Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
129
Lampiran 1: Form Kelengkapan Karya Tugas Akhir
130
Lampiran 2: Form Kelayakan Mengikuti Sidang Akhir
131
Lampiran 3: Form Berita Acara Bimbingan Tugas Akhir
132
Lampiran 4: Wawancara dengan Perajin “Téng-téngan”
Transkrip Wawancara 4 Februari 2018 P = Pewawancara (Tjhin, Noviyanti)
J = Junarso
P : Apa saja bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatan “Téng-téngan”?
J : Ini bahannya bambu, terus apa, jarum, sama ini peniti, peniti yang jepit itu
lho. Sama kawat untuk atas ini. Kertas koran, majalah, sama ini kertas
minyak.
P : Terus ini muternya pakai apa ya, Pak?
J : Dikasih lilin. Karena uap jadi muter gitu ya.
J : Kalau boleh tahu, dari mana tahu “Téng-téngan”?
P : Oh, dari berita, Pak.
J : Kampung sini sudah, ya apa, istilahnya itu cikal bakalnya ini. Jadi tradisi
yang sudah lama.
P : Oh, berarti ayah bapaknya juga bikin “Téng-téngan” ini?
J : Iya. Jadi kerajinan ini turun temurun. Setiap puasa atau Ramadan pasti
keluar.
P : Kalau Bapak sendiri sudah jualan “Téng-téngan” dari kapan?
J : Kalau saya dulu jualan dari kelas 3 SD. Saya jualan itu, jadi begini,
istilahnya itu, dari pertama belajar dulu, setelah itu kan sudah tahu
caranya, terus anak-anak lain yang udah dapet kerja itu kan ga muncul
lagi. Jadi “Téng-téngan” ga punya regenerasi dan saya inisiatif buat
ngelanjutin.
P : “Téng-téngan” ini apakah selalu sama sejak awal muncul?
J : Iya. Dari dulu sudah bisa muter. Kitirannya juga udah di atur arah
muternya selalu searah jarum jam.
133
Lampiran 4: Wawancara dengan Perajin “Téng-téngan” (sambungan)
P : Apa fungsi “Téng-téngan” yang selalu muncul bulan Ramadan ini, Pak?
J : Buat pajangan, buat mainan. Buat takbir juga kadang-kadang, takbir
keliling itu lo, dibawa begitu.
P : Kenapa kok munculnya setiap bulan Ramadan gitu, kenapa ga setiap hari
dijualnya?
J : Wah ga laku kalau begitu. Yang udah umum, di daerah-daerah itu, setiap
ada Ramadan, pasti ada lampion seperti ini.
P : Apakah bentuknya selalu seperti ini? Apa ada variasi bentuk yang lain?
J : Ya bisa divariasi, tinggal pesannya. Bisa lebih kecil, bisa dibikin segitiga,
tergantung permintannya. Kertas di dalamnya ini, kalau mau, juga bisa
diganti dengan kain yang keras itu lo. Tapi umumnya selalu pakai kertas.
P : Berarti kalau langsung beli, tanpa memesan, bentuknya selalu sama?
J : Iya, betul. Tapi kadang bisa divariasi. Warna kertas minyaknya ga harus
merah putih. Bisa biru, bisa hijau, bisa kuning, bisa apa aja pokoknya. Jadi
untuk variasi supaya tidak bosan. Kadang ada cagaknya juga. Kalau ada
cagaknya harganya bisa lebih mahal.
P : Kalau boleh tahu, harga “Téng-téngan” yang umum ini berapa, Pak?
J : Kalau yang umum ini harganya Rp15.000,00. Yang sering dijualkan sama
anak-anak sini. Kadang kalau orang kasian bisa kasih Rp20.000,00.
P : Kalau gambar di dalamnya ini juga bisa variasi tergantung pesanan?
J : Iya benar. Kalau yang permintaan istimewa itu bisa gambar wayang,
harganya lebih mahal juga karena gambarnya lebih sulit.
P : Kalau beli langsung, biasa ada gambar apa saja, Pak?
J : Macam-macam. Satu “Téng-téngan” gambarnya bisa campur-campur
begitu. Bisa hewan, mobil, pokoknya yang anak-anak senang.
134
Lampiran 4: Wawancara dengan Perajin “Téng-téngan” (sambungan)
P : Awalnya kok bisa muncul “Téng-téngan” ini, gimana ya, Pak?
J : Yang pertama kali buat itu namanya Bapak Sudarno sama Suhadi. Ya dia
ya sekolah tapi ingin wiraswasta gitu lo. Setiap kali bulan puasa dia bikin
gini. Anak-anak seperti saya ini, kan masih umur antara 13 sampai 14
tahun, biasa jualin. Setelah itu lama-lama jadi tradisi. Cuman dulu itu
harganya masih Rp20,00. Dari Rp20,00 sampai Rp25,00, Rp25,00 sampai
Rp35,00, dan seterusnya sampai harga sekarang. Karena bahannya kan tiap
tahun juga naik.
P : Biasanya jual “Téng-téngan” di mana saja, Pak?
J : Saya keliling kampung-kampung. Sampai jauh-jauh. Mbaknya ini
rumahnya di mana?
P : Saya di Genuk, Pak.
J : Nah, saya juga biasa keliling sampai Genuk sana. Sampai Banget Ayu.
Nanti kalau ketemu orang ditawarin, begitu. Kadang ada juga pembeli
yang tertarik dan pesan lebih banyak. Yang keliling biasanya yang masih
kuat-kuat, bisa anak-anak kelas 4, kelas 5, atau 10 tahun, 15 tahun itu
sudah jualan.
P : Kalau pesanan, selain dari pembeli di sani, biasa datang dari mana saja,
Pak?
J : Kadang-kadang dari luar kota juga ada, Mbak. Pas hari Lebaran itu lo,
Mbak, kan orang pada heran bisa ada lampion. Anak-anak waktu jualan di
jalan, pas kebetulan ada wartawan, difoto, terus masuk surat kabar, TV.
Jadi orang-orang luar kota pada tahu, terus kerumah saya, cari Pak Arso
mana gitu, dan pesan “Téng-téngan”.
Ga cuman itu, kadang-kadang di kelenteng juga pakai “Téng-téngan” ini.
Kalau ada acara gitu, datang ke sini, pesan “Téng-téngan” ini. Tapi ga
banyak, biasa tiga atau dua buah, tapi yang super besar. Dulu pernah juga
Sam Po Kong itu ngambil sini sampai 300-an lebih.
135
Lampiran 4: Wawancara dengan Perajin “Téng-téngan” (sambungan)
P : Kalo untuk kelenteng bentuknya tetap seperti yang biasa atau bagaimana,
Pak?
J : Kalau itu tinggal pesanannya bagaimana. Tapi tetap ada gambar yang bisa
muter di dalamnya. Gambarnya bisa naga, dan lain-lain begitu.
P : Biasanya kalau Ramadan berarti banyak yang pesan gitu, Pak?
J : Iya ga banyak sih, Mbak. Lebih banyak dijual keliling sama anak-anak.
P : Biasanya dalam satu hari bisa membuat berapa “Téng-téngan”?
J : Dalam satu hari minimal bisa 150, 100 gitu.
p : Berapa orang yang mengerjakannya?
J : Banyak orang. Dibantu anak-anak. Itupun kadang berebut anak-anaknya.
Kalau habis jualan datang awal, dia bantu bikin. Kalau udah biasa maku-
maku gitu ya, dia bikin sendiri. Biar dapat dagangan gitu.
P : Apakah Bapak sudah ada penerusnya gitu apa tidak? Kan ini tinggal dua
orang saja ya, Pak.
J : Siapa saja yang berminat, Mbak. Yang berminat itu cuman kampung sini.
Jadi ga ada yang laennya gitu. Biasanya sih yang dulu-dulunya ikut jualan,
kan dia sudah berpengalaman. Ingin berdiri sendiri begitu, jadi kalau nanti
saya sudah uzur, seharusnya sudah ada penggantinya.
P : “Téng-téngan” ini hanya ada di kampung ini saja ya, Pak?
J : Iya. Kampung-kampung lain ada yang coba buat juga tapi ga bisa muter
lancar begitu. Bikinnya sudah bener, cuman dalemannya itu dia belum bisa
menguasai. Cara bikin kitirannya itu, lo. Jadi ada tekniknya tersendiri,
tidak segampang yang dibayangkan. Yang pasti intinya yang
menggerakkan itu uap dari lilin. Terus tekukan ini juga adalah rahasianya.
Lilinnya juga kalau ketinggian, nanti bisa terbakar. Jadi harus pendek
begini, satu lilin dibagi tiga.
136
Lampiran 4: Wawancara dengan Perajin “Téng-téngan” (sambungan)
P : Bapaknya sendiri sehari-hari, kalau bukan bulan Ramadan, pekerjaannya
apa?
J : Saya serabutan gitu, Mbak. Kadang tukang becak, kadang yang lainnya.
P : Satu “Téng-téngan” ini buatnya bisa berapa lama, Pak?
J : Kalau sudah pengalaman ya ga sampai satu jam, Mbak. Yang lama itu
bikin kitirannya, sama gambar di dalamnya. Gambar di dalamnya ini cara
buatnya dijiplak, ditumpuk-tumpuk, terus digedokin sama palu, jadi sekali
buat bisa banyak. Nda satu-satu. Kalau satu-satu kelamaan.
P : Nama “Téng-téngan” sendiri asalnya dari mana, Pak?
J : Belum ada yang tahu pasti, Mbak. Tapi banyak yang bilang “Téng-téngan”
ini kan munculnya waktu bulan puasa. Biasanya anak-anak nunggu
berbuka puasa itu kan mainan “Téng-téngan” ini di depan rel kereta.
Waktu kereta lewat ada bunyi Teng... teng... teng.... Jadi supaya gampang
anak-anak ngomognya “Téng-téngan”. Ada yang bilang karena cara
bawanya ditenteng jadi namanya “Téng-téngan”.
137
Lampiran 5: Wawancara dengan Warga Kampung Purwosari Perbalan
Transkrip Wawancara 1 April 2018 P = Pewawancara (Tjhin, Noviyanti)
W = Wiwid
P : Apa bapak biasa bantu Pak Arso buat “Téng-téngan”?
W : Iya, Mbak. Setiap Arso buat, saya selalu bantu. Jadi saya juga sudah tahu
cara buatnya.
P : Biasanya beli bahan-bahan “Téng-téngan” di mana, Pak?
W : Di Pekojan, Mbak kalau kertasnya. Kalau bambunya biasa beli di pasar
dekat kampung sini. Bambunya utuh nanti dipotong-potong. Panjang
bambunya bisa sampai 6 meteran buat 100 “Téng-téngan”.
P : Waktu membuat “Téng-téngan” ini apa aja yang perlu diperhatikan ya,
Pak?
W : Kertas buat gambarnya ini, Mbak, jangan tebal-tebal. Nanti kalau
ketebalan ga bisa nempel di bambunya. Terus buat makunya ini harus
pakai paku khusus yang namanya paku cabe, biasanya buat paku di sepatu.
Kalau ga pakai paku ini nanti bambunya bisa pecah. Terus lilinnya jangan
panjang-panjang, nanti baling-balingnya bisa kebakar. Satu lilin dibagi tiga
seharusnya. Terus lemnya ini pakai lem kanji, Mbak. Kalau banyak bisa
pakai lem kayu, tapi harus diencerkan dulu supaya cepat kering.
Waktu bikin bagian dalemnya ini ukurannya harus pas. Kalau
kepanjangan, kependekan, kebesaran, atau kekecilan, nanti gambarnya ga
jelas dan ga bisa pas ditengah kayak gini.
P : “Téng-téngan” ini apakah ada variasi bentuknya? Apa selalu sama
bentuknya seperti ini?
W : Kalau variasinya ya biasanya ditambahi hiasan-hiasan. Kalau tahun ini
ditambah cagak gini. Tahun kemarin pakai rumbai-rumbai di bintangnya
ini, Mbak. Tapi karena jelek, terus susah buatnya, jadi diganti.
138
Lampiran 5: Wawancara dengan Warga Kampung Purwosari Perbalan
(sambungan)
Tiap tahun hiasannya ganti, Mbak, supaya ga bosen. Tapi kalau bentuknya
selalu sama segi delapan seperti ini. Gambar di dalamnya ini juga bisa
ditambah, ga cuman lima seperti ini. Dulu porosnya untuk muter ini,
Mbak, pakai kaca seperti ini. Sekarang diganti kancing cetit ini. Terus dulu
waktu awal muncul juga pakainya minyak kelapa, bukan lilin.
P : Apakah Bapak tahu biasanya yang pesan “Téng-téngan” ini dari mana
saja?
W : Banyak, mbak. Ada dari sekolah-sekolah, festival seperti festival Banjir
Kanal Barat itu juga pernah pesan disini. Biasanya mereka pesan yang
ukurannya besar-besar.
P : Waktu bulan puasa nanti, apa jualan “Téng-téngan” setiap hari, Pak?
W : Tiap hari pasti jualan, Mbak. Biasanya yang jualan anak-anak atau perajin
yang bisa bikin juga, supaya kalau rusak tengah jalan bisa dibenerin.
Orang dewasa bisa bawa 20-an “Téng-téngan” sekali jalan. Kalau anak-
anak ya bisa bawa 10-12 biji.
P : Apa waktu Ramadan warga-warga kampung sini juga pasang “Téng-
téngan”?
W : Iya biasanya pasang, Mbak, kalau mau pasang.
P : Kalau perajin di sini sendiri apakah kebanyakan sudah orang tua, Pak?
W : Iya, Mbak. Yang muda-muda jarang. Pasti lebih milih keluar kampung
terus cari kerja di luar. Paling-paling yang anak muda yang biasa bantu ya
anak-anaknya perajin, seperti anaknya Pak Arso ini.