6
Perempuan dalam dunia politik R Ratna Purnama Jum'at, 21 Juni 2013 00:16 WIB Sindonesws.com - Kendati perempuan telah masuk dan duduk di dunia politik namun perannya belum dinilai maksimal. Pasalnya, terdapat sejumlah kendala yang menghambat langkah perempuan dalam dunia politik. Misalnya saja kendala dalam pribadi yang bersangkutan. Atau dengan kata lain kurangnya kesadaran dari perempuan yang berkecimpung dalam politik untuk lebih peka terhadap pengambilan kebijakan. "Kendala lainnya karena adanya aturan dalam patai politik tertentu yang tidak memperbolehkan perempuan untuk duduk di pucuk pimpinan atau di lini tertentu," kata peneliti Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Dirga Ardiansa, di Fisip UI, Depok, Kamis (20/6/2013). Kendala lain yang dicatat Puskapol UI yaitu, pada proses pemilihan dalam pencalonan hingga peran mereka sebagai representasi perempuan Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Misalnya saja pada pemilihan 2009 partisipasi calon legislatif perempuan memang sudah sesuai dengan Undang-undang yang mengharuskan 30 persen perempuan, yaitu 33,6 persen. Namun, jumlah yang tidak signifikan itu hanya lolos meraih kursi anggota DPR RI hanya sebanyak 18.4 persen atau 103 kursi dari 663 anggota DPR," ucapnya. Menurut dia, salah satu akibatnya dikarenakan penempatan nomor urut. Dalam pemilihan nomor urut 1 selalu ditempat laki-laki. Dikatakan penentuan nomor urut sangat mentukan tingkat keterpilihan perempuan. Berdasarkan pemilihan umum 2009, sebanyak 93 persen caleg perempuan DPR RI yang lolos adalah yang bernomor urut 1-3. Semntara di DPRD Provinsi ada 85 persen dan DPRD Kota/Kabupaten 82 persen. Hal ini

Lampiran Marcha

Embed Size (px)

DESCRIPTION

analisis smi

Citation preview

Page 1: Lampiran Marcha

Perempuan dalam dunia politikR Ratna PurnamaJum'at,  21 Juni 2013  −  00:16 WIB

Sindonesws.com - Kendati perempuan telah masuk dan duduk di dunia politik namun perannya belum dinilai maksimal. Pasalnya, terdapat sejumlah kendala yang menghambat langkah perempuan dalam dunia politik.

Misalnya saja kendala dalam pribadi yang bersangkutan. Atau dengan kata lain kurangnya kesadaran dari perempuan yang berkecimpung dalam politik untuk lebih peka terhadap pengambilan kebijakan. 

"Kendala lainnya karena adanya aturan dalam patai politik tertentu yang tidak memperbolehkan perempuan untuk duduk di pucuk pimpinan atau di lini tertentu," kata peneliti Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Dirga Ardiansa, di Fisip UI, Depok, Kamis (20/6/2013).

Kendala lain yang dicatat Puskapol UI yaitu, pada proses pemilihan dalam pencalonan hingga peran mereka sebagai representasi perempuan Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Misalnya saja pada pemilihan 2009 partisipasi calon legislatif perempuan memang sudah sesuai dengan Undang-undang yang mengharuskan 30 persen perempuan, yaitu 33,6 persen. Namun, jumlah yang tidak signifikan itu hanya lolos meraih kursi anggota DPR RI hanya sebanyak 18.4 persen atau 103 kursi dari 663 anggota DPR," ucapnya.

Menurut dia, salah satu akibatnya dikarenakan penempatan nomor urut. Dalam pemilihan nomor urut 1 selalu ditempat laki-laki. Dikatakan penentuan nomor urut sangat mentukan tingkat keterpilihan perempuan.

Berdasarkan pemilihan umum 2009, sebanyak 93 persen caleg perempuan DPR RI yang lolos adalah yang bernomor urut 1-3. Semntara di DPRD Provinsi ada 85 persen dan DPRD Kota/Kabupaten 82 persen. Hal ini menandakan tingginya tingkat keterpilihan mereka sesuai nomor urut. "Jadi nomor urut itu penting dan mendukung," ungkapnya.

Sumber : http://nasional.sindonews.com/read/752264/12/perempuan-dalam-dunia-politik-1371748559 diakses pada Minggu, 22 Maret 2015 pukul 21:48

Analisis : 

Seperti yang sudah dikatakan di dalam artikel bahwa representasi jumlah perempuan sudah sesuai dengan yang di atur dalam undang-undang yaitu mengharuskan terdapat minimal 30 persen perempuan di dalam pemilu legislative, namun hanya 18,4 persen saja yang mendapat kursi sebagai anggota DPR RI. Menurut saya, walaupun sistem nya sudah mendukung (undang-undang dan kebijakan yang melindungi dan mendukung perempuan) tetap saja masih ada hal yang bernama 

Page 2: Lampiran Marcha

ideologi. Ideologi patriarki yang masih mendiami pikiran kebanyakan masyarakat lah yang menyebabkan perkembangan perempuan di dunia politik masih terhambat (jika dilihat dari artikel). Banyak masyarakat yang mungkin masih berpikir bahwa para laki-laki lah yang lebih pantas untuk bergelut di dunia politik, ini lah yang di sebut dengan ideologi patriarki. Cara untuk mengurangi ideologi ini adalah dengan menyadarkan masyarakat, artinya harus berasal dari kesadaran masyarakat itu sendiri bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama. Selain kesadaran diri itu, kaum perempuan juga harus lebih berusaha untuk menunjukkan kemampuan dan eksistensi nya agar tidak kalah dari kaum laki-laki sehingga bisa menjadi lawan yang tangguh di dunia politik yang selama ini notabene nya dikuasai oleh laki-laki. 

Keterbatasan Emansipasi Politik Perempuan – Artikel Pendapat Koran TEMPO 21 April 2011

Walaupun perempuan mendominasi 53 % dari 250 juta penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus 2010  dan telah banyak berkontribusi banyak kepada pembangunan di segala bidang, namun representasi politik perempuan sendiri masih berada dalam posisi tidak setara dengan politiknya kaum pria. Hal itu dapat terindikasi dari masih dominannya jumlah politisi laki – laki yang duduk di parlemen nasional sebanyak 81 % sementara perempuan hanya tersisa 18 % saja (UNDP, 2011). Adapun representasi politik perempuan di parlemen lokal pun hasilnya juga tak jauh berbeda, hanya berkisar di angka 16, 47 % saja. Meskipun pemerintah dan DPR sudah berupaya untuk meningkatkan angka representasi politik perempuan dalam paket UU Politik sebesar 30 %, namun hal tersebut hanya politik pencitraan semata dan minim implementasinya. Adapun jumlah politisi perempuan yang duduk di DPR sendiri sangatlah bervariasi tergantung partainya.

Tercatat, bahwa dari sembilan fraksi partai tidak satu pun yang menaati aturan 30 % representasi politik perempuan tersebut. Perwakilan perempuan terendah di DPR RI adalah Partai Keadilan Sejahtera yang jumlahnya 5,3 persen, sementara Partai Demokrat memiliki keterwakilan tertinggi sebesar 24,3 persen. Adapun ketidak patuhan para partai politik atas aturan 30 % menjadikan kuota itu tidak sungguh-sungguh menciptakan ruang politik bagi perempuan di DPR, karena pada akhirnya kuota itu hanya dipakai untuk mentarget jumlah tertinggi. Kuota representasi 30 persen sendiri merupakan angka semu yang hanya digunakan untuk menggenapi jumlah kesetaraan gender anggota DPR, namun kuota 30 persen itu sendiri tidak menyentuh meningkatkan partisipasi politisi perempuan dalam pembuatan UU maupun kebijakan lainnya dan meningkatkan posisi tawar politik perempuan atas kebijakan publik tertentu yang sebenarnya itulah inti sebenarnya dari penerapaan kuota 30 persen representasi politik perempuan.

Diskriminasi Politik Perempuan

Page 3: Lampiran Marcha

Adapun hingga kini masih banyak perempuan yang enggan untuk menyuarakan aspirasinya ke DPR maupun DPRD karena menganggap bahwa politik merupakan arenanya kaum laki – laki. Walaupun kini sudah terdapat kenaikan jumlah perempuan yang duduk di parlemen, akan tetapi politisi perempuan sendiri secara tidak langsung masih merasakan kultur tradisional yang masih membalut eksistensi politik mereka di hadapan politisi laki – laki. Adapun kultur tradisional tersebut bersumber pada tiga hal yakni  budaya Indonesia bersifat feodalistik dan patrialkal; kedua, masyarakat Indonesia memiliki pemahaman dan penafsiran yang konservatif tentang ajaran-ajaran agama; ketiga, hegemoni Negara masih sangat dominan (Nurland, 2004), hal ini tercermin pada lembaga-lembaga negara yang melestarikan budaya partriarkis di segala tingkatan kultur patriarki dan sistem politik yang ada berdampak sangat negatif terhadap kaum perempuan yang berusaha melaksanakan hak mereka untuk berpartisipasi secara politis. Dalam masyarakat tradisional Indonesia, perempuan tidak didorong untuk berperan aktif dalam kehidupan publik; keterampilan dan bakat mereka lebih diakui di dalam lingkungan rumah tangga yang sangat pribadi sifatnya. Dikotomi ini masih dipelihara, bahkan dalam Era Reformasi sekarang ini (Seda, 2004).

Adapun produk UU yang dibuat oleh DPR selama ini belum menghasilkan UU yang benar – benar pro gender karena posisi politisi perempuan sendiri justru mengalami maskulinisasi politik untuk memperjuangkan hak – hak perempuan dalam UU. Para politisi perempuan sendiri cenderung untuk menuruti kemauan politik para politisi laki-laki yang selama ini cenderung menampikan isu-isu gender untuk dibahas dalam sidang DPR. Adapun langkah dilematis para politisi perempuan antara memperjuangkan hak perempuan dan menjaga eksistensi mereka agar diakui oleh politisi laki – laki mengakibatkan terhentinya pembahasan UU yang pro-gender seperti halnya UU KDRT, UU Kesehatan Ibu & Anak, UU TKW, UU Pemberdayaan Perempuan, dan lain sebagainya.

Sehingga yang terjadi adalah pragmatisme politik dalam memperjuangkan emansipasi perempuan karena mayoritas politisi perempuan kini lebih banyak bermain “aman” dan tidak bersikap kritis demi menjaga posisi kursi mereka dan mendukung setiap langkah politik politisi laki-laki. Maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa,  masalah utama yang dihadapi perempuan dalam dunia politik dalam memperjuangkan emansipasinya mencakup ketegangan antara status askriptif dengan achieved status yang merupakan akibat dari proses sosialisasi politik perempuan. Status askriptif sendiri dimaknai sebagai personifikasi politik perempuan sendiri yang masih minder dengan dunia politik yang identik dengan kekerasan karena sidang-sidang DPR maupun DPRD  yang masih sarat konflik dan sesekali diwarnai kekerasan fisik, serta pergulatan tanpa henti untuk memperebutkan kedudukan dan kekuasaan merupakan beberapa hal yang menciutkan nyali perempuan untuk terjun dalam bidang politik. Mereka lebih suka menjauhkan diri dari politik kotor seperti yang dipertontonkan para politisi laki – laki tersebut. Adapun achieved status sendiri berkaitan dengan posisi ganda yang dialami perempuan untuk terjun sebagai wanita karir dalam bidang politik karena prestasinya mereka hanya bisa diakui kalau mereka sendiri mampu mengurusi urusan domestik rumah tangga terlebih dahulu, baru kemudian bicara representasi politik perempuan.

Sosialisasi Efektif

Page 4: Lampiran Marcha

Rendahnya representasi sekaligus partisipasi politik perempuan itu sendiri bisa ditanggulangi dengan sosialisasi efektif yang dilakukan oleh media, LSM, dan pemangku kepentingan yang menaruh konsens pada perempuan. Sosialisasi tersebut bermula dengan mereduksi kultur tradisional yang terlebih dahulu menjangkiti politik perempuan sehingga kemudian basis dasar untuk mewujudkan secara riil emansipasi politik perempuan di era modern kini.

Analisa :

Dari artikel di atas dapat saya simpulkan bahwa penyebab rendah nya emansipasi politik perempuan di akibatkan oleh sistem yang lemah dan rendah nya kualitas daya saing perempuan. Yang saya maksud dengan sistem yang lemah adalah undang-undang mengenai jumlah minimal perempuan dalam legislatif yaitu 30 persen masih saja diabaikan dalam implementasi nya. Semua fraksi yang ada di dpr jumlah anggota legislatif perempuan nya tidak sampai 30 persen, jumlah tertinggi representasi perempuan dalam sebuah fraksi adalah 24,3 persen yaitu fraksi demokrat. Pemerintah pun sepertinya tidak peduli akan hal ini karena tidak ada sanksi yang dijatuhkan kepada tiap-tiap fraksi dalam lembaga legislatif tersebut. 

Yang kedua adalah rendah nya kualitas daya saing perempuan, dari artikel di atas dilansir bahwa kebanyakan perempuan yang sudah menjadi anggota legislatif tidak terlalu konsen terhadap masalah partisipasi kaum perempuan / emansipasi karena takut dijatuhkan oleh lawan politiknya sehingga kebanyakan dari mereka memilih main “aman” daripada harus kehilangan jabatan mereka. Hal ini menunjukkan rendah nya kualitas yang dimiliki oleh perempuan, seharusnya mereka lebih berani dan tidak perlu memikirkan akan jabatan nya.

Kedua penyebab tersebut bisa ditanggulangi dengan cara meningkatkan sistem punishment dalam implementasi undang-undang dan kebijakan yang melindungi perempuan serta meningkatkan kualitas perempuan dengan cara sosialisasi efektif yang dilakukan melalui LSM seperti komnas wanita.

Sumber : http://wasisto-raharjo.blog.ugm.ac.id/2012/06/20/keterbatasan-emansipasi-politik-perempuan-artikel-pendapat-koran-tempo-21-april-2011/