Upload
nguyenquynh
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Teori Perpajakan
II.1.1. Definisi Pajak dan Ciri-ciri Pajak
Definisi pajak menurut undang-undang adalah iuran rakyat kepada kas Negara
berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas
jasa secara langsung.
Definisi Pajak menurut beberapa para ahli;
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.: pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa
timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum. (Siti Resmi, 2009)
Menurut Prof Dr. P.J.A. Andriani: pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan
tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Prof DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang
terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya
kontraprestasi yang dapat ditunjukkan secara individual; maksudnya adalah untuk
membiayai pengeluaran pemerintah. (IAI, 2012)
2
Dari beberapa definisi tersebut, ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak
adalah:
1. Pajak dipungut berdasarkan (dengan kekuatan) undang-undang serta aturan
pelaksanaannya;
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah;
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah;
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih terdapat surplus, surplus tersebut digunakan untuk
membiayai public investment.
II.1.2. Fungsi Pajak
Pajak memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara karena fungsinya. Secara umum, pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi
anggaran dan fungsi mengatur. (Prastowo, 2010)
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Fungsi anggaran merupakan fungsi pembiayaan untuk pembangunan dan
penyelenggaraan negara. Biasanya, penerimaan pajak sebagai pelaksanaan fungsi
anggaran tercermin dalam APBN.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak juga berfungsi sebagai alat kebijakan ekonomi-politik yang akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi atau tingkat konsumsi masyarakat.
3
II.1.3. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus berdasarkan syarat sebagai berikut: (Mardiasmo, 2011)
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan);
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis);
3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis);
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil);
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
II.1.4. Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak dibagi menjadi asas menurut falsafah hukum, asas
yuridis, dan asas ekonomis, seperti dijelaskan berikut ini. (IAI, 2012)
1. Asas menurut falsafah hukum.
Hukum pajak harus berdasarkan pada keadilan. Selanjutnya keadilan inilah
sebagai asas pemungutan pajak. Beberapa teori dasar yang mendukung hak
negara untuk memungut pajak:
a. Teori asuransi
Teori ini “menyamakan” pembayaran pajak dengan pembayaran premi
asuransi. Premi tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha
melindungi orang dari segala kepentingannya (misalnya keselamatan dan
keamanan);
4
b. Teori kepentingan
Teori ini memperhatikan beban pajak yang harus dipungut dari masyarakat.
Pembebanan ini harus didasarkan pada kepentingan setiap orang dalam tugas
pemerintah, termasuk perlindungan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu
pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan kepada masyarakat
melalui pajak;
c. Teori gaya pikul
Teori ini mengandung maksud bahwa dasar keadilan pemungutan pajak
terletak dalam jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada masyarakat
berupa perlindungan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu untuk
kepentingan perlindungan, masyarakat akan membayar pajak menurut gaya
pikul seseorang;
d. Teori bhakti
Teori ini disebut juga teori kewajiban pajak mutlak. Menurut teori ini, negara
mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Di lain pihak masyarakat
menyadari bahwa membayar pajak sebagai kewajiban untuk membuktikan
tanda baktinya terhadap negara. Sehingga dasar hukum pajak terletak pada
hubungan masyarakat dengan negara;
e. Teori asas daya beli
Teori ini mendasarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat yang
dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan
individu atau negara, sehingga menitikberatkan pada fungsi mengatur.
5
2. Asas yuridis
Untuk menyatakan suatu keadilan, hukum pajak harus memberikan jaminan
hukum kepada negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus
didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan pajak di
Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945.
3. Asas ekonomis
Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki
agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu pemungutan
pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi.
II.1.5. Jenis Pajak
Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian,
yaitu menurut golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungutnya (Siti Resmi,
2009);
1. Menurut golongan
Menurut golongannya pajak dikelompokkan menjadi dua;
a. Pajak langsung,
Pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak
dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak
harus menjadi beban Wajib Pajak yang bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
6
b. Pajak tidak langsung,
Pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu
kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak,
misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2. Menurut Sifat
Menurut sifatnya pajak dikelompokkan menjadi dua;
a. Pajak subjektif,
Pajak yang pengenaannya memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau
pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya.
b. Pajak objektif,
Pajak yang pengenaannya memperhatikan objeknya baik berupa benda,
keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban
membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib
Pajak) maupun tempat tinggal.
3. Menurut lembaga pemungut
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu;
a. Pajak negara (pajak pusat),
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga negara pada umumnya.
7
Contoh: Pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak
Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi Bangunan (PBB) serta Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
b. Pajak daerah,
Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I (pajak
provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten/kota) dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing.
Contoh: Pajak Provinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
di atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, serta Pajak Pengambilan
dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Pajak Kabupaten/kota meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C, dan Pajak Parkir.
II.1.6. Tata Cara Pemungutan Pajak
1. Stelsel pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel (Mardiasmo, 2011);
a. Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kebaikan stelsel ini adalah pajak
yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru
dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
8
b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-
undang. Misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini
adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu
pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak
berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada
pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya jika
lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2. Asas pemungutan pajak
a. Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
b. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
9
c. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
3. Sistem pemungutan pajak
a. Official Assessment System
Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya;
i. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
ii. Wajib pajak bersifat pasif.
iii. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b. Self Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak
untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya;
i. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib Pajak sendiri,
ii. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang,
iii. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
10
c. With Holding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya; wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada
pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
II.1.7. Tarif Pajak
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsur, yaitu tarif
pajak dan dasar pengenaan pajak. Tarif pajak dapat berupa angka atau presentase
tertentu. Jenis tarif pajak dibedakan menjadi tarif tetap , tarif proporsional (sebanding),
tarif progresif (meningkat), dan tarif degresif (menurun).
1. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah atau angka yang tetap, berapa pun besarnya dasar pengenaan
pajak. Contohnya adalah Bea Materai.
2. Tarif proporsional (sebanding)
Tarif berupa presentase tertentu yang sifatnya tetap terhadap berapapun dasar
pengenaan pajaknya. Semakin besar dasar pengenaan pajak maka semakin besar
pula jumlah pajak yang terutang dengan kenaikan secara proporsional atau
sebanding. Contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yaitu 10%, Pajak
Penghasilan (PPh) pasal 26 sebesar 20%.
11
3. Tarif progresif (meningkat)
Tarif berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dengan semakin
meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif progressif dibedakan menjadi tiga,
yaitu:
a. Tarif progresif-proporsional, yaitu tarif berupa presentase tertentu yang
semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, dan
kenaikan presentase tersebut adalah tetap.
b. Tarif progresif-progresif, yaitu tarif berupa presentase tertentu yang semakin
meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, dan kenaikkan
presentase tersebut juga semakin meningkat.
c. Tarif progresif-degresif, yaitu tarif berupa presentase tertentu yang semakin
meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan
presentase tersebut semakin menurun.
4. Tarif degresif (menurun)
Tarif berupa presentase tertentu yang semakin menurun dengan semakin
menungkatnya dasar pengenaan pajak.
II.2 Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan,
perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif,
proporsional, atau regresif.
12
II.2.1 Subjek Pajak Penghasilan.
Subjek Pajak Penghasilan (UU nomor 36 tahun 2008) adalah sebagai berikut (Djuanda
et al, 2009):
1. Subjek pajak pribadi, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang
dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia.
2. Subjek pajak harta warisan belum dibagi, yaitu warisan dari seseorang yang
sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka
pendapatan itu dikenakan pajak.
3. Subjek pajak badan, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi criteria;
a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan perundang-undangan,
b. Pembayarannya bersumber dari Anggaran Pendapatan Pusat atau pemerintah
daerah, dan
c. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan negara, dan
4. Bentuk usaha tetap, yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di lndonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan
yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di
Indonesia.
13
II.2.2 Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Pengertian penghasilan dalam undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya
penghasilan dari sumber tertentu, tetapi karena adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak merupakan
ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk ikut bersama-sama
memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian-pengertian yang luas, maka
semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak
digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian apabila
dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali
kerugian yang di derita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan
dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak,
maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang
dikenakan tarif umum.
14
II.2.3 Tarif Umum Pajak Penghasilan
1. Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
Badan sesuai dengan pasal 17 ayat (1) Undang-undang PPh no 17 tahun 2000
adalah sebagai berikut;
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 10%
Di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 100.000.000 15%
Di atas Rp 100.000.000 30%
Sedangkan menurut pasal 17 UU PPh No. 36 tahun 2008 menyebutkan tarif
pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan dan
BUT adalah sebesar 28% untuk tahun 2009, dan sebesar 25% untuk tahun 2010
dan tahun berikutnya.
2. Untuk keperluan penerapan tarif pajak di atas, jumlah Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
Dalam penggunaan tariff PPh badan pasal 17 UU PPh No. 36 tahun 2008 berlaku
mekanisme yang diatur dalam pasal 31 huruf (E) sebagai berikut:
1. Jika penghasilan bruto lebih dari Rp. 50 Milyar, maka Penghasilan Kena
Pajak nya (PKP) langsung dikalikan dengan tarif 28% atau 25% pada tahun
2010.
2. Jika penghasilan bruto berkisaran antara Rp. 0 s.d Rp. 50 Milyar, maka:
a. Jika penghasilan bruto kurang dari Rp. 4,8 Milyar, maka PKP mendapat
pengurangan 50%, jadi tarif yang dikenakan adalah sebesar 14%.
15
b. Jika penghasilan bruto lebih dari 4,8Milyar tetapi tidak melebihi Rp.
50Milyar maka mendapat pengurangan 50% hanya bagian pendapatan
bruto sampai dengan Rp. 4,8Milyar.
II.3 Perencanaan pajak
Secara alamiah, tidak ada orang yang rela membayar pajak karena akan
mengurangi penghasilannya. Oleh karena itu, pajak dapat dipaksakan agar setiap orang
yang wajib membayarnya bersedia membayar sesuai ketentuan yang berlaku.
Perencanaan Pajak adalah proses pengambilan factor pajak yang relevan dan
factor non-pajak yang material untuk menentukan transaksi yang dilakukan. (Erly
Suandy, 2011)
Perencanaan pajak sangat terkait dengan informasi dan pengetahuan sehingga
menghasilkan kecakapan tertentu melalui latihan. Empat pilar aktivitas wajib pajak yang
harus dilakukan, yaitu tax compliance, tax planning, tax litigation, dan tax research.
II.3.1 Konsep kunci perencanaan pajak
Sebagaimana sudah umum dikaji dan dipelajari dalam ilmu manajemen,
perencanaan adalah bagian penting dan strategis untuk memulai sebuah usaha yang
diharapkan membuahkan hasil yang baik. Oleh sebab itu, perencanaan pajak dapat
dilukiskan sebagai berikut.
RENCANA SARANA TUJUAN
16
Keterangan:
Rencana:
a. Mendirikan usaha,
b. Menentukan model usaha,
c. Memilih sistem akuntansi/metode pembukuan, dan
d. Melakukan perencanaan pajak yang baik
Sarana:
a. Rencana bisnis (business plan),
b. Pengetahuan,
c. Sistem akuntansi yang baik dan tepat,
d. Strategi yang tepat,
e. Aturan,
f. Konsultan pajak/professional pajak,
g. Komunikasi yang baik, dan
h. Itikad baik.
Tujuan:
a. Penghematan pajak secara legal,
b. Manajemen pajak yang terpadu dan sinambung, dan
c. Laba kena pajak yang predictable.
II.3.2 Strategi efisiensi
Strategi efisiensi beban pajak yang umum ditemukan dalam literatur perpajakan
adalah sebagai berikut;
17
1. Tax avoidance, yaitu upaya efisiensi beban pajak dengan cara menghindarkan
diri dari pengenaan pajak melalui pengalihan transaksi ke yang bukan obyek
pajak. (contoh, bila tidak mau membayar cukai rokok, menghindarinya dengan
tidak merokok) (dalam merencanakan PPh pasal 21, misalnya perlakuan terhadap
pajak karyawan. Jika perusahaan PPh badannya tidak dikenakan pajak secara
final, efisiensi PPh pasal 21 dapat dilakukan dengan pemberian kesejahteraan
karyawan dalam bentuk natura sampai titik maksimal, karena natura pada
perusahaan yang tidak dikenakan PPh final bukan objek PPh pasal 21).
2. Tax evasion, yaitu tindakan efisiensi beban pajak dengan cara menghindari
pengenaan pajak secara ilegal, yaitu melanggar aturan formal dan material yang
berlaku. Misalnya membuat pembukuan ganda, tidak melaporkan seluruh
penghasilan, atau menambahkan biaya fiktif untuk mengurangi penghasilan.
3. Tax saving, yaitu efisiensi beban pajak dengan cara memilih alternative
pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Sebagai contoh jika pemberian
dalam bentuk natura tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal bagi
perusahaan, berarti untuk efisiensi beban pajak perusahaan pemberian natura
harus diubah menjadi pemberian non-natura agar boleh dibiayakan.
4. Optimalisasi kredit pajak, yaitu pemahaman mekanisme pemotongan atau
pemungutan pajak pihak lain untuk mengetahui sifat pengenaan pajaknya. Jika
dikenakan PPh final, berarti tidak dapat dikreditkan dan jika dikenakan PPh tarif
umum (non-final) dapat dikreditkan atau mengurangi pajak terutang.
Pengkreditan pajak ini tentu saja lebih maksimal manfaatnya dibanding
membiayakan.
18
II.3.3 Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21/26
Hal pokok dalam perencanaan pajak PPh Pasal 21 adalah kebijakan tentang
pihak yang akan menanggung beban pajak. Terkait dengan hal tersebut, terdapat tiga
model yang dapat dipilih, yaitu sebagai berikut.
1. PPh pasal 21 ditanggung oleh karyawan (dipotong). Artinya, beban pajak
ditanggung sendiri oleh karyawan dan langsung dikurangkan dari penghasilan
yang diterima.
2. Pph pasal 21 ditanggung oleh perusahaan (ditanggung). Artinya, pajak karyawan
yang bebannya dipikul oleh pemberi kerja atau perusahaan. Implikasinya adalah
gaji karyawan tidak berkurang. Dari sisi pemberi kerja, PPh karyawan yang
ditanggung ini tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
3. PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan. Artinya, karyawan diberi
tunjangan sebesar pajak terutangnya. Besaran pajak ini adalah penghasilan bagi
karyawan dan menjadi biaya yang boleh dikurangkan bagi perusahaan/pemberi
kerja. Model ini sering disebut dengan gross up method.
Untuk menentukan model yang akan kita pilih, tentu saja kita harus mempertimbangkan
beberapa faktor dan kondisi. Oleh sebab tujuan kita adalah menghemat pajak secara
legal, kita perlu mempertimbangkan berbagai pilihan model yang ada agar pajak yang
kita bayar lebih kecil.
1. Pajak Penghasilan karyawan yang ditanggung oleh pemberi kerja jika diberikan
dalam bentuk “ditanggung perusahaan”, implikasinya tidak dapat dibiayakan
bagi perusahaan dan bukan penghasilan bagi karyawan. Metode ini dipilih saat
perusahaan rugi karena tidak membutuhkan tambahan biaya sebagai pengurang
19
penghasilan. Sedangkan pajak yang diberikan dalam bentuk tunjangan,
implikasinya dapat dibiayakan bagi perusahaan dan menjadi penghasilan bagi
karyawan. Jika posisi perusahaan laba, model ini layak dipilih karena akan
mengurangi penghasilan bruto. Jika model ini dipilih, kita menghitung pajak
dengan metode gross up. Gross up method adalah penghitungan pajak dimana
sejumlah pajak terutang yang seharusnya dipotong dimasukkan dalam nilai
transaksi atau dengan kata lain disebut memberikan tunjangan pajak sebesar PPh
yang terutang.
2. Biaya makan untuk perusahaan yang diberikan dalam bentuk tunjangan secara
fiskal, perusahaan tidak terpengaruh karena kedua pilihan dapat dibiayakan.
Yang perlu dipahami adalah implikasi jika diberikan dalam bentuk tunjangan
akan menambah penghasilan karyawan dan jumlah PPh 21. Jika diberikan dalam
bentuk makan bersama, perlu dipertimbangkan apakaha akan dimasak sendiri
atau memakai jasa catering. Jika memakai jasa catering, kita harus memotong
PPh pasal 23 sebesar 2%.
3. Uang saku karyawan yang diberikan secara lump-sum atau diberikan sekaligus
dalam jumlah tertentu tanpa harus dimintakan pertanggungjawaban dan bukti
atas penggunaannya. Jika Memakai model reimbursement, yaitu disertai
pertanggungjawaban penggunaan dana dengan bukti pengeluaran. Model
reimbursement mensyaratkan pengembalian, artinya yang akan dimasukkan
dalam komponen penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah uang saku atau
tunjangan yang benar-benar diterima oleh karyawan.
20
4. Pemberian tunjangan kesehatan jika diberikan dalam bentuk tunjangan, akan
menjadi penghasilan karyawan yang merupakan objek pasal 21, dan disisi
perusahaan/pemberi kerja adalah biaya yang dapat dikurangkan. Jika diberikan
dalam bentuk fasilitas pengobatan, misalnya penyediaan klinik atau tenaga
medis, bagi karyawan bukan penghasilan dan bagi perusahaan bukan biaya yang
dapat dikurangkan. Jika menggunakan model reimbursement, perlu diperhatikan
syarat-syaratnya, yaitu pengeluaran untuk pengobatan benar-benar dilakukan dan
sesuai dengan yang sebenarnya.
II.3.4 Perencanaan Pajak PPh Badan
Perencanaan PPh badan adalah bagian paling luas dan sangat terkait dengan jenis
pajak lainnya. Adapun langkah-langkah perencanaan Pajak Penghasilan Badan
dilakukan sebagai berikut;
1. Rekonsiliasi fiskal untuk menyajikan laba kena pajak,
2. Transaksi terkait dengan penghasilan dan fasilitas untuk karyawan,
3. Perencanaan pajak terkait dengan karyawan,
4. Pemilihan metode penyusutan dan amortisasi,
5. Perencanaan pajak dalam kaitannya dengan withholding tax,
6. Optimalisasi kredit pajak,
7. Pemanfaatan pengurangan angsuran PPh Pasal 25.
21
II.3.5 Fasilitas dan Manfaat Kawasan Berikat
Fasilitas Kawasan Berikat merupakan fasilitas yang "mewah" bagi perusahaan
industri atau perusahaan manufaktur yang berorientasi ekspor karena mendapatkan
fasilitas kepabeanan dan perpajakan sebagai berikut;
1. Penangguhan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22:
a. Atas impor barang modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang
semata-mata dipakai oleh PKB termasuk PKB merangkap PDKB;
b. Atas impor barang modal atau peralatan pabrik yang berhubungan
langsung dengan kegiatan produksi PDKB;
c. Atas impor barang dan atau bahan untuk diolah di PDKB.
2. Tidak dipungut PPN dan PPnBM
a. atas pemasukan Barang Kena Pajak (BKP) dari DPIL untuk diolah lebih
lanjut;
b. Atas pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk
diolah lebih lanjut;
c. Atas pengeluaran barang dan atau bahan ke perusahaan industri di DPIL
atau PDKB lainnya dalam rangka sub kontrak;
d. Atas penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan sub kontrakoleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP) di DPIL atau PDKB lainnya kepada PKP
PDKB asal;
e. Atas peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka sub
kontrak.
3. Pembebasan cukai:
22
a. Atas impor barang dan atau bahan untuk diolah lebih lanjut;
b. Atas pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) dari DPIL untuk diolah lebih
lanjut.
Disamping itu perusahaan yang mendapatkan fasilitas Kawasan Berikat masih
bisa memperoleh kemudahan seperti:
1. Barang modal berupa mesin asal impor apabila telah lewat jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak pengimporannya atau sejak menjadi aset perusahaan dapat
dipindahtangankan dengan tanpa kewajiban membayar Bea Masuk yang
terutang.
2. PDKB yang termasuk dalam Daftar Putih dapat mempertaruhkan jaminan berupa
Surat Sanggup Bayar (SSB) kepada KPBC yang bersangkutan atas pemasukan
dan pengeluaran barang ke dan dari PDKB yang dipersyaratkan untuk
mempertaruhkan jaminan.
Dengan fasilitas yang diperoleh tersebut diatas, maka manfaat yang bisa dipetik oleh
pengusaha dengan mendapatkan fasilitas Kawasan Berikat antara lain:
1. Efisiensi waktu pengiriman barang dengan tidak dilakukannya pemeriksaan fisik
di Tempat Penimbunan Sementara (TPS / Pelabuhan);
2. Fasilitas perpajakan dan kepabeanan memungkinkan PDKB dapat menciptakan
harga yang kompetitif di pasar global serta dapat melakukan penghematan biaya
perpajakan;
3. Cash Flow Perusahaan serta Production Schedule lebih terjamin;
23
4. Membantu usaha pemerintah dalam rangka mengembangkan program
keterkaitan antara perusahaan besar, menengah, dan kecil melaui pola kegiatan
sub kontrak.
II.3.6 Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Asing
Pembukuan dalam bahasa asing dan menggunakan mata uang asing bagi
perusahaan diatur dalam peraturan meteri keuangan nomor 196/PMK.03/2007
ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan bahasa asing dan mata uang asing adalah
bahasa inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.
Permohonan izin menyelenggarakan Pembukuan dengan menggunakan bahasa
asing dan mata uang selain mata uang selain rupiah terlebih dahulu harus mendapat izin
tertulis dari menteri keuangan, kecuali bagi Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya
atau Kontrak Bagi Hasil.
Perusahaan yang dapat mengajukan permohonan untuk menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan dalam bahasa asing dan mata uang asing adalah;
a. Perusahaan PMA, yaitu perusahaan yang merupakan penanaman modal
dari luar negeri di Indonesia dalam bentuk penanaman langsun. Apabila
perusahaan PMA tersebut berupa perusahaan patungan, sekurang-
kurangnya 50% (lima puluh persen) saham yang telah diterbitkan dimiliki
oleh penanam modal asing tersebut.
b. Wajib Pajak yang berusaha di bidang migas atau dibidang pertambangan
umum, Wajib Pajak dalam rangka PMA dan WP BUT dapat
menggunakan bahasa inggris dalam pembukuannya, setelah
24
memberitahukan kepada Direktur Jendral Pajak dalam waktu 3 (tiga)
bulan pertama dari tahun pajak dimulainya penggunaan Bahasa Inggris
tersebut. Ini dilakukan agar memudahkan BUT dalam konsolidasi
pembukuan dengan kantor pusat mereka.
c. Apabila WP PMA, WP Kontrak Karya, WP Kontrak Bagi Hasil ingin
menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam melaksanakan
pembukuannya maka harus mengikuti prosedur permohonan
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
533/KMK.04/2000. Apabila Wajib Pajak tersebut hanya ingin
menggunakan Bahasa Inggris, maka cukup dengan memberitahukan
kepada Direktur Jendral Pajak sesuai dengan prosedur dalam Keputusan
Menteri Keuanga.
d. Permohonan untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing
dan mata uang asing diajukan secara tertulis kepada Direktur Jendral
Pajak U.P. Direktur Pajak Penghasilan, paling lambat sudah diterima
dalam waktu 30 hari sebelum tahun buku dimulai. Tanggal permohonan
diterima adalah sesuai dengan tanggal cap pos apabila permohonan
dikirim melalui pos tercatat atau tanggal pada bukti tanda terima apabila
disampaikan langsung ke Direktorat PPh kantor Pusat Direktorat Jendral
Pajak. Permohonan yang diterima setelah lewat jangka waktu 30 hari
tersebut tidak dapat dipertimbangkan. Kepada Wajib Pajak pemohon
diberikan surat pemberitahuan bahwa permohonannya tidak dapat
dipertimbangkan. Wajib Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan
25
permohonan lagi untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa
Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat mulai tahun pajak
berikutnya.
e. Permohonan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan
mata Uang Dollar Amerika Serikat tersebut harus dilampiri dengan:
- Bagi Wajib Pajak PMA sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf a
melampirkan surat persetujuan penanaman modal dari presiden dan
keputusan pemberitahuan fasilitas atau keringanan Pajak dan Bea
Masuk.
- Bagi perusahaan patungan, baik dalam rangka PMA maupun tidak
melampirkan Akte notaries pendirian perusahaan, izin usaha, dan
bukti-bukti dokumen penyertaan modal.
- Wajib Pajak Kontrak Karya dibidang pertambangan umum
melampirkan kontrak karya yang bersangkutan.
- Wajib Pajak Kontrak bagi hasil di bidang pertambangan minyak dan
gas bumi melampirkan kontrak bagi hasil yang bersangkutan.
- Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) melampirkan izin usaha dan
perjanjian keagenan dan/atau penunjukan representative di Indonesia.
f. Dirjen Pajak atas nama menteri keuangan memberikan keputusan atas
permohonan Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan dalam
bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat paling lambat
dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya permohonan WP dengan
menggunakan formulir sesuai dengan lampiran I Surat Edaran ini.
26
Dengan demikian maka kepada Wajib Pajak dapat diberikan kepastian
paling lambat pada saat dimulainya tahun buku Wajib Pajak yang
bersangkutan.
g. Apabila Dirjen Pajak tidak memberikan keputusannya setelah lewat
jangka waktu 30 hari sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka
permohonan Wajib Pajak dianggap diterima. Untuk memberikan
kepastian kepada Wajib Pajak yang bersangkutan, Dirjen Pajak
memberitahukan hal tersebut kepada Wajib Pajak dengan menggunakan
formulir sesuai lampiran II Surat Edaran ini.
h. Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan
mata uang asing wajib memasukan SPT beserta lampirannya dalam
Bahasa Indonesia dan mata uang Rupiah.