusi).

    2 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi

    Press, 2006) hlm. 3

  • Seperti diketahui, sistem dan mekanisme pengujian konstitusional (constitutional

    review) itu sendiri baru saja kita adopsikan ke dalam sistem konstitusi negara kita

    dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada bulan Agustus 2003. Pengujian

    konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-sungguh

    dijalankan atau ditegakan dalam proses penyelenggaraan negara sehari-hari. Pengujian

    terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersangkutan sungguh-

    sungguh melaksanakan UUD atau tidak merupakan mekanisme yang sama sekali baru.

    Sebelumnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum dan konstitusi negara kita.

    Percobaan pertama yang kita adakan dapat dikatakan barulah muncul setelah era

    reformasi, yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/2000 yang

    memberikan kepada MPR kewenangan aktif untuk menguji konstitusionalitas undang-

    undang. Sebelum ini, prosedur pengujian (judicial review) oleh Mahkamah Agung hanya

    dibatasi pada objek peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

    Undang-Undang. Dengan demikian, pengujian oleh Mahkamah Agung itu bukanlah

    pengujian mengenai konstitusionalitas, melainkan hanya pengujian mengenai legalitas

    peraturan perundang-undangan. 3

    Lebih lanjut Jimly menegaskan, pengujian aktif (active review) yang seyogyanya akan

    dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan TAP No. III/MPR/2000 tersebut,

    sampai masa berlakunya ketetapan MPR tersebut berakhir, tidak pernah dilaksanakan karena

    memang tidak ada mekanisme yang memungkinkannya secara teknis dapat dilaksanakan.

    Sekiranyapun hal itu dapat dilaksanakan, maka niscaya apa yang dilakukannya tidak dapat

    disebut dengan istilah judicial review, melainkan merupakan legislative review karena organ

    MPR itu sendiri termasuk cabang kekuasaan judisial. Betapapun juga, meskipun bukan sebagai

    legislator atau lembaga pembentuk undang-undang, MPR adalah lembaga yang termasuk

    kategori cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas. Karena itu, pengujian konstitusional

    (constitutional review) yang seyogyanya akan dilakukan lebih tepat disebut sebagai legislative

    3 Jimly Ass.. Sejarah Constitutional Review http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-

    constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/ diunduh 21 Juli 2012

  • review on the constitutionality of law atau pengujian legislatif atas konstitusionalitas undang-

    undang.

    Ketentuan umum mengenai Mahkamah Konstitusi ini dalam UUD 1945 dicantumkan

    dalam Pasal 7B ayat (1), (3), (4), (5), dan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5),

    dan ayat (6) sebagai hasil perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Kemudian ditambah

    Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil perubahan keempat UUD 1945 pada tahun 2002.

    Berdasarkan Aturan Peralihan inilah, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia benar-benar

    dibentuk sebelum tanggal 17 Agustus 2003. Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut

    ketentuan mengenai mahkamah ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003

    menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN-RI Tahun 2003

    No. 98, dan TLN-RI No. 4316), dan Keputusan Presiden yang menetapkan 9 (sembilan) orang

    hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 15

    Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003.

    Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan dengan disaksikan oleh

    Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada hari Sabtu, tanggal 16 Agustus 2003,

    persis 1 hari sebelum tenggang waktu yang ditentukan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD

    1945. Keesokan harinya, Minggu, 17 Agustus adalah hari libur, dan hari Senin, 18 Agustus 2003,

    adalah hari upacara kenegaraan. Mulai hari Selasa, tanggal 19 Agustus 2003, kesembilan hakim

    konstitusi mulai bekerja dengan mengadakan rapat pemilihan ketua dan wakil ketua, serta hal-hal

    lain berkenaan dengan pelembagaan lembaga baru ini.

    Dengan telah terbentuk dan berfungsinya Mahkamah Konstitusi sejak tanggal 19 Agustus

    2003, maka mekanisme pengujian konstitusionalitas oleh lembaga peradilan yang tersendiri

  • dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Namun, dalam Aturan Peralihan Pasal III UUD

    1945 ditentukan pula bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17

    Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

    Artinya, sejak disahkannya naskah Perubahan Keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus

    2002 sampai dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangan judisial untuk melakukan

    pengujian konstitusional (constitutional review) itu sudah berlaku dan untuk sementara waktu

    dijalankan oleh Mahkamah Agung yang bertindak selaku Mahkamah Konstitusi Sementara.

    Terbukti pula bahwa selama masa 1 (satu) tahun sebelum Mahkamah Konstitusi

    dibentuk, di Kepaniteraan Mahkamah Agung telah pula diregistrasi 14 buah berkas perkara

    pengujian undang-undang yang diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Itu berarti,

    mekanisme pengujian konstitusional itu tidak saja diadopsikan mekanismenya dalam ketentuan

    konstitusi sejak tahun 2000, tetapi juga telah mulai diterapkan dalam kenyataan praktek sejak

    itu.4

    Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai kewenangan berwenang

    mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

    a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945;

    b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    c. memutus pembubaran partai politik; dan

    d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

    4 Ibid

  • e. memutus pendapat DPR terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diduga melakukan

    pelanggaran hukum. 5

    Hal yang krusial mengenai kewenangan MK ini, menurut Yusril Ihza Mahendara ialah

    ketika terjadi proses impeachment terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden.Keberadaan

    impeachment adalah konsekuensi dari Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan perubahan

    kewenangan MPR setelah amandemen UUD 1945. Mekanisme impeachment telah jelas

    dirumuskan dalam UUD 1945. Hal krusial ialah mengenai alasan-alasan untuk melakukan

    impeacment sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, yakni jika DPR

    berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum

    berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

    perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi

    memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.6

    Ketika saya menyiapkan RUU Mahkamah Konstitusi dan membahasnya bersama DPR,

    kami menyepakati untuk mengembalikan segala sesuatu yang dirumuskan di dalam Pasal 7B

    ayat (1) ini kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian MK

    mempunyai pedoman untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR itu dengan merujuk kepada

    bukti-bukti yang sah, agar ketentuan Pasal 7B itu tidak disalahgunakan secara politik untuk

    menjatuhkan Presiden. Masalah yang masih tersisa sehubungan dengan penjabaran ketentuan

    Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 ini ialah, apakah setelah MK katakanlah memutuskan bahwa

    pendapat DPR adalah benar, apakah Presiden dan/atau wakil Presiden masih dapat diadili di

    peradilan umum untuk dijatuhi sanksi pidana atas kesalahannya. Walaupun MK telah

    memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan kesalahan, namun secara politik

    5 Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pasal 10 ayat 1 dan 2

    6 Yusril Ihza Mahendra, Praktik Ketatanegaraan Kita Ke Depan,

    http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/24/praktek-ketatanegaraan-kita-ke-depan/ diunduh 1 September 2013

  • belum tentu MPR akan memutuskan untuk memberhentikan Presiden. Segalanya tergantung

    pada keputusan MPR sebagaimana diatur di dalam Pasal 7B ayat (3), (7) dan (8) UUD 1945.7

    Menurut Jimly, pengujian atas UU dilakukan dengan tolok ukur UUD. Pengujian dapat

    dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU,

    sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan

    dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat

    ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian

    mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang

    berlaku atau tidak.8

    Dalam memahami persoalan sengketa kewenangan antar lembaga negara, yang

    dipersoalkan bukan subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang dipersengketakan,

    yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau disebut sebagai kewenangan

    konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh

    UUD kepada organ-organ yang disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam

    pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam

    UUD itu, maka Mahkamah

    Konstitusilah yang dianggap paling tahu apa maksud konstitusi memberikan

    kewenangan-kewenangan tersebut kepada lembaga yang mana di antara yang

    bersengketa.

    Mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik menurut Jimly, haruslah ditempuh

    melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang diberi hak standing untuk menjadi pemohon

    dalam perkara pembubaran partai

    politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang

    berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan

    pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, prinsip

    kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik

    7 Ibid.

    8 Jimly Asshiddiqie Kedudukan Mahmakah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,

    http://jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia/ diunduh 1 September 2013

  • yang pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain yang kebetulan

    memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat pula dihindarkan

    timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum

    memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak

    sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.

    Selanjutnya, terkait, soal perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang

    telah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih

    perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa

    selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka

    perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

    Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan

    beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh

    Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan

    pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tersebut tidak

    beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak.

    Ketentuan-ketentuan demikian itu berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, pemilihan

    anggota DPD, pemilihan anggota DPRD (kabupaten/kota ataupun provinsi), maupun untuk

    pemilihan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres/cawapres).

    Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah

    resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat

    DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa

    pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan

    tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi

    syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah

    Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang

    memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat.

    Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a)

    bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau

    Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,

    terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan

  • menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar

    itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden

    dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada MPR.

    Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan

    pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi

    memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan MK itu bersifat final

    dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat

    pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut.

    Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di

    tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang

    bersangkutan tetap berada di tangan MPR. Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada

    saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu

    sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat

    bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas

    bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan

    MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar

    konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden

    sebagai pihak termohon, yaitu benar- tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan

    bertanggungjawab.9

    9 Ibid.

  • BAB III

    KESIMPULAN

    Berkenaan dengan pembahasan tersebut, memang dapat dikemukakan pula bahwa

    kehadiran Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sangat penting untuk menciptakan keadilan

    dalam kehidupan bernegara serta tetap menjaga koridor undang-undang sesuai dengan Undang-

    Undang Dasar.

    Ini sejalan dengan prinsip negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD

    19451 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan penjelasan umum

    UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa

    negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka

    (machtstaat).

  • SUMBER BACAAN

    Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstisusi

    Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

    Asshiddiqie, Jimly dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

    Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Press, 2010

    _______________,Sejarah Constitutional Review http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-

    mk/ diunduh 21 Juli 2012

    _______________, Kedudukan Mahmakah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, http://jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia/ diunduh 1 September 2013

    Mahendra Yusril Ihza, Praktik Ketatanegaraan Kita Ke Depan, http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/24/praktek-ketatanegaraan-kita-ke-depan/ diunduh 1

    September 2013