Upload
rafa-consul
View
43
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Ekonomi makro
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Ekonomi Makro
2.1.1.1 Pengertian dan Sejarah berkembangnya Ekonomi Makro
Makro ekonomi adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang membahas
perilaku perekonomian secara agregat, misalnya kemakmuran dan resesi, output
barang dan jasa, total perekonomian, laju pertumbuhan output, laju inflasi dan
pengangguran, neraca pembayaran dan juga nilai kurs ( Dornbusch, Stanley, dan
Mulyadi, 1996:3)
Ekonomi makro terbentuk dari adanya kemerosotan ekonomi dunia yang
berawal dari adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat tahun 1932. Pada saat itu
hampir 25 % masyarakat Amerika kehilangan pekerjaannya dan berakibat pada
merosotnya angka pendapatan nasional negara tersebut. Tentu saja hal ini
menjalar dan meluas ke seluruh dunia. Pada saat itu tidak ada satu teori atau
ajaran ekonomi yang mampu memecahkan masalah depresi ekonomi tersebut. Hal
ini semakin menyadarkan para ahli ekonomi saat itu bahwa ekonomi tidak dapat
hanya tergantung pada mekanisme pasar saja, karena mekanisme pasar tidak
mampu menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang baik dan stabil. Seorang ahli
ekonomi yang sekaligus pada saat itu bertugas sebagai Presiden World Bank
mengemukakan pandangannya terhadap krisis ekonomi yang dihadapi dunia saat
Universitas Sumatera Utara
itu. Dalam buku yang berjudul The General Theory of Employment, Interest, and
Money, John Maynard Keynes mengatakan bahwa pada saat itu untuk
memecahkan masalah ekonomi suatu perekonomian tidak boleh hanya tergantung
pada mekanisme pasar saja tetapi membutuhkan juga campur tangan pemerintah
didalamnya. Pandangan John Maynard Keynes dalam bukunya tersebut menjadi
awal ataupun landasan lahirnya teori ekonomi makro modern.
2.1.1.2 Masalah dalam Ekonomi Makro
Di setiap negara di dunia ini tentu kegiatan perekonomiannya tidak selalu
stabil, apalagi dengan ruang lingkup yang sangat luas setiap negara pasti
mempunyai kendala ataupun masalah tersendiri. Namun bila diklasifikasikan lagi
masalah masalah yang dihadapi oleh tiap negara di dunia dapat dikelompokkan
menjadi 3 masalah pokok. Menurut Bakti, Rakhmat, dan Syahrir (2010:12)
kebijakan makro ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah sebagai keiikutsertaan
pemerintah dalam memacu kehidupan ekonomi selalu dihadapkan kepada masalah
pertumbuhan, inflasi, dan pengangguran sebagai central issues macroeconomic.
Dengan kata lain bahwa yang menjadi masalah pokok dalam ekonomi makro dan
mencakup keseluruhan variabel variabel dalam ekonomi makro adalah masalah
pertumbuhan, inflasi dan pengangguran.
Selain masalah pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan masalah inflasi,
masalah yang sering dihadapi oleh setiap negara di dunia adalah masalah
ketidakstabilan kegiatan ekonomi dan masalah neraca perdagangan dan neraca
pembayaran”.
Universitas Sumatera Utara
Untuk lebih jelas mengenai masalah masalah yang akan dihadapi oleh
perekonomian suatu negara dapat terlihat jelas dari gambar berikut ini:
Gambar 2.1. Masalah dalam Ekonomi Makro
Sumber: Bakti, Rakhmat, dan Syahrir (2010:13)
Investasi
Pengangguran
Interest rate
Money supply
Inflasi
a. GNP b. Konsumsi
Masyarakat c. Konsumsi
pemerintah d. Investasi e. Ekspor f. Impor
Interest Rate Wages Employment
Pertumbuhan
1. Neraca Pembayaran
2. Current Account 3. Capital account 4. Exchange rate
system Fixed
Floating
Devaluasi
Revaluasi
Appresiasi
Depresiasi
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.3 Tujuan Kebijakan Ekonomi Makro
Kebijakan ekonomi yang dirumuskan oleh pemerintah tentu harus
disesuaikan dengan tujuan ataupun target apa yang harus dicapai dengan
kebijakan yang akan dibuat tersebut. Oleh karena itu sebelum memutuskan
kebijakan apa yang harus digunakan dalam perekonomian harus terlebih dahulu
ditentukan target dan tujuan yang hendak dicapai, sehingga dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Kelana
(1996:7) secara umum ada beberapa aspek yang menjadi tujuan kebijakan
makroekonomi dan merupakan pilihan tersendiri bagi setiap Negara. Hal ini
diakibatkan oleh berbedanya tujuan dan sasaran ekonomi suatu Negara tergantung
pada kondisi dan keadaan ekonomi di Negara tersebut. Tujuan yang dimaksudkan
antara lain:
1. Menciptakan Tingkat Harga yang Stabil.
Banyak orang mengartikan harga yang stabil sebagai harga yang selalu
konstan (constant price). Namun bila dilihat lebih jauh, harga yang stabil
bukan berarti harga selalu konstan namun tingkat fluktuasinya lebih kecil
atau jarang. Stabilitas harga merupakan tujuan yang penting. Fluktuasi
harga yang tinggi tentu akan meningkatkan risiko pada dunia usaha.
Sebagai contoh di bidang properti (perumahan). Untuk membangun suatu
perumahan tentu dibutuhkan bahan baku dan tenaga kerja. Tentu harga
bahan baku dan tenaga kerja tidak akan selalu sama pada berbagai periode
waktu. Kontrak yang dilakukan pengembang dengan tenaga kerja tentu
dipengaruhi oleh perubahan harga. Demikian juga dengan bahan baku,
Universitas Sumatera Utara
harga dari bahan bahan bangunan akan sangat dipengaruhi oleh kestabilan
perubahan harga dari waktu ke waktu. Kestabilan harga akan memudahkan
pengembang merencanakan pembangunan perumahan sesuai dengan yang
diharapkannya. Dan dengan demikian akan semakin meningkatkan gairah
dunia usaha perumahan kedepannya.
2. Memaksimalkan Tenaga Kerja dan Output
Mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment)
merupakan cita cita setiap negara di dunia . Namun pada umumnya tidak
ada satu negara pun didunia yang mampu mewujudkan adanya
penggunaan tenaga kerja penuh. Walaupun memaksimalkan output
cenderung mendorong tercapainya tujuan penggunaan tenaga kerja
kapasitas penuh (full employment) namun kebijakan kebijakan yang
dirumuskan oleh pemerintah dengan menambah pengeluaran aggregat
(output) hanya mampu mengurangi jumlah pengangguran tetapi tetap tidak
mampu untuk menciptakan perekonomian dengan penggunaan tenaga
kerja penuh.
3. Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan dambaan bagi setiap Negara di dunia.
Namun pertumbuhan ekonomi yang diharapkan biasanya harus diikuti
dengan adanya stabilitas, keadilan ekonomi (economic equality) serta
distribusi pendapatan yang merata di setiap wilayah yang ada di Negara
tersebut. Disamping itu, adanya peningkatan populasi manusia dan
kebutuhan yang tidak terbatas mendorong perekonomian untuk selalu
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan produksi barang dan jasanya dan akan semakin
memungkinkan penambahan jumlah tenaga kerja yang terserap dalam
memproduksi barang tersebut. Sehingga pertumbuhan ekonomi akan
terjadi di Negara tersebut dan akan lebih baik jika diikuti dengan distribusi
pertumbuhan yang merata.
4. Mengukuhkan Neraca Pembayaran (Stabilitas Neraca Pembayaran)
Stabilitas neraca pembayaran dianggap sangat penting dikarenakan hal ini
berkenaan dengan hubungan luar negeri dan cadangan devisa suatu
Negara. Neraca pembayaran yang tidak kukuh akan mengurangi
kemampuan suatu negara dalam menghadapi masalah pengaliran dana
keluar negeri yang melebihi dari keadaan yang biasanya berlaku. Sebagai
akibatnya cadangan mata uang asing akan merosot dan kurs mata uang
asing meningkat. Hal ini akan menimbulkan efek buruk ke perekonomian
suatu negara seperti inflasi, biaya produksi meningkat akan tetapi
sebaliknya daya beli masyarakat merosot. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan ekonomi makro perlu memperhatikan kedudukan neraca
pembayaran dan kurs valuta asing selalu tetap teguh keadaannya.
2.1.1.4 Kebijakan Ekonomi Makro
Untuk mencapai tujuan tujuan yang telah ditetapkan, maka perlu adanya
kebijakan kebijakan ekonomi yang tepat dan sesuai dengan apa yang akan dicapai.
Secara garis besar terdapat 3 bentuk kebijakan ekonomi makro:
Universitas Sumatera Utara
1. Kebijakan fiskal
Menurut Pracoyo dan Antyo (2005:22) kebijakan fiskal merupakan
kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Adapun sumber penerimaan Negara adalah penerimaan dari pajak,
penerimaan bukan pajak, dan juga dari bantuan ataupun pinjaman yang
berasal dari luar negeri, sedangkan pengeluaran dapat dibagi menjadi 2
bagian secara umum yakni pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan. Sehingga dengan kata lain kebijakan fiskal merupakan
kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan Negara yang
bersumber dari penerimaan serta alokasi pengeluaran Negara yang
tercantum dalam APBN. Menurut Sukirno (2004:188) Ada 2 instrumen
yang digunakan dalam kebijakan fiskal ini antara lain:
a. Automatic instrument
Adalah suatu instrumen yang dilakukan oleh pemerintah dengan cara
menaikkan persentase beban pajak sehingga memunculkan kenaikan
harga barang secara umum dan lebih jauh laju inflasi akan meningkat.
Adapun kebijakan ini bertujuan untuk dapat mengurangi defisit
anggaran pemerintah. Hal ini tentu akan memberatkan bagi masyarakat
karna harus menambah bebannya untuk pajak, namun ternyata
kebijakan ini cukup berhasil karena peningkatan penerimaan pajak yang
diterima dari masyarakat dikelola dengan baik dengan menujukannya
ke pengeluaran yang dapat mendorong investasi pada sektor sektor
yang produktif.
Universitas Sumatera Utara
b. Instrumen diskreasi
Instrumen diskreasi adalah langkah langkah pemerintah untuk
mengubah pengeluarannya atau pemungutan pajaknya dengan tujuan
untuk mengurangi gerak naik turun tingkat kegiatn ekonomi dari
waktu ke waktu, menciptakan suatu tingkat kegiatan ekonomi yang
mencapai tingkat konsumsi tenaga kerja yang tinggi, tidak menghadapi
masalah inflasi, dan selalu mengalami pertumbuhan yang memuaskan.
Langkah langkah pemerintah di dalam melakukan perubahan terhadap
pengeluaran pemerintah dan juga perubahan system perpajakan harus
terlebih dahulu disesuaikan dengan masalah yang dihadapi. Sebagai
contoh untuk mengatasi masalah inflasi pemerintah dapat melakukan
perubahan terhadap sistem pajaknya dengan menaikkan jumlah pajak
yang dipungut dari masyrakat. Sehingga dengan demikian jumlah uang
yang beredar dapat dikurangi jumlahnya.
2. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter meliputi langkah langkah pemerintah yang
dilaksanakan oleh bank sentral atau Bank Indonesia untuk mempengaruhi
(mengubah) Jumlah uang yang beredar di masyarakat (Boediono,
2001:85). Mempengaruhi Jumlah uang yang beredar di masyarakat berarti
mempengaruhi situasi makro ekonomi secara umum. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa kebijakan moneter adalah suatu kebijakan yang
diambil oleh Bank Indonesia sebagai bank Sentral Indonesia untuk
mempengaruhi Jumlah Uang yang beredar di masyarakat yang bertujuan
Universitas Sumatera Utara
untuk dapat menjaga stabilitas moneter di suatu Negara. Menurut Kelana
(1996:6) kebijakan moneter pada prinsipnya sebagai upaya yang
dilakukan oleh Bank Indonesia selaku otoritas keuangan Indonesia dalam
mengontrol penawaran uang yang dimaksudkan untuk mencapai
perekonomian yang lebih stabil. Untuk dapat mencapai tujuan kebijakan
moneter tersebut, bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia
mempunyai beberapa instrumen, baik itu instrumen kuantitatif maupun
instrument kualitatif. Menurut Pracoyo dan Antyo (2005:171) instrumen
kuantitatif dan instrumen kualitatif dari kebijakan moneter adalah sebagai
berikut:
a. Discount Policy
Discount policy adalah instrumen yang digunakan oleh bank sentral
dengan mempengaruhi besarnya tingkat suku bunga bank yang berlaku
umum dan kemudian operasionalnya dilakukan oleh bank umum.
Untuk mengatasi masalah inflasi, bank sentral akan menaikkan suku
bunga dalam kerangka mengurangi jumlah uang yang beredar dan
sebaliknya untuk meredakan deflasi maka bank sentral menurunkan
suku bunga yang berpengaruh kepada kenaikan jumlah uang yang
beredar.
b. Open market policy
Open market policy adalah kebijakan yang digunakan oleh bank sentarl
dengan mengeluarkan obligasi dan surat surat berharga yang dimiliki
oleh pemerintah untuk diperjualbelikan kepada masyarakat. Dalam
Universitas Sumatera Utara
kerangka menekan laju inflasi maka bank sentral menjual obligasi dan
surat surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah kepada masyarakat
sekaligus sebagai upaya mengurangi jumlah uang yang beredar.
Sebaliknya untuk meredakan deflasi maka pemerintah membeli
obligasi dan surat surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah.
c. Kebijakan Cash ratio reserve requirement policy (CRR)
Kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk menetapkan rasio
uang kas dan cadangan yang akan digunakan oleh bank umum sebagai
dana pinjaman. Persentase CRR dinaikkan dengan tujuan agar bank
umum mengurangi penyaluran dana pinjaman sebagai upaya
mengurangi jumlah uang yang beredar dan sebaliknya.
d. Pengaturan sistem pembelian angsuran
Yaitu kebijakan dari bank sentral yang dilakukan dengan mengawasi
aliran pinjaman terhadap pembelian barang oleh perusahaan kepada
para konsumen. Tindakan ini dilakukan oleh bank sentral untuk
mengatur sistem pembayaran secara angsuran sebagai upaya mencegah
inflasi.
e. Selective Credit Control
adalah kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk mencegah
inflasi terhadap kredit untuk membiayai proyek proyek yang dilakukan
oleh mayarakat sekaligus sebagai upaya untuk mencegah kegiatan
spekulasi yang dilakukan oleh para pedagang.
Universitas Sumatera Utara
f. Moral Suasion
Moral suasion dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dengan melakukan
himbauan baik menggunakan tulisan ataupun dengan ajakan untuk
tidak melakukan suatu tindakan tertentu. Sebagai contoh, Bank
Indonesia mengajak bank bank nasional maupun bank asing
mengusahakan penurunan tingkat bunga.
3. Kebijakan Segi penawaran
Menurut Sukirno (2004:25) kebijakan segi penawaran bertujuan untuk
mempertinggi efisiensi kegiatan perusahaan perusahaan sehingga dapat
menawarkan barang barangnya dengan harga yang lebih murah atau dengan
mutu yang lebih baik. Salah satu kebijakan segi penawaran adalah kebiajkan
pendapatan yaitu langkah pemerintah yang bertujuan mengendalikan tuntutan
kenaikan pendapatan pekerja. Kebijakan segi penawaran dapat dijalankan
melalui cara mengembangkan infrastruktur dan peningkatan pelayanan
pemerintah dalam mengembangkan kegiatan usaha sektor swasta.
2.1.2 Loan to Value
2.1.2.1. Defenisi Loan to Value
Rasio Loan to value (LTV) adalah angka rasio antara nilai kredit yang dapat
diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian suatu kredit
(Surat edaran Bank Indonesia no 14/10/DPNP). Kebijakan ini merupakan
kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk
Universitas Sumatera Utara
mengantisipasi atau meminimalisir adanya gejolak dalam perekonomian sebagai
akibat dari pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kepemilikan atas
kendaraan bermotor yang terlalu berlebihan. Sehingga Bank Indonesia selaku
penguasa moneter di Indonesia merasa perlu untuk memberikan batasan batasan
yang jelas terhadap jumlah uang muka yang harus dimiliki seseorang jika ingin
memiliki suatu perumahan ataupun kendaraan bermotor. Konsep Loan to value
sebenarnya sama dengan Down Payment. Hanya saja istilah Loan to value lebih
condong digunakan pada Properti (KPR) sedangkan down payment pada
kendaraan bermotor. Terkhusus untuk Loan to value, tidak semua jenis KPR yang
akan dikenakan kebijakan tersebut. Menurut Surat edaran no.14/10/DPNP ruang
lingkup KPR yang diatur dalam surat edaran tersebut adalah mencakup kredit
konsumsi pemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen namun
tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko, dengan tipe lebih dari 70 meter
persegi. Adapun dalam surat edaran ini juga telah ditetapkan rasio Loan to value
(LTV) sebesar 70%. Itu berarti bila seseorang ingin menikmati suatu fasilitas KPR
harus memiliki uang muka setidaknya 30% dari harga jual KPR tersebut. Ada
beberapa alasan yang dikemukakan oleh Bank Indonesia yang mendasari terbitnya
aturan ataupun kebijakan Loan to value ini (surat edaran Bank Indonesia no
14/10/DPNP):
a. Semakin meningkatnya permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan
kredit kendaran bermotor (KKB) serta mengingat pertumbuhan KPR dan
KKB yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan berbagai risiko maka
bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran KPR dan KKB.
Universitas Sumatera Utara
b. Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan
harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble)
sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank bank dengan
eksposur kredit properti yang besar.
c. Untuk menjaga perekonomian yang produktif dan mampu menghadapi
tantangan sektor keuangan di masa yang akan datang, perlu adanya
kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan sektor keuangan untuk
meminimalisir sumber sumber kerawanan yang dapat timbul, termasuk
pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit kendaraan bermotor
yang berlebihan. Dan kebijakan yang dimaksudkan adalah melalui
penetapan besaran Loan to value (LTV) untuk KPR dan Down Payment
untuk Kredit kendaraan bermotor.
2.1.2.2. Perbandingan Penerapan Loan to Value di Berbagai Negara
Sebelum dikeluarkannya Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 10/ DPNP , di
Indonesia belum pernah ada ketetapan yang mengatur secara jelas mengenai
batasan batasan dalam kebijakan Loan to Value ataupun Down Payment.
Sebelumnya memang telah ada peraturan Bank Indonesia yang mengatur prinsip
prinsip pemberian kredit yang sehat. Namun peraturan yang disusun lewat
Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB) ini tidak secara
spesifik mengatur tingkat Loan to Value atau tingkat Down Payment. Namun
kebijakan Loan to value ini bukan kebijakan yang baru digunakan di Indonesia.
Sebelumnya beberapa negara di dunia telah diterapkan kebijakan yang sama
walaupun harus tetap dipertimbangkan besarnya angka Loan to value di negara
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Besar kecilnya angka Loan to value di setiap negara akan berbeda beda
disesuaikan dengan karakteristik masalah yang dihadapi oleh masing masing
negara.Berikut ini ditampilkan beberapa negara yang pernah menetapkan
kebijakan yang sama di negara masing masing dengan batasan nilai Loan to Value
yang berbeda beda.
Tabel 2.1. Perbandingan Penerapan LTV di Berbagai Negara
Negara LTV
Thailand Max 90% untuk pembelian apartemen seharga < Rp.2,8 M/ Unit Max 95% untuk pembelian rumah lainnya *tidak berlaku bagi Pegawai negeri atau pegawai BUMN karna resiko kredit dianggap lebih rendah
China LTV properti 1: 70 %, LTV properti 2: 50% sedangkan pembelian properti 3 dilarang
India Maksimal 80 % untuk housing loans
Malaysia Maksimal 70 % untuk pembelian properti ke 3
Hongkong Max 60 % untuk Luxury properti senilai di atas HK$12 juta Max 70 % untuk properti di bawah HK$12 juta dengan maksimum property value sebesar HK$ 7.2 juta
Korea Antara 40-50% tergantung daerah properti yang mengalami excessive growth
Philipina Maximal 60 % untuk kredit real estate
Sumber : Kajian Stabilitas Keuangan No19, Edisi September 2012
Singapura Maximal 90 % untuk housing loans
Australia Max 80 %. Kalau diatas 80% perlu ada mortage insurance
Canada Max 75 % untuk housing loans
Jerman Max 60 % untuk mortage bonds
Spanyol Max 80 % untuk housing loans
Prancis Max 80 % untuk housing loans
Belanda Max 90 % untuk housing loans
Finlandia Max 75 %, untuk mortage bonds sebesar 60 %
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.3 Hasil yang Diharapkan dari Kebijakan Loan to Value
Setiap Kebijakan yang dikeluarkan pasti diharapkan mampu mengatasi
masalah yang hendak dipecahkan. Oleh karena itu, sebelum memutuskan
menggunakan suatu kebijakan telah dipelajari terlebih dahulu efek apa yang akan
ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Begitu juga dengan penerapan Loan to Value
ini, Bank Indonesia mengharapkan dengan adanya pembatasan Maksimum Loan
to Value suatu Bank dapat lebih berhati hati dalam menyalurkan Kredit Pemilikan
Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor yang selama ini dinilai telah melebihi
ambang batas kenormalan. Diharapkan Batasan Maksimum Loan to Value akan
mempertemukan Bank dengan pihak pembeli yang potensial. Artinya pembeli
tersebut memang sangat membutuhkan perumahan sebagai tempat tinggal serta
mempunyai kemampuan untuk membayarakannya. Atau setidaknya batasan yang
tinggi terhadap uang muka pembelian sutu properti dapat mengurangi angsuran
konsumen setiap bulannya sehingga kemungkinan kredit bermasalah semakin
berkurang dan membuat angka Non performing Loan (NPL) semakin membaik
(Kajian stabilitas Keuangan No. 19, September 2012). Selain itu cara ini dianggap
akan mampu mengurangi para spekulan yang memang menginginkan keuntungan
dari kenaikan harga properti terutama di tipe diatas 70 m2. Para spekulan harus
berpikir ulang karena membutuhkan uang yang banyak untuk dapat membeli
suatu jenis properti tertentu. Untuk itu diharapkan Industri Properti dan otomotif
ini dapat menawarkan produk otomotif ataupun rumah dengan harga terjangkau
bagi setiap segmen dalam masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain,
bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk mendukung upaya pemerintah dalam
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat terutama dalam pemenuhan
kebutuhan papan yang memang dianggap essensial kepentingannya.
2.1.3 Properti
2.1.3.1 Pengertian Properti
Secara umum properti dapat dikelompokkkan menjadi 2 kategori, yaitu:
a. Properti Riil (Real Property)
Properti riil adalah hak perorangan atau badan untuk memiliki/ menguasai
tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya. Dalam beberapa kasus
seringkali seseorang menyamakan istilah real property dengan real estate,
namun ternyata kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Menurut
Supardi, Heri, dan Mohammad Luthfi (2010:2) real estate secara
terminologi adalah penguasaan secara fisik atas tanah dan bangunan
sedangkan real property diartikan sebagai penguasaan secara hukum yang
dilandasi dengan hak atas tanah dan bangunan tersebut. Sementara
menurut Hidayati dan Harjanto (2001:10) istilah real estate adalah untuk
bentuk fisik dari tanah beserta pengolahan dan pembangunannya dan real
property merujuk pada kumpulan hak (bunndle of rights) untuk
menggunakan, menyewa, memindahkan,dan sebagainya dari tanah beserta
pengolahan dan pembangunannya.
b. Personal Properti
Menurut Supardi, Heri dan Mohammad Luthfi (2010:2) personal property
adalah segala jenis properti yang bersifat tidak permanen, baik berupa
Universitas Sumatera Utara
properti berwujud seperti mesin, peralatan, dan furniture; maupun properti
yang tidak berwujud seperti goodwill, merk, trademark, dan sebagainya.
2.1.3.2 Faktor faktor yang Mempengaruhi Nilai Properti
Sama dengan barang barang lain pada umumnya nilai suatu properti juga
dipengaruhi oleh beberapa karakteristik. Menurut Hidayati dan Harjanto
(2001:22) secara garis besar ada 4 faktor yang mempengaruhi nilai suatu properti
yaitu:
a. Faktor permintaan dan penawaran
Relatif sama dengan barang lain pada umumnya, faktor ini merupakan
faktor yang sangat luas dampaknya. Jika penawaran properti di pasar tetap
sedangkan permintaan terus mengalami peningkatan maka nilai properti
akan mengalami peningkatan, cateris paribus. Sebaliknya, jika permintaan
tetap sedangkan jumlah penawaran bertambah maka harga properti akan .
mengalami penurunan, cateris paribus.
b. Faktor fisik properti
Faktor fisik menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap nilai
suatu properti. Faktor faktor yang mempengaruhi penilaian fisik suatu
bangunan antara lain dilihat dari jenis dan kegunaan properti, ukuran dan
bentuk, serta desain dan kontruksi bangunan. Pada intinya, jika kondisi
fisik properti banyak membantu atau memudahkan penggunanya atau jika
kondisi properti sesuai dengan yang diharapkan oleh penggunanya maka
semakin tinggi pula nilai properti tersebut. Sebaliknya semakin tidak
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan selera dan harapan pemiliknya maka nilai properti tersebut
akan mengalami kemerosotan
c. Faktor perletakan dan lokasi properti
Lokasi dapat dianggap sebagai faktor terkuat dalam menentukan nilai
properti. Dua buah properti yang memiliki bentuk fisik sama tetapi bila
lokasinya berbeda, maka nilainya akan berbeda pula. Sebagai contoh
dalam kehidupan sehari hari, properti dengan bentuk yang sama namun
satu terletak di pedesaan dengan akses yang sulit, dan satu berada di kota
dengan akses yang sangat baik tentu properti yang terletak di daerah
perkotaan akan lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan properti yang
terletak di pedesaaan.
d. Faktor Politik dan Kenegaraan
Faktor kenegaraan maksudnya adalah faktor ekonomi, sosial, dan politik
di suatu negara, dimana hal hal tersebut secara tidak langsung akan
mempengaruhi nilai properti. Menurut Supardi, Heri dan Mohammad
Luthfi (2010:11) campur tangan pemerintah dalam peruntukan (zoning)
dan perencanaan kota berpengaruh terhadap nilai properti. Sebagai contoh,
permintaan akan suatu properti mungkin akan mengalami penurunan jika
sistem perundangan yang mengatur properti tersebut terlalu ketat dan akan
mempengaruhi nilai properti secara umum. Keadaan ekonomi dan sistem
perpolitikan yang cenderung nyaman bagi para investor tentu akan
menjadi daya tarik dan akan berdampak baik bagi nilai properti.
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan hal ini, kebijakan pengetatan batasan Loan to value
adalah salah satu sistem kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh bank
Indonesia sebagai otoritas moneter untuk melindungi nilai properti di
Indonesia.
2.1.3.3 Hubungan Loan to Value dengan Permintaan Properti
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya Loan to value adalah Rasio
antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada awal
pemberian kredit (Surat Edaran Bank Indonesia No 14/10/DPNP). Kebijakan
Loan to value adalah kebijakan Bank Indonesia dalam upayanya melakukan
pembatasan terhadap jumlah dana yang dapat diberikan bank penyedia jasa
pembiayaan untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Aturan yang dikeluarkan
tanggal 15 Maret 2012 dan aktif mulai tanggal 15 Juni 2012 ini, menetapkan
besarnya Loan to Value terhadap properti sebesar 70%, artinya penerima KPR
paling tidak harus mempunyai uang muka sebesar 30% dari nilai KPR tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentu saja kebijakan ini akan berdampak
buat nilai dan permintaan properti. Menurut Hidayati dan Harjanto (2001:22)
sistem perundangan yang terlalu ketat mungkin akan menyebabkan permintaan
properti turun dan selanjutnya akan mempengaruhi nilai tanah. Menurut Supardi,
Heri, dan Mohammad Luthfi (2010:12) Kebijakan pemerintah dalam menentukan
suku bunga juga berpengaruh terhadap nilai properti dari segi ekonomi. Sehingga
jelas terlihat bahwa kebijakan Loan to value akan berpengaruh terhadap
permintaan properti.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Kerangka konseptual
Kerangka konseptual menurut Erlina (2008:34) merupakan suatu model yang
menjelaskan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor faktor penting yang
telah diketahui dalam suatu masalah tertentu.
Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka maka kerangka
konseptual dalam Penelitian ini dapat dilihat dari Gambar berikut ini:
Gambar 2.2. Kerangka Konseptual
*down payment tidak dibahas dalam skripsi ini
Surat Edaran Bank Indonesia No 14/10/ DPNP
Kebijakan Loan to Value / Down Payment
LTV : Properti /Perumahan Diatas Tipe 70 m2
Maksimal Pembiayaan Oleh Bank 70 % dari harga Jual
*DP: Kendaraan Bermotor
Minimal 30% dari Harga Jual
Permintaan Rumah Tipe 70 + Sebelum Kebijakan
(Januari2012 – Mei 2012)
Permintaan Rumah Tipe 70 + Sesudah Kebijakan
(Juni 2012 – Desember 2012)
Dampak Kebijakan
Universitas Sumatera Utara
Surat Edaran per tanggal 15 maret 2012 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum telah melahirkan satu
kebijakan Loan to value yang memberikan batasan yang jelas berapa besar batas
minimal uang muka yang harus disediakan oleh peminat KPR untuk dapat
melakukan pembelian secara kredit. Kebijakan ini diyakini mempunyai dampak
terhadap jumlah permintaan properti terkhusus bagi jenis atau tipe rumah diatas
70 m2. Skripsi ini akan mengukur dampak kebijakan Loan to value terhadap
permintaan properti di kota Pematangsiantar.
2.3. Penelitian Terdahulu
Joshua Bangun Gunanta (2012) melakukan penelitian dengan judul “Dampak
Aturan Pembatasan Loan to Value Terhadap Harga Saham Properti”. Joshua
dalam penelitiannya mengukur apakah ada pengaruh kebijakan Loan to value
terhadap laba perusahaan yang kemudian akan berpengaruh terhadap harga saham
perusahaan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Loan to
Value yang ditetapkan melalui surat edaran Bank Indonesia No 14/10/DPNP
berpengaruh terhadap perubahan saham perusahaan properti di Indonesia.
Mayoritas harga saham perusahaan sektor properti dan real estate mengalami
penurunan harga dibandingkan dengan sebelum aturan pembatasan tersebut
efektif ditetapkan.
Dwi Yulianti (2009) dalam penelitiannya berjudul “analisis pengaruh suku
bunga, inflasi, dan nilai tukar terhadap tingkat pengembalian saham sektor
industri barang konsumsi dan sektor properti dan real estate” mencoba
Universitas Sumatera Utara
memperbandingkan sektor mana yang paling berpengaruh terhadap perubahan
(gejolak) ekonomi yang terjadi di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa perubahan suku bunga, terjadinya inflasi, dan perubahan nilai tukar akan
lebih mempengaruhi kinerja perusahaan sektor properti dan real estate
dibandingkan dengan perusahaan sektor konsumsi. Hal ini dikarenakan real estate
masih dianggap masyarakat Indonesia pada umumnya sebagai barang sekunder
yang kepentingannya tidak harus segera diwujudkan. Sehingga dengan terjadinya
Inflasi masyarakat akan lebih memilih mendahulukan konsumsi terutama barang
pokok.
Tak chuen Wong, Tom Fong, Ka fai Li dan Henry Choi (2011) dalam
penelitiannya berjudul “Loan to value ratio as a macroprudential tool Hong
Kong’s experience and cross-country evidence” menggambarkan pengalaman
Negara Hongkong dalam menerapkan kebijakan Loan to Value di negaranya.
Banyak pengamat meragukan kebijakan Loan to Value memang efektif digunakan
sebagai alat mencegah terjadinya Bubble di sektor properti. Namun penelitian ini
menunjukkan dari pengalaman Hongkong melaksanakan kebijakan Loan to Value
kebijakan ini memang cukup efektif mengatasi (mengurangi) risiko kredit di pasar
Properti.
2.4. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan teoritis, rumusan masalah dan penelitian terdahulu
maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah Kebijakan Loan to Value
akan berdampak negatif terhadap permintaan properti di Kota Pematangsiantar.
Universitas Sumatera Utara